KULIAH
AGAMA ISLAM
EKSISTENSI ISLAM
DI INDONESIA
Fakultas Program Studi Kode MK Disusun Oleh
TEKNIK Teknik Mesin 90002 MUHAMMAD ZAIN, S.Pd.I, MM
Abstract Kompetensi
Untuk memahami perkembangan Islam Dalam perkuliahan ini anda akan
di Indonesia saat ini, mau tidak mau mempelajari eksistensi Islam di
harus diruntut jauh ke belakang, sejak Indonesia, Kedatangan dan penyebaran
kedatangan Islam di Indonesia. Islam di Indonesia yang penuh damai
Terjadinya proses penyebaran agama dengan budaya lokal. Organisasi sosial
Islam di kepulauan Nusantara ditandai keagamaan dan organisasi pemuda dan
oleh akomodasi terhadap nilai-nilai pelajar Islam di Indonesia. Pada bagian
budaya lokal yang kemudian akhir Anda akan mempelajari peran
membentuk semacam tradisi Islam yang umat Islam di Indonesia
khas Indonesia. Banyak hal yang
mempengaruhi pembentukan tradisi
tersebut.
Umat islam Indonesia sebagai komponen mayoritas bangsa, mempunyai peran dan
tanggung jawab yang besar bagi tercapainya cita-cita nasional masyarakat adil dan makmur
berdasarlam Pancasila dan UUD 1945.
Sehubungan dengan misi yang mulia ini, umat Islam bertanggung jawab penuh
terhadap pengembangan dan penataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Tanggung jawab seperti itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
posisinya sebagai kaum Muslimin dan warga negara Indonesia.
Umat Islam Indonesia perlu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari nation
Indonesia. Sementara kenyataan menunjukan bahwa sebagai suatu bangsa, Indonesia
mempunyai heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan); maupun dalam soal
keragaman suku, bahasa daerah, adat istiadat, dan bahkan agama. Kenyataan ini bukan
saja merupakan sesuatu yang sudah given, tapi merupakan pertimbangan utama bagi umat
Islam dalam merealisasikan ide-ide dan karya nasionalnya di berbagai bidang. Dengan
demikian, demi perkembangan, pertumbuhan dan masa depan Indonesia sendiri, umat
Islam sebagai mayoritas diharapkan memberikan konstribusi dan tanggung jawabnya secara
maksimal, sesuai dengan posisi dan perannya.
Untuk bisa memenuhi harapan tersebut, umat Islam Indonesia perlu memiliki
kesadaran sejarah (historical conciousness); yakni kesadaran bahwa segala sesuatu
mengenai tatanan hidup manusia ada sangkut pautnya dengan perbedaan zaman dan
tempat. Ini menuntut pemahaman yang benar dan utuh (khaffah) terhadap keluasan ajaran-
ajaran Islam, di samping kecerdasan dan kearifan yang tinggi untuk membaca tanda-tanda
dan perubahan zaman. Selain itu diperlukan juga wawasan yang kontekstual dalam
memadukan gagasan keislaman dan keindoneisaan. Dengan kata lain, umat Islam
Indonesia dituntut untuk “menterjemahkan” Islam untuk dan dalam setting Indonesia.
Patut disyukuri bahwa perkembangan yang ada dewasa ini menunjukan bangkitnya
kesadaran umat Islam Indonesia untuk kembali memainkan misi kekhalifahannya dalam
mengisi dan memantapkan arah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kesadaran tersebut akan mempunyai dampak yang panjang bagi perjalanan dan masa
Dengan kata lain sebagai salah satu pendukung dan sumber utama pembinaan nilai-
nilai keindonesiaan, Islam diharapkan untuk terus tampil dengan tawaran-tawaran kultural
yang produktif dan konstruktif; khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesiaan menurut
kerangka Pancasila, yang telah menjadi kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan
bersama bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, Islam juga semakin diharapkan dapat
menawarkan dirinya sebagai sumber pengembangan dan pelestarian kelembagaan nilai-
nilai itu melalui berbagai pranata karenanya harus mencerminkan keunggulan itu dalam
sikap-sikap yang mulia dan penuh dengan semangat leadership yang tinggi; tidak egois, tapi
altruis.
Umat Islam adalah kuat, Karenanya tidak perlu menunjukan tingkah laku seperti
orang yang lemah dan dihinggapi rasa rendah diri. Puncak kepribadian umat Islam ialah
bahwa dalam mencari kehormatan ia hanya bersanda kepada Tuhan: “Barang siapa
menghendaki kehormatan, maka sesungguhnya hanya Allah yang menjadi pemilik
kehormatan itu. Kepada-Nya lah naik ide-ide yang baik, dan Dia menghargai tinggi amal
perbuatan yang saleh” (QS. Fathir (35): 10)
Untuk memahami perkembangan Islam di Indonesia saat ini, mau tidak mau harus
diruntut jauh ke belakang, sejak kedatangan Islam di Indonesia. Terjadinya proses
penyebaran agama Islam di kepulauan Nusantara ditandai oleh akomodasi terhadap nilai-
nilai budaya lokal yang kemudian membentuk semacam tradisi Islam yang khas Indonesia.
Banyak hal yang mempengaruhi pembentukan tradisi tersebut.
Pendapat pertama berdasarkan argumentasi bahwa sejak abad ke-4 miladiyah telah
terdapatjalur transportasi internasional. Dan pada saat yang sama pelabuhan-pelabuhan di
Jawa dan Sumatera sering disinggahi kapal-kapal asing untuk berdagang rempah-rempah,
sebagaimana dikatakan sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah.
Pada Abad ke-7 telah terbentuk pemukiman orang-orang Islam di pantai barat laut
Sumatra, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal. Selain itu, dari tulisan-
tulisan orang-orang Arab, ditemukan indikator sudah terjalinnya hubungan antara orang
Arab dengan penduduk Nusantara.
Sedangkan soal dari manakah Islam masuk ke Indonesia, menurut Azyumardi azra
ada tiga teori tentang asal Islam di Asia Tanggara:
A. Islam datang langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramut.
B. Islam datang melalui India
C. Islam datang dari benggali (Benglades)
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada tempat khusus
mengingat sifat internasionalisme Islam. Tempat asal itu bisa saja gabungan dari Arab,
Persia, dan India, dan mungkin juga Cina.
Islam masuk dan menyebar di Indonesia melalui kontak kalangan pedagang asing
dengan penduduk asli, terjadi melalui para sufi yang mengikuti para pedagang. Islam yang
disebarkan para sufi tersebut bersifat mistis, dan faktor ini ternyata mempercepat proses
penyebaran islam. Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri pada abad ke-17. Di pulau Jawa,
penyebaran Islam dilakukan olah Wali Songo, yang juga Sufi.
Banyaknya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur lokal itu membuat
islam di Indonesia, lebih memiliki kekhasan warna Indonesia daripada Islam ditempat-
tempat lain, karena secara geografis Islam Indonesia adalah negeri Muslim yang paling jauh
dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah dan Indonesia adalah negeri Muslim yang sedikit
mengalami proses Arabisasi.
Marshall G.S. Hodson dalam The Venture Of Islam, mengatakan bahwa Islam telah
demikian mempengaruhi budaya Indonesia dengan sangat mengesankan dibidang
kemasyarakatan dan kenegaraan. Sedang menurut Nurcholish Madjid, unsur-unsur Islam
sangat tampak dalam perumusan nilai-nilai Pancasila seperti konsep-konsep tentang adil,
A.H. Jones dalam bukunya “Islam di Dunia Melayu”, menulis Islam di Indonesia
berpangkal pada kota-kota pelabuhan, seperti Samudra Pasai, Malaka, dan kota-kota
pelabuhan lain di pesisir utara Jawa seperti Demak, kecuali unutk kerajaan Minangkabau di
Sumatra Tengah. Di kota-kota pelabuhan tersebut, Islam merupakan fenomena istana.
Istana menjadi sumber pengembangan Islam sehingga melahirkan banyak Intelektual islam
yang dekat dengan para penguasa istana, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Nuruddin
Ar-Raniri, dan abdul rauf Al-Sankili. Para intelektual ini memiliki keilmuan yang luas
sehingga terkenal di luar negeri.
Di wilayah yang Islamnya sudah menjadi kepercayaan para raja dan bangasawan, di
kota-kota banyak dibangun sekolah-sekolah, pusat pendidikan, dan sarana ibadah seperti
masjid. Orang-orang dari daerah pedalaman yang ingin mendalami agama pergi ke kota
sehingga kota-kota di wilayah kerajaan islam menjadi pusat pendidikan dan budaya Islam
yang dinamis. Terjadi hubungan yang dinamis dan serasi antara istana, pedagang dan para
penceramah.
A. Nahdlatul Ulama
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan mazhab tunggal yakni mahzab Wahabi
di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra
Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Namun gagasan tersebut
ditolak oleh kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman pemahaman
menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Untuk lebih sistematis memperjuangkan aspirasi dalam membela keberagaman dan
untuk mengantisipasikan perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan
berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 (13 Januari 1926). Organisasi
ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Aktivitas organisasi NU
B. Muhammadiyah
ICMI lahir pada tanggal 7 Desember 1990 di kampus Universitas Brawijaya Malang.
Prakasa pembentukannya berasal dari lima mahasiswa Unibraw yang merasa prihatin
karena tidak ada wadah yang mempersatukan cendekiawan muslim. Dengan semangat
muda dan idealisme yang tinggi mereka memprakarsai terselenggaranya simposium yang
dihadiri 512 orang cendekiawan muslim seluruh Indonesia. Simposium yang berjudul
“Simposium Nasional Cendekiawan Muslim Membangun Masyarakat Indonesia Abad XX” di
buka oleh Presiden Soeharto dan ditutup oleh Wakil Presiden Sudharmono. Sejarah
mencatat, dalam masa Orde Baru,inilah yang pertama kali bahwa sebuah pertemuan
cendekiawan dibuka oleh Presiden dan ditutup oleh Wakil Presiden.
Ketika ICMI lahir pada Desember 1990, ICMI dipandang sebagai kulminasi dari
perjuangan umat Islam Indonesia yang panjang dalam bersentuhan dengan modernisme.
Robert W Hefner menyebutkan bahwa lahirnya ICMI adalah cermin dari bangkitnya kelas
menengah muslim baru. Yakni sebuah lapisan umat Islam yang mempunyai komitmen tinggi
pada semangat intelektualisme dan profesionalisme dalam bebagai lapangan kehidupan.
ICMI sebagai refresentasi kelas menengah Muslim baru, memiliki posisi strategis untuk
menjadi kekuatan dan integrasi di mana masyarakat menginginkan tampilnya peran
cendekiawan untuk pencerahan dan penyampaian pesan Islam.
Di bidang sosial, ICMI berhasil menjadi salah satu simpul tempat bertemunya
berbagai komponen umat Islam. Dalam tubuh ICMI terdapat Dakwah, Persis, Birokrasi,
Cendekiawan Kampus, Purnawirawan ABRI, Pengusaha, Kyai dan Mahasiswa
Menurut catatan M. Rusli Karim, paling tidak ada sembilan organisasi pelajar dan
pemuda yang beraspirasikan Islam. Organisasi Pelajar dan Pemuda Islam melakukan
Para pemimpin dan cendekiawan Islam makin menyadari bahwa Islam adalah
rujukan yang paling layak, sebagai sumber yang tak pernah kering untuk mengembangkan
kehidupan umat manusia secara lebih damai, adil, selaras, dan berkemakmuran. Maka tak
terlampau berlebihan kalau dikatakan bahwa kaum Muslimin sekarang memasuki tahap
revolusi yang ketiga yakni revolusi mental dan intelektual.
Dalam suasana demikian, pada masyarakat Muslim yang terbesar di dunia, adalah
suatu keniscayaan bahwa semangat pembangunan masyarakat madani tumbuh di tengah-
tengah khalayak Muslim Indonesia. Dengan perkataan lain, umat Islam tak selaknya acuh
tak acuh terhadap urusan pembangunan masyarakat madani ini. Mengingat keragaman
keadaan umat, maka Muslim Indonesia yang berkepedulian sepatutnya menangani dua
tugas sekaligus.
Pertama, Mengentaskan dan memberdayakan para dhuafa dan meningkatkan taraf hidup
serta intelektualitas mereka sehingga menjadi umat yang mumpuni.
Kedua, Membangun masyarakat madani itu sendiri. Tak dapat yang satu menunggu yang
lain. Keduanya harus dilakukan bersamaan itu akan merupakan sumbangan monumental
umat Islam bagi bangsa ini, tak Cuma buat kaum sendiri.
Kedua tugas itu jelas tak mudah dan cepat, walau Khalifah Umar bin Abdul Aziz
dengan penuh pengorbanan sudah memberi contoh bagaimana mensejahterakan umat
hanya dalam jangka waktu dua tahun. Nabi Muhammad pun memerlukan waktu satu
dasawarsa lebih dari peletakan batu pertama hingga terbangunnya masyarakat Madani di
Umat Islam harus bersatu. Sebagai langkah awal, umat Islam harus meyelesaikan
berbagai konflik sektarian yang memecah-belah. Pada saat yang sama, umat harus
menolak penindasan dan eksploitasi sesama, korupsi dan kerakusan, serta nasionalisme
sempit dan mementingkan golongan sendiri.
Muslim yang benar adalah mereka yang juga melindungi kemanusiaan, menghargai
kehormatan wanita dan kesejahteraan anak-anak, memelihara integritas keluarga,
membantu orang-orang yang kelaparan, dan hidup harmonis bersama lingkungan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menunjukan betapa Islam tidaklah
bertentangan dengan kemajuan, modernitas, maupun praktisi masyarakat, dan negara
berbasis ajaran dan peradaban Islam.
1. Konsistensi pada keimanan kepada Allah
2. Mewujudkan pemerintahan yang adil dan bisa dipercaya
3. Menumbuhkan tradisi berdemokrasi kepada rakyat
4. Mencintai ilmu pengetahuan dengan penuh semangat dan menguasainya
5. Melaksanakan pembangunan ekonomi yang berimbang dan menyeluruh
6. Meningkatkan kualitas hidup rakyat yang baik
7. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kaum perempuan
8. Mengintegrasikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya
9. Menyelamatkan sumberdaya alam dan lingkungan
10. Berusaha keras memaksimalkan kemampuan
KAJIAN KASUS
Di sela-sela waktu mengajar yang padat, di waktu-waktu senggang ketika tidak ada
tamu, di sela-sela kegiatannya mengaji kitab dan menuliskannya kembali, KH. Hasyim
Asy`ari tetap bersikap seperti umumnya manusia biasa yang bekerja untuk memberi nafkah
kepada keluarga. Terbiasa pergi ke sawah dan ladangnya. Salah satu tujuannya adalah
untuk memastikan tanaman dan budidaya ikannya dalam keadaan baik. Bagi KH. Hasyim
Asy`ari memiliki usaha yang dikelola sendiri tidak menciderai perjuangan untuk mendidik
umat, karena bekerja sendiri adalah perintah Islam juga.
Dalam hal bersosial dengan sekitar, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy`ari
rupanya ada keseragaman. Kepribadian KH. Ahmad Dahlan yang supel, ramah, aktif,
dermawan, dan suka menolong semakin mendorong kebiasaan dalam dirinya untuk
mengenal dan dikenal oleh orang lain. Tidak salah kiranya bila silaturahim menjadi arena
mempererat tali persaudaraan sangat disukai oleh KH. Ahmad Dahlan. Sebagai seorang
ulama dan organisatoris, KH. Ahmad Dahlan tidak canggung untuk menyapa dan
mengunjungi orang lain.
Bagi KH. Ahmad Dahlan, perbedaan adalah rahmat. Ia tidak akan mengusik
perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bila tidak bersinggungan dengan
agama Islam yang diyakini kebenarannya. Sebaliknya, ia juga menyikapi perbedaan dengan
Salah satu kebiasaan KH. Hasyim Asy`ari selama menjadi pengasuh adalah
silaturahim dengan tetangga dekat pesantren. Kebiasaan ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap berdirinya pesantren, serta misi utama
dakwah Islamiyah yang memang menjadi tanggung jawab yang diambil sejak mula-mula
mendirikan pesantren Tebuireng. Silaturahim dipilih oleh KH. Hasyim Asy`ari sebagai salah
satu metode mengakrabkan diri dan pesantren terhadap masyarakat yang saat itu masih
awam dan bergelimang kemaksiatan.