Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPEMIMPINAN

“LEADERSHIP ETHICS”

DISUSUN OLEH :

NADIA SYARIFAH M.Z (A021191023)

FEBRIANI PUTRI PRATIWI (A021191039)

AISYAH CHAERONI SAWERIGADING (A021191096)

STEPHANY WILIANY (A021191083)

BETRAN SOPANDO MANULLANG (A021191038)

MUHAMMAD TAUFIQURRIZKY FITRANI (A021191190)

NURSYAFANDI (A021191133)

GILANG PERMANA NASRUDDIN (A021191150)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Leadership Ethics.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan dari dosen Ibu Dr.
Nurdjanah Hamid, M.Agr. . Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang Leadership Ethics..

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu selaku dosen mata kuliah
Kepemimpinan. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kami terkait bidang yang ditekuni penulis.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu masukan
dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Makassar, 25 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4

1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................... .............................4

1.2 RUMUSAN MASALAH...................................................................................................................................5

1.3 TUJUAN PENULISAN................................................................................................ .....................................5

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................... ..................6

2.1 LEADERSHIP ETHICS DESCRIPTION..........................................................................................................6

2.2 ETHICAL THEORIES.......................................................................................................................................9

2.3 CENTRALITY OF ETHICS TO LEADERSHIP............................................................................................12

2.4 HEIFETZ'S PERSPECTIVE TO LEADERSHIP & BURNS'S PERSPECTIVE TO LEADERSHIP............15

2.5 THE DARK SIDE OF LEADERSHIP..................................................................................................... .......15

2.6 PRINCIPLES OF ETHICAL LEADERSHIP..................................................................................................17

A. ETHICAL LEADERS RESPECT OTHERS...........................................................................................18


B. ETHICAL LEADERS SAVE OTHERS..................................................................................................19
C. ETHICAL LEADERS SHOW JUSTICE................................................................................................19
D. ETHICAL LEADERS MANIFEST HONESTY.....................................................................................20
E. ETHICAL LEADERS BUILDS COMMUNITY....................................................................................21

2.7 HOW DOES THE ETHICAL LEADERSHIP PERSPECTIVE WORK?.......................................................22

A. STRENGTHS.................................................................................................................... ......................22
B. CRITICISM.............................................................................................................................................23
C. APPLICATION.................................................................................................................. .....................23

2.8 FACTORS RELATED TO ETHICAL LEADERSHIP...................................................................................24

BAB III PENUTUP..............................................................................................................................32

3.1 KESIMPULAN................................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................33

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepemimpinan tanpa etika merupakan malapetaka karena dapat menimbulkan


ketidakstabilan dan kehancuran. Seorang pemimpin wajib untuk memimpin dengan
berpondasikan etika yang kuat dan santun. Sebab, tanpa etika kepemimpinan, maka
pemimpin tidak akan pernah mampu menyentuh hati terdalam dari para pengikut. Dan dia
juga akan menjadi yang gampang untuk diatur oleh lawan dan kawannya. Bila lawan, kawan
dan bawahan sudah suka mengatur pemimpin maka malapetaka akan menjadi bagian
kepemimpinan tersebut.

Seorang pemimpin yang memiliki etika akan mampu membawa perusahaan / organisasi
yang dipimpinnya sampai kepuncak keberhasilan dengan memanfaatkan semua potensi yang
ada pada semua anggota organisasi yang dipimpin. Seorang pemimpin menjadikan etika
sebagai dasar mengoptimalkan semua bakat dan potensi sumber daya manusia dan
meningkatkan nilai dari semua sumber daya yang dimiliki oleh organisasi serta menghargai
semua kualitas dan kompetensi sumber daya manusia. Dan bukan seorang pemimpin yang
menciptakan jarak antara mimpi dan realitas. Tetapi seorang pemimpin beretika akan
membantu merealisasikan mimpi pengikutnya menjadi kenyataan dalam kebahagiaan.

Pemimpin yang beretika tidak akan pernah punya niat untuk menyingkirkan bakat-
bakat hebat yang menjanjikan untuk masa depan yang cerah, pemimpin akan memotivasi
semua karyawannya dengan dorongan dan keteladanan untuk mampu mencapai keunggulan,
dan membuat semua karyawannya untuk berfikir positif dan bekerja efektif.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Menjelaskan tentang Deskripsi etika kepemimpinan
2. Menjelaskan tentang Teori etika
3. Menjelaskan tentang Sentralitas etika untuk kepemimpinan
4. Menjelaskan perspektif Heifetz’s terhadap kepemimpinan
5. Menjelaskan perspektif Burns’s terhadap kepemimpinan
6. Menjelaskan tentang Prinsip-prinsip kepemimpinan etis
7. Menjelaskan Bagaimana cara kerja perspektif kepemimpinan etis?
8. Menjelaskan tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemimpinan etis

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang Deskripsi etika kepemimpinan


2. Untuk mengetahui tentang Teori etika
3. Untuk mengetahui tentang Sentralitas etika untuk kepemimpinan
4. Agar dapat membandingkan perspektif Heifetz’s terhadap kepemimpinan
5. Agar dapat membandingkan perspektif Burns’s terhadap kepemimpinan
6. Untuk mengetahui tentang Prinsip-prinsip kepemimpinan etis
7. Untuk mengetahui tentang Bagaimana cara kerja perspektif kepemimpinan etis
8. Untuk mengetahui tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemimpinan
etis

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Leadership Ethics Description

Dari perspektif tradisi Barat, perkembangan teori etika berawal dari Plato (427–347
SM) dan Aristoteles (384–322 SM). Kata etika berakar pada kata Yunani ethos, yang
diterjemahkan menjadi “kebiasaan”, “perilaku”, atau “karakter”. Etika berkaitan dengan jenis
nilai dan moral yang diinginkan atau sesuai oleh individu atau masyarakat. Selanjutnya, etika
berkaitan dengan kebajikan individu dan motif mereka. Teori etika menyediakan sistem
aturan atau prinsip yang memandu kita dalam membuat keputusan tentang apa yang benar
atau salah dan baik atau buruk dalam situasi tertentu. Ini memberikan dasar untuk memahami
apa artinya menjadi manusia yang layak secara moral.

Berkenaan dengan kepemimpinan, etika berkaitan dengan apa yang dilakukan


pemimpin dan siapa pemimpin itu. Ini ada hubungannya dengan sifat perilaku pemimpin, dan
dengan kebajikan mereka. Dalam situasi pengambilan keputusan apa pun, masalah etika
terlibat secara implisit atau eksplisit. Pilihan yang dibuat oleh para pemimpin dan bagaimana
mereka merespons dalam situasi tertentu diinformasikan dan diarahkan oleh etika mereka.

Teori yang paling dikenal luas maju untuk menjelaskan bagaimana orang berpikir
tentang masalah moral adalah tahap perkembangan moral Kohlberg. Kohlberg (1984)
mempresentasikan serangkaian dilema (yang paling terkenal adalah "dilema Heinz") kepada
kelompok anak kecil yang kemudian dia wawancarai tentang alasan di balik pilihan mereka
mengenai dilema tersebut. Dari data tersebut ia menciptakan sistem klasifikasi penalaran
moral yang dibagi menjadi enam tahap: Tahap 1—Ketaatan dan Hukuman, Tahap 2—
Individualisme dan Pertukaran, Tahap 3—Kesesuaian dan Kesesuaian Antarpribadi, Tahap
4— Mempertahankan Tatanan Sosial, Tahap 5 —Kontrak Sosial dan Hak Individu, dan
Tahap 6— Prinsip-Prinsip Universal. Kohlberg lebih lanjut mengklasifikasikan dua tahap
pertama sebagai moralitas prakonvensional, dua yang kedua sebagai moralitas konvensional,
dan dua yang terakhir sebagai moralitas pascakonvensional.

6
Level 1. Moralitas Prakonvensional

Ketika seseorang berada pada level moralitas prakonvensional, dia cenderung menilai
moralitas suatu tindakan berdasarkan konsekuensi langsungnya. Ada dua tahap yang
termasuk dalam moralitas pra-konvensional:

Tahapan Perkembangan Moral


Kohlberg

Tahap 1—Ketaatan dan Hukuman.

Pada tahap ini, individu bersifat egosentris dan melihat moralitas sebagai eksternal diri.
Aturan ditetapkan dan diturunkan oleh otoritas. Mematuhi aturan itu penting karena itu
berarti menghindari hukuman. Misalnya, seorang anak beralasan tidak baik mencuri karena
konsekuensinya akan masuk penjara. Tahap 2—Individualisme dan Pertukaran. Pada tahap
ini, individu membuat keputusan moral berdasarkan kepentingan diri sendiri. Suatu tindakan
adalah benar jika itu melayani individu. Semuanya relatif, jadi setiap orang bebas melakukan
hal sendiri. Orang tidak mengidentifikasi dengan nilai-nilai masyarakat (Crain, 1985) tetapi
bersedia untuk bertukar bantuan. Misalnya, seseorang mungkin berkata, "Saya akan
membantu Anda, jika Anda membantu saya."

7
Level 2. Moralitas Konvensional

Mereka yang berada pada level ini menilai moralitas tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Otoritas diinternalisasi
tetapi tidak dipertanyakan, dan penalaran didasarkan pada norma-norma kelompok tempat
orang tersebut berada. Kohlberg mengidentifikasi dua tahap pada tingkat moralitas
konvensional:

Tahap 3—Kesepakatan dan Kesesuaian Antarpribadi

Pada tahap ini, individu membuat pilihan moral berdasarkan penyesuaian dengan
harapan orang lain dan berusaha berperilaku seperti orang yang “baik”. Penting untuk
menjadi "baik" dan memenuhi standar kebaikan komunitas. Misalnya, seorang siswa berkata,
“Saya tidak akan menyontek karena bukan itu yang dilakukan siswa yang baik.”

Tahap 4—Menjaga Tatanan Sosial

Pada tahap ini, individu membuat keputusan moral dengan cara yang menunjukkan
kepedulian terhadap masyarakat secara keseluruhan. Agar masyarakat berfungsi, penting bagi
orang untuk mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan mendukung aturan komunitas.
Misalnya, seseorang tidak menerobos lampu merah di tengah malam ketika tidak ada mobil
lain di sekitarnya karena penting untuk menjaga dan mendukung peraturan lalu lintas
masyarakat.

Level 3. Moralitas Pascakonvensional

Pada level moralitas ini, juga dikenal sebagai level berprinsip, individu telah
mengembangkan seperangkat etika dan moral pribadi yang memandu perilaku mereka. Para
moralis pascakonvensional hidup dengan prinsip-prinsip etika mereka sendiri—prinsip-
prinsip yang biasanya mencakup hak-hak dasar manusia seperti kehidupan, kebebasan, dan
keadilan. Ada dua tahap yang diidentifikasi Kohlberg sebagai bagian dari tingkat moralitas
pascakonvensional:

Tahap 5—Kontrak Sosial dan Hak Individu. Pada tahap ini, individu membuat keputusan
moral berdasarkan kontrak sosial dan pandangannya tentang seperti apa seharusnya
masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik mendukung nilai-nilai seperti kebebasan dan

8
kehidupan, dan prosedur yang adil untuk mengubah hukum (Crain, 1985), tetapi mengakui
bahwa kelompok memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Hukum masyarakat itu penting,
tetapi orang-orang perlu menyepakatinya. Misalnya, jika seorang anak laki-laki sekarat
karena kanker dan orang tuanya tidak memiliki uang untuk membayar pengobatannya, negara
harus turun tangan dan membayarnya.

Tahap 6—Prinsip Universal. Pada tahap ini, penalaran moral individu didasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan universal yang diinternalisasi yang berlaku untuk semua orang.
Keputusan yang dibuat perlu menghormati sudut pandang semua pihak yang terlibat. Orang-
orang mengikuti aturan keadilan internal mereka, bahkan jika mereka bertentangan dengan
hukum. Contoh dari tahap ini adalah seorang aktivis hak-hak sipil yang percaya bahwa
komitmen terhadap keadilan membutuhkan kesediaan untuk tidak mematuhi hukum yang
tidak adil.

Model perkembangan moral Kohlberg telah dikritik karena berfokus secara eksklusif
pada nilai-nilai keadilan, karena bias jenis kelamin karena berasal dari sampel semua laki-
laki, karena bias secara budaya karena didasarkan pada sampel dari budaya individualis, dan
untuk menganjurkan moralitas pascakonvensional di mana orang menempatkan prinsip-
prinsip mereka sendiri di atas hukum atau masyarakat (Crain, 1985). Terlepas dari kritik ini,
model ini sangat penting untuk mengembangkan pemahaman tentang apa yang membentuk
dasar bagi kepemimpinan etis individu.

2.2 Ethical Theories

Untuk tujuan mempelajari etika dan kepemimpinan, teori etika dapat dianggap berada
dalam dua domain yang luas: teori tentang perilaku pemimpin dan teori tentang karakter
pemimpin. Dengan kata lain, teori etika ketika diterapkan pada kepemimpinan adalah tentang
tindakan para pemimpin dan siapa mereka sebagai manusia. Sepanjang bab ini, diskusi kita
tentang etika dan kepemimpinan akan selalu berada dalam salah satu dari dua domain ini:
perilaku atau karakter. Teori etika yang berhubungan dengan perilaku pemimpin pada
gilirannya dibagi menjadi dua jenis: teori yang menekankan konsekuensi dari tindakan
pemimpin dan teori yang menekankan tugas atau aturan yang mengatur tindakan pemimpin.
Teori teleologis, dari kata Yunani telos, yang berarti "tujuan" atau "tujuan", mencoba
menjawab pertanyaan tentang benar dan salah dengan berfokus pada apakah perilaku
seseorang akan menghasilkan konsekuensi yang diinginkan. Dari perspektif teleologis,

9
pertanyaan "Apa yang benar?" dijawab dengan melihat hasil atau outcome. Akibatnya,
konsekuensi dari tindakan individu menentukan baik atau buruknya perilaku tertentu.

Dalam menilai konsekuensi, ada tiga pendekatan berbeda untuk membuat keputusan
mengenai perilaku moral (Figure 13.1): egoisme etis, utilitarianisme, dan altruisme. Egoisme
etis menyatakan bahwa seseorang harus bertindak untuk menciptakan kebaikan terbesar bagi
dirinya sendiri. Seorang pemimpin dengan orientasi ini akan mengambil pekerjaan atau karir
yang dia nikmati secara egois (Avolio & Locke, 2002). Kepentingan pribadi adalah sikap etis
yang terkait erat dengan teori kepemimpinan transaksional (Bass & Steidlmeier, 1999).
Egoisme etis adalah umum dalam beberapa konteks bisnis di mana perusahaan dan
karyawannya membuat keputusan untuk mencapai tujuannya memaksimalkan keuntungan.
Misalnya, manajer tingkat menengah yang bercita-cita tinggi yang ingin timnya menjadi yang
terbaik di perusahaan dapat digambarkan bertindak berdasarkan egoisme etis.

Pendekatan teleologis kedua, utilitarianisme, menyatakan bahwa kita harus berperilaku


sedemikian rupa untuk menciptakan kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Dari sudut
pandang ini, tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memaksimalkan
manfaat sosial sambil meminimalkan biaya sosial (Schumann, 2001). Ketika pemerintah A.S.
mengalokasikan sebagian besar anggaran federal untuk perawatan kesehatan preventif
daripada untuk penyakit bencana, ia bertindak dari perspektif utilitarian, menempatkan uang
di mana ia akan memiliki hasil terbaik untuk jumlah terbesar warga negara.

Gambar 13.1 Teori Etika Berdasarkan Kepentingan Sendiri versus Kepentingan Orang Lain

Terkait erat dengan utilitarianisme, dan kebalikan dari egoisme etis, adalah pendekatan
teleologis ketiga, altruisme. Altruisme adalah pendekatan yang menunjukkan bahwa tindakan
adalah moral jika tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan kepentingan terbaik orang

10
lain. Dari perspektif ini, seorang pemimpin mungkin terpanggil untuk bertindak demi
kepentingan orang lain, bahkan ketika tindakan itu bertentangan dengan kepentingan dirinya
sendiri (Bowie, 1991). Kepemimpinan transformasional yang otentik didasarkan pada
prinsip-prinsip altruistik (Bass & Steidlmeier, 1999; Kanungo & Mendonca, 1996), dan
altruisme sangat penting untuk menunjukkan kepemimpinan yang melayani. Contoh paling
kuat dari etika altruistik dapat ditemukan dalam karya Ibu Teresa, yang mengabdikan
hidupnya untuk membantu orang miskin. Sangat berbeda dengan melihat tindakan mana yang
akan menghasilkan hasil mana, teori deontologis berasal dari kata Yunani deos, yang berarti
"tugas". Apakah tindakan yang diberikan etis tidak hanya bergantung pada konsekuensinya
(teleologis), tetapi juga pada apakah tindakan itu sendiri baik. Berkata jujur, menepati janji,
bersikap adil, dan menghormati orang lain adalah contoh tindakan yang pada dasarnya baik,
terlepas dari konsekuensinya. Perspektif deontologis berfokus pada tindakan pemimpin dan
kewajiban dan tanggung jawab moralnya untuk melakukan hal yang benar. Tindakan seorang
pemimpin bermoral jika pemimpin memiliki hak moral untuk melakukannya, jika tindakan
tersebut tidak melanggar hak orang lain, dan jika tindakan tersebut memajukan hak moral
orang lain (Schumann, 2001).

Pada akhir 1990-an, presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, dibawa ke hadapan
Kongres karena salah menggambarkan di bawah sumpah perselingkuhannya dengan seorang
pegawai magang Gedung Putih. Atas tindakannya, dia dimakzulkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat AS, tapi kemudian dibebaskan oleh Senat AS. Pada satu titik selama cobaan panjang,

Presiden muncul di televisi nasional dan, dalam apa yang sekarang menjadi pidato terkenal,
menyatakan tidak bersalah. Karena audiensi berikutnya memberikan informasi yang
menunjukkan bahwa dia mungkin berbohong selama pidato televisi ini, banyak orang
Amerika merasa Presiden Clinton telah melanggar tugas dan tanggung jawabnya (sebagai
pribadi, pemimpin, dan presiden) untuk mengatakan yang sebenarnya. Dari perspektif
deontologis, dapat dikatakan bahwa ia gagal dalam tanggung jawab etisnya untuk melakukan
hal yang benar untuk mengatakan yang sebenarnya. Sedangkan teori teleologis dan
deontologis mendekati etika dengan melihat perilaku atau perilaku seorang pemimpin, teori
kedua mendekati etika dari sudut pandang karakter seorang pemimpin. Teori-teori ini disebut
teori berbasis kebajikan; mereka fokus pada siapa pemimpin sebagai manusia. Dalam
perspektif ini, kebajikan berakar di hati individu dan disposisi individu (Pojman, 1995).
Lebih jauh lagi, diyakini bahwa kebajikan dan kemampuan moral bukanlah bawaan tetapi

11
dapat diperoleh dan dipelajari melalui praktik. Orang dapat diajar oleh keluarga dan
komunitasnya untuk menjadi manusia yang pantas secara moral.

Dengan asal-usul mereka ditelusuri kembali dalam tradisi Barat ke Yunani kuno dan
karya-karya Plato dan Aristoteles, teori-teori kebajikan mengalami kebangkitan popularitas.
Istilah Yunani yang terkait dengan teori-teori ini adalah aretaic, yang berarti "keunggulan"
atau "kebajikan". Konsisten dengan Aristoteles, para pendukung teori berbasis kebajikan saat
ini menekankan bahwa lebih banyak perhatian harus diberikan pada pengembangan dan
pelatihan nilai-nilai moral (Velasquez. 1992). Alih-alih memberi tahu orang apa yang harus
dilakukan, perhatian harus diarahkan untuk memberi tahu orang apa yang harus dilakukan,
atau membantu mereka menjadi lebih baik.

Lalu, apakah kebajikan orang yang beretika? Ada banyak, semuanya tampaknya
penting. Berdasarkan tulisan Aristoteles, orang yang bermoral menunjukkan kebajikan
keberanian, kesederhanaan, kemurahan hati, pengendalian diri, kejujuran, keramahan,
kerendahan hati, keadilan, dan keadilan (Velasquez, 1992). Bagi Aristoteles, kebajikan
memungkinkan orang untuk hidup dengan baik dalam komunitas. Menerapkan etika
kepemimpinan dan manajemen, Velasquez telah menyarankan bahwa manajer harus
mengembangkan kebajikan seperti ketekunan, semangat publik, integritas, kejujuran,
kesetiaan, kebajikan, dan kerendahan hati.

Pada intinya, etika berbasis kebajikan adalah tentang menjadi dan menjadi manusia
yang baik dan berharga. Meskipun orang dapat mempelajari dan mengembangkan nilai-nilai
yang baik, teori ini menyatakan bahwa kebajikan hadir dalam watak seseorang. Ketika
dipraktikkan dari waktu ke waktu, dari masa muda hingga dewasa, nilai-nilai baik menjadi
kebiasaan, dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Dengan mengatakan yang
sebenarnya, orang menjadi jujur; dengan memberi kepada orang miskin, orang menjadi baik
hati; dengan bersikap adil kepada orang lain, orang menjadi adil. Kebajikan kita berasal dari
tindakan kita, dan tindakan kita mewujudkan kebajikan kita (Frankena, 1973; Pojman, 1995).

2.3 Centrality of Ethics To Leadership

Kepemimpinan adalah proses di mana pemimpin mempengaruhi orang lain untuk


mencapai tujuan bersama. Dimensi pengaruh kepemimpinan menuntut pemimpin untuk
memiliki dampak pada kehidupan mereka yang dipimpin. Untuk membuat perubahan pada
orang lain membawa serta beban dan tanggung jawab etis yang sangat besar. Karena

12
pemimpin biasanya memiliki lebih banyak kekuatan dan kontrol dari pengikut, mereka juga
memiliki tanggung jawab lebih untuk peka terhadap bagaimana kepemimpinan mereka
mempengaruhi kehidupan pengikut. Baik dalam kerja kelompok, kegiatan organisasi, atau
proyek komunitas, para pemimpin melibatkan pengikut dan memanfaatkan mereka dalam
upaya mereka untuk mencapai tujuan bersama. Dalam semua situasi ini, pemimpin memiliki
tanggung jawab etis untuk memperlakukan pengikut dengan bermartabat dan hormat sebagai
manusia makhluk dengan identitas unik. “Penghormatan terhadap orang” ini menuntut agar
para pemimpin peka terhadap kepentingan, kebutuhan, dan perhatian para pengikut sendiri
(Beauchamp & Bowie, 1988).

Dalam sebuah studi kualitatif dari 17, sebagian besar Swiss, pemimpin etika eksekutif,
Frisch and Huppenbauer (2014) melaporkan bahwa para pemimpin etis ini peduli dengan
pemangku kepentingan lainnya, seperti pelanggan, pemasok, pemilik perusahaan, lingkungan
alam, dan masyarakat.

Meskipun kita semua memiliki tanggung jawab etis untuk memperlakukan orang lain
sebagai manusia yang unik, pemimpin memiliki tanggung jawab khusus, karena sifat
kepemimpinan mereka menempatkan mereka dalam posisi khusus di mana mereka memiliki
kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi orang lain dalam cara-cara yang signifikan.

Etika adalah pusat kepemimpinan, dan para pemimpin membantu membangun dan
memperkuat nilai-nilai organisasi . Setiap pemimpin memiliki filosofi dan sudut pandang
yang berbeda. “Semua pemimpin memiliki agenda, serangkaian keyakinan, proposal, nilai,
ide, dan isu yang ingin mereka 'taruh di' tabel' ” (Gini, 1998, hlm. 36).

Nilai-nilai yang diusung oleh pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap
nilai-nilai yang ditunjukkan oleh organisasi (lihat Carlson & Perrewe, 1995; Demirtas, 2015;
Eisenbeiss, van Knippenberg, & Fahrbach, 2015; Schminke, Ambrose, & Noel, 1997;
Trevino, 1986; Xu, Loi, & Ngo, 2016; Yang, 2014).

Karena pengaruh mereka, para pemimpin memainkan peran utama dalam membangun
iklim etika organisasi mereka. Misalnya, dalam tinjauan meta-analitik dari 147 artikel tentang
kepemimpinan etis, Bedi, Alpaslan, dan Green (2016), menemukan bahwa kepemimpinan
etis berhubungan positif dengan persepsi pengikut tentang kepemimpinan pemimpin keadilan
dan perilaku etis para pengikut. Singkatnya, etika merupakan pusat kepemimpinan karena
sifat dari proses pengaruh, perlu melibatkan pengikut dalam mencapai tujuan bersama, dan
dampak yang dimiliki pemimpin terhadap nilai-nilai organisasi.

13
Disiplin pemasaran bersifat universal. Namun, wajar jika praktik pemasaran akan
bervariasi dari satu negara ke negara lain karena alasan sederhana bahwa negara dan
masyarakat di dunia berbeda. Perbedaan ini berarti bahwa pendekatan pemasaran yang telah
terbukti berhasil dalam suatu negara belum tentu berhasil di negara lain. Tugas manajerial
yang penting dalam pemasaran global sedang belajar untuk mengenali sejauh mana mungkin
untuk memperluas pemasaran rencana dan program di seluruh dunia, serta sejauh mana
adaptasi diperlukan. Dua masalah yang sama adalah inti dari RUPS perusahaan, meskipun
dilihat dari perspektif yang agak berbeda. Misalnya, Nike baru-baru ini mengadopsi slogan
“Inilah Saya” untuk pan-Eropanya iklan pakaian yang menargetkan wanita.

Keputusan untuk menghapus tagline “Just do it” yang terkenal di wilayah didasarkan
pada penelitian yang menunjukkan bahwa wanita usia kuliah di Eropa tidak kompetitif
tentang olahraga seperti laki-laki. RUPS memiliki tiga dimensi tambahan yang berkaitan
dengan manajemen pemasaran.

2.4 Heifetz’s Perspective of Leadership & Burns’s Perspective to Leadership

Perspektif Heifetz terkait dengan kepemimpinan etis karena berkaitan dengan nilai-
nilai: nilai-nilai pekerja dan nilai organisasi dan komunitas tempat mereka bekerja. Menurut
Heifetz, kepemimpinan melibatkan penggunaan otoritas untuk membantu pengikut
menangani nilai yang bertentangan yang muncul dalam lingkungan kerja dan budaya sosial
yang berubah dengan cepat. Ini adalah perspektif etis karena berbicara langsung dengan nilai
pekerja.

Bagi Heifetz (1994), pemimpin harus menggunakan otoritas untuk memobilisasi orang
untuk menghadapi masalah yang sulit. Seperti yang telah dibahas dalam bab tentang
kepemimpinan adaptif, terserah pada pemimpin untuk menyediakan “lingkungan yang saling
menjaga” di mana ada kepercayaan, pengasuhan, dan empati. Dalam konteks yang
mendukung, pengikut dapat merasa aman untuk menghadapi masalah yang sulit. Secara
khusus, pemimpin menggunakan wewenang untuk membuat orang memperhatikan masalah,
untuk bertindak sebagai ujian realitas mengenai informasi, untuk mengelola dan membingkai
masalah, untuk mengatur perspektif yang bertentangan, dan untuk memfasilitasi pengambilan
keputusan. Tugas pemimpin adalah membantu pengikut dalam berjuang dengan perubahan
dan pertumbuhan pribadi.

14
Perspektif Burns (1978) berpendapat bahwa penting bagi para pemimpin untuk
melibatkan diri dengan pengikut dan membantu mereka dalam perjuangan pribadi mereka
mengenai nilai-nilai yang saling bertentangan. Hubungan yang dihasilkan meningkatkan
tingkat moralitas baik pada pemimpin maupun pengikut. Bagi Burns, adalah tanggung jawab
pemimpin untuk membantu pengikut menilai nilai dan kebutuhan mereka sendiri untuk
mengangkat mereka ke tingkat fungsi yang lebih tinggi, ke tingkat yang akan menekankan
nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan, dan kesetaraan (Ciulla, 1998).

2.5 Sisi Gelap Kepemimpinan (The Dark Side of Leadership)

Meskipun Burns (1978) menempatkan etika sebagai inti kepemimpinan, masih ada
sisi gelap kepemimpinan yang mencontohkan kepemimpinan yang tidak etis dan destruktif.
Inilah yang kami definisikan di Bab 8 ("Kepemimpinan Transformasional") sebagai
kepemimpinan pseudotransformasional dan dibahas di Bab 12 ("Pengikutan") sehubungan
dengan kepemimpinan yang destruktif. Sisi gelap kepemimpinan adalah sisi destruktif dan
beracun dari kepemimpinan di mana seorang pemimpin menggunakan kepemimpinan untuk
tujuan pribadi. Lipman-Blumen (2005) menunjukkan bahwa pemimpin beracun dicirikan
oleh perilaku destruktif seperti membiarkan pengikut mereka lebih buruk daripada yang
mereka temukan, melanggar hak asasi manusia orang lain, dan bermain untuk ketakutan
paling dasar pengikut. Lebih jauh, Lipman-Blumen mengidentifikasi banyak karakteristik
pribadi disfungsional yang ditunjukkan oleh para pemimpin destruktif termasuk kurangnya
integritas, ambisi yang tak terpuaskan, arogansi, dan ketidakpedulian yang sembrono atas
tindakan mereka. Selain itu, dengan menggunakan dua kuesioner kepemimpinan toksik yang
berbeda, Singh, Sengupta, dan Dev (2017) mengidentifikasi delapan faktor toksisitas yang
dirasakan pada para pemimpin di organisasi India. Faktor toksisitas termasuk inkompetensi
manajerial, sifat gelap, pengawasan mengejek, kepemimpinan despotik tahan, kelangkaan
etika, perilaku tidak menentu, narsisme, dan mempromosikan diri. Karakteristik dan perilaku
yang sama yang membedakan pemimpin sebagai istimewa juga dapat digunakan oleh para
pemimpin untuk menghasilkan hasil yang membawa malapetaka (Conger, 1990). Karena para
peneliti telah berfokus pada atribut positif dan hasil dari kepemimpinan yang efektif, hingga
saat ini, hanya ada sedikit perhatian yang diberikan pada sisi gelap kepemimpinan. Namun
demikian, penting untuk dipahami bahwa itu ada. Dalam meta-analisis dari 57 studi tentang
kepemimpinan destruktif dan hasilnya, Schyns dan Schilling (2013) menemukan hubungan
yang kuat antara kepemimpinan destruktif dan sikap negatif pengikut terhadap pemimpin.
Kepemimpinan destruktif juga berhubungan negatif dengan sikap pengikut terhadap

15
pekerjaan mereka dan terhadap organisasi mereka secara keseluruhan. Lebih lanjut, Schyns
dan Schilling menemukan bahwa hal itu berkaitan erat dengan afektifitas negatif dan
pengalaman stres kerja.

Figure 13.2 The Toxic Triangle

Sumber: Dari “The Toxic Triangle: Destructive Leaders, Susceptible Followers, and
Condusive Environments,” oleh A. Padilla, R. Hogan, dan R. B. Kaiser, The Leadership
Quarterly, 18, hlm. 180. Hak Cipta 2007 oleh Elsevier. Dicetak ulang dengan izin.

Dalam upaya untuk lebih jelas mendefinisikan kepemimpinan destruktif, Padilla,


Hogan, dan Kaiser (2007) mengembangkan konsep segitiga beracun yang berfokus pada
pengaruh pemimpin yang destruktif, pengikut yang rentan, dan lingkungan yang kondusif
(Gambar 13.2). Seperti yang ditunjukkan dalam model, pemimpin destruktif dicirikan dengan
memiliki karisma dan kebutuhan untuk menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk
keuntungan pribadi. Mereka juga narsis dan sering mencari perhatian dan mementingkan diri
sendiri. Pemimpin yang destruktif sering kali memiliki kisah hidup negatif yang dapat
ditelusuri ke peristiwa masa kecil yang traumatis. Mungkin dari kebencian diri, mereka sering
mengekspresikan ideologi kebencian dalam retorika dan pandangan dunia mereka.

Seperti yang diilustrasikan pada Gambar 13.2, kepemimpinan destruktif juga


menggabungkan pengikut yang rentan yang telah dicirikan sebagai konformer dan koluder.
Konformer pergi bersama dengan para pemimpin yang merusak untuk memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi seperti kekosongan, keterasingan, atau kebutuhan akan komunitas.
Pengikut ini memiliki harga diri yang rendah dan mengidentifikasi dengan pemimpin
karismatik dalam upaya untuk menjadi lebih diinginkan. Karena mereka secara psikologis
belum matang, konformer lebih mudah mengikuti otoritas dan terlibat dalam aktivitas
destruktif. Di sisi lain, kolusi mungkin menanggapi pemimpin yang merusak karena mereka

16
ambisius, berhasrat status, atau melihat peluang untuk mendapatkan keuntungan. Kolusi juga
bisa ikut karena mereka mengidentifikasi dengan keyakinan dan nilai-nilai pemimpin, yang
mungkin tidak disosialisasikan seperti keserakahan dan keegoisan.

Terakhir, segitiga beracun menggambarkan bahwa kepemimpinan yang destruktif


mencakup lingkungan yang kondusif. Ketika lingkungan tidak stabil, pemimpin sering
diberikan otoritas lebih untuk menegaskan perubahan radikal. Ketika ada ancaman yang
dirasakan, pengikut sering menerima kepemimpinan yang tegas. Orang-orang tertarik pada
pemimpin yang akan menghadapi ancaman yang mereka rasakan di lingkungan. Pemimpin
destruktif yang mengekspresikan nilai-nilai budaya yang kompatibel dengan pengikut lebih
mungkin untuk berhasil. Misalnya, budaya yang tinggi pada kolektivitas akan lebih menyukai
pemimpin yang mempromosikan identitas komunitas dan kelompok. Kepemimpinan yang
destruktif juga akan tumbuh subur ketika checks and balances organisasi lemah dan aturan
lembaga tidak efektif.

Meskipun penelitian tentang sisi gelap kepemimpinan terbatas, ini adalah area yang
penting bagi pemahaman kita tentang kepemimpinan yang tidak etis. Jelasnya, perlu adanya
pengembangan model, teori, dan instrumen penilaian tentang proses kepemimpinan
destruktif.

2.6 Principles of Ethical Leadership

Asal-usul prinsip kepemimpinan etis ini dapat ditelusuri kembali ke Aristoteles.


Pentingnya prinsip-prinsip ini telah dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk etika
biomedis (Beauchamp & Childress, 1994), etika bisnis (Beauchamp & Bowie, 1988),
psikologi konseling (Kitchener, 1984), dan pendidikan kepemimpinan (Komives , Lucas , &
McMahon, 1998). Prinsip-prinsip ini memberikan landasan bagi pengembangan
kepemimpinan etis yang baik, seperti: menghormati orang lain, melayani orang lain,
menunjukkan keadilan, harus jujur, dan membangun komunitas / relasi.

17
• Pemimpin Etis Itu Pasti Menghormati Orang Lain (Ethical Leadership Respects
Others)

Filsuf Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat bahwa adalah tugas kita adalah untuk
memperlakukan orang lain secara hormat. Melakukannya berarti selalu memperlakukan
orang lain sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri dan tidak pernah sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Seperti yang ditunjukkan oleh Beauchamp dan Bowie (1988, hlm. 37),
“Orang harus diperlakukan sebagai memiliki tujuan dan tidak boleh diperlakukan secara
murni sebagai sarana untuk mencapai tujuan pribadi orang lain.” Para penulis ini kemudian
menyarankan bahwa memperlakukan orang lain sebagai tujuan daripada sebagai sarana
mengharuskan kita memperlakukan keputusan dan nilai orang lain dengan hormat. Karena
jika kita gagal melakukannya maka akan menandakan bahwa kita memperlakukan mereka
sebagai sarana hanya untuk tujuan kita sendiri. Pemimpin yang menghormati orang lain juga
membiarkan mereka menjadi diri mereka sendiri, dengan keinginan dan ide yang kreatif.
Mereka mendekati orang lain dengan rasa nilai tanpa syarat dan perbedaan individu yang
berharga (Kitchener, 1984). Menghormati termasuk memberikan kepercayaan pada ide-ide
orang lain dan menegaskan mereka sebagai manusia. Kadang-kadang, mungkin para
karyawan / pengikutnya mengharuskan para pemimpin untuk tunduk kepada orang lain.
Seperti yang disarankan Burns (1978), pemimpin harus memelihara pengikutnya untuk
menyadari kebutuhan, nilai, dan tujuan mereka sendiri, dan membantu pengikut dalam
mengintegrasikannya dengan kebutuhan, nilai, dan tujuan pemimpin.

Menghormati orang lain adalah etika kompleks yang mirip tetapi lebih dalam dari jenis
rasa hormat yang diajarkan orang tua kepada anak-anak kecil. Rasa hormat berarti bahwa
seorang pemimpin mendengarkan dengan cermat pengikutnya, berempati, dan toleran
terhadap sudut pandang yang berlawanan. Tetapi, rasa menghormati yang dimaksud ialah
berarti bagaimana memperlakukan pengikut dengan cara yang menegaskan keyakinan, sikap,
dan nilai-nilai mereka. Ketika seorang pemimpin menunjukkan rasa hormat kepada pengikut /
karyawannya, pengikut dapat merasa kompeten tentang pekerjaan mereka. Atau singkatnya,
pemimpin yang menunjukkan rasa hormat adalah dengan memperlakukan orang lain sebagai
manusia yang layak.

Dan juga, seorang pemimpin yang beretika pasti memperhitungkan tujuan setiap orang
yang terlibat dalam kelompok dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan budaya.

18
Pemimpin seperti itu menunjukkan etika kepedulian terhadap orang lain (Gilligan, 1982) dan
tidak memaksa orang lain atau mengabaikan niat orang lain (Bass & Steidlmeier , 1999).

• Pemimpin Etis Melayani Orang Lain (Ethical Leaders Save Others)

Pemimpin yang melayani orang lain adalah altruistik: Berarti, mereka dapat
menempatkan kesejahteraan pengikutnya sebagai yang utama dalam rencana mereka. Di
tempat kerja, perilaku layanan altruistik (perhatian yang tidak mementingkan diri sendiri
untuk menolong orang lain), dapat diamati dalam kegiatan seperti pendampingan, perilaku
pemberdayaan , pembangunan tim, dan perilaku kewarganegaraan. (Kanungo & Mendonca ,
1996).

Seorang pemimpin yang beretika pasti memperhitungkan tujuan setiap orang yang
terlibat dalam kelompok dan memperhatikan kepentingan masyarakat dan budaya. Pemimpin
seperti itu menunjukkan etika kepedulian terhadap orang lain (Gilligan, 1982) dan tidak
memaksa orang lain atau mengabaikan niat orang lain (Bass & Steidlmeier , 1999).

Memiliki etika altruistik yang kuat dalam cara menekankan bahwa para pemimpin
harus memperhatikan masalah pengikut mereka dan harus menjaga dan memelihara mereka.
Selain itu, Greenleaf berpendapat bahwa pemimpin yang melayani memiliki tanggung jawab
sosial untuk peduli dengan si miskin dan harus berusaha untuk menghilangkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Greenleaf sangat menekankan pada mendengarkan,
empati, dan penerimaan tanpa syarat terhadap orang lain.

Singkatnya, apakah itu gagasan Greenleaf tentang menunggu yang miskin atau gagasan
Senge untuk memberikan diri sendiri untuk tujuan yang lebih besar, gagasan di balik layanan
berkontribusi pada kebaikan orang lain yang lebih besar. Baru-baru ini, gagasan untuk
melayani "kebaikan yang lebih besar" telah menemukan pengikut yang tidak biasa di dunia
bisnis.

• Pemimpin Etis Itu Menunjukkan Keadilan (Ethical Leaders Show Justice)

Pemimpin etis pasti memperhatikan tentang isu-isu keadilan. Mereka menjadikannya


prioritas utama untuk memperlakukan semua pengikut mereka dengan cara yang sama /
setara. Keadilan menuntut agar para pemimpin menempatkan isu-isu keadilan sebagai pusat
pengambilan keputusan mereka. Sebagai aturan, tidak seorang pun harus menerima perlakuan
khusus atau pertimbangan khusus kecuali ketika situasi tertentu menuntutnya. Ketika

19
individu diperlakukan secara berbeda, alasan untuk perlakuan yang berbeda harus jelas dan
masuk akal, dan harus didasarkan pada nilai-nilai moral. Misalnya, banyak dari kita yang
ingat pernah terlibat dengan beberapa jenis tim atletik ketika kita tumbuh dewasa. Pelatih
yang kami sukai adalah yang kami pikir adil dengan kami. Apa pun yang terjadi, kami tidak
ingin pelatih memperlakukan siapa pun secara berbeda dari yang lain. Ketika seseorang
datang terlambat untuk berlatih dengan alasan yang buruk, kami ingin orang itu didisiplinkan
sama seperti kami akan didisiplinkan. Jika seorang pemain memiliki masalah pribadi dan
perlu istirahat, kami ingin pelatih memberikannya, sama seperti kami akan diberi istirahat.
Tanpa pertanyaan, pelatih yang baik adalah mereka yang tidak pernah memiliki favorit dan
yang membuat poin bermain semua orang di tim. Intinya, yang kami inginkan adalah pelatih
kami adil dan adil.

Ketika sumber daya dan penghargaan atau hukuman didistribusikan kepada karyawan,
pemimpin memainkan peran utama. Aturan-aturan yang digunakan dan bagaimana
penerapannya sangat menentukan apakah pemimpin peduli terhadap keadilan dan bagaimana
dia mendekati isu-isu keadilan. Rawls (1971) menyatakan bahwa perhatian dengan isu-isu
keadilan diperlukan untuk semua orang yang bekerja sama untuk mempromosikan
kepentingan bersama mereka. Ini mirip dengan etika timbal balik, atau dikenal sebagai
Aturan Emas “Lakukan kepada orang lain seperti yang Anda ingin mereka lakukan kepada
kita” variasi yang telah muncul di banyak budaya yang berbeda sepanjang zaman. Jika kita
mengharapkan keadilan dari orang lain dalam cara mereka memperlakukan kita, maka kita
harus memperlakukan orang lain dengan adil dalam berurusan dengan mereka. Isu keadilan
menjadi problematis karena selalu ada batasan barang dan sumber daya, dan sering terjadi
persaingan untuk hal-hal terbatas yang tersedia. Karena kelangkaan sumber daya yang nyata,
Konflik sering terjadi antara individu karena terjadinya ketidakadilan yang adil. Penting bagi
para pemimpin untuk secara jelas menetapkan aturan untuk mendistribusikan penghargaan.

Sebagai pemilik perusahaan adalah tantangan kita yang menetapkan keputusan baru
dengan cara yang adil. Meskipun banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan
kita sebagai pemimpin (misalnya, senioritas, tingkat upah, atau kesehatan karyawan).

• Pemimpin Yang Etis Itu Harus Jujur (Ethical Leaders Manifest Honesty)

Ketika kita masih anak-anak, orang dewasa sering mengatakan kepada kita bahwa kita
harus “tidak pernah berbohong”. Untuk menjadi baik berarti kita harus jujur. Bagi pemimpin
pelajarannya sama: Untuk menjadi pemimpin yang etis, seseorang harus jujur.

20
Pentingnya bersikap jujur dapat dipahami lebih jelas ketika kita mempertimbangkan
lawan dari kejujuran: ketidakjujuran (laksa & Pritchard, 1988). Ketidakjujuran adalah salah
satu bentuk kebohongan, cara salah menggambarkan kenyataan. Ketidakjujuran dapat
membawa banyak hasil yang tidak menyenangkan; terpenting di antara hasil-hasil itu adalah
ketidakpercayaan yang diciptakannya. Ketika para pemimpin tidak jujur, orang lain akan
melihat mereka sebagai orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak dapat diberikan
kepercayaan. Orang-orang kehilangan kepercayaan pada apa yang dikatakan dan
diperjuangkan para pemimpin, dan rasa hormat mereka terhadap para pemimpin berkurang.
Akibatnya, dampak pemimpin terganggu karena orang lain tidak lagi percaya pada
pemimpin.

Ketika kita berhubungan dengan orang lain, ketidakjujuran juga berdampak negatif. Ini
menempatkan ketegangan pada bagaimana orang terhubung satu sama lain. Ketika kita
berbohong kepada orang lain, kita pada dasarnya mengatakan bahwa kita bersedia untuk
memanipulasi hubungan dengan cara kita sendiri. Kami mengatakan bahwa kami tidak
mempercayai orang lain dalam hubungan untuk dapat menangani informasi yang kami miliki.
Pada kenyataannya, kita menempatkan diri kita di depan hubungan dengan mengatakan
bahwa kita tahu apa yang terbaik untuk hubungan itu. Efek jangka panjang dari jenis perilaku
ini adalah melemahkan hubungan. Bahkan ketika digunakan dengan niat baik, ketidakjujuran
berkontribusi pada rusaknya hubungan.

Tapi menjadi jujur bukan hanya tentang mengatakan yang sebenarnya. Ini berkaitan
dengan bersikap terbuka dengan orang lain dan menjelaskan realitas selengkap mungkin.
Namun, ini bukan tugas yang mudah, karena ada kalanya mengatakan kebenaran yang sangat
detail malahan bisa merusak atau kontraproduktif. Tantangan bagi para pemimpin adalah
untuk mencapai keseimbangan antara bersikap terbuka dan terus terang sambil memantau apa
yang pantas untuk diungkapkan dalam situasi tertentu. Sering kali, ada kendala organisasi
yang mencegah pemimpin mengungkapkan informasi kepada pengikut. Penting bagi para
pemimpin untuk menjadi otentik, tetapi juga penting bahwa mereka peka terhadap sikap dan
perasaan orang lain. Kepemimpinan yang jujur melibatkan serangkaian perilaku yang luas.

• Pemimpin Etis Itu Membangun Komunitas / Relasi (Ethical Leaders Builds


Community / Relation)

Kepemimpinan sebagai proses di mana seorang individu mempengaruhi sekelompok


individu untuk mencapai tujuan bersama. Definisi ini memiliki dimensi etika yang jelas

21
karena mengacu pada tujuan bersama. Tujuan bersama mengharuskan pemimpin dan
pengikut menyepakati arah yang akan diambil oleh kelompok. Para pemimpin perlu
memperhitungkan tujuan mereka sendiri dan pengikut saat bekerja menuju tujuan yang cocok
untuk keduanya.

Kepedulian terhadap kebaikan bersama berarti bahwa para pemimpin tidak dapat
memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Mereka perlu mencari tujuan yang sesuai
dengan semua orang.

Rost (1991) melangkah lebih jauh dan menyarankan bahwa kepemimpinan etis
menuntut perhatian pada kebajikan sipil. Dengan ini, dia bermaksud bahwa para pemimpin
dan pengikut perlu memperhatikan lebih dari tujuan mereka sendiri yang ditentukan bersama.
Mereka perlu memperhatikan maksud dan tujuan komunitas. Seperti yang ditulis Burns
(1978, hlm. 429), para pemimpin dan pengikut transformasional mulai menjangkau
kolektivitas sosial yang lebih luas dan berusaha membangun tujuan moral yang lebih tinggi
dan lebih luas. Demikian pula, Greenleaf (1970) berpendapat bahwa membangun komunitas
adalah karakteristik utama dari kepemimpinan yang melayani. Semua tujuan individu dan
kelompok kita terikat dalam kepentingan bersama dan kepentingan umum. Kita perlu
memperhatikan bagaimana perubahan yang diusulkan oleh seorang pemimpin dan pengikut
akan mempengaruhi organisasi yang lebih besar, komunitas, dan masyarakat. Seorang
pemimpin etis peduli dengan kebaikan bersama, dalam arti luas. Ini digarisbawahi oleh
Wilson dan McCalman (2017), yang berpendapat bahwa kepemimpinan untuk kebaikan yang
lebih besar adalah tujuan akhir yang harus diarahkan oleh kepemimpinan etis.

2.7 How Does The Ethical Leadership Perspective Work?

• Kekuatan Kepemimpinan Etis

Penelitian dan studi mengenai kepemimpinan etis ini memiliki beberapa kekuatan.
Pertama, menyediakan badan penelitian tepat waktu tentang masalah etika. Ada tuntutan
tinggi untuk kepemimpinan moral dalam masyarakat kita saat ini. Orang-orang telah
menuntut tingkat tanggung jawab moral yang lebih tinggi dari para pemimpin mereka. Pada
saat tampaknya ada kekosongan dalam kepemimpinan etis, penelitian ini menawarkan kepada
kita beberapa arahan tentang bagaimana memikirkan dan mempraktikkan kepemimpinan etis.

Kedua, penelitian ini menunjukkan bahwa etika harus dianggap sebagai bagian
integral dari domain kepemimpinan yang lebih luas. Kecuali kepemimpinan yang melayani,

22
transformasional, dan otentik, tidak ada teori kepemimpinan lain yang berfokus pada peran
etika dalam proses kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain; ia memiliki dimensi moral


yang membedakannya dari jenis pengaruh lain, seperti paksaan atau kontrol despotik.
Kepemimpinan melibatkan nilai-nilai, termasuk menunjukkan rasa hormat kepada pengikut,
bersikap adil kepada orang lain, dan membangun komunitas. Ini bukan proses yang bisa kita
tunjukkan tanpa menunjukkan nilai-nilai kita. Ketika kita mempengaruhi, kita memiliki efek
pada orang lain, yang berarti kita perlu memperhatikan nilai-nilai dan etika kita.

• Kritik Kepemimpinan Etis

Sangat sedikit penelitian yang telah dipublikasikan tentang dasar-dasar teoritis etika
kepemimpinan. Meskipun banyak penelitian telah diterbitkan tentang etika bisnis, penelitian
ini belum secara langsung berhubungan dengan kepemimpinan etis.

Kritik lain adalah bahwa etika kepemimpinan saat ini terutama bergantung pada
tulisan-tulisan hanya beberapa orang yang telah menulis esai dan teks yang sangat
dipengaruhi oleh pendapat pribadi mereka tentang sifat etika kepemimpinan dan pandangan
mereka tentang dunia. Meskipun tulisan-tulisan ini, seperti Heifetz's dan Burns, telah teruji
oleh waktu, mereka belum diuji menggunakan metode penelitian kuantitatif atau kualitatif
tradisional. Mereka terutama deskriptif dan anekdot. Oleh karena itu, etika kepemimpinan
tidak memiliki dukungan empiris tradisional yang biasanya menyertai teori perilaku manusia
yang diterima.

• Penerapan Kepemimpinan Etis

Penelitian etika dan kepemimpinan dapat diterapkan pada orang-orang di semua


tingkat organisasi dan di semua lapisan masyarakat. Paling tidak, sangat penting untuk
menyatakan bahwa kepemimpinan melibatkan nilai-nilai, dan seseorang tidak dapat menjadi
pemimpin tanpa menyadari dan memperhatikan nilai-nilainya sendiri. Karena kepemimpinan
memiliki dimensi moral, menjadi seorang pemimpin menuntut kesadaran di pihak kita
tentang cara etika kita mendefinisikan kepemimpinan kita.

Teori etika dapat mengingatkan para pemimpin untuk bertanya pada diri sendiri, "Apa
hal yang benar dan adil untuk dilakukan?" atau “Apa yang akan dilakukan orang baik?”
Pemimpin dapat menggunakan prinsip-prinsip etika yang dijelaskan dalam penelitian ini

23
sebagai tolok ukur untuk perilaku mereka sendiri. Apakah saya menunjukkan rasa hormat
kepada orang lain? Apakah saya bertindak dengan semangat yang murah hati? Apakah saya
menunjukkan kejujuran dan kesetiaan kepada orang lain? Apakah saya melayani masyarakat?
Akhirnya, kita dapat belajar dari tema utama dalam penelitian ini bahwa hubungan
pemimpin-pengikut adalah inti dari kepemimpinan etis. Untuk menjadi pemimpin yang
beretika, kita harus peka terhadap kebutuhan orang lain, memperlakukan orang lain dengan
adil, dan peduli terhadap orang lain.

2.8 Factors Related to Ethical Leadership

1. Karakter Pemimpin (The Character of the Leader)

Karakter pemimpin merupakan aspek fundamental dari kepemimpinan etis. Ketika


dikatakan seorang pemimpin memiliki karakter yang kuat, pemimpin itu dipandang sebagai
manusia yang baik dan terhormat. Karakter pemimpin mengacu pada kualitas, watak, dan
nilai-nilai inti pemimpin.

Karakter adalah sesuatu yang dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir, sekolah-
sekolah nasional telah melihat minat yang tumbuh dalam pendidikan karakter. Perilaku buruk
tokoh masyarakat telah menyebabkan ketidakpercayaan tokoh masyarakat, yang
menyebabkan masyarakat menuntut agar pendidik melakukan pekerjaan yang lebih baik
dalam melatih anak-anak menjadi warga negara yang baik. Akibatnya, sebagian besar

24
sekolah saat ini mengajarkan pendidikan karakter sebagai bagian dari kurikulum normal
mereka.

Meskipun karakter jelas merupakan inti dari siapa Anda sebagai pribadi, itu juga
sesuatu yang dapat Anda pelajari untuk memperkuat dan mengembangkannya. Seorang
pemimpin dapat mempelajari nilai-nilai yang baik. Ketika dipraktikkan dari waktu ke waktu,
dari masa muda hingga dewasa, nilai-nilai baik menjadi kebiasaan, dan menjadi bagian dari
diri manusia itu sendiri. Dengan mengatakan yang sebenarnya, orang menjadi jujur; dengan
memberi kepada orang miskin, orang menjadi dermawan; dan dengan bersikap adil kepada
orang lain, orang menjadi adil. Kebajikan diri, dan karenanya karakter diri, berasal dari
tindakan diri sendiri.

2. Aksi Pemimpin (The Action of the Leader)

Tindakan mengacu pada cara seorang pemimpin mencapai tujuan. Pemimpin etis
menggunakan sarana moral untuk mencapai tujuan mereka. Cara seorang pemimpin
melakukan pekerjaannya merupakan penentu penting apakah dia adalah pemimpin yang etis.
Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan seorang pemimpin untuk mencapai tujuan harus
etis. Mereka tidak dapat dibenarkan oleh kebutuhan atau pentingnya tujuan pemimpin.
Kepemimpinan etis melibatkan penggunaan tindakan yang sesuai secara moral untuk
mencapai tujuan.

Enam Pilar dari Karakter:


Kepercayaan
• Jujur
• Dapat
diandalkan:
lakukan apa
Kepercayaan adalah yang paling rumit dari enam nilai etika yang telah
inti dan menyangkut berbagai kualitas seperti kejujuran, dikatakan
integritas, keandalan, dan kesetiaan. • Mempunyai
keberanian
untuk
melakukan hal
yang benar

25
• Jangan menipu,
curang, atau
mencuri
• Bangun
reputasi yang
baik
Menghormati
• Toleransi
terhadap
perbedaan
• Gunakan sopan
Meskipun kita tidak memiliki kewajiban etis untuk
santun
menjunjung tinggi semua orang, kita harus memperlakukan
• Perhatian
semua orang dengan hormat.
dengan orang
lain
• Selesaikan
perselisihan
Tanggung Jawab
• Lakukan
pekerjaanmu
• Tekun
• Berpikir
Orang yang beretika menunjukkan tanggung jawab dengan
sebelum
menjadi akuntabel, mengejar keunggulan, dan menahan diri.
bertindak
Mereka menunjukkan kemampuan untuk menanggapi
• Sadar akan
harapan.
konsekuensi
• Tanggung
jawab terhadap
pilihan sendiri
Keadilan
Keadilan menyiratkan kepatuhan pada standar keadilan yang • Bermain sesuai
seimbang tanpa relevansi dengan perasaan atau indikasi dengan aturan

26
seseorang • Berpikiran
terbuka
• Tidak
mengambil
keuntugan atas
orang lain
• Tidak
menyalahkan
orang lain
Kepedulian
• Jadi orang
baik, penuh
Peduli adalah jantung dari etika dan pengambilan keputusan
kasih
etis. Hampir tidak mungkin untuk benar-benar etis namun
• Memaafkan
tidak peduli dengan kesejahteraan orang lain. Ini karena
orang lain
etika pada akhirnya adalah tentang hubungan baik dengan
• Membantu
orang lain.
orang yang
membutuhkan
Kewarganegaraan
• Berbagi dengan
komunitas
• Terlibat
Warga negara yang baik memberi lebih dari yang dia terima,
• Tetap
melakukan lebih dari bagiannya yang “adil” untuk membuat
terinformasi:
masyarakat bekerja, sekarang dan untuk generasi
Pilih
mendatang. Kewarganegaraan mencakup kebajikan dan
• Hormati pihak
kewajiban sipil yang menentukan bagaimana kita harus
yang
berperilaku sebagai bagian dari komunitas.
berwenang
• Menjaga
lingkungan

27
Selain itu, ada tiga prinsip yang memiliki hubungan khusus dengan tindakan para
pemimpin etis:

• Menunjukkan Rasa Hormat (Showing Respect)

Menunjukkan rasa hormat berarti memperlakukan orang lain sebagai manusia yang
unik dan tidak pernah sebagai alat untuk mencapai tujuan. Itu membutuhkan memperlakukan
keputusan dan nilai orang lain dengan hormat. Hal ini juga membutuhkan penilaian ide-ide
orang lain dan menegaskan individu-individu ini sebagai manusia yang unik. Ketika seorang
pemimpin menunjukkan rasa hormat kepada pengikut, pengikut menjadi lebih percaya diri
dan percaya bahwa kontribusi mereka memiliki nilai

• Melayani Orang Lain (Serving Others)

Melayani orang lain adalah contoh altruisme, sebuah pendekatan yang menunjukkan
bahwa tindakan etis jika tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan kepentingan terbaik
orang lain. Di tempat kerja, melayani orang lain dapat diamati dalam kegiatan seperti
mentoring, memberdayakan orang lain, membangun tim, dan perilaku kewarganegaraan.
Dalam mengamalkan prinsip pelayanan, seorang pemimpin yang beretika harus bersedia
menjadi follower centered. Artinya, pemimpin mencoba untuk menempatkan kepentingan
orang lain terutama dalam pekerjaannya, dan bertindak dengan cara yang akan
menguntungkan orang lain.

• Menunjukkan Keadilan (Showing Justice)

Pemimpin yang etis menjadikannya prioritas utama untuk memperlakukan semua


pengikut mereka dengan cara yang sama. Keadilan menuntut seorang pemimpin untuk
menempatkan isu keadilan sebagai pusat pengambilan keputusan. Sebagai aturan, tidak
seorang pun harus menerima perlakuan khusus atau pertimbangan khusus kecuali ketika
situasi tertentu menuntutnya. Ketika individu diperlakukan secara berbeda, alasan untuk
perlakuan yang berbeda harus jelas, masuk akal, dan berdasarkan nilai-nilai moral yang sehat.

Selain itu, keadilan berkaitan dengan Aturan Emas: Perlakukan orang lain sebagaimana
Anda ingin diperlakukan. Jika Anda mengharapkan perlakuan yang adil dari orang lain, maka
Anda harus memperlakukan orang lain dengan adil. Isu keadilan menjadi problematis karena
selalu ada batasan barang dan sumber daya. Akibatnya, sering terjadi persaingan untuk
mendapatkan sumber daya yang langka. Karena kelangkaan sumber daya yang nyata atau

28
dirasakan, konflik sering terjadi antara individu tentang metode distribusi yang adil. Penting
bagi seorang pemimpin untuk menetapkan dengan jelas aturan untuk mendistribusikan
penghargaan. Sifat aturan ini mengatakan banyak tentang dasar-dasar etika pemimpin dan
organisasi.

3. Kejujuran Pemimpin (The Honesty of the Leader)

Faktor utama lain yang berkontribusi pada kepemimpinan etis adalah kejujuran. Lebih
dari kualitas lainnya, orang ingin pemimpin mereka jujur. Bahkan, bisa dikatakan jujur
identik dengan beretika. Tetapi menjadi jujur bukan hanya tentang pemimpin yang
mengatakan yang sebenarnya. Ini juga berkaitan dengan keterbukaan dengan orang lain dan
merepresentasikan realitas selengkap dan selengkap mungkin. Ini bukan tugas yang mudah
karena ada kalanya mengatakan kebenaran yang lengkap bisa menjadi destruktif atau
kontraproduktif. Tantangan bagi seorang pemimpin adalah untuk mencapai keseimbangan
antara bersikap terbuka dan jujur, dan pada saat yang sama memantau apa yang pantas untuk
diungkapkan dalam situasi tertentu.

Kunci untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan adalah selalu waspada dan sadar akan
pengaruh kepemimpinan seseorang terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang etis tidak
menggunakan kekuasaan atau mendominasi, melainkan memperhitungkan kehendak para
pengikut, serta kehendak pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin etis menggunakan
kekuatan untuk bekerja dengan pengikut untuk mencapai tujuan bersama mereka.

4. Nilai Pemimpin (The Value of the Leader)

Faktor terakhir yang berkontribusi untuk memahami kepemimpinan etis adalah nilai.
Nilai adalah ide, keyakinan, dan cara bertindak yang menurut orang berharga atau diinginkan.
Beberapa contoh nilai adalah perdamaian, keadilan, integritas, keadilan, dan komunitas.
Nilai-nilai etika seorang pemimpin ditunjukkan dalam kepemimpinan sehari-hari.

Dalam situasi kepemimpinan, baik pemimpin maupun pengikut memiliki nilai-nilai,


dan nilai-nilai ini jarang sama. Seorang pemimpin membawa nilai-nilai uniknya sendiri ke
dalam situasi kepemimpinan, dan pengikut melakukan hal yang sama. Tantangan bagi
pemimpin etis adalah untuk setia pada nilai-nilai kepemimpinannya sendiri sambil peka
terhadap nilai-nilai pengikut.

29
5. Tujuan Pemimpin (The Goals of The Leader)

Tujuan yang ditetapkan seorang pemimpin adalah faktor ketiga yang terkait dengan
kepemimpinan etis. Bagaimana seorang pemimpin menggunakan tujuan untuk
mempengaruhi orang lain mengatakan banyak tentang etika pemimpin. Tujuan yang dipilih
seorang pemimpin adalah cerminan dari etika pemimpin. Tujuan dan Kepemimpinan yang
Tidak etis mengidentifikasi dan mengejar tujuan yang adil dan layak adalah langkah paling
penting yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin yang beretika. Dalam memilih tujuan,
seorang pemimpin yang etis harus menilai nilai dan nilai relatif dari tujuannya. Dalam
prosesnya, penting bagi pemimpin untuk mempertimbangkan kepentingan orang lain dalam
kelompok atau organisasi dan, dalam beberapa kasus, kepentingan masyarakat dan budaya
yang lebih besar di mana dia bekerja. Seorang pemimpin etis mencoba untuk menetapkan
tujuan di mana semua pihak dapat saling setuju. Seorang pemimpin etis dengan tujuan etis
tidak akan memaksakan kehendaknya pada orang lain.

6. Kekuatan Pemimpin (The Power of The Leader)

Faktor lain yang berperan dalam kepemimpinan etis adalah kekuasaan. Kekuasaan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau mempengaruhi orang lain. Seorang pemimpin
memiliki kekuatan karena dia memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan, sikap,
dan tindakan orang lain. Pemimpin agama, manajer, pelatih, dan Guru adalah semua orang
yang memiliki potensi untuk mempengaruhi orang lain. Ketika mereka menggunakan potensi
mereka, mereka menggunakan kekuatan mereka sebagai sumber daya untuk mempengaruhi
perubahan pada orang lain.

Penelitian yang paling banyak dikutip tentang kekuasaan adalah karya French dan
Raven (1959) tentang basis kekuasaan sosial. French dan Raven mengidentifikasi lima basis
kekuatan yang umum dan penting: kekuasaan rujukan, kekuasaan ahli, kekuasaan legitimasi,
kekuasaan penghargaan, dan kekuasaan koersif (lihat Tabel 12.2). Masing-masing jenis
kekuasaan ini meningkatkan kapasitas seorang pemimpin untuk berdampak pada orang lain,
dan masing-masing memiliki potensi untuk disalahgunakan.

Lima Basis Kekuatan (Five Bases of Power)

1. Kekuatan Referensi Berdasarkan identifikasi Contoh: Seorang dosen


(Referent Power) pengikut dan kesukaan yang sangat dikagumi oleh
terhadap pemimpin mahasiswa

30
2. Kekuatan Ahli (Expert Berdasarkan persepsi Contoh: Seseorang dengan
Power) pengikut tentang pengetahuan yang kuat
kompetensi pemimpin tentang program perangkat
lunak
3. Kekuasaan yang Sah Terkait dengan status atau Contoh: Seorang hakim
(Legitimate Power) otoritas pekerjaan formal yang memimpin kasus
pengadilan
4. Kekuatan Hadiah Berasal dari memiliki Contoh: Seorang
(Reward Power) kapasitas untuk supervisor yang dapat
memberikan manfaat bagi memberikan bonus kepada
orang lain karyawan
5. Kekuatan Paksaan Berasal dari mampu Contoh: Seorang guru
(Coercive Power) menghukum atau yang dapat menurunkan
menghukum orang lain nilai siswa karena tidak
masuk kelas

Kunci untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan adalah selalu waspada dan sadar akan
pengaruh kepemimpinan seseorang terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang etis tidak
menggunakan kekuasaan atau mendominasi, melainkan memperhitungkan kehendak para
pengikut, serta kehendak pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin etis menggunakan
kekuatan untuk bekerja dengan pengikut untuk mencapai tujuan bersama mereka.

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pentingnya bagi pemimpin untuk memiliki etika yang baik, karena tanpa etika
pemimpin akan mendapatkan malapetaka yang dapat menimbulkan ketidakstabilan dan
kehancuran dan juga tanpa etika maka pemimpin tidak akan pernah mampu menyentuh hati
terdalam dari para pengikut. Dan dia juga akan menjadi yang gampang untuk diatur oleh
lawan dan kawannya.

Pentingnya juga seorang pemimpin untuk memiliki prinsip kepemimpinan etis seperti;
Respects Others, Serves Others, Show Justice, Manifests Honesty, dan Builds Community.
Karena, prinsip-prinsip ini memberikan landasan bagi pengembangan kepemimpinan etis
yang baik.

Kepemimpinan etis ini memiliki beberapa kekuatan. Pertama, menyediakan badan


penelitian tepat waktu tentang masalah etika, Kedua, penelitian menunjukkan bahwa etika
harus dianggap sebagai bagian integral dari domain kepemimpinan yang lebih luas. Kecuali
kepemimpinan yang melayani, transformasional, dan otentik, tidak ada teori kepemimpinan
lain yang berfokus pada peran etika dalam proses kepemimpinan.

Dan juga, Seorang pemimpin yang etis tidak akan menyalahgunakan / menggunakan
kekuasaan ataupun mendominasi, melainkan memperhitungkan kehendak para pengikut, serta
kehendak pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin etis menggunakan kekuatan untuk bekerja
dengan pengikut untuk mencapai tujuan bersama mereka.

32
DAFTAR PUSTAKA

Peter G. Northouse, 2016. Leadership Theory and Practice 8th ed. Sage Publications, Inc.

Peter G. Northouse, 2016. Leadership Theory and Practice 4th ed. Sage Publications, Inc.

33

Anda mungkin juga menyukai