Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah penulis akhirnya dapat menyusun Makalah ini, kami
berusaha semaksimal mungkin makalah ini dapat tersusun dengan sebaik – baiknya, mudah – mudahan
kami buat makalah ini dapat bermanfaat bagi si pembaca. Kami buat makalah dengan judul
“PENERAPAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA PADA ERA REFORMASI” memiliki arti yang sangat penting
bagi kita semua khususnya para pelajar, supaya lebih mengenal pendidikan kewarganegaraan dan dapat
mengambil manfaatnya. Dengan kami menyusun makalah ini diharapkan tercipta sumber daya menusia
yang handal dan bertanggung jawab. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati kami
menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada si pembaca. Akhirnya kami mohon maaf
apabila secara adminitrasi dan penyusunan maupun penyajian materi ini ada kekurangan. Kritik dan
saran yang sangat kami harapkan demi sempurnanya kegiatan ini.
i DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL KATA
PENGANTAR ................................................................................................ i DAFTAR
ISI ...............................................................................................................

ii PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang


Masalah ................................................................ 1

1.2 Tujuan Penulisan............................................................................. 2 1.3 Landasan


Teori ...............................................................................

2 BAB I. BAB II. BAB III PEMBAHASAN

2.1 Munculnya Masa Reformasi .......................................................... 3 2.2 Pelaksanaan Pancasila Pada


Masa Reformasi ................................ 5

2.3 Penerapan Pancasila Di Era Reformasi .......................................... 8

2.4 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi ....................................... 11

2.5 Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila ................................... 12

2.6 Pancasila Sebagai Dasar Cita-Cita Reformasi ............................... 13

2.7 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Hukum ........................... 13

2.8 Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum ...................... 14

2.9 Dasar Yuridis Reformasi Hukum ................................................... 15

2.10 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum....... 16

PENUTUP

3.1 Kesimpulan....................................................................................... 20

3.2 Saran................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakanug Masalah

Pancasila merupakan dasar dari Negara kita dimana Pancasila juga digunakan sebagai alat pemersatu
bangsa dimana Indonesia memiliki rakyat yang cukup banyak dengan budaya yang dimiliki masing-
masing dari rakyat tersebut. Sebagaimana pada awalnya nilai-nilai pancasila dijadikan dasar Negara
Indonesia pada era Orde Lama yang kala itu runtuh dan kembali dimulai lagi oleh Presiden Soeharto
pada era Orde Baru yang juga runtuh pada tahun 1998 yang sering kita kenal sebagai Reformasi. Setelah
runtuhnya Orde Baru kita terus menyikapi atau memahami peran Pancasila di era Reformasi ini, tetap
dalam konteks-nya sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa dimana agar setiap warga Negara
Indonesia dapat memiliki pemahaman atau persepsi dan sikap atas kedudukan, peranan dan fungsi
Pancasila sebagai warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat.

Serta bagaimana perkembangan nilai-nilai pancasila yang diterapkan di era Reformasi saat ini. Cukup
ironis melihat banyak warga Negara Indonesia yang pada era reformasi ini rasanya semakin lupa
terhadap Pancasila bahkan terkadang merasa asing pada Pancasila itu sendiri. Dan ini menjadi tanda
tanya besar kenapa pada setelah runtuhnya Orde Baru, kita sebagai anak bangsa seperti tidak peduli
dengan Pancasila yang dimana adalah dasar Negara kita dan ideologi Negara kita.

Dapat kita lihat sekarang, di era Reformasi saat ini sangat tidak jelas, seperti tidak memiliki arah
khususnya dalam penerapan nilai-nilai pancasila di era Reformasi ini. Dimana Pancasila adalah ideologi
Negara kita yang berasal dari penggabungan nilai-nilai luhur yang berasal dari akar budaya kehidupan
bermasyarakat yang serasa mulai pudar dan ditinggalkan, maka sebab itu Pancasila masih sangat
diperlukan khususnya dalam hal pembelajaran atau pendidikan sedari kecil maupun tingkat universitas,
agar penerapan nilai-nilai Pancasila tidak akan memudar dan hilang ditelan waktu karena adanya
ketidakpedulian dari petinggi negeri ini untuk menjaga identitas bangsanya atau ideologinya yaitu
Pancasila.

1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini ditulis guna untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai Pancasila yang telah diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum pada era reformasi sekarang ini.

1 1.3 Landasan Teori

Sepertinya warga Indonesia perlu bercermin atau belajar dari bangsa bangsa lain yang taat dan
konsisten menjaga ideologi bangsanya. Bisa kita contohkan bagaimana konsistennya rakyat jepang yang
sampai saat ini menjunjung tinggi nilainilai leluhur mereka yang menjadikan rakyatnya benar-benar
mencintai bangsanya sendiri sehingga mempunyai rasa tanggung jawab atas bangsa sendiri dan
mempunyai satu visi untuk membangun bangsa agar lebih maju.
2 BAB II PEMBAHASAN

2.1 Munculnya Masa Reformasi

Reformasi bergulir di Indonesia dengan di motori oleh mahasiswa dan tokohtokoh bangsa ini yang
merasa bahwa krisis yang melanda negara ini di awali dari krisis ekonomi ternyata telah membawa kita
pada krisis yang lebih besar seperti krisis politik, kepemimpinan dan akhirnya pada suksesi atau
pergantian kepemimpinan secara nasional. Tentu telah banyak korban yang berguguran dalam proses
reformasi tersebut semisal contoh mahasiswa trisakti yang menjadi korban dalam tragedi semanggi I-II,
kerusuhan masa yang anakis dan rutal dengan melakukan penjarahan, pemerkosaan, pengerusakan
fasilitas-fasilitas umum di Jakarta, solo, Medan, dan kota-kota lain di Indonesia. Semangat dan jiwa
reformasi yang digulirkan menjadi kacau dan tidak tentu arah dan justru malah menodai nilai dan
tujuannya sendiri.

Tentu ini menjadi tanda tanya besar ketika semangat untuk meluruskan dan mengembalikan tatanan
negara ini menjadi lebih baik justru di lapangan justru kita temui hal yang kontraproduktif. Salah satu
tujuan reformasi dibidang politik dan hukum adalah mengembalikan UUD 1945 dan pancasila sebagai
falsafah dasar kehidupan bangsa dan negara. Kita dapat mengetahui dengan seksama bahwa dalam
pelaksanaan UUD 1945 dan pancasila dalam masa orma dan orba terjadi deviasia/ penyimpangan oleh
oknumoknum penyelenggara pemerintah.

Sehingga dalam pelaksanaan berpolitik dan berpemerintahan hanya menjadi senjata dan dalil
pembenaran dari semua tujuan penguasa untuk melanggengkan dan menikmati kekuasaan sehingga
muncul pemerintahan yang lalu seperti otoliter obsolud, terpimpin dan kolusi untuk korupsi dan
nepotisme dalam kekuasaan. Ini tentu tidak mudah untuk membuat sebuah latar balik dan
mengembalikan semangat seperti awalnya memerdekaan bangsa ini. Kekuasaan penuh dan perilaku
birokrasi yang sistematis membuat apa yang mereka lakukan seolah selalu benar dan tidak ada
penyimpangan dari nilai dan norma yang terkandung dalam pancasila.

Butuh waktu dan sebuah generasi yang solid untuk dapat menempatkan kembali roh dan semangat
pancasilaisme terutama pada generasi yang sekarang ini. Lebih lagi jumlah materi dan pedoman tentang
pancasila sudah sangat jauh terkurang baik dimasyarakat umum maupun lembaga – lembaga pendidikan
yang sebenarnya mempunyai peranan penting dan vital dalam menanamkan doktrin ideologi pancasila
serta nilai – nilai yang terkandung untuk dapat di amalkan dalam kehidupan sehari – hari.

Dulu setiap sekolah dan kelompok organisasi selalu di wajibkan untuk mengikuti Penataran Pelaksanaan
Pengamalan Pancasila ( P4) dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dari kelompok karang
Taruna Desa sampai Pejabat negara. Secara lahirlah ini perlu ditingkatkan dan memang itu semua
sebagai cara memberikan pendoktrinisasi anak bangsa untuk lebih mengerti dalam melaksanakan
pancasila. Hanya saja satu materi dan doktrinisasi yang harus dibuat lagi seperti yang dulu yang hanya
untuk tujuan dan kapentingan penguasa negara dengan single mayority atau stabilitas nasional dalam
arti semu. Satu kata kunci yang sekarang menjadi asing sudah luntur dari kita sebagai bangsa adalah
pancasila sebagai ideologi NKRI.

Dapat kita ketahui bersama dari uraian dan penjabaran Pancasila dalam strategi Politik Nasional, Ali
Murtopo. CSIS, 1947 Hal 173 dapat kita ambil garis besar sebagai berikut :

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa negara adalah berdasar dan
percaya pada tuhan yang maha esa dengan kewajiban setiap warganya mengkui adanya Tuhan.

Sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, mengandung pengertian dan pengakuan akan
penghargaan terhadap sesama manusia lepas dari asal usul, keyakinan, ras, serta pandangan politik
adalah sama.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengandung arti sesuai dengan pernyataan kemerdekaan angsa di
maknakan sebagai pengertian kesatuan dan bangs ini adalah satu dengan mengatasi paham
perseorangan dan golongan dalam satu NKRI.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin olah Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan, mengandung arti bahwa demokrasi bangsa Indonesia bukan Demokrasi bangsa indonesia
bukan demokrasi yang menitikberatkan pada kepentingan individu, namun pada pelaksanaan demokrasi
pancasila yang mengikutsertakan semua golongan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung arti bahwa golongan
kemasyarakatan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak ada golongan yang menekan golongan
lain dan mendapat perlakuan yangadildalam bekerja, hidup tertib, tentram dan layak. Bila kita bangga
sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai jati diri sebagai angsa maka kita harus pada nilai – nilai dasar
yang harus kita pegang teguh bersama.

Terlebih lagi pada saat ini kita hidup di jaman reformasi yang seharusnya justru kita mengembalikan nilai
– nilai dasar negara kita. Nilai – nilai dasar tersebut adalah :

Pancasila sebagai landasan dan falsafah hidup bangsa yang tumbuh dari dasar bumi indonesia. Tidak ada
yang keliru dari pancasila yang di dalamnya termuat lima nilai dasar universal yaitu: believe in god,
nationalisme, internasionalisme, 4 democracy, and social justice.

Kelima dasar ini harus menjadi paradigma baru yang ada dalam ruh hati yang paling dalam serta jangan
pernah hilang kapan pun, dimanapun, dan bagaiamanapun. Tujuan NKRI, bagai sebuah kapal tentu
negara ini punya tujuan yang tidak boleh digoyah dan wajib untuk tetap diamankan sebagaimana dapat
kita lihat dalam pembukaan UUD 45 yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah
darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidu[pan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertibn dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Bineka
tunggal ika, adalah semangat untuk menakomodasi peredaan dan kemajemukan bangsa tetap dalam
kerangka NKRI dan justru sebagai sebuah khasanah serta aset nasional memperkukuh integrasi bangsa.
Reformasi, semangat untuk tetap mereformasi dengan sifat untuk menyempurnakan dari kekurangan
bangsa serta dengan konsep, agenda yang jelas didukung kerja keras semua komponen bangsa untuk
memajukan dan memberikan sumbangsih serta semangat untuk rela berkorban demi bangsa ini. Ada
sebuah seni yang sederhana dalam kita memulai semangat pengamalan nilai-nilai pancasila yakni tiga M
seperti :

mulai dari diri sendiri, adalah mimpi bisa mengubah apapun dengan baik tanpa diawali perubahan pada
diri kita sendiri, memperbaiki diri sendiri berarti memulai segalanya.

mulai dari hal kecil-kecil, tidak ada prestasi yang besar kecuali rangkaian prestasi kecil yang mudah dan
dapat kita laksanakan dengan niat dan jalan yang baik.

mulai sekarang juga, janganlah menunda pekerjaaan yang bisa kita lakukan sekarang karena terlambat
dalam kita menjalankan tugas hanya berakibat menambah persoalan semakin banyak saja.

2.2 Pelaksanaan Pancasila Pada Masa Reformasi

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
merupakan Maha karya pendahulu bangsa yang tergali dari jati diri dan nilai-nilai adi luhur bangsa yang
tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dengan berbagai kajian ternyata didapat beberapa kandungan dan
keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan
antar sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang lain. Ini dengan sendirinya menjadi ciri khas dari
semua kegiatan serta aktivitas desah nafas dan jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah
melewati masa-masa sulit dari jaman penjajahan sampai pada saat mengisi kemerdekaan.

Ironisnya bahwa ternyata banyak sekarang warga Indonesia sendiri lupa dan sudah asing dengan
pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar kenapa dan ada apa dengan kita sebagai anak
bangsa yang justru besar dan mengalami pasang surut masalah negari ini belum bisa mengoptimalkan
tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut.

Terlebih lagi saat ini dengan jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan
semangat untuk mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan sebelumnya.

Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan dengan cara
mengurangi secara bertahap dan terus-menerus krisis yang berkepanjangan di segala bidang kehidupan,
serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas system ketatanegaraan Republik Indonesia
yang telah hancur, menuju Indonesia baru.

Pada masa sekarang arah tujuan reformasi kini tidak jelas juntrungnya walaupun secara birokratis, rezim
orde baru telah tumbang namun, mentalitas orde baru masih nampak disana-sini. Sedangkan pancasila
adalah sebagai ideologi bangsa Indonesia yang merupakan hasil dari penggabungan dari nilai-nilai luhur
yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah ideologi politik, Pancasila bisa
bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat, tetapi bisa pula pudar dan ditinggalkan oleh
pendukungnya. Hal itu tergantung pada daya tahan ideologi tersebut.
Ideologi akan mampu bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat bila mempunyai tiga dimensi.
Ketiga dimensi antara lain sebagai berikut meliputi :

1. Idealisme, yaitu kadar atau kualitas idealisme yang terkandung di dalam ideologi atau nilai-nilai
dasarnya. Kualitas itu menentukan kemampuan ideologi dalam memberikan harapan kepada berbagai
masyarakat untuk mempunyai atau membina kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk
membangun suatu masa depan yang lebih cerah.

2. Realita, menunjuk pada kemampuna ideologi untuk mencerminkan realita yang hidup dalam
masyarakat dimana ia muncul untuk pertama kalinya, paling kurang realita pada saat awal kelahirannya.

3. Fleksibilitas, yaitu kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri
dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut mewarnai proses
perkembangan. Sedangkan Menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat berhasil menemukan
tafsirantafsiran terhadap nilai-nilai dasar dari ideologi sesuai dengan realita-realita baru yang muncul
dan mereka hadapi.

Maka dari itu pancasila sebagai ideologi haruslah mempunyai dimensibilitas agar substansi-substansi
pokok yang dikandungnya tidak lekang dimakan waktu. Pada masa reformasi yang dimulai dari tahun
1998 hingga masa sekarang, orangorang mulai menanyakan revelansi dari pancasila untuk menjawab
segala tantangan zaman terlebih lagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Maka Pancaila menurut kami
mutlak masih diperlukan.

Tampaknya kita perlu bercermin pada kehidupan bangsa-bangsa yang taat dan konsisten terhadap
ideologi yang diciptakannya. Bagaimana masyarakat Jepang masih menjunjung tinggi semangat dan
nilai-nilai restorasi Meiji, sehingga mereka selalu bekerja keras dalam membangun harga diri bangsanya.
Rakyat AS mengaplikasikan ideologi kebebasan sebagai spirit masyarakat, sehingga terwujud kompetisi
yang sehat dalam membangun bangsanya.

Kondisi objektif negeri besar yang bernama Indonesia ini, sesungguhnya amat rentan. Memang
Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain yang mana pun. Ini perlu dicamkan, bukan
untuk menggalang rasa chauvinistis atau kesombongan, tetapi justru untuk membangun kesadaran
bertanggungjawab yang rendah hati bagi seluruh rakyatnya. Apabila kita melihat negeri ini “cuma”
seperti Singapura, Taiwan, atau Korea Selatan, tanpa maksud mengecilkan keberhasilan mereka,
akibatnya bangsa ini bisa salah jalan dalam usaha mencari terapi krisis multi dimensi yang melilitnya.
Indonesia besar bukan hanya dalam angka-angka statistik, seperti jumlah penduduk. Atau luas negara
yang meliputi hampir seluruh Eropa, atau pantai terpanjang di dunia, dan seterusnya. Tetapi, ia juga
besar di dalam skala jumlah permasalahan mendasar yang harus dihadapi setiap saat. Artinya,
sewaktuwaktu bisa muncul, bahkan meletup dalam besaran yang sulit diduga, yang mengancam
persatuan-kesatuan bangsa.

Riset Douglas E. Ramage dalam ”Politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology of Tolerance”
(1995) mengungkapkan, bahwa Indonesia adalah negara yang terlalu meributkan masalah ideologi.
Indonesia, terutama para elitenya, sangat peka terhadap masalah ideologi sehingga seringkali terpenjara
dalam polemik tak berkesudahan. Namun, meski permasalahan elementer itu begitu besarnya, sejarah
telah membuktikan bangsa ini mampu mengatasinya dengan tangan sendiri.

Falsafah kita Pancasila dan selalu ingin memelihara semangat gotong-royong serta mengedepankan
mufakat dalam musyawarah, tetapi kita seringkali suka melakukan rekayasa. Setelah hampir 62 tahun
merdeka, telah muncul tantangan terhadap Pancasila, karena kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sudah semakin kompleks. Ini berarti perlu dicari bentuk-bentuk baru, suatu relasi sosial ke
masa depan yang lebih baik.

Dalam situasi seperti ini, tepat kiranya apa yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika
membuka Seminar Nasional ”Kapasitas Pancasila dalam Menghadapi Krisis Multidimensi” (LPPKB, 2003),
bahwa pengamalan nilainilai Pancasila sebagai semen perekat persatuan-kesatuan bangsa menjadi
teramat penting. Karena Pancasilalah yang harus menjadi sumber sekaligus landasan dan perspektif dari
persatuan-kesatuan bangsa. Dengan landasan Pancasila itu pula, maka usaha untuk lebih memperkokoh
rasa persatuan-kesatuan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etik, yang bersumber pada
kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan paham kebangsaan, kita juga
menentang segala macam bentuk eksploitasi, penindasan oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya,
oleh satu golongan terhadap golongan lain, dan oleh manusia terhadap manusia lain, bahkan oleh
penguasa terhadap rakyatnya.

Sebab Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan untuk menghormati harkat dan martabat
manusia dan menjamin hakhak azasi manusia. Semangat persatuan-kesatuan kita menentang segala
bentuk separatisme, baik atas dasar kedaerahan, agama maupun suku, sebab Sila PersatuanIndonesia
memberikan tempat pada kemajemukan dan sama sekali tidak menghilangkan perbedaan alamiah dan
keragaman budaya etnik.

Oleh sebab itu, bangsa ini harus menentang perilaku membakar, menjarah, menganiaya, memperkosa
dan tindak kebrutalan lainnya yang mengarah ke anarkisme, serta berdiri di depan memberantas KKN
tanpa membeda-bedakan partai, golongan, agama, ras, atau pun etnik. Semangat untuk tetap bersatu
juga berakar pada azas Kedaulatan yang berada di tangan Rakyat, serta menentang segala bentuk
feodalisme dan kediktatoran oleh mayoritas maupun minoritas. Karena kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan mendambakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, dan oleh
karenanya, juga merupakan gerakan massa yang demokratis. Kecenderungan munculnya tirani
mayoritas melalui aksi massa, hendaknya dikendalikan dan diarahkan, agar tidak merusak sendi-sendi
persatuan-kesatuan bangsa. Jiwa persatuan-kesatuan juga mencita-citakan perwujudan masyarakat
yang adil dan makmur, karena dituntun oleh Sila Keadilan Sosial bagi seluruh RakyatIndonesia. Semangat
persatuan-kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila itu adalah nilai-nilai

2.3 Penerapan Pancasila Di Era Reformasi

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan
ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman
yang sama dan akhirnya memiliki persepsi 8 dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan
fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi
yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana
politis maupun akademis. Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945),
Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia
(Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam
tiga tahap yaitu :

(1) tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis,

(2) tahap 1969 – 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan

(3) tahap 1995 – 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila. Penahapan ini memang tampak berbeda
lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar
Negara yaitu : (1) 1945 – 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ;

(2) 1949 – 1950 masa konstitusi RIS ; (3) 1950 – 1959 masa UUDS 1950 ;

(4) 1959 – 1965 masa orde lama ;

(5) 1966 – 1998 masa orde baru dan

(6) 1998 – sekarang masa reformasi. Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan,
yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.

Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan menuntun
masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan
masa bodoh dalam melakukan implementasi nilainilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab
utamannya sudah umum kita ketahui, karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila
sebagai alat kekuasaan yang otoriter.

Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari kedirian bangsa ini, Pancasila harus
tetap sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila harus tetap menjadi dasar dari penuntasan persoalan
kebangsaan yang kompleks seperti globalisasi yang selalu mendikte, krisis ekonomi yang belum terlihat
penyelesaiannya, dinamika politik lokal yang berpotensi disintegrasi, dan segregasi sosial dan konflik
komunalisme yang masih rawan.

Kelihatannya, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-pendekatan yang lebih
konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana dan relevan dengan perubahanperubahan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Di era reformasi ini ada gejala Pancasila
ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi
politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru
dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa
mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pancasila“.

Jadi sulit untuk dielakkan jika ekarang ini muncul pendeskreditan atas Pancasila. Pancasila ikut
disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang gamang untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak
perlu untuk membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang berbicara Pancasila dianggap ingin kembali
ke masa lalu. Anak muda menampakkan kealpaan bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan
Pancasila. Salah satunya ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda
Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3
Maret 2008 bahwa kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai
dengan Pancasila.

Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh aktivis gerakan nasionalis tersebut pada
2006 bahwa sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan
bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai
acuan hidup dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan
diri untuk “malumalu” terhadap Pancasila.

Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka
tidak pernah lagi mengikutkan katakata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang
hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila Menarik sekali pertanyaan
yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan
komitmen terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah dan alergi bicara
tentang Pancasila.

Mungkin Rezim Reformasi mempunyai cara sendiri mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai
melakukan indoktrinasi Pancasila dan tidak ingin menjadi seperti dua rezim sebelumnya yang
menjadikan Pancasila sebagai ideologi kekuasaan. untuk melegitimasikan kelanggengan otoritarianisme
Orde Lama dan otoritarianisme Orde Baru Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan
kembali Pancasila dan 10 menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan
untuk melihat kembali Pancasila.

Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila Sesungguhnya jika
dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tegas
dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No
XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara.

Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Dokumen kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen
tersebut menyatakan bahwa dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke
depan perlu secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945
tidak lagi diperdebatkan.

Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada salah satu
bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan
Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan
perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara Berdasar uraian di atas menunjukkan
bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam
pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya.

Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara
Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara
atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian memunculkan
masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam kehidupan bernegara ini.

2.4 Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat
kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi 11 manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral
religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab. Pada hakikatnya reformasi adalah
mengembalikan tatanan kenegaraan kearah sumber nilai yang merupakan platform kehidupan bersama
bangsa Indonesia, yang selama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa
orde lama maupun orde baru. Proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total
harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas dan merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia
nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma reformasi total tersebut. Pelaksanaan GBHN 1998
pada Pembangunan Jangka Panjang II Pelita ke tujuh bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat,
yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik
menjadi goyah.

Sistem politik dikembangkan kearah sistem “Birokratik Otoritarian” dan suatu sistem “Korporatik”.
Sistem ini ditandai dengan konsentrasi kekuasaan dan partisipasi didalam pembuatan keputusan-
keputusan nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok militer,
kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik dan bekerjasama dengan
mayarakat bisnis internasional.
Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie
menggantikan kedudukan Presiden. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan pemerintahan transisi yang akan
mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan
paket UU politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut
perlindungan hukum. Yang lebih mendasar reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi
negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui Pemilu
secepatnya.

2.5 Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila Arti Reformasi secara etimologis berasal dari kata
reformation dengan akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting right
what is bad or wrong”.

Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai
dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki
kondisi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpanganpenyimpangan.

2. Misalnya pada masa orde baru, asas kekeluargaan menjadi nepotisme, kolusi, dan korupsi yang tidak
sesuai dengan makna dan semangat UUD 1945.

3. Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis)
tertentu. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideology bangsa dan negara Indonesia.

4. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasarkan pada suatu kerangka struktural tertentu
(dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.

5. Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala
aspek antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta kehidupan keagamaan.

6. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etika sebagai manusia yang berketuhanan yang
maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

2.6 Pancasila Sebagai Dasar Cita-Cita Reformasi

Menurut Hamengkubuwono X, gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif
Pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideology sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas maka
suatu reformasi akan mengarah pada suatu disintegrasi, anarkisme,brutalisme pada akhirnya menuju
pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia. Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada
hakikatnya harus berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai sumber nilai memiliki sifat yang reformatif artinya memiliki aspek pelaksanaan yang
senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi
perkembangan jaman yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai
dengan aspirasi rakyat.

2.7 Pancasila sebagai Paradigma

Reformasi Hukum Setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu
subsistem yang mengalami kerusakan parah adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun
penegaknya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan.

Kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya, politik,
ekonomi dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali
subsistem yang mengalami kerusakan tersebut.

2.8 Pancasila sebagai Sumber Nilai

Perubahan Hukum Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan
sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut staatsfundamental, di Indonesia tidak
lain adalah Pancasila. Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus
selalu diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayani dan
dalam pembaruan hukum yang terusmenerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir,
sumber norma, dan sumber nilai. Sebagai cita-cita hukum, Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif
maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatif Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang
memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila
maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri.

Fungsi regulative Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk yang adil ataukah
tidak adil. Sebagai staatfundamentalnorm, Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber
penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah
ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, sumber hukum formal yaitu sumber hukum ditinjau
dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya UU,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah. Sumber hukum material yaitu suatu sumber hukum yang
menentukan materi atau isi suatu norma hukum.

Jika terjadi ketidakserasian atau pertentangan satu norma hukum dengan norma hukum lainnya yang
secara hierarkis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya, berarti terjadi
inkonstitusionalitas (unconstitutionality) dan ketidak legalan (illegality) dan karenanya norma hokum
yang lebih rendah itu batal demi hukum. Dengan demikian maka upaya untuk reformasi hukum akan
benar-benar mampu mengantarkan manusia ketingkat harkat dan martabat yang lebih tinggi sebagai
makhluk yang berbudaya dan beradab.
2.9 Dasar Yuridis Reformasi Hukum Reformasi total sering disalah artikan sebagai dapat melakukan
perubahan dalam bidang apapun dengan jalan apapun. Jika demikian maka kita akan menjadi bangsa
yang tidak beradab, tidak berbudaya, masyarakat tanpa hukum, yang menurut Hobbes disebut keadaan
“homo homini lupus”, manusia akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah
hokum rimba. UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktek penyelenggaraan Negara bersifat multi
interpretable (penafsiran ganda), dan memberikan porsi kekuasaan yang sangat besar kepada presiden
(executive heavy).

Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam
negara RI. Berdasarkan isi yang terkandung dalam Penjelasan UUD 1945, Pembukaan UUD 1945
menciptakan pokok-pokok pikiran yang dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 secara normatif. Pokok-
pokok pikiran tersebut merupakan suasana kebatinan dari UUD dan merupakan cita-cita hukum yang
menguasai baik hukum dasar tertulis (UUD 1945) maupun hukum dasar tidak tertulis (Convensi).

Selain itu dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hokum adalah Tap MPRS
No.XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus senantiasa
bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.

Berbagai macam produk peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan dalam reformasi hukum
antara lain :

a. UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

b. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu

c. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD

d. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

e. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

f. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN Pada
tingkatan Ketetapan MPR telah dilakukan reformasi hukum melalui Sidang Istimewa MPR pada bulan
Nopember 1998 yang menghasilkan ketetapanketetapan:

a. Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Referendum

b. Tap No. IX/MPR/1998 tentang GBHN

c. Tap No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan

d. Tap No. XI/MPR/1998 tentang Negara bebas KKN

e. Tap No. XII/MPR/1998 tentang Masa jabatan Presiden


f. Tap No. XIV/MPR/1998 tentang Pemilu 1999

g. Tap No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

h. Tap No. XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi

i. Tap No. XVII/MPR.1998 tentang Hak asasi Manusia

j. Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P4.

2.10 Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum Dalam era reformasi

pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya. Reformasi pada
dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi negara pada tujuan semula yaitu melindungi seluruh
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara pada hakikatnya secara formal harus melindungi
hak-hak warganya terutama hak kodrat sebagai suatu hak asasi yang merupakan karunia Tuhan YME.

Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah sebagai pengingkaran terhadap dasar
filosofis negara misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan, pembatasan berpendapat berserikat,
berunjuk rasa dan lain sebagainya. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi harus benar-benar dapat
mewujudkan negara demokrasi dengan suatu supremasi hukum.

Artinya pelaksanaan hukum harus mampu mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (sila V)
dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tidak
memandang pangkat, jabatan, golongan, etnisitas maupun agama. Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di muka hukum dan pemerintah (pasal 27 UUD 1945). Jaminan atas terwujudnya
keadilan bagi setiap warga negara dalam hidup bersama dalam suatu negara yang meliputi seluruh
unsur keadilan baik keadilan distributif, keadilan komulatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya dalam
pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya
sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.

1. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah
membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia yang cenderung bersifat
stagnan. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi dipandang sebagai suatu langkah baru menuju
terciptanya Indonesia baru di masa depan dengan dasar dasar efisiensi dan demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Secara internal, tuntutan reformasi muncul akibat terjadinya peningkatan berbagai aspek kehidupan
masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, terbukanya berbagai
isolasi serta akses informasi yang mudah diperoleh. Kondisi ini telah menyebabkan masyarakat semakin
kritis dalam mencermati pengelolaan kekuasaan Negara yang dianggap telah menyimpang. Landasan
aksiologis (sumber nilai) sistem politik Indonesia adalah dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang
berbunyi “……maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Jika dikaitkan dengan makna alinea II tentang cita-cita negara dan kemerdekaan yaitu
demokrasi (bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur). Dasar politik ini menunjukkan kepada kita
bahwa bentuk dan bangunan kehidupan masyarakat yang bersatu (sila III), demokrasi (sila IV),
berkeadilan dan berkemakmuran (sila V) serta negara yang memiliki dasar-dasar moral ketuhanan dan
kemanusiaan. Nilai demokrasi politik sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai fondasi
bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataannya tidak
dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut.

Berdasarkan semangat dari UUD 1945 esensi demokrasi adalah : 

Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.  Kedaulatan rakyat dijalankan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.  Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan karenanya harus tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR.  Produk
hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden, baik sendiri maupun bersama-sama lembaga lain
kekuatannya berada di bawah Majelis Permusyawatan Rakyat atau produk-produknya.

Prinsip-prinsip demokrasi tersebut bilamana kita kembalikan pada nilai esensial yang terkandung dalam
Pancasila maka kedaulatan tertinggi Negara 17 adalah di tangan rakyat. Rakyat adalah asal mula
kekuasaan negara, oleh karena itu paradigma ini harus merupakan dasar pijakan dalam reformasi.

Reformasi kehidupan politik juga dilakukan dengan meletakkan cita-cita kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan dalam suatu kesatuan waktu yaitu nilai masa lalu, masa kini dan kehidupan masa yang akan
datang. Atas dasar inilah maka pertimbangan realistik sebagai unsur yang sangat penting yaitu dinamika
kehidupan masyarakat, aspirasi serta tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang untuk
menjamin tumbuh berkembangnya demokrasi di Negara Indonesia. karena faktor penting demokrasi
dalam suatu negara adalah partisipasi dari seluruh warganya. Dengan sendirinya kesemuanya ini harus
diletakkan dalam kerangka nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri sebagai filsafat hidupnya
yaitu nilai-nilai Pancasila.

2. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi Kebijaksanaan yang selama ini diterapkan hanya
mendasarkan pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa,
dalam kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan penguasa. Pada
era ekonomi global dewasa ini dalam kenyataannya tidak mampu bertahan.

Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia
terpuruk, sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus ditanggung oleh rakyat. Dalam
kenyataannya sektor ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa ini adalah ekonomi
kerakyatan, yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat.

Oleh karena itu subsidi yang luar biasa banyaknya pada kebijaksanaan masa orde baru hanya dinikmati
oleh sebagian kecil orang yaitu sekelompok konglomerat, sedangkan bilamana mengalami kebangkrutan
seperti saat ini rakyatlah yang banyak dirugikan. Oleh karena itu rekapitalisasi pengusaha pada masa
krisis dewasa ini sama halnya dengan rakyat banyak membantu pengusaha yang sedang terpuruk.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat
yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai
berikut :  Keamanan pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program “social
safety net” yang popular dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Sementara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus
secara konsisten menghapuskan KKN, serta mengadili bagi oknum pemerintah masa orde 18 baru yang
melakukan pelanggaran. Hal ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha.  Program
rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Upaya ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian usaha,
yaitu dengan diwujudkan perlindungan hukum serta undang-undang persaingan yang sehat. Untuk itu
pembenahan dan penyehatan dalam sektor perbankan menjadi prioritas utama, karena perbankan
merupakan jantung perekonomian. 

Transformasi struktur, yaitu guna memperkuat ekonomi rakyat maka perlu diciptakan sistem untuk
mendorong percepatan perubahan structural (structural transformation). Transformasi struktural ini
meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke
ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ketergantungan kepada
kemandirian, dari orientasi dalam negeri ke orientasi ekspor. Dengan sendirinya intervensi birokrat
pemerintahan yang ikut dalam proses ekonomi melalui monopoli demi kepentingan pribadi harus segera
diakhiri.

Dengan sistem ekonomi yang mendasarkan nilai pada upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh bangsa
maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat, sehingga dapat
mengurangi kesenjangan ekonomi.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Bahwa Pancasila sebagai dasar falsafah dan pandangan hidup serta sumber dari semua
sumber hukum adalah warisan hukum yang digali dari nilai budaya, adat serta kepribadian bangsa. tidak
ada yang salah dalam pancasila hanya saja penjabaran pelaksanaan pada masa pemerintahan
sebelumnya hanya menjadi topeng dan kedok pembenaran kekuasaan saja. pada masa reformasi ini
sesuai dengan maknanya maka tidak salah dan tepat bila kita harus kembali pada nlai-nilai pancasila
yang telah sekian lama menjadi asing dan jauh dari kehidupan kita sebagai bangsa. Pengamalan nilai
pancasila harus seiring dengan semangat reformasi dalam perubahan menuju tatanan masyarakat yang
madani adalah menjadi tonggak sejarah dimana keberhasilan reformasi justru pada keberhasilan
mengembalikan kemurnian dan keutuhan serta kekuatan pancasilaisme disetiap warga negara Indonesia

3.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas ada beberapa saran yang dapat diberikan guna mewujudkan
upaya pembinaan masyarakat dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang meliputi
paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan semangat kebangsaan, antara lain:

a. Untuk meningkatkan Wawasan Kebangsaan bagi segenap komponen bangsa diperlukan perhatian
dan penanganan pihak-pihak terkait secara integratif. Untuk itu, perlu diwujudkan adanya suatu wadah
atau lembaga yang akan menangani masalah Wawasan Kebangsaan serta perlunya buku pedoman
nasional yang dapat digunakan baik melalui pendidikan formal maupun nonformal.

b. Peran para elit pemerintah, elit politik dan tokoh masyarakat LSM serta media massa sangat
diperlukan untuk meningkatkan Wawasan Kebangsaan. Untuk itu para tokoh tersebut harus mempunyai
komitmen untuk selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas

c. kepentingan pribadi dan golongan dengan mengeyampingkan pemikiran sempit yang


menguntungkan hanya sekelompok orang. 20

d. Perlunya pengamalan Pancasila secara nyata dalam kehidupan sehari-hari melalui penataran atau
sertifikasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), di seluruh lembaga pendidikan, baik
formal maupun nonformal, agar lebih tertanam rasa cinta tanah air, bangsa dan negara bahkan selalu
siap dalam usaha bela negara.

e. Perlunya penyegaran di seluruh elemen masyarakat tentang pembinaan dalam menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang meliputi paham kebangsaan, rasa kebangsaan dan semangat
kebangsaan, di setiap Kabupaten atau Kota dengan melibatkan instansi terkait secara bertahap dan
berlanjut.

DAFTAR PUSTAKA Samad Riyanto,Bibit. Orasi Ilmiah. Optimalisasi Upaya Pencegahan Korupsi Dalam
Praktek Administrasi Negara. (Naskah dalam wisuda Program Magister ke-7 dan Program Sarjana S1 ke-
46 STIA LAN RI). Jakarta.2009. Buku Kewarganegaraan. Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara.
Penerbit Yudhistira. Jakarta. 2005. Joko Siswanto. 2006. ABC PANCASILA. Yogyakarta: Badan Penerbitan
Filsafat UGM P. J. Suwarno, 2008, Pancasila budaya bangsa Indonesia, penerbit Kanisius

www.gatot_sby.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/17763/BAB++VII.pdf Hisyam, Muhammad, 2003,


Krisis masa kini dan orde Baru, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 22

Anda mungkin juga menyukai