Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Dosen Pengampu: Putri Kemala Dewi Lubis, SE., M.Si., Ak., CA

“Ruang Lingkup Dan Bentuk Perencanaan Pembangunan Daerah”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

1. Devy Monalisa Solin (7193341037)


2. Nanda Vecensius Ginting (7193141003)
3. Sartika Kayatana Silitonga (7193341005)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang senantiasa memberikan
rahmat dan hikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini berjudul “Ruang Lingkup Dan Bentuk Perencanaan Pembangunan Daerah”
Makalah ini berisikan uraian mengenai tentang apa-apa saja yang tercakup dalam konsep-konsep
pembangunan serta pertumbuhan ekonomi pada saat ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan
mendidik untuk perbaikan selanjutnya. Walaupun demikian penulis tetap berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Terimakasih.

Medan, 5 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
2.1. Ruang Lingkup Dan Bentuk Perencanaan Pembangunan Daerah ....................................... 3
A. Perencanaan Makro ................................................................................................................ 3
1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah ........................................................................................ 4
2 Pemerataan Pembangunan Ekonomi Daerah ................................................................... 4
3 Kemakmuran dan Kesejahteraan Masyarakat .................................................................. 6
4 Sumber Pembiayaan Pembangunan ................................................................................. 6
5 Perkiraan Kebutuhan Investasi ......................................................................................... 7
6 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah ................................................................. 8
B. Perencanaan Sektoral .............................................................................................................. 9
C. Perencanaan Wilayah (Regional) ......................................................................................... 10
D. Perencanaan Proyek (Kegiatan) ........................................................................................... 13
2.2. Studi Kasus ........................................................................................................................ 15
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 17
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perencanaan pembangunan daerah mempunyai ruang lingkup dan bentuk tersendiri sesuai
dengan tujuan, arah dan sifat pembahasan serta kegunaannya dalam pelaksanaan pembangunan.
Secara umum ada empat ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan yang satu sama
lainnya saling berkaitan. Pertama, adalah Perencanaan Makro yang analisisnya bersifat
menyeluruh (agregatif) meliputi kesemua aspek dan sektor pembangunan. Kedua, adalah
Perencanaan Sektoral yang mencakup hanya satu bidang atau sektor tertentu saja seperti
pertanian, pendidikan, kesehatan, perindustrian, dan perdagangan dan lainlainnya. Ketiga, adalah
Perencanaan Wilayah (Regional) yang mencakup hanya untuk wilayah administratif tertentu
saja, seperti provinsi, kabupaten dan kota. Keempat, adalah Perencanaan Proyek (kegiatan) yang
mencakup perencanaan untuk membangun suatu proyek atau kegiatan tertentu saja seperti
pembangunan sekolah, jalan, PLTA dan lain-lainnya (Sjafrizal, 2014: 69).
Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan tentunya dibutuhkan partisipasi dari
masyarakat. Karena tujuan pembangunan adalah untuk masyarakat itu sendiri, maka dari itu
idealnya masyarakat diajak atau diikut sertakan dalam penyusunan suatu perencanaan
pembangunan. Masyarakat disini adalah para stake holder atau pihak yang terlibat dalam
pembangunan yaitu: Pemerintah, Private sektor, dan masyarakat secara keseluruhan. Tujuan
adanya partisipasi masyarakat agar masyarakat terlibat atau ikut serta secara aktif dalam setiap
kegiatankegiatan pembangunan sebagai bentuk kepedulian dan dukungannya kepada proses
pembangunan yang dilakukan di daerahnya tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan?
2. Apa saja bagian – bagian dari ruang dan bentuk perencanaan pembenguan dari
perencanaan ?

1
1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah :


1. Mengetahui defenisi dari ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan
2. Mengetahui bagian – bagian dari ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Ruang Lingkup Dan Bentuk Perencanaan Pembangunan Daerah


Perencanaan pembangunan daerah mempunyai ruang lingkup dan bentuk tersendiri sesuai
dengan tujuan, arah dan sifat pembahasan serta kegunaannya dalam pelaksanaan pembangunan.
Secara umum ada empat ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan yang satu sama
lainnya berkaitan.

 Pertama, adalah perencanaan makro yang analisisnya bersifat menyeluruh meliputi ke


semua aspek dan sektor pembangunan.
 Kedua, adalah perencanaan sektoral yang mencakup hanya satu bidang atau sector
tertentu saja seperti pertanian, pendidikan, kesehatan, perindustrian,dan perdagangan dan
lain-lainnya.
 Ketiga,adalah perencanaan wilayah(Regional) yang mencakup hanya untuk wilayah
administratif tertentu saja,seperti provinsi,kabupaten,dan kota.
 Keempat,adalah perencanaan proyek atau kegiatan tertentu saja seperti pembangunan
sekolah ,jalan,PLTA dan lain-lainnya.

A. Perencanaan Makro

Perencanaan makro menyangkut dengan ruang lingkup dan bentuk perencanaan yang
berkaitan dengan kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Bentuk dan ruang lingkup
perencanaan ini menjadi penting karena kinerja pembangunan yang baik adalah berdampak
secara menyeluruh dan tidak untuk sektor dan bagian tertentu saja. Di samping itu, para
pimpinan daerahnya sebenarnya lebih berkepentingan dengan dampak yang menyeluruh tersebut
dibandingkan dengan menurut sektor atau program, dalam rangka memenuhi harapan publik
akan perbaikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pola penulisan RPJM,
aspek ini lazim disebut sebagai Kerangka Ekonomi Makro yang berisikan strategi, kebijakan
serta sasaran dan target pembangunan secara menyeluruh baik untuk tingkat nasional maupun
daerah.

Aspek-aspek utama yang dibahas dalam Perencanaan Makro ini paling kurang meliputi
hal-hal berikut ini: pertumbuhan ekonomi daerah, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan, keuangan dan sumber pembiayaan
pembangunan serta kebutuhan investasi dan strategi dan kebijakan pembangunan secara
menyeluruh. Dalam hal ini, perencana dapat menambah pembahasan dengan aspek makro
lainnya sesuai dengan visi dan misi pembangunan daerah yang telah ditetapkan terlebih dahulu
oleh kepala daerah terpilih.

3
1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Aspek makro pertama yang sangat penting dibahas adalah menyangkut dengan
pertumbuhan ekonomi daerah yang pada dasarnya merupakan peningkatan kemampuan produksi
yang terdapat pada daerah bersangkutan. Alasannya adalah karena pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu unsur penting dalam peningkatan proses pembangunan daerah. Tidak
berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tersebut adalah
merupakan motor penggerak utama dalam proses pembangunan daerah bersangkutan.

Realisasi pertumbuhan ekonomi daerah dapat diukur dengan menggunakan peningkatan


nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan harga konstan dari satu periode ke
periode waktu lainnya. PDRB harga konstan sengaja digunakan agar dalam perhitungan tidak
termasuk kenaikan harga (inflasi). Di samping itu, pertumbuhan ekonomi daerah ini juga dapat
dihitung untuk masing-masing sektor sub sektor sesuai dengan data tersedia. Dengan cara
demikian akan dapat diketahui secara konkret peran masing-masing sektor dan Sub sektor dalam
menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah secara keseluruhan. Data untuk keperluan ini
umumnya sudah tersedia pada Badan Pusat Statistik (BPS) setempat.

Analisis pertumbuhan ekonomi daerah ini pada satu segi dapat digunakan sebagai salah
satu indikator untuk penilaian keberhasilan pembangunan ekonomi daerah bersangkutan.
Sedangkan pada segi lain, perkiraan pertumbuhan ekonomi daerah dapat pula dijadikan sebagai
dasar untuk melakukan prediksi sasaran dan target pertumbuhan ekonomi daerah untuk masa
mendatang yang cukup realistis sesuai kemampuan di masa lalu. Di samping itu, target
pertumbuhan ini juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan kebutuhan investasi yang
diperlukan untuk menggerakkan proses pembangunan daerah bersangkutan.

2 Pemerataan Pembangunan Ekonomi Daerah


Pemerataan pembangunan ekonomi daerah merupakan unsur dan bagian perencanaan
makro lainnya yang juga sangat penting artinya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, tetapi tidak
diikuti dengan pemerataan akan mengurangi tingkat kemakmuran masyarakat dan dapat
menimbulkan kecemburuan sosial sehingga dapat mendorong timbulnya keresahan dan
ketegangan politik. Karena itu, strategi dan kebijakan serta program dan kegiatan yang bertujuan
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan ekonomi daerah merupakan hal yang sangat
strategis dalam perencanaan makro. Strategi dan kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi
daerah yang lazim digunakan pada negara sedang berkembang, termasuk Indonesia adalah dalam
bentuk upaya penanggulangan kemiskinan dan perbaikan distribusi pendapatan dalam
masyarakat. Karena itu cukup beralasan kiranya bila pengurangan jumlah penduduk miskin dan
penurunan ketimpangan distribusi pendapatan sudah umum merupakan salah satu sasaran pokok
pembangunan daerah secara makro.

4
Secara teknis, Penduduk miskin adalah warga masyarakat yang nilai pendapatan yang
berada dibawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan secara berkala oleh pemerintah.
Sedangkan garis kemiskinan tersebut ditentukan berdasarkan nilai pendapatan minimum yang
dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat bertahan hidup. Garis kemiskinan tersebut akan berubah
dari waktu ke waktu tergantung dari perubahan harga barang-barang kebutuhan pokok secara
umum. Kemiskinan yang demikian lazim disebut sebagai Kemiskinan Absolut (Absolute
Proverty). Sedangkan dalam dunia internasional, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan
sebesar US $ 2.00 per hari yang ternyata lebih tinggi dari garis kemiskinan yang lazim ditetapkan
oleh pemerintah Indonesia dewasa ini yaitu sekitar US $ 1,00 per hari.

Namun demikian, Dalam praktiknya di Indonesia terdapat dua cara untuk mengukur
jumlah penduduk miskin. Pertama, menggunakan data konsumsi sebagai dasar penemuan jumlah
penduduk miskin sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kedua,
menggunakan beberapa indikator sosial seperti pendapatan, kondisi rumah tangga dan unsur lain
lainnya sebagaimana dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Masing-
masingnya mempunyai kelemahan dan kekuatan tersendiri, sehingga pemilihan ukuran
kemiskinan yang tepat akan sangat ditentukan oleh tujuan dari penggunaan Angka kemiskinan
tersebut.

Kondisi distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat diukur dengan jalan


membandingkan persentase Jumlah pendapatan yang dikuasai oleh masyarakat umum yang
jumlahnya banyak dibandingkan dengan yang dikuasai oleh kelompok pendapatan tinggi seperti
para elit dan pengusaha yang jumlahnya sedikit. Untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan antar kelompok masyarakat tersebut, para ilmuwan lazim menggunakan
perkembangan angka Indeks Gini Ratio dari satu periode ke periode lainnya.

Cara lainnya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan


ekonomi daerah adalah dengan jalan mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi antar
wilayah. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah dapat diukur dengan menggunakan
Indeks Williamson dengan menggunakan data PDRB perkapita dan rasio jumlah penduduk. Data
untuk keperluan ini juga umumnya sudah tersedia pada BPS di daerah. Di samping itu,
ketimpangan ekonomi wilayah yang tinggi biasanya ditandai pula oleh masih banyaknya daerah-
daerah yang termasuk dalam kategori Daerah Tertinggal.

Strategi dan kebijakan lainnya yang juga penting artinya untuk meningkatkan pemerataan
ekonomi antar daerah adalah dalam bentuk penanggulangan tingkat pengangguran. Bila tingkat
pengangguran dapat dikurangi, maka otomatis jumlah penduduk miskin juga akan berkurang
karena kebanyakan kemiskinan muncul karena tingkat pengangguran yang relatif tinggi dalam
masyarakat. Sedangkan penanggulangan pengangguran tersebut biasanya dapat dilakukan
dengan jalan meningkatkan penciptaan lapangan kerja serta mengurangi jumlah angkatan kerja
melalui pelaksanaan Program Keluarga Berencana (KB). Tingkat pengangguran biasanya
diukur dalam bentuk persentase jumlah pencari kerja dibagi dengan jumlah penduduk umur kerja

5
(15-65 tahun). Sedangkan mencari kerja dapat diketahui dengan jalan mengurangi jumlah
angkatan kerja dengan mereka yang tidak mau bekerja seperti anak sekolah dan ibu rumah
tangga. Angkatan kerja adalah penduduk yang berada dalam kelompok umur kerja dan secara
fisik mampu bekerja.

3 Kemakmuran dan Kesejahteraan Masyarakat


Sesuai dengan tujuan nasional dan daerah, aspek kemakmuran adalah salah satu sasaran
akhir dari proses pembangunan pada suatu daerah. Alasannya jelas karena seluruh masyarakat
menginginkan kemakmurannya semakin lama akan semakin meningkat dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang sejahtera dalam jangka panjang. Karena itu, cukup logis sekiranya
bilamana aspek kemakmuran daerah ini merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan
makro karena menyangkut dengan sasaran umum pembangunan daerah.

Indikator kemakmuran daerah yang dapat digunakan untuk memperlihatkan kemajuan


dalam peningkatan kemakmuran masyarakat daerah dapat dilakukan dalam beberapa bentuk.
Pertama, adalah dengan melihat pada perkembangan nilai PDRB dengan harga berlaku yang
sudah dapat dihasilkan dalam periode perencanaan. Alasannya adalah karena nilai PDRB
tersebut adalah merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh masyarakat
suatu daerah dalam periode tertentu. Kedua, nilai pendapatan perkapita yang diperoleh dengan
membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama. Nilai PDRB perkapita ini
merupakan indikator kemakmuran ekonomi daerah yang lebih baik dan dapat dibandingkan antar
daerah. Ketiga, mengingat kemakmuran tersebut bukanlah hanya bersifat materi saja, maka
indikator yang lebih baik dan bersifat komprehensif adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Angka IPM pada dasarnya adalah indeks gabungan dari tiga unsur kemakmuran yaitu
pendapatan (daya beli masyarakat), pendidikan, dan kesehatan.

4 Sumber Pembiayaan Pembangunan


Upaya pembangunan daerah baru akan dapat dilaksanakan bilamana terdapat sumber
pembiayaan yang cukup, baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta dan masyarakat.
Untuk tingkat daerah, ketersediaan sumber pembiayaan pembangunan ini lebih penting
dibandingkan dengan tingkat nasional karena mendapatkan pinjaman pada tingkat daerah lebih
sulit dibandingkan dengan tingkat nasional. Karena itu, dalam penyusunan perencanaan makro,
analisis tentang perkembangan ketersediaan sumber pembiayaan pembangunan daerah perlu
dicantumkan secara tegas dan konkret. Sumber pembiayaan pembangunan tersebut tercermin
dalam kemampuan keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber pembiayaan
pembangunan tersebut dapat ditunjukkan dengan data-data kemampuan keuangan (kapasitas
fiskal) yang dimiliki oleh suatu daerah.

Dengan dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang lalu, sumber pembiayaan
pembangunan pada tingkat daerah mengalami perubahan cukup mendasar. Sebelum era otonomi
daerah, sumber penerimaan daerah bahannya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

6
Subsidi Daerah Otonom (SDO) untuk pembayaran gaji aparatur daerah setempat. Sedangkan
untuk pembangunan fasilitas pelayanan sosial. Diperoleh dana INPRES dari pemerintah pusat.
Akan tetapi, dalam era otonomi, pemerintah daerah mendapatkan alokasi Dana Perimbangan
untuk pengganti SDO dan INPRES dengan jumlah yang jauh lebih besar. Tambah dana ini
diberikan oleh pemerintahan pusat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Sesuai
dengan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, dewasa ini terdapat tiga sumber keuangan dan pembiayaan pembangunan daerah, yaitu
(1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan yang berasal dari Pemerintah Pusat,
dan (3) lain-lain pendapatan yang sah sesuai ketentuan berlaku seperti hasil retribusi daerah dan
laba bersih dari kegiatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Dana Perimbangan yang diterima daerah terdiri atas tiga jenis yaitu: (a) Dana Bagi Hasil
(DBH) yang meliputi dana bagi hasil pajak bandara bagi hasil sumber daya alam baik yang
berasal dari minyak, gas, batubara dan lain-lainnya. (b) Dana Alokasi Umum (DAU)
dialokasikan ke daerah berdasarkan prinsip "celah fiskal" yaitu perbedaan antara kapasitas fiskal
dan kebutuhan pembiayaan daerah bersangkutan. (c) Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
dialokasikan ke daerah sesuai dengan kebutuhan daerah tertentu yang terkait atau sesuai dengan
kepentingan nasional.

Sumber pendapatan lainnya yang sah sesuai ketentuan berlaku pada umumnya rahadi
kecil dibandingkan dengan dana yang sudah dijelaskan terdahulu. Sumber pendapatan tersebut
meliputi dua hal. Pertama, penerimaan retribusi karena dinas dan instansi memberikan
pelayanan tertentu kepada masyarakat. Sehingga dipandang wajar untuk menerima dana dari
masyarakat. Kedua, laba bersih hasil dari kegiatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
terdapat pada daerah bersangkutan.

5 Perkiraan Kebutuhan Investasi


Untuk dapat menjamin tercapainya target pertumbuhan ekonomi khususnya dan
pembangunan daerah umumnya yang telah ditetapkan terdahulu, perlu diperkirakan berapa
besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan. Perkiraan kebutuhan investasi ini adalah
merupakan unsur yang juga sangat penting dicantumkan dalam perencanaan makro. Perkiraan
kebutuhan enggak save ini nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk penyusunan rencana
investasi baik secara menyeluruh maupun sektoral. Di samping itu, perkiraan kebutuhan
investasi ini dapat pula dijadikan sebagai dasar untuk menyusun dokumen Rencana Pendapatan
dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk daerah bersangkutan.

Dengan menggunakan Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Donmar, kemudian investasi


secara total dapat dihitung dengan jalan mengalikan koefisien Incremental Capital-Output Ratio
(ICOR) dengan target laju pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan semula. Dalam hal ini
hasil yang diperoleh adalah dalam bentuk persentase investasi total yang dibutuhkan untuk
mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Bila perkiraan kebutuhan
investasi tersebut diperlukan dalam bentuk nilai rupiah, maka ICOR tersebut harus dikalikan

7
dengan tambahan nilai PDRB yang dapat dihasilkan karena adanya pertumbuhan ekonomi
tersebut.

Selanjutnya kebutuhan investasi secara total tersebut dapat pula dibagi menjadi
kebutuhan investasi pemerintah serta swasta dan masyarakat dengan mempedomani proporsi
rata-rata realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing
(PMA) yang tersedia. Sedangkan perkiraan kebutuhan investasi masyarakat pada dasarnya
adalah residual dari perkiraan total investasi dikurangi dengan perkiraan investasi pemerintah
dan swasta karena data-data untuk jenis ini biasanya tidak tersedia.

6 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah


Salah satu Aspek penting yang perlu dibahas dalam perencanaan makro adalah
menyangkut dengan strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang dipilih sebagai landasan
dasar perencanaan pembangunan daerah bersangkutan. Sesuai dengan Undang-undang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), pemilihan strategi dan kebijakan pembangunan
daerah ini harus sesuai dengan visi dan misi pembangunan dari kepala daerah terpilih. Alasannya
adalah karena visi dan misi dari kepala daerah terpilih tersebut pada dasarnya merupakan janji
yang telah disepakati dan menjadi harapan umum bagi masyarakat setempat.

Di samping itu, strategi dan kebijakan pembangunan daerah ini Tentunya juga harus
disesuaikan dengan kondisi, permasalahan pokok dan potensi pembangunan utama yang dimiliki
oleh daerah bersangkutan. Untuk dapat mewujudkan hal ini, sebaiknya Perumusan strategi dan
kebijakan pembangunan daerah disusun dengan menggunakan Teknik SWOT yang menekankan
pada aspek-aspek kekuatan (Strength), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities) dan
ancaman (Treath) yang terdapat pada daerah bersangkutan.

Namun demikian, perumusan strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang baik juga
jangan sampai terpengaruh oleh slogan-slogan politik yang terdapat dalam masyarakat seperti
Ekonomi Terpimpin, Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan dan lain-lainnya. Sebaiknya
Perumusan strategi dan kebijakan pembangunan tersebut harus juga dilandasi oleh prinsip dan
konsep ilmu yang jelas dan telah teruji kebenarannya. Berkaitan dengan hal ini, landasan teoritis
yang digunakan juga harus sesuai dengan Ilmu Ekonomi Regional (Regional Economics) yang
mempertimbangkan aspek ruang (wilayah) secara konkrit dalam analisisnya.

Di dalam literatur Ilmu Ekonomi Regional terdapat berbagai bentuk teori yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi daerah. Sebagai contoh, Teori Pertumbuhan Regional Export-
base yang menyatakan bahwa export yang berasal dari sektor basis merupakan faktor utama
yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya, terdapat pula Teori
Pertumbuhan Ekonomi Regional Neo-Klasik yang menekankan pentingnya aspek tenaga kerja,
stok modal atau investasi dan kemajuan teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah bersangkutan. Di samping itu, terdapat pula Teori Pertumbuhan Cumulative Causation
yang tidak hanya menekankan pada aspek pertumbuhan saja, tetapi juga pada aspek ketimpangan

8
pembangunan antar wilayah yang muncul sebagai akibat dari proses akumulasi dalam kegiatan
pembangunan daerah.

B. Perencanaan Sektoral

Perencanaan sektoral adalah perencanaan yang ruang lingkupnya hanya untuk satu
bidang atau sektor pembangunan tertentu saja, misalnya pertanian, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lainnya. Perencanaan yang demikian dapat muncul sebagai bagian dari sebuah dokumen
perencanaan pembangunan daerah tertentu seperti RPJMD atau disusun khusus untuk atau dinas
instansi atau SKPD tersendiri yang lazim dikenal dengan nama Rencana Strategis Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renstra SKPD) yang disusun untuk periode 5 tahun. Sedangkan pada tingkat
nasional, perencanaan sektoral ini muncul dalam bentuk Renstra Kementerian dan lembaga
(Renstra KL).

Karena perencanaan sektoral ini diperuntukkan khusus untuk dinas atau SKPD tertentu,
maukah penyusunan nya harus mengacu pada Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) institusi
bersangkutan. Karena itu, tentunya isi dari perencanaan sektoral tersebut akan berbeda satu sama
lainnya sesuai dengan kegiatan dinas dan instansi yang menyusun nya. Namun demikian, arah
umumnya harus sesuai dan mendukung visi dan misi dari kepala daerah terpilih yang tercantum
dalam RPJMD daerah bersangkutan. Keselarasan ini perlu dijaga agar terwujud perencanaan
yang saling mendukung antara sabtu sektor dengan sektor lainnya dalam suatu daerah dan sesuai
dengan aspirasi masyarakat pada daerah bersangkutan.

Komponen perencanaan sektoral ini pada dasarnya adalah sangat mirip dengan
perencanaan makro yang dibahas terdahulu. Analisis dimulai dengan kondisi umum yang
berkaitan dengan Tupoksi SKPD bersangkutan. Misalnya kalau kita menyusun Renstra untuk
sektor pertanian, maka kondisi umum yang perlu dibahas adalah menyangkut dengan pertanian
yang terdapat pada daerah bersangkutan. Tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun
didasarkan pada kondisi riil siang terdapat pada daerah bersangkutan, termasuk potensi yang
dimiliki. Analisis ini sangat penting artinya untuk dapat menjaga agar perencanaan yang akan
disusun menjadi lebih bersifat realistik dan tidak mulut-mulut sesuai dengan kondisi sebenarnya
yang terdapat pada daerah tersebut. Analisis tentang sumber pembiayaan pembangunan tidak
perlu dicantumkan dalam perencanaan sektoral. Alasannya adalah karena sumber pembiayaan
pembangunan bukan berasal dari penerimaan sektor yang bersangkutan, tetapi adalah dari
sumber penerimaan daerah secara keseluruhan. Demikian pula halnya dengan analisis tentang
aspek-aspek hukum. Pemerintahan, sosial, dan politik yang tidak tergantung pada kebijakan
sektoral.

Karena perencanaan menyangkut dengan masa datang, maka langkah berikutnya yang
perlu dilakukan adalah melakukan perkiraan (proyeksi) untuk periode 5 tahun mendatang untuk
beberapa unsur dan variabel penting yang berkaitan dengan bidang atau sektor bersangkutan.
Proyeksi yang perlu dilakukan paling kurang menyangkut dengan perkembangan kegiatan

9
produksi dari bidang atau sektor bersangkutan serta penyediaan lapangan kerja yang dapat
dihasilkan. Sejalan dengan hal ini perlu pula dilakukan perkiraan terhadap jumlah dan kualitas
prasarana dan sarana yang sudah dapat disediakan untuk mendukung kegiatan produksi dari
bidang dan sektor bersangkutan. Perkiraan dan proyeksi ini selanjutnya akan dijadikan dasar
untuk menentukan sasaran pembangunan sektor secara menyeluruh.

Perencanaan sektoral juga mempunyai visi dan misi sendiri sesuai dengan aspirasi dan
harapan dari SKPD bersangkutan. Namun demikian, sebagaimana sudah di singgung terdahulu,
bahwa visi misi ini harus sejalan dan tidak bertentangan dengan visi dan misi kepala daerah
sebagaimana tercantum dalam RPJMD daerah bersangkutan. Visi dan misi SKPD tersebut
selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar utama perumusan strategi, kebijakan, program dan
kegiatan yang akan direncanakan dalam Renstra bersangkutan.

Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyusun strategi dan kebijakan dari
SKPD tersebut untuk 5 tahun mendatang dengan memperhatikan kondisi umum serta sisi dan
misi dari SKPD bersangkutan. Penyusunan strategi dan kebijakan ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan teknik Analisis SWOT yang didasarkan pada kekuatan (Strength), kelemahan
(Weaknesses), peluang (Opportunities) dan ancaman (Treath) yang terdapat pada daerah
bersangkutan ini berarti bahwa teknik diperlukan agar perumusan strategi dan kebijakan tersebut
sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan.

Cara lain yang juga dapat dilakukan dalam menyusun strategi dan kebijakan adalah
dengan jalan menurunkan secara langsung dari sisi dan misi antara ditetapkan semula.
Keuntungan cara ini adalah bahwa strategi dan kebijakan akan berkaitan langsung dengan visi
dan misi pada perencanaan bersangkutan. Akan tetapi, karena visi dan misi berasal dari aspirasi
kepala SKPD dengan berpedoman pada RPJMD, maka besar kemungkinan pula strategi dan
kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan potensi daerah yang bersangkutan. Bila hal
ini terjadi maka besar kemungkinan strategi yang dirumuskan tersebut menjadi tidak sesuai dan
sulit dilaksanakan dalam masyarakat.

Ujung akhir dari sebuah perencanaan sektoral adalah penyusunan program dan kegiatan
yang akan dilakukan oleh SKPD bersangkutan. Program dan kegiatan ini tentunya harus bersifat
operasional sesuai dengan kewenangan dan kemampuan SKPD bersangkutan. Di samping itu,
masing-masing program dan kegiatan tersebut juga harus dilengkapi dengan indikator kinerja
dan telah ukur (target) yang jelas dan konkrit sesuai dengan data yang tersedia. Sedangkan
indikator dan target kinerja yang itu ditetapkan tersebut sebaiknya mencakup unsur masukkan
(input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impacts). Dengan
cara demikian, evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan dari renstra tersebut akan lebih
mudah dapat dilakukan secara lebih konkret dan terukur.

C. Perencanaan Wilayah (Regional)

10
Perencanaan wilayah (regional) pada dasarnya adalah ruang lingkup dan bentuk
perencanaan pembangunan yang di dalamnya terdapat unsur tata ruang dan lokasi kegiatan
ekonomi dan sosial secara terintegrasi. Jenis perencanaan ini seringkali pulau disebut dengan
Spatial (Regional Development Planning) di mana seluruh unsur dan variabel pembangunan di
rinci menurut aspek ruang dan lokasinya. Sasaran utama perencanaan ini adalah menyusun
strategi, kebijakan dan program pembangunan dengan memanfaatkan potensi wilayah dan
keuntungan lokal yang terdapat di daerah bersangkutan dan daerah tetangganya. Biasanya aspek
tata-ruang dan lokasi ini ditampilkan dalam rencana pembangunan wilayah dengan
menggunakan peta dalam berbagai skala.

Terdapat dua undang-undang yang melanda seperlunya disusun perencanaan wilayah


(regional) tersebut. Keduanya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Untuk
perencanaan pembangunan pada tingkat provinsi dan kabupaten, Undang-Undang Lingkungan
Hidup menjadi lebih penting karena aspek tata ruang masih dalam bentuk umum. Sedangkan
untuk perencanaan pembangunan pada tingkat kota di mana aspek tata-ruang lebih menonjol,
maka Undang-Undang Tata Ruang akan menjadi lebih berperan dan mengikat.

Tujuan utama perencanaan wilayah (Regional) secara khusus adalah: (a) mendorong
proses pembangunan daerah bersangkutan, (b) mendorong proses khusus untuk daerah
tertinggal, (c) mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah, (d) meningkatkan daya
dukung lingkungan, (e) meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, dan (f) meningkatkan kualitas
lingkungan hidup daerah bersangkutan. Kesemua tujuan perencanaan wilayah ini adalah saling
mempengaruhi satu sama lainnya sehingga pendekatan yang digunakan sebaiknya adalah bersifat
lintas sektoral dan komprehensif.

Perencanaan pembangunan wilayah ternyata mempunyai karakteristik khusus bila


dibandingkan dengan perencanaan pembangunan secara umum. Karakteristik khusus tersebut
antara lain adalah: (a) Terkandung unsur tata-ruang dan lokasi kegiatan secara terintegrasi, (b)
Disusun sesuai dengan kondisi potensi dan permasalahan daerah setempat, (c) Terpadu antar
sektoral dan antar wilayah, (d) Mempertimbangkan aspek daya dukung lahan dan lingkungan
hidup, serta (e) Menonjolkan peranan pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan
di daerahnya masing-masing. Berikut ini diberikan uraian ringkas dari masing-masing
karakteristik tersebut.

Karena yang ditunjukkan dalam perencanaan regional adalah unsur tata-ruang dan lokasi,
maka aspek perencanaan sektoral, dalam hal ini, menjadi kurang penting. Dalam hal ini tekanan
pembahasan lebih banyak diberikan pada pembahasan lintas sektoral dalam suatu wilayah
tertentu. Sedangkan wilayah itu sendiri juga dapat dibagi dalam bentuk beberapa Wilayah
Pembangunan (Development Region) dengan memperhatikan aspek kesamaan struktur sosial
ekonomi (Development Region) dan keterkaitan antar wilayah sekitarnya (Nodal Region). Dalam
hal ini, pembentukan wilayah pembangunan tersebut sekaligus juga dikaitkan dengan konsep

11
Pusat Pertumbuhan (Growth Poles) yang akan berfungsi untuk menggerakkan kegiatan ekonomi
pembangunan dalam wilayah bersangkutan.

Tidak dapat di sangkal bahwa pada setiap daerah di negara berkembang selalu terdapat
beberapa daerah yang kondisi sosial ekonominya masih sangat tertinggal dibandingkan dengan
daerah lainnya. Dalam perencanaan regional daerah tertinggal tersebut harus mendapat perhatian
yang cukup besar dan dibahas secara khusus. Alasannya jelas karena daerah ini perlu
mendapatkan perhatian dan kebijakan khusus dalam perencanaan pembangunan wilayah
bersangkutan. Tanpa kebijakan khusus tersebut, proses pembangunan pada daerah tertinggal ini
akan sangat sulit untuk digerakkan secara cepat, sehingga diperkirakan akan tetap tertinggal
dibandingkan dengan daerah lainnya.

Dalam perencanaan wilayah (regional) aspek perencanaan penggunaan lahan (Land-used


Planning) yang jadi sangat penting. Sasaran utama dari perencanaan penggunaan lahan ini
adalah untuk dapat menyesuaikan antara potensi ekonomi daerah dengan potensi dan daya
dukung lahan berikut konektivitasnya atau eksesibilitasnya antar wilayah sehingga pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih cepat dan efisien. Di samping itu, perencanaan
penggunaan lahan dimaksudkan juga untuk menjaga tingkat efisiensi penggunaan lahan terutama
untuk daerah dengan lahan yang relatif sempit, tapi dengan tingkat kepadatan penduduk yang
cukup tinggi, seperti daerah perkotaan atau daerah dengan wilayah relatif kecil.

Aspek tata-ruang dan penggunaan lahan tidak saja berkaitan dengan unsur pertumbuhan
ekonomi dan efisiensi pembangunan saja, tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas lingkungan
hidup daerah bersangkutan. Karena itu, aspek lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan perencanaan wilayah (regional). Unsur penting yang perlu diperhatikan
dalam kaitan ini adalah menyangkut dengan penjagaan (konservasi) hutan lindung, konservasi
terumbu karang, daya dukung lahan, pengendalian pencemaran udara, air dan laut, pengaturan
tata-ruang dan penggunaan lahan daerah perkotaan, penjagaan kebersihan kota, dan lain-lainnya.

Penyusunan program dan kegiatan dalam perencanaan wilayah (regional) harus menjadi
lebih rinci. Hal ini disebabkan karena disamping jenis kegiatan yang akan dilakukan, indikator
dan target kinerja, pagu indikatif anggaran dan instansi penanggung jawab, dalam perencanaan
wilayah perumusan program dan kegiatan dibuat termasuk penetapan lokasi dari kegiatan
bersangkutan. Aspek ini diperlukan agar perencanaan pembangunan tersebut menjadi lebih
konkret dan sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah bersangkutan.

Mengingat perencanaan wilayah menyangkut dengan daerah tertentu, maka dalam


perencanaan wilayah (regional) tersebut, peranan pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten,
dan kota menjadi lebih menonjol. Hal ini sangat penting artinya dalam era otonomi di mana
pemerintah daerah diberikan wewenang dan urusan tersendiri dalam mengelola kegiatan
pembangunan di daerahnya masing-masing. Dalam perencanaan wilayah ini, pemerintah daerah

12
dapat memformulasikan dan menerapkan strategi dan kebijakan yang spesifik sesuai dengan
kondisi dan permasalahan serta kemampuan keuangan daerah bersangkutan.

Karena itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, masing-masing pemerintah daerah diberikan wewenang
untuk menyusun pembangunan untuk daerah yang masing-masing dengan mengacu pada
perencanaan pembangunan pada tingkat nasional. Dengan kata lain, perencanaan pembangunan
daerah dalam hal ini adalah merupakan pasangan yang saling mendukung dengan perencanaan
pembangunan nasional dalam mendorong proses pembangunan secara terpadu pada daerah
bersangkutan.

D. Perencanaan Proyek (Kegiatan)

Perencanaan proyek (kegiatan) adalah perencanaan yang khusus disusun untuk


pembangunan suatu proyek atau kegiatan tertentu misalnya pembangunan jalan pembangkit
tenaga listrik sekolah rumah sakit dan lain-lainnya. Perencanaan proyek ini sangat penting
artinya bila kegiatan yang akan dibangun mencakup nilai yang cukup besar sehingga
perencanaan ya perlu dibuat secara baik teliti dan merinci untuk menghindari kesalahan dalam
pelaksanaan pembangunan proyek tersebut nantinya.

Konsep ilmiah tentang perencanaan proyek ini sebenarnya sudah lama berkembang
dalam literatur ilmu ekonomi dan perencanaan pembangunan seperti Gitingger (1972), Little and
Mirless (1974), dan lain-lainnya. Konsep ini mula-mula digunakan oleh Bank Dunia (1972)
dalam menilai kelayakan pengalokasian dana untuk pembangunan proyek-proyek pembangunan
yang lazim dikenal dengan nama Evaluasi Proyek (Project Appraisal). Dewasa ini, Konsep ini
sudah cukup berkembang dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Ilmu Perencanaan
Pembangunan baik untuk tingkat nasional maupun daerah.

Teknik dan metode yang digunakan dalam penyusunan rencana evaluasi proyek tersebut
adalah Analisis Biaya dan Manfaat (Cost Benefit Analysis) yang ditimbulkan dari kegiatan
pembangunan dan pengelolaan proyek bersangkutan. Untuk keperluan penyusunan perencanaan
proyek ini, terlebih dahulu perlu ditetapkan deskripsi rinci dari kegiatan yang akan dilakukan
tersebut termasuk umur proyek tersebut. Kemudian perlu diteliti semua unsur-unsur biaya yang
harus dikeluarkan untuk mendukung pembangunan proyek (Biaya Investasi) dan biaya untuk
kegiatan operasional (Biaya Produksi). Di samping itu, perlu pula diteliti semua unsur
penerimaan dari hasil proyek (Financial Revenue) dan manfaat ekonomi yang dapat ditimbulkan
karena adanya proyek (Economic Benefit) seperti penyediaan lapangan kerja dan lain-lainnya.

Mengingat penerimaan dan manfaat dari pembangunan proyek akan diterima pada tahun-
tahun mendatang secara reguler dan juga biaya operasional harus dikeluarkan setiap tahunnya
dalam pengelolaan proyek, maka perhitungan biaya dan manfaat harus dilakukan dalam bentuk
nilai sekarang (Present Values). Dalam hal ini, jangka waktu yang digunakan adalah sesuai

13
dengan umur proyek atau jangka waktu perjanjian kredit sedangkan Discount Rate yang
digunakan biasanya adalah tingkat bunga deposito di bank. Akan tetapi, apabila pembangunan
proyek tersebut menggunakan dana bantuan luar negeri, Maka menurut Deepak Lal (1975),
discount rate yang digunakan seharusnya adalah dalam bentuk Domestic Resources Cost (DRC).

Dalam kondisi harga dikendalikan oleh pemerintah, maka harga pasar tidak dapat
mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran yang sebenarnya terjadi di pasar. Akibatnya,
bila kalkulasi biaya dan manfaat didasarkan pada harga yang dikendalikan tersebut, maka tingkat
kelayakan penilai proyek sebenarnya tidaklah tepat. Untuk mengatasi hal tersebut, perhitungan
kelayakan proyek sebaiknya menggunakan konsep Harga Bayangan (Shadow Price). Misalnya
seperti kasus terjadi di Indonesia dimana harga minyak bumi disubsidi oleh pemerintah, maka
perhitungan biaya operasional proyek sebaiknya menggunakan harga di pasaran internasional di
mana terdapat persaingan bebas di pasaran.

Secara umum terdapat tiga kriteria penilaian terhadap kelayakan finansial (Financial
Feasibility) dari pembangunan proyek tersebut. Pertama, adalah perbandingan manfaat dan biaya
(Benefit-Cost Ratio, B/C Ratio). Kedua, adalah nilai Sekarang penerimaan bersih penerimaan
proyek (Net Present Values, NPV). Ketiga, tingkat penerimaan internal proyek (Internal Rate of
Return, IRR). Ketiga kriteria penilaian ini sebenarnya adalah sejalan, tetapi masing-masingnya
mempunyai kelebihan dan kekurangan tertentu sehingga sering menjadi perdebatan para ahli.
Karena itu, dalam pelaksanaannya ketiga kriteria penilaian ini dapat digunakan secara sekaligus
agar penilaian kelayakan proyek menjadi lebih lengkap dan objektif.

Menggunakan ketiga kriteria tersebut maka suatu proyek atau kegiatan dapat dikatakan layak
bilangan yang memenuhi kriteria berikut:

1. B/C rasio ›1 yang artinya adalah manfaat proyek lebih besar dari biaya yang harus
dikeluarkan sehingga pembangunan proyek tersebut tidak akan memboroskan keuangan
negara atau daerah;
2. NPV ›0 yang artinya adalah nilai rupiah manfaat lebih besar dari nilai rupiah biaya yang
diperlukan sehingga manfaat yang diperoleh lebih besar dari pengorbanan yang harus
dikeluarkan pemerintah;
3. IRR ›bunga deposito yang artinya hasil keuntungan yang akan diperoleh dari pembangunan
proyek harus lebih besar dari tingkat bunga deposito. Bila tidak maka akan lebih
menguntungkan bila dana tersebut disimpan di bank daripada diinvestasikan pada proyek
bersangkutan.
Berlainan dengan kelayakan finansial yang menekankan analisis pada tingkat penerimaan
bersih hasil kegiatan proyek, kelayakan ekonomi lebih menekankan manfaat proyek terhadap
kegiatan ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi tersebut dapat dalam bentuk peningkatan
penyediaan lapangan kerja untuk masyarakat, peningkatan penerimaan pemerintah atau
pengaruhnya dalam mendorong kegiatan ekonomi daerah. Untuk mengetahui tingkat
kelayakannya, unsur peningkatan kegiatan ekonomi tersebut harus dihitung dalam bentuk uang.

14
Penilaian kelayakan proyek yang berorientasi bisnis akan lebih mudah dihitung dibandingkan
proyek yang berorientasi pada pembangunan. Alasannya adalah karena proyek yang berorientasi
bisnis mempunyai benefit yang jelas dalam bentuk penghasilan dari proyek bersangkutan. Di
samping itu, data yang diperlukan untuk penilaian kelayakan finansial juga lebih mudah
diperoleh dibandingkan dengan data yang diperlukan untuk mengukur kelayakan ekonomi.
Karena itu, banyak buku-buku evaluasi proyek ini diarahkan untuk membantu Analisis untuk
menilai kelayakan proyek pembangunan atau proyek yang bersifat "non fisik."

Misalnya untuk proyek-proyek pembangunan jalan raya, penilaian benefit menjadi sulit
karena masyarakat pengguna jalan tidak melakukan pembayaran bila menggunakan jalan
tersebut seperti halnya dengan "jalan tol". Akibatnya, perhitungan manfaat proyek sulit
dilakukan karena tidak ada data penerimaan dari proyek. Karena itu, Adler (1971) dalam
bukunya menggunakan data pengurangan biaya operasional perusahaan angkutan sebagai
indikator untuk perhitungan manfaat proyek akibat pembangunan jalan raya. Sedangkan
Gitingger (1972) menggunakan peningkatan hasil produksi padi dalam masyarakat sebagai
indikator untuk menghitung besarnya manfaat (benefit) dari pembangunan sebuah proyek irigasi.

Dalam praktiknya, teknik analisis biaya dan manfaat tersebut di atas biasanya digunakan
untuk perencanaan proyek-proyek dengan nilai besar, karena biaya untuk pelaksanaan studinya
juga cukup besar. Karena itu, untuk proyek dengan biaya kecil, penilaian dan perencanaannya
biasanya hanya dilakukan dengan menggunakan teknik Kerangka Logis (Log-Frame).
Menggunakan teknik ini, penilaian kelayakan proyek dilakukan berdasarkan Indikator Kinerja,
dengan menggunakan lima indikator yaitu: masukkan (input), keluaran (output), hasil (outcome),
manfaat (benefit), dan dampak (impacts). Biasanya analisis dilakukan dalam bentuk matriks yang
kolamnya disusun berdasarkan ke 5 indikator penilaian tersebut.

Dalam praktik perencanaan pembangunan proyek, langkah dan kegiatan yang akan dilakukan
biasanya mempedomani apa yang dikenal sebagai "siklus proyek" yang menggambarkan lingkup
kegiatan perencanaan proyek. Secara umum siklus proyek tersebut meliputi kegiatan beberapa
tahap berikut ini:

1. Tahap Indentifikasi, yang merupakan identifikasi kebutuhan pembangunan proyek sesuai


dengan kebutuhan daerah atau rencana yang ditetapkan semula sebagai RPJMD;
2. Tahap Persiapan Proyek, yang berisikan Penelitian terhadap faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan proyek bersangkutan;
3. Tahap Pelaksanaan, yang meliputi berbagai kegiatan yang menyangkut dengan konstruksi
pembangunan atau pengadaan fisik proyek bersangkutan.
4. Tahap Evaluasi, yang melaksanakan kegiatan evaluasi kinerja proyek terhadap pembangunan
daerah dengan menggunakan data-data hasil pelaksanaan operasional proyek.

2.2. Studi Kasus

15
Judul artikel : Rencana Tata Ruang Wilayah dalam
Perspektif Perencanaan Pembangunan Wilayah (Studi
pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Probolinggo)
Penulis : Setio Widodo
Nama Jurnal : Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP)
ISSN : 1979-7243
Edisi : JIAP Vol. 3, No. 3, pp 166-172, 2017
Pembahasan Jurnal

Tulisan ini menelaah tentang keterkaitan rencana tata


ruang wilayah dengan rencana pembangunan wilayah
serta dampaknya terhadap pembangunan, khususnya di
wilayah Kota Probolinggo. Integrasi Rencana tata ruang wilayah yang diwujudkan dalam RTRW
dengan rencana pembangunan yang diwujudkan dalam RPJPD dan RPJMD menjadi sangat
penting, karena strategi yang ada dalam RTRW ataupun RPJPD tidak akan dapat terlaksana jika
tidak diakomodasi dalam RPJMD. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan substantif yang
kurang kuat antara RTRW dengan RPJMD Kota Probolinggo, sehingga tidak semua arahan
pembangunan dalam RTRW dapat terlaksana dan sebagai kesimpulan RTRW dianggap belum
dapat memberi pengaruh positif bagi kelangsungan pembangunan di wilayah Kota Probolinggo,
khususnya dalam hal kualitas lingkungan hidup dan pemerataan pembangunan.

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Bentuk dan ruang lingkup perencanaan ini menjadi penting karena kinerja pembangunan
yang baik adalah berdampak secara menyeluruh dan tidak untuk sektor dan bagian tertentu saja
Aspek-aspek utama yang dibahas dalam Perencanaan Makro ini paling kurang meliputi hal-hal
berikut ini: pertumbuhan ekonomi daerah, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan, keuangan dan sumber pembiayaan
pembangunan serta kebutuhan investasi dan strategi dan kebijakan pembangunan secara
menyeluruh.
Penyusunan strategi dan kebijakan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik
Analisis SWOT yang didasarkan pada kekuatan (Strength), kelemahan (Weaknesses), peluang
(Opportunities) dan ancaman (Treath) yang terdapat pada daerah bersangkutan ini berarti bahwa
teknik diperlukan agar perumusan strategi dan kebijakan tersebut sesuai dengan kondisi dan
potensi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan.
Perencanaan Wilayah (Regional) Perencanaan wilayah (regional) pada dasarnya adalah
ruang lingkup dan bentuk perencanaan pembangunan yang di dalamnya terdapat unsur tata ruang
dan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial secara terintegrasi.
Tujuan utama perencanaan wilayah (Regional) secara khusus adalah: (a) mendorong
proses pembangunan daerah bersangkutan, (b) mendorong proses khusus untuk daerah
tertinggal, (c) mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah, (d) meningkatkan daya
dukung lingkungan, (e) meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, dan (f) meningkatkan kualitas
lingkungan hidup daerah bersangkutan.
Dalam hal ini, pembentukan wilayah pembangunan tersebut sekaligus juga dikaitkan
dengan konsep Pusat Pertumbuhan (Growth Poles) yang akan berfungsi untuk menggerakkan
kegiatan ekonomi pembangunan dalam wilayah bersangkutan. Sasaran utama dari perencanaan
penggunaan lahan ini adalah untuk dapat menyesuaikan antara potensi ekonomi daerah dengan
potensi dan daya dukung lahan berikut konektivitasnya atau eksesibilitasnya antar wilayah
sehingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih cepat dan efisien.

17
DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, Mudrajad. 2018. Perencanaan Pembangunan Daerah teori dan aplikasi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mahi, Ali Kabul & Sri Indra Trigunarso. 2017. Perencanaan Pembangunan Daerah teori dan
aplikasi. Jakarta: Kencana.
Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. RajaGrafindo
Persada, Depok
Widodo, Setio. (2017). Rencana Tata Ruang Wilayah dalam Perspektif Perencanaan
Pembangunan Wilayah (Studi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota
Probolinggo). Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. 3(3), 166-172.
https://doi.org/10.21776/ub.jiap.2017.003.03.2

18

Anda mungkin juga menyukai