Oleh:
Nuria Pratiwi
NPM.202062017
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.
Penyusun
i
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2. 1.Tinjauan Umum tentang Aborsi ……………………………………….. 3
2.2 Landasan Yuridis tentang Aborsi.......................................................... 4
2.3. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Korban Perkosaan
…………………………………………………………………………….6
BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus
provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya
perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan,
meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus
provocatus medicinalis yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan
alasan/pertimbangan medis. Sedangkan abortus provocatus criminalis yaitu
penguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan
hukum yang berlaku.1 Secara etimologis akar kata aborsi berasal dari bahasa Inggris,
abortion (medical operation to abort a child), dalam bahasa Latin disebut abortus
yang berarti gugurnya kandungan. Sedangkan dalam bahasa Arab, aborsi dikenal
dengan istilah imlas atau al-ijhadl. Secara terminologi aborsi didefinisikan.
Pengeluaran (secara paksa) janin dalam kandungan sebelum mampu hidup
hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan bentuk pembunuhan karena janin tidak
diberi kesempatan untuk tumbuh di dalam kandungan
Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai karena
dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia.
Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia
yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai
aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat
kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita.
Masalah aborsi saat ini sudah bukan merupakan rahasia lagi untuk dibicarakan,
karena aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya sudah terjadi dimana-
mana dan dilakukan oleh siapa saja, misalnya saja dilakukan oleh remaja yang
terlibat pergaulan bebas yang awalnya berpacaran biasa, tetapi setelah lama
berpacaran mereka melakukan hubungan suami isteri, karena malu dan takut
ketahuan, maka mereka menggugurkan kandungannya, dan dapat juga dilakukan
oleh seorang isteri yang sudah menikah yang tidak mau dibebani tanggung jawab
3
4
dengan lahirnya seorang anak, maka digugurkanlah anak dalam kandungannya
tersebut. Kehamilan yang tidak direncanakan dapat juga terjadi akibat perkosaan.
Perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan akan menghadapi
dampak yang lebih berat dan luas, antara lain dampak psikologis berupa depresi
berat, dampak sosial berkaitan dengan status anak yang dilahirkan, status ibu dari
anak tersebut dalam pergaulan hidup bersama masyarakat dan masih banyak dampak
lainnya yang harus dipikul seorang perempuan yang hamil akibat perkosaan,
misalnya, rentan terhadap penyakit kelamin, HIV dan sebagainyaSebagian besar
perempuan korban kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan memilih untuk
melakukan aborsi.
Alasan para perempuan korban perkosaan melakukan aborsi ialah melahirkan
anak hasil perkosaan akan menambah derita batinnya, karena kelahiran anak itu akan
selalu mengingatkan kembali peristiwa perkosaan yang dialaminya. Kalangan yang
tidak setuju dilakukan aborsi oleh perempuan korban perkosaan berpendapat bahwa
setiap orang berhak untuk hidup termasuk janin yang ada dalam kandungan
perempuan akibat perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati
kehidupan. Bagi kalangan yang setuju dapat dilakukan aborsi bagi korban perkosaan,
kehamilan itu timbul bukan atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan
korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan
untuk dapat melakukan aborsi.
Pengaturan mengenai abortus provocatus di Indonesia telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, serta Pasal 349 : Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun. Pasal 347 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
4
5
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. KUHP telah menegaskan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi
dapat dikenai sanksi pidana. Ada pertanggungjawaban pidana bagi pelaku-
pelakunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349
tindakan aborsi secara tegas dilarang tanpa pengecualian, sehingga tidak ada
perlindungan terhadap pelaku aborsi.
Jika KUHP melarang aborsi tanpa pengecualian, maka Undangundang Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian sebagaimana diatur
dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77 sebagai berikut :
Pasal 75 (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah
melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu,
5
6
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan KUHP yang tidak
memberikan ruang sedikit pun terhadap tindakan aborsi, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya melarang tindakan aborsi, akan tetapi
larangan tersebut dapat dikecualikan dengan syarat-syarat tertentu yaitu adanya
indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana 6 diatur
dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) butir a dan b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77, dipertegas lagi
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
khususnya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan
Pasal 38. Mengenai tindakan untuk dapat melakukan aborsi, dalam kasus aborsi
berdasarkan kehamilan akibat perkosaan secara teoritis sudah jelas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi namun kita belum pernah
mengetahui implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, penulis terdorong untuk
yang berjudul KAJIAN TERHADAP TINDAKAN ABORSI BERDASARKAN
KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN.
6
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku?
2. Apa kendala dalam kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan
akibat perkosaan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk dapat memperoleh data tentang kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan
kehamilan akibat perkosaan.
2. Untuk memperoleh data tentang kendala dalam kajian terhadap tindakan aborsi
berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis Bahwa penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya bidang hukum pidana
berkaitan dengan aborsi.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah bermanfaat untuk memberikan masukan dalam membenahi
peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait dengan kajian
terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.
b. Bagi masyarakat untuk memberikan wawasan yang lebih banyak terkait
kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.
c. Bagi penulis, dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum pidana berkaitan dengan aborsi.
7
8
BAB II
PEMBAHASAN
8
9
keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara
mekanik, obat atau cara lainnya.
Dalam sistem hukum di Indonesia, perbuatan aborsi dengan sengaja jelas
dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana. Para pelaku dan orang yang
membantu tindakan aborsi dapat dikenai hukuman. Meskipun sebagian besar
masyarakat mengetahui adanya ketentuan tersebut, namun kasus aborsi masih
banyak dilakukan. Sejalan dengan meningkatnya kasus aborsi, jumlah angka
kematian ibu juga meningkat.
9
10
b. ) Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan
pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya
diatur dalam pasal 348 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atauberupa berbentuk makhluk
yakni manusia, berkaki dan bertangan dan berkepala (voldragen vrucht)
dan dapat juga belum berbentuk manusia (onvoldragen vrucht).
Kejahatan pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan jika
dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan menjadi:
1) Pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan oleh wanita
yang mengandung janin itu sendiri. Tindak pidana tersebut diatur
dalam pasal 346 KUHP yang menyakan bahwa: seorang perempuan
yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, dipidana paling lama 4 tahun.
Menanggapi ketentuan pasal tersebut, pengguguran kandungan dan pembunuhan
kandungan dilakukan oleh orang lain dibedakan menjadi dua yaitu :
a) Tanpa persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan
pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuannya diatur dalam
pasal 347 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: barang siapa dengan sengaja
mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya
diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
b) Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan
kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya diatur dalam pasal 348 ayat (1)
KUHP yang menyatakan bahwa: barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atauSetiap
orang dilarang melakukan aborsi;
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan janin, yang menderita penyakit genetik berat atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan atau;
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
10
11
11
12
kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya
pemerkosaan.
Jenis-Jenis Aborsi Apabila dalam KUHP pengguguran kandungan dengan sengaja
dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau abortus provocatus criminalis, maka penulis
akan menjabarkan jenis aborsi yang lebih spesifik.
Secara umum aborsi dibagi menjadi 2 macam, yaitu abortus spontan dan abortus
provocatus. Adapun penjabaran dari masing-masing aborsi tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Abortus Spontan Jenis aborsi ini didefinisikan sebagai aborsi yang yang terjadi
tanpa tindakan mekanis atau medis yang dikenal lebih luas dengan istilah keguguran.
Adapun penyebab dari abortus spontan, yaitu:
1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi/ pembuahan yang dapatmenimbulkan
kematian janin dan cacat yang menyebabkan hasilkonsepsi dikeluarkan. Gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena faktor gangguan kromosom terjadi sejak
semula pertemuan kromosom, faktor lingkungan, selain itu juga karena gizi ibu yang
kurang karena anemia atau terlalu pendeknya jarak kehamilan. Hal lain yang ikut
mempengaruhi, yaitu: pengaruh luar, infeksi endometrium, hasil konsepsi yang
dipengaruhi oleh cacat dan radiasi, faktor psikologis, kebiasaan ibu seperti merokok,
alkohol, dan lain sebagainya.
2) Kelainan plasenta, ada banyak hal yang mempengaruhi yaitu infeksi pada
plasenta, gangguan pembuluh darah dan hipertensi.
3) Penyakit ibu seperti tifus abdominalis, malaria, pnemonia, sifilis dan penyakit
menahun sperti hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit hati maupun kelainan rahim.
b) Abortus Provokatus Abortus provocatus merupakan jenis abortus yang sengaja
dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
tubuh ibu. Jenis aborsi ini dibagi menjadi dua, yakni:
1) Abortus Provocatus Medicinalis aborsi ini dilakukan dengan sengaja karena alasan
medis yang sangat darurat atau jika ada indikasi bahwa kehamilan dapat membahayakan
atau mengancam ibu bila kehamilan berlanjut. Dengan kata lain, demi menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat saja
berupa menggugurkan atau mematikankandungan. Namun untuk melakukan aborsi harus
memenuhi berbagai syarat untuk melakukan tindakan medis. Adapun syarat lainnya
yaitu: harus dengan indikasi medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan
wewenang untuk itu, harus berdasarkan pertimbangan tim ahli, harus dengan persetujuan
12
13
ibu hamil, suaminya, atau keluarganya (informed consent) dan dilakukan pada sarana
kesehatan tertentu.
2) Abortus Provocatus Criminalis Aborsi ini merupakan pengguguran kandungan
yang dilakukan dengan sengaja tanpa mempunyai alasan kesehatan/ medis, didorong oleh
alasan-alasan yang lain dan melawan hukum. Sebagian besar pelaku aborsi ini adalah
wanita dan pria yang telah melakukan hubungan diluar perkawinan yang mengakibatkan
kehamilan yang tidak diinginkan. Kebanyakan pengguguran kandungan ini dilakukan
terselubung dengan cara yang berbahaya, karena secara hukum aborsi buatan tidak
diizinkan kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu. Aborsi tidak aman
dapat menyebabkan berbagai akibat termasuk kematian, maka petugas kesehatan perlu
mewaspadai kejadian aborsi yang tidak aman terutama kasus kehamilan remaja. .
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Aborsi Abortus provocatus berkembang sangat
pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya faktor yang memaksa
pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai
pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum
dan moral yaitumelakukan aborsi.
Berikut merupakan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan
tindakan abortus provocatus :
a) Kehamilan akibat perkosaan yang memiliki konsekuensi logis terjadinya
kehamilan. Kehamilan seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun
keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan
itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak
diinginkan. Hal inilah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang
tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang. Janin tidak
dianggap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup.
b) Alasan-alasan sosial ekonomis, dimana kondisi masyarakat yang miskin biasanya
menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah
mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat
sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Banyak pasangan usia subur
miskin kurang memperhatikan masalah-masalah reproduksi. Mereka tidak menyadari jika
usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti kontrasepsi. Kehamilan
yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh pasangan yang bersangkutan dan diusahakan
untuk digugurkan dengan alasan sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya anggota
mereka bertambah banyakKehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar
perkawinan. Pergaulan bebas di kalangan anak muda menyisakan suatu problem yang
13
14
cukup besar. Angka kehamilan diluar nikah meningkat tajam. Hal ini disebabkan karena
anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran
yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan
kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negara-
negara barat tanpa dasar yang kuat. Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi
wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. Masyarakat
tidak menghendaki kehadiran anak haram di dunia. Akibat adanya tekanan psikis yang
diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas
untuk menghilangkan sumbernya yakni pengguguran kandungan.
14
15
ketakutan. Berdasarkan uraian diatas, penulis juga akan memberikan pendapat para ahli.
Menurut Soetandyo Wigjosoebroto, perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu
seksual oleh seorang lelaki terhadap seoarang perempuan dengan cara yang menurut
moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang
disebut perkosaan, di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan dan di lain pihak
dapat dilihat pula sebagai suatu peristiwa yakni pelanggaran norma-norma dan dengan
demikian juga tertib sosial. Permasalahan perkosaan kerap menjadikan wanita dan anak
sebagai korban. Hal ini dikarenakan wanita dan anak dianggap golongan lemah mental,
fisik, dan sosial. Korban perkosaan adalah seorang wanita/ anak yang dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan
.
Kemudian menurut Arief Gosita, perkosaan dirumuskan melalui beberapa bentuk
perilaku, yakni sebagai berikut:
a) Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada
juga seorang laki-laki diperkosa oleh wanita.
b) Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada
persetujuan dari pihak korban mengenai niat pelaku. Persetubuhan di luar ikatan
perkawinan merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan
dalam perkawainan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan
mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini
tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih
dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan. Berdasarkan ketiga unsur
yang dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai
objek yang dominan dari suatu kekerasan seksual/ perkosaan. Kejahatan kekerasan
seksual disebut sebagai perkosaan adanya persetubuhan yang dipaksakan, yang dilakukan
seorang laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya. Dengan adanya uraian diatas,
maka korban perkosaan merupakan seoarang wanita yang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain diluar perkawinan.
2. Macam-Macam Korban Perkosaan Menurut Mulyana Kusuma, korban perkosaan
diklasifikasikan menjadi beberapa motif, antara lain:
a) Sadistic Rape Jenis permerkosaan ini dilakukan secara sadis, dalam hal ini pelaku
mendapat kepuasan seksual bukan karena hubungan tubuhnya melainkan perbuatan
kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.
15
16
b) Anger Rape Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan marah pelaku. Jenis
perkosaan semacam ini biasanya disertai tindakan brutal pelakunya secara fisik.
Kepuasan seksual bukan merupakan tujuanya melainkan melampiaskan rasa
marahnya.
c) Domination Rape Dalam hal ini pelaku ingin menunjukan dominasinya terhadap
korban. Kekerasan fisik tidak merupakan tujuan utama korban karena tujuan
utamanya adalah pelaku ingin menguasai korban secara seksual dengan demikian
pelaku dapat menunjukan bahwa ia berkuasa atas orang tertentu misalnya
pemerkosaan pembantu oleh majikan.
d) Seductive Rape Perkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu
birahi dan bersifat subjektif. Biasanya perkosaan semacam ini karena diantara
keduanya sudah saling mengenal misalnya pemerkosaan oleh pacar, pemerkosaan
oleh anggota keluarga dan pemerkosaan oleh teman.
e) Victim Precipitatied Rape Jenis perkosaan ini berbeda dengan jenis perkosaan
lainnya dimana perkosaan terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya
f) Eksploitation RapeJenis perkosaan ini dapat terjadi karena ketergantungan korban
terhadap pelaku, baik secara ekonomi atau sosial. Dalam hal ini pelaku tanpa
menggunakan kekerasan fisik namun pelaku dapat memaksa keinginanya terhadap
korban. Menanggapi uraian diatas, korban perkosaan pada prinsipnya yang
merupakan korban yang dirugikan haknya karena ada tindak pidana yang
mengaturnya. Adapun kerugian yang diderita dapat berupa fisik, psikologis, finansial
ataupun kerugian dalam bentuk haknya dikurangi. Perkembangan ilmu viktimologi
selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga
memberikan penafian yang lebih spesifik terkait korban perkosaan, yakni: 1) Non
participating victims, yaitu para korban yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan.
2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cenderung menjadi korban.
3) Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya
kejahatan.
4) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan
dirinya menjadi korban.
5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang
dibuatnya sendiri. Selain penggolongan korban perkosaan diatas masih banyak
tipologi korban yang berkembang, tetapi sebagian besar latar belakang yang
16
17
melandasi penggolongan tersebut adalah tidak saja melihat korban sebagai pihak
yang ikutberperan dalam suatu kejahatan, namun juga melihat peran negara dalam
terjadinya korban kejahatan.
Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban juga dijabarkan tentang jenis-jenis korban tindak kejahatan.
Namun penulis dalam hal ini menitik beratkan pada perempuan sebagai korban
perkosaan yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi, dan perampasan hak-haknya.
3. Perlindungan terhadap Korban Perkosaan Perlindungan terhadap korban tindak
pidana perkosaan adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia. Urgensi
dari perlindungan yang dimaksud tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah
perkosaan. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga
mengalami penderitaan secara psikis. Pada dasarnya, kebijakan mengenai
perlindungan korban perkosaan terbagi atas beberapa bentuk, antara lain:
1) Restitusi Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2008, restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada
korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Korban perkosaan berhak memperoleh
restitusi karena perkosaan merupakan tindak pidana. Bentuk perlindungan ini lebih
diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibatyang ditimbulkan oleh
kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang
diderita korban.
2) Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-Sosial Menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, subjek
yang juga mendapat bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah
korban perkosaan. Bantuan tersebut adalah layanan yang diberikan kepada korban
dan atau saksi oleh LPSK. Permohonan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi
psiko-sosial dapat diajukan oleh korban, keluarga korban, dan kuasanya dengan surat
kuasa khusus. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan di
atas kertas bermaterai kepada LPSK. Menanggapi uraian diatas, penulis akan
memberikan penjelasan mengenai perlindungan terhadap korban perkosaan yang
lebih spesifik.
Dalam upaya penanggulangan kejahatan termasuk aborsi, ada 2 pendekatan yang
dapat digunakan untuk melindungi wanita/ anak korban perkosaan, yakni:
17
18
a) Pendekatan Preventif Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya kejahatan. Menurut Menurut Samsudin, dalam kaitannya
untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada
mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi
biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau
mencapai tujuan. Adapun usaha yang dilakukan melalui tindakan ini adalah
menanamkannilai-nilai/ norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut
terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan
pelanggaran/ tindak pidana tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka
tidak akan terjadi tindak pidana.
b) Pendekatan Represif Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan ini
diutamakan terhadap orang yang melakukan tindak pidana dengan memberikan
hukum pidana yang setimpal atas perbuatannya. Penegakan hukum (law
enforcement) ditujukan kepada pelaku agar mereka sadar bahwa perbuatan yang
dilakukannya adalah perbuatan melanggar hukum dan merugikan masyarakat.
Sehingga pelaku tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukanya
mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat.
C. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
1. Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia Apabila ditinjau berdasarkan
pendekatan historis, bangsa Indonesia sejak awal perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia sudah menuntut dihormatinya Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal tersebut terlihat jelas dalam tonggak sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia melawan penjajahan yakni Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, yang
diawali dengan lahirnya berbagai pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini
membuktikan bahwa bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan bangsa
lain.
b) Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang membuktikan bahwa
bangsa Indonesia menyadari haknya sebagai suatu bangsa yang bertanah air satu dan
menjunjung persatuan Indonesia.
c) Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan
puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia diikuti dengan penetapan
Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dalam
pembukaannya ditegaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala
bangsa. Oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
18
19
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan
aturan dasar yang sangat pokok yakni Hak Asasi Manusia.
d) Rumusan hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara
eksplisit juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Serikat dan undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kedua konstitusi tersebut
mencantumkan secara rinci ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia. Dalam
sidang konstituante upaya untuk merumuskan naskah tentang hak asasi manusia juga
telah dilakukan .
e) Dengan tekad melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka pada sidang umum MPRS tahun 1966 telah ditetapkanKetetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sementara Nomor
XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad hoc untuk menyiapkan Piagam
Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Berdasarkan
Keputusan Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja
Panitia ad hoc diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Namun pada
sidang umum MPRS tahun 1968 rancangan piagam tersebut tidak dibahas karena
sidang lebih mengutamakan masalah mendesak yang berkaitan dengan rehabilitasi
dan konsolidasi nasional setelah terjadi tragedi nasional berupa pemberontakan G-
30-S/PKI pada tahun 1965, dan menata kembali kehidupan nasional berdasarkan
pancasila dan UUD 194527 .
f) Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 50 Tahun 1993, yang mendapat tanggapan positif masyarakat
menunjukkan besarnya perhatian bangsa Indonesia untuk segera merumuskan hak
asasi manusia menurut sudut pandang Indonesia28 .
g) Kemajuan mengenai perumusan tentang hak asasi manusia tercapai ketika
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1998
telah tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) secara lebih rinci.
2. Landasan Yuridis Hak Asasi Manusia Secara yuridis, aturan tentang
berbagai aspek yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Berkenaan dengan tugas akhir yang
diangkat penulis, akan dijabarkan pasal yang berkaitan dengan hak-hak seorang anak
dari perbuatan aborsi, yakni: a) Pasal 52 ayat (1) berbunyi: Setiap anak berhak atas
perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Kemudian ayat (2)
berbunyi: Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
19
20
b) Pasal 53 ayat (1) berbunyi: Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan tarafkehidupannya.
c) Pasal 56 ayat (1) berbunyi: Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang
tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanyasendiri.
3. Aborsi Menurut Perspektif Hak Azasi Manusia Ditinjau dari perspektif
HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena
merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang sangat mendasar. Aturan
diperbolehkannya melakukan aborsi tertuang dalam Undang-undang No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Aborsi memang erat kaitannya dengan hak asasi manusia,
disatu sisi dikatakan bahwa setiap wanita berhak atas tubuh dan dirinya dan berhak
untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta
bebas dari paksaan. Namum, disatu sisi janin yang ada dalam kandungan juga berhak
untuk terus hidup dan berkembang. Dua hal tersebut memang saling bertentangan
satu sama lain karena menyangkut dua kehidupan. Jika aborsi yang dilakukan adalah
aborsi kriminalis tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan hak asasi
manusia. Dalam Undang-Undang HAM juga diatur mengenai perlindungan anak
sejak dari janin karena sekalipun seorang ibu mempunyai hak atas tubuhnya sendiri
tetapi tetap saja harus kita ingat bahwa hak asasi yang dimiliki setiap orang tetap
dibatasi oleh Undang-Undang . Pada dasarnya, seorang ibu yang harus
menggugurkan kandungannya dengan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi
dapat mengancam nyawa ibu atau janin, secara hak asasi manusia dapat dibenarkan
karena si ibu tersebut juga punya hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Aborsi memang berhubungan dengan hak wanita untuk melakukan
reproduksi dan hak atas tubuhnya. Undang-undang kesehatan sendiri juga memuat
ketentuan kebebasan setiap orang untuk bereproduksi. Jika ditafsirkan kebebasan
untuk bereproduksi bisa saja membuka celah untuk melakukan aborsi, namun yang
perlu diingat bahwa kebebasan setiap orang untuk melakukan reproduksi adalah
kebebasan yang bertanggung jawab yang tentunya tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia. Ketiadaan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
aborsi menyebabkan seseorang dengan mudah melakukan aborsi dengan klaim
bahwa ia merupakan korban perkosaan.
Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak . Urgensi Perlindungan Anak
Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku delinkuensi anak biasanya
dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia
berapakah seorang dapat dikategorikan sebagai anak. Anak memiliki karakteristik
20
21
khusus/ spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu
kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak
menjadi penting diprioritaskan. Berdasarkan Pasal 1 Convention on the Right of the
Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan belas) tahun,
kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya. Artinya yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa
dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu sedangkan secara mental dan
fisik masih belum dewasa . Sehubungan dengan uraian diatas, kedudukan setiap anak
yang ada wajib dilindungi. Hal ini dikarenakan bahwa mayoritas anak-anak tidak
terpenuhi haknya sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 dan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Dengan adanya berbagai macam pelanggaran
hak asasi anak, maka urgensi perlindungan anak menjadi sebuah keharusan demi
kesejahteraan anak. Terlepas dari hal itu, aborsi merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi anak. Hingga saat ini tidak sedikit ditemui bahwa wanita yang menjadi korban
perkosaan melakukan aborsi dikarenakan traumatik dan enggan untuk memelihara
anak yangtidak dikehendakinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
kedudukan sang anak yang ada dalam kandungan. Dengan adanya kebijakan hukum
perlindungan anak yang ada Nampak tidak dapat mengakomodir permasalahan
aborsi yang melibatkan hak anak untuk hidup .
2. Landasan Yuridis Perlindungan Anak Adapun kebijakan perundang-undangan
yang mengatur tentang perlindungan anak adalah sebagai berikut:
a) Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan dikriminasi.
b) Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 berbunyi: Fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
c) Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berbunyi: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
d) Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang
mengatur tentang perlindungan dan hak-hak anak sebelum adanya aturan yang lebih
khusus tentang perlindungan anak.
e) Pasal 53 yat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia berbunyi: Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan tarafkehidupannya. tidak
21
22
dikehendakinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan sang
anak yang ada dalam kandungan. Dengan adanya kebijakan hukum perlindungan
anak yang ada Nampak tidak dapat mengakomodir permasalahan aborsi yang
melibatkan hak anak untuk hiduP.
2. Landasan Yuridis Perlindungan Anak
Adapun kebijakan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan
anak adalah sebagai berikut:
a) Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan dikriminasi.
b) Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 berbunyi: Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
c) Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berbunyi: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
d) Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang
mengatur tentang perlindungan dan hak-hak anak sebelum adanya aturan yang lebih
khusus tentang perlindungan anak.
e) Pasal 53 yat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia berbunyi: Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak hidup,
mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
22
23
BAB III
LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
23
24
dilakukan, jika sikorban menuruti jalur hukum dan norma-norma dimasyarakat.
Artinya, korban perkosaan yang hamil tidak melakukan abortus provocatus yang
dilarang itu, tapi melanjutkan kehamilan dan melahirkan anak hasil perkosaan
tersebut. Harus ada jaminan secara hukum maupun sosial bagi kelangsungan hidup
si anak dan ibunya dikemudian hari. Perlu diketahui, disatu sisi lain, masih ada
masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap seorang wanita yang
melahirkan anak tanpa suami.59
57
Syarifuddin Pettanasse, Op.cit, Hlm. 185.
58
Sekjen Komnas HAM Baharudin Lopa memberi keterangan pers,
pada tanggal 24 Agustus 1998 di Jakarta.
59
Syarifuddin Pettanasse. Loc.cit, Hlm. 190.
24
25
60
Ibid, Hlm.191.
61
Kandung. Alasan Pemerintah Legalkan Aborsi dan Alasan KPAI
menolak PP Pelegalan Aborsi Dan MUI Kaget. 2014
(http://silontong.com/2014/08/13/alasan-pemerintah- legalkan-aborsi-dan-alasan-
kpai-menolak-pp-pelegalan-aborsi-mui-kaget/ di akses pada tanggal 15 Februari
2015).
Menurut Nafsiah Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa masalah aborsi
ini telah dibahas selama 5 tahun. Baik Undang-Undang maupun Peraturan
Pemerintah (PP) mengatakan aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan yakni
gawat darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan. Dia menegaskan, PP ini
adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
khususnya pasal 75 menyatakan bahwa:
Setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi yang memfasilitasi aborsi bagi korban perkosaan
ini berpotensi menimbulkan polemik dalam masyarakat. Sejumlah kelompok yang
tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi karena sama saja dengan
menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan,
tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi.
PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan
alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. Karena itu, legalisasi
aborsi bagi wanita korban pemerkosaan dinilai kurang tepat. Dalam PP ini satu
sisi perempuan korban perkosaan mungkin sedikit tertolong, namun sesungguhnya
ada dampak lain yang jauh lebih buruk. Dampak buruk tersebut mencakup aspek
psikologis, medis maupun sosial. Dampak psikologis aborsi sesungguhnya tidak
bisa dipandang ringan.
25
Menurut Ghani Rahman (2014),62 terdapat beberapa kelompok ada yang
menyetujui dan ada yang tidak menyetujui permasalahan legalisasi praktik aborsi
sebagaimana yang telah diatur didalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan reproduksi, yaitu:
1. Kelompok yang menyetujui
62
Ghani Rahman, Legalisasi Aborsi, Kesehatan Reproduksi, dan Upaya
Edukasi, 2014( http://penarevolusi.wordpress.com/2014/09/16/legalisasi -aborsi-
kesehatan-reproduksi-dan-upaya- edukasi/, diakses pada tanggal 01 20 maret
2015).
26
c. Wakil Komnas Perempuan yaitu Desi Murdjiana, beliau menilai
bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Reproduksi sudah tepat. Desi juga menyatakan bahwa
persetujuannya dengan pertimbangan lebih pada trauma yang
dialami korban perkosaan karena akan permasalahan tersebut akan
ganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Menurut Desi, dengan adanya Peraturan itu, negara melakukan
langkah tepat karena telah telah membolehkan perempuan yang
diperkosa dapat menggugurkan kandungannya, karena perkosaan
tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa
d. Menteri Agama yaitu Lukman Hakim saifuddin menyatakan bahwa
Peraturan Pemerintah (PP) tersebut sudah sesuai dengan syarat
janin yang belum memiliki roh dan jiwa atau sebelum 40 hari dan
hanya dilakukan atas alasan darurat medis atau hamil akibat
perkosaan, karena hal ini mengancam keselamatan jiwa si ibu dari
sisi psikis.
2. Kelompok yang tidak menyetujui
27
perkosaan, karena hasil perkosaan bukan domain dokter tapi masuk
persoalan hukum.
b. Ketua Umum Penguru Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
yaitu Zaenal Abidin, menyatakan bahwa tindakan aborsi untuk
indikasi selain alasan medis jelas bertentangan dengan Sumpah
Dokter dan Kode etik Kedokteran. Karena menurut Zaenal tidak
ada jaminan dokter yang tidak akan dipidana jika melakukan aborsi
dan aborsi juga belum bisa dikatakan solusi yang terbaik untuk
kasus pemerkosaan.
c. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu
Maria Advianti, Maria menjelaskan bahwa UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pasal 1 telah menjamin keselamatan
anak sejak dalam kandungan hingga usia 18 tahun. Mari juga
mengatakan tidak menemukan unsure yang cukup layak untuk
membenarkan penghilangan nyawa terhadap seorang anak hanya
karena dikandung akibat pemerkosan. Sebab sejak keberadaannya
didalam kandungan terdeteksi, seorang anak memiliki hak hidup
yang diatur oleh Undang-Undang. Gangguan mental korban
pemerkosaan bisa diantisipasi dengan terapi atau rehabilitasi mental
agar si korban siap menerima keberadaan bayi yang dilahirkan.
d. Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) yaitu Rusli
Muhammad. Rusli berpendapat bahwa ini faktor kriminogen,
peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya
justru menciptakan kejahatan baru. Efek yang akan disebabkan oleh
peraturan tersebut ialah para wanita justru mencari cara agar diri
seakan diperkosa dan melakukan
28
aborsi. Padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap.
Sebagaimana waktu yang ditetapkan didalam peraturan tersebut adalah 40
(empat puluh) hari yang diperbolehkan melakukan aborsi. Karena jika
dokter ingin meminta surat keterangan kepolisian terkait korban perkosaan
biasanya butuh proses yang panjang lebih dari 40 (empat puluh) hari untuk
menetapkan seseorang diperkosa.
e. Ketua Umum Muslimat NU yaitu Khofifah Indar Parawansa
menyatakan jika Peraturan Pemerintah (PP) ini rawan
diselewengkan dan akan memicu pergaulan bebas. Menurut
Khofifah, tanpa adanya PP tersebut, praktik aborsi sudah begitu
marak. Termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan.
Khofifah meminta agar pemerintah segera meninjau ulang
peraturan tersebut.
f. Ketua Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibidang
Pemberdayaan Perempuan, menegaskan bahwa PP itu tidak boleh
diperluas, disosialisasikan atau diumumkan sehingga orang yang
tidak bertanggung jawab bisa berbuat apa saja.
C. Dasar Hukum Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi, sebenarnya bukanlah awal untuk dipermasalahkan. Oleh karena PP
tersebut hanya sebagai kebijakan pengaturan lebih lanjut atas amanat Undang-
Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Maka dalam Pasal 75
29
Ayat 2 UU tentang Kesehatan telah ditegaskan “larangan aborsi dapat dilakukan
kecuali karena darurat medis dan korban pemerkosaan”.63
Untuk pengecualian darurat medis tidaklah menjadi persoalan hukum,
sebab memang aborsi demikian tidak perlu bersentuhan dengan pembuktian
terjadinya indikasi tindak pidana. Dalam hukum kedokteran pembolehan demikian
disebut abortus medicalis. Yakni tindakan aborsi demi melindungi kepentingan
perempuan yang sedang mengandung janin, namun membahayakan keselamatan
nyawanya.
Berbeda halnya dengan pengecualian aborsi yang dibenarkan akibat
korban perkosaan. Jelas, menimbulkan banyak paradoks oleh beberapa kalangan.
Kalangan ini terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang termasuk golongan anti
aborsi menamakan diri sebagai kelompok pro life (pro kehidupan). Sementara
mereka yang menyetujui praktik aborsi menyebut diri sebagai pro choice (pro
pilihan).64
Dasar Hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Reproduksi adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 5 ayat (2)
menyatakan bahwa:
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya.
63
Damang, Solusi Hukum Legalisasi Aborsi Karena Pemerkosaan, 2014
(http://www.negarahukum.com/hukum/solusi-hukum-legalisasi-aborsi-karena
pemerkosaan.html diakses pada tanggal 10 Maret 2015).
64
. Paradoks Legalisasi Aborsi. 2014
(http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html) diakses
pada tanggal 10 Maret 2015.
30
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita
penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar
kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi perkosaan.
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1)
huruf a meliputi:
a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan / atau;
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang
menderita penyakit genetik berat dan / atau cacat bawaan, maupun yang
tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut diluar
kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan standar.
31
Pasal 33 menyatakan bahwa:
32
Pasal 34 menyatakan bahwa:
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1)
huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dengan:
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh
surat keterangan dokter; dan
b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
33
Pasal 36 menyatakan bahwa:
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2)
huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang
terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim
kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia
kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan
aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
34
Pasal 37 menyatakan bahwa:
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh
konselor.
(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan tujuan:
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan
aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan
kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil
putusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan
untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi;
dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan tujuan:
a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani
aborsi;
b. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling
lanjutan atau tindakan rujukan apabila diperlukan; dan
c. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah
terjadinya kehamilan.
35
Pembuktian Pemerkosaan
36
Namun dengan alasan pembenaran aborsi, setelah adanya bukti atas surat
keterangan dokter, keterangan penyidik, dan keterangan psikolog, belum
memberikan kepastian hukum, baik bagi pelaku aborsi maupun dokter yang
membantu secara medis tindakan aborsi tersebut.
Karena yang harus dibuktikan dari terpenuhinya delik pemerkosaan adalah
adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Melalui visum belum juga kuat
atas keterangan dokter, perbuatan bersetubuh atas suka sama suka hal itu bukan
pemerkosaan. Artinya, jika aborsi telah dilakukan dan ternyata dikemudian hari
tidak terpenuhi delik pemerkosaannya.
Maka perempuan yang melakukan aborsi dan dokter yang membantunya
justru berada dalam ancaman jerat pidana. Perempuannya terjerat dengan Pasal
194 UU Kesehatan melalui sanksi 10 tahun penjara, sedangkan dokternya minimal
terjerat dengan turut membantu Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Hal ini sekiranya juga menimbulkan ketidakpastian jika hanya dengan
surat keterangan penyidik saja, karena keterangan yang diperoleh penyidik
melalui laporan/ pengaduan ditambah bukti semacam surat dan saksi-saksi.
Perihal kepastian telah terjadinya pemerkosaan belum pasti. Setiap orang
yang masih dalam proses penyelidikan belum terbukti bersalah sebab berlindung
dibalik asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Satu-satunya yang
bisa menjadi pegangan jika orang tersebut bersalah dan memang benar, telah
65
Damang. Paradoks Legalisasi Aborsi. 2014
(http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html diakses
pada tanggal 10 Maret 2015)
37
terpenuhi unsur pemerkosaan, hanyalah melalui putusan pengadilan yang telah
inkrah.
Batas Waktu
Jika bersandar pada syarat pembolehan aborsi karena pemerkosaan, dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari
pertama haid terakhir berdasarkan Pasal 31 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 61 Tahun 2014 Kesehatan Reproduksi.
Sementara tetap ingin mencari kepastian hukum telah terpenuhinya delik
pemerkosaan, maka batas waktu itu sudah pasti akan habis, hanya untuk mencari
kebenarannya melalui proses hukum acara yang bisa memakan waktu berbulan-
bulan (prapenuntutan-penuntutan-persidangan pengadilan). Jika delik
pemerkosaan pembuktiannya harus dengan melalui putusan pengadilan inkrah,
demi kepastian hukum, tetapi batas waktu legalisasi aborsi karena pemerkosaan
hanya 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, dipastikan akan terlewati.
Karena itu, tidak ada alasan batas waktu 40 hari tersebut dalam PP
Kesehatan Reproduksi untuk selanjutnya, kemudian perlu dievaluasi. 66 Pada
intinya hukum harus menempatkan semua orang setara dalam kedudukan dan hak-
haknya. Termasuk melindungi hak privasi seorang perempuan berdasarkan
kepentingannya, untuk berbuat atau tidak berbuat atas sesuatu yang menjadi hak
asasinya.
Dalam hal ini untuk melakukan pengguguran janin atas kandungaannya,
karena kehamilan itu tidak dikehendakinya. Tetapi hak publik atas nama negara
66
. Paradoks Legalisasi Aborsi. 2014.
(http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html diakses
pada tanggal 10 Maret 2015).
38
dan hak individual harus ditempatkan dalam kedudukan proporsional. Hak-hak
individual itu, yang bersifat privasi, ada kalanya negara “mengintervensi” untuk
menghindari kekalutan, atas nama hak publik yang berlaku universal.
Jika melihat dari segi waktu dan pembuktian mengenai permasalahan
aborsi akibat perkosaan ini, dapat diartikan bahwa penjelasan yang ada didalam
pasal-pasal yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi membutuhkan waktu yang sangat lama.
Permasalahan ini dikembalikan lagi kepada korban perkosaan jika
kehamilannya akan menyebabkan korban terancam nyawanya atau telah
melakukan segala cara agar tidak melakukan aborsi, namun tetap saja tidak bisa
diatasi. Maka berdasarkan dalam hukum Islam diperbolehkan untuk melakukan
aborsi demi kemaslahatan.
39
negara, yaitu aborsi indikasi kedaruratan medis (meliputi kehamilan yang
mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kehamilan yang mengancam
nyawa dan kesehatan janin termasuk yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup diluar kandungan) dan kehamilan akibat perkosaan.
Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan menimbulkan penderitaan fisik,
mental dan sosial. Kehamilan akan memperparah kondisi mental korban yang
sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.
Trauma ini juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung
korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi
penolakan terhadap kehamilannya.
Selain itu, korban perkosaan akan mendapat tekanan tambahan jika harus
membesarkan anak hasil perkosaan dan mendapat pandangan negatif masyarakat.
Untuk kasus ini, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Reproduksi
memberikan hak kesehatan bagi perempuan korban perkosaan agar ia dapat
memilih untuk menggugurkan kandungannya.
Aborsi kehamilan akibat perkosaan dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir. Tindakan
aborsi tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui upaya konseling dengan
tujuan memastikan kebutuhan dan dampak aborsi yang nanti mungkin dialami.
Dengan informasi yang cukup, maka pasien yang akan melakukan aborsi dapat
mengambil keputusan yang objektif.
67
Rahmi. Legalisasi Aborsi Korban Perkosaan. 2014.
(http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-16-II-
P3DI-Agustus- 2014-82.pdf diakses pada tanggal 15 maret 2015).
40
Aborsi itu legal untuk dilakukan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, tindakan aborsi akibat
perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor
yang kompeten dan berwenang, sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU
Kesehatan yang menyatakan bahwa:
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang
telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat
menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap
orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan.69
Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) adalah diatur didalam Pasal 194 UU Kesehatan
yang menyatakan bahwa:
Setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 175 ayat (2) dipidana dengan pedana penjara
paling 5 (lima) tahun dan denda paling banyak rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
68
Tri Jata Ayu Pramesti. Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan. 2014.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsi-dan-hak-korban-
pemerkosaan) diakses pada tanggal 07 Maret 2015.
69
Danny Wiradharma dan Dionisia Sri Hartati, Penuntutan Kuliah Hukum Kedokteran
(Jakarta: Sagung Seto, 2010), Hlm. 323.
41
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Korban perkosaan perlu mendapat perlindungan karena korban mengalami dampak
yang sangat kompleks. Dampak yang dirasakan korban adalah penderitaan ganda yang
meliputi penderitaan fisik, psikis, dan sosial. Kedudukan dan peran korban perkosaan
sebagai saksi di dalam persidangan turut menambah penderitaan korban. Penderitaan korban
perkosaan dialami korban pada saat sebelum persidangan, selama persidangan dan sesudah
persidangan oleh karenanya korban perkosaan memerlukan perlindungan agar korban
merasa aman dari segala bentuk ancaman dan untuk menjamin korban dalam usaha
pemulihannya.
2. Bentuk upaya perlindungan yang dapat diberikan kepada korban perkosaan adalah
perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
pemberian Kompensasi, Restitusi, serta Bantuan Kepada Saksi dan Korban melalui LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Bentuk-bentuk perlindungan tersebut meliputi :
a. Restitusi 63 Korban perkosaan berhak mendapat restitusi karena perkosaan
merupakan tindak pidana khususnya kejahatan kesusilaan yang diatur di dalam
Buku II KUHP Pasal 285
b. Bantuan Medis dan Bantuan Psiko-sosial Korban perkosaan berhak mendapatkan
bantuan medis dan bantuan psiko-sosial karena korban perkosaan adalah korban
tindak pidana yang berhak dipulihkan ke dalam keadaan semula.
42
B. Saran
43