Anda di halaman 1dari 57

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Ayam Broiler

Ayam broiler di Indonesia baru dikenal, popular dan menjadi komersial

menjelang periode 1980-an, sekalipun galur murninya sudah diketahui pada tahun

1960-an (Rasyaf, 2001). Ayam broiler merupakan salah satu ternak unggas hasil

budidaya yang bersifat ekonomis dengan pertumbuhan yang cukup cepat dalam

menghasilkan daging siap potong dengan lama budidaya yang relatif singkat, baik

jenis jantan atau pun betina (Aak, 1986).

Saat ini ayam broiler dikembangkan secara luas oleh masyarakat dalam

bentuk usaha dengan populasi yang besar. Masyarakat mulai menggunakan lahan

pribadi atau menyewa untuk membangun kandang ayam broiler beserta sarana

pendukungnya. Pemeliharaan ayam broiler dilakukan oleh peternak itu sendiri

sebagai usaha pribadi ataupun mempekerjakan karyawan dengan gaji yang

disesuaikan. Dinamika untung dan rugi sering dialami oleh peternak karena

berbagai faktor sebagai konsekwensi sebuah usaha yang dijalankan (Rasyaf,

2001)

Ayam broiler termasuk dalam usaha yang berisiko tinggi karena usaha ini

termasuk usaha padat modal. Sebagai contoh, untuk populasi 3000 ekor, biaya

produksi dalam satu periode panen sekitar 90 Juta Rupiah. Hasil pemeliharaan

tergantung dari penampilan akhir produksi ayam. Jika hasil dan pengelolaan baik

9
10

maka keuntungan yang didapatkan cukup besar. Begitu juga sebaliknya, jika

kesehatan ayam bermasalah, maka kerugiannya juga akan besar.

Dengan alasan seperti itu, para peternak tradisional sedikit yang berani

mengambil risiko untuk mengelola produksi ayam broiler secara mandiri.

Kebanyakan peternak mengunakan pola kemitraan dengan beberapa perusahaan

kemitraan. Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 44 tahun

1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha

menengah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan

oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Di Bali, ada

beberapa mitra usaha ayam broiler yang bekerja sama dengan peternak dalam

proses produksi ayam broiler diantaranya; PT Mitra Sinar Jaya (MSJ), PT

Chiomas Adisatwa, PT Sentra Unggas Bali (SUB), PT Primatama Karya Persada

(PKP), Janu Putra Sejahtera dan lain-lain.

2.1.1. Proses pemeliharaan dan produksi

Pemeliharaan ayam broiler merupakan satu siklus yang terdiri dari

beberapa tahapan yang saling berkaitan. Tahapan tersebut adalah; (1) tahap

persiapan kedatangan DOC (day old chicken;anak ayam umur sehari), (2) tahap

pemeliharaan dan penggemukan, (3) tahap panen, (4) tahap pembersihan,

sterilisasi dan istirahat kandang (Mideon, 2014b)


11

a. Tahap persiapan

Dalam tahap persiapan; peternak menyiapkan segala kebutuhan untuk

kedatangan DOC diantaranya persiapan litter (alas kandang), persiapan

tempat anak ayam (chick guard), persiapan pemanas (indukan ayam),

persiapan gas, persiapan tempat pakan, persiapan tempat minum (Gambar

2.1). Hal ini penting dilakukan agar anak ayam bisa beradaptasi dengan suhu

lingkungan baru dan mendapatkan nutrisi yang baik.

Gambar 2.1.
Persiapan Alat Sebelum DOC Tiba

b. Tahap pemeliharaan dan penggemukan

Tahap pemeliharaan dan penggemukan dibagi menjadi 2 fase yaitu

fase awal (starter) dan fase akhir (finisher). Keberhasilan pada fase starter

akan sangat menentukan keberhasilan fase finisher, begitu juga sebaliknya

kegagalan fase starter akan menyebabkan rusaknya ayam di fase finisher.

Fase starter diawali dengan kedatangan DOC, memasukkan DOC ke dalam

chick guard dan pemberian nutrisi tahap awal (Gambar 2.2 dan Gambar 2.3).
12

Fase starter ini berakhir setelah 2 minggu (14 hari) ketika ayam sudah bisa

beradaptasi dengan suhu lingkungan sehingga pemanas (indukan) tidak

diperlukan lagi.

Gambar 2.2.
Proses Penghitungan dan Penyortiran DOC Ketika Baru Tiba

Gambar 2.3
Melatih DOC Makan dan Minum
13

Tahap penggemukan merupakan tahap untuk meningkatkan berat

badan sampai berat badan panen tercapai. Pada tahap ini ayam membutuhkan

asupan nutrisi dan air yang cukup, suhu yang optimal, kualitas udara yang

baik, kelembaban yang optimal, kecepatan aliran udara yang cukup,

kekeringan alas kandang, cahaya yang memadai, waktu tidur yang cukup dan

lain-lain. Observasi indikator tersebut dilakukan secara berkala setiap hari

oleh pekerja

c. Tahap panen

Tahap panen merupakan tahap ayam diambil dari kandang untuk

dipasarkan. Waktu panen didasarkan pada target berat, harga pasar,

permintaan pembeli dan kondisi ayam. Panen akan dilakukan lebih awal jika

kondisi ayam buruk (misalnya sakit), harga pasar atau permintaan pasar

tinggi dan bobot ayam telah tercapai. Ayam ditimbang untuk kemudian

diserahkan kepada pembeli untuk dipasarkan (Gambar 2.4)

Gambar 2.4
Proses Penimbangan Ayam Saat Panen
14

d. Tahap pembersihan dan sterilisasi kandang

Setelah ayam habis, kandang dibersihkan secepat mungkin untuk

memutus rantai penyakit, perkembangan lalat dan menghindari bau.

Pembersihan kandang dilakukan terhadap alas kandang (sekam yang

bercampur kotoran ayam), debu, sisa pakan, tempat pakan dan peralatan

kandang lainnya. Kotoran ayam dan sekam dimasukkan ke dalam kampil

kemudian dikeluarkan untuk dijual sebagai pupuk kandang. Kemudian

kandang disemprot dengan air bertekanan tinggi dan didesinfeksi dengan air

bercampur detergen dan larutan desinfektant. Tempat pakan, tempat minum,

kampil dan terpal direndam dengan larutan sabun dan clorin untuk kemudian

dibilas dengan air bersih. Setelah pembersihan selesai, kandang disemprot

dengan larutan formalin 5-10% kemudian ditutup rapat selama 5 hari untuk

membunuh bakteri, spora dan serangga yang masih tertinggal.

2.1.2. Proses pemberian pakan

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam proses pemeliharaan

ayam broiler. Hampir 70% biaya produksi adalah biaya pengadaan pakan.

Kebutuhan pakan ayam broiler tergantung dari umur, pertumbuhan dan

perkembangan ayam. Tabel 2.1 menunjukkan jumlah konsumsi ayam broiler per

ekor berserta konversi pakannya. Pakan diberikan secara adlibitum yang berarti

tidak terbatas sesuai kemampuan maksimal ayam untuk makan sehingga tempat

pakan harus selalu terisi pakan.


15

Tabel 2.1
Konsumsi Mingguan Pakan Ayam Broiler

Jantan dan
Umur Jantan (gr/ekor) Betina (gr/ekor)
Betina (gr/ekor)
Minggu 1 141 138 139
Minggu 2 474 452 462
Minggu 3 1.063 991 1.024
Minggu 4 1.936 1.767 1.849
Minggu 5 3.043 2.717 2.877
Minggu 6 4.353 3.802 4.075
Sumber; Standar Pemeliharaan PT SUB

Desain tempat pemberian pakan bervariasi tergantung kapasitas, harga serta

cara instalasi di kandang ayam. Gambar 2.5 menunjukkan jenis dan cara instalasi

tempat pakan kapasitas 5 kg yang digantung di plafon kandang. Tempat pakan ini

diisi satu per satu oleh para pekerja dengan memindahkan pakan dari kampil

pakan ke tempat pakan tersebut. Tempat pakan jenis ini banyak digunakan di

Indonesia oleh peternak karena harganya lebih murah. Sedangkan Gambar 2.6

menunjukkan tempat pakan yang terhubung langsung dengan pipa yang berisi

pakan. Pakan dialirkan dari tower menuju tempat pakan melalui pipa dengan

menggunakan mesin pendorong.

Gambar 2.5
Tempat Pakan Ayam Broiler yang Dipasang Secara Manual
16

Gambar 2.6
Instalasi Tempat Pakan Tehubung Langsung Dengan Pipa Berisi Pakan

2.1.3. Penerapan biosekuriti kandang dan kesehatan pekerja

Biosekuriti kandang dan kesehatan pekerja merupakan hal yang penting

dalam siklus produksi ayam broiler karena saling berkaitan. Penerapan biosekuriti

yang baik akan mengurangi risiko hewan ternak (ayam broiler) dan pekerjanya

terserang dari berbagai penyakit sehingga mengurangi risiko gangguan kesehatan

pekerja.

Biosekuriti adalah usaha mengurangi risiko yang disebabkan oleh lalu lintas

manusia, bahan dan binatang ke dalam kandang. Risiko yang berasal dari manusia

antara lain pemilik kandang, orang yang melakukan perbaikan, sesama peternak

atau pengunjung lainnya. Risiko yang disebabkan oleh binatang diantaranya;

binatang liar atau pun binatang piara. Sedangkan risiko yang disebabkan oleh

benda-benda baik benda organik maupun anorganik seperti peralatan dan bahan

pakan, keranjang, alat perawatan, ember, dan semua alat lain yang masuk dan
17

bergerak di dalam peternakan. Adapun risiko-risiko yang harus dihindari di atas

yang merupakan jalan masuknya bibit penyakit ke peternakan dikenal dengan

akronim PATIO (People, Animal, Things Inorganik dan Organik) (Jubbs&

Dharma, 200).

Melihat faktor risiko di atas, prinsip dari langkah-langkah biosekuriti adalah

meminimalisir /menekan/mengurangi/menghindari risiko-risiko di atas kontak

dengan ayam yang dipelihara dengan menerapkan langkah-langkah biosekuriti.

Adapun prinsip- prinsip biosekuriti dikenal dengan BIRDDS (Build, Increase,

Reduce, Detect, Dimention, Select) (Jubbs& Dharma, 2009).

Kesehatan dan keselamatan pekerja peternakan ayam broiler dapat dijaga

dengan penerapan sistem manajemen K3 (kesehatan dan keselamatan kerja).

Penerapan sistem manajemen K3 tersebut antara lain; (1) keselamatan atau

keamanan personal (manusia) dengan memakai alat pelindung diri sesuai

kebutuhan misalnya masker, alas kaki, pakaian panjang dan lain-lain (2)

keamanan peralatan, (3) pemasangan instalasi pengaman, (4) pemasangan kabel,

(5) pengaman listrik, (6) pemadam kebakaran, (7) sirkulasi udara yang baik, (8)

kebersihan dan sanitasi lingkungan, (9) pengaturan kelembaban dan suhu

kandang, (10) kebisingan

2.2. Intervensi Ergonomi

2.2.1. Pengertian intervensi ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu ergos yang berarti kerja dan

nomos yang berarti hukum alam. Dengan demikian ergonomi dimaksudkan


18

sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya dengan

pekerjaan. Menurut international Standarts Organization (ISO) dalam Wilson,

(2005); Ergonomi menghasilkan dan mengintegrasikan pengetahuan dari human

science untuk menserasikan pekerjaan, sistem, produk dan lingkungan dengan

kemampuan fisik dan mental dan keterbatasan manusia, demi tercapainya

keamanan dan kesejahteraan, serta mengoptimalkan efisiensi dan kinerja.

Manuaba (2005a) menyebutkan bahwa ergonomi merupakan pemakaian informasi

tentang manusia, baik menyangkut tentang karakteristik, kemampuan dan batasan-

batasan fisik dan mental, dalam perancangan alat, peralatan, mesin-mesin,

pekerjaan, tugas, sistem, organisasi dan lingkungan, untuk mencapai fungsi yang

optimal dari tubuh manusia. Selanjutnya International Ergonomics Association

(IEA) (2000) memberi definisi ergonomi atau human factors adalah disiplin ilmu

yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dengan elemen-elemen dari

sebuah sistem pekerjaan, yang menerapkan teori, data dan metode untuk desain

agar tercapai kesejahteraan dan kinerja yang optimal.

Disiplin ergonomi secara khusus akan mempelajari keterbatasan dari

kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produknya.

Dengan ergonomi, tuntutan tugas, peralatan, cara kerja, dan lingkungan

diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga

diperoleh kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan efisien

(Annis dan McConville, 1996; Manuaba 2000). Di dalam ergonomi, prinsip,

metode dan data ilmiah dari berbagai disiplin diaplikasikan untuk

mengembangkan sistem perekayasaan sehingga manusia memainkan peranan


19

penting. Prinsip yang selalu digunakan dalam ergonomi adalah prinsip fitting the

tasks to the man, yang berarti bahwa pekerjaan harus disesuaikan dengan

kemampuan dan keterbatasan manusia sehingga hasil yang dicapai dapat

meningkat (Tayyari dan Smith, 1997; Kroemer dan Grandjean, 2009).

Kemampuan manusia sangat ditentukan oleh faktor-faktor; profil, kapasitas

fisiologik, kapasitas psikologik dan kapasitas biomekanik. Sedangkan tuntutan

tugas dipengaruhi oleh karakteristik dari materi pekerjaan, tugas yang harus

dilakukan, organisasi dan lingkungan dimana pekerjaan itu dilakukan (Manuaba,

2003; 2005b).

Peran ergonomi dalam dunia kerja tidak hanya terbatas pada bidang tertentu,

melainkan mencakup bidang-bidang yang sangat luas antara lain dalam

perancangan alat kerja, evaluasi proses dan produk kerja, perancangan bangunan

dan arsitektur dan lain lain, serta digunakan oleh ahli fisika, anatomi, fisioterapi,

perawat, psikologi, kesehatan kerja serta kaum professional lainnya. Untuk

mendapatkan hasil kerja yang optimal dengan produktivitas yang tinggi maka

setiap aktifitas kerja memerlukan suasana yang nyaman, aman, sehat, terbebas

dari rasa lelah, nyeri otot, cedera, sakit atau cacat tubuh lainnya. Dengan kata lain,

ergonomi mempunyai peran dalam meningkatkan kesehatan dan keselamatan

kerja melalui pencegahan cedera dan penyakit yang menyertai.

Pendekatan ergonomi merupakan salah satu bentuk intervensi yang

bertujuan untuk mendapatkan sistem kerja yang manusiawi, kompetitif dan lestari.

Menurut Manuaba (2006) pendekatan ergonomi dimulai dari identifikasi masalah

yang terdiri dari delapan aspek, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
20

1. Gizi dan kalori

Manusia memerlukan kualitas gizi dan sejumlah kalori untuk mampu

menyelesaikan satu pekerjaan tertentu, termasuk pekerjaan sehari-hari yang

tergolong ringan, apalagi yang tergolong berat. Pekerjaan memberikan pakan

ayam broiler temasuk pekerjaan katagori berat, sehingga jumlah kalori yang

dikeluarkan harus diimbangi oleh energi yang masuk. Energi ini didapatkan

dari sumber makanan yang dikonsumsi pada saat makan pagi, siang atau

sore/malam hari. Untuk mengimbangi proses metabolisme dan pengeluaran

panas melalui keringat, diperlukan air dalam jumlah yang cukup. Oleh karena

itu, pekerja peternakan perlu diberikan minum air sebelum melakukan

tindakan.

2. Sikap tubuh

Sikap tubuh yang tidak anatomis dan melakukan pekerjaan dengan sikap

yang tidak fisiologis dalam jangka waktu yang lama menyebabkan kelelahan

dan mengurangi produktivitas. Pada saat proses memberikan pakan

menggunakan gayung, para pekerja melakukannya dengan sikap membungkuk

dalam mengambil pakan dari kampil pakan dan menuangkannya kembali ke

tempat pakan. Sikap tersebut tidak fisiologis dan memberikan pembebanan

yang berlebihan pada pinggang sehingga dapat menimbulkan keluhan

muskuloskeletal. Perbaikan pada peralatan yang sebelumnya berupa gayung

dengan modifikasi kampil pakan yang akan membuat pekerjaan pemberian

pakan dilakukan dalam posisi lebih tegak (berdiri) sehingga sikap tersebut

menjadi lebih fisiologis.


21

3. Pemanfaatan tenaga otot

Penggunaan tenaga otot untuk melakukan pekerjaan tidak boleh ada

unsur paksaan melebihi kemampuan normal. Oleh karena itu, semua alat yang

dipakai harus dirancang sedemikian rupa sehingga gerakan dan kontraksi otot

tidak berlebihan dan tidak bertentangan dengan gerakan alamiah otot. Pada saat

pemberian pakan menggunakan gayung, terjadi kontraksi yang berlebihan dan

dalam frekwensi yang tinggi pada otot pinggang dan otot bahu. Alat baru

berupa kampil pakan yang dimodifikasi dengan penyesuaian pada ukuran

antropometri, biomekanis, fisiologis dan psikologis pekerja diharapkan

penggunaan tenaga otot lebih sedikit.

4. Kondisi lingkungan

Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik sehingga

dicapai hasil yang optimal, apabila ditunjang oleh kondisi lingkungan yang

baik. Kondisi lingkungan dikatakan baik jika pekerja dapat melakukan

pekerjaannya dengan aman, nyaman, selamat dan sehat. Aspek lingkungan

yang berpengaruh diantaranya; temperatur, kelembaban, pencahayaan,

kebisingan, getaran, kecepatan angin, substansi kimia dan bau-bauan (Dul dan

Weerdmeester, 2008).

Para pekerja peternakan ayam broiler bekerja di dalam kandang dengan

system terbuka (open house) sehingga tidak terkena paparan sinar matahari

langsung, kecepatan angin akan mengikuti hembusan angin dari luar kandang

atau menggunakan kipas angin, kelembaban relatif mengikuti kelembaban

lingkungan yang cenderung lebih rendah karena suhu di dalam kandang lebih
22

hangat, pencahayaan pada siang hari cukup karena sinar matahari dapat masuk

tanpa halangan, kebisingan masih dalam batas normal karena lokasi peternakan

jauh dari sumber kebisingan (jalan atau mesin) dan ayam tidak menimbulkan

bunyi yang keras.

5. Kondisi waktu

Pemanfaatan waktu yang teratur dan terjadwal akan sangat mendukung

kesehatan dan kenyamanan kerja. Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat

harus dalam prosi yang berimbang dan disesuaikan dengan berat-ringannya

pekerjaan, lamanya pekerjaan, risiko pekerjaan, penggunaan otot, kondisi

lingkungan dan status kesehatan individu. Para pekerja di peternakan ayam

broiler bekerja merawat ayam selama 24 jam dimana pekerjaan utama

dilakukan pada pagi sampai sore hari dan malam hanya melakukan

pengawasan/observasi. Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari sebelum

pukul 10.00 Wita atau sore hari setelah pukul 14.00 Wita. Lama melakukan

tindakan tersebut tergantung dari banyaknya pakan yang diberikan. Pemberian

pakan dilakukan sampai selesai dan dikerjakan secepat mungkin agar tempat

pakan segera terisi agar ayam tidak berebut mencari pakan yang baru

dituangkan. Kondisi tersebut menyebabkan pekerja tidak sempat melakukan

istirahat selama proses pemberian pakan dan cenderung memaksakan tenaga

agar cepat selesai.

6. Kondisi sosial

Pemberian pakan dengan alat berupa gayung telah lama digunakan oleh

pekerja sehingga sudah dianggap sesuatu yang biasa. Pekerja tidak menyadari
23

banyak masalah yang muncul dan berpotensi menimbulkan gangguan

muskuloskeletal yang sifatnya kronis. Keluhan muskuloskeletal yang muncul

saat ini dianggap sesuatu yang biasa dan merupakan risiko dari pekerjaan.

Pekerja tidak memikirkan efek jangka panjang yang mungkin muncul. Kondisi

itu menyebabkan tidak adanya usaha untuk melakukan inovasi memperbaiki

proses kerja tersebut. Untuk meredesain alat, maka kondisi tersebut harus

diperhatikan. Pembuatan alat baru atau redesain alat lama sebaiknya tidak

merubah kondisi sosial masyarakat, tetapi harus dapat meningkatkan kecepatan

dan produktivitas kerja dan menurunkan berbagai keluhan muskuloskeletal

yang muncul.

7. Kondisi informasi

Komunikasi antara pekerja, pemilik kandang, dengan penyuluh lapangan

dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses pemeliharaan ayam harus

terjalin dengan baik agar informasi yang ingin disampaikan dapat diterima dan

diberikan umpan balik yang sesuai. Termasuk dalam melakukan inovasi alat

yang digunakan dan sistem dalam proses kerja, diharapkan terjalin komunikasi

yang baik sehinga dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kinerja

pekerja.

8. Interaksi manusia dan mesin

Interaksi pekerja dengan alat terutama pada proses pemberian pakan di

peternakan ayam broiler harus diperhatikan dengan baik. peternak diharapkan

merasa nyaman dan aman dalam menggunakan alat sehingga menunjang

produktivitasnya. Dengan penggunaan modifikasi kampil diharapkan akan


24

terjadi interaksi yang baik antara alat tersebut dengan kondisi fisik dan sikap

kerja pekerja peternakan.

Aplikasi ergonomi secara umum mempunyai beberapa tujuan yang hendak

dicapai. Tujuan utamanya adalah menciptakan keadaan fisik dan psikis pekerja

yang sehat, dengan menyerasikan kemampuan dan keterbatasan manusia terhadap

tugas atau pekerjaan yang dilaksanakan. Aplikasi ergonomi disamping

menciptakan sistem kerja yang manusiawi, juga terbukti memberikan keuntungan

secara ekonomis. Hedric (2002) menyatakan good ergonomic is goo economics,

yang berarti penerapan ergonomi yang benar akan memberikan keuntungan

ekonomi yang lebih tinggi. Dan telah dibuktikan, dengan penerapan ergonomi

pada industri kehutanan, transportasi, desain produk, perbaikan stasiun kerja dapat

meningkatakan produksi secara bermakna. Menurut Manuaba dan MacLeod

(2000 dan 2006) penerapan ergonomi akan memberikan manfaat secara khusus

seperti; (1) pemakaian otot dan energi lebih efisien, (2) pemakaian waktu lebih

efisien, (3) kelelahan berkurang, (4) kecelakaan berkurang, (5) penyakit akibat

kerja berkurang, (6) kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, (7) efisiensi

kerja meningkat, (8) mutu produk dan produktivitas meningkat, (9) kesalahan

kerja berkurang dan kesukaran dapat diminimalkan, (10) pengeluaran atau biaya

untuk mengatasi akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi

sehingga biaya operasional dapat ditekan.


25

2.2.2. Pendekatan ergonomi total

Pendekatan ergonomi total merupakan pendekatan yang berkembang

untuk memecahkan masalah dan berfokus pada cara berfikir dan bertindak secara

multidisiplin dalam melakukan perbaikan. Ergonomi total terdiri dari; (1)

pendekatan SHIP yaitu Systemics, Holistics, Interdiciplinary dan partisipatory,

(2) penerapan teknologi tepat guna (TTG) (Manuaba, 2006. Penerapan pendekatan

ergonomi total berdasarkan delapan aspek ergonomi yaitu; penggunaan otot,

pengaturan gizi, sikap kerja, kondisi waktu, kondisi lingkungan, kondisi

informasi, kondisi sosial budaya dan interaksi manusia mesin (Manuaba, 2000b).

Para ahli juga telah menerapkan ergonomi partisipatori yang merupakan

salah satu komponen dari konsep ergonomi total di berbagai bidang kegiatan,

mendapatkan hasil yang memuaskan. Kumashiro (1995) menyatakan hasil yang

sangat penting dari penerapan ergonomi partisipasi pada usaha kecil dan

menengah dalam bidang industri otomotif dimana pekerja mampu membuktikan

kepada pemilik perusahaan bahwa penerapan ergonomi dapat meningkatkan

produktivitas perusahaan. Kogi (2006) menyatakan metode partisipasi sangat

efektif memperbaiki tempat kerja (Workplace), walaupun sering dimodifikasi

sesuai situasi lokal namun tetap berfokus pada low-cost improvement. Selanjutnya

Adiatmika, (2007) membuktikan penerapan ergonomi total pada pengerajin

pengecatan logam dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan keluhan

muskuloskeletal pekerja. Selain itu, intervensi ergonomi total pada pengerajin

gerabah, dapat meningkatkan pendapatan pekerja dan perusahaan (Purnomo., dkk,

2009)
26

Kondisi dan lingkungan


kerja lama Pendekatan SHIP
Delapan masalah 1. Sistemik
ergonomi 2. Holistik
Gizi dan kalori Identifikasi masalah 3. Interdisipliner
1. Sikap tubuh 4. Partisipatori
2. Pemanfaatan tenaga
otot Skala prioritas
3. Kondisi lingkungan penyelesaian masalah
4. Kondisi waktu
5. Kondisi sosial
6. Kondisi informasi Teknologi Tepat
7. Interaksi manusia Perancangan alat, Guna
dan mesin perbaikan lingkungan dan 1. Teknis
organisasi kerja 2. Ekonomis
3. Ergonomis
4. Sosial budaya
Evaluasi 5. Hemat energi
Tidak 6. Tidak merusak
lingkungan
Ya
Penyempurnaan/Finishing

Gambar 2.7
Prosedur Penerapan Ergonomi Total

Implementasi di lapangan, penerapan ergonomi total dapat dilakukan

dengan cara; (1) mengidentifikasi masalah yang bertentangan dengan kaidah

ergonomi (delapan aspek ergonomi), (2) dari masalah yang teridentifikasi, disusun

skala prioritas penyelesaian, (3) memperbaiki sikap kerja dan penggunaaan otot

dengan melakukan redesain alat atau membuat alat baru dan memperbaiki sistem

kerja yang dipecahkan dan diimplementasikan dengan pendekatan ergonomi total

melalui kajian SHIP dan penerapan teknologi tepat guna, (4) melakukan evaluasi

terhadap perbaikan yang telah dilakukan, (5) bila hasilnya kurang baik,

identifikasi masalah akan diulangi, dan bila hasilnya sudah baik dilanjutkan

dengan proses penyempurnaan. Dari prosedur penerapan ergonomi total


27

diharapkan dapat menghasilkan suatu produk dan prosedur yang ergonomis,

diterima oleh user, mempunyai manfaat yang tinggi dan berkelanjutan. Prosedur

tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.7 (Santosa, 2013)

2.2.3. Kajian SHIP pada pendekatan ergonomi total

Pendekatan SHIP atau SHIP approach adalah pendekatan terpadu yang

terdiri dari empat unsur yaitu; sistemik, holistik, interdisiplin dan partisipatori.

pendekatan SHIP sebaiknya dilakukan mulai dari perencanaan sampai tahap

pelaksanaan maupun tahap evaluasi sehingga keberhasilan dan kegagalannya

dapat dicarikan solusi secara bersama sama (Adiputra, 1997). Dengan pendekatan

ini diharapkan ada rasa memiliki karena telah berusaha mencari solusi secara

bersama-sama sehingga kegagalan dan keberhasilannya dirasakan bersama-sama.

Menurut Manuaba (2006), dalam pendekatan SHIP ditekankan bahwa masalah

harus dipecahkan secara :

1. Sistemik

Sistemik dalam pendekatan SHIP artinya, semua faktor yang berada

dalam suatu sistem dan diperkirakan dapat menimbulkan masalah harus ikut

diperhitungkan sehingga tidak ada lagi masalah yang tertinggal atau

munculnya masalah baru sebagai akibat dari keterkaitan sistem. Kaidah-kaidah

ergonomi harus dimasukkan dalam semua tahapan proses perancangan mulai

dari perencanaan sampai evaluasi. Kondisi kesehatan dan keselamatan kerja

pekerja peternakan dilihat dari beban kerja, keluhan muskuloskeletal, tingkat

kelelahan, kecepatan kerja dan produktivitas pekerja beserta faktor lain yang

mempengaruhi merupakan sebuah sistem dan harus dipahami sebagai sebuah


28

sistem yang saling mempengaruhi. Sistem kerja pada pekerja peternakan dalam

memberikan pakan dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Pembuatan modifikasi kampil pakan harus disesuaikan dengan ukuran

antopometri pekerja, bahan yang digunakan mudah didapat, mudah untuk

dibuat, tidak terlalu mahal (terjangkau), bisa diterima oleh sebagian besar

pekerja. Sehingga tidak sulit untuk mengimplementasikannya.

b. Menggunakan cara baru akan mempengaruhi waktu kerja (menjadi lebih

cepat) dan sikap kerja menjadi lebih baik sehingga sikap kerja yang

sebelumnya membungkuk menjadi lebih ergonomis yaitu dalam posisi

berdiri.

c. Ketika waktu kerja lebih cepat, maka produktivitas akan meningkat.

d. Pemberian istirahat dan melakukan peregangan akan memberikan

kesempatan pada otot sekletal melakukan relaksasi sehingga kontraksi

berikutnya menjadi lebih efisien.

e. Dengan sikap yang lebih ergonomis dan kontraksi yang lebih efisien,

diharapkan keluhan muskuloskeletal, kelelahan dan beban kerja dapat

berkurang.

2. Holistik

Jika dipandang secara holistik, semua faktor yang terkait dan

berkontribusi terhadap suatu masalah, dipecahkan secara proaktif dan

menyeluruh. Holistik diartikan bahwa sistem terdiri dari sub sistem yang saling

terkait dan harus dipertimbangkan. Ada beberapa faktor sub sistem yang terkait
29

dengan kajian kesehatan, keselamatan dan produktivitas pekerja di peternakan

ayam broiler diantaranya :

a. Faktor lingkungan kerja yang perlu dipertimbangkan dalam aktifitas kerja

para pekerja di peternakan adalah : suhu, kelembaban, kecepatan angin,

intensitas cahaya, kebisingan.

b. Faktor internal antara lain; jenis kelamin, tinggi badan, berat badan dan

pengalaman kerja.

c. Faktor eksternal yang perlu diperhatikan antara lain; sistem pemberian

penghargaan (bonus), sangsi, kepemimpinan, komunikasi, toleransi,

hubungan kerja baik vertikal (dengan pemilik kandang), maupun horizontal

(dengan sesama pekerja).

3. Interdisipliner

Interdisipliner artinya semua disiplin ilmu yang terkait dengan masalah

dan pemecahannya harus dimanfaatkan, karena makin komplek permasalahan

yang ada diasumsikan tidak akan terpecahkan secara maksimal jika hanya

dikaji melalui satu disiplin sehingga perlu dilakukan pengkajian melalui lintas

disiplin ilmu. Dalam perbaikan kondisi dan lingkungan kerja, para ahli dari

berbagai disiplin ilmu yang terkait mempunyai kontribusi tersendiri antara lain;

(a) ahli ergonomi akan melihat permasalahan dari aspek keterkaitan antara

manusia dengan pekerjaannya, (b) ahli teknik berperan dalam tahap proses

seleksi untuk menentukan teknologivyang layak secara teknis untuk dipakai,

(c) ahli kualitas meyakinkan setiap proses yang lebih baik dalam rangka

menghasilkan barang atau jasa, (d) ahli kesehatan akan mengkaji aspek
30

kesehatan fisik maupun mental sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu

indikator keberhasilan sebuah intervensi, (e) ahli ekonomi dibutuhkan untuk

menganalisis pembiayaan dan dalam menunjang keberhasilan secara komersial,

(f) ahli fisiologi diperlukan untuk menjelaskan peran dan fungsi organ-organ

tubuh manusia saat sedang bekerja.

Para ahli membentuk suatu tim guna merumuskan perbaikan kondisi dan

lingkungan kerja baru dengan pertimbangan berbagai segi. Peran para ahli

untuk meyakinkan bahwa perbaikan kondisi dan lingkungan kerja baru

merupakan hal yang realistis.

4. Partisipatori

Partisipatori diartikan semua orang yang terlibat dan terkait dengan

pemecahan masalah tersebut harus dilibatkan sejak awal secara maksimal agar

dapat diwujudkan mekanisme kerja yang kondusif, hasil produk yang baik, dan

inovasi yang lebih baik. Pihak terkait yang perlu dilibatkan antara lain ;

pekerja, pengusaha, peternak, tukang, peneliti, penyuluh lapangan, masyarakat

dan pihak terkait lainnya. Dalam pembuatan alat pemberian pakan, para

pekerja dan pemilik peternakan dilibatkan dalam mengidentifikasi masalah dan

merancang alternatif solusi dengan melakukan diskusi dan uji coba secara

informal. Hal ini sebagai bentuk implementasi ergonomi partisipatif dimana

para pekerja dan peternak aktif terlibat dalam mengimplementasikan

pengetahuan dan pengalamannya di tempat kerja. Wilson (2005) mengatakan

ergonomi partisipatif adalah proses perencanaan dan pengendalian dari

sejumlah aktivitas yang melibatkan operator dengan pengetahuan dan


31

kemampuan yang memadai dalam mempengaruhi proses dan hasil untuk

mencapai tujuan tertentu. Semua yang terlibat dalam pemecahan masalah dan

terlaksananya suatu gagasan harus dilibatkan sedini mungkin (Manuaba, 2006)

2.2.4. Kajian teknologi tepat guna pada pendekatan ergonomi total

Teknologi tepat guna adalah teknologi yang cocok dengan kebutuhan

masyarakat sehingga memberikan manfaat untuk mengatasi masalah yang

dihadapi. Biasanya dipakai sebagai istilah untuk teknologi yang sederhana, tidak

perlu perawatan yang rumit, terkait dengan budaya lokal, memanfaatkan

sumberdaya alam dan manusia setempat, untuk mengatasi permasalahan, serta

berdayaguna tinggi bagi masyarakat setempat (Munaf dkk, 2008; Nala, 1990)

Menurut Manuaba (2005a, 2006) teknologi tepat guna harus memenuhi

enam kriteria berikut :

1. Teknis

Setiap perbaikan hendaknya bertujuan untuk mempermudah dan

mempercepat proses kerja. Peralatan yang dirancang memenuhi kaidah –

kaidah teknis pekerjaan atau produk sehingga dapat digunakan sesuai

kebutuhan. Hasil rancangan hendakanya mempertimbangkan kemudahan di

dalam memperoleh bahan baku yang memenuhi standar, mudah dibuat dan

mudah dalam pemeliharaan. Alat pemberian pakan dirancang dengan

menggunakan kampil pakan yang secara struktur cukup kuat dan elastis

sehingga bisa menahan beban pakan dan tidak mudah robek. Kampil dijarit

dengan mesin jahit kampil dengan menggunakan benang katun beberapa kali

sehingga kaitan antara kampil dan pegangan cukup kuat. Pengerjaan alat
32

redesain ini tidak memerlukan keahlian khusus, hanya kemampuan untuk

menggunakan mesin jahit. Pemeliharaan alat ini cukup sederhana, yaitu

dengan memperhatikan kekuatan jaritan dan apabila robek bisa segera diganti

dengan yang baru.

2. Ekonomis

Setiap perbaikan hendaknya tidak sampai menimbulkan biaya tinggi,

dan penentuan efisiensi hendaknya memperhatikan dampak sosial. Oleh

karena itu pemanfaatan ekonomi biaya tinggi dan penggunaan teknologi

tinggi hendaknya dilaksanakan dengan bijaksana dengan mempertimbangkan

dampaknya kepada manusia. Ditinjau dari aspek ekonomis, maka

pemanfaatan teknologi tepat guna diharapkan mampu menekan biaya

pembuatan. Alat yang dibuat berbahan dasar kampil pembungkus pakan yang

telah digunakan. Setiap kandang mempunyai persediaan kampil dalam

jumlah banyak sehingga pekerja tidak perlu membeli bahan tersebut.

Pengerjaan modifikasi kampil pakan tidak terlalu rumit, hanya menggunakan

mesin jahit kampil. Dalam memproduksi modifikasi kampil tersebut, biaya

yang diperlukan cukup murah dan terjangkau sehingga pengadaan alat

tersebut dalam jumlah banyak cukup mudah.

3. Ergonomis

Setiap perbaikan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan secara fisik

dan mental sehingga tercapai kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu

hendaknya selalu memperhatikan kondisi kerja dalam rangka mencegah

timbulnya penyakit dan cedera akibat kerja, mengurangi beban kerja fisik dan
33

mental, meningkatkan kepuasan kerja, kehidupan sosial budaya, serta

mengupayakan pengaturan sistem kerja sehingga terjadi keseimbangan unsur

ekonomi, sosial budaya dan antropometri dalam hubungan manusia-mesin

untuk meningkatkan efisiensi kerja. Dengan penggunaan alat pemberian

pakan ini, diharapkan terjadi perubahan posisi kerja lebih alamiah yang

sebelumnya membungkuk menjadi berdiri dan dengan pengaturan beban

tidak melebihi 20 kg akan membuat penggunaan otot berkurang sehingga

diharapkan risiko cedera muskuloskeletal akan berkurang dan beban kerja

akan menurun.

4. Sosial budaya

Perbaikan yang dilakukan hendaknya memperhatikan sikap pekerja

terhadap organisasi kerja, kebiasaan bekerja, dinamika kelompok, norma,

nilai, kebiasaan, keinginan dan kepercayaan dari pekerja dan masyarakat

sekitarnya. Kebutuhan pengguna teknologi dan kesesuaian dengan budaya

disertai dengan nilai-nilai estetika hendaknya menjadi perhatian sehingga

benar-benar dapat diterima oleh semua pihak serta tidak menimbulkan

benturan dengan masyarakat setempat. Penggunaan kampil pakan sebagai

alat memberikan pakan dapat diterima oleh pekerja dan masyarakat setempat

serta tidak bertentangan dengan norma yang dianut oleh masyarakat. Kampil

bekas pembungkus pakan ini digunakan secara luas oleh masyarakat untuk

berbagai kepentingan tidak hanya di bidang peternakan tetapi juga di bidang

lain seperti pertanian, industri kecil ataupun untuk kebutuhan rumah tangga.

5. Hemat energi
34

Hendaknya dihindari peningkatan penggunaan energi secara berlebihan

sehingga merusak tatanan alam yang sudah ada. Hal ini penting dilakukan

mengingat sumber daya alam yang tersedia sangat terbatas, sehingga tidak

mengganggu kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Dalam

pemanfaatan teknologi perlu diupayakan penggunaan energi secara efisien.

Modifikasi kampil pakan ini menggunakan teknologi yang sederhana, tidak

menggunakan listrik atau mesin penggerak dan tidak memerlukan sumber

energi lain dalam penggunaannya.

6. Ramah lingkungan

Teknologi yang digunakan tidak menimbulkan polusi atau pencemaran

lingkungan, kebisingan atau polutan lainnya yang berdampak negatif

terhadap lingkungan. Dalam perancangan suatu alat harus selalu mengacu

dan menjaga keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan. Modifikasi

kampil pakan ini baik proses pembuatannya, penggunaannya maupun

pembuangannya tidak menimbulkakn polusi terhadap lingkungan.

2.3. Sikap Kerja

Sikap tubuh ketika melakukan pekerjaan diakibatkan oleh hubungan antara

dimensi pekerja dan dimensi variasi dari tempat kerjanya. Secara mendasar, sikap

tubuh dalam keadaan tidak melakukan gerakan atau pekerjaan adalah sikap

berbaring, berdiri, jongkok dan duduk. Sikap-sikap tubuh yang diaplikasikan pada

pekerjaan disebut sikap kerja (Pheasant, 1991)


35

Sikap kerja seseorang dipengaruhi oleh empat faktor (Bridger, 2008)

yaitu:

1 Karakteristik fisik seperti; umur, jenis kelamin, ukuran antropometri, berat

badan, kesegaran jasmani, kemampuan gerakan sendi, sistem muskuloskeletal,

tajam pengelihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit dan lain-lain.

2 Jenis keperluan tugas seperti; pekerjaan yang memerlukan ketelitian,

memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu istirahat, dan lain-lain.

3 Desain stasiun kerja seperti; ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja,

kondisi permukaan atau bidang kerja dan faktor-faktor lingkungan kerja.

4 Lingkungan kerja (environment) seperti; intensitas penerangan, suhu

lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu dan vibrasi.

Dari empat faktor di atas muncul bermacam-macam sikap kerja. Pada

proses memberikan pakan sikap kerja yang dilakukan adalah berdiri tegak, berdiri

membungkuk dan jongkok

2.3.1. Sikap kerja dan kaitannya dengan alat kerja

Terdapat banyak masalah ergonomi pada industri kecil terutama di

Indonesia diantaranya stasiun kerja yang tidak ergonomis (Anityasari, 2001).

Akibat dari stasiun kerja yang tidak ergonomis ini akan muncul sikap kerja yang

tidak alamiah seperti jongkok, duduk membungkuk, berdiri membungkuk dan

sebagainnya. Sikap kerja tersebut jelas akan menyebabkan beban postural yang

berat. Jika beban postural ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka akan

menimbulkan postural strain yang merupakan beban mekanik statis bagi otot.

Kondisi ini akan mengurangi aliran darah ke otot sehingga terjadi gangguan
36

keseimbangan kimia otot yang bermuara pada terjadinya kelelahan otot (Pheasant,

1991). Dul dan Weedmeester (2008) menyatakan bahwa sikap kerja seseorang

juga ditentukan oleh hubungan antara dimensi tubuhnya dengan berbagai kondisi

ruang kerja. Hubungan tersebut dapat berupa fisik maupun visual.

Pada saat mendesain dan mengorganisasikan pekerjaan akan lebih bijak

kalau kebiasaan sikap kerja yang tidak alamiah dijadikan dasar untuk

mengubahnya agar menjadi kebiasaan baru dan perilaku yang alamiah (Sutajaya,

1998). Dengan memakai cara tersebut, di satu pihak pengalihan teknologi akan

lebih mudah dan di pihak lain dapat mempertahankan identitas mereka.

kecenderungan terjadinya perubahan metode, teknik cara kerja yang menimbulkan

rasa kurang nyaman dan kurang ergonomis perlu kiranya diatasi secepatnya agar

terhindar dari dampak yang merugikan seperti gangguan muskuloskeletal, sakit

akibat kerja dan sebagainya.

Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi sikap kerja tidak alamiah, berarti ada

kekurangserasian antara manusia dan stasiun kerjanya, sehinga menimbulkan hal-

hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya kesalahan kerja, kurang produktif, dan

munculnya biaya tambahan untuk mengatasi gangguan yang terjadi (Helander,

2005)

Pada pemberian pakan dengan menggunakan gayung, pekerja

melakukannya dengan posisi berdiri dan membungkuk sedangkan dengan kampil

pakan dilakukan dengan berdiri tegak. Sehingga masing-masing alat memberikan

pengaruh yang berbeda terhadap sikap kerja.


37

2.3.2. Perbaikan sikap kerja

Sikap kerja yang tidak fisiologis akan menyebabkan terjadinya cedera,

waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih lama, kerugian

material, dan menurunkan produktivitas kerja. Sikap kerja tidak alamiah seperti

membungkuk, memutar badan, mengangkat lengan merupakan sikap kerja tidak

alamiah yang dapat menimbulkan beban mekanis lokal pada otot, ligamen dan

sendi tubuh (Dul dan Weerdmeester, 2008). Demikian juga sikap kerja berdiri

membungkuk dalam waktu yang lama akan menyebabkan kelelahan otot dan

perubahan struktur sistem muskuloskeletal. Keluhan yang akan muncul antara lain

rasa kurang nyaman dan berlanjut dengan munculnya keluhan rasa sakit pada

beberapa bagian tubuh lainnya.

Bila keluhan sakit yang diakibatkan oleh sikap kerja yang tidak fisiologis

tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan dampak merugikan

baik dampak jangka pendek maupun dampak jangka panjang. Dampak jangka

pendek yang bisa muncul antara lain meningkatnya kesalahan kerja, berkurangnya

hasil kerja, timbulnya keluhan subjektif, dan sebagainya. Sedangkan dampak

jangka panjang yang dapat terjadi adalah perubahan struktur (patologis) pada

jaringan otot yang ditandai dengan munculnya rasa sakit dengan cepat walau

bekerja hanya sebentar atau saat membungkukkan badan (Kroemer dan

Grandjean, 2009).

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diperhatikan beberapa kriteria

sikap kerja yang ideal dalam melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan

(Pheasant,1991; Sutajaya, 1998) yaitu:


38

1 Otot yang bekerja secara statis sedikit

2 Dalam bekerja memakai tangan dilakukan secara mudah dan alamiah

3 Muscullar effort yang relatif kecil dapat dipertahankan

4 Sikap kerja yang berubah-ubah atau dinamis lebih baik dari pada sikap kerja

yang statis rileks

5 Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang.

Selain itu, menurut Pheasant (1991), ada tujuh prinsip dasar dalam

mengatasi sikap tubuh dalam bekerja adalah sebagai berikut :

1 Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala

2 Cegah inklinasi ke depan pada tubuh

3 Cegah menggunakan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat

4 Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin)

5 Persediaan hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.

6 Sediakan sandaran punggung dan pinggang pada semua tempat duduk

7 Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya pada posisi yang mengakibatkan

gerakan maksimum.

Sikap kerja pekerja peternakan dalam memberikan pakan dengan

menggunakan gayung adalah berdiri membungkuk, badan dan kepala condong ke

depan, pinggang memuntir untuk mengambil pakan di dalam kampil untuk

kemudian dituangkan ke dalam tempat pakan. Sikap tersebut bertentangan dengan

beberapa prinsip dasar sikap tubuh yang baik dalam bekerja. Dalam perbaikan alat

kerja sebaiknya memperhatikan prinsip-prinsip kerja yang telah diuraikan di atas

dengan baik dan benar.


39

Alternatif untuk perbaikan kondisi tersebut di atas adalah dengan

melakukan redesain alat pemberian pakan dengan menggunakan kampil pakan.

Telah banyak penelitian yang dilakukan dan membuktikan bahwa redesain alat

dapat mengurangi keluhan muskuloskeletal diataranya; pada pekerjaan pelubang

plastik mulsa di kebun stroberi di Desa Bedugul (Yusuf, 2016), pengerajin kayu di

Bogor (Ruskanda, 2005), pengerajin selongsong peluru di Kamasan Klungkung

(Soewarno, 2005)

2.4. Sistem Kerja

Sistem terdiri dari komponen-komponen yang terhubung melalui

mekanisme tertentu yang memiliki tujuan bersama. Kerja adalah kegiatan

melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam satu sistem. Sistem kerja adalah

sistem yang berlandaskan teknik-teknik dan prinsip-prinsip yang mengatur

komponen-komponen yang terdiri dari manusia dengan sifat dan kemampuannya,

bahan, perlengkapan dan peralatan kerja, serta lingkungan kerja sedemikian rupa

sehingga dicapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi yang diukur

dengan waktu yang dihabiskan, tenaga yang dipakai serta akibat-akibat psikologis

dan sosiologis yang ditimbulkannya (Sutalaksana, dkk, 1979). Menurut

Wignjosoebroto (2005) yang dimaksud dengan sistem kerja adalah suatu sistem

dimana komponen-komponen seperti manusia sebagai operator, mesin atau

fasilitas kerja lainnya, material serta lingkungan kerja fisik akan berinteraksi.

Sistem kerja harus dirancang berdasarkan kapasitas dan kondisi setiap

komponen yang menyusunnya, agar tidak terjadi hambatan dan sistem. Manusia
40

sebagai komponen dalam sebuah sistem memiliki keterbatasan-keterbatasan

dalam hal kemampuan dan kebolehan sehingga perlu mendapat perhatian ketika

merancang sistem kerja. Manusia mengalami kelelahan setelah melakukan

pekerjaan, apalagi pekerjaan tersebut tergolong berat maka akan lebih cepat lelah,

timbul berbagai keluhan atau penyakit akibat sikap kerja yang tidak fisiologis dan

rasa bosan akibat pekerjaan yang monoton.

Sistem kerja pada proses pemberian pakan di peternakan ayam broiler

belum fisiologis sehingga perlu dilakukan perubahan sistem yang lebih fisiologis.

sistem kerja harus menempatkan manusia atau pekerja sebagai pusat perhatian

yang dikaitkan dengan tasks, organisasi, dan lingkungan. Disain organisasi

menyangkut; kerja bergilir, pengaturan jam kerja, istirahat dan pemberian nutrisi

yang harus disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikis pekerja. Sistem kerja

yang ergonomi adalah sistem kerja yang dapat meningkatkan produktivitas,

efisiensi dan keselamatan kerja. Selanjutnya sistem kerja juga dikatakan

ergonomis apabila secara fisiologi, antropometri, biomekanik, dan psikologi serasi

dengan manusia sebagai pekerja.

2.5. Jam Kerja dan Istirahat Kerja

Jam kerja berlebihan di luar batas kemampuan, apalagi pekerjaan itu berat,

jelas akan menjadi sumber terjadinya hal – hal yang tidak diinginkan. Paling

sedikit akan terjadi kelelahan yang sangat merugikan dilihat dari pelaksanaan

tugas. Beban kerja fisik yang terlalu berat dan dilakukan dalam jangka waktu

yang lama akan mempercepat munculnya kelelahan. Dan apabila mikroklimat


41

tidak memadai seperti penerangan yang kurang, bising yang berkepanjangan, suhu

di sekitar dan kelembaban yang tinggi, juga akan mempercepat munculnya

kelelahan. Gizi yang kurang, adanya penyakit, atau rasa sakit akibat sikap paksa

juga merupakan sumber munculnya kelelahan. Akhirnya, suasana kerja yang tidak

nyaman, adanya beban mental (psikologis) serta pekerjaan yang monoton dapat

dipastikan sebagai sumber kelelahan.

Kelelahan adalah suatu keadaan sementara yang ditimbulkan oleh

aktivitas/jam kerja berlebihan atau berkepanjangan yang dimanifestasikan sebagai

penurunan fungsi aktivitas, fungsi kapasitas organ, baik pada organ itu sendiri

atau seluruh tubuh, dan dirasakan spesifik sebagai kelelahan umum.

Pullat (1997) menyarankan pekerja di lingkungan industri melakukan

istirahat pendek beberapa kali selama waktu kerja, sebagai ganti istirahat yang

diambil sekali. Sebagai contoh 10 menit waktu istirahat setiap jamnya, berarti

bahwa mengharapkan hanya 50 menit efektif bekerja setiap jamnya. Dengan

demikian, operator dapat mengambil 10 menit istirahat setiap jam atau 5 menit

istirahat setiap 30 menit, terutama pekerjaan yang tergolong berat.

Memberi waktu istirahat pendek dapat meningkatkan dan

mempertahankan prestasi kerja (Kroemer dan Grandjean, 2009). Melalui aplikasi

ergonomi, masalah ini bisa dipecahkan, tidak hanya untuk membuat mereka

bekerja menyelesaikan tugas tetapi bekerja lebih produktif. Ini dicapai karena

irama kerja akan tetap sama besar/efektif selama jam kerja berlangsung.

Manusia tidak dapat menjaga tingkat aktivitas fisik dalam jangka waktu

yang lama. Mereka memerlukan istirahat secara periodik untuk mengembalikan


42

kondisi yang melemah akibat tugas pekerjaan (Pulat, 1997). Waktu istirahat akibat

kegiatan fisik dihitung melalui studi waktu atau dengan metode fisiologis.

Pengukuran kerja dengan studi waktu memberikan hasil yang lebih mendekati.

Sebagai contoh, 15% waktu istirahat diterapkan dari waktu kerja normal untuk

menghitung waktu standar kerja pada pekerjaan yang menangani pergudangan.

Sementara dengan metode fisiologis, waktu istirahat ditentukan berdasarkan

perubahan biorespon terhadap kerja, berdasarkan pengeluaran energi

metabolisme.

Jam kerja optimal manusia adalah 8 jam, sehingga tidak fisiologis

menambah jam lembur seseorang setiap harinya. Yang bisa ditoleransi adalah 1

jam lembur setelah 8 jam kerja. Inipun dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja

tersebut ada 2 periode rehat dan 1 periode makan siang . Untuk para pekerja berat,

rehat pendek harus lebih banyak lagi. Pekerjaan lembur dikerjakan jika dirasakan

penambahan jam kerja itu perlu, terutama di dalam mengejar target. Daripada

mengorganisasikan lembur untuk karyawan selama 3-4 jam, lebih baik diatur

melalui kerja malam selama 8 jam dengan mengangkat karyawan baru atau

memanfaatkan karyawan yang belum berfungsi optimal (Manuaba, 1992). Perlu

menjadi perhatian bahwa seringkali produksi yang dijadikan sasaran dan

produktivitas yang diinginkan tidak tercapai karena hilangnya man hours yang

cukup besar karena lay out yang tidak baik, cara kerja yang penuh kesulitan

karena kesalahan disain kerja dan organisasi kerja yang tidak tepat.
43

2.6. Istirahat Pendek

Istirahat pendek adalah istirahat sejenak di sela-sela kerja. Istirahat pendek

sangat diperlukan sebagai kebutuhan fisiologis jika kinerja dan efisiensi ingin

dipertahankan (Kroemer dan Grandjean, 2009). Dari sudut pandang fisiologi,

tidak seorangpun bisa mengerjakan baik kerja fisik mapun kerja mental secara

terus menerus tanpa henti. Istirahat kerja dibedakan menjadi 4 jenis yaitu; (1)

istirahat spontan, (2) istirahat curian, (3) istirahat karena kondisi pekerjaan, (4)

istirahat resmi.

Istirahat spontan adalah istilah atas inisiatif pekerja sendiri. Biasanya tidak

terlalu lama dan sering terjadi jika jenis pekerjaan adalah berat. Istirahat curian

adalah waktu dimana pekerja menempatkan dirinya dengan santai dari tugas rutin,

relaks dari pekerjaan utamanya. Banyak pekerjaan memberikan peluang istirahat

curian seperti membersihkan bagian mesin, merapikan meja, membuka gorden,

menurunkan atau menaikkan terperatur AC, duduk lebih nyaman atau bahkan

meninggalkan tempat kerja. Istirahat karena kondisi kerja adalah semua istirahat

yang timbul akibat operasional mesin atau alat kerja atau kondisi lain yang

menyebabkan pekerja mendapatkan waktu istirahat, misalnya; menunggu mesin

menyelesaikan pekerjaannya, mendinginkan/memanaskan alat dan lain-lain.

Termasuk juga waktu tunggu yang merupakan waktu senggang yang bisa

dimanfaatkan untuk istirahat seperti waktu tunggu pelanggan atau order. Pada

pekerjaan dengan sistem ban berjalan, kondisi istirahat tergantung dari kecepatan

mesin dan kecepatan serta ketangkasan pekerja. Istirahat resmi adalah berhenti
44

bekerja untuk istirahat yang telah diatur oleh manajemen tempat kerja, contohnya

istirahat siang untuk makan siang, istirahat untuk minum teh/makan gudapan.

Secara ergonomi istirahat pendek bisa menghindari lelah yang berlebihan,

atau ketegangan dengan suatu interval relaksasi. Dengan memberikan istirahat 5

menit pada pekerja yang mengangkat dan menurunkan barang yang berlangsung 9

menit, terjadi waktu pemulihan dan dapat mencegah kelelahan otot di tempat kerja

(Shin dan Kim 2007). Semua pekerjaan baik di sektor pertanian, peternakan,

industri, perkantoran direkomendasikan untuk istirahat sejenak 10 – 15 menit

pada pagi hari dan sore hari. Istirahat ini bertujuan untuk mengurangi kelelahan,

memberikan kesempatan untuk makan atau minum, serta memberikan kesempatan

untuk melakukan kontak sosial.

Rekomendasi untuk pengaturan waktu istirahat adalah sebagai berikut

(Kroemer dan Grandjean, 2009) :

1 Bila pekerjaan tergolong berat atau bekerja di tempat yang sangat panas,

istirahat sepatutnya sesuai dengan kebutuhan maksimal setiap jamnya.

2 Untuk pekerjaan yang tergolong fisik moderat atau usaha mental harus ada

istirahat 10-15 menit pada pagi dan sore hari.

3 Pekerjaan yang memerlukan mental berat khususnya jika waktu tunggu sangat

sedikit, harus ada tambahan istirahat pada pagi dan sore, satu atau dua periode

istirahat pendek 3-5 menit, sebelum dan setelah tengah hari.

4 Jika mempelajari keterampilan atau magang, waktu istirahat pendek sangat

penting dengan frekwensi dan lama yang bervariasi disesuaikan dengan

kesulitan pekerjaan yang dipelajari.


45

2.7. Beban kerja

2.7.1 Pengertian beban kerja

Beban kerja (work load) merupakan faktor stressor tubuh yang berasal dari

dalam (internal) maupun luar tubuh (eksternal) yang mempengaruhi seseorang

dalam melakukan pekerjaannya (Rodahl, 2008). Dalam mengerjakan suatu

pekerjaan, seorang pekerja akan dihadapkan dengan suatu keadaan beban kerja

yang berlebihan, beban kerja yang kurang dan beban kerja yang optimal. Secara

umum beban kerja seorang pekerja dibedakan menjadi dua yaitu;

1 Beban kerja eksternal (external load) yang sering disebut stressor adalah

beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang sedang dilakukan dan

mempunyai ciri- ciri khusus yang berlaku untuk semua orang. Beban kerja

eksternal bisa didapatkan dari beberapa faktor antara lain; (1) tugas (task)

yang meliputi: jenis pekerjaan, analisis pekerjaan yang bisa bersifat kualitatif

atau kuantitatif, kegiatan fisik, peralatan yang digunakan, cara kerja dan

tempat kerja, (2) organisasi yang meliputi kerja tim, lama kerja, jadwal kerja

istirahat, penggajian, penghargaan dan sangsi, (3) lingkungan kerja yang

meliputi suhu lingkungan, kelembaban udara, intensitas penerangan,

kebisingan, vibrasi, debu, sosial budaya dan sebagainya, (4) aspek manusia

yang meliputi ukuran tubuh dan biomekanik.

2 Beban kerja internal (internal load) yang sering disebut strain adalah beban

kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja yang berkaitan dengan adanya

harapan, keinginan, kepuasan, taboo dan lain-lain. Beban kerja internal


46

meliputi; (1) beban somatis diantaranya; jenis kelamin, umur, ukuran tubuh,

pendidikan, latihan/pengalaman dan adaptasi, (2) beban psikis meliputi

motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, harapan, norma adat dan budaya,

ketegangan akibat manajemen.

2.7.2 Penilaian beban kerja

Beban kerja dapat diukur dengan beberapa kriteria. Dalam penilaian beban

kerja, ada dua kriteria yang dapat dipakai (Rodahl, 2008) yaitu:

1 Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang

meliputi reaksi fisiologis, perubahan psikologis dan perubahan perilaku.

2 Kriteria subjektif, yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai

pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan

yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan.

Penilaian beban kerja secara objektif yang paling mudah dan murah dan

secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya seperti pada pengukuran denyut

nadi. Frekwensi nadi kerja dari seluruh jam kerja, selanjutnya dipakai dasar

penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berbanding lurus

dengan pengambilan oksigen. Hal ini merupakan refleksi dari proses reaksi

(strain) terhadap stressor yang diberikan oleh tubuh, dimana biasanya besar strain

berbanding lurus dengan stresss (Adiputra, 1998).

Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan

menggunakan kuesioner. Kuesioner tersebut akan menunjukkan tanda tanda yang

menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang
47

membebaninya oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaannya, tempat

kerja, organisasi/cara kerja, peralatan kerja dan lingkungan (Bridger, 2008)

Penilaian beban kerja juga dapat dilihat dari beberapa variabel seperti

pemakaian O2, penggunaan kalori dan denyut nadi. Berikut adalah perbedaan

tingkat beban kerja berdasarkan pemakaian oksigen, konsumsi kalori dan denyut

nadi (Kroemer dan Grandjean, 2009) yaitu :

Tabel 2.2
Tingkat Beban Kerja Menurut Keluaran Energi
Keluaran Denyut Konsumsi
Keluaran Energi
Tingkat Beban Kerja energi/8 Jam nadi oksigen
(Kcal/min)
(Kcal) (dpm) (l/menit)
Istirahat 1.5 < 720 60 – 70 0.3
Beban kerja sangat ringan 1.6 – 2.5 768 – 1200 70 – 75 0.32 – 0.5
Beban kerja ringan 2.5 – 5.0 1200 – 2400 75 – 100 0.5 – 1.0
Beban kerja sedang 5.0 – 7.5 2400 – 3600 100 – 125 1.0 – 1.5
Beban kerja berat 7.5 – 10.0 3600 – 4800 125 – 150 1.5 – 2.0
Beban kerja sangat berat 10.0 – 12.5 4800 – 6000 150 – 180 2.0 – 2.5
Beban kerja luar biasa berat > 12.5 > 6000 > 180 > 2.5
Sumber : Sanders & Mc Cormic, 1997

Cara lain untuk menentukan klasifikasi beban kerja fisik adalah klasifikasi

Vanwonterghem, yaitu klasifikasi beban kerja fisik berdasarkan beban

kardiovaskuler (cardio vascular load; CVL) yang dihitung berdasarkan frekwensi

denyut nadi istirahat, denyut nadi kerja dan denyut nadi maksimal (Intaranont &

Vanwonterghem, 1993). Hasil perhitungannya berupa persentase CVL yang dapat

menunjukkan tingkat beratnya beban kerja. Rumus menghitung CVL adalah

sebagai berikut;
48

100 x (denyut nadi kerja – denyut nadi istirahat)


% CVL =
Denyut nadi maksimal – denyut nadi istirahat
Keterangan
* Denyut nadi maksimum untuk pria = 220 – umur
* Denyut nadi maksimum untuk wanita = 200 – umur

Rumus 2.1 Rumus Menghitung CVL

Berdasrkan beban kardiovaskuler, beban kerja fisik diklasifikasikan seperti

tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.3
Klasifikasi Beban Kerja Berdasarkan Beban Kardiovaskuler
Tingkat %CVL Klasifikasi beban Keterangan
pembebanan kerja
0 < 30% Ringan Tidak terjadi pembebanan, tidak
perlu tindakan perbaikan
1 30 s.d < 60% Sedang Perlu perbaikan (attention level,
improvment measurment advised)

2 60 s.d < 80 % Berat Perbaikan diperlukan dalam


waktu singkat (action required on
short term)

3 80 s.d < 100% Sangat berat Perlu segera tindakan perbaikan


(immidietly action required),
Stop pekerjaan
Sumber, Suyasning (1998)

2.7.3 Denyut nadi sebagai alat ukur beban kerja

Pengukuran denyut nadi selama kerja merupakan salah satu metode untuk

menilai beban kardiovaskular. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk

menghitung denyut nadi adalah dengan metode palpasi yaitu meraba denyut nadi

pada arteri radialis dan dicatat secara manual memakai jam henti (stopwatch)

menggunakan metode sepuluh denyut (Kilbon, 1992 dalam Wilson 2005). Beban
49

kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah otot yang berkontraksi, tetapi juga

ditentukan oleh beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan

kerja yang dapat mempengaruhi denyut nadi. Denyut nadi akan berubah seirama

dengan perubahan pembebanan mekanika, fisika maupun psikis. Oleh karena itu,

denyut nadi dapat digunakan untuk mengkur beban kerja (Kroemer dan

Grandjean, 2009).

Keuntungan penggunaan nadi kerja untuk menilai beban kerja adalah

selain prosesnya mudah, cepat, murah, tidak diperlukan peralatan yang mahal dan

hasilnya juga cukup reliabel. Selain itu alat ukur denyut nadi yang efektif adalah

menggunakan alat Heart Rate Monitor Life Souce. Dengan alat ini denyut nadi

selama kerja dapat terukur dengan baik.

2.8. Keluhan Muskuloskeletal

Astrand dan Rodahl (2003) menyatakan bahwa terlepas dari jenis

pekerjaan yang dilakukan, manusia yang bekerja akan terjadi kontraksi dan

relaksasi secara bergantian pada otot-otot tubuhnya. Hal itu terjadi sebagai akibat

aktivitas anggota gerak dalam menjaga posisi dan postur tubuh tetap stabil atau

gerakan tertentu dalam menjalankan tugas. Semakin banyak gerakan yang

berlawanan dengan kaidah faal gerakan, semakin banyak energi yang digunakan.

Semakin banyak sikap tubuh melawan sikap netral tubuh, maka semakin banyak

otot-otot yang bekerja. Demikian pula kalau tubuh semakin terfiksir dalam suatu

posisi kerja tertentu, akan semakin lama kelompok otot tertentu berkontraksi.

terlebih lagi kalau hal itu dilakukan secara berulang-ulang, maka akan terjadi
50

kelelahan otot (Astrand dan Rodahl, 2003; Kroemer dan Grandjean, 2009).

Bentuk dari kelelahan otot disertai dengan sensasi sakit yang terjadi pada otot

dapat dideteksi dengan adanya keluhan pada otot-otot. Jenis otot mana yang

terpengaruh, tergantung pada beratnya tugas dan tingkat monotonnya gerakan.

Secara garis besar keluhan otot dikelompokkan menjadi dua (Kroemer dan

Grandjean, 2009) yaitu :

1 Keluhan sementara (reversibel), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis dan keluhan tersebut akan segera hilang apabila

pemberian beban dihentikan.

2 Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,

walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, rasa sakit pada otot masih

terus berlanjut.

Keluhan pada sistem muskuloskeletal, biasanya merupakan keluhan yang

bersifat kronis, artinya keluhan ini sering dirasakan beberapa lama setelah

melakukan aktivitas dan sering meninggalkan residu yang dirasakan pada hari-

hari berikutnya. Untuk mengatasi kondsisi tersebut, maka sebaiknya desain

pengukuran dilakukan sebelum dan setelah melakukan pekerjaan (pre dan post

test). Perbedaan skor hasil antara sebelum kerja dan sesudah kerja merupakan skor

gangguan sistem muskuloskeletal yang sebenarnya.

Keluhan otot yang terjadi pada organ tubuh tertentu dapat ditelusuri

dengan menggunakan beberapa alat ukur ergonomi mulai dari alat yang sederhana

hingga menggunakan peralatan canggih dengan sistem komputer. Beberapa alat

ukur yang sering digunakan antara lain adalah; electromyography, pengukuran


51

biomekanik otot, metode observasional termasuk OWAS (Ovako Working

Analysis System), RULA (Rapid Upper Limb Assessment), REBA (Rapid Entire

Body Assessment), tabel psikofisik, model fisik dan pengukuran subjektif.

Salah satu metode subjektif untuk menilai keluhan otot skeletal adalah

penilaian keluhan otot sekeletal pada bagian tubuh tertentu dengan menggunakan

Nordic Body Map baik dengan rating maupun rangking (Corlett, 1992 dalam

Wilson, 2005. David., dkk, 2008). Cara penggunaannya adalah dengan

menanyakan responden/pekerja mengenai bagian-bagian tubuh yang mengalami

keluhan nyeri, pegal atau ketidaknyamanan. Keberhasilan aplikasi metode ini

sangat tergantung dari situasi dan kondisi yang dialami pekerja pada saat

dilakukannya penilaian dan juga tergantung dari pengalaman dan keahlian

observer yang bersangkutan. Namun demikian, metode ini telah secara luas

digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan

pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup

baik (Tarwaka, 2014).

Pengukuran gangguan sistem muskuloskeletal dengan menggunakan

Nordic Body Map sebaiknya digunakan untuk menilai tingkat keparahan

gangguan sistem muskuloskeletal individu dalam kelompok kerja yang cukup

banyak atau kelompok sampel yang dapat merepresentasikan populasi secara

keseluruhan. Jika metode ini dilakukan hanya untuk beberapa orang pekerja di

dalam kelompok populasi kerja yang besar, maka hasilnya tidak akan valid dan

reliabel.
52

Dalam aplikasinya, metode Nordic Body Map dengan menggunakan

lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat

sederhana, mudah dipahami, murah, memerlukan waktu yang sangat singkat (+ 5

menit) per individu. Observer dapat langsung mewawancarai atau menanyakan

kepada responden, pada bagian mana dari sistem muskuloskeletal yang

mengalami kenyerian atau sakit, atau dengan menunjuk langsung pada setiap

bagian sistem muskuloskeletal sesuai dengan gambar yang tercantum dalam

lembar kuisioner Nordic Body Map (Gambar . 2.2)

Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal

pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas

yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot kaki. Kelelahan

otot sesuai dengan Nordic Body Map dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; (1)

bagian otot trunkus yang terdiri dari; leher bagian atas, leher bagian bawah,

punggung, pinggang, bokong dan pantat, (2) bagian otot ekremitas bagian atas

terdiri dari; bahu kiri, bahu kanan, lengan atas kiri, lengan atas kanan, siku kiri,

siku kanan, lengan bawah kiri, lengan bawah kanan, pergelangan tangan kiri,

pergelangan tangan kanan, tangan kiri dan tangan kanan. (3) bagian otot ekremitas

bagian bawah terdiri dari; paha kiri, paha kanan, lutut kiri, lutut kanan, betis kiri,

betis kanan, pergelangan kaki kiri, pergelangan kaki kanan, kaki kiri dan kaki

kanan. Ilustrasi dan gambaran lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8

Penilaian dengan menggunakan kuisioner Nordic Body Map dapat

dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan menggunakan dua jawaban

sederhana (data nominal) yaitu “YA” (ada keluhan atau rasa sakit) atau “TIDAK”
53

(tidak ada keluhan atau rasa sakit). Tetapi lebih baik untuk menggunakan desain

menggunakan skoring (misalnya 4 skala Likert). Apabila menggunakan skala

Likert, maka setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang

jelas dan mudah dipahami oleh responden. Berikut adalah contoh desain penilaian

dengan 4 skala Likert:

 Skor 0 = responden tidak merasakan keluhan/kenyerian pada otot atau tidak

ada rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja selama

melakukan pekerjaan (tidak sakit)

 Skor 1 = responden merasakan sedikit adanya keluhan atau rasa nyeri pada

bagian otot, tetapi belum mengganggu pekerjaan (agak sakit)

 Skor 2 = responden merasakan adanya keluhan/rasa nyeri pada bagian otot dan

sudah mengganggu pekerjaan, tetapi rasa sakit segera hilang setelah

dilakukan istirahat (sakit)

 Skor 3 = responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri pada

bagian otot dan rasa nyeri tidak segera hilang meskipun telah

beristirahat yang lama atau bahkan diperlukan obat pereda nyeri otot

(sangat sakit)

Selanjutnya, setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian

kuesioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari

seluruh bagian sistem muskuloskeletal (28 bagian sistem muskuloskeletal) yang di

observasi. Pada disain 4 skala Likert, maka akan diperoleh skor individu terendah

sebesar 0 dan skor tertinggi 84. Total skor akhir yang diperoleh dapat langsung

digunakan dalam uji statistik yang telah direncanakan sebelumnya.


54

Gambar 2.8
Lembar Kerja Kuesioner Individu Nordic Body Map

Kemudian langkah terakhir dari aplikasi Nordic Body Map adalah

melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan ataupun posisi/sikap kerja, jika

diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat keparahan pada sistem muskuloskeletal

yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat tergantung

dari risiko sistem muskuloskeletal mana saja yang mengalami gangguan atau

ketidaknyamanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya

adalah dengan melihat persentase pada setiap bagian sistem muskuloskeletal dan

dengan menggunakan katagori tingkat risiko sistem muskuloskeletal. Tabel 2.4

menunjukkan pedoman sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan

klasifikasi subjektif tingkat risiko sistem muskuloskeletal.


55

Tabel 2.4.
Klasifikasi Subjektif Tingkat Risiko Sistem Muskuloskeletal Berdasarkan Total
Skor Individu

Total Skor Tingkat Katagori Tindakan Perbaikan


Keluhan Individu Risiko Risiko
0 – 20 0 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan
perbaikan
21 – 41 1 Sedang Mungkin diperlukan tindakan di kemudian
hari

42 – 62 2 Tinggi Diperlukan tindakan segera

63 – 84 3 Sangat Diperlukan tindakan menyeluruh sesegera


Tinggi mungkin

2.9. Kelelahan

Kelelahan bagi setiap orang lebih bersifat subjektif karena terkait dengan

perasaan. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari

setiap individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan

penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan adalah suatu

mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut

sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat (Tarwaka, 2014). Perasaan lelah

adalah adalah reaksi fungsional dari pusat kesadaran (cortex cerebri) yang

dipengaruhi oleh dua sistem yang bersifat antagonis yaitu sistem penghambat

(inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat dilakukan oleh

sistem saraf parasimpatis yang terletak dalam thalamus yang mampu menurunkan

kemampuan manusia bereaksi yang menyebabkan kecenderungan untuk tidur.

Sedangkan sistem saraf simpatis yang terdapat dalam formatio retikularis

berfungsi sebagai sistem penggerak dengan merangsang pusat-pusat vegetatif


56

untuk konversi ergotropis dari anggota gerak untuk bekerja (Kroemer dan

Grandjean, 2009)

2.9.1. Jenis kelelahan

Secara fisiologis, menurut taksonomi kelelahan, kelelahan dapat

diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu kelelahan kelelahan yang bersifat lokal

dan kelahan umum. Kelelahan lokal disebabkan oleh pekerjaan statis maupun

dinamis yang sering dirasakan sebagai perasaan nyeri pada otot maupun gerakan

tremor. Sedangkan kelelahan secara umum adalah kelelahan yang terlihat dari

gejala perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motorik, perasaan sakit

dan berat pada bola mata sehingga akan mempengaruhi kegiatan fisik maupun

mental (Kroemer dan Grandjean, 2009).

Sedangkan menurut Adiputra (1998) kelelahan dibedakan menjadi dua

yaitu kelelahan fisiologis dan kelelahan psikologis. Kelelahan fisiologis adalah

kelelahan yang timbul karena perubahan fisiologis atau hilangnya secara temporer

kapasitas psiko-fisiologis yang disebabkan oleh perangsangan secara terus

menerus. Kelalahan mental (psikologis) kelelahan semu yang timbul dalam

perasaan dan terlihat dalam tingkah lakuknya, atau pendapat-pendapatnya yang

tidak konsisten sertanya jiwanya yang labil.

Kelelahan fisiologis terjadi akibat terkumpulnya produk sisa metabolisme

seperti asam laktat di dalam otot dan peredaran darah yang dapat merangsang

reseptor nyeri sehingga dirasakan sebagai nyeri atau ketidaknyamanan. Sisa

metabolisme dan ketidaknyamanan tersebut bersifat membatasi kelangsungan


57

aktivitas otot, sehingga orang tidak sanggup lagi melakukan aktivitas kerja

sabagaimana mestinya.

Kelelahan yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan

menimbulkan beberapa gejala. Gejala tersebut seperti; (1) penurunan kestabilan

fisik, (2) kebugaran menurun, (3) gerakan lemah, (4) rasa tak mau bekerja, (5)

kesakitan meningkat dan (6) gangguan psikosomatik seperti sakit kepala, rasa

pusing, mengantuk, palpitasi, keringat dingin, nafsu makan menurun sampai

hilang, dan gangguan pencernaan.

2.9.2. Penyebab terjadinya kelelahan dan langkah-langkah mengatasinya

Penyebab terjadinya kelelahan bervariasi. Menurut Kroemer dan

Grandjean (2009), kelelahan kerja disebabkan beberapa faktor diantaranya; (1)

problem psikis meliputu; tanggungjawab, kekhawatiran, konflik, (2) kenyerian

(rasa nyeri) dan kondisi kesehatan, (3) status gizi dan nutrisi, (4) intensitas atau

lamanya kerja fisik maupun mental, (5) faktor lingkungan meliputi; penerangan,

suhu lingkungan, kelembaban, vibrasi dan kebisingan. Penyebab kelahan tersebut

akan terakumulasi pada individu untuk menyebabkan kelelahan sehingga

diperlukan usaha penyegaran maupun pemulihan untuk mengurangi tingkat

kelelahan yang muncul.

Untuk mengatasi kelelahan dengan tepat, maka perlu diketahui faktor yang

menyebabkan kelelahan. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana menangani

setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis.


58

2.9.3. Pengukuran kelelahan

Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara

langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para penelitisebelumnya

hanya berupa indikator-indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat

kerja. Grandjean (1993) dalam Tarwaka 2014 mengelompokkan metode

pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok diantaranya : (1) kualitas dan

kuantitas kerja, (2) uji psikomotor (psycomotor test), (3) uji hilangnya kelipan

(flicker-fusion test), dan (4) pengukuran kelelahan subjektif (subjective feelings

fatigue)

Subjective self rating test dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC)

Jepang, merupakan salah satu kuisioner yang dapat mengukur tingkat kelelahan subjektif

(Tabel 2.5). Kusioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan yang terdiri dari; 10

pertanyaan tentang pelemahan kegiatan (pertanyaan no 1 s/d 10), 10 pertanyaan

tentang pelemahan motivasi (pertanyaan no 11-20), dan 10 pertanyaan tentang

gambaran kelelahan fisik (pertanyaan no 21-30). Berkaitan dengan metode

pengukuran kelelahan subjektif, Sinclair (1992) dalam Tarwaka (2014),

menjelaskan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pengukuran subjektif

antara lain; rangking method, rating methode, quesionaire method, interviews dan

checklist.

Penilaian dengan menggunakan kuisioner kelelahan subjektif dapat

dilakukan dengan berbagai cara; misalnya dengan menggunakan dua jawaban

sederhana yaitu “YA” jika ada kelelahan dan “TIDAK” jika tidak ada kelelahan.

Tetapi akan lebih representatif jika menggunakan penilaian dengan skoring


59

(misalnya 4 skala Likert). Apabila menggunakan skala Likert, maka setiap skor

atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah

dipahami oleh responden. Berikut adalah contoh definisi pengertian desain

penilaian kelelahan subjektif dengan empat skala Likert;

 Skor 0 : tidak pernah merasakan

 Skor 1 : kadang-kadang merasakan

 Skor 2 : sering merasakan

 Skor 3 : sering sekali merasakan

Selanjutnya, setelah selesai melakukan wawancara dan pengisian

kuisioner, maka langkah berikutnya adalah menghitung jumlah skor pada masing-

masing kolom dari ke-30 pertanyaan yang diajukan dan menjumlahkannya

menjadi total skor individu. Berdasarkan desain penilaian ini, akan diperoleh skor

individu terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 90. Dalam penelitian, skor akhir

ini dapat langsung dientri dan diolah dalam uji statistik yang telah direncanakan

sebelumnya.

Langkah terakhir dari aplikasi kuisioner kelelahan subjektif ini adalah melakukan

upaya perbaikan pada pekerjaan, jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat kelelahan

yang tinggi. Tabel 2.6 merupakan pedoman sederhana yang dapat digunakan untuk

menentukan klasifikasi tingkat kelelahan subjektif.


60

Tabel 2.5
Kuisioner Kelelahan Subjektif

No Daftar pertanyaan Skoring


1 Apakah saudara ada perasaan berat di kepala? 0 1 2 3
2 Apakah saudara merasa lelah pada seluruh badan?
3 Apakah saudara merasa berat di kaki?
4 Apakah saudara sering menguap pada saat bekerja?
5 Apakah fikiran saudara kacau saat bekerja?
6 Apakah saudara merasa mengantuk ?
7 Apakah saudara merasa ada beban pada bagian mata?
8 Apakah gerakan saudara terasa canggung dan kaku?
9 Apakah anda merasakan pada saat berdiri tidak stabil?
10 Apakah anda merasa ingin berbaring?
11 Apakah saudara merasa susah untuk berfikir?
12 Apakah anda merasa malas untuk bicara?
13 Apakah saudara merasa gugup?
14 Apakah saudara merasa tidak dapat berkonsentrasi?
15 Apakah saudara merasa sulit memusatkan perhatian?
16 Apakah saudara merasa mudah melupakan sesuatu?
17 Apakah saudara merasa kepercayaan diri berkurang?
18 Apakah saudara merasa cemas
19 Apakah saudara merasa sulit untuk mengontrol sikap?
20 Apakah saudara merasa tidak tekun dalam pekerjaan?
21 Apakah saudara merasakan sakit di bagian kepala?
22 Apakah saudara merasakan kaku di bagian bahu ?
23 Apakah saudara merasakan nyeri di bagian punggung?
24 Apakah saudara merasa sesak nafas
25 Apakah saudara merasa haus?
26 Apakah suara saudara terasa serak?
27 Apakah saudara merasa penin
28 Apakah saudara merasa ada yang mengganjal di kelopak
mata?
29 Apakah anggota badan sudara terasa gemetar?
30 Apakah saudara merasa kurang sehat ?
Jumlah skor masing-masing kolom
Total skor kelelahan individu
61

Tabel 2.6
Klasifikasi Tingkat dan Katagori Kelelahan Subjektif Berdasarkan Total Skor
Individu
Total skor Tingkat Katagori Tindakan Perbaikan
Individu Kelelahan Kelelahan
0 - 21 0 Rendah Belum diperlukan adanya tindakan
perbaikan
22 – 44 2 Sedang Mungkin diperlukan tindakan perbaikan
di kemudian hari
45 – 67 2 Tinggi Diperlukan tindakan segera

68 – 90 3 Sangat tinggi Diperlukan tindakan menyeluruh


sesegera mungkin

Kelelahan terjadi hanya bersifat sementara dan dapat pulih kembali setelah

diberikan istirahat dan energi secukupnya. Jika demikian kondisinya berarti itu

menunjukkan kelelahan yang ringan. Tetapi untuk kelelahan yang berat, diperlukan

waktu yang lama untuk mengadakan pemulihan kembali dan kadang diperlukan upaya

medis dan obat-obatan untuk mengatasinya. Pada beberapa kasus, kelelahan juga dapat

meninggalkan residu yang dirasakan pada hari berikutnya. Dan untuk mengatasi masalah

tersebut, maka sebaiknya desain pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah aktivitas

kerja (pre dan post test). Perbedaan hasil antara sebelum kerja dengan setelah kerja

merupakan nilai kelelahan yang sebenarnya dialami oleh para pekerja.

2.10. Produktivitas

2.10.1. Pengertian produktivitas kerja

Produktivitas merupakan suatu perbandingan antara keluaran dan masukan

per satuan waktu. International Labour Organization (ILO) yang dikutip oleh

Hasibuan (2007) mengungkapkan bahwa produktivitas adalah perbandingan

secara ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah setiap sumber yang

dipergunakan selama produksi berlangsung. Produktivitas adalah sikap mental


62

yang mementingkan usaha terus menerus untuk menyesuaikan aktivitas ekonomi

terhadap kondisi yang berubah. Sikap mental untuk menerapkan teori serta

metode-metode dan kepercayaan yang teguh akan kemajuan umat manusia.

Produktivitas dapat dikatakan meningkat jika jumlah keluaran meningkat

dengan jumlah masukan yang sama. Menurut Manuaba (1992) peningkatan

produktivitas dapat dicapai dengan menekan sekecil-kecilnya segala macam biaya

termasuk dalam memanfaatkan sumber daya manusia dan meningkatkan keluaran

sebesar besarnya.

2.10.2. Sumber dan prinsip-prinsip produktivitas kerja

Sumber produktivitas kerja adalah manusia sebagai tenaga kerja, baik

secara individual maupun secara kelompok, yang sepenuhnya terarah pada upaya

mencari cara yang memungkinkan manusia meningkatkan produktivitasnya dalam

bekerja, terutama berkenaan dengan peningkatan kualitas dalam melaksanakan

pekerjaannya. Sumber produktivitas kerja tersebut adalah:

1. Penggunaan pikiran. Produktivitas kerja dikatakan tinggi jika untuk

memperoleh hasil yang maksimal dipergunakan cara kerja yang paling mudah,

dalam arti tidak memerlukan banyak pikiran yang rumit dan sulit

2. Penggunaan tenaga jasmani/fisik. Produktivitas kerja dikatakan tinggi

bilamana dalam mengerjakan sesuatu menggunakan kekuatan fisik diperoleh

hasil yang jumlahnya terbanyak dan mutunya terbaik.

3. Penggunaan waktu; produktivitas dari segi waktu, berkenaan dengan cepat atau

lambatnya mencapai suatu hasil dalam bekerja.


63

4. Penggunaan ruangan. Suatu pekerjaan dikatakan produktif bila menggunakan

ruang yang luasnya wajar, sehingga tidak memerlukan mobilitas yang jauh.

5. Penggunaan material/bahan dan uang. Suatu pekerjaan dikatakan produktif,

jika penggunaan material/bahan baku dan peralatan lainnya tidak terlalu

banyak yang terbuang dan harganya tidak terlalu mahal, tanpa mengurangi

mutu hasil yang dicapai, dan pekerjaan tersebut dikatakan hemat

(Sedarmayanti, 2004).

Prinsip- Prinsip Produktivitas Kerja Adapun Prinsip-prinsip produktivitas

kerja adalah sebagai berikut:

1. Apabila input turun, output tetap maka produktivitas meningkat.

2. Apabila input turun, output naik maka produktivitas meningkat.

3. Apabila input tetap, output naik maka produktivitas naik

4. Apabila input naik, output naik dimana jumlah kenaikan output lebih besar dari

kenaikan input maka produktivitas meningkat.

5. Apabila input turun, output turun dimana turunnya output lebih kecil dari

turunya input maka produktivitas meningkat.

2.10.3. Pengukuran produktivitas kerja

Menurut Dharma (1995) untuk dapat mengukur tingkat produktivitas para

karyawan, diperlukan evaluasi secara objektif. Untuk mengetahui tingkat

produktivitas kerja dari setiap karyawan, maka perlu dilakukan sebuah

pengukuran produktivitas kerja. Pengukuran produktivitas tenaga yang dapat


64

diterima secara luas adalah dengan sistem masukan fisik per orang atau per waktu

kerja. Waktu kerja dapat dihitung dengan satuan jam, hari atau tahun.

Pengukuran diubah ke dalam unit-unit pekerja yang diartikan sebagai

jumlah kerja yang dapat dilakukan dalam satu jam oleh pekerja yang bekerja

menurut pelaksanaan standar. Menurut Dharma (1995), bahwa cara pengukuran

produktivitas kerja perlu mempertimbangkan hal - hal sebagai berikut:

1. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan Pengukuran kuantitatif

melibatkan perhitungan dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Hal ini

berkaitan dengan jumlah keluaran (output) yang dihasilkan.

2. Kualitas, yaitu mutu yang dihasilkan Pengukuran kualitatif keluaran (output)

menceriminkan “tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaian dari

suatu pekerjaan.

3. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang telah direncanakan

Pengukuran ketepatan waktu merupakan pengukuran kuantitatif yang

menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.

Sehingga produktivitas kerja merupakan suatu konsep yang menunjukkan

adanya kaitan antara hasil kerja dengan satuan waktu yang dibutuhkan untuk

menghasilkan produk tertentu dari seorang tenaga kerja. Sehingga rumus yang

dapat menjelaskan cara menghitung produktivitas kerja adalah sebagai berikut:

P= O .
IxT
Keterangan
P = Produktivitas O = Output (luaran)
I = Input (masukan) T = Waktu

Rumus 2.2
Rumus Produktivitas
65

Menurut Sinungan, (2009) bahwa pengukuran produktivitas berarti

perbandingan yang dapat dibedakan dalam tiga jenis yang sangat berbeda, yaitu:

1. Perbandingan–perbandingan antara pelaksanaan sekarang dengan pelaksanaan

sebelumnya

2. Perbandingan pelaksanaan antara satu unit (perorangan tugas, seksi, proses)

dengan lainnya.

3. Perbandingan pelaksanaan sekarang dengan targetnya.

2.10.4. Manfaat dari penilaian produktivitas kerja

Menurut Sinungan (2009) manfaat dari pengukuran produktivitas kerja

adalah sebagai beikut:

1. Umpan balik pelaksanaan kerja untuk memperbaiki produktivitas kerja

karyawan.

2. Evaluasi produktivitas kerja digunakan untuk penyesuaian, misalnya

pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

3. Untuk keputusan-keputusan penempatan, misalnya promosi, transfer dan

demosi.

4. Untuk kebutuhan latihan dan pengembangan.

5. Untuk perencanaan dan pengembangan karier.

6. Untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan proses staffing.

7. Untuk mengetahui ketidakakuratan informasi

8. Untuk memberikan kesempatan kerja yang adil.

Anda mungkin juga menyukai