• Deva Elma Fridatama 172110101039 • Rani Mira Pratiwi 172110101063 • Shavia Maulidina Zein 172110101105 • Tazkyah Pradana 172110101178 • Gita Kartika Rahayu 172110101183 Hubungan Sosioekonomi Dengan HIV Dan Aids
• Sebuah taraf atau posisi yang mencerminkan akses
seseorang terhadap sumber daya yang diinginkan, baik itu berupa material, uang, kekuasaan, koneksi sosial, pelayanan kesehatan, waktu luang, atau peluang dalam mendapatkan pendidikan . • Seseorang dengan status sosioekonomi tinggi lebih mampu untuk memiliki segalanya daripada seseorang dengan status sosioekonomi rendah. Seseorang memiliki status sosioekonomi tinggi apabila mereka memiliki pekerjaan, pendidikan, ilmu pengetahuan yang luas, kekayaan, politis, keturunan, dan agama (Soekanto, 2012). • ODHA membutuhkan stabilitas ekonomi untuk menunjang keberlangsungan hidup. Sedangkan, keadaan ekonomi yang tidak stabil dapat menyebabkan masalah bagi ODHA. Ketika kondisi ekonomi tidak stabil, maka akses untuk mendapatkan terapi ARV cenderung lebih sulit. • Selain ketidakpatuhan terhadap terapi ARV, akan terjadi pula rawan pangan. Inilah yang kemudian mendorong ODHA untuk melakukan transaksi seks. Terjadinya transaksi seks juga didorong karena adanya stigma sosial terhadap ODHA. Stigma tersebut banyak diberlakukan dalam mencari pekerjaan dan akan rawan terjadi pemecatan, jika HIV-positif. • Selain itu, ODHA perempuan biasanya akan lebih disalahkan bila membawa HIV ke dalam keluarga. Stigma yang diberlakukan dalam ranah sosial termanifestasi dalam bentuk gosip dan ditolak oleh keluarga dan tetangga, sehingga menjauhkan ODHA dari sumber dukungan ekonomi dan pangan. • Menurut (Kemensos, 2011), seseorang yang terjangkit HIV/AIDS dapat berdampak sangat luas dalam hubungan sosial, dengan keluarga, hubungan dengan teman-teman, relasi dan jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kualitas. • Berbicara tentang sosioekonomi, terdapat suatu konsep mengenai dampak ekonomi bagi penderita HIV/AIDS yang menyatakan bahwa epidemi HIV/AIDS akan menimbulkan biaya tinggi, baik pada pihak penderita maupun pihak rumah sakit. • Hal ini dikarenakan obat penyembuh yang belum ditemukan, sehingga biaya harus terus dikeluarkan hanya untuk perawatan dan memperpanjang usia penderita. Hubungan Budaya Dengan HIV Dan Aids
• Faktor budaya sangat berkaitan dengan HIV. Budaya di
Indonesia tabu membicarakan seks pada remaja baik di lingkungan masyarakat, sekolah, dan keluarga. Hal ini menyebabkan remaja mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan, informasi yang didapatkan berasala dari teman sebaya, media elektronik, terkadang informasi yang dipatkan tidak benar (Prescilla , 2008). • Fenomena ini terjadi akibat adanya globalisasi. Dan gaya hidup modern kebarat baratan. Dengan adanya ini masyarakat dan remaja lebih bebas melakukan hubungan seksual karena pengaruh budaya dari barat tanpa diimbangi pengetahuan sehingga memudahkan mereka menderita HIV/AIDS. • Dalam fungsi social budaya ini, maka masing-masing orang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain. Perilaku sex bebas, bisexual, berganti-ganti pasangan adalah pemicu utama HIV/AIDS ini, dan ini semua sangat dipengaruhi oleh lemahnya norma-norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, untuk pencegahan terhadap penyakit ini, perlu melibatkan semua unsur, diperlukan komitmen semua pihak. • Kontrol sosial yang paling efektif adalah dengan menguatkan budaya masyarakat, dengan menuju masyarakat yang beradab, sesuai dengan moral bangsa, dengan dukungan kuat keyakinan beragama (religius). Budaya masyarakat ini melibatkan seluruh pihak, karena ini merupakan kesepakatan bersama sebagai komitmen bersama, melalui pemahaman nilainilai bersama yang mengikat seluruh pihak yang ada (Asfiah, 2011). Contoh: Mayoritas agama di Indonesia aadalah muslim, merupakan keharusan laki laki muslim melakukan sunat. Sunat laki-laki muslim berdasarkan data UNAIDS pada tahun 2008 sunat menurunkan risiko infeksi HIV sampai dengan 60% melalui hubungan seksual lain jenis. Buka hanya masyarakat muslim ada beberapa masyarakat laki- laki non muslim juga melakukan sunat. Hubungan Gender Dengan HIV Dan Aids
Angka kesakitan kelompok umur tertentu (age spesific morbidity rate)
penderita IMS pada pria adalah lebih tinggi bila dibandingkan dengan wanita. Namun tingkat kegawatan (severity) pada wanita penderita IMS adalah lebih serius bila dibanding dengan laki-laki. Sehingga IMS pada pria maupun wanita disebabkan karena perbedaan jenis kelamin dan perbedaan susunan anatomi organ tubuh tertentu. Manifestasi gejala klinik IMS pada pria adalah lebih jelas sehingga memberi kesempatan lebih banyak menggunakan fasilitas kesehatan. Diagnosis penderita IMS pada pria lebih mudah, sehingga lebih banyak penderita pria yang dilaporkan. Pria dianggap lebih promiskuitis bila dibandingkan dengan wanita sehingga lebih banyak kemungkinannya terjadi penularan penyakit. Di negara berkembang hubungan kelamin di luar nikah lebih banyak dilakukan pria. a) Riwayat HIV/AIDS pada laki – laki (Suami) • Laki-laki lebih banyak mengalami IMS dan HIV daripada perempuan karena adanya kegiatan mencari jasa pekerja seks, beberapa alasannya karena insting dasar laki- laki, pekerja seks lebih menarik dan sempurna, mencari keintiman, mencari hubungan sosial diluar hubungan konvensional dengan pasangan, ingin kendali yang lebih besar (dominasi) atas pengalaman seksual, kegagalan dalam kehidupan seksual, menghindari tanggung jawab atau keterikatan emosional dalam hubungan konvensional, kesepian, penasaran. • Selain itu laki-laki yang berperan sebagai reseptif saat berhubungan seksual dengan laki-laki lain memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDS lebih besar. Laki-laki dengan peran insertif akan melakukan penetrasi dengan tindakan ekstrim yang menimbulkan perlukaan/ peradangan/infeksi pada saluran pencernaan/anus pasangan reseptif, kemudian dilanjutkan seks anal tanpa menggunakan kondom. Laki-laki homoseksual ternyata memiliki faktor risiko perilaku seksual lebih tinggi daripada laki-laki heteroseksual. Secara umum, laki-laki homoseksual lebih berisiko tertular HIV/AIDS melalui berganti- ganti pasangan (memiliki partner seks lebih dari satu), sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung memiliki risiko penularan HIV/AIDS lebih tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa memakai kondom. Jadi Seks anal merupakan faktor perilaku seksual yang juga berhubungan erat dengan penularan HIV/AIDS b) Riwayat HIV/AIDS pada perempuan (istri) riwayat menikah merupakan salah satu faktor risiko HIV/AIDS pada wanita, oleh karena status HIV suami sebelumnya belum diketahui oleh karena perceraian, suami meninggal terlebih dahulu, atau status HIV mantan istri dari suaminya juga tidak diketahui. Perempuan juga menjadi lebih rentan karena adanya hirarki yang tidak mengakui hak-hak perempuan sehingga menempatkannya menjadi kelompok yang berada pada rasa tidak aman dan dipaksa melakukan aktivitas seksual. Kondisi kerentanan perempuan terhadap IMS dan HIV ada kaitannya juga dengan “Personal Behavior”. Kurangnya pengetahuan akan menimbulkan ketidakpedulian terhadap perilaku berisiko yang terjadi pada pasangan dan lingkungan yang menyebabkan ketidakberdayaan perempuan dan rendahnya kewaspadaan maupun aksi dalam mencegah HIV dan AIDS Studi Kasus
1. Judul Jurnal : Hubungan Perilaku Seksual, Pengkonsumsian
Narkoba Dan Penggunaan Tato Dengan Kejadian Hiv/ Aids Di Ranah Minang Tahun 2018 Nama Pengarang: Sri Handayani, Eliza Arman, Inge Angelia Tahun: 2018 Nama jurnal: Jurnal Sehat Mandiri, Volume 14, No. 2 Halaman: 10-14 Metode: Penelitian dalam jurnal ini dilakukan secara deksriprif dengan metode kuantitatif ,menggunakan case control pada 56 responden( 28 kasus dan 28 kontrol). Pengambilan data menggunakan kuesioner. Adapun pengolahan data dialkukan dengan analsisis univariat. Pembahasan: • Terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku seksual dengan kejadian HIV/ AIDS, terbukti dengan nilai P 0,014 (P< 0,05). Odds ratio 4 dan CI : 1, 284 – 12, 468 menunjukkan bahwa responden melakukan perilaku seksual berisiko berpeluang menderita HIV/ AIDS 4 kali dibanding responden yang tidak melakukan perilaku seksual yang berisiko. • Faktor dalam hal ini berkaitan dengan budaya yang ada pada masyarakat terkait kebiasaan dalam melakukan seks bebas dalam kehidupan sehari hari. Perilaku seks bebas tersebut dilakukan baik sesama jenis ataupun beda jenis. • Hasil koesioner menyebutkan bahwa sebanyak 13, 6% responden kasus melakukan hubungan seksual dengan pria dan wanita dan sebanyak 13,6 % melakukan hubungan seksual dengan pasangan sejenis. Sebanyak 54,4% responden kasus melakukan hubungan dengan berganti pasanngan. Keadaan ini diketahui beresiko meningkatkan terjadinya HIV/AIDS sebanyak 4 kali. • Budaya seks bebas ini merupakan kebiasaan buruk bagi kalangan orang ditengah era globaslisasi ini yang dapat berdampak pada kesehatan. • Pada penelitian ini disebutkan terkait asumsi peneliti yang menyebabkan perilaku budaya seks bebas yaitu disebabkan oleh masih rendahnya pendidikan yang berdampak juga pada pemilihan jenis pekerjaan yang mengharuskan responden merantau (mencari pekerjaan keluar daerah) yang juga menjadi penyebabkan tingginya angka perilaku seksual yang berisiko pada kelompok kasus. • Dalam hal ini diketahui sebanyak 36% responden yang berpindidikan SLTP bekerja sebagai pekerja salon, sopir, dan karyawan cafe. 2. Judul Jurnal : Istri dengan HIV/Aids Studi Fenomenologi di Kota Surabaya Nama Pengarang: Aisyah Jatu Kusumawati Tahun: 2019 Nama jurnal: Jurnal Universitas Halaman: 1-11 Pembahasan: Jurnal ini membahas bagaiamana fenomena sosial di masyarakat terkait stigma pada istri ODHA. Dalam hal ini kaitannya dengan faktor gender disebutkan bahwa ketimpangan gender dapat menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan tingginya angka HIV/AIDS pada istri. Dalam hal ini disebutkan bahwa suami memiliki kuasa terhadap istri dalam hal rumah tangga .Ketimpangan gender ini pada umumnya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, keengganan menayakan status kesehatan suami karena takut, rendahnya peran istri dalam bargaining power melakukan hubungan seksusal dengan suami dapat menjadi peluang perempuan mengalami penguasaan dalam rumah tangga bahkan kekerasan seksua;. Terlebih lagi apabila suami bersifat tidak terbuka kepada istri, sehingga kasus penularan HIV/AIDS akan mudah meningkat pada istri. 3. Judul : Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian HIV/Aids Di Magelang Nama Pengarang: Tuti Susilowati, Muchlis AU Sofro & Ana Bina Sari Tahun: 2017 Halaman: 85-95 Prosiding: Seminar Nasional Rekam Medis & Informasikesehatan Standar Akreditasi Rumah Sakit (Snars) Edisi 1 Terkait Rekam Medis Metode: Rancangan penelitian pada jurnal adalah observasional analitik, pendekatan Case Control, Kasus adalah semua penderita dengan semua kelompok umur yang telah didiagnosa HIV/AIDS oleh RS dengan ARV. Kontrol adalah keluarga ODHA yang pernah screening HIV. Sampel penelitian 76 kasus dan 76 kontrol. Pembahasan • Hasil penelitian yang berkaitan dengan faktor sosio ekonomi(posisi atau kedudukan seseorang dalam kelompok masyarakat yang ditentukan terhadap jenis aktivitas ekonomi, pendidikan dan pendapatan) anatara lain sebagai berikut: 1.Tingkat Pendidikan Berdasar uji multivariat OR: 4,70, 95% CI 2,11-10,47, p value 0,001 sehingga tingkat pendidikan yang rendah dinyatakan beresiko 4,7 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS. Tingkat pendidikan relevansinya akan mempengaruhi dalam memahami suatu informasi yang ia dapatkan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah menangkap dan memahami informasi yang didapat. Hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin baik pengetahuannya.hal ini dapat menjadi salah satu faktir dalam mencegah terjadinya HIV/AIDS begitupun sebaliknya mampu meningkatkan terjadinya HIV/AIDS. 2. Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan rendah dalam penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh terhadap kejadian HIV/ AIDS dengan OR 3,32 dan 95% CI 1,02 – 7,12 dengan p value 0,002. Hal ini meningkatkan resiko 3,32 kali lebih besar terkena HIV/AIDS. Sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa prilaku seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki. Secara teori tingkat pengetahuan berhubungan dengan tingkat pendidikan. Jika tingkat penegtahuan rendah maka lebih beresiko terkena HIV/AIDS hal ini erat kaitannya dengan perilaku responden yang berpotensi mengakibatkan HIV/AIDS. Kesimpulan
• HIV/AIDS adalah salah satu masalah kesehatan besar yang
mengancam di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan di antaranya seperti krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, krisis pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Kerentanan seseorang terhadap penularan HIV dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya seperti aspek individu (biologis dan riwayat penyakit), perilaku seksual, status sosial, ekonomi, budaya, stigma dan diskriminasi, akses terhadap pendidikan, akses ke layanan kesehatan, paparan media masa, dan disparitas gender. • Ada perbedaan intensitas keikutsertaan dalam rapat, intensitas berkunjung kerumah keluarga atau kerabat, intensitas keikutsertaan gotong royong di lingkungan sekitar tempat tinggal, dan intensitas menghadiri undangan adat, sebelum dan sesudah terkena penyakit HIV/AIDS. Selain itu, tidak ada perbedaan keadaan bekerja atau tidak, lapangan pekerjaan, status pekerjaan, dan pendapatan, sebelum dan sesudah terkena HIV/AIDS. • Faktor budaya sangat berkaitan dengan HIV. Budaya di Indonesia tabu membicarakan seks pada remaja baik di lingkungan masyarakat, sekolah, dan keluarga. Hal ini menyebabkan remaja mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan, informasi yang didapatkan berasal dari teman sebaya, media elektronik, terkadang informasi yang didapatkan tidak benar. • Angka kesakitan kelompok umur tertentu (age spesific morbidity rate) penderita IMS pada pria adalah lebih tinggi bila dibandingkan dengan wanita. Namun tingkat kegawatan (severity) pada wanita penderita IMS adalah lebih serius bila dibanding dengan laki-laki. • Terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku seksual dengan kejadian HIV/ AIDS bahwa responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berpeluang menderita HIV/ AIDS 4 kali dibanding responden yang tidak melakukan perilaku seksual yang berisiko. Selain itu, ketimpangan gender dapat menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan tingginya angka HIV/AIDS pada istri. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS dimana pendidkan yang rendah beresiko 4,7 kali lebih besar terhadap kejadian HIV dan AIDS. Selain itu, pengetahuan yang rendah jugmeningkatkan resiko 3,32 kali lebih besar terkena HIV/AIDS. Daftar Pustaka Asfiah, N. (2011). Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS melalui penguatan budaya. Humanity, 116-120. Dewi, D. S., Wulandari, L. L., & D. W. (2018). Determinan Sosial Kerentanan Perempuan Terhadap Penularan IMS dan HIV. JPH RECODE, 27-30. Handayani.S.,E.Arman.,&I.Angelia.2018.Hubungan Perilaku Seksual, Pengkonsumsian Narkoba Dan Penggunaan Tato Dengan Kejadian HIV/ Aids Di Ranah Minang Tahun 2018. Jurnal Sehat Mandiri.14(2): 10-14. Handayani, S. (2019). Hubungan Perilaku Seksual, Pengkonsumsian Narkoba dan Penggunaan Tato dengan Kejadian HIV/ AIDS di Ranah Minang Tahun 2018. Jurnal Sehat Mandiri, 10-17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Situasi Umum HIV/AIDS dan Tes HIV. Jakarta: Infodatin Kemenkes RI. Kusumawati.J.A.2019. Istri dengan HIV/Aids Studi Fenomenologi di Kota Surabaya. Jurnal Universitas Airlangga.1-11. Laksana, A. S., & Lestari, D. W. (2010). Faktor - Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS Pada Laki - Laki Dengan Orientasi Seks Heteroseksual dalam Homoseksual Di Purwokwerto. Mandala of Health, 119-120. Made, D. (2018). Determinan Sosial Kerentanan Perempuan Terhadap Penularan Ims Dan Hiv. JPH RECODE, 22-35. Musyarofah, S. (2017). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian HIV/AIDS pada Wanita (Studi Kasus di Kabupaten Kendal). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 17-26. Nevendorff, L. (2018, Agustus). Kajian Gender terhadap Penanggulangan HIV di Indonesia. Retrieved October 14, 2020, from PPH UNIKA Atmajaya: https://pph.atmajaya.ac.id/media/document/KM/publikasi/Kajian_Gender_terhadap_Penanggulangan_HIV_d i_Indonesia.pdf. Pardita et al ANALISIS DAMPAK SOSIAL, EKONOMI, DAN PSIKOLOGISPENDERITA HIV AIDS DI KOTA DENPASAR [Journal]. - Bali : Jurnal Buletin Studi Ekonomi, 2014. - Vol. 19. Prescilla , V. (2008). Faktor faktor penentu penyebaran HIV/AIDS tahun 2008. Majalah Kedokteran Andalas no.2 Vol.32, 108-114. Purnama, D., & Witdiawati, W. (2018). Literasi Penyakit HIV-AIDS pada Siswa Madrasah Tsanawiah Negeri 1 Garut. Media Karya Kesehatan, 1(1). Refti, W. G. (2018). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) di Klini Voluntary Counseling Test (VCT). Jurnal Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan, 54-55. Safitri Indah Maya Hubungan Status Sosioekonomi dan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup ODHA [Journal]. - Surabaya : Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 2020. - Vol. 8. S. M., S. H., B. L., Sofro, M. A., & S, L. D. (2017). Beberapa Faktor yang Berhuubungan dengan Kejadian HIV/AIDS Pada Wanita (Studi Kasus di Kabupaten Kendal). Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. Sidjabat, F. N., H. S., Sofro, M. A., & S. H. (2017). Lelaki Seks Lelaki, HIV/AIDS dan Perilaku Seksualnya Di Semarang. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 138. Susilowati.T.,M.A.Sofro.,&A.B.Sari.2017.Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian HIV/Aids Di Magelang. Prosiding-Seminar Nasional Rekam Medis & Informasikesehatan Standar Akreditasi Rumah Sakit (Snars) Edisi 1 Terkait Rekam Medis.85-95. Trubus, & Nuriadi, R. (n.d.). Dampak Perubahan Sosial Budaya Terhadap Prevalensi HIV/AIDS. Meditek Vol.7 No 20, 1-9.