Anda di halaman 1dari 72

Refleksi Kasus juni 2021

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS ULKUS


DIABETIKUM MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTHESIA TOTAL
INTRAVENOUS”

Disusun Oleh:
Raj Chandra
N 111 20 031

Pembimbing :
dr. Muhammad Nahir. Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Raj Chandra


No. Stambuk : N 111 20 031
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus :“Manajemen anestesi pada pasien dengan diagnosis ukus diabetikum
menggunakan teknik general anesthesia total intravenous”

Bagian Anestesiologi
RSUD ANUNTALOKO PARIGI
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, agustus 2021

Mahasiswa Pembimbing Klinik

Raj Chandra dr. Muhammad Nahir. Sp. An


BAB 1

Pendahuluam

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi
prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan. Anestesi memiliki tujuan-
tujuan sebagai berikut hipnotik/sedasi, analgesia, dan muscle relaxant.1

Teknik anestesi umum dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi, anestesi intravena,
ataupun kombinasi kedua teknik tersebut. Saat memilih teknik dan obat yang akan digunakan
dalam anestesi umum perlu dipertimbangkan berbagai hal, antara lain adalah keamanan dan
kemudahan dalam melakukan teknik tersebut, kecepatan induksi dan pemulihan, stabilitas
hemodinamik, efek samping yang ditimbulkan, serta biaya yang diperlukan.2

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga pasien tidur.
Pada operasi yang berlangsung lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan
memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut pemeliharaan
(maintenance). Setelah tindakan selesai, pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan (recovery). Beberapa teknik anestesi umum
antara lain sungkup muka/kap (face mask), intubasi endotrakeal, induksi intravena, induksi
inhalasi, induksi intramuskular, dan induksi per rektal.1

TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam
anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun tidak ada satupun
obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan pemberian kombinasi
dari beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan tersebut. 3
BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Ulkus Diabetikum

Ulkus diabetikum adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada syaraf periferal dan autonomik. Ulkus diabetikum
adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan syaraf, kelainan pembuluh darah
dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak di atasi dengan baik, hal itu akan
berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat di amputasi (Wijaya & Putri, 2013).4

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dan
ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit.
Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum
juga salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati perifer

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang


DM yang mengalami kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi menjadi merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan
kaki diabetes (Wijaya & Putri, 2013)

2.2 Diabetes Mellitus

Pada diabetes mellitus didapatkan defisiensi insulin absolut atau relatif


dan gangguan fungsi insulin. Diabetes melitus diklasifikasikan atas DM tipe 1,
DM tipe 2, DM tipe lain, dan DM pada kehamilan. Diabetes melitus tipe 2
(DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia, terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
Patofisiologi

Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2


secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas.
Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-orang dengan
berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat bekerja secara
optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas
mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak. Ketika
produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah
akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DMT2 semakin merusak sel beta di satu sisi
dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DMT2
semakin progresif.

Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya konsentrasi


insulin yang lebih tinggi dari normal yang dibutuhkan untuk
mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler, resistensi insulin
menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai
dari pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. Secara molekuler beberapa
faktor yang diduga terlibat dalam patogenesis resistensi insulin antara lain,
perubahan pada protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor
Substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS,
Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan
mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor).

Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta


pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi
hiperglikemia kronik dengan segala dampaknya. Hiperglikemia kronik
juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas. Sebelum
diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat memproduksi insulin
secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada
saat diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat
memproduksi insulin yang adekuat untuk mengkompensasi peningkatan
resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang
normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta
pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin
mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara klinis DMT2
sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin secara absolut.

Komplikasi

Diabetes melitus sering menyebabkan komplikasi makrovaskular


dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular terutama didasari oleh
karena adanya resistensi insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskular
lebih disebabkan oleh hiperglikemia kronik. Komplikasi makrovaskuler
adalah terjadinya 570 penyumbatan pada pembuluh darah besar seperti di
jantung dan diotak yang sering mengakibatkan kematian serta
penyumbatan pembuluh darah besar diekstremitas bawah yang
mengakibatkan ganggren dikaki sehingga banyak penerita DM yang harus
kehilangan kaki karena harus diamputasi, sedangkan komplikasi
mikrovaskuler adalah terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah
kecilseperti di ginjal yang dapat menyebabkan penderita mengalami
gangguan ginjaldan di mata dapat mengakibatkan penderita mengalami
gangguan penglihatanbahkan kebutaan.

Tatalaksana

Dalam mengobati pasien DMT2 tujuan yang harus dicapai adalah


meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan penatalaksanaan meliputi
tujuan penatalaksanaan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan
penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan keluhan dan tanda
DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah. Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah untuk
mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler, serta neuropati diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan
DMT2 adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu penatalaksanaan diabetes secara lebih dini
dan lebih cepat sehingga kadar glukosa darah puasa, glukosa darah setelah
makan, variabilitas glukosa darah, HbA1c, tekanan darah, berat badan dan
profil lipid dapat dikendalikan. Hal ini dapat tercapai melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatanman diri danp
erubahan pola hidup,disamping terapifarmakologis.

Terapi non farmakologis

Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus


direncanakan terapi non farmakologis dan pertimbangan terapi
farmakologis. Hal yang paling penting pada terapi non
farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah dan
pendidikan berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada
pasien. Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
30 menit/ kali), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan adalah berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging,

Farmakologi

Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,


dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral
(OHO) dan atau suntikan insulin. Pemilihan obat untuk pasien
DMT2 memerlukan pertimbangan yang banyak agar sesuai dengan
kebutuhan pasien. Pertimbangan itu meliputi, lamanya menderita
diabetes, adanya komorbid dan jenis komorbidnya, riwayat
pengobatan sebelumnya, riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan
kadar HbA Dengan 1c. pertimbangan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Pada keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan
tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus dijelaskan kepada pasien.

 Metformin, untuk mengurangi produksi gula pada hati.

 Meglitinide dan sulfonylurea, untuk merangsang kerja


pankreas agar memproduksi insulin lebih banyak. Contoh obat
meglitinide adalah nateglinide, dan contoh obat sulfonylurea
adalah glibenclamide dan gliclazide.

 DPP-4, untuk meningkatkan produksi insulin dan mengurangi


produksi gula oleh hati. Contoh obat ini adalah sitagliptin.

 GLP-1 receptor agonist. Obat dapat memperlambat proses


pencernaan makanan, terutama yang mengandung gula,
sekaligus menurunkan kadar gula dalam darah. Contohnya
exenatide.

 SGLT2 inhibitor. Obat ini bekerja dengan cara memengaruhi


ginjal membuang lebih banyak gula. Contohnya dapagliflozin.

2.2 TIVA

TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi umum di


mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan
kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa
penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O.4,5 TIVA dalam anestesi umum
digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yaitu
ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Namun tidak ada satupun
obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan
pemberian kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan
tersebut.5

Pada tahun 1975, Savege et al, mengkombinasikan agen steroid Altesin


dengan meperidine yang berguna untuk menjaga suplemen oksigen pada pasien
dengan nafas spontan. Menjadikan titik tolak perkembangan dan ketertarikan
anestesiologist terhadap tehnik TIVA, yang diikuti dengan perkembangan dan
penemuan obat lainnya seperti tiopental, metohexital, etomidat, propofol dan
ketamin. Kecuali ketamin, obat anestesi intra vena yang lain tidak mempunyai
efek analgesia.4

Sifat fisik dan farmakologis anestetika intra vena yang ideal meliputi2,4 :

1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan

2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak merusak


jaringan saat digunakan ekstravaskuler maupun intra arteri.

3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi hipersensitifi tas

4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan aktifi tas
eksitasi

5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat

6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk meningkatkan


kefektifan titrasinya dan meminimalisir akumulasi obat di jaringan

7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal

8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial

9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut

10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting (PONV),


amnesia, reaksi psikomimetik, pusing, nyeri kepala maupun waktu
sedasi yang memanjang (hangover eff ects)

Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan dengan


agen anestesi inhalasi yaitu4 : 1. Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk
ataupun cegukan 2. Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika
menggunakan obat dengan waktu kesetimbangan darah-otak yang singkat 3.
Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan
efek hangover yang minimal 4. Angka kejadian PONV yang rendah 5. Sebagian
besar menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga ideal untuk bedah saraf 6. Tingkat
toksisitas organ yang rendah

Metode pemberian obat hipnotik, analgesik dan relaksan otot yang


merupakan komponen dari TIVA dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu4 :
1. Bolus intermiten 2. Infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps atau
sejenisnya 3. Dengan target controlled infusion system (TCI)

2.2.1 Prinsip farmakologi TIVA

Rancangan skema tehnik infus pada TIVA didasarkan pada dua


persamaan penting yang ditentukan oleh loading dose dan laju infus dosis
pemeliharaan.4

Loading dose = Vd × Cp

Maintenance infusion rate = Cp × Cl

Vd : volume distribusi awal

Cl : klirens sistemik obat

Cp : konsentrasi plasma yang diinginkan

Namun perhitungan di atas memiliki beberapa kecacatan karena


plasma bukanlah merupakan tempat aksi obat IV, lokasi di mana obat
menimbulkan efek adalah di otak (biophase). Untuk mencapai biophase,
obat mengalami redistribusi dari darah ke otak. Di saat yang sama, obat
juga mengalami redistribusi ke jaringan lain tubuh. Oleh karena kebutuhan
akan loading dose untuk menghasilkan efek farmakologik yang diinginkan
pada umumnya tidak dapat dikalkulasikan berdasarkan volume distribusi
obat inisial (utamanya volume darah), tetapi seharusnya berdasarkan pada
volume distribusi di mana obat telah mencapai kesetimbangan dengan
biophasenya.3,4
Ketika obat diberikan dengan infus yang cepat, maka akan terjadi
efek farmakologik yang simultan, namun penilaian dari efek obat berupa
perubahan tekanan darah, ventilasi semenit EEG tidak selalu berbanding
lurus dengan cepatnya peningkatan dan penurunan konsentrasi obat di
plasma. Hal ini menunjukkan “histeresis” dalam hubungan antara
konsentrasi obat dan efek.7 Pada penelitian dengan pengukuran kontinyu
dari hubungan konsentrasi obat dalam plasma dan efek yang ditimbulkan,
adalah sesuai untuk mengkaitkan antara konsentrasi obat dalam plasma
dengan efek yang timbul pada biophase dan selanjutnya mengkalkulasikan
volume distribusi dari efek kompartemen ini. Lebih lanjut lagi dengan
menggunakan manipulasi matematika yang kompleks keadaan “histeresis”
ini dapat hilang, sehingga terjadi hubungan yang linear antara konsentrasi
dan efek obat yang menunjukkan kadar kesetimbangan konsentrasi obat di
dalam plasma dan biophase yang disebut keo (blood-brain equilibration
rate constant).4 Waktu untuk tercapainya kesetimbangan otak dan darah
(t1/2keo) juga menunjukkan waktu puncak efek obat. Untuk mencapai
dosis optimal obat, ahli anestesi perlu mengetahui waktu efek puncak obat
ketika memberikan obat IV baik untuk sedasi, induksi maupun
pemeliharaan anestesi.4

2.2.2 Induksi Anestesi Tiva

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan induksi


dengan metode TIVA, meliputi dosis induksi dan interaksi dari kombinasi
obat yang digunakan. Onset efek anestesi ditentukan oleh konsentrasi obat
di otak, dapat dicapai secara cepat maupun perlahan. Pencapaian yang
cepat biasanya dapat disertai efek samping yang nyata seperti hipotensi,
bradikardia dan depresi pernafasan. Semakin besar gradien konsentrasi
antara darah dan otak, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
tercapainya induksi anestesi.3,4 Perpindahan obat dari darah ke effect-site
terjadi melalui proses difusi sederhana dan waktu yang dibutuhkan untuk
proses perpindahan ini beragam, tergantung pada gradien konsentrasi dan
keo.
Laju infus dosis induksi adalah salah satu penentu yang mengatur
besarnya dosis induksi. Laju infus yang bertujuan hanya untuk
mendapatkan konsentrasi effect-site yang diinginkan akan menimbulkan
kehilangan kesadaran tetapi dengan onset yang lambat. Hilangnya
kesadaran hanya sesaat dan durasinya bertahan selama target konsentrasi
effect-site-nya terjaga. Pada laju infus yang cepat menyebabkan onset
anestesi yang cepat dan durasi kehilangan kesadaran yang lebih lama
tetapi juga disertai efek samping yang lebih nyata karena penggunaan
dosis induksi yang lebih besar.4

Variasi pada dosis induksi ini juga dapat disebabkan perbedaan


farmakokinetik dan farmakodinamik masing-masing individu yang
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, cardiac output, perokok, obat-
obatan yang dikonsumsi dan penyakit yang sudah diderita sebelumnya3,4

Dikarenakan tidak adanya obat IV yang dapat memberikan efek


hipnotik, amnesia dan analgesi sekaligus (kecuali ketamin) maka
diperlukan kombinasi dari beberapa obat anestetik intra vena.1,3,4
Sebagian besar obat IV anestesi bekerja secara sinergis di dalam
kombinasinya. Keuntungannya adalah terjadinya kedalaman anestesi yang
adekuat terhadap stimuli noksius akibat laringoskopi dan intubasi tanpa
depresi kardiovaskuler yang signifikan2,3,4. Seperti halnya penggunaan
opioid sebagai pre treatment yang akan mengurangi dosis agen hipnotik
untuk menghilangkan kesadaran dan menghasilkan efek analgesi untuk
mencegah stimulus adrenergik akibat dari intubasi maupun pemasangan
LMA.1,4 Karena opioid tunggal bukan merupakan obat anestetik yang
lengkap, dalam praktek klinis diperlukan obat anestetik kedua, seperti
agen hipnotik IV untuk menginduksi dan menimbulkan efek amnesia pada
pasien. Durasi efek obat anestesi IV diterminasi secara dominan oleh
proses redistribusi obat dari otak dan darah ke jaringan yang miskin
pembuluh darah.2,3,4

2.2.3 OBAT-OBATAN ANESTESI INTRA VENA

1. Barbiturat
Barbiturat yang biasa digunakan adalah thiopental, methohexital dan
thiamylal.(barash, miller). Ketiganya tersedia dalam bentuk garam sodium
dan harus dilarutkan ke dalam larutan isotonik NaCl (0,9%) atau air untuk
mendapatkan larutan thiopental 2,5%, methohwxital 1-2% dan thiamylal
2%. Jika barbiturat dicampurkan ke dalam cairan ringer laktat atau larutan
bersifat asam yang mengandung obat lainnya yang larut air, maka akan
terjadi presipitasi dan menyumbat kateter vena. Walaupun thiopental 2,5%
bersifat sangat alkalis (pH 9) dan dapat mengiritasi jaringan jika
disuntikkan ekstravaskuler, ia tidak menyebabkan nyeri dan iritasi pada
vena saat disuntikkan. Sebaliknya, methohexital 1% sering menyebabkan
nyeri saat penyuntikkan di vena kecil. Injeksi thiobarbiturat intra arterial
dapat menyebabkan komplikasi yang serius berupa pembentukkan kristal
di arteriola dan kapiler, menimbulkan vasokonstriksi berat, thrombosis dan
bahkan nekrosis jaringan.

2. Benzodiazepin

Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan barbiturat di sistem


saraf pusat, tetapi berikatan dilokasi yang berbeda. Berikatan dengan
reseptor GABAA, sehingga terjadi terjadi peningkatan frekuensi
pembukaan kanal ion Cl.9 Midazolam mempunyai keunggulan
dibandingkan diazepam dan lorazepam untuk induksi anestesi, karena ia
mempunyai onset yang lebih cepat. Kecepatan onset midazolam dan
barbiturat lainnya ketika digunakan untuk induksi anestesi ditentukan oleh
dosis, kecepatan injeksi, tingkat premedikasi sebelumnya, umur, status
fisik ASA dan kombinasi obat anestetik lain yang digunakan. Pada pasien
yang sehat yang telah diberi premedikas sebelumnya, midazolam 0,2
mg/kg dengan kecepatan injeksi 5-15 detik akan menginduksi pasien
dalam waktu 28 detik. Pasien dengan usia lebih dari 55 tahun dan dengan
status fisik ASA III memerlukan pengurangan dosis midazolam sebesar
20% atau lebih untuk induksi anestesi.3

3. Ketamin
Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk campuran
racemic. Di antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai keunggulan
dengan menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus berkaitan
dengan dosis yang diberikan.4 Ketamin memiliki efek yang beragam pada
sistem saraf pusat, menghambat refleks polisinaptik di medulla spinalis
dan neurotransmitter eksitasi di area tertentu otak. Ketamin memutus
hubungan thalamus (penghubung impuls sensoris dari sistem aktivasi
retikuler ke korteks serebri) dengan korteks limbus (berperan pada sensasi
waspada), secara klinis disebut juga anestesi disosiasi, di mana pasien
tampak sadar (mata terbuka, reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi
tidak mampu mengolah dan merespon input sensorisnya.9 Ketamin juga
merupakan antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada dosis
sub anestesi ketamin dapat menimbulkan halusinasi yang dapat dicegah
dengan pemberian midazolam ataupun agen hipnotik lainnya.4,9

Didahului dengan premedikasi benzodiazepin, ketamin 1-2 mg/kg


IV dapat digunakan untuk induksi anestesi dengan durasi sekitar 10-20
menit setelah dosis tunggal induksi, dengan tambahan waktu 60-90 menit
untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh.2 Efek analgesik mulai
timbul pada dosis sub anestetik antara 0,1-0,5 mg/kg IV dan konsentrasi
plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah dengan infus sebesar 4
μg/kg/mnt IV telah dilaporkan dapat menghasilkan efek analgesi post
operatif yang sama dengan infus morphin 2 mg/ jam IV.2

4. Etomidat

Etomidat mendepresi sistem aktivasi retikuler dan meniru efek


inhibisi GABA. Secara spesifik mengikat sub unit reseptor GABAA yang
akan meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA.3,4,7 Etomidat
memiliki efek disinhibisi pada mekanisme sistem saraf yang mengontrol
aktivitas motorik ekstrapyramidal, sehingga menyebabkan timbulnya efek
gerakan myoklonik pada sekitar 30- 60% pasien yang diinduksi dengan
etomidat.9 Dosis induksi 0,2-0,4 mg/kg menghasilkan durasi efek hipnosis
sekitar 5-15 menit, dengan sedikit perubahan pada status kardiovaskuler
pada pasien yang sehat maupun dengan penyakit katup atau penyakit
jantung iskemik. Etomidat dapat menimbulkan nyeri saat penyuntikkan
dan angka kejadian PONV yang tinggi.4

5. Propofol

Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga meningkatkan


afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA, yang akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran saraf.9 Injeksi propofol IV akan menimbulkan
nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya
atau dengan mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum
penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan
pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril
dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan ampul.3,8

6. Opioid

Ketika digunakan di dalam tehnik TIVA,opioid bekerja secara


sinergis dengan kebanyakan agen hipnotik. Selama melakukan TIVA,
kemampuan untuk mencegah respon otonom terhadap stimuli pembedahan
sangat bergantung dengan penggunaan opioid.4
2.3 STATICS

• Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop
untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat
laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan
benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu
pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.7
Tube

Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran
milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa
berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh
karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf
(cuff)sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak
bocor.Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat
trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup.

Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau


melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila
penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya
pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan
nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
Airway

Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu
pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

Tape

Tapeyang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
Introducer

Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus
plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.

Connector

Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve
mask ataupun peralatan anesthesia.

Suction

Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.7
2.3 Tehnik intubasi endotrakea

Alat yang harus dipersiapkan adalah:


1. Magill Forsep
Dipakai jika ada kesulitan saat memasukkan ET dan digunakan untuk menjepit
ujung
ET dan kemudian memasukkannya ke dalam trakea.
2. Lubricants/Jeli dan Spray Trakea.
3. Suction Cathether.
4. Spuit (Semprit).
5. Plester.
6. Stilet.
7. Self-refilling bag-valve combination (misalnya Ambu bag) atau bag-valve
unit (Ayres
bag), konektor, tube, sumber oksigen.
8. Laringoskop dengan blade lengkung (tipe Macintosh) atau lurus (tipe
Miller)
disesuaikan dengan pasien.
9. ET dengan berbagai ukuran.
10. Nasofaringeal airway atau orofaringeal airway.
11. Sarung tangan.1
Prosedur Persiapan
Ketika akan melakukan intubasi pada pasien, pastikan akan dilakukan
dengan aman, ini dapat diingat dengan kata SALT.
Suction. Ini sangat penting, sering pada pasien terdapat material yang
membuat kesulitan visualisasi plika vokalis. Aspirasi pulmo harus dihindari.
Airway. Alat airway oral adalah alat yang dapat mengangkat lidah dari
faring posterior, alat ini sering memudahkan untuk ventilasi sungkup.
Ketidakmampuan untuk memberikan ventilasi kepada pasien adalah suatu yang
buruk. Juga sumber 02 dengan mekanisme penghantar (ambu-bag atau sungkup)
harus ada.
Laryngoscope atau laringoskop. Pencahayaan alat ini penting untuk
menempatkan ET. Tube endotrakea yang sesuai.1
2.4 prosedur Intubasi Orotrakea
Urutan langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan perlengkapan sendiri, jangan bergantung pada orang lain.
2. Mask ventilasi: (diberikan oksigen dengan sungkup sebesar 10-15
L/menit). Pilih ukuran masker
yang sesuai, yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak terlalu lebar
menutupi pipi.
3. Pilih ukuran ET yang sesuai, dan dua ET cadangan dengan satu buah ET
ukuran lebih kecil dan
satu buah ET yang lain berukuran lebih besar.
4. Periksa cuffET dengan cara menginflasi/mengembangkan cuff kemudian
dicelupkan ke dalam
air, dilihat cuff ET bocor atau tidak. Antara tube dengan konektor harus
terikat secara baik.
5. Beri pelicin atau jeli lidokain pada daerah cujfjFsampai ujung distal ET
dan stilet, paling tidak ujung
stilet berada 1 cm mendekati ujung tube.
6. Pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu laringoskop.
Jika nyala lampu
laringoskop tidak terang, segera diganti dengan yang baru yang bersinar
terang. Periksa kedudukan laringoskop dan blade. Pastikan semua alat
sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.
7. Pasien terlentang dengan posisi snifpng untuk meluruskan aksis, aksis
tersebut perlu pengaturan posisi kepala, di mana oksiput ditinggikan ±10
cm dengan bantal, dan kepala diekstensikan sehingga trakea dan daun
laringoskop berada dalam satu garis lurus dengan bahu tetap di meja,
ekstensi kepala pada sendi atlanto-occipital. Pasien dengan leher pendek,
gigi penuh, mandíbula yang tertarik ke belakang, maksila yang menonjol
dan mandíbula yang sukar digerakkan, bisa menghalangi/mengganggu
kelurusan dari aksis oral, faring dan laring sehingga dapat menyebabkan
kesulitan dalam melihat glotis dengan laringoskop.
8. Letakkan masker menutupi mulut dan hidung pasien dengan tangan kanan.
Dengan tangan kiri, letakkan jari kelingking dan jari manis pada
mandíbula pasien, dan diangkat untuk membuka jalan napas bersamaan
dengan menekan masker ke wajah
pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk
9. Pompa kantong dengan tangan kanan.
10. Oksigenasi pasien selama 3-5 menit, kemudian pasien ditidurkan atau
dianestesi.
11. Dada harus mengembang setiap pernafasan dan aliran udara sebaiknya
tidak
terganggu. Bila tidak, perbaiki letak masker dan coba sekali lagi.
12. Hentikan ventilasi waktu intubasi. Sebagai patokan, selama mengintubasi
pasien tahanlah nafas dan hentikan upaya intubasi bila merasa tidak kuat
menahan nafas. Hal ini dilakukan untuk mencegah jangan sampai pasien
kekurangan oksigen oleh
karena intubasi yang terlalu lama.
13. Membuka mulut pasien dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan
kanan
menyentuh premolar mandíbula dan maksila kanan secara menyilang,
lepaskan gigi
palsu jika ada.
14. Pegang laringoskop yang sudah menyala dengan tangan kiri dan
masukkan blade dari
sudut kanan mulut pasien. Dorong dan geser lidah ke kiri sehingga lapang
pandangan
tidak terhalang oleh lidah. Lindungi bibir dari cedera antara gigi dan
blade.
15. Anestesi lokal: Berikan anestesi pada mukosa orofaring dan jalan nafas
bagian atas
dengan lidokain 2 % bila memungkinkan dan pasien masih sadar.
16. Perhatikan laring dengan cara geser dan angkat blade ke arah garis tengah
sampai terlihat uvula, faring dan epiglotis. Bila memakai blade yang
lengkung/a/rve (Macintosh), ujung blade diletakkan pada valekula,
sebelah anterior epiglotis, didorong ke depan sampai terlihat rima glotis.
Pemasukan yang terlalu dalam akan mendorong epiglotis ke bawah. Bila
memakai blade yang lurus (Magill), ujung blade ditempatkan di bagian
posterior epiglotis, di dorong ke depan sampai terlihat rima glotis.
Pemasukan yang terlalu dalam ke esofagus akan mengangkat seluruh
laring keluar lapang pandangan. Jangan menggunakan gigi geligi atas
sebagai titik tumpu,
karena gigi tersebut bisa patah.
17. Jika perlu mintalah asisten untuk menekan dan menggerakkan kartilago
tiroid ke
belakang, ke kanan atau ke kiri supaya laring dapat terlihat lebih jelas.
Mintalah ia menarik sudut kanan mulut pasien sehingga ruang untuk
memasukkan ET lebih luas. Penekanan kartilago krikoid sampai dengan
menyumbat esofagus kira- kira sebesar 30-40 N atau 8-9 pound berat
badan. Menekan krikoid tidak dianjurkan pada pasien sadar (dilakukan
setelah pasien benar-benar tidak sadar), karena tindakan ini sangat tidak
nyaman pada pasien sadar, merangsang muntah, obstruksi jalan nafas,
kurang efektif sebelum efek muntah dihambat dan meningkatkan tonus
sfingter esofagus.
18. Masukkan ET yang sesuai ukurannya dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut
pasien ke dalam trakea. Sambil melihat melalui blade laringoskop,
masukkan ET
sampai cuff tidak terlihat dari belakang pita suara. Jika ET tanpa cuff, ET
dimasukkan
sampai 3-4 cm dari pita suara pada dewasa, dan tidak lebih dari 1-2 cm
pada anak.
19. Laringoskop ditarik sambil memasukkan pipa orofaring
20. Cuff dikembangkan/diinflasi dengan udara lewat spuit sekitar 5-10 cc
sesuai dengan kebutuhan atau waktu menginflasi a# sambil mendengar
suara dari mulut pasien, jika sudah tidak terdengar suara kebocoran udara
inflasi dihentikan. Sebaiknya spuit yang dipakai untuk inflasi cuff
dilengketkan ke tempat cuff.
21. Sambil memegang ET pada sudut bibir pasien, cabut stilet jika dipakai dan
segera berikan ventilasi dan oksigenasi dengan unit kantong-katup-
oksigen yang terisi sendiri atau dengan sirkuit anestesi. Mulailah ventilasi
dengan 100% 02.
22. Auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan kemungkinan
intubasi esofagus. Jika pada waktu diberikan inflasi terdapat suara gurgle
pada daerah epigastrium dan dinding dada tidak mengembang berarti ET
masuk ke dalam esofagus, jika memang demikian ET segera dicabut dan
dilakukan reintubasi. Jika tidak terdengar suara gurgle berarti masuk ke
dalam trakea.
23. Segera setelah itu auskultasi daerah apek dan basal paru kanan dan kiri
untuk menyingkirkan kemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus
kanan) dengan cara membandingkan suara paru kanan dan kiri. Jika suara
paru kanan lebih besar dari kiri berarti ET masuk ke dalam bronkus kanan
dan ET segera ditarik pelan-pelan sampai terdengar suara yang sama
antara kanan dan kiri.
Penempatan tube yang terlalu dalam mengakibatkan intubasi endobronkial
terutama sebelah kanan tetapi bila terlalu dangkal akan menimbulkan
kesulitan untuk mengunci karena cuff dapat keluar dari laring (mudah
terjadi ekstubasi).
24. Fiksasi ET dengan plester melingkar yang ditempatkan di bawah dan
diatas bibir yang diperpanjang sampai kepipi matikan isolasi disekitar.
tube.1
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 71 tahun
Berat badan : 80 kg
Alamat : Balinggi
Pekerjaan : Petani
Agama : Hindu
Diagnosa Pra Anestesi : Ulcus Diabeticum
Jenis Pembedahan : Debridement + Drainase Abses
Tanggal Operasi : 19/05/2021
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Anestesiologi : dr. Muh. Nahir, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Adriani. P. Pakan

B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Nyeri pada tangan kiri
b. Riwayat Penyakit sekarang : Pasien mengeluhkan luka dan bengkak pada
lengan kiri sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Pasien menderita DM namun tidak
berobat teratur, mual dan muntah tidak ada..BAK tidak lancer, BAB (+) biasa.
c. Riwayat Penyakit dahulu :
 Riwayat penyakit Asma (-), Hipertensi(-), dan Diabetes Melitus (+)
 Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)
 Riwayat perdarahan lama (-)

d. Anamnesis tambahan :
Gigi goyang (-), gigi palsu (-), riwayat operasi sebelumnya (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
a) Tanda-tanda vital
TD : 110/60 mmHg N : 80x/menit P : 18 x/menit S : 36,7oC
b) Pemeriksaan fisik
 Mata : anemis (-/-) Ikterus (-/-),
 Bibir : Sianosis (-)
 Mulut : T2/T2, Mallapati (2), Gigi goyang (-), Gigi palsu (-)
 Toraks
Inspeksi : Simetris bilateral
Palpasi : Vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor (+) di kedua lapang paru
Auskultasi :Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Jantung
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bj I/II murni, reguler
 Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Tympani,
Palpasi : nyeri tekan (-)
 Ekstremitas : Akral hangat (+/+), oedem (+/+), CRT (<2 detik)
ekstremitas kanan atas : Pergerakan bebas
ekstremitas kiri atas : Pergerakan bebas, Abses (+)
ekstremitas kanan bawah : Pergerakan bebas
ekstremitas kiri bawah : Pergerakan bebas
c) B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR:18x/menit,
Mallampati: 2, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher pendek (-),
pergerakan leher bebas, faring hiperemis(-), pernapasan vesikuler(+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-)
d) B2 (Blood)
Akral hangat, TD : 110/60 mmHg, HR : 80x/menit irama reguler, CRT < 2 detik.
Masalah pada sistem cardiovaskuler (-)
e) B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6), Refleks Cahaya +/+
f) B4 (Bladder)
BAK tidak lancar
g) B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung, kesan normal,
Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal, Palpasi: nyeri tekan (-), tidak teraba massa,
Perkusi: tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
h) B6 (Back & Bone)
Nyeri tulang belakang(-), ekstremitas kiri atas Abses (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin (10/08/2021)

White Blood Cell (WBC) 16.87 x 103μL Meningkat

Red Blood Cell (RBC) 4,17 x 106 μL Normal

Hemoglobin (Hb) 14,1 g/dl Normal

Hematokrit (HCT) 35,8 % Normal

Platelet (PLT) 284 x 103 μL Normal

Cloting Time (CT) 7 menit Normal

Bleeding Time (BT) 4 menit Normal

GDS 37 mg/dl Menurun

IgM anti-SARS-Cov 2 Non-Reaktif

IgG anti-SARS-Cov 2 Non-Reaktif

HBsAg Non-Reaktif

12/8/2021

GDS 107 m/dl normal

E. ASSESMENT
 Status fisik ASA ps kelas III
 Diagnosis pra-bedah : Ulcus Diabeticum

F. PLAN
 Jenis anestesi : General Anestesi
 Teknik anestesi : General Total Intravenous Anestesia
 Jenis pembedahan : Debridement + Drainase Abses

G. PERSIAPAN PRE-OPERATIF
Di ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 6-8 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 21 tpm
Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-
lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.
Persiapan alat (STATICS)
a. Scope : Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung. LaringoScope : pilih
bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
b. Tube : Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-
tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan
sumbatan jalan napas
d. Tape : Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer : stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
g. Suction : Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

H. PROSEDUR GENERAL ANESTESI


a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan RL 21 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat hear rate,saturasi oksigen dan laju respirasi
c. Pasien sebelumya diberikan obat tambahan ranitidine 50mg, ondancentron 8mg,
metamizole 1gr.
d. Diberikan obat pre-medikasi yaitu Fentanyl 50 mcg/iv
e. Preoksigenasi O2 2 lppm via nasal kanul
f. Diberikan obat induksi yaitu Ketamin 30 mg/iv
g. Maintenance selama operasi diberikan O2 204 lpm via nasal kanul
h. Operasi selesai, pesien sadar kembali, pasien bernafas spontan, adekuat dan
hemodinamik stabil.
i. Pasien di transfer recovery room

I. LAPORAN ANESTESI
a) Diagnosis pra-bedah : Ulcus Diabeticum
b) Diagnosis post-bedah : post Debridement + Drainase Abses
c) Jenis pembedahan : Debridement + Drainase Abses
d) Jenis anastesi : General anastesi
e) Teknik anastesi : Total Intravenous
f) Posisi : Supine
g) Preoksigenasi : O2 2 L/menit via nasal kanul
h) Premedikasi anestesi : Ranitidin 50mg
Ondansentron 8 mg/iv
Metamizole 1gr
Fentanyl 50 mcg/iv
i) Induksi : Ketamin 30 mg/iv
j) Maintenance : O2 4 lpm via Nasal Kanul
k) Respirasi : Terkontrol
l) Anestesi mulai : 09.40 WITA
m) Operasi mulai : 09.50 WITA
n) Lama operasi : 20 menit
o) Lama anestesi : 25 menit
Tabel 3. Laporan Monitoring Anestesi
Tekanan Frekuensi Saturasi
Jam Terapi
darah denyut nadi oksigen

Fentanyl 50 mcg/iv
09.40 110/70 84 100
Ketamin 30 mg/iv

09.45 100/60 82 100 Mulai Operasi

09.50 100/60 80 100

09.55 100/50 75 100

10.00 110/60 86 100

10.05 100/60 79 100 Selesai Operasi


Tabel 4. Terapi Cairan
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 80 Kg Input:
Operasi - Kebutuhan cairan per jam: NcCl: 500 cc
= 40 cc x kgbb/ 24 jam NaCl : 500 cc
= 40 cc x 80 kg / 24jam
= 3200 ml
= 133 cc/jam atau 44 tetes/menit
- Kebutuhan cairan sehari :
= Kebutuhan cairan per jam x 24
= 133 ml x 24
= 3.192 ml
- Kebutuhan cairan puasa 8 jam :
= 133 ml x 8
= 1.064 ml
Durant 1. Estimate Blood Volume (EBV): Input:
e = 70 cc x BB - NaCl: 500 cc
Operasi = 70 cc x 80 Kg Output:
= 5.600 cc Perdarahan:
Jumlah perdarahan = ± 50 cc ±50 cc

% perdarahan = 50 : 5600 x 100%

= 0,8%

2. Stress operasi:
Operasi Ringan
4 x 80 = 320 cc/jam
3. Cairan defisit darah selama operasi
= 50 ml
(Cairan diganti dengan kristaloid,
50 ml x 3 = 150 cc)

Total Cairan Masuk


Preoperatif + Durante Operatif
= 1000 cc + 500 cc
= 1500cc

Total Kebutuhan Cairan selama operasi

= Stress operasi + defisit darah selama operasi

= 320 ml + 50 ml

= 370 ml

Keseimbangan Kebutuhan:

= Total cairan masuk – (kebutuhan cairan selama


operasi + puasa)
= 1500ml – (370 +1064) cc
= 66 ml
Post Maintenence BB: 80 Kg
Operasi - Kebutuhan cairan per jam:
= 35 ml x 80 kg
= 2.800 ml / 24jam
= 117 cc/jam atau 39 tetes/menit
J. POST OPERATIF
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
SpO2 : 99 %
Glasgow coma scale E4V5M6.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi (Aldrete score)


Warna Merah/Normal 2

Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20% 2


dari normal

Kesadaran Sadar penuh mudah dipanggil 2

Aktivitas Gerak dua anggota tubuh 2

Total 10
BAB IV
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik ASA
serta ditentukan rencana jenis anastesi yang dilakukan, yaitu general anastesi.
Berdasarkan hasil pre operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra
anastesi American Society of Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi status fisik pra anastesi
menjadi 5 kelas yaitu:
ASA PS
Definisi
Contoh Dewasa,
contoh Anak tetapi tidak terbatas pada
Contoh Kebidanan, Termasuk

Klasifikasi

Termasuk, tapi tidak

Tapi tidak terbatas pada:

Terbatas pada:

pasien
Sehat, tidak Merokok atau alcohol penggunaan minuman
Sehat (tidak penyakit

Sehat normal

akut atau kronis

ASA I

BMI normal

persentil untuk

usia
Seorang pasien
Penyakit ringan saja
Tanpa gejala
Kehamilan normal*, hipertensi

dengan penyakit sistemik ringan


Tanpa
penyakit jantung
Gestasional
terkontrol baik,

Substantive
bawaan,
preeklamsia terkontrol tanpa

fungsional
terkontrol dengan baik
gejala berat, DM gestasional

keterbatasan.
disritmia,
dengan diet terkontrol.

perokok, social
Tanpa asma

peminum alkohol,
eksaserbasi,

ASA II

kehamilan, obesitas
terkontrol dengan baik

(30<BMI<40),
epilepsi, tidak tergantung insulin

terkontrol dengan baik


DM/HTN,

penyakit paru-paru ringan


diabetes

militus,

BMI abnormal

persentil untuk

usia,
ringan/sedang

OSA, onkologi

dalam
batas,

autisme dengan batasan ringan

Seorang pasien

Substantif
Tidak dikoreksi

Preeklamsia dengan gejala

dengan

fungsional

stabil

berat, DM gestasional

Penyakit

keterbatasan; Satu atau

jantung

dengan komplikasi atau

sistemik

lebih moderat untuk

kelainan,

kebutuhan insulin yang


berat

penyakit parah.

Bawaan

tinggi, penyakit trombofilik

Kurang terkontrol

asma dengan

membutuhkan antikoagulan.

DM atau HT,

eksaserbasi,
PPOK, penyakit

kurang terkontrol

obesitas (BMI 40),

epilepsi, tergantung insulin

hepatitis aktif,
Alcohol

diabetes

ketergantungan atau

mellitus, penyakit

penyalahgunaan,

kegemukan,

alat pacu jantung,

malnutrisi,
Moderat

OSA parah,

pengurangan

keadaan onkologi,

fraksi ejeksi,

gagal ginjal,
ESRD mengalami

berotot

ASA III

dialisis terjadwal

distrofi,

secara teratur. cystic fibrosis,


riwayat(>3

sejarah organ

bulan) dari MI,

transplantasi,

CVA, TIA, atau

otak/sumsum tulang belakang


CAD/stent.

cacat,

simptomatik

hidrosefalus,
bayi prematur

PCA <60 minggu

autisme
dengan keterbatasan parah

penyakit metabolisme

, sulit
jalan napas, panjang

istilah parenteral

nutrisi. Penuh
bayi cukup bulan <6

usia minggu.

Seorang pasien

Terbaru (<3

Gejala

Preeklamsia dengan gejala


Dengan penyakit sistemik berat

bulan) MI, CVA,

kelainan

jantung bawaan

berat yang dipersulit oleh

ASA IV

TIA atau

CAD/stent,

HELLP atau efek samping

yang sedang berlangsung,

lainnya, peripartum
iskemia atau kardiomiopati

jantung kongestif berat dengan EF

disfungsi katup,

gagal, aktif

<40,
ancaman konstan

pengurangan parah

sekuel dari

penyakit jantung yang tidak

terhadap

fraksi ejeksi,

prematuritas,

dikoreksi/dekompensasi,

kehidupan

syok, sepsis,

hipoksia akut-

atau kongenital.

DIC, ARD atau

iskemik
ESRD tidak

ensefalopati,

menjalani

syok, sepsis,

secara teratur

disebarluaskan
dialisis terjadwal

intravaskuler

pembekuan,

otomatis
implan

kardioverter-

defibrilator,

ventilator
ketergantungan,

endokrinopati,

trauma berat,
pernafasan

kesulitan,

maju
keadaan onkologi.

Pasien yang hampir mati yang tidak diharapkan bertahan hidup tanpa operasi

Pecah

Trauma masif, Ruptur uteri.

perut/toraks

intrakranial
aneurisma,

pendarahan

trauma besar,

dengan massa

perdarahan intrakranial

efek, sabar

dengan efek massa,

membutuhkan
usus iskemik di

ECMO,

wajah dari

pernafasan

jantung yang signifikan

kegagalan atau penangkapan,


ASA V

patologi atau

ganas

Banyak

hipertensi,

sistem organ

tidak terkompensasi

penyelewengan fungsi
jantung kongestif

gagal, hati

ensefalopati,

usus iskemik
atau beberapa

sistem organ

penyelewengan fungsi.

Pasien mati otak yang organnya sedang dihapus untuk tujuan donor
ASA VI
* Penambahan "E" menunjukkan operasi Darurat: (Keadaan darurat
didefinisikan sebagai ada ketika keterlambatan dalam perawatan
pasien akan menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam
ancaman terhadap kehidupan atau bagian tubuh)8

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien digolongkan pada PS


ASA III karena pada pemeriksaan pasien mengalami diabetes mellitus dengan gula darah
tdak terkontrol dan mengganggu aktifitas pasien. Setelah penentuan ASA, kemudian
menentukan jenis anestesi yang akan digunakan. Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan
general anestesi dengan teknik TIVA karena Onset hipnotis yang cepat juga Pemulihan
kesadaran yang cepat dengan depresi pernafasan dan jantung minimal8
Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa preoperatif
pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume lambung tanpa
menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang disarankan menurut ASA
adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk makanan berat dan 2 jam untuk air putih.
Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta
pascaoperatif. Pada pasien ini diminta untuk berpuasa selama 6 jam sebelum operasi. Hal ini
sudah sesuai teori dimana anjuran puasa perioperative adalah selama 6-8 jam sebelum
operasi.9
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu. Pasien diberikan
premedikasi berupa ondansentron 2,5 mg/iv, fentanyl 50 mcg/iv dan. Telah diketahui bahwa tujuan
pemberian premedikasi ialah untuk menurunkan serta menghilangkan kecemasan pada pasien karena
sekitar 70% pasien diperkirakan mengalami stres dan juga kecemasan prabedah. 10
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Induksi pada pasien ini
dilakukan dengan anestesi intravena yaitu ketamine 50 mcg I.V. 9
Aliran oksigen sekitar 4 lpm sebagai anestesi rumatan via nasal kanul. Sesaat setelah operasi
selesai pasien di bangunkan. Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi, dengan lama
anestesi 09.50 – 10.50 (25 menit ). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Aldrete score 10, maka dapat dipindah ke ruangan perawatan
BAB 5

KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :


1. Pada kasus dilakukan operasi debridement dan drainase abses pada
pasien ulcus diabetikum pada laki-laki usia 71 tahun, dan setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status
fisik ASA 3 dengan Diabetes mellitus tidak terkontrol.
2. Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan general anestesi dengan
teknik TIVA karena Onset hipnotis yang cepat juga Pemulihan
kesadaran yang cepat dengan depresi pernafasan dan jantung minimal.
3. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperatif pada pasien ini, terbukti dengan
stabilnya hemodinamik durante dan post operatif.
4. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan
dipantau tanda-tanda vitalnya serta penilaian skor pemulihan anestesi
pada pasien ini dengan Aldrette Score dengan hasil 10 sehingga pasien
dapat dipindahkan ke ruangan perawatan.
DAFTAR ISI

1. Soenarjo, Profc Dr. SpAn KIC, KAKV, ANESTESIOLOGI, Bagian Anestesiologi


Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Undip/Rsup Dr. Kariadi,Semarang
(2013) hal 195-203

2. Arvianto, Perbandingan antara Sevofluran dan Propofol Menggunakan Total


Intravenous Anesthesia Target Controlled Infusion terhadap Waktu Pulih Sadar
dan Pemulangan Pasien pada Ekstirpasi Fibroadenoma Payudara, Jurnal Anestesi
Perioperatif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin, Bandung, 2017
3. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta

4. Wijaya, Andra Saferi dan Mariza Putri, Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah
(Keperawatan Dewasa).Yogyakarta:Nuha Medika. Yogyakarta: Nuha Medika.

5. Iqbal. 2014. TIVA (Total Intravenous Anesthesia JURNAL KOMPLIKASI


ANESTESI VOLUME 2 NOMOR 1

6. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat Intubasi
Endotrakeal.

7. American Society of Anesthesiologists, ASA Physical Status Classification


System, Approved by the ASA House of Delegates, 2020

8. Morgan Ge Et Al. Clinical Anesthesiology. 6th Edition. New York: Lange

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi Dan Terapi Intensif Indonesia


(PERDATIN). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran [PNPK] Anestesiologi
Dan Terapi Intensif. 2015

Anda mungkin juga menyukai