Anda di halaman 1dari 27

PENATALAKSANAAN SAR MINOR PADA PASIEN

DENGAN DEFISIENSI VITAMIN

LAPORAN KASUS MUDAH ILMU PENYAKIT MULUT

Disusun oleh:

Annisa Putri Ginanti, S.KG 2019 – 16 – 132


Anthony Nathanael, S. KG 2019 – 16 – 133
Asyifa Maunia, S. KG 2019 – 16 - 134
Ayu Suwarningsih, S.KG 2019 – 16 – 135
Denissa Zahra, S. KG 2019 – 16 - 136
Dwita Citra K.A.P, S. KG 2019 – 16 – 137
Emir Heryanza Putra, S. KG 2019 – 16 - 138

Klinik Integrasi D

Pembimbing :
Drg. Dwi Ariani, Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

FAKULTAS : KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS : PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN SAR MINOR PADA PASIEN


DENGAN DEFISIENSI VITAMIN

Disiapkan dan disusun oleh:

Annisa Putri Ginanti, S.KG 2019 – 16 – 132


Anthony Nathanael, S. KG 2019 – 16 – 133
Asyifa Maunia, S. KG 2019 – 16 - 134
Ayu Suwarningsih, S.KG 2019 – 16 – 135
Denissa Zahra, S. KG 2019 – 16 - 136
Dwita Citra K.A.P, S. KG 2019 – 16 – 137
Emir Heryanza Putra, S. KG 2019 – 16 - 138

Telah diperiksa dan disetujui

Jakarta, Juni 2021


Pembimbing

(Drg. Dwi Ariani, Sp.PM)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah laporan

kasus yang berjudul “PENATALAKSANAAN SAR MINOR PADA

PASIEN DENGAN DEFISIENSI VITAMIN”. Makalah ini ditulis

untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai halitosis dan

merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di

Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof.

Dr. Moestopo (Beragama). Pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, drg. Dwi Ariani,

Sp.PM yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan

memberikan pengetahuan dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga

selesai.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan

yang membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang.

Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2021

Penulis

iii
PENATALAKSANAAN SAR MINOR PADA PASIEN DENGAN
DEFISIENSI VITAMIN
Annisa Putri Ginanti, Anthony Nathanael, Asyifa Maunia,
Ayu Suwarningsih, Denissa Zahra, Dwita Citra Kurnia Ananda Putri, Emir
Heryanza
Departemen Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Prof. Dr. Moestopo (Beragama)

Abstrak

Latar Belakang: Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan suatu kondisi


ulseratif paling umum yang mempengaruhi mukosa rongga mulut dengan
karakteristik ulserasi ulang kambuh dan masa bebas ulkus selama beberapa hari
hingga minggu. SAR secara klinis diklasifikasikan sebagai minor, mayor dan
herpetiform. Klasifikasi ini didasarkan pada karakteristik klinis ulkus yaitu
diameter ulkus, jumlah ulkus di setiap periode dan durasinya. Tujuan: Mengatasi
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) minor. Laporan kasus: Seorang pasien pria
berusia 30 tahun dengan riwayat 2 tahun berturut memiliki minor recurrent ulcer
pada permukaan ventral anterior lidah. Pasien mengalami kesulitan makan dan
berbicara. Pemeriksaan klinis menunjukkan multiple symptomatic ulcers dengan
perilesional erythematous halo ditutupi pseudomembrane. Ukuran ulser kurang
dari 10 mm. Saat palpasi ulser terasa halus. Hasil: Dalam 7 hari waktu
pengobatan SAR dan modifikasi diet, rasa sakit menghilang serta tidak adanya
ketidaknyamanan. Kesimpulan: Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan
gangguan atau penyakit mukosa rongga mulut yang secara umum terjadi pada
sebagian besar masyarakat di dunia. Evaluasi sistemik yang tepat adalah hal yang
penting sebelum meresepkan obat.

Kata kunci: SAR, medikasi topikal, multivitamin

iv
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iv
DAFTAR ISI................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL......................................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 2
2.1 Definisi SAR............................................................................................................ 2
2.2 Faktor Etiologi SAR ................................................................................................ 3
2.3 Patogenesis SAR...................................................................................................... 6
2.4 Cara Mendiagnosis SAR .......................................................................................... 7
2.5 Pemeriksaan Penunjang SAR................................................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding SAR .......................................................................................... 9
2.7 Penatalaksanaan SAR .............................................................................................. 9
BAB 3 PENATALAKSANAAN KASUS .................................................................... 13
BAB 4 PEMBAHASAN ............................................................................................... 15
BAB 5 KESIMPULAN................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19

v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 3.1: Minor Recurrent Ulcer pada permukaan ventral anterior lidah 14
Gambar 3.2: Penyembuhan lengkap ulser setelah 7 hari 14

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1: Klasifikasi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) 3

Tabel 2.2: Faktor yang mempengaruhi terjadinya SAR 4

Tabel 2.3: Contoh medikasi yang biasa digunakan dalam kasus SAR 15

vii
BAB 1

PENDAHULUAN

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan suatu kondisi ulseratif paling umum

yang mempengaruhi mukosa rongga mulut dengan karakteristik ulserasi ulang kambuh dan

masa bebas ulkus selama beberapa hari hingga minggu.1 SAR merupakan suatu kondisi

yang sangat umum dengan prevalensi sebesar 20% dari populasi, dan prevalensi pada

kelompok anak-anak sebesar 5-10%.1 Etiologi SAR hingga saat ini masih tidak diketahui

dengan pasti, sebagian besar terjadi pada individu sehat dan memiliki presentasi klinis yang

lebih parah pada individu dengan gangguan sistem imun.2,3,4 Terdapat beberapa faktor yang

dapat berperan dalam pemunculan SAR, yaitu genetik, defisiensi hematinik,

hipersensitivitas terhadap makanan, infeksi bakteri dan virus, perubahan hormonal, stres

psikologik, obat-obatan dan trauma lokal.3 Pemunculan SAR mencapai puncak pada

dekade kedua.1 Berdasarkan jenis kelamin, SAR cenderung lebih banyak ditemukan pada

wanita.3 SAR memiliki karakteristik prodromal, sensasi terbakar yang berlangsung dari 2

hingga 48 jam sebelum ulkus muncul. Hal ini dapat terjadi pada individu yang sehat,

biasanya terletak pada mukosa bukal dan mukosa labial dan lidah. Keterlibatan mukosa

palatum dan gingiva yang terkeratinisasi lebih jarang terjadi. Pembahasan mengenai SAR

ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup pasien dengan menggunakan

terapi topikal dan sistemik. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi rasa sakit dan ukuran

ulkus, meningkatkan penyembuhan, dan mengurangi frekuensi kekambuhan.1 Sehingga

penyusunan makalah ini bertujuan untuk membahas salah satu kasus penatalaksanaan SAR

minor pada pasien dengan defisiensi vitamin. Karena dari banyaknya kasus SAR yang

terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi SAR

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit ulseratif paling umum

ditemukan pada mukosa mulut, muncul sebagai ulser yang nyeri dan dangkal disertai

eritematosa yang berbatas tegas dan pada bagian tengah terdapat pseudomembran

berwarna abu-abu kekuningan. SAR memiliki karakteristik prodromal, sensasi terbakar

yang berlangsung dari 2 hingga 48 jam sebelum ulkus muncul. Hal ini dapat terjadi pada

individu yang sehat dan biasanya terletak pada mukosa bukal dan mukosa labial dan lidah.

Keterlibatan mukosa palatum dan gingiva yang terkeratinisasi lebih jarang terjadi.1,3

Penyakit lain yang juga dapat mengakibatkan ulser pada mukosa mulut yang

mungkin sering di salahartikan sebagai SAR yaitu Behçet’s disease, cyclic neutropenia,

infeksi herpes intraoral berulang, ulkus oral terkait HIV atau penyakit gastrointestinal

seperti Crohn diseases dan kolitis ulserativa. Bagi dokter gigi yang menangani penyakit

mulut untuk bisa membedakan SAR lokal dari ulser yang didasari oleh gangguan

sistemik.1

SAR diklasifikasikan menjadi ulkus minor, mayor, dan herpetiform. Lebih dari

85% SAR muncul sebagai ulkus minor dengan diameter kurang dari 1 cm dan sembuh

tanpa bekas luka. Ulkus yang diklasifikasikan sebagai SAR mayor, juga dikenal sebagai

Sutton diseases atau periadenitis mukosa necrotica rekuren, berdiameter lebih besar dari

1 cm, bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, dan sembuh dengan

bekas luka. Ulkus herpetiformis secara klinis berbeda karena tampak sebagai kelompok

ulkus multipel yang tersebar di seluruh mukosa mulut; Terlepas dari namanya, lesi ini

tidak memiliki hubungan dengan virus herpes simpleks. Karakteristik umum dari ketiga

jenis SAR dirangkum dalam Tabel.3 (Tabel 2.1)


2
Tabel 2.1 Klasifikasi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR).5

No. Klinis SAR Minor SAR Mayor SAR Herpetiformis


1 Usia Anak-anak Pubertas Setelah pubertas
2 Jenis kelamin L=P L=P P>L
Mukosa labial,
Mukosa bukal,
Mukosa labial, Mukosa labial,
Mukosa lingual,
3 Lokasi Mukosa bukal, Dasar palatum lunak,
Mukosa palatal,
mulut tenggorokan
Mukosa gingival,
dasar mulut, faring
1-2 bisa lebih besar
4 Ukuran (mm) <10 >10 dalam kasus ulkus
yang menyatu
5 Jumlah 1-5 1-10 10-100
6 Durasi (hari) 4-14 >30 <30
Tingkat kekambuhan
7 1-4 < bulanan < bulanan
(bulan)
8 Scarring permanen Jarang terjadi Biasa terjadi Jarang terjadi

2.2 Faktor Etiologi SAR

Etiologi lesi SAR masih belum diketahui, tetapi beberapa faktor agen penyebab

yang memungkinkan untuk terjadinya SAR yaitu faktor lokal, seperti trauma pada

individu yang secara genetik rentan terhadap SAR, faktor sistemik, faktor mikroba, faktor

nutrisi, seperti defisiensi folat dan vitamin B kompleks, faktor imunologi, stres

psikososial, dan alergi telah diusulkan sebagai agen penyebab.3

Sebagian besar SAR terjadi pada individu yang sehat dan pada individu dengan

gangguan sistem imun. Penelitian ekstensif telah difokuskan terutama pada faktor

imunologi, tetapi etiologi definitif SAR belum ditetapkan dengan jelas. Beberapa obat

termasuk obat imunosupresif seperti caclineurin dan inhibitor mTOR telah dikaitkan

dengan stomatitis mirip ulkus aftosa yang parah.3 (Tabel 2.2)

3
Tabel 2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR).1

ETIOLOGI SAR
Lokal • Trauma
• Merokok
• Dysregulated saliva composition
Mikrobial • Bakteri: streptococci
• Virus: varicella zoster, cytomegalovirus
Sistemik • Behçet’s disease
• Mouth and genital ulcers with inflamed cartilage
(MAGIC) syndrome
• Crohn disease
• Ulcerative colitis
• Human immunodeficiency virus infection
• Periodic fever, aphthosis, pharyngitis, and adenitis
(PFAPA) or Marshall syndrome
• Cyclic neutropenia
• Stres; Ketidakseimbangan psikologis, siklus menstruasi
Nutrisi • Gluten-sensitive enteropathy
• Defisiensi zat besi, asam folat, zinc
• Defisiensi vitamin B1, B2, B6, dan B12
Genetik • Etnis
• Human leukocyte antigen haplotypes
Alergi/immunologi • Local T-lymphocyte cytotoxicity
• Abnormal CD4:CD8 ratio
• Dysregulated cytokine levels
• Microbe-induced hypersensitivity
• Sodium lauryl sulfate sensitivity
• Alergi makanan
Yang lain-lain • Antioksidan
• NSAID
• ß-blocker
• Obat-obatan immunosuppressive

➢ Trauma lokal

Trauma lokal dianggap sebagai agen penyebab dalam individu yang secara genetik

memiliki kecenderungan dan merupakan predisposisi SAR, dengan inflamasi dan

edema seluler dini, serta peningkatan viskositas matriks ekstraseluler submukosa oral.

Tidak semua cedera lokal menyebabkan SAR, karena orang yang memakai gigi palsu

tidak berisiko lebih tinggi.

4
➢ Faktor bakteri dan virus

Berbagai laporan telah berusaha untuk membangun hubungan antara SAR dan

mikroorganisme yang berbeda, termasuk bakteri dari genus Streptococcus, terutama

Streptococcus sanguinis, Helicobacter pylori, Lactobacillus, dan virus Epstein-Barr.

Namun, hasil sampai saat ini belum menunjukkan hubungan sebab akibat yang jelas.

➢ Stres

Peristiwa pada kehidupan sehari-hari yang penuh tekanan atau stres dapat memicu

lesi baru pada pasien yang memiliki kecenderungan. Satu studi menyimpulkan bahwa

stresor mental lebih terkait dengan SAR daripada stres fisik. Demikian pula, ada kasus

penyakit, seperti Behcet disease, yang berkembang dengan ulkus aftosa dan akan

semakin memburuk setelah terjadi stres emosional yang cukup besar.

➢ Alergi makanan

Alergi dianggap sebagai penyebab SAR. Hipersensitivitas terhadap zat tertentu,

mikroorganisme mulut seperti Streptococcus sanguinis diusulkan sebagai faktor

penyebab, meskipun tidak ada bukti sampai saat ini bahwa ini adalah penyebab utama

penyakit.

➢ Defisiensi vitamin dan mikronutrien

Rendahnya kadar zat besi, asam folat, zinc, dan vitamin B 1, B2, B6, dan B12 telah

dilaporkan. Terkadang defisiensi ini berhubungan dengan penyakit malabsorpsi dan

enteropati gluten.

➢ Faktor imunologi

Pada pasien dengan SAR, fungsi sistem imun dimodifikasi sebagai respons

terhadap pemicu yang belum diketahui (misalnya, antigen bakteri / virus dan stres).

Baik respon imun bawaan dan didapat (humoral dan seluler) telah berubah pada pasien

dengan SAR. Banyak penulis percaya bahwa respon T helper tipe 1 (TH1) memainkan

peran paling penting dalam perkembangan penyakit.

5
➢ Penyakit sistemik

SAR lebih sering muncul pada pasien dengan penyakit radang usus (Crohn

diseases dan kolitis ulserativa) dan pada celiac disease. Hubungan ini dapat

diakibatkan karena defisiensi nutrisi, yang merupakan komplikasi yang sering terjadi

pada penyakit ini. SAR juga lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi Human

Immunodeficiency Virus (HIV), mungkin berhubungan dengan rasio CD4+ / CD8+

yang abnormal dan penurunan jumlah neutrofil.

➢ Faktor hormonal

Telah dilaporkan adanya hubungan antara munculnya ulkus aftosa dan siklus

menstruasi. Ulkus lebih sering terjadi selama fase luteal atau menopause, lebih jarang

selama kehamilan dan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal.

➢ Obat-obatan

Ada laporan mengenai SAR yang dipicu oleh obat-obatan. Satu studi case-control

terkait peningkatan risiko SAR dengan obat-obatan, terutama obat anti-inflamasi

nonsteroid dan ß-blocker. Nikorandil, inhibitor kalsineurin, dan inhibitor mTOR juga

telah dikaitkan dengan ulkus pada mukosa mulut yang parah.

2.3 Patogenesis SAR

Patogenesis SAR masih belum jelas. Disregulasi kekebalan tubuh yang terkait

dengan beberapa faktor dapat memicu pengembangan SAR.6 Lesi pra-ulseratif

menunjukkan sel mononuklir inflamasi subepithelial dengan sel mast yang melimpah,

serta edema jaringan ikat dan lapisan margin dengan neutrofil. Kerusakan pada epitel

biasanya dimulai di lapisan basal dan berkembang melalui lapisan superfisial, yang

akhirnya mengarah ke ulserasi dan eksudat permukaan. Eritrosit terkestravasasi di sekitar

margin ulkus, neutrofil ekstravaskular subepithelial, banyak makrofag yang dipenuhi

dengan phagolysosomes, dan ikatan non-specific sel spinosum stratum untuk

6
imunoglobulin dan komplemen yang mungkin merupakan hasil dari kebocoran vaskular

dan difusi pasif protein serum. Temuan ini menunjukkan bahwa patogenesis SAR dapat

dimediasi oleh vaskulitis kompleks kekebalan tubuh.1

Timbulnya lesi SAR dikaitkan dengan respons kekebalan tubuh yang dimediasi

sel, pembuatan sel T dan produksi TNF-α. Sel mononuklear darah perifer pasien SAR

telah terbukti mengeluarkan TNF-α dalam jumlah tinggi, indikasi bahwa TNF-α

memainkan peran kunci dalam patogenesis SAR. Akibatnya, adhesi sel endotel tnf-α yang

dimediasi dan kemotaksis neutrofil memulai tahapan proses inflamasi yang mengarah ke

ulserasi. Mayoritas TNF-α diproduksi sebagai respons terhadap aktivasi toll-like reseptor

(TLR), satu set reseptor membran fungsional yang terkait dengan respons kekebalan tubuh

dan perlindungan penghalang epitel. TLR memiliki sifat pro-dan anti-inflamasi.1

Sementara TLR pro-inflamasi ditemukan sangat meningkat dalam epitel dan

lamina propria lesi SAR pada beberapa pasien, penurunan tingkat TLR dengan kegiatan

anti-inflamasi juga ditemukan dalam kelompok lain dari pasien SAR. Oleh karena itu,

peran TLR dalam patogenesis SAR masih perlu didefinisikan dengan lebih baik, tetapi

ada kemungkinan bahwa ketidakseimbangan dalam kegiatan pro-dan anti-inflamasi TLR

dapat meningkatkan kerentanan terhadap SAR pada beberapa individu.1

2.4 Cara Mendiagnosis SAR

Diagnosis SAR didasarkan pada riwayat, manifestasi klinis, dan histopatologinya. 7

SAR dikenal sangat menyakitkan. Ulserasi idiopatik ini adalah lesi oval dengan ukuran

yang berbeda dengan tepi bersih yang dikelilingi oleh haloeritematosa. Di tengah ulserasi,

fundus atau dasar nekrotik ditutupi dengan eksudat fibrin putih kuning. Ulser biasanya

ada dalam mukosa non-mastikasi dari pipi, bibir, permukaan ventral dan lateral lidah,

gingiva yang tidak melekat, dan palatum lunak. Lesi SAR umumnya dapat sembuh dengan

sendirinya dalam kurun waktu 1-2 minggu. Ulser dapat mengganggu aktivitas sehari-hari

7
termasuk saat berbicara, makan dan minum, kebersihan mulut, dan mempengaruhi

kualitas hidup.6

2.5 Pemeriksaan Penunjang SAR

Dibutuhkan hasil pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa SAR.1,8

Dapat dikatakan bahwa tidak ada tes spesifik untuk mendiagnosa SAR, tetapi beberapa

tes dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan

diagnosa.8 Beberapa pemeriksaan penunjang tersebut adalah tes darah, tes mikrobiologi,

dan biopsi kulit:1

1. Tes darah

Tes yang dilakukan adalah complete blood count, iron, ferritin, folic acid zinc,

magnesium¸ dan vitamin (B1, B2, B6, y, B12). Hasil tes darah harus termasuk antibodi

transglutaminase dan endomysial untuk untuk menghindari celiac disease, juga

antibodi antinuklear.

2. Tes mikrobiologi

Tes yang dilakukan berupa Tzanck smear test atau tes reaksi polimerase untuk

virus herpes serta kultur fungi dan bakteri.

3. Biopsi kulit

Tes dilakukan jika terdapat ulser tanpa sebab yang jelas selama lebih dari 2 minggu

tanpa ada tanda penyembuhan, ulser dengan kemungkinan penyebab (setelah tes

diagnostik yang berhubungan dilakukan) yang tidak memberi respon setelah 2 minggu

setelah perawatan yang benar, dan ulser akibat pemicu yang tidak sembuh dalam 2

minggu. Biopsi insisi atau punch diambil dari pinggiran lesi, termasuk daerah ulser

dan mukosa perilesional.

8
Gambaran histopatologi menunjukkan infiltrasi leukosit yang beragam tergantung

dari durasi dan keparahan penyakit. Pada fase inisial, yang mendahului pembentukan

ulser, terlihat infiltrasi yang komposisinya kebanyakan terdiri dari limfosit T dan monosit.

Terlihat juga sel mast dan sel plasma yang terisolasi, yang berkumpul di bawah lapisan

basal. Tahap yang lebih lanjut ditandai dengan leukosit polimorfonuklear yang

predominan di tengah ulser dan sel mononuclear disekitarnya. Jenis inflamasi ini tidak

hanya terdapat pada SAR, tetapi juga bisa ditemukan pada ulser lain seperti pada eritema

multiforme, Bechet’s diseases, lupus erythematosus, dan ulser traumatik.1

2.6 Diagnosis Banding SAR

Diagnosa SAR dapat dibandingkan dengan dengan sindroma autoinflamatori dan

keadaan imunodefisiensi. Sindroma autoinflamatori meliputi sindroma periodic fever with

adenitis, aphthous stomatitis, pharyngitis and aphthae (sindroma PFAPA), Bechet’s

disease dan Crohn’s disease. Keadaan imunodefisiensi meliputi defek nutrisi (seperti

celiac disease dan kelainan gastrointestinal lainnya), defek imun (seperti HIV/AIDS), dan

defek neutrofil (seperti neutropenia siklik). Diagnosa SAR seharusnya terjadi pada

ulserasi tanpa adanya penyakit sistemik.6

2.7 Penatalaksanaan SAR

SAR tidak memiliki perawatan khusus.1 SAR dapat sembuh dengan sendirinya

dalam 4-35 hari, umumnya kurang dari 21 hari.6 Oleh karena itu, pengobatan SAR

biasanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit.1,6 Selain itu, pengobatan SAR juga

bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi frekuensi terjadinya serta

tingkat keparahan dari SAR.6

Penatalaksanaan SAR secara umum bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan

rongga mulut, menjaga makanan, dan konsumsi suplemen. Menjaga kebersihan mulut dan

menghindari terjadinya luka sangat penting karena hal tersebut dapat menyebabkan ulser

9
pada mulut. Sikat gigi berbulu halus, pasta gigi tanpa kandungan sodium lauryl sulfate,

dan obat kumur tanpa alkohol direkomendasikan. 6 Walaupun belum ada penelitian yang

membahas peran diet dalam manajemen SAR, secara umum produk yang berhubungan

dengan pemicu, khususnya jika pasien melaporkan adanya reaksi dengan produk tersebut

sebaiknya dihindari. Kekurangan nutrisi harus dihindari pada pasien dengan SAR. Satu

penelitian menunjukkan bahwa vitamin B12 sublingual dengan dosis 1000 μg/hari selama

6 bulan dapat mengurangi tingkat keparahan dan meredakan rasa sakit pada pasien SAR.

Penelitian lain menunjukkan peningkatan dengan ω-3 1000 mg/hari selama 6 bulan.

Suplemen dengan vitamin kompleks pada pasien tanpa defisiensi nutrisi tidak mengarah

pada perbaikan gejala atau pengurangan jumlah lesi. 1

Selain perawatan umum, pasien SAR juga bisa diberikan perawatan topikal. 11,12

Perawatan tersebut umumnya adalah pemberian anestesi topikal dan barrier agent,

antiinflamasi topikal dan antiseptic agent, kortikosteroid topikal, kauterisasi, dan

perawatan topikal lainnya.1

1. Anestesi topikal dan barrier agent

Digunakan sebagai pereda rasa sakit dan harus dioleskan beberapa kali dalam

sehari. Penggunaan obat topikal dilakukan sebaiknya 30 menit sebelum makan dan

sebelum menyikat gigi agar dapat memfasilitasi kegiatan dan pada saat tidur.

Perawatan ini dapat dikombinasikan dengan pengobatan lain seperti kortikosteroid

atau amlexanox. Contoh dari anestesi topikal dan barrier agent adalah sebagai

berikut:1

➢ Lidocaine krim 1%, gel 2%, dan spray, diaplikasikan secara langsung pada

permukaan ulser atau dalam bentuk obat kumur.

➢ Gel benzocaine gel 20%, digunakan untuk meredakan sakit dan mengurangi

inflamasi.

➢ Suspensi sucralfate, campuran aluminum hydroxide dan sucrose sulfate yang

10
membentuk barrier pelindung terhadap ulser. Beberapa penelitian

merekomendasikan berkumur 5 mL selama 1-2 menit 4 kali sehari setelah

membersihkan gigi dan saat akan tidur. Suspensi ini meredakan sakit,

mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan interval terjadinya ulser.

2. Antiinflamasi topikal dan antiseptic agent

Membantu mencegah infeksi oleh bakteri dan jamur dan meningkatkan kebersihan

mulut. Beberapa contoh antiinflamasi topikal dan antiseptic agent adalah:1

➢ Triclocan 0.15% dalam ethanol dan zinc sulfate, digunakan sebagai obat kumur

sebanyak 3 kali sehari untuk mengurangi jumlah ulser dan keparahan sakit serta

meningkatkan interval terjadinya ulser.

➢ Larutan oral chlorhexidine 0.12%-0.2%, digunakan untuk membilas sebanyak 5

mL selama 1-2 menit sebanyak 4 kali sehari setelah membersihkan gigi dan

sebelum tidur. Beberapa penelitian menunjukkan solution ini kurang ampuh

dibandingkan Sucralfate suspensi.

➢ Diclofenac 3% dalam gel asam hyaluronic 2.5%, merupakan agen yang lebih baik

dibandingkan gel lidocaine dalam mengurangi rasa sakit setelah 2-6 jam.

➢ Pasta amlexanox 5%, agen antiinflamasi topikal yang digunakan pada lesi 4 kali

sehari setelah membersihkan gigi atau sebelum tidur, sangat efektif jika

dikombinasi dengan triamcinolone acetonide.

3. Kortikosteroid topikal

Merupakan pilihan utama dalam perawatan SAR dan dapat dikombinasikan

dengan anestesi topikal, antiseptik, dan barrier agent. Kortikosteroid topikal dapat

meredakan rasa sakit dan mengurangi durasi serta frekuensi terjadinya SAR, namun

membutuhkan beberapa hari untuk menunjukkan efeknya. Perawatan ini efektif jika

digunakan sejak onset terjadinya penyakit dan digunakan beberapa kali perhari setelah

membersihkan gigi dan sebelum tidur, disarankan agar tidak makan setidaknya 30

11
menit setelahnya. Pilihan kortikosteroid yang digunakan adalah:1

➢ Triamcinolone acetonide 0.1% in orabase, diaplikasikan pada lesi 3-4 kali per

hari.1

➢ Larutan dexamethasone (0.5 mg/5 cc) atau salep, berkumur setiap 5 menit

sebanyak 3-4 kali per hari atau dioleskan pada ulser 3 kali sehari.1

➢ Clobetasol 0.05% in gel, salep, atau orabase, diaplikasikan pada lesi 2-3 kali per

hari, merupakan kortikosteroid terkuat sehingga hanya dipakai pada kasus-kasus

yang parah.1

4. Kauterisasi

Dilakukan dengan mengoleskan larutan hydrogen peroxide 0.5% atau silver nitrat

1%-2%. Tindakan ini dapat meredakan rasa sakit dan mempercepat penyembuhan.

Perawatan topikal lainnya, seperti tetrasiklin dalam obat mulut, doxycycline dalam

perekat gigi tiruan, permen karet nikotin, obat kumur diphenhydramine cair, atau

camel thorn distillate. Akan tetapi perawatan ini dilaporkan dalam penelitian

berkualitas rendah, yang memiliki hasil berbeda dan tidak ada bukti yang

merekomendasikan penggunaannya.1

Dari ketiga jenis obat topikal yang digunakan, sudah ada kombinasi obat yang

digunakan sebagai protokol perawatan SAR. Kombinasi ini terdiri dari kortikosteroid

topikal, anestesi topikal, dan antiseptik bukal. Kombinasi obat yang umum digunakan

adalah triamcinolone acetonide (in orabase 0.1%, digunakan hingga 4 kali sehari),

lidocaine topikal (larutan kental 2% dengan dosis maksimum 8 dosis per hari) dan

chlorhexidine oropharyngeal (0.12%, digunakan 15 mm sebagai obat kumur sebanyak 2

kali sehari). Selain perawatan topikal, pasien juga harus diinstruksikan untuk menghindari

makanan pemicu serta makanan dan minuman asam.6

12
BAB 3

PENATALAKSANAAN KASUS

Seorang pasien pria berusia 30 tahun dengan riwayat 2 tahun berturut memiliki

minor recurrent ulcer pada permukaan ventral anterior lidah (Gambar 3.1). Pasien

mengalami kesulitan makan dan berbicara. Pemeriksaan klinis menunjukkan multiple

symptomatic ulcers dengan perilesional erythematous halo ditutupi pseudomembrane.

Ukuran ulser kurang dari 10 mm. Saat palpasi ulser terasa halus. Diagnosis minor

aphthous ulcers ditentukan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis.5

Pasien diberikan perawatan yang terdiri dari aplikasi topikal triamcinolone

acetonide 0,1%, lignocaine dan vitamin B-kompleks sistemik, oleh karena terdapat

peningkatan rasa sakit, ketidaknyamanan dan mempercepat penyembuhan pada SAR.

Pasien disarankan untuk menggunakan lignocaine topikal 4 kali dalam sehari pada saat

setengah jam sebelum makan dan triamcinolone acetonide 0,1% setengah jam setelah

makan pada daerah SAR. Pasien juga disarankan untuk mengkonsumsi vitamin B-

kompleks sekali dalam sehari. Obat-obat tersebut digunakan selama 7 hari. Modifikasi

diet juga disarankan pada pasien dengan mengingkatkan konsumsi sayuran hijau dan

makanan-makanan yang tidak pedas. Pasien datang kembali setelah 7 hari untuk tindakan

lebih lanjut dan telah melaporkan rasa sakit yang hilang serta tidak adanya

ketidaknyamanan (Gambar 3.2).5

13
Gambar 3.1 Minor Recurrent Ulcer pada permukaan ventral anterior lidah.5

Gambar 3.2

Gambar 3.2 Penyembuhan lengkap ulser setelah 7 hari.5

14
BAB 4

PEMBAHASAN

SAR secara klinis diklasifikasikan sebagai minor, mayor dan herpetiform.

Klasifikasi ini didasarkan pada karakteristik klinis ulkus yaitu diameter ulkus, jumlah

ulkus di setiap periode dan durasinya.9 Beberapa faktor yang mempengaruhi SAR

diantaranya kondisi genetik yang rentan terhadap SAR, kekurangan nutrisi seperti

defisiensi folat dan vitamin B kompleks, alergi makanan, defisiensi imun, penyakit

sistemik, gangguan hormonal dan emosional.3,10 Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut

mengenai hubungan antara SAR yang berkaitan dengan faktor sistemik terutama

defisiensi hematinik seperti vitamin B12, asam folat dan zat besi. 9 Karena etiologi yang

tidak pasti dan munculnya berbagai gejala klinis, SAR menjadi tantangan dalam

perawatan kesehatan gigi dan mulut. Umumnya pasien dengan SAR tidak memerlukan

pengobatan karena merupakan penyakit yang ringan. Beberapa pasien melakukan

perawatan dengan menjaga dan meningkatkan kebersihan serta kesehatan rongga mulut,

menggunakan pasta gigi (tanpa kandungan sodium lauryl sulfate), dan bila perlu konsumsi

obat untuk mengurangi rasa nyeri.5

Tabel 2.3 Contoh medikasi yang biasa digunakan dalam kasus SAR: 5

Obat kumur Chlorhexidine gluconate, Benzydamine

hydrochloride, betadine

Topikal kortikostroid Hydrocortisone hemisuccinate, Triamcinolone

acetonide, Flucinonide, Betamethasone valerate,

Betamethasone-17- benzoate, Flumethasone

pivolate, Beclomethasone dipropionate,

Antibiotik Topical tetracycline

Imunodulator Levamisole, Colchicine, Gammaglobulins,

15
Azathioprine, Dapsone, Thalidomide,

Pentoxifylline, Prednisolone, Azelastine,

Cyclosporine, Amlexonox,

Lain- lain Systemic zinc sulphate, Sodium cromoglycate,

Deglycyrrhizinated licorace, Low-energy laser

Pengobatan alami juga terbukti memiliki efek yang lebih baik pada penyembuhan

ulser, hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pengobatan alami memiliki aktivitas biologis

yang luas, aman dan biaya yang lebih murah jika dibandingkan dengan obat

konvensional.11 Dalam kasus ini pasien diberikan perawatan yang terdiri dari aplikasi

topikal triamcinolone acetonide 0,1%, lignocaine dan vitamin B-kompleks sistemik.

Pasien datang kembali setelah 7 hari untuk tindakan lebih lanjut dan telah melaporkan

rasa sakit yang hilang serta tidak adanya ketidaknyamanan. Pemberian vitamin B-

kompleks pada pasien SAR didukung oleh studi lain yang menjelaskan bahwa terapi

suplemen dengan vitamin B-kompleks dan C bersama dengan deficient iron, vitamin B12

dan atau asam folat dapat secara signifikan menurunkan keparahan frekuensi SAR. 12

Pemberian topikal merupakan pilihan utama untuk perawatan SAR, karena harga

yang murah, efektif dan aman. Penggunaan obat kumur anti mikroba digunakan dalam

perawatan SAR untuk mengkontrol kontaminasi mikroba dan infeksi sekunder.

Penggunaan obat kumur anti mikroba digunakan dalam perawatan SAR untuk

mengkontrol kontaminasi mikroba dan infeksi sekunder. Kekurangan dari medikasi

topikal adalah mudah terbilas dengan air, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan bahan

adhesive yang di kombinasikan dalam obat. Contohnya strong topical corticosteroids

digabungkan dengan mucosal adherents. Hal tersebut efektif meskipun hanya dalam

waktu kontak yang terbatas.10

Sedangkan pada kasus serupa, perawatan yang diberikan ialah multivitamin

16
mineral dan pasien dikonsulkan untuk pemeriksaan hematologi rutin. Pasien didiagnosis

menderita anemia mikrositik, sehingga diberikan kapsul suplemen zat besi (fero glukonat

250 mg, mangan sulfat, tembaga sulfat, asam folat, dan sorbitol) 1x/hari. Pada kunjungan

terakhir pasien diberikan propolis lebah. Terapi ini diberikan dengan tujuan mengurangi

rekurensi SAR yang tidak dapat dicapai dengan terapi topikal. 13

Kedua laporan kasus ini berkaitan dengan hubungan antara SAR dan

mikronutrien. Dijelaskan bahwa mikronutrien seperti tembaga, besi, dan zinc diperlukan

oleh sistem imun untuk dapat berfungsi dengan baik. Mikronutrien berperan pada

pertahanan tubuh melalui fungsinya pada barier fisik kulit/mukosa, imunitas selular, dan

produksi antibodi. Sehingga defisiensi mikronutrien, misalnya besi, akan menyebabkan

disregulasi keseimbangan respon imunitas yang berujung pada terjadinya SAR.13

17
BAB 5

KESIMPULAN

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan gangguan atau penyakit mukosa

mulut yang umum di sebagian besar masyarakat di dunia. SAR terbagi menjadi minor,

mayor dan herpetiform. Terapi lokal ditujukan untuk mengurangi durasi dan keparahan

SAR. Terapi sistemik diberikan berupa terapi suplemen yang dapat disertai terapi

rekurensi SAR. Karena etiologi yang belum pasti dan munculnya berbagai gejala klinis,

SAR menjadi tantangan dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut. Sebagai dokter gigi

kita harus mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan intraoral, ekstraoral dan evaluasi

sistemik secara mendalam agar pasien mendapatkan perawatan yang tepat.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sánchez J, Conejero C, Conejero R. Recurrent Aphthous Stomatitis. Actas

Dermosifiliogr. 2020;111(6):471-80.

2. Mirowski GW, Nebesio CL. Aphthous Stomatitis. Tersedia di

http://www.emedicine.com/derm/topi c486.htm [Diakses 1 Juni 2021].

3. Melamed F. Aphthous Stomatitis. Tersedia di http://www.

med.ucla.edu/modules/wfsection/article.php?arti cleid=207 [Diakses 1 Juni

2021].

4. Scully C. Aphthous Ulcers. Tersedia di http://www.emedici

ne.com/ent/topic700.htm [Diakses 1 Juni 2021].

5. Iqubal A, Anwar N, Khan Mobeen, Gupta CP, Rayeen HS, Shrivastava. Recurrent

Aphthous Stomatitis: A Case Report. The Pharma Innovation Journal. 2017;6(7):

908-10.

6. Rivera C. Essentials of Recurrent Aphthous Stomatitis. Biomedical Reports.

2019;11(2):47-50.

7. Rivera C. Immune System and Zinc are Associated with Recurrent Aphthous

Stomatitis an Assessment Using a Network-Based Approach. J Oral Res. 2017;

(6):245-51.

8. Queiroz SIML, Silva MVA, Medeiros AMC, Oliveira PT, Gurgel BCV, Silveira

EJD. Recurrent Aphthous Ulceration: an Epidemiological Study of Etiological

Factors, Treatment and Differential Diagnosis. An Bras Dermatol.

2018;93(3):341-6.

9. Al-Amad SH, Hasan H. Vitamin D and Hematinic Deficiencies in Patients with

Recurrent Aphthous Stomatitis. Clin Oral Investig. 2020;24(7):2427-32.

10. Polat C, Düzer S, Ayyıldız H, Sec S, Aksoy N, Sakallıoğlu Ö, et al. Association

Between Anxiety, Depression, and Salivary Cortisol Levels in Patients with


19
Recurrent Aphthous Stomatitis. Turk Arch Otorhinolaryngol. 2018;56(3):166-9.

11. Iyer PK, Jayaraj G, Dinesh SPS. Evaluation of Patients with Recurrent Aphthous

Stomatitis in a Hospital Setting. Ann Trop Med & Public Health. 2020;23(22).

12. Chiang CP, Yu-Fong Chang J, Wang YP, Wu YH, Wu YC, Sun A. Recurrent

Aphthous Stomatitis - Etiology, Serum Autoantibodies, Anemia, Hematinic

Deficiencies, and Management. J Formos Med Assoc. 2019;118(9):1279-89.

13. Ronal, A, Aliyah S. Strategi Penatalaksanaan Stomatitis Aftosa Rekuren pada

Anemia Defisiensi Besi (Laporan Kasus). Majalah Sainstekes. 2019;4(2):033-42.

20

Anda mungkin juga menyukai