Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH BIOETIKA

ISSUE – ISSUE BIOETIKA DALAM DUNIA MEDIS


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bioetika

Dosen Pengampu : Dr. Irdawati, S.Si, M.Si

Oleh :

Kelompok 3

Jannah Khoftiah 18032010


Virda Septianingsih 18032146

JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nantikan syafa’atnya di akhirat.

Tidak lupa, Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Bioetika dengan judul
“Issue – issue Bioetika dalam Dunia Medis”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu selama proses penyusunan makalah ini. Demikian apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Padang, 20 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................... ii
DAFTAR ISI.....................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................2
C. Tujuan...............................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Issue – issue Bioetika dalam Dunia Medis........................3
B. Operasi plastik dan Transgender........................................8
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................11
B. Saran.................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata etika tidak hanya terdengar dalam ruang kuliah saja tetapi kalangan
intelektual pun sering disinggung tentang etika. Istilah “etika” pun berasal dari bahasa
Yunani kuno. Kata Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti:
kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap cara berpikir. Dalam bentuk jamak “ta etha”
artinya: adat kebiasaan. Istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles 9384-
322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral, maka etika adalah ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K. Bertens,
2011:4).

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak


1953) “etika” dijelaskan sebagai: “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti yaitu etika sebagai ilmu. Dalam Kamus
Besar Bahasa yang baru (KBBI, edisi ke-1, 1988, etika dijelaskan dengan
mendedakan tiga arti: “1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak) ; 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat” ( K. Bertens, 2011:6).

Pada perkembangannya, bioetika yang awalnya hanya berupa wacana,


berkembang menjadi cara untuk mengatur batasan-batasan suatu penelitian dan
perkembangan teknologi, pada masa sekarang ini telah berkembang menjadi sangat
pesat dengan terbentuknya lembaga-lembaga yang turut serta mengatur bidang-bidang
yang berkaitan dengan eksistensi manusia.

Pada perkembangannya di Indonesia, bioetika sudah diatur dan dikendalikan


oleh pemerintah dimana telah terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur
penelitian-penelitian para ilmuwan dengan mengutamakan perlindungan nilai-nilai
dan norma-norma agama, masyarakat, dan lingkungan serta biodiversitas yang
menjamin eksistensi manusia dibumiIstilah sel (bahasa Yunani: Kytos = sel; bahasa
Latin: cella = ruang kosong) pertama kali digunakan oleh Robert Hooke (1635 –
1703). Sel adalah unit dasar kehidupan. Semua tumbuhan dan hewan dibangun atas
sel-sel (M. Schleiden dan T. Schwann). Suatu sel harus memperoleh energi dari luar
untuk digunakan dalam proses vital, seperti pertumbuhan, perbaikan, dan reproduksi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana isu-isu yang ada dalam dunia medis?
2. Bagaimana operasi plastik dalam pandangan islam serta bioetika?
3. Bagaimana transgender dalam pandangan islam serta bioetika?

C. Tujuan
1. Mengetahui tentang isu-isu yang terdapat dalam dunia medis.
2. Mengetahui tentang isu operasi plastik dalam pandangan islam serta
bioetika.
3. Mengetahui isu transgender dalam pandangan islam serta bioetika.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Issue – issue Bioetika dalam Dunia Medis

Perwujudan tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap manusia


dan alam semesta dapat dilakukan antara lain melalui pengembangan pembelajaran
biologi modern yang terintegrasi dengan isu-isu yang berkaitan dengan etika. Melalui
integrasi sains dengan etika diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
kemampuan peserta didik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
problem etik. Kemampuan dalam pengambilan keputusan etik sekaligus juga dapat
mengintegrasikan antara sains dan agama (Fullick & Mary Ratcliffe, 1996: 120-121;
Johansen & Harris, 2000: 355-356).

1. Isu yang Berkenaan dengan Prinsip Etis

Pertama: Sehubungan dengan prinsip etis berupa manfaat atau keuntungan, perlu
dirumuskan secara akurat dan kontekstual dalam mendefinisikan “keuntungan”
(benefit; apakah misalnya berbentuk penyediaan layanan kesehatan yang sebelumnya
tidak ada, pembangunan kapasitas individu dan kelembagaan, akses terhadap
intervensi kesehatan masyarakat, dan sebagainya), “penerima keuntungan”
(beneficiaries), dan cakupan kewajiban untuk memberikan keuntungan tersebut.
Urgensi ini didasarkan atas kenyataan bahwa berbagai pedoman etis penelitian
berbeda-beda dalam menekankan batasan atau definisi “keuntungan” bagi partisipan
penelitian. Beberapa peneliti dapat berpangkal dari pertanyaan penelitian yang serupa,
namun pada konteks sosial yang berbeda, kesimpulan penelitian dapat sangat berbeda
atas pertimbangan aspek “keuntungan”, “penerima keuntungan”, dan “cakupan
kewajiban” tersebut. Menurut Lairumbi, Michael, Fitzpatrick, dan English (2011),
fokus pedoman etis—khususnya dalam penelitian di bidang kesehatan pada
lingkungan sosial yang miskin—telah bergeser. Semula fokusnya adalah proteksi
(perlindungan) individu partisipan penelitian dari segala kemungkinan eksploitasi
dalam penelitian. Kecenderungan kemajuan etika saat ini, fokus ini sekarang bergeser
menjadi lebih holistik, yakni bahwa penerima perlindungan dan keuntungan
mencakup juga kepentingan komunitas serta kepentingan bangsa yang menaungi
komunitas tersebut. Asumsinya adalah bahwa penelitian pada orang miskin pada
hakikatnya menyentuh pertanyaan yang lebih mendasar yakni persoalan keadilan
(justice), yang niscaya berhubungan dengan konektivitas partisipan penelitian dengan
komunitas dan bangsanya. Pada konteks yang lain, Bhutta (2002, h. 118)
menambahkan, “It is critical to link issues of health, health research, ethics, and
equity as vital components of the same equation.” Mengurangi kesenjangan
ketidaksetaraan antara negara berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara
yang lebih maju sebelum menerapkan prinsip-prinsip etis akan membantu
meningkatkan status kesehatan populasi penelitian. Bentuk-bentuk kemitraan dan
jejaring sosial antar lembaga-lembaga penelitian, industri, dan kesehatan dengan

3
dunia internasional, di samping peningkatan kapasitas dan aksi lokal dalam hal
layanan

Kedua: Dove, Avard, Black, dan Knoppers (2013) baru-baru ini menulis sebuah
artikel mengenai pemerolehan informed consent dalam riset kesehatan anak (pediatri).
Mereka menemukan buktibukti bahwa terdapat kesenjangan, variabilitas, serta
inkonsistensi yang besar dalam isi formulir persetujuan, yang pada akhirnya dapat
mencederai hak anak, di samping menyebabkan perlindungan yang kualitasnya tidak
merata antar anak yang satu dan anak yang lain dalam berbagai penelitian pediatrik.
Dalam hal ini, penting untuk merumuskan istilah “risiko” dalam penelitian kesehatan
anak. Dove et al. meminjam definisi risiko dari Canada’s 2010 Tri-Council Policy
Statement yang menyatakan bahwa risiko merupakan “sebuah fungsi dari magnitudo
atau keseriusan kerugian, serta probabilitas bahwa kerugian akan terjadi”. Namun
demikian, definisi ini tidak mengemukakan batasan dari “kerugian” (harm) itu. Dalam
riset pediatrik (khususnya penelitian genetik, biobanking, dan longitudinal), kerugian
dapat mencakup kerugian psikologis, sosial, finansial, serta kerugian komunitas, di
samping kerugian fisik.

Ketiga: Privasi merupakan isu krusial dalam konteks penelitian kesehatan. Oleh
karena adanya perbedaan antar pasien, kebutuhankebutuhan yang beragam dari
pasien, dokter seringkali harus melibatkan pihak lain dalam proses pemeliharaan
kesehatan pasien, entah itu peneliti, maupun sejawat dokter yang lebih akrab dengan
simtom yang dialami pasien. Sesungguhnya merupakan tanggung jawab dokter untuk
memperoleh persetujuan pasien sebelum mendiskusikan diagnosis pasien kepada
sejawat, peneliti, perawat, dan sebagainya. Apapun kasusnya, pada umumnya semakin
banyak variabel yang ditambahkan ke dalam kasus, semakin kurang aman privasi
pasien. Apabila terjadi pelanggaran privasi pada titik manapun dari jalur informasi
dalam sistem kesehatan (lihat Gambar 1; Laric, Pitta, & Katsanis, 2009), maka risiko
tersingkapnya informasi kesehatan pasien yang seharusnya terlindungi menjadi
meningkat secara eksponensial (Love, 2011).

Keempat: Benatar (1998) menyoroti lemahnya mekanisme perlindungan (proteksi)


partisipan penelitian pada tingkat pelaksanaan penelitian dibandingkan dengan pada
tingkat perancangan dan peninjauan protokol riset. Hal ini disebabkan sejumlah hal,
yakni (1) Adanya penerimaan yang luas bahwa apabila peneliti telah menyatakan
akan melakukan sesuatu (dalam desain penelitian), maka hal itu “harus” dilakukan;
(2) keyakinan bahwa persetujuan atau informed consent hanya memiliki aspek moral
dan kurang bahkan tidak bersentuhan dengan aspek legal; (3) kepercayaan diri bahwa
konflik kepentingan (conflicts of interest) dapat dieliminasi, dan (4) hasrat untuk
mencapai perlindungan pasien dikalahkan oleh hasrat mengejar pengetahuan. Benatar
juga mengingatkan perlunya pembahasan mengenai imperialisme dalam etika
penelitian yang melibatkan negara miskin dan negara kaya.

Kelima: London (2002) mensinyalir sulit terpenuhinya prinsip imparsialitas dalam


tinjauan etis oleh badan peninjau etik, khususnya di negara berkembang.

4
Ketidakseimbangan relasi kekuasaan antar pemangku kepentingan, antara pemangku
kepentingan dan badan peninjau etik, serta antara badan peninjau etik dan peneliti di
negara berkembang patut diwaspadai. Uang, kekuasaan (politik maupun ekonomik),
prestise, serta kurangnya kewaspadaan atas hal-hal tersebut dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan dalam tinjauan etis, dan hal-hal ini diperumit dengan konflik
kepentingan. Di negara berkembang tidak jarang terjadi badan peninjau etik berada di
bawah tekanan para penyandang dana untuk menyetujui agenda riset negara asal
penyandang dana. Terhadap kenyataan ini, London (2002) menyarankan (1)
dilakukannya analisis hak-hak manusia, yang mengklarifikasikan kepentingan para
pihak yang berbeda-beda; (2) melakukan ekspansi keanggotaan badan peninjau etik
dengan mengikutsertakan jumlah yang signifikan dari partisipan yang berasal dari
kelompok populasi atau komunitas rentan; (3) menjalankan langkah-langkah aktif
untuk memberdayakan partisipan-partisipan non-medis atau non-ilmuwan dari warga
dalam proses tinjauan; (4) memberikan pelatihan kepada warga mengenai
pemerkuatan peran masyarakat warga (civil society) dalam analisis etik dan supervisi
etik dalam konteks perubahan kebijakan dan legislasi; (5) diciptakannya mekanisme
independen untuk pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penelitian yang telah
disetujui badan peninjau etik, termasuk mekanisme “penipuan peluit” (whistle-
blowing); serta (6) pertemuan-pertemuan badan peninjau etik hendaknya dapat
diakses oleh publik.

2. Isu yang Berkenaan dengan Ragam Profesi Kesehatan

Pertama: Sebuah profesi yang tidak boleh dilupakan dalam pembahasan etika
penelitian kesehatan adalah pekerja sosial (social work). Hal ini karena pekerja sosial
kerap kali menghadapi persoalan dan dilema etis dalam pekerjaannya, baik dengan
pasien di rumah sakit, dengan pasien rawat jalan, klien panti-panti perawatan, maupun
klien di rumah-rumah yang mempekerjakan pekerja sosial. Belum lagi mereka
menghadapi kerabat, sahabat, dan rekan-rekan pasien yang berpotensi
merekomendasikan aborsi, eutanasia, penolakan pengobatan, dan sebagainya, bagi
pasien. Pekerja sosial juga sehari-hari mengelola keputusan-keputusan etis, seperti
menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan pasien, menyingkap informasi kepada
otoritas eksternal, dan lain-lain. Pada saat kepentingan pasien tidak secara penuh
digali dan dibimbing oleh dokter, perusahaan asuransi, atau administrator yang
berwenang atas diri pasien, pekerja sosial juga menjadi “advokat pasien” (Jansson &
Sarah-Jane, 1998).

Kedua: Terdapat satu bidang profesi di mana kontroversinya lebih sedikit


dibandingkan penelitian klinis seperti kloning jaringan tubuh manusia, yakni
occupational health research (Coggon, 2001). Dalam penelitian-penelitian
okupasional ini, intervensi eksperimental dilakukan pada tingkat kelompok, bukan
individual. Contohnya adalah riset modifikasi ergonomik, dalam hal mana risiko yang
terjadi kecil dan mudah dipahami. Yang patut diwaspadai dalam riset kesehatan

5
okupasional justru adalah penggunaan informasi personal dalam rangkaian riset
epidemiologis. Sebagai contoh, pemilihan sampel secara acak dari populasi untuk
survei silang-sekat (cross sectional). Dalam hal ini, daftar nama pasien seringkali
digunakan sebagai kerangka sampel (sampling frame). Namun sebenarnya secara etis
dokter tidak boleh mengeluarkan daftar nama dan alamat pasien mereka kepada
peneliti tanpa persetujuan eksplisit dari individu pasien, meskipun mekanisme
perlindungan pasien sudah tersedia (Coggon, 2001).

Ketiga: Dalam bidang psikiatri (kedokteran jiwa), Winship (2007) menyajikan dilema
etis dalam studi kasus tunggal (single case study). Ia menceritakan sebuah kasus
kanker testikular yang pada suatu waktu dihipotesiskannya dikontribusikan oleh
psikodinamika pasien (walau tanpa menyangkal imperatif biologisnya). Ia hendak
mendalami hipotesisnya tersebut, namun hampir tidak memiliki kesempatan untuk
mengulangi penyelidikannya secara mendalam. Publikasi akan memungkinkan
sejawatnya untuk membandingkan dan mentriangulasikan (mengkolaborasikan) data
yang dimilikinya sementara ini, dan dengan demikian berkontribusi pada literatur
tentang sumbangsih psikosomatik terhadap kanker. Namun juga secara etis publikasi
memerlukan persetujuan pasien. Artinya, ia perlu menghubungi si pasien yang pada
saat itu sudah berlalu 10 tahun sejak terminasi terapi. Terapi tersebut dulu juga tidak
dilangsungkan sebagai sebuah riset. Jadi meminta retrospective clearance dari pasien
untuk publikasi akan menghadirkan sebuah dinamika relasi baru antara dokter-pasien.

3. Isu yang Berkenaan dengan Aspek Sosial dan Budaya Dari Penelitian

Pertama: Pertimbangan terhadap kompleksitas konteks lokal dan keulayatan


(indigenous) dalam perancangan dan pelaksanaan penelitian hendaknya
diikutsertakan. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan apabila terdapat variabilitas dan
fragmentasi standar dan kriteria antar komite etik pada lokasi penelitian yang berbeda
yang mencerminkan kebutuhan pada tingkat lokal. Meskipun demikian, hal ini
mengundang implikasi praktis, yakni bagi peneliti yang melakukan penelitian multi-
lokasi (seperti penelitian skala nasional) akan mengalami upaya ekstra dan waktu
tunda yang tak terprediksi dalam rangka memperoleh persetujuan komite etik dan
menyusun jadwal penelitian. Hal ini dikemukakan di sini sebagai faset yang perlu
diantisipasi oleh pegiat masalah etika penelitian kesehatan di Indonesia

Kedua: Keseimbangan atau kesetaraan jenis kelamin antara lakilaki dan perempuan
dalam penelitian kesehatan juga menjadi isu tersendiri terkait dengan etika penelitian.
Ballantyne dan Rogers (2008) mempersoalkan secara serius ketimpangan jenis
kelamin dalam berbagai penelitian. Dengan berbagai rujukan, mereka memperlihatkan
bahwa perempuan di atas 65 tahun tidak terwakili (under-represented) dalam
penelitian tentang penyakit jantung, kolorektal, dan kanker paru-paru, sedangkan laki-
laki mengalami over-representation. Padahal, terdapat bukti-bukti adanya perbedaan
jenis kelamin dan orientasi jender dalam insiden penyakit, respons terhadap
pengobatan, dan prognosis sejumlah penyakit, termasuk artritis, depresi, penyakit
6
jantung, dan penyakit infeksi. Pelaksanaan penelitian dengan partisipan yang tidak
representatif sesungguhnya membatasi aplikabilitas dari temuan penelitian tersebut.
Ballantyne dan Rogers menemukan bahwa Human Research Ethic Committees
(HREC) di Australia tidak berperan aktif dalam memantau inklusi yang “adil” antara
partisipan laki-laki dan perempuan dalam penelitian klinis di Australia karena tiga
alasan.

a. Mereka secara umum tidak menganggap kesetaraan laki-laki dan perempuan


sebagai isu penting, mungkin karena mereka kurang akrab dengan perdebatan
internasional yang kompleks mengenai kesetaraan seks dan jender dalam riset.
b. Ketika HREC mampu mengenali diskriminasi jenis kelamin atau rekrutmen
partisipan yang tidak adil berkenaan dengan jenis kelamin, mereka tidak yakin
bahwa mereka memiliki mandat untuk wajib menolak protokol penelitian
sematamata karena persoalan jenis kelamin ini.
c. Sejumlah HREC tidak yakin bahwa riset harus dirintangi berdasarkan
ketidaksetaraan jenis kelamin. Yang menarik, HREC berbeda-beda dalam
menafsirkan “inklusi partisipan yang adil” dalam penelitian

4. Isu yang Berkenaan dengan Kepengarangan

Etika kepengarangan (authorship) dewasa ini merupakan hal yang serius


didiskusikan akhir-akhir ini. Sebelum sampai kepada persoalan etisnya, perlu
diketahui bahwa pengarang memiliki tanggung jawab antara lain: (1) bertanggung
jawab atas kejujuran dan keandalan karya ilmiahnya; (2) mempertahankan kontribusi
karyanya terhadap ilmu setelah dipublikasikan di hadapan public

Sejumlah poin berikut ini merupakan hasil kajian Smith dan Williams-Jones (2012)
mengenai etika kepengarangan, meskipun tidak boleh dianggap sebagai preskripsi
untuk semua situasi:

Pertama, oleh karena kata “author” berasal dari bahasa Perancis Kuno “auctor” yang
berarti “creator, originator” (Claxton, 2005), maka “authorship” mengandung
kontribusi orisinalitas dan kontribusi yang bernilai keilmuan terhadap kemajuan
pengetahuan. Desainer atau perancang penelitian seringkali ditempatkan sebagai
penulis utama.

Kedua, dalam sejumlah kasus, orang yang mengerjakan hal-hal teknis justru nyata-
nyata terlibat dalam kebanyakan atau keseluruhan langkah atau proses penelitian.
Nama mereka harus dijamin memperoleh tempat dalam kepengarangan,

Ketiga, seorang penulis teknis (technical writer) jika tidak terlibat dalam proses riset
tidak boleh ditempatkan namanya sebagai pengarang. Penulis teknis adalah
“kontributor” namun bukan “pengarang”.

Keempat, dalam riset-riset farmakologi, radiasi/onkologi, neurologi, dan genetika,


orang yang mengembangkan reagent, pharmaceuticals, data sets yang baru (novel,

7
original) sebagai hasil dari sebuah kerja yang signifikan wajib ditempatkan namanya
dalam kepengarangan karena dianggap memiliki kontribusi intelektual yang
melahirkan riset baru

Kelima, relasi kekuasaan yang asimetrik atau tidak seimbang (misalnya antara dosen
dan mahasiswa) dapat menimbulkan masalah etis dalam kepengarangan. Hal ini
terjadi misalnya apabila seorang profesor memaksakan namanya pada urutan pertama
dalam kondisi apapun, atau sebaliknya, seorang profesor menempatkan
kepengarangan mahasiswanya atas dasar hal-hal yang sebenarnya tidak terkait
langsung dengan kontribusi terhadap penelitian (misalnya, profesor memasukkan
nama mahasiswanya dalam artikel jurnal untuk menolong mahasiswanya kelak
memperoleh pekerjaan atau karier yang baik atau agar diterima dalam program pasca
sarjana), atau hanya karena favoritisme individual sang dosen terhadap si mahasiswa/i

Keenam, peneliti senior, seperti Principal Investigator (PI) dari sebuah proyek riset,
tidak boleh ditempatkan namanya sebagai pengarang (misalnya, sebagai
corresponding author—pengarang yang atas persetujuan tim peneliti bertanggung
jawab dalam menanggapi komentar yang masuk terhadap publikasi—atau pun last
author— pengarang yang berada pada urutan terakhir) apabila ia atau mereka tidak
berkontribusi secara substansial, meskipun mungkin dianggap berkontribusi dalam
kepemimpinan (research leadership) atau pun finansial.

Ketujuh, tiap-tiap pengarang wajib bertanggung jawab untuk setidaknya satu


komponen dari sebuah publikasi ilmiah, yakni komponen dengan mana ia bekerja
secara komprehensif. Implikasinya, apabila terdapat tuduhan seperti plagiarisme atau
fabrikasi data, maka tim penelitian tidak boleh melemparkan tanggung jawab kepada
orang tertentu saja (misalnya, corresponding author), melainkan harus diselidiki lokus
tanggung jawab.

B. Operasi Plastik dan Transgender

a. Operasi Plastik
Operasi plastik berasal dari dua kata, yaitu “Operasi” yang artinya “pembedahan”
dan “Plastik” yang berasal dari empat bahasa yaitu, plasein (Bahasa Kunonya),
plastiec (Bahasa Belanda), plasticos (Bahasa Latin), plastics (Bahasa Inggris), yang
kesemuanya itu berarti “berubah bentuk”, di dalam Ilmu Kedokteran dikenal dengan
“plastics of surgery” yang artinya “pembedahan plastik”. Pengertian operasi plastik
secara umum adalah berubah bentuk dengan cara pembedahan, sedangkan pengertian
operasi plastik menurut ilmu kedokteran adalah pembedahan jaringan atau organ yang
akan dioperasi dengan memindahkan jaringan atau organ dari tempat yang satu ke
tempat lain sebagai bahan untuk menambah jaringan yang dioperasi.Jaringan adalah
kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai fungsi
tertentu, sedangkan organ adalah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda
sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu.

8
Operasi plastik atau yang dalam bahasa Inggris disebut Plastic Surgery adalah
bedah atau operasi yang dilakukan untuk memperbaiki bagian anggota tubuh baik
yang tampak ataupun tidak, dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang, yang
bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika tubuh. Dalam bahasa Arab disebut
Jirahah al-Tajmil yaitu operasi bedah yang dilakukan utuk memperbaiki penampilan
satu anggota tubuh yang tampak atau untuk memperbaiki fungsi dari anggota tersebut
ketika anggota tubuh itu berkurang, lepas atau rusak.

Bedah plastik merupakan suatu cabang khusus dari pembedahan yang ada
kaitannya dengan kelainan bentuk dan kerusakan atau cacat kulit serta jaringan otot
tukang di bawahnya. Pada tahun 1798 istilah “plastique” di gunakan oleh Desavid,
sedangkan pada tahun 1938 dalam bukunya Zeis istilah “plastic surgery” adalah
bagian dari buku yang berjudul “Handbuch der Plastichen Chirurgie”. Orang yang
pertama kali menggunakan istilah “plastic” adalah Von grafe dalam monografinya
yang berjudul “Rhinoplastic” pada tahun 1818 di Berlin.
Gilles mendefinisikan bahwa bedah estetik adalah upaya untuk melampaui batas
normalnya. Dalam buku Principles and Art of Plastic Surgery tahun 1957, dikatakan
bahwa seni memang terdiri dari konsepsi menegnai hasil yang akan diperoleh
sebelum terealisir secara material. Kulitas merupakan persyaratan yang paling penting
bagi seorang ahli bedah plastik.

Menurut konsep Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan Medis


disebutkan pengertian bedah plastik adalah tindakan medis yang berkaitan dengan
bedah plastik rekonstruksi dan bedah kosmetik adalah tindakan medis yang dilakukan
dengan tujuan memperoleh atau mengembalikan bentuk atau konstruksi tubuh
manusia agar yang bersangkutan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Bedah
plastik adalah rangkaian tindakan medis yang dilakukan untuk memulihkan atau
meningkatkan keadaan fisik pasien dengan menekankan pada penampakan dan fungsi.

Menurut Affandi, bedah kosmetik dibagi menjadi 13:


1. Bedah kosmetik pada hidung
Pada tahun 1600 Sebelum Masehi pada zaman purba, dokter-dokter Mesir telah
melakukan perbaikan operasi hidung akibat kecelakaan dan operasi hidung sekarang
ini banyak dilakukan dengan tujuan kecantikan, di mana bentuk yang dirasa kurang
menarik diubah menjadi lebih baik. Tidak semua orang di dunia ini mempunyai
pandangan yang sama tentang bentuk hidung yang ideal.

2. Bedah kosmetik pada dagu


Orang Barat pada umumnya dagunya lebih menonjol ke depan, pada orang
Indonesia dagunya nampak lebih ke dalam. Dagu yang terlalu pendek bila dilihat dari
depan berkesan seperti orang tersebut cemberut dan dagu yang terlalu panjang
berkesan seperti dagu orang usia lanjut. Dagu yang ideal dilihat dari samping ialah

9
sejajar dengan garis yang ditarik dari dasar hidung ke bawahmenyentuh garis
belakang bibir atas dan menyentuh batas bibir bawah serta menyentuh garis depan
dagu. Dagu yang pendek dapat diperbaiki dengan penambahan tulang atau tulang
rawan, namun sekarang ini lebih sering memakai bahan silicon karena mudah
didapatkan dan aman.

3. Bedah kosmetik pada tulang pipi


Bedah ini dapat dilakukan dengan memasang silikon di bagian depan, supaya
goresan tidak telihat, maka silikon diletakkan pada daerah pelipis dan sayatan
dilakukan lewat gusi atas atau dari dalam mulut.

4. Bedah kosmetik pada telinga


Bentuk telinga pada umumnya tidak sama tetapi besar telinga hampir sama
terhadap semua orang yaitu dari batas alis ke bawah sampai dasar hidung. Dan daun
telinga menjorok ke samping dengan sudut 15-16 derajat. Bila sudutnya lebih besar
lebih besar maka disebut telinga cap lang. Untuk memperbaiki posisi telinga
dilakukan dengan sayatan di belakang telinga agar jaringan parut dan tidak tampak.

5. Bedah kosmetik kelopak mata


Suatu operasi untuk memperbaiki penampilan yang abnormal dari kelopak mata.
Beberapa macam perubahan dapat dilakukan pada kelopak mata, yang paling sering
dilakukan adalah menghilangkan kerut-kerut dan kulit berlebihan terutama pada
sudutluar mata bagian atas. Demikian juga penonjolan lemak di bawah mata juga bisa
diperbaiki dengan operasi ini, yakni untuk menghilangkan kelebihan lemak dan kerut-
kerut yang menggantung.yang tidak dapat diatasi dengan operasi ini adalah pada
orang periang dan banyak tertawa maka di samping mata timbul kerut-kerut
menyerupai bentuk cakar ayam. Pada keadaan ini tidak seluruh kerut-kerut dapat
dihilangkan melalui operasi ini.
Demikian juga kantong lemak yang besar yang terdapat di bawah mata tidak
seluruhnya dapat dihilangkan. Kulit yang berlebihan yang terdapat di pinggir kelopak
mata bagian atas bila terjadi bersamaan dengan turunan alis mata, tidak seluruhnya
bisa diperbaiki apabila tidak bersamaan dilakukan operasi mengangkat alis ke atas.

6. Bedah kosmetik pada alis mata

Bedah ini dilakukan dengan cara melakukan sayatan dalam rambut kepala, di
pinggir dahi yang disebut daerah temporal.

7. Bedah kosmetik pada muka

Operasi tarik muka adalah membuang kulit muka yang berlebihan dan kendur di
daerah sekitar rahang dan leher atas. Umur yang ideal untuk dapat dilakukan operasi
tarik muka adalah sekitar 40 tahun, karena tanda-tanda penuaan mulai tampak dan
bentuk badan masih bagus sehingga peremajaan muka kurang lebih 10 tahun tidak

10
akan menarik perhatian. Operasi tarik muka adalah membuang kulit muka yang
berlebihan dan kendur di daerah sekitar rahang dan leher atas.

8. Operasi tarik dahi


Kerutan pada dahi tidak akan hilang apabila hanya dilakukan dengan operasi
tarik muka saja, sehingga diperlukan operasi tarik dahi. Kerutan horizontal pada dahi
biasanya timbul pada permulaan tanda ketuaan yang disebabkan oleh gerakan otot di
bawah kulit. Operasi ini dilakukan dengan sayatan dalam rambut kepala sekitar 4cm
di belakang garis rambut kepala bagian depan.
Dengan cara ini otot di atas pangkal hidung di antara kedua mata dapat dipotong
sehingga kerutan atas hidung akan hilang.

9. Bedah kosmetik perbaikan leher


Pada orang gemuk terdapat gumpalan lemak di bawah dagu sehingga tampak
dagu kedua. Bentuk ideal antara dagu dan leher bila dilihat dari samping bersudut 90
derajat dan sudut sisi bagian atas dua pertiga dibanding bawah. Pada kelebihan lemak
tersebut perlu dibuang dengan cara mengangkatnya atau dengan cara mengangkatnya
atau dengan cara penyedotan lemak. Bedah ini dilakukan pada orang yang terdapat
banyak gumpalan lemak di bawah dagu, lemak tersebut di buang dengan cara
mengangkatnya atau dengan cara penyedotan lemak.

10. Operasi penanaman rambut


Pada kepala yang botak hanya memilki rambut di samping kiri dan kanan.
Operasi semacam ini dapatdilakukan dengan flap yang dipindahkan dari daerah yang
berambut ke daerah yang botak.pada bagian yang di ambil rambutnya akibat flap
dapat ditutup dengan menarik kulit di sampingnya kemudian dijahit.

11. Bedah kosmetik pada payudara


Untuk membesarkannya diperlukan mamaeplasty yaitu dengan memasukkan
bahan silikon seperti “gel” yang terbungkus dalam kantong silikon yang diletakkan di
suatu rongga antara otot dan kelenjar payudara sehingga pembuluh dan urat-urat
syaraf yang terletak di atas bahan silikon dapat berfungsi seperti semula, agar seorang
ibu dapat menyusui bayinya dan perasaan pada payudara tetap tidak berubah. Untuk
mengecilkan maka diperlukan banyak jaringan kelenjar yang harus dipotong dan
puting susu dipindahkan ke atas.

12. Penyedotan lemak


Cara ini diperkenalkan oleh dr. George Fischer dari Italia pada konggres bedah
kosmetik di Paris. Pada bagian kulit yang terdapat lemak, dimasukkan suatu tube
metal kecil lewat sayatan dikulit. Kemudian tube metal disambung dengan pompa
vacum dan diletakkan di daerah lemak bawah kulit maka gumpalan lemak akan
terhisap keluar.

13. Operasi perapian vagina

11
Operasi ini ditujukan kepada wanita yang menderita robek vagina saat
melahirkan yang tidak dijahit kembali, bisa juga karena bertambahnya usia sehingga
elastisitas pada vagina berkurang.

Macam-macam Operasi Plastik


Di dalam Ilmu bedah plastik terdapat tiga macam operasi plastik yaitu:

1. Operasi plastik yang bertujuan untuk memperbaiki tulang atau sel-sel yang kurang
sempurna agar dapat berfungsi seperti sediakala. Operasi ini dilakukan terhadap
orang yang mempunyai cacat fisik, baik cacat sejak lahir maupun cacat yang
disebabkan oleh hal-hal tertentu. Pelaksanaan operasi plastik ini meliputi:
a) Operasi plastik pada cacat bawaan, misalnya bibir sumbing, dan mata buta.
b) Operasi plastik pada luka bakar, misalnya wajah yang terkena air aki atau
organ tubuh yang tersiram air panas, dan cacat yang lain yang diakibatkan
kecelakaan.
2. Operasi plastik yang bertujuan untuk memperindah bentuk tubuh. Operasi ini
dilakukan terhadap orang yang ingin memperindah bentuk tubuhnya agar
kelihatan lebih menarik. Operasi semacam ini disebut operasi plastik cosmetika
atau operasi plastik pada tulang-tulang muka.
3. Operasi plastik yang bertujuan untuk menggantikan anggota organ tubuh yang
rusak akibat dari suatu penyakit.

Manfaat operasi plastik


Operasi plastik ada manfaatnya, yakni:
1. Dapat menormalkan kembali organ tubuh yang telah rusak (cacat).
2. Dapat memperbaiki dan menyempurnakan bentuk organ tubuh agar kelihatan
lebih bagus.
3. Dapat mengurangi beban mental dan terlepas dari bahaya bagi penderita yang
cacat.

Efek Samping Operasi Plastik


Operasi plastik mempunyai efek samping, yakni:
1. Dapat mengakibatkan pendarahan.
2. Dapat menimbulkan pembengkakan dan rasa nyeri pada bagian yang telah
dioperasi.
3. Orang yang telah melakukan operasi plastik tidak akan pernah merasa puas,
karena selalu ingin untuk melakukan bedah plastik kembali.
4. Operasi plastik tidak bisa bertahan lama, karena setiap orang pasti akan
mengalami proses penuaan.
5. Pada bekas jahitan operasi plastik akan tampak zat keloin (warna hitam).

Operasi Plastik Menurut Medis

12
Menurut konsep Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan Medis
disebutkan pengertian bedah plastik adalah:
1. Tindakan medis yang berkaitan dengan bedah plastik rekonstruksi dan bedah
kosmetik adalah tindakan medis yang dilakukan dengan tujuan memperoleh atau
mengembalikan bentuk atau konstruksi tubuh manusia agar yang bersangkutan dapat
melaksanakan fungsinya dengan baik.
2. Tindakan medis di atas dilaksanakan pada pasien yang mempunyai gangguan
anatomis, psikologis atau estetis.

Dengan demikian, menurut kesepakatan Tim, Pengertian Bedah Plastik adalah


rangkaian tindakan medis yang dilakukan untuk memulihkan atau meningkatkan
keadaan fisik pasien dengan penekanan pada penampakan dan fungsi. Termasuk
dalam ruang lingkup pengertian ini adalah Bedah Plastik Rekonstruksi dan Bedah
Estetik. Sedangkan dalam pembedahan rekonstruksi yang dilakukan untuk
penanggulangan cacat atau kerusakan organ oleh dokter spesialis lain (bukan Spesialis
Bedah Plastik), digunakan istilah Bedah Rekonstruksi saja, tanpa menyebutkan istilah
Bedah Plastik. Sebab istilah Bedah Plastik hanya dipergunakan khusus dalam
spesialisme Ilmu Bedah Plastik, untuk menghindarkan kerancuan dalam bidang
kedokteran maupun masyarakat.

Kewenangan melakukan praktik Bedah Plastik secara lengkap yaitu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Bedah Kosmetik atau Bedah Estetik, maupun secara tidak lengkap
yaitu bagian Bedah Estetiknya saja, hanya dapat dilakukan oleh seorang Spesialis
Bedah Plastik, dan dinyatakan oleh surat izin praktik yang dikeluarkan Departemen
Kesehatan Rl setelah mempertimbangkan rekomendasi Organisasi Perhimpunan Ahli
Bedah Plastik Indonesia (PERAPI). Pada dasarnya Dokter Umum dan Dokter
Spesialis lain tidak diizinkan melakukan Bedah Plastik.

Dalam Ilmu Bedah Plastik, penampakan (appearance) adalah faktor dasar yang
sangat penting untuk seluruh kegiatan yang dilakukan, sedangkan pembedahan Estetik
yang dilakukan oleh dokter spesialis lain atau dokter umum, hanya merupakan
sebagian dari kegiatan profesionalnya tanpa menghayati dasar filosofi bedah plastik
serta dampak lain yang terkait. Oleh karena itu jika hal ini dibiarkan, maka akan
bertentangan dengan pengembangan profesionalisme keilmuan dan menyuburkan
iklim amatirisme dan petualangan. Bedah estetik tidak pernah sebagai Bedah Darurat.

Dalam pasal 37 (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan bahwa
bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Sedangkan dalam Pasal 46 (3, 4) Konsep Rancangan Peraturan Pemerintah disebutkan
bahwa Tindakan Medis bedah plastik dilakukan oleh tenaga medis sesuai dengan
kemampuan dan kewenangan serta dilaksanakan pada sarana kesehatan yang
memenuhi persyaratan Dengan demikian menurut Kesepakatan Tim, Tenaga
Kesehatan Pemberi pelayanan (Pelaku) Bedah Plastik adalah:

13
1. Tindakan Bedah Plastik hanya dapat dilakukan oleh Dokter Spesialis Bedah
Plastik yang telah memiliki izin dari instansi Pemerintah yang berwenang.
2. Bedah Plastik merupakan bidang keahlian yang khusus maka segala.permasalahan
yang menyangkut bidang tersebut baik bidang hukum atau lainnya perlu
mempertim bangkan pandangan dan pendapat dari spesialis Bedah Plastik
tersebut.
3. Dokter Bedah Plastik adalah dokter yang telah menyelesaikan pendidikan
Spesialis Bedah Plastik pada Fakultas Kedokteran Dalam Negeri atau lulusan
Fakultas Kedokteran Luar Negeri yang telah diakui Pemerintah setelah
mempertimbangkan rekomendasi yang diberikan oleh PERAPI sebagai organisasi
profesi bidang Bedah Plastik yang ada di Indonesia.
4. Pemberian izin/kewenangan diatur oleh Departemen Kesehatan setelah mendapat
rekomendasi dari PERAPI.

Operasi Plastik Menurut Hukum Islam

Pada masa modern saat ini, banyak wanita yang melakukan segala cara demi
memperoleh predikat cantik. Salah satu cara yang dilakukan yang ngetrend
saat ini adalah melakukan operasi kecantikan atau operasi plastik. Dalam bahasa Arab
disebut Jirahah al-Tajmil yaitu operasi bedah yang dilakukan untuk memperbaiki
penampilan satu anggota tubuh yang tampak atau untukmemperbaiki fungsi dari
anggota tersebut ketika anggota tubuh itu berkurang, lepas atau rusak.Masyarakat
beranggapan bahwa operasi plastik hanyalah berorientasi pada masalah kecantikan
(estetik) seperti sedot lemak, memancungkan hidung, mengencangkan muka dan lain
sebagainya. Akan tetapi ruang lingkup operasi plastik sangatlah luas.
Operasi plastik tidak hanya masalah kecantikan saja, melainkan juga
rekonstruksi seperti kasus-kasus luka bakar, trauma wajah pada kasus kecelakaan,
cacat bawaan lahir, seperti bibir sumbing, kelainan pada kelamin. Dalam kaidah fiqh
disebutkan, segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil yang mengharamkan.

"Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang
mengharamkan.14"

Berdasarkan kaidah ini, maka dibolehkan melakukan sesuatu hal apapun


sampai ada dalil atau petunjuk yang menyatakan keharaman melakukan suatu hal
tersebut. Maka dari itu, operasi plastik haruslah dilihat dari tujuannya. Jika dilihat

14
dari motifnya, operasi plastik dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu:

1. Operasi plastik yang bertujuan untuk mempercantik

Kehidupan manusia ketika mengikuti tren atau mode dampaknya sangatlah besar
terutama pada kaum wanita terutama di bidang kecantikan. Wanita berlomba-lomba
mempercantik diri mereka dengan melakukan operasi plastik yang hanya bertujuan
untuk mempercantik diri mereka. Berdasarkan fenomena tersebut, maka para ulama
sepakat apabila operasi plastik dilakukan hanya bertujuan untuk mempercantik diri
semata, maka hal itu dilarang karena dianggap mengubah ciptaan Allah atau
mengubah pemberian Allah.

Allah menyukai keindahan, sehingga Islam membolehkan wanita untuk


mempercantik diri dengan catatan tidak boleh berlebihan. Sehingga apabila
mempercantik diri sampai mengubah ciptaan Allah, maka hal itu sangatlah dilarang.
Jika dipikir secara logika maka tidaklah rugi bagi Allah apabila ada yang melakukan
operasi plastik dengan tujuan kecantikan. Karena Allah telah memberikan sesuatu
yang baik, kemudian hamba-Nya berupaya agar pemberian itu menjadi lebih baik,
tentunya Allah senang karena Allah menyukai sesuatu yang indah.

Persoalan inilah yang perlu disadari, karena tidak semua hal yang dianggap
manusia itu baik, belum tentu baik pula dalam pandangan Allah.Mengubah bentuk
pada salah satu anggota tubuh yang telah dianugerahkan Allah, merupakan tindakan
yang tidak percaya dengan pemberian Allah, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk
kehinaan terhadap ciptaan-Nya. Seperti halnya mengubah hidung yang pesek
menjadi mancung. Jadi, mengubah ciptaan Allah sangatlah bertentangan dengan
kodrat dan irodat-Nya. Manusia harusnya menyadari bahwa sesungguhnya apapun
yang telah diciptakan Allah tidak akan ada yang sia-sia.

Allah berfirman,

Ayat tersebut secara tersirat menyatakan kepada manusia bahwa Allah


menciptakan semua ini tidak ada yang sia-sia. Oleh karena itu apabila ada wanita
yang melakukan operasi plastik karena merasa anggota tubuhnya kurang menarik

15
dengan tujuan kecantikan, maka sesungguhnya orang tersebut tidak mengerti bahwa
ciptaan Allah itu lebih baik dan bermanfaat baginya. Padahal dalam pandangan Allah,
manusia yang memandang pemberian Allah itu kurang menarik, sebenarnya
pemberian itu memiliki manfaat yang luar biasa. Seharusnya para wanita mensyukuri
segala pemberian Allah dan memberdayakan pemberian tersebut dengan baik.

Firman Allah,

Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia yang mengubah ciptaan Allah


seperti melakukan operasi plastik dengan tujuan kecantikan termasuk perbuatan setan
yang dilaknat oleh Allah. Wanita yang melakukan hal seperti ini akan mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah baik di dunia maupun di akhirat. Sepanjang masa
tidak diperbolehkan menginginkan operasi plastik kecuali dengan tujuan menghindari
aib yang menyebabkan rasa sakit atau sesuatu yang menyusahkan. Secara umum
operasi plastik yang bertujuan mempercantik, tidak untuk menghilangkan aib yang
tidak wajar, syariat mengharamkan berdasarkan hadis

Kutukan itu tidak hanya berlaku pada kaum wanita saja, akan tetapi berlaku
juga pada kaum laki-laki. Atau mereka yang meminta orang lain untuk melakukan hal
itu pada dirinya. Adapun penyebutan wanita secara khusus sebagai sasaran kutukan,
di sini semata-mata karena hal itu umumnya dilakukan oleh para wanita.

2. Operasi plastik yang bertujuan menghilangkan aib (akibat kecelakaan, cacat


dan lain sebagainya).

16
Operasi plastik yang bertujuan untuk mengobati cacat akibat sakit, misalnya cacat
yang timbul akibat penyakit kusta (lepra), kecelakaan dan luka bakar, dan yang
lainnya, maka syariat Islam membolehkan si penderita menghilangkan cacat,
memperbaiki, atau mengurangi gangguan akibat cacat tersebut melalui operasi. Sebab,
cacat itu mengganggu si penderita secara fisik maupun psikis sehingga ia boleh
mengambil dispensasi melakukan operasi. Dengan kata lain, setiap operasi yang
tergolong sebagai operasi kecantikan yang memang dibutuhkan guna menghilangkan
gangguan.

Cacat tubuh atau berubahnya bentuk tubuh karena kecelakaan dalam ilmu ushul
fiqh dikategorikan sebagai mudharat. Sedangkan mudharat bisa mengakibatkan
ketidakbaikan, yang akhirnya dapat membuat orang yang mengalaminya merasa tidak
nyaman dalam beragama. Oleh karena itu, kemudharatan tersebut boleh dihilangkan,
misalnya dengan melakukan operasi plastik.Agama Islam selalu memberikan
kemudahan dan tidak mempersulit bagi penganutnya ketika mengalami suatu
masalah, apalagi yang dapat membawa kemudharatan. Maka dari itu, berarti operasi
plastik diperbolehkan apabila tujuannya untuk menghilangkan kemudharatan. Adapun
dalil yang dijadikan sandaran adalah keumuman hadis bahwa Rasulullah bersabda:

Apabila terdapat keburukan dalam suatu hal, maka sebenarnya bisa mendatangkan
keindahan dalam suatu hal yang lain. Akan tetapi banyak sekali yang memandang
keburukan dari satu sisi dan tidak berusaha memperhatikan keindahan dari sudut
pandang yang lain. Kecantikan adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah
berdasarkan kombinasi dari semua unsur-unsur keindahan pada wajah, mereka
seharusnya terpenjara oleh standar-standar kecantikan yang dibuat oleh manusia.

b. Transgender

17
Secara etimologi transgender berasal dari dua kata yaitu “trans” yang berarti
pindah (tangan; tanggungan; perubahan); pemindahan dan “gender” yang berarti jenis
kelamin (Pius dan Dahlan dalam Nur Fadilatul, 2013: 16). Selanjutnya menurut Peletz
(2006) mengartikan kata trans sebagai pergerakan melintasi ruang dan batas, sama
dengan merubah hal yang bersifat alamiah, natural. Pengertian “trans‟ bermakna
menggabungkan suatu entitas atau proses atau hubungan antara dua fenomena.

Transgender ialah orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak


sesuai dengan peran gender pada umumnya. Transgender adalah orang yang dalam
berbagai level “melanggar” norma kultural mengenai bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan itu. Seorang perempuan misalnya, secara kultural dituntut untuk
bersikap lemah lembut.Tetapi jika seorang laki-laki yang berkarakter demikian, itu
namanya transgender (Linda Sudiono dalam Outline Sekolah Feminis Untuk Kaum
Muda Perempuan Mahardika 2011: 17). Selanjutnya istilah trangender diartikan oleh
Fausiah (2011 dalam Nur Sakina) sebagai suatu terminologi yang disematkan kepada
keanekaragaman indidu, perilaku, kelompok-kelompok yang dianggap memiliki
kecendrungan yang dianggap menyimpang dari peran gender yang dianggap normatif
(laki-laki atau perempuan) secara umum, namun tidak selalu ditetapkan pada saat
kelahiranya, dan juga peraan yang secara tradisional ditetapkan oleh masyarakat.
Transgender merupakan pernyataan identitas gender seseorang. Transgender tidak
menyatakan secara langsung berbagai bentuk spesifik dari orientasi seksual. Ia
merupakan suatu terminologi payung yang sering digunakan untuk menjelaskan suatu
tingkatan yang luas mengenai identitas dan pengalaman.

Transgender merupakan suatu bentuk prilaku baik oleh individu maupun


kelompok yang menggunakan atribut gender diluar dari yang dikonsturksikan oleh
masyarakat, yang dianggap menyimpang dari perang gender (laki-laki atau
perempuan), nilai, norma serta agama secara umum.Namun tidak selalu ditetapkan
pada saat kelahiran.Perlu digaris bawahi bahwa transgender dan transeksual adalah
permasalahan yang berbeda, yang membedakan keduanya adalah transgender belum
pasti merupakan transeksual, karena orang yang mengubah sifat dan perilakunya

18
berbanding terbalik dengan kodratnya belum tentu mengubah jenis kelaminnya.
Misalnya: laki-laki yang tidak tegas dalam bertindak dan berperilaku, mereka terkesan
melambai, berbicara seperti perempuan, dan menyukai hal-hal yang disukai oleh
perempuan pada umumnya. Begitupun sebaliknya dengan yang terjadi pada
perempuan yang memiliki perilaku menyimpang dari kodratnya, mengubah semua
penampilan dan perilakunya seperti lakilaki.Sedangkan transeksual sudah pasti dapat
dikatakan transgender. Karena transeksual merupakan perilaku mengubah dirinya
secara total termasuk jenis kelamin yang dimiliki, karena faktor ketidaknyamanan
akhirnya memutuskan untuk berganti jenis kelamin dan mengubah perilakunya secara
menyeluruh (Dian Puspitasari: 2012 ).

Identitas merupakan salah satu tema sentral di hadapan globalisasi. Sentralnya


tema ini bisa dipahami karena globalisasi membawa efek historis baru yang tidak bisa
dipungkiri, yakni sebuah masyarakat global atau lebih khusus lagi sebuah masyarakat
multikultural yang kemudian memberi rasa keberakaran dan juga rasa memiliki.
Dalam hal ini, identitas selalu melekat pada masing-masing individu maupun
komunitas serta menjadi unsur pokok dalam interaksi sosial.

Terbentuknya identitas gender dapat dijelaskan berdasarkan tiga teori


psikologi yaitu teori psikoanalisis, teori sosialisasi dan teori perkembangan kognitif.
Teori psikoanalisis pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939).
Teori ini menjelaskan secara konseptual bagaimana identitas gender terjadi pada
seorang individu (Nasaruddin 2001:45). Teori psikoanalisis atau teori Freud, sesuai
dengan nama pencetusnya, Sigmund Freud, menjelaskan perilaku seseorang dengan
mengaitkanya pada faktor biologis itu misalnya evolusi, gen, dan anatomi.

Teori belajar social (social-learning theory) menjelaskan berdasarkan konsep


nature-nurture dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari
tuntutan dan harapan lingkungan. Identitas gender merupakan hasil struktur
masyarakat yang patriarchal (Saparinah dan Soematri 1995: 73). Teori perkembangan
kognitif adalah teori interaksi yang menekankan pada interaksi antara keadaan
organisme, terkait perkembangan kognitifnya, dan informasi yang ada dalam
lingkungan budaya. Perilaku yang khas bagi salah satu gender-gender specific
behavior atau traits-adalah interaksi antara pengetahuan kognitif didalam diri
seseorang dan informasi yang ada dalam lingkungan budaya. Sumbangan dari teori
belajar sosial adalah penekanannya pada komponen sosial dan budaya dari
perkembangan prilaku yang sesuai gender (gender specific behavior). Teori ini
menjelaskan bagaimana anak perempuan dan anak laki-laki sejak lahir
diasuh/diperlakukan berbeda. Dengan menerapkan konsep penguatan dan konsep
meniru, anak secarah terarah memilih dan mengisi peran gendernya. Penguatan terjadi
bila orang tua atau orang lain memberikan hadiah dengan warna tertentu, jenis mainan
tertentu, atau dengan cara memberikan hadiah bila memperlihatkan perilaku yang
diinginkan. Penguatan juga terjadi melalui penggunaan kata yang khas karena ia anak
perempuan atau anak laki-laki (Saprina, Sadli 2010: 29 ).

19
Identitas sosial kaum waria diperoleh dari keterlibatannya dalam suatu
kelompok budaya. Untuk memperoleh identitas sosial biasanya melalui proses
pencarian dan pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Dasar pembentukan identitas
sosial antara lain: ras, etnis, seksualitas, kelas, dan gender. Sedangkan identitas
budaya diperoleh kaum waria karena mereka menjadi bagian dari kebudayaan
tertentu.Identitas budaya ini dapat meliputi pembelajaran dan penerimaan terhadap
tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dalam suatu kebudayaan.Proses
menjadi cantik, mengungkapkan tuturan dengan suara wanita yang lemah lembut,
gerak gerik yang lemah nan gemulai, dan karakter keibu-ibuan merupakan cara kaum
waria untuk mengaktualisasikan kelompoknya di tengah masyarakat. Hal tersebut
menjadi bentuk usaha mendapatkan jati diri yang sesuai dengan kehidupan psikologis
kaum waria yang menyimpang dari kehidupan biologisnya.Usaha yang dilakukan oleh
para waria merupakan bukti bahwa ciri-ciri biologis harus diubah untuk menciptakan
satu konstruksi sosial agar mereka dipahami secara sosial sebagai wanita.

Puspitosari (2005) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transgender


adalah karena disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual
dan genetik seseorang. Selain itu, transgender juga disebabkan oleh faktor psikologis,
sosial budaya yang termasuk didalamnya pola asuh lingkungan yang
membesarkannya.Dalam kasus ini, pelaku biasanya mempunyai pengalaman yang
sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis
sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis (Muthi’ah, 2007: 40).

Verderber (dalam Mugniesyah 2000) mengemukakan bahwa persepsi


merupakan proses memberikan makna terhadap informasi yang diperoleh indera kita,
atau dapat dikatakan sebagai apa yang dikerjakan otak dengan informasi yang
diperolehnya. Menurut Rahmat (dalam Al-fiani, 2006: 34) persepsi ialah proses
pengamatan individu yang berasal dari komponen-komponen kognisi yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar. Prinsip yang mendukung
terjadinya suatu persepsi sangat penting karena makin baik suatu obyek, orang,
peristiwa atau hubungan diketahui, makin baik obyek, orang, peristiwa atau hubungan
tersebut dapat di ingat.Persepsi merupakan suatu penafsiran terhadap situasi, dan
bukan suatu pencatatan dyang benar terhadap situasi.Persepsi seorang atau kelompok
dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun dalam situasi
yang sama. Perbedaan persepsi ini dapat ditelusuri dengan adanya perbedaan
individual, perbedaan kepribadian, perbedaan sikap atau perbedaan dalam motivasi.

Materi diatas dikutip dari jurnal Nurdelia tahun 2015 tentang Transgender Dalam
Persepsi Masyarakat.

Bentuk-Bentuk Operasi Kelamin

20
Dalam dunia kedokteran dikenal tiga bentuk jenis operasi yaitu Pertama,
operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang-orang
yang sejak lahir memiliki cacat kelamin seperti zakar atau penis, vagina yang tidak
berlubang. Bagi perempuan yang vaginanya tidak memiliki lubang tetapi memiliki
rahim dan ovarium maka operasi dilakukan untuk memberi lubang pada vaginanya.
Sedangkan bagi laki-laki yang memiliki penis dan testis tetapi lubang penisnya tidak
berada di ujung penis tetapi berada di bawahnya, maka operasi dilakukan agar
lubangnya berada pada tempat yang normal. (Abdul Aziz Dahlan, 2001: 1359).

Kedua, operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda yang dilakukan
terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua jenis kelamin yakni penis dan vagina.
(Abdul Aziz Dahlan, 2001: 1359). Operasi ini dilakukan untuk memperjelas identitas
jenis kelaminnya dengan mematikan organ kelamin yang satu dan menghidupkan
organ kelamin yang lain yang sesuai organ kelamin bagian dalam. Misalnya,
seseorang memiliki dua alat kelamin yang berlawanan yakni penis dan vagina juga
memiliki rahim dan ovarium yang merupakan ciri khas utama untuk perempuan, maka
operasi dilakukan dengan mengangkat penisnya agar identitas jenis kelamin
kewanitaannya menjadi jelas.

Sebaliknya, operasi dilakukan bukan untuk mengangkat vaginanya dan


membiarkan penisnya karena berlawanan dengan organ kelamin bagian dalamnya
yang lebih vital yaitu rahim dan ovarium. (Masfuk Zuhdi, 2007: 173). Dan ketiga
adalah operasi penggantian atau perubahan jenis kelamin yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Operasi ganti atau perubahan
kelamin ini dilakukan padahal penis atau zakar laki-laki dan vagina bagi perempuan
dilengkapi dengan ovarium dan rahim.

Dari ketiga bentuk operasi kelamin yang telah dijelaskan di atas, maka
berdasarkan fakta yang ada, maka jenis operasi yang banyak dilakukan adalah jenis
operasi yang ketiga di mana yang banyak melakukannya adalah para waria atau laki-
laki yang secara genetik memiliki alat kelamin yang normal tetapi secara fisik
memiliki bentuk tubuh yang mirip laki-laki atau mirip peremuan. Fenomena fisik ini
dapat terjadi karena faktor bawaan sejak lahir, lahir dalam keadaan normal tetapi
fisiknya merubah karena faktor pembiasaan dari orang tuanya, baik dari segi
pembiasaan berpakaian maupun pemberian mainan yang cenderung bertentangan
dengan bentuk genetik aslinya. Perubahan fisik juga terjadi karena pengaruh
lingkungan di mana seorang laki-laki normal karena bergaul dengan temannya yang
lebih dahulu berstatus waria sehingga ia terpengaruh oleh pergaulan tersebut.

Transgender Dalam Pandangan Islam


Kasus operasi perubahan atau ganti kelamin yang dijalani seorang waria yang
banyak terjadi di Indonesia dewasa ini mendapat tanggapan dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Berdasarkan berbagai pertimbangan dan perspektif filosofis, maka
MUI telah mengeluarkan fatwa terkait dengan operasi ganti atau perubahan kelamin

21
yang dilakukan seorang waria di Indonesia. Dalam fatwa MUI tersebut dijelaskan
bahwa operasi ganti atau perubahan kelamin yang dilakukan seseorang yang lahir
dalam keadaan normal dan sempurna organ kelaminnya dengan memiliki penis bagi
laki-laki atau vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium
tidak boleh dilakukan karena hukumnya haram dalam syari’at Islam. Ketetapan haram
ini ditetapkan melalui keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam musyawarah
nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan atau Penyempurnaan Kelamin.

Fatwa MUI yang mengharamkan waria melakukan operasi ganti atau


perubahan kelamin tersebut didasarkan pada beberapa dalil al-Qur’an (Mochammad
Fauzi Aldy, 2010: 2) antara lain adalah firman Allah dalam QS al-Hujurat [49]: 13
yang berbunyi sebagai berikut:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Terkait dengan operasi ganti atau perubahan kelamin tersebut, maka


kandungan ayat yang dapat ditarik adalah bahwa setiap manusia harus mensyukuri
karunia Tuhan yang telah memberikan jenis kelamin yang normal tanpa harus
merubah jenis kelamin tersebut karena tindakan itu adalah bentuk dari melawan
kodrat yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pencipta segala bentuk pluralitas
termasuk jenis kelamin.

Di dalam hukum Islam orang yang telah melakukan pergantian jenis kelamin
dari jenis kelamin aslinya sejak ia dilahirkan menjadi jenis kelamin yang berlawanan
dengan jenis kelamin aslinya tersebut dilarang dan merupakan suatu perbuatan dosa
karena telah mengubah apa yang telah dikodratkan oleh Allah kepada manusia. Ayat
lain yang dijadikan dasar dan landasan bagi fatwa MUI adalah firman Allah dalam QS
An-Nisa [4]:119).3

22
“Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-
angan kosong mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang
ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan Aku suruh mereka
(mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barang siapa yang
menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata”.

Kandungan hukum dari ayat ini adalah bahwa yang termasuk merubah ciptaan Allah
adalah dengan mengebiri, homo seksual4, lesbian dan praktik- praktik lain yang tidak
sesuai dengan fitrah manusia. (al- Mawardi: al-Hawi alKabir, Juz :13 tp: tt, th : 474-
475). Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar terhadap perubahan bentuk fisik
manusia dengan berbagai tindakan termasuk operasi plastik dan operasi ganti
kelamin.

Fatwa MUI tersebut dikuatkan dengan pernyatan Yusuf Qardhawi yang


mengatakan bahwa merubah jenis kelamin laki-laki yang bentuk fisiknya normal
menjadi perempuan atau sebaliknya melalui operasi ganti kelamin adalah haram
hukumnya karena yang demikian adalah termasuk tipu daya syetan yang sengaja
menjerumuskan manusia pada perbuatan-perbuatan yang menyesatkan dan merusak
akidah orang beriman. (Yusuf Qardhawi, 2005: 465).

Selain Yusuf Qardhawi, ulama lain juga mendasarkan keharaman semua jenis
operasi tanpa tujuan sebagaimana yang ditekankan dalam surah al-Nisa tersebut di
atas yang menggunakan lafaz fal yugayyir Khalq al-Allāh, mereka memandang bahwa
operasi ganti atau perubahan kelamin telah melanggar kode etik Tuhan dalam
penciptaan manusia karena dengan sengaja merubah ciptaan Allah. Sekalipun
manusia diberi otoritas akal untuk mengatur kehidupannya tidak berarti manusia dapat
merubah kodrat yang telah diciptakan Allah. Jika manusia merubah ciptaan Allah
berarti manusia memposisikan dirinya sama dengan Tuhan yang berarti manusia itu
telah melakukan kesombongan dan ketakabburan, suatu sikap yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan nilai syari’at. Penegasan ulama ini didasari oleh firman
Allah dalam QS al-Rum [30]:30) yang berbunyi sebagai berikut:

23
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah”. (Al-Quran, al-Rum [30]: 30)

Quraisy Shihab mengemukakan bahwa hampir semua ulama tafsir khalaf dan
salaf memahami ayat tersebut sebagai larangan merubah fitrah keagamaan manusia.
(M. Quraisy Shihab, 2005: 592). Kandungan ayat ini didukung oleh maksud dari
hadis nabi yang melarang mengubah ciptaan Allah sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari, yaitu “Allah mengutuk wanita yang membuat tahi lalat palsu,
yang minta dibuatkan dan mencukur rambut wajahnya serta mengikir giginya untuk
tujuan kecantikan yang mengubah ciptaan Allah. (Muhammad Fuad Abd Baqi, 2008:
809).

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kaidah ini, maka dibolehkan melakukan sesuatu hal apapun


sampai ada dalil atau petunjuk yang menyatakan keharaman melakukan suatu hal
tersebut. Maka dari itu, operasi plastik haruslah dilihat dari tujuannya. Jika dilihat
dari motifnya, operasi plastik dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: Operasi
plastik yang bertujuan untuk mempercantik Manusia harusnya menyadari bahwa
sesungguhnya apapun yang telah diciptakan Allah tidak akan ada yang sia-sia. dan
Operasi plastik menghilangkan aib. Cacat tubuh atau berubahnya bentuk tubuh
karena kecelakaan dalam ilmu ushul fiqh dikategorikan sebagai mudharat.
Sedangkan mudharat bisa mengakibatkan ketidakbaikan, yang akhirnya dapat
membuat orang yang mengalaminya merasa tidak nyaman dalam beragama. Oleh
karena itu, kemudharatan tersebut boleh dihilangkan, misalnya dengan melakukan
operasi plastik.

Kasus operasi perubahan atau ganti kelamin yang dijalani seorang waria yang
banyak terjadi di Indonesia dewasa ini mendapat tanggapan dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Berdasarkan berbagai pertimbangan dan perspektif filosofis, maka
MUI telah mengeluarkan fatwa terkait dengan operasi ganti atau perubahan kelamin
yang dilakukan seorang waria di Indonesia. Dalam fatwa MUI tersebut dijelaskan
bahwa operasi ganti atau perubahan kelamin yang dilakukan seseorang yang lahir
dalam keadaan normal dan sempurna organ kelaminnya dengan memiliki penis bagi
laki-laki atau vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium
tidak boleh dilakukan karena hukumnya haram dalam syari’at Islam.

B. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, yang tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan yang berhubungan dengan judul
makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah
dikesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami dan khususnya juga
para pembaca.

25
26
DAFTAR PUSTAKA

Abd Baqi Fuad Muhammad. (2008). al-Lu’luwal Marjan. Diterjemahkan oleh Salim
Bahresi dengan judul al-Lu’luwal Marjan: Himpunan Hadis Shahih Disepakati
oleh Bukhari dan Muslim. Jilid 2. Surabaya: Bina Ilmu.

Abul Fadl Muhsin Ibrahīm. 2004. Tela’ah Fiqih dan Bioetika Islam. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.

Aldy Fauzi Mochammad. (2010). Analisis Yuridis Perkawinan Bagi Pasangan yang
Sudah Berganti Jenis Kelamin Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam. Jurnal Premise Law. Vol.
03.

Dahlan Aziz Abdul. (2001). Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid 4. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve.

Dahlan, Al-fiani.(2006). Kecendrungan Berprilaku Tawuran Ditinjau Dari Kontrol


Diri Dan Persepsi Terhadap Tersedianya Dukungan Dari Teman Sebaya Pada
Remaja Di Kota Makassar. Makassar: Universitas Negeri Maakassar.

K. Bertens, Willy-BlackWell. 2011. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Maghfiroh,Nurul dan Heniyatun. 2015. Kajian Yuridis Operasi Plastik Sebagai

Ijtihad dalam Islam. Magelang: Universitas Muhammadiyah.

Mujib,Abdul.2001. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (al-Qawa’idul Fiqhiyyah). Jakarta:

Kalam Mulia.

Nurdelia. 2015. Transgender Dalam Persepsi Masyarakat. Jurnal Equilibrium

Pendidikan Sosiologi Volume III No. 1 Mei 2015 ISSN e-2477-0221 p-2339-
2401.

Qardhawi Yusuf. (2005). Hady al-Islam Fatawi Muassirah. Diterjemahkan oleh


Abdul Hayyiy al-Kattani dkk dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid 3.
Jakarta: Gema Insani Press.

Sakina, Nur. (2011). Pola Penangganan Konflik Lembaga Swadaya Masyarakat.

Shihab Quraisy. M. (2005). Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al


Qur’an. Volume II. Jakarta: Lentera Hati.

Syukur,Abdul al-Azizi. 2015. Buku Lengkap Fiqh Wanita; Manual Ibadah dan
Muamalah Harian Muslimah Shalihah.Yogyakarta: Diva Press.

Zuhdi Masfuk. (2007). Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung

27
digilib.uinsby.ac.id

28

Anda mungkin juga menyukai