Anda di halaman 1dari 54

Perpustakaan Nasional: katalog Dalam Terbitan (KTD)

Rizal, Muhammad
Ilmu Hukum/M. Rizal, SH. M. Hum.
cet. 1 Medan, Duta Azhar, 2019
v+100 hlm; 155 x 230 mm.

ISBN 978-979-3588-51-3

1. Ilmu Hukum 1. Judul II. M.Rizal

Ilmu Hukum
Oleh: M. Rizal, SH. M. Hum
Disain Sampul: Zainal Arifin MA

Penerbit Duta Azhar


Jln. Sunggal Besar KM 7,5 Belakang Masjid al-Ikhwan No. 7
Medan Sumut 20128
Email: safir_azhar@yahoo.co.uk
CDMA 061-77154500 GSM. 0813 61 71 41 87

Cetakan Kedua, September 2019


ILMU HUKUM

M.Rizal, SH., M.Hum

Duta Azhar
Medan, 2019
DAFTAR ISI
Kata Pengantar. -v
Daftar Isi. -vii
BAB I : BEBERAPA PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM -1
Masyarakat dan Hukum. -1
Pengertian Dan Unsur-unsur Hukum. -10
Fungsi Dan Tujuan Hukum. -18
Tertib Hukum Dan Sanksi Hukum. -22
Hukum Dan Pengendalian Sosial. -25
BAB II : HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA. -31
Sumber Hukum Ditinjau Dari Beberapa Sudut. -31
Sumber Hukum Materil. -36
Sumber Hukum Formal. -38
BAB III : KAEDAH/NORMA HUKUM DAN
KAEDAH/NORMA LAINNYA -61
Kaedah/Norma Agama. -63
Kaedah/Norma Kesopanan. -66
Kaedah/Norma Kesusilaan. -68
Kaedah/Norma Adat. -70
Kaedah/Norma Hukum. -74
BAB IV : PENGGOLONGAN HUKUM. -76
Penggolongan Hukum Dari Segi Bentuknya. -76
Penggolongan Hukum Dari Segi Sumbernya. -77
Penggolongan Hukum Dari Segi Isinya. -78
Penggolongan Hukum Dari Segi Tempat Berlakunya. -79
Penggolongan Hukum Dari Segi Kekuatan Sanksinya. -80
Penggolongan Hukum Dari Segi Masa Berlakunya. -81
Penggolongan Hukum Dari Segi Fungsinya. -82
Penggolongan Hukum Dari Segi/Berdasarkan Wujudnya. -83
BAB V : SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM. -84
Subjek Hukum. -84
Objek Hukum. - 88
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
BEBERAPA PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM

1. Masyarakat dan Hukum.

Manusia lahir, hidup, berkembang dan meninggal dunia di dalam


masyarakat. Sebagai mahluk sosial manusia tidak dapat terpisah dan dipisahkan
dari masyarakat, manusia sebagai individu (perorangan) mempunyai kehidupan
jiwa yang mandiri. Karena pada diri manusia juga terdapat hasrat untuk
berkumpul dan bergaul dengan sesama manusia lainnya dalam suatu kelompok.
Hasrat tersebut adalah merupakan hasrat untuk bermasyarakat.
Masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi
(Kuntjaraningrat, 1980: 125), yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut
dan adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat
tersebut terbentuk jika ada dua orang atau lebih hidup bersama. Masyarakat
adalah tempat kita melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai input bagi
keluarga, keluarga adalah tempat terprosesnya dan masyarakat adalah tempat
kita melihat hasil (out put) dari proyeksi tersebut.
Dikatakan demikian karena manusia sejak lahir di dunia, telah bergaul
dengan manusia lainnya dalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-
mula ia berhubungan dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya dan belajar
tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan (dilarang).
Semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya
dengan manusia lain di dalam masyarakat tersebut. Lama kelamaan dia mulai
menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya,
merupakan hasil pengalaman masa yang silam. Secara sepintas lalu diapun
mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang
lain disekitarnya, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang
khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya,
manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain
dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya
(Soerjono Soekanto, 1980: 1).
Hasrat untuk hidup bersama adalah merupakan pembawaan manusia,
suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Perhubungan antara
individu dalam hidup bermasyarakat terdapat perbedaan-perbedaan tingkatan
misalnya, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak,
hubungan antar keluarga, hubungan antar suku ataupun hubungan antar bangsa.
Bentuk kehidupan bersama itu juga ada bermacam-macam misalnya
dapat berbentuk persatuan kemasyarakatan (perwiritan, serikat tolong menolong,
dll) desa, kota, negara ataupun perserikatan bangsa-bangsa. Prof. Mahadi
mengatakan: “Manusia pada zaman sekarang benar-benar tenggelam dalam
anyoman ikatan-ikatan. Pertama ia anggota dalam masyarakat negara. Kedua,
anggota masyarakat. Ketiga, anggota masyarakat perkumpulan politik.
Seterusnya, serikat pekerja, koperasi pegawai, perkumpulan sepak bola,
perkumpulan pencak silat dan sebagainya”. (Mahadi, 1956:15)
Perkumpulan yang terdiri dari berbagai golongan tersebut disebabkan
antara lain karena manusia:
Mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain.
Tertarik oleh orang lain yang tertentu.
Memerlukan bantuan orang lain.
Mempunyai hubungan kerja dengan orang lain.
Bermacam-macam sifat dari golongan yang terdapat dalam masyarakat
ini tergantung dari dasar-dasar, maksud dan tujuan hubungan tersebut diadakan
antara lain adalah:
1). Berdasarkan hubungan yang diciptakan para anggotanya.
a).Masyarakat paguyuban (gemeinschaft), yaitu hubungan yang bersifat
kepribadian dan menimbulkan ikatan bathin. Misalnya: rumah tangga,
perkumpulan/serikat tolong menolong dan sebagainya.
b).Masyarakat pelembagaan (gesellschaft), yaitu hubungan yang bertujuan
untuk mencapai keuntungan kebendaan, yang bersifat tidak pribadi.
Misalnya: Firma, PT (Perseroan Terbatas), dan lain sebaginya.
2). Berdasarkan sifat pembentukannya.
a).Masyarakat yang teratur, karena sengaja diatur pembentukannya untuk
tujuan tertentu. Misalnya, perkumpulan sepak bola.
b).Masyarakat tertentu, karena orang yang bersangkutan mempunyai
kepentingan bersama, tetapi terjadi dengan sendirinya. Misalnya para
penonton sepak bola.
c).Masyarakat yang tidak teratur. Misalnya, para pembaca suatu surat
kabar.
3). Berdasarkan hubungan kekeluargaan, rumah tangga, sanak saudara, suku
bangsa, dll.
4). Berdasarkan peri kehidupan/ kebudayaan.
a). Masyarakat primitif dan modern.
b). Masyarakat desa dan masyarakat kota.
c). Masyarakat territorial, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal
dalam suatu daerah.
d). Masyarakat geneologis, yang anggota-anggotanya mempunyai
hubungan pertalian darah (seketurunan).
e).Masyarakat territorial-geneologis, yang anggota-anggotanya
bertempat tinggal dalam suatu daerah dan mereka adalah
seketurunan. (CST. Kansil, 1978:30)
Pergaulan hidup manusia terjadi dari hubungan yang jumlahnya tak
terhingga, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, hubungan yang
langsung, pertalian darah, perkawinan, tempat tinggal, kebangsaan,
perdagangan, pemberian jasa yang beraneka warna (pengangkutan, asuransi,
bank, dan lain sebagainya).
Dalam kehidupan manusia di tengah-tengah masyarakat, tindakan-
tindakan manusia atau kelompok manusia perlu dibatasi. Manusia mempunyai
keinginan atau kebutuhan yang tidak terbatas, mempunyai kebutuhan yang
banyak sekali sehingga dapat dikatakan bahwa manusia ini mempunyai
kebutuhan yang sangat kompleks, mulai dari kebutuhan akan hidup sampai
kepada cara-cara menyelenggarakan kematian. Ada kalanya kebutuhan manusia
yang beraneka ragam itu diperlukan pada saat yang bersamaan, dan ada kalanya
pula kebutuhan tersebut berbeda pada saat yang bersamaan. Misalnya, seseorang
membutuhkan makanan karena merasa lapar, tetapi bagi orang lain ia
membutuhkan buku untuk mencatat pelajaran yang didapatnya. Adakalanya pula
seseorang memiliki sesuatu tetapi pada saat itu ia tidak memerlukannya, atau
setidak-tidaknya bukan keperluan yang utama melinkan ia memerlukan sesuatu
yang tidak dimilikinya, tetapi hal itu ada pada orang lain. Sedangkan orang yang
disebut terakhir ini tidak membutuhkannya, atau sesuatu yang dimilikinya itu
melebihi kebutuhannya. Keadaan yang demikian itu menyebabkan lahirnya
hubungan kemasyarakatan dalam hal pertukaran kebutuhan yang sering disebut
dengan istilah “hubungan ekonomi” (economic relation). Pada akhirnya bentuk
hubungan ekonomi ini terlihat beraneka ragam. Mulai dari pertukaran benda-
benda materil seperti bahan makanan, pakaian sampai kepada pertukaran benda-
benda immateril seperti jasa. (O.K. Chairuddin,1991: 2)
Kebutuhan manusia untuk mengadakan hubungan-hubungan sosial akan
melahirkan unsur-unsur yang mau tidak mau harus ada di dalam menjamin
keserasian dan keharmonisan tersebut. Misalnya unsur ketertiban, sistem sosial
lembaga-lembaga sosial dan pengendalian sosial. (Satjipto Raharjo, 1986: 27)
Masyarakat menyediakan berbagai fasilitas yang dapat memperlancar
usaha untuk mempertahankan kehidupan bersama apabila timbul hubungan
antara sesama anggota masyarakat yang memperlihatkan adanya berbagai
kepentingan yang perlu diselesaikan. Maka fasilitas-fasilitas yang telah
disediakan oleh masyarakat dipergunakan untuk menyelesaikannya, misalnya
untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi di dalam masyarakat.
Masyarakat mengadakan aturan-aturan dan mengembangkan nilai-nilai
yang terdapat di dalam masyarakat itu dalam wadah yang disebut sebagai
lembaga, misalnya lembaga adat, lembaga musyawarah, lembaga peradilan dan
lain sebagainya. Di dalam masyarakat, baik itu masyarakat modern maupun
masyarakat tradisional, mereka selalu membutuhkan adanya kepastian hukum
atau keadilan. Oleh karena kebutuhan tersebut ada dalam masyarakat itu sendiri,
maka masyarakat tersebut akan menciptakan suatu aturan, norma atau kaedah
yang kemudian diakui secara bersama-sama.
Hubungan-hubungan antara anggota masyarakat dilaksanakan menurut
suatu pola tertentu. Pola tersebut terdiri dari serangkaian petunjuk-petunjuk
tentang bagaimana seseorang anggota masyarakat akan berbuat terhadap orang
lain dan sebaliknya. Semakin tinggi tingkat prosentase orang yang berpegang
atau mematuhi pola tersebut maka semakin tertib pula keadaan masyarakatnya.
Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat,
bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk
mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun
kualitasnya. (Satjipto Raharjo, 1996:13)
Kehidupan manusia dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan
dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya
tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Ketertiban yang didukung oleh adanya
tatanan ini pada pengamatan lebih lanjut ternyata terdiri dari berbagai tatanan
yang mempunyai sifat-sifat yang berlainan. Sifat yang berbeda-beda ini
disebabkan oleh karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan
itu mempunyai sifat-sifat yang tidak sama.(Radbruch, 1961: 12-13)
Kaedah-kaedah dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, bermacam ragamnya, dan diantara sekian banyak macam kaedah,
yang merupakan salah satu kaeadah yang penting adalah kaedah hukum
disamping kaedah-kaedah lainnya, seperti kaedah agama, kaedah kesusilaan,
kaedah kesopanan. Kaedah-kaedah dan pola-pola hukum dapat dijumpai pada
setiap masyarakat, baik pada masyarakat modern maupun pada masyarakat
tradisional, walaupun kadang-kadang warga-warga masyarakat yang diaturnya
tidak atau kurang menyadarinya.
Biasanya seorang warga masyarakat baru menyadari akan adanya kaedah-
kaedah hukum serta pola-polanya yang mengatur kehidupannya, apabila ia
melakukan suatu pelanggaran. Namun sebenarnya kaedah-kaedah hukum serta
pola-pola hukum tersebut mengatur hampir seluruh segi kehidupan warga-warga
masyarakat. Hak milik seseorang atas sebidang tanah, hubungan ayah ibu
dengan anak-anaknya, hubungan seseorang dengan kepala kantor dimana dia
bekerja, hubungan antara seorang penjual dengan seorang pembeli, hubungan
antara supir taxi dengan penumpangnya dan seterusnya diatur oleh sistem
hukum. Pendeknya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai
akibat hubungan antar warga-warga masyarakat, untuk sebagian besar diatur
oleh kaedah-kaedah hukum, baik yang tersusun secara sistematis dan dibukukan,
maupun oleh kaedah-kaedah hukum yang tersebar, dan juga oleh pola-pola
perikelakuan yang dikualifisir sebagai hukum. (Soerjono Soekanto, 1980: 2-3)
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa tingkah laku atau tindak
tanduk manusia sebagai individu ataupun sebagai kelompok masyarakat, dibatasi
oleh aturan-aturan, ketentuan-ketentuan dan petunjuk yang terkandung dalam
norma atau kaedah.
Vinogradoff mengatakan, yang menyebabkan timbulnya hukum itu
adalah praktek-praktek yang dijalankan sehari-hari yang dipimpin oleh pikiran
manusia untuk memberi dan menerima dalam suatu hubungan yang wajar
(reasonable intercouse) dan dalam suatu kerja sama sosial. (Vinogradoff, dalam
Satjipto Raharjo, 1986:42)

2. Pengertian dan Unsur-unsur Hukum.


Setiap orang yang mulai mempelajari ilmu hukum akan timbul
pertanyaan dalam hatinya, apakah sebenarnya hukum itu. Pertanyaan ini
biasanya akan dijawab dengan mengemukakan defenisi atau rumusan-rumusan
tertentu sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk memahami hukum
secara tepat diperlukan adanya pengertian yang benar tentang hukum itu sendiri.
Jika hukum kita jadikan sebagai objek pemahaman, maka kita harus mengamati
objek tersebut secara benar. Memahami hukum secara demikian paling tidak kita
harus dapat memberi gambaran awal atau defenisi tentang apa hukum itu
sebenarnya.
Arti kata hukum dapat dilihat dari segi etimologi. Pertama, kata hukum
berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah
“Ahkam” (Louis Ma’luf, 1973:146), yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa
Indonesia menjadi “Hukum”.
Dalam pengertian hukum terkandung pengertian yang bertalian erat dengan
pengertian yang dapat melakukan paksaan. Kedua, kata Recht berasal dari
“Rectum” (Bahasa Latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntunan atau
pemerintahan (R.Soeroso, 2002:24).
Dari kata Recht tersebut timbul istilah “Gerechtigdheid”, ini berasal dari bahasa
Belanda atau “Gerechtigkeit” dalam bahasa Jerman berarti keadilan, sehingga
hukum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian
recht dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu
“kewibawaan dan keadilan”. Ketiga kata Ius, yang berarti hukum, berasal dari
bahasa Latin “Lubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur
dan memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan.
Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iustitia” atau keadilan ((R.Soeroso,
2002:25). Pada zaman dahulu bagi orang Yunani Iustitia adalah dewi keadilan,
yan dilambuangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup
dengan tanan kirinya memegang neraca dan tangan kanannya memegan sebuah
pedang. Adapun lambang tersebut mempunyai arti, dengan tertutupnya kedua
mata wanita tersebut mengandung arti bahwa di dalam mencari keadilan tidak
boleh membedakan sipelaku kejahatan tersebut adalah orang kaya atau miskin,
atau sipelaku tersebut adalah orang yang mempunyai kedudukan yan tingi atau
tidak (rendah). Atau dengan kata lain dalam mencari keadilan tidak boleh
pandan bulu. Dan Neraca, melambangkan keadilan. Serta pedang adalah
lambang dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum.
Jadi dari segi etimologi dapat disimpulkan bahwa Ius yang berarti
hukum bertalian erat dengan keadilan (Iustitia) yang mempunyai tiga unsure,
yaitu: Wibawa, keadilan dan kedamaian.
Disisi lain, pendapat warga masyarakat mengenai hukum, beraneka
ragam adanya. Atas dasar penelitian yang pernah dilakukan, dapat
diidentifikasikan paling sedikit 9 arti hukum, yakni:
Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara
sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala
yang dihadapi.
Hukum sebagai kaedah, yaitu pedoman atau patokan perilaku yang pantas atau
diharapkan.
Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaedah-kaedah
hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk
tertulis. (Arti 3 dan 4 merupakan arti-arti yang lazim diberikan oleh kalangan
hukum)
Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegakan hukum. (yang ditekankan dalam arti “Law
enforcement officer”).
Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi.
Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara
unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan (arti ini lazim diberikan oleh
kalangan politik).
Hukum sebagai perilaku yang ajeng atau teratur, arti ini sering diberikan oleh
para sosiolog yang ilmunya bersifat nomotetis atau teoritis empiris.
Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Pentingnya untuk mengadakan identifikasi terhadap pelbagai arti hukum adalah
untuk mencegah terjadinya kesimpang siuran di dalam melakukan studi terhadap
hukum, maupun di dalam penerapannya. (Soerjono Soekanto, 1981: 260).
Defenisi memang berharga, karena apabila kita telah mengetahui suatu
defenisi, maka pada saat itu juga kita dapat memberikan sekedar pengertian
tentang apa yang dinamakan dengan hukum tersebut. Namun demikian untuk
sampai kepada langkah tersebut, kita akan menjumpai kesulitan-kesulitan yang
disebabkan karena sifat dari hukum itu sendiri. Van Apeldoorn (1976: 15),
mengemukakan, untuk menjawab pertanyaan: Apakah hukum ? Ia menghendaki
agar kita berfikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri
sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”. Tak dapatkah ilmu
pengetahuan hukum menjawabnya ? Dapat: hanya, tak dapat ia memberikan
jawaban yang serba memuaskan, karena ia tak lain dari pada jawaban yang
sepihak, karena ilmu pengetahuan hukum hanya melihat gejala-gejala hukum
belaka. Ia tak melihat “Hukum”, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan
panca indra, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat dilihat, yang
tersembunyi di dalamnya; ia semata-mata melihat hukum sebagai dan sepanjang
ia menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam kebiasaan-kebiasaan
hukum.
Para ahli hukum/pakar-pakar hukum belum mempunyai kesepakatan
mengenai batasan-batasan tentang hukum. Hukum itu sangat luas sekali,
meliputi berbagai segi, sehingga tidak mungkin membuat suatu rumusan atau
defenisi tentang hukum yang meliputi segala-galanya atau semua corak
hubungan yang terdapat dalam masyarakat. Karena hubungan itu ternyata
beraneka ragam dan berbagai corak dan masalahnya. Disamping itu perbedaan
tersebut juga disebabkan karena masing-masing pandangan para ahli hukum
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor waktu, tempat dan faktor sudut
pandang keilmuan dan lain sebagainya.
Di sisi lain sifat abstrak dari hukum tersebut juga mempengaruhi
rumusan atau defenisi hukum tersebut. Sehingga berbagai ahli/pakar hukum
membuat rumusan atau defenisi tentang hukum dari berbagai segi, sesuai dengan
pemahaman, sudut pandang, ruang, waktu dan tempat mereka masing-masing.
Sehingga terdapatlah beberapa rumusan atau defenisi yang berbeda.
Van Apeldoorn mengatakan: “……..Pada umumnya defenisi ada ruginya, yakni
ia tidak dapat mengutarakan keadaan sebenarnya dengan jelas. Keadaan
sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan berganti-ganti, sedangkan defenisi,
karena ia menyatukan segala-galanya dalam satu rumus, harus mengabaikan hal
yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya. (Van Apeldoorn, 1983: 13-14).
Sesuatu yang bersifat atau berbentuk konkrit, akan lebih mudah untuk
membuat defenisi atau rumusannya, yaitu dengan cara belajar mengenalnya
dengan melihat. Tetapi lain halnya dengan hukum yang bersifat abstrak. Hal ini
adalah merupakan salah satu kesulitan untuk menggambarkan hukum secara
tepat. Defenisi atau rumusan tentang hukum adalah penting bagi seseorang yang
ingin mengenal hukum, dengan adanya defenisi tersebut, paling tidak dapat
dijadikan pegangan untuk dapat memahami hukum itu secara lebih luas.
Defenisi dapat dijadikan pegangan awal agar tidak terjadi kekeliruan dalam
pemahaman selanjutnya. Defenisi dapat memberi sedikit gambaran tentang apa
sebenarnya hukum itu, untuk selanjutnya gambaran yang sedikit ini dapat
dijadikan titik tolak bagi pengenalan selanjutnya.
Berikut ini dikemukakan beberapa defenisi yang dikemukakan oleh pakar/ahli
hukum, yaitu:
Immanuel Kant, Hukum ialah: “Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.
(C.S.T. Kansil, 1982: 34)
Utrecht, Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan oleh
karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Pelanggaran petunjuk-petunjuk hidup dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah masyarakat itu. (E.Utrecht, 1957: 83).
Prof. Mahadi, Hukum adalah: Seperangkat kaedah yang mengatur perhubungan
manusia untuk menciptakan keadilan. (Mahadi, 1964: 8).
S.M.Amin,SH. Dalam bukunya “Bertamasya ke alam hukum”, hukum
dirumuskan sebagai berikut: Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang
terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu
adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara”.
Aristoteles, “Particular law is that which each community lays down and aplies
to its own members. Universal law is the law of nature”. (Hukum khusus adalah
hukum yang berlaku pada masyarakat tertentu dan hukum pada anggota
masyarakatnya. Hukum umum adalah hukum alam).
Land. “Hukum itu adalah seperangkat peraturan-peraturan yang harus ditaati
manusia dalam suatu masyarakat.
Hobbes. “Hukum adalah kebebasan untuk melakukan atau memperbuat
sesuatu”.
EM. Meyers, dalam bukunya “De Algemene begrippen van het burgelijk Recht”.
“Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi
pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya”.
Leon Duguit, dalam bukunya Traite de Droit Constitutional mengatakan bahwa
“Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi
bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu” (Yulies Tiena
Masriani, 2004:7).
Amiruddin menyatakan, bagaimanapun hukum adalah sesuatu yang mempunyai
fungsi pengendalian social (Social Control) yaitu membatasi kebebasan
seseorang dengan penekanan atau pengendalian yang datnnya dari Negara atau
masyarakat (Amiruddin A.Wahab, 2004:57).
Dari beberapa perumusan atau defenisi yang dikemukakan oleh beberapa
pakar/ahli hukum tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum itu
mengandung beberapa unsur yaitu:
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Paraturan itu ada yang bersifat memaksa dan ada yang bersifat mengatur.
Sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas dan sanksi itu diberikan
oleh pihak yang berkuasa (OK.Chairuddin,1991: 53).

3. Fungsi Dan Tujuan Hukum


Diketahui bahwa fungsi dari hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia. Selanjutnya Professor Peters mengemukakan, terdapat
tiga perspektif dari fungsi hukum di dalam masyarakat, yaitu:
Perspektif kontrol sosial dari pada hukum.
Tinjauan demikian ini dapat disebut sebagai tinjauan dari sudut pandangan
seorang polisi terhadap hukum (the policemen view of the law).
Perspektif Social Engineering.
Perspektif social engineering ini adalah merupakan tinjauan yang
dipergunakan oleh para pejabat (the official’s perspective of the law) dan
oleh karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh
pejabat/penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini kerapkali disebut juga
the technocrat’s view of the law. Yang dipelajari disini adalah sumber-
sumber kekuasaan apa yang dapat dimobolisasikan dengan menggunakan
hukum sebagai mekanisme.
Perspektif Emansipasi Masyarakat.
Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s
up view of the law) dan dapat pula disebut sebagai perspektif konsumen (the
consumer’s perspective of the law). Dengan perspektif ini ditinjau
kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan hukum sebagai sarana untuk
menampung aspirasi masyarakat. (Ronny Hanitiyo Soemitro, 1982: 10)
Kemudian selanjutnya kita juga menemukan pertanyaan Apakah
sebenarnya yang menjadi tujuan dari hukum tersebut ?
untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilihat beberapa teori, yaitu:
Teori Berdasarkan Etika (etis).
Teori ini dikemukakan oleh Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul
“Rhetorica” mengatakan bahwa hukum itu mempunyai tugas yang suci
yaitu, memberikan kepada setiap orang apa yang ia berhak menerimanya,
hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini tidak mudah
dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, karena tiap-tiap orang tidak
mungkin membuat peraturan hukum sendiri-sendiri, seharusnya peraturan itu
berlaku umum, berlaku untuk setiap anggota masyarakat hukum itu.
Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu:
a. Keadilan Distributif (Justitia Distributiva), sifatnya adalah proporsional.
Yang dikatakan adil adalah, apabila setiap orang mendapat hak atau
jatah secara proporsional.
Yang dimaksudkan secara proporsional ialah sesuai dengan porsinya,
misalnya; gaji menurut pendidikan, kemampuannya, kedudukannya,
keahliannya dan sebagainya. Yang menjadi pertimbangan disini adalah
perimbangan, bukan kesamaan.
b. Keadilan Commutatif (Justitia Commutativa), sifatnya adalah mutlak.
Dalam hal ini yang dikatakan adil adalah apabila setiap orang
diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
Bersifat mutlak maksudnya adalah memperhatikan kesamaan,
memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, misalnya; PPN.
Apabila justitia distributiva itu merupakan urusan pembentukan undang-
undang misalnya : penentuan jumlah pembayaran pajak yang berbeda
antara wajib pajak yang tidak mampu dengan usahawan besar. Maka
justitia commutativa adalah merupakan urusan hakim, misalnya hakim
memperhatikan hubungan perseorangan yang mempunyai kedudukan
prosesuil yang sama tanpa membedakan orang (equality before the law).
(Sudikno Mertokusumo, 1986: 59)
Teori Berdasarkan Utilities (manfaat, keuntungan, kebahagiaan)
Penganut teori ini antara lain adalah Jeremy Bentham, yang mengatakan
bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata yang berfaedah / berguna
saja, atau hukum bertujuan untuk menjamin adanya kebahagiaan yang
sebesar-besarnya pada orang sebanyak-banyaknya, yang mengutamakan
adanya utilitas.
Teori yang mendasarkan kepada Keadilan dan Kemanfaatan (Teori Campuran)
Penganut teori ini antara lain adalah Bellefroit, menyatakan bahwa hukum
itu isinya harus ditentukan menurut dua asas yaitu keadilan dan kefaedahan.
Menurut teori campuran ini, unsur keadilan maupun unsur kemanfaatan
seharusnya diperhatikan dan dipergunakan dalam kegiatan perundang-
undangan.
Keadilan yang ditujukan oleh hukum adalah keadilan distributif, artinya,
harus ada keseimbangan antara kepentingan-kepentingan sehingga tiap-tiap
orang mendapat bahagian sesuai dengan haknya masing-masing.
Dalam keadilan hukum yang demikian tersimpul pengertian bahwa dalam hal-
hal yang sepenuhnya sama, wajib pula ketentuan dan penilaian yang sama, jadi
hal ini merupakan komulatif. Keadilan distributif menimbulkan teori etis. Teori
etis menuju kepada keadilan saja, hal yang demikian sudah tentu tidak riil dan
berat sebelah. Dengan demikian agar hukum tersebut tetap berguna (doelmatige)
maka hukum itu harus sedikit mengorbankan keadilan.
Hukum wajib membawa kefaedahan, hal ini menyebabkan timbulnya
teori utilities. Teori utilities bertujuan untuk memberi kepada setiap orang
kebahagiaan yang sebesar-besarnya.
Teori ini juga sangat berat sebelah dan tidak jarang pula kurang memperhatikan
keadilan, pada hal kebahagiaan tidak mungkin terwujud tanpa adanya keadilan.
Untuk menetapkan peraturan-peraturan hukum itu tidak dapat hanya
berlandaskan kepada satu teori saja (keadilan atau kefaedahan), melainkan harus
kedua-duanya dipakai, sehingga hukum tersebut dapat mengatur tata tertib
dalam masyarakat secara adil dan damai.
Van Kan menyatakan bahwa hukum bertujuan untuk menjaga tiap-tiap
manusia supaya kepentingannya itu tidak diganggu. (Van Kan, 1956: 3)
Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum adalah “Mengatur pergaulan hidup
secara damai” (Van Apeldoorn, 1981: 22).

4. Tertib Hukum dan Sanksi Hukum.

Dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat adanya hubungan


yang erat antara hukum dan tata tertib masyarakat. Hukum adalah sebagai alat
untuk mengatur tata tertib di dalam masyarakat. Hukum sebagai norma memuat
waarde-oordeel yaitu pendapat mengenai apa yang layak dan yang tidak layak,
menurut apa yang diterima umum dan yang seharusnya ditaati.
Semua orang wajib bertindak dan berkelakuan sedemikian rupa sehingga
tata tertib dalam masyarakat tetap dapat dipelihara. Hukum tersebut memuat
berbagai petunjuk-petunjuk hidup yang menentukan sikap orang yang satu
terhadap orang-orang yang lainnya, yang harus ditaati oleh anggota masyarakat.
Agar petunjuk-petunjuk hidup tersebut ditaati oleh anggota masyarakat, maka ia
dilengkapi oleh unsur-unsur yang memaksa (dwangelement), dengan demikian
hukum itu sebenarnya adalah petunjuk-petunjuk hidup yang memaksa agar tata
tertib dalam masyarakat tetap dapat terpelihara., maka hukum yang berlaku di
dalam masyarakat, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis
(hukum adat, kebiasaan) diakui keberlakunya oleh masyarakat tersebut.
Pada masyarakat yang tertib, masyarakatnya terikat oleh norma hukum
diberbagai macam dan bidang kehidupannya sehari-hari. Dalam hal yang
bersifat pribadi misalnya perkawinan, perceraian, jual beli, sewa menyewa dan
lain sebagainya maupun dalam hal yang menyangkut kepentingan umum
misalnya hak dan kewajiban sebagai warga negara dan sebagainya.
Dengan demikian untuk mencapai suatu masyarakat yang tertib dan teratur
selaku masyarakat yang beradab, terhadap anggota-anggota masyarakat ini
dikenakan ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka dapat
dikatakan bahwa masyarakat itu mengenal tata tertib hukum (tertib hukum) yang
dikenal dengan istilah “Rechtsorde”. Apabila orang melanggar tertib hukum ini
(perintah dan larangan) untuk berbuat sesuatu akan dikenakan sanksi. Yang
dimaksud dengan sanksi adalah: “ Akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi
dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan”.
(E.Utrecht, 1957: 9)
Setiap orang yang melanggar peraturan-peraturan hukum dapat dipaksakan
untuk menerima akibat pelanggaran peraturan tersebut. Akibat pelanggaran
norma hukum pemerintah dengan perantaraan alat-alat perlengkapan negara,
antara lain polisi, badan peradilan, turut campur dan bertindak terhadap
pelanggran norma hukum tersebut.
Sanksi terhadap pelanggaran hukum ini dapat dipaksakan terhadap setiap orang
oleh alat-alat perlengkapan negara, sehingga jika sesuatu norma hukum itu
dilanggar, maka setiap orang yang melanggar diancam dengan hukuman oleh
pengadilan. Jadi dalam hal ini apabila hukum dilanggar, maka yang menjalankan
atau menerapkan sanksinya adalah pemerintah.
Bagaimana pula akibat terhadap norma-norma lainnya ? Pelanggaran
terhadap keempat norma lainnya tersebut juga mempunyai sanksi, tetapi
pengesahan (legitimasi) sanksi dari masing-masing norma itu tidak sama atau
berbeda. Legitimasi (pengesahan) kekuasaan hukum ialah pemerintah. Jika
norma adat atau norma agama ataupun norma kesusilaan (yang belum diterima
sebagai hukum) dilanggar, pemerintah tidak akan bertindak, hanya saja jika
pelanggaran itu berbahaya bagi pertahanan tata tertib masyarakat, dan apabila
pelanggaran tersebut menyinggung kepentingan umum dalam masyarakat, maka
dalam hal ini pemerintah akan bertindak terhadap pelanggar. Pelanggaran
terhadap norma sopan santun dal lainnya pada umumnya reaksi dari pihak
pemerintah tidak ada, tetapi reaksi dan hukuman terhadap pelanggar norma ini
dijatuhkan oleh kelompok masyarakatnya yang disebut sebagai sanksi sosial,
misalnya celaan, cemoohan ataupun pengucilan yang kadangkala bisa lebih berat
dari sanksi yang dikenakan oleh pemerintah.

5. Hukum dan Pengendalian Sosial.


Pengendalian sosial merupakan suatu kekuatan untuk mengorganisasikan
tingkah laku sosial budaya di dalam kehidupan bersama. Kadang kala tidak
disadari, bahwa pengendalian sosial membimbing manusia sejak lahir hingga
meninggal dunia. Terjadinya pengendalian sosial tersebut, apabila suatu
kelompok menentukan tingkah laku kelompok lainnya atau apabila suatu
kelompok mengendalikan tingkah laku anggotanya atau mempengaruhi tingkah
laku para pihak lainnya.
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial terjadi dalam tiga taraf yaitu:
Kelompok terhadap kelompok.
Kelompok terhadap anggotanya.
Pribadi terhadap pribadi. (Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari, 1987:2)
Dengan kata lain pengendalian sosial terjadi apabila seseorang diajak atau
dipaksa untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila
hal itu sesuai atau tidak dengan kehendaknya.
Untuk menjaga keutuhan masyarakat, keseimbangan sosial (Stability)
dan kepastian dalam masyarakat, dalam sistem sosial yang merupakan dasar
kesiapan pihak-pihak lain pada keadaan-keadaan tertentu, menerima unsur
ajakan atau paksaan dari pihak lain.
Harus ada standart nilai yang dapat dijadikan masyarakat sebagai pola untuk
bertingkah laku. Masyarakat harus mengikuti pola-pola tersebut, sehingga
mereka yang keluar dari garis atau pola yang telah ditetapkan dianggap sebagai
penyimpangan, yang selanjutnya perlu dikendalikan, agar kembali kepada
bentuk yang dikehendaki. Kimball Young, mengatakan bahwa pengendalian
sosial bertujuan, “………. To bring about confirmaty, solidarity and contianity
of a particular group or society”. (Kimball Young, 1942: 898).
Dalam kehidupan bermasyarakat, di dalamnya terdapat perkembangan
sosial yang sebenarnya merupakan suatu aspek dari perkembangan kehidupan,
secara menyeluruh. Secara konversional perkembangan sosial merupakan proses
yang menyangkut seluruh sistem sosial yang menjadi wadah bagi interaksi antar
pribadi dan kelompok dalam masyarakat. Dengan sendirinya hal itu menyangkut
kehidupan masyarakat secara menyeluruh, baik yang menyangkut segi struktural
maupun prosesualnya. Di dalam perkembangan sosial, senantiasa terdapat hasrat
akan adanya keteraturan-keteraturan di dalam perkembangan tersebut. Oleh
karena itu diperlukan adanya patokan-patokan tertentu sebagai pedoman untuk
menyerasikan hasrat untuk hidup teratur tersebut.
Klasifikasi sederhana dari tujuan-tujuan pengendalian sosial adalah
sebagai berikut:
Tujuan yang bersifat eksploitatif, oleh karena dimotifikasi oleh kepentingan diri,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tujuan yang bersifat regulatif, oleh karena dilandaskan pada kebiasaan atau adat
istiadat.
Tujuan yang bersifat kreatif atau konstruktif, oleh karena diarahkan pada
perobahan sosial dan bermanfaat. (Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari,
1987:10)
Ketiga klasifikasi tersebut di atas memerlukan sarana untuk
pengaturannya. Sarana pengendalian sosial itu dapat berbentuk badan-badan
yang bersifat institusional maupun non institusional, tergantung tujuan yang
hendak dicapai. Salah satu diantaranya yang bersifat institusional adalah hukum,
karena hukum tersebut mempunyai kekuatan dan dapat mempengaruhi tingkah
laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam hal ini diartikan
sebagai suatu alat yang dapat mengontrol perilaku-perilaku manusia.
Salah satu karakteristik hukum, yang membedakannya dari aturan-aturan lain
yang bersifat normatif adalah mekanisme kontrol yang disebut sebagai sanksi.
Fungsi hukum adalah untuk menciptakan aturan-aturan sosial, dan sanksi
tersebut digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang.
Rasa takut terhadap hukum dalam arti yang positif, mungkin hanya
merupakan sebahagian dari alasan orang-orang untuk selalu patuh kepada
aturan-aturan hukum, sebahagian orang tunduk kepada hukum bukannya karena
takut, tetapi disebabkan oleh alasan-alasan lain, dan selain itu tidak cukup hanya
melihat orang yang patuh kepada aturan-aturan hukum yang ditentukan untuk
mengukur sampai sejauh mana fungsi kontrol dari hukum dapat berjalan.
Beberapa pertanyaan timbul tentang hubungan antara hukum dengan norma-
norma sosial lainnya, akibat dari argumentasi ini. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut beberapa ahli hukum cenderung dengan memandang kepada efek tidak
langsung dari sanksi.
Olivecrona mengemukakan: “Disadari atau tidak kita akan selalu mencoba untuk
menghindarkan diri dari segala ketakutan dengan cara menyesuaikan dirii
dengan kondisi-kondisi yang mendominasi kita”. (Olivecrona: 1939: 147)
Dari uraian yang dikemukakan oleh Olivecrona ini, menggambarkan bagaimana
sikap manusia dalam menghadapi kekuatan hukum. Adanya hukum tidak berarti
kita hidup dalam suatu tempat yang dihantui oleh ketakutan akibat adanya
kekuatan hukum. Situasi psikologis semacam ini mungkin merupakan anomali.
Tetapi otak manusia mempunyai daya terima yang kuat dan sangat
menakjubkan, sehingga suatu hal yang tidak mungkin bagi manusia untuk terus
hidup dibawah tekanan ketakutan yang terus menerus.
Di dalam hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat
adanya unsur pervasive socially (penyerapan sosial). Artinya bahwa kepatuhan
dan ketidak patuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa
takut terhadap sanksi dikatakan saling relevan atau memiliki suatu pertalian
yang jelas, apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau dengan
perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (polisi, hakim, jaksa dan
sebagainya) sudah diketahui atau difahami arti dan kegunaannya oleh individu
atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu. Hal ini memang bisa
dimengerti, karena orang mungkin saja bertindak tidak sejalan dengan hukum,
karena dia tidak mengerti akan tujuan dan kegunaan dari hukum tersebut.
(OK.Chairuddin, 1991: 35)
Hukum adalah sesuatu yang mengharuskan atau hukum hanyalah
merupakan suatu kumpulan-kumpulan peraturan yang bersifat normatif. Hal
inilah yang selama ini tertanam di dalam pikiran kita. Anggapan hukum yang
demikian itulah yang pada akhirnya merumitkan dalam mengukur pengaruh/efek
dari hukum terhadap bentuk dan arah perilaku manusia. Tetapi jelas bahwa
hukum memang dapat mempengaruhi perilaku manusia atau kelompok manusia
dalam suatu masyarakat dan hukum dapat menciptakan atau memelihara
keteraturan sosial.

BAB II
HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA

1. Sumber Hukum Ditinjau Dari Beberapa Sudut

Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya


hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antara orang
dalam masyarakat. Salah satu hal yang berhubungan erat dengan kepastian
tersebut adalah masalah darimana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal
atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga yang
semakin formal ( Satjipto Raharjo, 1996:81).
Pada hakekatnya yang dikatakan dengan sumber hukum adalah dari
mana hukum tersebut ditemukan, atau dengan kata lain, dari mana hukum itu
ditemukan. Dari sumber ini pula dapat diketahui, apakah peraturan tersebut
mempunyai kekuatan mengikat atau tidak.
Sumber hukum yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam dua
katagori besar, yaitu sumber-sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat
sosial. Yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri
sehingga secara langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum. Adapun
yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan pengakuan secara
formal oleh hukum, sehinga tidak secara langsung bisa diterima sebagai hukum.
(Satjipto Rahardjo,1996: 81)
Terdapat beberapa arti kata sumber hukum yang sering digunakan antara
lain adalah sebagai berikut:
Sumber hukum yang menunjukkan hukum pada waktu yang lalu yang
merupakan bahan-bahan bagi hukum yan berlaku yang berlaku sekarang,
berarti sumber hukum dalam arti sejarah.
Sumber hukum yang memberikan kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum, berarti sumber hukum dalam arti formal.
Sumber hukum sebagai asas hukum yang menunjukkan dari mana asalnya
hukum antara lain umpamanya dari kehendak Tuhan, akal manusia, juga
jiwa bangsa dan sebagainya.
Sumber hukum yang menimbulkan hukum, hal ini dapat dikatakan juga dengan
sumber hukum dalam arti kemasyarakatan.
Sumber hukum dalam arti filsafat.
Pandangan Theocratis, yang berpendapat bahwa isi hukum berasal dari
Tuhan.
Pandangan hukum kodrat yang rasionalistis, berpendapat bahwa isi
hukum berasal dari akal manusia.
Pandangan mazhab histories, berpendapat bahwa isi hukum berasal dari
kesadaran hukum.
Sumber kekuatan mengikat dari hukum, kekuatan mengikat dari norma hukum
tidak hanya di dasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan orang yang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.
Sumber hukum dalam arti formil, yang dimaksudkan ialah; sumber hukum
adalah peristiwa dari mana timbul hukum yang berlaku (mengikat), dilihat
dari cara terjadinya hukum positif (Hj.Fathul Djannah, 2004:73-75)
Achmad Sanoesi dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum
dan Pengantar Tata Hukum Indonesia” menyimpulkan bahwa sumber hukum
dibagi atas dua bahagian besar yaitu:
1. Sumber-sumber hukum normal yang langsung terdiri dari; undang-undang,
perjanjian antar Negara, dan kebiasaan. Dan sumber-sumber hukum normal
yang tidak langsung adalah, persetujuan (biasa), doktrine dan yurisprodensi.
Artinya tidak langsung, ialah bahwa ia menjadi sumber hukum itu atas
pengakuan undang-undang atau karena dengan melalui kebiasaan.
2. Sumber-sumber hukum abnormal terdiri dari; proklamasi, revolusi, coup
d’etat dan takluknya sesuatu negara kepada negara lain (Achmad
Sanoesi,1977:34).
Menanggapi persoalan masalah tentang sumber hukum ini, menurut Van
Apeldoorn sangat bergantung kepada dari sudut mana kita melihatnya. Sehingga
pembagian sumber hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu:
1. Sumber hukum dalam arti sejarah.
Ahli sejarah memakai perkataan sumber hukum dalam dua arti yaitu:
Dalam arti sumber pengenalan hukum, yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi
dan sebagainya. Dari mana kita dapat belajar mengenal hukum sesuatu bangsa
pada sesuatu waktu. Misalnya, undang-undang, keputusan-keputusan hakim,
piagam-piagam yang memuat perbuatan hukum, Tulisan-tulisan ahli hukum,
demikian juga tulisan-tulisan yang tidak bersifat yuridis sepanjang memuat
pemberitahuan mengenai lembaga-lembaga hukum.
Dalam arti sumber-sumber dari mana pembentukan undang-undang memperoleh
bahan dalam membentuk undang-undang, juga dalam arti sistem-sistem hukum
dan dari mana tumbuhnya hukum positif dalam suatu negara.
2. Sumber hukum dalam arti sosiologis.
Menurut ahli sosiologis, yang dimaksud dengan sumber hukum disini adalah
faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-
keadaan/kondisi ekonomi, pandangan agama, saat-saat psikologis.
Penyelidikan tentang factor-faktor tersebutmeminta kerja sama dari berbagai
ilmu pengetahuan , lebih-lebih kerja sama antara sejarah (sejarah hukum,
agama dan ekonomi), psikologi dan ilmu filsafat.
3. Sumber hukum dalam arti filsafat.
Dalam filsafat hukum, perkataan sumber hukum, dibagi atas 2 arti yaitu :
Sebagai sumber untuk isi hukum, hal ini berkaitan dengan apakah isi hukum
tersebut tepat sebagaimana mestinya ?, atau apakah yang dipakai sebagai ukuran
untuk menguji hukum agar dapat diketahui apakah ia “hukum yang baik” ?.
Sebagai sumber dari isi hukum disini, harus disebutkan pula tentang
kesadaran hukum suatu bangsa, atau dengan perkataan lain pandangan-
pandangan yang hidup dalam masyarakat mengenai apa yang disebut
dengan hukum. Pandangan-pandangan ini tumbuh atas pengaruh-
pengaruh berbagai faktor, misalnya faktor agama, faktor ekonomi, faktor
politik dsb. Oleh karena pandangan-pandangan tersebut berubah-ubah,
maka hukumpun berubah juga. Konsekuensinya ialah, bahwa tidaklah
terdapat ukuran yang berlaku objektif untuk isi hukum, yakni dengan
alasan ilmiah dapat diterima oleh setiap orang. Walaupun secara
subjektif, yaitu untuk diri sendiri, kita dapat mengambil suatu ukuran, itu
sama sekali tidak berarti bahwa ukuran tersebut berlaku secara juga
secara objektif atau secara ilmiah.
Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum. Hal ini berhubungan
dengan pertanyaan, mengapa kita harus taat/mengikuti hukum ?
4. Sumber hukum dalam arti formil.
Bagi ahli hukum praktis, sumber hukum adalah peristiwa-peristiwa dari mana
timbul hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk). Hal ini
disebut sebagai sumber hukum, karena kita semata-mata mengingat cara dan
bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak menanyakan asal usul
isi peraturan-peraturan hukum (Van Apeldoorn, 1983: 88-89).

2. Sumber Hukum Materil dan Sumber Hukum Formil

Pada hakekatnya sumber-sumber hukum dapat dibedakan atas dua


macam, yaitu:
1. Sumber hukum materil.
Yang dimaksud dengan sumber hukum materil ialah tempat dari mana
materi atau isi hukum itu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan
faktor yang membantu pembentukan hukum. Untuk meneliti asal usul
hukum yaitu sumber hukum materil, para sarjana atau ahli/pakar hukum
harus terjun atau turun kelapangan sosiologi, filsafat, sejarah ataupun
antropologi budaya dan sebagainya. Disini yang diteliti adalah “perasaan
hukum” seseorang ataupun masyarakat, baik berupa publik opinion,
pendapat-pendapat kolektif yang merupakan resultante dari perasaan hukum
yang sama dari individu-individu masyarakat tersebut.
Perasaan hukum ini menilai setiap peristiwa (feit) yang timbul dalam
kehidupan masyarakat, dan dari penilaian tersebut lahirlah materi-materi
petunjuk hidup yang berupa norma-norma (kaedah). Dalam taraf ini
peristiwa-peristiwa sosial tersebut baru merupakan “bayangan” perasaan
hukum yang masih tersimpan dalam pemikiran atau materi hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum). Jika benih hukum tersebut telah matang,
yaitu sebagai suatu kaedah/norma yang harus ditaati bersama oleh
masyarakat, bahkan juga oleh penentangnya, maka tibalah saatnya hukum
yang dicita-citakan tersebut untuk menjelma sebagai norma hukum positif,
yang biasanya pemerintah juga turut campur tangan dan aktif untuk
mempertahankannya. Keaktifan dan campur tangan pemerintah ini akhirnya
dapat meningkatkan norma/kaedah tersebut ketaraf pengundangan secara
resmi atau dikodifikasikan (ius constitutum).
Utrecht merumuskan, sumber-sumber hukum materil, yaitu perasaan hukum
(keyakinan hukum) indiidu dan pendapat umum (public opinion), yang
menjadi determinanten van de rechtsvorming, menetukan isi atau materi dari
hukum (M.Solly Lubis, 1978:38).
Ada beberapa faktor yang dianggap dapat menentukan isi hukum. Di antara
beberapa faktor yang dapat menentukan isi hukum, ada dua faktor yang
dianggap penting yaitu, faktor idiil dan faktor riil.
Faktor idiil adalah beberapa patokan yang tetap tentang keadilan yang harus
ditaati oleh para pembentuk Undang-undang atau para pembentuk hukum
lainnya dalam melaksanakan tugasnya.
Sedangkan faktor riil adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam
masyarakat dan merupakan petunjuk hidup bagi masyarakat yang
bersangkutan. Yang termasuk dalam kategori faktor riil ini adalah:
Struktur ekonomi dan kebutuhan pasar.
Adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi
pola tingkah laku yang tetap.
Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
Berbagai gejala dalam masyarakat. (Muchsin,2006:62)
2. Sumber Hukum Formal.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang memungkinkan
pemerintah untuk mempertahankan (memperoleh kekuatan) kaedah tersebut
sebagai suatu kaedah hukum, atau dengan kata lain setempel atau cap yang
menjadikan kaedah yang bersangkutan secara formil berlaku sebagai suatu
peraturan hukum. Yang dimaksud disini adalah sumber-sumber hukum yang
telah dirumuskan peraturannya kedalam suatu bentuk berdasarkan apa
peraturan tersebut berlaku dan ditaati oleh setiap orang, mengikat hakim
serta para pejabat hukum. Atau dapat juga dikatakan sebagai sumber-sumber
berlakunya hukum karena ia adalah sebagai causa efficiens.
Secara umum sumber hukum formal dapat dibedakan menjadi lima bahagian
yaitu:
Undang-undang (Statue).
Kebiasaan (Custom).
Traktat (Treaty).
Yurisprodensi (Case Law, Judge Made Law).
Doktrin (Doctrine).
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa
negara (Fathul Djannah,2004:79).
Undang-undang dapat dibagi atas dua bahagian besar yaitu:
a. Undang-undang dalam arti materil. Dalam arti materil yang dinamakan
undang-undang adalah merupakan keputusan atau ketetapan penguasa,
yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap
orang secara umum.
b. Undang-undang dalam arti formil yaitu: keputusan penguasa yang dilihat
dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi undang-
undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan undang-undang karena cara pembentukannya.
(Sudikno Mertokusumo, 1986:65).
Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
Bersifat Universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yan
akan datang, yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia
tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu
saja.
Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yan
memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali (Satjipto
Raharjo,1996:83).
Undang-undang tersebut bersifat umum karena mengikat setiap orang
dan ia adalah merupakan produk lembaga legislatif. Di dalam perundang-
undangan dikenal apa yang dinamakan dengan tata berjenjang (Hierarchie)
perundang-undangan. Di Indonesia tata berjenjang (Hierarchie) tersebut diatur
dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, adalah sebagai berikut:
Undang-undang Dasar. Undang-undang Dasar ini adalah peraturan perundang-
undangan yang tertinggi dan memuat dasar-dasar hukum yang pokok, yang
pelaksanaannya dengan ketetapan MPR, undang-undang atau keputusan
presiden.
Ketetatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP.MPR). Bentuk Ketetapan .
MPR ini ada dua macam:
Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang
legislative yang dilaksanakan dengan undang-undang.
Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang
eksekutif yang dilaksanakan dengan keputusan presiden.
Undang-undang. Undang-undang ini dibuat untuk melaksanakan UUD atau TAP
MPR. Dalam kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan-peraturan sebagai penganti undang-undang. Peraturan ini harus
mendapat persetujuan DPR.
Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan
undang-undang.
Keputusan Presiden (Kepres). Ini merupakan keputusan yang bersifat khusus
(Einmalig) untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP MPR dalam
bidang eksekutif atau peraturan pemerintah.
Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, yaitu peraturan-peraturan menteri dan
instruksi menteri.
Dalam tata berjenjang (Hierarchie) peraturan-peraturan tersebut dikenal
suatu asas yang berbunyi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan
melumpuhkan peraturan-peraturan yang lebih rendah (lex superior derogate legi
inferiori), maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang akan
didahulukan, apabila terdapat pertentangan atau konflik terhadap suatu peraturan
yang lebh tinggi dengan peraturan-peraturan yang lebih rendah, kalau peraturan-
peraturan tersebut mengatur perihal atau materi yang sama. Dan asas lex
specialis derogat legi generali, ini adalah asas yang menyatakan bahwa, apabila
terjadi/terdapat konflik atau pertentangan antara peraturan-peraturan yang
bersifat umum dengan peraturan yang bersifat khusus apabila dalam hal ini
peraturan-peraturan tersebut mengatur hal yang sama, maka peraturan yang
bersifat khususlah yang harus didahulukan (Sudikno Mertokusumo,1986:71).
Tetapi TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, tentang tata urutan peraturan
tersebut tidak lagi dapat dipertahankan dan perlu segera diadakan
penyempurnaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan
bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Pada tanggal 19 oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
mengadakan sidang umum yang mana dalam Rapat Paripurna ke-12 tersebut,
Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengadakan perubahan pertama atas
Undang-undang Dasar 1945, yang kemudian disusul dengan perubahan yang
kedua terhadap Undang-undang Dasar 1945 dalam Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2000. Kemudian pada tahun 2001 dalam Sidang
Tahunannya Majelis Permusyawaratan Rakyat juga mengubah Undang-undang
Dasar 1945 untuk yang ketiga kalinya, yang kemudian Undang-undang Dasar
1945 tersebut, diubah kembali untuk yang ke empat kalinya dalam Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2002.
Perihal tentang peraturan-peraturan yang masih berlaku, masih tetap
diberlakukan selama belum diadakannya peraturan-peraturan yang baru yang
akan diberlakukan (Ius Constituendum). Hal ini tercantum dalam Pasal II Aturan
Peralihan.
Mengenai tata urut peraturan perundang-undangan dalam rangka
pembaharuan sistem peraturan perundang-undangan di era reformasi dewasa ini,
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000, telah
menetapkan Ketetapan No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan, dalam pasal 2 ditentukan bahwa tata
urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
Undang-undang Dasar 1945.
Keputusan MPR-RI.
Undang-undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden.
Peraturan Daerah.
Tetapi ketujuh tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut
ternyata dapat dikatakan kurang sempurna dan mengandung beberapa
kelemahan. Kekurang sempurnaan dan kelemahan-kelemahan tersebut dapat
dikatakan sebagai berikut:
Karena naskah perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya
penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan ‘….. dan
Perubahan UUD’.
Penyebutan Perpu pada nomor urut keempat di bawah undang-undang dapat
menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan Perpu itu berada dibawah
undang-undang, padahal kedudukan hukum keduanya adalah sederajat.
Karena itu seharusnya, keduanya ditempatkan pada tempat yang sama (pada
urutan ketiga, yaitu Undang-undang dan Perpu), seperti dalam TAP MPR
No.XX/MPRS/1966.
Penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama ini dipakai
mengandung kelemahan, karena tidak membedakan secara tegas antara
keputusan yang mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat
administratif (beschikking). Seharusnya momentum reformasi ini digunakan
sebaik-baiknya untuk menata kembali peristilahan yang baik dan benar,
yaitu untuk keputusan yang mengandung aturan dan pengaturan, dokumen
hukumnya sebaiknya dinamakan per-ATUR-an, bukan keputusan.
Hanya pertimbangan bahwa MPR cukup mengatur mengenai tata urutan
peraturan sampai pada tingkat peraturan yang ditetapkan oleh presiden,
maka bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut.
Padahal, di bawahnya masih disebut Peraturan Daerah yang tingkatnya juga
dibawah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Peraturan Menteri itu
sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda, di
samping produk peraturan tingkat Menteri itu dalam prakteknya banyak
sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan
memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.
Selanjutnya penegasan tentang tata urutan perundang-undangan terdapat
pada Undang-undang No.10 tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang dapat dilihat pada Pasal 7 Ayat (1), Undang-undang
No.10/2004, tentang tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan
pedoman dalam pembuatan aturan hukum. Jenis atau hierarki peraturan
perundang-undangan menurut pasal 7 Ayat (1) Undang-undang No.10 Tahun
2004, adalah sebagai berikut:
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Peraturan Pemerintah.
Peraturan Presiden.
Peraturan Daerah.
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR
dengan persetujuan bersama presiden.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, adalah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa.
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Peraturan presiden adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
presiden.
Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah) dengan persetujuan bersama kepala
daerah.
Peraturan desa/peraturan yang setingkat adalah peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh badan perwakilan desa atas nama lain bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya (Muchsin,2006:76)
Sumber hukum formal yang kedua ialah kebiasaan. Kebiasaan adalah
perbuatan manusia yang tetap dilakukan secara berulang-ulang dalam hal yang
sama. Kebiasaan ini adalah sumber hukum yang digali sebahagian dari hukumdi
luar undang-undang, dan merupakan tempat dimana kita dapat menemukan
hukum atau dengan kata lain, kebiasaan ini adalah sumber hukum yang paling
tua. Karena apabila suatu kebiasaan yang terdapat di dalam suatu masyarakat
tersebut telah diakui atau telah dilakukan secara berulang-ulang, maka tindakan
yang berlawanan dengan kebiasaan ini akan dirasa sebagai tindakan yang
menyinggung perasaan hukum. Sehingga atas pelanggaran tersebut dikenakan
sanksi oleh masyarakat yang telah membuat kebiasaan tersebut menjadi
kebiasaan di dalam masyarakat tertentu. Kebiasaan ini adalah norma-norma
yang bersumber dari tingkah laku suatu masyarakat tertentu yang harus dipatuhi
oleh masyarakat tersebut. Dan masyarakat tersebut berkeyakinan bahwa
kebiasaan tersebut adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
masyarakat tersebut.
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap
dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Perilaku yang tetap adalah
merupakan perilaku manusia yang diulang. Perilaku yang diulang ini
mempunyai kekuatan normatif atau mempunyai kekuatan yang mengikat, karena
menimbulkan keyakinan atau kesadaran, bahwa hal itu memang patut dilakukan
dan menimbulkan anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya.
Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebiasaan sehingga dapat
diterima dalam masyarakat yaitu, apabila kebiasaan tersebut layak dan masuk
akal atau pantas. Hal ini berarti bahwa otoritas kebiasaan tersebut adalah tidak
mutlak melainkan kondisional, bergantung dari kesesuaiannya pada ukuran
keadilan dan kemanfaatan umum. Kemudian adanya pengakuan akan kebenaran.
Hal ini berarti bahwa kebiasaan itu hendaknya diakui secara terbuka dalam
masyarakat, tanpa mendasarkan pada bantuan kekuatan di belakangnya dan
tanpa persetujuan dari dan dikehendaki oleh mereka yang kepentingannya
dikenai oleh praktek dari kebiasaan tersebut. Persyaratan ini tercermin dalam
bentuk norma yan oleh pemakainya harus nec vi nec clam nec precaire, tidak
dengan kekuatan, tidak secara diam diam-diam, juga tidak karena dikehendaki.
Dan mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya.
Kebiasaan bukanlah praktek yang baru tumbuh kemarin dulu atau beberapa
tahun yang lalu, melainkan yang telah menjadi mapan karena dibentuk oleh
waktu yang sangat panjang ( Satjipto Raharjo,1996:111).
Kebiasaan dapat menjadi hukum yaitu hukum kebiasaan. Hukum
kebiasaan ini timbul/terbentuk, apabila kebiasaan tersebut merupakan suatu
tindakan menurut garis tingkah laku yang tetap (selalu terus menerus dilakukan
dan diterima sebagai suatu kemestian). Selain itu kebiasaan tersebut pada
mereka yang mengikutinya, secara umum menimbulkan kesadaran bahwa
mereka sudah semestinya berbuat begitu. Jadi hal ini berdasarkan pada
keyakinan bahwa mereka memenuhi kewajiban hukum (Van
Apeldoorn,1983:124).
Prof.DR.Sudikno Mertokusumo,SH., menyatakan bahwa ada beberapa
syarat agar kebiasaan tersebut dapat menjadi hukum kebiasaan, yaitu:
Syarat materiil : Adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau
diulang, yaitu suatu rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk
beberapa waktu lamanya. Harus dapat ditunjukkan adanya perbuatan yang
berlangsung lama, atau harus ada yang dinamakan longat et inveterata
consuetud).
Syarat intelektual : Kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan umum
(opinio necessitatis), bahwa perbuatan tersebut adalah merupakan kewajiban
hukum. Keyakinan itu tidak hanya merupakan keyakinan bahwa selalu
berlaku demikian, tetapi keyakinan bahwa memang seharusnya demikian
dan patut dilakukan secara objektif.
Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.
Kebiasaan tersebut harus dapat dipertahankan secara juridis (Opinio
necessitaties seu iuris iuridisch afdwingbaar).
Hukum kebiasaan ini tidak tertulis dan bukan produk dari badan
legislatif, sehingga hukum kebiasaan ini tidak ditaati oleh seluruh atau semua
masyarakat yang terdapat didalam suatu negara. Hukum kebiasaan ini hanya
berlaku atau ditaati oleh kelompok-kelompok suatu masyarakat tertentu.
Yang termasuk dalam hukum kebiasaan ini adalah hukum adat. Hukum
adat adalah terjemahan dari “adatrecht“ yaitu keseluruhan aturan tingkah laku
positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dan dilain pihak dalam keadaan
tidak dikodifikasikan. Singkatnya hukum adat adalah adat kebiasaan yang
mempunyai akibat hukum. Pertama kalinya hukum adat ini diperkenalkan oleh
Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” pada tahun 1893 dan kemudian
digunakan oleh Van Vollenhoven yang dikenal sebagai penemu hukum adat
dalam bukunya “Het Adatrecht van Nederlands Idie” (Sudikno
Mertokusumo,1986:84-86).
Terdapat beberapa perbedaan antara hukum adat dan hukum kebiasaan antara
lain adalah:
Hukum adat asal usulnya bersifat agak sakral. Hukum berasal dari kehendak
nenek moyang, agama dan tradisi rakyat, seperti yang dipertahankan dalam
keputusan para penguasa adat. Sedang hukum kebiasaan dipertahankan oleh
para penguasa yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-
undangan. Bagian besarnya berasal dari kontak antara timur dan barat.
Tetapi hukum kebiasaan ini dapat diresepsi dalam hukum Indonesia nasional
sebagai sesuatu yang asli.
Hukum adat bahagian besarnya terdiri atas kaedah-kaedah yang tidak
tertulis, tetapi ada juga hukum adat yang tertulis (misalnya, yang ada dalam
piagam-piagam raja, kitab-kitab hukum adat). Sedangkan hukum kebiasaan
semuanya terdiri atas kaedah yang tidak tertulis (M.Solly Lbs,1978:60).
Sebagai sumber hukum formal yang ke tiga adalah traktat (treaty).
Traktat (Treaty) ini adalah perjanjian atau persetujuan yang dilakukan atau
diadakan oleh dua negara atau lebih. Dikatakan bahwa traktat (Treaty) ini
sebagai salah satu sumber hukum formal, karena dalam pelaksanaannya harus
memenuhi suatu persyaratan formal/prosedur tertentu untuk dapat dinamakan
sebagai suatu perjanjian atau persetujuan internasional.
Yang dimaksud dengan prosedur tertentu ialah bahwa dalam mengadakan
perjanjian tersebut hendaknya melalui beberapa fase, agar perjanjian tersebut
berlaku dan mengikat rakyat dari negara-negara yang membuatnya. Yaitu:
Dibuat penetapan konsep perjanjian (sluiting) oleh wakil (utusan) negara-
negara yang bersangkutan (disinilah isi dari perjanjian tersebut ditetapkan).
Atas konsep tersebut dimintakan dan diberikan persetujuan kepada/oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, perjanjian tersebut
disahkan oleh Presiden (ratifikasi). Akibat hukum dari ratifikasi ini, traktat
tersebut berlaku diwilayah negara itu (berlakulah perjanjian tersebut).
Tukar menukar piagam perjanjian yang sudah diratifikasi tersebut, dan
diundangkan dalam lembaran-lembaran negara, tetapi fungsi pengundangan
di sini berlainan dengan pengundangan undang-undang (Achmad
Sanusi,1977:44).
Perjanjian antar negara ini ada beberapa macam yaitu:
Perjanjian bilateral, yaitu: Perjanjian yang diadakan oleh dua negara saja.
(berasal dari bahasa Latin yang berarti Bi = dua, dan latus = pihak)
Misalnya, perjanjian antar negara (perjanjian internasional) seperti,
perjanjian yang diadakan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah
Belanda, tentang penanaman modal asing atau bantuan modal asing untuk
Indonesia.
Perjanjian multilateral yaitu, apabila perjanjian tersebut dilakukan/diadakan
oleh lebih dari dua negara (multus = banyak, bahasa Latin).
Perjanjian kolektif atau perjanjian terbuka yaitu, apabila suatu perjanjian
bilateral membuka kesempatan bagi negara-negara lain untuk turut sebagai
peserta. Misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (Piagam PBB), yang
diadakan di San Fransisco pada tahun 1945. (M.Solly Lubis, 1978:63).
Mengenai pembuatan perjanjian Internasional ini, dibedakan antara
treties, yaitu perjanjian terpenting dan agreement, yaitu perjanjian lain. Menurut
surat Presiden No.2826/HK/60, yang dimaksud dengan perjanjian menurut pasal
11 UUD hanyalah perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-
soal politik dan yang lazim dikehendaki berbentuk traktat (treaty). Apabila tidak
dibatasi demikian maka pemerintah tidak mempunyai cukup keleluasaan
bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya, karena
untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai hal-hal yang kecil harus diperoleh
persetujuan lebih dulu dari DPR.
Treaty adalah perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk
mendapat persetujuan sebelum disahkan (diratifisir) oleh Presiden ialah
perjanjian-perjanjian yang lazim berbentuk treaty yang mengandung materi
sebagai berikut:
Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar
negeri, seperti perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, perjanjian
tentang perubahan wilayah.
Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa yang mempengaruhi haluan politik luar
negeri (perjanjian kerjasama ekonomi dan tehnis atau pinjaman uang).
Soal-soal yang menurut UUD atau sistem perundang-undangan kita harus
diatur dengan undang-undang (kewarganegaraan, soal kehakiman).
Agreement adalah perjanjian yang mengandung materi yang lain, yang
lazim berbentuk agreement akan disampaikan kepada DPR hanya untuk
diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Agreement ini diberi bentuk Keputusan
Presiden. Bentuk Keputusan Presiden ini mulai dikenal sejak adanya surat
Presiden No. 2262/HK/59, 2775/HK/59 dan 3639/HK/59 dan luput dari
peninjauan berdasarkan TAP MPRS No.XIX/MPRS/1966 dan
No.XXXIX/MPRS/1968.
Surat Menteri Sekretaris Negara tanggal 23 Agustus 1975
No.202/M/Sesneg/8/75, kepada Ketua DPR perihal ratifikasi konvensi dan
perjanjian dinyatakan bahwa Surat Presiden No.2826/HK/60, itulah yang
merupakan dasar hukum yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 11 UUD.
(Sudikno Mertokusumo, 1986:88).
Sebagai sumber hukum formal yang ke empat adalah Yurisprodensi
(Case Law, Judge Made Law). Pada umumnya yang dimaksud dengan
yurisprodensi ialah Keputusan Hakim. Jika suatu keputusan dari seorang hakim
menjadi dasar bagi keputusan hakim yang lain, maka keputusan dari hakim yang
pertama tersebut menjadi sumber hukum.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa yurisprodensi berarti peradilan
pada umumya (judicature, rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal
konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri
sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun
dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa
(Sudikno Mertokusumo, 1983:179). Yurisprodensi atau putusan
hakim/pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisikan kaedah atau
peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang terhukum saja. Jadi putusan
pengadilan ini hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat
setiap orang secara umum seperti halnya undang-undang.
Putusan hakim adalah hukum (Judge Made Law). Sebagaimana hukum
pada umunya ia harus ditaati dan mempunyai kekuatan mengikat, maka putusan
hakimpun mempunyai kekuatan mengikat, terutama mengikat para pihak yang
berperkara. Putusan hakim/pengadilan mengikat para pihak yang bersangkutan
(Pasal 1917 BW), dalam arti bahwa putusan hakim itu harus dianggap benar
sampai dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, sekalipun putusannya itu
secara materiil tidak benar (res judikata pro veritate habetur). Dengan perkataan
lain putusan hakim itu harus diangap benar. (Sudikno Mertokusumo, 1984:4)
Hakim dalam pengambilan keputusannya harus mengikuti
perkembangan hukum/undang-undang, zaman dan masyarakat. Tetapi seringkali
peristiwanya telah berkembang jauh, sedangkan undang-undang belum juga
berubah, sehingga ada ungkapan yang berbunyi bahwa hukum sering
ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de feiten aan). Hal ini
disebabkan oleh karena perubahan terhadap undang-undang tersebut harus
melalui prosedur yang mengaturnya, sehingga perubahan terhadap undang-
undang tersebut tidak dapat dilakukan setiap saat untuk dapat menyesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga hakim harus membuat putusannya
walaupun di dalam undang-undang hal tersebut tidak diatur. Pasal 22 AB
(Algemene Bepalingen) mengatakan bahwa, Bilamana seorang hakim menolak
menyelesaikan sesuatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia
dapat dituntut karena penolakan mengadili.
Suatu putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan (Pasal 1917 BW), dan tidak mengikat hakim lain yang akan
memutuskan perkara atau peristiwa yang serupa, sehingga seorang hakim tidak
perlu mengikuti putusan-putusan hakim yang terdahulu mengenai perkara-
perkara yang sejenis. Oleh karena itu di Indonesia pada asasnya hakim tidak
terikat pada preseden atau putusan-putusan hakim terdahulu mengenai perkara
atau persoalan hukum yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Akan
tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat pada putusan-putusan
pengadilan yang lebih tinggi seperti putusan pengadilan tinggi atau Mahkamah
Agung mengenai perkara yang serupa/sama. Hal ini dilakukan adalah demi
kesatuan dan adanya kepastian hukum yang menuntut keseragaman putusan
terhadap suatu perkara yang serupa (kepastian hukum mengharapkan agar
perkara yang serupa tidak diputuskan berbeda). Jadi putusan hakim tersebut
bersifat normatif, yang berarti bahwa putusan hakim itu tidak hanya berlaku bagi
peristiwa bagi peristiwa tertentu saja, tetapi juga berlaku bagi peristiwa-
peristiwa lainnya yang serupa yang terjadi kemudian.
Pada umumnya dikenal adanya dua sistem peradilan yaitu:
Sistem Kontinental. Pada sistem kontinental ini, hakim tidak terikat pada
putusan-putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan oleh pengadilan-
pengadilan lain mengenai perkara yang serupa. Di sini hakim terikat oleh
undang-undang, dan berfikir secara deduktif yaitu dari undang-undang yang
bersifat umum kepada suatu peristiwa yang bersifat khusus. Disini putusan
pengadilan tersebut bersifat persuasive precedent
Sistem Anglo-Saxon. Dalam sistem Anglo-Saxon ini, hakim terikat pada
preseden atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan
diputuskan. Di sini hakim harus berpedoman pada putusan-putusan
pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa. Dalam
sistem Anglo Saxon ini putusan pengadilan tersebut bersifat binding
precedent (Sudikno Mertokusumo,1986:93)
Ada tiga alasan mengapa seorang hakim mengikuti keputusan hakim
yang lain, yaitu:
Keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan, terutama bila keputusan itu
dibuat oleh Mahkamah Agung atau pengadilan tinggi, karena alasan
psikologis maka seorang hakim akan mengikuti keputusan hakim yang lain
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Karena alasan praktis.
Sependapat, hakim mengikuti keputusan hakim lain karena ia
sependapat/menyetujui keputusan hakim lain tersebut (Muchsin,2006:64).
Yang termasuk dalam sumber hukum formal yang ke lima adalah
Doktrin (Doctrine). Yang dimaksud dengan Doktrin (Doctrine) adalah pendapat
para ahli atau sarjana hukum. Pendapat para sarjana hukum yang merupakan
doktrin adalah sumber hukum yaitu dimana hakim dapat menemukan hukumnya.
Dalam hal yurisprodensi atau putusan hakim, pendapat ahli hukum atau
sarjana hukum ternama juga mempunyai pengaruh terhadap hakim dalam
mengambil keputusannya. Hal ini sering terlihat bahwa hakim sering
berpegang/mengutip kepada pendapat seseorang atau beberapa sarjana hukum
ternama mengenai soal yang harus diselesaikannya, sehingga dapat dikatakan
bahwa pendapat ahli/sarjana hukum juga dapat menjadi sumber hukum melalui
yurisprodensi (Siti Soetami,2001:28). Dengan alasan apa, maka pengadilan
mempergunakan doktrin sebagai dasar-dasar pernyataan hukum, dapat
diterangkan, pertama karena ini berhubung dengan pasal 22 A.B. yang
memerintahkan hakim dalam hal bagaimanapun juga harus memberi putusannya,
dan disamping itu tidak ada larangan untuk menerima baik kewibawaan ilmu
pengetahuan. Kedua, karena pertimbangan bahwa kadang-kadang hakim merasa
tidak sampai pengetahuannya, sehingga perlu mendasarkan putusannya pada
pendapat ahli-ahli yang dianggapnya lebih mengetahui. Di Indonesia dalam
hukum Islam juga banyak dijumpai ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang
digunakan oleh hakim pada Pengadilan Agama dalam putusan-putusannya
(Achmad Sanusi,1977:48).
Di dalam sejarah pernah dikenal adanya pendapat yang menyatakan
bahwa orang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana
(Communis opinion doctorum). Hal ini berarti bahwa Communis opinion
doctorum (pendapat umum para sarjana) ini mempunyai kekuatan mengikat. Di
samping itu juga dikenal dengan apa yang disebut sebagai rechtsboek, yaitu
tulisan para sarjana yang menguraikan tentang hukum. Dalam pergaulan
internasoinal, doktrin memegang peranan penting, terlebih apabila mengingat
bahwa bagian penting dari hukum internasional adalah peraturan-peraturan
kebiasaan internasional, dan hal ini diakui dalam Piagam “Statute of the
Internasional Court of Justice” oleh Mahkamah Internasional di Den Haag.
Doktrin ini juga banyak berperan dalam lapangan hukum administrasi negara
dan pembelaan-pembelaan yang dilakukan oleh para pengacara dan advokat di
pengadilan. Khusus di universitas-universitas terutama pada fakultas hukum,
pendapat para sarjana (doktrin) ini menjadi salah satu dasar pengajaran (M.Solly
Lubis,1978:67).

BAB III
KAEDAH/NORMA HUKUM DAN
KAEDAH-KAEDAH LAINNYA.

Seperti diketahui bahwa manusia selalu mengharapkan agar


kepentingan-kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan,
bahaya yang mengancam atau menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan
bersama. Ia ingin selalu merasa aman dan dapat memenuhi kepentingan-
kepentingannya dengan aman dan tenang. Agar dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dengan aman, tenteram dan damai tanpa ada gangguan-gangguan
terhadap kepentingannya tersebut, maka bagi tiap manusia dalam masyarakat
perlu adanya suatu tata (orde = ordnung). Tata tersebut berwujud sebagai
aturan-aturan yang dapat menjadi pedoman bagi segala tingkah laku di dalam
pergaulan hidup manusia, sehingga kepentingan-kepentingan manusia tersebut
dapat terlaksana dengan aman tanpa ada gangguan-gangguan dari manusia lain.
Dengan demikian manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan
kepentingan. Hal itu dapat dicapai apabila di tengah masyarakat tersebut terdapat
suatu peraturan hidup, pedoman atau patokan yang menetukan bagaimana
manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat, agar tidak merugikan orang
lain atau dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk bertingkah laku
atau berperilaku dalam kehidupan bersama ini disebut dengan kaedah atau
norma. Norma berasal dari bahasa Latin yaitu “norma” yang berarti “siku-siku”
atau “pedoman”. Dari sudut filologi ia berarti sebagai “aturan, ukuran atau
kaedah”. Dalam bahasa Inggris ia disebut dengan istilah “norm”. Dalam tinjauan
filsafat norma berarti “standard” yaitu suatu ketetapan yang dipakai sebagai
tolak ukur yang tidak boleh diubah, kemudian dijadikan dasar untuk mengukur
atau menilai dan memperbandingkan hal ikhwal. Sedangkan istilah kaedah (yang
digunakan dalam kepustakaan Indonesia) berasal dari bahasa Arab. (OK.
Chairuddin, 1991, 54)
Norma atau kaedah ini berguna di dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu
untuk memberikan petunjuk kepada manusia, bagaimana seseorang tersebut
harus bertingkah laku (bertindak) dalam masyarakat, paling tidak dengan adanya
norma tersebut kita mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang harus
dijalankan/dipatuhi dan perbuatan mana yang harus dihindari.
Isi dan sifat dari kaedah atau norma ini adalah berupa:
Suruhan (Gebod), yang berarti harus dilakukan.
Larangan (Verbod), berarti yang harus tidak dilakukan.
Kebolehan yang tidak harus dilakukan
Sifat dari kaedah yang berisikan suruhan dan larangan adalah bersifat
keharusan atau memaksa (imperatif). Sedang yang berisikan kebolehan, hal ini
bersifat fakultatif, artinya dapat melengkapi. Kaedah yang bersifat imperatif,
disebut demikian karena isinya adalah merupakan suatu keharusan yang
memaksa sedangkan kaedah yang bersifat fakultatif isinya adalah merupakan
suatu kebolehan yang dapat dipergunakan bila dikehendaki, dan dapat diabaikan
jika tidak dikehendaki.
Ada beberapa faktor pendukung untuk terciptanya keteraturan sosial dalam
masyarakat yang merupakan unsur dan sekaligus merupakan norma, yaitu:
1. Kaedah/Norma Agama
Kaedah/Norma Agama ini adalah petunjuk atau tuntunan hidup kearah
yang benar yang berasal dari Tuhan atau pembawa ajarannya. Kaedah agama
ditujukan kepada kehidupan beriman atau kewajiban manusia kepada Tuhan dan
kepada dirinya sendiri.
Kaedah/norma agama terbagi dua, yaitu agama wahyu (samawi, sama’I,
langit) dan agama budaya. Agama wahyu adalah suatu ajaran Allah yang berisi
perintah , larangan dan kebolehan yang disampaikan kepada ummat manusia
berupa wahyu melalui malaikat dan RasulNya. Sedang agama budaya adalah
ajaran yang dihasilkan oleh pikiran dan perasaan manusia secara komulatif
(Muchsin, 2006:18).
Dalam kehidupan bermasyarakat dijumpai berbagai agama yang dianut
oleh masing-masing individu. Agama oleh masing-masing penganutnya
diartikan sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab sucinya yang sekaligus
dijadikan pegangan oleh para penganutnya. Ada agama yang hanya mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi ada juga agama disamping
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ia juga mengatur hubungan
manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam ajaran
agama dijumpai perintah dan larangan-larangan yan harus (wajib) dipatuhi oleh
para penganutnya. Perintah-perintah dan larangan tersebut dijumpai di dalam
kitab suci masing-masing agama tersebut. Perintah dan larangan inilah yang
disebut sebagai kaedah/norma agama. Para penganut suatu agama mentaati
norma agama berdasarkan keyakinan atau keimanannya. Semakin tinggi tingkat
keimanan seseorang, maka semakin besar pula kemungkinan seseorang tersebut
untuk mematuhi norma agamanya. Oleh karena itu pelaksanaan dari
kaedah/norma agama ini didasarkan kepada tingkat keimanan atau keyakinan
para penganutnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada paksaan dari luar agar
seseorang tersebut harus tunduk atau patuh terhadap ketentuan yang merupakan
norma agama itu, tidak ada ketegasan dalam menjatuhkan sanksi. Menurut para
penganutnya sanksi tersebut akan datang setelah datangnya hari kiamat
(OK.Chairuddin, 1991:55-56).
Agama Islam yang menjadi dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan
Hadist. Kitab-kitab suci lainnya misalnya, Injil, Zabur, Taurat adalah merupakan
sumber hukum norma agama lainnya. Norma agama Islam adalah peraturan-
peraturan dalam agama Islam yaitu Hukum Islam. Yang dimaksud dengan
hukum Islam adalah segala peraturan yang terdiri dari suruhan dan larangan
yang menimbulkan kewajiban dan hak, yang diturunkan oleh Allah SWT.
melalui Nabi Muhammad SAW untuk seluruh ummat manusia. Menurut hukum
Islam, hukum adalah suatu ibarat dari ketentuan syara’ yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf. Maka haram adalah disebutkan padanya “tinggalkan
kamu akannya dan jangan kkamu perbuat akannya”. Wajib ialah yang
disebutkan padanya “hendaklah kamu perbuat akannya dan jangan kamu
tinggalkan akannya”. Mubah ialah yang disebut padanya “jika kamu ingin
perbuatlah dan jika kamu ingin tinggalkan akannya.
Setiap orang yang beragama percaya bahwa agamanya mengandung
perintah dan larangan bagi manusia. Misalnya seseorang yang beragama Islam
harus shalat, berpuasa dan dilarang membunuh, mencuri dan sebagainya. Orang
yang taat kepada agamanya tentu tidak akan mudah berbuat sesuatu yang
melanggar larangan agama dan kepercayaannya, serta mereka merasa dirinya
terikat kepada peraturan-peraturan agama yang dianutnya. Norma ini bertujuan
untuk menyempurnakan kehidupan manusia dan melarang manusia melakukan
perbuatan jahat (Fathul Djannah,2004:44).

2. Kaedah/Norma Kesopanan
Yang dimaksud dengan norma/kaedah kesopanan adalah peraturan-
peraturan yang hidup atau timbul dari pergaulan hidup kelompok masyarakat
tertentu, dan merupakan pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap
manusia lainnya. Norma atau kaedah ini timbul dari segolongan manusia, serta
peraturannya ditaati dan diikuti oleh lingkungan masyarakat tertentu.
Norma/kaedah kesopanan didasarkan kepada kepatutan, kebiasaan, kepantasan
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu kaedah kesopanan
ini seringkali disamakan dengan kaedah sopan santun, tata karma, atau adat,
walaupun ada pakar hukum yang tidak mau menyamakan penertian kebiasaan
dengan adat sopan santun (Muchsin, 2006:19).
Lingkungan pengaruh norma kesopanan ini tidak luas apabila
dibandingkan dengan norma-norma atau kaedah lainnya. Dan tidak berlaku
secara universal, karena apa yang diangap sopan oleh suatu masyarakat tertentu,
belum tentu mendapat pandangan yang sama oleh kelompok masyarakat lainnya.
Suatu masyarakat tertentu akan menetapkan peraturan-peraturan tertentu
mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan
seseorang dalam masyarakatnya untuk hidup pantas. Sebagai contoh terhadap
perbedaan pandangan masyarakat yang lahir dari norma kesopanan ini adalah
anggapan orang Amerika terhadap orang tua jompo yang harus dititipkan di
penampungan/panti orang tua jompo. Bagi masyarakat India menitipkan orang
tua dipanti orang tua jompo adalah melanggar norma kesopanan atau tidak
pantas dilakukan, tetapi bagi orang Amerika begitulah cara menghormati orang
tua menurut norma kesopanan atau begitulah sepantasnya, menurut norma
kesopanan yang tumbuh dalam masyarakatnya (OK. Chairuddin, 1991: 68).
Norma/kaedah sopan santun ini ditujukan kepada sikap lahir pelakunya
yang konkrit demi penyempurnaan atau ketertuban masyarakat dan bertujuan
untuk menciptakan perdamaian serta tata tertib. Sopan santun lebih
memetingkan yang lahir atau yang formal, misalnya pergaulan, pakaian, bahasa
dan lain sebagainya sehingga hal tersebut dianggap pantas, walaupun hal
tersebut dilakukan dengan sikap semu atau pura-pura saja, jadi tidak semata-
mata menghendaki sikap batin. Sopan santun menyentuh manusia tidak semata-
mata sebagai individu, tetapi sebagai mahluk sosial, jadi menyentuh kehidupan
bersama.
Sanksi terhadap pelangaran norma/kaedah kesopanan ini datang dari luar
diri kita (heteronom), sanksi ini dapat berupa teguran, celaan, cemoohan. Sanksi
ini tidak datang dari masyarakat secara terorganisir, tetapi datang dari setiap
orang secara terpisah yang menghendaki memberi sanksi terhadap pelanggaran
norma/kaedah kesopanan ini.

3. Kaedah/Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah suatu pedoman atau petunjuk dalam kehidupan
manusia sehari-hari, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Kesusilaan ini adalah aturan-aturan yang bersumber dari norma
kesusilaan, yang berasal dari diri manusia itu sendiri dan berakar dari dalam
suara hati nurani manusia itu sendiri.
Pada dasarnya di dalam diri manusia ada kecenderungan untuk berbuat
kebenaran atau kebaikan dan menyukai segala sesuatu yang sifatnya teratur,
indah dan baik serta benar. Kecenderungan inilah yang menimbulkan aturan-
aturan yang dijadikan sebagai ukuran atau tolak ukur untuk bertingkah laku
dalam masyarakat. Aturan atau peraturan-peraturan hidup ini berupa bisikan
kalbu atau suara bathin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai
pedoman dalam sikap dan perbuatannya (OK. Chairuddin, 1991: 60).
Kaedah atau norma kesusilaan ini ditujukan kepada ummat manusia agar
dapat membentuk akhlak pribadinya guna penyempurnaan manusia dan
melarang manusia untuk melakukan perbuatan jahat.
Di dalam norma kesusilaan ini tidak didapati paksaan dari luar untuk
mematuhi apa yang diharuskan oleh kaedah atau norma kesusilaan tersebut.
Atau dengan kata lain, tidak ada kekuasaan dari luar yang memaksa
menjalankan perintah-perintah kesusilaan. Sebagai contoh, dapat kita lihat
apabila seseorang melanggar norma kesusilaan misalnya berbohong, menghina
seseorang atau lain sebagainya, ia akan merasa malu, takut atau merasa bersalah
dan menyesal atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Jadi dari sini dapat
kita lihat bahwa sanksi atas suatu pelanggaran terhadap norma ini datangnya dari
hati nuraninya sendiri. Misalnya seseorang bertanya kepada kita, dimana
Gg.Rukun ?, kita yang mengetahui dimana Gg. Rukun tersebut dengan sengaja,
menjawab : Disana ! (menunjuk kearah yang salah atau tidak jujur). Maka akan
timbul dalam hati rasa bersalah atau menyesal telah memberikan petunjuk yang
salah terhadap orang yang bertanya tersebut. Sehingga dari sini dapat kita lihat
bahwa kaedah atau norma kesusilaan ini dapat menetapkan baik buruknya suatu
perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam
masyarakat. Karena dalam kaitannya dengan hal ini Van Apeldoorn
mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam kehidupannya, manusia itu
mempunyai dua segi, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia
sebagai makhluk sosial. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa kesusilaan
menyangkut manusia sebagai perorangan (individu), hukum dan adapt
menyangkut masyarakat (Van Apeldoorn, 1981:34). Dari uraian di atas dapat
kita lihat bahwa, kesusilaan adalah peraturan-peraturan hidup yang berasal dari
hati nurani, yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan perbuatan
mana yang tidak baik (bergantung pada pribadi manusia yang bersangkutan),
sehingga diharapkan dapat membentuk ahklak pribadi manusia yang baik dan
dapat menjadi manusia yang sempurna. Sanksi atas pelangaran norma tersebut
datangnya dari hati nurani manusia itu sendiri yang berupa rasa malu,
penyesalan dan tidak ada paksaan dari luar untuk mematuhi/menjalankan
kaedah atau norma kesusialaa ini.
4. Kaedah/Norma Adat
Norma adat adalah suatu pedoman atau petunjuk yang mengatur tentang
tingkah laku yang berlaku untuk anggota-anggota lingkungan atau suatu
masyarakat tertentu untuk atau pada masyarakat salah satu suku bangsa. Norma
adat didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan yang berlaku dalam suatu masyarakat
dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian dan tata tertib (Fathul Djannah,
2004:46).
Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang berlaku bagi suatu
masyarakat tertentu, yang tidak termasuk ke dalam lapangan hukum, kesusilaan
dan agama. Di dalam perkataan adat terdapat arti lain, yaitu untuk menyatakan
tingkah laku yang berlaku bagi anggota-anggota lingkungan atau suatu
masyarakat tertentu, walaupun ia tidak mempunyai pegangan pada suatu
kewajiban. Adat, berarti apa yang lazim dipakai. Terdapat hubungan yang erat
antara adat dan kebiasaan. Adat tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan pada suatu masyarakat tertentu. Jika di dalam suatu masyarakat
tertentu tersebut terjadi sesuatu hal yang dilakukan secara berulang-ulang, maka
timbullah pandangan bahwa demikianlah seharusnya, ini adalah kekuasaan
kebiasaan atau “denormatieve kracht van het feitelijk gebeuren”. Apa yang
biasa, acapkali dianggap menjadi kaidah (Van Apeldoorn, 1983:42).
Bila dilihat dari segi sumbernya, adat mulanya berasal dari kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan dalam suatu masyarakat tertentu, yang lama kelamaan
menimbulkan perasaan bahwa memang demikianlah sepatutnya. Maka dapat
dikatakan bahwa unsur “kepatutanlah” yang menjadi adat. Satu kali jadi, jika
sunguh dirasa sepatutnya (dalam arti objektif), itulah adat (Kusumadi
Pudjosewojo, 1976:45). Oleh karena itu norma adat adalah norma yang
dijadikan standart atau ukuran tentang apa yang boleh/patut dilakukan dan apa
yang tidak boleh/patut dilakukan. Norma adat ini lahir dari masyarakat dimana
lingkungan tempat ia tinggal. Oleh karena itu norma adat selalu menggambarkan
corak masyarakatnya. Ia diterima secara kolektif oleh masyarakatnya sebagai
suatu pedoman atau petunjuk untuk berbuat (bertingkah laku). Norma adat
adalah merupakan kaedah-kaedah yang tidak hanya dikenal, diakui, dan dihargai
akan tetapi juga ditaati. Adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam
masyarakat. Suatu kepastian akan dapat dihasilkan oleh kaedah kaedah yang
mempunyai kekuatan mengikat yang lebih kuat, yang mengatur tata kehidupan
masa kini dan masa-masa yang akan datang.
Sanksi dari pelanggaran norma adat ini datang dari pihak masyarakat
adat, tidak datang dari pihak penguasa, serta penerapannya tidak dipaksakan dari
penguasa, melainkan dari individunya masing-masing ayng terhimpun dalam
persekutuan adat tersebut. Atau dengan kata lain, norma adat ini lebih bersifat
anjuran dan bukan suatu paksaan. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam suatu
masyarakat tertentu yang akan mengadakan suatu perkawinan, yang selalu
didahului dengan pertunangan, maka pertunangan disini menjadi adat bagi
masyarakat tertentu tersebut. Jika ada suatu perkawinan yang dilangsungkan
tanpa didahului pertunangan, maka masyarakat akan memandang hal tersebut
sebagai suatu penyimpanan dari norma adat. Dan oleh karena itu pula
masyarakat memberikan ukuran tertentu terhadap nilai dari perkawinan tersebut.
Jadi ukuran-ukuran tersebut sekaligus merupakan penjatuhan sanksi atas
penyimpangan dari norma adat tersebut. Jadi dari sini dapat kita lihat bahwa
sanksi terhadap pelanggaran norma adat tersebut, datang dari masyarakat
adatnya.
Norma adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam
masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang
mendukung adat istiadat tersebut, norma adat ini juga dapat menjadi hukum
adat, apabila di dalam peraturan adat tersebut terdapat hal-hal yang dianggap yan
dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat, serta ada perasaan umum
bahwa peraturan-peraturan tersebut harus dipertahankan oleh para pejabat
hukum, sehingga norma adat tersebut dapat melindungi hak dan kewajiban dari
tiap-tiap individunya, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum
(Ok.Chairuddin,1991:59). Maka dipergunakanlah ia untuk mengatur bentuk-
bentuk hubungan dalam masyarakatnya.
JHA.Logemann menyatakan, bahwa kaedah-kaedah kehidupan merupakan
norma-norma peraulan hidup. Artinya, peraturan-peraturan tingkah laku yang
harus ditaati oleh segenap warga masyarakat. Apabila kaedah-kaedah tadi
berlaku, maka kaedah tersebut tentu mempunyai sanksi yaitu sanksi yang paling
ringan sampai pada sangksi yang paling berat. Logeman selanjutnya
berpendapat, bahwa orang dapat menganggap semua kaedah yang mempunyai
sanksi tersebut, merupakan kaedah hukum. Perbedaan antara kaedah lain dengan
kaedah hukum bukanlah terletak pada unsur keharusan semata-mata akan tetapi
pada perbedaan sifat serta penyelenggara sanksinya (JHA.Logemann,tt.27).
Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa perbedaan antara norma adat dengan
hukum adat antara lain adalah:
Norma adat sanksinya datang dari masyarakat adat itu sendiri, dan
sanksinya tidak setegas norma hukum, serta tidak merugikan orang lain.
Sedangkan hukum adat sanksinya tegas, dan sanksi dari hukum adat ini
datangnya dari pihak penguasa, serta perbuatan terhadap pelanggaran
tersebut dapat merugikan orang lain.
Norma adat tidak mempunyai pegangan pada suatu kewajiban, berarti ia
hanya apa yang lazim dipakai saja. Sedangkan hukun adat, karena ia
dikatakan sebagai hukum, maka ia memberikan hak dan kewajiban
terhadap setiap orang.
5. Kaedah/Norma hukum.
Norma hukum adalah merupakan petunjuk atau pedoman bagi setiap
individu yang ditetapkan oleh penguasa serta pelaksanaanya dipertahankan dan
dapat dipaksakan oleh alat-alat penguasa tersebut, serta sanksinya bersifat tegas.
Norma hukum ini memberikan hak dan kewajiban kepada setiap individu dalam
kelompok masyarakat. Dan peraturan-peraturan yang terdapat di dalam norma
hukum ini bersifat fakultatif (mengatur) dan imperatif (memaksa), yang
tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan setiap individu dalam suatu
masyarakat.
Norma hukum ini tidak mau atau tidak dapat menerima pelanggaran atas
kaedah-kaedahnya. Sehingga sedapat mungkin norma hukum ini memaksakan
pelaksanaan dari kaedah-kaedahnya, dengan cara menjatuhkan sanksi yang
tegas. Jadi norma hukum bukanlah memperingatkan, menganjurkan atau
meyakinkan, akan tetapi memerintah, memaksa walaupun hal ini tidak berarti
senantiasa dapat dipaksakan. Sebaliknya paksaan bukanlah berarti tindakan
sewenang-wenang. Paksaan ini dipergunakan untuk menjamin agar peraturan-
peraturan yang terdapat dalam norma tersebut ditaati oleh masyarakat. Dalam
menyusun kaedah-kaedah tersebut tidak terdapat kehendak untuk bertindak
sewenang-wenang. Paksaan bukanlah menjadi pokok pangkal atau tujuan, tetapi
suatu paksaan yang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi kepentingan
orang lain. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa norma hukum ini adalah
kumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa, yang sanksinya
dapat dipaksakan kepada setiap individu yang melangar kaedahnya. Karena
pelanggaran terhadap norma ini dapat merugikan orang lain.

BAB IV
PENGGOLONGAN HUKUM

Hukum adalah kaedah atau norma yang berisikan larangan-laranan atau


keharusan. Hukum itu sangat luas sekali dan banyak seginya serta meliputi
segala atau semua corak hubungan yang terdapat dalam masyarakat. Hubungan-
hubungan yang terdapat dalam masyarakat tersebut ternyata sangat beraneka
ragam dengan berbagai corak dan masalahnya. Oleh karenanya hukum tersebut
dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Dari segi bentuknya. Dari segi bentuknya hukum dapat dibagi menjadi dua
bahagian besar yaitu:
Hukum tertulis (Geschreven recht, Statue law, scriptum) yaitu, hukum
yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan perundang-undangan.
Hukum tertulis ini meliputi hukum undang-undang, hukum perjanjian
antar negara dan sebahagian kecil hukum adat.
Hukum tidak tertulis (Ongeschreven recht, un-statutery, non-scriptum).
Hukum tidak tetulis ini adalah hukum yang masih hidup dalam
keyakinan dan kenyataan di dalam masyarakat yang bersangkutan,
misalnya hukum adat, hukum kebiasaan ((Muchsin, 2006:36). Hukum
tidak tertulis ini meliputi hukum kebiasaan, sebahagian besar hukum
adat, hukum yurisprodensi, hukum ilmu dan hukum revolusi. Hukum
persetujuan dapat dimasukkan sebagai hukum tertulis atau hukum tidak
tertulis, sesuai dengan bentuk persetujuan itu sendiri, yang sebagaimana
diketahhui adalah pada dasarnya bebas dari bentuk bentuk tertentu
(Achmad Sanoesi,1977:64).
Hukum tertulis ini mempunyai kelebihan-kelebihan dari hukum yang
tidak tertulis diantaranya adalah, bahwa hukum tertulis ini dapat dengan mudah
diketahui orang, pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa
dicocokkan kembali dengan yang ditulis sehingga dapat mengurangi ketidak
pastian, serta dapat dipergunakan untuk keperluan pengembangan peraturan
hukum atau perundang-undangan yang baru (Satjipto Raharjo, 1996:72).
2. Dari segi sumbernya. Menurut sumber formalnya hukum dapat dibagi atas
lima bahagian besar yaitu :
Hukum undang-undang (Wettenrecht), yaitu hukum yang tercantum
dalam peraturan perundang-undangan.
Hukum kebiasaan dan adat (Gewoonte en adatrecht), yaitu hukum yang
terletak di dalam peraturan-peraturan adat atau kebiasaan
Hukum doktrin, yaitu hukum yang berasal dari pendapat para ahli
hukum.
Hukum traktat (Tractaten reccht), yaitu hukum yang ditetapkan oleh
neara-negara di dalam suatu perjanjian antar Negara.
Hukum Yurisprudensi (Yurisprudentie recht), yaitu hukum yang
terbentuk dari putusan hakim (Fathul Djannah, 2004:98).
3. Dari segi isinya. Dari segi isinya hukum dapat bagi menjadi dua bahagian
besar, yaitu:
Hukum Privat, yaitu hukum yang mengatur tentang kepentingan-
kepentingan khusus atau kepentingan kepentingan pribadi. Hukum privat
ini terdiri atas :
Hukum perdata, yang mengatur sekalian perkara yang berisikan
hubungan antara sesama warga Negara, seperti perkawinan,
kewarisan, perjanjian, hukum dagang dan hukum internasional
perdata.
Hukum dagang. Sekalipun pada dasarnya ia mengatur hubungan-
hubungan yang bersifat perdata, tetapi karena karakteristik substansi
yang diaturnya, maka hukum dagang lalu berdiri sebagai bidang
tersendiri. Dengan adanya perkembangan yang demikian tersebut,
maka orang lalu menggunakan dua istilah, yaitu hukum perdata luas
( yang meliputi hukum perdata sempit dan hukum dagang), hukum
perdata sempit (Satjipto Raharjo,1996:74).
Hukum perselisihan. Hukum perselisihan ini mengatur tentang
peraturan apa yang menjadi peraturan hukum atau peraturan hukum
mana yang berlaku mengenai suatu perhubungan hukum yang
menyangkut dua atau lebih tata hukum (sistem hukum) yang
berlainan.
Hukum Publik yaitu, hukum yang mengatur kepantingan umum atau
kepentingan publik, seperti hubungan antara warga negara dengan
negara. Ia berurusan dengan sekalian hal yang berhubungan dengan
masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya.
Perbedaan antara hukum publik dan hukum privat ini bukanlah pebedaan
yang prinsip, karena perbedaab tersebut hanya terdapat pada sifat dari masing-
masing hukum tersebut. Sifat dari hukum publik bersifat memaksa (imperatif),
sedang sifat hukum privat adalah mengatur (fakultatif), walaupun pada akhirnya
bersifat memaksa. Dalam hukum publik setiap gugatan tidak dapat dicabut
kembali kecuali gugatan tersebut adalah delik aduan, sedangkan dalam hukum
privat gugatan dapat dicabut kembali oleh sipenggugat.
4. Dari segi tempat berlakunya. Dari segi tempat berlakunya hukum dapat dibagi
atas :
Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara dan
dengan demikian mengatur kejadian-kejadian di dalam wilayah negara
tersebut.
Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar
negara, dapat juga dikatakan sebagai hukum yang mengatur hubungan
hukum dalam dunia internasional.
Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam negara lain.
5. Dari segi kekuatan sanksinya. Dari segi kekuatan sanksinya hukum ini dapat
dibagi atas dua bahagian besar, yaitu:
Hukum memaksa/bersifat Imperiatif (dwingendrecht) yaitu, hukum
yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan. Atau dengan
perkataan lain, seperangkat peraturan hukum yang harus ditaati, terlepas
dari kehendak yang berkepentingan. Kaedah hukum ini bersifat mutlak
daya ikatnya dan sanksi tersebut sudah terdapat dalam peraturan hukum
yang kemudian diterapkan oleh para penegak hukum, sehingga tidak
dapat dikesampingkan melalui perjanjian para pihak. Misalnya Pasal 147
KUH Perdata, yang mengatur tentang perjanjian perkawinan, yang isinya
menyatakan bahwa setiap perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat
dengan akte notaris sebelum perkawinan dilangsungkan. Lain saat dari
itu tidak boleh ditetapkan.
Hukum mengatur/bersifat fakultatif (regelendrecht), yaitu peraturan-
peraturan hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan,
atau dengan kata lain peraturan hukum yang dapat dikesampingkan oleh
yang berkepentinga dalam keadaan konkrit. Misalnya Pasal 1548 KUH
Perdata. Peraturan dalam KUH Perdata ini berlaku apabila para pihak
atau yang berkepentingan tidak mengatur sendiri perhubungan mereka
dengan suatu perjanjian lain yang dapat mengikat mereka. Tetapi apabila
para pihak atau yang berkepentingan membuat suatu aturan tentang
kepentingan mereka, maka aturan dalam pasal-pasal yang terdapat di
dalam KUH Perdata tersebut dapat dikesampingkan.
6. Dari segi masa berlakunya. Berdasarkan masa berlakunya hukum dapat di
golongkan dalam :
Hukum yang berlaku saat ini (Ius Constitutum), yaitu hukum positif,
hukum yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu, dan wilayah
tertentu. Hukum positif ini biasa disebut sebagai tata hukum.
Hukum yan dicita-citakan, diharapkan atau direncanakan akan berlaku
pada masa yang akan datang (Ius constituendum), contoh dari hukum
yang dicita-citakan misalnya hukum pidana nasional yang sampai
sekarang masih terus disusun.
Hukum universal, hukum asasi, atau hukum alam yaitu hukum yang
dianggap berlaku tanpa tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Berlaku
sepanjang masa, dimanapun dan terhadap siapapun (Muchsin, 2006:39).
7. Dari segi fungsinya hukum ini dapat dibagi menjadi:
Hukum materiil (materiel recht/substantive law) yaitu hukum yang
menerangkan tentang perbuatan apa yang dapat dihukum, dan hukum
apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materiil ini mengatur tentang isi dari
suatu peraturan hukum. Di dalam hukum materiil ini ditetapkan mana
sikap tindak yang diharuskan, mana yang dilarang dan mana yang
dibolehkan, termasuk akibat hukum dan sanksi hukum bagi
pelanggarnya.
Hukum formal (formeel recht/adjective law) yaitu hukum yang mengatur
tentang bagaimana cara-cara mempertahankan/menegakkan atau
melaksanakan hukum materiil. Hukum formal ini biasa disebut sebagai
hukum acara. (Fathul Djannah, 2004:97)

8. Dari segi/berdasarkan wujudnya hukum dapat dibagi menjadi dua bahagia


besar yaitu:
Hukum objektif yaitu, kaedah hukum dalam suatu negara yang berlaku
umum dan tidak dimaksudkan untuk mengatur sikap tindak orang
tertentu saja.
Hukum subjektif yaitu, hukum yang timbul dari hukum objektif, dan
berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum subjektif ada juga
yang menyebut sebagai hak, dan ada juga yan mengartikannya sebagai
hak dan kewajiban (Muchsin, 2006:41).
BAB V
SUBJEK HUKUM DAN OBJEK HUKUM

1. Subjek Hukum
Ilmu pengertian hukum tediri atas berbagai ilmu yang mempelajari
tentang pengetahuan dalam ilmu hukum, dan yang menjadi bahasan dalam ilmu
pengertian hukum ini antara lain adalah subjek dan objek hukum.
Hukum adalah kaedah yang berisikan perintah dan larangan-larangan
yang ditujukan pada anggota masyarakat. Hukum mengatur hubungan antara
anggota masyarakat tersebut, yaitu antara manusia yang satu dengan manusia
yang lain, antara kelompok manusia dengan manusia lain dan antara kelompok
manusia lain dengan kelompok manusia lainnya, atau dengan kata lain antara
subjek hukum. Setiap manusia apakah dia sebagai warga negara atau warga
negara asing, apakah dia laki-laki atau perempuan dan dengan tidak
memperdulikan agama dan kebudayaannya, seseorang tersebut dapat menjadi
subjek hukum. Yang dikatakan dengan subjek hukum adalah pembawa hak atau
pendukung hak yaitu manusia dan badan hukum. Yang dimaksud dengan
pembawa hak adalah sesuatu yang mepunyai hak dan kewajiban. Dikatakan
demikian karena manusia dan badan hukum ini mempunyai hak dan kewajiban
untuk melakukan tindakan hukum dan dapat mengadakan persetujuan-
persetujuan. Sebagai subjek hukum, manusia dan badan hukum mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan dan menjalankan kewajiban dan menerima
haknya. Manusia sebagai subjek hukum atau sebagai pembawa hak, berlaku dari
saat ia dilahirkan sampai ia meningal dunia. Tetapi apabila kepentingan hukum
menghendaki, maka pada saat ia masih dalam kandunganpun ia dapat diangap
sebagai pembawa hak. Hal tersebut diatur dalam KUH.Perdata, yaitu dalam
pasal 2 ayat (1) yang mengatakan: Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si
anak menghendakinya (R,Subekti. 1983:25)
Manusia sebagai pembawa hak berbeda dengan badan hukum sebagai
pembawa hak. Perbedaa tersebut antara lain dikarenakan adanya beberapa hak
tertentu yang timbul dari hukum tentang orang dan hukum keluarga yang
melekat pada manusia hanya dapat dimiliki oleh subjek hukum orang saja dan
tidak dapat dimiliki oleh badan hukum. Disamping itu tidak kepada setiap orang
diberikan kewenangan hukum penuh. Hal ini merupakan pengecualian
insidentil , antara lain hak untuk memilih dalam pemilihan umum, hak untuk
melangsungkan perkawinan, hak untuk bekerja. Untuk itu semua oleh undang-
undang ditentukan persyaratan antara lain batas umur tertentu. Batas umur
tertentu ini oleh undang-undang diatur antara lain, ketentuan tentang batas umur
seseorang yang dikatakan telah dewasa, misalnya untuk bekerja adalah usia 18
tahun, untuk seseorang tersebut dapat melangsungkan perkawinan adalah umur
19 tahun untuk anak laki-laki dan 16 tahun untuk wanita/perempuan, sedangkan
batas umur untuk menjadi saksi dalam suatu persidangan adalah umur 15 tahun
dan seseorang tersebut dapat ikut memilih dalam pemilihan umum adalah
seseorang yang telah berumur 17 tahun.
Hak dan kewajiban terjadi dalam saat bersama dan itu diberikan oleh
hukum. Hak dan kewajiban mempunyai kedudukan yang seimbang. Dalam
bahasa Inggris hak dirumuskan dengan istilah “Right”. Istilah “right” digunakan
untuk menyebutkan hak, kewenangan dan benar. Dengan demikian ada kesan
bahwa seolah-olah hak itu lebih mendapat tempat di mata hukum. Artinya ‘hak’
lebih diprioritaskan oleh hukum daripada kewajiban, atau kebenaran lebih
mendapat tempat dimata hukum dari pada kesalahan. Pada hal hak dan
kewajiban atau kebenaran dan kesalahan harus diungkap secara bersama-sama
dalam hukum. Begitu juga perintah dan larangan harus dirumuskan dalam norma
hukum. Hak dan kewajiban lahir karena adanya hubungan hukum. Setiap
hubungan hukum mempunyai dua aspek yaitu kekuasaan (bevoegdheid =
kewenangan) di satu pihak dan kewajiban (plicht) di pihak lain. Kekuasaan yang
oleh hukum diberikan kepada orang lain atau badan hukum disebut sebagai hak.
Jadi hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
sosial, memberi kepada subjek hukum hak agar berbuat atau menuntut sesuatu,
dan setiap peraturan hukum tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban.
(Ok.Chairuddin,1991:74)
Dalam hal lain seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban tidak
selalu dapat/mampu melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Dalam hal ini
ada golongan orang-orang tertentu yang dianggap tidak cakap melaksanakan hak
dan kewajibannya. Golongan orang-orang yang tidak cakap atau tidak mampu
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya ini disebut personae miserabile,
antara lain adalah orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan, orang
yang dikatakan masih dibawah/belum cukup umur dan istri yang tunduk pada
BW. Mereka yang dianggap tidak cakap dalam menjalankan sendiri hak dan
kewajibannya tersebut, diwakili oleh wakil yang ditentukan oleh undang-undang
atau ditunjuk oleh hakim, yang selanjutnya akan mengurus kepentingan yang
diwakilinya.
Kecakapan bertindak merupakan syarat terjadinya suatu perikatan. Ini
berarti bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka dapat dibatalkan.
Sebaliknya ketidak cakapan seseorang tidak mempengaruhi timbul/tidaknya
akibat hukum dalam perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan hukum seperti
perjanjian jual beli yang dilakukan oleh seseorang yang belum cukup umur tanpa
peersetujuan walinya pada umumnya dapat dibatalkan. Pada dasarnya perbuatan
hukum tersebut tetap sah dan mempunyai akibat hukum, tetapi perbuatan hukum
itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntutan wakil atau walinya. (Sudikno
Mertokusumo.1986:54-56).
2. Objek Hukum
Yang dimakud dengan objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna
bagi subjek hukum (manusia dan badan hukum), dan yang dapat menjadi pokok
(objek) sesuatu hubungan hukum, karena sesuatu dapat dikuasai oleh subjek
hukum. Dalam hal ini dapat diambil contoh misalnya, dalam hubungan pinjam
meminjam buku, yang mempunyai buku tesebut mempunyai hak (kekuasaan)
menuntut kembali buku tersebut. Objek hukum dalam suatu hubungan menurut
hukum pidana adalah hukuman (pidana,straf) yang dapat dijatuhkan kepada
pelanggar hukum.
Objek biasa juga disebut dengan benda (zaak). Muchsin membedakan
benda atas beberapa macam, yaitu:
Benda yang dapat diganti (uang) dan benda yang tidak dapat diganti (seekor
kuda).
Benda yang dapat diperdagangkan dan benda yang tidak dapat
diperdagangkan (jalan atau lapangan umum)
Benda yang bergerak (perabot rumah) dan benda yang tidak bergerak
(tanah).
Benda berwujud (lichamelijke zaken = tanah), dan benda yang tidak
berwujud (onlichamelijke zaken = Segala hak).
Dari perbedaan di atas yang dianggap paling penting adalah pembedaan
benda bergerak dan benda tidak bergerak, sebab pembagian ini mempunyai
akibat yang sangat penting dalam hukum.
Yang termasuk dalam katagori benda bergerak dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
Benda yang dapat bergerak sendiri, contoh hewan.
Benda yang dapat dipindahkan, contoh meja,kursi dll.
Benda bergerak karena penetapan undang-undang, contoh hak pakai, sero,
bunga yang dijanjikan.
Sedangkan yang termasuk katagori benda yang tidak bergerakpun dapat
dibedakan menjadi tiga bahagian pula, yaitu:
Benda yang tidak bergerak karena sifatnya, contoh tanah, rumah.
Benda tidak bergerak karena tujuannya, contoh gambar, kaca, alat
percetakan ayng ditempatkan di gudang.
Benda tidak bergerak karena penetapan undang-undang, contohnya, hak
pakai, hak numpang, hak usaha (Muchsin, 2006:26-27)).
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sanoesi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum


Indonesia, Tarsito, Bandung. 1977.
Amiruddin A. Wahab, Perilaku Hukum Dan Moral di Indonesia, USU Press,
Medan, 2004.
Apeldoorn,LJ. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Mr. Oetarid Sadino,
Pradnya Paramita, Jakarta 1976.
Benda-Bechmann, Franz von, property in Social Continuity, The
Hague:Martinus Nijhoff, 1979.
Bodenheimer,E, Jurisprodence, the Philosophy and Method of the Law,
Cambridge Mass: Harvard University Press. 1974.
CST.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1982.
David Rene & Brierly, Jhon C. Mayor Legal Systems In The World Today,
Sccond Ed.London; Steven &Sons, 1978.
E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, 1957.
Fiedmann, Wolfgang, Lelgal Theory, London:Stevens&sons, 1953.
Frank, Jerome, Law and the Modern Mind, New Hork: Anchor Books, 1963.
H. Muchsin,Prof, Ikhtisar Ilmu Hukum, Iblam. Jakarta. 2006.
Herskovits, Melville J., “Organisasi Sosial:Struktur Masyarakat”’ Dalam
Pokok-pokok Anthropologi Budaya.T.O.Ihromi (ed), Jakarta:Gramedia,
1980.
Hj.Fathul Djannah,Prof.,Pengantar Ilmu Hukum, Duta Azhar. 2004.
Hoebel,E.Adamson, The Law Of Primitive Man, Cambridge, mass:Harvard
University Press,1967.
Koch, Klaus-Friedrich, Law and Anthropologi : Notes on Interdisciplinary
Reserach, dalam Law and Society Review, 1969
Koetjaraningrat, Beberapa pokok antropologi sosial, Dian Rakyat, Jakarta,
1980.
Koetjaraningrat (ed), masalah-masalah pembangunan, bunga rampai
anthropologi terapan, Jakarta: lembaga penelitian, pendidikan dan
penerangan ekonomi dan sosial, 1982.
Logeman, JHA, om de taak van den Rechter, T, Tanpa Penerbit, Tanpa Tempat,
1973.
Louis Ma’luf, al Munjid fi al Luqhaah, Beirut, Dar al Masyriq, 1973.
M.Solly Lubis, Pengantar Ilmu Hukum, Medan, 1978.
Muchsin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, 2006
Mahadi Prof., Beberapa sendi hukum di Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1956.
Mahadi, Prof., Beberapa Sendi Hukum, Medan, 1964.
O.K.Chairuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Fak.Hukum U.S.U, Medan, 1991.
Olivecrona, Law as Fact, Oxford University Press, Oxford, 1939.
Parsons Talcott, The Social System, New York. The Free Press.1951.
R.M. Subanindyo Hadiluwih, Sosiologi Hukum, Universitas Islam Sumatera
Utara, Medan.1986.
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Radbruch, Gustav, Einfuhrung in die Rechtwissenschaft, Stuttgart, Koehler,
1961.
Ronny Hanitoyo Soemitro, Studi Hukum Dan Masyarakat, Alumni, Bandung,
1982.
Satjipto Rahardjo, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Cet.
Ke-3. 2001.
Sodikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum. Liberty, Yokjakarta. 1984.
Soejono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV.Rajawali, Jakarta. 1984
Soerjono Soekanto dan Heri Tjandrasari, Disiplin Hukum, Rajawali, Jakarta,
1987.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, CV.Rajawali, Jakarta, 1980.
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-
Masalah Sosial, Alumni, Bandung 1981
Subekti.R. dan R.Tjitrosudibio Kitab Undang-Undang Hukum PerdatA. Pradnya
Paramita, Cet ke enam belas. Jakarta. 1983.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum (Suatu Pengantar), Penerbit Liberty,
Yokjakarta, 1986.
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di
Indonesia Sejak 1942, (Disertasi), Liberty. 1983.
Van Apeldoorn L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
Van Apeldoorn. L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Cet ke 20
Jakarta, 1983
Van Kan.Prof.Mr., J.H.Bukheris.Prof.Mr., Inleiding tot de Rechtsweeten schap,
1956.
Young, Kimball, Social psychology, Alfred A Knopt, New York, 1942
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
2004.
Weber Max, On Law in Economy and Society, New York:A Clarion Book, 1954

Anda mungkin juga menyukai