Rematoid+Artritis DR - Ketut
Rematoid+Artritis DR - Ketut
RHEUMATOID ARTHRITIS
Oleh:
Pembimbing :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Pengalaman Belajar
Lapangan (PBL) yang berjudul “Rheumatoid Arthritis” ini tepat pada waktunya. PBL ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan laporan PBL ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun
bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan,
saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan PBL ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan PBL ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan PBL ini
dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel iv
BAB I PENDAHULUAN 1
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih
merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,
biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status
kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak
usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa
lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut
adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum
muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia
namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke
tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah
pedesaan di Bali.
4
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun
dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum
jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
5
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr
virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam
jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya
parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,
dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan
paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi
ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.
6
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas
selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran
ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan
pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
7
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-
adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
8
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi
sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh
darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah
trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan
menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra
dkk,2013).
9
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid
Arthritis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya
juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang
didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan
perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru
obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis
yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)
berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan
skleromalase perforans
10
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan
spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropeni
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif
namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan
ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi
tulang, atau subluksasi sendi.
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.
Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
11
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi
yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di
atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain
kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor
dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6,
maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin
memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun
retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit)
(Putra dkk,2013).
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi kecil 5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3
12
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang
menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami
perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih
berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada
sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin
A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi
akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada
sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi
air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi
13
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan.
Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,
dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
14
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah
nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,
contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan
sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini
ditingkatkan setiap pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash
15
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus
disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada
artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu,
osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
17
bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang dirasakannya
menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Kemudian pasien
juga merasakan nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di leher, bahu, siku,
dan pinggang. Keluhan tersebut membaik saat pasien beristirahat dan memberat
saat beraktivitas atau saat sendi digerakkan.
Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan tidak
membaik dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual, muntah dan
kekeringan pada mata disangkal pasien. Pasien tidak merasakan adanya
penurunan nafsu makan dan berat badan dikatakan biasa saja. Riwayat BAB dan
BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas normal.
Riwayat Pengobatan
Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik
sebanyak 3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan
dinyatakan normal, pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang
dideritanya dan hanya diberikan berbagai macam obat mulai dari obat oral dan
suntik namun pasien mengatakan lupa jenis dan merk obatnya. Ketika obat habis,
pasien memeriksakan kembali keluhannya yang tidak membaik ke dokter lainnya.
Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet penambah stamina dan
parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari SMRS pasien
meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin lemas
karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.
Riwayat Keluarga
18
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.
Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga
disangkal oleh pasien.
19
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : simetris
Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung
parasternal line dekstra, batas kiri jantung
midclavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo:Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus N|N
N|N
N|N
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Status Lokalis
Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra
Inspeksi : eritema (-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-)
20
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
ROM : terbatas
21
Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70
Natrium (Na) 132 mmol/L 136-145 Rendah
Kalium (K) 3,08 mmol/L 3,50-5,10 rendah
22
Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)
23
Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:
Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri
Tulang-tulang manus kanan tak tampak kelainan
24
Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment baik
Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan eminentia
intercondylaris os tibia kanan-kiri, margo posteroinferior os patella kanan-
kiri
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri
Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I (Kellgren-lawrence)
Soft tissue swelling regio genu kanan-kiri
25
Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment b2aik
Tak tampak garis fraktur/dislokasi
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan
3.6 DIAGNOSIS
- Rheumatoid Arthritis dd SLE
- Secondary Osteoarthritis Genu D et S
3.7 PLANNING
Terapi
IVFD NS 20 tpm
Paracetamol 4x750mg io
Na diclofenac 3x50mg io
Metotrexat 1x7,5mg io
26
Diet tinggi kalori tinggi protein
Kompres hangat
Diagnostik
Analisis synovial fluid
Monitoring:
Keluhan
Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi
CM-CK
3.8 Prognosis
Vitally : dubius ad bonam
Functionally : dubius ad bonam
Sanationum : dubius ad bonam
27
BAB IV
PEMBAHASAN
28
4. Masalah biaya pengobatan pasien. Awalnya pasien bingung tentang biaya
pengobatannya, dan pasien belum sempat mengurus asuransi karena pasien
tidak memiliki KTP Bali.
29
Kebutuhan Kalori Basal
30
Makan Siang 390 kalori 195 kalori 78 kalori 117 kalori
Makan Malam 325 kalori 162,5 kalori 65 kalori 97,5 kalori
Selingan 1 195 kalori
Selingan 2 130 kalori
31
suami sambil mengkonsumsi kopi. dan pukul 16.00 pasien melanjutkan
membersihkan villa. Pada malam harinya pasien dan suami mulai tidur pukul
22.00 WITA.
Lingkungan
Pasien tinggal disebuah rumah bersama suaminya. Dalam satu
pekarangan terdapat 2 kamar yaitu 1 kamar tidur dan 1 kamar lagi
dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang kerjaan pasien.
Kamar berukuran 3 x 3 m2, 1 pintu masuk setiap kamar tanpa jendela,
serta 1 dapur dan 1 kamar mandi di luar rumah. Lantai kamar terbuat dari
keramik, tembok batako, dan beratapkan genteng. Kamar pasien terkesan
tidak rapi karena memang luasnya yang sempit dan terdapat banyak
sekali barang-barang yang dimiliki pasien tetapi tidak tertata. Baju-baju
kotor dan baju berantakan disekitar kamar.Di depan kamar pasien
terdapat ruang keluargan yang berisi sebuat TV dan beraslaskan oleh
tiker. Dapur pasien menjadi satu dengan rumah pasien berisikan tempat
menaruh peralatan dapur serta kompor gas kecil, dibawahnya terdapat
tong sampah. Dapur terkesan cukup bersih dan rapi. Kamar mandi
letaknya dibelakang dapur. Sumber air MCK untuk pasien adalah dari air
PAM sedangkan sumber air minum adalah air galon. Keadaan rumah
disebelah pasien kanan dan kiri kamar pasien apabila dilihat dari luar
terkesan tidak rapi. Halaman rumah tidak begitu luas, halaman ini
dipergunakan oleh penghuni rumah sebagai tempat parkir motor. Pasien
memiliki binatang peliharaan yaitu tiga ekor burung. Pembuangan
sampah menggunakan tempat. Disekitar rumah pasien tidak ada penghuni
lain. Jarak rumah pasien menuju kawasan perumahan lain sekitar 1,5 km.
Hubungan pasien dengan tetangga lainnya terlihat baik, dimana saling
bertegur sapa dan bercanda dan pasien juga sering menitipkan barang
daganganny ke tetangganya.
32
Pasien dengan berat badan 45 kg dan dengan tinggi badan 152 cm,
dengan BMI pasien sebesar 19,47 kg/m2. Berat badan ideal pasien
adalah ( TB – 100 ) = 52 kg. Dari pengakuan pasien, pola makan
cenderung teratur dan baik. Menu makan pasien sehari-hari berupa
sarapan nasi putih serta lauk pauk dan kopi, makan siang dan makan
malam berupas nasi serta lauk pauk , dimana dilengkapi dengan lauk
sayur dan daging.Pasien juga mengatakan meminum air mineral yang
cukup, yaitu sekali minumnya 2 gelas, dan biasanya pasien minum
lebih dari 8 gelas setiap harinya.Pasien mengatakan selalu mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan, namun terkadang pasien tidak
mencuci tangan dengan baik dan hanya membahsahi tangannya
sebelum makan. Pasien mencuci tangan dengan sabun apabila tangan
pasien benar-benar kotor. Dalam lingkungan biologis atau keluarga
pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, ataupun mengalami keluhan yang serupa dengan pasien
saat ini.
2. Faktor psikososial
33
a. Gejala dari Reumatoid Atritis
Kaku di pagi hari di persendian kurang dari 1 jam sebelum
ada perbaikan maksimal.
Timbul artiris pada 3 daerah persendian atau lebih yang
timbul secara bersamaan dan biasanya terkenanya simetris
atau di kedua pergelangan.
Dapat ditemukan adanya tanda-tanda peradangan pada
persendian seperti kemerahan, bengkak, panas maupun
nyeri.
Gejala yang tidak khas seperti adanya demam, kelemahan
dan penurunan berat badan.
Dapat di temukan adanya penonjolan di bawah kulit pada
tulang yang menonjol seperti di lutut.
b. Penyebab dan Faktor Resiko Artritis Reumatoid
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar
(infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan
bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang
lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor
pencetus.
Faktor resiko dari arthritis rheumatoid ada 2 yaitu dapat
dimidifikasi seperti pekerjaan, merokok, makanan (sering
makan daging), kopi, status ekonomi. Dan yang tidak dapat
dimodifikasi seperti genetic, jenis kelamin dan usia.
c. Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan :
Dari manusia sebagai host
Pencegahan dapat berupa meningkatkan kondisi pertahan
tubuh/imunitas pasien dengan mengkonsumsi makanan
dengan nutrisi yang seimbang dan rajin melakukan
olahraga atau aktivitas fisik yang sesuai untuk RA.
Dari agen penyebab RA
34
Karena penyebab dari arthritis rheumatoid masih belum
diketahui penyebabnya
Diare paling sering diakibatkan oleh bakteri yang
mengkontaminasi makanan atau minuman yang
dikonsumsi.Memasak makanan dengan baik sebelum
dimakan, dan memasak air minum dengan benar sebelum
diminum berperan penting dalam meminimalisir
kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman. Selain itu
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dapat
mengurangi resiko terjangkit penyakit diare.Tangan dapat
berisi berbagai jenis bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit, apabila tidak dicuci dengan benar, bakteri
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang kita pegang saat makan.
Dari lingkungan
Memberikan penjelasan dan informasi untuk selalu
menjaga kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan alat
makan, dan kamar mandi.
35
menjalani pengobatannya termasuk untuk minum obat setiap harinya dan
pengaturan dietnya. Pasien saat ini tinggal bersama suaminya. Dimana
suami dan anak-anak pasien sangat memperhatikan perkembangan
kondisi pasien. Pasien mengaku terkadang merasa jenuh karena
aktivitasnya yang terbatas. Hubungan pasien dengan tetangga terlihat
baik, dari cara mereka saling bertegur sapa dan bercerita satu sama lain.
4.4 Pemecahan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang telah kami jabarkan sebelumnya,
kami mengusulkan penyelesaian masalah sebagai berikut:
36
secara mandiri serta menginformasikan kepada pasien mengenai target
pencapaian yang diharapkan.
3. Biaya Pengobatan
Karena pasien harus rutin mendapatkan hemodialisis dan obat-
obatan untuk penyakitnya, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Hal ini diatasi oleh pasien dengan memakai BPJS Kesehatan. Karena
pasien sudah terdaftar di BPJS Kesehatan, jadi biaya pengobatannya pun
ditanggung BPJS Kesehatan.
5. Dukungan keluarga
Pasien disarankan untuk berkomunikasi secara rutin dengan
keluarganya mengenai kehidupan sehari-hari dan terutama perkembangan
penyakitnya, dengan demikian pasien mendapatkan dukungan emosional
dari keluarga dan keluarga bisa dengan sigap terhadap kondisi pasien.
Sesekali keluarga juga dapat mengajak pasien keluar jalan-jalan keluar
untuk refreshing.
37
termasuk juga pola makan pasien. Beri saran kepada pasien untuk tetap
menerapkan pola hidup sehat dan pola makan yang teratur sesuai dengan
diet CKD. Beri tahu juga kepada pasien dan keluarga agar mengatur
makanannya agar menjadi makanan seimbang dengan gizi yang cukup.
Pola makan yang teratur ini dengan tujuan mempertahankan kondisi
optimal dari pasien sehingga tidak muncul infeksi atau komplikasi dari
penyakitnya.
38
BAB V
SIMPULAN
39
BAB IV
PEMBAHASAN
40
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut
dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku,
bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang
terbatas pada leher. Dan kelainan diluar sendi dapat meliputi kelainan pada kulit
yaitu nodul rematoid, kelainan jantung, paru, saraf, mata, dan kelenjar limfe.
Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa
berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan
terutama di ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah serta pergelangan tangan kanan
dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan semakin lama semakin
memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas sejak 1 hari SMRS.
Demam, sesak, diare, kekeringan pada mata, penurunan nafsu makan dan berat
badan disangkal pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan pada hasil laboratorium
yaitu penanda inflamasi Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat. Kemudian adanya Rheumatoid Factor (RF) positif namun RF negatif
tidak menyingkirkan diagnosis. Dan Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti-CCP)
yang positif namun hubungan antara anti-CCP terhadap beratnya penyakit tidak
konsisten. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat terlihat berupa pembengkakan
jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,
osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (13/9/2015) menunjukkan
LED meningkat dengan hasil LED I 30mm dan LED II 60mm. Hasil CRP juga
meningkat dengan hasil 71,4 mg/L. Selain itu RF juga mengalami peningkatan
yaitu dengan hasil 16 dan tidak dilakukan pemeriksaan anti-CCP. Dari hasil
pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran osteoarthritis dan soft tissue
swelling pada kedua sendi lutut.
Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 pada pasien ini
terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria dan telah berlangsung
lebih dari 6 minggu. Sedangkan pada kriteria ACR tahun 2010, pasien ini
memenuhi kriteria karena memiliki skor lebih dari 6. Uraian masing-masing
kriteria diagnosis dijabarkan sebagai berikut:
41
No Kriteria Diagnosis ARA tahun 1987 Skor
1 Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang- √
kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) √
pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
3 Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi √
satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
pergelangan tangan.
4 Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua √
belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5 Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan -
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler.
6 Rheumatoid Factor serum positif, √
7 Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada -
sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau
dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
42
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu 0 1
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0 1
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1
Total: 8
43
BAB V
SIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of
the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis
Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N
Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan
ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
45
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-
Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-
Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
46
LAMPIRAN
47