Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

PENGANTAR ILMU SEJARAH

MASYARAKAT DAN SEJARAH

OLEH:
KELOMPOK 6

ANGGOTA:
1. REYHAN ALFI YENDRI 2010711001
2. RAIHAN SULTHAN Al-FARIS 2010711017
3. JOKO PRASTIO 2010711019
4. NATHANIA ANANTA HARAHAP 2010713001

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Nopriyasman, M.Hum

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS

2020
MASYARAKAT DAN SEJARAH
A. Telaah Makna
Sebelum sebuah pembicaraan (diskusi) dimulai tentunya akan sangat penting dan efektif
bila diawali dengan adanya kesamaan pengertian mengenai pokok bahasannya (lingua franca)
sehingga bisa meminimalisir terjadinya deviasi. Penyamaan persepsi ini merupakan alat/cara
yang menghindari kesalahpengertian dalam sebuah diskusi, dengan kata lain diperlukan
adanya suatu definisi yang mampu menjadi frame pembicaraan. Untuk itu, sebelum berlanjut
pada pokok bahasan saya akan mencoba menguraikan dulu pokok masalah dari tema yang
diangkat.
Melihat tema yang diangkat dalam diskusi ini, terdapat dua variabel yang akan coba
dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai sejarah dan masyarakat. Kita tentu sudah tak asing dengan
dua istilah tersebut, namun acapkali juga kita salah mengerti atau kurang paham secara detail
mengenainya. Berbicara sejarah, yang terlintas dalam pikiran kita pertama kali biasanya
mengenai tanggal-tahun, tokoh, tempat kejadian, dll. Hal itu wajar terjadi sebab kita sudah
bertahun-tahun dicekoki oleh metode penyampaian yang deskriptif, sejak SD sampai kini.
Padahal, persepsi mengenai sejarah seperti itu merupakan pengertian atas sejarah yang
konvensional (kolot). Mahasiswa sejarah pada semester awal kuliah biasanya diberikan
pengertian sejarah yang sangat dasar yang diungkapkan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo,
dimana sejarah mempunyai dua pengertian yaitu sejarah sebagai kisah (Subjektif) dan sebagai
peristiwa (objektif). Sejarah sebagai peristiwa menunjuk pada kejadian atau peristiwa itu
sendiri, yaitu proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadiannya itu hanya sekali terjadi dan tak
mungkin berulang kembali secara utuh. Sedangkan pengertian sejarah sebagai kisah
merupakan suatu konstruk yang dibangun / disusun sejarawan (penulis) sebagai uraian /
cerita, dimana merupakan suatu kesatuan yang mencakup fakta-fakta untuk menggambarkan
gejala sejarah, baik proses maupun strukturnya (Kartodirdjo, 1993).Kata sejarah berasal dari
bahasa arab syajarah (pohon) dengan pengertian silsilah, riwayat, babad, tarikh. Kata-kata lain
yang ekuivalen semisal history (Inggris), geschichte (German), dan geschiedenis (Belanda).
1. Ibnu Khaldun memberikan pengertian sejarah sebagai catatan tentang masyarakat
umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak
masyarakat itu, seperti kelahiran, keramah-tamahan, solidaritas golongan, revolusi dan
pemberontakan, dsb. (Tamburaka, 1999;10).
2. Murtadha Muthahari (1995; 65-67) mencakup tiga pengertian; pertama, pengetahuan
tentang kejadian / peristiwa dan keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya
dengan keadaan masa kini (sejarah naqli / tradisional).
Masyarakat merupakan kata serapan dari bahasa Arab ‘syaroka’ (ikut serta atau
berpartipasi).
 Koentjaraningrat memberikan pengertian sebagai kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Koentjaraningrat, 1990;144).
 Dalam KBBI pengertian masyarakat adalah pergaulan hidup manusia atau sehimpunan
orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu.
(Poerwadarminta, 1976;636).
 Menurut Muthahari (1995;15) masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang, di
bawah tekanan serangkaian kebutuhan dan di bawah pengaruh seperangkat kepercayaan,
ideal, dan tujuan, tersatukan dan terlebur dalam suatu rangkaian kesatuan kehidupan
bersama. Lebih lanjut Muthahari menyatakan bahwa masyarakat terdiri atas kelompok-
kelompok manusia yang saling terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus serta
hukum khas, dan hidup bersama, maksudnya kehidupan yang di dalamnya kelompok-
kelompok manusia hidup bersama-sama di suatu wilayah tertentu dan sama-sama berbagi
iklim serta makanan yang sama. Pada dasarnya setiap manusia secara fitrahnya sudah
mempunyai sifat kemasyarakatan, sehingga dia tidak akan bisa hidup sendirian karena
bertentangan dengan fitrahnya.
 
B. Konsepsi tentang Masyarakat; Heterogen atau Homogen ?
Masyarakat merupakan suatu objek kajian yang tidak akan pernah final, sebab pada
dasarnya masyarakat dimanapun dan kapanpun pasti dinamis. Sifatnya yang dinamis ini –
meski intensitasnya berbeda-beda– menyebabkan gerak dan spiritnya mengalami perubahan
pada setiap jamannya. Selain itu, faktor pembentuk masyarakat juga merupakan keunikan
tersendiri yang memberikan peluang sangat luas bagi pengkajiannya. Koentjaraningrat (1990)
menyebutkan bahwa setidaknya ada beberapa unsur yang membentuk masyarakat,
diantaranya; adanya kesatuan / kolektivitas manusia, adanya ikatan tradisi-adat istiadat-sikap-
perasaan yang khas, adanya rasa identitas diantara para warganya, adanya aturan (hukum)
yang mengatur mereka bersama untuk menuju suatu cita-cita yang sama.
Kenapa masyarakat harus menerapkan aturan (hukum)? Masyarakat dan individu dua hal
yang saling terkait erat, saling pengaruh mempengaruhi. Ketika individu-individu hidup
berkelompok maka secara otomatis akan terjadi suatu bentuk interaksi sosial. Dari interaksi
sosial inilah munculnya suatu bentuk kesepakatan bersama antar individu dalam kelompok
tersebut untuk meminimalisir konflik serta mengarahkan cita-cita bersama. Bentuk-bentuk
kesepakatan ini dalam proses selanjutnya melahirkan aturan hidup bersama atau norma
masyarakat. (Soekanto, 1982).
Dalam sejarah peradaban Islam, penerapan hukum sudah dimulai oleh nabi ketika
lahirnya Shahifat al-Madinah (Piagam Madinah) pada tahun pertama hijriyah. Konstitusi
Madinah ini lahirnya dengan berlandaskan pada aspek sosiologis-antropologis, maksudnya
hukum (perjanjian antara Yahudi-Islam) dibuat nabi berdasarkan realitas masyarakat yang
hidup bersama di Madinah saat itu. Lalu bagaimana dengan posisi Qur’an-Hadits ? dalam QS.
Al-Maidah (5:53) disebutkan “…apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah?, dan siapalah
yang lebih baik daripada Allah tentang hukum itu, bagi kaum yang yakin?”(Majid, 2000; 316-
318). Al-Qur’an menegaskan bahwa masyarakat mempunyai hukum-hukum dan prinsip-
prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhan sesuai dengan proeses-proses
sejarah tertentu (QS. 17;4-8) setiap masyarakat dimanapun dan kapanpun dikuasai oleh suatu
hukum semesta. (Muthahhari, 1995;33). Jadi pada dasarnya setiap masyarakat akan
mempunyai produk hukumnya sendiri guna mengatur tata kehidupan sosialnya, namun
landasan pokok sebagai acuan (produk) hukum tersebut berbeda-beda, ada yang bersumber
dari pemikiran manusia atas kebaikan dan kebenaran yang hakiki dan ideal bagi manusia itu
sendiri, dan ada juga yang menjadikan kitab sucinya sebagai acuan bagi hukum
kemasyarakatannya.
Berbicara tentang kehidupan kolektif manusia, secara historis sudah ada sejak rasul
pertama datang ke muka bumi ini, hal itu tidak terlepas dari sifat naluriah manusia yang
dikodratkan sebagai mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial tidak akan mungkin
memenuhi kebutuhan kemanusiaannya (fitrah) dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya
dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu (NDP HMI), sehingga secara sosiologis-antropologis,
sikap individualisme (egoisme) bertentangan secara horizontal dengan fitrahnya. Suatu
individu eksistensinya justru terlihat ketika dia berada di tengah-tengah individu lainnya
(masyarakat). Eksistensi akan nilai dan martabat individu akan terlihat jika ia mengenali
dirinya serta masyarakat, sehingga ia akan berusaha untuk memperbaiki hubungan sesama
manusia dalam lingkungan masyarakat, selain tentunya mengatur jalan hidupnya sendiri
(NDP HMI). Kita tentu sudah sangat mafhum bahwa masyarakat merupakan kelompok besar
dari individu-individu yang hidup dalam lokalitas dan waktu tertentu, yang menumbuhkan
kehidupan kolektif. Peranan individu dalam membentuk, mengembangkan, dan
menggerakkan masyarakat sangat bergantung pada nilai dan norma yang diyakininya.

Bagaimanakah hubungan individu-individu dengan masyarakat, dalam kaitannya dengan


pembentukan masyarakat ?
Setidaknya ada empat pandangan (konsep) mengenai posisi individu dan masyarakat. 
 Pertama, bahwa individu itu lebih dahulu dari masyarakat dan eksistensi masyarakat itu
tidak sejati, sebab hanya individulah yang sifatnya nyata. Kehidupan dan tujuan setiap
individu saling tak bergantung. Dengan kata lain, walaupun kehidupan manusia
(individu) dalam masyarakat berbentuk dan berwarna kolektif, tapi warga masyarakatnya
tidak melebur membentuk senyawa sejati sebagai masyarakat. 
 Kedua, individu lebih dahulu dari masyarakat dan eksistensi masyarakat bergantung pada
individu-individu sehingga individulah yang nyata. Bedanya dengan pandangan pertama
adalah bahwa individu sebagai unsur pokok dari masyarakat mempunyai tujuan bersama,
sehingga masyarakat mempunyai tujuan meskipun hakikatnya semu, karena sejatinya itu
tujuan individu-individu. Ini artinya identitas individu dan identitas kelompok tidak
sepenuhnya terlebur dalam masyarakat secara keseluruhan. 
 Ketiga, bahwa individu dan masyarakat keduanya sejati. Meski terjadi bentuk dan
identitas baru sebagai akibat adanya sintesis individu dan masyarakat, tidak berarti
kemajemukan individu jadi suatu ketunggalan, sehingga eksistensi kemerdekaan individu
diakui. Entitas baru yang terbentuk di dalamnya, sebagai akibat sintesis itu,
memunculkan suatu jiwa baru, kesadaran baru, dan suatu kehendak baru, namun pikiran,
intelegensia, kesadaran dan kehendak para individu masih tetap ada. 
 Keempat, individu sebagai sesuatu yang hampa (tak bernilai), dan baru menjadi sejati
ketika melebur menjadi masyarakat. Perwujudan masyarakat itu sejati dan mutlak,
sehingga yang ada hanyalah jiwa bersama, kesadaran bersama, perasaan bersama,
kehendak bersama, dan ‘diri’ bersama. Kemerdekaan sebagai individu jadi tidak ada,
sebab yang ada hanyalah ketunggalan dalam masyarakat. (Muthahhari, 1985;20-24)

Lalu bagaimanakah sifat masyarakat itu ? secara umum ada dua pandangan; masyarakat
heterogen dan homogen.
Pendapat tentang masyarakat heterogen pun berbeda-beda dalam penafsirannya. Ada
yang melihatnya secara spesifik pada perbedaan secara fisiologis (ras) atau juga jiwa
individunya. Selain itu, perspektif yang berbeda dalam melihat sifat heterogenitas masyarakat
ini memunculkan perbedaan pula dalam klasifikasi masyarakatnya. Kelompok Marxian
melihat dari alat dan corak produksi (ekonomi) sehingga memunculkan konsep perbedaan
kelas dal masyarakat dimana ada kaum kapitalis-borjuis dengan kaum proletar. Secara sosio-
politis memunculkan konsep strata sosial yang melihat heterogenitas berdasarkan pada posisi-
posisi individu / kelompok di tengah-tengah masyarakat. Perspektif teologis yang bersumber
pada Al-Qur’an pun beda dalam menafsirkan heterogenitas ini, seperti Ziaul Haque dalam
bukunya Wahyu dan Revolusi (2000) dalam terminologi Islam (Al-Qur’an) menyiratkan
adanya heterogenitas karena menurutnya, pada dasarnya turunnya sang rasul tidak terlepas
dari adanya berbagai bentuk penindasan, kemunkaran dan kezaliman di tengah masyarakat.
Ziaul Haque menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua kutub masyarakat yaitu
kaum mustakbirun (yang pongah, sewenang-wenang, menindas) dan
kaum musthad’afin (kaum lemah, tertindas). Ada juga yang tekstual mengambil dari ayat-ayat
Qur’an yakni adanya penegasan Allah bahwa pada dasarnya manusia sudah ditakdir berbeda-
beda, dalam bangsa, golongan dsb. (QS. 49;13) isyarat lain dalam Qur’an adanya masyarakat
yang nampak bersatu namun hati mereka terpecah-pecah (QS. 59;14)
Pandangan kedua adalah yang menganggap bahwa masyarakat itu adalah homogen.
Pendapat ini salah satunya dikemukakan oleh Murtadha Muthahhari. Beliau menyatakan
bahwa sudah fitrahnya manusia untuk hidup bermasyarakat sehingga secara naluriah manusia
pasti bermasyarakat dimanapun kapanpun. Oleh sebab itu pada hakikatnya manusia itu satu,
tidak ada pengkutuban / perbedaan didalamnya. Manusia merupakan spesies tunggal, maka
masyarakat-masyarakat manusia pun mempunyai sifat, wujud, dan hakikat yang sama.
Pluralisme yang ada, menurutnya karena kesalahan dalam memandang masyarakat dan
manusia sebagai suatu bentuk duniawi an sich. Padahal menurutnya, Al-Qur’an pun sudah
memberitakan bahwa pada dasarnya agama yang diturunkan Allah kepada banyak nabi dan
masyarakat adalah tetap satu tidak berubah-ubah (QS. 42;13) yang berbeda hanya terletak
pada aturan-aturan tertentu. Sehingga agama yang satu itu baru bisa dijalankan oleh manusia
yang satu sebagai spesies tunggal. Individu itu adalah unsur pembentuk masyarakat, maka
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang satu itu pada hakikatnya merupakan satu
spesies tunggal. Masyarakat manusia sebagai suatu entitas objektif, mencerminkan suatu
spesies tunggal, bukan spesies kemajemukan jenis. (Muthahhari, 1985;47-49). Oleh karena itu
Muthahhari punya satu pendapat bahwa pada dasarnya tidak ada heterogenitas itu, itu
hanyalah karena cara pandang yang menduniawikan masyarakat dan sejarahnya.
 
C. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SEJARAH
Manusia dalam proses sejarah selalu menempatkan dirinya sebagai objek sekaligus
subjek sejarah. Keberadaan manusia sebagai makhluk sejarah, tidak dapat dilepaskan dari
kemampuan manusia menciptakan dunianya. Herty mengungkapkan, bahwa manusia mampu
menciptakan dunia kultural, suatu Lebenswelt. Melalui kemampuan merenung yang dimiliki
manusia dapat menciptakan dunia Eigenwelt, dunia batin. Melalui dimensi Eigenwelt,
manusia tidak hanya dapat mengambil jarak dengan sesuatu di luar dirinya. Manusia juga
dapat mengambil jarak dengan dirinya sendiri.
Selanjutnya Bertens mengatakan bahwa kemampuan manusia menyadari dirinya sebagai
makhluk sejarah tidak dapat terlepas dari kemampuan intrinsik yang dimiliki oleh manusia.
Manusia mampu dan berani mempertanyakan mengapa dirinya menjadi manusia. Sedangkan
binatang atau tumbuhan tidak pernah menanyakan eksistensinya sebagai binatang dan atau
tumbuhan. Kesadaran akan eksistensi tersebut menjadikan manusia punya peluang aktif
dalam proses sejarah. Untuk itu sejarah merupakan hak prerogratif manusia.
Historisitas menunjukkan bahwa segala peristiwa yang dialami manusia selalu berada
dalam konteks ruang dan waktu. Manusia tidak hanya berada dalam ruang dan waktu
melainkan manusia juga mampu mengatur ruang. Manusia tidak hanya berada dalam deretan
perubahan waktu, melainkan juga mampu mengatur waktu. Dalam masyarakat yang
menyadari akan historisitas, nasib manusia tidak diletakkan dalam tangan pihak eksternal
semata. Manusia menyadari bahwa nasibnya sangat ditentukan oleh bagaimana kiprah
perjuangan manusia dalam mengarungi kehidupan yang sebenarnya. Kesadaran akan dirinya
sebagai subyek sejarah mulai menonjol. Dirinya merasa bahwa manusia bukan hanya produk
sejarah, melainkan juga pembuat sejarah.
Pada saat tokoh besar menggunakan pengaruh yang sangat menentukan dalam sejarah,
sebenarnya pengaruh mereka masih sangat terbatas. Pilihan mereka dibatasi oleh keadaan
sejarah, paling tidak aspek ruang dan waktu. Tidak ada penguasa atau pemimpin yang dapat
mendorong orang banyak dan mengubah cara tanpa menggunakan beberapa macam
instrument yang menekan dan mempengaruhi sistem yang mengorganisir kekuasaan. Realitas
sosial mungkin banyak dipengaruhi oleh sang pemimpinnya, namun sang pemimpin sendiri
tidak dapat menghiraukan pola dan aturan yang sedang berlangsung.
Historisitas Manusia
Kesadaran sejarah, yang dalam ilmu sejarah disebut dengan historisitas, adalah gambaran
tingkat kesadaran suatu kelompok masyarakat terhadap arti penting masa lalu. Gambaran ini
akan terlihat dari cara memandang masa lalu itu sebagai suatu hal yang penting untuk
diungkapkan secara benar. Berbagai kepentingan dapat saja memboncengi pengungkapan
masa lalu itu, seperti untuk kepentingan politik dalam menjaga legitimasi suatu golongan
dalam masyarakat, mungkin untuk tujuan mengukuhkan keberadaan suatu ideologi atau
kepercayaan tertentu ataupun sekedar memperoleh kenikmatan kenangan masa lalu.
Pengungkapan sejarah masa lalu (historiografi) dari suatu masyarakat sangat ditentukan oleh
kesadaran sejarah yang mereka miliki, karena, baik bentuk ataupun cara pengungkapannya,
akan selalu merupakan ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat yang
menghasilkan sejarah itu sendiri.
Manusia adalah pelaku sekaligus pembuat sejarah. Historisitas manusia seperti itu pada
dasarnya merupakan gambaran tentang bagaimana cara manusia bereksepsi dalam
kehidupannya di dunia ini. Pemahaman tentang historisitas manusia amat penting bagi kita
dalam kaitanya dengan usaha untuk membangun kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah
mengandung arti :
• kesadaran akan pentingnya dan berharganya waktu untuk di manfaatkan sebaik-baiknya.
• kesadaran akan terjadinya perubahan yang berlangsung secara terus menerus sepanjang
kehidupan umat manusia.
• kesadaran akan pentingnya kemampuan untuk mengidentifikasi nilai-nialai yang terkandung
dalam suatu peristiwa sejarah.
kesadaran sejarah yang kita miliki memungkinkan kita untuk selalu berjuang mencapai
kehidupan yang semakin sempurna.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan, menyatakan
kemerdekaan , dan sekaligus mempertahankan kemerdekaan merupakan sebuah peristiwa
sejarah yang hanya mungkin terjadi karena para pejuang kita memiliki kesadaran sejarah.
Kesadaran sejarah yang kita miliki memang akan memberikan bekal kepada kita untuk
membangun konsep bahwa manusia adalah makhluk pejuang dan sekaligus makhluk
pembangun. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk historis.

D. Gerak Sejarah

Sejarah memang tercipta di lingkungan masyarakat. Namun masyarakat bukan semata-


mata objek sejarah. Di satu sisi, masyarakat adalah sebab  bagi terjadinya sejarah. Dalam
konteks ini, masyarakat ibarat wadah bagi sejarah.

Pada sisi yang lain, masyarakat acap merupakan subjek yang mengarahkan laju sejarah.
Dalam konteks inilah konsep kekuatan rakyat (people power) menemukan relevansinya. Di
balik hal tersebut memang sering hadir orang besar, namun apalah arti individu semacam ini
tanpa dukungan masyarakat atau rakyat. Dengan demikian, masyarakat juga merupakan
faktor penggerak sejarah.

Menurut George Novack, ada beberapa penggerak sejarah, di antaranya adalah:

1. Orang besar
2. Kekuatan ideal
3. Rakyat atau bangsa terpilih
4. Manusia dan lingkungan

Sedangkan menurut Carl G. Gustavson dalam karyanya a preface of history, sebagaimana


yang dikutip oleh Kuntowijoyo, menjelaskan bahwa ada 13 aspek yang menjadi kekuatan
sejarah, yakni:

1. Ekonomi
Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi mempermudah kesimpulan bahwa
sejarah ditetentukan oleh factor ekonomi. Salah satu cntohna adalah terciptanya jalan sutera
dari Tiongkok ke Eropa ialah karena kepentingan ekonomi.

2. Agama
Munculnya Agama Kristen, masuknya Kristen ke Eropa, dan terbentuknya Zaman
Pertengahan di Eropa sebagian besar dapat dijelaskan dengan agama. Gerakan-gerakan
tarekat di Aeh pada awal abad ke-17, di bawah pimpinan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani serta pemberantasannya di bawah Nuruddin Ar-Ramiri adalah semata-mata karena
alasan agama.

3. Institusi
Dalam sejarah Indonesia, institusi, terutama Negara, juga merupakan kekuatan yang
menggerakan sejarah. Dalam beberapa kasus lain, Negara juga berperan dalam penyebaran
agama, baik Hindu, Islam, maupun Kristen.

Mataram mengadakan serbuan ke utara dan timur dengan maksud menguasai jalur
perdagangan, karena pada saat itu kota-kota pantai menguasai perdagangan antar pulau. Hal
ini membuktikan bahwa institusi politik efektif untuk menguasai ekonomi.

4. Teknologi
Sebelum terciptanya jalur kereta api, Bengawan Solo berperan besar dalam proses 
pengangkutan, seperti diceritakan dalam penyerbuan Mataram ke Surabaya. Namun setelah
rel-rel kereta api menghubungkan Yogyakarta dengan Surabaya, Bengawan Solo kehilangan
monopolinya. Kota-kota sepanjang sungai digantikan oleh kota-kota sepanjang jalan kereta
api. Demikian juga laut, perananya dapat digantikan oleh kereta api. Dengan diam-diam
teknologi telah mengubah kehidupan.

5. Ideologi
Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan terdapat Taman Siswa yang mencoba menjawab
pertanyaan kebudayaan dunia, kebudayaan daerah, dan kebudayaan nasional. Soekarno
mencoba menyatukan Islam, Marxisme, dan Nasionalisme, ideologi yang dibawanya sampai
tahun1966 ketika ia menyerahkan kekuasaanya pada Orde Baru.

6. Militer
Selain bangsa Belanda, pada zaman Belanda diangkat orang-orang Indonesia sebagai tentara.
Demikianlah misalnya, Barisan Madura dipakai Belanda untuk memadamkan Perang Aceh.
Tentara juga merupakan kekuatan yang riil dan kekuatan sejarah yang harus diperhitungkan
oleh ormas-ormas menjelang G-30-S/PKI.

7. Individu
Pengaruh seorang individu sangat besar yang akan dapat mengubah sejarah. Seperti Al-
Ghazali yang memiliki pengaruh besar dalam Tasawuf. Dalam kerajaan tradisional, seperti
dalam wayang, hanya kita kenal nama raja bukan kelompok sosial.

8. Seks
Sekarang kajian tentang seks sudah ditinggalkan, sebab kajian biologis itu sudah digantikan
dengan konsep gender yang menitikberatkan perbedaan pria dan wanita lebih pada pandangan
sosial-budaya yang bisa berubah. Akan tetapi, dahulu memang orang memahami perbedaan
pria dan wanita lebih pada perbedaan biologis yang tidak berubah.

9. Umur
Dengan tidak sadar, ternyata umur menentukan perkembangan bisnis. Misalnya, Organisasi
Peserta Pemilu (OPP). Dalam agama, umur juga menentukan gaya. Jika dalam masyarakat
tradisional, orang-orang tualah yang tertarik pada thariqah, dalam masyarakat modern
rupanya anak-anak muda juga tertarik.

10. Golongan
            Golongan buruh dan tani, yang juga muncul pada waktu yang hampir bersamaan,
banyak diperebutkan partai-partai politik. Dalam Revolusi, kaum buruh hampir di semua
tempat dan pekerjaan mendirikan angkatan-angkatan muda.

11. Etnis dan Ras


Etnis dan ras menduduki peran penting dalam pertumbuhan kota tradisional. Misalnya di
kerajaan Kejawen, seperti Surakarta, ada tempat khusus untuk orang Banjar, juga untuk orang
Arab, orang China dan orang Belanda.

12. Mitos
     Di Indonesia mitos benar-benar menjadi kekuatan sejarah dan karena itu patut mendapat
perhatian. Kebanyakan mitos Indonesia menceritakan masa lalu. Tetapi ada pula mitos baru,
seperti mitos tentan peranan laut, bangsa, Negara, partai, ideologi, dan sebagainya.

13. Budaya
     Periodisasi sejarah Eropa sampai ke abad 19 banyak dipengaruhi oleh pertimbangan
budaya. Ketika kita ikut membagi Eropa menjadi beberapa periode, seperti zaman Klasik,
zaman Pertengahan, Renaisans, Reformasi, Rasionalisme Prancis dan Emperisme Inggris,
Zaman Pencerahan dan Romantisme, pengaruh sejarah pemikiran dan ilmu pengerahuan
Eropa kuat. Pengaruhnya tidak hanya berhenti dalam cara berfikir, tetapi juga pada cara
merasa dan cara bekerja.

Pola Gerak Sejarah

Pemahaman mengenai teori pola gerak sejarah dimaksudkan agar seorang sejarawan
mempunyai gambaran yang menyeluruh tentang posisi manusia dalam rentang sejarah dan
faktor-faktor lain di luar manusia yang juga menentukan arah dari gerak sejarah. Pada
dasarnya, ada banyak gerak sejarah, yakni gerak sejarah maju, gerak sejarah mundur, gerak
sejarah daur cultural, gerak sejarah menurut hukum fatum, paham Santo Agustinus, masa
renaisans, tafsiran sejarah menurut Oswald Spengler, Tafsiran Arnold J. Toynbee, dan Teori
Pitirim Sorokin. Namun dalam pembahasan ini akan dijelaskan beberapa pola gerak sejarah,
yakni:

1. Siklus
Pola gerak siklus dihasilkan dari hukum Fatum. Hukum fatum berkaitan dengan penyamaan
antara alam raya dengan alam kecil, yakni manusia (macrocosmos dan microcosmos). Alam
raya dan alam manusia dikuasai oleh nasib (qadr), yakni suatu kekuatan gaib yang menguasai
keduanya. Hukum alam yang menguasai hukum cosmos adalah hukum lingkaran atau hukum
siklus, yang berarti bahwa setap kejadian yang pernah terjadi maka akan terjadi dan terulang
kembali.

Hukum siklus berarti bahwa setiap kejadian atau peristiwa tertentu akan terulang atau terjadi
kembali. Seperti tumbuh kembangnya manusia, yang pada awalnya tidak ada, kemudian
dilahirkan, tumbuh dan berkembang, tua, dan akhirnya kembali kepada ketiadaan (mati). Oleh
karena itu terdapat dalil bahwa di dunia ini tidak terdapat sesuatu (peristiwa) yang baru, sebab
segala sesuatu berulang menurut hukum siklus.

2. Linier
Pola gerak sejarah linier ini berkembang pada abad ke-18 dan 19. Zaman dimana kekuatan
gereja sudah runtuh dan digantikan oleh zaman renaissance dengan ciri masyarakat yang
senantiasa bergerak dan mengupayakan kehidupan yang lebih baik. Zaman ini juga ditandai
dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini kemudian
memunculkan alam pikiran baru di Eropa, yang kemudian berdampak pada gerak sejarah.
Masyarakat tidak lagi menitik beratkan segala sesuatunya kepada Tuhan, melainkan kepada
rasionalitas. Hal ini menimbulkan perubahan dalam gerak sejarah. Titik dari segala peristiwa
tidak lagi dipangkalkan pada Tuhan, melainkan kepada evolusi (kemajuan) yaitu keharusan
yang memaksa segala sesuatu untuk maju, dan kemudian memunculkan pola gerak sejarah
maju.

3. Spiral
Giovanni Battista Vico merupakan seorang filsuf dan sejarawan Italia yang berasal dari
Napoli dan merupakan guru besar dalam retorika serta sejarawan istana. Ia menyatakan
bahwa sejarah bergerak mengikuti pola spiral, yakni selalu ada perulangan kembali, tetapi
tidak kepada titik pangkal, melainkan ke titik yang lebih tinggi, sehingga keseluruhannya
merupakan kemajuan.

Teori ini dianggap sebagai sintese dari gerak lingkar dan proses saling hubung, antara
pendapat sejarah berulang lagi dan sejarah berlaku sekali. Vico menyatukan ulangan dengan
urutan atau ulangan dengan perkembangan.

4. Diakletis
Diakletis merupakan pola gerak sejarah yang menunjukkan bahwa peristiwa sejarah
bersifat fluctuaction of age to age, yakni naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Pola
gerak sejarah ini dikemukakan oleh seorang ilmuwan Russia yang mengungsi ke Amerika
Serikat sejak revolusi komunis 1917, yakni Pitirim Sorokin. Ia juga merupakan seorang
sosiolog.

Dalam merumuskan pola gerak sejarah, ia menerima teori siklus, seperti teori hukum fatum
yang dikemukakan oleh Spengler, dan menolak teori Karl Marx, dan juga teori Agustinus dan
Toynbee yang mengarah kepada kerajaan Tuhan.

Menurut Sorokin, tidak ada hari akhir sebagaimana yang diyakini oleh St. Agustinus, dan
tidak ada pula kehancuran. Ia hanya melukiskan perubahan-perubahan dalam tubuh
kebudayaan yang menentukan sifatnya untuk sementara waktu.

Dalam menafsirkan gerak sejarah, Sorokin tidak mencari pangkal dari gerak sejarah atau
muara gerak sejarah. Ia hanya melukiskan prosesnya atau jalannya gerak sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

https://tanya-tanya.com/rangkuman-materi-manusia-dan-sejarah/, .Diakses pada 1 Desember


2020

https://www.google.com/amp/s/adzelgar.wordpress.com/2009/02/05/masyarakat-dan-
sejarah/amp/, .Diakses pada 1 Desember 2020

https://swcuhistory.wordpress.com/2019/04/15/peran-manusia-dalam-sejarah/, .Diakses pada


1 Desember 2020

Anda mungkin juga menyukai