Rizal, Muhammad
Ilmu Hukum/M. Rizal, SH. M. Hum.
cet. 1 Medan, Duta Azhar, 2019
v+100 hlm; 155 x 230 mm.
ISBN 978-979-3588-51-3
Ilmu Hukum
Oleh: M. Rizal, SH. M. Hum
Disain Sampul: Zainal Arifin MA
Duta Azhar
Medan, 2019
DAFTAR ISI
Kata Pengantar. -v
Daftar Isi. -vii
BAB I : BEBERAPA PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM -1
Masyarakat dan Hukum. -1
Pengertian Dan Unsur-unsur Hukum. -10
Fungsi Dan Tujuan Hukum. -18
Tertib Hukum Dan Sanksi Hukum. -22
Hukum Dan Pengendalian Sosial. -25
BAB II : HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA. -31
Sumber Hukum Ditinjau Dari Beberapa Sudut. -31
Sumber Hukum Materil. -36
Sumber Hukum Formal. -38
BAB III : KAEDAH/NORMA HUKUM DAN
KAEDAH/NORMA LAINNYA -61
Kaedah/Norma Agama. -63
Kaedah/Norma Kesopanan. -66
Kaedah/Norma Kesusilaan. -68
Kaedah/Norma Adat. -70
Kaedah/Norma Hukum. -74
BAB IV : PENGGOLONGAN HUKUM. -76
Penggolongan Hukum Dari Segi Bentuknya. -76
Penggolongan Hukum Dari Segi Sumbernya. -77
Penggolongan Hukum Dari Segi Isinya. -78
Penggolongan Hukum Dari Segi Tempat Berlakunya. -79
Penggolongan Hukum Dari Segi Kekuatan Sanksinya. -80
Penggolongan Hukum Dari Segi Masa Berlakunya. -81
Penggolongan Hukum Dari Segi Fungsinya. -82
Penggolongan Hukum Dari Segi/Berdasarkan Wujudnya. -83
BAB V : SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM. -84
Subjek Hukum. -84
Objek Hukum. - 88
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
BEBERAPA PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM
BAB II
HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA
BAB III
KAEDAH/NORMA HUKUM DAN
KAEDAH-KAEDAH LAINNYA.
2. Kaedah/Norma Kesopanan
Yang dimaksud dengan norma/kaedah kesopanan adalah peraturan-
peraturan yang hidup atau timbul dari pergaulan hidup kelompok masyarakat
tertentu, dan merupakan pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap
manusia lainnya. Norma atau kaedah ini timbul dari segolongan manusia, serta
peraturannya ditaati dan diikuti oleh lingkungan masyarakat tertentu.
Norma/kaedah kesopanan didasarkan kepada kepatutan, kebiasaan, kepantasan
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu kaedah kesopanan
ini seringkali disamakan dengan kaedah sopan santun, tata karma, atau adat,
walaupun ada pakar hukum yang tidak mau menyamakan penertian kebiasaan
dengan adat sopan santun (Muchsin, 2006:19).
Lingkungan pengaruh norma kesopanan ini tidak luas apabila
dibandingkan dengan norma-norma atau kaedah lainnya. Dan tidak berlaku
secara universal, karena apa yang diangap sopan oleh suatu masyarakat tertentu,
belum tentu mendapat pandangan yang sama oleh kelompok masyarakat lainnya.
Suatu masyarakat tertentu akan menetapkan peraturan-peraturan tertentu
mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
seseorang dalam masyarakatnya untuk hidup pantas. Sebagai contoh terhadap
perbedaan pandangan masyarakat yang lahir dari norma kesopanan ini adalah
anggapan orang Amerika terhadap orang tua jompo yang harus dititipkan di
penampungan/panti orang tua jompo. Bagi masyarakat India menitipkan orang
tua dipanti orang tua jompo adalah melanggar norma kesopanan atau tidak
pantas dilakukan, tetapi bagi orang Amerika begitulah cara menghormati orang
tua menurut norma kesopanan atau begitulah sepantasnya, menurut norma
kesopanan yang tumbuh dalam masyarakatnya (OK. Chairuddin, 1991: 68).
Norma/kaedah sopan santun ini ditujukan kepada sikap lahir pelakunya
yang konkrit demi penyempurnaan atau ketertuban masyarakat dan bertujuan
untuk menciptakan perdamaian serta tata tertib. Sopan santun lebih
memetingkan yang lahir atau yang formal, misalnya pergaulan, pakaian, bahasa
dan lain sebagainya sehingga hal tersebut dianggap pantas, walaupun hal
tersebut dilakukan dengan sikap semu atau pura-pura saja, jadi tidak semata-
mata menghendaki sikap batin. Sopan santun menyentuh manusia tidak semata-
mata sebagai individu, tetapi sebagai mahluk sosial, jadi menyentuh kehidupan
bersama.
Sanksi terhadap pelangaran norma/kaedah kesopanan ini datang dari luar
diri kita (heteronom), sanksi ini dapat berupa teguran, celaan, cemoohan. Sanksi
ini tidak datang dari masyarakat secara terorganisir, tetapi datang dari setiap
orang secara terpisah yang menghendaki memberi sanksi terhadap pelanggaran
norma/kaedah kesopanan ini.
3. Kaedah/Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah suatu pedoman atau petunjuk dalam kehidupan
manusia sehari-hari, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Kesusilaan ini adalah aturan-aturan yang bersumber dari norma
kesusilaan, yang berasal dari diri manusia itu sendiri dan berakar dari dalam
suara hati nurani manusia itu sendiri.
Pada dasarnya di dalam diri manusia ada kecenderungan untuk berbuat
kebenaran atau kebaikan dan menyukai segala sesuatu yang sifatnya teratur,
indah dan baik serta benar. Kecenderungan inilah yang menimbulkan aturan-
aturan yang dijadikan sebagai ukuran atau tolak ukur untuk bertingkah laku
dalam masyarakat. Aturan atau peraturan-peraturan hidup ini berupa bisikan
kalbu atau suara bathin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai
pedoman dalam sikap dan perbuatannya (OK. Chairuddin, 1991: 60).
Kaedah atau norma kesusilaan ini ditujukan kepada ummat manusia agar
dapat membentuk akhlak pribadinya guna penyempurnaan manusia dan
melarang manusia untuk melakukan perbuatan jahat.
Di dalam norma kesusilaan ini tidak didapati paksaan dari luar untuk
mematuhi apa yang diharuskan oleh kaedah atau norma kesusilaan tersebut.
Atau dengan kata lain, tidak ada kekuasaan dari luar yang memaksa
menjalankan perintah-perintah kesusilaan. Sebagai contoh, dapat kita lihat
apabila seseorang melanggar norma kesusilaan misalnya berbohong, menghina
seseorang atau lain sebagainya, ia akan merasa malu, takut atau merasa bersalah
dan menyesal atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Jadi dari sini dapat
kita lihat bahwa sanksi atas suatu pelanggaran terhadap norma ini datangnya dari
hati nuraninya sendiri. Misalnya seseorang bertanya kepada kita, dimana
Gg.Rukun ?, kita yang mengetahui dimana Gg. Rukun tersebut dengan sengaja,
menjawab : Disana ! (menunjuk kearah yang salah atau tidak jujur). Maka akan
timbul dalam hati rasa bersalah atau menyesal telah memberikan petunjuk yang
salah terhadap orang yang bertanya tersebut. Sehingga dari sini dapat kita lihat
bahwa kaedah atau norma kesusilaan ini dapat menetapkan baik buruknya suatu
perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam
masyarakat. Karena dalam kaitannya dengan hal ini Van Apeldoorn
mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam kehidupannya, manusia itu
mempunyai dua segi, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia
sebagai makhluk sosial. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa kesusilaan
menyangkut manusia sebagai perorangan (individu), hukum dan adapt
menyangkut masyarakat (Van Apeldoorn, 1981:34). Dari uraian di atas dapat
kita lihat bahwa, kesusilaan adalah peraturan-peraturan hidup yang berasal dari
hati nurani, yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan perbuatan
mana yang tidak baik (bergantung pada pribadi manusia yang bersangkutan),
sehingga diharapkan dapat membentuk ahklak pribadi manusia yang baik dan
dapat menjadi manusia yang sempurna. Sanksi atas pelangaran norma tersebut
datangnya dari hati nurani manusia itu sendiri yang berupa rasa malu,
penyesalan dan tidak ada paksaan dari luar untuk mematuhi/menjalankan
kaedah atau norma kesusialaa ini.
4. Kaedah/Norma Adat
Norma adat adalah suatu pedoman atau petunjuk yang mengatur tentang
tingkah laku yang berlaku untuk anggota-anggota lingkungan atau suatu
masyarakat tertentu untuk atau pada masyarakat salah satu suku bangsa. Norma
adat didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan yang berlaku dalam suatu masyarakat
dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian dan tata tertib (Fathul Djannah,
2004:46).
Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang berlaku bagi suatu
masyarakat tertentu, yang tidak termasuk ke dalam lapangan hukum, kesusilaan
dan agama. Di dalam perkataan adat terdapat arti lain, yaitu untuk menyatakan
tingkah laku yang berlaku bagi anggota-anggota lingkungan atau suatu
masyarakat tertentu, walaupun ia tidak mempunyai pegangan pada suatu
kewajiban. Adat, berarti apa yang lazim dipakai. Terdapat hubungan yang erat
antara adat dan kebiasaan. Adat tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan pada suatu masyarakat tertentu. Jika di dalam suatu masyarakat
tertentu tersebut terjadi sesuatu hal yang dilakukan secara berulang-ulang, maka
timbullah pandangan bahwa demikianlah seharusnya, ini adalah kekuasaan
kebiasaan atau “denormatieve kracht van het feitelijk gebeuren”. Apa yang
biasa, acapkali dianggap menjadi kaidah (Van Apeldoorn, 1983:42).
Bila dilihat dari segi sumbernya, adat mulanya berasal dari kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan dalam suatu masyarakat tertentu, yang lama kelamaan
menimbulkan perasaan bahwa memang demikianlah sepatutnya. Maka dapat
dikatakan bahwa unsur “kepatutanlah” yang menjadi adat. Satu kali jadi, jika
sunguh dirasa sepatutnya (dalam arti objektif), itulah adat (Kusumadi
Pudjosewojo, 1976:45). Oleh karena itu norma adat adalah norma yang
dijadikan standart atau ukuran tentang apa yang boleh/patut dilakukan dan apa
yang tidak boleh/patut dilakukan. Norma adat ini lahir dari masyarakat dimana
lingkungan tempat ia tinggal. Oleh karena itu norma adat selalu menggambarkan
corak masyarakatnya. Ia diterima secara kolektif oleh masyarakatnya sebagai
suatu pedoman atau petunjuk untuk berbuat (bertingkah laku). Norma adat
adalah merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui, dan dihargai
akan tetapi juga ditaati. Adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam
masyarakat. Suatu kepastian akan dapat dihasilkan oleh kaedah kaedah yang
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih kuat, yang mengatur tata kehidupan
masa kini dan masa-masa yang akan datang.
Sanksi dari pelanggaran norma adat ini datang dari pihak masyarakat
adat, tidak datang dari pihak penguasa, serta penerapannya tidak dipaksakan dari
penguasa, melainkan dari individunya masing-masing ayng terhimpun dalam
persekutuan adat tersebut. Atau dengan kata lain, norma adat ini lebih bersifat
anjuran dan bukan suatu paksaan. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam suatu
masyarakat tertentu yang akan mengadakan suatu perkawinan, yang selalu
didahului dengan pertunangan, maka pertunangan disini menjadi adat bagi
masyarakat tertentu tersebut. Jika ada suatu perkawinan yang dilangsungkan
tanpa didahului pertunangan, maka masyarakat akan memandang hal tersebut
sebagai suatu penyimpanan dari norma adat. Dan oleh karena itu pula
masyarakat memberikan ukuran tertentu terhadap nilai dari perkawinan tersebut.
Jadi ukuran-ukuran tersebut sekaligus merupakan penjatuhan sanksi atas
penyimpangan dari norma adat tersebut. Jadi dari sini dapat kita lihat bahwa
sanksi terhadap pelanggaran norma adat tersebut, datang dari masyarakat
adatnya.
Norma adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam
masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang
mendukung adat istiadat tersebut, norma adat ini juga dapat menjadi hukum
adat, apabila di dalam peraturan adat tersebut terdapat hal-hal yang dianggap yan
dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat, serta ada perasaan umum
bahwa peraturan-peraturan tersebut harus dipertahankan oleh para pejabat
hukum, sehingga norma adat tersebut dapat melindungi hak dan kewajiban dari
tiap-tiap individunya, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum
(Ok.Chairuddin,1991:59). Maka dipergunakanlah ia untuk mengatur bentuk-
bentuk hubungan dalam masyarakatnya.
JHA.Logemann menyatakan, bahwa kaedah-kaedah kehidupan merupakan
norma-norma peraulan hidup. Artinya, peraturan-peraturan tingkah laku yang
harus ditaati oleh segenap warga masyarakat. Apabila kaedah-kaedah tadi
berlaku, maka kaedah tersebut tentu mempunyai sanksi yaitu sanksi yang paling
ringan sampai pada sangksi yang paling berat. Logeman selanjutnya
berpendapat, bahwa orang dapat menganggap semua kaedah yang mempunyai
sanksi tersebut, merupakan kaedah hukum. Perbedaan antara kaedah lain dengan
kaedah hukum bukanlah terletak pada unsur keharusan semata-mata akan tetapi
pada perbedaan sifat serta penyelenggara sanksinya (JHA.Logemann,tt.27).
Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa perbedaan antara norma adat dengan
hukum adat antara lain adalah:
Norma adat sanksinya datang dari masyarakat adat itu sendiri, dan
sanksinya tidak setegas norma hukum, serta tidak merugikan orang lain.
Sedangkan hukum adat sanksinya tegas, dan sanksi dari hukum adat ini
datangnya dari pihak penguasa, serta perbuatan terhadap pelanggaran
tersebut dapat merugikan orang lain.
Norma adat tidak mempunyai pegangan pada suatu kewajiban, berarti ia
hanya apa yang lazim dipakai saja. Sedangkan hukun adat, karena ia
dikatakan sebagai hukum, maka ia memberikan hak dan kewajiban
terhadap setiap orang.
5. Kaedah/Norma hukum.
Norma hukum adalah merupakan petunjuk atau pedoman bagi setiap
individu yang ditetapkan oleh penguasa serta pelaksanaanya dipertahankan dan
dapat dipaksakan oleh alat-alat penguasa tersebut, serta sanksinya bersifat tegas.
Norma hukum ini memberikan hak dan kewajiban kepada setiap individu dalam
kelompok masyarakat. Dan peraturan-peraturan yang terdapat di dalam norma
hukum ini bersifat fakultatif (mengatur) dan imperatif (memaksa), yang
tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan setiap individu dalam suatu
masyarakat.
Norma hukum ini tidak mau atau tidak dapat menerima pelanggaran atas
kaedah-kaedahnya. Sehingga sedapat mungkin norma hukum ini memaksakan
pelaksanaan dari kaedah-kaedahnya, dengan cara menjatuhkan sanksi yang
tegas. Jadi norma hukum bukanlah memperingatkan, menganjurkan atau
meyakinkan, akan tetapi memerintah, memaksa walaupun hal ini tidak berarti
senantiasa dapat dipaksakan. Sebaliknya paksaan bukanlah berarti tindakan
sewenang-wenang. Paksaan ini dipergunakan untuk menjamin agar peraturan-
peraturan yang terdapat dalam norma tersebut ditaati oleh masyarakat. Dalam
menyusun kaedah-kaedah tersebut tidak terdapat kehendak untuk bertindak
sewenang-wenang. Paksaan bukanlah menjadi pokok pangkal atau tujuan, tetapi
suatu paksaan yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi kepentingan
orang lain. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa norma hukum ini adalah
kumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa, yang sanksinya
dapat dipaksakan kepada setiap individu yang melangar kaedahnya. Karena
pelanggaran terhadap norma ini dapat merugikan orang lain.
BAB IV
PENGGOLONGAN HUKUM
1. Subjek Hukum
Ilmu pengertian hukum tediri atas berbagai ilmu yang mempelajari
tentang pengetahuan dalam ilmu hukum, dan yang menjadi bahasan dalam ilmu
pengertian hukum ini antara lain adalah subjek dan objek hukum.
Hukum adalah kaedah yang berisikan perintah dan larangan-larangan
yang ditujukan pada anggota masyarakat. Hukum mengatur hubungan antara
anggota masyarakat tersebut, yaitu antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain, antara kelompok manusia dengan manusia lain dan antara kelompok
manusia lain dengan kelompok manusia lainnya, atau dengan kata lain antara
subjek hukum. Setiap manusia apakah dia sebagai warga negara atau warga
negara asing, apakah dia laki-laki atau perempuan dan dengan tidak
memperdulikan agama dan kebudayaannya, seseorang tersebut dapat menjadi
subjek hukum. Yang dikatakan dengan subjek hukum adalah pembawa hak atau
pendukung hak yaitu manusia dan badan hukum. Yang dimaksud dengan
pembawa hak adalah sesuatu yang mepunyai hak dan kewajiban. Dikatakan
demikian karena manusia dan badan hukum ini mempunyai hak dan kewajiban
untuk melakukan tindakan hukum dan dapat mengadakan persetujuan-
persetujuan. Sebagai subjek hukum, manusia dan badan hukum mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan dan menjalankan kewajiban dan menerima
haknya. Manusia sebagai subjek hukum atau sebagai pembawa hak, berlaku dari
saat ia dilahirkan sampai ia meningal dunia. Tetapi apabila kepentingan hukum
menghendaki, maka pada saat ia masih dalam kandunganpun ia dapat diangap
sebagai pembawa hak. Hal tersebut diatur dalam KUH.Perdata, yaitu dalam
pasal 2 ayat (1) yang mengatakan: Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si
anak menghendakinya (R,Subekti. 1983:25)
Manusia sebagai pembawa hak berbeda dengan badan hukum sebagai
pembawa hak. Perbedaa tersebut antara lain dikarenakan adanya beberapa hak
tertentu yang timbul dari hukum tentang orang dan hukum keluarga yang
melekat pada manusia hanya dapat dimiliki oleh subjek hukum orang saja dan
tidak dapat dimiliki oleh badan hukum. Disamping itu tidak kepada setiap orang
diberikan kewenangan hukum penuh. Hal ini merupakan pengecualian
insidentil , antara lain hak untuk memilih dalam pemilihan umum, hak untuk
melangsungkan perkawinan, hak untuk bekerja. Untuk itu semua oleh undang-
undang ditentukan persyaratan antara lain batas umur tertentu. Batas umur
tertentu ini oleh undang-undang diatur antara lain, ketentuan tentang batas umur
seseorang yang dikatakan telah dewasa, misalnya untuk bekerja adalah usia 18
tahun, untuk seseorang tersebut dapat melangsungkan perkawinan adalah umur
19 tahun untuk anak laki-laki dan 16 tahun untuk wanita/perempuan, sedangkan
batas umur untuk menjadi saksi dalam suatu persidangan adalah umur 15 tahun
dan seseorang tersebut dapat ikut memilih dalam pemilihan umum adalah
seseorang yang telah berumur 17 tahun.
Hak dan kewajiban terjadi dalam saat bersama dan itu diberikan oleh
hukum. Hak dan kewajiban mempunyai kedudukan yang seimbang. Dalam
bahasa Inggris hak dirumuskan dengan istilah “Right”. Istilah “right” digunakan
untuk menyebutkan hak, kewenangan dan benar. Dengan demikian ada kesan
bahwa seolah-olah hak itu lebih mendapat tempat di mata hukum. Artinya ‘hak’
lebih diprioritaskan oleh hukum daripada kewajiban, atau kebenaran lebih
mendapat tempat dimata hukum dari pada kesalahan. Pada hal hak dan
kewajiban atau kebenaran dan kesalahan harus diungkap secara bersama-sama
dalam hukum. Begitu juga perintah dan larangan harus dirumuskan dalam norma
hukum. Hak dan kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Setiap
hubungan hukum mempunyai dua aspek yaitu kekuasaan (bevoegdheid =
kewenangan) di satu pihak dan kewajiban (plicht) di pihak lain. Kekuasaan yang
oleh hukum diberikan kepada orang lain atau badan hukum disebut sebagai hak.
Jadi hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
sosial, memberi kepada subjek hukum hak agar berbuat atau menuntut sesuatu,
dan setiap peraturan hukum tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban.
(Ok.Chairuddin,1991:74)
Dalam hal lain seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban tidak
selalu dapat/mampu melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Dalam hal ini
ada golongan orang-orang tertentu yang dianggap tidak cakap melaksanakan hak
dan kewajibannya. Golongan orang-orang yang tidak cakap atau tidak mampu
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya ini disebut personae miserabile,
antara lain adalah orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan, orang
yang dikatakan masih dibawah/belum cukup umur dan istri yang tunduk pada
BW. Mereka yang dianggap tidak cakap dalam menjalankan sendiri hak dan
kewajibannya tersebut, diwakili oleh wakil yang ditentukan oleh undang-undang
atau ditunjuk oleh hakim, yang selanjutnya akan mengurus kepentingan yang
diwakilinya.
Kecakapan bertindak merupakan syarat terjadinya suatu perikatan. Ini
berarti bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka dapat dibatalkan.
Sebaliknya ketidak cakapan seseorang tidak mempengaruhi timbul/tidaknya
akibat hukum dalam perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan hukum seperti
perjanjian jual beli yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur tanpa
peersetujuan walinya pada umumnya dapat dibatalkan. Pada dasarnya perbuatan
hukum tersebut tetap sah dan mempunyai akibat hukum, tetapi perbuatan hukum
itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntutan wakil atau walinya. (Sudikno
Mertokusumo.1986:54-56).
2. Objek Hukum
Yang dimakud dengan objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna
bagi subjek hukum (manusia dan badan hukum), dan yang dapat menjadi pokok
(objek) sesuatu hubungan hukum, karena sesuatu dapat dikuasai oleh subjek
hukum. Dalam hal ini dapat diambil contoh misalnya, dalam hubungan pinjam
meminjam buku, yang mempunyai buku tesebut mempunyai hak (kekuasaan)
menuntut kembali buku tersebut. Objek hukum dalam suatu hubungan menurut
hukum pidana adalah hukuman (pidana,straf) yang dapat dijatuhkan kepada
pelanggar hukum.
Objek biasa juga disebut dengan benda (zaak). Muchsin membedakan
benda atas beberapa macam, yaitu:
Benda yang dapat diganti (uang) dan benda yang tidak dapat diganti (seekor
kuda).
Benda yang dapat diperdagangkan dan benda yang tidak dapat
diperdagangkan (jalan atau lapangan umum)
Benda yang bergerak (perabot rumah) dan benda yang tidak bergerak
(tanah).
Benda berwujud (lichamelijke zaken = tanah), dan benda yang tidak
berwujud (onlichamelijke zaken = Segala hak).
Dari perbedaan di atas yang dianggap paling penting adalah pembedaan
benda bergerak dan benda tidak bergerak, sebab pembagian ini mempunyai
akibat yang sangat penting dalam hukum.
Yang termasuk dalam katagori benda bergerak dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
Benda yang dapat bergerak sendiri, contoh hewan.
Benda yang dapat dipindahkan, contoh meja,kursi dll.
Benda bergerak karena penetapan undang-undang, contoh hak pakai, sero,
bunga yang dijanjikan.
Sedangkan yang termasuk katagori benda yang tidak bergerakpun dapat
dibedakan menjadi tiga bahagian pula, yaitu:
Benda yang tidak bergerak karena sifatnya, contoh tanah, rumah.
Benda tidak bergerak karena tujuannya, contoh gambar, kaca, alat
percetakan ayng ditempatkan di gudang.
Benda tidak bergerak karena penetapan undang-undang, contohnya, hak
pakai, hak numpang, hak usaha (Muchsin, 2006:26-27)).
DAFTAR PUSTAKA