Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMASI FISIKA
Semester III | Tahun Ajaran 2020/2021

Asisten Penanggung Jawab


Putri Nosa D, S.Farm.

Praktikan
Kelompok C-2

1. Syarifah Hasanah (10060319093)


2. Susi Susilawati (10060319094)
3. Novisya Nur Fadlillah (10060319095)
4. Kaamilah Naadiyah (10060319096)
5. Mega Putri Dhea Damayanti (10060319097)
6. M. Jihad Wibawa Putra (10060319098)
7. Aryuqo Ardha Syaqa (10060319099)

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika


Program Studi Farmasi – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Bandung
1442H/2020
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Modul 4
EMULSIFIKASI

I PRINSIP PERCOBAAN
Pada percobaan emulsifikasi digunakan prinsip “like dissolve like”, yaitu senyawa
polar hanya akan larut dalam senyawa polar dan senyawa non polar hanya akan larut
dalam senyawa non polar. Dimana emulgator Tween 80 lebih menyukai air dan Span 80
lebih menyukai minyak.

II TUJUAN PERCOBAAN
1. Menghitung jumlah emulgator surfaktan yang digunakan untuk membuat emulsi
2. Membuat emulsi yang stabil dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi
4. Menentukan HLB butuh suatu minyak

III LANDASAN TEORI


3.1 Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamik, yang
mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, dimana satu diantaranya
didispersikan sebagai bola-bola dalam fase cair lain. Sistem dibuat stabil dengan adanya
zat pengemulsi. Sifat zat pengemulsi, dikenal dengan karakteristik keseimbangan
hidrofil-lipofil (HLB), yakni sifat polar-nonpolar dari pengemulsi. Sifat ini akan
menentukan tipe emulsi yang dihasilkan apakah akan dihasilkan emulsi minyak dalam air
(m/a) ataukah air dalam minyak (a/m). Zat pengemulsi yang digunakan dapat tunggal,
campuran, atau kombinasi dengan zat tambahan lain (Martin, 1993: 1143-1164).
Emulsi adalah sistem dua fase yang salah satu cairannya tedispersi dalam cairan
lain dalam bentuk tetesan kecil (Dirjen POM, 1995: 6). Fase terdispersi kadang-kadang
disebut sebagai fase internal, dan kontinu sebagai fase eksternal. Emulsi juga membentuk
jenis sistem koloid yang agak istimewa karena tetesan sering melebihi ukuran terbatas
1000 nm (Schramm, 1992).

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 2 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Emulsi konvensional secara termodinamik tidak stabil dan memiliki masa hidup
terbatas setelah emulsi tersebut rusak (Ashish & Jyotsna, 2013).
3.1.1 Tipe Emulsi
Dalam suatu emulsi, salah satu fase cair biasanya bersifat polar sedangkan yang
lainnya relatif non polar. Penetuan tipe emulsi tergantung pada sejumlah faktor. Jika rasio
volume fasa sangat besar atau sangat kecil, maka fasa yang memiliki volume lebih kecil
seringkali merupakan fasa terdispersi (Shelbat, 2009). Berdasarkan tipenya emulsi dibagi
menjadi tiga yaitu:
1. Oil in water (o/w): fase minyak terdispersi sebagai tetesan dalam keseluruhan fase
luar air (Winarno, 1997).
2. Water in oil (w/o): fase air terdispersi sebagai tetesan dalam fase luar minyak
(Winarno, 1997).
3. Emulsi Ganda Dikembangkan berdasarkan pencegahan pelepasan bahan aktif.
Dalam tipe emulsi ini dihadirkan 3 fase yang disebut bentuk emulsi A/M/A atau
M/A/M atau disebut “emulsi dalam emulsi”.Emulsi mana yang terjadi, tergantung
dari emulgatornya. Jika emulgator larut dalam air, maka terbentuk emulsi O/W. Jika
emulgator larut dalam minyak maka terbentuk emulsi W/O (Gennaro, 1969).
3.1.2 Metode Pembuatan Emulsi
Emulsi yang terbentuk kemudian ditambahkan ke fasa berair kedua (mengandung
surfaktan) dan diaduk terus menerus untuk membentuk emulsi (Attama et al., 2016).
Pembuatan emulsi dalam skala kecil dapat menggunakan tiga metode (Ansel,
2014), yaitu:
1. Metode gom kering (dry gum method) atau juga dikenal sebagai 4:2:1 metode
karena setiap 4 bagian (volume) minyak, 2 bagian air, dan 1 bagian gom
ditambahkan dalam pembuatan dasar emulsi. Emulsifying agent dicampurkan ke
dalam minyak sebelum ditambahkan air.
2. Metode gom basah (wet gum method) memiliki proporsi sama untuk minyak, air,
dan gom yang digunakan dalam dry gum method, tetapi urutan pencampurannya
berbeda. Emulsifying agent ditambahkan ke dalam air (dimana dapat terlarut) untuk
membentuk muchilago, kemudian secara perlahan minyak akan tergabung
membentuk emulsi.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 3 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

3. Metode botol (Forbes bottle method) digunakan untuk minyak yang mudah
menguap atau kurang kental.
3.1.3 Ketidakstabilan Emulsi
Ketidakstabilan emulsi menurut Gennaro (1996: 307), yaitu:
1. Creaming dan sedimentasi
Creaming adalah gerakan ke atas dari tetesan relatif zat terdispersi ke fase kontinu,
sedagkan sedimentasi adalah proses pembalikan yaitu gerakan ke bawah dari
partikel.
2. Agregasi dan koalesensi
Dalam agregasi (flokulasi) tetesan yang terdispersi datang bersama namun tidak
bercampur. Koalaesensi komplit penyatuan tetesan, diarahkan untuk mengurangi
jumlah tetesan dan pemisahan dua fase yang tidak saling bercampur.
3. Inversi
Emulsi dikatakan membalik ketika perubahan emulsi dari M/A ke A/M atau
sebaliknya terjadi. Inversi kadang-kadang terjadi dengan penambahan elektrolit
atau dengan mengubah rasio fase volume.
3.1.4 Penentuan Tipe Emulsi
Menurut Martin (1990: 509), cara menentukan tipe emulsi adalah sebagai berikut:
1. Tes Pengenceran Tetesan
Metode ini berdasarkan prinsip bahwa emulsi bercampur dengan luar akibatnya,
jika air ditambahkan ke dalam emulsi M/A, air akan terdispersi cepat dalam emulsi.
Jika minyak ditambahkan tidak akan terdispersi tanpa pengadukan yang kuat.
Begitu pula dengan emulsi A/M.
2. Uji Kelarutan Cat
Uji ini berdasarkan prinsip bahwa dispersi cat secara seragam melalui emulsi jika
cat larut dalam fase luar. Amaran, cat larut air secara cepat mewarnai emulsi M/A
tapi tidak mewarnai emulsi tipe A/M. Sudan III, cat larut minyak dengan cepat
mewarnai emulsi A/M, tidak tipe M/A.
3. Uji Arah Creaming
Creaming adalah fenomena antara 2 emulsi yang terpisah dari cairan aslinya dimana
salah satunya mengapung pada permukaan lainnya. Konsentrasi fase terdispersi

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 4 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

adalah lebih tinggi dalam emulsi yang terpisah. Jika berat jenis relatif tinggi dari
kedua fase diketahui, maka arah creaming dari fase terdispersi menunjukkan adanya
tipe emulsi M/A. jika cream emulsi menuju ke bawah berarti emulsi A/M. hal ini
berdasarkan asumsi bahwa mimyak kurang padat daripada air.
4. Uji Hantaran Listrik
Uji hantaran listrik berdasarkan pada prinsip bahwa air menghantarkan arus listrik
sedangkan minyak tidak. Jika elektrode ditempatkan pada emulsi menghantarkan
artus listrik, maka emulsi M/A. Jika sistem tidak menghantarkan arus listrik, maka
emulsi adalah A/M.
5. Tes Fluoresensi
Banyak minyak jika dipaparkan pada sinar UV berfluoresensi, jika tetesan emulsi
dibentangkan dalam lampu fluoresensi di bawah mikroskop dan semuanya
berfluoresensi, menunjukkan emulsi A/M. Tapi jika emulsi M/A, fluoresensinya
berbintik-bintik.
3.2 Emulgator
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar
memperoleh emulsi yang stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk film
(lapisan) disekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi
untuk mencegah terjadinya koalesensi dan terpisahnya cairan dispersi sebagai fase
terpisah. Hal yang paling utama bagi emulgator adalah kemampuannya untuk
menghasilkan dan menjaga stabilitas emulsi dalam penyimpanan dan pemakaian
(Anief, 2003: 132).
3.2.1 Macam-Macam Emulgator
Menurut Syamsuni (2006: 127-131), macam-macam emulgator yaitu:
1. Emulgator Alam
Emulgator alam, yaitu emulgator yang diperoleh dari alam tanpa proses yang rumit.
Dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
 Emulgator dari tumbuh-tumbuhan (Gom arab, tragakan, agar-agar, chondrus,
emulgator lain)
 Emulgator hewani (Kuning telur dan adeps lanae)

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 5 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

 Emulgator dari mineral (Magnesium Aluminium Silikat (Veegum),


Bentanoit)
2. Emulgator Buatan atau Sintetis
 Sabun
 Tween 20, 40, 60, 80
 Span 20, 40, 80
3.2.2 Mekanisme Kerja Emulgator
Menurut Lachman (1994: 1034), mekanisme kerja emulgator diantaranya:
1. Penurunan Tegangan Permukaan
Walaupun pengurangan tegangan permukaan energi bebas antar muka yang
dihasilkan pada dispersi. Peranan zat pengemulsi sebagai batang antarmuka adalah
yang paling penting. Ini dapat dilihat dengan jelas bila seseorang memperhatikan
bahwa banyak polimer dan padatan yang terbagi halus, tidak efisien dalam
menurunkan tegangan antarmuka, membentuk pembatas antarmuka yang baik
sekali, bertindak untuk mencegah penggabungan dan berguna sebagai zat
pengemulsi.
2. Pembentuk Lapisan Antarmuka
Pembentukan lapisan-lapisan oleh suatu pengemulsi pada permukaan tetesan air
atau minyak tidak dipelajari secara terperinci. Pengertian dari suatu lapisan tipis
monomolekuler yang terarah dari zat pengemulsi tersebutpada permukaan fase
dalam suatu emulsi. Cukup beralasan untuk mengharapkan molekul amfifilik untuk
mengatur dirinya pada suatu antarmuka air, minyak dan bagian hidrofilik pada fase
air. Juga sudah ditetapkan dengan baik bahwa zat aktif permukaan cenderung
berkumpul pada antarmuka, dan pengemulsi diabsorbsi pada antar muka minyak
dan air sebagai lapisan monomolekuler. Jika kensentrasi zat pengemulsi cukup
tinggi, pengemulsi membentuk suatu lapisan yang kaku antara fase-fase yang tidak
saling bercampur tersebut, yang bertindak sebagai suatu penghalang mekanik. Baik
terhadap adhesi maupun menggabungnya tetesan-tetesan emulsi.
3. Penolakan Elektrik
Telah digambarkan bagaimana lapisan antarmuka atau kristal cair lamellar
mengubah laju penggabungan tetesan dengan bertindak sebagai pembatas.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 6 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Disamping itu, lapisan yang sama atau serupa dapat menghasilkan gaya listrik tolak
antara tetesan yang mendekat. Penolakan ini disebabkan oleh suatu lapisan listrik
rangkap yang dapat timbul dari gugus-gugus bermuatan listrik yang mengarah pada
permukaan bola-bola yang teremulsi M/A yang distabilkan dengan sabun Na.
Molekul-molekul surfaktan tidak hanya berpusat pada antarmuka tetapi karena sifat
polarnya, molekul-molekul tersebut terarah juga. Bagian bawah hidrokarbon
dilarutkan dalam tetesan minyak, sedangkan kepala (ioniknya) menghadap ke fase
kontinu (air). Akibat permukaan tetesan tersebut ditabur dengan gugus-gugus
bermuatan, dalam hal ini gugus karboksilat yang bermuatan negatif. Ini
menghasilkan suatu muatan listrik pada permukaan tetesan tersebut menghasilkan
apa yang dikenal sebagai lapisan listrik rangkap. Potensial yang dihasilkan oleh
lapisan rangkap tersebut menciptakan suatu pengaruh tolak menolak antara tetesan-
tetasan minyak, sehingga mencegah penggabungan. Walaupun potensial listrik
tolak tidak dapat diukur secara langsung untuk membandingkan dengan teori. Toeri
kuantitas yang behubungan, potensial zeta dapat ditentukan. Potensial zeta untuk
suatu emulsi yang distabilkan dengan surfaktan sebanding dengan dengan potensial
lapisan rangkap hasil perhitungan. Tambahan pula, perubahan dalam potensial zeta
parallel dengan perubahan potensial lapisan rangkap jika elektrolit ditaburkan. Hal
ini dan data yng berhubungan dengan besarnya potensial pada antarmuka dapat
digunakan untuk menghitung penolakan total atara tetes-tetes minyak sebagai suatu
fungsi dari jeruk antara tetesan tersebut.
4. Padatan Terbagi Halus
Bagian emulgator ini membentuk lapisan khusus disekeliling tetesan terdispersi dan
menghasilkan emulsi yang meskipun berbutir kasar, mempunyai stabilitas fisik. Hal
ini dapat menyebabkan padatan dapat bekerja sebagai emulgator.
3.3 Surfaktan
Surfaktan merupakan molekul yang memiliki satu bagian yang dapat mengikat
media nonpolar dan bagian lainnya yang dapat berikatan dengan media polar. Molekul
seperti ini memiliki tegangan permukaan yang lebih rendah dari media pelarutnya
(Schramm, 2003).

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 7 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Dua karakteristik utama dari surfaktan yaitu kemampuan adsorpsi dan


kemampuan self-accumulation pada struktur supramolekular merupakan hal yang
sangat membantu dalam menstabilkan dispersi koloid. Surfaktan juga memegang
peranan penting dalam membantu menurunkan tegangan permukaan dan memisahkan
partikel-partikel padatan ke dalam ukuran yang lebih kecil sehingga mudah terdispersi
ke dalam media cair (Vitta, 2012).

IV PROSEDUR KERJA

Dibuat 5 larutan seri tipe emulsi dengan ketentuan:

Tipe Emulsi Nilai HLB Butuh

1 5
2 7
3 9
4 11
5 13

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 8 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 9 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 10 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

V DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


5.1 Tabel Pengamatan
5.1.1 Tabel Perhitungan Penimbangan Bahan
Tabel 1. Perhitungan Penimbangan Bahan

Setil
Tipe Nilai HLB Minyak Tween 80 Span 80 Air
Alkohol
Emulsi Butuh (Gram) (gram) (gram) (gram)
(gram)

1 5 20 0,65 9,35 2 68
2 7 20 2,52 7,48 2 68
3 9 20 4,39 5,61 2 68
4 11 20 6,26 3,74 2 68
5 13 20 8,13 1,87 2 68

5.1.2 Tabel Pengamatan Tinggi Emulsi yang Membentuk Cream


Tabel 2. Pengamatan Tinggi Emulsi yang Membentuk cream

Jumlah Jumlah
Tipe Tween span Tinggi Cream (cm)
Emulsi Nilai HLB (gram) (gram) Hari ke -1 Hari ke -2 Hari ke -3 Hari ke -4
1 5 0,65 9,35 15 29 35 50
2 7 2,52 7,48 12 13 18 19
3 9 4,39 5,61 11 13 18 20
4 11 6,26 3,74 0 0 0 3
5 13 8,13 1,87 0 14 17 18

5.2 Perhitungan
5.2.1 Perhitungan Jumlah Tween 80 dan Span 80
 Emulsi Tipe 1
Emulgator total = 10 gram
HLB butuh minyak (emulsi tipe 1) = 5
Misal: Tween 80 = a
Maka:
Jumlah Emulgator Total = Jumlah Tween 80 + Jumlah Span 80
10 gram = a + Jumlah Span 80
Span 80 = 10 gram – a

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 11 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

(gram emulgator total . HLBbutuh) = {(gram Tween 80 . HLBTween80) + (gram Span


80 . HLBSpan80)}
(10 gram . 5) = {(a . 15) + ((10 gram – a) . 4,3)}
50 gram = {(15 a) + (43 gram – 4,3 a) }
50 gram = 43 gram + 15 a – 4,3 a
50 gram – 43 gram = 10,7 a
7 gram = 10,7 a
7 gram
a = = 0,65 gram
10,7

Jadi jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 0,65 gram


Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 10 gram – 0,65 gram = 9,35 gram
 Emulsi Tipe 2
Emulgator total = 10 gram
HLB butuh minyak (emulsi tipe 2) = 7
Misal: Tween 80 = a
Maka:
Jumlah Emulgator Total = Jumlah Tween 80 + Jumlah Span 80
10 gram = a + Jumlah Span 80
Span 80 = 10 gram – a
(gram emulgator total . HLBbutuh) = {(gram Tween 80 . HLBTween80) + (gram Span
80 . HLBSpan80)}
(10 gram . 7) = {(a . 15) + ((10 gram – a) . 4,3)}
70 gram = {(15 a) + (43 gram – 4,3 a) }
70 gram = 43 gram + 15 a – 4,3 a
70 gram – 43 gram = 10,7 a
27 gram = 10,7 a
27 gram
a = = 2,52 gram
10,7

Jadi jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 2,52 gram


Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 10 gram – 2,52 gram = 7,48 gram
 Emulsi Tipe 3
Emulgator total = 10 gram

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 12 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

HLB butuh minyak (emulsi tipe 3) = 9


Misal: Tween 80 = a
Maka:
Jumlah Emulgator Total = Jumlah Tween 80 + Jumlah Span 80
10 gram = a + Jumlah Span 80
Span 80 = 10 gram – a
(gram emulgator total . HLBbutuh) = {(gram Tween 80 . HLBTween80) + (gram Span
80 . HLBSpan80)}
(10 gram . 9) = {(a . 15) + ((10 gram – a) . 4,3)}
90 gram = {(15 a) + (43 gram – 4,3 a) }
90 gram = 43 gram + 15 a – 4,3 a
90 gram – 43 gram = 10,7 a
47 gram = 10,7 a
47 gram
a = = 4,39 gram
10,7

Jadi jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 4,39 gram


Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 10 gram – 4,39 gram = 5,61 gram
 Emulsi Tipe 4
Emulgator total = 10 gram
HLB butuh minyak (emulsi tipe 4) = 11
Misal: Tween 80 = a
Maka:
Jumlah Emulgator Total = Jumlah Tween 80 + Jumlah Span 80
10 gram = a + Jumlah Span 80
Span 80 = 10 gram – a
(gram emulgator total . HLBbutuh) = {(gram Tween 80 . HLBTween80) + (gram Span
80 . HLBSpan80)}
(10 gram . 11) = {(a . 15) + ((10 gram – a) . 4,3)}
110 gram = {(15 a) + (43 gram – 4,3 a) }
110 gram = 43 gram + 15 a – 4,3 a
110 gram – 43 gram = 10,7 a
67 gram = 10,7 a

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 13 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

67 gram
a = = 6,26 gram
10,7

Jadi jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 6,26 gram


Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 10 gram – 6,26 gram = 3,74 gram
 Emulsi Tipe 5
Emulgator total = 10 gram
HLB butuh minyak (emulsi tipe 5) = 13
Misal: Tween 80 = a
Maka:
Jumlah Emulgator Total = Jumlah Tween 80 + Jumlah Span 80
10 gram = a + Jumlah Span 80
Span 80 = 10 gram – a
(gram emulgator total . HLBbutuh) = {(gram Tween 80 . HLBTween80) + (gram Span
80 . HLBSpan80)}
(10 gram . 13) = {(a . 15) + ((10 gram – a) . 4,3)}
130 gram = {(15 a) + (43 gram – 4,3 a) }
130 gram = 43 gram + 15 a – 4,3 a
130 gram – 43 gram = 10,7 a
87 gram = 10,7 a
87 gram
a = = 8,13 gram
10,7

Jadi jumlah Tween 80 yang dibutuhkan = 8,13 gram


Jumlah Span 80 yang dibutuhkan = 10 gram – 8,13 gram = 1,87 gram

VI PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini membahas tentang emulsifikasi. Percobaan ini bertujuan
untuk menentukan HLB butuh suatu minyak yang digunakan dalam pembuatan emulsi
serta mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi.
Emulsifikasi merupakan proses terbentuknya emulsi. Emulsi adalah sediaan yang
mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam cairan pembawa,
distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Anief, 2004 : 132).
Menurut Jones (2008: 46), berdasarkan fase terdispersinya dikenal 2 jenis tipe emulsi

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 14 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

yaitu yang pertama adalah emulsi tipe minyak dalam air (o/w), yaitu bila fase minyak
terdispersi di dalam fase air. Kemudian yang kedua adalah emulsi tipe air dalam minyak
(w/o), yaitu bila fase air terdispersi di dalam fase minyak.
Pada percobaan ini dibuat 5 larutan seri tipe emulsi dengan nilai HLB yang berbeda-
beda. Menurut Martin (1993) HLB atau Hidrophile Lipophile Balance merupakan tipe
emulsi yang dihasilkan bergantung pada sifat emulgator yang digunakan dalam suatu
formula. Umumnya masing-masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian hidrofilik
dan salah satu diantaranya lebih/kurang dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang
telah diuraikan untuk membentuk tipe emulsi.
Pada percobaan kali ini dilakukan pembuatan emulsi dengan emulgator golongan
surfaktan, digunakan emulgator tween 80 dan span 80, dimana tween 80 untuk fase air
dan span 80 untuk fase minyak, maka emulsi yang stabil dapat dibuat dengan mudah
dengan menggunakkan kombinasi surfaktan yang polar dan yang nonpolar. Kombinasi
tersebut dapat menghasilkan fase antarmuka yang mencakup tinggi pemukaan,
viskositasnya, dan juga mencegah terjadinya creaming dan meningkatnya stabilitas.
Surfaktan (Surface active agents atau wetting agents) merupakan bahan organik
yang berperan sebagai bahan aktif pada detergen, sabun, shampoo, dan surfaktan dapat
menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang
menempel pada bahan-bahan. Surfakatan dikelompokan menjadi empat yaitu surfaktan
anionik, kationik, nonionik amphoterik (Lachman, 1994)
Kemudian dilakukan perhitungan Tween 80 dan Span 80 yang hasil perhitungannya
digunakan untuk penimbangan jumlah Tween 80 dan Span 80 yang akan digunakan.
Diperoleh hasil penimbanga dari Tween 80 yaitu untuk tipe emulsi 1: 0,65 gram, tipe
emulsi 2: 2,52 gram, tipe emulsi 3: 4,39 gram, tipe emulsi 4: 6,26 gram dan pada tipe
emulsi 5: 8,13 gram.
Langkah selanjutnya ditimbang bahan, dan dilarutkan masing-masing bahan pada
fase yang sesuai. Tween 80 dilarutkan dalam air sebagai fase air dan span 80 dilarutkan
ke dalam minyak sebagai fase minyak. Setil alkohol ditimbang sebanyak 2 gram
kemudian dimasukkan ke dalam fase minyak. Hal ini disebabkan karena tween 80
memiliki HLB 15 dan Span 80 memiliki HLB 4,3, semakin tinggi harga HLB maka
semakin polar atau hidrofilik sediaan itu dan sebaliknya semakin rendah harga HLB

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 15 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

maka semakin nonpolar atau hidrofobik seidiaan tersebut. Sehingga tween 80 larut dalam
air dan span 80 larut dalam minyak (Ansel, 1989). Setil alkohol yang digunakan dalam
percobaan kali ini juga mempunyai peran sebagai emulgator (Murrukmihadi, 2012).
Setelah kedua fase dicampurkan sesuai fasenya di dalam cawan, kedua fase
dipanaskan di atas penangas dengan suhu 60 derajat celcius sampai 70 derajat celcius.
Kedua fase dipanaskan dengan tujuan agar kedua fase larut. Ketika dipanaskan fase
diaduk agar terlarut sempurna. Ketika kedua fase sudah berada pada suhu 70 derajat,
kedua fase diangkat dari penangas air. Dipanaskan sampai dengan suhu sekian karena
setil alkohol memiliki titik lebur antara 45 derajat celcius sampai dengan 50 derajat
celcius. Pada suhu tesebut, setil alkohol akan melebur sempurna dengan fase minyak
(Dirjen POM, 2014).
Kedua fase kemudian dicampurkan ke dalam matkan, dan diaduk menggunakan
rotarry stirrer selama 5 menit dengan kecepatan 500 rpm. Peningkatan kecepatan dan
lama waktu pengadukan berperan dalam pembentukan emuldi dan tingkat kestabilan
emulsi. Semakin lama waktu pengadukan dapat menurunkan viskositas dari emulsi
namun juga dapat memperlama waktu pemisahan dari emulsi minyak dalam air (Sari,
2015). Maka dari itu dipilih waktu 5 menit dengan kecepatan pengadukan 500 rpm.
Setelah pengadukan terhadap kelima HLB dilakukan, emulsi dimasukkan ke dalam
tabung sedimentasi. Emulsi dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi dengan tujuan agar
emulsi tidak mengalami perubahan karena faktor dari luar sistem.
Berdasarkan hasil pengamatan kestabilan emulsi dihari pertama, Emulsi tipe 1;
15cm, tipe 2; 12cm, tipe 3; 11cm, tipe 4; 0cm, tipe 5; 0cm. Dihari kedua, Emulsi tipe 1;
29cm, tipe 2; 13cm, tipe 3; 13cm, tipe 4; 0cm, tipe 5; 14cm. Dihari ketiga, Emulsi tipe 1;
35cm, tipe 2; 18cm, tipe 3; 18cm, tipe 4; 0cm, tipe 5; 17cm. Dihari keempat, Emulsi tipe
1; 50cm, tipe 2; 19cm, tipe 3; 20cm, tipe 4; 3cm, dan tipe 5; 18cm. Pengamatan tersebut
berfokus pada tinggi cream dari masing-masing emulsi. Berdasarkan hasil pengamatan
tipe emulsi 4 dengan jumlah tween 80 6,26 gram dan span 80 3,74 gram adalah emulsi
yang sempurna diantara tipe emulsi yang lain karena jumlah creaming yang terdapat
dalam emulsi tersebut sedikit yaitu pada hari pertama 0cm, hari kedua 0cm, hari ketiga
0cm, dan hari keempat 3cm. Tipe emulsi 4 paling stabil karena nilai HLB butuh yang
digunakan mendekati nilai HLB Parafin, yaitu 12.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 16 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Secara teori, surfaktan pada HLB 11 dan HLB 13 lah yang akan stabil emulsinya
karena mendekati nilai HLB Parafin, yaitu 12. Tetapi pada percobaan, emulsi dengan
HLB 13 tidak stabil dan megalami creaming. Creaming terjadi karena adanya perbedaan
viskositas medium dan kerapatan partikel antara fase minyak dan fase air, yang
mengakibatkan HLB 5, 7, 9, dan 13 mengalami creaming. Hal ini dapat disebabkan oleh
pencampuran emulsi yang kurang sempurna di awal. Emulsi yang mengalami creaming
dapat dibuat stabil kembali dengan dilakukan pengocokan atau pengadukan. Tetapi
creaming tetap harus dihindari karena bisa menyebabkan terjadinya cracking pada emulsi
(Madaan, 2014).
Penerapan emulsi pada bidang farmasi telah digunakan dalam produk farmasi dan
kosmetik untuk pemakaian luar. Produk sediaan emulsi yang beredar dipasaran sudah
sangat banyak. Contohnya saja emulsi suplemen anak yang mungkin sudah tidak asing
lagi seperti scott Emulsion yang mengandung minyak ikan. Sediaan lainnya adalah
Curvit, Curcuma Plus, Scott +DHA dan lain lain.

VII KESIMPULAN
1. Jumlah emulgator Tween 80 dan Span 80 yang digunakan adalah
Tipe 1 (HLB 5): Tween 80 = 0,35 gram dan span 80 = 9,35 gram
Tipe 2 (HLB 7): Tween 80 = 2,52 gram dan span 80 = 7,48 gram
Tipe 3 (HLB 9): Tween 80 = 4,39 gram dan span 80 = 5,61 gram
Tipe 4 (HLB 11): Tween 80 = 6,26 gram dan span 80 = 3,74 gram
Tipe 5 (HLB 13): Tween 80 = 8,13 gram dan span 80 = 1,87 gram
2. Emulsi yang stabil dengan menggunakan Tween 80 dan Span 80
3. Evaluasi ketidakstabilan emulsi terbentuknya creaming dikarenakan adanya
intensitas pencampuran yang berbeda dan pengadukan yang kurang merata, suhu
yang tidak konstan, ketidakteletian dalam pengamatan kestabilan emulsi.
4. HLB butuh minyak (paraffin) adalah 12

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 17 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 18 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2003). Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik. Cetakan Kesepuluh.
Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press. Hal 132.
Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Ansel, H.C. & Loyd, V.A., (2014). Ansel's Pharmaceuticals Dosage Forms and
Drug Delivery System. 10th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Ashish, D.G. & Jyotsna, T.W., (2013). A Short Review on Microemulsion and it
Application in Extraction of Vegetable Oil. International Journal of Researchin
Engineering and Technology, 3(9), pp.2321-7308.
Attama, A.A., J, N.R.-O., E, M.U. & E, B.O., (2016). Nanomedicined for the Eye:Current
Status and Future Development. 1st ed. United States: AcademiaPress.
Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi Ke-IV. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen POM. (2014). Farmakope Indonesia Edisi Ke-V. Jakarta: Depkes RI.
Gennaro, A. R. (1969). Remingtons Pharmaceuticals Science 18th ed. Marc Public Co.
Easton.
Gennaro, A.R. (1996). Remingtons Pharmaceuticals Science 18th ed. Marc Public Co.
Easton.
Jones, David. (2008). Pharmaceutic – Dosage Form and Design. London:
Pharmaceutical Press.
Lachman, L., & Lieberman, H. A., (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi
Kedua, 1091-1098, UI Press, Jakarta.
Madaan dkk. (2014). Emulsion Technology and Recent Trends in Emulsion Applications.
International Research Journal of Pharmacy Vol. 5 No. 7. 533-542, Sriganganagar.
Martin, A. et al. (1990). Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press.
Martin A., Lieberman, H.A., Kanig, J.L., diterjemahkan oleh Yoshita. (1993). Farmasi
Fisik : Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam ilmu Farmasetik,Penerbit Universitas
Indonesia, edisi ke-3, hal. 1143-1164.
Murrukmihadi, M., Ananda, R., dan Handayani, T.U. (2012). Pengaruh Penambahan
Carbomer 934 dan Setil Alkohol Sebagai Emulgator dalam Sediaan Krim Ekstrak
Etanolik Bunga Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) Terhadap Sifat Fisik

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 19 dari 20
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

dan Aktivitas Antibakteri pada Staphylococcus aureus. Majalah Farmaseutik vol.


8 No.2. 152-157, Yogyakarta.
Sari, D.K., Lestari, R.S.D., Pengaruh Waktu dan kecepatan Pengadukan Terhadap
Emulsi Minyak Biji Matahari (Helianthus annuus L.) dan Air. Jurnal Integrasi
Proses Vol. 5 No. 3. 155-159, Cilegon.
Schramm, L.L., (1992). Petroleum Emulsions. Advances in Chemistry, 231(1), pp.1-49.
Schramm, L., Stasiuk, E., Marangoni, D., (2003). Surfactant and their
application, Annu. Rep. Prog. Chem., Sect C., 99, 3-48.
Shelbat-Othman, N. & Bourgeat-Lami, E., (2009). Use of Silica Particles for
theFormation of Organic−Inorganic Particles by Surfactant-Free
EmulsionPolymerization. Langmuir, 25(17), pp.10121-33.
Syamsuni, H. A. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Vitta, S., Thiruvengadam, V., (2012). Multifunctional bacterial cellulose and
nanoparticle-embedded composites. Current Science, 102, 1398-1405.
Winarno, F.G., (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 20 dari 20

Anda mungkin juga menyukai