DISUSUN OLEH:
1. Eka Latuconsina
2. Kristanti Januarini
3. N. Sumarni
4. Ning Wahyuning
5. Sriyati Sigit
6. Yusni Malinar
A. Latar Belakang
Jumlah pasien Diabetes Mellitus di dunia pada tahun 2000 sekitar 171 juta dan
diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa pada tahun 2030 [3]. Diperkirakan jumlah
penderita Diabetes di Indonesia akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030,
yaitu menjadi sekitar 21,3 juta orang [4]. Di Indonesia, angka kematian akibat luka pada
penderita Diabetes Mellitus berkisar antara 17-32%, sedangkan angka amputasi berkisar
antara 15-30% [5].
2
BAB II
RESUME JURNAL
3
BAB III
PROBLEM
Pada tahun 2013 tercatat 9.112 kunjungan pasien dengan Diabetes Mellitus. Urutan tiga
angka tertinggi jumlah kunjungan pasien Diabetes Mellitus adalah di wilayah kerja
Puskesmas Rambipuji sejumlah 673, Puskesmas Kencong sejumlah 611 dan Puskesmas
Jenggawah sejumlah 561. Pada tahun 2013, jumlah pasien Diabetes Mellitus di
Puskesmas Rambipuji kabupaten Jember terus meningkat setiap bulannya. Pada bulan
Oktober 2013 tercatat sebanyak 38 orang, pada bulan November 2013 sebanyak 45
orang dan pada bulan Desember 2013 sebanyak 49 orang.
INTERVENTION
Penelitian ini dilakukan terhadap 7 pasien yang terdiagnosa diabetes mellitus dengan
memiliki luka diabetik derajat I, II dan derajat III .Pasien – pasien tersebut tentunya tidak
memiliki alergi terhadap madu ataupun gangguan atau kerusakan ginjal.Setelah terpilih
pasien yang sesuai kriteria maka penelitian dilakukan di tempat tinggal masing-masing
responden. Intervensi untuk setiap responden dilakukan satu kali dalam sehari sebanyak 4
kali dan membutuhkan waktu sekitar 30 sampai 60 menit untuk setiap perawatan.
Pengambilan sampel untuk pretest dilakukan pada hari pertama sebelum perawatan dan
untuk posttest dilakukan pada hari keenam setelah perawatan.
COMPARISSON
1. Penerapan lidah buaya untuk penyembuhan luka diabetik
Hasil penelitian :
ada pengaruh dalam penyembuhan luka diabetik pada perawatan luka dengan
menggunakan ekstra lidah buaya.Berdasarkan hasil evaluasi pada perawatan luka
dengan menggunakan ekstrak lidah buaya sebanyak 3 kali perawatan terdapat
pengaruh pada tipe dan jumlah jaringan nekrosis, tipe dan jumlah eksudat, jaringan
granulasi serta epitalisasi.
4
2. Aplikasi modern wound care pada perawatan luka infeksi di RS pemerintah Kota
Padang
Hasil penelitian :
adanya perbedaan rerata selisih skor perkembangan perbaikan luka yang signifikan
dan lebih baik. (p value =0.031)
OUTCOME
ada pengaruh perawatan luka menggunakan madu terhadap kolonisasi bakteri
Staphylococcus aureus pada luka diabetik pasien Diabetes Mellitus di
wilayah kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember.Penggunaan madu
sebagai agen perawatan luka karena memiliki sifat antibakteri yang dapat
mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat proses penyembuhan luka
5
BAB IV
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
A. PENDAHULUAN
Luka pada kulit sering terjadi dan dapat dialami oleh setiap individu.
Luka merupakan salah satu proses kerusakan atau hilangnya komponen
jaringan secara spesifik yang terjadi mengenai bagian tubuh tertentu.
Tergantung dari tingkat keparahan, luka dapat mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang relatif tinggi. Sebuah penelitian terbaru di Amerika
menunjukkan prevalensi pasien dengan luka adalah 3,5% per 100
populasi penduduk. Mayoritas luka pada penduduk dunia adalah luka
karena pembedahan/trauma 48%, ulkus kaki 28% dan luka dekubitus
21% (Diligence, 2009).
Lebih dari 180 senyawa fitokimia ada dalam propolis, diantaranya adalah
flavonoid, polifenol, caffeic acid phenethyl ester (CAPE). Zat-zat ini
terbukti memiliki berbagai sifat anti inflamasi, anti mikroba, anti alergi,
anti histamin (Park, 2002). CAPE dan flavonoid berperan dalam
6
menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme
arakhidonat (Song, 2008).
BAB II PEMBAHASAN
7
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis
yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel
berlapis bertanduk yang mengandung sel melanosit, Langerhans,
merkel dan keratinosit. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan
melanin melalui proses melanogenesis (Junqueira dan Carneiro,
2007). Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan
sumsum tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans
juga mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel
Limfosit T (Djuanda, 2007). Dengan demikian, sel Langerhans
berperan penting dalam imunologi kulit (Junqueira dan Carneiro,
2007). Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor
sensoris dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus
(Tortora dkk., 2006). Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan
paling luar hingga paling dalam.
8
1) Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel
kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina
basalis pada perbatasan epidermis-dermis
2) Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng
dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang
terisi berkas filament
3) Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar
4) Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini
bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis
eosinofilik yang sangat gepeng
5) Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi
skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin (Junqueira,
2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan,
dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-
serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring
dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus
meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat
kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen
akan saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin
akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan
kelenturanannya dan tampak berkeriput (Perdanakusuma, 2007).
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular.
9
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan
tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen
tipe I) (Harien, 2010).
Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan
kelenjar sebacea (Djuanda, 2007). Pada bagian bawah dermis,
terdapat suatu jaringan ikat longgar yang disebut jaringan
subkutan dan mengandung sel lemak yang bervariasi. Jaringan
ini disebut juga fasia superficial, atau panikulus adiposus
(Junqueiradan Carneiro, 2007).
c. Subkutan
a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai berikut:
1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat
kimia.
2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar
tubuh melalui kulit.
3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut
dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi
membunuh bakteri di permukaan kulit.
4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di
10
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar
matahari, sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila
terjadi gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul
keganasan.
5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yangbertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratin dan sel Langerhans (Martini, 2006).
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larutlipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida
(Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap
air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien,
2010). Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison,
sehingga mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat
peradangan (Martini, 2006).
11
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis (Djuanda,
2007). Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di
dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause
yang terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang
erotik (Tortoradkk., 2006).
12
epidermis, dermis dan fasia, tidak mengenai otot dan luka pada otot tendon dan
tulang (Gitarja, 2008).
Nather (2013) yang dikutip dari King College Classification membagi enam
stadium luka yang terdiri dari stadium satu yang disebut normal foot, stadium dua
disebut high risk foot, stadium tiga disebut ulcerated foot, stadium empat disebut
cellulitis foot, stadium lima disebut necrotic foot, dan stadium enam disebut major
amputation.
Templeton (2005) mengklasifikasi luka menjadi empat stage yaitu : stage I hanya
erythema pada kulit tanpa kehilangan lapisan kulit, biasanya akan terlihat warna
kulit menjadi lebih gelap seperti kebiruan atau ungu. Stage II di sebut a partial
thickness wound, terjadi kehilangan jaringan epidermis yang luas sampai lapisan
dermis. Stage III adalah afull thickness wound terjadi kehilangan jaringan
mencapai lapisan sub cutan dan kerusakan lebih dalam. Stage IV disebut afull
thickness wound meluas mencapai facia, tendon, tulang, dan otot.
Klasifikasi luka yang lain adalah berdasarkan jenis penyembuhan luka yang terdiri
dari : primer yaitu sembuh cepat,bekas luka halus, tidak ada infeksi, jenisnya
seperti luka operasi; luka steril, bentuk luka linier, potongan bersih, tidak ada
jaringan yang hilang. Luka sekunder adalah luka terbuka yang tertunda
penyembuhannya, sembuh dengan bekas luka kasar dan tebal serta kontraktur,
memerlukan waktu sembuh yang lebih lama, insiden infeksi tinggi, luka lebar
dengan kehilangan jaringan atau kulit, integritas kulit rusak, bekas luka yang tebal
akan mengganggu fungsi jaringan. Sedangkan luka tersier adalah terjadinya
penundaan antara waktu lukanya terjadi dengan dilakukannya jahitan kulit untuk
menutup luka. Resiko terjadinya granulasi dan inflamasi lebih tinggi dibandingkan
dengan proses penyembuhan primer (Poerwantoro, 2013).
13
2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka
Gitarja (2008) menjelaskan tahapan atau fase penyembuhan luka dimulai dari Fase
inflamasi yangdimulai sejak terjadinya luka sampai hari ke5. Segera setelah
terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi
disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin
membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan
sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor
(IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan
untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan
fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi
vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit
akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen.
Fase Proliferasi atau rekontruksi: berlangsung dari akhir masa inflamasi sampai
kira-kira minggu ke-3. Fase ini ditandai dengan adanya proliferasi sel/pembelahan
sel. Peran fibroblast sangat besar untuk menghasilkan struktur protein yang
digunakan selama proses rekontruksi jaringan. Pada saat terjadi luka fibroblast
akan aktif ke jaringan sekitar luka dan berproliferasi mengeluarkan beberapa
substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin, dan proteoglycans
untuk rekontruksi jaringan baru. Pada fase ini juga terjadi proses pembentukan
kapiler baru dalam luka atau disebut angiogenesis. Fibroblast dan angiogenesis
merupakan proses yang terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang
dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor). Proses selanjutnya adalah
epitelisasi, karena fibroblast mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh berbagai growth
factor.
Fase Maturasi atau remodelling dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan
berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang
kuat dan bermutu. Fibroblast sudah meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut dan
puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Enzim kolagenase mengubah
kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi menjadi
kolagen matang, lebih kuat, dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan sehingga tidak terjadi penebalan
jaringan parut atau hypertrophic scar, dan akan menurunkan kekuatan jaringan
14
parut,luka selalu terbuka bila kekurangan kolagen. Gitarja (2008) fase
penyembuhan luka dapat terlihat pada gambar dibawah ini:
15
Pastikan pasien dan keluarga atau orang sekitar pasien tidak merokok, pasien harus
patuh dengan obat yang diresepkan, jaga kulit tetap lembab. Sedangkan strategi
khusus penyembuhan luka lebih difokuskan untuk mengoptimalkan proses
penyembuhan lokal dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dengan
mengangkat jaringan mati, minimalkan tekanan, menetapkan sasaran hasil
perawatan untuk mendapatkan hasil kosmetik yang maksimal, mengatasi nyeri,
hindari terjadi hipoksia, hipovolemia, dan hipotensi, dan identifikasi masalah
sistemik seperti: usia, nutrisi, obesitas, diabetes, perfusi,oksigenisasi, merokok,
terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi steroid.
16
Langkah berikut adalah investigasi diagnostik akan dilakukan ketika terindikasi
secara klinis untuk memastikan dan memantau etiologi luka, potensi
penyembuhan, hasil penilaian, terkait, diagnosa dan manajemen intervensi.
Prosedur diagnostic yang memungkinkan dilakukan adalah: analisis biokimia
darah, mikrobiologi, histopatologi, penciteraan diagnostic, penilaian vascular,
penilaian neurologist, penilaian gizi, penilaian psikologis (AWMA, 2015).
Tahap selanjutnya adalah melakukan pencucian luka dengan tekhnik aseptic dan
bersih sesuai dengan kondisi luka dan kondisi individu. Kemudian kondisi luka
harus dipertahankan pada kondisi lembab, dan menjaga suhu luka tetap konstan
dengan cara: hindarkan luka terpapar suhu dingin, produk, obat-obatan, terapi atau
perangkat, gunakan solusion pembersihan luka pada suhu tubuh, hindari suhu
ekstrim pada kulit. Kondisi lain yang harus diperhatikan dan di jaga adalah: PH,
resiko infeksi.
Melindungi luka menjadi bagian yang penting yang dapat dilakukan dengan cara
menghindari pembersihan luka agresif kecuali tujuan perawatan adalah
debridement, hindari penggunaan produk, obat-obatan, perangkat dan intervensi
yang mengeringkan atau menimbulkan trauma pada dasar luka atau kulit di
sekitarnya, hindari penggunaan agen beracun atau allergen, lindungi luka dan area
ping dari trauma dan maserasi. Pemilihan dressing adalah bagian terpenting yang
bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan. Menggunakan dressing pada
luka harus sesuai petunjuk atau indikasi yang disetujui oleh Administrasi Barang
dari produk, atau digunakan sebagai komponen protokol penelitian dengan
persetujuan etis yang tepat (AWMA, 2015).
Poerwantoro (2013) definisi persiapan dasar luka adalah tatalaksana luka dalam
rangka mempercepat proses penyembuhan endogen atau untuk memfasilitasi
efektifitas langkah-langkah terapeutik lainnya.
17
sehingga bakteri pada luka dapat dikurangi. Tahap ketiga adalah menjaga
kelembaban pada luka dengan memilih topical terapi sesuai dengan kondisi luka
untuk menghindari edema berlebihan, maserasi, atau luka mengalami dehiderasi.
Tahap terakhir adalah memperbaiki jaringan tepi luka untuk meningkatkan
pertumbuhan keratinocytes (Fletcher, 2005).
Persiapan dasar luka dengan menggunakan konsep TIME, juga harus melihat
warna dasar luka untuk melakukan langkah-langkah persiapan dasar luka dengan
metode TIME. Warna dasar luka merah atau red menunjukkan luka memiliki
sirkulasi yang baik sehingga perawatannya cukup dengan mempertaahankan
kelembaban luka. Warna dasar luka kuning atau yellow merupakan luka dengan
penurunan perfusi sehingga jaringan menjadi iskhemikdan infark. Tujuan
perawatan yang dapat dilakukan adalah mengatasi eksudat, dan mengangkat
jaringan berwarna kuning (slough) dengan debridement. Dasar luka berwarna
hitam atau black adalah luka yang telah nekrotik. Tujuan dari perawatan luka hitam
adalah mengangkat jaringan hitam dengan debridement untuk memperbaiki
sirkulasi ke seluruh permukaan luka (Poerwantoro, 2013).
Sedangkan menurut Carville (2012), ada dua faktor yang dapat menghambat
penyembuhan luka yaitu factor umum yang meliputi: umur, penyakit penyerta,
perfusi yang buruk, malnutrisi, index massa tubuh ekstrim, gangguan sensasi atau
gerakan, depresi, cemas, kelelahan, terapi radiasi, merokok, dan obat. Sedangkan
faktor lokal berupa: manajemen perawatan luka, kelembaban luka, suhu dan PH
luka, infeksi, tekanan, gesekan, tarikan, dan benda asing.
18
Menurut Lusby PE (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka.
Madu efektif sebagai terapi topikal, ini dikarenakan kandungan nutrisi yang terdapat di
dalam madu dan hal ini sudah di ketahui secara luas. Bergman et al. (1983) menyatakan
secara umum madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air dan asam amino,
vitamin Biotin, asam Nikotinin, asam Folit, asam Pentenoik, Proksidin, Tiamin, Kalsium,
zat besi, Magnesium, Fosfor dan Kalium. Madu juga mengandung zat antioksidan dan
H2O2 (Hidrogen Peroksida) sebagai penetral radikal bebas. Tujuan tulisan ini adalah
memberikan gambaran dari kandungan dan sifat madu sehingga madu dapat digunakan
sebagai alternatif terapi topikal pada perawatan luka.
b. Hidrogen peroksida
Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen peroksida
akan dihasilkan. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase
yang terkandung di dalam madu, sehingga memiliki sifat antibakteri tetapi
tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan akan mengurangi bau
yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida yang
dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak membahayakan
kondisi luka (Molan, 1992). Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan
tergantung dari jenis dan sumber madu yang digunakan.
c. Aktivitas limfosit dan fagosit
19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah lymphosit B and
lymphosit T dapat distimulus oleh madu dengan konsentrasi 0.1% (Abuharfeil
et al.,1999). Adanya aktivitas limfosit dan fagosit ini menunjukkan respon
imun tubuh terhadap infeksi khususnya pada luka. Berdasarkan penelitian
Haryanto (2011) bahwa madu hutan (Apis Dorsata) yang berasal dari
Indonesia pada percobaan menggunakan tikus menunjukkan pada hari ketiga
telah terbentuk sel darah baru (angiogenesis) dan ini efektif untuk perawatan
luka. Selain itu Madu ini sama efektifnya dalamakut maupun kronis.
perawatan luka baik dengan madu Manuka yang terkenal berasal dari New
Zewland.
d. Sifat asam dari madu
Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan yang asam pada luka
sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan penetrasi dan kolonisasi.
Selain itu dari kandungan air yang terdapat dalam madu akan dapat
memberikan kelembapan pada luka, ini sesuai dengan prinsip perawatan luka
moderen yaitu "Moisture Balance". Hasil penelitian Gethin GT et al (2008)
melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis
(ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu 2 minggu secara
signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan
epitelisasi pada luka. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Haryanto
dalam Wound Journal, 2011 didapatkan bahwa madu Apis Dorsata ini
memiliki ketebalan kolagen yang sama dengan Madu Manuka.
a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat yang keluar
dari luka.
b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya madu terlarut dengan
eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka, balutan dapat di ganti 2 kali seminggu
supaya komponen antibakteri yang terkandung di dalam madu dapat terserap
ke dalam jaringan luka.
20
c. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sebaiknya menggunakan second
dressing yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan langsung pada luka,
madu akan meleleh sehingga keluar area luka. Hal ini tidak akan efektif untuk
merangsang proses penyembuhan luka.
d. Gunakan balutan yang bersifat "oklusif" yaitu menutup semua permukaan luka
untuk mencegah madu meleleh keluar dari area luka.
e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparan film sebagai
second dressing.
f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong) perlu lebih banyak
madu untuk mencapai jaringan didalamnya. Dasar luka harus diisi dengan
madu sebelum ditutup dengan second dressing seperti kasa atau dressing pad
lainnya.
g. Untuk memasukan madu pada luka berkantong sebaiknya gunakan kasa atau
dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.
21
BAB V
PEMBAHASAN
A. ANALISA RUANGAN
Karakteristik Ruangan
Pasien
Mayoritas klien dengan kasus Neurologis. Jumlah klien diruangan saat ini ada
13 klien, sebagian besar dengan diagnosa medik Stroke baik Hemoragik dan
Non Hemoragik. Sekitar 90% klien dengan diagnosa stroke mengalami
kelemahan pada anggota gerak.
Perawat
Jumlah perawat di ruang perawatan VI ada 8 orang dan lantai VII perawatan
ada 8 orang , yang terdiri dari Kepala Ruangan 1 Orang, Kepala Shift 4
Orang, dan Perawat Pelaksana 4 Orang. Dengan latar belakang pendidikan
D3 Keperawatan 10 orang dan S1Ners 6 orang.
B. Implikasi keperawatan
Aplikasi EBN ini memungkinkan untuk diterapkan diruangan, dengan
melibatkan Tim Wound care bagian dari perawatan luka di rumah sakit dan
keluarga klien untuk perawatan dirumah karena tindakan perawatan luka
dengan madu dapat dengan mudah di dapat,ekonomis serta mudah
diterapkan.
22
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden dalam penelitian yaitu rata-rata usia responden adalah
63 tahun, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, berpendidikan
sekolah dasar (SD) dan bekerja sebagai petani.
2. Hasil rata-rata jumlah kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus sebelum
dilakukan perawatan luka menggunakan madu adalah 306 cfu/ml dan hasil rata-
rata jumlah kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus setelah dilakukan
perawatan luka menggunakan madu adalah 178,71 cfu/ml.
3. Terdapat pengaruh perawatan luka menggunakan madu terhadap kolonisasi
bakteri Staphylococcus aureus pada luka diabetik pasien Diabetes Mellitus
4. Intervesi ini dapat dijadikan rekomendasi oleh perawat diruang perawatan untuk
penatalaksanaan perawatan luka, agar dapat mencegah komplikasi berupa infeksi
akibat invasi bakteri serta adanya hiperglikemia menjadi tempat yang optimal
untuk pertumbuhan bakteri dan dapat juga diaplikasikan pada keluarga yang
memiliki keluarga yang memiliki luka diabetic ataupun luka akibat hal lain
seperti post kecelakaan ,luka robek ,lecet, dan lain – lain di rumah.
B. Saran
1. Intervensi ini dapat dijadikan metode alternative atau terapi
kombinasi dalam memberikan terapi perawatan luka pada pasien
yang memiliki luka diabetic ataupun luka lainnya .
2. Rumah sakit agar dapat memfasilitasi dalam pengadaan leaflate dan
lembar balik serta membuat program penyegaran kepada perawat
tentang perawatan luka mandiri dengan bahan non farmakologi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: FK Universitas Indonesia; 2006
Abidin RK. Faktor penghambat proses proliferasi luka diabetic foot ulcer pada pasien
diabetes mellitus tipe ii di klinik kitamura pontianak [internet]. [Tanjungpura]:
Keperawatan Universitas Tanjungpura; 2013 [cited 13 Februari 2014]. Available
from http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkepera
watanFK/article/download/3046/3023.
Nurlaily. Analisis beberapa faktor risiko terjadinya diabetes mellitus pada RSUD dr.
24
Puspita DNV. Hubungan antara pengetahuan tentang menopause dengan kecemasan pada
wanita dalam menghadapi masa menopause di Desa Kotesan Kecamatan
Prambanan Kabupaten Klaten. Jurnal kesehatan. 2005: 24 (suppl.2), 101-104.
Diani N. Pengetahuan dan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di
Kalimantan Selatan [internet]. [Jakarta]: 2013 [cited 29 Agustus 2014]. Available
from http://lontar.ui . ac.id/file? file=digital/2033429 -T32594-Noor
%20Diani.pdf.
Riyadi S, Sukarmin. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eksokrin dan
endokrin pada pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2008.
Prastica VA. Perbedaan angka kejadian ulkus diabetikum pada pasien diabetes mellitus
dengan dan tanpa hipertensi di RSUD dr. Saifudin Anwar Malang. 2013; Tugas
Akhir. Malang: Universitas Brawijaya.
Situmorang LL. 2009. Efektivitas madu terhadap penyembuhan luka gangren diabetes
mellitus di RSUP H. Adam Malik Medan [internet]. [Sumatera Utara]: 2009 [cited
13 Februari 2014]. Available from http://repository.usu.ac.id/handle/12345678
9/25284.
Hamdani RN. 2013. Perawatan luka dengan madu manuka [internet]. 2013 [cited
14 Februari 2014]. Available from
http://www.bimkes.org/wpcontent/uploads/downloads/2013/06/BIMIKI -Edisi-
2.pdf.
Al Fady MF. Perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan softratulle
terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di Wilayah
Kerja Puskesmas Rambipuji Jember. 2012; Tidak Diterbitkan. Skripsi. Jember:
PSIK Universitas Jember.
Rio YBP, Djamal A, Asterina. Perbandingan efek antibakteri madu asli sikabu dengan
madu lubuk minturun terhadap escherichia coli dan staphylococcus aureus secara
in vitro [internet]. 2012 [cited 07 Maret 2014]. Available from
http://download.portalgaruda.org/article.php? article=135085&val=5645.
Suranto A. Khasiat dan manfaat madu herbal. Jakarta: AgroMedia Pustaka; 2004.Wade
C. Can be e propolis rejuvenate the immune system [internet]. [Place unknown];
2005 [cited 29 Agustus 2014]. Available from
http://thenaturalshopper.com/buybeesuplem ents /article. Indonesia. Dinas
Kesehatan Jember. Kunjungan (LBI) DM Kabupaten Jember
25
Tahun 2013. Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember; 2013.
26
27