Anda di halaman 1dari 28

\

SEMINAR EVIDANCE BASED NURSING

“ PENGARUH PERAWATAN LUKA MENGGUNAKAN MADU TERHADAP


KOLONISASI BAKTERI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA LUKA DIABETIK

DISUSUN OLEH:

1. Eka Latuconsina
2. Kristanti Januarini
3. N. Sumarni
4. Ning Wahyuning
5. Sriyati Sigit
6. Yusni Malinar

PROGRAM STUDI S1 NERS STIKES PERTAMEDIKA


JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh


kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, disertai dengan kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal, dan menimbulkan berbagai komplikasi akut serta kronik [1].
Penyakit ini menimbulkan beberapa komplikasi, komplikasi yang paling sering terjadi
pada pasien Diabetes Mellitus adalah terjadinya perubahan patologis pada anggota gerak,
yaitu timbulnya luka pada kaki. Luka yang bila tidak dirawat dengan baik akan
berkembang menjadi ulkus gangren [2].

Jumlah pasien Diabetes Mellitus di dunia pada tahun 2000 sekitar 171 juta dan
diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa pada tahun 2030 [3]. Diperkirakan jumlah
penderita Diabetes di Indonesia akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030,
yaitu menjadi sekitar 21,3 juta orang [4]. Di Indonesia, angka kematian akibat luka pada
penderita Diabetes Mellitus berkisar antara 17-32%, sedangkan angka amputasi berkisar
antara 15-30% [5].

Tujuan dari penyampaian seminar Evidance Based Nursing ini adalah :


1. Menambah wawasan tentang perawatan luka, dengan therapi non farmakologis
menggunakan madu
2. Mengetahui perbedaan pengaruh intervensi pemberian madu pada luka .

2
BAB II

RESUME JURNAL

Judul Jurnal : Pengaruh Perawatan Luka Menggunakan Madu terhadap


Kolonisasi Bakteri Staphylococcus Aureus pada Luka Diabetik Pasien
Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember
Nama peneliti : 1. Nuril Hudha Al Anshori
2.Nur Widayati
3.Anisah Ardiana
Tempat dan waktu penelitian : Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember
Tujuan penelitian : mengetahui pengaruh perawatan luka menggunakan madu
terhadap kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus pada luka diabetik.
Populasi dan Sampling : jumlah pasien Diabetes Mellitus yang terdaftar di
wilayah kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember pada bulan Oktober
hingga Desember 2013 yaitu 132 pasien Diabetes Mellitus. Sampel dalam
penelitian ini yang telah memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 7
responden yang memiliki luka diabetic derajat I,II dan III.
Tehnik Samping : Teknik pengambilan sampel menggunakan
consecutive sampling
Metode Penelitian : desain pre eksperiment: one group pretest and posttest
Instrumen : colony counter dan lembar observasi jumlah kolonisasi
Staphylococcus aureus
Uji Statistik : dependent t-test atau paired t-test dengan derajat kepercayaan
95% (α=0,05).

Jurnal pendukung : Perbedaan efektifitas perawatan luka menggunakan


madu dengan metronidazole terhadap tingkat malodor dan jumlah eksudat
luka maligna di RS X
Peneliti : Dudut Tanjung , Elly Nurachmah, Hanny Handayani

3
BAB III

ANALISA JURNAL (PICO)

PROBLEM
Pada tahun 2013 tercatat 9.112 kunjungan pasien dengan Diabetes Mellitus. Urutan tiga
angka tertinggi jumlah kunjungan pasien Diabetes Mellitus adalah di wilayah kerja
Puskesmas Rambipuji sejumlah 673, Puskesmas Kencong sejumlah 611 dan Puskesmas
Jenggawah sejumlah 561. Pada tahun 2013, jumlah pasien Diabetes Mellitus di
Puskesmas Rambipuji kabupaten Jember terus meningkat setiap bulannya. Pada bulan
Oktober 2013 tercatat sebanyak 38 orang, pada bulan November 2013 sebanyak 45
orang dan pada bulan Desember 2013 sebanyak 49 orang.

INTERVENTION

Penelitian ini dilakukan terhadap 7 pasien yang terdiagnosa diabetes mellitus dengan
memiliki luka diabetik derajat I, II dan derajat III .Pasien – pasien tersebut tentunya tidak
memiliki alergi terhadap madu ataupun gangguan atau kerusakan ginjal.Setelah terpilih
pasien yang sesuai kriteria maka penelitian dilakukan di tempat tinggal masing-masing
responden. Intervensi untuk setiap responden dilakukan satu kali dalam sehari sebanyak 4
kali dan membutuhkan waktu sekitar 30 sampai 60 menit untuk setiap perawatan.
Pengambilan sampel untuk pretest dilakukan pada hari pertama sebelum perawatan dan
untuk posttest dilakukan pada hari keenam setelah perawatan.

COMPARISSON
1. Penerapan lidah buaya untuk penyembuhan luka diabetik
Hasil penelitian :
ada pengaruh dalam penyembuhan luka diabetik pada perawatan luka dengan
menggunakan ekstra lidah buaya.Berdasarkan hasil evaluasi pada perawatan luka
dengan menggunakan ekstrak lidah buaya sebanyak 3 kali perawatan terdapat
pengaruh pada tipe dan jumlah jaringan nekrosis, tipe dan jumlah eksudat, jaringan
granulasi serta epitalisasi.

4
2. Aplikasi modern wound care pada perawatan luka infeksi di RS pemerintah Kota
Padang
Hasil penelitian :
adanya perbedaan rerata selisih skor perkembangan perbaikan luka yang signifikan
dan lebih baik. (p value =0.031)

OUTCOME
ada pengaruh perawatan luka menggunakan madu terhadap kolonisasi bakteri
Staphylococcus aureus pada luka diabetik pasien Diabetes Mellitus di
wilayah kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember.Penggunaan madu
sebagai agen perawatan luka karena memiliki sifat antibakteri yang dapat
mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat proses penyembuhan luka

5
BAB IV
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
A. PENDAHULUAN

Luka pada kulit sering terjadi dan dapat dialami oleh setiap individu.
Luka merupakan salah satu proses kerusakan atau hilangnya komponen
jaringan secara spesifik yang terjadi mengenai bagian tubuh tertentu.
Tergantung dari tingkat keparahan, luka dapat mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang relatif tinggi. Sebuah penelitian terbaru di Amerika
menunjukkan prevalensi pasien dengan luka adalah 3,5% per 100
populasi penduduk. Mayoritas luka pada penduduk dunia adalah luka
karena pembedahan/trauma 48%, ulkus kaki 28% dan luka dekubitus
21% (Diligence, 2009).

Luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel


diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan
kontinuitas tersebut. Salah satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat
disebabkan oleh pisau dan benda tajam, mungkin disengaja seperti insisi
bedah ataupun kecelakaan yang tidak diharapkan (Wibisono, 2007). Luka
sayat (Vulnus scissum) adalah salah satu jenis trauma yang sering terjadi,
karena kulit sebagai organ tubuh yang terletak paling luar dan terbesar
berfungsi sebagai pelindung tubuh (Monaco, 2003).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan luka, misalnya


dengan pemberian antibiotik dan povidone iodine. Menurut beberapa
penelitian, pemberian antibiotik sering digunakan untuk menyembuhkan
luka, menghambat pertumbuhan mikroorganisme disekitar luka,
membersihkan luka dan menutup luka. Ternyata hal itu kurang efektif
untuk membantu proses penyembuhan luka. Demikian juga larutan
povidone iodine yang sering digunakan untuk menyembuhkan luka,
membersihkan luka, dan menutup luka ternyata kurang efektif juga untuk
membantu proses penyembuhan luka (Kramer, 1999). Pada saat ini
banyak masyarakat yang menggunakan obat-obat herbal sebagai salah
satu pilihan untuk mengobati luka, yaitu propolis dan madu.

Propolis merupakan bahan alami yang dikumpulkan oleh lebah spesies


Apis mellifera dari berbagai tanaman, dicampur dengan enzim liur, dan
digunakan sebagai perekat untuk membangun serta membersihkan
sarangnya (Marghitas, et al., 2013).

Lebih dari 180 senyawa fitokimia ada dalam propolis, diantaranya adalah
flavonoid, polifenol, caffeic acid phenethyl ester (CAPE). Zat-zat ini
terbukti memiliki berbagai sifat anti inflamasi, anti mikroba, anti alergi,
anti histamin (Park, 2002). CAPE dan flavonoid berperan dalam

6
menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme
arakhidonat (Song, 2008).

Pengobatan dengan menggunakan madu sudah dilakukan oleh tentara


Rusia sejak Perang Dunia I untuk mencegah infeksi luka dan
mempercepat penyembuhan luka (Angela M, 2002). Beberapa faktor
yang terkandung di dalam madu dapat bertanggungjawab terhadap
aktivitas antibakteri. Madu mengandung kadar gula yang tinggi sehingga
bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Madu memiliki tingkat
keasaman yang tinggi sehingga mengurangi pertumbuhan dan daya hidup
bakteri. Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida (H2O2)
yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Madu mengandung
senyawa organik yang bersifat antibakteri (Kamaruddin, 2002).

Potensi antiinflamasi dari propolis dan madu ini diduga dapat


mengurangi kerusakan akibat luka sayat, sehingga dapat berefek baik
terhadap penyembuhan luka. Berdasarkan analisis paparan data di atas,
penggunaan madu dalam proses penyembuhan luka menarik untuk
dipelajari. Oleh karena itu, penyusun akan membahas penggunaan madu
dalam perawatan dan proses penyembuhan luka.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit


2.1.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik
maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari
tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan
elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari
total berat badan orang dewasa (Paul et al., 2011). Fungsi proteksi kulit
adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit, trauma
mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan
panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi
dan air yang dapat digunakan apabila terjadi penurunan volume darah
dan tempat terjadinya metabolism vitamin D (Richardson, 2003;
Perdanakusuma, 2007).

7
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis
yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.

a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel
berlapis bertanduk yang mengandung sel melanosit, Langerhans,
merkel dan keratinosit. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan
melanin melalui proses melanogenesis (Junqueira dan Carneiro,
2007). Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan
sumsum tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans
juga mengikat, mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel
Limfosit T (Djuanda, 2007). Dengan demikian, sel Langerhans
berperan penting dalam imunologi kulit (Junqueira dan Carneiro,
2007). Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor
sensoris dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus
(Tortora dkk., 2006). Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan
paling luar hingga paling dalam.

Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling


tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis
hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas
lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam)
yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,
stratum spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum)
(Perdanakusuma, 2007).

8
1) Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel
kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina
basalis pada perbatasan epidermis-dermis
2) Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng
dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang
terisi berkas filament
3) Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar
4) Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini
bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis
eosinofilik yang sangat gepeng
5) Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi
skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin (Junqueira,
2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan,
dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-
serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring
dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus
meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat
kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen
akan saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin
akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan
kelenturanannya dan tampak berkeriput (Perdanakusuma, 2007).

Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar


keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut,
ujung pembuluh darah dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak
yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Tranggono dan
Latifah, 2007).

Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular.

1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila


dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini
didapati fibroblast, sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar
dari pembuluh (ekstravasasi).

9
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan
tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen
tipe I) (Harien, 2010).
Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan
kelenjar sebacea (Djuanda, 2007). Pada bagian bawah dermis,
terdapat suatu jaringan ikat longgar yang disebut jaringan
subkutan dan mengandung sel lemak yang bervariasi. Jaringan
ini disebut juga fasia superficial, atau panikulus adiposus
(Junqueiradan Carneiro, 2007).

c. Subkutan

Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri


dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan
keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke
dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

2.1.2 Fisiologi Kulit


Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga
homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi
fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi), dan pembentukan vitamin D (Djuanda, 2007). Kulit
juga sebagai barier infeksi dan memungkinkan bertahan dalam berbagai
kondisi lingkungan (Harien, 2010).

a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara sebagai berikut:
1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan zat
kimia.
2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit dan
dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari lingkungan luar
tubuh melalui kulit.
3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan rambut
dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang berfungsi
membunuh bakteri di permukaan kulit.
4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang berbahaya. Pada
stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan pigmen melanin ke sel-sel di

10
sekitarnya. Pigmen ini bertugas melindungi materi genetik dari sinar
matahari, sehingga materi genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila
terjadi gangguan pada proteksi oleh melanin, maka dapat timbul
keganasan.
5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif. Yang
pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan antigen terhadap
mikroba. Kemudian ada sel fagosit yangbertugas memfagositosis mikroba
yang masuk melewati keratin dan sel Langerhans (Martini, 2006).
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larutlipid seperti
vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan karbon dioksida
(Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit terhadap oksigen, karbondioksida dan uap
air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Selain itu
beberapa material toksik dapat diserap seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien,
2010). Beberapa obat juga dirancang untuk larut lemak, seperti kortison,
sehingga mampu berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat
peradangan (Martini, 2006).

Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,


kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah antarsel atau melalui muara saluran kelenjar, tetapi lebih banyak
yang melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar (Tortora
dkk., 2006).
c. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua kelenjar
eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel rambut dan
melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju lumen (Harien, 2010).
Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor pili berkontraksi menekan
kelenjar sebasea sehingga sebum dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke
permukaan kulit. Sebum tersebut merupakan campuran dari trigliserida,
kolesterol, protein, dan elektrolit. Sebum berfungsi menghambat
pertumbuhan bakteri, melumasi dan memproteksi keratin (Tortora dkk.,
2006).
2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air dapat
keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap hari (Djuanda,
2007). Seorang yang bekerja dalam ruangan mengekskresikan 200 mL
keringat tambahan, dan bagi orang yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi.
Selain mengeluarkan air dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul organik hasil
pemecahan protein yaitu amoniak dan urea (Martini, 2006).

11
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis (Djuanda,
2007). Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di
dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause
yang terletak di dermis, badan taktil Meissner terletak di papila dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di daerah yang
erotik (Tortoradkk., 2006).

e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)


Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua
cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler
(Djuanda, 2007). Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat
dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi)
sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu
rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit
pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh
tubuh (Harien, 2010).

f. Fungsi pembentukan vitamin D


Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7 dihidroksi
kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007). Enzim di hati dan
ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan kalsitriol, bentuk vitamin
D yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang berperan dalam mengabsorpsi
kalsium makanan dari traktus gastrointestinal ke dalam pembuluh darah
(Tortoradkk., 2006).

Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun belum


memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga pemberian vitamin D
sistemik masih tetap diperlukan. Pada manusia kulit dapat pula
mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat, dan
otot-otot di bawah kulit (Djuanda, 2007).

2.2 Konsep Teori Luka


2.2.1 Definisi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik
terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan
luasnya luka dibagi menjadi; luka superfisial; terbatas pada lapisan epidermi, luka
partial thickness; hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan
bagian atas dari dermis, luka full thickness: jaringan kulit yang hilang pada lapisan

12
epidermis, dermis dan fasia, tidak mengenai otot dan luka pada otot tendon dan
tulang (Gitarja, 2008).

2.2.2 Klasifikasi Luka


Luka telah diklasifikasikan berdasarkan penyebab timbulnya luka. Luka biasanya
muncul dari operasi, trauma atau penyakit dan diklasifikasikan sebagai berikut :
Incised, disebabkan oleh alat pemotong, Contused, trauma pada jaringan akan
tetapi kulit tetap utuh, Lacerated, jaringan sudah robek, Abrasion, kerusakan pada
epidermis atau dermis superfisial, Penetrating, cedera melewati kulit untuk
jaringan yang lebih dalam, Burn, trauma karena thermal, electrical.chemical,
radiation, Open, penyembuhan luka sekunder, Fracture, breaks in bone,
Perforating, luka yang melewati bagian tubuh, Tumour,malignant or benign
growth(Carville, 2012 ).

Nather (2013) yang dikutip dari King College Classification membagi enam
stadium luka yang terdiri dari stadium satu yang disebut normal foot, stadium dua
disebut high risk foot, stadium tiga disebut ulcerated foot, stadium empat disebut
cellulitis foot, stadium lima disebut necrotic foot, dan stadium enam disebut major
amputation.

Templeton (2005) mengklasifikasi luka menjadi empat stage yaitu : stage I hanya
erythema pada kulit tanpa kehilangan lapisan kulit, biasanya akan terlihat warna
kulit menjadi lebih gelap seperti kebiruan atau ungu. Stage II di sebut a partial
thickness wound, terjadi kehilangan jaringan epidermis yang luas sampai lapisan
dermis. Stage III adalah afull thickness wound terjadi kehilangan jaringan
mencapai lapisan sub cutan dan kerusakan lebih dalam. Stage IV disebut afull
thickness wound meluas mencapai facia, tendon, tulang, dan otot.

Klasifikasi luka yang lain adalah berdasarkan jenis penyembuhan luka yang terdiri
dari : primer yaitu sembuh cepat,bekas luka halus, tidak ada infeksi, jenisnya
seperti luka operasi; luka steril, bentuk luka linier, potongan bersih, tidak ada
jaringan yang hilang. Luka sekunder adalah luka terbuka yang tertunda
penyembuhannya, sembuh dengan bekas luka kasar dan tebal serta kontraktur,
memerlukan waktu sembuh yang lebih lama, insiden infeksi tinggi, luka lebar
dengan kehilangan jaringan atau kulit, integritas kulit rusak, bekas luka yang tebal
akan mengganggu fungsi jaringan. Sedangkan luka tersier adalah terjadinya
penundaan antara waktu lukanya terjadi dengan dilakukannya jahitan kulit untuk
menutup luka. Resiko terjadinya granulasi dan inflamasi lebih tinggi dibandingkan
dengan proses penyembuhan primer (Poerwantoro, 2013).

13
2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka
Gitarja (2008) menjelaskan tahapan atau fase penyembuhan luka dimulai dari Fase
inflamasi yangdimulai sejak terjadinya luka sampai hari ke5. Segera setelah
terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi
disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin
membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan
sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor
(IGF), Plateled-derived Growth

Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan
untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan
fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi
vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit
akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen.

Fase Proliferasi atau rekontruksi: berlangsung dari akhir masa inflamasi sampai
kira-kira minggu ke-3. Fase ini ditandai dengan adanya proliferasi sel/pembelahan
sel. Peran fibroblast sangat besar untuk menghasilkan struktur protein yang
digunakan selama proses rekontruksi jaringan. Pada saat terjadi luka fibroblast
akan aktif ke jaringan sekitar luka dan berproliferasi mengeluarkan beberapa
substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin, dan proteoglycans
untuk rekontruksi jaringan baru. Pada fase ini juga terjadi proses pembentukan
kapiler baru dalam luka atau disebut angiogenesis. Fibroblast dan angiogenesis
merupakan proses yang terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang
dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor). Proses selanjutnya adalah
epitelisasi, karena fibroblast mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh berbagai growth
factor.

Fase Maturasi atau remodelling dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan
berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang
kuat dan bermutu. Fibroblast sudah meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut dan
puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Enzim kolagenase mengubah
kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi menjadi
kolagen matang, lebih kuat, dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan sehingga tidak terjadi penebalan
jaringan parut atau hypertrophic scar, dan akan menurunkan kekuatan jaringan

14
parut,luka selalu terbuka bila kekurangan kolagen. Gitarja (2008) fase
penyembuhan luka dapat terlihat pada gambar dibawah ini:

Hemostatis bukan merupakan bagian dari proses penyembuhan luka, karena


fungsinya hanya untuk menghentikan perdarahan dan pembentukan fibrin sebagai
pencetus proses penyembuhan luka (Poerwantoro, 2013).

2.2.4 Tipe Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka dikatagorikan menjadi tiga model yaitu: Penyembuhan
luka secara primer, tepi luka bisa menyatu kembali, permukaan bersih, biasanya
terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka
berlangsung dari bagian internal ke eksternal, contoh luka operasi. Penyembuhan
luka secara sekunder, terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan
akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan
sekitarnya, contoh: Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous dan
Penyembuhan luka tertier/delayed primary berlangsung lambat, biasanya sering
disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual, contoh luka
operasi yang tidak menutup (Carville, 2012 ).

Poerwantoro (2013) menjelaskan tentang strategi penyembuhan luka terdiri dari


dua yaitu umum dan khusus. Strategi umum pencegahan luka meliputi luka atau
kulit masih bagus haruslah menetapkan tujuan perawatan, memberi edukasi kepada
pasien dan keluarganya, tatalaksana nutrisi, menentukan posisi tubuh agar tidak
mengganggu proses penyembuhan luka, mengubah posisi tubuh pasien sesuai
kebutuhan, dan memonitor adanya perubahan risiko perawatan. Saat membuat
keputusan untuk pencegahan dan perawatan luka pertimbangkan juga lingkungan
sekitar pasien, kemampuan fisik pasien, ketersediaan keluarga atau tenaga
kesehatan yang akan membantu, pengetahuan dan keterampilan pasien dan
keluarga yang mendukung, serta kulit hanya perlu dibersihkan saat dalam kondisi
kotor.

15
Pastikan pasien dan keluarga atau orang sekitar pasien tidak merokok, pasien harus
patuh dengan obat yang diresepkan, jaga kulit tetap lembab. Sedangkan strategi
khusus penyembuhan luka lebih difokuskan untuk mengoptimalkan proses
penyembuhan lokal dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi dengan
mengangkat jaringan mati, minimalkan tekanan, menetapkan sasaran hasil
perawatan untuk mendapatkan hasil kosmetik yang maksimal, mengatasi nyeri,
hindari terjadi hipoksia, hipovolemia, dan hipotensi, dan identifikasi masalah
sistemik seperti: usia, nutrisi, obesitas, diabetes, perfusi,oksigenisasi, merokok,
terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi steroid.

2.2.5 Pengkajian Luka


Pengkajian atau penilaian luka menurut Betes dan Jensen (2011) berdasarkan
wound assessment tool yang harus dilakukan untuk menilai perkembangan luka
meliputi 13 item skor yaitu mulai dari ukuran, kedalaman, pinggiran luka,
undermining, tipe jaringan necrotic, jumlah jaringan necrotic, tipe exudate, jumlah
exudates, warna kulit sekitar luka, peripheral tissue edema, peripheral tissue
induration, granulation tissue, epithelialization tissue.

Sedangkan menurut The Australian Wound Management Association (AWMA)


(2015) telah memiliki standar perawatan luka yang baku. Standar perawatan yang
dilakukan adalah sebagai berikut: melakukan pengkajian secara komprehensif yang
mencerminkan kesehatan, budaya dan faktor lingkungan yang memiliki dampak
pada penyembuhan luka atau risiko cedera. Dokumentasi bukti hasil pengkajian
individu tentang alasan terjadinya luka, riwayat kesehatan, usia dan perubahan
terkait usia, riwayat luka sebelumnya dan hasil, riwayat obat-obat yang diresepkan,
implikasi psikososial akibat luka, status gizi, sensitivitas dan alergi, diagnostik
yang relevan sebelumnya dan investigasi, penilaian nyeri dengan penggunaan alat
validasi nyeri, tanda-tanda vital. Penilaian lain yang diperlukan adalah penilaian
risiko jatuh dan integritas kulit, vascular dan penilaian sensorik: pengujian
monofilamen atau pengujian tekanan tumpul /sentuhan tajam, getaran sensasi -
garpu tala atau biothesiometer, pengujian reflex.

Pengkajian luka awal dan berkelanjutan harus didokumentasikan berdasarkan bukti


yang temukan tentang: tipe luka, etiologi dan mekanisme terjadinya luka, durasi
luka, lokasi, dimensi, karakteristik klinis dasar luka, penampilan tepi luka, kulit
sekitar luka, eksuda, bau, peradangan, infeksi, nyeri, dan benda asing seperti
benang jahitan. Pengkajian tentang lingkungan yang mempengaruhi penyembuhan
individu perlu diidentifikasikan seperti: faktor yang dapat berdampak pada
kerahasiaan, kinerja perawatan sesuai prosedur, pengendalian infeksi atau
penyembuhan luka, dan mungkin termasuk : faktor gaya hidup, individu, masalah
kerahasiaan dan privasi, keamanan penyimpanan catatan individu, status
kebersihan lingkungan (AWMA, 2015).

16
Langkah berikut adalah investigasi diagnostik akan dilakukan ketika terindikasi
secara klinis untuk memastikan dan memantau etiologi luka, potensi
penyembuhan, hasil penilaian, terkait, diagnosa dan manajemen intervensi.
Prosedur diagnostic yang memungkinkan dilakukan adalah: analisis biokimia
darah, mikrobiologi, histopatologi, penciteraan diagnostic, penilaian vascular,
penilaian neurologist, penilaian gizi, penilaian psikologis (AWMA, 2015).

Tahap selanjutnya adalah melakukan pencucian luka dengan tekhnik aseptic dan
bersih sesuai dengan kondisi luka dan kondisi individu. Kemudian kondisi luka
harus dipertahankan pada kondisi lembab, dan menjaga suhu luka tetap konstan
dengan cara: hindarkan luka terpapar suhu dingin, produk, obat-obatan, terapi atau
perangkat, gunakan solusion pembersihan luka pada suhu tubuh, hindari suhu
ekstrim pada kulit. Kondisi lain yang harus diperhatikan dan di jaga adalah: PH,
resiko infeksi.

Melindungi luka menjadi bagian yang penting yang dapat dilakukan dengan cara
menghindari pembersihan luka agresif kecuali tujuan perawatan adalah
debridement, hindari penggunaan produk, obat-obatan, perangkat dan intervensi
yang mengeringkan atau menimbulkan trauma pada dasar luka atau kulit di
sekitarnya, hindari penggunaan agen beracun atau allergen, lindungi luka dan area
ping dari trauma dan maserasi. Pemilihan dressing adalah bagian terpenting yang
bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan. Menggunakan dressing pada
luka harus sesuai petunjuk atau indikasi yang disetujui oleh Administrasi Barang
dari produk, atau digunakan sebagai komponen protokol penelitian dengan
persetujuan etis yang tepat (AWMA, 2015).

2.2.6 Persiapan Dasar Luka


Falanga dan Sibbald (2000) telah menjelaskan tentang konsep persiapan dasar
luka. Konsep yang digunakan untuk mempersiapkan dasar luka adalah metode
TIME. Kepanjangan dari TIME adalah Tissue management, inflammationdan
infection control, maintenance of moisture balance, dan epithelial advancement of
wound edges(Halim, Khoo, & Saad, 2012).

Poerwantoro (2013) definisi persiapan dasar luka adalah tatalaksana luka dalam
rangka mempercepat proses penyembuhan endogen atau untuk memfasilitasi
efektifitas langkah-langkah terapeutik lainnya.

Langkah-langkah mempersiapkan dasar luka dengan metode TIME meliputi :


menajemen persiapan jaringan mati dilakukan dengan debridement secara periodic
atau kontinyu. Jenis debridementyang dapat dipergunakan dalam memperbaiki
jaringan adalah autolitic, sharp, surgical, enzymatic, mechanical atau biological
agent. Langkah ke dua adalah mengontrol infeksi dan peradangan dengan menilai
adanya tanda-tanda infeksi atau inflamasi, dan bila luka mengalami infeksi harus
diberikan topical anti mikobakterial atau pemberian antibiotic secara sistemik,

17
sehingga bakteri pada luka dapat dikurangi. Tahap ketiga adalah menjaga
kelembaban pada luka dengan memilih topical terapi sesuai dengan kondisi luka
untuk menghindari edema berlebihan, maserasi, atau luka mengalami dehiderasi.
Tahap terakhir adalah memperbaiki jaringan tepi luka untuk meningkatkan
pertumbuhan keratinocytes (Fletcher, 2005).

Persiapan dasar luka dengan menggunakan konsep TIME, juga harus melihat
warna dasar luka untuk melakukan langkah-langkah persiapan dasar luka dengan
metode TIME. Warna dasar luka merah atau red menunjukkan luka memiliki
sirkulasi yang baik sehingga perawatannya cukup dengan mempertaahankan
kelembaban luka. Warna dasar luka kuning atau yellow merupakan luka dengan
penurunan perfusi sehingga jaringan menjadi iskhemikdan infark. Tujuan
perawatan yang dapat dilakukan adalah mengatasi eksudat, dan mengangkat
jaringan berwarna kuning (slough) dengan debridement. Dasar luka berwarna
hitam atau black adalah luka yang telah nekrotik. Tujuan dari perawatan luka hitam
adalah mengangkat jaringan hitam dengan debridement untuk memperbaiki
sirkulasi ke seluruh permukaan luka (Poerwantoro, 2013).

2.2.7 Faktor-faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka juga memiliki faktor yang dapat menghambat luka
sembuh tepat waktu, seperti yang diutarakan oleh Gitarja (2008) faktor faktor yang
menghambat proses penyembuhan luka adalah: Persisten Inflamastion/Infeksi,
Peredaran darah yang buruk, hematoma yang luas, penggantian balutan yang
terlalu sering, toksisitas terhadap zat kimia.

Sedangkan menurut Carville (2012), ada dua faktor yang dapat menghambat
penyembuhan luka yaitu factor umum yang meliputi: umur, penyakit penyerta,
perfusi yang buruk, malnutrisi, index massa tubuh ekstrim, gangguan sensasi atau
gerakan, depresi, cemas, kelelahan, terapi radiasi, merokok, dan obat. Sedangkan
faktor lokal berupa: manajemen perawatan luka, kelembaban luka, suhu dan PH
luka, infeksi, tekanan, gesekan, tarikan, dan benda asing.

2.3 Proses Penyembuhan Luka Menggunakan Madu


Penggunaan madu sebagai obat telah dikenal sejak puluhan ribu tahun yang lalu, dan
digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit lambung, batuk, dan mata
(Subrahmanyam et al., 2001). Selain itu madu juga dapat digunakan sebagai terapi
topikal untuk luka bakar, infeksi, dan luka ulkus. Sampai saat ini telah banyak hasil
penelitian yang melaporkan bahwa madu efektif untuk perawatan luka baik secara klinis
maupun laboratorium. Ada beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu
sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada luka, yang menghasilkan terjadinya
peningkatan jaringan granulasi dan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan
(Suguna et al., 1992;1993; Aljady et al., 2000).

18
Menurut Lusby PE (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka.
Madu efektif sebagai terapi topikal, ini dikarenakan kandungan nutrisi yang terdapat di
dalam madu dan hal ini sudah di ketahui secara luas. Bergman et al. (1983) menyatakan
secara umum madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air dan asam amino,
vitamin Biotin, asam Nikotinin, asam Folit, asam Pentenoik, Proksidin, Tiamin, Kalsium,
zat besi, Magnesium, Fosfor dan Kalium. Madu juga mengandung zat antioksidan dan
H2O2 (Hidrogen Peroksida) sebagai penetral radikal bebas. Tujuan tulisan ini adalah
memberikan gambaran dari kandungan dan sifat madu sehingga madu dapat digunakan
sebagai alternatif terapi topikal pada perawatan luka.

2.3.1 Sifat zat yang terkandung dalam madu


Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu (Gheldof
et al., 2002; Gheldof and Engeseth, 2002). Pada saat ini salah satu madu yang
cukup dikenal luas dalam perawatan luka adalah Manuka Honey. Madu lebih
efektif digunakan sebagai terapi topikal dikarenakan kandungan nutrisi dan sifat
dari madu. Kandungan yang ada di dalam madu antara lain:

a. Osmolaritas yang tinggi


Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan kandungan
gula yang tinggi yang mempunyai interaksi kuat dengan molekul air sehingga
akan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi aroma
pada luka. Salah satunya pada luka infeksi dengan Staphylococcus Aureus.
Seperti yang dilaporkan Cooper et al (1999), hasil studi laboratorium
menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis luka infeksi
salah satunya akibat bakteri Staphylococcus Aureus. Hasil penelitian lain
melaporkan madu alam dapat membunuh bakteri Pseudomonas Aeruginosa
dan Clostritidium ( Efem & Iwara, 1992). Luka dapat mengalami steril
terhadap kuman bila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi
topikal. Selain itu pH yang rendah (3,6-3,7) dari madu dapat mencegah terjadi
penetrasi dan kolonisasi dari kuman (Efem, 1998). Kandungan gula yang
tinggi pada madu jika kontak dengan cairan luka khususnya luka kronis, cairan
luka akan akan terlarut, sehingga luka menjadi lembap dan ini baik untuk
proses penyembuhan.

b. Hidrogen peroksida
Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen peroksida
akan dihasilkan. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase
yang terkandung di dalam madu, sehingga memiliki sifat antibakteri tetapi
tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan akan mengurangi bau
yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida yang
dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak membahayakan
kondisi luka (Molan, 1992). Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan
tergantung dari jenis dan sumber madu yang digunakan.
c. Aktivitas limfosit dan fagosit

19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah lymphosit B and
lymphosit T dapat distimulus oleh madu dengan konsentrasi 0.1% (Abuharfeil
et al.,1999). Adanya aktivitas limfosit dan fagosit ini menunjukkan respon
imun tubuh terhadap infeksi khususnya pada luka. Berdasarkan penelitian
Haryanto (2011) bahwa madu hutan (Apis Dorsata) yang berasal dari
Indonesia pada percobaan menggunakan tikus menunjukkan pada hari ketiga
telah terbentuk sel darah baru (angiogenesis) dan ini efektif untuk perawatan
luka. Selain itu Madu ini sama efektifnya dalamakut maupun kronis.
perawatan luka baik dengan madu Manuka yang terkenal berasal dari New
Zewland.
d. Sifat asam dari madu
Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan yang asam pada luka
sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan penetrasi dan kolonisasi.
Selain itu dari kandungan air yang terdapat dalam madu akan dapat
memberikan kelembapan pada luka, ini sesuai dengan prinsip perawatan luka
moderen yaitu "Moisture Balance". Hasil penelitian Gethin GT et al (2008)
melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis
(ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu 2 minggu secara
signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan
epitelisasi pada luka. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Haryanto
dalam Wound Journal, 2011 didapatkan bahwa madu Apis Dorsata ini
memiliki ketebalan kolagen yang sama dengan Madu Manuka.

2.3.2 Manfaat madu untuk luka


Madu dapat digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka ulkus kaki,
luka dekubitus, ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca operasi serta
luka bakar. Madu dapat meningkatkan waktu penyembuhan luka bakar (Evan and
Flavin, 2008; Jull et al.,2008). Hasil studi kasus yang dilakukan bahwa madu dapat
menyembuhkan luka kronis khususnya luka diabetik.

2.3.3 Cara menggunakan madu saat perawatan luka


Ada beberapa tips yang dapat digunakan saat merawat luka menggunakan madu
( Molan, 2001):

a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat yang keluar
dari luka.
b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya madu terlarut dengan
eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka, balutan dapat di ganti 2 kali seminggu
supaya komponen antibakteri yang terkandung di dalam madu dapat terserap
ke dalam jaringan luka.

20
c. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sebaiknya menggunakan second
dressing yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan langsung pada luka,
madu akan meleleh sehingga keluar area luka. Hal ini tidak akan efektif untuk
merangsang proses penyembuhan luka.
d. Gunakan balutan yang bersifat "oklusif" yaitu menutup semua permukaan luka
untuk mencegah madu meleleh keluar dari area luka.
e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparan film sebagai
second dressing.
f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong) perlu lebih banyak
madu untuk mencapai jaringan didalamnya. Dasar luka harus diisi dengan
madu sebelum ditutup dengan second dressing seperti kasa atau dressing pad
lainnya.
g. Untuk memasukan madu pada luka berkantong sebaiknya gunakan kasa atau
dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.

Luka diabetik dengan terdapat slough dan Luka sembuh setelah


menggunakan madu nanah murni

21
BAB V
PEMBAHASAN

A. ANALISA RUANGAN
Karakteristik Ruangan
Pasien
Mayoritas klien dengan kasus Neurologis. Jumlah klien diruangan saat ini ada
13 klien, sebagian besar dengan diagnosa medik Stroke baik Hemoragik dan
Non Hemoragik. Sekitar 90% klien dengan diagnosa stroke mengalami
kelemahan pada anggota gerak.

Perawat
Jumlah perawat di ruang perawatan VI ada 8 orang dan lantai VII perawatan
ada 8 orang , yang terdiri dari Kepala Ruangan 1 Orang, Kepala Shift 4
Orang, dan Perawat Pelaksana 4 Orang. Dengan latar belakang pendidikan
D3 Keperawatan 10 orang dan S1Ners 6 orang.

B. Implikasi keperawatan
Aplikasi EBN ini memungkinkan untuk diterapkan diruangan, dengan
melibatkan Tim Wound care bagian dari perawatan luka di rumah sakit dan
keluarga klien untuk perawatan dirumah karena tindakan perawatan luka
dengan madu dapat dengan mudah di dapat,ekonomis serta mudah
diterapkan.

22
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden dalam penelitian yaitu rata-rata usia responden adalah
63 tahun, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, berpendidikan
sekolah dasar (SD) dan bekerja sebagai petani.
2. Hasil rata-rata jumlah kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus sebelum
dilakukan perawatan luka menggunakan madu adalah 306 cfu/ml dan hasil rata-
rata jumlah kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus setelah dilakukan
perawatan luka menggunakan madu adalah 178,71 cfu/ml.
3. Terdapat pengaruh perawatan luka menggunakan madu terhadap kolonisasi
bakteri Staphylococcus aureus pada luka diabetik pasien Diabetes Mellitus
4. Intervesi ini dapat dijadikan rekomendasi oleh perawat diruang perawatan untuk
penatalaksanaan perawatan luka, agar dapat mencegah komplikasi berupa infeksi
akibat invasi bakteri serta adanya hiperglikemia menjadi tempat yang optimal
untuk pertumbuhan bakteri dan dapat juga diaplikasikan pada keluarga yang
memiliki keluarga yang memiliki luka diabetic ataupun luka akibat hal lain
seperti post kecelakaan ,luka robek ,lecet, dan lain – lain di rumah.

B. Saran
1. Intervensi ini dapat dijadikan metode alternative atau terapi
kombinasi dalam memberikan terapi perawatan luka pada pasien
yang memiliki luka diabetic ataupun luka lainnya .
2. Rumah sakit agar dapat memfasilitasi dalam pengadaan leaflate dan
lembar balik serta membuat program penyegaran kepada perawat
tentang perawatan luka mandiri dengan bahan non farmakologi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.

Suyono S. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Edisi 4. Jakarta: FK Universitas


Indonesia; 2004.
World Health Organization. Data and statistics of diabetes mellitus [internet]. 2008 [cited
14 Februari 2014]. Available from http://www.who.int/topics/diabetes_mellitus/
en/.
Tobing A. Care your self diabetes mellitus. Jakarta: Penebar Plus; 2008.
Maidina TS. Hubungan kadar hba1c dengan kejadian kaki diabetik pada pasien diabetes
melitus di RSUD Ulin Banjarmasin [internet]. 2012 [cited 21 Februari 2014].
Available from http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/bk/arti
cle/download/680/636.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: FK Universitas Indonesia; 2006

Abidin RK. Faktor penghambat proses proliferasi luka diabetic foot ulcer pada pasien
diabetes mellitus tipe ii di klinik kitamura pontianak [internet]. [Tanjungpura]:
Keperawatan Universitas Tanjungpura; 2013 [cited 13 Februari 2014]. Available
from http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkepera
watanFK/article/download/3046/3023.

Suriadi. Perawatan luka. Edisi 1. Jakarta: Sagung Seto; 2004.

Nurlaily. Analisis beberapa faktor risiko terjadinya diabetes mellitus pada RSUD dr.

Mm. Dunda Limboto Kab.Gorontalo [internet]. 2010 [cited 28 Juni


2014].Available from http://dc162.4shared.com/doc/lYqjkf5o/previ ew . htm l.

Ferawati I. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ulkus diabetikum pada pasien


diabetes mellitus tipe 2 Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
[internet]. [Purwokerto]: 2014 [cited 28 Juni 2014]. Available from
http://keperawatan.unsoed.ac.id/sites/defau lt/files/SKRIPSI%20IRA
%20FERAWATI %20G1D010015.pdf.

24
Puspita DNV. Hubungan antara pengetahuan tentang menopause dengan kecemasan pada
wanita dalam menghadapi masa menopause di Desa Kotesan Kecamatan
Prambanan Kabupaten Klaten. Jurnal kesehatan. 2005: 24 (suppl.2), 101-104.

Diani N. Pengetahuan dan praktik perawatan kaki pada klien diabetes melitus tipe 2 di
Kalimantan Selatan [internet]. [Jakarta]: 2013 [cited 29 Agustus 2014]. Available
from http://lontar.ui . ac.id/file? file=digital/2033429 -T32594-Noor
%20Diani.pdf.

Riyadi S, Sukarmin. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eksokrin dan
endokrin pada pankreas. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2008.

Prastica VA. Perbedaan angka kejadian ulkus diabetikum pada pasien diabetes mellitus
dengan dan tanpa hipertensi di RSUD dr. Saifudin Anwar Malang. 2013; Tugas
Akhir. Malang: Universitas Brawijaya.

Stevens PJM. Ilmu keperawatan. Jilid 2. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1999.

Situmorang LL. 2009. Efektivitas madu terhadap penyembuhan luka gangren diabetes
mellitus di RSUP H. Adam Malik Medan [internet]. [Sumatera Utara]: 2009 [cited
13 Februari 2014]. Available from http://repository.usu.ac.id/handle/12345678
9/25284.

Hamdani RN. 2013. Perawatan luka dengan madu manuka [internet]. 2013 [cited
14 Februari 2014]. Available from
http://www.bimkes.org/wpcontent/uploads/downloads/2013/06/BIMIKI -Edisi-
2.pdf.

Al Fady MF. Perbedaan efektivitas perawatan luka menggunakan madu dan softratulle
terhadap proses penyembuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di Wilayah
Kerja Puskesmas Rambipuji Jember. 2012; Tidak Diterbitkan. Skripsi. Jember:
PSIK Universitas Jember.

Hammad S. 99 resep sehat dengan madu. Solo: Aqwamedika; 2012.

Rio YBP, Djamal A, Asterina. Perbandingan efek antibakteri madu asli sikabu dengan
madu lubuk minturun terhadap escherichia coli dan staphylococcus aureus secara
in vitro [internet]. 2012 [cited 07 Maret 2014]. Available from
http://download.portalgaruda.org/article.php? article=135085&val=5645.

Suranto A. Khasiat dan manfaat madu herbal. Jakarta: AgroMedia Pustaka; 2004.Wade
C. Can be e propolis rejuvenate the immune system [internet]. [Place unknown];
2005 [cited 29 Agustus 2014]. Available from
http://thenaturalshopper.com/buybeesuplem ents /article. Indonesia. Dinas
Kesehatan Jember. Kunjungan (LBI) DM Kabupaten Jember

25
Tahun 2013. Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember; 2013.

Intanwidya Y. Analisa madu dari segi kandungannya berikut khasiatnya masingmasing


[internet]. [Place unknown]; 2005 [cited 15 Februari 2014]. Available from:
http://www.mailarchive.com/forum@alumniakabogor.net/msg01046.html.

26
27

Anda mungkin juga menyukai