Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Early Warning Score (EWS)


Early Warning Score (EWS) adalah alat bantu dalam
mengidentifikasi orang yang sakit kritis untuk segera dilakukan
intervensi medis tepat waktu (Smith, at all 2011).
Skor peringatan dini (EWS) banyak digunakan dalam rangkaian
perawatan kesehatan dengan sumber daya yang baik untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kematian.
Adapun perbedaan populasi dan jenis penyakit sangat
mempengaruhi kinerja Early Warning Score (EWS)

Berikut ini adalah tabel penilaian Nasioal Early Warning score


(NEWS) dari royal college jurnal, (2015).
Parameter 3 2 1 0 1 2 3
fisiologis
Respirasi ≤8 9 - 11 12 - 20 21 - 24 ≥25
Saturasi ≤91 92 - 93 94 - 95 ≥96
oksigen
Oksigen Yes No
tambahan
Suhu ≤35. 35.1-36.0 36.1 - 38.0 38.1 - 39.0 ≥39.1
0
Tekanan ≤90 91-100 101 - 110 111 - 219 ≥220
Darah
Sistolik
Nadi ≤40 41 - 50 51 - 90 91 - 110 111 - 130 ≥131
Tingkat A V, P,
kesadaran or U

Dari jurnal royal college yang di adopsi, rumah sakit siloam


memodifikasi nilai dari parameter denyut nadi dan suhu tubuh

6
7

karena di sesuaikan kembali dengan keadaan fisik dan iklim di


Indonesia.
Berikut adalah hadil modifikasi dari Siloam Hospital Groub :
Parameter fisiologis penilaian Early Warning Score (EWS)

Parameter 3 2 1 0 1 2 3
fisiologis
Respirasi ≤8 9 - 11 12 - 20 21 - 24 ≥25
Saturasi ≤91 92 - 93 94 - 95 ≥96
oksigen
Oksigen Ya Tidak
tambahan
Suhu ≤35.0 35.1-35.9 36.0 - 38.0 38.1 - 39.0 ≥39.1

Tekanan ≤85 86-95 96 - 99 100 - 179 180 - 200 201 - 219 ≥220
Darah
Sistolik
Nadi ≤40 41 - 50 51 - 90 91 - 110 111 - 130 ≥131
Tingkat A V, P,
kesadaran Alert or U

Sistem penilaian National Early Warning Score (EWS)


Dalam beberapa situasi, pasien akan memiliki tingkat gangguan
kesadaran sebagai konsekuensi sedasi, misalnya mengikuti
prosedur pembedahan. Dengan demikian, penilaian tingkat
kesadaran dan kebutuhan untuk meningkatkan perawatan harus
dipertimbangkan dalam konteks terbatas waktu dari tingkat
kesesuaian yang sesuai yang terkait dengan sedasi baru-baru ini.
Untuk pasien dengan kegagalan pernapasan hypercapnoeic yang
diketahui karena penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
disarankan kejenuhan target Thoracic Society 88-92% harus
digunakan. Pasien ini akan tetap 'mencetak' jika saturasi
oksigennya di bawah 92 kecuali skor 'di-reset' oleh klinis yang
kompeten.
8

Skor dialokasikan untuk masing-masing karena diukur, besarnya


skor yang mencerminkan seberapa ekstrim parameternya bervariasi
dari norma. Skor ini kemudian digabungkan, dan diangkat untuk
orang yang membutuhkan oksigen. Penting untuk ditekankan
bahwa parameter ini telah diukur secara rutin di rumah sakit dan
dicatat pada grafik klinis.

Berikut ini adalah tabel respon klinik yang dilakukan setelah


mengetahui skor EWS pasien sesuai dengan tingkat rendah, sedang
dan tinggi.

Respon klinik aktivasi EWS Team


Nilai EWS Frekuensi Respon Klinik
monitoring
0 Minimal 3 kali 1. Lanjutjan monitoring EWS rutin (RR,HR,
sehari Suhu, SpO2, tingkat kesadaran
2. Catat pada lembar observasi pasien.
3. Jika pada re-asessmen ditemukan skor >0, ikuti
petunjuk skor rendah (HIJAU)
Total 1-4 Tiap 4 jam 1. Lapor RMO dan Duty manager
(score rendah ) 2. RMO visit pasien dan melakukan verifikasi
kondisi pasien <1jam
3. RMO memutuskan frekuensi monitoring di
tambah atau ekskalasi ke dokter penanggung
jawab (DPJP)
4. Catat pada lembar observasi dan formulir
integrated note
5. Jika pada re-asessmen ditemukan skor <1
setelah 4 jam, kembali ikuti petunjuk respon
klinis skor 0
6. Sebaliknya, jika ditemukan >4 setelah 2 jam
observasi:
1) Lakukan re-asessmen (RMO/perawat)
2) Tingkatkan frekuensi observasi
3) Ikuti petunjuk skor medium (KUNING)
Score Medium Terus menerus tiap 1. Hubungi RMO dan Duty manager
(nilai 3 di 1 jam sampai 2. RMO Melakukan verifikasi dalam 5 menit
sembararang kondisi membaik sejak dilaporkan dan melakukan pemeriksaan
parameter) dan penanganan pasien
9

atau total 5-6 3. Siapkan pasien monitor jika diperlukan


4. Bubuhkan stempel khusus EWS pada
integrates notes
5. Catat pada lembar observasi dan formulir
integrates notes
6. Jika pada re-asessmen ditemukan skor<5
setelah 4 jam observasi, kembali ikuti petunjuk
respon klinis skor rendah (HIJAU)
7. Sebaliknya, jika ditemukan >6 setelah satu jam
observasi :
1) Lakukan re-asessmen (RMO/Perawat)
2) Tingkatkan frekuensi observasi tiap 30
menit
3) Ikuti petunjuk skor tinggi (MERAH)
Total 7 atau Continuous 1. Hubungi RMO dan Duty manager, RMO lapor
lebih ( skor monitoring dan DPJP, bila >3menit tidak bisa dihubungi,
tinggi) penanganan dalam kontak dokter spesialis yang sama bidangnya
30 menit 2. RMO menginforkasikan kepada keluarga
tentang kondisi pasien dan kemungkian pindah
rawat ruang intensif
3. Monitor secara berkelanjutan dengan alat
monitor portable (jika tersedia)
4. Bubuhkan stempel khusus EWS pada
integrated notes
5. Jika dalam waktu 30 menit sejak penanganan
dan konsultasi dengan DPJP terjadi perburukan
pasien, maka RMO atas izin DPJP
mengkonsultasikan kepada intensivist dan
rekomendasi untuk rawat diruang intensif
6. Jika terjadi cardiac arrest, lakukan penanganan
sesuai dengan algorithme code blue
7. Jika respon pasien membaik, dan skor <7
setelah 4 jam observasi secara terus-menerus,
kembali ikuti petunjuk respon klinis medium
(KUNING)
8. Jika skor tetap >7, DPJP, intensivist, dan setuju
rawat ruang intensif
9. Pasien dipindahkan keruang intensif
10

B. Code blue
Code blue merupakan organisasi tim resusitasi profesional,
memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup pasien dengan
pernapasan dan atau serangan jantung di rumah sakit ( Murat, et all. 2013).
Pemimpin yang efektif sangat penting dalam memfungsikan tim code blue.
Instruksi kepemimpinan termasuk: menentukan apa yang harus dilakukan,
memberi tahu rekan kerja Anda apa yang harus mereka lakukan, membuat
pernyataan singkat dan jelas, dan memastikan kepatuhan terhadap
algoritma ACLS.
Penggunaan reguler 'SBAR' selama resusitasi akan memastikan bahwa staf
perawat tidak hanya memahami peran mereka dalam resusitasi tetapi juga
penilaian pemimpin kode dan rencana tindakan yang diinginkan -
semuanya diidentifikasi dalam survei sebagai kunci keberhasilan kinerja
tim selama resusitasi. SBAR 'berdiri untuk : Situasi, Latar Belakang,
Penilaian, dan Rekomendasi, dan dikenal dalam literatur pendidikan
medis.
Teknik SBAR di awal, tengah, dan akhir dari keadaan darurat,
memperbaiki komunikasi antara anggota tim code blue, dan memiliki
strategi untuk memastikan jumlah orang yang ideal menanggapi setiap
resusitasi.
Pelatihan yang mengikuti survei pencarian fakta awal ini harus
memasukkan panduan untuk pelatihan tim yang efektif, meliputi: alat
praktik pra, penekanan pada komponen kerja tim yang diidentifikasi dalam
analisis tugas tim, memastikan bahwa pelatihan memfasilitasi perilaku
adaptif, mendorong iklim belajar yang aman dimana tim Anggota dapat
menyuarakan pendapat mereka secara bebas, memastikan anggota tim
menerapkan lingkaran tertutup komunikasi. Dan dilanjutkan dengan
evaluasi pasca pelatihan terhadap intervensi pelatihan.

Jackson, at all (2015) menyatakan Kunci untuk menjalankan code blue


yang efektif adalah kualitas dan ketepatan waktu intervensi. CPR awal
yang cepat dan defibrilasi cepat, jika ditunjukkan, sebelum intervensi
11

kardiovaskular mendukung kehidupan lanjut (ACLS) adalah dua prinsip


penting dalam memulai fase resusitasi. Terlepas dari kenyataan bahwa
profesional kesehatan dengan pendidikan lanjutan dan pelatihan
mengetahui patofisiologi di balik penangkapan kardiopulmoner, pada saat
mereka sering lupa bahwa langkah pertama yang paling penting adalah
mengembalikan perfusi melalui penekanan dada yang efektif.
1. Penyedia layanan kesehatan pertama yang merespons mengasumsikan
peran "kompresor" dan segera memulai penekanan dada pada tingkat
sekurang-kurangnya 100 penekanan per menit
2. ketika personil tambahan tiba yang kemudian akan beralih peran
kompresor sekitar setiap 2 menit (atau setelah sekitar 5 siklus kompresi
dan ventilasi dengan perbandingan 30: 2) untuk mencegah penurunan
kualitas kompresi.
3. Pastikan kedalaman penekanan dada minimal 2 inci (5 cm) dengan
kekakuan dada lengkap setelah setiap kompresi memungkinkan
jantung mengisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya
4. Minimalkan frekuensi dan durasi interupsi dalam kompresi untuk
memaksimalkan jumlah penekanan yang diberikan per menit. Tekanan
dada menyebabkan udara dikeluarkan dari dada dan oksigen ditarik ke
dalam dada karena rekahan elastis pada dada
5. oksigen yang diberikan melalui persalinan pasif harus cukup untuk
beberapa menit setelah onset serangan jantung pada pasien dengan
saluran napas atas paten.

Peninjauan keterampilan management code blue :


1. Memulai code blue per kebijakan fasilitas.
2. Mulai CPR (satu dan dua orang penyelamat).
3. Posisikan perangkat bag-mask dan pasang ke oksigen.
4. Tempatkan papan.
5. Bawa troley emergency ke ruangan.
6. Atur ruangan untuk akses troley emergency pasien.
7. Cari persediaan dan peralatan pada troley emergency.
12

8. Lampirkan EKG lead.


9. Pasang bantalan defibrilasi.
10. Mengisi defibrillator dan defibrillate.
11. Berikan obat.
12. Mengatur peralatan untuk intubasi (tabung endotrakea, stylet,
laringoskop, isap).
13. Mengatur capnography bentuk gelombang berkelanjutan.
14. Asumsikan berbagai peran.
15. Mengkoordinasikan kode.
16. Berkolaborasi dengan anggota tim layanan kesehatan lainnya (terapis
pernafasan, dokter, penyedia anestesi, apoteker, teknisi perawatan
pasien.

Pemimpin tim code blue mengarahkan usaha resusitasi, berkomunikasi


dengan semua anggota tim, dan memantau ritme jantung pasien.
Pemimpin tim kode harus berada dalam posisi untuk secara efektif
mengamati semua aspek upaya resusitasi. Peran ini dapat diambil oleh
dokter atau penyedia perawatan lanjutan.
Perekam mendokumentasikan keseluruhan proses resusitasi. Selama kode
tersebut, perekam mengingatkan pemimpin tim kode setiap 2 menit saat
saatnya beralih peran kompresor dan waktu, nama, dan dosis obat terakhir
yang diberikan. Penting juga bagi perekam untuk mendokumentasikan
ritme jantung sebelum terjadi kejutan dan penekanan segera dilepaskan
setelah kejutan. Perekam juga mencatat bahwa oksigen 100% dikirim dan
pasien mengalami kenaikan dan penurunan dada dengan ventilasi. Temuan
penilaian seperti nilai CO2 pasang surut harus dicatat. Cetak irama irama
jantung atau rangkuman kode dari monitor / defibrilator untuk rekam
medis pasien. Identifikasi dengan jelas semua dokumentasi dengan nama
pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis, dan tanggal dan waktu.
Perhatikan waktu upaya resusitasi dihentikan, disposisi pasien, dan waktu
kematian jika berlaku.
13

Perawat perlu mempersiapkan untuk mentransfer pasien agar stabilisasi


atau perawatan lebih lanjut. Jika penangkapan itu disebabkan oleh
penyebab kardiak, pasien mungkin akan dibawa ke laboratorium
kateterisasi jantung (jika ada fasilitas) atau ICU. Pasang monitor /
defibrillator dan terus pantau irama jantung saat transfer ke unit yang
ditunjuk. Seseorang yang bisa secara efektif mengatur jalan napas juga
harus menemani tim yang mentransfer pasien. Handoff of care
communication harus mengikuti kebijakan dan prosedur fasilitas yang
mapan.
Pertimbangan perawatan pasien termasuk mengoptimalkan ventilasi,
oksigenasi, dan BP untuk mempertahankan perfusi organ vital. Pasien
mungkin memerlukan IV. Vasopressor seperti epinefrin, dopamin, atau
norepinephrine untuk mendapatkan dan mempertahankan TD sistolik
minimal 90 mmHg. Untuk mengoptimalkan fungsi neurologis dan
memperbaiki kemungkinan bertahan hidup untuk buang air besar di rumah
sakit, hipotermia terapeutik dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
ROSC yang tidak responsif. Tim pastoral, supervisor keperawatan, atau
perawat penanggung jawab mungkin perlu menghubungi keluarga jika
mereka tidak Hadir pada saat penangkapan dan informasikan tentang
perubahan status klinis pasien.

C. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil “tahu”
seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimilikinya.
Penginderaan sampai dapat menghasilkan pengetahuan tersebut
dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap objek (
Notoadmojo, 2014). Pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan.
diharapkan dengan pendidikan yang tinggi dapat memperluas pengetahuan
seseorang. Namun, bukan berarti orang dengan pendidikan yang rendah
pengetahuannya rendah pula. Pengetahuan seseorang dapat meningkat
bukan saja dari pendidikan formal, akan tetapi dapat diperoleh melalui
pendidikan non-formal. Pengetahuan seseorang mengenai suatu objek
14

mengandung 2 aspek yaitu positif dan negative yang akan menentukan


sikap seseorang. Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui,
maka akan menimnulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu (
Wawan& Dewi, 2011). Salah satu bentuk objek kesehatan dapat
dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri
(WHO dalam Wawan & Dewi, 2011 ).

1. Faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut:


a. Faktor Internal
1). Pendidikan
Pendidikan merupakan bimbingan dari seseorang terhadap
perkembangan orang lain untuk menuju cita- cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan
sehingga tercapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan
diperlukan untuk mendapat informasi misalnya mengenai hal- hal
yang menunjang kesehatan untuk dapat meningkatkan kualitas
hidup (YB Mantra dalam Wawan& Dewi, 2011). Pada umumnya
makin tinggi pendidikan seseorang, maka akan makin mudah
dalam penerimaan informasi.
2). Lama kerja
Rata-rata masa kerja perawat masih belum lama akan
menyebabkan tuntutan pemenuhan kebutuhan masih kurang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perawat di mempunyai harapan
yang relatif sudah terpenuhi karena belum mempunyai tuntutan
kebutuhan yang tinggi dibandingkan dengan masa kerja yang
sudah lama (Rusmianingsih, 2012).
Dalam Jurnal oleh Jebul Suroso (2011) terdapat lima tingkatan
yang di atur oleh Depkes adalah sebagai berikut :
a. Perawat Klinik (PK1)
Perawat Klinik 1 (novice) adalah perawat lulusan DIII
memiliki pengalaman kerja 2 tahun atau Ners (lulusan SI
15

Keperawatan plus pendidikan profesi) dengan pengalaman


kerja 0 tahun, dan memiliki sertifikat PK1.
b. Perawat Klinik II (PK II)
Perawat Klinik II (Advance Beeginner) adalah perawat
lulusan DIII Keperawatan dengan pengalaman kerja 5
tahun atau Ners (lulusan SI Keperawatan plus pendidikan
profesi) dengan pengalaman kerja 3 tahun, dan mempunyai
sertifikat PK II.
c. Perawat Klinik III (PK III)
Perawat Klinik III (competent) adalah perawat lulusan DIII
Keperawatan dengan pengalaman kerja 9 tahun atau Ners
(lulusan SI Keperawatan plus pendidikan profesi) dengan
pengalaman kerja 6 tahun, dan mempunyai sertifikat PK III.
Bagi lulusan DIII Keperawatan yang tidak melanjutkan ke
jenjang SI Keperawatan tidak dapat melanjutkan ke jenjang
PK IV dan seterusnya.
d. Perawat Klinik IV (PK IV)
Perawat Klinik IV (proficient) adalah Ners (lulusan SI
Keperawatan plus pendidikan profesi) dengan pengalaman
kerja 9 tahun atau Ners spesialis dengan pengalaman kerja
2 tahun, dan mempunyai sertifikat PK IV. Atau Ners
Spesialis Konsultan dengan pengalaman kerja 0 tahun.
e. Perawat Klinik V (PK V)
Perawat Klinik V (expert) adalah Ners spesialis dengan
pengalaman kerja 4 tahun, Ners Spesialis Konsultan dengan
pengalaman kerja 1 tahun dan mempunyai sertifikat PK V
3). Pelatihan
Pelatihan merupakan suatu fungsi manajemen yang perlu
dilaksanakan terus menerus dan ini sangat penting dalam peningkatan
kualitas dokumentasi asuhan keperawatan. Tingginya persentase
perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan pendokumentasian
disebabkan karena manajemen rumah sakit sudah lama tidak
menyelenggarakan pelatihan pendokumentasian asuhan keperawatan.
16

4). Umur
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai berulang tahun ( Elisabeth BH dalam Wawan&
Dewi, 2011). Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja
( Huclok, 1998 dalam Wawan& Dewi, 2011).

b. Faktor Eksternal
1). Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar
manusia dan pengaruhnya yang dapat mmpengaruhi
perkembangan dan perilaku seseorang ( Ann. Mariner dalam
Wawan& Dewi, 2011).
2). Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.

2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang cukup di dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan ( Notoadmojo, 2014) yaitu:
a. Tahu ( Know )
Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat kembali memori
yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.Oleh sebab itu
“tahu” ini merupakan tingat pengetahuan yang paling rendah. Pada
penelitian ini, peneliti ingin mengetahui tingkat pengetahuan perawat
mengenai EWS dan cara penilaiannya.
b. Memahami ( Comprehension )
Memahami merupakan kemampuan individu untuk menjelaskan
kembali objek yang telah diterima dan menyimpulkan suatu objek yang
telah dipelajari. Memahami suatu objek bukan hanya sebatas tahu
tentang objek tersebut, bukan hanya dapat menyebutkan, tetapi orang
17

tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek


tersebut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pemahaman perawat
tentang kejadian code blue pemahaman perawat terhadap penilaian
EWS.
c. Analisis ( Analysis )
Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan
atau memisahkan lalu mencari hubungan antara komponen- komponen
yang terdapat dalam sutau masalah yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis yaitu
apabila orang tersebut sudah dapat membedakan, mengelompokkan,
membuat bagan terhadap pengetahuan tersebut. Contohnya, dapat
membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa.
d. Aplikasi ( Application )
Aplikasi yaitu apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi yang lain. Aplikasi merupakan kemampuan seseorang untuk
menggunakan atau mempraktekkan materi yang sudah dipelajari ke
situasi yang nyata. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana penerapan
penilaian EWS untuk menurunkan angka kejadian code blue di RS
Siloam Lippo Karawaci Tangerang.
e. Sintesis ( Synthesis )
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan,
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori yang telah ada.
f. Evaluasi ( Evaluation )
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek.Penilaian tersebut didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-
kriteria yang telah ada.
18

3. Kriteria Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan
skala yang bersifat kualitatif (Arikunto, 2006 dalam Wawan& Dewi,
2011), yaitu:
a. Baik : hasil presentase 76%- 100%
b. Cukup : hasil presentase 56%- 75%
c. Kurang : hasil presentase < 56%
Pengetahuan perawat sangatlah penting dalam melakukan perawatan
ventilasi mekanik yang berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam
melakukan penerapan tindakan ventilasi mekanik yang baik (Idawaty,
2016).

D. Sikap
Sikap merupakan respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
misalnya, senang- tidak senang, setuju- tidak setuju, baik- tidak baik, dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2014). Sikap adalah pandangan-pandangan atau
perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek
tertentu ( Heri Purwanto, 1998 dalam Wawan & Dewi, 2011).
1. Komponen yang membentuk sikap
Menurut Baron & Byrne juga Myers & Gerungan, terdapat 3 komponen
pembentuk sikap (Wawan & Dewi, 2011 ) yaitu:
a. Komponen Kognitif ( komponen perseptual)
yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan dan
keyakinan yang berhubungan dengan cara orang berpersepsi terhadap
sikap.
b. Komponen Afektif (komponen emosional)
yaitu komponen yang berkaitan dengan perasaan suka (positif) atau
tidak suka (negatif).
c. Komponen Konatif ( komponen perilaku)
yaitu komponen yang berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk
bertindak terhadap objek sikap, dimana menunjukkan intensitas sikap.
19

2. Tingkatan Sikap ( Notoadmojo, 2014)


a. Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa subjek mau menerima stimulus atau
objek yang diberikan.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi dapat diartikan yaitu memberikan tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (valuing)
Menghargai dapat diartikan bahwa seseorang memberikan nilai positif
pada objek dalam arti membahasnya dengan orang lain bahkan
mempengaruhi orang lain untuk berespon.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab dapat diartikan bahwa seseorang yang telah
mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, harus berani
bertanggung jawab dan menghadapi resikonya.

3. Ciri- Ciri Sikap


Ciri- ciri sikap adalah ( Heri Purwanto dalam Wawan & Dewi, 2011) :
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dan dipelajari
sepanjang perkembangan manusia dalam hubungan dengan objeknya.
b. Sikap dapat berubah-ubah, oleh karena itu sikap dapat dipelajari dan
dapat berubah bila dlam kondisi tertentu.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, namun mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek.
d. Objek sikap itu merupakan suatu hal atau kumpulan dari hal- hal
tersebut.
e. Sikap mempunyai segi motivasi dan perasaan dan bersifat alamiah yang
membedakan sikap tersebut dengan pengetahuan seseorang.
20

4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Sikap


a. Pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi harus dapat meninggalkan kesan yang kuat untuk
dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi
yang melibatkan faktor emosional.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu cenderung memiliki sikap konformis yang searah dengan sikap
orang yang dianggap penting. Hal ini dimotivasi oleh keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan memberi corak pengalaman masyarakatnya sehingga
mewarnai sikap masyarakat tersebut.
d. Media massa
Sikap konsumen media massa terpengaruh dari sikap penulisnya yang
menyampaikan berita secara objektif, padahal seharusnya berita
tersebut disampaikan secara faktual.
e. Lembaga Pendidikan & Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan agama
menentukan system kepercayaan jika konsep tersebut mempengaruhi
sikap seseorang.
f. Faktor emosioanal
Sikap terkadang merupakan pernyataan yang didasari emosi dan
berfungsi sebagai pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (
Azwar, 2005 dalam Wawan & Dewi, 2011).

5. Pengukuran Sikap
Berikut beberapa teknik pengukuran sikap antara lain: (Wawan&
Dewi,2011)
a. Skala Thurstone
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang dari yang sangat
unfavorable hingga sangat favorable terhadap suatu objek sikap.
21

Caranya yaitu dengan memberikan orang tersebut sejumlah item sikap


yang telah ditentukan derajat favorabilitasnya atau disebut nilai skala.
Pembuat skala perlu membuat 100 sampel pernyataan sikap.
Favorabilitas penilai diekspresikan melalui titik skala rating yang
memiliki rentang 1- 11, mulai sangat tidak setuju sampai sangat setuju.
b. Skala Likert
Metode ini lebih sederhana dari skala Thurstone. Masing- masing
responden diminta melakukan “ agreement “ atau “ disagreement “
untuk masing- masing item dalam skala yang terdiri dari 5 poin ( sangat
setuju, setuju, ragu- ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju ) yang diberi
nilai mulai angka 5- 1.
c. Unobstructive Measures
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat
aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan dengan
sikapnya dalam pertanyaan.
d. Multidimensional Scaling
Teknik ini mendeskripsikan seseorang lebih kaya bila dibandingkan
dengan pengukuran sikap yang bersifat undimensional
e. Pengukuran Involuntary Behaviour
Pada metode ini, observer dapat menginterpretasikan sikap individu
mulai dari facial reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi
pupil, detak jantung dan aspek fisiologis lainnya.

E. Perilaku
1. Pengertian
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus yang dapat
diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik yang
disadari ataupun tidak (Wawan & Dewi, 2011).
Perilaku adalah suatu kegiaatan atau aktivitas organisme (mahkluk
hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis
semua makhluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan, binatang sampai
22

manusia itu memiliki prilaku karena mereka memiliki aktivitas masing-


masing (Notoamodjo, 2014)

2. Jenis Prilaku
Ada 2 jenis perilaku menurut (Notoadmojo, 2014), covert behavior &
overt behavior :
a. Respon tertutup (covert behavior)
Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi
pada orang yang menerima stimulus atau rangsangan tersebut dan
belum diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Respon terbuka (overt behavior)
Respon erhadap simulus tersebut sudah jelas dalam atau praktik
(practice) yang dengan mudah diamati atau dilihat oleh orang
lain.

3. Respon Prilaku
Skiner merumuskan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini menjadi terjadi
melalui proses adanya simulus terhadap organisme dan kemudian
mekanisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-
O-R” atau Stimulus Organisme Respon.
Dalam teori Skiner dibedakan adanya 2 Respon:
a. Respondent Respons atau flexi : respon yang ditimbulkan
rangsangan-rangsangan atau stimulus tertetu. Stimulus ini disebut
dengan electing Stimulation karena menimbulkan respon-respon
yang relatif tetap.
b. Operan Respons atau instrumenal respons: respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikui oleh stimulus atau perangsang yang
disebut reinforcing stimulation atau reinforcer
23

4. Domain Perilaku
Meskipun perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau
faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang
membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda yang disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi
dua, yakni:
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan
yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2014).

5. Proses Prilaku
Menurut Roger (1974) yang dikutip oleh Wawan & Dewi, 2011,
mengungkapkan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru, terjadi
beberapa proses yakni :
a. Awarness (kesadaran)
Yaitu kondisi dimana individu menyadari atau mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus.
b. Interest (merasa tertarik)
Kondisi dimana individu mulai menaruh perhatian pada suatu
stimulus.
c. Evaluation (menimbang- nimbang)
Kondisi dimana individu akan mempertimbangkan baik buruknya
sutau tindakan terhadap stimulus.
d. Trial (Mencoba)
Kondisi dimana individu mencoba perilaku baru.
24

e. Adoption (mengadopsi)
Subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

6. Pengukuran Perilaku
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui
dua cara, secara langsung, yakni dengan pengamatan (obsevasi), yaitu
mengamati tindakan dari subyek dalam rangka memelihara
kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode
mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-
pertanyaan terhadap subyek tentang apa yang telah dilakukan
berhubungan dengan obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005, p.59)

7. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku


Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007),
perilaku diperilaku oleh 3 faktor utama, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan,sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya.
b. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat
pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan
bergizi, dsb. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, posobat desa,
dokter atau bidan praktek swasta, dsb. Termasuk juga dukungan sosial,
baik dukungan suami maupun keluarga.
c. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat
(toma), tokoh agama (toma), sikap dan perilaku pada petugas
25

kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang peraturanperaturan


baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah yang terkait dengan
kesehatan.

F. Penelitian yang terkait


1. Maupin, et all (2009) dalam penelitian yang berjudul “Use of the Modified
Early Warning Score Decreases Code Blue Events” menunjukan studi tiga
tahun terhadap 2.974 pasien, mengungkapkan hubungan yang kuat antara
Modified Early Warning Score dan kemungkinan tranfer ke ICU atau
kematian. Setelah menerapkan kode laporan penilaian resiko tercetak 2005,
jumlah rata-rata code blue perbulan diluar ICU menurun dari 2,2 dalam 12
bulan pertama menjadi 1,3 selama 12 bulan terakhir dan total code blue
menurun. Kesimpulannya adalah penilaian Modified Early Warning Score
(MEWS) yang tepat dapat menurunkan angka kejadian code blue.
2. Heitz, et all (2010) dalam penelitian yang berjudul “Performance of the
Maximum Modified Early Warning Score to Predict the Need for Higher
Care Utilization Among Admitted Emergency Department Patients” .
penelitian ini bertujuan untuk memeriksa apakah Modified Early Warning
Score (MEWS) dapat memprediksi pasien di unit gawat darurat yang akan di
rawat di unit ICU. Desain penelitian ini dengan retrospektif eksplisit
terstruktur. Populasi terdiri dari 299 penerimaan pasien yang masuk di unit
gawat darurat pada tahun 2005. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa
MEWS Max memiliki kemampuan prediktif moderat (statistik C: MEWS Max
0.73 [0.66-0.79]) namun diklasifikasikan 82% Peserta sebagai risiko antara
(10-40%). Kesimpulannya MEWS Maksimal memiliki kemampuan moderat
untuk memprediksi kebutuhan akan tingkat perawatan yang lebih tinggi.
3. Smith, et all (2012) dalam penelitian yang berjudul “Accuracy of an
expanded early warning score for patients in general and trauma surgery
wards”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keakuratan nilai EWS di
bangsal bedah umum dan unit gawat darurat. Metode studi yang di gunakan
adalah kohort prospektif. Populasi penelitian terdiri dari 572 pasien berturut-
turut dirawat di bangsal pembedahan umum dan bangsal pembedahan trauma.
26

Usia rata – rata Populasinya adalah 50 (20) tahun, dan 62,9 persen Pasien
adalah laki-laki. Penelitian ini di lakukan di Belanda Antara 1 Maret dan 30
September 2009.
Hasil dari penelitian ini yaitu adanya pelaksanaan tim darurat medis
menunjukkan penurunan tingkat serangan jantung dan kematian di rumah
sakit.
4. Wheeler,et all (2013) dalam penelitian yang berjudul “Early Warning Scores
Generated in Developed Healthcare Settings Are Not Sufficient at Predicting
Early Mortality in Blantyre, Malawi: A Prospective Cohort Study”. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami
kematian Skor peringatan dini (EWS). Metode yang di gunakan yaitu Studi
kohort prospektif terhadap orang dewasa di atas 18 tahun antara 8 Februari
dan 9 Maret 2012. Hasil kesimpulan dari penelitian ini menyatakan
berdasarkan prediktor angka kematian yang spesifik pada populasi Malawi
menunjukkan peningkatan akurasi namun tidak cukup untuk menjamin
penggunaan klinis.

Anda mungkin juga menyukai