Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

TYPHOID
Untuk Memenuhi Tugas Semester lll Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh :

Afiani Iswayudi (42010420004)

Alifah Nur ain (42010420005)

Andi Sanggita (42010420006)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN CIREBON 2021

1
ABSTRAK

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan, dan
gangguan kesadaran. Penyakit demam tifoid ini sangat erat hubungannya dengan
kebersihan perseorangan dan lingkungan.

Desain penelitian adalah studi kasus, subyek yang digunakan 2 pasien Ny. D dan Tn. D dalam
jangka waktu penelitian 3 hari, dari mulai dilakukan pengkajian sampai pasien keluar rumah
sakit yang bertempat di Ruang Pav. Blue Rumah sakit Wiyung Sejahtera. Metode
pengumpulan data adalah wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan dokumentasi asuhan keperawatan.

Hasil studi kasus pada pasien Ny. D dan Tn. D dengan penderita tifoid, didapatkan satu
diagnosis yang prioritas yakni ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan respons
inflamasi sistemik. Dengan tindakan asuhan keperawatan selama 3 hari didapatkan suhu
dalam batas normal, setelah dilakukan tindakan kompres hangat dan pemberian anti biotik.

Kesimpulan dari studi kasus ini adalah dengan teknik kompres hangat, diit lunak, dan obat
anti biotik. Sehingga disarankan bagi keluarga pasien tentang perlunya menjaga kesehatan
fisik dan lingkungan, sehingga dapat menekan tingginya angka penderita demam tifoid di
Indonesia.

Kata kunci: Demam tifoid, ketidakefektifan termoregulasi

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Typhoid" dengan tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang demam typhoid dan cara mencegahnya

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu healthy selaku guru Mata Kuliah Keprawatan
Medikal Bedah Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 13 September 2021

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

3
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................

1.1 Latar belakang .............................................................................................

1.2Rumusan masalah........................................................................................

1.3Tujuan masalah............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................

1.5 Definisi typoid..............................................................................................

1.6 Pengobatan Demam Typhoid......................................................................

1.7 Tinjauan antibiotik........................................................................................

1.8 Rasionalitas..................................................................................................

1.9 Rekam medik...............................................................................................

2.1 Rumah sakit..................................................................................................

BAB III JURNAL........................................................................................................

2.2 Jurnal 1.........................................................................................................

2.3 Jurnal 2.........................................................................................................

2.4 Jurnal 3..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi (Balentine, 2005). Kuman Salmonella Typhi ini terdapat di dalam kotoran, urine
manusia dan juga pada makanan dan minuman yang tercemar kuman yang dibawa oleh
lalat (Prabu, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya penderita demam typhoid
adalah tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang pencegahan penyakit
tersebut dan masih rendahnya status sosial ekonomi masyarakat serta masih banyaknya
4
pembawa kuman (carier) di masyarakat (Sabdoadi, 1991). Hasil penelitian sebelumnya di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta selama tahun 2009, terdapat 300 kasus demam
typhoid. Antibiotik yang sering digunakan adalah cefotaxim sebanyak 47 peresepan
(49,47%). Persentase penggunaan antibiotik golongan sefalosporin sebanyak 67,79%,
Fluoroquinolon (Ciprofloxasin) sebesar 11,8%, Penisilin dan Kloramfenikol sebanyak 6,78%,
aminoglikosida 4,23%, dan golongan lain-lain sebanyak 1,63%. Kajian penggunaan antibiotik
terdapat 100% tepat indikasi, pasien sebanyak 98,95%, yang mengalami tepat obat
sebanyak 96,84%, dan yang mengalami tepat dosis sebanyak 82,10%. (Rakhma, 2010).
Pengobatan demam typhoid sampai saat ini masih dianut tiga penatalaksanaan, salah
satunya yaitu didominasi oleh berbagai jenis antibiotik seperti kloramfenikol, amoksisilin,
kotrimoksazol, ampicillin dan tiamfenikol.

(Widodo, 1996). Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka


banyak obat-obat baru yang diproduksi, khususnya antibiotik. Penggunaan antibiotika
secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya adalah harus
sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya dan tetap
memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi rasional dan
tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai dengan badan kesehatan dunia
(WHO, 2003). Lebih dari 50% obat-obatan antibiotik demam typhoid di Sukoharjo
diresepkan dan diberikan tidak sesuai terapi (Rudi, 2010).

Demam typhoid merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan serius sehingga


penderita demam typhoid lebih memilih untuk berobat kerumah sakit. Melihat gambaran
yang telah diuraikan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
berbagai macam antibiotik yang digunakan dan bagaimana pola pengobatan yang diberikan
pada penderita demam typhoid yang berobat ke rumah sakit, serta kesesuaiannya dengan
standar terapi yang digunakan. Penelitian ini diadakan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Surakarta karena berdasarkan data rekam medik pada tahun 2010, kasus demam typhoid di
rumah sakit tersebut angka kejadiannya nomor satu dalam sebelas besar penyakit infeksi
yaitu sekitar 517 pasien dengan diagnosis demam typhoid dari 2.876 pasien.
B. Perumusan Masalah

5
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan “Apakah penggunaan antibiotik
pada kasus demam typhoid dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2010 sudah memenuhi konsep rasionalitas?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus
demam typhoid dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta
pada tahun 2010, meliputi: tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, serta tepat dosis.
D. Tinjauan teori

1. Demam typhoid

a. Definisi

Demam typhoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam
paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinik yang sama atau
menyebabkan enteritis akut (Juwono dan Prayitno, 2004). Penyebabnya adalah kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain demam enterik kuman ini
dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia (tidak
menyerang usus) (Rasmilah, 2001). Proses timbulnya demam typhoid berawal dari kuman
yang masuk lewat rongga mulut menuju ke lambung, suatu tempat dimana terdapat
mekanisme pertahanan tubuh yang berfungsi mematikan kuman. Sekalipun lambung
mampu mematikan kuman tapi ternyata masih ada sebagian kuman yang lolos, kuman yang

lolos inilah yang kemudian masuk dan menempel di usus halus. Didalam usus biasanya
disebut sebagai ileum terminalis, kemampuan berkembang biak, lalu menyebar kemana-
mana diantaranya menuju sel-sel usus, kelenjar dan saluran getah bening, pembuluh darah
bahkan bisa mencapai otak (Juwono dan Prayitno, 2004).

Salmonella typhi dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang lebih
rendah sedikit serta mati pada suhu 70°C maupun oleh antiseptik. Sampai saat ini diketahui
bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Rampengan dan Laurentz, 1993). Pada demam
typhoid suhu tubuh semakin lama kian meninggi, diikuti penurunan kesadaran, bibir dan
lidah kering serta menurunnya tekanan darah. Pada penurunannya terjadi secara cepat dan

6
mendadak perlu diwaspadai sebagai penanda terjadinya pendarahan atau perforasi (usus
berlubang). Bila tidak ada komplikasi, umumnya di minggu ketiga mulai terjadi proses
penyembuhan (Ganiswara,1995)

b. Diagnosis

Diagnosis pasti demam typhoid dapat ditegakkan apabila ditemukan kuman dalam darah,
sumsum tulang, tinja atau air kemih. Diagnosis pada anak diatas usia 5 tahun, gejala serta
tanda klinis demam typhoid hampir menyerupai penderita dewasa seperti, demam selama 1
minggu atau lebih, pembesaran limpa, hati, dapat disertai diare maupun konstipasi
(Rampengan dan Laurentz, 1993). Untuk memastikan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan
laboratorium, meliputi:

a) Kultur Darah

Cara yang digunakan untuk menentukan diagnosis definitif demam

typhoid adalah biakan darah. Organisme dapat ditemukan dengan kultur darah dalam 70
sampai 90 persen selama minggu pertama sakit demam typhoid (Guerrant, 1991). Hasil
biakan darah yang positif memastikan demam typhoid, tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam typhoid, karena mungkin disebabkan karna banyak hal, seperti: telah
mendapat terapi antibiotik, volume darah yang kurang, vaksinasi dan saat pengambilan
darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat (Widodo, 1996).

b) Pemeriksaan Darah Perifer

Pemeriksaan darah perifer terdapat gambaran leukositosis, leukopenia,

anemia, aneosinofilia atau limfosit relatif (Nursalam, 2005). Leukopenia 3000 sampai 4000
sel per milimeter kubik menandai fase demam pada demam typhoid. Kenaikan mendadak
leukosit sampai 10.000 sel per milimeter kubik atau lebih, menggambarkan kemungkinan
perforasi usus, perdarahan, atau komplikasi piogenik. Anemia normokrom normositik
berkembang selama perjalanan penyakit demam typhoid dan diperburuk oleh kehilangan
darah melalui lesi usus. Darah samar dan leukositosis mononuklear di dalam fases lazim
terdapat sejak minggu kedua penyakit demam typhoid (Guerrant, 1991).

7
c) Pemeriksaan Serologi

Uji Widal merupakan uji aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam typhoid, juga terdapat
pada orang yang pernah ketularan salmonella dan orang yang pernah divaksinasi terhadap
demam typhoid. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
pasien yang disangka mendeita demam typhoid (Juwono dan Prayitno, 2004).

Algoritma penatalaksanaan demam typhoid dapat dilihat pada gambar:

Gambar 1. Algoritma tatalaksana demam typhoid (WHO, 2003).

2. Pengobatan Demam Typhoid

Pengobatan demam typhoid yang secara garis besar ada 3 bagian, yaitu perawatan, diet dan
obat.

1) Perawatan

Penderita demam typhoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, obsevasi serta
pengobatan (Rempengan dan Laurenz, 1993). Lama perawatan (Length of stay) demam
typhoid sangat tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya, ketaatan dan kedisiplinan
pasien pada minum obat serta diet makanan. Pada umumnya lama perawatan demam
typhoid adalah 7 hari, pasien

8
dipulangkan setelah 10 hari bebas panas. Lama perawatan yang terlalu cepat dikhawatirkan
dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan kekambuhan kembali
(Hadisapoetro,1990).
2) Diet

Dengan diet optimal keadaan umum dapat membantu mempercepat penyembuhan atau
meniadakan kemungkinan terjadinya penyakit (Sabdoadi, 1991). Beberapa peneliti
menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan
memperhatikan segi kualitas dan kuantitas. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik
kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah
atau bebas selulose, menghindari makanan yang sifatnya iritatif. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran maka pemasukan makanan lebih diperhatikan perawatan. Pemberian
makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya
berat badan selama perawatan, masa dirumah sakit dapat diperpendek, dapat menekan
penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi
lain selama perawatan (Rampengan dan Laurentz, 1993).

3) Obat

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum
adanya obat-obatan antimikroba (10-15%), tetapi sejak adanya obat antimikroba terutama
kloramfenikol maka angka kematian menurun secara drastis (1-4%) (Rampengan dan
Laurent, 1993). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain ialah
kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampiclin dan amoksisilin, flouroquinolon (Juwono
dan Prayitno, 2004). Golongan fluoroquinolon (ofloxasin dan ciprofloxasin) adalah antibiotik
pilihan pertama untuk pengobatan demam typhoid untuk orang dewasa, karena relatif
murah, lebih toleran dan lebih cepat menyembuhkan. Golongan flouroquinolon seperti
(fleroxacin, perfloxacin) efektif untuk pengobatan demam typhoid, tetapi tidak pada
nofloxacin karena bioaviabilitas oral rendah sehingga tidak cocok untuk demam typhoid.
Golongan fluroquinolon secara umum digunakan, beberapa negara terjadi kontraindikasi
bila diberikan pada anak-anak karena dapat mengganggu pertumbuhan tulang rawan anak
(WHO, 2003). Pemberian antibiotik untuk memusnahkan dan menghentikan penyebaran
kuman. Antibiotik yang digunakan yaitu:

9
a) Flouroquinolon

Flouroquinolon (Ofloxasin, Ciprofloxasin) efektif untuk demam typhoid (Juwono, 2004).


Indikasi ciprofloxasin yaitu sebagai infeksi Gram positif (Streptococus pneumoniae dan
Enterococcus faccalis) dan Gram negatif (salmonella, shigella, kompilobakter, neisseria dan
psoudomonas). Ciprofloxasin dapat digunakan untuk mengatasi sistem saluran cerna
(termasuk demam typhoid). Dosis siprofloxasin 500-750 mg peroral dan IV 200-400mg 2x
sehari dengan lama pemberian selama 5-7 hari. Efek samping dari ciprofloxasin yaitu nausea
vomiting, diare, hyperglikemia dan abdominal pain. Dosis ofloxasin 200- 400mg peroral dan
IV 2x sehari (BNF, 2007).

b) Kloramfenikol
Kloramfenikol dicadangkan untuk penanganan infeksi yang mengancam jiwa, terutama
demam typhoid. Kloramfenikol kontraindikasi untuk wanita hamil, menyusui dan porfiria
(WHO, 2003). Kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat dibandingkan ampicilin
dan amoksisilin. Dosis untuk orang dewasa 50-75 mg/kgbb sehari oral sampai 14-21 hari,
dengan efek samping reaksi hipersensitivitas, mual muntah, diare dan sakit kepala (BNF,
2007). Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam typhoid turun rata-rata
setelah 5 hari (Juwono dan Prayitno, 2004).
c) Ko-trimoksazol (kombinasi Trimetroprim dan sulfametoksazol)
Kotrimoksazol efektif untuk carrier S. typhi dan Salmonela spesies lain. Dosis untuk orang
dewasa 480-960 mg iv dan peroral tiap 12 jam. Ko-trimoksazol mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetroprim). Efek sampingnya yaitu mual, diare, sakit kepala
dan hyperkalemia (BNF, 2007). d) Ampicilin dan Amoksisilin Dalam hal kemampuannya
untuk menurunkan demam, efektivitas ampicilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis untuk ampicilin 0,25-1g 4x sehari sehari secara oral dan iv
500mg 4-6 jam sehari. Dosis utuk amoksisilin 250 mg setiap 8 jam peroral dan 500mg setiap
8jam untuk iv. Digunakan sampai 14 hari bebas demam. Efek sampingnya yaitu diare,
nausea dan vomiting (BNF, 2007). Dengan ampicilin dan amoksisilin demam pada demam
typhoid turun rata-rata setelah 7-9 hari (Juwono dan Prayitno, 2004).
e) Sefalosporin generasi ke-3
Sefalosporin generasi ketiga (misalnya, ceftriaxone, cefixime, cefotaxime, dan sefoperazone)
dan azitromisin juga efektif untuk pengobatan typhoid (Martin and Rose, 2005). Dosis
10
ceftriaxone 1g perhari, cefixim dosis dewasa yang dianjurkan adalah 15-20 mg/KgBB secara
oral, dosis injeksi 200-400mg/hari. Dosis cefotaxim 1g 2x sehari iv (BNF, 2007).
Kontraindikasi jaundice, acidosis, hipoalbuminemia dan hipersensitifitas sefalosporin.

Tabel 1. Antibiotik Yang Direkomendasikan WHO 2003 Untuk Demam Typhoid

3. Tinjauan Antibiotik

Antibiotik (Latin: anti = lawan, bios = hidup) adalah sebagai substansi yang bahkan di dalam
konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi
(Koolman and Roehm, 2005). Berdasarkan perbedaan sifat antimikroba dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu berspektrum sempit, misalnya benzilpenisilin dan streptomisin, dan
berspektrum luas misalnya tetrasiklin dan kloramfenikol. Batas antara kedua jenis spektrum
ini terkadang tidak jelas. Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektivitas
kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan
menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya
11
terhadap mikroba lain. Penggunaan antibiotik yang berlebihan pada kasus yang tidak tepat
guna menyebabkan masalah kekebalan antimikrobial. Di samping itu antimikroba
berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang
resisten (Ganiswarna, 1995).

4. Rasionalitas

Rasionalitas adalah pengobatan tercapai yang efektif, aman dan ekonomis, maka pemberian
obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi rasionalitas, meliputi:

1) Tepat Indikasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan diagnosis klinik dan

atau diagnosa bakteriologik.

2) Tepat Pemilihan Obat adalah pemilihan obat dengan memperhatikan efektifitas

obat yang bersangkutan.

3) Tepat Dosis adalah pemberian obat yang:

a. Tepat takaran (tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil).

b. Tepat rute pemberian (peroral, suppositoria, subkutan, intramuskular, intravena)


tergantung keadaan pasien.

c. Tepat saat pemberian (perut kosong, perut isi, sesaat sebelum operasi). d. Tepat interval
pemberian (6 jam sekali, 8 jam sekali, 12 jam sekali).

e. Tepat lama pemberian (sehari saja, 2 hari saja, 3 hari saja, 5-7 hari).

4) Tepat penderita adalah pemberian obat yang sesuai dengan kondisi penderita. Faktor
penderita yang diperhatikan adalah mekanisme pertahanan penderita, umur penderita,
faktor genetik, kehamilan, alergi, status perawatan, dan penyakit lain (Sastrowardoyo,
1994).

5. Rekam medik (RM)

Berpedoman kepada PERMENKES tentang rekam medik tahun 1989, pada pasal 7
dinyatakan: Lama penyimpanan RM sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terhitung tanggal

12
terakhir pasien berobat dan lama penyimpanan RM yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat khusus dapat ditetapkan tersendiri (Hanafiah dan Amri, 1999)

6. Rumah Sakit

Menurut keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992,


tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya dan
berhasil guna dengan mengutamakn upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta
melaksanakan rujukan (Siregar dan Lia, 2004).

13
14
BAB II JURNAL

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT


(PHBS) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DEMAM TYPHOID PADA SISWA SEKOLAH DASAR
Alfiani iswayudi1, Alifah nur ain2, Andi sanggita3*

Prodi D3 keperawatan, STIKKes Cirebon, Cirebon 1, Jawa Barat, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang: Pengetahuan, peran orang tua dirumah, peran guru dan ketersediaan
sarana di sekolah dapat mempengaruhi PHBS dalam upaya pencegahan demam typhoid.
Penyakit ini dapat menyerang anak-anak maupun orang dewasa melalui makanan, feses,
urin, maupun air yang telah terinfeksi atau terkontaminasi bakteri Salmonella typhi. Tujuan:
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) sebagai upaya pencegahan demam typhoid pada siswa sekolah dasar. Metode:
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian dilakukan pada tanggal
1-14 september 2020. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling
sebanyak 53 responden. Analisis data dengan analisis univariat dan analisis bivariat
menggunakan uji Chi square. Hasil: Temuan padapenelitian ini menunjukan mayoritas
responden berumur 11 tahun (54,7%). Sedangkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa
terhadap hubungan yang signifikan antara sarana dan prasarana sekolah dengan PHBS siswa
(p-value=0,000). Sedangkan Tingkat pengetahuan (p-value=0,602), peran guru (p-
value=1,000) dan peran orang tua (p- value=1,000) tidak memiliki hubungan secara statistik
terhadap PHBS pada siswa. Saran: Berdasarkan temuan pada penelitian ini, diketahui bahwa
pengetahuan siswa, peran guru dan peran orang tua saja tidak cukup agar anak menerapkan
PHBS di lingkungannya. Namun, perlu juga di dukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai dan menunjang seperti tempat mencuci tangan dengan air mengalir, tersedia
sabun, tempat sampah tertutup, dan lain-lain, demi terwujudnya PHSB pada anak, agar
terhindar dari berbagai macam penyakit melalui PHBS khususnya demam thyphoid.

Kata Kunci: PHBS, Siswa SD cirebon

ABSTRACT

Background: Knowledge, the role of parents at home, the role of teachers and the
availability of facilities in schools can affect PHBS in efforts to prevent typhoid fever. This
15
disease can attack children and adults through food, feces, urine, or water that has been
infected or contaminated with Salmonella typhi bacteria. Purpose: To determine the factors
associated with clean and healthy living behavior (PHBS) as an effort to prevent typhoid
fever in elementary school students. Method: This study used a cross sectional study design.
The study was conducted on 1-14 September 2020. The sampling technique was carried out
with a total sampling of 53 respondents. Data analysis using univariate analysis and bivariate
analysis using Chi square test. Results: The findings in this study indicate that the majority of
respondents were 11 years old (54.7%). Meanwhile, the results of the bivariate analysis
showed that there was a significant relationship between school facilities and infrastructure
with students' PHBS (p-value = 0.000). While the level of knowledge (p-value = 0.602), the
role of the teacher (p-value = 1,000) and the role of parents (p-value = 1,000) did not have a
statistical relationship with PHBS in students. Suggestion: Based on the findings of this
study, it is known that the knowledge of students, the role of teachers and the roles of
parents is not enough for children to apply PHBS in their environment. However, it also
needs to be supported by adequate and supportive facilities and infrastructure. In order to
realize PHSB in children, in order to avoid various diseases through PHBS, especially typhoid
fever, the government needs to prepare supporting facilities for PHBS such as: a place to
wash hands with running water, available soap, closed trash

cans, students in elementary schools.

Keywords: PHBS, Elementary School Students

Jurnal „Aisyiyah Medika | 308

Volume 6, Nomor 1, september 2021

PENDAHULUAN

Data dari Badan Kesehatan Dunia 128.000- 161.000 kematian per tahun
memperkirakan jumlah orang yang (Haslinda, 2016). Demam typhoid
menderita demam typhoid di seluruh merupakan permasalahan kesehatan yang
dunia mencapai 11-20 juta kasus setiap banyak terjadi di Indonesia. Indonesia
tahun, yang mengakibatkan sekitar diperkirakan permasalahan demam
16
typhoid sebanyak 800 pengidap per indikator yang berhubungan dengan
100.000 penduduk pertahun, dengan upaya pencegahan demam typhoid yaitu:
angka kematian 2%. Demam typhoid mencuci tangan dengan air yang mengalir
ditemui pada penduduk Indonesia, yang dan memakai sabun (Cahyani et al., 2018),
tinggal di kota ataupun desa. Data pada mengkonsumsi jajanan sehat di kantin
grafik 10 besar penyakit di Puskesmas (Ulfa & Handayani, 2018), menggunakan
Daerah Istimewa Yogyakarta sampai jamban yang bersih dan sehat (Andayani
dengan bulan oktober tahun 2019 & Fibriana, 2018) serta membuang
penyakit typhoid berada diurutan ke 5 sampah pada tempatnya (Suraya &
dengan jumlah 7,796 kasus. Pada sepuluh Atikasari, 2019).
besar penyakit potensi wabah atau
Dalam rumah tangga PHBS dikaitkan
kejadian luar biasa pada Puskesmas di
dengan tingkat pengetahuan, sikap dan
Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
praktik seseorang dalam menerapkan 10
laporan Sistem Kewaspadaan Dini dan
indikator PHBS (Jayadipraja et al., 2018).
Respon (SKDR) sampai dengan minggu ke
Selain itu, untuk anak-anak PHBS sangat
48 tahun 2019 penyakit demamtyphoid
erat hubungannya dengan peran ibu
menempati urutan ke 3 dengan jumlah
rumah tangga dalam penerapannya (Ayu
7,364 kasus (DIY, 2019).
et al., 2016). Untuk anak sekolah dasar
Perilaku hidup bersih dan sehat di Sekolah yang tidak melakukan PHBS maka akan
mempunyai delapan indikator yaitu sulit untuk mendapatkan prestasi di
menyuci tangan dengan air yang mengalir kelasnya (Puspita et al., 2020).
serta memakai sabun, konsumsi jajanan
Demam typhoid (tipes) ialah penyakit
sehat di kantin sekolah, memakai jamban
peradangan kronis pada usus halus
yang bersih serta sehat,
dengan indikasi demam satu minggu
berolahraga yang tertib serta terukur, ataupun lebih diiringimasalah pada
memberantas jentik nyamuk, tidak saluran pencernaan dengan atau tanpa
merokok di sekolah, menimbang berat masalah kesadaran (Suraya & Atikasari,
badan serta mengukur tinggi badan setiap 2019). Pengetahuan siswa, peran guru,
bulan, membuang sampah pada peran
tempatnya (Kemenkes, 2016). Sedangkan

Volume 6, nomor 1, September 2021

orang tua, sarana dan prasarana typhoid menular melalui mengkonsumsi


merupakan faktor yang dapat makanan atau minuman yang
mempengaruhi PHBS siswa (Suryani et al., terkontaminasi ataupun kontak langsung
2020; WHO, 2019). Penyakit demam jari tangan yang telah terkontaminasi

17
tinja, urin atau dengan penderita yang Puskesmas Godean 2 serta beberapa
terinfeksi (Suraya & Atikasari, 2019). Oleh faktor yang dapat menyebabkan penyakit
karena itu, demam typhoid sangat erat demam typhoid maka penulis tertarik
hubungannya dengan anak sekolah dasar melakukan penelitian mengenai faktor-
yang tidak menerapkan PHBS (Nafiah, faktor yang berhubungan dengan perilaku
2018). hidup bersih dan sehat sebagai upaya
pencegahan demam typhoid pada siswa
Data dari Puskesmas Godean 2 pada
sekolah dasar di SDN Semarangan 2
tahun 2019 bahwa kejadian demam
Godean, Yogyakarta.
typhoid di wilayah kerja Puskesmas
Godean 2 pada tahun 2018 berjumlah 103 METODE PENELITIAN
kasus. Sedangkan hingga bulan Juli tahun
Jenis penelitian yang digunakan yaitu
2019 sudah tercatat 142 kasus. Hal ini
kuantitatif dengan rancangan survey
menunjukan telah terjadi peningkatan
menggunakan desain cross sectional.
kasus demam typhoid di tahun 2019 ini,
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
serta hampir di setiap minggu terdapat
Sekolah Dasar Negeri Semarangan 2 Kelas
kejadian demam typhoid. Pada rentan
4 dan 5 yang berjumlah 53 siswa. Sampel
umur 4 hingga 19 tahun terdapat kasus
dalam penelitian adalah siswa kelas 4 dan
demam typhoid sebanyak 61 kasus.
5 SD dengan pertimbangan bahwa siswa
Didukung dengan masih ditemukanya dari
kelas 4 dan 5 pemahaman mengenai PHBS
hasil uji laboratorium makanan positif
dalam upaya pencegahan penyakit lebih
mengandung bakteri Escherichia coli dan
memahami. Teknik pengambilan sampel
Coliform dijual oleh pedagang kaki lima
pada penelitian ini menggunakan totality
yang beroprasi disekitaran wilayah kerja
sampling yaitu pada seluruh siswa sekolah
Puskesmas Godean 2. Bakteri tersebut
merupakan salah satu bakteri indikator dasar kelas 4 dan 5 dengan jumlah 53
yang dapat digunakan sebagai petunjuk siswa pada bulan September, 2020 di
adanya polusi feses atau kotoran manusia Godean, Seleman, Yogyakarta.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal
maupun hewan (Suryani et al., 2019,
1 sampai tanggal 14 pada bulan
2020).
September 2020. Data-data ini
Berdasarkan studi pendahuluan yang sepenuhnya telah mendapatkan izin dari
dilakukan peneliti dengan melakukan pihak sekolah untuk di publikasi.
observasilangsung di SDN Semarangan 2
Instrumen penelitian yang digunakan
terdapat 10 toilet dan sudah ada wastafel
yaitu kuesioner yang dibuat oleh peneliti.
akan tetapi masih belum terawat dan
Kuesioner digunakan untuk mengukur
tidak ada tersedianya sabun cuci tangan
perilaku, pengetahuan, peran guru, peran
serta masih didapatkan beberapa anak
orang tua serta sarana dan prasarana
yang miliki kuku panjang dan kotor.
dalam upaya pencegahan demam typhoid.
Berdasakan data yang didapat dari
Sebelum kuisioner diberikan pada

18
siswa, sudah terlebih dahulu peran guru, peran orang tua dan sarana
mendapatkan izin dari orang tua siswa, prasarana tentang PHBS di sekolah.
diwakilkan oleh guru sekolah. Analisis yang digunakan yaitu univariat
dan bivariat dengan uji Chi- square
Metode pengumpulan data dalam
dengan tingkat kepercayaan 95%.
penelitian yang dilakukan yaitu lembar
pertanyaan kuesioner secara tertutup HASIL PENELITIAN
yang dibagikan secara tatap muka (luring)
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
untuk diisi lalu dikembalikan pada hari
berikutnya. Sebelum memberikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Semarangan 2
kuisioner dilakukan penjelasan oleh merupakan salah satu sekolah negeri yang
peneliti kepada siswa kemudian terletak di Nogosari, Kelurahan Sidokarto,
persetujuan secara kolektif di depan kelas. Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman,
Setiap siswa berhak menolak sebagai Yogyakarta. SDN Semarangan 2 mulai
responden bai katas dasar pertimbangan beroprasi pada tanggal 1 agustus 1954
siswa, guru maupun orang tua. dan terakreditasi A serta memiliki 178
siswa, dan 7 guru. Terdapat 6 ruang kelas,
Kuisioner dalam penelitian ini terbagi
1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1
menjadi beberapa bagian yaitu
masjid, 1 ruang laboratorium, 1 ruang
pertanyaan tentang karakteristik
UKS, 1 ruang perpustakaan, 1 kantin, 10
responden (umur dan jenis kelamin),
jamban dan memiliki sumber air bersih
tingkat perilaku, tingkat pengetahuan,
berasal dari sumur gali

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perilaku hidup bersih dan sehat siswa dan sarana dan prasarana PHBS mayoritas dengan
kategori tidak baik.

Pengetahuan siswa tentang PHBS, peran guru tentang PHBS dan peran orang tua tentang
PHBS mayoritas dengan kategori baik.
19
2. Tidak ada hubungan antara pengetahuan, peran guru dan peran orang tua dengan
perilaku hidup bersih dan sehat sebagai upaya pencegahan demam typhoid pada siswa
sekolah dasar (p-value: 0,062).

3. Ada hubungan antara sarana dan prasarana dengan perilaku hidup bersih dan sehat
sebagai upaya pencegahan demam typhoid pada siswa sekolah dasar (p-value: 0,000).

Saran

1. Kepada setiap sekolah-sekolah dasar diharapkan mengaktifkan program dokter kecil dan
jamban yang tersedia serta menyediakan sabun cucitangan, tempat mencuci tangan, air
mengalir dan mengkontrol kebersihannya.

2. Penelit i selanjutnya dapat menelit i variabel lain yang tidak diteliti seperti faktor
ekonomi, faktor lingkungan dan peran teman sebaya, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Amareta, D. I., & Putra, D. S. H. (2016). Pendampingan Dokter Kecil di Sekolah Dasar Negeri
Antirogo 04 Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Prosiding.

Andayani, A., & Fibriana, A. I. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilyah Kerja Puskesmas
Karangmalang. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 2(1), 57–68.

Ayu, S. F., Aulia, D., & Nauly, M. (2016). Improving Clean and Healthy Living Behavior in the
Poor Communities in Coaltal Area, Serdang Bedagai. 1st Public Health International
Conference (PHICo 2016).

Bawole, B. B., Umboh, J. M. L., & Sumampouw, O. J. (2019). Hubungan antara Tingkat
Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Murid
Sekolah Dasar GMIM 9 dan Sekolah Dasar Negeri Inpres Pinangunian Kota Bitung. KESMAS,
7(5).

Cahyani, T. D. A., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2018). Faktor–Faktor yang Berhubungan
dengan Praktik Hidup Bersih dan Sehat Sebagai Upaya Pencegahan Demam Tifoid Pada
Siswa di SDN Genuksari 02 Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(1), 826–
834.
20
DIY, D. K. (2019). Gambaran Penyakit Potensial Wabah/KLB Pada Puskesmas Di Daerah
Istimewa Yogyakarta Sampai Dengan Minggu 48 Tahun 2019.
(http://www.dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/gambaran-penyakit-potensial-wabah- klb-
pada-puskesmas-di-daerah-istimewa-yogyakarta-sampai-denganminggu-48-tahun- 2019)

Haslinda, H. (2016). Hubungan Personal Hygiene Dan Kebiasaan Jajan Terhadap Kejadian
Demam Typhoid Pada Anak. UIN Alauddin Makassar.

Jaksa, S., & Ismaniar, I. N. (2020). Faktor-FaktoryYang Berhubungan dengan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) pada Siswa/I di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 12 Ciamis, Tahun 2019.
National Nursing Conference, 1(1), 26.

Jayadipraja, E. A., Prasetya, F., Azlimin, A., & Mando, W. O. S. Y. (2018). Family Clean And
Healthy Living Behavior And Its Determinant Factors In The Village Of Labunia, Regency Of
Muna, Southeast Sulawesi Province Of Indonesia. Public Health of Indonesia, 4(1), 39–45.

Kandou, G. D., & Kandou, P. C. (2019). Improving Students Knowledge of Clean and Healthy
Living Behavior through Health Education. 3rd Asian Education Symposium (AES 2018).

Kanro, R., Yasnani, Y., & Saptaputra, S. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Anak Usia Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara
Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2016. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2(6).

Kemenkes. (2016). Gerakan PHBS Sebagai Langkah Awal Menuju Peningkatan Kualitas Jurnal
„Aisyiyah Medika | 320

Volume 6, Nomor 1, Februari 2021 Ahmad Arifuddin1, Dyah Suryani2, Suyitno3

Kesehatan Masyarakat. (http://promkes.kemkes.go.id/phbs)

Lestari, R. R. (2018). Hubungan Sosial Budaya Dan Peran Guru Dengan Rendahnya

Pelaksanaan PHBS di SDN 001 Langgini Kecamatan Bangkinang Kota. PREPOTIF:

21
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 37–47.

Nafiah, F. (2018). Kenali Demam Tifoid dan Mekanismenya. Jakarta: Cv. Budi Utama.
Nasiatin, T., & Hadi, I. N. (2019). Determinan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Siswa

Sekolah Dasar Negeri. Faletehan Health Journal, 6(3), 118–124.

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehtan. Rineka Cipta

Proverawati, A., & Rahmawati, E. (2016). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (2nd ed.). Nuha

Medika.

Puspita, W. L., Khayan, K., Hariyadi, D., Anwar, T., Wardoyo, S., & Ihsan, B. M. (2020).

Health Education to Reduce Helminthiasis: Deficits in Diets in Children and Achievement of


Students of Elementary Schools at Pontianak, West Kalimantan. Journal of Parasitology
Research, 2020.

Rahmawati, S., & Mulyono, S. (2018). Comparison of Clean and Healthy Living Behavior of
Islamic Boarding School (IBS) Students with and without IBS Health Post access. UI
Proceedings on Health and Medicine, 3, 82.

Sriwidodo, S., & Santosa, S. (2017). Knowledge As Determinants Increase Clean And Healthy
Living Behaviors Among Students In General Primary School 07 Landau- Leban Sub District
Melawi In 2015. Proceedings of the International Conference on Applied Science and Health,
1, 121–127.

Suraya, C., & Atikasari, A. (2019). Hubungan Personal Hygiene Dan Sumber Air Bersih
Dengan Kejadian Demam Typhoid Pada Anak. Jurnal‟Aisyiyah Medika, 4(3).

Suryani, D., Juliansyah, E., Damayanti, R., Yulianto, A., & Oktina, B. R. (2020). The Clean and
Healthy Life Behavior (PHBS) Among Elementary School Student in East Kuripan, West Nusa
Tenggara Province. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 11(01), 10–22.

Suryani, D., Wibowo, W., & Umari, I. (2019). Escherichia coli Contamination on Cutlery
(Glass) in Malioboro Tourism Area Yogyakarta. Aloha International Journal of Health
Advancement (AIJHA), 2(2), 44–51.

22
Susanna, D., Purwanisari, E., & Ratih, S. P. (2020). Infection Among Food Handlers at
Canteens in a Campus. The Open Microbiology Journal, 14(1).

Susanto, T., Sulistyorini, L., Wuryaningsih, E. W., & Bahtiar, S. (2016). School Health
Promotion: a Cross-Sectional Study on Clean and Healthy Living Program Behavior (CHLB)
among Islamic Boarding Schools in Indonesia. International Journal of Nursing Sciences, 3(3),
291–298.

Ulfa, F., & Handayani, O. W. K. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Pagiyanten. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 2(2), 227–238.

WHO. (2019). Typhoid Fever. (https://www.who.int/features/qa/typhoid-fever/en/)

Jurnal „Aisyiyah Medika | 321

BAB III

Trend issue
•> Demam Enterik

Demam enterik adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh patogen yang diadaptasi
manusia Salmonella enterica serotipe Typhi ( S. Ty-phi) dan S. enterica serotpe Paratyphi ( S.
Paratyphi) A, B, dan C. Organisme ini merupakan penyebab penting penyakit demam pada
populasi yang padat dan miskin dengan sanitasi yang tidak memadai yang terkena air dan
makanan yang tidak aman dan juga menimbulkan risiko bagi pelancong yang mengunjungi
negara-negara endemis [1 ]. Tinjauan ini membahas tren terbaru dalam epidemiologi global,
pendekatan untuk pencegahan dan pengendalian, resistensi antimikroba dan pengobatan
pasien, dan genomik organisme ini

•> Epidemiologi

Beban penyakit dan kematian

23
Pada tahun 2000, demam tifoid menyebabkan sekitar 21,7 juta penyakit dan 217.000
kematian, dan demam paratifoid menyebabkan sekitar 5,4 juta penyakit di seluruh dunia.
Bayi, anak-anak, dan remaja di Asia Selatan-Tengah dan Tenggara mengalami beban
penyakit terbesar

•> Tren Epidemiologi

Terlepas dari keterbatasan data epidemiologi yang tersedia saat ini, sejumlah tren terbaru
dalam epidemiologi penyakit enterik telah muncul di wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Di Afrika sub-Sahara, di mana beban demam enterik adalah yang paling tidak
terkarakterisasi dengan baik, penelitian berbasis rumah sakit menunjukkan bahwa serotipe
Salmonella non-Typhi , terutama serotipe S. enterica Enteritidis dan S. enterica serotipe
Typhimurium, jauh melebihi jumlah S. Typhi dan S. Paratyphi sebagai penyebab infeksi aliran
darah. Meskipun demikian, wabah demam tifoid sering dilaporkan dari sub-Sahara Afrika,
seringkali dengan sejumlah besar pasien dengan perforasi usus meninggalkan pertanyaan
penting terbuka tentang epidemiologi demam enterik di wilayah tersebut. Di Asia, sebuah
studi prospektif berbasis populasi besar menggunakan metode surveilans standar
memperkirakan kejadian demam tifoid di Cina, India, Indonesia, Pakistan, dan Vietnam,
untuk menginformasikan kebijakan vaksin demam tifoid. Studi ini mengkonfirmasi tingginya
insiden demam tifoid di wilayah tersebut, terutama di kalangan anak-anak dan remaja,
tetapi juga menunjukkan bahwa variasi substansial dalam insiden terjadi antara lokasi
surveilans di wilayah yang sama. Secara bersamaan, S. Paratyphi A bertanggung jawab atas
peningkatan proporsi demam enterik di sejumlah negara Asia, kadang-kadang terhitung 50%
dari isolat aliran darah Salmonella di antara pasien dengan demam enterik. Tren ini
menimbulkan kekhawatiran penting tentang dampak vaksin demam tifoid pada tingkat
demam enterik. Di Amerika Latin, ada bukti bahwa insiden demam tifoid telah menurun
seiring dengan transisi ekonomi dan dengan langkah-langkah air dan sanitasi yang
diperkenalkan untuk mengendalikan kolera selama pandemi terakhir. Meskipun demam
enterik tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat di wilayah tersebut, hal itu
memberikan model untuk apa yang dapat dicapai untuk negara-negara dengan insiden
demam enterik yang tinggi.

24
•> Strategi Pencegahan dan Pengendalian

Air dan makanan yang terkontaminasi merupakan kendaraan penting untuk penularan
demam tifoid. Data surveilans historis menunjukkan bahwa demam enterik adalah endemik
di Eropa Barat dan Amerika Utara dan angka tersebut menurun secara paralel dengan
pengenalan pengobatan air kota, pasteurisasi produk susu, dan pengecualian kotoran
manusia dari produksi makanan. Saat ini, pencegahan demam enterik berfokus pada
peningkatan sanitasi, memastikan keamanan pasokan makanan dan air, identifikasi dan
pengobatan pembawa kronis S. Typhi, dan penggunaan vaksin tifoid untuk mengurangi
kerentanan pejamu terhadap infeksi.

•> Tindakan nonvaksin

Memperluas manfaat sanitasi yang lebih baik dan ketersediaan air bersih dan makanan yang
dicapai di negara-negara industri seabad yang lalu ke negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah telah terbukti menjadi tantangan. Tujuan Pembangunan Milenium PBB 7
menetapkan target untuk mengurangi separuh, pada tahun 2015, proporsi penduduk tanpa
akses berkelanjutan ke air minum yang aman dan sanitasi dasar. Bukti terbaru menunjukkan
bahwa intervensi untuk meningkatkan kualitas air minum mungkin relatif lebih penting
untuk pencegahan infeksi enterik dibandingkan dengan tindakan sanitasi daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Meskipun air reticulated yang diolah secara terpusat untuk semua
adalah tujuan penting, semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kualitas
air di tingkat rumah tangga, serta di sumbernya, dapat secara signifikan mengurangi diare.

•> Vaksin

Saat ini, ada 2 vaksin yang tersedia di Amerika Serikat untuk pencegahan demam tifoid.
Vaksin Ty21a adalah vaksin oral hidup yang dilemahkan yang mengandung strain S. Typhi
Ty21a, dan vaksin parenteral Vi didasarkan pada antigen S. Ty21a tersedia sebagai kapsul
enterik dan dilisensikan di Amerika Serikat untuk digunakan pada anak-anak 6 tahun dan di
25
tempat lain untuk anak-anak semuda 2 tahun. Vaksin berbasis Vi dilisensikan di Amerika
Serikat untuk anak-anak berusia 2 tahun. Efektivitas vaksin Vi parenteral baru-baru ini telah
dikonfirmasi pada anak-anak, dan perlindungan dari tetangga vaksin Vi yang tidak
divaksinasi telah dibuktikan. Vaksin konjugasi baru yang sedang dikembangkan, Vi-rEPA,
mencakup antigen Vi yang terikat pada protein rekombinan nontoksik yang secara antigen
identik dengan eksotoksin Pseudomonas aeruginosa . Telah terbukti aman dan imunogenik
pada anak-anak Vietnam berusia 2-5 tahun, memberikan kemanjuran perlindungan 91,5%,
dan sedang menjalani evaluasi pada kelompok usia yang lebih muda. Selain itu, upaya
sedang dilakukan untuk mengembangkan dan mengevaluasi vaksin oral hidup yang
dilemahkan dengan tujuan untuk menjaga keamanan sambil meningkatkan kemanjuran dan
mengurangi jumlah dosis yang diperlukan.

26
BAB IV Asuhan Keperawatan Secara Teori

A. Asuhan keperawatan

1. Pengertian

Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang
diberikan secara langsung kepada klien /pasien di berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi yang berdasarkan ilmu
dan kiat keperawatan,bersifat humanistic,dan berdasarkan pada kebutuhan objektif klien untuk
mengatasi masalah yang dihadapi klien. Menurut Ali (1997) proses keperawatan adalah metode
asuhan keperawatan yang ilmiah, sistematis, dinamis, dan terus- menerus serta berkesinambungan
dalam rangka pemecahan masalah kesehatan pasien/klien,di mulai dari pengkajian (pengumpulan
data,analisis data,dan penentuan masalah) diagnosis keperawatan, pelaksanaan, dan penilaian
tindakan keperawatan. Asuhan keperawatan di berikan dalam upaya memenuhi kebutuhan klien.
Menurut A Maslow ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan fisiologis meliputi
oksigen,cairan,nutrisi, kebutuhan rasa aman dan perlindungan,kebutuhan rasa cinta dan saling
memiliki,kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Berdasarkan pengertian diatas
maka dapat disimpulkan bahwa asuhan keperawatan merupakan seluruh rangkaian proses
keperawatan yang diberikan kepada pasien yang berkesinambungan dengan kiat-kiat keperawatan
yang di mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi dalam usaha memperbaiki ataupun
memelihara derajat kesehatan yang optimal.

2. Tujuan asuhan keperawatan

Adapun tujuan dalam pemberian asuhan keperawatan antara lain

a. Membantu individu untuk mandiri

b. Mengajak individu atau masyarakat berpartisipasi dalam bidang

kesehatan

c. Membantu individu mengembangkan potensi untuk memelihara kesehatan secara optimal agar
tidak tergantung pada orang lain dalam memelihara kesehatannya

d. Membantu individu memperoleh derajat kesehatan yang optimal

3. Fungsi proses keperawatan

Proses Keperawatan berfungsi sebagai berikut.

a. Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah bagi tenaga keperawatan dalam
memecahkan masalah klien melalui asuhan keperawatan .

b. Memberi ciri profesionalisasi asuhan keperawatan melalui pendekatan pemecahan masalah dan
pendekatan komunikasi yang efektif dan efisien.

27
c. Memberi kebebasan pada klien untuk mendapat pelayanan yang optimal sesuai dengan
kebutuhanya dalam kemandirianya di bidang kesehatan.

4. Tahap-tahap proses keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan
dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang di hadapi pasien baik fisik, mental,
sosial maupun spiritual dapat ditentukan.tahap ini mencakup tiga kegiatan,yaitu pengumpulan
data,analisis data,dan penentuan masalah kesehatan serta keperawatan.

1) Pengumpulandata

Tujuan :

Diperoleh data dan informasi mengenai masalah kesehatan

yang ada pada pasien sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus di ambil untuk mengatasi
masalah tersebut yang menyangkut aspek fisik,mental,sosial dan spiritual serta faktor lingkungan
yang mempengaruhinya. Data tersebut harus akurat dan mudah di analisis. Jenis data antara lain
Data objektif, yaitu data yang diperoleh melalui suatu pengukuran, pemeriksaan, dan pengamatan,
misalnya suhu tubuh, tekanan darah, serta warna kulit.Data subjekyif, yaitu data yang diperoleh dari
keluhan yang dirasakan pasien, atau dari keluarga pasien/saksi lain misalnya,kepala pusing,nyeri,dan
mual. Adapun focus dalam pengumpulan data meliputi

a) Status kesehatan sebelumnya dan sekarang

b) Pola koping sebelumnya dan sekarang

c) Fungsi status sebelumnya dan sekarang

d) Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan

e) Resiko untuk masalah potensial

f) Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien

2) Analisa data

Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir rasional sesuai
dengan latar belakang ilmu pengetahuan.

3) Perumusanmasalah

Setelah analisa data dilakukan, dapat dirumuskan beberapa masalah kesehatan. Masalah kesehatan
tersebut ada yang dapat diintervensi dengan asuhan keperawatan (masalah keperawatan) tetapi ada
juga yang tidak dan lebih memerlukan tindakan medis. Selanjutnya disusun diagnosis keperawatan
sesuai dengan prioritas. Prioritas masalah ditentukan berdasarkan criteria penting dan segera.
Penting mencakup kegawatan dan apabila tidak diatasi akan menimbulkan komplikasi, sedangkan
segera mencakup waktu misalnya pada pasien stroke yang tidak sadar maka tindakan harus. segera
28
dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih parah atau kematian. Prioritas masalah juga dapat
ditentukan berdasarkan hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu : Keadaan yang mengancam
kehidupan, keadaan yang mengancam kesehatan, persepsi tentang kesehatan dan keperawatan.

b. Diagnosa keperawatan

Pengertian

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang

menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah
(Carpenito,2000).Perumusan diagnosa keperawatan :

1) Actual : menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan.

2) Resiko: menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika tidak di lakukan intervensi.

3) Kemungkinan : menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah
keperawatan kemungkinan.

4) Wellness : keputusan klinik tentang keadaan individu,keluarga,atau masyarakat dalam transisi dari
tingkat sejahtera tertentu ketingkat sejahtera yang lebih tinggi.

5) Syndrom : diagnose yang terdiri dar kelompok diagnosa keperawatan actual dan resiko tinggi yang
diperkirakan muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.

c. Rencana keperawatan

Semua tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan
saat ini kestatus kesehatan yang di uraikan dalam hasil yang di harapkan (Gordon,1994). Merupakan
pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi sehingga setiap perawat
dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan perawatan yang diberikan. Rencana asuhan
keperawatan yang di rumuskan dengan tepat memfasilitasi konyinuitas asuhan perawatan dari satu
perawat ke perawat lainnya. Sebagai hasil, semua perawat mempunyai kesempatan untuk
memberikan asuhan yang berkualitas tinggi dan konsisten. Rencana asuhan keperawatan tertulis
mengatur pertukaran informasi oleh perawat dalam laporan pertukaran dinas. Rencana perawatan
tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka panjang(potter,1997)

d. Implementasi keperawatan

Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan
dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :

Tahap 1 : persiapan

29
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat

untuk mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap

perencanaan. : intervensi

Tahap 2

Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan pelaksanaan tindakan dari
perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Pendekatan tindakan keperawatan
meliputi tindakan : independen,dependen,dan interdependen.

: dokumentasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap
suatu kejadian dalam proses keperawatan.

Tahap 3

e. Evaluasi

Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara proses dengan
pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat
kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.Sasaran evaluasi
adalah sebagai berikut

1) Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana yang telah disusun.

2) Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan criteria keberhasilan yang telah di rumuskan dalam
rencana evaluasi.

Hasil evaluasi

Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :

1) Tujuan tercapai,apabila pasien telah menunjukan perbaikan/kemajuan sesuai dengan criteria yang
telah di tetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian,apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu di cari
penyebab dan caramengatasinya.

3) Tujuan tidak tercapai,apabila pasien tidak menunjukan perubahan/kemajuan sama sekali bahkan
timbul masalah baru.dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah
terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi
penyebab tidak tercapainya tujuan. Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses
keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien, seluruh tindakannya harus di
dokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi keperawatan.
30
5. Dokumentasi keperawatan

Dokumentasi adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat diandalkan sebagai
catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang (potter 2005). Potter (2005) juga menjelaskan
tentang tujuan dalam pendokumentasian yaitu :

a. Komunikasi

Sebagai cara bagi tim kesehatan untuk mengkomunikasikan (menjelaskan) perawatan klien termasuk
perawatan individual,edukasi klien dan penggunaan rujukan untuk rencana pemulangan.

b. Tagihan financial

Dokumentasi dapat menjelaskan sejauhmana lembaga perawatan mendapatkan ganti rugi


(reimburse) atas pelayanan yang diberikan bagi klien.

c. Edukasi

Dengan catatan ini peserta didik belajar tentang pola yang harus ditemui dalm berbagai masalah
kesehatan dan menjadi mampu untuk mengantisipasi tipe perawatan yang dibutuhkan klien.

d. Pengkajian

Catatan memberikan data yang digunakan perawat untuk mengidentifikasi dan mendukung diagnose
keperawatan dan merencanakan intervensi yang sesuai.

e. Riset

Perawat dapat menggunakan catatan klien selama studi riset untuk mengumpulkan informasi
tentang faktor-faktor tertentu.

f. Audit dan pemantauan

Tinjauan teratur tentang informasi pada catatan klienmemberi dasar untuk evaluasi tentang kualitas
dan ketepatan perawatan yang diberikan dalam suatu institusi.

g. Dokumentasi legal

Pendokumentasian yang akurat adalah salah satu pertahanan diri terbaik terhadap tuntutan yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan. Dokumentasi penting untuk meningkatkan efisiensi dan
perawatan klien secara individual. Ada enam penting penting dalam dokumentasi keperawatan yaitu
:

a. Dasar factual

Informasi tentang klien dan perawatannya harus berdasarkan fakta yaitu apa yang perawat
lihat,dengar dan rasakan.

b. Keakuratan Catatan klien harus akurat sehingga dokumentasi yang tepat dapat dipertahankan
klien.

31
c. Kelengkapan

Informasi yang dimasukan dalam catatan harus lengkap,mengandung informasi singkat tentang
perawtan klien.

d. Keterkinian

Memasukan data secara tepat waktu penting dalam perawatan bersama klien.

e. Organisasi

Perawat mengkomunikasikan informasi dalam format atau urutan ya ng logis. Co nto h c atatan
secara t eratu r menggambarkan nyer i klien,pengkajian dan intervensi perawat dan dokter.

f. Kerahasiaan

Informasi yang diberikan oleh seseorang keorang lain dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa
informasi tersebut tidak akan dibocorkan.

Melalui dokumentasi keperawatan akan dapat dilihat sejauh mana

peran dan fungsi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien. Hal ini akan
bermanfaat bagi peningkatan mutu pelayanan dan bahan pertimbangan dalam kenaikan jenjang
karir/kenaikan pangkat. Selain itu dokumentasi keperawatan juga dapat menggambarkan tentang
kinerja seorang perawat.

B. Kinerjaperawat

1. Definisi Kinerja

Menurut Ilyas (2002) kinerja adalah penampilan karya personal baik kualitas maupun kuantitas
dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja
personal. Menurut Mangkunegoro (2002) kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawabnya yang diberikan kepadanya. Kinerja perawat adalah tindakan yang dilakukan oleh
seorang perawat dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungawabnya masing-
masing,tidak melanggar hukum,aturan serta moral dan etika, dimana kinerja yang baik dapat
memberikan kepuasan pada pengguna jasa (Yacobales,1997)

2. Model Teori kinerja

Menurut Ilyas (2002), untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja personal dilakukan
pengkajian terhadap beberapa teori kinerja. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang
mempengaruhi perilaku kinerja dan kerja yaitu :

a. Variabel individu, dikelompokkan pada sub variabel kemampuan,

latar belakang dan geografis. Sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perilaku dan kinerja. Sedangkan variabel geografis mempunyai efek tidak
langsung pada perilaku dan kinerja individu.

32
b. Variabel psikologis, terdiri dari sub variabel persepsi, sikap,

kepribadian belajar dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,
pengalaman kerja sebelumnyan dan variabel geografis. Variabel psikologis merup akan variabel yang
komplek dan sulit diukur dan sukar mencapai kesepakatan karena seseorang individu masuk dan
bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang dan ketrampilan berbeda satu
dengan lainnya.

c. Varibel organisasi, berefek tidak langsung terhadap perilaku kinerja individu yang digolongkan
dalam sub variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Sub
variabel imbalan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara
langsung akan meningkatkan kinerja individu. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi
perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kerja personal. Perilaku yang berhubungan
dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk
mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.

3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Mangkunegoro (2002) menyebutkan faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

a. Faktor kemampuan

Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110
-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan
pelajaran sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu,
pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.

b. Faktor Motivasi

Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja.
Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan
organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong diri pegawai
untuk berusaha mencapai prestasi kerja secara maksimal. Sikap mental seorang pegawai harus sikap
mental yang siap secara psikofisik (siap secara mental, fisik, tujuan, dan situasi). Artinya, seorang
pegawai harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan, dan target kerja yang akan
dicapai, mampu memanfaatkan, dan menciptkan situasi kerja. Suyanto (2008) menyatakan ada
beberapa tekhnik untuk memotivasi bawahan yaitu

1) Bersikap baik (the be good approach) dengan cara mencitakan kondisi kerja yang baik seperti
tunjangan,gaji dan bonus yang tinggi.

2) Menggunakan kekerasan (the strong approach) yaitu pemimpin memberikan wewenangnya untuk
menekan bawahan.

3) Perundingan implicit (implicit bergaining) melalui perundingan antara bawahan dan atasan
terhadap hasil kerja yang dicapai sesuai dengan imbalan yang akan diberikan.

33
4) Kompetisi (competition) yaitu diberikan kesempatan pada seseorang untuk melakukan
pekerjaannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.

5) Internalisasi (internalized motivation) yaitu pertimbangan terhadap


ketrampilan,kebebasan,perhatian dan percaya diri yang dimiliki. Menurut Handoko (2001)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah motivasi, kepuasan
kerja, tingkat stres, kondisi fisik pekerjaan, sistem kompetisi, desain pekerjaan,dan aspek ekonomi.
Di tambah lagi supervisi dan kapasitas pekerjaan atau beban kerja juga dapat mempengaruhi kinerja
kar yawan. Menu rut Su yanto (2008), Supervisi merup akan segala bantuan dari pimpinan /
penanggung jawab kepada perawat yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf
lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan. Selain itu,perawat pelaksana akan mendapat
dorongan positif sehingga mau belajar dan meningkatkn kemampuan profesionalnya. Dengan
kemauan belajar,secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja perawat. sedangkan kapasitas
pekerjaaan adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu
tertentu (Irwandy, 2007 dalam Wirnata,2009). Selain itu karakteristik perawat juga dapat
mempengaruhi kinerja. Karakeristik itu antara lain:

a. Umur

Umur adalah usia perawat yang secara garis besar menjadi indicator dalam setiap mengambil
keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya(Berg,1996), dengan semakin banyaknya umur
maka dalam menerima sebuah pekerjaan akan semakin bertanggungjawab dan berpengalaman.

b. Pendidikan

Perawat sebagai bagian penting rumah sakit dituntut memberikan perilaku yang baik dalam rangka
membantu pasien mencapai kesembuhan. Pendidikan seorang perawat yang tinggi akan
memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. Pengembangan pendidikan formal keperawatan
saat ini terutama ditujukan untuk menumbuhkan serta membina sikap dan tingkah laku professional
serta membutuhkan dan membina landasan etik keperawatan yang kokoh dan mantap (Ma
rifin,dalam Hamid,1995).

c. Masa kerja

Masa kerja merupakan lama kerja seorang perawat yang bekerja dirumah sakit dari mulai awal
bekerja sampai dengan seorang perawat berhenti bekerja (Ismani,2001).

C. Standar Kinerja

Evaluasi kinerja melibatkan komunitas yang jelas mengenai target dan standar; penetapan tujuan
yang spesifik dan dapat diukur; dan umpan balik (feedback) yang berkelanjutan, (Pophal, 2008).

a. Standar kinerja

Standar kinerja menjabarkan tentang pekerjaan yang tercakup dalam satu pekerjaan tertentu. Ini
adalah langkah sangat penting sebelum menetapkan tujuan, tapi perlu maju satu langkah lebih jauh
dengan menerangkan bagaimana setiap pekerjaan harus dilakukan untuk memenuhi standar
pekerjaan tersebut. Tanpa standar, masalah kinerja dapat menjadi sangat rancu. Sebelum

34
menentukan tingkat kinerja tertentu, sebaiknya dibuat garis dasar kinerja untuk jenis kerja yang
sedang ditangani. Setelah itu membuat target minimal tingkat kinerja. Tingkat minimal ini menjadi
standar dan tolak ukur bahwa suatu kinerja dianggap layak. Berdasarkan tingkat kelayakkan minimal,
maka dapat ditentukan

b. standar istimewa dan ketidaklayakan dalam kinerja. Untuk masing- masing standar kita akan
menentukan tingkat kinerja bagaimana yang melebihi dan kurang dari harapan kita. Nursalam
(2002), dalam penilaian pelaksanaan kerja perawat sering ditemukan berbagai permasalahan antara
lain:

1. Pengaruh hallo effect: tendensi untuk menilai pelaksanaan kerja bawahannya terlalu tinggi.

2. Pengaruh horn : kecenderungan untuk menilai pegawai lebih rendah dari pelaksanaan kerja yang
sebenarnya karena alasan-alasan tertentu.

Penentuan Target

Tenaga pemersatu yang berada dalam setiap perusahaan adalah bahwa, setidaknya secara teoritis,
setiap orang dalam perusahaan bekerja untuk tujuan yang sama, yaitu keberhasilan perusahaan.
Sebuah pemahaman yang jelas tentang tujuan yang mendasari perusahaan dan bagaimana setiap
karyawan berkontribusi kepada tujuan tersebut dapat meningkatkan semangat dan produktivitas.

Ada beberapa keuntungan dari pembuatan tujuan yang jelas dan terukur. Tujuan yang spesifik dan
terukur menciptakan keteraturan dan kesatuan tujuan bagi seluruh unsur dalam perusahaan. Tujuan
yang jelas memungkinkan karyawan dan manajer untuk mengembangkan pandangan yang lebih luas
tentang tujuan perusahaan. Setelah tujuan ditetapkan, manajemen akan lebih mampu mengambil
keputusan berdasarkan arahan perusahaan dan karyawan. Setelah tujuan mulai tercapai, tingkat
percaya diri karyawan dan manajer pun meningkat. Penyusunan target itu sendiri adalah sebuah
proses yang memungkinkan manajer dan karyawan untuk terus mengupayakan peningkatan. Tujuan
perusahaan harus memiliki karakteristik- karakteristik berikut :

1) Spesifik. Sangat penting bahwa tujuan harus spesifik dan terukur. Ketika tujuan departemen atau
perusahaan tidak jelas, motivasi pun berkurang.

2) Telah disepakati bersama. Dorong para manajer dan penyelia agar bekerja sama dengan karyawan
dalam penyusunan tujuan. Ketika dua orang bekerja untuk mencapai tujuan yang sama, maka
peluang untuk mencapai tujuan tersebut akan bertambah secara substansial.

3) Sulit tetapi dapat dicapai. Target harus realistis, harus menantang tapi mungkin untuk dicapai.

4) Komprehensif. Target harus mencakup tujuan perusahaan. Target dapat dibuat untuk kegiatan
manajemen dan juga staf.

D. Standar Kinerja Perawat

Perkembangan keperawatan sebagai suatu profesi, diperlukan penetapan standar praktik


keperawatan. Standar praktik sangat penting untuk menjadi pedoman objektif di dalam menilai
asuhan keperawatan. Apabila sudah ada standar, klien akan yakin bahwa ia mendapatkan asuhan
yang bermutu tinggi. Standar praktik juga sangat penting jika terjadi kesalahan yang terkait dengan
35
hukum (Sitorus, R , 2006). American Nursing Association (ANA) menjelaskan bahwa standar praktek
keperawatan merefleksikan nilai-nilai dan prioritas profesi perawat. Standar tersebut memberikan
arah dalam melakukan praktek perawatan profesional dan menjadi kerangka dalam mengevaluasi
praktek tersebut. Perawat bertanggung jawab kepada masyarakat tentang hasil akhir asuhan
keperawatan yang diberikan. Penetapan standar ini juga bertujuan untuk mempertahankan mutu
pemberian asuhan keperawatan yang tinggi. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah
menetapkan standar praktek keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik
keperawatan yang dikeluarkan ANA (PPNI, 2002, dalam Sitorus, R ANA)

Standar praktik keperawatan

Standar l : perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien

Standar ll : perawat menetapkan diagnosa keperawatan

Standar lll : Perawat mengidentifikasi hasil yang

diharapkan untuk setiap klien

Standar IV : perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana tindakan
untuk mencapai hasil yang diharapkan

Standar V : perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam rencana asuhan
keperawatan

Standar Vl : perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil akhir yang sudah
ditetapkan

Ditambahkan oleh Nursalam (2008) bahwa selain keenam standar tersebut, untuk penilaian
pelaksanaan kerja perawat juga meliputi ketrampilan komunikasi dan harapan institusi dan profesi.

Disamping standar-standar keperawatan yang sudah di terangkan diatas, menurut Nursalam (2002)
untuk menciptakan pelayanan keperawatan yang professional dan dalam rangka memenuhi
tuntutan masyarakat akan pelayanan keperawatan yang berkualitas,maka peran perawat harus lebih
independen sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan dan tanggung gugat. Peran
tersebut adalah

CARE yang dapat di jabarkan sebagai berikut : C : Communication

Ciri khas perawat professional harus dapat berkomunikasi secara lengkap, akurat dan tepat,dan yang
terpenting adalah mampu berbicara dan menulis bahasa asing minimal bahasa inggris ini di maksud
untuk mengantisipasi terjadinya persaingan pasar bebas.

A : Activity

Prinsip melakukan asuhan keperawatan harus dapat bekerjasama dengan tman sejawat serta
dengan tenaga kesehatan lainnya. Aktifitas tersebut harus ditunjang dengan menunjukan suatu
kesungguhan dan sikap empati serta bertanggungjawab terhadap setiap tugas yang di emban.

R : Review
36
Prinsip dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien, perawat harus selalu berpedoman
pada nilai-nilai etik keperawatan dan standar keperawatan yang ada serta ilmu keperawatan.

E : Education

Peningkatan kualitas asuhan keperawatan di masa mendatang, seorang perawat harus mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap profesi dengan jalan secara terus menerus menambah ilmu melalui
pendidikan formal atau informal sampai pada suatu keahlian tertentu.

E. Kerangka teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di


rumah sakit Roemani Semarang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja:

1. Motivasi

2. Kemampuan

3. Kepuasan kerja

4. Tingkat stress

5. Kondisi fisik pekerjaan

6. Aspek ekonomi

7. System kompetisi

8. Supervisi

9. Beban kerja

Asuhan keperawatan dirumah sakit

Karakteristik perawat :

1. Umur

2. Pendidikan

3. Masa kerja

(Sumber : Handoko,2001)

F. Kerangka konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di


rumah sakit Roemani Semarang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja:

37
1. Supervisi ruangan 2. Kapasitas pekerjaan 3. Motivasi dalam pekerjaan Keterangan

G. Variabel penelitian

Area penelitian

1. Variabel independent : faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat. 2. Variabel dependent :


pemberian asuhan keperawatan dirumah sakit.

Asuhan keperawatan di rumah sakit

karakteristik perawat umur,pendidikan,masa kerja

(Sumber : Suyanto,2008)

H. Hipotesa

1. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di
rumah sakit.

2. Ada hubungan antar motivasi dengan kinerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
dirumah sakit Roemani Semarang

3. Ada hubungan antara supervisi dengan kinerja perawat dalam membeerikan asuhan keperawatan
dirumah sakit Roemani Semarang

4. Ada hubungan antara kapasitas pekerjaan dengan kinerja perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan dirumah sakit Roemani Semarang.

BAB V Penyuluhan Kesehatan (PENKES)

A. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah proses yang direncanakan dengan sadar untuk menciptakan
peluang bagi individu-individu untuk senantiasa belajar memperbaiki kesadaran (literacy)
serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya (life skills) demi kepentingan
kesehatannya (Nursalam, 2008). Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan
perilaku yang dinamis dengan tujuan mengubah atau memprngaruhi perilaku manusia yang
meliputi komponen pengetahuan, sikap, ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan
hidup sehat baik secara individu, kelompok maupun masyarakat, serta merupakan
komponen dari program kesehatan (Suliha, 2002).

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

38
Tujuan pendidikan kesehatan adalah suatu perubahan sikap dan tingkah

laku individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam membina serta
memelihara perilaku hidup sehat juga berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal (Nursalam dkk, 2009). Menurut Suliha (2002), secara umum tujuan dari
pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku

individu/ masyarakat dalam bidang kesehatan. Sedangkan secara operasional tujuan


pendidikan kesehatan adalah:

a) Agar melakukan langkah positif dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit

b) Agar memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi perubahan system dan

cara memanfaatkannya dengan efektif dan efisien.

c) Agar mempelajari apa yang dapat dilakukannya secara mandiri.

3. Faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan

Menurut Notoatmojo (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan

promosi kesehatan dalam melakukan pendidikan kesehatan diantaranya yaitu:

a) Promosi kesehatan dalam faktor predisposisi

Promosi kesehatan bertujuan untuk menggugah kesadaran, memberikan atau


meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
bagi dirinya sendiri, keluarganya, maupun masyarakatnya. Disamping itu dalam konteks
promosi kesehatan juga memberikan pegertian tentang tradisi kepercayaan masyarakat dan
sebagainya, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan kesehatan. Bentuk promosi
ini dilakukan dengan penyuluhan, pameran, iklan layanan kesehatan, dan sebagainya.

b) Promosi kesehatan dalam faktor-faktor enabling (penguat)

Bentuk promosi kesehatan dilakukan agar dapat memberdayakan masyarakat dan

mampu mengadakan sarana dan prasarana kesehatan dengan cara bantuan teknik,
39
memberikan arahan, dan cara-cara mencari dana untuk pengadaan sarana dan

prasarana.

c) Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing (pemungkin)

promosi kesehatan ini ditujukan untuk mengadakan pelatihan bagi tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan petugas kesehatan sendiri dengan tujuan agar sikap dan perilaku petugas
dapat menjadi teladan, contoh atau acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat.

4. Metode dan Teknik Pendidikan Kesehatan

Menurut Suliha (2002), metode pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan

pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan untuk menyampaikan pesan kepada
sasaran pendidikan kesehatan yaitu individu, keluarga/ kelompok dan masyarakat. Metode
pembelajaran dapat berupa metode pendidikan individu, kelompok/ keluarga dan metode
pendidikan massa.

Menurut Notoadmodjo (2010), metode dan teknik pendidikan kesehatan adalah suatu
kombinasi antara cara-cara atau metode dan alat-alat bantu atau media yang digunakan
dalam setiap pelaksanaan promosi kesehatan. Berdasarkan sasarannya, metode dan teknik
pendidikan kesehatan dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Metode pendidikan kesehatan individual

Metode ini digunakan apabila antara promoter kesehatan dan sasaran atau kliennya

dapat berkomunikasi langsung, baik bertatap muka (face to face) maupun melalui sarana
komunikasi lainnya, misal telepon. Cara ini paling efektif, karena antara petugas kesehatan
dengan klien dapat saling berdialog, saling merespon dalam waktu yang bersamaan. Dalam
menjelaskan masalah kesehatan bagi kliennya petugas kesehatan

dapat menggunakan alat bantu atau peraga yang relevan dengan masalahnya. Metode dan
teknik pendidikan kesehatan yang individual ini yang terkenal adalah “councelling”.
40
b. Metode pendidikan kesehatan kelompok

Teknik dan metode pendidikan kesehatan kelompok ini digunakan untuk sasaran

kelompok. Sasaran kelompok dibedakan menjadi 2 yaitu: kelompok kecil kalau kelompok
sasaran terdiri antara 6-15 orang dan kelompok besar, jika sasaran tersebut diatas 15
sampai dengan 50 orang. Oleh karena itu metode pendidikan kesehatan kelompok juga
dibedakan menjadi 2 yaitu:

1) Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk kelompok kecil, misalnya diskusi
kelompok, metode curah pendapat (brain storming), bola salju (snow ball), bermain peran
(role play), metode permainan simulasi (simulation game), dan sebagainya. Untuk
mengefektifkan metode ini perlu dibantu dengan alat bantu atau media, misalnya lembar
balik (flip chart), alat peraga, slide, dan sebagainya.

2) Metode dan teknik pendidikan kesehatan untuk kelompok besar, misalnya metode
ceramah yang diikuti atau tanpa diikuti dengan tanya jawab, seminar, loka karya, dan
sebagainya. Untuk memperkuat metode ini perlu dibantu pula dengan alat bantu misalnya,
overhead projector, slide projector, film, sound system, dan sebagainya.

3) Metode pendidikan kesehatan massa, apabila sasaran pendidikan kesehatan misal atau
publik, maka metode-metode dan teknik pendidikan kesehatan tersebut tidak akan efektif,
karena itu harus digunakan metode pendidikan kesehatan massa. Metode dan teknik
pendidikan kesehatan untuk massa yang sering digunakan adalah:

a) Ceramah umum, misalnya dilapangan terbuka dan tempat-tempat umum

b) Penggunaan media massa elektronik, seperti radio dan televise. Penyampaian pesan
melalui radio atau TV ini dapat dirancang dengan berbagai bentuk,

misalnya talk show, dialog interaktif, simulasi, dan sebagainya.

c) Penggunaan media cetak, seperti koran, majalah, buku, leaflet, selebaran poster, dan
sebagainya. Bentuk sajian dalam media cetak ini juga bermacam-macam,

41
antara lain artikel tanya jawab, komik, dan sebagainya.

d) Penggunaan media di luar ruang, misalnya billboard, spanduk, umbul-umbul,

dan sebagainya.

B. Pengetahuan

1. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu
indera penglihatan, indera pendengaran, penciuman , rasa , dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2007).
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak turut
memperkaya kehidupan kita, pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan (Suriasumantri, 2010)

Menurut Budiman dan Riyanto (2013), pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami
atau diintervensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan menurut Potter
et all (2005), pengetahuan adalah informasi yang secara terus menerus diperlukan oleh
seseorang untuk memahami pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil mengingat

sesuatu hal termasuk mengingat kembali kejadiayang pernah dialami baik secara sengaja
maupun yang tidak sengaja, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan kontak atau
pengalaman terhadap suatu objek tertentu (Mubarak, 2007).

2. Tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan hasil dari tahu mengenai suatu objek tertentu setelah

melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, rasa, dan perabaan. Tingkat
pengetahuan merupakan suatu kebutuhan bagi keluarga apabila diikuti dengan pendidikan
(Notoadmodjo, 2007). Tingkat pengetahuan bersifat pengenalan terhadap sesuatu benda

42
atau hal secara objektif. Tingkat pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Sarwono, 2004). Terdapat beberapa
tingkat pengetahuan, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengganti sesuatu (Notoadmodjo, 2007). Tahu berarti mengingat suatu
materi yang dipelajari atau rangsangan yang diterima sebelumnya. Tahu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang itu tahu
adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan (Maulana,
2009).

b. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang


diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang paham
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh dan menyimpulkan (Maulana, 2009).

c. Aplikasi (application)

Aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada

situasi dan kondisi sebenarnya. Aplikasi yang dimaksud disini seperti penggunaan hukum-
hukum, rumus, metode, prinsip (Notoadmodjo, 2007). Mempelajari aplikasi berarti
kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajaripada situasi atau kondisi sebenarnya.
Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum- hukum, rumus, metode, dan
prinsip dalam situasi nyata (Maulana, 2009).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan,

kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu


masalah atau objek yang diketahui (Notoadmodjo, 2007). Analisis adalah kemampuan

43
menjabarkan materi atau objek ke dalam bagian-bagian yang lebih masih dalam satu
struktur organisasi dan ada kaitannya stu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan,
memisahkan, dan mengelompokkan (Maulana, 2009).

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang
dimiliki. Sintesis dalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang telah ada (Notoadmodjo, 2007). Sintesis merupakan

kemampuan meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk


keseluruhan yang baru atau kemampuan menyusun formulasi yang sudah ada. Sebagai
contoh, dapat menyusun, merencanakan, dapat meringkas, dan dapat menyesuaikan suatu
teori atau rumusan yang telah ada (Maulana, 2009).

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi

atau objek yang didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria
yang sudah ada (Notoadmodjo, 2007). Evaluasi berkaitan dengan kemampuan melakukan
justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi dilakukan dengan
menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah ada (Maulana, 2009).

3. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat meliputi:

a. Sosial ekonomi

Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang. Bila

ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengetahuan akan tinggi juga
(Notoadmodjo, 2007). Tradisi yang biasanya turun-temurun baik positif maupun negative
44
dalam suatu kebudayaan dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap terhadap
sesuatu, seperti jika budaya lingkungan bersih, masyarakat akan bersikap menjaga
lingkungannya agar tetap bersih (Budiman, 2013).

b. Kultur (budaya dan agama)

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi yang
baru akan disaring sesuai atau tidak dengan budaya yang ada atau agama yang ia anut
(Notoadmodjo, 2007).

c. Pendidikan

Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang dari orang lain

tentang suatu hal agar dapat meningkatkan pemahaman dan dapat memahami materi.
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi, mudah menerima informasi
yang diterima, memiliki pengetahuan lebih serta mempunyai wawasan lebih luas
dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah , tetapi seseorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mempunyai pengetahuan yang rendah (Budiman, 2013).

Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka ia akan mudah menerima hal baru dan akan mudah
menyesuaikan dengan hal baru tersebut (Notoadmodjo, 2007).

d. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian atau keadaan yang pernah dialami oleh

seseorang dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang dapat diperoleh dari diri
sendiri maupun orang lain di masa lalu. Pengalaman yang kurang baik cenderung dilupakan
oleh seseorang, tetapi jika pengalaman dapat membuat rasa senang secara psikologis maka
akan timbul kesan yang tertinggal sehingga menghasilkan sikap yang positif (Budiman,
2013).

45
Pengalaman disini berkaitan dengan pendidikan individu. Dengan pendidikan yang tinggi
maka pengalaman akan lebih luas. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang

dihadapi dimasa lalu (Notoatmodjo, 2007). Pengalaman dapat didapatkan dari

lingkungan pekerjaan baik secara langsung maupun tidak langsung (Mubarak, 2007). 4.
Pengukuran pengetahuan

Menurut Skinner dalam Budiman & Riyanto (2013), bila seseorang mampu menjawab
mengenai materi tertentu baik secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang
tersebut mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut
dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang ditetapkan menurut
hal-hal sperti berikut:

a. Bobot I

b. Bobot II

c. Bobot III

: tahap tahu dan pemahaman.

: tahap tahu, pemahaman, aplikasi, dan analisis

: tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang


menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkat-
tingkat pengetahuan (Mubarak, 2007).

Menurut Budiman & Riyanto (2013), dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa
juga dikelompokkan menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu
sebagai berikut:

a. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya > 50%.


46
b. Tingkat pengetahuan kategori kkurang baik jika nilainya ≤ 50%.

Namun, jika yang diteliti respondennya petugas kesehatan, maka presentasenya akan

berbeda yaitu:

a. Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya > 75%.

b. Tingkat pengetahuan kategori kurang baik jika nilainya ≤ 75%. C. Pertolongan Pertama
Pada Cedera (P3K)

1. Definisi

Maksud dari P3K ialah memberikan pertolongan sementara kepada seseorang

yang sakit mendadak (cedera) sebelum ditolong oleh tim medis (Magfuri, 2014).

2. Pentingnya P3K

Menurut Magfuri (2014) pentingnya P3K antara lain: Untuk mencegah bahaya maut yang
sekiranya masih bisa dihindari, untuk mengurangi perasaan takut dan gelisah, dan yang
terakhir adalah untuk mencegah atau mengurangi bahaya akibat cedera.

3. Tujuan P3K

Tujuan P3K menurut Magfuri (2014) antara lain:

a. Untuk melatih seseorang dalam menangani cedera dengan tepat dan cepat.

b. Untuk mencegah terjadinya kerusakan atau cedera tambahan karena pertolongan

yang tidak tepat.

c. Memberi pertolongan pada cedera atau penyakit yang datangnya mendadak.

d. Pertolongan yang cepat dan tepat sangat diharapkan guna menyelamatkan jiwa.

4. Prinsip P3K

Prinsip P3K menurut Ali Magfuri (2014) antara lain bertindak cepat, tepat, dan
47
hati-hati dan melihat situasi yang sebaik-baiknya.

5. first aid box

American College of Emergency Physicians (ACEP) merekomendasikan setiap rumah harus


mempunyai first aid box (kotak obat) untuk membantu dalam penanganan luka ringan dan
berat. Selalu telepon 9-1-1 (atau nomor emergency lokal), dan jka orang tua berada di
wilayah bantul bisa menghubungi 118 jika anda mengalami keadaan darurat medis. Namun
anda dapat mengurangi resiko dari cedera dan penyakit yang serius dengan mempersiapkan
kotak obat di rumah.

Isi first aid box menurut ACEP:

ACEP merekomendasikan daftar barang yang harus ada di dalam first aid box (kotak obat)
antara lain

a. Informasi

1.) Nomor telepon darurat 118, nomor telepon darurat ini harus ada di dalam kotak obat
(first aid box).

2.) Bentuk persetujuan medis, ini memungkinkan orang yang anda tunjuk untuk memberi
perawatan medis dalam situasi darurat ketika anda tidak dapat memberikan persetujuan.
Jika anda memiliki anak-anak, berikan mereka pengasuh yang paham mengenai perawatan
cedera.

3.) Riwayat penyakit dari anggota keluarga, ini termasuk daftar alergi yang dimiliki anggota
keluarga dan daftar obat.

b. Daftar obat menurut ACEP

1.) Acetaminophen, Ibuprofen, dan Aspirin. Aspirin tidak boleh diberikan untuk

anak-anak atau remaja dibawah usia 19 tahun.

48
2.) Obat batuk dan obat sirup, pastikan untuk memberikan obat dan dosis yang sesuai
dengan usia. Beberapa obat flu juga mengandung acetaminophen atau ibuprofen, jadi hati-
hatilah untuk menghindari overdosis. Sebagai orang tua harus berhati-hati dari bahaya
tersedak saat memberikan obat untuk anak.

3.) Obat alergi, obat ini mungkin dalam bentuk cair, krim atau injeksi epinefrin seperti yang
diarahkan oleh dokter. Jangan gunakan cairan antihistamin dan krim pada saat yang sama.

4.) Krim hidrokortison, untuk meringankan iritasi dari ruam. Perhatikan bahwa dosis krim
berbeda-beda, maka hubungi dokter untuk dosis yang tepat.

5.) Tablet dekongestan, berhati-hati dari dosis untuk usia yang tepat.

c. Perban dan persediaan cedera/ perawatan luka lain menurut ACEP

1.) Perban dari aneka ukuran untuk menutupi luka kecil dan goresan, penutup perban atau
pembalut butterfly, perban segitiga atau mitela untuk membungkus luka dan membuat
gendongan lengan, elastic warps untuk membungkus pergelangan tangan, pergelangan kaki,
lutut, dan cedera siku. Rol kasa dua inch dan 4 inch untuk menutup luka besar dan goresan,
pita perekat untuk menjaga kasa tetap di tempat.

2.) Gunting tajam untuk memotong pita, kasa atau pakaian. Antiseptik wipes untuk
mensterilkan luka atau tangan, antibiotik salep untuk mensterilkan dan melindungi luka dari
infeksi.

3.) Pinset untuk mengambil benda asing yang kecil, sengatan lebah.

4.) Hidrogen peroksida untuk mensterilkan dan membersihkan luka

5.) Sarung tangan karet untuk melindungi tangan atau mengurangi resiko infeksi ketika
merawat luka terbuka.

d. Perlengkapan lainnya

1.) Thermometer untuk mengukur suhu, untuk bayi dibawah usia 1 tahun

menggunakan thermometer rektal. Jangan gunakan thermometer berbasis


49
merkuri, petroleum jelly untuk melumasi thermometer dubur.

2.) Calamine lotion untuk mengurangi rasa gatal dan iritasi dari gigitan serangga, aloe vera
gel untuk meredakan masalah kulit termasuk luka bakar, gatal-gatal

dan kulit kering.

6. Penggunaan first aid box

Simpan daftar obat di dalam first aid box, periksa obat setiap tahun dang anti barang yang
sudah terpakai atau barang lama, tempatkan box di dalam rumah, beritahu orang rumah
dimana letak box berada. Tempatkan box dimana orang dewasa dapat dengan mudah
mencapainya tapi anak-anak tidak bisa.

Menurut Magfuri (2014) obat yang harus ada dalam kotak obat antara lain:

a. Obat luar, ada macam-macam obat luar yang bias digunakan antara lain: Mercurochroom,
biasa disebut dengan obat merah, betadine untuk membersihkan luka dengan cara
dicampurkan ke air, obat tetes mata untuk mengatasi mata gatal

berair atau karena iritasi, dan salep zink untuk mengobati luka bakar

b. Obat oral

1) Obat untuk nyeri

a) Tablet antasida, ranitidine, untuk mengobati gejala-gejala dyspepsia atau nyeri perut
akibat peningkatan asam lambung.

b) Tablet antalgin untuk menghilangkan rasa sakit/ nyeri dan demam. 2) Obat sakit perut

Tablet norit dapat menyerap zat-zat racun di dalam lambung akibat keracunan makanan.

c. Obat-obat gosok

Obat-obat gosok seperti balsam dan minyak angin ini berguna untuk

50
menghangatkan kulit, untuk mengurangi rasa pegal, linu, sakit, nyeri. 7. Peralatan kotak
obat

a. Pembalut

Pembalut merupakan selembar kain yang berguna untuk:

1) Menahan kasa penutup luka.

2) Menahan pembengkakan.

3) Menahan agar bagian badan yang cedera tidak bias bergerak untuk

meminimalisir cedera yang lebih parah.

Pembalut ada bermacam-macam diantaranya adalah mitela, platenga, funda

pembalut jenis ini berbahan dasar kain. Ada juga elastic verban yang bias digunakan untu
mengurangi mobilisasi sendi.

b. Kapas

Kapas ini khusus digunakan pengobatan, berguna untuk pembersihan atau pencucian luka.

c. Kasa steril

Merupakan lembaran-lembaran kain kasa yang telah disterilkan dan dibungkus sepotong-
sepotong. Gunanya untuk menutup luka kecil yang telah diobati, lalu dibalut atau diplester.

d. Bidai, digunakan untuk paha dan betis, gunting untuk memotong plester atau kasa, pisau
lipat, lampu senter, thermometer, dan alcohol 70% untuk mensterilkan alat.

D. Macam cedera di rumah tangga dan penanganannya

1. Jatuh

Tindakan pertama adalah memastikan bahwa korban masih bernafas dan mempunyai jalan
udara yang lancer. Penolong kemudian mengkaji kesadaran korban dan setelah itu
memindahkan korban. Jika korban sadar dan mengeluh nyeri hebat pada tungkai atau
51
lengan, kemungkinan korban mengalami patah tulang. Dalam keadaan ini biarkan korban
berada pada posisinya. Cedera pada tungkai dapat diikat kuat-kuat pada mata kaki dan
lutut, sehingga dapat efektif mengimobilisasikan fraktur tersebut. Gunakan kain untuk
mengimobilisasi daerah yang fraktur agar tidak menambah cedera (Swasanti & Putra, 2014).

2. Luka insisi

Banyak orangtua yang tidak memperhatikan penempatan pisau atau gunting di

rumah, akibatnya anak usia toddler dapat dengan mudah menjangkau benda tajam tersebut
dan bisa saja menyebabkan luka insisi. Luka insisi dapat mengakibatkan perdarahan yang
cukup banyak. Penanganan pertama dari luka adalah menghentikan perdarahan. Jika luka
dengan perdarahan kecil, penekanan keras akan membantu menghentikan perdarahan
dalam waktu yang sangat singkat. Kulit sekitar area harus

dicuci bersih dan kemudian gunakan sebuah pembalut untuk menutup luka. Luka yang besar
akan mengalami perdarahan lebih banyakdan membutuhkan penanganan segera. Korban
harus duduk atau berbaring dengan posisi luka dinaikkan setinggi jantung. Penekanan pada
luka harus dipertahankan selama kira-kira 10 menit. Segera setelah aliran darah berkurang
gunakan pembalut atau kain bersih untuk diletakkan diatas luka (Swasanti & Putra, 2014)

3. Tersengat listrik

Banyak rumah yang berisi sejumlah peralatan listrik. Anak usia toddler

mengalami peningkatan kemampuan motorik halus dan kasar sehingga beresiko terkena
sengatan listrik. Jika anak terkena sengatan listrik hal pertama yang harus dilakukan
orangtua adalah segera matikan arus listrik. Jika hal ini tidak memungkinkan, penolong
berdiri pada tempat yang kering, lapisi benda (karet, Koran yang digulung tebal, buku atau
kayu) dan gunakan benda yang sama ditangan, pukul atau tarik korban dari kontak dengan
tangan kosong. Beberapa pertolongan pertama terdiri atas penutupan luka dengan
menggunakan kasa steril atau selembar kain bersih sampai pasien mencapai rumah sakit
(Swasanti & Putra, 2014).

52
4. Keracunan

Orangtua harus memperhatikan penempatan cairan kimia agar tidak tertelan oleh

anak, sebab jika tertelan hal ini dapat membahayakan anak. Jika cairan kimia tertelan oleh
anak hal yang harus dilakukan orangtua adalah tempatkan anak dalam posisi pemulihan dan
jalan udara harus dipertahankan lancar. Perlu untuk memberikan ventilasi artifisial. Jika
mengetahui catat waktu pada saat racun tertelan. Jika racun adalah suatu yang korosif,
mulut dan kulit sekitarnya harus dengan perlahan

dibersihkan dengan air hangat. Minuman dapat diberikan untuk pasien yang sadar. Bahan
korosif dapat tertumpah keatas baju, jika demikian area yang terkena harus dihilangkan
atau potong kain sebelum kulit dibawahnya terbakar. Lakukan pembilasan lambung bila
anak menelan bahan kimia dengan memberikan air garam (Swasanti & Putra, 2014).

2) Luka bakar

Jika anak mengalami luka bakar ringan segera tempatkan area luka dibawah air

yang mengalir, hal ini dapat mengurangi nyeri dengan segera. Luka bakar ini kemudian harus
ditutup dengan kasa steril yang cukup tebal untuk menghindari masuknya udara (Blackwell
Scientific Publication 1993)

Menurut Swasanti & Putra (2014) Luka bakar dapat berakibat fatal, mulai dari kehilangan
cairan tubuh, shock, kerusakan jaringan atau organ, gangguan pernafasan, dan trauma
psikologis. Pada orang dewasa luka bakar 20% dapat menyebabkan shock, sedangkan pada
anak 10%. Pedoman untuk menentukan luas luka bakar: kepala dan leher 9%, lengan kiri 9%,
lengan kanan 9%, badan bagian depan 18% (punggung 9%, pinggang 9%), tungkai kiri 18%
(paha 9%, betis 9%), tungkai kanan 18% (paha 9%, betis 9%), genetalia 1%.

Tabel 1 klasifikasi luka bakar

Klasifikasi baru Superficial Thickness

Partial Thickness

53
Klasifikasi tradisional

Derajat 1

Derajat 2

Kedalaman luka bakar

Epidermis

Dermis

Bentuk klinis

Erythema (kemerahan), rasa sakit, blisters (gelembung) Blisters (gelembung cairan), cairan
bening, rasa nyeri saat gelembung

cairan dipecah

Full Thickness

Derajat 3

Dermis dan struktur di bawah dermis (Fascia, tulang dan otot)

Berat, eschar pada kulit, cairan berwarna, tidak didapatkan sensasi rasa sakit

Tindakan pertolongan pada luka bakar dilakukan dengan cara berikut:

a.) Luka bakar ringan

Segera rendam dengan air dingin, luka bakar dibersihkan dengan menggunakan air dan
sabun tetapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati, setelah luka benar-benar bersih dapat
diberikan krim antibiotic seperti sulfadiazine, tutup luka dengan pembalut atau perban,
ketika istirahat bagian tubuh yang luka diletakkan lebih tinggi dari bagian tubuh lainnya
(lebih tinggi dari jantung).

b.) Luka bakar sedang (kurang dari 20%)

54
Rendam bagian yang luka dengan air dingin sampai rasa nyeri reda, jangan

mengupas bagian luka yang melepuh, biarkan saja, bersihkan luka dari kotoran, setelah luka
bersih dapat diberikan krim antibiotic, jika diperlukan dapat diberikan antibiotic per oral
untuk mencegah dan atau meminimalkan dampak infeksi.

c.) Luka bakar berat (lebih dari 20%)

Berikan bantuan pernafasan (masker oksigen) kepada korban, segera mungkin

bawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis.

d.) Luka bakar karena agen kimia berbahaya

Siram bagian tubuh yang terkena bahan kimia (asam/ basa kuat) dengan menggunakan air
mengalir, bila zat kimia merupakan basa kuat, air yang

digunakan untuk membasuh atau menyiram dapat ditambahkan dengan asam cuka, bila
bahan kimia merupakan asam kuat dapat diberikan soda kue, bila ada tanda-tanda luka
bakar akibat bahan kimia membahayakan keselamatan korban, segera bawa korban ke
rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang tepat

E. Anak

Anak adalah individu yang unik, mengalami tumbuh kembang, mempunyai

kebutuhan psikologis dan spiritual yang harus dipenuhi (Suherman, 2000). Menurut

Schulte (1997) anak toddler adalah anak yang berumur satu sampai tiga tahun.

F. Cedera

World Health Organization (WHO) Siahaan (2005) mendefinisikan cedera sebagai kejadian
diluar kemampuan manusia yang disebabkan oleh kekuatan dari luar, terjadi secara
mendadak dan dapat menimbulkan kerusakan baik jasmani maupun rohani. sedangkan
menurut Dorland (1994), cedera adalah kejadian yang tidak diduga sebelumnya, khususnya
yang bersifat merugikan.

55
Menurut Mott (1990) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya cedera pada anak
dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Karakteristik anak

Karakteristik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui insidensi, tipe, dan
risiko cidera yang dialami anak. Karakteristik anak meliputi umur dan tingkat perkembangan,
jenis kelamin, kemampuan kognitif, afektif dan motorik serta tingkat aktivitas anak. Secara
alamiah anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi , mereka belajar dari apa yang mereka
sentuh, lihat, dengar, rasakan, dan cium dari tempat mereka bermain. Mereka
membutuhkan stimulus dari lingkungan dan orangtua. Selain

20

memberikan stimulus lingkungan, orangtua juga harus memperhatikan keselamatan

dan keamanan mereka tanpa mengurangi stimulus lingkungan.

2. Karakteristik agen penyebab

Agen penyebab cedera yang penting untuki diketahui adalah air, api, mainan, sepeda, dan
bahan beracun. Agen penyebab ini ada di sekitar lingkungan bermain anak. Keamanan dan
menghindari kemungkinan cedera dapat dilakukan dengan melibatkan anak untuk dapat
memberikan pemahaman mengenai bahan beracun dan bahaya agar anak dapat
menghindarinya.

3. Karakteristik lingkungan

Lingkungan fisik dan sosiokultural dapat mempengaruhi terjadinya cedera pada

anak. Lingkungan fisik meliputi penataan rumah. Sedangkan lingkungan sosiokultural


meliputi poloa asuh, respon keluarga dan kepedulian dari pemerintah atau masyarakat
seperti membuat rambu di jalan kampong 10 km/ jam.

Kecenderungan terjadinya cedera pada anak usia toddler dilatarbelakangi oleh kondisi
berikut (Supartini, 2004) :

56
1) Anak usia toddler sedang mengembangkan keterampilan motorik kasarnya yang

membuat mereka bergerak terus, berlari, berjinjit, naik turun tangga, pagar, atau

mainan, serta sepedanya.

2) Anak usia toddler mengalami peningkatan kemampuan motorik halus ketika

mereka semakin terampil menggenggam sesuatu, membuka dan menutup botol, membuka
dan menutup lemari yang tidak dikunci, jendela dan pintu, serta menggenggam benda-
benda kecil.

3) Anak toddler mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi dibandingkan dengan anak
usia lainnya dan senang mencoba melakukan sesuatu yang belum diketahuinya, dan ini
dapat membahayakan dirinya.

G. KERANGKA KONSEP

Pendidikan kesehatan tentang penggunaan first aid box meliputi:

1. Pengertian first aid box.

2. Manfaat first aid box.

3. Tujuan first aid box.

4. Penggunaan

first aid box.

5. Isi first aid box.

pengetahuan orangtua terhadap penggunaan first aid box pada cedera anak toddler

pengetahuan meliputi:

1. Pengertian pengetahuan

57
2. Tingkat pengetahuan

3. Faktor yang mempengaruhi

tingkat pengetahuan

Keterangan: : Tidak diteliti

: Diteliti

Faktor yang mempengaruhi

tingkat

pengetahuan:

1. Tingkat pendidikan

2. Informasi

3. Lingkungan

4. pengalaman

H. HIPOTESIS

Ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang penggunaan first aid box terhadap tingkat

pengetahuan orangtua dalam penanganan cedera anak toddler.

PENUTUP

BAB Vl KESIMPULAN DAN SARAN

Komplikasi tifus abdominalis yang paling sering terjadi adalah komplikasi intestinal yaitu
perdarahan usus dan perforasi usus.

Relaps adalah kekambuhan yang biasanya terjadi akibat pengobatan tifoid dengan antibiotik
kloramfenikol.

58
Komplikasi demam tifoid dapat dihindarkan dengan cara meningkatkan derajat daya tahan
tubuh pasien dan memberikan perawatan yang sebaik- baiknya pada pasien demam tifoid.

Mengadakan penyuluhan cara hidup sehat dan pencegahan penyakit demam tifoid kepada
masyarakat, terutama masyarakat dengan pendidikan yang kurang.

Sebaiknya semua penderita tifoid dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapat perawatan yang
sempurna.

Sebaiknya penderita tifoid mendapat pengobatan sesuai dengan dosis dan ketentuan
pengobatan, untuk mencegah terjadinya komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi IX. Alih Bahasa:
Kusrini Semarwati Kadar. Editor: Eka Anisa Mardella, Meining Issuryanti. Jakarta: EGC.

Doenges, Maryllin. 2003. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Alih Bahasa: Yasmin Asih.
Jakarta: EGC.

Manjsoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.

Widodo Joko. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

59
Zulkoni Akhsin. 2011. Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika.

Sudoyo. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publising.

Suyono, Slamet. 2003. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Muttaqin Arif. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta. Salemba Medika.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2011. Demam Typhoid di Jawa Tengah. Diunduh dari
http://www. Profil Kesehatan Jawa Tengah.go.id/dokumen/profil 2011/htn.

Rekam Medik Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Kasus Hipertensi dalam rentang
waktu tahun 2011 – 2012. Didapat pada 9 Mei 2012.

DAFTAR PUSTAKA

Amareta, D. I., & Putra, D. S. H. (2016). Pendampingan Dokter Kecil di Sekolah Dasar Negeri
Antirogo 04 Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Prosiding.

Andayani, A., & Fibriana, A. I. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilyah Kerja Puskesmas
Karangmalang. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 2(1), 57–68.

Ayu, S. F., Aulia, D., & Nauly, M. (2016). Improving Clean and Healthy Living Behavior in the
Poor Communities in Coaltal Area, Serdang Bedagai. 1st Public Health International
Conference (PHICo 2016).

Bawole, B. B., Umboh, J. M. L., & Sumampouw, O. J. (2019). Hubungan antara Tingkat
Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Murid
Sekolah Dasar GMIM 9 dan Sekolah Dasar Negeri Inpres Pinangunian Kota Bitung. KESMAS,
7(5).

Cahyani, T. D. A., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2018). Faktor–Faktor yang Berhubungan
dengan Praktik Hidup Bersih dan Sehat Sebagai Upaya Pencegahan Demam Tifoid Pada
Siswa di SDN Genuksari 02 Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(1), 826–
834.

60
DIY, D. K. (2019). Gambaran Penyakit Potensial Wabah/KLB Pada Puskesmas Di Daerah
Istimewa Yogyakarta Sampai Dengan Minggu 48 Tahun 2019.
(http://www.dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/gambaran-penyakit-potensial-wabah- klb-
pada-puskesmas-di-daerah-istimewa-yogyakarta-sampai-denganminggu-48-tahun- 2019)

Haslinda, H. (2016). Hubungan Personal Hygiene Dan Kebiasaan Jajan Terhadap Kejadian
Demam Typhoid Pada Anak. UIN Alauddin Makassar.

Jaksa, S., & Ismaniar, I. N. (2020). Faktor-FaktoryYang Berhubungan dengan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) pada Siswa/I di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 12 Ciamis, Tahun 2019.
National Nursing Conference, 1(1), 26.

Jayadipraja, E. A., Prasetya, F., Azlimin, A., & Mando, W. O. S. Y. (2018). Family Clean And
Healthy Living Behavior And Its Determinant Factors In The Village Of Labunia, Regency Of
Muna, Southeast Sulawesi Province Of Indonesia. Public Health of Indonesia, 4(1), 39–45.

Kandou, G. D., & Kandou, P. C. (2019). Improving Students Knowledge of Clean and Healthy
Living Behavior through Health Education. 3rd Asian Education Symposium (AES 2018).

Kanro, R., Yasnani, Y., & Saptaputra, S. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Anak Usia Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara
Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2016. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2(6).

Kemenkes. (2016). Gerakan PHBS Sebagai Langkah Awal Menuju Peningkatan Kualitas Jurnal
„Aisyiyah Medika | 320

Volume 6, Nomor 1, Februari 2021 Ahmad Arifuddin1, Dyah Suryani2, Suyitno3

Kesehatan Masyarakat. (http://promkes.kemkes.go.id/phbs)

Lestari, R. R. (2018). Hubungan Sosial Budaya Dan Peran Guru Dengan Rendahnya

Pelaksanaan PHBS di SDN 001 Langgini Kecamatan Bangkinang Kota. PREPOTIF:

61
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1), 37–47.

Nafiah, F. (2018). Kenali Demam Tifoid dan Mekanismenya. Jakarta: Cv. Budi Utama.
Nasiatin, T., & Hadi, I. N. (2019). Determinan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Siswa

Sekolah Dasar Negeri. Faletehan Health Journal, 6(3), 118–124.

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehtan. Rineka Cipta

Proverawati, A., & Rahmawati, E. (2016). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. (2nd ed.). Nuha

Medika.

Puspita, W. L., Khayan, K., Hariyadi, D., Anwar, T., Wardoyo, S., & Ihsan, B. M. (2020).

Health Education to Reduce Helminthiasis: Deficits in Diets in Children and Achievement of


Students of Elementary Schools at Pontianak, West Kalimantan. Journal of Parasitology
Research, 2020.

Rahmawati, S., & Mulyono, S. (2018). Comparison of Clean and Healthy Living Behavior of
Islamic Boarding School (IBS) Students with and without IBS Health Post access. UI
Proceedings on Health and Medicine, 3, 82.

Sriwidodo, S., & Santosa, S. (2017). Knowledge As Determinants Increase Clean And Healthy
Living Behaviors Among Students In General Primary School 07 Landau- Leban Sub District
Melawi In 2015. Proceedings of the International Conference on Applied Science and Health,
1, 121–127.

Suraya, C., & Atikasari, A. (2019). Hubungan Personal Hygiene Dan Sumber Air Bersih
Dengan Kejadian Demam Typhoid Pada Anak. Jurnal‟Aisyiyah Medika, 4(3).

Suryani, D., Juliansyah, E., Damayanti, R., Yulianto, A., & Oktina, B. R. (2020). The Clean and
Healthy Life Behavior (PHBS) Among Elementary School Student in East Kuripan, West Nusa
Tenggara Province. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 11(01), 10–22.

Suryani, D., Wibowo, W., & Umari, I. (2019). Escherichia coli Contamination on Cutlery
(Glass) in Malioboro Tourism Area Yogyakarta. Aloha International Journal of Health
Advancement (AIJHA), 2(2), 44–51.

62
Susanna, D., Purwanisari, E., & Ratih, S. P. (2020). Infection Among Food Handlers at
Canteens in a Campus. The Open Microbiology Journal, 14(1).

Susanto, T., Sulistyorini, L., Wuryaningsih, E. W., & Bahtiar, S. (2016). School Health
Promotion: a Cross-Sectional Study on Clean and Healthy Living Program Behavior (CHLB)
among Islamic Boarding Schools in Indonesia. International Journal of Nursing Sciences, 3(3),
291–298.

Ulfa, F., & Handayani, O. W. K. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Pagiyanten. HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 2(2), 227–238.

WHO. (2019). Typhoid Fever. (https://www.who.int/features/qa/typhoid-fever/en/)

63

Anda mungkin juga menyukai