Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PRODUKSI AGENS HAYATI

PENGGUNAAN Chelonus Sp. SEBAGAI AGEN PENGENDALIAN HAYATI

Oleh:
Ngaji Alip
NIM A1D019014

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET


DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021

i
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha ESA atas karuniaNya,
sehingga penulisan Makalah Produksi Agens Hayati ini berhasil diselesaikan. Penulisan
makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu perkenankan penulis
mengucapkan terimakasih kepada.
1. Semua bapak dan ibu dosen mata kuliah Produksi Agens Hayati Fakultas Pertanian
Universitass Jenderal Soedirman, Purwokerto atas ijin praktikumnya.
2. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan laporan praktikum ini.
Penulis menyadari bahwa laporan praktikum ini masih kurang sempurna. Meskipun
demikian, penulis berharap agar laporan praktikum ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya.

Pekalongan, 16 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

PRAKATA ........................................................................................................................ ii
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan................................................................................................................... 2
II. PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
III. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................ 6
A. Kesimpulan........................................................................................................... 6
B. Saran ..................................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 7

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Morfologi Chelonus Sp. ......................................................................................... 4


Gambar 2. Bagian-bagian tubuh Chelonus Sp. ........................................................................ 4
.

iv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah hama sudah menjadi rutinitas yang dihadapi oleh petani dalam budidaya
tanaman. Berbagai teknologi pengendalian hama telah diaplikasikan tetapi persoalan hama
belum juga terselesaikan. Hama dapat menyebabkan kehilangan hasil pertanian setiap tahun.
Pengendalian OPT merupakan faktor terpenting untuk mendapatkan produksi pertanian yang
optimal. Oleh karena itu upaya manusia untuk mengendalikan OPT merupakan salah satu
bagian terpenting dalam kegiatan budidaya tanaman.
Saat ini, penggunaan agen pengendali hayati untuk pengendalian hama tanaman
mengalami kemajuan pesat. Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengendalian
organisme pengganggu tanaman dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman jenis agens
pengendali alami untuk mengelola organisme pengganggu tanaman agar tidak mencapai batas
populasi yang merugikan. Agensia pengendali hayati (biological control agens) yaitu setiap
organisme yang dalam tahap perkembangannya bisa dipergunakan untuk keperluan
pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu tumbuhan dalam proses produksi,
pengelolaan hasil pertanian dan keperluan lainnya. Pengendalian hama menggunakan musuh
alaminya merupakan hal yang banyak dianjurkan. Musuh alami berupa parasitoid, predator dan
patogen hama.
Di Indonesia sendiri dalam menanggulangi serangan dari hama telah diterapkan metode
pengendalian hayati yang dikendalikan dengan memasukkan musuh alaminya. Parasitoid
merupakan serangga yang hidup di dalam maupun di luar tubuh serangga lain untuk memenuhi
kebutuhan hidup serta menyelesaikan siklus hidupnya selama masa pradewasa. Salah satu
parasitoid yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati yaitu Chelonus Sp. Yang
dapat mengendalikan perkembangan dari S. frugiperda, S. litura, dan Batrachedra arenosella.
Mengingat peran dan manfaat parasitoid, predator, dan patogen serangga yang sangat nyata
maka keberadaannya perlu dipertahankan sehingga memungkinkan musuh alami
mengendalikan inangnya

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:


1. Bagaimana biologi dari Chelonus Sp?
2. Bagaimana morfologi dari Chelonus Sp?
3. Bagaimana mekanisme serangan Chelonus Sp. pada serangga hama?

1
C. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini yaitu:


1. Mengetahui biologi dari Chelonus Sp.
2. Mengetahui morfologi Chelonus Sp.
3. Mengetahui mekanisme serangan Chelonus Sp. pada serangga hama

2
II. PEMBAHASAN

Masalah kerusakan tanaman akibat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) telah
menjadi perhatian manusia sejak awal kegiatan budidaya tanaman. Pengendalian OPT
merupakan faktor terpenting untuk mendapatkan produksi pertanian yang optimal. Oleh karena
itu upaya manusia untuk mengendalikan OPT merupakan salah satu bagian terpenting dalam
kegiatan budidaya tanaman. Pengendalian hama serangga menggunakan musuh alaminya
merupakan hal yang banyak dianjurkan oleh pakar perlindungan tanaman saat ini. Hal ini sangat
selaras dengan tujuan program pengendalian hama terpadu (PHT) yang memperketat
penggunaan insektisida kimia ataupun program pertanian organik (Iman & Priyatno 2001).
Musuh alami berupa parasitoid, predator dan patogen hama. Keuntungan penggunaan musuh
alami yaitu mencegah pencemaran lingkungan oleh bahan kimia dari insektisida serta bersifat
permanen, efisien, berkelanjutan, tidak mengganggu dan merusak keragaman hayati, dan
kompatibel dengan cara pengendalian lainnya.
Penggunaan musuh alami dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pemanfaatan musuh alami
tanpa campur tangan manusia, dan pemanfaatan musuh alami secara terapan dengan campur
tangan manusia. Jenis agens pengendali hayati juga digolongkan menjadi dua yaitu musuh
alami yang mampu menyebar sendiri dan insektisida hayati (Arifin Kartohardjono, 2011).
Dalam pengendalian hayati terapan, musuh alami dari suatu wilayah diperbanyak kemudian
disebarkan di wilayah itu sendiri (in-situ). Dalam keadaan keseimbangan alam, musuh alami
selalu berhasil mengendalikan populasi hama, sehingga tetap berada di bawah aras ekonomi.
Dengan memberikan kesempatan sepenuhnya kepada musuh alami untuk bekerja, berarti secara
langsung menekan penggunaan pestisida. Sebaliknya pestisida sendiri secara langsung atau
tidak langsung dapat merugikan perkembangan populasi musuh alami (Eusebio, 2005; Udiarto
et al., 2012).
Parasitoid merupakan serangga yang hidup di dalam maupun di luar tubuh serangga lain
untuk memenuhi kebutuhan hidup serta menyelesaikan siklus hidupnya selama masa pradewasa
(Greathead, 1986; Luthfika, 2019). Selama masa tersebut, serangga parasitoid berperan sebagai
karnivora yaitu perlahan akan membunuh inang, dengan cara menghisap cairan tubuh inang.
Parasitoid menyerang inang pada saat stadium larva, sedangkan setelah menjadi imago,
parasitoid hidup bebas di alam. Jenis parasitoid dapat dibedakan menurut cara parasitasinya.
Parasitoid yang menyerang bagian luar serangga disebut ektoparasitoid, dan jika menyerang
bagian dalam serangga disebut endoparasitoid.
Salah satu parasitoid yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati yaitu
Chelonus Sp. yang dapat mengendalikan perkembangan dari S. frugiperda, S. litura, dan
Batrachedra arenosella. Chelonus Sp. termasuk dalam endoparasitoid yaitu parasitoid yang
menyerang bagian dalam inang dan memanfaatkan jaringan dan sel inang untuk pertumbuhan
dan perkembangannya sendiri. Klasifikasi taksonomi dari Chelonus Sp. adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
Class : Imsecta
Ordo : Hymenoptera

3
Familia : Braconidae
Subfamili : Cheloninae
Genus : Chelonus
Spesies : Chelonus Sp

Gambar 1. Morfologi Chelonus Sp

Gambar 2. Bagian-bagian tubuh Chelonus Sp.


Secara umum parasitoid Chelonus Sp. betina memiliki panjang tubuh sekitar 6,9 mm
dengan sebagian besar warna tubuh hitam termasuk kepala, antenna, mesosoma, trochanter dan
infus pada pangkal femur, kaki belakang hingga puncak tulang paha belakang berwarna hitam.
Kaki depan dan tengah berwarna jingga kekuningan tapi coxa berwarna hitam, sepertiga tengah
tibia dan pangkal tibia putih kekuningan, tegulum hitam dengan ujung apikal kekuningan dan
lempeng humerus seluruhnya berwarna coklat tua serta sayap sedikit meresap, pterostigma dan
parastigma benar-benar coklat tua. Pada kepala bagian depan dan clypeal padat, setae berwarna
putih, vertex padat dan kasar belang-belang, rugose melintang dekat margin oksipital dan mata.
Antena dengan segmen 24−25 (scape, pedicel dan 22−23 flagellomer), flagellomer basal lebih
tebal dan lebih kokoh dan flagellomer apikal berbentuk klub, lebih pendek dan lebih tebal
daripada jantan. Sedangkan Chelonus Sp. jantan memiliki antena lebih panjang dan tipis
dibandingkan dengan betina, dengan 28 segmen (scape, pedicel dan 26 flagellomer), terminal
flagellomer meruncing. Metasoma sejajar sisi dan apikal kurang terpotong dalam tampilan
punggung

4
Betina dan jantan Chelonus Sp. dapat diidentifikasi (selain alat kelamin) dengan bentuk
segmen antena subapikal dan panjang antenna. Chelonus Sp. betina memiliki hingga 25
segmen. Perbedaan jantan dan betina dewasa berdasarkan alat kelamin dapat dilihat pada
spesimen hidup dimana alat kelamin betina terlihat dalam bentuk ovipositor runcing (berbentuk
silinder) di dekat puncak dan alat kelamin laki-laki terlihat dalam bentuk aparatus bola jauh
dari puncak (Gupta et al., 2020). Telur Chelonus Sp. berwarna putih dengan korion transparan
tipis, berbentuk hymenopteriform oval, dan memiliki ujung posterior dan anterior runcing
dengan bagian medial melebar. Seekor betina bertelur di telur penggerek batang belang. Telur
tidak ditemukan menempel pada jaringan inang dan terletak di ujung posterior larva inang,
khususnya di segmen tubuh kedua atau ketiga terakhir. Penetasan telur terjadi antara 40 dan 60
jam setelah oviposisi pada 27,5 °C (Qureshi et al., 2016).
Tawon parasit sejauh ini merupakan kelompok serangga parasit terbesar dengan perkiraan
jumlah spesies sekitar 250.000. Beberapa berkembang di luar (ektoparasitoid) dan yang lain di
dalam (endoparasitoid) tubuh serangga atau inang artropoda lainnya dan, tergantung pada
spesiesnya, berbagai tahap inang dapat diparasiti (larva, pupa dan parasit dewasa). Pada spesies
ektoparasitoid, racun sering menyebabkan kelumpuhan dan mengatur perkembangan inang,
metabolisme, dan respons imun. Protein racun dari tawon endoparasitoid dapat mensinergikan
efek PDV dan dapat mengganggu komponen humoral inang dan imun seluler (Vincent et al.,
2010).
Chelonus sp. merupakan spesies parasitoid endoparasitoid telur-larva. Seperti parasitoid
telur-larva lainnya, larva Chelonus Sp. memanfaatkan jaringan dan sel inang untuk
pertumbuhan dan perkembangannya sendiri (Qureshi et al., 2016). Chelonus sp akan
memasukan larva ke dalam telur inangnya dan larva parasitoid kemudian berkembang di dalam
embrio tuan rumah sejak tahap awal larva. Karena gaya hidupnya, Chelonus Sp. harus
menghadapi kendala fisiologis tertentu yang dipaksakan oleh inangnya yang belum dewasa.
Racun, bersama dengan PDV yang diproduksi dalam sistem reproduksi tawon ini, sangat
penting untuk keberhasilan parasitisme karena mereka melindungi parasitoid dari enkapsulasi
oleh sel-sel kekebalan inang, mengganggu fisiologi nutrisi inang dan menginduksi penghentian
perkembangan di tahap prapupa. Racun Chelonus Sp. dengan sendirinya mengubah membran
per meabilitas hemosit inang, memiliki efek paralitik sementara dan mensinergikan efek PDV
pada perkembangan inang (Vincent et al., 2010). Larva Chelonus Sp. memakan cairan tubuh
inang pada awal instar karena tubuh parasit cukup transparan. Pada akhir instar ketiga, semua
jaringan tubuh inang dikonsumsi oleh parasitoid.

5
III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini, yaitu


1. Tawon parasit sejauh ini merupakan kelompok serangga parasit terbesar dengan perkiraan
jumlah spesies sekitar 250.000. Beberapa berkembang di luar (ektoparasitoid) dan yang
lain di dalam (endoparasitoid) tubuh serangga atau inang artropoda lainnya dan, tergantung
pada spesiesnya, berbagai tahap inang dapat diparasiti (larva, pupa dan parasit dewasa).
Chelonus sp. merupakan spesies parasitoid endoparasitoid telur-larva. Seperti parasitoid
telur-larva lainnya, larva Chelonus Sp. memanfaatkan jaringan dan sel inang untuk
pertumbuhan dan perkembangannya sendiri (Qureshi et al., 2016).
2. Secara umum parasitoid Chelonus Sp. betina memiliki panjang tubuh sekitar 6,9 mm
dengan sebagian besar warna tubuh hitam termasuk kepala, antenna, mesosoma,
trochanter, dan kaki berwarna hitam. Pada kepala bagian depan dan clypeal padat, setae
berwarna putih, vertex padat dan kasar belang-belang, rugose melintang dekat margin
oksipital dan mata. Antena dengan segmen 24−25 (scape, pedicel dan 22−23 flagellomer),
flagellomer basal lebih tebal dan lebih kokoh dan flagellomer apikal berbentuk klub, lebih
pendek dan lebih tebal daripada jantan. Sedangkan Chelonus Sp. jantan memiliki antena
lebih panjang dan tipis dibandingkan dengan betina, dengan 28 segmen (scape, pedicel dan
26 flagellomer), terminal flagellomer meruncing. Metasoma sejajar sisi dan apikal kurang
terpotong dalam tampilan punggung.
3. Chelonus sp akan memasukan larva ke dalam telur inangnya dan larva parasitoid kemudian
berkembang di dalam embrio tuan rumah sejak tahap awal larva. Racun, bersama dengan
PDV yang diproduksi dalam sistem reproduksi tawon ini, sangat penting untuk
keberhasilan parasitisme karena mereka melindungi parasitoid dari enkapsulasi oleh sel-
sel kekebalan inang, mengganggu fisiologi nutrisi inang dan menginduksi penghentian
perkembangan di tahap prapupa. Larva Chelonus Sp. memakan cairan tubuh inang pada
awal instar karena tubuh parasit cukup transparan. Pada akhir instar ketiga, semua jaringan
tubuh inang dikonsumsi oleh parasitoid.

B. Saran

Sebaiknya dalam mempelajari serangga parasitoid Chelonus sp. dilakukan melalui


pengamatan secara langsung disertai dengan percobaan perbanyakan agar lebih memahami
morfologi dan biologi dari parasitoid tersebut.

6
DAFTAR PUSTAKA

Ankita Gupta, Y Lalitha, Richa Varshney, AN Shylesha and Cornelis Van Achterberg. 2020.
Chelonus formosanus Sonan (hymenoptera: braconidae) an egg-larval parasitoid of the
invasive pest Spodoptera frugiperda (lepidoptera: noctuidae) amenable to laboratory
mass production in India. Journal of Entomology and Zoology Studies, 8(1): 1521-
1524.

Bruno Vincent, Martha Kaeslin, Thomas Roth, Manfred Heller, Julie Poulain, François
Cousserans, Johann Schaller, Marylene Poirie, Beatrice Lanzrein, Jean Michel Drezen,
Sébastien Moreau. 2010. The venom composition of the parasitic wasp Chelonus
inanitus resolved by combined expressed sequence tags analysis and proteomic
approach. BMC Genomics, 11: 693.

Iman M dan Priyatno TP. 2001. Paradigma baru pengendalian wereng batang coklat. Jurnal
Buletin AgroBio, 4:50-55.

Udiarto, B.K., Hidayat, P., Rauf, A., Pudjianto, dan Hidayat, S.H. 2012. Kajian potensi predator
Coccinellidae untuk pengendalian Bemisia tabaci (Gennadius) pada cabai merah.
Jurnal Hortikultura, 22(1).

Lia Luthfika Huffanaa. 2019. Inventarisasi serangga parasitoid (hymenoptera) pada tanaman
padi (Oryza sativa) di area persawahan antirogo kabupaten jember. Skripsi,
Universitar Jember.

Santoso, E. dan Baehaki S.E. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Musuh Alami Dalam
Pengendalian Hama Terpadu Pada Budidaya Padi Intensif Untuk Sistem Pertanian
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Sundas Rana Qureshi, Wei Li Quan, Rui Qi Zhou, Xiao Ping Wang. 2016. Morphology and
development of immature stages of Chelonus Murakatae (hymenoptera: braconidae),
an endoparasitoid of Chilo Suppressalis. Entomological News, 125(4):252-259

Wily Ardert Baringbing. 1986. Biological control of the coconut moth, Batrachedra arenosella
by Chelonus parasites in Indonesia. Proceedings, Hawaiian Entomological Society,
27: 41-44.

Anda mungkin juga menyukai