Modul Pelatihan PKD Tingkat Eksekutif
Modul Pelatihan PKD Tingkat Eksekutif
CAR A
MA
MODUL
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
TINGKAT EKSEKUTIF
i
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Pengarah
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah
Editor
Hefrizal Handra
Muhammad Shauqie Azar
Reviewer
Mariana Dyah Savitri
Moza Pandawa Sakti
Radies Kusprihanto Purbo
Suratman
Eko Arisyanto
Thia Jasmina
Jakarta, 2015
Untuk menjawab perkembangan dan dinamika dalam pengelolaan keuangan daerah, penyelenggaraan
KKD-KKDK terus disempurnakan. Salah satu bentuk penyempurnaan KKD-KKDK adalah kerjasama
dengan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD).
Penyempurnaan format penyelenggaraan ini dimaksudkan agar Pelatihan Pengelolaan Keuangan
Daerah dapat menjangkau lebih banyak aparatur pengelola keuangan daerah dari tingkat teknis
sampai dengan pengambil kebijakan strategis. Dengan Pelatihan ini, diharapkan agar aparatur
pengelola keuangan daerah dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan dan mekanisme
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sesuai kewenangan
dan kapasitas pada masing-masing tingkat jabatan.
Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap kegiatan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, DJPK
telah menyediakan buku pegangan (handbook) pelatihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
tingkat jabatan, yang terdiri atas tingkat basic, intermediate, advanced, dan executive. Buku pegangan
tingkat executive secara khusus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan top management dan
para pengambil kebijakan strategis, yaitu kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota
DPRD, serta pejabat eselon I dan pejabat eselon II.Diharapkan dengan memahami konsep pengelolaan
keuangan daerah secara menyeluruh, lebih banyak sumbangsih positif dan kontribusi yang dapat
diberikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para
penyusun/editor buku pegangan serta the Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit
(GIZ) yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan Buku Pegangan tingkat executive ini.
Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pengelolaan keuangan daerah ke depan.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR
Tabel 1.1 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 12
Tabel 1.2 Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB
Tahun 2001-2014 13
Tabel 2.1 Hirarki Sasaran Jenis Indikator Kinerja Dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah 40
Tabel 2.2 Contoh Indikator Kinerja Makro 41
Tabel 2.3 Contoh Indikator Kinerja Mikro 42
Tabel 2.4 Siklus Anggaran Daerah 59
Tabel 2.5 Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Tahun 2013-2015 65
Tabel 3.1 Struktur Pendapatan Daerah 74
Tabel 3.2 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 75
Tabel 3.3 Pengelompokan Jenis Pajak Daerah 77
Tabel 3.4 Retribusi Daerah dan Penggolongannya 78
Tabel 3.5 Kekuatan dan Kelemahan Penetapan Kedua Metode
Penetapan Target 81
Tabel 3.6 Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan
Jenis DBH dan Peraturan Terkait 84
Tabel 3.7 Daftar Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU 89
Tabel 3.8 Contoh Bobot Variabel 89
Tabel 3.9 Alur Pengalokasian Dana Desa 96
Tabel 3.10 Pendapatan Pajak Provinsi yang Dibagihasilkan Kepada
Kabupaten/Kota 97
Tabel 4.1 Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM 124
Tabel 6.1 Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 173
Tabel 7.1 Persamaan Dasar Akuntansi 201
Tabel 7.2 Contoh Neraca 201
Tabel 7.3 Aturan Debit Kredit 202
Tabel 7.4 Saldo Normal Akun-akun Neraca 202
Tabel 7.5 Format LPSAL 204
Tabel 7.6 Format LPE 205
DAFTAR ISI ix
PENDAHULUAN
Modul dimulai dengan pendahuluan yang berisi abstraksi, latar belakang, tujuan instruksional umum,
serta metode pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihan, yang dimaksudkan sebagai pengantar
menuju pembelajaran materi modul selengkapnya. Pengertian-pengertian dasar berkaitan dengan
pengelolaan keuangan daerah dibahas di setiap topik sebagai bekal untuk memahami dengan lebih
baik materi pelatihan pada bab-bab selanjutnya.
2. Latar Belakang
Desentralisasi, termasuk desentralisasi skal di Indonesia dimulai tahun 2001 mengikuti gerakan
reformasi pada pertengahan tahun 1998 dengan diberlakukannya UU 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah. Dalam 14 tahun perjalanan desentralisasi, telah terjadi dua kali perubahan
perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan UU 32 Tahun 2004 dan terakhir
dengan UU 23 Tahun 2014. Sementara itu, terkait hubungan keuangan pusat dan daerah, baru terjadi
satu kali perubahan dengan UU 33 Tahun 2004.
Sejak Tahun 2001 pemberian kewenangan yang luas kepada daerah tetap tidak berubah hingga saat
ini. Daerah memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaan sumber pendanaan yang ditransfer
oleh Pusat, apalagi sumber pendanaan sendiri. Kewenangan yang luas tersebut menuntut pelayanan
publik yang lebih berkualitas dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Tuntutan terhadap peningkatan kemampuan pendanaan daerah khususnya melalui peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin mengemuka. Masyarakat juga menuntut terwujudnya good
governance yang bertumpu pada kualitas, integritas, dan kompetensi aparatur pemerintah daerah.
Namun tuntutan masyarakat tersebut belum seiring dengan kesiapan pemerintah daerah termasuk
aparatur daerah untuk melaksanakannya secara optimal. Aparatur pemerintah daerah yang selama
masa sentralisasi lebih berperan sebagai pembelanja sehingga relatif pasif dan lebih berfungsi sebagai
spesialis, setelah diberlakukannya desentralisasi dituntut untuk berperan sebagai aktor penting
yang harus aktif dan lebih berfungsi sebagai generalis. Peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan
penguasaan konsep serta aspek teknis maupun yuridis berkaitan dengan pengelolaan keuangan
PENDAHULUAN 1
daerah, menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) sekaligus syarat yang mencukupi
(sufcient condition) agar aparatur pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi baru tersebut
dengan sebaik-baiknya.
Salah satu aspek yang amat penting – jika tidak boleh dikatakan dominan – adalah pengetahuan,
pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis pengelolaan keuangan daerah. Untuk itu
pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk para pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif
menjadi sangat penting. Pelatihan termaksud merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas aparatur pemerintah agar mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang
keuangan daerah secara optimal.
4. Metode Pembelajaran
Setidaknya ada 5 metode pembelajaran utama yang dapat digunakan dalam penyampaian materi
pendapatan daerah dalam latihan ini, yakni:
1. Ceramah, yaitu penyampaian materi latihan secara oral oleh Pelatih atau instruktur, digunakan
terutama untuk konsep, teori, atau pengertian yang umumnya diberikan secara satu arah. Alat
bantu yang sering digunakan dalam ceramah adalah slide atau power point yang berisi pokok-
pokok materi ajar.
2. Metode atau pendekatan partisipatif (participatory method atau participative approach), yaitu
mengajak peserta pelatihan untuk terlibat aktif memberikan kontribusi dalam kegiatan pelatihan
baik secara individu maupun berkelompok. Digunakan terutama untuk curah pendapat, investigasi
pengetahuan dasar, berbagi pengalaman praktis (best practice sharing), koleksi isu-isu terkini, dan
tanya-jawab.
3. Diskusi, yaitu pembahasan atau pencarian solusi bersama secara terpandu terhadap suatu bagian
materi, isu, atau kasus, dengan penekanan kepada pendapat dan argumentasi.
4. Presentasi, yaitu penyampaian secara visual dan oral hasil diskusi, penugasan, atau kerja
kelompok. Dalam kegiatan presentasi, diberikan kepada kelas kesempatan untuk menyampaikan
tambahan informasi, saran, kritik, mapun sanggahan, sebagai pelengkap, pengkaya, dan peningkat
penguasaan materi.
5. Latihan atau praktek, yaitu kegiatan untuk meningkatkan penguasaan aspek teknis materi
pelatihan dengan menggunakan instrumen yang sesuai. Termasuk dalam teknik pembelajaran ini
adalah observasi dan koleksi data pada obyek tertentu yang relevan dengan materi pelatihan.
Bentuk negara akan menentukan bagaimana kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam
negara tersebut diatur. Dua bentuk negara yang terpenting di dunia sekarang ini adalah negara federal
atau negara serikat (federal state), dan negara kesatuan (unitary state).
Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab
itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang
berwenang mengatur peri kehidupan secara internal. Masing-masing negara bagian biasanya memiliki
sistem hukum sendiri. Negara bagian berhak membuat undang-undang negara yang berlaku di negara
bagian tersebut, termasuk undnag-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah
federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara
bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara
federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA.
BAB I 5
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah
bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah
provinsi dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan
pemekaran provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China,
Indonesia, Inggris, Jepang, Thailand.
Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah
yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem
pemerintahan daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland
ataupun Wales. Di Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah
Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan
daerah lainnya.
Ada 4 jenis bentuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yakni:
1. Devolusi;
2. Desentralisasi;
3. Dekonsentrasi (Desentralisasi Administrasi);
4. Tugas Pembantuan.
Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU 23/2014) tentang Pemerintahan Daerah:
1. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas Otonomi.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
urusan pemerintahan umum.
3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau
dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam
membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada
badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini
dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity).
Indonesia adalah negara kesatuan, yang dibentuk setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan
berlandaskan kepada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai bentuk negara
Indonesia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur
secara rinci mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa aturan yang lebih khusus mengenai pemerintah daerah dan kekuasaannya akan
ditetapkan dengan undang-undang.
Sejak masa kemerdekaan, ada tujuh undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang
aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan yang berbeda
untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri RI, pada akhir tahun
2014 di Indonesia terdapat 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Setiap tingkatan pemerintahan
daerah, diberi tanggung jawab tertentu menurut UU yang berlaku.
BAB I 7
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah DOB Sebelum dan Sesudah Desentralisasi
Perbandingan Jumlah Daerah Otonom
Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan
Sesudah Desentralisasi 1999
Luas Wilayah
34 SES 1.913.578,68 km2
UD
Prov AH
DE Jumlah Penduduk
415 SENT
8 Kab. RA 251.857.940 Jiwa
LIS
(30,7%) 93 AS
I 19
Kota 99
26 181
Prov (77,3%) 6.994
34 Kec.
234 (57,6%) 8.309
Kab. 1.514 Kel.
(27,6%)
NKRI 59 72.944
Kota Desa
SEB 2.374
EL 5.480 (40%)
UM Kec.
DE
SE 13.110
NT 5.935
RA (21,9%)
LIS Kel.
AS
I 19 59.834
Data Kecamatan, Kelurahan dan
99
Desa
Desa Berdasarkan Permendagri
18 Tahun 2013
Urusan Pemerintahan
Urusan
Urusan Absolut Urusan Konkuren
Umum
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan
ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi
kewenangan daerah terdiri atas:
1. Urusan Pemerintahan Wajib, terbagi dua:
a. Urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar;
b. Urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
2. Urusan Pemerintahan Pilihan.
Pemerintah Layananan
Pusat Dasar
Urusan Urusan
Konkuren Wajib
Pemerintah Non Layananan
Daerah Dasar
Urusan
Pilihan
BAB I 9
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
1. tenaga kerja;
2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3. pangan;
4. pertanahan;
5. lingkungan hidup;
6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7. pemberdayaan masyarakat dan desa;
8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9. perhubungan;
10. komunikasi dan informatika;
11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12. penanaman modal;
13. kepemudaan dan olah raga;
14. statistik;
15. persandian;
16. kebudayaan;
17. perpustakaan;
18. kearsipan.
Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden
sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja
masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, gubernur dan bupati/
wali kota dibantu oleh instansi vertikal, Gubernur bertanggung jawab kepada presiden melalui
menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Gubernur, Bupati dan walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum
dibiayai dari APBN. Bupati/walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum pada tingkat
kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.
Terkait dengan pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya fungsi
berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/
kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya enam layanan dasar. Namun
undang-undang ini memberikan kewenangan tambahan untuk provinsi. Fungsi utama pemerintah
provinsi adalah dalam hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas
daerah/regional. Provinsi juga menjalankan fungsi layanan yang tidak dapat dijalankan oleh
pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi
perencanaan makro regional, pengembangan dan penelitian sumber daya manusia, pengelolaan
pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup, perdagangan dan promosi pariwisata,
pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang.
Hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain:
1. Pembagian kewenangan pendapatan (perpajakan);
2. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan vertikal (kesenjangan skal antara pusat
dan daerah;
3. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan skal antar
daerah).
Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan
tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat
ini terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009.
Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan
pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian pendapatan pemerintah pusat
(pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan skal pemerintah daerah yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan
asli daerah. Dengan kata lain, transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan skal antara
pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah
dengan kapasitas skal juga disebabkan oleh ketimpangan skal horizontal (ketimpangan skal antar
daerah) yang disebabkan oleh berbedanya potensi skal dan kebutuhan antar daerah.
Disisi belanja, diberikannya kewenangan skal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada
prinsip agar alokasi sumber daya lebih esien dan efektif. Pemerintah daerah yang lebih dekat ke
masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah
pusat yang jauh. Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pemda akan lebih responsif
dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan
perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan
publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/
retribusi tersebut. Skema hubungan keuangan antar level pemerintahan di Indonesia terkait
pendapatan dapat dilihat pada Gambar 1.4.
BAB I 11
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Gambar 1.4 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan di Indonesia
2 1
3 4 5
Pendapatan
Pemerintah Provinsi
6 7
Pendapatan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer
yaitu sekitar 82% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 49% dari pendapatan pemerintah provinsi
selama periode -2014 (lihat Tabel 1.1). Namun jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 2010
komposisi dana transfer dari pusat menunjukkan penurunan, dengan kata lain kontribusi PAD
semakin membaik.
Tabel 1.1 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014
Kabupaten/
Pos Pendapatan Provinsi Total
Kota
2010 2014 2010 2014 2010 2014
Pendapatan Asli Daerah 43,8% 48.4% 7,3% 11.2% 16,0% 22.9%
Dana Transfer dari Pusat 55,0% 49.0% 86,8% 81.5% 79,3% 71.9%
Dana Bagi Hasil (DBH) 22,9% 17.3% 16,4% 11.8% 18,0% 14.1%
Dana Alokasi Umum (DAU) 22,7% 13.9% 59,8% 55.6% 51,0% 42.0%
Dana Alokasi Khusus (DAK) 1,6% 0.8% 8,0% 5.6% 6,5% 4.3%
Dana Transfer Lainnya 7,8% 17.1% 2,5% 8.4% 3,8% 11.5%
Pendapatan Lainnya 1,2% 2.6% 5,9% 7.3% 4,7% 5.2%
Total Pendapatan 100,0% 100,0% 100,0%
Sumber: Data diolah
Secara keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan
negara selama periode 2001-2014 (lihat Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001-2014
Tahun PDB Pendapatan Transfer ke Ratio Transfer Ratio Transfer
Anggaran Negara (PN) Daerah Thd PN Thd PDB
Triliun Rupiah
2001 1.646,3 300,6 81,1 27% 4,9%
2002 1.821,8 298,5 98,2 33% 5,4%
2003 2.013,7 340,9 120,3 35% 6,0%
2004 2.295,8 403,1 129,7 32% 5,7%
2005 2.774,3 493,9 150,5 30% 5,4%
2006 3.339,2 636,2 226,2 36% 6,8%
2007 3.959,9 706,1 253,3 36% 6,4%
2008 4.951,6 979,3 292,4 30% 5,9%
2009 5.613,4 847,1 308,6 36% 5,5%
2010 6.446,9 992,2 344,8 35% 5,3%
2011 7.422,8 1.205,3 411,3 34% 5,5%
2012 8.241,9 1.332,3 480,6 35% 5,8%
2013 9.272,1 1.432,1 513,3 36% 5,5%
2014 10.384,0 1.633,1 596,5 37% 5.7%
Sumber: Data diolah
Catatan: Data realisasi untuk tahun anggaran 2001 – 2013, untuk tahun anggaran 2014 merupakan data anggaran perubahan.
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer
ke pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari
pinjaman atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah
hanyalah menjadi penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian
dari transfer karena dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik.
Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi
Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke
dalam kategori pendapatan pemerintah daerah melainkan pengeluaran Pemerintah yang dilaksanakan
oleh atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa
bentuk hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/kota
yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam undang-undang pajak
dan retribusi daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa
provinsi juga menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota.
BAB I 13
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua undang-undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah di Indonesia. Pertama, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, yang diterapkan
tahun anggaran 2001-2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang.
Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 34% dari penerimaan negara atau sekitar
5,8% dari PDB selama periode 2002-2014. Seperti terlihat pada Tabel 1.2, jumlah transfer bervariasi
dari 4,9-6,8 dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada TA 2006, yakni sebesar
6,8%.
Hubungan keuangan antara Pusat, Kabupaten dan Desa selama ini diatur oleh berbagai regulasi.
Namun dengan diundangkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, hubungan keuangan itu diatur
secara lebih baik. Pasal 72 UU No 6 Tahun 2014 dengan jelas menyebutkan pendapatan desa sbb:
Hubungan keuangan antara Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dengan Desa terlihat dari adanya
(i) alokasi APBN untuk Desa, yang selanjutnya disebut Dana Desa, (ii) bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota ke Desa, (iii) alokasi dana Desa dari bagian Dana Perimbangan, (iv)
Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
Alokasi anggaran yang bersumber dari APBN yang disebut Dana Desa dilakukan oleh Pemerintah
Pusat dengan mengefektiﮖan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Artinya
belanja Kementrian/lembaga Pemerintah Pusat yang selama ini ditujukan untuk pembangungan
Desa dalam berbagai program, direlokasikan menjadi Dana Desa yang merupakan transfer dari APBN
ke Desa melalui Kabupaten/Kota
Sebagai bagian dari Kabupaten/Kota yang otonom, Desa juga mendapat bagian dari hasil pajak daerah
dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, yaitu paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah pajak
dan retribusi daerah yang terpungut setiap tahunnya. Kemudian Pemerintah Kabupaten/Kota juga
harus membagikan ke Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang
diterimanya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan
penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi
Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke
Kabupaten/Kota dan terus ke Desa.
Khusus untuk Dana Desa Pemerintah Pusat mengatur formulanya dalam Peraturan Pemerintah No
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan revisinya. Terdapat dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di APBN sampai ke Desa
melalui Pemerintah Kabupaten. Tahap pertama, Kementrian Keuangan menghitung besaran Dana
Desa untuk masing-masing Kabupaten/Kota. Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung
besaran Dana Desa untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Bagaimana formulasi untuk
tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar berikut.
BAB I 15
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Gambar 1.7 Pengalokasian Dana Desa
Keterangan:
• Jumlah Penduduk adalah Jumlah penduduk Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS)
• Jumlah Penduduk Miskin adalah Jumlah Penduduk Miskin Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS)
• Luas Wilayah adalah Luas Wilayah Desa pada kabupaten/kota (sumber Kemendagri dan BPS)
• IKK adalah IKK Kabupaten/Kota (sumber BPS)
Secara keseluruhan, perbedaan postur dana transfer ke daerah sebelum dan setelah diterapkan alokasi
dana desa di tahun 2015 disajikan pada Gamber 1.8.
Gambar 1.8 Perbedaan Postur Dana Transfer ke Daerah TA 2014 dan TA 2015
Postur Transfer ke Daerah TA 2014 Postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2015
Dengan Undang-undang Desa, pemberdayaan pemerintahan desa akan mendapat suplemen baru
dalam membangun pemerataan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi perdesaan. Namun, di balik
pengesahan Undang-undang Desa ini, kekhawatiran juga menyeruak. Lemahnya kinerja aparatur
pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangan bisa menjadi ancaman serius. Potensi tindak pindana
korupsi layaknya penyalahgunaan dana bisa saja terjadi di Bali. Undang-undang Desa juga akan
memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan, ketika kebijakan yang diambil pemerintahan desa
dituding tidak merata. Kepala desa bisa menjadi sasaran demo jika transparansi dalam penggunaan
anggaran tak melibatkan publik. (Balipost)
Anggota DPR sendiri dalam rapat paripurna pengesahan undang-undang itu sudah mengingatkan,
Kementerian Dalam Negeri perlu memberi pembinaan dan penyuluhan kepada kepala desa dalam
mengelola alokasi dana APBN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga meminta perhatian para kepala
desa untuk mampu mengelola dan menggunakan anggaran desa dengan sebaik-baiknya. Mengingat
pengalaman sebelumnya dalam kasus dana bantuan operasional sekolah (BOS), para lurah dan kepala
desa memang patut waspada dengan “berkah” dana APBN itu. Mereka layak bergembira, tetapi harus
menyadari konsekuensi yang selalu menyertai kucuran dana. Pengalaman para kepala sekolah yang
berurusan dengan penegak hukum terkait pengelolaan dana BOS, patut menjadi pelajaran. Euforia dana
pendidikan 20 persen akhirnya membawa masalah hukum. (Suara Merdeka)
Undang-undang Desa menempatkan para kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), sama
seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi. Kepala desa dengan tingkat
pendidikan hanya tamat SMA apalagi SMP, diprediksi tidak akan mampu memainkan peran dan tanggung
jawab sebagai KPA dengan baik. Kalau itu terjadi, Undang-undang Desa yang memberikan otonomi desa,
bukannya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat, tapi bisa menjadi sumber konik di tengah
masyarakat desa. “Pemberlakuan Undang-undang Desa, hanya akan menimbulkan masalah di tengah
masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat desa,” kata anggota
DPRD Sulawesi Tenggara, Nursalam Lada. Bupati Wakatobi, Hugua dalam keterangan terpisah menilai
Undang-undang Desa sarat kepentingan politik anggota DPR RI yang mengesahkan undang-undang
tersebut. “Anggota DPR RI mengesahkan Undang-undang Desa hanya untuk kepentingan politik mereka
yang masih menjadi calon anggota legislatif agar bisa terpilih kembali jadi anggota DPR,” katanya di
Kendari seperti dikutip Antara. Tambahan lagi, penerapan Undang-undang Desa menurut Hugua adalah
pemberian keleluasaan setiap desa untuk membuat peraturan desa dan memungut retribusi untuk
pendapatan desa. Peraturan desa yang akan dibuat masing-masing desa, sangat berpotensi berbenturan
dengan peraturan daerah yang dibuat pemerintah kabupaten, bahkan bersinggungan dengan peraturan
desa-desa bertetangga. Kalau itu terjadi ujarnya, maka konik sosial di tengah masyarakat desa akan sulit
dihindari. (Harian Pelita)
BAB I 17
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif Prawiradiningrat,
mengingatkan agar para kepala desa ektra hati-hati mengelola dana perimbangan. Kucuran dana
perimbangan itu rawan dikorupsi perangkat desa. “Jangan sampai setelah menerima duit miliaran rupiah
lalu beberapa bulan kemudian berurusan dengan penegak hukum,” ujar Kornel. Kornel mencontohkan
salah urus daerah selama era otonomi daerah telah menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan
hukum. BPK berharap lurah dan kepala desa bisa membuat sistem pembukuan yang baik, akuntabel dan
transparan untuk meminimalkan penyimpangan. (Tempo)
Masalah lainnya yang bisa timbul adalah dana untuk desa sekitar Rp 1 miliar seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dinilai bisa menjadi alat jualan politik. “Undang-undang
itu bisa saja dijadikan jualan politik yang dimanfaatkan sejumlah oknum calon legislatif dan calon
presiden untuk mencari simpati masyarakat pada Pemilu,” kata Pengamat Pemerintahan Universitas
Hasanuddin, Adi Suryadi Culla di Makassar, Rabu (12/3/2014), seperti dikutip dari Antara. Menurutnya,
diperlukan sosialisasi kepada masyarakat serta sistem pengawasan yang ketat saat Undang-undang Desa
tersebut diberlakukan sehingga tidak terjadi penyimpangan. “Pengawasan itu sangat penting, jangan
sampai dalam implementasinya tidak sesuai dengan peruntukkan. Selama ini terjadi penyelewengan
penggunaan anggaran disebabkan lemahnya regulasi dalam hal pengawasan,” ujarnya. “Perlunya
perencanaan yang penting dari pihak desa yang dilakukan pada saat Musyawarah Rembug Pembangunan
atau Musrembang desa,” ucapnya. Adi menambahkan, dana desa itu tentu sangat rawan dipolitisasi
dalam pemilu 2014. (Kompas)
Bisnis.com, JAKARTA-- Pemerintah akan meningkatkan dana transfer daerah sebesar 15%-20% pada 2016
atau lebih dari Rp 100 triliun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menuturkan saat ini
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016 memasuki tahap awal. Dalam RKP 2016, pagu indikatif
belanja Kementerian/Lembaga ditetapkan sebesar Rp 807,7 triliun. “Masih indikatif. Pokoknya sesuai
prioritas saja, untuk infrastruktur, pertanian, perhubungan konektivitas, industri, dan pariwisata. Industri
tidak terlalu besar sih,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (17/4).
Pagu indikatif tersebut hanya naik 1,5% atau Rp12,3 triliun dibandingkan belanja K/L dalam APBN-P
2015 Rp795,4 triliun. Menurut Andrinof, peningkatan tersebut mayoritas dialokasikan pada belanja
infrastruktur. “Belanja infrastruktur naik signikan, tapi tersebar di Kementerian PU-Pera, Perhubungan,
dan hampir semua K/L. Belum dijumlahkan semua,” tuturnya.
Selain pagu belanja K/L, pemerintah juga akan meningkatkan dana transfer daerah pada 2016 sebesar 15%-
20% atau sekitar Rp 132,9 triliun. Dalam APBN-P 2015, dana transfer daerah dan dana desa mencapai Rp
664,6 triliun. “Bisa naik sekitar 15%-20%. Nanti mau dicek kemampuan menyerap kementerian/lembaga
dan Pemda,” pungkas Andrinof.
Dalama pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Januari lalu, Bupati se-Indonesia
mengeluhkan kurangnya dana transfer pusat ke daerah. “Memang ruang skal yang kita punya sekarang ini
sudah sehat. Nantinya akan kita coba di tahun depan untuk bisa masuk ke daerah,” kata Jokowi.
Tahun ini, anggaran transfer daerah mencapai sekitar 45% dari total belanja negara, terdiri dari Dana
Perimbangan Rp 521,28 triliun, Dana Otsus Rp 17,11 triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp 547,5 miliar, dana
transfer lainnya Rp 104,41 triliun, dan Dana Desa Rp 20,76 triliun.
Sumber: http://nansial.bisnis.com/read/20150417/9/423990/bappenas-tahun-depan-transfer-daerah-naik-20
Dalam ketentuan pemerintaah dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, Perda yang dibuat oleh
Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Selain itu, Perda yang
ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta dengan
kepentingan umum.
BAB I 19
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Selain itu Perda secara ekplisit harus menjabarkan dengan jelas dan rinci mengenai:
siapa pelaksana aturan?
kewenangan apa yang diberikan padanya?
perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan
sanksi atas ketidak patuhan;
persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana?
apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang?
Selain itu perlu pula dirumuskan:
siapa yang berperilaku bermasalah?
jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut?,
jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan?
Beberapa peraturan kepala daerah yang harus dibuat antara lain:
peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah;
peraturan kepala daerah tentang pengelolaan aset daerah;
peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi berbasis akrual;
peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur akuntansi berbasis akrual.
Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara
jelas mendeskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana
(law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat
yang harus mematuhinya (rule occupant). Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/
kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan hirarki kewenangan lembaga
pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya. Misalnya wewenang menandatangani
ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang
mengeluarkan ijin atas nama Bupati dsb.
Untuk merancang sebuah peraturan daerah, beberapa hal/kemampuan yang harus disiapkan sebagai
berikut:
analisa data tentang persoalan yang akan diatur (naskah akademik);
kemampuan teknis perundang-undangan;
pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan;
hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus yang menjadi dasar dan
acuan tentang perda.
BAB II 23
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
14. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggunggjawaban Kepala Daerah Kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Masyarakat;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
19. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
20. Surat Edaran Mendagri Nomor 050/20/SJ/2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP
Daerah dan RPJM Daerah;
21. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jo Nomor 59 Tahun 2007 jo Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
22. SEMDN Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD);
23. Permendagri Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan;
24. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 59 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
25. Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008
tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah;
26. Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah;
27. Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial
yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
28. SE Nomor 270/M.PPN/11/2012; No. SE-33/MK.02/2012; No. 050/4379A/Sj dan No. SE 46/MPP-
PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG;
29. Alimuddin, 2013. Kasus Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran SKPD. PPKED Fakultas
Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar. Tidak Diterbitkan untuk Umum;
30. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Jakarta;
31. Michael Todaro and Stephen Smith (2009). “Economic development”, Addison-Wesley, Tenth
Edition;
32. Syafrizal, 2009.Teknik Perencanaan Pembangunan Daerah, 2009;
33. Tangkilisan (2003), Evaluasi Kebijakan Publik. Balairung & Co, Yogyakarta;
34. Conyers, Diana, and Hills, Peter. 1990. An Introduction to Development Planning in;
35. The Third World. New York. Brisbane. Toronto. Singapure: John Wiley & Sons Chichester;
36. Bates, R., & Holton, E. F. III (1995). Computerized work performance monitoring: A review of
human resource issues. Human Resource Management Review;
37. Killick, Tony (1976) The possibilities of development planning, Oxford Economic Papers, vol 28;
38. Pulakos ,D.Elaine (2004) , Performance Management A roadmap for developing, implementing
and evaluating performance management systems, SHRM Foundation, Virginia, USA.
Menurut Conyers dan Hills (1984), perencanaan didenisikan sebagai proses yang kontinyu, terdiri
dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan
Merencanakan berarti memilih, dalam hal ini memilih berbagai alternatif tujuan agar tercapai kondisi
yang lebih baik termasuk memilih cara/kegiatan untuk mencapai tujuan/sasaran dari kegiatan
tersebut. Perencanaan merupakan alat untuk mengalokasikan sumber daya yaitu sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan modal. Sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya dilakukan
pengalokasian sumber daya sebaik mungkin. Konsekuensinya adalah pengumpulan dan analisis
data serta informasi mengenai ketersediaan sumber daya yang ada menjadi sangat penting. Selain
itu, perencanaan juga merupakan alat untuk mencapai tujuan/sasaran. Dalam hal ini, perencanaan
membutuhkan sumber daya, dokumen perencanaan, organisasi, anggaran dsb. Selanjutnya,
perencanaan berhubungan dengan masa yang akan datang. Implikasinya adalah perencanaan
menjadi sangat berkaitan dengan proyeksi/prediksi, penjadwalan kegiatan, monitoring dan evaluasi.
Planning dan planner memiliki pengertian berbeda, namun banyak kesalahpahaman yang terjadi di
masyarakat. Berikut beberapa contoh pemahaman yang kurang tepat terkait planning dan planner.
Anggapan yang kurang tepat jika planning diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan oleh kelompok
tertentu yang disebut sebagai “planner”, dengan perkataan lain diluar perencana, tidak ada yang
melakukan perencanaan. Jadi jika tidak ada perencana maka tidak ada perencanaan. Pemahaman yang
lebih tepat adalah perencanaan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik kumpulan perorangan maupun
organisasi. Dengan demikian di dunia ini penuh dengan perencana. Sementara itu, profesional
planner adalah perencana yang – baik karena pekerjaan maupun pendidikannya – mempunyai
tugas tertentu untuk ikut serta dalam proses perencanaan. Selain itu, anggapan yang kurang tepat
terhadap planning adalah suatu proses untuk menghasilkan rencana, dalam artian dokumen secara
sik yang berisi kumpulan temuan-temuan, usulan-usulan dan rekomendasi yang diperoleh dari
proses perencanaan. Menurut sebagian pihak, produk dari perencanaan harus berbentuk dokumen
rencana. Seharusnya pemahaman yang lebih tepat adalah pembuatan dokumen rencana bukanlah
tujuan dari perencanaan. Tujuan utama dari perencanaan adalah untuk mencapai tujuan tertentu
yang diidentikasikan sebelum pelaksanaan program/kegiatan dimulai. Dengan demikian rencana
adalah alat untuk mencapai tujuan yang akan dicapai. Produk dari perencanaan, bisa berupa dokumen
rencana, diagram organisasi, anggaran tahunan atau penentuan tugas yang tepat untuk orang-orang
sesuai dengan bidangnya.
BAB II 25
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
tentang data apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana kita mengelolanya, dan bagaimana kita
menggunakannya untuk mengambil suatu keputusan. Teori perencanaan juga mampu menjawab
nilai dan pertanyaan yang sering ditanyakan kepada perencana yaitu:
1. What: apa yang seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan? Perencanaan tentang apa,
sebutkan tujuan dari perencanaan tersebut, apa saja objek, sasaran, hasil akhir yang ingin dicapai
dan sebatas mana ruang lingkup yang akan direncanakan?;
2. Why: mengapa perencanaan perlu dilakukan oleh suatu lembaga? Apa yang terjadi jika tidak
ada perencanaan? Mengapa perencanaan yang selama ini kurang berhasil sehingga diperlukan
perencanaan lanjutan. Mengapa perlu dibuat berdasarkan periode waktu tertentu?;
3. Who: siapa saja pelaku yang terlibat dalam kegiatan perencanaan, apakah mereka yang terlibat
sudah sesuai dengan jenis perencanaan yang akan dilakukan?;
4. For whom: untuk siapa sebenarnya perencanaan ini dibuat, siapa saja mereka yang akan
mendapatkan manfaat dari perencanan ini?;
5. How: bagaimana kita mencapai tujuan tersebut? Bagaimana proses perencanaan dijalankan?
Apakah perencanaan sudah mempertimbangkan rasionalitas dan relevansi dengan tujuan
atau kebutuhan? Dan bagaimana perencanaan bisa menjawab permasalahan yang dimiliki
oleh organisasi? Bagaimana perilaku/ekspektasi yang rasional/pragmatis dalam melakukan
perencanaan? Bagaimana mengunakan data dan informasi sebagai bahan perencanaan?
Tujuan dari kebanyakan perencanaan adalah melayani kepentingan masyarakat sehingga memiliki
justikasi yang sah secara hukum untuk melakukan perencanaan (legal justication for planning).
Selain justikasi hukum, keadilan sosial sama dengan akses dan distribusi barang publik yang adil
sebagai dasar justikasi moral. Menurut Dale (2004), fokus dalam Teori Perencanaan terbagi dua yaitu
fokus pada substansi dan fokus pada proses. Ciri-ciri fokus pada substansi adalah object-centered,
substantive, technical. Misalnya perencanaan ekonomi, perencanaan spasial, perencanaan sektor
pertanian, perencanaan sosial dan sebagainya. Karakteristik fokus pada proses adalah prosedural,
decision-centered, process-oriented, and institution-centered.
Menurut Todaro (2009), perencanaan diperlukan karena adanya empat hal yaitu: kegagalan pasar,
mobilisasi dan alokasi sumber daya, dampak psikologis dan dampak terhadap sikap/pendirian, serta
bantuan luar negeri. Untuk mengatasi kegagalan pasar, maka diperlukan perencanaan yang berkaitan
dengan adanya eksternalitas, penyediaan barang publik murni, monopoli, dan lainnya. Liberalisasi
perdagangan terbukti melahirkan pasar yang tidak sehat dan mengacancam ketidakadilan. Munculnya
pasar monopoli dan oligolopi menyebabkan tidak meratanya penguasaaan sumber daya yang dapat
menyebabkan pengaturan harga. Jika terjadi pada barang kebutuhan pokok maka dampaknya akan
langsung diterima oleh sebagaian besar penduduk.
Perencanaan juga diperlukan untuk mengantisipasi perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan
oleh perubahan ekonomi makro dan juga perubahan kondisi sosial di masyarakat. Perubahan
ekonomi sendiri juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat. Misalnya kekhawatiran masyarakat
pada kondisi ekonomi jangka panjang, atau perbedaan pola konsumsi individu jangka pendek dan
jangka panjang dipengaruhi dan mempengaruhi variabel-variabel ekonomi. Pola perubahan inilah
yang menjadi dasar pertimbangan keputusan ekonomi pada jangka waktu tertentu. Sehingga dengan
adanya perencanaan ekonomi yang baik, pemerintah bisa mengantisipasi perubahan kondisi tersebut
dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perekonomian.
Menurut Todaro (2009), faktor yang mempengaruhi suatu perencanaan adalah gap antara teori
dengan kenyataan misalnya dalam hal market failure atau ketika terjadi government failure. Hal
ini berkaitan dengan kapasitas administrasi, political will dan implementasi rencana. Penyebab
kegagalan perencanaan dapat dilihat dari beberapa perspektif. Menurut Killick (1976) ada beberapa
penyebab perencanaan gagal yaitu deciencies in the plans, inadequate resources atau ketidakcukupan
dan reliabilitas data, adanya gangguan ekonomi yang tidak terantisipasi (unanticipated economic
disturbances) baik eksternal maupun internal, kelemahan kelembagaan, ataupun lack of political will.
Selain itu Grifn menyatakan bahwa gagalnya perencanaan disebabkan dua hal. Pertama adanya
konik antar tujuan (goal conicts) menyebabkan timbulnya trade-off antara kebijakan. Misalnya
inasi dengan pengangguran (stagasi), atau pemerataan dengan pertumbuhan. Kedua, masalah
pengukuran dimana waktu antara kejadian dan ketersediaan data yang tidak sesuai dapat
menyebabkan validitas peramalan serta model makro serta asumsi yang dipilih kurang tepat. Ketiga,
masalah desain dimana kebijakan yang diambil; respon masyarakat; dan teori yang digunakan dapat
menentukan apakah perencanaan tersebut gagal atau tidak. Sedangkan keempat, ditentukan time
lag; pertimbangan politik versus ekonomi; dan adanya moral hazard. Dalam praktek perencanaan
di daerah prioritas pembangunan dibangun dari visi kepala daerah, namun sangatlah penting juga
untuk mempertimbangkan tuntutan masyarakat yang dinamis dan perubahan ekonomi lokal,
nasional maupun global.
Dalam kondisi konik antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pemerataan
daerah para perencana daerah harus memahami betul dinamika masyarakat dan kondisi ekonomi
makro sehingga konik pendapat bisa dijembatani melalui data yang lengkap dan akurat. Kebutuhan
data sangat penting dalam perencanaan karena data yang susah diakses, tidak lengkap dan tidak
valid akan menyebabkan perencanaan salah dan tidak tepat sasaran. Akses data yang mudah dan
terbuka juga akan membantu perencana untuk mendapatkan informasi penting baik data mentah,
hasil olahan maupun hasil penelitian. Selain itu analisis yang salah terhadap realitas sosial dan situasi
ekonomi juga dapat meyebabkan kegagalan perencanaan.
BAB II 27
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Kotak 2.1 Buruknya Perencanaan dari Berita Media Indonesia
Metrotvnews.com, Jakarta: Direktur The Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF) Eny Sri Hartati menyebut buruknya perencanaan adalah kunci melempemnya
penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Perencanaan tidak terorganisir
dan terintegrasi dengan baik antara pusat dan daerah. Ini memberi ruang perdebatan di DPR,”
ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Senin (28/1).
Kondisi tersebut, lanjut Eny, membuat pembahasan anggaran tidak hanya berlangsung lama di
DPR tetapi juga banyak perubahan dengan kapasitas DPR yang bisa memberikan aspirasi. Hal
ini akan berdampak terhadap eksekusi anggaran Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKAKL) yang menjadi tidak fokus. “Antara program RKAKL dengan target jadi
enggak jelas sehingga menyebabkan multi intepretasi yang mmebuka peluang maju-mundurnya
program,” katanya.
Belum lagi, pembahasan di DPR tidak tuntas sampai ke rincian program karena umumnya hanya
membahas pagu besarannya. “Persetujuan dengan DPR itu enggak semuanya langsung ketok
palu. Idealnya DPR kalau menyetujui di Oktober itu harusnya sudah selesai semua tapi itu kan
hanya pagu besarannya sedangkan rinciannya masih dibahas sampai Maret,” katanya.
Di sisi lain, ia menilai, keberadaan fungsi komisi dan badan anggaran malah menambah
lama proses keputusan anggaran. Seharusnya hanya melalui satu pintu yakni komisi karena
setiap pembahasan lebih intensif di situ. Eny menganggap, tugas Banggar sebagai penyelaras
program lintas kementerian/lembaga ataupun lintas daerah seharusnya dimainkan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Menyelaraskan atau mengkoordinasikan
program lintas sektor dan daerah itu seharunya bukan tugas Banggar tapi Bappenas. Kalau tidak
begitu, lalu tugas Bappenas apa,” katanya.
Selain itu, keberadaan APBN perubahan juga membuat penyerapan anggaran bertambah buruk
sebab banyak kementerian/lembaga yang memilih untuk menunggu hingga ada keputusan nal
di APBN-P. “Contoh di 2012, APBN-P baru diputuskan Oktober. Kan enggak bisa memaksimalkan
anggaran hanya dalam waktu 2 bulan,” katanya. (Anshar Dwi Wibowo/OL-9).
Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/28/2/126674/Perencanaan-Buruk-Kunci-Lemahnya-
Penyerapan-Anggaran
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat
dan daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ini ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tujuan dari UU SPPN adalah sebagai berikut:
Dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah, ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,
yaitu sebagai berikut:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun;
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah
dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun;
3. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun;
4. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan Renstra-
SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun;
5. Rencana Kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
BAB II 29
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
a. Sistematika RPJPD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan;
Gambaran umum kondisi daerah;
Analisis isu-isu strategis;
Visi dan misi daerah;
Arah kebijakan;
Kaidah pelaksanaan.
d. Sistematika Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah paling tidak mencakup:
Pendahuluan;
Gambaran pelayanan SKPD;
Isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;
Visi, misi, strategi dan tujuan sasaran, strategi dan kebijakan;
Rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif;
Indikator kinerja Utama SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran SKPD.
e. Sistematika Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan;
Evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu;
Tujuan, sasaran, program dan kegiatan;
Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD;
Dana indikatif beserta sumber daya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif;
Sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan;
Penutup.
Berbagai dokumen perencanaan tersebut harus saling terkait, dimana dokumen yang lebih teknis
(jangka pendek) mengikuti atau memperhatikan dokumen yang lebih strategis (jangka panjang).
Selain itu, dokumen perencanaan daerah juga harus memperhatikan dokumen perencanaan nasional.
Hubungan antara RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD di daerah dengan RPJPN,
RPJMN, RKP, Renstra KL dan Renja KL di tingkat pusat, dapat digambarkan sebagai berikut:
KUA PPAS
Dibahas
NOTA KESEPAKATAN Bersama
DPRD DAN KEPALA DAERAH DPRD
RKA-SKPD
PEDOMAN
PENYUSUSNAN KUA = Kebijakan Umum APBD
RKA-SKPD PPAS = Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara
TAPD = Tim Anggaran Pemerintah Daerah
TAPD RKA-SKPD = Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah
RAPERDA
APBD 1 Tahun
Sumber: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 dan Permendagri 54 Tahun 2010
(diolah)
Dalam tahap penyusunan rencana (formulasi), proses penyusunannya pada dasarnya melalui
beberapa proses sebagai berikut:
1. Proses Politik: Pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah menghasilkan rencana
pembangunan hasil proses politik, khususnya penjabaran visi dan misi dalam RPJM.
2. Proses Teknokratik: Perencanaan yang dilakukan oleh perencana profesional atau lembaga/unit
organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan.
3. Proses Partisipatif: perencanaan yang melibatkan masyarakat (Stakeholders), antara lain melalui
pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).
4. Proses Bottom up dan Top Down: Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari
bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan.
BAB II 31
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Bahan bahan dari hasil proses perencanaan dikumpulkan dan kemudian disusun menjadi naskah
akademik. Naskah akademik merupakan bahan utama dalam menyusun peraturan perundang-
undangan tentang perencanaan daerah. Keberadaannya sangat diperlukan agar peraturan perundang-
undangan yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan
masyarakat. Penggunaan Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan, diharapkan akan dapat menghindari masalah yuridis di kemudian hari (Rusdianto,
2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang didukung dengan naskah akademik
menunjukkan dokumen perencanaan tersebut merupakan hasil pemikiran yang dilandasi dengan
kepentingan seluruh masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang tercakup
dalam visi, misi, arah dan kebijakan pembangunan berdasarkan potensi sumberdaya yang tersedia.
Semakin berkembang dan berubahnya pola kehidupan masyarakat serta beberapa permasalahan
dalam pembuatan dan pelaksanaan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, maka naskah
akademik memiliki posisi yang strategis dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan
yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan.
Naskah akademik menjelaskan aspek losos, aspek sosiologis, yuridis dan aspek politik yang
berkaitan dengan peraturan daerah yang akan dibuat. Disamping itu, naskah akademik memberikan
pertimbangan bagi lembaga eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan mengenai peraturan
yang akan dibuat.
Kotak 2.2 Branding Efektif Membangun Daya Saing Daerah dan Pemimpin
Sebelumnya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi UI (LPEM FEUI) bersama
konsultan komunikasi dan riset media Makna Informasi meluncurkan Position Paper “Branding
Tempat” di Kantor LPEM FEUI, Salemba, Jakarta, beberapa waktu lalu. Perpaduan identitas daerah
dan gaya kepemimpinan yang sesuai merupakan langkah awal pembentukan brand suatu daerah.
“Identitas yang berdaya saing mampu menempatkan daerah dalam posisi unik dan berbeda dengan
daerah-daerah lainnya,” kata Rahmat Yananda.
Kepemimpinan menjadi elemen penting untuk membangun brand suatu daerah. Pemimpin
yang memiliki kebijakan dan program yang memadukan identitas daerah dan pemimpin mampu
membangun brand tempat yang kuat. Misalnya brand Kota Bandung dan Kota Surabaya. “Brand Kota
Bandung memang dikenal banyak pihak, tetapi Walikota Ridwan Kamil mampu mengantarkan brand
Bandung sebagai kota kreatif atau smart city,” ungkap Rahmat.
“Kota Surabaya adalah contoh yang juga menarik. Kegigihan Walikota Risma untuk menjadikan
Surabaya sebagai ‘Kota Taman’ mulai membuahkan hasil. Surabaya sebagai kota pantai yang panas
menjadi ‘sejuk’ karena telah hijau dan elok dipandang mata. Surabaya perlu menambah elemen brand
baru berdaya saing. Upaya digitalisasi pelayanan publik merupakan terobosan yang tepat,” tambah
Rahmat.
Selain itu branding tempat juga merupakan perangkat yang memudahkan banyak pihak untuk ikut
terlibat dalam membangun daerah, “Semua pemangku kepentingan dapat melihat, mengawasi dan juga
merespon arah dan kebijakan pembangunan daerah tersebut,” kata penulis dan editor buku Branding
Tempat: Membangun Kota, Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas ini.
Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/585439-branding-efektif-membangun-daya-saing-daerah-dan-
pemimpin
Indikator kinerja mengandung dua kata, “indikator” dan “kinerja”, yang mempunyai dua pengertian
yang saling terkait. Untuk dapat memahami pengertian indikator kinerja, kita perlu mengetahui arti
dan keterkaitan kedua kata tersebut. Di bawah ini akan diuraikan pengertian dari masing-masing kata
tersebut.
Terdapat banyak pengertian atau denisi ‘indikator’, beberapa yang cukup baik diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. lndikator adalah statistik atau ukuran dari hal normatif yang menjadi perhatian kita yang
membantu kita dalam membuat penilaian ringkas, komprehensif, dan berimbang terhadap
kondisi atau aspek penting dalam suatu masyarakat (Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan
Kesejahteraan, Amerika Serikat, 1969;
2. lndikator adalah variabel yang membantu kita dalam mengukur perubahan-perubahan yang
terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981);
3. lndikator adalah variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk kepada kita
suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan (Green, 1992);
4. lndikator adalah suatu ukuran tidak langsung dari suatu kejadian atau kondisi. Misalnya berat
badan bayi berdasarkan umur adalah indikator bagi status gizi bayi (Wilson & Sapanuchart, 1993).
Dari beberapa denisi di atas rnenunjukkan bahwa ‘indikator’ adalah variabel yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan secara
keseluruhan, tetapi kerap kali hanya memberi petunjuk (indikasi) tentang keadaan secara keseluruhan
tersebut sebagai suatu perkiraan. Dapat dikatakan indikator bukanlah ukuran exact, melainkan
indikasi dari keadaan yang disepakati bersama oleh anggota organisasi yang akan dijadikan sebagai
alat ukur.
Selanjutnya beberapa pengertian dan denisi dari beberapa sumber yang dapat dijadikan acuan
dalam memahami apa itu “kinerja” diberikan di bawah ini:
1. Kinerja adalah unjuk kerja dan prestasi kerja atau hasil kerja yang diwujudkan dalam melakukan
suatu kegiatan atau program atau mencapai tujuan dan sasaran tertentu;
BAB II 33
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2. Kinerja adalah upaya dalam mencapai hasil dan capaiannya (accomplishment);
3. Kinerja adalah unjuk kerja, prestasi kerja, tampilan hasil kerja, capaian dalam memperoleh hasil
kerja, tingkat kecepatan / efesiensi / produktivitas / efektivitas dalam mencapai tujuan. Jadi
kinerja merupakan state of condition dari suatu pelaksanaan kerja dalam mencapai sesuatu yang
diinginkan (tujuan, sasaran, hasil yang diinginkan, kondisi yang diinginkan, perubahan yang
diinginkan);1
4. Kinerja adalah keluaran hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan
dengan penggunaan angaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.2
Berdasarkan beberapa pengertian dan denisi di atas, maka ‘indikator kinerja’ dapat dipahami seperti
di bawah ini:
1. lndikator kinerja adalah sesuatu yang dijadikan alat ukur kinerja atau hal yang dicapai;3
2. lndikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian suatu kegiatan dan sasaran yang telah ditetapkan. lndikator kinerja memberikan
penjelasan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif, mengenai apa yang diukur untuk
menentukan apakah tujuan sudah tercapai;4
3. lndikator kinerja adalah sesuatu yang mengindikasikan terwujudnya kinerja yang diinginkan;
4. lndikator kinerja adalah ukuran kinerja yang digunakan untuk mengetahui perkembangan upaya
dalam mencapai hasil dan hasil kerja yang dicapai;
5. lndikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang ditetapkan organisasi.
Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta
digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan
(ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post).
Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi/
unit kerja yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan dalam perencanaan strategis. Dengan demikian, tanpa indikator kinerja, sulit bagi
kita untuk menilai kinerja (keberhasilan atau ketidakberhasilan) kebijakan/program/kegiatan dan
pada akhirnya sulit juga untuk menilai kinerja instansi/unit kerja pelaksananya.
Membuat “rencana kinerja” berarti membuat rencana mengenai outcome yang akan dihasilkan oleh
organisasi. Rencana yang hanya berfokus mengenai penggunaan input, pemilihan kegiatan, dan output
yang akan dibuat, baru merupakan “rencana kerja”. Instansi pemerintah belum disebut berkinerja
sebelum dapat menunjukkan keberhasilan pencapaian outcome-nya. Namun demikian, ada kalanya
outcome baru tercapai dalam beberapa tahun kemudian. Akibatnya, instansi pemerintah hanya akan bisa
menunjukkan keberhasilan kinerjanya setelah outcome tersebut tercapai beberapa tahun kemudian. Untuk
hal seperti ini, instansi pemerintah h a r u s mampu menunjukkan hubungan antara output-output dan
aktivitas yang telah dikerjakan setiap tahunnya dengan kinerja yang baru akan diperoleh di masa yang
akan datang. Selain itu, kapan kinerja tersebut dapat dicapai juga sudah harus direncanakan sejak awal.
Apabila hal tersebut telah dipenuhi, instansi pemerintah tersebut telah dapat menyatakan output dan
kegiatan tahunannya sebagai kinerja sementara dalam rangka mencapai kinerja sesungguhnya beberapa
tahun kemudian.
1 Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja lnstansi Pemerintah, Edisi Kedua, LAN, 2004
2 Denisi dari ketentuan umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006.
3 Tim Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Deputi Bidang Penyelenggaraan Akuntabilitas BPKP
4 Pedoman Penyusunan dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN 2003
Hal yang perlu dibedakan juga adalah antara kinerja yang akan diukur dengan indikator kinerja yang
akan digunakan untuk mengukur. Apabila “kinerja” menyatakan mengenai suatu kondisi, maka
“indikator kinerja” merupakan alat yang dapat memberikan gambaran atau penilaian mengenai
kondisi tersebut. Misal: “Meningkatnya disiplin pegawai” merupakan contoh kinerja yang akan
diukur yang sering dianggap merupakan indikator kinerja. lndikator yang seharusnya digunakan
adalah indikator yang dapat menggambarkan mengenai disiplin yang meningkat, misalnya “jumlah
pegawai yang mendapatkan hukuman disiplin” atau “rata-rata hari kehadiran pegawai dalam
satu tahun”. “Meningkatnya kualitas pelayanan” merupakan contoh lain kinerja yang akan diukur
yang juga sering dianggap sebagai indikator kinerja. Seharusnya digunakan indikator yang dapat
menggambarkan kualitas pelayanan yang meningkat, misalnya “jumlah komplain” atau “persentase
komplain yang dapat diselesaikan”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja adalah gambaran atau ciri-ciri
atau ukuran yang menggambarkan status kinerja yang dihasilkan suatu kegiatan atau suatu proses.
Pengukuran kinerja memerlukan penetapan indikator-indikator yang sesuai dan terkait dengan
informasi kinerja (impact, outcome, dan output). Indikator ini berfungsi untuk memperjelas tentang:
apa, bagaimana, siapa, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, menciptakan konsensus yang dibangun
oleh pemangku kepentingan dan membangun dasar pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja
program pembangunan. Pola penetapan indikator kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini:
STRATEGY AKTIVITAS
BAB II 35
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2.3.2 Kriteria Indikator Kinerja
Sebelum menetapkan seperangkat indikator kinerja, suatu organisasi perlu lebih dahulu untuk
mengetahui kriteria indikator kinerja yang baik. Berikut adalah beberapa kriteria yang perlu
diperhatikan dalam membuat indikator kinerja yang baik:
1. Relevant: indikator terkait secara logis dan langsung dengan tugas institusi, serta realisasi tujuan
dan sasaran strategis institusi.
2. Well-dened: denisi indikator jelas dan tidak bermakna ganda sehingga mudah untuk dimengerti
dan digunakan.
3. Measurable: indikator yang digunakan diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati,
dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas atau harga.
a. Indikator kuantitas diukur dengan satuan angka dan unit. Contoh: jumlah penumpang
internasional yang masuk melalui pelabuhan udara dan pelabuhan laut.
b. Indikator kualitas menggambarkan kondisi atau keadaan tertentu yang ingin dicapai (melalui
penambahan informasi tentang skala/tingkat pelayanan yang dihasilkan). Contoh indikator
kualitas: proporsi kedatangan penumpang internasional yang diproses melalui imigrasi dalam
waktu 30 menit.
c. Indikator harga mencerminkan kelayakan biaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran
kinerja. Contoh indikator harga: biaya pemrosesan imigrasi per penumpang.
4. Appropriate: indikator yang dipilih harus sesuai dengan upaya peningkatan pelayanan/kinerja.
5. Reliable: indikator yang digunakan akurat dan dapat mengikuti perubahan tingkatan kinerja.
6. Veriable: memungkinkan proses validasi dalam sistem yang digunakan untuk menghasilkan
indikator.
7. Cost-effective: kegunaan indikator sebanding dengan biaya pengumpulan data.
Pengukuran kinerja hanya bisa dilakukan jika sudah ada indikator kinerja dan target kinerja yang
ditentukan pada tahap perencanaan suatu program atau kegiatan. Indikator kinerja dan target kinerja
ditetapkan dan diajukan oleh lembaga/unit kerja, akan tetapi harus disepakati bersama-sama dengan
instansi (agencies) dan parlemen dalam proses penganggaran. Hal ini akan mendukung pelaksanaan
disiplin anggaran dikarenakan adanya komitmen bersama untuk mendukung pelaksanaan suatu
program dan kegiatan dengan alokasi anggaran tertentu. Sedangkan lembaga audit, baik intern
maupun ekstern, dilibatkan dalam verikasi indikator dan target kinerja, walaupun untuk tahap
selanjutnya dapat dibentuk suatu badan untuk memonitor kinerja instansi secara eksternal dan
independen seperti yang telah dilaksanakan oleh negara-negara yang telah menerapkan pengukuran
kinerja.
Target kinerja disusun setelah indikator kinerja ditetapkan. Dalam menetapkan target kinerja perlu
diperhatikan standar kinerja yang dapat diterima (benchmarking). Salah satu cara menentukan standar
kinerja adalah dengan mengacu pada tingkat kinerja institusi yang sejenis sebagai perwujudan best
practice.
Standar kinerja dan target kinerja perlu dinyatakan dengan jelas pada awal siklus perencanaan. Hal
ini untuk menjamin akuntabilitas pencapaian kinerja. Kriteria dalam menentukan target kinerja
menggunakan pendekatan ”SMART” yaitu :
Jika pengukuran kinerja hanya ditekankan pada peningkatan akuntabilitas, hal ini dapat
mempengaruhi pimpinan dengan hanya memberikan perhatian pada kinerja tertentu saja, dan
bukan pada semua elemen kinerja penting yang dapat terukur dan relevan terhadap suatu kegiatan.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah adanya suatu permainan (gameship) atas penentuan
suatu target kinerja. Oleh sebab itu pihak pimpinan harus diyakinkan bahwa pengukuran kinerja
merupakan suatu alat yang sangat berguna dalam membantu pihak pimpinan untuk meningkatkan
kinerja lembaga secara keseluruhan. Sumbangan terbesar dari pengukuran kinerja diperoleh terutama
dari peningkatan keinginan dan kebutuhan atas kinerja yang digunakan untuk selalu memperbaiki
kinerja lembaga pemerintah, dan bukan sekedar pengukuran secara formal dan pelaporan kinerja.
Pengukuran kinerja harus dilakukan secara esien dan efektif dengan membandingkan biaya dan
manfaat atas sistem yang dibangun. Informasi kinerja yang berlebihan akan sangat tidak berguna
dan harus dihindarkan karena suatu sistem pengukuran kinerja akan menjadi sulit dikelola dengan
baik dan akan meningkatkan biaya pelaksanaannya. Jadi harus dipertimbangkan cost benet dari
sistem pengukuran kinerja yang akan dikembangkan. Suatu sistem pengukuran kinerja diharapkan
hanya mengukur kinerja yang strategis (key performance indicators), bukan menekankan tingkat
komprehensif dan birokratis atas kinerja yang disusun.
Kerangka pengukuran kinerja dimulai dari ”apa yang ingin diubah” (impact) yang kemudian
membutuhkan rumusan ”apa yang akan dicapai” (outcome) guna mewujudkan perubahan yang
diinginkan. Selanjutnya, untuk mencapai outcome diperlukan rumusan mengenai ”apa yang
dihasilkan” (output), dan untuk menghasilkan output tersebut diperlukan ”apa yang akan digunakan”.
Secara konseptual, alur informasi yang dibutuhkan dalam pengukuran kinerja dapat dilihat pada
Gambar 2.3 di bawah ini:
Metode Pelaksanaan
apa yang
Sumberdaya yang memberikan digunakan
INPUT
kontribusi dalam menghasilkan Output dalam
bekerja
Sumber: SEB Menneg PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan Nomor 0142/M.PPN/06/2009 tentang Pedoman Reformasi
Perencanaan dan Penganggaran (diolah)
BAB II 37
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Jenis informasi atau indikator kinerja yang sering digunakan dalam pelaksanaan pengukuran kinerja
organisasi meliputi:
1. Indikator input (input); adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk terlaksananya kegiatan-
kegiatan untuk mencapai keluaran. Indikator ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran
(dana), SDM, peralatan, material dan masukan lainnya yang dipergunakan untuk melaksanakan
kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumberdaya dapat dianalisis apakah alokasi sumberdaya
yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan. Contoh, jumlah dana yang
dibutuhkan, tenaga yang terlibat, peralatan yang digunakan, jumlah bahan yang digunakan.
2. Indikator proses (process); merupakan ukuran tingkat esiensi organisasi dalam proses pencapaian
keluaran. Indikator ini berkaitan dengan ketepatan atau akurasi dari pandangan-pandangan
ekonomi, prosedur dan prinsip-prinsip.
3. Indikator keluaran (output); adalah sesuatu yang menunjukkan bentuk dan besaran produk secara
langsung dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan; dapat berupa sik dan atau nonsik. Dengan
membandingkan keluaran dapat dianalisis apakah kegiatan yang terlaksana sesuai dengan rencana.
Indikator pengeluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolak
ukur dikaitkan dengan sasaran kegiatan yang terdenisi dengan sasaran kegiatan yang terdenisi
dengan baik dan terukur. Oleh karena itu indikator ini harus sesuai dengan lingkup dan sifat
kegiatan instansi. Contoh :
a. Jumlah jasa/kegiatan yang direncanakan.
Jumlah orang yang diimunisasi/vaksinasi.
Jumlah permohonan yang diselesaikan.
Jumlah pelatihan/peserta pelatihan.
Jumlah jam latihan dalam sebulan.
b. Jumlah barang yang akan dibeli/dihasilkan.
Jumlah pupuk/obat/bibit yang dibeli.
Jumlah komputer yang dibeli.
Jumlah gedung/jembatan yang dibangun.
Meter panjang jalan yang dibangun/rehab.
4. Indikator hasil (outcome); adalah sesuatu yang menunjukkan berfungsinya keluaran kegiatan pada
jangka menengah (efek langsung). Indikator ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu
kegiatan. Pengukuran indikator hasil sering kali rancu dengan pengukuran indikator keluaran.
Indikator outcome lebih utama daripada sekedar output. Walaupun produk telah dicapai dengan
baik, belum tentu secara outcome kegiatan telah tercapai. Outcome menggambarkan tingkat
pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin kepentingan banyak pihak. Dengan indikator
outcome instansi dapat diketahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output
memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi
masyarakat. Contoh:
a. Jumlah % hasil langsung hal-hal positif.
tingkat pemahaman peserta terhadap materi pelatihan.
tingkat kepuasan dari pemohon/pasien (costumer).
kemenangan tim dalam setiap pertandingan.
b. Peningkatan langsung hal-hal yang positif.
Kenaikan prestasi kelulusan siswa.
Peningkatan daya tahan bangunan.
Penambahan daya tampung siswa.
c. Penurunan langsung hal-hal yang negatif.
Berikut adalah contoh indikator kinerja program (outcomes) dan indikator kinerja kegiatan (output/
keluaran) yang bersesuaian dari suatu Dinas Pendidikan yang diterapkan di dalam perencanaan
pembangunan daerah:
a. Program: “Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun”.
Indikator Kinerja Program: ”Angka Partisipasi Murni (APM)”.
b. Kegiatan 1: “Pembangunan gedung sekolah”.
Indikator Kinerja Kegiatan: ”Jumlah sekolah yang terbangun“.
c. Kegiatan 2: “Pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, penjaga sekolah”.
Indikator Kinerja Kegiatan: “Jumlah rumah dinas kepala sekolah yang terbangun”.
d. Kegiatan 3: “Penambahan ruang kelas sekolah”.
Indikator Kinerja Kegiatan: “Jumlah ruang kelas terbangun”.
Berbagai indikator kinerja tersebut mempunyai posisi yang berbeda pada setiap jenjang perencanaan
pembangunan daerah. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) menjabarkan indikator kinerja
masukan dan indikator kinerja keluaran (output) dengan tetap mengacu pada indikator kinerja
hasil dan manfaat. Indikator kinerja hasil dan indikator kinerja manfaat tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 tahunan. Dalam jangka panjang, indikator
kinerja yang ditetapkan merupakan indikator manfaat dan dampak. Sehingga ada keterkaitan antara
indikator kinerja jangka pendek sampai indikator kinerja jangka panjang.
BAB II 39
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Tabel 2.1 Hirarki Sasaran Jenis Indikator Kinerja Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Keteranagn:
M Masukan
K Keluaran
H Hasil
TABEL HIRARKI SASARAN
Mf Manfaat
D Dampak
Indikator
PERENCANAAN Keterangan
M K H Mf D
RPJPD Indikator keberhasilan strategi jangka panjang.
20 tahunan Dasar pemikirannya : strategi jangka panjang
yang ditetapkan akan dijabarkan dalam
strategi & program 5 tahunan.
Dalam menentukan indikator kinerja yang akan digunakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
sebagai berikut:
1. Tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada penghitungan biaya keluaran (esiensi). Tujuan
kebijakan dan pendekatan program juga harus dianalisis.
2. Indikator bisa diterapkan untuk: (a) Masukan-Ekonomis; (b) Keluaran-Esiensi; (c) Hasil-
Efektivitas; (d) Kualitas; dan (e) Kepuasan Pelanggan. Bisa dikaitkan dengan kesepakatan kinerja
antara menteri dan kepala lembaga dan para pejabat di bawahnya.
3. Indikator memerlukan denisi dan penafsiran yang hati-hati seringkali diformulasikan,
diimplementasikan dan ditafsirkan dengan buruk.
4. Harus dikembangkan untuk masing-masing program/kegiatan – ada yang sulit misalnya
pertahanan – beberapa lebih mudah misalnya penyelenggara jasa.
Indikator perencanaan pembangunan dapat dibedakan menjadi indikator makro dan indikator
mikro. Indikator makro berisi tentang variable-variabel kesejahteraan masyarakat dari aspek sosial,
ekonomi, seni budaya ditingkat nasional maupun regional yang menjadi acuan dalam penyusunan
dokumen perencanaan. Indikator ini juga menjadi asumsi alokasi anggaran pemerintah dari setiap
kegiatan sebagaimana dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
Kotak 2.3 Indikator Makroekonomi: Tujuh Provinsi Raih Pertumbuhan Ekonomi yang Minim
5 Februari 2015
Hal itu diutarakan langsung Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, saat konferensi pers,
di Gedung BPS, Jakarta (5/2/2014). “Tujuh provinsi yang pertumbuhannya sangat minim, jauh
di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kepulauan
Bangka Belitung, Papua, Riau, Kalimantan Timur, dan Aceh. Aceh yang paling rendah sebesar 1,65
persen,” ucap Suryamin.
Sementara itu, dia mengungkapkan, struktur perekonomian 2014 secara spasial didominasi Pulau
Jawa sebesar 57,39 persen, diikuti Pulau Sumatera 23,16 persen dan pulau-pulau laiinya yang
kurang dari 10 persen. BPS telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 yang mencapai
5,02 persen secara year on year (YoY). “Untuk kuartal IV-2014 sebesar 5,01 persen, sedangkan
sepanjang 2014 secarayear on year sebesar 5,02 persen,” kata Suryamin.
Menurut Suryamin, kinerja ekonomi sepanjang 2014 dipengaruhi beberapa faktor dalam negeri,
seperti, harga minyak mentah di pasar internasional turun rata-rata 9,05 persen, nilai tukar
Rupiah turun terus-menerus 3,43 persen.
Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/02/05/354428/7-provinsi-raih-pertumbuhan-ekonomi-yang-minim
BAB II 41
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Kotak 2.4 Indikator Makroekonomi: Pemerintah Daerah Diminta Fokus Kendalikan Inasi
6 Mei 2015
“Kita fokus pada pengendalian inasi, pada akhir bulan ini ada pertemuan inasi daerah. Intinya
ingin sosialisasikan kepada seluruh kepala daerah, gubernur, wali kota bahwa seolah-olah inasi
ini adalah pusat. Padahal inasi langsung menyentuh kepentingan masyarakat di daerah,” kata
Bambang seusai bertemu Presiden, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (5/5/2015).
Bambang menekankan, pemda harus punya concern yang sama dengan pemerintah pusat
terkait pengendalian inasi. Apalagi, pemda punya tim pengendali inasi daerah yang bertugas
mengendalikan inasi di daerah mereka. “Gubernur BI selaku koordinator TPID berharap
Presiden bisa memberikan arahan dan dorongan kepada daerah untuk memberikan kontribusi
terkait inasi kepada pemerintah pusat,” imbuh dia.
Keinginan pemda terlibat, kata Bambang, lantaran selama ini stabilitas harga sebagai salah
satu pemicu inasi, selalu dikaitkan dengan pemerintah pusat. Padahal, kata Bambang, pemda
bisa melakukan tindakan cepat mengatasi kenaikan harga. “Hal seperti itu yang mau didorong
sehingga pemda punya peran untuk inasi,” tegas dia.
Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/06/122970/pemerintah-daerah-diminta-fokus-kendalikan-inasi
Sementara itu, indikator mikro berkaitan dengan kinerja masing-masing SKPD dalam pelaksanaan
kebijakan, program dan kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang direncanakan. Indikator
mikro ini memuat variabel-variabel pelayanan umum pemerintah daerah baik dari urusan wajib
maupun urusan pilihan. Tabel 2.3 memberikan contoh indikator kinerja mikro.
Indikator kinerja dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan di daerah.
Berbagai dokumen perencanaan yang ada di daerah seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD
atau Renja RKPD menjadi tidak efektif jika tidak memasukkan indikator kinerja sebagai alat
pengendali keberhasilan pembangunan di daerah. Dalam berbagai literatur selalu disebutkan bahwa
kriteria dokumen perencanaan yang baik adalah jika dokumen itu dapat dievaluasi sejauh mana
keberhasilannya. Tingkat keberhasilan itu sangat tergantung pada ada tidaknya indikator kinerja yang
akan mengukur capaian pelaksanaan perencanaan tersebut. Secara umum kaitan antara perencanaan
dan indikator kinerja dapat dilihat pada bagan berikut.
EVALUASI
IMPLEMENTASI
PERENCANAAN KINERJA
KEBIJAKAN PEMDA
PEMDA
Dalam perencanaan kinerja tahunan, indikator kinerja akan menjadi pemandu dalam menentukan
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan pada suatu tahun tertentu. Sehingga setiap instansi
harus merencanakan program dan kegiatannnya sesuai dengan ukuran keberhasilan yang telah
ditetapkan. Selanjutnya program dan kegiatan itu harus diajukan usulan anggarannya dalam dokumen
RKA K/L ataupun RKA SKPD. Dengan pendekatan ini maka diperoleh beberapa manfaat, yaitu:
1. Program dan kegiatan yang dilaksanakan suatu instansi pemerintah akan terkait langsung dengan
ukuran keberhasilan instansi tersebut yang merupakan penjabaran dari tugas dan fungsi instansi;
2. Terdapat keselarasan antara indikator kinerja kegiatan dengan indikator kinerja utama instansi
yang bersangkutan;
3. Anggaran hanya dipergunakan untuk program dan kegiatan yang memang akan mendukung
keberhasilan instansi dalam upaya pelaksanaan tugas dan fungsi.
BAB II 43
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Untuk mencapai ketepatan dalam pembuatan indikator kinerja, maka harus diperhatikan keselarasan
program dengan kinerja yang akan diukur. Contoh keselarasan berbagai indikator kinerja dari suatu
program pembangunan yang sama yang dilakukan oleh beberapa SKPD dapat dilihat di bawah ini.
Program Peningkatan
Produksi pertanian
Kegiatan: Ekstentikasi Pertanian
Kegiatan: Pembangunan Jalan dan
Irigasi Pedesaan
Kegiatan: Pembinaan Petani.
Bina karya
Pengairan
Program Peningkatan
Program Peningkatan
Produksi Pertanian
Produksi Pertanian
Kegiatan: Pembangunan
Kegiatan:
Pertanian Jalan Perdesaan
Pembangunan Irigasi,
Program Peningkatan Pembangunan Jembatan
Rehabilitasi Irigasi.
Produksi Pertanian di Wilayah Pertanian.
Kegiatan: Perluasan
Area Pertanian, Bina
Kelompok Tani,
Koperasi Koperasi Intensikasi. Perindustrian
Program Peningkatan Program Peningkatan
Produksi Pertanian Produksi Pertanian
Kegiatan: Bina KUD, Kegiatan: Pelatihan
Kredit Pertanian. Teknologi Pertanian.
Selanjutnya, indikator kinerja program tersebut dijabarkan menjadi indikator kinerja sasaran yang
diharapkan dari program tersebut. Dalam penjabarannya juga penting untuk memastikan adanya
keselarasan antar indikator kinerja tersebut.
IK Sasaran:
1. PDRB Sektor Pertanian;
2. PeningkatanPendapatan Petani;
3. Peningkatan Produksi Pertanian.
1. Untuk memperoleh informasi kinerja yang penting dan diperlukan dalam menyelenggarakan
manajamen kinerja secara baik;
2. Untuk memperoleh ukuran keberhasilan dari pencapaian suatu tujuan dan sasaran strategis
organisasi yang digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja.
Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas kinerja maka setiap instansi pemerintah dituntut untuk
menetapkan indikator kinerja utama di lingkungan instansi masing-masing. Tuntutan demikian
sangat beralasan karena sering kali terjadi ketidakselarasan dalam penetapan indikator kinerja
sehingga menyebabkan hasil yang disajikan tidak sesuai dengan perencanaan instansi dengan
instansi atasannya bahkan dengan perencanaan nasional.
Penyusunan Indikator Kinerja Utama (IKU) dilakukan di setiap instansi pemerintah, yang
meliputi Kementerian Koordinator/Kementerian Negara/Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Sekretariat Jenderal Lembaga Tinggi Negara, dan Lembaga Lain yang menjalankan
fungsi pemerintahan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, dan Pemerintah Kabupaten. Oleh
karena itu diperlukan koordinasi yang baik di dalam tubuh instansi tersebut sehingga penyusunan
Indikator Kinerja Utama dapat dilaksanakan dengan baik dan penerapannya dilakukan secara
integratif di antara unit kerja di dalamnya.
Indikator Kinerja Utama instansi pemerintah harus selaras antar tingkatan unit organisasi. Cakupan
Indikator Kinerja Utama pada setiap tingkatan unit organisasi meliputi indikator kinerja keluaran
(output) dan hasil (outcome) dengan tatanan sebagai berikut:
1. Indikator Kinerja Utama pada tingkat Kementerian Negara/Departemen/LPND/Pemerintah
Provinsi/Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota sekurang-kurangnya adalah indikator hasil
(outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi;
2. Indikator Kinerja Utama pada unit organisasi setingkat Eselon I adalah indikator hasil (outcome)
dan atau keluaran (output) yang setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) unit kerja di
bawahnya;
3. Indikator Kinerja Utama pada unit organisasi setingkat eselon ll/Satuan Kerja/SKPD/unit kerja
mandiri sekurang-kurangnya adalah indikator keluaran (output).
Selanjutnya berkaitan dengan pengambil keputusan dalam penetapan Indikator Kinerja Utama,
maka ada beberapa aturan yang harus diikuti, yaitu:
1. Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Kementerian
Koordinator/Departemen/Kementerian Negara/ Lembaga dan unit organisasi setingkat Eselon I
serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya;
2. Sekretaris Jenderal Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Lain yang menjalankan fungsi
pemerintahan wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Lembaga Tinggi Negara,
Lembaga Lain, dan unit organisasi setingkat Eselon I serta Unit Kerja Mandiri di bawahnya;
3. Gubernur/Bupati/Walikota wajib menetapkan Indikator Kinerja Utama Pemerintah Provinsi/
Kabupaten/Kota dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) serta Unit Kerja Mandiri di
bawahnya.
BAB II 45
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Keberhasilan indikator kinerja secara makro pada suatu pemerintah daerah tidak hanya ditentukan
oleh satu SKPD, tetapi juga dipegaruhi oleh keberhasilan SKPD lain. Oleh karena itu, Indikator
Kinerja Utama pada level pemerintah daerah minimal harus pada tingkat indikator hasil
(outcomes), dan secara bertahap ditingkatkan pada indikator manfaat (benets), dan dampak (impacts).
Untuk tingkat unit kerja, indikator kinerja yang digunakan harus lebih rinci dan spesik namun
tetap harus diperhatikan keselarasan dan keseimbangannya dengan indikator kinerja unit-unit kerja
lainnya serta dengan tingkat instansi pemerintah. Dengan demikian, mulai dari bagian terkecil suatu
organisasi sampai bagian terbesarnya sejak awal sudah selaras satu sama lain sehingga perencanaan
instansi sampai perencanaan nasional dapat tercapai.
Adapun hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam rangka pemilihan dan penetapan Indikator
Kinerja Utama adalah sebagai berikut:
1. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah, Rencana Strategis,
kebijakan umum dan/atau dokumen strategis lainnya yang relevan;
2. Bidang kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran lainnya;
3. Kebutuhan informasi kinerja untuk penyelenggaraan akuntabilitas kinerja;
4. Kebutuhan data statistik pemerintah;
5. Kelaziman pada bidang tertentu dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam pemilihan dan penetapan kinerja utama di lingkungan instansi pemerintah hendaknya
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dari instansi yang bersangkutan. Selain itu
Indikator Kinerja Utama yang ditetapkan harus memenuhi karakteristik indikator kinerja yang
baik dan cukup memadai guna pengukuran kinerja unit organisasi yang bersangkutan. D a l a m
PERMENPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007, karakteristik indikator yang baik dan cukup memadai
untuk pengukuran kinerja unit organisasi yang bersangkutan yaitu:
1. Spesik;
2. Dapat dicapai;
3. Relevan;
4. Menggambarkan keberhasilan sesuatu yang diukur;
5. Dapat dikualikasi dan diukur.
Indikator Kinerja Utama merupakan suatu ukuran yang sangat penting dalam pencapaian kinerja
instansi pemerintah. Di lingkungan instansi pemerintah, Indikator Kinerja Utama dapat digunakan
untuk beragam kepentingan, yaitu:
1. Perencanaan jangka menengah;
2. Perencanaan tahunan;
3. Penyusunan dokumen penetapan kinerja;
4. Pelaporan akuntabilitas kinerja;
5. Evaluasi kinerja instansi pemerintah;
6. Pemantauan dan pengendalian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan-kegiatan.
Instansi pemerintah dalam melaksanakan analisis dan evaluasi kinerja harus memperhatikan
capaian Indikator Kinerja Utama untuk melengkapi informasi yang dihasilkan dalam pengukuran
kinerja dan digunakan untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja. Analisis
dan evaluasi tersebut perlu dilakukan secara berkala dan sederhana dengan meneliti fakta-fakta
yang ada, baik berupa kendala, hambatan, maupun informasi lainnya.
Indikator Kinerja Utama sebagai patokan keberhasilan dari tujuan dan sasaran strategis organisasi
perlu disusun, diantaranya untuk mengetahui tingkat esiensi dan efektivitas kerja suatu instansi
Penyusunan Indikator Kinerja Utama di lingkungan Pemerintah Daerah diawali dengan pengkajian
beragam dokumen yang relevan, antara lain:
1. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis, kebijakan umum
dan atau dokumen strategis lainnya yang relevan;
2. Bidang kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran lainnya;
3. Kebutuhan informasi kinerja untuk penyelenggaraan akuntabilitas kinerja;
4. Kebutuhan data statistik pemerintah;
5. Kelaziman pada bidang tertentu dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari hasil kajian tersebut kemudian disusun Indikator Kinerja Utama. Selanjutnya, Kepala Daerah
menetapkan Indikator Kinerja Utama untuk Pemerintah Daerah. Dalam penyusunan Indikator
Kinerja Utama Pemerintah Daerah, Kepala Daerah melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders)
dari instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Pengkajian dokumen dalam rangka penyusunan Indikator Kinerja Utama di lingkungan Satuan
Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah pada prinsipnya mendasarkan pada
dokumen dan referensi yang memiliki kaitan penting. Dari hasil kajian tersebut kemudian disusun
Indikator Kinerja Utama SKPD. Selanjutnya, Kepala Daerah menetapkan Indikator Kinerja Utama
SKPD yang bersangkutan. Dalam penyusunan Indikator Kinerja Utama SKPD dimaksud, pimpinan
SKPD melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dari SKPD yang bersangkutan.
Indikator Kinerja Kunci (IKK) merupakan bagian dari sistem pengukuran kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal-hal yang diukur dalam IKK ini adalah masukan, proses, keluaran, hasil,
manfaat dan/atau dampak. Penentuan IKK didasari pada Standar Pelayanan Minimum (SPM)
yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 menyebutkan bahwa Pemerintah akan melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah dengan menilai capaian seperangkat
Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk setiap urusan yang dibebankan kepada masing-masing daerah.
Capaian setiap Indikator Kinerja Kunci untuk setiap urusan tersebut akan menunjukkan seberapa
jauh suatu daerah mampu melaksanakan urusan yang didelegasikan Pemerintah kepada setiap
daerah. Berdasarkan PP tersebut, IKK dari suatu pemerintah daerah berkaitan dengan tiga aspek
pembangunan beserta fokusnya seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.7.
BAB II 47
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Gambar 2.7 Aspek, Fokus dan Indikator Kinerja Kunci Pada Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2008
Fokus
Aspek
Kesejahteraan dan
Pemerataan Ekonomi
Kesejahteraan
Masyarakat Kesejahteraan Sosial
> 73
71 - 73
69 - 71
< 69
Data tidak tersed
dia
Indeks
Sumber: TNP2K
Penyusunan perencanaan tersebut mengindikasikan adanya organisasi yang terlibat, adanya dokumen
yang digunakan di dalam perencanaan, adanya dukungan sumber daya untuk melaksanakan kegiatan
yang direncanakan, dan adanya tujuan yang jelas yang akan dicapai. Organisasi yang terlibat dalam
perencanaan, umumnya meliputi organisasi yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan, organisasi
yang bertugas khusus dalam perencanaan, kelompok sasaran yang dituju dalam pelaksanaan
rencana, organisasi yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya, dan pimpinan organisasi secara
keseluruhan.
Setiap proses penyusunan perencanaan tersebut harus dicatat dan didokumentasikan. Adapun isi
dokemen tersebut, minimal memuat nama kegiatan, tujuan yang akan dicapai dari kegiatan tersebut
yang meliputi indikator kinerja dan target kinerja, kelompok sasaran, penanggungjawab kegiatan, dan
penggunaan sumberdaya. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dapat diimplementasikan
dengan realistis dan di dukung dengan ketersediaan sumber daya. Pada umumnya sumberdaya terdiri
atas sumber dana, sumber daya manusia, sumber daya material, dan sumberdaya peralatan. Pada
umumnya tidak semua rencana yang telah disusun dapat dilaksanakan karena adanya keterbatasan
sumber daya. Oleh karena itu, perlu dibuat skala prioritas dari sekian banyak rencana yang telah
disusun agar memudahkan proses seleksi implementasi rencana.
Pada umumnya, kendala sumber daya yang paling besar adalah ketersediaan dana. Oleh karena itu
perlu dilakukan penyusunan anggaran, khususnya anggaran belanja. Tujuan penyusunan anggaran
ini adalah untuk mengalokasikan dana yang tersedia secara ekonomis, esien dan efektif. Penggunaan
dana secara ekonomis menuntut setiap penyusun anggaran untuk mencari harga atau biaya yang
lebih murah dengan kualitas yang sesuai. Sedangkan penyusunan anggaran yang esien menuntut
setiap penyusun anggaran untuk menganggarkan volume kebutuhan material yang paling rendah
dengan tidak mengorbankan kualitas yang diharapkan. Disamping itu, penyusunan anggaran
yang efektif menuntut setiap penyusun anggaran mengalokasikan sumber dana berdasarkan skala
kebermanfaatannya.
Penyusunan APBD merupakan proses penganggaran daerah yang secara konseptual terdiri atas
formulasi kebijakan anggaran (budget policy formulation) dan perencanaan operasional anggaran
(budget operational planning). Penyusunan kebijakan umum APBD (KUA) termasuk kategori
formulasi kebijakan anggaran. Formulasi kebijakan anggaran berkaitan dengan analisis skal, sedang
perencanaan operasional anggaran lebih ditekankan pada alokasi sumber daya keuangan.
Untuk memahami arti penting anggaran daerah, maka harus diketahui cakupan aspek-aspeknya
sebagai berikut:
BAB II 49
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
1. Anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan dan menjamin
kesinambungan pembangunan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan
terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya
masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade offs.
3. Disamping itu, anggaran daerah memiliki peran penting dalam sistem keuangan daerah. Peran
anggaran daerah berdasarkan fungsi utamanya sebagai berikut (Mardiasmo, 2004) :
a. Anggaran berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk:
Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan.
Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta
merencanakan alternatif sumber pembiayaannya.
Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada berbagai program dan kegiatan yang telah
disusun.
Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
b. Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian, yang digunakan antara lain untuk:
Mengendalikan esiensi pengeluaran.
Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda.
Mencegah adanya overlapping, misunderstanding, dan salah sasaran (misappropriation)
dalam pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas.
Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan
pemerintah.
c. Anggaran sebagai alat kebijakan skal, digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemberian fasilitas, dorongan dan koordinasi
kegiatan ekonomi masyarakat sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.
d. Anggaran sebagai alat politik, digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas kebutuhan
keuangan terhadap prioritas tersebut. Anggaran sebagai dokumen politik merupakan bentuk
komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atau pengguna dana publik untuk kepentingan
tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat publik.
e. Anggaran sebagai alat koordinasi antar unit kerja dalam organisasi pemda yang terlibat dalam
proses penyusunan anggaran. Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi
terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu,
anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja.
f. Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja. Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen
Pemda kepada pemberi wewenang (masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan
dan pelayanan masyarakat. Kinerja Pemda akan dinilai berdasarkan target anggaran yang
dapat direalisasikan.
g. Anggaran berfungsi sebagai alat untuk memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara
ekonomis, esien dan efektif dalam mencapai target kinerja. Dalam rangka memotivasi
pegawai, anggaran hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but
achievable. Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas rasional yang dapat
dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Anggaran dapat juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan ruang publik dalam arti bahwa
proses penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan
masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya
Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran nansial, sedangkan penganggaran adalah proses
atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Dalam organisasi sektor publik pada umumnya,
penganggaran merupakan suatu proses politik.
Secara umum, penganggaran terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap
program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran ini dimulai ketika perumusan
strategi dan perencanaan strategis telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi hasil
perumusan strategi dan perencanaan strategis yang telah dibuat. Tahap penganggaran menjadi
sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat
menggagalkan perencanaan yang sudah disusun. Anggaran merupakan rencana manajerial untuk
pengambilan tindakan (managerial plan for action) guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.
Aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran meliputi :
1. Aspek perencanaan;
2. Aspek pengendalian;
3. Aspek akuntabilitas publik.
Penganggaran harus diawasi dimulai dari tahap perencanaan, kemudian berlanjut ke tahap
pelaksanaan dan pelaporan. Proses penganggaran akan lebih efektif jika lembaga pengawas khusus
yang bertugas mengontrol proses perencanaan dan pengendalian anggaran melakukan pengawasan.
Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan
pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran
merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang
meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai
apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi
mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang.
Tidak semua aspek kehidupan masyarakat tercakup dalam anggaran publik. Terdapat beberapa
aspek kehidupan tidak tersentuh oleh anggaran tersebut, baik dalam skala nasional maupun lokal.
Anggaran ini dibuat untuk membantu menentukan tingkat kebutuhan masyarakat, seperti listrik, air
bersih, kualitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya terjamin secara layak. Tingkat kesejahteraan
masyarakat dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh pemerintah melalui anggaran yang
mereka buat.
Dalam sebuah negara demokrasi, pemerintah mewakili kepentingan rakyat, uang yang dimiliki
pemerintah merupakan uang rakyat, dan anggaran yang menunjukkan rencana pemerintah untuk
membelanjakan uang rakyat tersebut. Anggaran merupakan cetak biru (blue print) dari keberadaan
sebuah negara dan arahan di masa yang akan datang.
Di Indonesia, seiring dengan bergulirnya isu reformasi di bidang pemerintahan hingga dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 32/2004 (yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014)
dan Undang-Undang Nomor 33/2004 yang ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
Nomor 58/2005 dan beberapa revisi PP dan Permendagri pendukungnya, memberi paradigma baru
dalam pengelolaan keuangan daerah.
BAB II 51
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Perubahan ini terjadi karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas
terhadap penyelenggaraan jalannya pemerintahan. Perubahan paradigma ini meliputi penyusunan
anggaran berdasarkan pendekatan kinerja, dan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan
kegiatan publik yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah, keterbukaan informasi dan tuntutan
penghindaran dan pembersihan dari kegiatan-kegiatan yang berbau KKN. Dengan perubahan ini,
penentuan strategis, prioritas serta kebijakan alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan
dan kebutuhan publik. Mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan daerah harus
merupakan proses yang mengakar (bottom-up planning). Dengan sistem bottom-up planning, berbagai
jenis barang dan jasa publik yang disediakan pemerintah ini diharapkan sesuai dengan preferensi dan
prioritas di daerah yang bersangkutan.
Sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter anggaran pemerintah
harus disusun secara cermat, akurat, dan sistematis dengan menggunakan sistem anggaran yang
baik. Pendekatan dalam penyusunan anggaran sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
mengikuti kebutuhan dalam rangka peningkatan pelayanan publik, transparansi, dan akuntabilitas.
Secara umum, terdapat dua pendekatan penyusunan anggaran, yaitu anggaran tradisional atau
anggaran konvensional dan pendekatan baru yang dikenal dengan new public management (NPM).
Pendekatan NPM merupakan pendekatan penyusunan anggaran yang fokus pada manajemen sektor
publik yang berorientasi pada kinerja, bukan pada kebijakan. Adapun ciri dari pendekatan tersebut
adalah komparatif, terintegrasi, dan lintas departemen, proses pengambilan keputusan yang rasional,
berjangka panjang, spesikasi tujuan dan adanya skala prioritas, analisis biaya manfaat, berorientasi
pada input, output dan outcome, serta adanya pengawasan kinerja. Beberapa jenis pendekatan anggaran
dalam NPM yaitu anggaran berbasis kinerja, zero based budgeting, dan planning, programming, and
budgeting system.
Untuk periode saat ini, pemerintah sudah berusaha untuk menerapkan pendekatan penyusunan
anggaran sesuai konsep NPM, yaitu anggaran berbasis kinerja atau performance based budgeting,
kerangka pengeluaran jangka menengah, dan anggaran terpadu (Unied Budget).
Penyusunan anggaran dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan
hasil, yaitu:
1. Mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dan dampak atas alokasi belanja yang ditetapkan.
2. Disusun berdasarkan sasaran yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran.
3. Program dan kegiatan disusun berdasarkan rencana strategis kementerian/lembaga atau SKPD.
Tujuan pembuatan anggaran yaitu untuk perencanaan secara konseptual yang terdiri atas formulasi
kebijakan anggaran dan perencanan operasional anggaran. Sedangkan Fungsi anggaran dapat dibagi
menjadi 4 (empat), yaitu fungsi perancanaan, pengawasan, koordinasi, dan anggaran sebagai pedoman
kerja. Keempat fungsi tersebut masing-masing memiliki tujuan yang telah ditetapkan yaitu:
2. Fungsi Pengawasan
Anggaran merupakan salah satu cara mengadakan pengawasan dalam perusahaan. Pengawasan itu
merupakan usaha-usaha yang ditempuh agar rencana yang telah disusun sebelumnya dapat dicapai.
Dengan demikian pengawasan adalah mengevaluasi prestasi kerja dan tindakan perbaikan apabila
perlu. Aspek pengawasan yaitu dengan membandingkan antara prestasi dengan yang dianggarkan,
apakah dapat ditemukan esiensi atau apakah para manajer pelaksana telah bekerja dengan baik
dalam mengelola perusahaan. Tujuan pengawasan itu bukanlah mencari kesalahan akan tetapi
mencegah dan memperbaiki kesalahan. Sering terjadi fungsi pengawasan itu disalah artikan yaitu
mencari kesalahan orang lain atau sebagai alat menjatuhkan hukuman atas suatu kesalahan yang
dibuat padahal tujuan pengawasan itu untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan dan rencana
perusahaan.
3. Fungsi Koordinasi
Fungsi koordinasi menuntut adanya keselarasan tindakan bekerja dari setiap individu atau bagian
dalam perusahaan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk
menciptakan adanya koordinasi diperlukan perencanaan yang baik, yang dapat menunjukkan
keselarasan rencana antara satu bagian dengan bagian lainnya. Anggaran yang berfungsi sebagai
perencanaan harus dapat menyesuaikan rencana yang dibuat untuk berbagai bagian dalam
perusahaan, sehingga rencana kegiatan yang satu akan selaras dengan lainnya. Untuk itu anggaran
dapat dipakai sebagai alat koordinasi untuk seluruh bagian yang ada dalam perusahaan, karena semua
kegiatan yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian lainnya sudah diatur dengan baik.
BAB II 53
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Kotak 2.6 APBD Tekor Akibat Buruknya Perencanaan
MEDAN – Buruknya perencanaan anggaran dinilai sebagai penyebab utama tekornya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan 2013. “Kalau perencanaan anggaran
baik, realisasi antara minus dan plus anggaran itu hanya 10%. Kalau jauh bedanya, berarti ada
sesuatu yang harus dievaluasi dari segi target penerimaan, dan belanja harus dilakukan audit,”
ujar pengamat anggaran di Medan Elfenda Ananda, kemarin. Menurut Elfenda, evaluasi dan
audit keuangan Pemko Medan itu perlu segera dilakukan, mengingat kas Pemko Medan sudah
mengalami desit.
Padahal, tidak ada situasi ekonomi yang gonjang-ganjing di Kota Medan sepanjang 2013.
“Kalau situasi ekonomi saat ini kan stabil, makanya perlu kita lakukan peninjauan untuk audit
pendapatan dan belanja, karena mungkin bisa jadi ada masalah,” kata Elfenda. Jika hal itu tidak
dilakukan, dia khawatir bakal berdampak terhadap pembangunan Kota Medan. Sebab, jika tidak
ada anggaran, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan.
“Ke depan, Pemko Medan harus memperketat pengawasan dan harus ada audit khusus. Apakah
neraca anggaran yang dibuat SKPD sudah benar, ke mana arus kas Pemko Medan, sehingga bisa
ditemukan apakah ada penyalahgunaan anggaran atau tidak,” tandasnya. Diberitakan Kamis
(29/8), anggaran Pemko Medan tahun ini habis hanya untuk bayar utang proyek 2012. Akibatnya,
pembangunan sepanjang 2013 stagnan dan banyak yang terbengkalai. Ini diakui hampir semua
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) saat rapat pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (P-APBD) 2013 dengan Panitia Khusus (Pansus) DPRD. Menanggapi tekornya
APBD ini, Sekretaris Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Kota Medan Zulfan Nasution
menepisnya. Dia memastikan kas Pemko Medan saat ini masih stabil. “Kas kami tidak kosong.
Kalaupun ada rekanan yang membawa SPM (surat perintah membayar) kepada kami, bisa
langsung dicairkan asal ada berkasnya,” ungkapnya. Menurut dia, tidak salah jika proyek tahun
lalu dibayarkan tahun ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 37/2012 tentang
Pedoman Penyusunan APBD 2013, pengerjaan proyek tahun 2012 masih bisa dibayarkan tahun
berikutnya. “Masalahnya banyak rekanan yang minta dicairkan tapi berkasnya tidak lengkap,”
kata Zulfan.
Selain itu, lanjutnya, masih banyaknya proyek 2012 yang belum dibayarkan akibat belum cairnya
utang Pemprov Sumut kepada Pemko Medan sebesar Rp 572 miliar. Utang ini merupakan dana
bagi hasil 2012 sebesar Rp 562 miliar, dan dana bantuan daerah bawahan (BDB) senilai Rp10
miliar. “Kalau bantuan daerah bawahan memang tidak ada limit waktu pembayaran, makanya
hingga sekarang belum dibayar. Kalau dana bagi hasil memang harus dibayar Pemprov Sumut,
tapi hingga sekarang belum juga dicairkan,” tandasnya.
Terkait belum dicairkannya dana bagi hasil dan dana BDB itu, BPKD semestinya dari awal sudah
mempersiapkan skenario anggaran. BPKD juga semestinya intens berkomunikasi, sehingga
bisa diprediksi dengan cepat berapa anggaran riil yang bisa digunakan. “Kalau ada komunikasi
yang baik antara BPKD dengan pemprov, tentu bisa diprediksi berapa penerimaan anggaran.
kalau dalam semester pertama pembayaran dana bagi hasil, misalnya sudah telat, perencanaan
anggaran bisa dikurangi dalam P-APBD dengan tidak memasukkan penerimaan dari sektor dana
bagi hasil. Jadi, perencanaan anggaran menjadi profesional,” katanya.
Sumber: http://m.koran-sindo.com/node/326266lia, (Anggia nasution, Reza Shahab)
Perencanaan sebagai acuan bagi penganggaran pada dasarnya adalah proses untuk menyusun rencana
pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk suatu jangka waktu tertentu. Kebijakan Umum APBD
(KUA) merupakan bagian dari dokumen perencanaan pembangunan daerah yang berfungsi sebagai
pedoman dalam merencanakan pembangunan dan pengambilan kebijakan di daerah. Dokumen ini
mempunyai fungsi yang sangat strategis karena menyangkut pilihan terhadap program, kegiatan dan
Sementara untuk perencanaan dan penganggaran daerah dalam satu tahun, Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) dari masing-masing Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja-SKPD) menjadi dasar untuk penyusunan KUA dan SP melalui tahapan Musrenbang. Secara
umum keterkaitan perencanaan dengan penganggaran dapat dilihat pada gambar berikut:
KUA
RPJ RPJ RKA
RKPD - APBD
PD MD SKPD
PPAS
Perencanaan Keterkaitan
Upaya untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Sejak awal penyusunan rencana, besaran sumber daya nansial atau pagu anggaran indikatif
sudah diketahui sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan di Musrenbang
desa, kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten/Kota dan Provinsi.
2. Prioritas kegiatan untuk setiap SKPD sudah sama formasinya sejak dari hasil RKPD, Renja SKP,
hingga Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD.
3. RKPD dan Renja yang disusun berdasarkan hasil Musrenbang Kabupaten/Kota atau Provinsi serta
hasil forum SKPD menjadi rujukan utama dalam penyusunan dan pembahasan kebijakan umum
APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran SKPD.
4. DPRD maupun pemerintah daerah memahami bahwa pengawalan dan konsistensi prioritas
kegiatan hasil perencanaan partisipasi sewaktu melaksanakan kegiatan penganggaran diperlukan.
5. Output setiap tahapan dalam proses penganggaran dapat diakses oleh setiap peserta perencanaan
partisipatif. Setiap inkosistensi materi dengan hasil perencanaan partisipatif wajib disertai dengan
penjelasan resmi dari pemerintah dan/atau DPRD (Asas Transparansi dan Akuntabilitas dalam
good governance).
BAB II 55
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Secara skematis keterkaitan antara perencanaan dengan penganggaran dapat di lihat pada gambar
berikut ini:
PERENCANAAN PENGANGGARAN
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda
Pembangunan Bidang), menyatakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai salah satu dari tiga
kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang dalam kebijakan pembangunan nasional. Undang-
Undang Nomor 6/2014 tentang Desa juga menyatakan pentingnya PUG dalam pembangunan dan
pemerintahan desa.
Kesetaraan Gender diartikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki dan mendapatkan penghargaan
yang setara sebagai manusia di dalam berbagai aspek kehidupan, dan sama-sama mendapatkan
akses, mampu berpartisipasi dan memiliki kontrol serta mendapatkan manfaat dari intervensi
pembangunan. Sedangkan gender itu sendiri adalah bukan kata lain dari perempuan; namun
berkenaan dengan perempuan dan laki-laki serta hubungan di antara mereka, dan ketimpangan
gender juga berdampak negatif terhadap laki-laki.
Mandat untuk melaksanakan PUG oleh semua Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah telah
dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000
tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan PUG, pada tahun 2012 diluncurkan Strategi Nasional
Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan Penganggaran yang Responsif Gender
(Stranas PPRG) melalui Surat Edaran Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara PP dan PA.
Di daerah, pelaksanaan PUG sebenarnya sudah diamanatkan dalam Permendagri Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, namun penegasan untuk melaksanakan
PPRG melalui analisis gender baru tercantum dalam Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 sebagai
Perubahan dari Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di
Daerah.
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dilakukan untuk menjamin keadilan
dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi, kontrol dan manfaat
pembangunan. Dalam konteks perencanaan daerah, Perencanaan Responsif Gender ini diintegrasikan
dalam dokumen perencanaan (RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD).
Pada tahap ketiga RPJPN, RPJMN Tahun 2015-2019 (Buku II Agenda Pembangunan Bidang);
Pengarusutamaan Gender merupakan salah satu kebijakan pengarusutamaan dan lintas bidang
dalam pembangunan nasional. Dengan demikian, telah terjadi penguatan dasar hukum pelaksanaan
PUG baik pada tingkat UU maupun Peraturan Presiden.
Untuk menjamin keadilan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam aspek akses, partisipasi,
kontrol dan manfaat pembangunan maka perencanaan pembangunan harus responsif gender.
Perencanaan pembangunan yang responsif gender harus mempertimbangkan aspirasi, kebutuhan,
permasalahan dan pengalaman perempuan dan laki-laki baik dalam proses penyusunannya maupun
dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks perencanaan daerah, Perencanaan yang responsif gender
ini direeksikan dalam dokumen RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD.
Perencanaan Responsif Gender diharapkan dapat menghasilkan Anggaran Responsif Gender, dimana
kebijakan pengalokasian anggaran disusun untuk mengakomodasi kebutuhan yang berbeda antara
perempuan dan laki-laki. Anggaran Responsif Gender ini diintegrasikan dalam dokumen KUA-PPAS,
RKA SKPD dan DPA SKPD.
Berdasarkan UU Nomor 25/2004 dan UU Nomor 23/2014, penyusunan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) dimulai dengan kegiatan Bappeda menyusun rancangan awal RKPD. Selanjutnya,
SKPD menyiapkan Rencana Kerja (Renja)-SKPD dan berpedoman pada Renstra-SKPD. Setelah Renja-
SKPD tersusun, maka kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan
menggunakan Renja-SKPD.
Di dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 dijelaskan bahwa
RKPD merupakan penjabaran RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, memuat rancangan
kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya dengan
mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
RKPD merupakan acuan bagi daerah dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD), dengan demikian Kepala Daerah dan DPRD dalam menentukan Kebijakan Umum
APBD (KUA), serta penentuan Prioritas dan Pagu Anggaran Sementara (PPAS) didasarkan atas
dokumen RKPD. KUA dan PPAS yang telah disepakati selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam
proses penyusunan APBD.
Dalam penyusunan RKPD, penyiapan dokumen perencanaan daerah berwawasan waktu 1 tahun
sebagai penjabaran RPJMD untuk tahun yang bersangkutan. RKPD yang telah ditetapkan dimaksudkan
untuk digunakan oleh SKPD untuk menyesuaikan rancangan Renja-SKPD menjadi Renja-SKPD yang
ditetapkan dengan keputusan pimpinan SKPD.
BAB II 57
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
RKPD memiliki kedudukan dan fungsi sebagai:
1. Acuan dalam penyusunan kerangka umum APBD;
2. Sigma program dan kegiatan dari seluruh Renja-SKPD di provinsi dan kabupaten/kota yang
bersangkutan.
APBD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek yang merupakan penjabaran perencanaan
jangka menengah daerah. Pada dasarnya perencanaan jangka pendek merupakan rencana kegiatan
pemerintah daerah untuk jangka waktu satu tahun yang selanjutnya disebut Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD).
Sebagai bagian dari kebijakan anggaran, pemerintah daerah menyampaikan rancangan kebijakan
umum APBD (KUA) tahun anggaran berikutnya yang sejalan dengan RKPD kepada DPRD. Rancangan
KUA selanjutnya dibahas dan disepakati bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD sebagai landasan
penyusunan RAPBD.
Musrenbang Kecamatan
(Februari) 2 Penyusunan DPA SKPD
12
(Desember)
KUA dan PPA yang telah disepakati (Nota Kesepahaman) selanjutnya digunakan sebagai pedoman
dalam perencanaan operasional anggaran. Selanjutnya KUA dan PPA menjadi bagian dari pedoman
bagi SKPD dalam penyusunan RKA-SKPD. Penyusunan RKA-SKPD merupakan bentuk pengalokasian
sumber daya keuangan pemerintah daerah berdasarkan struktur APBD dan kode rekening yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan tabel yang telah ditampilkan di atas, dapat diketahui jika siklus anggaran harus sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan dari segi waktu dan tidak boleh mengesampingkan tujuan
dan manfaat yang akan diperoleh dari penyusunan anggaran. Dalam proses penyusunan anggaran
juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan partisipasi dari level bawah untuk memperoleh
masukan yang tepat sasaran (pendekatan bottom-up).
Gambar di bawah ini menunjukkan jumlah APBD yang telah disampaikan kepada Kemenkeu pada
periode tahun 2010-2014. Terlihat bahwa jumlah APBD yang seharusnya ditetapkan paling lambat
31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan semakin banyak di tahun 2014 dibandingkan tahun
2010. Untuk tahun 2014 (sd 19 Mei 2014), sebanyak 531 daerah telah menyampaikan APBD-nya
kepada Kemenkeu. Dari 531 daerah tersebut, yang menetapkan APBD-nya tepat waktu (sebelum 31
Desember) sebanyak 354 daerah (67% daerah), meningkat dari tahun 2011 yg hanya 211 daerah (40%).
BAB II 59
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Gambar 2.11 Perkembangan Jumlah APBD Berdasarkan Waktu Penetapannya, 2010-2014
400
354
350 327
400 2744
250 212241
1
176
200 160
139 2011
150
116 2012
100 9276 62 43 622
60 47 600 41 30 2013
50 24 1210 10 2014
6 8 12 3 4 11 1
-
lm
et
ril
ei
ni
li
ar
ar
Ju
M
ar
Ju
Ap
nu
ru
Sb
M
b
Ja
h
Fe
rT
be
em
es
D
Kewenangan DPRD dalam menjalankan fungsi anggaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Berdasarkan pasal 317 dan 366, wewenang
dan tugas DPRD yang terkait anggaran adalah membahas dan memberikan persetujuan rancangan
peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah yang diajukan oleh gubernur/
bupati/walikota. Selain itu, terkait dengan fungsi pengawasan, DPRD juga berwenang dalam
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan
demikian dalam konteks APBD, posisi DPRD adalah untuk memberikan persetujuan (atau menolak)
usulan dari kepala daerah dan kemudian mengawasi pelaksanaan APBD tersebut.
Namun faktanya, kita sering mendengar pembahasan APBD di banyak daerah sering terhambat
yang salah satunya disebabkan karena baik eksekutif dan legislatif daerah sama-sama berusaha
mengusulkan alokasi anggaran untuk kegiatan yang akan dilakukan. Kasus terbaru, adalah
perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta dan DPRD terkait dengan APBD DKI Jakarta tahun 2015
yang berakibat sampai dengan Maret 2015, APBD tersebut belum bisa dilaksanakan. Gubernur Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) menuduh adanya anggaran siluman yang tidak diusulkan oleh SKPD nya
masuk dalam APBD 2015. Sementara pihak DPRD marah dan menolak usulan APBD versi gubernur
karena tidak memasukkan usulan anggaran hasil kesepakatan dengan dewan.
Mengapa hal-hal seperti ini terus terjadi? Salah satu penyebabnya adalah adanya persepsi yang keliru
dengan menganggap kedudukan DPRD adalah sama seperti kedudukan DPR5. Kedudukan DPRD
dan DPR berbeda dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang yang dimilikinya. DPRD sebagai
bagian dari unsur pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi, tugas dam wewenangnya selain
berdasarkan undang-undang juga harus berpedoman pada kebijakan operasional berupa Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai tatanan,
patokan, dasar, dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. NSPK yang dimaksud
dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun peraturan menteri/lembaga tinggi
lainnya. Sedangkan DPR tidak terikat dan tidak tunduk pada NSPK.
Jika mengacu pada perundangan yang berlaku, maka seharusnya kewenangan DPRD dalam
penganggaran hanya sebatas menyetujui atau menolak rancangan APBD yang diusulkan kepala
daerah. Kewenangan memberi persetujuan (atau menolak) usulan APBD yang diajukan oleh kepala
daerah sifatnya juga harus berdasarkan rasionalitas politis bukan teknokratis. Hal ini dinyatakan oleh
pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013. Persetujuan DPR/
DPRD terhadap APBN/ APBD tidak mencakup pada pembahasan hingga kegiatan dan jenis belanja
(atau satuan tiga). Jadi, DPR/DPRD memfokuskan pada strategi anggaran negara/daerah yang sesuai
dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran.
Kotak 2.7 Kemendagri: Tarik-menarik Kepentingan Picu APBD DKI Selalu Telat
Menurut Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar Moenek, dalam 3 tahun terakhir
Pemprov DKI kerap terlambat menyusun APBD. “DKI Jakarta 2-3 tahun terakhir selalu terlambat,”
kata Reydonnyzar di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu 8 April 2015.
Dengan adanya keterlambatan penyusunan APBD, apalagi tahun anggaran 2015, Reydonnyzar
menyatakan pihaknya telah memberikan teguran kepada Gubernur ataupun DPRD DKI.
Sambil memberikan teguran, Kemendagri juga memfasilitasi keduanya untuk membahas
APBD. “Mendagri sudah menegur 6 Januari lalu untuk Gubernur dan DPRD. Teguran sifatnya
pembinaan. Sambil ditegur, kami juga melakukan fasilitasi dengan Gubernur dan DPRD,” tambah
Reydonnyzar.
Sumber: http://news.liputan6.com/read/2210200/kemendagri-tarik-menarik-kepentingan-picu-apbd-dki-selalu-telat#
BAB II 61
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2.5 Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
2.5.1 Pengertian Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
Perencanaan dan penganggaran merupakan rangkaian kegiatan dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan dan berkesinambungan. Penyusunan rencana perlu memperhatikan sumber daya
(pendanaan) yang tersedia, sehingga dalam pelaksanaannya, konsekuensi dan keterkaitannya dengan
penganggaran perlu mendapat perhatian yang serius.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyusunan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM
- MTEF – medium term expenditure framework) menjadi sangat penting untuk diterapkan. Menurut
PP 21/2004 pasal 1 poin 5 dan Permendagri 13/2006 pasal 1 poin 35, KPJM adalah pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut
dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi
biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada periode/tahun berikutnya yang dituangkan dalam
prakiraan maju. Dengan demikian, perencanaan berbasis KPJM bukan hanya mempertimbangkan
kinerja masa lalu untuk menyusun rencana dan anggaran tahun berjalan tetapi juga memperhitungkan
kinerja yang akan dicapai setelah perencanaan dan penganggaran tahun berjalan.
Dasar hukum KPJM dalam penganggaran negara dan daerah diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam penjelasan Bab I
Nomor 6 yang berbunyi bahwa ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD
dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah,
penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran,
pengintergrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan
klasikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka
menengah.
2. PP 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/
Lembaga. RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja (pasal 4).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Penyusunan
RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dilaksanakan dengan
menyusun prakiraan maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan
yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan
dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut
pada tahun berikutnya (pasal 37).
4. Permendagri No 13 tahun 2006 jo Nomor 59 tahun 2007 jo Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. RKA disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka
pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berdasarkan
prestasi kerja (Pasal 90 ayat 2).
Tujuan teknis KPJM adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perencanaan program
dan kegiatan. Peningkatan tersebut dapat menciptakan esiensi dan efektitas perencanaan dan
penganggaran program dan kegiatan. Tujuan lainnya adalah menciptakan konsistensi antara
perencanaan dengan penganggaran. Disamping itu akan tercipta kesinambungan RKA SKPD dan
Tujuan lain KPJM adalah peningkatan kinerja program pemerintah. Hal tersebut dilakukan
dengan mengubah paradigma birokrasi dari administrasi ke budaya manajerial dan meningkatkan
prediktibilitas sumber daya/input. Secara umum manfaat yang diperoleh dari KPJM meliputi:
Berperan dalam memelihara keberlanjutan skal (scal sustainability) dan meningkatkan
disiplin skal.
Meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran.
Mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis.
Meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan
yang optimal.
Dalam rangka penyusunan KPJM perlu diketahui dan diperhatikan beberapa faktor berikut ini, yaitu:
BAB II 63
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2.5.5 Metode Penyusunan KPJM
Dalam proses penyusunan proyeksi KPJM dapat dilakukan melalui beberapa metode berikut ini:
1. Metode teknis, yaitu meramalkan pengeluaran di masa mendatang atas dasar kebijakan dan
program yang dilaksanakan hingga saat ini;
2. Metode ketat (stringent), yaitu proyeksi pengeluaran yang memperhitungkan biaya dari kebijakan/
program yang sudah ada hingga saat ini dan adanya penghematan (saving) dari program yang
tidak prioritas;
3. Metode komprehensif, yaitu proyeksi pengeluaran yang dilakukan dengan memasukkan semua
kebijakan dan program baru serta biaya yang diperlukan selama jangka menengah.
Setiap penyusunan KPJM juga perlu mempertimbangan proyeksi pengeluaran dalam KPJM yaitu:
a. Dampak dari kebijakan atau program kegiatan yang dilaksanakan pada tahun berjalan dan
tahun-tahun sebelumnya;
b. Rasionalisasi pengeluaran dalam rangka peningkatan dan efektivitas pelaksanaan program
dan kegiatan (saving);
c. Ruang gerak untuk menampung kebijakan baru.
Kriteria yang menyebabkan program dan kegiatan dapat dianggarkan dalam KPJM daerah adalah
sebagai berikut:
1. Beban target capaian program sesuai dengan kondisi riil daerah yang mengharuskan mengerjakan
program dan kegiatan guna mewujudkan kewajiban daerah;
2. Sifat kegiatan yang berkelanjutan. Beberapa kegiatan SKPD adalah kegiatan pelayanan yang tidak
dapat berhenti dalam setiap tahun anggaran.
Langkah-langkah penyusunan penganggaran program dan kegiatan melalui KPJM daerah adalah
sebagai berikut:
a. Langkah 1 : Spesikasi nama dan capaian program;
b. Langkah 2 : Identikasi kegiatan;
c. Langkah 3 : Spesikasi indikator dan tolok ukur serta target kinerja kegiatan;
d. Langkah 4 : Spesikasi tahapan pelaksanaan kegiatan;
e. Langkah 5 : Identikasi kebutuhan barang dan jasa pada setiap tahap;
f. Langkah 6 : Kalkulasi kebutuhan barang dan jasa dengan harga satuan;
g. Langkah 7 : Perhitungan kebutuhan belanja tahun n+1.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), perencanaan merupakan suatu proses untuk menentukan tindakan
masa depan yang tepat melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam konteks otonomi daerah disusun Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah. Ketiga dokumen perencanaan tersebut pada dasarnya merupakan perencanaan
strategis karena di dalamnya memuat masalah-masalah yang bersifat strategis yang segera
memerlukan pemecahan sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Permasalahan strategis ditandai
dengan beberapa hal (Wahyudi dalam Wasistiono, 2010), yakni:
Berkaitan dengan kondisi tersebut pemerintah daerah disamping harus berkir strategis, juga
memerlukan berbagai informasi yang lengkap dan aktual guna tersusunnya dokumen-dokumen
perencanaan tersebut. Khusus untuk perencanaan jangka menengah di dalamnya termuat visi, misi
kepala daerah terpilih. Setelah itu, berdasarkan misi yang telah ditetapkan akan disusun strategi
untuk pencapaiannya yang berupa program kerja lima tahunan guna mewujudkan misi yang
telah dijanjikan. Capaian dari setiap misi yang diharapkan memberikan kontribusi yang besar atas
tercapainya visi kepala daerah sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye pemilihan kepala daerah.
Dalam proses penyusunan dokumen perencanaan tersebut informasi dari akuntansi menajemen
pemerintahan daerah merupakan hal yang sangat penting, bahkan dibutuhkan sejak tahap awal. Pada
tahap perencanaan strategis (penyusunan RPJM dan RKPD) pemerintah daerah membuat alternatif-
alternatif program yang dapat mendukung strategi organisasi. Program-program tersebut diseleksi
kemudian dipilih dan disesuaikan dengan prioritas dan sumber daya yang dimiliki. Akuntansi
manajemen pemerintahan berperan memberikan informasi dalam rangka menentukan besaran
biaya program, biaya satuan aktivitas, dan evaluasi kinerja periode sebelumnya sehingga pemerintah
daerah dapat menentukan anggaran yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, KPJM disusun dengan maksud untuk menyelaraskan perumusan
kebijakan pengeluaran dengan kemampuan penyediaan dana dan pengeluaran pemerintah yang lebih
BAB II 65
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
mencerminkan prioritas pemerintah, memelihara kelanjutan skal dan meningkatkan disiplin skal,
meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dengan proses penganggaran serta mendorong
pengalokasian sumber dana agar rasional dan realistis. Tujuan KPJM adalah menjamin konsistensi
dan kesinambungan kebijakan, yaitu kebijakan tidak akan berubah, kecuali karena berdasarkan hasil
evaluasi dan kebijakan yang telah ditetapkan dijamin pendanaannya.
1. Tahun pertama dari proyeksi KPJM digunakan sebagai dasar dan proses penyiapan anggaran
tahunan berikutnya. Dalam hal ini yang harus dilakukan pertama kali adalah memutakhirkan
standar biaya dari estimasi belanja multi tahun yang disiapkan pada tahun sebelumnya dengan
mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan anggaran, dan evaluasi pengeluaran.
Estimasi tersebut harus memperhitungkan adanya penghematan yang dapat dicapai oleh program
atau kegiatan yang berlanjut selama periode perencanaan. Hasil pemutakhiran proyeksi tahunan
sebelumnya tersebut merupakan estimasi pengeluaran untuk kebijakan yang sedang berjalan
yang menjadi baseline dari rencana pengeluaran pada tahun anggaran yang sedang dipersiapkan.
2. Pagu belanja untuk SKPD. Setelah total belanja daerah untuk tahun anggaran yang sedang
dipersiapkan ditetapkan, maka terlihat kesenjangan bagi kebijakan baru. Dengan batasan
kendala skal yang ada kemudian SKPD berjuang untuk mendapatkan alokasi anggaran untuk
melaksanakan kebijakan dan program yang termuat di dalam renstra SKPD atau kebijakan dan
program baru. Setelah masing-masing SKPD mendapatkan pagu kemudian menuangkannya ke
dalam program dan kegiatan yang dilaksanakan pada tahun anggaran yang sedang dipersiapkan.
Kebijakan dan program yang berlanjut harus terpisah secara jelas dari kebijakan dan program
yang baru. Estimasi belanja SKPD dalam jangka menengah, paling tidak harus menunjukkan:
a. Tingkat belanja saat ini. Jika dikaitkan dengan belanja program dan kegiatan maka harus
diinformasikan belanja program dan kegiatan hingga saat ini.
b. Tambahan belanja yang diperlukan untuk menyediakan tingkat dan kualitas layanan yang
sama di masa yang akan datang (misalnya menjaga rasio guru dan murid dalam satu kelas pada
suatu jenjang pendidikan).
c. Tambahan pengeluaran atau saving apabila cakupan dan kualitas pelayanan yang diubah
berdasarkan keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah.
3. Penyusunan KPJM. Setelah program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang sedang dipersiapkan
selesai disusun maka tahap selanjutnya adalah penyusunan KPJM, khususnya prakiraan maju
untuk tahun-tahun berikutnya. KPJM/prakiraan maju yang disusun tersebut nantinya akan
digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran untuk tahun berikutnya.
Demikian secara bergulir tahun pertama dari KPJM akan menjadi dasar menyusun anggaran untuk
tahun anggaran yang sedang dipersiapkan, dan pada tahun terakhir KPJM ditambahkan proyeksi
untuk satu tahun berikutnya.
Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada pemerintah daerah didasarkan pada ketentuan hukum
sebagai berikut:
1. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk
mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan.
Manfaat tersebut dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran yang dituangkan dalam target
kinerja pada setiap SKPD.
Menurut (Marc and Jim, 2005) ABK dapat diartikan sebagai prosedur atau mekanisme untuk
memperkuat keterkaitan antara dana yang diberikan kepada instansi/lembaga pemerintah dengan
outcome (hasil/dampak) dan/atau output (keluaran), melalui pengalokasian anggaran yang didasarkan
pada informasi “formal” tentang kinerja. Informasi kinerja “formal” mencakup informasi mengenai
ukuran kinerja (performance feature), ukuran biaya untuk masing-masing kelompok output dan
outcome, dan penilaian atas efektitas dan esiensi belanja melalui berbagai alat analisis.
ABK yang efektif akan mengindentikasikan keterkaitan antara nilai uang dan hasil, serta dapat
menjelaskan bagaimana, keterkaitan tersebut dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan
program secara efektif. Jika terjadi perbedaan antara rencana dengan realisasinya, dapat dilakukan
evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan ouput/outcome untuk
menentukan efektivitas dan esiensi pelaksana program.
Tujuan Penyusunan ABK adalah untuk meningkatkan esiensi alokasi dan produktivitas dari belanja
pemerintah.
Sedangkan menurut Vanlandingham, Wellman, Andrews, 2005, tujuan dan manfaat penyusunan
anggaran berbasis kinerja sebagai berikut :
1. Meningkatkan akuntabilitas agensi dengan memfasilitasi misi dan pendenisian tujuan, evaluasi
kinerja, dan pemanfaatan informasi kinerja dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
penganggaran (increase agency accountability by facilitating mission and goal denition, performance
evaluation, and the use of performance information in planning and budgeting decision-making);
2. Meningkatkan eksibilitas anggaran agensi dengan memfokuskan proses apropriasi legislatif pada
keluaran, bukan input (increase agency budget exibility by focusing the legislative appropriation
process on outcomes, not input);
3. Menyempurnakan koordinasi, menghilangkan duplikasi program, dan menyajikan informasi
yang tepat untuk mengambil keputusan;
BAB II 67
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
4. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pemerintah, dengan asumsi jika masyarakat
lebih tertarik pada hasil dibanding proses;
5. Mengembangkan incentive agensi menjadi lebih esien dan efektif.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya penyusunan
ABK pada pemerintah daerah antara lain:
1. Esiensi pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan kerja dan kegiatan terhadap biaya;
2. Mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;
4. Mengubah paradigma dan kinerja lembaga berdasarkan besar dana yang menjadi penilaian
berdasarkan pencapaian kinerja yang diukur dengan indikator-indikator substantif yang
dihasilkan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan secara esien, efektif, dan ekonomis
dan sejalan dengan kebijkan organisasi.
Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap alokasi biaya yang
direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai.
Kinerja Pemerintah Daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap pelaksanaan APBD. Selanjutnya
untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya kinerja penyusunan anggaran
perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu tentang elemen atau persyaratan penerapan anggaran
kinerja, yaitu analisis standar belanja, indikator kinerja, dan standar biaya.
Analisis standar belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB
adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau
kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
ASB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang
akan dilaksanakan oleh SKPD dalam satu tahun anggaran. Penilaian terhadap usulan anggaran
belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai melalui program atau kegiatan.
ASB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program
atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar
harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung dengan cermat karena akan menjadi bahan seleksi
atas usulan anggaran setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang melampaui ASB
akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang telah ditetapkan. Apabila anggaran program atau kegiatan
lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien. Jadi dengan adanya ASB dapat
dipergunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan
atau yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, ASB sudah dapat digunakan untuk mengukur
esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD.
Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, ASB juga merupakan standar atau pedoman yang
bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang
direncanakan oleh setiap SKPD. ASB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana
program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dalam upaya pencapaian kinerja.
Penilaian kewajaran berdasarkan ASB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan
yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapain kinerja
program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping itu, dalam rangka menilai usulan anggaran
belanja, ASB dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan
Penerapan ASB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain : (1) mendorong setiap SKPD
untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan atau kegiatannya, (2) menghindari adanya
belanja yang kurang efektif dalam upaya pencapaian kinerja karena didasarkan pada tolok ukur
kinerja yang jelas, (3) mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi,
(4) SKPD mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Indikator Kinerja
Tolok ukur kinerja atau indikator kinerja merupakan komponen lainnya yang harus dikembangan
untuk dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja. Indikator kinerja adalah
ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap SKPD. Indikator kinerja/keberhasilan untuk setiap
jenis pelayanan pada bidang-bidang kewenangan yang diselenggarakan oleh SKPD ditetapkan dalam
bentuk standar pelayanan yang ditetapkan oleh masing-masing daerah.
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan indikator kinerja yang diharapkan
dapat dicapai oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangannya. Selanjutnya untuk
penilaian kinerja dapat digunakan ukuran penilaian didasarkan pada indikator sebagai berikut :
1. Masukan (Input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besarnya sumber-sumber:
dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk
melaksanakan program dan/atau kegiatan.
2. Keluaran (Output) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan
dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan.
3. Hasil (Outcome) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai
berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan.
4. Manfaat (Benet) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan
sebagai nilai tambah bagi kinerja masyarakat dan Pemerintah Daerah dari hasil.
5. Dampak (Impact) adalah tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang
ingin dicapai dari manfaat.
Standar Biaya
Standar biaya merupakan komponen lainnya yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran
kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, selain ASB dan indikator kinerja. Standar biaya
adalah harga satuan barang atau jasa yang berlaku di masing-masing daerah. Penetapan standar
biaya akan membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau kegiatan bagi daerah
yang bersangkutan. Pengembangan standar biaya harus dilakukan secara kontinyu sesuai dengan
perubahan harga yang terjadi di masing-masing daerah, minimal sekali setahun.
1. Suatu Proses
Penerapan awal ABK tidaklah langsung sempurna di dalam pelaksanaannya tetapi biasanya dimulai
dengan berbagai kelemahan, baik di dalam penentuan standar biaya/harga, indikator kinerja,
maupun penetapan ASB. Namun kelemahan yang terjadi tersebut tidaklah harus dipertahankan
tetapi senantiasa dilakukan penyempurnaan sesuai kondisi yang dihadapi organisasi dalam hal ini
Pemerintah Daerah. Penyempurnaan standar biaya, indikator kinerja, dan ASB harus dilakukan secara
terus menerus, minimal sekali setahun.
BAB II 69
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
2. Menumbuhkan Komitmen
Meskipun disadari besarnya manfaat penerapan ABK, namun di dalam implementasinya sering
terjadi kelemahan yang terjadi di dalam penyusunan elemen ABK, yaitu standar biaya/harga,
indikator kinerja, dan ASB dapat menumbuhkan kemalasan dan apriori di dalam melanjutkan dan
menyempurnakan penerapan ABK. Untuk itu, sangat diharapkan komitmen kuat dari setiap anggota
organisasi, terutama Gubernur/Bupati/ Walikota dan pimpinan SKPD serta yang terlibat langsung di
dalam penyusunan ABK untuk menyempurnakan penyusunan ABK dan evaluasi kinerja kegiatan,
program dan oragnisasi.
Dalam kaitan penyusunan ABK perlu diperhatikan prinsip-prinsip penganggaran, aktivitas utama
dalam penyusunan ABK, peranan legislatif, siklus perencanaan dan penganggaran daerah, struktur
APBD, dan penggunaan ASB.
Prinsip-prinsip utama dan sifat-sifat yang dikandung dalam teknik Anggaran Kinerja (Mardiasmo,
2002) meliputi :
1. Penekanan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output yang diukur dengan
beberapa indikator. Elemen utama value for money, yaitu:
a. Ekonomis, yaitu perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga terendah
dan atau dalam praktek berarti “meminimalkan penggunaan sumberdaya dalam melaksanakan
suatu kegiatan”;
b. Esien, yaitu pemanfaatan input minimal untuk mencapai hasil yang maksimal atau
prakteknya berarti “melaksanakan sesuatu dengan benar”;
c. Efektif, yaitu mencapai tujuan dan sasaran dengan target yang ditetapkan secara maksimal
atau prakteknya berarti “melakukan hal yang benar”;
2. Pengutamaan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang
sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan.
3. Penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik termasuk adanya pertanggungjawaban para
pengambil keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran
dan indikator yang telah ditetapkan.
4. Penerapan transparansi, akuntabilitas, dan terbukanya ruang bagi partisipasi publik, untuk
memastikan bahwa berbagai fungsi dan tanggungjawab pengelola keuangan daerah dijalankan
dengan baik dan bahwa setiap keputusan yang menyangkut keuangan daerah benar-benar
didasarkan bagi kepentingan seluruh masyarakat.
5. Kegiatan sebagai dasar usulan anggaran yang bersifat bottom-up. Kegiatan diajukan oleh unit
teknis atau unit terbawah SKPD yang mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan sesuai
tupoksinya serta apa target dan indikator kinerjanya.
Terkait dengan proses penyusunan ABK, maka dilakukan beberapa aktivitas terkait dengan
penyusunan anggaran tersebut. Aktivitas utama dalam penyusunan ABK adalah mendapatkan
data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses mendapatkan data kuantitatif
bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian tentang berbagai program yang
menghasilkan output dan outcome yang diharapakan. Perolehan dan penyajian data kuantitatif juga
akan menjelaskan bagaimana manfaat setiap program bagi rencana strategis. Sedangkan proses
pengambilan keputusannya melibatkan setiap level dari manajemen pemerintahan. Pemilihan dan
prioritas program yang akan dianggarkan tersebut akan sangat tergantung pada data tentang target
kinerja yang diharapkan dapat dicapai.
Berkaitan dengan penyusunan ABK untuk setiap program dan kegiatan SKPD, setiap penyusun ABK
perlu mengetahui dan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penentuan program dan kegiatan harus mengacu pada program dan kegiatan yang ada dalam
RPJMD dan RKPD.
2. Menentukan indikator dan target kinerja program dan kegiatan.
3. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang plafon anggaran sementara atas kegiatan
yang relevan agar penyusunan anggaran kegiatan yang tidak melebihi plafon anggaran.
4. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang analisa standar belanja dari kegiatan yang
relevan agar penyusunan anggaran per satuan kegiatan (misalnya anggaran bangunan per m2,
anggaran diklat per orang peserta per jam) tidak melebihi analisa standar belanja.
5. Mendapatkan dan menggunakan informasi tentang standar biaya/harga yang berlaku agar
penyusunan anggaran harga satuan tidak melebihi standar biaya/harga yang telah ditetapkan.
6. Menyusun anggaran kegiatan dengan ketentuan tidak boleh melebihi analisis standar belanja dan
plafon anggaran.
2.7 Latihan
1. Jelaskan pengertian perencanaan!
2. Jelaskan secara singkat pentingnya perencanaan dalam pembangunan daerah!
3. Jelaskan secara singkat tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional!
4. Jelaskan secara singkat prinsip-prinsip perencanaan pembangunan daerah!
5. Jelaskan secara singkat mekanisme perencanaan pembangunan daerah!
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan indikator kinerja!
7. Jelaskan peran indikator kinerja dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran di daerah!
8. Jelaskan secara singkat keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran!
9. Jelaskan tujuan dan manfaat kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM)!
10. Jelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan KPJM!
11. Jelaskan secara singkat konsep anggaran berbasis kinerja!
12. Jelaskan tujuan penerapan anggaran berbasis kinerja!
BAB II 71
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
BAB III
PENDAPATAN DAERAH
Pendapatan daerah merupakan semua sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah, antara lain pajak daerah dan retribusi daerah dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, serta pendanaan dari pemerintah pusat, yang disebut juga sebagai dana
transfer, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Struktur Pendapatan Daerah sangat tergantung kepada regulasi yang berlaku. Saat ini terdapat dua
versi struktur Pendapatan Daerah, yaitu versi Permendagri 13/2006 dan versi Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Tidak ada perbedaan mendasar dari kedua versi ini, kecuali penempatannya
sebagaimana terlihat pada tabel. Permendagri 13/2006 saat ini dipakai oleh semua Pemerintah Daerah
untuk APBD, sedangkan SAP dipakai untuk realisasi APBD.
BAB III 73
PENDAPATAN DAERAH
Tabel 3.1 Struktur Pendapatan Daerah
Struktur Pendapatan Daerah versi Struktur Pendapatan Daerah versi SAP
Permendagri 13/2006
Pendapatan Asli Daerah (PAD): Pendapatan Asli Daerah (PAD):
1. Pajak Daerah; 1. Pajak Daerah;
2. Retribusi Daerah; 2. Retribusi Daerah;
3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang 3. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan; Dipisahkan;
4. Lain-lain PAD yang Sah. 4. Lain-lain PAD yang Sah.
Dana Perimbangan: Pendapatan Transfer:
1. DBH; 1. Transfer Pemerintah Pusat – Dana
2. DAU; Perimbangan:
3. DAK. DBH;
DAU;
DAK.
2. Transfer Pemerintah Pusat – Lainnya:
Dana Otonomi khusus;
Dana Penyesuaian.
3. Transfer Pemerintah Provinsi:
Pendapatan Bagi Hasil;
Pendapatan Bagi Hasil Lainnya.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah: Lain-lain Pendapatan yang Sah:
1. Hibah; 1. Pendapatan Hibah;
2. Dana Darurat; 2. Pendapatan Dana Darurat;
3. Dana Otonomi Khusus; 3. Pendapatan Lainnya.
4. Dana Penyesuaian;
5. Bagi Hasil Pajak Provinsi;
6. Bantuan Keuangan dari Provinsi;
7. Pendapatan lain-lain yang Sah.
Pendapatan pemerintah provinsi di tahun 2014 ini secara rata-rata memperlihatkan keseimbangan
antara PAD dan Dana Perimbangan (lihat gambar 3.1). Secara umum pemerintah provinsi mengelola
sumber-sumber PAD yang potensial terutama dari pajak provinsi. kondisi seperti ini sudah
berlangsung cukup lama hingga sekarang (perhatikan juga tabel struktur pendapatan daerah tahun
2008-2010).
60%
48% 50%
50%
40%
30%
20%
10%
2%
0%
1
P
PAD Transfer dari Pusat Lainnya
90% 82%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20% 11%
7%
10%
1%
0%
P
PAD Transfer dari Pusat Transfer dari Prov Lainnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber Pendapatan Daerah yang pengelolaannya
diserahkan kepada daerah otonom, guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. PAD adalah
desentralisasi skal di sisi pendapatan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menggali
potensi yang dimiliki daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli
Daerah (PAD) terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Besaran PAD sangat penting karena menggambarkan
kemandirian daerah di sisi pendapatan.
BAB III 75
PENDAPATAN DAERAH
Dengan jumlah PAD yang semakin besar, diharapkan Pemda memiliki sumber pendapatan yang
dapat digunakan lebih banyak untuk meningkatkan investasi/belanja modal pemerintah daerah
untuk peningkatan layanan publik.
Pajak Daerah
Retribusi
Daerah
Pengelolaan
Kekayaan Daerah
yang Dipisahkan
Lain-lain PAD
yang Sah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas:
1. pajak daerah;
2. retribusi daerah;
3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Secara umum, pajak daerah merupakan sumber PAD yang dominan. Namun bagi pemerintah provinsi,
pendapatan dari Pajak Daerah amat sangat dominan, dimana 86% sumber PAD adalah dari Pajak
Daerah (lihat Grak). Sementara itu untuk Pemerintah Kabupaten/Kota, Pajak Daerah berkontribusi
sebesar 50% dari total PAD (lihat Gambar 3.4).
40%
30% 27%
20% 17%
10% 5%
0%
Pajak Daerah Hasil Kekayaan yang Dipisah
Retribusi Daerah Lain-lain PAD
Secara berurutan, dasar hukum pemungutan PAD oleh Pemerintah Daerah adalah sbb:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah;
5. Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi daerah.
Jenis pajak daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan Undang-Undang tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu UU 28 Tahun 2009. Berikut jenis pajak daerah menurut UU:
BAB III 77
PENDAPATAN DAERAH
3.2.3 Retribusi Daerah Menurut UU 28 Tahun 2009
Khusus untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah dalam mengelola pajak dan retribusi tertentu.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009, yaitu:
1. Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani
rakyat dan relatif netral terhadap skal nasional.
2. Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-
undang (Closed-List). Dengan kata lain, Pemerintah Daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan
retribusi yang tidak tercantum dalam undang-undang ini.
3. Daerah berwenang menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum
yang ditetapkan dalam undang-undang.
4. Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam
undang-undang ini. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara
preventif dan korektif.
Berbeda dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya (UU 34 Tahun 2000), UU ini
menambah kewenangan daerah sebagai berikut:
7. Earmarking.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus
menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib
dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung
dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.
Kekayaan daerah dapat dikelompokkan kepada kekayaan yang dipisahkan dan kekayaan yang tidak
dipisahkan. Kekayaan yang dipisahkan adalah berupa penyertaan modal daerah ke perusahaan swasta,
BUMD dan BUMN. Sedangkan kekayaan yang tidak dipisahkan adalah segala jenis aset yang dikuasai
dan dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah.
BAB III 79
PENDAPATAN DAERAH
Penyertaan modal daerah ke perusahaan dan kelompok usaha tentunya memungkinkan memberikan
pendapatan dividen/bagian laba kepada Pemerintah Daerah. Sehingga jenis pendapatan dari hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang
mencakup:
1. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
2. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;
3. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, adalah pendapatan daerah yang tidak termasuk dalam
jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci
menurut objek pendapatan yang mencakup:
Perhitungan Potensi
Perhitungan potensi pendapatan dari suatu pajak ataupun retribusi pada dasarnya adalah merupakan
estimasi, karena tidak ada potensi yang pasti. Sementara itu, estimasi pada dasarnya adalah seni dan
ilmu untuk memprakirakan masa depan. Estimasi adalah tahap awal, dan hasilnya merupakan basis
bagi seluruh tahapan pada perencanaan.
Untuk melakukan estimasi secara umum dapat digunakan metode kualitatif ataupun kuantitatif.
Estimasi dengan metode kualitatif didasarkan kepada data kualitatif dan mesti dilakukan oleh ahli/
pakar dalam bidangnya dan berpengalaman. Sedangkan estimasi dengan metode kuantitatif dapat
dikelompokkan kepada 2 model, yaitu:
1. Metode Kausalitas (Cause Effect Methods atau metode sebab akibat) dengan alat utamanya korelasi
dan regresi.
2. Metode Runtut Waktu (Time Series Analysis), metode ini mencoba mengamati suatu variabel
dikaitkan dengan unsur waktu. Alat utama tren dan indeks musim.
Kedua pendekatan ini saling melengkapi dan dimaksudkan untuk jenis penggunaan yang berbeda.
Pendekatan kausalitas (ekspalanatoris) mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat di antara
input dengan output dari suatu system. Meskipun demikian metode kuantitatif baru dapat digunakan
jika tersedia informasi tentang masa lalu dan informasi tersebut harus dapat dikuantitatiﮖan dalam
bentuk data numerik.
BAB III 81
PENDAPATAN DAERAH
Kotak 3.1 Potensi PAD Banyak Tidak Tergarap
Retribusi jasa Kir dikatakannya, hanya salah satunya. Banyak lagi potensi lain yang bisa menjadi
pundi-pundi PAD di daerah ini. Bahkan, digambarkannya, timbangan kendaraan saja bisa
menghasilkan uang. Belum lagi, jika untuk perencanaan yang lebih besar, ada terminal atau bandar
udara. “Makanya, sekarang harus tancap gas. Saya sudah siapkan 16 proposal untuk diajukan ke
provinsi dan ke pusat. Kita tidak boleh tak kerja. Soalnya, PAD di Dishub ini didapatkan kalau
ada kerja,” terangnya. Itu masih dari sektor perhubungan. Artinya, masih ada juga dari sektor
komunikasi dan informatika. Semua itu, menurutnya, harus ditata ulang.
Hanya, ia mengaku optimis, jika usulan terus disampaikan ke provinsi atau pusat, bukan tak
mungkin harapan itu akan terwujud. Misalnya, bisa saja alat uji petik kendaraan atau uji Kir
itu dibuat dari dana provinsi atau pusat. “Makanya, saya pikir, koneksi yang penting dibangun
sekarang, baik ke provinsi maupun ke pusat,” tambahnya. Dengan begitu, ia yakin, Dinas
Perhubungan akan menjadi dinas penghasil yang akan bisa ikut menyetorkan PAD dalam jumlah
besar ke Pemkab Palas.
“Makanya, saya minta kabid saya juga bergerak. Masing-masing cari koneksi. Saya berbagi
wewenang dengan kabid,” jelasnya. Berapa potensi PAD yang bisa didapatkan? Sayang, hal ini
belum tergambar. Sebab, masih kajian dan survei potensi itu. (lay)
Sumber: http://www.metrosiantar.com/2015/04/06/184831/potensi-pad-banyak-tidak-tergarap/
Dana Perimbangan adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Dana Perimbangan adalah instrumen kebijakan desentralisasi skal
yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan skal (vertikal dan horizontal).
Dana perimbangan secara keseluruhan dapat dipandang sebagai pengisi kesenjangan skal vertikal.
Kesenjangan yang dimaksud disebabkan karena kapasitas skal yang dimiliki oleh seluruh Pemerintah
Daerah tidak mencukupi untuk mendanai seluruh kebutuhan belanja Pemda. Kapasitas skal daerah
yang sangat rendah terlihat dari kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total
pendapatan daerah. Sementara itu kebutuhan belanja daerah dapat terlihat secara jelas dengan
besarnya tanggungjawab daerah untuk mendanai berbagai urusan.
Selain itu dana perimbangan juga ditujukan untuk mengatasi ketimpangan horizontal, yaitu
ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah. Daerah mempunyai kapasitas skal yang berbeda
satu sama lain karena perbedaan kondisi perekonomian daerah. Selain itu juga terdapat perbedaan
kebutuhan skal untuk mendanai layanan yang harus disediakan. Hal ini menimbulkan ketimpangan
Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
1. dana bagi hasil;
2. dana alokasi umum;
3. dana alokasi khusus.
Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
1. bagi hasil pajak;
2. bagi hasil sumber daya alam.
Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat diketegorikan sebagai transfer yang
bersifat umum karena penggunaannya tidak diatur oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah jenis transfer bersifat spesik yang penggunaannya ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan pendapatan pemerintah yang dibagihasilkan dengan daerah/
wilayah dimana lokasi pendapatan itu dihasilkan sesuai dengan proporsi tertentu atas dana yang sudah
dikumpulkan (proportionality of collection). Pengertian dan denisi dari DBH ini juga mengindikasikan
bahwa fokus dari DBH adalah untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan
daerah. Ketimpangan Vertikal disebabkan oleh penguasaan sumber pendapatan oleh pusat jauh
melebihi penguasaan sumber pendapatan oleh daerah, sehingga daerah tidak akan dapat membiayai
urusannya tanpa adanya transfer/bagi hasil atas pendapaan pusat tersebut. Ketimpangan vertikal juga
bisa diartikan sebagai kesenjangan antara potensi sumber pendapatan daerah dengan kebutuhan
pendanaan urusan daerah.
BAB III 83
PENDAPATAN DAERAH
Dibandingkan dengan jenis dana transfer lainnya DBH merupakan dana transfer yang relatif penting
didalam menjamin tingkat desentralisasi (high degree of decentralization) melalui unconditionality
dalam penggunaan dana. Dana transfer DBH umumnya bersifat unconditional (bebas digunakan oleh
penerima). Penggunaan DBH yang diatur dan diarahkan juga akan mengaburkan tujuan dari alokasi
dana bagi hasil itu sendiri.
DBH yang diterapkan selama ini memiliki issue terkait dengan: 1) proporsi bagi hasil, 2) penentuan
total penerimaan yang dibagihasilkan, 3) eligibility untuk daerah penerima DBH, dan 4) alokasi
periode PNBP (pool revenue) yang dibagihasilkan.
Tabel 3.6 Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan Jenis DBH
dan Peraturan Terkait
Papua dan Nanggroe Aceh
UU 33 Tahun 2004
Papua Barat Darrussalam
Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah
Bagi Hasil Pajak
PPh Individu 80 20 80 20 80 20
PBB-P3 10 90 10 90 10 90
CHT 1) 98 2 98 2 98 2
Bagi Hasil SDA
Minyak Bumi 85 15 30 70 30 70
Gas 70 30 30 70 30 70
Pertambangan Umum 20 80 20 80 20 80
Kehutanan 20 80 20 80 20 80
Perikanan 20 80 20 80 20 80
Geothermal 20 80 20 80 20 80
Catatan: 1) basis daerah adalah provinsi
Sumber: Aceh PEER (Worldbank 2006), Undang-Undang Nomor21 Tahun 2001
Tabel 3.6 menggambarkan proporsi bagi hasil untuk pemerintah pusat dan total proporsi bagi hasil
untuk pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Khusus bagi hasil pajak PPh Individu
dan bagi hasil cukai dan hasil tembakau, yang dimaksud dengan proporsi bagi hasil daerah adalah
bagi hasil untuk level pemerintahan provinsi. Proporsi bagi hasil pajak cukup besar untuk pajak-pajak
yang selayaknya diklasikasikan sebagai pajak daerah, namun demikian proporsi bagi hasil untuk
daerah relatif rendah untuk pajak yang termasuk sebagai pajak pusat. PBB-P2 dan BPHTB dialihkan
menjadi dengan UU 28/2009. pajak daerah dalam perkembangannya merupakan proses panjang yang
dimulai melalui mekanisme bagi hasil terutama dengan proporsi bagi hasil PBB dan BPHTB yang
memang sudah besar untuk daerah.
Untuk bagi hasil sumber daya alam (SDA), proporsi bagi hasil juga terkait dengan pengelolaan sumber
daya alam terkait oleh daerah. Penetapan provinsi Papua, Papua Barat, dan provinsi Nangroe Aceh
Darussalam sebagai wilayah yang memperoleh otonomi yang diperluas (otonomi khusus), berimplikasi
pada penetapan bagi hasil SDA untuk minyak bumi dan gas yang lebih besar untuk daerah.
Dasar pelaksanaan DBH Pajak tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Peraturan
Pemerintah Nomor 55 tentang Dana Perimbangan. Selanjutnya untuk pelaksanaan DBH Cukai Hasil
tembakau merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun 2007 dan amanat MK 54/PUU-VI/2008.
Sebagai pedoman mekanisme Penyaluran Dana Transfer pada umumnya dan DBH pajak khususnya
telah diterbitkan PMK No. 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran
Transfer dan PMK No 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah.
Konsep DAU
Dana Alokasi Umum (DAU) diberbagai Negara disebut General Purpose Grants adalah salah satu
jenis transfer yang menjadi pendapatan umum bagi penerimanya. Jenis transfer ini juga disebut
unconditional grant dimana grant yang diberikan tidak dikaitkan dengan persyaratan apapun oleh
sipemberi. Unconditional grant bukanlah satu-satunya bentuk transfer antar pemerintahan. Terdapat
berbagai jenis transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah yang dipraktekkan di dunia antara lain seperti
grant untuk bidang tertentu (specic grant), matching grant, grant untuk menutupi desit (decit
grant) dan kondisi tak terduga (emergency grant), dll.
Unconditional grant yang penggunaannya bebas adalah bentuk transfer dalam rangka mendukung
pelaksanaan desentralisasi skal yang memberikan keleluasaan kepada daerah penerima untuk
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas daerah (local priorities). Dengan kata lain, tujuan
pemberian grant ini adalah untuk mendukung ketersediaan dana bagi Pemerintah Daerah dalam
menjalankan fungsi yang telah didesentralisasikan. Tujuan pemberian grant ini sangat berbeda dengan
tujuan berbagai jenis specic grants yang biasanya diberikan kepada daerah untuk pencapaian tujuan
nasional (national priorities) tertentu yang pelaksanaan tugasnya sudah menjadi tanggungjawab
daerah.
Dengan sifatnya yang bebas digunakan, unconditional grant pada umumnya juga digunakan sebagai
instrumen utama pemerataan kemampuan skal antar daerah. Sehingga jenis tranfer ini juga dinamai
equalization grant (grant pemerataan). Program pemerataan kemampuan skal dipraktekkan oleh
banyak negara di dunia, baik negara federasi maupun negara kesatuan. Program ini dapat dianggap
sebagai upaya untuk menempatkan daerah-daerah pada posisi skal yang sama untuk menjalan
tugasnya.
Program pemerataan skal dilakukan dengan berbagai cara didasarkan kepada prinsip tertentu
dan sasaran yang ingin dicapat oleh negara tersebut. Di Kanada, sebagai contoh, sasarannya adalah
untuk memberdayakan setiap provinsinya dapat menyediakan pelayanan publik pada tingkat yang
relatif sama kepada seluruh penduduknya dengan pengenaan tingkat pajak yang relatif sama pula.
Demikian juga halnya dengan Australia dimana sasaran yang dideklarasikan adalah untuk mengoreksi
ketidakmerataan skal horizontal (ketidak merataan antar negara bagian) untuk menyediakan
pelayanan dengan standar nasional tertentu kepada penduduknya
Meskipun beberapa negara memiliki sasaran yang hampir sama untuk program pemerataan
skalnya, namun penerapannya bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Australia dan Kanada memiliki
sasaran pemerataan skal yang sama, namun metode yang digunakan dalam mengalokasikan
dana sangat berbeda. Sistem di Kanada hanya mengupayakan pemerataan kapasitas skal tanpa
mempertimbangkan kebutuhan skal dari provinsi-provinsinya. Sedangkan sistem pemerataan skal
di Australia mengakomodasi keduanyanya (kapasitas skal dan kebutuhan skal). Sistem Pemerataan
Fiskal di Australia dikenal sebagai salah satu sistem yang paling komprehensif di dunia.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa program pemerataan skal dirancang untuk membantu
daerah yang rendah pendapatannya dan/atau tinggi biaya penyediaan pelayanannya dengan
pengorbanan daerah yang tinggi pendapatannya dan/atau rendah biaya pelayanannya (Walsh &
Thomson, 1994). Meskipun demikian, tidak akan pernah ada sistem pemerataan skal yang sempurna.
Yang terjadi pada prakteknya adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan skal diantara daerah
yang se-level sampai ke tingkat yang dapat diterima (acceptable level).
BAB III 85
PENDAPATAN DAERAH
Dalam praktek di berbagai negara, ada dua cara untuk mengalokasikan equalisation transfer ke daerah
yaitu dengan formula dan tanpa formula. Bagaimanapun juga pengalokasian dengan formula memiliki
banyak kelebihan. Diantaranya yang paling peting sebagaimana yang dijelaskan Ma(1997) adalah
terhindarinya upaya untuk melakukan lobi oleh Pemerintah daerah. Dengan penggunaan formula
diharapkan terjadinya sistem alokasi yang adil dan transparan. Pengunaan formula sudah dilakukan
oleh banyak negara maju seperti Australia, Inggris, Kanada, Jerman, Swiss dan Jepang. Namun,
formula memerlukan ketersediaan data yang dapat diandalkan untuk memperkirakan kebutuhan
belanja dan kapasitas skal daerah. Sistem grant pemerataan di Inggris, misalnya, menggunakan
sekitar 30 variabel dalam tujuh kategori belanja pemerintah daerah untuk mengestimasi kebutuhan
belanjanya6. Commonwealth Grant Commission (CGC) di Australia, sebagai contoh, menggunakan
sekitar 11 kategori belanja dengan 5 variabel pada setiap kategori untuk mengukur kebutuhan skal
negara bagiannya7. Perhitungan yang sangat komprehensif di Australia dan di Inggris adalah hasil dari
pengembangan sistem dalam beberapa dekade.
Sumber dana dari equalization transfer biasanya ada dua macam. Pertama dari penerimaan pemerintah
pusat dan kedua dari kumpulan dana tertentu di level negara bagian/provinsi/daerah. Di beberapa
negara seperti Inggris, Jepang dan Korea, sumber dana equalisation transfer adalah penerimaan
pemerintah pusatnya. Namun di Jerman, sumber transfer adalah kumpulan dari penerimaan negara
bagian yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembayaran pemerataan antar negara bagian (Ma,
1997 & Spahn, 1997). Lotz (1997, p.200) menyebut model jerman sebagai model Robin-Hood dimana
sumber daya diambil dari wilayah yang kaya dan diberikan ke wilayah miskin tanpa adanya dana dari
Pemerintah Pusat.
Dalam menentuan jumlah dana yang ditransfer untuk pemerataan, beragam cara dipraktekkan di
dunia. Di beberapa negara jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah
pusat. Namun di negara tertentu, jumlah yang di transfer sepenuhnya merupakan kewenangan dari
pemerintah pusat untuk menentukannya. Yang menjadi perhatian disini adalah adalah keandalan
(reliability) dan prediktabilitas dari dana. Apabila jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu
dari penerimaan pemerintah pusat, maka reliable dan predictable dari jumlah dana akan mengikuti
kondisi penerimaan negara. Namun jika jumlah yang ditransfer ditentukan oleh pemerintah pusat,
akan ada ketidakpastian dalam hal jumlah yang akan ditransfer.
Indonesia sejak tahun 2001 telah mendistribusikan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU didistribusikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan sasaran untuk memeratakan kemampuan
skal antar daerah, sebagaimana tertulis pada pasal 1 ayat 18 UU 25/1999 dan juga pasal 1 ayat 21 UU
33/2004 sebagai berikut:
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi ketimpangan skal horizontal (horizontal
scal imbalance). Itu berarti DAU juga disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan
untuk memeratakan kemampuan keuangan daerah. Daerah yang “miskin” (kemampuan keuangan
yang rendah) akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang “kaya” (kemampuan
keuangan yang tinggi).
DAU adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Dari denisi yang diberikan UU 33/2004, jelas bahwa DAU merupakan
instrumen transfer yang ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan skal antar daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-
kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU
adalah bagian 10% untuk Provinsi dan bagian 90 persen untuk Kabupaten/Kota.
Pengalokasian DAU didasarkan atas formula dengan konsep Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal
Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.
1. Variabel DAU
Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji Pegawai
Negeri Sipil Daerah (PNSD).
Variabel kebutuhan skal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayahdarat dan perairan, Indeks
Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
Variabel kapasitas skal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH Pajak dan DBH SDA.
BAB III 87
PENDAPATAN DAERAH
a. Kebutuhan Fiskal (KbF):
Rumusan tentang kebutuhan skal (KbF) dapat ditunjukkan sebagai berikut:
b. Kapasitas (KpF):
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
DBH Pajak = PBB + BPHTB + PPh + CHT
Keterangan:
PAD: Pendapatan Asli Daerah;
DBH: Dana Bagi Hasil;
PBB: Pajak Bumi dan Bangunan;
BPHTB: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
PPh: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29, PPh WPOPDN;
CHT: Cukai Hasil Tembakau;
SDA: Sumber Daya Alam
b. Kebutuhan Fiskal.
Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum diukur secara berturut-turut dengan:
jumlah penduduk;
luas wilayah;
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK);
Indeks Pembangunan Manusia (IPM);
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita.
c. Kapasitas Fiskal.
Kapasitas skal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari:
Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan
milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
Tabel 3.7 Daftar Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU
No Keterangan Jenis Waktu Penyedia Data
1. Alokasi Dasar Gaji PNSD T- 1/2 Daerah dan Kemenkeu
Formasi PNSD T -1/2 Menpan/BKN
2. Kebutuhan Fiskal Penduduk T -1 BPS
Luas Wilayah T- 1 Kemendagri/ Bakorsutanal
IKK T -1 BPS
IPM T -2 BPS
PDRB Per Kapita T–2 BPS
Total Belanja Rata-rata T-2 Daerah dan Kemenkeu
3. Kapasitas Fiskal PAD T -2 Daerah dan Kemenkeu
DBH Pajak T- 2 Kemkeu
DBH SDA T-2 Kemkeu
DAK (Dana Alokasi Khusus) adalah salah satu jenis dana transfer (grant) dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah di Indonesia. Secara umum terdapat dua jenis grant dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, yaitu:
1. General Purpose Grant (Grant Bersifat Umum);
2. Specic Grant (Grant Bersifat Khusus).
BAB III 89
PENDAPATAN DAERAH
Grant bersifat umum (general purpose grant) atau bantuan tanpa syarat (unconditional grant) yang
di Indonesia disebut Dana Alokasi Umum (DAU) adalah jenis bantuan yang bebas digunakan oleh
si penerima. Tidak ada arahan terhadap penggunaan dana tersebut dan umumnya ditujukan
untuk pemerataan kemampuan skal antar daerah. Sementara itu Specic Grant sesuai namanya
merupakan grant bersifat khusus atau bantuan bersyarat (conditional grant). Grant spesik biasanya
ditujukan untuk membiayai bidang tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah otonom, namun
Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali
untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pemberi.
Specic grant sangat beragam jenisnya dengan berbagai tujuan yang dirancang oleh si pemberi,
diantaranya:
1. Untuk mencapai tujuan nasional tertentu, namun fungsi dan kewenangannya urusannya telah
didesentralisasikan ke daerah otonom;
2. Untuk mempengaruhi pola belanja daerah penerima;
3. Untuk mengakomodasi spillover benet (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi
dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tetangga).
Bantuan spesik dapat digunakan oleh pemberi (pemerintah pusat) untuk tujuan dan prioritas
nasional, misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan
dan infrastruktur namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah. Karena pusat tidak dapat
mendikte daerah untuk penggunaan dana bantuan umum, maka pusat dapat melakukannya dengan
menyediakan bantuan spesik. Bantuan spesik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola
belanja daerah. Dengan penggunaannya yang spesik dan mensyaratkan dana pendamping dari
sumber pendapatan daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus dibelanjakan oleh
daerah untuk bidang yang diinginkan pusat. Lebih spesik lagi, bantuan dapat disediakan oleh si
pemberi untuk mengakomodasi beban pembiayaan bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang
menyediakan pelayanan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesik
tentunya juga dapat disediakan oleh pusat untuk mengakomodasi kekhususan daerah, yang terkait
dengan ketidakmampuan daerah tersebut untuk membiayai pelayanan khusus.
Berbagai jenis specic grant (bantuan khusus) dipraktek didunia, antara lain:
1. Grant untuk program/kegiatan/pelayanan tertentu (specic grant);
2. Grant yang mengharuskan dana pendamping dari penerima (matching grant);
3. Grant untuk menutupi desit (decit grant);
4. Grant untuk membantu daerah menghadapi situasi darurat/emergensi (emergency grant);
5. Grant untuk belanja modal (capital grant).
Kemudian dari sisi penentuan jumlah bantuan spesik yang akan ditransfer ke daerah, dapat pula
dikelompokkan pada dua jenis (lihat Bergvall, et al, 2006):
1. Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan dari awal dan
realisasinya sama dengan pagu anggaran);
2. Open-ended grant (jumlah jumlah akhir dari grant ditentukan oleh realisasi belanja daerah dan
biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah).
Dengan variasi yang demikian, pemerintah dapat memilih jenis bantuan khusus sesuai dengan
sasaran yang diinginkan. Untuk tujuan mencapai standar pelayanan minimum nasional di seluruh
daerah, jenis bantuan yang paling direkomendasi adalah bantuan khusus tanpa dana pendamping,
yang diikuti dengan spesikasi penggunaan dana bagi standar pelayanan minimum. Untuk tujuan
mengakomodasi spillover benet (pelayanan yang disediakan suatu daerah yang juga dimanfaatkan
penduduk daerah lain) direkomendasikan jenis bantuan khusus dengan dana pendamping (matching
grant), dengan tingkat dana pendamping yang bervariasi. Bagi daerah yang tingkat spillover benet
nya tinggi, dana pendamping tentunya lebih rendah. Sedangkan untuk tujuan mempengaruhi pola
Dana Alokasi Khusus (DAK) di Indonesia diatur oleh UU 33/2004 dan PP 55/2005. Namun demikian
pengaturan yang sama juga ada di UU 32/2004. Dari peraturan tersebut DAK di Indonesia dapat
dikatakan sebagai specic matching grant, yaitu bantuan yang bersifat khusus dengan mensyaratkan
dana pendamping. Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak ditentukan apakah DAK ini
merupakan close-ended grant atau open-ended grant. Dalam prakteknya selama ini DAK merupakan
close-ended grant dalam arti jumlah yang akan diterima oleh daerah untuk satu tahun anggaran
sudah ditentukan dari awal tahun anggaran. Seterusnya apabila daerah tidak bisa menggunakan
DAK sebagaimana ketentuan teknisnya, sisa DAK diakhir tahun anggaran akan menjadi SILPA (sisa
lebih perhitungan anggaran) dan dapat digunakan untuk tujuan yang sama pada tahun anggaran
berikutnya. Dengan itu dapat dipahami bahwa DAK di Indonesia tidak mencakup berbagai jenis
specic grant lainnya seperti bantuan khusus tanpa dana pendamping, bantuan desit, bantuan
emergensi, dll.
Apa sesungguhnya tujuan DAK di Indonesia? Tujuan DAK menurut UU 32/2004 dan UU 33/2004
adalah untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. Seterusnya dijelaskan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan (kriteria umum, kriteria teknis dan kriteria khusus). Dengan
demikian tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK.
Sebagai tambahan dari regulasi tersebut, DAK juga diatur oleh PP 55/2005 tentang dana perimbangan
yang membatasi DAK hanya untuk kegiatan yang bersifat sik, sebagaimana tertulis pada pasal 60
ayat 3 yang berbunyi sbb:
DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan sik, penelitian,
pelatihan, dan perjalanan dinas.
Pembatasan DAK lebih lanjut di PP 55/2005 mengakibatkan tidak adanya DAK untuk kegiatan yang
bersifat non-sik.
Terdapat tiga kriteria yang akan menentukan daerah penerima serta jumlah DAK yang akan diterima
daerah, yaitu:
1. Kriteria Umum.
Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan
dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi
belanja pegawai. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional
mendapatkan alokasi DAK.
2. Kriteria Khusus
a. Ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yaitu otonomi khusus
NAD dan Papua;
b. Karakteristik wilayah: daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara-negara
lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk ketegori ketahanan pangan;
c. Hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR menambah karakteristik wilayah yaitu: daerah rawan
banjir/lonsor, daerah penampung dan penerima pengungsi, daerah penerima transmigrasi,
daerah pasca konik, daerah rawan pangan/kekeringan dan daerah yang memiliki pulau
terluar.
BAB III 91
PENDAPATAN DAERAH
3. Kriteria Teknis.
Ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis, yang dicerminkan dengan indikator-
indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana/prasarana pada masing-
masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK, antara lain:
Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan PMK 06/PMK.07/2012, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap I : disalurkan sebesar 30% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling cepat pada bulan
Februari setelah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) menerima Perda APBD tahun
anggaran berjalan, laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan
realisasi penyerapan DAK tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan
dana pendamping;
2. Tahap II : disalurkan sebesar 45% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja
setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap I tahun anggaran berjalan yang
secara kumulatif telah mencapai 90%;
3. Tahap III : disalurkan sebesar 25% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja
setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap II tahun anggaran berjalan.
Berikut berbagai permasalahan dana perimbangan yang teridentikasi dari berbagai studi sebelumnya.
Permasalahan DAU:
Persoalan utama, yang sampai sekarang selalu menjadi perdebatan adalah terkait formula DAU
sejak tahun 2001, adalah menghitung kebutuhan skal untuk penyediaan pelayanan dasar pada
standar minimal nasional tersebut. Ketidaktersediaan data mengakibatkan kebutuhan skal
diukur (diproksikan) dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi,
Produk Domestik Regional Bruto per kapita, serta Indeks Pembangunan Manusia; Sedangkan
Kapasitas skal daerah dihitung dengan menjumlah sumber pendanaan daerah yang berasal
dari PAD dan DBH;
Formula DAU terdistorsi dengan adanya variabel Alokasi Dasar (AD) yang dihitung berdasarkan
kebutuhan belanja pegawai daerah (UU 33/2004). Formula DAU tidak menjadi lebih baik dari
formula DAU yang diatur oleh UU 25/1999. Dengan adanya Alokasi Dasar, berakibat daerah
yang besar jumlah pegawainya diberi insentif dengan DAU, sehingga mendorong daerah untuk
semakin banyak mengusulkan pengangkatan pegawai;
Formula DAU mendorong terjadinya pemekaran karena adanya insentif pada variable
perhintungan kebutuhan skal seperti variabel IPM, PDRB Per kapita dan IKK yang tidak
terbagi seperti variabel jumlah penduduk dan luar wilayah. Sehingga ketika sebuah daerah
baru telah dihitung daerah otonom lainnya, daerah tersebut mengambil porsi DAU seluruh
daerah;
Berbagai kritik juga muncul terhadap formula DAU ini, seperti one size ts all formula,
penggunaan Indeks Williamson yang sangat rumit, kurangnya transparansi karena berubah-
ubahnya bobot variabel, penggunaan PAD dalam penghitungan kapasitas skal yang dinilai
men-discourage daerah untuk meningkatkan PAD, dan berbagai kritik lainnya;
Telah banyak pula telaah yang dilakukan oleh ahli baik dari dalam maupun luar negeri
mengenai kemungkinan penerapan formula DAU yang baru yang lebih sederhana namun juga
lebih akuntabel. Meskipun demikian, dari berbagai telaah yang ada, nampaknya belum secara
komprehensif dan dalam mengulas kelebihan maupun kelemahan dari setiap alternatif, serta
alternatif strategi untuk mengurangi risiko perubahan yang akan terjadi.
Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing,
badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam
bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak
perlu dibayar kembali.
Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan undang-undang otonomi khusus. Ada dua undang-
BAB III 93
PENDAPATAN DAERAH
undang yang mengatur Otonomi Khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (jo) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otonomi khusus merupakan dana
yang khusus diberikan untuk percepatan pembangunan di daerah.
Alokasi Dana Otsus untuk Papua ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari plafon DAU Nasional per-
tahunnya dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dari Alokasi tersebut, ditetapkan bahwa Provinsi
Papua mendapatkan proporsi 70% (tujuh puluh persen) dan sisanya untuk Provinsi Papua Barat.
Selain dana Otsus, kepada Provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan
Infrastruktur yang besarnya disesuaikan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH
SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA
Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan.
Dana Otsus untuk Provinsi Aceh adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan
rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 % (dua persen)
plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 %
(satu persen) plafon DAU Nasional. Sedangkan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA
Gas Bumi besarnya sama dengan untuk provinsi Papua dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar
55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi
yang bersangkutan.
Penyaluran Dana Otsus tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri
Dalam Negeri. Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Dana
Otonomi Khusus Provinsi Aceh serta Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan
sekaligus, yaitu:
Dana Penyesuaian, adalah dana transfer yang bersifat adhoc. Pada dasarnya dana penyesuaian ini
bertujuan untuk menampung program-program tertentu yang tidak tertampung dalam denisi
dana perimbangan, terutama tidak tertampung dalam denisi DAK di Indonesia. Berbagai program
prioritas Pemerintah yang menjadi tugas pemerintah daerah dan menimbulkan beban keuangan
di daerah namun tidak tertampung dalam dana perimbangan, dimunculkan dalam bentuk dana
penyesuaian. Sebagai contoh adalah dana penyesuaian dialokasikan untuk tambahan tunjangan
kependidikan guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), muncul karena adanya UU Guru dan Dosen
yang mengharuskan Pemerintah untuk menyediakan tambahan dana untuk membayar guru yang
sudah disertikasi. Demikian juga Dana BOS yang muncul sebagai kebijakan untuk memberikan
bantuan operasional ke sekolah dasar, namun harus disalurkan sebagai bagian dari Dana Transfer ke
daerah mengingat sekolah dasar adalah merupakan urusan Pemda.
Berikut contoh berbagai jenis Dana Penyesuaian di APBN dan APBNP 2010
Data Tambahan tunjangan guru PNSD;
Dana Insentif Daerah;
Kurang Bayar DAK 2008;
Kurang Bayar Dana Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP);
Dana Desa yang dimaksud disini adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan untuk Desa
melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Pada UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang dimaksud
dengan Dana Desa ini adalah pendapatan desa yang berasal dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (pasal 72 ayat 1 poin b).
Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dana Desa adalah pendapatan yang diteruskan ke Desa. Terdapat
dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di APBN sampai ke Desa melalui Pemerintah
Kabupaten. Tahap pertama, Kementerian Keuangan menghitung besaran Dana Desa untuk masing-
masing Kabupaten/Kota. Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung besaran Dana Desa
untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Kedua hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah
No 60 tahun 2014. Bagaimana formulasi untuk tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar
berikut.
BAB III 95
PENDAPATAN DAERAH
Tabel 3.9 Alur Pengalokasian Dana Desa
Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa
Gambar 3.6 Hubungan Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota Terkait Dana Desa
Sebagaimana diamanatkan oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satu sumber pendanaan Pemerintahan Daerah adalah
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lebih lanjut, pelaksanaan
pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah tersebut diatur dengan Undang-undang tersendiri, yang
saat ini adalah UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan UU 28/2009 tersebut, pendapatan pajak provinsi yang harus dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
BAB III 97
PENDAPATAN DAERAH
Selanjutnya bagian kabupaten/kota dialokasikan per kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut,
dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
3.5 Latihan
1. Jelaskan pengertian pendapatan daerah!
2. Jelaskan mengapa PAD penting dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah!
3. Apa strategi untuk meningkatkan PAD Kabupaten/Kota?
4. Jelaskan fungsi strategis dana transfer dalam membangun daerah!
5. Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan
membangun kemandirian daerah?
6. Apa yang dimaksud dengan ketimpangan horizontal dan ketimpangan vertikal?
7. Jelaskan peranan dana perimbangan terkait dengan kebutuhan skal daerah!
8. Jelaskan perbedaan dasar hukum dana perimbangan dengan dasar hukum dana otonomi khusus!
9. Jelaskan tujuan dana transfer untuk mendukung kesinambungan skal nasional!
10. Jelaskan perbedaan antara Dana Desa dengan Alokasi Dana Desa!
BAB IV 101
BELANJA DAERAH
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 64 Tahun 2013 tentang Akuntansi
Berbasis Akrual;
18. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal;
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal;
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
22. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim
Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal;
23. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.05-283 Tahun 2011 tentang Pembentukan Tim
Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal;
24. PERMENDAGRI Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Petujuk Teknis Penyusunan dan Penetapan
Standar Pelayanan Minimal;
25. PERMENDAGRI Nomor 62 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang
Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota;
26. PERMENDAGRI Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM);
27. Ammons, David N. (1995). (Ed.) Accountability for Performance: Measuring and Monitoring in
Local Government. Washington D.C.: International City/County Management Association;
28. Bernstein, David J. (2001). “Local Government Measurement Use to Focus on Performance and
Results,” Evaluation and Program Planning, vol. 24, pp: 95-101;
29. Breman, David R. (2002). “State-Local Relations: Authority, Finances, Cooperation,” in The
Municipal Year Book, 2002. Washington D.C.: International City/County Management
Association;
30. Dom, Catherine (2002). “Education Reform in the Context of Decentralization,” Report prepared
for Decentralized Strategy for Education Finance (DSEF) project. British Council and World
Bank. Jakarta;
31. Eko Subowo, 2007. Kebijakan SPM Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005.
32. Ferrazzi, Gabe (2002a). “Legal Standing and Models of Local Government Functions in Selected
Countries: Implications for Indonesia,” GTZ. Jakarta;
33. Ferrazzi, Gabe (2002b). “Obligatory Functions and Minimum Service Standards: A Preliminary
Review of the Indonesian Approach,” GTZ. Jakarta;
34. Friedman, Joel (2002). “Minimum Service Standards: Current Status and Planned Activities at
the Ministry of Home Affairs,” Research Triangle Institute Perform Project. Jakarta;
35. Panduan Pengintegrasian Standar Pelayanan Minimum dalam Perencanaan dan Penganggaran,
Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan GIZ, 2011;
36. Achieving value for money in the delivery of public services. Seventeenth Report of Session
2005–06. Ordered by The House of Commons to be printed 30 November 2005;
37. Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah;
38. ---------------, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta;
39. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Penerbit UPP AMP YKPN. Yogyakarta;
40. Ritonga, Irwan Tauq, 2010., Analisis Standar Belanja, Konsep Metode Pengembangan, dan
Implementasi di Pemerintah Daerah, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Pendapatan dan lain-lain sumber penerimaan daerah hanyalah salah satu aspek yang harus
mendapatkan perhatian. Aspek lainnya, menyangkut belanja daerah yang merupakan semua
kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Kedua pos tersebut akan nampak dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dalam kenyataannya, belanja merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian
pendapatan maupun pembiayaan dalam sistem APBD berbasis kinerja.
Pengelolaan APBD oleh Pemerintah Daerah adalah faktor kunci keberhasilan Pemerintah Daerah
dalam mewujudkan dua peran utamanya, yaitu: (1) memberikan pelayanan kebutuhan dasar; dan (2)
kebutuhan pengembangan usaha masyarakat. Oleh karenanya UU No 23 Tahun 2014 memberikan
kepada daerah kewenangan yang seluas-luasnya agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sampai sekarang belum ada road map yang menunjukkan bagaimana mewujudkan kewenangan
dan tanggung jawab manajerial dalam mengelola manajemen publik pada tataran daerah dari
sudut pandang manajemen modern. Banyak Kepala Daerah dan DPRD belum paham bagaimana
membuat kebijakan untuk memperkuat perekonomian daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah
yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang akan merugikan
perekonomian daerah. Ini adalah masalah pemahaman tentang kinerja yang belum merata dan
dimengerti dengan baik oleh pemerintah daerah maupun DPRD. Kualitas APBD adalah bagian dari
kinerja pemerintah daerah, karena mencerminkan bagaimana daerah itu membelanjakan uangnya
dengan baik dan benar.
Kinerja dan pengukuran kinerja saat ini masih belum dipahami secara merata oleh para penyelenggara
pemerintahan di daerah. Pemerintahan di daerah dijalankan ‘as business as usual’ sehingga resources
yang sangat terbatas tidak dapat memberikan dampak yang optimal bagi masyarakat. Padahal dengan
kewenangan yang sangat luas seperti yang ada pada Bab V UU No 23 Tahun 2014 daerah diberi ruang
untuk mengembangkan kretivitas dan inovasi. Daerah dapat menggunakan pendekatan yang tidak
konvensional untuk melaksanakan kewenangan tersebut, seperti pendekatan kewirausahaan agar
memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
Sejalan dengan peran APBD sebagai salah satu motor penggerak kegiatan ekonomi daerah harus
diarahkan agar memberikan outcomes (dampak) yang benar-benar mampu mengatasi kebutuhan
masyarakat dan menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Apalagi APBD
sebagian besar pemerintah daerah itu hanya sebagian kecil saja bertumpu pada pendapatan asli
daerah. Peran pusat dalam mengalokasikan dana untuk mencukupi kebutuhan anggaran masih
sangatlah besar.
BAB IV 103
BELANJA DAERAH
Kecenderungan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah Overhead Cost
pemerintah daerah yang tinggi. Ini telah menyerap sebagian resources yang sangat terbatas untuk
pembiayaan eksekutif dan legislatif daerah. Akibatnya tinggal sedikit resources yang tersisa untuk
kegiatan pelayanan. Ini dapat dilihat pada belanja publik yang tidak terlampau besar dibandingkan
dengan belanja aparatur.
Belanja publik tersebut ternyata tidak diarahkan untuk membangkitkan ekonomi daerah tetapi
cenderung untuk membuat proyek monumental yang dianggapnya dapat meningkatkan gengsi
daerah. Bidang-bidang yang nyata-nyata berperan dalam meningkatkan kemampuan rakyat untuk
berusaha dan memecahkan persoalan sosial ekonomi yang dihadapi rakyat kurang mendapat
perhatian yang memadai seperti pertanian, peternakan, dan pengembangan usaha kecil dan
menengah.
Rencana-rencana alokasi dana dalam APBD adalah cerminan kebijakan daerah sering disusun
secara kurang transparan dan kurang aspiratif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang
mampu menghasilkan output (produk dan kebijakan), hasil (intermediate outcomes) dan dampak
(nal outcomes) yang dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi serta kurang
mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Manajemen resources berupa penggunaan input dan
pengelolaannya untuk menghasilkan output dan outcome masih belum mengedepankan inovasi dan
kreatitas dan tidak fokus.
Jika praktek penyelenggaraan daerah masih mengandalkan cara-cara lama yang mengandalkan pada
birokrasi Weberian namun dalam implementasi tidak konsisten maka akan berpengaruh pada kinerja,
contoh yang kasat mata adalah dalam mengalokasikan pos belanja daerah. Prinsip yang penting sesuai
dengan sistem dan prosedur dan mengabaikan apa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan pemerintahan
dan apa benet yang dinikmati masyarakat adalah bukan jamannya lagi.
Sudah saatnya pola-pola belanja daerah yang tidak memiliki dampak bagi kemaslahatan rakyat banyak
ditinggalkan, apalagi pembelanjaan yang semata-mata untuk mencari keuntungan oleh sekelompok
kecil anggota masyarakat. Dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah, rakyat semakin sadar
dan paham bahwa mereka hanya akan memilih pemimpin daerah yang dianggap bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kepala Daerah yang tidak mampu mengemban kepercayaan rakyat melalui
karya yang bermaslahat maka akan ditinggalkan oleh konstituennya.
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi
ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah pasal 31 ayat (1) dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan dan
urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama
antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan hal tersebut permasalahan yang masih dihadapi oleh pemerintah adalah; Pertama,
Alokasi anggaran belanja pada sektor tertentu belum sejalan dengan tuntutan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan. Kedua, Ketersediaan anggaran baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah yang masih minim sehingga sering menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Ketiga, Inesiensi dalam mengalokasikan dan membelanjakan anggaran. Keempat,
Proses/prosedur pelayanan belum transparan dan terstandarisasi.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang
telah mengalami perubahan pertama melalui Permendagri Nomor 59 tahun 2007 serta perubahan
kedua melalui Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah
diklasikasikan berdasarkan:
Urusan;
Fungsi;
Organisasi;
Program dan Kegiatan;
Kelompok.
1. Belanja menurut urusan adalah pengeluaran yang dipergunakan dalam rangka mendanai
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari :
Urusan wajib;
Urusan pilihan;
Urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
BAB IV 105
BELANJA DAERAH
11) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
12) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
13) Sosial;
14) Ketenagakerjaan;
15) Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah;
16) Penanaman Modal;
17) Kebudayaan;
18) Kepemudaan dan Olah Raga;
19) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;\
20) Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat
Daerah, Kepegawaian dan Persandian;
21) Ketahanan Pangan;
22) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
23) Statistik;
24) Kearsipan;
25) Komunikasi dan Informatika;
26) Perpustakaan.
2. Klasikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan
pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
a. Pelayanan Umum;
b. Ketertiban Dan Ketentraman;
c. Ekonomi;
d. Lingkungan Hidup;
e. Perumahan dan Fasilitas Umum;
f. Kesehatan;
g. Pariwisata dan Budaya;
h. Pendidikan;
i. Perlindungan Sosial.
4. Klasikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah. Misal: Belanja Program Peningkatan Produksi Pertanian, Belanja
Kegiatan Pembinaan Petani, dll.
5. Klasikasi belanja daerah menurut kelompok belanja terdiri dari kelompok belanja tidak langsung
dan kelompok belanja langsung. Masing-masing kelompok belanja tersebut terdiri dari jenis
belanja yang berbeda, yang dijelaskan pada bagian berikut:
1) Belanja pegawai
Belanja Pegawai merupakan belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang
atau dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada
pegawai negeri sipil (PNS), pejabat negara, pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah
yang belum berstatus PNS yang ditetapkan berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Kompensasi tersebut sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Selain itu,
uang representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan
kepala daerah dan wakil kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan juga dianggarkan dalam belanja
pegawai.
Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang
dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampaui beban kerja
normal. Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas diberikan kepada pegawai
negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan
tinggi dan daerah terpencil. Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan
kepada pegawai negeri sipil yang dalam melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan
kerja yang memiliki resiko tinggi.
BAB IV 107
BELANJA DAERAH
Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi sebagaimana diberikan kepada
pegawai negeri sipil yang dalam mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan
langka. Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada pegawai negeri
sipil yang memiliki prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi. Tambahan penghasilan
berdasarkan pertimbangan objektif lainnya diberikan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberian uang makan. Kriteria untuk semua
pemberian tambahan penghasilan tersebut ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
2) Belanja Bunga
Belanja bunga digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung
atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman
jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
3) Belanja Subsidi
Belanja Subsidi adalah alokasi anggaran berupa bantuan biaya produksi yang diberikan
kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan agar harga jual produk/jasa yang
dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat. Belanja Subsidi ditetapkan dalam peraturan
daerah tentang APBD yang dasar pelaksanaannya lebih lanjut ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah.
4) Belanja Hibah
Belanja Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang,
barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesik telah ditetapkan
peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak secara terus menerus.
Uang dan barang yang diberikan dalam bentuk hibah harus digunakan sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah daerah dan dilakukan
setelah mendapat persetujuan DPRD.
Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Hibah kepada pemerintah dapat diberikan dalam rangka menunjang peningkatan
penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah dan harus dilaporkan pemerintah
daerah kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap akhir tahun anggaran.
Hibah kepada pemerintah daerah lainnya dapat diberikan dalam rangka menunjang
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan layanan dasar umum
sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Hibah dapat diberikan kepada perusahaan daerah dalam rangka menunjang peningkatan
pelayanan kepada masyarakat.
Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dapat diberikan untuk
meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional
terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
5) Bantuan Sosial
Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial
kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat.
Bantuan sosial tersebut diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta
memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Untuk optimalisasi fungsi APBD sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 16 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pengalokasian bantuan sosial tahun demi
Dalam rangka menghindari duplikasi penganggaran, baik dalam APBD provinsi maupun
APBD kabupaten/kota, maka urusan pemerintahan daerah yang bukan merupakan
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota tidak dapat dianggarkan dalam bentuk program
dan kegiatan pada SKPD provinsi atau kabupaten/kota, namun dapat dianggarkan pada
Belanja Bantuan Keuangan, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Bantuan
keuangan tersebut disalurkan ke kas daerah/desa yang bersangkutan.
Dalam rangka pelaksanaan pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014, pemerintah kabupaten/kota menganggarkan alokasi dana untuk desa dan desa
adat yang diterima dari APBN dalam jenis belanja bantuan keuangan kepada pemerintah
desa dalam APBD kabupaten/kota untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk
pemerintah desa dalam jenis belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa paling
sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota setelah dikurangi
DAK sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014.
BAB IV 109
BELANJA DAERAH
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan
sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang didukung dengan bukti-bukti yang sah.
Pihak yang melakukan penganggaran belanja tidak langsung ditentukan oleh jenis
belanjanya. Belanja pegawai dianggarkan pada belanja organisasi terkait sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sementara belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah,
belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak
terduga hanya dapat dianggarkan pada belanja SKPKD.
b. Belanja langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja
yang terdiri dari:
1) Belanja pegawai
Belanja pegawai pada kelompok ini meliputi pengeluaran honorarium/upah dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
3) Belanja modal
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan
aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai aset
tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah
seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut
siap digunakan.
Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja
modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah dianggarkan pada
belanja masing-masing SKPD terkait.
Pengelompokan belanja daerah yang digunakan untuk pelaporan realisasi anggaran (LRA)
sedikit berbeda dengan yang telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 70 Tahun 2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan dan Permendagri Nomor
64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada
Klasikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja
untuk melaksanakan suatu aktivitas. Berikut adalah klasikasi belanja daerah menurut
ekonomi (jenis belanja):
Belanja Operasi:
a) Belanja Pegawai;
b) Belanja Barang;
c) Bunga;
d) Subsidi;
e) Hibah;
f) Bantuan Sosial.
Belanja Modal
a) Belanja Aset Tetap;
b) Belanja Aset Lainnya.
Belanja Lain-lain/Tak Terduga
4) Transfer
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Kelompok Belanja pada PP 71 tahun 2010
maupun Permendagri 64 Tahun 2013 ditujukan untuk pelaporan (Laporan Realisasi
Anggaran). Sedangkan Permendagri 13 tahun 2006 pengelompokan belanja untuk
penganggaran. Pengertian dari kelompok belanja berdasarkan Permendagri 64 Tahun 2013
umumnya tidak berbeda dengan Permendagri 13 Tahun 2006, hanya beberapa belanja saja
yang memang berbeda atau memang tidak tercantum dalam Permendagri 13 Tahun 2006.
Berikut beberapa denisi menurut PP 71 Tahun 2010 dan Permendagri 64 Tahun 2013:
Belanja Daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah daerah.
Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah
pusat/daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain
meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya
yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara
lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset
tak berwujud.
Belanja Lain-lain/Tak Terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana
alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Transfer Keluar adalah pengeluaran uang dari entitas pelaporan ke entitas pelaporan
lain seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil
oleh pemerintah daerah.
Implikasi dari perbedaan kelompok belanja di penganggaran dan pelaporan (LRA), menyebabkan
perlu dilakukannya konversi kelompok belanja, sebagaimana yang dicontohkan dalam Lampiran IV
Permendagri Nomor 64 Tahun 2013 melalui gambar di bawah ini.
BAB IV 111
BELANJA DAERAH
Gambar 4.1 Konversi Jenis Belanja di Penganggaran dan Pelaporan (LRA)
Kodekasi Akun Anggaran Kodekasi Akun Laporan Realisasi Anggaran
Kode Uraian Kode Uraian
6 BELANJA 6 BELANJA
61 Belanja Tidak Langsung 61 Belanja Operasional
511 Belanja Pegawai 511 Belanja Pegawai
512 Belanja Bunga 512 Belanja Barang dan Jasa
513 Belanja Subsidi 513 Belanja Bunga
514 Belanja Hibah 514 Belanja Subsidi
515 Belanja Bantuan Sosial 515 Belanja Hibah
Belanja Bagi Hasil Kepada
516 Provinsi/Kab/Kota dan Desa 516 Belanja Bantuan Sosial
Belanja Bantuan Keuangan Kepada
517 Provinsi/Kab/Kota dan Desa 52 Belanja Modal
518 Belanja Tidak Terduga 521 Belanja Modal Tanah
52 Belanja Langsung 522 Belanja Modal Peralatan dan Mesin
521 Belanja Pegawai 523 Belanja Modal Gedung dan
Bangunan
522 Belanja Barang dan Jasa 524 Belanja Modal Jalan, Irigasi dan
Jaringan
523 Belanja Modal 525 Belanja Modal Aset Tetap Lainnya
5 2 3 01 Belanja Modal Pengadaan Tanah 53 Belanja Tak Terduga
5 2 3 02 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Berat 531 Belanja Tak Terduga
5 2 3 03 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan 6 TRANSFER
Darat Bermotor
5 2 3 04 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan 61 Transfer Bagi Hasil Pendapatan
Darat Tidak Bermotor
5 2 3 05 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan 611 Transfer Bagi Hasil Pajak Daerah
Air Bermotor
5 2 3 06 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Angkutan 612 Transfer Bagi Hasil Pendapatan
Di Air Bermotor Lainnya
5 2 3 07 Belanja Udara 62 Transfer Bantuan Keuangan
5 2 3 08 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Bengkel 621 Transfer Bantuan Keuangan ke
Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Pemerintah Daerah Lainnya
5 2 3 09 Pengolah Pertanian Dan Peternakan 622 Transfer Bantuan Keuangan ke Desa
5 2 3 10 Belanja Modal Pengadaan Peralatan Kantor 623 Transfer Bantuan Keuangan Lainnya
5 2 3 11 Belanja Modal Pengadaan Perlengkapan Kantor
5 2 3 12 Belanja Modal Pengadaan Komputer
5 2 3 13 Belanja Modal Pengadaan Moboulair
5 2 3 14 Belanja Modal Pengadaan Peralatan Dapur
5 2 3 15 Belanja Modal Pengadaan Penghias Ruangan
Rumah Tangga
5 2 3 16 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Studio
5 2 3 17 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Komunikasi
5 2 3 18 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Ukiran
5 2 3 19 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Kedokteran
5 2 3 20 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat Laboratorium
5 2 3 21 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jalan
5 2 3 22 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jembatan
5 2 3 23 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi Jaringan Air
5 2 3 24 Belanja Modal Pengadaan Penomoran Jalan,
Taman dan Hutan Kota
5 2 3 25 Belanja Modal Pengadaan Instalasi Listrik dan Telepon
5 2 3 26 Belanja Modal Pengadaan Konstruksi/Pembelian*)
Bangunan
5 2 3 27 Belanja Modal Pengadaan Buku/Kepustakaan
5 2 3 28 Belanja Modal Pengadaan Barang Bercorak Kesenian,
Kebudayaan
5 2 3 29 Belanja Modal Pengadaan Hewan/Ternak dan Tanaman
5 2 3 30 Belanja Modal Pengadaan Alat-alat
Persenjataan/Keamanan
Sumber: Lampiran Permendagri 64 Tahun 2013
Komposisi Belanja pada diagram di bawah ini terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan
Jasa, Belanja Modal, Belanja Sosial dan Hibah, Belanja Transfer, dan Belanja Lainnya. Pada TA 2013,
Komposisi Belanja Provinsi (Gambar 4.2) cukup merata antara 6 jenis Belanja tersebut. Jika kebanyakan
daerah Belanja Pegawai mendominasi komposisi belanja, secara kumulatif pada TA 2013 ini, Belanja
Barang dan Jasa mendapat porsi yang lebih besar yaitu sebesar 24%. Porsi Belanja Modal berada pada
urutan kedua sebesar 20%, Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial dan Hibah pada urutan ketiga
sebesar 18%. Belanja Transfer dan Belanja Lainnya pada urutan terakhir sebesar 10%.
10%
18%
Belanja Pegawai
10%
Belanja Barang & Jasa
Belanja Modal
18% 24% Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
20%
Sumber: DJPK
Cukup berbeda dengan komposisi Belanja Provinsi, komposisi Belanja Kabupaten (Gambar 4.3) di
dominasi Belanja Pegawai sebesar 49%. Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa menempati urutan
kedua dan ketiga masing-masing sebesar 25% dan 18%. Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, Belanja
Transfer dan Belanja Lainnya hanya mendapatkan porsi kurang dari 5%.
3% 1%
4%
Belanja Pegawai
Belanja Barang & Jasa
25% Belanja Modal
49% Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
18%
Sumber: DJPK
BAB IV 113
BELANJA DAERAH
Komposisi Belanja Kota (Gambar 4.4) mirip dengan Komposisi Belanja Kabupaten. Belanja Pegawai
masih mendominasi sebesar 49%. Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa mendapatkan porsi
yang hampir sama, masing-masing sebesar 26% dan 21%. Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, Belanja
Transfer dan Belanja Lainnya hanya mendapatkan porsi kurang dari 5%.
Belanja Pegawai
Belanja Barang & Jasa
26% Belanja Modal
49%
Belanja Bansos dan Hibah
Transfer
Belanja Lainnya
21%
Sumber: DJPK
Berdasarkan Gambar 4.5 di bawah ini, dapat dilihat pada TA 2013 seluruh belanja mengalami kenaikan.
Selain Belanja Transfer dan Belanja Bantuan Sosial dan Hibah, dari TA 2008 hingga TA 2013 seluruh
belanja mengalami kenaikan yang tidak signikan. Sebagai contoh, Pada TA 2008 nilai Belanja Pegawai
sebesar Rp22,4 Triliun menjadi Rp24,5 Triliun pada TA 2009 kemudian menjadi Rp27,2 Triliun pada
TA 2010. Demikian juga untuk Belanja Modal, pada TA 2008 bernilai Rp18,9 menjadi Rp24,2 Triliun
pada TA 2009 kemudian menjadi Rp25,1 Triliun pada TA 2010. Belanja Transfer dan Belanja Bantuan
Sosial dan Hibah merupakan belanja yang sempat mengalami penurunan. Namun, untuk Belanja
Bantuan Sosial dan Hibah yang sempat mengalami pernurunan dari TA 2009 ke TA 2010 yaitu dari
Rp13,1 Triliun menjadi Rp8,1 Triliun, kembali mengalami kenaikan yang signikan. Pada TA 2010,
nilai Belanja Bansos dan Hibah yang hanya sebesar Rp8,1 Triliun mengalami kenaikan hingga Rp39,03
Triliun pada TA 2013. Transfer yang sempat mengalami penurunan pada dari TA 2011 ke TA 2012 yaitu
dari sebesar Rp19,1 Triliiun menjadi Rp18,5 kemudian mengalami kenaikan secara teratur hingga
pada TA 2013 menjadi Rp20,4 Triliun.
40000000
30000000
20000000
10000000
0
2009 2010 2011 2012 2013
Belanja Pegawai Belanja Barang & Jasa Belanja Modal
Belanja Bansos dan Hibah Transfer Belanja Lainnya
Sumber: DJPK
50000000
40000000
30000000
20000000
10000000
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tren Belanja Kota (Gambar 4.7) memiliki kemiripan dengan Tren Belanja Kabupaten. Dua jenis belanja
yang konsisten mengalami kenaikan dari TA 2008 hingga TA 2013 adalah Belanja Pegawai dan Belanja
Barang dan Jasa. Dari TA 2008 hingga TA 2013, nilai Belanja Pegawai mengalami kenaikan sebesar
Rp26,6 Triliun. Nilai Belanja Barang dan Jasa juga secara konsisten naik sebesar Rp11,6 Triliun dari
TA 2008-TA 2013. Belanja Modal dan Belanja Lainnya sempat mengalami penurunan kemudian naik
kembali. Belanja Modal sempat mengalami penurunan dari TA 2009 ke TA 2010 sebesar Rp1,5 Triliun.
Kemudian dari TA 2010 hingga TA 2013, Belanja Modal secara konsisten naik sebesar Rp14,8 Triliun.
Belanja Lainnya sempat mengalami penurunan dari TA 2010 ke TA 2011 sebesar Rp0,07 Triliun.
Kemudian dari TA 2011 hingga TA 2013, Belanja Lainnya mengalami kenaikan sebesar Rp0,46 Triliun.
Belanja Bantuan Sosial dan Hibah dan Belanja Transfer memiliki kesamaan yaitu dari TA 2011 hingga
TA 2013 mengalami penurunan. Penurunan yang signikan terjadi pada Belanja Transfer dari TA 2011
ke TA 2012, yaitu sebesar Rp0,067 Triliun atau 61%.
BAB IV 115
BELANJA DAERAH
Gambar 4.7 Tren Belanja Kota
Tren Belanja Kota
12000000
10000000
80000000
60000000
40000000
20000000
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Berdasarkan data Kementerian Keuangan pada tahun 2009-2013, secara umum proporsi terbesar
belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk provinsi di kisaran
20% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 50%) namun kecenderungannya menurun. Sedangkan
proporsi belanja modal relatif kecil, meskipun mengalami peningkatan sejak tahun 2010 sampai
dengan tahun 2013. Untuk dapat mengoptimalkan belanja daerah untuk pembangunan daerah,
perlu lebih dioptimalkan Belanja Modal pemerintah daerah.
50%
46.52% 46.52%
43.46% 44.12% 41.94%
45%
40%
35%
27.60% 24.83%
30% 22.53% 22.92% 23.22%
21..04% 200.65% 200.93%
25% 199.21%
20% 199.17%
%
15% 111.74% 1
12.01% 1
12.30%
9.78% 9.78%
10%
5%
0%
2009 2010 2011 2012 2013
Jenis Belanja Daerah 2009 2010 2011 2012 2013
(dalam miliar rupiah)
Belanja Pegawai 180,439 198,562 229,081 261,153 296,540
Belanja Barang dan Jasa 79,600 82,007 104,221 122,225 148,012
Belanja Modal 114,598 96,179 113,523 137,438 175,578
Belanja Lain-lain 40,594 50,110 48,449 71,071 86,953
Total 415,232 426,857 495,274 591,887 707,083
Sumber: Bahan Presentasi “Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah”, Pilot Test Modul PKD, Surabaya, DJPK Kementerian
Keuangan, 16 Februari 2015.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yang dilaksanakan sejak akhir tahun 90-
an dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Berbagai perubahan mendasar pengelolaan pemerintahan
telah dilakukan termasuk peningkatan pelayanan publik. Belum lengkapnya peraturan maupun
petunjuk teknis dari Kementerian/Lembaga untuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyebabkan
masih rendahnya upaya pemerintah daerah untuk menerapkan SPM sebagai realisasi penyediaan
pelayanan kepada masyarakat.
Dengan memperhatikan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki daerah, maka yang perlu didorong
dan diutamakan adalah penerapan SPM sebagai pelaksanaan urusan wajib sekaligus perwujudan
penyediaan pelayanan publik yang bersifat dasar. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) sebagai acuan penyusunan SPM oleh Kementerian/Lembaga dan penerapannya oleh
Pemerintahan Daerah. Salah satu isu utama penerapan SPM di daerah adalah terbatasnya kapasitas
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dan belum dituangkannya SPM dalam
proses perencanaan dan penganggaran. Pengintegrasian SPM dalam perencanaan dan penganggaran
akan memastikan prioritas dan komitmen pemda dalam mengalokasikan belanja langsung terutama
untuk pelayanan dasar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesikasi
teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan
konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman,
perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa
standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi
secara baik.
Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada
masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur (Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 20). Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM
adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang
berhak diperoleh setiap warga secara minimal (Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Pasal
1 Ayat 6). Penekanan kata “minimal” dalam istilah SPM ini mengacu pada batas minimal tingkat
cakupan dan kualitas pelayanan dasar yang mampu dicapai oleh setiap daerah sesuai batas waktu
yang ditetapkan Pemerintah. Pemerintah Daerah harus mampu mencapai tingkat cakupan yang
minimal sama atau bahkan lebih cepat dibandingkan batas waktu yang telah ditetapkan Pemerintah
untuk masing-masing indikator SPM masing masing Kementerian/Lembaga terkait.
Manfaat SPM
Keberadaan SPM memberikan manfaat kepada semua pihak baik Pemerintah Pusat/Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan Masyarakat. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat tergantung pada
tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka SPM diharapkan dapat
BAB IV 117
BELANJA DAERAH
menjadi suatu ukuran yang sangat diperlukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun oleh Masyarakat/
Konsumen itu sendiri untuk menilai kinerja pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
Penyusunan SPM menganut beberapa prinsip sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2005 Pasal 3 sebagai berikut:
1. SPM disusun sebagai alat Pemerintah dan Pemerintahan Daerah untuk menjamin akses dan mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib.
2. SPM ditetapkan oleh Pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintahan Daerah Provinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
4.2.4 Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan dan Ruang Lingkup Rencana
Pencapaiannya
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan terdiri dari 2 (dua) jenis urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar
seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan
dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah.
Tidak semua bagian dari urusan wajib adalah pelayanan dasar. Namun, setiap pelayanan dasar
termasuk dalam bagian urusan wajib. SPM ditetapkan berdasarkan pelayanan dasar tertentu, dimana
pelayanan dasar tersebut adalah bagian dari urusan wajib, dan urusan wajib merupakan bagian dari
urusan pemerintahan. Berikut digambarkan posisi SPM dalam urusan pemerintahan (Gambar 4.8).
Urusan Pemerintah
Standar Pelayanan
Urusan Wajib Minimal (SPM)
adalah ketentuan
tentang jenis dan
Perlawanan mutu pelayanan
Dasar dasar.
SPM disusun dan diterapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Besaran dan batas waktu pencapaian SPM ditetapkan oleh
masing-masing Kementerian/Lembaga yang selanjutnya menjadi salah satu acuan bagi pemerintah
daerah untuk menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian
SPM berdasarkan data dasar pelayanan publik yang tersedia. Selanjutnya rencana pencapaian SPM
dan target tahunan diintegrasikan dalam dokumen perencanaan (RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja
SKPD) dan dokumen penganggaran (KUA PPA dan RKA-SKPD).
BAB IV 119
BELANJA DAERAH
Gambar 4.9 Muatan Rencana Pencapaian SPM
Urusan Pemerintahan
Pelayanan Dasar
Penetapan SPM
(Juknis/Pedoman)
Rencana Pencapaian
SPM di Daerah
Ruang lingkup muatan Rencana Pencapaian SPM secara lebih rinci di daerah seperti dalam Gambar
4.9 meliputi:
1. Batas waktu pencapaian SPM secara nasional dan jangka waktu pencapaian SPM di daerah;
Batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan masing-masing Kementerian/Lembaga menjadi
batas waktu maksimal dari jangka waktu rencana pencapaian dalam penerapan SPM di daerah.
Pemerintah daerah dapat menetapkan rencana pencapaian SPM lebih cepat dari batas waktu
yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPNK sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki
daerah. Rencana pencapaian SPM dalam batas waktu tertentu dijabarkan menjadi target tahunan
pencapaian dan penerapan SPM. Target tahunan pencapaian dan penerapan SPM dituangkan
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Penyusunan RKA-SKPD program dan kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM mengacu
pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, Analisis Standar Belanja (ASB), dan satuan
4. Sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada
masyarakat;
Rencana pencapaian target tahunan SPM dan realisasinya merupakan bagian dari Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), LKPJ, dan ILPPD. Rencana pencapaian target
tahunan SPM dan realisasinya dipublikasikan kepada masyarakat.
Sampai saat ini, pemerintah pusat telah menetapkan 15 bidang yang memiliki SPM. Berikut
status penyusunan dan penetapan SPM di 15 bidang tersebut. Diharapkan baik pemerintah pusat
maupun pemernitah daerah dapat memenuhi target pencapaian di 15 bidang tersebut sesuai
dengan periode target yang telah ditetapkan.
BAB IV 121
BELANJA DAERAH
4.2.5 Hubungan Rencana Pencapaian SPM dan Dokumen Perencanaan dan
Penganggaran di Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan bahwa
setiap daerah diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembangunan daerah yang terdiri dari:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk periode dua puluh tahun;
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode lima tahunan;
3. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode tahunan.
Selain itu, setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) diwajibkan untuk menyusun Rencana
Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) untuk periode lima tahunan dan Rencana
Kerja (Renja) SKPD untuk periode tahunan.
Hubungan Rencana Pencapaian SPM dalam Perencanaan dan Penganggaran di Daerah dapat
ditunjukkan melalui Gambar 4.9. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65/2005 tentang
Pedoman dan Penyusunan Standar Pelayanan Minimal, dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa:
Penyusunan rencana lima tahunan pencapaian SPM di tingkat Pemerintah Daerah dituangkan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
Rencana lima tahunan pencapaian target SPM ini dituangkan menjadi rencana tahunan ke
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), serta Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renja SKPD). Dalam proses penyusunan penganggaran, digunakan instrumen
pendukung anggaran yang lain seperti Standar Satuan Harga dan Analisis Standar Belanja
(ASB);
Selanjutnya target tahunan pencapaian SPM yang telah dimuat dalam dokumen RKPD dan
Renja SKPD dituangkan dalam Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan Rencana Kerja dan
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD).
Tingkat pencapaian target SPM di daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan batas waktu
pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri dan kemampuan keuangan di masing-
masing daerah.
Rencana Pencapaian SPM (Target 5 Tahun) termuat dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan
Jangka Menengah. Dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah daerah terdiri dari:
RPJMD dan Renstra SKPD. RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima)
tahun dan Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun. RPJMD
dan Renstra SKPD memiliki kaitan subtansi yang sangat erat sehingga penyusunan kedua dokumen
rencana tersebut dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Rancangan awal RPJMD menjadi pedoman
SKPD dalam menyusun Renstra SKPD. Subtansi rancangan awal RPJMD antara lain: kebijakan umum
dan program pembangunan jangka menengah daerah serta indikasi rencana program prioritas yang
disertai kebutuhan pendanaan menjadi acuan Kepala SKPD merumuskan kegiatan dalam rancangan
Renstra SKPD.
Pengintegrasian indikator SPM dalam perencanaan jangka menengah dilakukan pada waktu
penyusunan Rancangan Renstra SKPD. Indikator SPM menjadi masukan (input) dalam melakukan
analisis gambaran pelayanan SKPD. Masing-masing SKPD yang sudah memiliki SPM, wajib
memasukan indikator SPM sebagai masukan dalam menganalisis gambaran umum pelayanan
SKPD.
Analisis gambaran pelayanan SKPD dimaksudkan untuk menunjukan peran SKPD dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, sumberdaya SKPD dalam penyelenggaraan tugas dan
fungsi-fungsinya, capaian kinerja yang telah dihasilkan melalui pelaksanaan Renstra SKPD periode
sebelumnya, capaian kinerja antara Renstra SKPD dengan RPJMD periode sebelumnya, hambatan
dan permasalahan yang perlu diantisipasi.
Dokumen perencanaan pembangunan tahunan daerah terdiri dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) dan Rencana Kerja (Renja) SKPD. RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1
(satu) tahun dan Renja SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 1 (satu) tahun.
BAB IV 123
BELANJA DAERAH
Penyusunan RKPD dimulai dari penyusunan rancangan awal RKPD dan berakhir pada penetapan
RKPD. Tahapan penyusunan rancangan RKPD provinsi dan kabupaten/kota mencakup kegiatan:
Evaluasi rancangan awal RKP dan rancangan awal RKP tahun rencana;
Verikasi dan integrasi rancangan Renja SKPD;
Penyelarasan penyajian rancangan RKPD.
Tahapan penyusunan rencana pencapaian SPM di daerah mengacu pada penjelasan Permendagri
Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan
Minimal. Pedoman tersebut menguraikan secara umum pentahapan dan pertimbangan penyusunan
rencana pencapaian SPM di daerah, namun belum secara rinci menjelaskan langkah-langkah yang
perlu dilaksanakan di setiap tahap. Langkah-langkah penyusunan rencana pencapaian SPM dibagi
kedalam 4 lingkup utama, 7 tahap dan 18 langkah.
Tuntutan untuk transparansi dan akuntabilitas atas pengelolaan keuangan daerah semakin
meningkat. Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut, dilakukan dengan cara pengelolaan keuangan
daerah secara ekonomis, esien, dan efektif. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam pengelolaan keuangan secara ekonomis, esien, dan efektif adalah dengan menyusun
analisis standar belanja (ASB).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
pasal 38 ayat 2 menyebutkan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan
berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal. Di antara komponen-komponen ABK, indikator kinerja, SPM, dan ASB
merupakan instrumen penganggaran yang sangat penting. Penyusunan ASB penting dilakukan untuk
menghindari ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan sejenis dalam suatu
program dan antar SKPD. Ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan sejenis
antar program dan antar SKPD bisa disebabkan antara lain oleh:
BAB IV 125
BELANJA DAERAH
a. Tidak jelasnya denisi suatu kegiatan;
b. Perbedaan output kegiatan;
c. Perbedaan lama waktu pelaksanaan;
d. Perbedaan target group;
e. Perbedaan kebutuhan sumberdaya;
f. Beragamnya perlakuan objek/rincian objek/item belanja;
g. Adanya pemborosan anggaran.
Masalah klasik dalam penyusunan anggaran adalah besaran anggaran dipengaruhi oleh “siapa” yang
mengajukan kegiatan. Misalnya kegiatan seminar yang sama (jumlah pembicara, jumlah peserta dan
tempat serta konsumsi yang sama) dilaksanakan oleh satuan kerja di tingkat kabupaten, di tingkat
kecamatan dan di tingkat kelurahan/desa; maka biasanya nilai anggaran akan berbeda dan cenderung
di tingkat yang lebih tinggi mempunyai anggaran yang lebih besar. Selain itu besaran anggaran juga
dipengaruhi oleh “nama” kegiatan. Kegiatan sama dengan nama yang berbeda seperti sarasehan,
lokakarya, seminar, konferensi; biasanya dengan nama yang semakin asing atau berbau internasional
akan cenderung mendapatkan anggaran yang relatif lebih besar.
Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD, setiap alokasi biaya
yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat
dicapai. Kinerja keseluruhan Pemerintah Daerah dapat diukur melalui evaluasi terhadap pelaksanaan
APBD tersebut. Selanjutnya untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya
kinerja penyusunan anggaran perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu tentang elemen atau
persyaratan penerapan anggaran kinerja. Selain indikator kinerja, dan standar biaya, unsur atau
elemen penting yang harus ada dalam penerapan ABK adalah analisis standar belanja.
Analisis Standar Belanja (ASB) dikembangkan hanya untuk kegiatan belanja langsung sifatnya strategis
yang datanya berasal dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)-Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yang didasarkan pada pertimbangan bahwa dokumen ini merupakan hasil kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sehingga hasilnya dapat diharapkan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat, eksekutif dan legislatif.
2. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 39 ayat (2) : “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan
minimal”;
3. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah pasal
93 ayat 1 disebutkan bahwa penyusunan RKA SKPD berdasarkan prestasi kerja, indikator kinerja,
capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan
minimal;
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menerbitkan pedoman penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) berdasarkan prinsip-prinsip kinerja dengan
1. Plafon anggaran kegiatan pada Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) ditetapkan
menggunakan “intuisi”.
2. Kewajaran beban kerja dan biaya suatu kegiatan sulit diketahui yang dapat berakibat pada suburnya
praktik-praktik korupsi (mark-up anggaran).
3. Penyusunan dan penentuan anggaran menjadi subjektif.
4. Dua atau lebih kegiatan yang sama mendapat alokasi yang berbeda.
5. Penyusunan anggaran menjadi terlambat.
6. Tidak memiliki argumen yang kuat jika “dianggap” melakukan pemborosan.
BAB IV 127
BELANJA DAERAH
4.3.4 Pengertian Analisis Standar Belanja
Analisis Standar Belanja (ASB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai
dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. ASB
adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau
kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu dan kewajaran biaya di unit kerja dalam
satu tahun anggaran. Dengan kata lain, ASB merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan
biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dalam satu tahun anggaran.
Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu,
misalnya indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia, dan metode kerja. Agar input
dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap
kewajarannya. Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan
suatu kegiatan disebut sebagai ASB.
ASB pada dasarnya merupakan standar belanja yang dialokasikan untuk melaksanakan suatu program
atau kegiatan pada tingkat pencapaian (target kinerja) yang diinginkan. ASB identik dengan standar
harga pokok produk/jasa, sehingga harus dihitung dengan cermat karena akan menjadi bahan seleksi
atas usulan anggaran setiap program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang melampaui ASB
akan ditolak atau direvisi sesuai ASB yang telah ditetapkan. Apabila anggaran program atau kegiatan
lebih rendah dari ASB maka anggaran tersebut dianggap esien. Jadi dengan adanya ASB dapat
dipergunakan untuk mengukur tingkat esiensi dari anggaran program atau kegiatan yang diusulkan
atau yang akan dilaksanakan. Dengan demikian, ASB sudah dapat digunakan untuk mengukur
esiensi anggaran kegiatan setiap SKPD.
Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, ASB juga merupakan standar atau pedoman yang
bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang
direncanakan oleh setiap SKPD. ASB dalam hal ini digunakan menilai dan menentukan rencana
program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dalam upaya pencapaian kinerja.
Penilaian kewajaran berdasarkan ASB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan
yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapain kinerja
program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping itu, dalam rangka menilai usulan anggaran
belanja, ASB dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan
kesesuaian antara program atau kegiatan yang direncanakan oleh suatu SKPD dengan tugas pokok
dan fungsi SKPD yang bersangkutan.
ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja
menjadi lebih logis serta mendorong dicapainya esiensi secara terus-menerus. Hal tersebut
dikarenakan adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktek-
praktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas. Sejalan dengan hal tersebut, implementasi ASB
dalam sistem anggaran memiliki banyak manfaat, yaitu:
1. Penetapan plafon anggaran dan besaran alokasi setiap kegiatan menjadi obyektif (tidak lagi
berdasarkan “intuisi”).
2. Dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan.
3. Meningkatkan esiensi dan keefektifan dalam pengelolaan Keuangan Daerah atau meminimalisir.
terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inesiensi anggaran.
4. Penentuan anggaran berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang jelas.
Dalam menyusun ASB terdapat beberapa pertimbangan yang dapat dipergunakan, yaitu :
1. Pemulihan biaya (cost recovery)
Pemulihan Biaya berhubungan dengan penetapan biaya (fee) kepada pengguna untuk menutupi
sebagian atau seluruh biaya yang timbul dalam menghasilkan suatu produk atau jasa.
4. Keputusan investasi
Keputusan ini adalah keputusan yang menyangkut perolehan aset, yang merupakan salah satu
bentuk dari keputusan benet/cost. Keputusan ini biasanya didukung oleh siklus penghitungan
biaya (life-cycle costing) yang menghitung atau memprediksi seluruh biaya modal dan operasional
dari suatu aset selama umurnya. Hal ini membantu para pembuat keputusan dalam menetapkan
kapan dan dengan apa untuk mengganti aset.
Penilaian kewajaran dalam Analisis Standar Belanja meliputi dua aspek: penilaian kewajaran beban
kerja dan penilaian kewajaran biaya. Secara terperinci dapat diuraikan seperti berikut:
BAB IV 129
BELANJA DAERAH
4.3.8 Prinsip Dasar Penyusunan ASB
Beberapa hal yang seharusnya dipertimbangkan dalam penyusunan ASB, yakni, penyederhanaan
(modelling), mudah diaplikasikan, mudah di up-date atau tidak mudah basi, eksibel, berlaku umum
untuk spesikasi output dan kebutuhan sumber daya yang sama. Secara terperinci dapat diuraikan
seperti berikut:
1. Penyederhanaan (modelling), penyusunan ASB bertujuan membuat model belanja untuk objek-
objek kegiatan yang menghasilkan output yang sama.
2. Mudah diaplikasikan, model yang dibuat tidak sulit untuk diterapkan SKPD.
3. Mudah di up-date atau tidak mudah basi, model yang dibuat mudah untuk diperbaharui dalam
arti jika ditambahkan data-data baru tidak mengubah formula model tersebut secara keseluruhan.
4. Fleksibel, model yang dibuat dengan menggunakan konsep belanja rata-rata dan memiliki batas
minimum belanja dan batas maksimum belanja.
5. Berlaku umum untuk spesikasi output dan kebutuhan sumber daya yang sama.
Ada 3 (tiga) pendekatan yang digunakan dalam penyusunan analisis standar belanja, yaitu: aktivitas
berbasis biaya (activity based costing-ABC), regresi sederhana (ordinary least square: ols) dan metode
diskusi kelompok (focused group discussion).
1. Pendekatan ABC
Pendekatan Activity Based Costing (ABC) merupakan suatu teknik untuk mengukur secara
kuantitatif biaya dan kinerja suatu kegiatan (the cost and performance of activities) serta teknik
mengalokasikan penggunaan sumber daya dan biaya kepada masing-masing objek biaya
(operasional maupun administrasi) dalam satu kegiatan. Pendekatan ABC bertujuan untuk
meningkatan akurasi biaya penyediaan barang dan jasa yang dihasilkan dengan menghitung biaya
tetap (xed cost) dan biaya variabel (variabel cost), sehingga total biaya dengan pendekatan ABC
adalah:
Namun dalam kesempatan ini, penghitungan ASB hanya akan membahas pendekatan atau
metode regresi.
ASB yang merupakan pedoman bagi SKPD dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah perlu
dibuatkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah. Berikut adalah contoh Peraturan Kepala Daerah
terkait ASB.
BAB IV 131
BELANJA DAERAH
PERATURAN GUBERNUR XXX
NOMOR TAHUN 2014
TENTANG
ANALISIS STANDAR BELANJA PEMERINTAH PROVINSI
XXX
GUBERNUR XXX,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan tertib administrasi
pengelolaan keuangan daerah yang efektif, esien dan akuntabel;
b. bahwa adanya ketidakadilan dan ketidakwajaran anggaran belanja antar kegiatan
sejenis dalam suatu program dan antar SKPD;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b
diatas, maka perlu ditetapkan Peraturan Gubernur XXX tentang Analisis Standar
Belanja
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara;
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan
Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata
Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
15. Peraturan Daerah Provinsi XXX Nomor X Tahun 200X tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pasal 1
Analisis Standar Belanja adalah standar yang digunakan untuk menganalisis kewajaran beban kerja
atau biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah di
Lingkungan Pemerintah Provinsi XXX.
Pasal 2
Analisis Standar Belanja dimaksudkan dalam Peraturan Gubernur ini meliputi bimbingan non teknis
pegawai, bimbingan teknis pegawai, pendidikan dan pelatihan prestasi siswa dan masyarakat, sosialiasi,
forum komunikasi/koordinasi, kajian bersama, rapat kerja, penyusunan laporan pertanggung jawaban
keuangan.
Pasal 3
Analisis Standar Belanja adalah sebagai alat ukur belanja kegiatan dan penyetaraan nama kegiatan yang
berlaku sama untuk seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi XXX
Pasal 4
Penerapan Analisis Standar Belanja bertujuan untuk meningkatkan esiensi dan efektitas pelaksanaan
kegiatan dan pengendalian anggaran.
Pasal 5
(1) Penyetaraan kegiatan merupakan pengelompokan kegiatan yang mempunyai ciri dan jenis yang sama
atau hampir sama dalam rangka penyusunan rencana belanja.
(2) Penyetaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
Peraturan ini.
Pasal 6
(1) Analisis Standar Belanja ini dipergunakan untuk menentukan besaran biaya setiap kegiatan dalam
rangka penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan
Pemerintah Provinsi XXX
(2) Perhitungan Analisis Standar Belanja sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini.
Pasal 7
Tatacara Penerapan Analisis Standar Belanja sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini.
Pasal 6
Rencana Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi XXX yang
belum ada/belum diatur penyetaraan dalam Analisis Standar Belanja ini, ketentuan besaran total belanja
dan sebaran obyek belanja kegiatan ditetapkan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang
dibentuk dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 8
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahui,
memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah.
Ditetapkan di XX
pada tanggal ………………
GUBERNUR XXX
XXXXXXXXXXXX
BAB IV 133
BELANJA DAERAH
4.4 Value for Money
4.4.1 Pengantar
Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian
diratikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang telah diganti
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 telah
menjadi peletak dasar pelaksanaan reformasi sektor publik di Indonesia.
Implikasi kedua undang-undang tersebut bagi pemerintah pusat dan daerah khususnya dibidang
sistem keuangan, adalah perlunya dilakukan reformasi anggaran (budgeting reform), sistem pembiyaan
(nancing reform), sistem akuntansi (accounting reform), sistem pemeriksaan laporan keuangan daerah
(audit reform), serta sistem manajemen keuangan daerah. Tuntutan pembaharuan sistem keuangan
tersebut adalah dikelolanya uang rakyat secara transparan dengan mendasarkan konsep Value for
Money (VFM) agar tercipta akuntabilitas publik (public accountability).
Sektor publik sering dinilai sebagai sarang inesiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana dan
instansi yang selalu merugi. Tuntutan baru muncul agar organisasi sektor publik memperhatikan
Value for Money (VFM) dalam menjalankan aktitasnya. Tujuannya adalah agar semua program dan
kegiatan yang dijalankan dengan menggunakan anggaran belanja pemerintah bisa memberikan
manfaat yang paling besar bagi masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, Value for Money (VFM) merupakan jembatan untuk menghantarkan
pemerintah daerah dalam mencapai good governance, yaitu tatakelola pemerintah daerah yang
transparan, partisipatif, ekonomis, esiensi, efektif, responsif dan akuntabel. Dengan demikian,
pencapaiaan good governance mensyaratkan Value for Money (VFM) tersebut harus dioperasionalkan
dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Value for Money (VFM) adalah istilah digunakan untuk menilai apakah sebuah suatu organisasi
termasuk tentunya lembaga sektor publik telah memperoleh manfaat yang maksimum (the maximum
benet) atau belum dari barang-barang dan jasa yang tersedia atau dimiliki. Value for Money (VFM)
tidak hanya mengukur biaya-biaya yang berkaitan dengan barang-barang dan jasa tersebut tetapi
juga memperhatikan kombinasi mutu, biaya, penggunaan sumber daya, kesesuaian dengan tujuan
organisasi, ketepatan waktu dan kenyamanan untuk menilainya.
Pencapaian penerapan Value for Money (VFM) dalam suatu organisasi memerlukan suatu
pertimbangan dalam perencanaan dan proses penganggaran (budgeting processes) pada semua
tingkat. Dalam penerapannya dibidang pemerintahan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah
untuk merencanakan dan mengimplemetasikan program-program dan kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan pelayanan publik.
Ukuran keberhasilan penerapan value for money (VFM) dalam pemberian pelayanan kepada publik
(masyarakat) didasarkan pada tiga kata kunci yang biasa disingkat tiga E yaitu: ekonomis, esien
dan efektif. Namun dalam konteks dan konsep sustainabilitas, tiga E tersebut dapat dikembangkan
menjadi 5 E yaitu ditambah dengan dua E: ekologis dan equity (adil). Secara skematis hubungan tiga E
yang pertama dalam Value for Money adalah seperti Gambar 4.13 berikut:
1. Ekonomis diartikan bahwa pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga
yang termurah. Ekonomis merupakan perbandingan jumlah input dengan nilai input.
Input
Ekonomis =
harga Input
2. Esiensi diartikan menyelesaikan sesuatu pekerjaan atau kegiatan yang sama dengan pemanfaatan
sumber daya yang lebih sedikit. Atau dengan kata lain menggunakan input yang lebih sedikit
untuk sebuah pekerjaan atau kegiatan dalam memberikan pelayanan. Esiensi merupakan
perbandingan antara output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan.
Sumber daya yang dimaksud meliputi:
a. Modal termasuk uang atau biaya;
b. staf;
c. lahan (space);
d. Konsep esiensi juga merupakan konsep yang bersifat relatif, tidak absolute dan juga terkait
dengan produktitas.
Output
Esiensi =
Input
Untuk memperbaiki esiensi dapat dilakukan tindakan :
a. Meningkatkan output untuk jumlah input yang sama.
b. Meningkatkan output dengan proporsi kenaikan output yang lebih besar dibandingkan
proporsi kenaikan input.
c. Menurunkan input untuk jumlah output yang sama.
d. Menurunkan input dengan proporsi penurunan yang lebih besar dibandingkan proporsi
penurunan output.
3. Efektitas atau keefektifan diartikan menyelesaikan pekerjaan atau kegiatan dalam pemberian
pelayanan kepada publik yang lebih baik dengan menggunakan sumber daya yang sama atau
lebih sedikit. Efektitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output (target/result).
Dengan kata lain, efektitas atau keefektifan merupakan hubungan antara output dengan tujuan.
Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi,
program atau kegiatan.
Outcome
Efektitas =
Output
BAB IV 135
BELANJA DAERAH
4.5 Latihan
1. Jelaskan klasikasi belanja daerah menurut Permendagri 13 Tahun 2006 jo Permendagri 59 Tahun
2007 jo Permendagri 21 Tahun 2011!
2. Jelaskan perbedaan belanja daerah berdasarkan urusan wajib dan urusan pilihan!
3. Jelaskan jenis-jenis belanja daerah berdasarkan kelompok belanja!
4. Menurut Anda, anggaran untuk partai politik masuk ke dalam jenis belanja apa? Jelaskan alasan
Anda!
5. Jelaskan Klasikasi Belanja Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2010 dan
Permendagri Nomor 64 Tahun 2013!
6. Jelaskan manfaat yang diperoleh dari adanya SPM di pemerintah daerah!
7. Jelaskan bagaimana hubungan rencana pencapaian SPM dalam perencanaan dan penganggaran di
daerah!
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Analisis Standar Belanja!
9. Jelaskan manfaat apa saja yang diperoleh dari tersedianya ASB!
10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Value for Money!
11. Jelaskan manfaat implementasi Value for Money!
Bahan Bacaan:
1. Mardiasmo (2007), Perpajakan;
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
4. PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
5. PP 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar
Daerah;
7. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, 2010, Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS),
Panduan Bagi Investor Dalam Investasi Di Bidang Infrastruktur;
8. Anton Tarigan, 2010, Kerjasama Antar Daerah (KAD) Untuk Peningkatan Penyelenggaraan
Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah, Direktorat Otonomi Daerah Bappenas.
Pembiayaan sebagai bagian dari APBD di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh PP 105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada Pasal 15 di sebutkan
bahwa Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah;
2. Belanja Daerah;
3. Pembiayaan.
BAB V 139
PEMBIAYAAN DAERAH
Sebelumnya (di era orde baru) APBD terdiri dari Pendapatan dan Belanja, dimana pendapatan dan
belanja daerah harus balance dan pinjaman daerah merupakan bagian dari pendapatan daerah.
Struktur di PP Nomor 105 Tahun 2000 dilanjutkan oleh PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah hingga sekarang. Pengertian Pembiayaan Daerah dalam peraturan pemerintah
tersebut adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
Sebagai konsekuensi dari struktur tersebut, terdapat dua istilah penting yang harus dipahami
yaitu pendapatan dan penerimaan. Banyak orang awam yang menganggap bahwa pendapatan dan
penerimaan adalah dua kata sama maknanya, padahal sangat berbeda dalam konteks anggaran daerah.
Perbedaannya antara lain bahwa pendapatan adalah penerimaan dana yang secara rutin akan diterima
oleh daerah, yang sudah menjadi hak daerah dan tidak perlu dibayar kembali atau penerimaan yang
tidak akan mengurangi kekayaan daerah. Sedangkan dalam kata penerimaan terkandung kewajiban
untuk membayar kembali atau berkonsekuensi pengurangan kekayaan daerah tertentu.
SiLPA
pencairan dana cadangan
hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
Penerimaan penerimaan pinjaman
penerimaan kembali pemberian pinjaman
Pembiayaan
SiLPA tahun berkenaan merupakan suatu indikator yang cukup krusial dalam realisasi APBD. SiLPA
tahun berkenaan yang merupakan selisih positif antara surplus/defisit dengan netto pembiayaan akan
menunjukkan kinerja realisasi anggaran secara keseluruhan. Semakin tinggi SiLPA tahun berkenaan,
maka semakin rendah kinerja pengelolaan APBD secara keseluruhan. SiLPA tahun berkenaan (atau
sering juga disebut sebagai surplus penerimaan) menunjukkan besarnya dana publik yang tidak
tergunakan dalam belanja maupun tidak tergunakan dalam transaksi pembiayaan. Dengan demikian,
SiLPA tahun berkenaan betul-betul menunjukkan total dana idle pada akhir tahun yang telah berjalan.
Dalam realisasi APBD terdapat dua jenis SiLPA. Pertama, SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan
sisa penggunaan anggaran tahun sebelumnya dan merupakan bagian dari penerimaan pembiayaan.
Kedua, SiLPA tahun berkenaan yang merupakan sisa penggunaan anggaran pada tahun berjalan dan
akan menjadi salah satu penerimaan pembiayaan di tahun berikutnya. Dalam anggaran, SiLPA tahun
sebelumnya cenderung dianggarkan lebih rendah dari realisasi.
SiLPA tahun berkenaan mempunyai pergerakan yang meningkat dalam kurun waktu empat tahun
terakhir (2009-2012), bahkan besaran SiLPA tahun 2012 hampir mencapai dua kali lipat tahun 2009
(dari Rp52 triliun menjadi Rp 97 triliun). Kondisi ini menunjukkan gejala yang kurang baik karena
semakin besar SiLPA tahun berkenaan maka menjadi indikasi semakin besar pula dana yang tidak
digunakan dalam memenuhi pelayanan dasar kepada masyarakat.
Gambar berikut ini menunjukkan perkembangan realisasi APBD per bulan dari tahun 2011 sd 2014
(triwulan I). Pada gambar tersebut terlihat bahwa realisasi APBD cenderung meningkat di akhir tahun
anggaran.
90
70
50
%
30
10
-10
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2014 4,0 7,3 11,7
2013 4,1 8,4 13,6 20,5 26,9 34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96,1
2012 4,9 8,3 13,3 20,2 26,3 34,6 42,8 50,8 58,7 66,6 75,5 96,2
2011 4,8 8,4 14,0 20,3 26,8 34,1 42,4 54,4 58,8 67,1 76,1 98,8
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Walaupun secara nasional SiLPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang cukup besar, namun
jika dilihat dari data APBD yang masuk maka akan terlihat bahwa terdapat beberapa daerah yang
mempunyai nilai negatif atau lebih kecil dari nol. SiLPA tahun berkenaan yang bernilai negatif
mempunyai arti bahwa pemda belum bisa menutup belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan pada
tahun tersebut, sehingga nilai tersebut akan menjadi beban pada tahun berikutnya. Beberapa kondisi
BAB V 141
PEMBIAYAAN DAERAH
tersebut mencerminkan masih belum optimalnya proses manajemen pengelolaan keuangan daerah,
sehingga perlu aktivitas yang terus menerus dan sinergi dari pemerintah dan pemerintah daerah
untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Dana idle merupakan dana yang tidak atau belum digunakan oleh pemerintah daerah (pemda).
Dana idle yang dapat dipantau oleh pemerintah pusat setiap bulannya adalah dana idle pemda yang
disimpan di perbankan. Dana pemda di perbankan merupakan akumulasi dana pemda baik yang
berupa dana cadangan, investasi dan dana idle. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik berikut
210.000
190.000
170.000
150.000
130.000
110.000
90.000
70.000
50.000
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Mayoritas APBD sejak dirancang hingga ditetapkan, khususnya pada awal tahun anggaran, lebih
banyak berada pada posisi desit, dan SiLPA pada posisi yang relatif normal (bahkan pada umumnya
bersaldo Nihil). Namun bila sudah masuk dalam tahap laporan realisasi APBD, SiLPA justru jumlahnya
menjadi relatif besar. Artinya, pengelolaan keuangan pemerintah daerah terkesan belum profesional.
SiLPA yang relatif besar tersebut umumnya ditimbulkan oleh kesalahan perkiraan pendapatan
yang relatif kecil sedangkan belanja tidak sepenuhnya terealisasnya. Oleh karena itu, tidak aneh jika
realisasi SiLPA di sebagian besar daerah terus bertambah besar dan jumlah keseluruhannya bahkan
melampaui batas maksimum kumulatif desit APBD dalam satu tahun anggaran.
Perlu dibedakan antara SilPA (dengan huruf i kecil) dan SILPA (dengan huruf i besar/kapital). SiLPA
(dengan huruf i kecil) adalah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, yaitu selisih lebih realisasi penerimaan
dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Misalnya realisasi penerimaan daerah tahun
anggaran 2013 adalah Rp 571 milyar sedangkan realisasi pengeluaran daerah adalah Rp 524 milyar,
maka SiLPA-nya adalah Rp 47 milyar. Sedangkan SILPA (dengan huruf i besar/kapital) adalah Sisa
Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan, yaitu selisih antara surplus/desit anggaran dengan
pembiayaan netto. Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya
bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup desit anggaran yang terjadi.
Jika angka SILPA-nya positif berarti bahwa ada pembiayaan netto setelah dikurangi dengan desit
anggaran, masih tersisa (misalnya Rp 2 milyar). Dengan kata lain bahwa secara anggaran masih
ada dana dari penerimaan pembiyaan yang Rp 2 milyar tersebut yang belum dimanfaatkan untuk
membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. Jika SILPA bernilai negatif
berarti bahwa pembiayaan netto belum dapat menutup desit anggaran yang terjadi. Untuk itu perlu
dicari jalan keluarnya, misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber penerimaan pembiayaan
yang lain seperti utang dan lain sebagainya, atau dengan mengurangi belanja dan atau pengeluaran
pembiayaan sehingga angka SILPA ini sama dengan nol.
97.026
78.317
68.216
52.234 56.574
Sumber: Laporan Monitoring Realisasi APBD dan Dana Idle TA 2014 Triwulan I, DJPK, Kemenkeu
Kotak 5.1 Setelah Berhemat Pemda Tasikmalaya Memiliki Sisa Anggaran Rp 3,8 Miliar
Langkah ini sesuai instruksi pemerintah pusat melalui Menteri PAN-RB untuk melakukan
penghematan anggaran operasional pegawai. “Kita sudah menghitung pengurangan atau
penghematan anggaran operasional PNS. Hasilnya kita punya sisa anggaran mencapai Rp 3,8
miliar,” kata Idi saat ditemui di Bale Kota Tasikmalaya, Senin (24/11/2014).
Menurut Idi, pengurangan biaya operasional itu terdiri dari pemotongan anggaran kunjungan
pegawai ke luar daerah, rapat tak menggunakan fasilitas hotel, dan penghapusan beberapa
anggaran operasional pegawai lainnya.
Keputusan ini mulai berlaku bagi kepala daerah dan unsur pejabat eselon lainnya. “Misalkan ke
Jakarta biasa Rp 1 juta, sekarang jadi Rp 400.000. Ke Yogyakarta biasa Rp 700.000, sekarang menjadi
Rp 350.000,” kata Idi.
Jumlah sisa anggaran ini, kata Idi, akan dialokasikan untuk anggaran infrastruktur di wilayahnya.
Seperti untuk saluran irigasi dan pembangunan jalan di tiap kampung dan kelurahan. “ Pengguna-
nya nanti akan sesuai instruksi Pak Presiden dan Pak Menteri untuk infrastruktur,” ungkap dia.
Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/11/24/
BAB V 143
PEMBIAYAAN DAERAH
5.3 Pinjaman dan Obligasi Daerah
Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi daerah, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Pinjaman dicatat dan dikelola dalam APBD. Pinjaman daerah yang dilakukan harus merupakan
inisiatif pemerintah daerah.
Pinjaman Daerah dapat dikategorikan kepada pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah
dan pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka pendek ditujukan untuk menutupi kekurangan arus
kas daerah. Sedangkan pinjaman jangka menengah dan panjang ditujukan membiayai pelayanan
publik yang tidak menghasilkan penerimaan, atau membiayai kegiatan investasi berupa pengadaan
prasarana dan/ atau sarana daerah yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat
maupun menghasilkan penerimaan bagi APBD.
Untuk pinjaman jangka menengah dan jangka panjang wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Selain itu, pinjaman yang dilakukan harus memperhatikan prinsip-
prinsip pengelolaan, yakni taat pada peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, esien
dan efektif, serta kehati-hatian. Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau sebaliknya merupakan wujud pelaksanaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
Melakukan pinjaman selalu menimbulkan pro dan kontra. Berbagai argumen muncul untuk
mendukung Pemerintah melakukan pinjaman. Demikian juga sebaliknya, banyak argumen untuk
menentang Pemerintah melakukan pinjaman. Kalangan yang menganjurkan Pemerintah melakukan
pinjaman antara lain didasarkan argument berikut:
Negara berkembang umumnya memerlukan dana untuk membiayai desit anggaran yang tidak
bisa dihindari karena kebutuhan untuk membangun lebih cepat jauh lebih besar dari kapasitas
pendanaan dari pendapatan rutin. Desit diperlukan untuk membangun infrastruktur dan layanan
yang dibutuhkan masyarakat. Desit yang dibiayai dengan pinjaman juga dipandang sebagai sebuah
kebijakan skal yang ekspansif untuk menstimulasi perekonomian atau dalam rangka mendorong
pertumbuan ekonomi (accelerate economic growth).
Terakhir, argumen yang cukup baik untuk melakukan pinjaman adalah proyek dengan manfaat
jangka panjang (long term benet of the project). Suatu proyek pembangunan yang bermanfaat jangka
panjang akan lebih adil jika dibiayai dengan pinjaman dari pada hanya dibiayai dengan pendapatan
pajak tahun ini. Generasi berikutnya yang mendapat manfaat juga akan ikut membayar jika proyek
tersebut dibiayai dengan pinjaman.
Di sisi lain, kalangan yang menentang Pemerintah untuk melakukan pinjaman mengemukakan juga
berbagai argumen, terutama terkait dengan tidak produktifnya dan inesiennya penggunaan dari
dana pinjaman tersebut. Pinjaman yang kurang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dan tidak dapat meningkatkan pendapatan Negara, justru akan menimbulkan beban bagi belanja
Negara di masa datang. Beban hutang yang semakin menumpuk dan tidak diikuti oleh kemampuan
Negara untuk membayar dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi makro. Selain itu, pinjaman
Negara yang berlebihan dapat mengakibatkan berkurangnya ketersediaan dana untuk dipinjam
swasta, sehingga tingkat bunga naik (crowding-out). Untuk itu pembatasan terhadap pinjaman harus
dilakukan, baik setiap tahunnya maupun akumulasi pinjaman Negara.
Berdasarkan peraturan di atas, ada tiga jenis pinjaman yang dapat dibuat oleh daerah, yaitu:
1. Pinjaman Dalam Negeri yang berasal dari:
a. penerusan pinjaman dalam negeri, atau
b. pinjaman Daerah, atau
c. obligasi daerah.
2. Pinjaman yang berasal dari Luar Negeri yang merupakan penerusan pinjaman Luar Negeri.
BAB V 145
PEMBIAYAAN DAERAH
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pinjaman daerah yaitu:
a. Harus merupakan inisiatif Pemda.
b. Pemda tidak boleh memberi jaminan atas utang yang dibuat pihak lain.
c. Aset daerah tidak bisa menjadi jaminan utang, kecuali yang dibiayai oleh Obligasi daerah.
d. Tercatat dalam APBD.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, dapat digambarkan tipologi pinjaman daerah sebagai berikut:
Pemda, BUMN,
Luar Negeri Perusahaan Daerah
Pemerintah
Pemda Peminjam
Penerusan pinjaman, baik yang bersumber dari dalam dan luar negeri, begitu pula Pinjaman Daerah,
harus tertuang dalam Surat Perjanjian. Pinjaman daerah yang berupa penerusan pinjaman luar
negeri (PPLN) ada di bawah wewenang Menteri Keuangan yang dikuasakan pada Direktur Sistem
Manajemen Investasi (Dit. SMI) Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Dit. SMI ini dahulunya adalah
Dit. Pengelolaan Investasi yang digabungkan dengan Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman.
Sebelumnya, PPLN dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman.
Dengan asumsi denisi yang konsisten, maka dalam PP 30/2011 menyatakan bahwa Pinjaman
jangka panjang adalah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan digunakan untuk
membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik
yang: (a) menghasilkan penerimaan langsung, (b) menghasilkan penerimaan tidak langsung, (c)
memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
Sampai saat ini pinjaman daerah dominan berupa Penerusan Pinjaman. Dari total pinjaman
outstanding pada akhir tahun 2011, pinjaman dari PIP mempunyai porsi sekitar 17%. Sementara itu
realisasi penerusan pinjaman pada TA 2012 adalah sebesar Rp 2,2 triliun atau 25,6% dari pagu APBNP
2012 yang dianggarkan sebesar Rp 8,4 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan data TA 2011 yang
mencatatkan realisasi PPLN sebesar Rp 4,2 triliun atau 36% dari pagu APBNP 2011.
Prinsip-prinsip umum pinjaman daerah di Indonesia diatur secara khusus dalam Bab II Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005. Secara sistematis, prinsip-prinsip pinjaman daerah tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutupi
kekurangan kas;
2. Pinjaman daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan;
3. Pemerintah daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, kecuali
dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi
obligasi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
4. Pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;
5. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah;
6. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek
tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah;
Menteri Keuangan mengelola pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah pusat yang dapat
berasal dari pinjaman luar negeri maupun selain pinjaman luar negeri. Pengaturan mengenai batas
pinjaman daerah tidak terlepas dari pengaturan mengenai batas kumulatif desit yang diatur oleh
pemerintah secara bersamaan dengan batas maksimum pinjaman daerah dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Desit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Persyaratan pinjaman secara garis besar dapat dibagi berdasarkan jenis pinjaman daerah. Penjelasan
persyaratan tersebut dapat dijelaskan berikut ini :
BAB V 147
PEMBIAYAAN DAERAH
PU = PD – (DAK + DD + DP + PL) dengan
PU = Pendapatan Umum APBD
PD = Jumlah Pendapatan Daerah
DAK = Dana Alokasi Khusus
DD = Dana Darurat
DP = Dana Pinjaman
PL = Pendapatan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran
tertentu
Secara umum, formula Pendapatan Umum APBD di atas menunjukkan besaran pendapatan
APBD yang tidak dibatasi penggunaannya. Besaran pendapatan umum ini adalah besarnya
pendapatan daerah yang masih memiliki ruang kebebasan bagi pemerintah daerah untuk
menggunakannya. Hal ini untuk mengantisipasi akan adanya kewajiban yang timbul dari
pemerintahan daerah akibat adanya pinjaman daerah.
b. Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh
pemerintah dalam bentuk nilai Indeks DSCR (Debt Service Coverage Ratio) harus minimal lebih
besar atau sama dengan 2,5. Formula Indeks DSCR tersebut secara prinsip menggambarkan
berapa kali lebih besar pendapatan daerah yang tidak dibatasi penggunaannya dari besaran
kewajiban pinjaman daerah pada setiap tahun anggaran. Semakin besar nilai indeks ini,
semakin besar kemampuan skal setiap daerah dalam membayar kewajiban pinjaman daerah
berupa pembayaran cicilan pokok, bunga dan biaya lainnya.
c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat
dan atau pihak luar negeri, serta pemberi pinjaman lain.
d. Mendapat persetujuan DPRD. Persetujuan DPRD ini juga termasuk berkaitan dengan apakah
pinjaman tersebut terus dipinjamkan dan/atau diteruskan sebagai penyertaan modal kepada
BUMD.
Salah satu sumber pinjaman dari pemerintah pusat yaitu Dana Investasi Pemerintah, termasuk di
dalamnya dana yang dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP merupakan Sovereign Wealth
Fund (SWF) Indonesia dan menjadi operator investasi Pemerintah. Adapun cakupan sektor investasi
PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Investasi di bidang pembangunan infrastruktur sebagai salah satu fokus dari investasi PIP didasarkan
pada alasan filosofis bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak
pertumbuhan ekonomi dan dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Salah
satu bentuk investasi langsung PIP adalah pemberian pinjaman kepada pemda. Pinjaman yang
diberikan PIP kepada pemda dibatasi hanya untuk pembangunan infrastruktur dasar, antara lain
mencakup: Ketenagalistrikan, Jalan/Jembatan, Transportasi, Pasar, Rumah sakit, Terminal, dan Air
Bersih.
PIP adalah bentuk tindak lanjut UU Perbendaharaan Negara yang mengamanatkan pemerintah
melaksanakan investasi jangka panjang yang memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lainnya (Pasal
41). Dengan mengeluarkan PP 8/2007 tentang Investasi Pemerintah yang kemudian diubah dengan
PP 1/2008 yang memuat perluasan bentuk investasi pemerintah. Unit yang semula ditunjuk sebagai
pelaksana PP 8/2007 adalah Satker Sementara Badan Investasi Pemerintah yang berada di bawah
Dit. Pengelolaan Dana Investasi, Ditjen Perbendaharaan. Unit ini berbentuk Badan Layanan Umum
(BLU) dengan status bertahap. Selanjutnya untuk menegakkan azas Good Governance pemerintah
memisahkan fungsi regulator dan operator untuk pengelolaan investasi negara. Fungsi regulator
tetap dipegang oleh Direktorat Pengelolaan Dana Investasi, sedangkan fungsi operator dilaksanakan
oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang berasal dari Satker Sementara BIP. PIP kemudian menjadi
BLU penuh pada tahun 2009. PIP mendapatkan pembinaan teknis oleh Ditjen Perbendaharaan dan
pembinaan administrasif oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
BAB V 149
PEMBIAYAAN DAERAH
Gambar 5.6 Prosedur Pinjaman ke PIP
Sumber: Bahan Presentasi Kasubdit Pinjaman Daerah DJPK pada ToMAT (Training of Master Trainer) 15 Januari 2015
Sumber: Bahan Presentasi Kasubdit Pinjaman Daerah DJPK pada ToMAT (Training of Master Trainer) 15 Januari 2015.
Membiayai desit dengan SilPA, dana cadangan dan penjualan saham daerah tidak memiliki
konsekuensi kewajiban di masa mendatang, karena tidak harus dibayar. Artinya Pemerintah boleh
desit sebesar apapun jika dibiayai dengan ketiga sumber pembiayaan tersebut. Sehingga tidak perlu
ada kontrol terhadap desit yang dibiayai dengan ketiga sumber tersebut. Namun pembiayaan desit
dari ketiga jenis sumber tersebut umumnya tidak bisa diandalkan untuk pembangunan infrastruktur
yang berskala besar yang membutuhkan dana dalam jumlah yang sangat besar pula.
BAB V 151
PEMBIAYAAN DAERAH
Sementara itu desit yang dibiayai dengan pinjaman/obligasi akan menimbulkan kewajiban untuk
membayar kembali pinjaman/obligasi tersebut di masa datang pada saat jatuh tempo. Untuk itu
pembiayaan desit dengan pinjaman/obligasi daerah harus dikontrol dan dikelola dengan baik agar
tidak memberatkan keuangan daerah di masa mendatang. Pembatasan terhadap pembiayaan desit
dengan pinjaman/obligasi untuk keuangan negara maupun daerah ada di Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Total desit Anggaran Negara (termasuk total desit seluruh)
yang dapat dibiayai dengan penarikan pinjaman tiap tahunnya dibatasi maksimum sebesar 3%
PDB (Produk Domestik Bruto). Pembatasan dalam UU ini sejalan dengan kesepakatan internasional
(Mastricht Treaty 1992). Pembatasan dalam UU juga terkait dengan total Hutang Negara (termasuk
total hutang seluruh daerah) yang tidak boleh melebihi 60% GDP.
Kontrol terhadap desit APBN setiap tahunnya ada dalam UU APBN yang tentunya mengacu
kepada UU 17/2003. Sedangkan kontrol terhadap desit seluruh daerah yang dapat dibiayai dengan
pinjaman/obligasi dilakukan oleh Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan setiap bulan
Agustus menetapkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai batas maksimal defisit APBD dan batas
maksimal pinjaman daerah dalam rangka pengendalian batas maksimal defisit tersebut. Jika di UU
APBN ditetapkan desit 2% PDB, maka kumulatif desit seluruh daerah tidak boleh melebihi 1% PDB.
Sebagai contoh untuk tahun anggaran 2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.07/2012
menetapkan batas maksimal kumulatif defisit seluruh APBD untuk Tahun Anggaran 2013 ditetapkan
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari perkiraan PDB Tahun Anggaran 2013. Angka itu lebih rendah
dari batas maksimal yang diizinkan UU 17/2003. Mestinya total desit seluruh daerah diperbolehkan
maksimal hingga 1,3% PDB karena desit APBN 2013 ditetapkan hanya 1,7% PDB.
Berdasarkan pagu total desit seluruh daerah tersebut, Menteri Keuangan kemudian menentukan
batas maksimal defisit APBD 2013 untuk masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% (enam
persen) dari perkiraan pendapatan daerah tahun anggaran 2013 tersebut. Pemerintah daerah wajib
melaporkan rencana defisit APBD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan sebelum APBD ditetapkan. Dalam hal defisit APBD yang akan ditutup dengan pinjaman
melebihi pagu tersebut, maka defisit APBD tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Menteri
Keuangan.
Di dalam pengeluaran pembiayaan ada rekening penyertaan modal daerah yang merupakan salah
satu bentuk keleluasaan bagi Pemda untuk memanfaatkan surplus, penyediaan layanan daerah
melalui perusahaan daerah dan investasi untuk menggerakkan perekonomian daerah. Penyertaan
modal daerah adalah penempatan dan/atau penanaman dana dan/atau pemisahaan kekayaan daerah
dalam bentuk uang dan/atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh pemerintah
daerah.
Penyertaan modal ke Perusahaan Daerah atau membentuk BUMD yang bertugas untuk menyediaan
layanan daerah yang relatif lebih komersial adalah sesuatu yang diperbolehkan, dengan harapan
Penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berlokasi di daerah ataupun ke
Perbankan daerah adalah bentuk partisipasi daerah untuk menggerakkan roda perekonomian lokal.
Sementara itu penyertaan modal ke perusahaan swasta biasanya dimaksudkan untuk kerjasama
penyediaan layanan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Opsi lain untuk sumber pembiayaan pembangunan adalah melalui Publik Private Partnership (PPP)
atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Public-Private Partnership (Kerjasama Pemerintah dengan
Swasta) selanjutnya disingkat adalah suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi
pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta. Beberapa ciri-ciri KPS adalah:
pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah dalam jangka waktu tertentu.
pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi tersebut,
fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak
swasta selama masa kontrak.
Semua proyek KPS di Indonesia harus dilakukan lewat proses pengadaan yang kompetitif yang
didahului oleh suatu proses yang struktural yang pada umumnya termasuk proses pra-kualikasi.
Saat ini, KPS diatur melalui Peraturan Presiden yaitu Perpres Nomor 67 Tahun 2005. Ada anjuran agar
dipayungi oleh undang-undang khusus, misal: BOT Law atau PPP Law karena Perpres kurang kuat.
Memang dimungkinkan diatur dengan Perpres karena tidak dilarang oleh UU yang berlaku.
1. Kontrak Pelayanan. Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas
tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka
pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. Beberapa contoh kontrak adalah kontrak
pembersihan jalan, pengumpulan dan pembuangan sampah, pemeliharaan jalan, pengerukan kali,
jasa mobil derek.
2. Kontrak Manajemen. Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance)
suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih
BAB V 153
PEMBIAYAAN DAERAH
panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/xed fee. Beberapa contoh
kontrak manajemen adalah perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembuangan dan pengurugan
sampah (solid waste landll), pengoperasian instalasi pengolahan air (water treatment plant),
pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, stadion olahraga, tempat parkir, sekolah).
3. Kontrak Sewa (lease). Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (xed fee) untuk
penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara,
dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta
menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun. Beberapa contoh
kontrak sewa (lease) adalah taman hiburan (entertainment complex), terminal Udara/bandara,
armada bis atau transportasi lainnya.
4. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT. BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan
usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain
akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang
infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak.
Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun. Beberapa variasi dengan “tema”
sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-Lease-Transfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (Build-
Transfer-Operate), CAO (Contract-Add-Operate), DOT (Develop-Operate-Transfer), ROT (Rehab-
Operate-Transfer), ROO (Rehab-Operate-Own) Development. Beberapa contoh Kontrak BOT
adalah Pembangkit Listrik (Independent Power Producer/IPP), Jalan Toll, Terminal Udara (Airports),
Bendungan& bulk water supply, Instalasi Pengolahan Air (water/waste water treatment plant),
Pelabuhan Laut (Seaports), Fasilitas IT (Information Technology).
5. Kontrak Konsesi. Struktur kontrak, dimana pemerintah menyerahkan tanggungjawab penuh
kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan, memelihara, dan
membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk mengembangkan, membangun,
dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa
konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun.
Tidak ada batasan tentang cara pelaksanaan KPS dalam suatu proyek di Indonesia, meskipun dengan
syarat cara yang dipakai tersebut harus dapat menfasilitasi pengalihan risiko-risiko tertentu kepada
pihak yang dinilai paling baik dalam proses pengelolaannya. Di sejumlah negara, keputusan untuk
melaksanakan suatu proyek berdasarkan KPS dan pemilihan pelaksanaan KPS adalah ditentukan
berdasarkan analisis “Value for Money” (VFM).
Analisis VFM yang tradisional menentukan
apakah dengan pendekatan KPS, penyaluran jasa
dan infrastruktur dapat dilakukan secara lebih
efektif dan eisien dalam hal biaya dibandingkan
dengan pendekatan sektor publik yang standar,
sebagaimana dimaksud dengan Pembanding
Sektor Publik atau Public Sector Comparator
(PSC). Meskipun demikian, pendekatan tradisional
ini berasal pada asumsi yang tidak mencerminkan
kondisi sebenarnya di Indonesia. Contohnya,
analisis tradisional VFM menggunakan PSC
secara implisit yang mengasumsikan bahwa
pembangunan infrastruktur oleh sektor publik/pemerintah merupakan pilihan yang realistis. Namun
hal itu mungkin tidak berlaku di Indonesia karena adanya keterbatasan terhadap dana dan kapasitas
dari pemerintah.
Pada dasarnya KPS bukanlah menambah sumber pembiayaan bagi Negara tetapi menggeser sebagian
beban pembiayaan ke pihak swasta dan masyarakat dengan imbalan pembangunan infrastruktur
yang lebih cepat dan lebih berkualitas. KPS bukanlah obat ajaib untuk mengatasi segala kesulitan
Pertama, KPS adalah output-based contract. Perusahaan pelaksana terikat kontrak untuk
menyediakan pelayanan publik dengan indikator output yang jelas. Dalam model input-based,
pemerintah mengalokasikan dana dengan output yang tidak ditentukan di awal. Karena KPS
mensyaratkan unsur pemerintah terlibat dalam konsorsium pelaksana, maka diharapkan akan
meningkatkan kapasitas pemda dalam menyediakan pelayanan publik.8
Kedua, KPS mensyaratkan proses yang memenuhi good corporate governance (GCG). Sejak proses
penentuan investasi, ketika pemerintah memutuskan apakah proyek tersebut dibutuhkan, kemudian
ke tahap melakukan exercise dari berbagai pilihan investasi (swasta, publik, KPS?)9 dan jika diputuskan
sebagai KPS maka akan masuk ke proses prekualikasi, bidding, kontrak, nancial closing, dan monev
pelaksanaan. Semuanya harus memenuhi standar GCG untuk mendapatkan pemenang kontrak
terbaik.
Ketiga, KPS didasarkan pada periode full project life-cycle. Perencanaan KPS dilakukan dalam
periode satu masa “hidupnya”, sehingga kontrak KPS umumnya mencakup periode 20-30 tahun.
Hal ini memungkinkan kalkulasi yang komprehensif dan pembiayaan yang lebih esien, karena
pelaksana mempunyai horison waktu yang lebih panjang untuk mencapai skala ekonomi yang lebih
baik.10 KPS juga menjamin keberlangsungan proyek karena kewajiban penyediaan dana digeser pada
pihak pelaksana yang mencari lenders/sponsors.
Keempat, proyek KPS relatif lebih aman dari intervensi politik. Hal ini disebabkan risiko politik
yang ditanggung pemerintah, sehingga pemerintah harus konsisten jika tidak ingin menanggung
kompensasi kerugian.
Kekurangan dari KPS adalah: tingkat kompleksitas yang relatif tinggi menyebabkan proses yang lebih
lama, menuntut kapasitas tertentu SDM sektor publik agar mampu mendesain dan bernegosiasi
dengan baik, memerlukan biaya persiapan yang cukup tinggi, dan untuk beberapa sektor cukup sulit
dilakukan karena sifat risiko yang sulit ditangani. Tetapi contoh dari berbagai negara berkembang
lainnya menunjukkan bahwa KPS untuk barang publik lokal bisa berhasil dan menjadi salah satu
alternatif pembangunan infrastruktur. Peraturan yang ada sekarang sudah memadai hanya mungkin
perlu beberapa kelengkapan sesuai dengan sifat proyek KPS. Masalah yang lebih penting adalah
ketiadaan sistem yang memberikan kejelasan prosedur dan pemimpin proses.
8 Contoh 1: air minum, maka kontrak akan memuat indikator output seperti: kualitas air minum (kadar kandungan bakteri
dan zat-zat tertentu), debit air per detik, keandalan aliran air setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun,
jangkauan daerah pelayanan, kecepatan pemasangan koneksi baru, kecepatan perbaikan, dan sebagainya. Contoh 2: proyek
Kereta Api, maka kontrak akan memuat beberapa klausul seperti: jumlah penumpang yang dapat diangkut setiap harinya
dalam distribusi waktu yang disetujui, spesikasi kecepatan angkut, kenyamanan dan keselamatan kereta, dan tingkat
keandalan operasional dan perawatan fasilitas.
9 Dua prinsip penting yang umum dipakai adalah: (1) Value for Money (VFM) di mana pemerintah memutuskan jenis investasi
berdasarkan manfaat (utility) tertinggi yang didapat dari kombinasi biaya, esiensi, dan efektivitas proyek. (2) Public Sector
Comparator (PSC) adalah estimasi biaya jika proyek tersebut dilakukan dengan skema publik.
10 Contoh: proyek konstruksi yang selesai dalam waktu 4 tahun, maka kontraktor cenderung akan memilih material yang
lebih murah asal tidak rusak selama masa konstruksi + garansi (misalnya 1-2 tahun setelah serah terima proyek). Tetapi pada
proyek KPS, pembangun akan memilih material yang paling optimal untuk selama masa hidup proyek, misalnya 25 tahun.
Harga material ini pasti lebih mahal dibandingkan dengan material yang masa pakainya 5 tahun, tetapi dalam periode 25
tahun, biaya total material kedua akan lebih murah.
BAB V 155
PEMBIAYAAN DAERAH
Kotak 5.2 Ini Penyebab Banyaknya Proyek Infrastruktur KPS Tak Tuntas
Sebut saja proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 2 x 1.000 Megawatt di Batang, Jawa Tengah,
proyek terminal Cruise Tanah Ampo Bali, proyek jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi dan
proyek kereta ekspres layang Bandara Soekarno-Hatta-Halim Perdanakusuma.
Keempat proyek tadi adalah merupakan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Skema KPS
ditempuh karena pembangunan infrastruktur tidak bisa dilakukan dan hanya mengandalkan
anggaran negara, melainkan harus melibatkan stake holder, di antaranya perusahaan swasta.
Namun demikian, menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus
Djonoputro, mangkraknya proyek infrastruktur KPS disebabkan oleh empat faktor utama.
Pertama adalah semua proyek mangkrak kurang persiapan, dan tidak melalui studi kelayakan
(feasibility study) yang siap tender.
“Kedua, Sumber Daya Manusia (SDM) dan manajemen KPS belum siap pada tataran pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Ketiga, tidak ada satu lembaga KPS terpusat,
karena tercerai berai di Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kementerian Koordinator
Ekonomi,” beber Bernardus kepada Kompas.com, Senin (23/2/2015)
Faktor keempat, lanjut dia, adalah manajemen pemerintah yang tidak handal secara komersial
menangani tender internasional.
“Sampai hari ini penjaminan pemerintah masih nol, kecuali pembangkit Batang, yang juga
masih belum jalan. Partisipasi ekuitas melalu PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) pun hanya sebatas pinjaman (lending). Belum mampu
membangun project nancing di Indonesia,” tutur Bernardus.
Oleh karena itu, menurut Bernardus, Presiden Joko Widodo harus membentuk unit kerja khusus
yang bertanggung jawab langsung untuk mempersiapkan dan manjalankan tender KPS, baik
untuk solicited maupun unsolicited, termasuk proyek prioritas.
“Sebaiknya unit kerja khusus ini tidak diisi birokrat, melainkan pejabat yang handal secara
komersial, memahami dan diterima di lingkungan infrastruktur internasional, dan mampu
melaksanakan majemen tender KPS secara komersial,” tandas Bernardus.
Selain itu, organ pembiayaan infrastruktur pemerintah, dalam hal ini PT SMI, harus mampu
melakukan dobrakan dan memperlihatkan kepemimpinannya menjadi pionir perubahan.
“Mereka harus melakukan gebrakan persiapan proyek dan membantu percepatan proyek
unggulan. Ambil kesempatan, dan ambil keputusan, termasuk keputusan komersial KPS,” pungkas
Bernardus.
Sumber: http://properti.kompas.com/index.php/read/2015/02/24/090000021/
Kebutuhan akan Kerjasama Antar Daerah di Indonesia baru dirasakan oleh daerah pada
sekitar tahun 1990-an. Muncul inisiatif dari daerah perkotaan sekunder di Indonesia untuk
melaksanakan kerjasama pada daerah yang berbatasan. Awalnya, pemicu dari kebutuhan
ini lebih pada keperluan akan integrasi pengelolaan infrastruktur perkotaan. Namun
dalam perkembangannya kerjasama ini berkembang pada aspek-aspek yang lebih luas, seperti aspek
ekonomi dan aspek lingkungan. Kerjasama Antar Daerah daerah ini dapat diinisiasi oleh pemerintah
daerah, maupun pemerintah pusat. Beberapa contoh kerjasama antar daerah antara lain:
1. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo (Subosuko)
2. Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul)
3. Kotamadya Malang-Kabupaten Malang
4. Kota Semarang-Kendal-Kabupaten Semarang-Purwodadi (Kedung Sepur)
5. Wilayah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)
6. Purbalingga-Banyumas-Cilacap-Kebumen (Barlingmas Cakep)
7. Pacita-Wonogiri-Gunung Kidul (Pawonsari)
(Sumber: http://www.academia.edu/8274045 oleh Denny Hernawan)
BAB V 157
PEMBIAYAAN DAERAH
Isu-isu strategis yang berkaitan dengan pentingnya KAD (Anton Tarigan,2010) adalah :
1. Peningkatan Pelayanan Publik. KAD diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan publik. Efektivitas dan esiensi dalam penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sebagainya
juga menjadi isu yang penting, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Yang dimaksud
peningkatan pelayanan publik adalah juga pembangunan infrastrukutur, mencakup jaringan
jalan, pembangkit listrik, dan sebagainya.
2. Kawasan Perbatasan. Kerjasama keamanan di kawasan perbatasan juga menjadi salah satu isu
strategis. Selain dalam hal keamanan, kerjasama di kawasan perbatasan juga difokuskan pada
pengembangan wilayah, karena daerah-daerah di kawasan perbatasan ini sebagian besar adalah
daerah tertinggal.
3. Tata Ruang. Keterkaitan tata ruang antar daerah diperlukan dalam hal-hal yang dapat
mempengaruhi lebih dari satu daerah, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, dan
sebagainya.
4. Penanggulangan Bencana dan Penanganan Potensi Konik. Usaha mitigasi bencana dan
tindakan pasca bencana, apabila bercermin dari pengalaman di NAD, Alor dan Nabire, serta daerah
lainnya, ternyata keadaan ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang baik antar daerah-
daerah yang berdekatan.
5. Kemiskinan dan Pengurangan Disparitas Wilayah. Keterbatasan kemampuan, kapasitas dan
sumber daya yang berbeda-beda antar daerah menimbulkan adanya disparitas wilayah dan
kemiskinan (kesenjangan sosial). Melalui kerjasama antar daerah, diharapkan terjadi peningkatan
kapasitas daerah dalam penggunaan sumber daya secara lebih optimal dan pengembangan
ekonomi lokal, dalam rangka menekan angka kemiskinan dan mengurangi disparitas wilayah.
6. Peningkatan peran Provinsi. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengisyaratkan
perlunya peningkatan peran provinsi, termasuk dalam memfasilitasi penyelesaian permasalahan-
permasalahan antar daerah. Untuk itu diperlukan peningkatan kemampuan provinsi dalam
menyelenggarakan/mendorong kerjasama antar daerah (local government cooperation). Peranan
ini terutama dalam kapasitas provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dan sebagai
fasilitator dan katalisator Kerjasama Antar Daerah (KAD).
7. Pemekaran Daerah. Kerjasama Antar Daerah (KAD) dapat menjadi salah satu alternatif lain
untuk meningkatkan efektivitas dan esiensi penyelenggaraan pelayanan publik selain kebijakan
pemekaran daerah. Hal ini mengingat kebijakan pemekaran memerlukan lebih banyak sumber
daya dibanding Kerjasama Antar Daerah (KAD), dan perkembangan daerah otonom baru tidak
selalu memberikan hasil seperti yang diinginkan.
Regulasi KAD
Berbagai bentukan kerjasama yang telah berkembang selama ini, belum didasarkan oleh peraturan
perundang-undangan tertentu, namun lebih didasarkan oleh kesadaran untuk melakukan kerjasama.
Dalam perkembangannya memang diperlukan payung hukum, meskipun pelaksanaan teknis
kerjasama itu sendiri akan sangat tergantung dari karakteristik daerah-daerah yang terkait. Peraturan
perundangan tersebut diperlukan sebagai pedoman penyelenggaraan untuk daerah-daerah yang
akan membentuk kerjasama dan sebagai pedoman penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam
pelaksanaan kerjasama tersebut.
Regulasi pertama setelah desentralisasi yang mengatur tentang Kerjasama Antar Daerah (KAD) adalah
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005. Setelah itu, dimulai
penyusunan PP mengenai Kerjasama Antar Daerah (KAD) yang kemudian disahkan pada tahun 2007,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar
Daerah.
Untuk tata cara kerjasama antar daerah diatur hal-hal sebagai berikut:
1. Kepala daerah atau salah satu pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja sama
kepada kepala daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu.
2. Apabila para pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama tersebut
dapat ditingkatkan dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan rancangan perjanjian
kerja sama yang paling sedikit memuat: a. subjek kerja sama; b. objek kerja sama; c. ruang lingkup
kerja sama; d. hak dan kewajiban para pihak; e. jangka waktu kerja sama; f. pengakhiran kerja sama;
g. keadaan memaksa; dan h. penyelesaian perselisihan.
3. Kepala daerah dalam menyiapkan rancangan perjanjian kerja sama melibatkan perangkat daerah
terkait dan dapat meminta pendapat dan saran dari para pakar, perangkat daerah provinsi, Menteri
dan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.
4. Kepala daerah dapat menerbitkan Surat Kuasa untuk penyelesaian rancangan bentuk kerja sama.
Adapun Pelaksanaan perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD).
Dalam hubungannya dengan DPRD, rencana kerjasama daerah yang membebani daerah dan
masyarakat harus mendapat persetujuan dari DPRD dengan ketentuan apabila biaya kerja sama
belum dianggarkan dalam APBD tahun berjalan dan/atau menggunakan dan/atau memanfaatkan
aset daerah. Akan tetapi kerja sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan
fungsi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan biayanya sudah dianggarkan dalam APBD
tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat persetujuan dari DPRD.
Untuk penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan kerjasama, diharapkan dapat
diselesaikan dengan musyawarah. Akan tetapi, apabila kata mufakat tidak dapat dicapai, maka untuk
kerjasama antar daerah- daerah yang terdapat dalam satu provinsi, penyelesaian perselisihan dapat
dilakukan dengan keputusan Gubernur provinsi tersebut. Sementara untuk kerjasama antar Provinsi,
dapat dilakukan dengan keputusan Menteri (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 ini juga diatur mengenai pembentukan Badan
Kerjasama. Badan Kerjasama ini dapat dibentuk untuk Kerjasama Antar Daerah (KAD) yang dilakukan
secara terus-menerus atau berlangsung dalam waktu minimal 5 tahun. Badan Kerjasama ini bukan
bagian dari perangkat daerah dan dibentuk dengan keputusan bersama Kepala Daerah. Tugas Badan
Kerjasama ini termasuk pengelolaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
(KAD). Selain itu, Badan Kerjasama juga dapat memberikan masukan atau saran mengenai langkah-
langkah yang diperlukan apabila ada permasalahan dalam pelaksanaan kerjasama. Adapun untuk
biaya penyelenggaraan Badan Kerjasama ini menjadi tanggung jawab bersama Kepala Daerah-daerah
yang terkait dengan kerjasama.
BAB V 159
PEMBIAYAAN DAERAH
Model Kerjasama Antar Daerah (KAD)
Berikut berbagai contoh model-model Kerjasama Antar Daerah (Anton Tarigan, 2010):
1. Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang
formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar
daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah
yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama
ini cukup esien dan lebih eksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang
mengikat bagi masing-masing pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah
potensi munculnya kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainability
kerja sama yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena
itu, bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu strategis.
2. Fee for Service Contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu daerah “menjual”
satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya, dengan
sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini
adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli”
tidak perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi,
biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati kedua daerah.
3. Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi
atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan
publik. Pemerintah- pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab
terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan
daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement)
yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem
birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.
4. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih
populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk
mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk
bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa
juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan.
Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang
terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis.
Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh
badan tersebut.
5. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-
isu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali, badan
ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu bergerak
pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata
merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di
Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.
Adapun dalam rangka pengembangan perekonomian wilayah, model kerjasama yang dapat
dijalankan adalah sebuah badan kerjasama yang independen atau terpisah dari kelembagaan
pemerintah daerah, dan dikelola secara profesional dengan prinsip manajemen bisnis murni. Hal ini
karena badan semacam ini dapat bergerak lebih eksibel dan terpisah dari birokrasi yang kadang
menghambat inovasi-inovasi strategi perdagangan. Model kerjasama ini perlu didukung dengan
strategi-strategi tertentu dalam menghadapi era globalisasi, karena peningkatan daya saing wilayah
pada hakikatnya saat ini tidak hanya diperlukan dalam konteks daya saing diantara wilayah lain,
melainkan juga dalam konteks internasional.
Kawasan terbangun perkotaan telah meluas melewati batas administrasi kota dan membentuk
kawasan Metropolitan semisal Jabodetabek, Sarbagita, Maminasata, Kartamantul, Kedungsepur,
Banjarbakula, dan Bandung Raya yang merupakan satu kesatuan sistem perkotaan.
Sebagaimana diketahui, suatu sistem perkotaan dengan kawasan perkotaan di sekitarnya, memiliki
potensi timbulnya berbagai permasalahan yang bersifat lintas daerah, di mana permasalahan
perkotaan tidak dapat lagi diatasi secara internal suatu kota, namun harus diselesaikan secara
bersama antardaerah yang bersangkutan melalui mekanisme kerja sama. UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 196 ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan urusan
pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah, dikelola bersama oleh daerah terkait.
Menurut Dr. H. Muh. Marwan, M.Si, pengelolaan bersama yang dimaksud dalam UU tersebut perlu
dilakukan melalui mekanisme kerja sama antardaerah. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem
yang terintegrasi antarwilayah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan
masyarakat perkotaan.
Namun demikian, mantan Kepala Litbang Kemendagri itu juga mengungkapkan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan kerja sama antardaerah tersebut. Faktor-
faktor tersebut, yaitu: political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif;
komunikasi yang intensif secara formal maupun informal untuk memudahkan pelaksanaan
kerja sama antardaerah; sumberdaya manusia yang kurang profesional dan komitmen turut
menyebabkan kurang sinerginya antara pihak-pihak yang terlibat; dan sumber daya nansial.
BAB V 161
PEMBIAYAAN DAERAH
Permasalahan kerja sama antardaerah adalah adanya perbedaan kebijakan yang diterapkan para
pelaku kerja sama baik ditingkat perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan. Hal tersebut
menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan kerja sama, baik perumusan kerja sama baru
maupun implementasi kerja sama yang telah ada. ”Karena itu, solusi yang perlu dilakukan adalah
melakukan peningkatan koordinasi secara aktif dan komunikasi antara kabupaten/kota sebagai
pelaku kerja sama,” demikian beliau menjelaskan.
Selain itu, Dr. H. Muh. Marwan, M.Si juga menegaskan, untuk mendorong keberhasilan dalam
melaksanakan kerja sama dimaksud, dibutuhkan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) yang
dapat menjadi wadah koordinasi dan forum komunikasi antarpimpinan daerah dalam mengatasi
permasalahan kawasan perkotaan. “Dengan hal itu, diharapkan adanya esiensi, efektivitas, dan
sinergi dalam pengelolaan kawasan perkotaan,” imbuh beliau.
Manajemen kerja sama yang semakin baik akan menghasilkan kinerja kerja sama yang semakin
tinggi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kerja sama tersebut diharapkan adanya beberapa
hal perbaikan. Pertama, sasaran kerja sama yang jelas. Kedua, perencanaan teknis secara detail
yang memadai pada setiap obyek yang dikerjasamakan. Ketiga, perencanaan pendanaan yang
detail sehingga memudahkan dalam musyawarah antardaerah dalam menentukan sharing
pendanaan antardaerah. Keempat, perencanaan kelembagaan dalam merealisasikan kerja
sama. Kelima, koordinasi yang insentif antarperangkat daerah pelaksana masing-masing
obyek kerja sama sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang difasilitasi
oleh lembaga kerja sama. Keenam, adanya dukungan dan dorongan pimpinan daerah dan
DPRD dalam merealisasikan sasaran kerja sama. Ketujuh, adanya kesadaran masing-masing
daerah untuk mengutamakan kepentingan peningkatan pelayanan bagi masyarakat luas.
“Oleh karena itu, tantangan bagi badan atau lembaga kerja sama di masa yang akan datang adalah
mewujudkan manajemen kerja sama yang lebih memadai. Tanpa perbaikan manajemen kerja
sama, keberhasilan kerja sama di masa mendatang akan sulit untuk diwujudkan,” demikian beliau
menyimpulkan.[ds/hny]
Sumber: http://bangda.kemendagri.go.id/webbangda
BAB V 163
PEMBIAYAAN DAERAH
BAB VI
PENGELOLAAN BARANG MILIK
DAERAH
BAB VI 165
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
6.1 Pengertian Barang Milik Daerah (BMD)
Apa yang disebut dengan barang milik daerah (BMD)? Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (39) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 1 ayat (2), Barang Milik Daerah (BMD)
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Yang dimaksud barang dalam hal ini adalah
benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi, barang
jadi/peralatan, yang spesikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa. Sedangkan yang dimaksud
dengan perolehan lainnya yang sah adalah barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang
sejenis; pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan
diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengertian yang lebih rinci dan teknis mengenai Barang Milik Daerah ini dijelaskan dalam
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik daerah pada
pasal 3 bahwa :
1. Barang milik daerah meliputi:
a. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD;
b. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2. Barang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian /kontrak;
c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang;
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Penggunaan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 untuk menjelaskan secara teknis tentang Barang
Milik Daerah ini mengacu kepada pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 bahwa
menjelang terbitnya peraturan yang baru maka peraturan yang lama masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan. Selanjutnya berdasarkan pasal 111, penjelasan teknis terkait pengelolaan barang
milik daerah harus disesuaikan dengan peraturan baru ini paling lambat pada tahun 2016.
Gambar 6.1 Perbedaan Barang Swasta dan Barang Milik Daerah (Pemerintah Daerah)
Sumber: antaranews.com
Pokok-pokok penyempurnaan yang dilakukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014,
meliputi :
1. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D;
2. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain;
3. Penguatan dasar hukum pengaturan;
4. Penyederhanaan birokrasi;
5. Pengembangan manajemen aset negara;
6. Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi.
Dengan perubahan tersebut, diharapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 ini mampu:
(1) mengakomodir dinamika pengelolaan BMN/D, (2) meminimalisir multitafsir atas pengelolaan
BMN/D, (3) mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangan Pengguna dan Pengelola,
dan (4) memiliki harmonisasi dengan peraturan terkait lainnya. Peraturan terbaru ini dapat
menjadi dasar pengaturan yang lebih luas untuk menerapkan kebijakan secara lebih eksibel dalam
pelaksanaan pemanfaatan BMN/D serta menyediakan skema baru sebagai alternatif dalam rangka
pemanfaatan BMN/D di penyediaan infrastruktur. Tata cara pemanfaatan BMN/D pada peraturan ini
dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 78/PMK.06/2014.
Ada beberapa ketentuan tambahan yang baru diatur di PP 27 Tahun 2014 yaitu :
1. Pengelolaan BMN/D pada Badan Layanan Umum/Badan Layanan Umum Daerah (Pasal 96 dan
Pasal 97)
Aset yang dikelola oleh Badan Layanan Umum dan Badan Layanan Umum Daerah merupakan
bagian dari kekayaan negara. Permasalahannya saat ini, BLU dan BLUD tersebut adalah “barang
baru” yang baru berkembang pesat dalam lima tahun terakhir yang berkembang akibat urgensi
pemerintah untuk meningkatkan pelayanan ke masyarakat. Maka dari itu, seiring dengan
peningkatan jumlah BLU/BLUD dalam lingkup keuangan negara, BMN/D yang berada di bawah
penguasaan BLU/BLUD ini juga perlu diatur pengelolaannya dalam peraturan pemerintah terkait
Pengelolaan BMN/D. Akuntabilitas dan transparansi BLU/BLUD perlu dijaga dan ditingkatkan
guna maksimalisasi pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat.
BAB VI 167
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
dihuni oleh pensiunan secara tidak taat asas dan bahkan dimanfaatkan dengan jalan disewakan
kepada Pihak Lain. Hal ini perlu menjadi perhatian Pemerintah. Pengawasan dan pengendalian
atas Rumah Negara perlu diatur secara spesik sebagai bagian dari pengelolaan BMN/D. Dengan
demikian, penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian BMN/D berupa Rumah Negara akan
mempunyai payung hukum yang kuat.
3. PNBP dari pengelolaan BMN/D (Pasal 1 ayat (13) dan Pasal 107 ayat (c)
PNBP yang diperoleh dari pengelolaan BMN/D terutama dari pemanfaatannya merupakan
bagian yang perlu diperhatikan. Selama ini PNBP terkesan menjadi sumber penerimaan yang
kurang diperhatikan oleh Pemerintah. Padahal sesungguhnya PNBP memiliki potensi yang cukup
besar apabila dapat dikelola dengan efektif. Porsi PNBP dari pemanfaatan BMN/D dimasukkan
dalam klasikasi PNBP lain-lain. Di antara seluruh jenis PNBP di APBN, PNBP Lain-lain adalah
yang paling besar tingkat kebocorannya. Hal utama yang menyebabkan ini adalah ketiadaan
regulasi yang memungkinkan Pemerintah melakukan pengawasan atas PNBP jenis tersebut.
Akibatnya, pemungut PNBP di masing-masing K/L biasanya menyimpan sendiri dengan tidak
menyetorkannnya ke Kas Umum Negara. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan terkait PNBP
atas pengelolaan BMN/D adalah langkah penting yang seharusnya telah sejak lama diberlakukan
oleh Pemerintah.
Pengelolaan aset Negara/daerah tidak lagi sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berkir
dalam menangani aset negara/daerah, dengan bagaimana meningkatkan esiensi, efektitas, dan
menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara/
daerah dalam peraturan baru bertambah besar yang mencakup perencanaan kebutuhan dan
penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian;
pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan; penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada
pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas
(keuangan negara).
Gambar 6.2 Contoh Perbedaan Situasi BMD Dengan Menggunakan Paradigma Lama
dan Paradigma Baru
Paradigma Lama Paradigma Baru
Nilai Tambah
Sumber: id.berita.yahoo.com
Salah salah satu hal lain yang paling penting dalam pengelolaan barang milik daerah adalah adanya
kelembagaan yang berkualitas yang mampu mengelola aset daerah dengan baik dan sesuai dengan
peraturan yang ada. Yang dimaksud dengan kelembagaan disini adalah institusi termasuk sumber
daya manusia yang mengelola barang milik daerah tersebut. Peranan institusi ini sangat berpengaruh
terhadap baik buruknya pengelolaan barang milik daerah karena sebagus apapun sistem yang
tersedia, bila tidak didukung oleh kualitas kelembagaan yang baik maka pengelolaan barang milik
daerah tidak akan berjalan dengan baik.
Struktur Organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 dapat digambar sebagai berikut:
Gubernur/Bupati/Wali Kota
(Pemegang Kekuasaan Pengelolaan BMD)
Pasal 5 ayat (1)
Kepala SKPD
(Pengguna BMD)
Pasal 8 ayat (1)
Pengurus Penyimpan
barang barang
BAB VI 169
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Struktur organisasi di atas memperlihatkan bahwa pada hakekatnya penanggung jawab dari
keseluruhan pengelolaan barang milik daerah adalah Kepala Daerah. Secara operasional Kepala
Daerah dibantu oleh:
Nomenklatur Pembantu Pengelola BMD tidak terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2014 namun ada dalam Permendagri Nomor 17/2007. Berhubung belum terbitnya peraturan
teknis yang baru maka sesuai dengan pasal 110 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2014 tersebut maka struktur Pembantu Pengelola BMD masih relevan. Demikian juga dengan jabatan
Kuasa Pengguna Barang BMD juga tidak terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
namun istilah itu ada dalam Permendagri Nomor 17/2007. Struktur di atas juga menjelaskan bahwa
pengelolaan barang milik daerah tidaklah ditangani oleh satu SKPD, namun menjadi tanggung jawab
semua SKPD dalam mengelola barang yang ada pada SKPD masing-masing, dimana kepala SKPD
menjadi pejabat penanggungjawabnya.
2. Sesuai dengan pasal 5 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, Sekretaris
Daerah selaku Pengelola Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggung jawab:
a. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik Daerah;
b. meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan pemeliharaan/perawatan Barang Milik Daerah;
c. mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang memerlukan
persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota;
d. mengatur pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang
Milik Daerah;
e. mengatur pelaksanaan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah yang telah disetujui oleh
Gubernur/ Bupati/Walikota atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
f. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milik Daerah;
g. melakukan pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik Daerah.
4. Sesuai dengan pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, kepala SKPD
adalah Pengguna Barang Milik Daerah yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. mengajukan rencana kebutuhan dan penganggaran Barang Milik Daerah bagi satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. mengajukan permohonan penetapan status Penggunaan Barang Milik Daerah yang diperoleh
dari beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan perolehan lainnya yang sah;
c. melakukan pencatatan dan Inventarisasi Barang Milik Daerah yang berada dalam
penguasaannya;
d. menggunakan Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
e. mengamankan dan memelihara Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaannya;
f. mengajukan usul Pemanfaatan dan Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan;
g. menyerahkan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan
untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya dan sedang tidak dimanfaatkan Pihak Lain, kepada Gubernur/ Bupati/Walikota
melalui Pengelola Barang;
h. mengajukan usul Pemusnahan dan Penghapusan Barang Milik Daerah;
i. melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian atas Penggunaan Barang Milik Daerah
yang berada dalam penguasaannya; dan
j. menyusun dan menyampaikan laporan barang pengguna semesteran dan laporan barang
pengguna tahunan yang berada dalam penguasaannya kepada Pengelola Barang.
5. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 pasal 5 ayat (2) huruf d, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah
selaku kuasa pengguna barang milik daerah, berwenang dan bertanggung jawab:
a. mengajukan rencana kebutuhan barang milik daerah bagi unit kerja yang dipimpinnya kepada
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan;
b. melakukan pencatatan dan inventarisasi barang milik daerah yang berada dalam
penguasaannya;
c. menggunakan barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi unit kerja yang dipimpinnya;
d. mengamankan dan memelihara barang milik daerah yang berada dalam penguasaannya;
e. melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan barang milik daerah yang ada
dalam penguasaannya; dan
f. menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan
Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) yang berada dalam penguasaannya kepada
kepala satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
6. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 Pasal 6 ayat (6), Penyimpan barang bertugas menerima,
menyimpan dan menyalurkan barang yang berada pada pengguna/kuasa pengguna. Secara detail
tugas penyimpan barang meliputi:
a. Menerima, menyimpan, dan menyalurkan BMD;
b. Meneliti dan menghimpun dokumen pengadaan barang yang diterima;
c. Meneliti jumlah dan kualitas barang yang diterima sesuai dengan dokumen pengadaan;
d. Mencatat BMD yang diterima dalam buku/kartu gudang;
e. Mengamankan BMD yang ada dalam persediaan;
f. Membuat laporan penerimaan, penyaluran dan stok/persediaan BMD kepada kepala SKPD.
BAB VI 171
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
7. Sesuai Permendagri Nomor 17/2007 Pasal 6 ayat (7), Pengurus barang bertugas mengurus barang
milik daerah dalam pemakaian pada masing-masing pengguna/kuasa pengguna. Secara detail
tugas penyimpan barang meliputi:
a. Mencatat seluruh BMD yang berada di masing-masing SKPD yang berasal dari APBD maupun
perolehan lain yang berasal dari APBD maupun perolehan lain yang sah dalam KIB (kartu
inventaris barang), KIR (kartu inventaris ruangan), BI (buku inventaris), dan BII (buku induk
inventaris), sesuai kodekasi dan penggolongan BMD;
b. Melakukan pencatatan BMD yang dipelihara/diperbaiki dalam kartu pemeliharaan;
c. Menyiapkan LBPS (Laporan Barang Pengguna Sesmesteran) dan LBPT (Laporan Barang
Pengguna Tahunan) serta laporan inventarisasi 5 tahunan yang berada di SKPD kepada
pengelola;
d. Menyiapkan usulan penghapusan BMD yang rusak atau tidak digunakan lagi.
INILAHCOM, Bandung - Pemerintah Kabupaten Bandung bertekad meraih opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) pada Laporan Hasil Pemerksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) 2014.
Pemkab Bandung yakin opini disclaimer tak akan lagi mereka sandang, seperti pada LHP BPK 2013 lalu.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bandung Soan Nataprawira mengatakan, opini disclaimer yang
terjadi pada 2013 lalu, karena pengelolaan aset tidak berjalan optimal. Padahal pada tahun sebelumnya,
Pemkab Bandung mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). DPRD Kabupaten Bandung
bahkan sempat meminta kepada Pemkab untuk meningkatkan menjadi Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP).
Soan mengakui adanya ketidaktertiban dalam tata kelola administrasi. Namun dia yakin tahun ini
Pemkab Bandung tak akan kembali mendapat opini disclaimer. “Harus diakui jika pengelolaan aset pada
2013 lalu kurang tertib. Terutama masalah administrasi. Jadi kami terus berupaya memperbaikinya,”
kata Soan, Minggu (4/1/2015).
Banyaknya aset daerah milik Pemkab Bandung, kata Soan, membuat pengelolaannya sulit
dilakukan. Ditambah tidak diiringi kompetensi manajemen yang baik. “Seperti aset milik Dinas
Pendidikan yang tersebar di ratusan sekolah, sehingga banyak yang tidak terinventarisasi. Memang
harus ada yang kompeten dalam mengelolanya. Tapi sekarang sudah kami periksa kembali,” ujarnya.
Pada 2014, lanjut dia, Pemkab Bandung telah melakukan penguatan manejerial pelaporan keuangan.
Khususnya untuk masalah pengelolaan aset agar LHP BPK Kabupaten Bandung 2014 bisa lebih baik
lagi. Penguatan ini, salah satunya dengan pendidikan dan pelatihan manajemen pengelolaan aset
bagi para pengelola aset di lingkungan Pemkab Bandung. Tak hanya itu saja, kata dia, Pemkab pun
menggandeng BPKP untuk memberi pelatihan. “Pengelolaan aset kami perbaiki terus. Apalagi dalam
pelaporan keuangan dan pertanggungjawabannya. Biar tidak terulang seperti tahun lalu,” ujarnya.
Dengan semua upaya yang telah dilakukan, kata Soan, paling tidak BPK tidak kembali
memberikan opini disclaimer. Opini WDP dinilai merupakan hal yang wajar karena masih
belum mungkin mendapat opini WTP. “Targetnya tidak muluk-muluk, yang penting lebih baik
dari tahun lalu. Kami juga realistis untuk meraih opini WTP harus melewati WDP,” ujarnya.
Karut-marutnya pengelolaan aset Pemkab Bandung ini pun mendapat sorotan dari Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA mensinyalir adanya ketidakberesan pada 717 kendaraan
dinas yang tak jelas keberadaannya. Keberadaan aset yang tak jelas tersebut, berpotensi merugikan
negara sebesar Rp 55,4 miliar. [hus]
Sumber: http://m.inilahkoran.com/read/detail/2167426
Beberapa penyempurnaan yang terkandung di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
terkait dengan Kewenangan dan Tanggung Jawab Pengelola dan Pengguna BMN/D adalah :
Perubahan yang dilakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor27/2014 adalah penambahan kegiatan
Pemusnahan dalam Siklus Pengelolaan BMN/D. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan sik
dan/atau kegunaan Barang Milik Negara/Daerah. Kegiatan Pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam
peraturan pemerintah sebelumnya. Munculnya kegiatan pemusnahan diharapkan mendorong
terjadinya peningkatan esiensi pengelolaan BMN/D sekaligus meningkatkan akuntabilitas Pengelola
maupun Pengguna BMN/D. Dengan munculnya kegiatan Pemusnahan maka kegiatan Penghapusan
otomatis menjadi akhir (ending point) dari siklus pengelolaan BMN/D. Siklus pengelolaan BMN/D
menurut Peraturan Pemerintah Nomor7/2014 tersebut dapat di lihat pada gambar berikut:
BAB VI 173
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Gambar 6.4 Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Perolehan
Lain
Perencanan Kebutuhan
Penganggaran
SIKLUS PENGELOLAAN BMN/D
APBN/D
- Sewa
REGULER: INSIDENTIL: - Pinjam Pakai
PENETAPAN STATUS
PENGAMANAN DAN PENGGUNAAN - Kerja Sama
PEMELIHARAAN Pemanfaatan
Pendaftaran
Penjelasan lebih lanjut setiap tahapan pengelolaan barang milik daerah masih mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 sebelum terbitnya peraturan pelaksana yang
lebih baru. Berikut adalah teknis tahapan pengelolaan BMD berdasarkan Permendagri Nomor 17
Tahun 2007:
Perencanaan kebutuhan BMD harus memperhatikan pengadaan barang yang telah lalu,
keadaan yang sedang berjalan, dan tindakan pemenuhan kebutuhan BMD di masa mendatang.
Hal ini dilaksanakan dengan dua pertimbangan utama. Pertama, derajat kepentingan (urgensi)
pemenuhan BMD yang dapat dikategorikan menjadi Tingkat Kepentingan Tinggi, Tingkat
Kepentingan Sedang, dan Tingkat Kepentingan Rendah. Kedua, kondisi kesiapan BMD untuk
digunakan, yang dapat dikategorikan menjadi Kondisi Baik, Kondisi Rusak Ringan, dan Kondisi
Rusak Berat. Dimensi derajat kepentingan pemenuhan BMD dan kondisi BMD berpengaruh pada
rencana tindakan yang harus dilaksanakan. Hubungan derajat kepentingan dan kondisi BMD
dijelaskan dalam bentuk matriks berikut ini:
1. Perencanaan Kebutuhan
Penting\ Kondisi Baik (B) Rusak Ringan (RR) Rusak Berat (RB)
Tinggi (T) Pemeliharaan Pemeliharaan Sedang (PS) Pemeliharaan Berat
Ringan (PR) (PB)
Penggantian (G)
Sedang (S) Pemeliharaan Pemeliharaan Sedang (PS) Pemeliharaan Berat
Ringan (PR) (PB)
Penggantian (G)
Rendah (R) Pemeliharaan Pemeliharaan Sedang (PS) Penghapusan (H)
Ringan (PR) Pemanfaatan (M)
Pemanfaatan (M) Pemindahtangan (P)
Penetapan standar kebutuhan terhadap Barang Milik Daerah oleh masing-masing SKPD dilakukan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah setelah berkoordinasi dengan
dinas teknis terkait. Penetapan Standar kebutuhan oleh Gubernur/Bupati/Walikota berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sedangkan penetapan standar harganya
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kaitan perencanaan
kebutuhan dengan standar sarana dan standar harga dalam proses penganggaran dapat dijelaskan
dengan skema berikut ini.
BAB VI 175
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Gambar 6.5 Penganggaran Kebutuhan BMD
Penganggaran Kebutuhan BMD
Pengadaan Ketersediaan
baru barang 1. Standar
sarana dan
Perencanaan prasarana
Kebutuhan
2. Standar
harga
Data Barang
Pemeliharaan
yang dipakai
2. Pengadaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa
oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I) lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa. K/L/D/I adalah instansi/institusi pengguna APBN/APBD.
Pelaksanan pengadaan barang dapat dibedakan menjadi pelaksanaan secara swakelola dan
pelaksanaan dari penyedia barang. Pelaksanaan pekerjaan secara swakelola merupakan
pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri. Pelaksanaan secara
swakelola biasanya untuk pekerjaan pelayanan publik yang menjadi tugas pokok (bersifat rutin)
instansi pemerintah. Swakelola dapat dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Swakelola pengguna barang/jasa, yaitu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pengguna anggaran
sendiri;
b. Swakelola bekerjasama dengan instansi pemerintah lain;
c. Swakelola untuk kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah.
Pelaksana pengadaan dari penyedia barang merupakan pelaksanaan pekerjaan dilakukan melalui
badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa.
Penyedia barang/jasa antara lain pengusaha kecil, pengusaha non kecil, atau pengusaha asing.
Berdasarkan pengadaannya, barang dan jasa diklasikasikan menjadi Pengadaan barang jasa
lainnya, Pengadaan pekerjaan konstruksi, dan Pengadaan jasa konsultansi. Pengadaan barang dan
jasa lainnya dilaksanakan dengan metode-metode antara lain:
a. Metode Pelelangan
Metode Pelelangan Umum
Metode Pelelangan Sederhana
Metode pelelangan sederhana, metode seleksi sederhana, dan metode pemilihan langsung
digunakan untuk melaksanakan pekerjaan yang memiliki karakteristik antara lain:
a. Untuk pengadaan Barang/Jasa yang bersifat tidak kompleks/sederhana;
b. Untuk pengadaan barang / jasa lainnya atau pekerjaan konstruksi dengan nilai tidak lebih dari
Rp 5 milyar;
c. Untuk pengadaan jasa konsultasi dengan nilai tidak lebih dari Rp 200 juta;
d. Metode pemilihan penyedia secara pascakualikasi;
e. Pengumuman pengadaan minimal 4 hari kerja.
BAB VI 177
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
penyimpanan. Kegiatan penyimpanan BMD meliputi merawat, mengadministrasikan, melakukan
opname sik, dan menyusun laporan pengurusan barang. Penyaluran merupakan kegiatan
melakukan pengiriman barang dari gudang ke unit kerja. Penyaluran dapat dilakukan sesuai
rencana penggunaan untuk memenuhi kebutuhan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi. Kegiatan pokok penyaluran barang meliputi menyerahkan barang kepada unit kerja,
mengadministrasikan penyaluran barang, dan melaporkan realokasi penyaluran barang. Alur
kegiatan penerimaan, penyimpanan dan penyaluran barang dapat diringkas sebagai berikut:
a. Proses penerimaaan barang dari penyedia. Barang yang diterima harus diperiksa dan dibuatkan
Berita Acara Pemeriksaan Barang oleh Panitia Pemeriksa Barang.
b. Penyimpan barang wajib melaksanakan tugas administrasi penerimaan BMD yaitu menyimpan
dalam gudang/tempat penyimpanan serta mencatatnya dalam Kartu Barang Gudang.
c. Pengurus Barang akan mencatat dalam KIB dan KIR.
4. Penggunaan
Penggunaan Barang Milik Daerah (BMD) adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang
dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi
instansi yang bersangkutan. Status penggunaan BMD dapat diringkas sebagai berikut:
a. Status penggunaan BMD ditetapkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota;
b. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan memperhatikan:
Digunakan untuk menyelenggarakan Tupoksi;
Menunjang penyelenggaraan Tupoksi instansi yang bersangkutan.
c. Penetapan status penggunaan atas BMD yang digunakan oleh selain SKPD dapat dilakukan
sepanjang sesuai tugas pokok dan fungsi dan/atau dalam menjalankan penugasan pemerintah
sebagai pelaksanaan kewajiban pelayanan umum.
Secara rinci, penggunaan BMD ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 25. Penggunaan BMD tersebut diawali dengan penetapan
status penggunaannya terlebih dahulu oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota dengan tata cara sebagai
berikut:
a. Pengguna Barang melaporkan Barang Milik Daerah yang diterimanya kepada Pengelola Barang
disertai dengan usul Penggunaan;
b. Pengelola Barang meneliti laporan dari Pengguna Barang dan mengajukan usul Penggunaan
kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk ditetapkan status penggunaannya.
Ada beberapa kelonggaran yang ditawarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
dalam hal penetapan status penggunaan barang milik daerah ini yaitu :
a. Barang Milik Negara/Daerah juga dapat ditetapkan status penggunaannya untuk
penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah tapi
dioperasikan oleh Pihak Lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan
fungsi Kementerian/ Lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan (pasal 18).
b. Barang Milik Daerah yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang
dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu
tanpa harus mengubah status Penggunaan Barang Milik Daerah tersebut setelah terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota (pasal 19 ayat (2)).
c. Barang Milik Daerah dapat dialihkan status penggunaannya dari Pengguna Barang kepada
Pengguna Barang lainnya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi berdasarkan persetujuan
Gubernur/Bupati/Walikota. (pasal 21 ayat (1)).
d. Pengalihan status Penggunaan Barang Milik Daerah dapat pula dilakukan berdasarkan inisiatif
dari Gubernur/Bupati/Walikota, dengan terlebih dahulu memberitahukan maksudnya
tersebut kepada Pengguna Barang. (pasal 21 ayat (2)).
Pengguna/Kuasa pengguna barang wajib melaksanakan pembukuan dan mencatat BMD pada
Daftar Barang Pengguna (DBP)/(DBKP) yang disediakan secara teratur dan menyimpan bukti
kepemilikannya. Format pencatatan barang dengan klasikasi sebagai berikut:
a. KIB A – Tanah
b. KIB B – Peralatan dan mesin
c. KIB C – Gedung dan bangunan
d. KIB D – Jalan, Irigasi dan Jaringan
e. KIB E – Aset tetap lainnya
f. KIB F – Kontruksi dalam pengerjaan
g. KIR (Kartu Inventaris Ruangan)
6. Pemanfaatan
Pemanfaatan merupakan pendayagunaan BMD yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Bentuk-bentuk Pemanfaatan misalnya Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama pemanfaatan,
Bangun guna serah (BGS), dan Bangun serah guna (BSG).
BAB VI 179
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Kerja Sama Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak/
pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. Kerja Sama Pemanfaatan ini diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 pasal 31, 32, dan 33.
Bentuk lainnya adalah Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) yaitu kerja sama antara
Pemerintah dan Badan Usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tentang KSPI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
No 27 Tahun 2014 pasal 38 dan 39. Perlaksana Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur atas Barang
Milik Daerah diatur sebagai berikut: a) Untuk BMD berupa tanah dan/atau bangunan pada
Pengelola Barang/Pengguna Barang, pelaksananya adalah Pengelola Barang dengan persetujuan
Gubernur/Bupati/Walikota b) Untuk BMD berupa sebagian tanah dan/atau bangunan pada
Pengelola Barang/Pengguna Barang atau BMD selain tanah dan/atau bangunan, pelaksananya
adalah Pengguna Barang dengan persetujuan Gubernur/ Bupati/Walikota.
Bangun Guna Serah adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya
setelah berakhirnya jangka waktu.
Bangun Serah Guna adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai
pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu
tertentu yang disepakati. Pertimbangan dilaksanakannya pemanfaatan Barang Milik Negara/
Daerah dalam bentuk BSG atau BGS adalah Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi sementara dana dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah tidak tersedia atau tidak cukup tersedia untuk penyediaan bangunan dan
fasilitas tersebut.
Pemeliharaan merupakan kegiatan atau tindakan yang dilakukan agar semua barang milik
daerah selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdaya guna dan berhasil
guna. Pengguna Barang mongkoordinir dan bertanggung jawab atas pemeliharaan BMD di
bawah penguasaannya. Pemeliharaan dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang dan Pejabat yg
ditunjuk. Pemeliharaan dilaksanakan dgn berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan
Barang (DKPB). Kuasa Pengguna Barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang untuk
dilaporkan kepada Pengguna Barang secara periodik.
8. Penilaian
Penilaian BMD dilakukan dalam rangka Penyusunan Neraca Pemda, Pemanfaatan dan
Pemindahtanganan BMD. Penilaian BMD dlm rangka penyusunan neraca Pemda, berpedoman
pada SAP oleh Tim yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan dapat melibatkan penilai independen.
Penilaian BMD dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan yg berupa tanah dan/atau
9. Penghapusan
Penghapusan merupakan tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar barang
dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan
pengguna dan/atau kuasa pengguna dan/atau pengelola dari tanggung jawab administrasi dan
sik atas barang yang berada dalam penguasaannya. Tujuan Penghapusan meliputi:
a. Menghindari biaya pemeliharaan yang lebih besar;
b. Mengurangi penggunaan ruangan untuk gudang/tempat penyimpanan barang-barang rusak,
tidak terpakai, dan kadaluwarsa;
c. Mengurangi beban dalam penatausahaan barang.
Penjualan Hibah
Pemindahtanganan
Tukar-Menukar PMP
Putusan Pemerintah
Pengadilan digugat, kalah,
Alasan lain
hapuskan
Bencana Alam,
Force majeure
Kebakaran
BAB VI 181
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
10. Pemindahtanganan
Pemindahtangan merupakan pengalihan kepemilikan BMD sebagai tindak lanjut dari penghapusan
dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. Bentuk
Pemindahtanganan BMD meliputi:
a. Penjualan
b. Tukar-menukar
c. Hibah
d. Penyertaan Modal Pemerintah
Pengendalian merupakan usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar
pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengendalian
pengelolaan BMD dilaksanakan oleh Kepala Daerah. Pengelola Barang melaksanakan pemantauan
dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, untuk penertiban penggunaan Barang. Gubernur/
bupati/walikota dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas
pelaksanaan penggunaan BMD. Hasil audit tersebut disampaikan kepada gubernur/bupati/
walikota untuk ditindaklanjuti.
Pengawasan merupakan usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang
sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau kegiatan, apakah dilakukan sesuai peraturan
perundangundangan. Pengawasan dilaksanakan oleh:
a. kepala SKPKD ( UU No 1 Th 2004 Psl 43 (2), sesuai yang diatur dalam kebijakan Kepala Daerah;
b. Sekda selaku Pengelola Barang (Permendagri No 17 Psl 6 (2) );
c. Kepala SKPD selaku Pengguna Barang (Permendagri No 17 Psl 6 (4) ), PP 6 Th 2006 Psl 8 (2).
12. Pembiayaan
Pembiayaan digunakan untuk membelanjai kegiatan seperti; penyediaan blanko/buku inventaris,
tanda kodekasi/kepemilikan, pemeliharaan, penerapan aplikasi sistim informasi barang daerah
(simbada) dengan komputerisasi, tunjangan/insentif penyimpan dan/atau pengurus barang dan
lain sebagainya. Honorarium dapat diberikan dalam bentuk:
a. Insentif bagi Pejabat/pegawai yang melaksanakan pengelolaan barang milik daerah yang
menghasilkan pendapatan dan penerimaan daerah.
b. Tunjangan bagi Penyimpan barang dan pengurus barang dalam melaksanakan tugas yang
besarannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Daerah.
Pembiayaan untuk keperluan pengelolaan barang daerah agar direncanakan dan diajukan setiap
tahun melalui APBD.
Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau
Pegawai Negeri. Denisi ini dikutip dari pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1994. Denisi yang sama juga dapat dilihat dalam Peraturan Presiden No 11 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status, dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara dan
yang terbaru adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Daerah.
Pengelolaan Rumah Negara, selain oleh 3 (tiga) peraturan diatas, juga diatur diatur dalam beberapa
peraturan lainnya seperti :
BAB VI 183
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
a. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis
Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status, dan Pengalihan
Hak atas Rumah Negara.
b. Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138/PMK 06/2010 Pengelolaan Barang Milik Negara
Berupa Rumah Negara.
Khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Daerah, tidak banyak memuat ketentuan tentang pengelolaan Ruumah Negara. Peraturan ini hanya
memuat beberapa prinsip-prinsip dasar yang merupakan penegasan terhadap peraturan-peraturan
sebelumnya sebagaimana diuraikan dalam pasal 98 ayat (1) sampai ayat (5) sebagai berikut :
1. Rumah Negara merupakan Barang Milik Negara/Daerah yang diperuntukkan sebagai tempat
tinggal atau hunian dan sarana pembinaan serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat negara
dan/atau pegawai negeri.
2. Pengelolaan Barang Milik Negara berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pengelola Barang, Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, atau Pengguna
Barang/Kuasa Pengguna Barang rumah negara golongan III dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai Rumah Negara.
3. (3) Pengelolaan Barang Milik Daerah berupa Rumah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Rumah Negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara Penggunaan, Pemindahtanganan, Penghapusan, Penatausahaan,
pengawasan dan pengendalian Barang Milik Negara berupa Rumah Negara diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan mengenai tata cara Penggunaan, Pemindahtanganan, Penghapusan, Penatausahaan,
pengawasan dan pengendalian Barang Milik Daerah berupa Rumah Negara diatur dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pengadaan Rumah Negara sebagaimana diatur dalam Perpres No 11/2008 maupun Permen PU No 22
Tahun 2008 dapat dilakukan dengan cara :
1. pembangunan;
2. pembelian;
3. tukar menukar atau tukar bangun; atau
4. hibah.
Pengadaan rumah negara ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
standar tipenya harus sesuai dengan peruntukan bagi bagi pejabat dan pegawai negeri. Standar tipe
dan kelas rumah negara bagi pejabat dan pegawai negeri diatur dalam Peraturan Menteri PU Nomor
22 Tahun 2008 sebagai berikut:
1. Tipe Khusus diperuntukan bagi Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala
Lembaga Tinggi Negara, dan Pejabatpejabat yang jabatannya setingkat dengan Menteri, dengan
luas bangunan 400 m2 dan luas tanah 1000 m2;
2. Tipe A diperuntukan bagi Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Badan,
Deputi, dan Pejabat yang jabatannya setingkat Eselon I atau Pegawai Negeri Sipil Golongan IV/e
dan IV/d, dengan luas bangunan 250 m2 dan luas tanah 600m2;
Penggolongan dan peruntukan Rumah Negara diatur dalan pasal 1 angka (5), (6), dan (7) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2005. Ada 3 (tiga) penggolongan rumah negara beserta peruntukannya yaitu:
1. Rumah Negara Golongan I, adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan
tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut, serta hak
penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu
tersebut. Rumah negara yang memiliki fungsi secara langsung melayani atau terletak dalam
lingkungan suatu instansi, rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan, dan laboratorium
otomatis ditetapkan sebagai rumah golongan ini. Rumah negara golongan ini juga dapat disebut
sebagai rumah Jabatan;
2. Rumah Negara Golongan II, adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negeri dan apabila
telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara. Rumah negara golongan ini juga
dapat disebut sebagai rumah instansi;
3. Rumah Negara Golongan III, adalah Rumah Negara yang tidak termasuk Golongan I dan Golongan
II yang dapat dijual kepada penghuninya.
Penetapan status golongan Rumah Negara ini dilakukan dengan ketentuan diatur dalam pasal 7
Permen PU Nomor 22 Tahun 2008 sebagai berikut:
1. Rumah Negara golongan I dan II, penentuannya dilakukan oleh pimpinan instansi yang
bersangkutan.
2. Rumah Negara golongan III, penentuannya dilakukan oleh Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal
Cipta Karya.
Ketentuan tentang penghunian rumah negara oleh Pejabat atau Pegawai Negeri diatur dalam
Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1994 pasal 7, 8, 9, dan 10, jo Peraturan Pemerintah Nomor 31
tahun 2005 sebagai berikut:
1. Harus memiliki Surat Izin Penghunian yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang pada instansi
yang bersangkutan. Pemilik Surat Izin Penghunian wajib menempati Rumah Negara selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak Surat Izin Penghunian diterima (pasal
8)
2. Suami dan istri yang masing berstatus Pegawai Negeri, hanya dapat menghuni satu Rumah Negara,
kecuali apabila suami istri tersebut bertugas dan bertempat tinggal di daerah yang berlainan (pasal
9)
BAB VI 185
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
3. Kewajiban dan larangan bagi penghuni rumah negara adalah sebagai berikut (pasal 10) :
a. Penghuni Rumah Negara wajib membayar sewa rumah, memelihara rumah dan memanfaatkan
rumah sesuai dengan fungsinya.
b. Penghuni Rumah Negara dilarang menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak
lain, mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah; dan menggunakan rumah tidak sesuai
dengan fungsinya.
Ketentuan lebih lanjut tentang penghunian Rumah Negara ini diatur dalam Peraturan Menteri PU
Nomor 22 Tahun 2008 pasal 8 hingga pasal 11. Beberapa ketentuan tersebut antara lain :
1. Penghunian rumah negara oleh pejabat atau pegawai negeri dilakukan berdasarkan surat izin
penghunian yang diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan ketentuan :
a. Untuk Rumah Negara Golongan I/ Rumah jabatan, surat izin diberikan oleh Pimpinan Instansi
yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk.
b. Untuk Rumah Negara Golongan II, surat izin diberikan oleh Pejabat Eselon I atau pejabat yang
ditunjuk.
c. Untuk Rumah Negara Golongan III yang terletak di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi, surat izin diberikan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya dalam hal ini Direktur Penataan
Bangunan dan Lingkungan, sedang untuk Tumah Negara yang terletak di luar DKI Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi surat izinnya dari dilakukan oleh Kepala Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Teknis Provinsi yang membidangi rumah negara.
Dalam penjelasan dari Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2008 terkait dengan penghunian
Rumah negara ini ditegaskan tentang Mulai Berlaku dan dan Berakhirnya Penghunian Rumah Negara
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Hak penghunian rumah negara mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya sebagaimana tercantum
dalam keputusan penunjukan penghunian rumah negara dan berakhir pada waktu penghuni yang
bersangkutan tidak berhak lagi menempati rumah negara;
2. Penghuni Rumah Negara Golongan I yang tidak lagi memegang jabatan tertentu, harus
mengosongkan rumah negara yang dihuni selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak tidak
memegang jabatan tersebut;
3. Penghuni Rumah Negara Golongan II yang berhenti karena pensiun, diberhentikan dengan
hormat atau tidak dengan hormat tanpa menerima hak pensiun, meninggal dunia, mutasi ke
daerah atau instansi, berhenti atas kemauan sendiri, melanggar larangan penghunian rumah
negara, izin penghuniannya dicabut, dan yang bersangkutan wajib mengosongkan rumah negara
yang dihuninya selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diterima keputusan pencabutan izin
penghunian;
5. Penghuni Rumah Negara Golongan III yang diberhentikan tidak dengan hormat izin
penghuniannya dicabut dan wajib mengosongkan rumah negara yang dihuninya selambat-
lambatnya 2 (dua) bulan sejak diterima keputusan pencabutan izin penghunian.
Rumah Negara yang telah ditetapkan status golongannya sebagaimana diijelaskan di atas, juga dapat
dialihkan statusnya dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 12, pasal 13, pasal 14 sebagai
berikut :
1. Rumah Negara Golongan II dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan III
dengan syarat :
a. umur rumah negara paling singkat 10 (sepuluh) tahun sejak dimiliki oleh negara atau sejak
ditetapkan perubahan fungsinya sebagai rumah negara;
b. status hak atas tanahnya sudah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. rumah dan tanah tidak dalam keadaan sengketa berdasarkan surat pernyataan dari instansi
yang bersangkutan;
d. penghuninya telah memiliki masa kerja sebagai pegawai negeri paling singkat 10 (sepuluh)
tahun;
e. penghuni rumah memiliki Surat Izin Penghunian (SIP) yang sah dan suami atau istri yang
bersangkutan belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari
negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. penghuni menyatakan bersedia mengajukan permohonan pengalihan hak paling singkat
1 (satu) tahun terhitung sejak rumah tersebut menjadi Rumah Negara Golongan III dengan
ketentuan karena kelalaian mengajukan permohonan tersebut kepada penghuni dikenakan
sanksi membayar sewa 2 (dua) kali dari sewa setiap bulannya yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. untuk rumah negara yang berbentuk Rumah Susun sudah mempunyai perhimpunan penghuni
yang ditetapkan Pimpinan Instansi;
h. hasil kajian Pejabat Eselon I Rumah Negara Golongan II dapat dialihkan statusnya menjadi
Rumah Negara Golongan III.
BAB VI 187
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
2. Pengalihan status Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III dilakukan
berdasarkan usul pengalihan status dari Pimpinan Instansi yang bersangkutan kepada Menteri
dalam hal ini Direktur Jenderal Cipta Karya.
3. Pengalihan status Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III dalam hal luas
tanah dan bangunan melebihi standar tipe dan kelas bangunan, pangkat dan golongan pegawai
negeri, maka untuk kelebihan luas tanah dan bangunan harus mendapatkan izin tertulis dari
Pejabat Eselon I yang bersangkutan.
4. Rumah Negara Golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara Golongan
III adalah:
a. Rumah Negara Golongan II yang berfungsi sebagai mess/asrama sipil dan Tentara Nasional
Indonesia atau Kepolisian;
b. Rumah negara yang masih dalam sengketa.
5. Rumah Negara Golongan I dapat diubah status golongannya menjadi Rumah Negara Golongan II
oleh Pimpinan Instansi yang bersangkutan setelah mendapat pertimbangan teknis dari Menteri
dalam hal ini Direktur Jenderal Cipta Karya, bila golongannya tidak sesuai lagi karena adanya
perubahan atau penggabungan organisasi, dan/atau sudah tidak memenuhi fungsi sebagaimana
ditetapkan semula.
6. Rumah Negara Golongan II dapat diubah statusnya menjadi Rumah Negara Golongan I oleh
Pimpinan Instansi yang bersangkutan, bila untuk memenuhi kebutuhan rumah jabatan dengan
ketentuan rumah tersebut secara teknis memenuhi syarat sebagai rumah jabatan berdasarkan tipe
dan kelas rumah negara, serta tersedianya rumah pengganti.
Rumah Negara juga dapat dialihkan haknya dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Permen
PU Nomor 22 Tahun 2008 pasal 15 sampai dengan pasal 21. Beberapa ketentuan tersebut antara lain:
1. Rumah negara yang dapat dialihkan haknya adalah Rumah Negara Golongan III.
2. Rumah negara yang tidak dapat dialihkan haknya adalah:
a. Rumah Negara Golongan I;
b. Rumah Negara Golongan II yang ditetapkan sebagai mess/asrama;
c. Rumah Negara Golongan III yang masih dalam sengketa; atau
d. Rumah Negara Golongan III yang berbentuk rumah susun yang belum mempunyai
perhimpunan penghuni.
3. Pengalihan Hak Rumah Negara golongan III dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya
dalam hal ini Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan atau pejabat yang ditunjuk setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
4. Direktur Jenderal Cipta Karya dalam hal ini Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan :
a. melakukan pertimbangan atas permohonan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III;
b. melakukan pengawasan pelaksanaan pengalihan hak Rumah Negara Golongan III;
c. mengangkat Panitia Penaksir harga pengalihan hak Rumah Negara Golongan III beserta
ganti rugi atas tanahnya seluruh Indonesia dengan ketentuan bahwa Panitia Penaksir untuk
menetapkan harga taksiran pengalihan hak Rumah Negara Golongan III beserta ganti rugi
atas tanahnya untuk DKI Jakarta, dan Panitia Penilai harga taksiran penjualan Rumah Negara
Golongan III beserta ganti rugi atas tanahnya di seluruh Indonesia diangkat oleh Direktur
Jenderal Cipta Karya.
6. Persyaratan penghuni yang dapat mengajukan permohonan pengalihan hak Rumah Negara
Golongan III sebagai berikut :
a. Pegawai negeri :
• mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;
• memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
• belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pensiunan pegawai negeri :
• menerima pensiun dari Negara;
• memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
• belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Janda/duda pegawai negeri :
• masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara, yang: (a) almarhum suaminya/
istrinya sekurang-kurangnya mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun pada Negara;
atau (b) masa kerja almarhum suaminya/istrinya ditambah dengan jangka waktu sejak yang
bersangkutan menjadi janda/duda berjumlah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
• memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
• belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Janda/duda pahlawan, yang suaminya/isterinya dinyatakan sebagai pahlawan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku:
• masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara;
• memiliki Surat izin Penghunian yang sah;
• belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
e. Pejabat negara atau janda/duda pejabat negara:
• masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara;
• memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
• belum pernah membeli atau memperoleh fasilitas rumah dan/atau tanah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Apabila penghuni rumah negara sebagaimana disebutkan diatas meninggal dunia, maka pengajuan
permohonan pengalihan hak atas rumah negara dapat diajukan oleh anak sah dari penghuni yang
bersangkutan dan apabila ia tidak mempunyai anak sah maka rumah kembali ke Negara.
Berbagai ketentuan yang baru saja disampaikan di atas sering menjadi persoalan dalam pengelolaan
Rumah Negara. Ada kasus, pejabat yang sudah pensiun tapi masih menempati rumah negara golongan
II. Permasalahan lain yang sering terjadi berkaitan dengan Rumah Negara ini adalah :
1. Banyak Rumah Negara yang belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya: banyak rumah negara
yang tidak dihuni (kosong). Di beberapa daerah di Indonesia, masih banyak rumah dinas yang
tidak dihuni (kosong). Jika hal ini dibiarkan terlalu lama, maka dapat berdampak pada rusaknya
rumah tersebut, yang akhirnya akan membebani Negara untuk membiayai perbaikan rumah
tersebut.
BAB VI 189
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
2. Banyak praktek pungutan tak resmi oleh penghuni lama kepada penghuni baru yang akan
menempati rumah dinas. Di beberapa daerah di Indonesia khususnya di kota besar, banyak
terjadi praktek pungutan liar oleh penghuni lama kepada penghuni yang baru. Hal ini tentunya
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Praktik seperti ini terjadi karena adanya keinginan
penghuni lama untuk mendapatkan uang pengganti/kompensasi atas biaya yang selama ini telah
mereka keluarkan untuk merawat atau merenovasi rumah. Hal ini dapat membebani pegawai/
pejabat baru yang ingin menempati rumah dinas. Dan dapat menimbulkan mindset seolah-olah
rumah dinas tersebut telah dibeli dan menjadi milik pribadi penghuninya, yang jika dibiarkan
akan berdampak pada sulitnya menginstruksikan penghuni tersebut untuk keluar dari rumah
tersebut ketika habis haknya.
3. Masih banyak rumah dinas yang dihuni oleh orang yang sebenarnya tidak lagi berhak menghuni
rumah dinas tersebut. Misalnya, pegawai yang sudah pensiun atau mutasi.
4. Di daerah tertentu khususnya di kota besar, jumlah rumah dinas tidak sepadan dengan jumlah
pegawai.
Informasi yang dihimpun Fajar Sumatera di kalangan penyidik, mengungkapkan oknum pejabat
Kab.Tuba berinitial AA yang menjabat Kepala BKD diduga telah menjual aset negara dan barang
inventaris milik Pemkab Tuba berupa mesin truk tangki air.
Modus operandi adalah penghapusan aset negara dan dum (dijual untuk dipakai dikalangan
pegawai). Padahal sesuai ketentuan, penghapusan asset dan inventaris barang-barang milik
negara ada aturan yang harus dipatuhi. Diantaranya melalui izin DPRD setempat, lelang yang
diatur sesuai undang-undang.
Kasus ini mencuat karena oknum pejabat tersebut saat menjual aset negara tidak melalui
mekanisme yang benar. Dia menabrak ketentuan yang berlaku, sehingga saat menjual barang dan
asset negara tanpa melalui prosedur, sehingga ada indikasi menggelapkan asset negara untuk
kepentingan pribadi.
Secara terpisah Herwan Saleh anggota DPRD Kab.Tuba dari Fraksi Golkar menyatakan, pihak
Dewan sama sekali belum pernah membahas persoalan penghapusan asset dan penjualan
atau dum maupun lelang barang-barang milik Pemkab Tuba sebelum pemekaran menjadi tiga
kabupaten. Karena itu adanya kasus penjualan asset berupa mesin truk tangki air, pihak Dewan
sama sekali tidak tahu menahu dan merasa terkejut. Karena setiap penghapusan asset negara
milik Pemkab Tuba harus melalui mekanisme yang benar dan melalui prosedur, kata dia.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana FH Unila Tisnata saat dihubungi terpisah menyatakan,
kalau penjualan atau penghapusan asset Negara tanpa prosedur atau ketentuan sesuai undang-
undang, dianggap menghilangkan barang milik Negara sehingga pelaku dapat didakwa sebagai
penggelapan atau pencurian barang inventaris Negara, katanya.
Penghapusan asset maupun penjualan melalui dum ada aturan seperti lelang secara terbuka
setelah mendapat izin dari DPRD setempat dan persetujuan Bupati. Kemudian diumumkan
secara terbuka di media massa. Kalau menjual asset Negara tanpa mekanisme dan prosedur yang
benar, namanya mencuri atau penggelapan, sehingga dapat dikenai pasal penggelapan, ujar
dosen senior FH Unila ini. (FS-Ilham/Subhan).
BAB VI 191
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
Kotak 6.3 “Tangkap” Indikasi Penyimpangan Pengadaan 2012 Sudin Dikmen Jakarta Timur
Suku Dinas Pendidikan Menengah Kota Administarasi Jakarta Timur diindikasikan melakukan
penyimpangan Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN) dalam proses pelaksanaan pengadaan peralatan
praktek SMAN/SMKN tahun anggaran 2011 – 2012, dan kasus ini telah dilaporkan ke Jampidsus
Kejaksaan Agung Republik Indonesia oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
beberapa waktu yang lalu dikarenakan adanya indikasi penyimpangan/pelanggaran hukum yang
merugikan keuangan negara serta dunia pendidikan di Ibu Kota Negara Jakarta.
Pengadaan peralatan praktek SMAN/ SMKN Sudin Dikmen Jakarta Timur anggaran 2011 terdiri
dari pengadaan peralatan praktek Kimia virtual 4 dimensi dan peralatan praktek Biologi virtual
4 dimensi berdasarkan pengumuman lelang Nomor 1110/Pan-PBJ/X/2011 dimana pelaksanaan
pengadaan ini diindikasikan digrogotin oleh oknum yang memperkaya diri.
Pengadaan peralatan praktek Biologi virtual 4 dimensi pengumuman lelang harga perkiraan
sendiri (HPS) Rp. 1.822.520.700,- (Milyar) diindikasikan perencanaan pengadaan peralatan
praktek tersebut by design karena harga perkiraan sendiri yang jenisnya berbeda namun nilai
harga perkiraan sendiri kedua alat praktek ini sama tidak berbeda harganya.
Untuk peralatan Kimia vitual 4 dimensi pemenangnya/pelaksananya CV. Usaha Niaga Jaya
dengan penawaran Rp. 2.058.861.420,- (Milyar) melebihi HPS sebesar Rp. 236.340.720,- begitu
juga untuk pengadaan peralatan praktek Biologi virtual 4 dimensi dimenangkan CV. Bina Mitra
Mandiri dengan harga sebesar Rp. 2.059.200.000,- (Milyar) lebih tinggi dari HPS Rp. 236.679.300,-
sehingga kerugian negara/Pemprov DKI Jakarta dan dunia pendidikan diperkirakan senilai
Rp.472.000.000,-.
Disaat pelaksanaan tahun 2011 /2012 tentang pengadaan peralatan praktek SMAN/SMKN Sudin
Dikmen Jakarta Timur ada diindikasikan bebeapa item tidak sesuai dengan SPEK (Quantity dan
Quality) oleh karena itu selayaknya proses pengadaan peralatan praktek Kimia dan Biologi di audit
serta diperiksa oleh pihak yang berwenang agar dunia pendidikan dapat merubah kehidupan
berbangsa dan bernegara terhindar dari perbuatan tindak pidana korupsi yang sangat rawan dan
rentan terhadap moral anak-anak bangsa generasi kedepan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Proyek pembangunan terminal bus yang asal bangun tanpa
melihat posisi yang strategis membuat 10 persen terminal angkutan antar kota tersebut tidak
esien. Dana miliaran rupiah pun sia-sia.
“Sebanyak 10 persen dari 400-an terminal bus antar kota di Indonesia “mangkrak” tidak terpakai,
karena jaraknya terlalu jauh. Bus-bus lebih suka berhenti dan mengambil penumpang di terminal
bayangan,” kata Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya, Kementerian Perhubungan, Sudirman
Lambali di Jakarta, Selasa (25/1).
Menurut Sudirman, hal ini terjadi karena pemerintah daerah terlalu memaksakan pembangunan
terminal tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Beberapa terminal, jelasnya, berada jauh
di pusat kota atau jalan raya.
Sebagai salah satu contoh adalah Terminal Mangkang, Semarang yang sama sekali tidak dilirik
oleh bus-bus besar antar kota, karena jaraknya yang jauh dari perkotaan. Bus-bus yang keluar
masuk di kota itu lebih memilih Terminal Terboyo yang jaraknya didekat kota. Selain itu,
Sudirman menyebutkan, beberapa kota yang terminalnya tidak terpakai antara lain kota Kediri
(Jawa Timur), Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), Pangkalpinang (Bangka Belitung) dan
beberapa kota lainnya.
Sumber: http://www.tribunnews.com/bisnis/2011/01/25/sekitar-10-persen-terminal-bus-di-indonesia-tidak-efektif
6.7 Latihan
1. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup dari pengelolaan Barang Milik Daerah?
2. Jelaskan perubahan paradigma pengelolaan aset daerah!
3. Jelaskan aturan perundangan tentang pengelolaan Barang Milik Daerah dan apa substansi utama
yang terdapat di dalamnya!
4. Jelaskan secara singkat organisasi Pengelolaan Barang Milik Daerah!
5. Jelaskan tanggung jawab dan wewenang para Pejabat Pengelola Barang Milik Daerah!
6. Jelaskan permasalahan yang sering timbul terkait dengan pengelolaan rumah negara!
BAB VI 193
PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH
BAB VII
AKUNTANSI DAN PENGAWASAN
KEUANGAN DAERAH
Tujuan:
Setelah mempelajari bab ini, peserta:
1. Mampu menjelaskan prinsip akuntansi dan pelaporan;
2. Mampu menjelaskan Standar Akuntansi Pemerintahan;
3. Mampu menjelaskan konsep dasar akuntansi pemerintahan;
4. Mampu menjelaskan Jenis dan Bentuk Laporan Keuangan;
5. Mampu menjelaskan fungsi dari pengawasan internal dan kaitannya dengan kinerja dan
keuangan.
Akuntansi dan pelaporan keuangan akan dipengaruhi oleh lingkungan operasionalnya. Di lingkungan
pemerintah perlu dipertimbangkan berbagai hal terkait akuntansi dan pelaporan keuangan, antara
lain:
1. Struktur Pemerintahan dan Pelayanan yang diberikan;
2. Keuangan Pemerintah yang penting bagi pengendalian, antara lain, Anggaran, Investasi dalam
aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, Kemungkinan penggunaan akuntansi dana
untuk pengendalian, Penyusutan nilai aset sebagai sumber daya ekonomi karena digunakan dalam
operasional pemerintah.
Akuntansi Pemerintahan di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan
mendasar yang pertama kali dilakukan yaitu pada tahun 1998 yang disebut reformasi yang diikuti
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan UU tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan
secara beriturut-turut:
Terkait dengan akuntansi, pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
105 Tahun 2000 dan Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002 serta aturan-aturan penerusnya menuntut
perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah.
Selain itu muncul peraturan perundangan yang diamanatkan oleh UU terdahulu, seperti PP 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. PP yang berpayung hukum dengan UU yang telah
diamandemen tentu harus menyesuaikan dan atau mengalami perubahan atau revisi. Peraturan
Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000, misalnya, diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Begitu juga dengan peraturan yang lebih teknis, seperti
Kemendagri Nomor 29 Tahun 2002, diganti dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengatur penggunaan
basis akrual dalam sistem akuntansi keuangan pemerintah, maka saat ini dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai penganti
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang
menggunakan basis kas menuju basis akrual (cash toward accrual). Pada Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 2010 diamanatkan bahwa penggunaan basis akrual dalam sisten akuntansi keuangan
pemerintah, dilaksanakan paling lambat tahun 2015. Untuk mendukung pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238
Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah (PUSAP).
Dalam kaitan dengan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah, ada kemungkinan
terjadi perubahan dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004, ada kemungkinan dilakukan revisi terhadap PP 58 Tahun
2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yang juga berimplikasi kepada perubahan sistem
akuntansi keuangan daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
menyatakan bahwa SAP adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan
menyajikan laporan keuangan pemerintah. Dalam PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan terdapat 3 (tiga) Lampiran yaitu:
1. Lampiran I tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual;
2. Lampiran II tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Kas Menuju Akrual; dan Lampiran;
3. III tentang Proses Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual.
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dikembangkan oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
(KSAP). Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah konsep dasar penyusunan dan
Sistem Akuntansi Pemerintahan pada Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 238 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Sehingga
Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah Daerah harus diatur dengan peraturan gubernur/
bupati/walikota yang mengacu pada Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintah tersebut.
Menurut PP 71 tahun 2010, Prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan dimaksudkan sebagai ketentuan
yang dipahami dan ditaati oleh pembuat standar dalam menyusun standar, penyelenggara akuntansi
dan pelaporan keuangan dalam melakukan kegiatannya, serta pengguna laporan keuangan dalam
memahami laporan keuangan yang disajikan. Delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan
pelaporan keuangan pemerintah yaitu:
Basis akuntansi
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis akrual untuk
pengakuan pendapatan-LO, beban, aset, kewajiban, dan ekuitas. Basis akrual untuk LO berarti bahwa
pendapatan diakui pada saat hak untuk memperoleh pendapatan telah terpenuhi walaupun kas
belum diterima di Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan dan beban diakui
pada saat kewajiban yang mengakibatkan penurunan nilai kekayaan bersih telah terpenuhi walaupun
kas belum dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Pendapatan
seperti bantuan pihak luar/asing dalam bentuk jasa disajikan pula pada LO.
Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas, maka LRA disusun berdasar basis
kas, berarti pendapatan dan penerimaan pembiayaan diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas
Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan; serta belanja, transfer dan pengeluaran pembiayaan
diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Namun demikian, jika
anggaran disusun dan dilaksanakan berdasarkan basis akrual, maka LRA disusun berdasarkan basis
akrual. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas diakui dan dicatat pada
saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan
pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan.
Aset dicatat sebesar pengeluaran kas dan setara kas yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan
untuk memperoleh aset tersebut. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang diharapkan
akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban di masa yang akan datang dalam pelaksanaan kegiatan
pemerintah. Nilai historis lebih dapat diandalkan daripada penilaian lain karena lebih obyektif
dan dapat diverikasi. Dalam hal tidak terdapat nilai historis, dapat digunakan nilai wajar aset atau
kewajiban terkait.
Prinsip Realisasi
Bagi pemerintah, pendapatan basis kas yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintah suatu
periode akuntansi akan digunakan untuk membayar utang dan belanja dalam periode tersebut.
Mengingat LRA masih merupakan laporan yang wajib disusun, maka pendapatan atau belanja basis
Infomasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi serta peristiwa lain yang
seharusnya disajikan, maka transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai
dengan substansi dan realitas ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitas. Apabila substansi transaksi
atau peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalitasnya, maka hal tersebut harus
diungkapkan dengan jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK).
Prinsip Periodisitas
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi periode-periode
pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber daya yang dimilikinya dapat
ditentukan. Periode utama yang digunakan adalah tahunan, namun periode bulanan, triwulanan, dan
semesteran juga dianjurkan.
Prinsip Konsistensi
Perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian yang serupa dari periode ke periode oleh
suatu entitas pelaporan (prinsip konsistensi internal). Hal ini tidak berarti bahwa tidak boleh terjadi
perubahan dari satu metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai
dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi
yang lebih baik dibanding metode lama. Pengaruh atas perubahan penerapan metode ini dungkapkan
dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Informasi
yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan pada lembar muka (on the
face) laporan keuangan atau Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan menyajikan dengan wajar Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan
Saldo Anggaran Lebih (SAL), Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), Neraca,
Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Dalam rangka penyajian wajar, faktor pertimbangan sehat diperlukan bagi penyusun laporan keuangan
ketika menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian seperti itu diakui
dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam
penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat
melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan
terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan terlalu rendah. Namun demikian, penggunaan
pertimbangan sehat tidak memperkenankan, misalnya, pembentukan cadangan tersembunyi,
sengaja menetapkan aset atau pendapatan yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban
atau belanja yang terlampau tinggi, sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral dan tidak andal.
Konsep dasar yang digunakan dalam prinsip akuntansi adalah persamaan dasar akuntansi, yaitu :
Persamaan dasar ini akan mendasari seluruh proses dalam siklus akuntansi, mulai dari pencatatan
transaksi, pengklasikasian, sampai pada penyusunan laporan keuangan seperti neraca. Secara garis
besar, laporan neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah
daerah pada tanggal tertentu. Struktur neraca tersebut bisa dibuat dalam bentuk berimbang antara
sisi kiri yaitu aset dengan sisi kanan yaitu kewajiban dan ekuitas.
Berdasarkan Neraca Pemerintah Kota ABC diatas dapat dilihat kekayaan pemerintah daerah,
sedangkan kewajiban dan ekuitas menunjukkan sumber dana atas kepemilikan aset atau kekayaan
tersebut. Kekayaan pemerintah daerah bisa berupa aset lancar, investasi jangka panjang, aset tetap
dan aset lainnya. Dalam hal ini sumber dana untuk memperoleh aset tersebut diklasikasikan
menjadi dua sumber utama, yaitu dari utang pemerintah daerah dan kekayaan bersih pemerintah
daerah sendiri yang disebut ekuitas.
Aturan debit dan kredit akan membantu kita dalam mencatat informasi ke dalam buku besar. Aturan
ini dapat dipahami secara lebih mudah dengan melihat penggunaannya pada akun-akun bentuk T
yang tercakup dalam persamaan akuntansi berikut ini:
Dalam akun-akun dari persamaan akuntansi di atas aturan debit dan kredit untuk Aset berlawanan
arah dengan kewajiban dan ekuitas. Apabila suatu akun Aset bertambah, maka akun tersebut didebit
dan jika berkurang, maka akun yang bersangkutan dikredit, sebaliknya, untuk akun kewajiban dan
ekuitas dikredit untuk penambahan dan didebit untuk pengurangan.
Saldo normal (normal balance) dari suatu akun adalah posisi yang bertambah menurut aturan debit
dan kredit. Sebagai contoh adalah saldo normal dari akun kas adalah saldo debit, karena suatu Aset
bertambah dengan mencatat pada posisi debit. Oleh karena itu, saldo normal adalah pada sisi yang
positif, dimana saldo normal dari Aset adalah pada sisi debit, sebaliknya kewajiban dan ekuitas
mempunyai saldo normal pada sisi kredit atau disebut akun-akun bersaldo kredit. Saldo-saldo normal
dari akun-akun neraca digambarkan sebagai berikut:
Ekuitas biasanya terdiri atas beberapa akun. Setiap akun ekuitas akan mempunyai saldo normal
pada sisi kredit, apabila akun tersebut merupakan unsur penambahan dalam ekuita contohnya yaitu
pendapatan. Tetapi, apabila suatu akun merupakan unsur pengurangan dalam ekuitas, maka akun ini
akan mempunyai saldo normal pada sisi debit misalnya akun beban.
Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
dalam satu rangkaian proses yang disebut siklus akuntansi pemerintah daerah. PPKD adalah Kepala
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (Kepala SKPKD) yang bertugas mengelola APBD dan
bertindak sebagai bendahara umum daerah. Nama SKPKD sangat beragam antar daerah. Ada yang
memberi nama DPKD (Dinas Pengelola Keuangan Daerah), ada DPPKD (Dinas Pendapatan dan
Pengelola Keuangan Daerah), ada DPPKAD (Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah).
Siklus akuntansi merupakan tahap-tahap/langkah-langkah yang harus dilalui dalam suatu sistem
akuntansi, termasuk akuntansi pemerintah daerah. Langkah-langkah tersebut meliputi 5 Langkah
Utama Plus Dua Langkah Penyelesaian, yaitu:
Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para
pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial,
maupun politik.
Unsur yang dicakup dalam laporan realisasi anggaran terdiri dari Pendapatan, Belanja, Transfer, dan
Pembiayaan.
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih menyajikan informasi kenaikan atau penurunan Saldo
Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Laporan tersebut
terdiri dari Saldo anggaran lebih, dikurangi Penggunaan Saldo Anggaran Lebih sebagai Penerimaan
Pembiayaan Tahun Berjalan dijumlahkan dengan Sisa Lebih atau Kurang Pembiayaan Anggaran,
Koreksi Kesalahan Pembukuan Tahun Sebelumnya, dan Lain-lain.
Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan
penggunaannya yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung dalam Laporan
Operasional terdiri dari pendapatan-LO, beban, transfer, dan akun-akun luar biasa. Masing- masing
unsur dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendapatan-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
2. Beban adalah kewajiban pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
3. Transfer adalah hak penerimaan atau kewajiban pengeluaran uang dari/oleh suatu entitas
pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan dana bagi hasil;
4. Akun Luar Biasa adalah pendapatan luar biasa atau beban luar biasa yang terjadi karena kejadian
atau transaksi yang bukan merupakan operasi biasa.
Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Neraca
Unsur yang dicakup dalam neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dan Masing-masing unsur
didenisikan sebagai berikut:
1. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh pemerintah daerah,
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan atau sosial di masa
depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat, serta
dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan
sejarah dan budaya;
2. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan
aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah daerah;
3. Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah daerah yang merupakan selisih antara aset dan
kewajiban pemerintah daerah.
Laporan arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan Aktivitas Operasi, Aktivitas Investasi,
Aktivitas Pendanaan, dan Transitoris yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran,
dan saldo akhir kas pemerintah daerah selama periode tertentu.
Unsur yang dicakup oleh laporan arus kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas daerah dari
4 aktivitas:
1. Aktivitas Operasi;
2. Aktivitas Investasi;
3. Aktivitas Pendanaan;
4. Aktivitas Transitoris.
Laporan keuangan yang disusun Pemerintah Daerah memiliki keterkaitan antara laporan yang satu
dengan laporan yang lainnya. Bentuk keterkaitan antar laporan keuangan dapat dilihat pada:
Neraca
Aset 2.000
Kewajiban 640
Ekuitas 1.360
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) merupakan unit pemerintahan di lingkungan pemda selaku
pengguna anggaran, yang dapat berbentuk dinas, badan, dan kantor ataupun satuan. Sebagai pengguna
anggaran, SKPD harus menyelenggarakan sistem akuntansi guna menghasilkan laporan keuangan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang dikelolanya.
Di dalam sistem pengelolaan APBD mengharuskan seluruh penerimaan uang oleh SKPD disetorkan
ke rekening Kas Umum Daerah dan pengeluaran dilakukan dari rekening Kas Umum Daerah. Istilah
Dengan demikian, walaupun SKPD telah memiliki dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), aliran kas
masuk ke pengguna anggaran yang berasal dari pendapatan daerah harus disetorkan ke Kas Daerah.
Demikian juga untuk setiap pembayaran belanja SKPD, uang yang digunakan adalah uang yang
berasal dari Kas Daerah yang dibayarkan baik dengan cara pembayaran langsung (LS) oleh BUD ke
pihak penerima pembayaran ataupun melalui bendahara pengeluaran SKPD dengan mekanisme
uang persediaan/tambah uang persediaan (UP/GU/TU).
Mekanisme di atas akan menimbulkan hubungan antara SKPD dengan PPKD (selaku BUD). Untuk
tujuan akuntansi, hubungan antara berbagai SKPD dan PPKD selaku BUD dapat dipandang dari dua
aspek berikut :
1. Aspek hubungan keuangan; hubungan antara SKPD dan PPKD dapat dipandang sebagai hubungan
antara kantor pusat dan kantor cabang. PPKD diperlakukan sebagai kantor pusat, sementara itu
SKPD-SKPD diperlakukan sebagai kantor cabang;
2. Aspek pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran; hubungan antara SKPD dan PPKD sebagai
entitas yang mandiri, sehingga SKPD dan PPKD masing-masing mempunyai tanggung jawab
untuk menyusun laporan keuangannya masing-masing.
Hubungan kantor pusat dan cabang yang diaplikasikan pada akuntansi di SKPD dan PPKD ini dapat
dilihat dengan digunakannya akun Rekening Koran PPKD (RK-PPKD) pada setiap SKPD. Sementara
itu, PPKD menggunakan akun Rekening Koran SKPD (RK-SKPD). Dengan demikian, akun RK-
SKPD dan akun RK-PPKD merupakan akun resiprokal yang mencerminkan hubungan timbal-balik
keuangan antara PPKD (selaku BUD) dan SKPD (selaku pengguna anggaran).
Transaksi anggaran apa saja yang akan terjadi di SKPD, hal itu sudah tergambar di dalam anggaran
(DPA) SKPD yang bersangkutan. Dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam hal
penganggaran dan pelaksanaannya antara PPKD dan Kepala SKPD, maka tidak akan terjadi tumpang
tindih (overlap) penganggaran antara PPKD dan SKPD. Penganggaran pendapatan dan belanja
yang tidak dianggarkan di dalam DPA PPKD, akan dianggarkan di dalam DPA SKPD. Sementara
itu, penganggaran pembiayaan seluruhnya merupakan kewenangan PPKD sehingga anggaran
pembiayaan tidak akan muncul di dalam DPA SKPD.
Dengan demikian struktur anggaran SKPD sebagaimana tertuang di dalam DPA SKPD terdiri dari:
1. Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Anggaran Belanja Tidak Langsung;
3. Anggaran Belanja Langsung.
Perlu diingat bahwa tidak semua SKPD memiliki kewenangan untuk memungut PAD. Kewenangan
untuk memungut PAD berupa pajak daerah berada pada SKPKD sedangkan SKPD tertentu memiliki
kewenangan untuk memungut retribusi.
Di dalam Pasal 98 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dinyatakan sebagai berikut:
Berdasarkan aturan tersebut di atas, sistem akuntansi yang harus diselenggarakan di SKPKD terdiri
dari:
1. Sistem Akuntansi SKPD (SKPKD dalam kapasitas selaku SKPD), menghasilkan laporan keuangan
SKPD berupa LRA, LO, LPE dan Neraca serta CaLK selaku SKPD pada umumnya.
2. Sistem Akuntansi PPKD terdiri dari:
a. Sistem Akuntansi PPKD sebagai BUD, menghasilkan laporan keuangan PPKD berupa LRA, LO,
LPE, dan Neraca, serta CaLK selaku PPKD;
b. Sistem Akuntansi Konsolidator Pemda, menghasilkan laporan keuangan Pemda (laporan
keuangan gabungan) secara lengkap berupa LRA, Laporan Perubahan SAL, LO, LPE, Neraca,
LAK, dan CaLK.
Memang di Indonesia terdapat berbagai institusi pengawasan/pemeriksa, sebut saja BPK, BPKP,
Inspektorat Jenderal Kementrian/Lembaga dan Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten,
namun sesungguhnya terdapat perbedaan fungsi diantara mereka. Secara umum tugas dan fungsi
instansi tersebut dapat dikelompokkan kepada Pengawas Internal dan Pemeriksa Eksternal.
Inspektorat dan BPKP adalah instansi pengawasan internal, sedangkan BPK adalah pemeriksa
eksternal khususnya pemeriksa keuangan.
Secara singkat perbedaan di antara instansi tersebut dalam kaitan dengan pekerjaan pemeriksaan
adalah sebagai berikut :
Secara umum, aparat pengawasan internal pemerintah bertugas untuk menjaga agar Pemerintahan
berjalan dengan baik dan akuntabel untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam anggaran
dan dokumen perencanaan dan sekaligus mencegah (preventif) agar tidak terjadi kesalahan dan
penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur pemerintah. Dalam menjalankan fungsinya aparatur
pengawas internal lebih berfungsi sebagai supervisor dan jika diperlukan melakukan pemeriksaan
(audit) serta melakukan reviu/evaluasi terhadap sistem. Namun saat ini, aparat pengawas internal
justru banyak berfungsi sebagai auditor (pemeriksa) sehingga terkesan melakukan peranan yang
sama dengan pemeriksa eksternal.
Berbeda dengan pengawas internal, pemeriksa eksternal umumnya berfungsi memberikan opini
terhadap laporan keuangan dan efektitas organisasi. Biasanya aparatur pemeriksa eksternal ini
disebut sebagai auditor yang menjalankan fungsi audit (memeriksa). Audit adalah suatu proses
sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara obyektif yang berhubungan
dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk
menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan
dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Arens, et.al., 2010).
Di Indonesia saat ini ada Akuntan Publik (External Auditor/Independent Auditor) untuk sektor bisnis
dan BPK untuk sektor publik (pemerintahan). Namun terkadang BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan) juga bertindak sebagai pemeriksa ekternal terhadap Kementrian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah jika ditugasi Presiden untuk melakukan audit tertentu terkait projek tertentu.
Pengawasan intern merupakan sebuah proses, yang diwujudkan oleh pimpinan organisasi maupun
anggotanya, yang dirancang untuk menjamin tercapainya tujuan organisasi seperti:
1. Efektivitas dan esiensi dari kegiatan operasional;
2. Keandalan laporan keuangan;
3. Ketaatan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Pengawasan Internal dikenal juga mencakup dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan melekat dan
pengawasan fungsional. Pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian
secara terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan
represif, agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan esien sesuai dengan
rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan. Pengawasan fungsional adalah pengawasan
yang dilakukan oleh aparat pengawas yang diperuntukan untuk itu.
Dengan kata lain pengawasan internal adalah proses untuk mengamati secara terus menerus
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disusun dan mengadakan koreksi
jika terjadi kesalahan dan penyimpangan. Pengawasan pada prinsipnya adalah fungsi manajemen
dimana peran dari personal yang sudah memiliki tugas, wewenang dan menjalankan pelaksanaannya
perlu dilakukan pengawasan agar supaya berjalan sesuai dengan tujuan, visi dan misi organisasi. Di
dalam manajemen organisasi yang modern, fungsi pengawasan ini biasanya dilakukan oleh Satuan
Pengawasan Internal (SPI). Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya
dalam suatu organisasi. Semua fungsi manajemen yang lain, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi
pengawasan.
Pengawasan adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan
tujuan perencanaan, merancang sistem informasi, umpan balik, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-
penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua
sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan esien dalam pencapaian
tujuan-tujuan organisasi. Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha
untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan
apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu
dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Dalam perkembangan manajemen publik modern, elemen yang sangat penting dalam pengawasan
internal saat ini adalah setiap unit dalam Pemerintahan melakukan manajemen resiko (risk
management) dan penjaminan mutu (quality assurance). Dalam prinsip risk management, setiap
satuan kerja harus aware dengan resiko dan sebaiknya mereka harus mendenisikan sendiri risiko
mereka dan mengidentikasi faktor-faktor yang akan menghalangi mereka mencapai target/tujuan
organisasi (memitigasi sendiri). Demikian juga dengan penjaminan mutu, sebaiknya organisasi
melakukan langkah-langkah agar mutu layanan mereka terjamin. Aparat pengawas internal bertindak
sebagai supervisor dan katalisator agar terjadi proses self-assessment terhadap resiko dan penjaminan
mutu di dalam organisasi. Pemeriksaan (audit) internal justru dipandang sebagai sebagai langkah
terakhir, tidak perlu ada pemeriksaan kalau semua berjalan baik. Dengan kata lain, pemeriksaan
internal akan dilakukan jika benar-benar diperlukan. Namun hal ini memerlukan capacity building
bagi pengawas internal di Indonesia.
Bila fungsi pengawasan dilaksanakan dengan tepat, organisasi akan memperoleh manfaat berupa:
1. Dapat mengetahui sejauh mana program sudah dilaukan oleh staf, apakah sesuai dengan standar
atau rencana kerja, apakah sumberdaya telah digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Fungsi pengawasan akan meningkatkan esiensi dan efektitas program/kegiatan.
2. Dapat mengetahui adanya penyimpangan pada pemahaman staf dalam melaksanakan tugas-
tugasnya.
3. Dapat mengetahui apakah waktu dan sumber daya lainnya mencukupi kebutuhan dan telah
dimanfaatkan secara esien.
4. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan.
5. Dapat mengetahui staf yang perlu diberikan penghargaan, dipromosikan atau diberikan pelatihan
lanjutan.
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK
dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sesuai Peraturan BPK RI
Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. SPKN memuat persyaratan
profesional pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan yang
profesional. Tujuan Standar Pemeriksaan ini adalah untuk menjadi ukuran mutu bagi para pemeriksa
dan organisasi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
Kewajaran laporan keuangan sangat ditentukan kualitas berbagai asersi manajemen yang terkandung
dalam laporan keuangan karena dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim pemeriksa BPK akan menguji
asersi manajemen (Kepala Daerah dan para Kepala SKPD/SKPKD/PPKD) atas laporan keuangan
pemerintah daerah.
Asersi (assertion) adalah pernyataan manajemen yang terkandung di dalam komponen laporan
keuangan. Pernyataan tersebut dapat bersifat implisit atau eksplisit. Berdasarkan Keputusan Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/K/1-III.2/5/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemeriksaan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, asersi yang diuji mencakup
5 aspek, yaitu: (1) keberadaan dan keterjadian, (2) kelengkapan, (3) hak dan kewajiban, (4) penilaian dan
pengalokasian, dan (5) penyajian dan pengungkapan. Masing-masing asersi dijelaskan sebagai berikut.
Sebagai contoh, Neraca Kabupaten AAA tanggal 31 Desember 2011 mencantumkan rekening kas
sebesar Rp. 99.800.765.000. Pada hakikatnya manajemen membuat dua asersi eksplisit (keberadaan
dan penilaian), yaitu:
1. Bahwa kas tersebut benar-benar ada pada tanggal 31 Des 2012;
2. Bahwa jumlah kas tersebut yang benar adalah Rp 99.800.765.000.
Selain dua asersi eksplisit manajemen juga membuat tiga buah asersi implisit (kelengkapan, hak dan
kewajiban, serta penyajian/pengungkapan) sebagai berikut:
1. Bahwa semua kas yang seharus dilaporkan memang telah dimasukkan dalam jumlah tersebut
secara lengkap;
2. Bahwa semua kas yang dilaporkan pada tanggal 31 Desember 2012 tersebut adalah milik Kabupaten
AAA;
3. Bahwa tidak ada batasan apapun terhadap penggunaan kas yang dilaporkan tersebut.
Pengendalian merupakan proses yang dilakukan oleh manajemen pemerintahan yang memberikan
jaminan memadai bahwa tujuan pemerintahan dapat tercapai. Pengendalian intern dalam
kenyataannya terdiri dari prosedur standar, kebijaksanaan, struktur organisasi, sistem informasi
dan monitoring yang menjamin secara memadai bahwa tujuan pemerintahan dapat berjalan secara
efektif, esien dan ekonomis, peraturan perundangan dipatuhi dan pelaporan disajikan secara handal.
Dalam pemeriksaan keuangan, agar suatu pemeriksaan dapat dilaksanakan secara efektif dan esien,
maka langkah pertama yang harus dilakukan pemeriksa dalam pekerjaan pemeriksaannya adalah
memahami dan menguji berjalannya SPI pada entitas yang diperiksa. Pemerintah (auditan) harus
menjamin SPI yang dibuat sudah efektif agar opini yang diberikan baik. Pada konteks inilah terdapat
hubungan antara pengendalian intern dengan pemeriksaan. Jika pengendalian intern dianggap efektif
oleh pemeriksa, maka pemeriksa dapat mengurangi aktivitas pelaksanaan pengujian yang ekstensif.
Sebaliknya jika pengendalian intern dianggap lemah, maka pemeriksa harus melakukan pengujian
substantif dengan ekstensif. Dalam kondisi SPI sangat lemah, pemeriksa dapat memberikan opini
tidak memberikan pendapat (disclaimer).
Temuan Pemeriksaan (TP) atas laporan keuangan yang diperiksa merupakan permasalahan yang
ditemukan oleh pemeriksa yang perlu dikomunikasikan kepada pihak yang terperiksa. Permasalahan
tersebut meliputi:
1. Ikhtisar Koreksi
Ikhtisar Koreksi merupakan rekapitulasi koreksi atau penyesuaian (adjustments) yang diusulkan
tim pemeriksa kepada pemerintah daerah. Koreksi pemeriksaan yang dimasukkan tersebut
merupakan koreksi terhadap LKPD yang di atas nilai TE dan secara keseluruhan di atas nilai
materialitas. Koreksi pemeriksaan tersebut menggambarkan penyajian LKPD yang tidak sesuai
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan dan kecukupan pengungkapan. Jurnal koreksi hanya
pada akun utama pada LKPD. Penyesuaian pada buku dan sistem akuntansi dilakukan kemudian.
Selain itu, koreksi terhadap kecukupan pengungkapan merupakan koreksi pada catatan atas
laporan keuangan LKPD.
Setelah draf Temuan Pemeriksaan disusun oleh pemeriksa, maka langkah-langkah berikutnya atas
Temuan Pemeriksaan meliputi:
Pemeriksa tidak dibebani tanggung jawab atas suatu kondisi yang terjadi setelah tanggal pekerjaan
lapangan tersebut. Oleh karena itu, tanggal penyampaian temuan pemeriksaan tersebut merupakan
tanggal laporan hasil pemeriksaan atau tanggal surat representasi pemerintah daerah.
Hasil pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa dituangkan secara tertulis ke dalam
suatu bentuk laporan yang disebut dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). LHP merupakan bukti
penyelesaian penugasan bagi pemeriksa yang dibuat dan disampaikan kepada Pemberi Tugas, yakni
BPK-RI.
Laporan tertulis berfungsi untuk: (1) Mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pejabat
pemerintah, yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2)
Membuat hasil pemeriksaan terhindar kesalah pahaman; (3) Membuat hasil pemeriksaan sebagai
bahan untuk tindakan perbaikan oleh instansi terkait dan (4) Memudahkan tindak lanjut untuk
menentukan apakah tindakan perbaikan yang semestinya telah dilakukan.
LHP menyatakan opini BPK-RI atas kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Opini
pemeriksaan BPK terhadap LKPD menggunakan opini standar sesuai Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yaitu:
a. Wajar Tanpa Pengecualian (unqualied opinion). Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian
menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam
semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas entitas tertentu sesuai
dengan standar akuntansi keuangan (SAK) di Indonesia.
Sumber: http://inspektorat.purworejokab.go.id/wtp-bukan-berarti-bebas-korupsi/2012
Perkembangan opini pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah pada periode
tahun 2006 sd 2012 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
30%
22% 23% 23%
18%
13% 15%
10%
3% 6% 5% 9%
2%
1% 2%
Pemeriksa harus melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang
dianggap sebagai “kondisi yang dapat dilaporkan”. Beberapa contoh “kondisi yang dapat dilaporkan”
seperti yang dirumuskan dalam SPAP adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada pemisahan tugas yang memadai sesuai dengan tujuan pengendalian yang layak.
2. Tidak ada reviu dan persetujuan yang memadai untuk transaksi, pencatatan akuntansi atau output
dari suatu sistem.
3. Tidak memadainya berbagai persyaratan untuk pengamanan Aset.
4. Bukti kelalaian yang mengakibatkan kerugian, kerusakan atau penggelapan Aset.
5. Bukti bahwa suatu sistem gagal menghasilkan output yang lengkap dan cermat sesuai dengan
tujuan pengendalian yang ditentukan oleh entitas yang diperiksa, karena kesalahan penerapan
prosedur pengendalian.
6. Bukti adanya kesengajaan mengabaikan pengendalian intern oleh orang-orang yang mempunyai
wewenang, sehingga menyebabkan kegagalan tujuan menyeluruh sistem tersebut.
7. Bukti kegagalan untuk menjalankan tugas yang menjadi bagian dari pengendalian intern, seperti
tidak dibuatnya rekonsiliasi atau pembuatan rekonsiliasi tidak tepat waktu.
8. Kelemahan dalam lingkungan pengendalian, seperti tidak adanya tingkat kesadaran yang
memadai tentang pengendalian dalam organisasi tersebut.
9. Kelemahan yang signikan dalam desain atau pelaksanaan pengendalian intern yang dapat
mengakibatkan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berdampak
langsung dan material atas laporan keuangan.
10. Kegagalan untuk melakukan tindak lanjut dan membentuk sistem informasi pemantauan tindak
lanjut untuk secara sistematis dan tepat waktu memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam
pengendalian intern yang sebelumnya telah diketahui.
Dalam melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan, pemeriksa harus
mengidentikasi “kondisi yang dapat dilaporkan” yang secara sendiri-sendiri atau secara kumulatif
merupakan kelemahan yang material. Pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut dalam
perspektif yang wajar.
Terkait dengan hasil temuan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, maka pejabat Pemerintah
Daerah wajib menindaklanjutinya sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 UU 15 Tahun 2004, yang
selengkapnya berbunyi:
1. Pejabat wajib menindak lanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP).
2. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas
rekomendasi dalam LHP.
3. Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan kepada BPK selambat-
lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah LHP diterima.
4. BPK memantau tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
5. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat dikenai
sanksi administratif sesuai ketentuan perundang - undangan dibidang kepegawaian.
6. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.
Hasil pemantauan BPK terhadap tindak lanjut disampaikan kepada DPRD untuk diawasi bagaimana
tindak lanjutnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 21 UU 15 Tahun 2004 yang berbunyi lengkap sebagai
berikut:
Terkait dengan upaya untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut, beberapa Pemerintah Daerah
menyikapinya dengan membentuk Peraturan Kepala Daerah sebagai pedoman untuk tindak lanjut
bagi seluruh pejabat SKPD. Sebagai contoh, Walikota Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Walikota
No. 92 Tahun 2012 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK.
MANADO, 12 Mei 2015 – Tata kelola keuangan pemerintah daerah (Pemda) baik provinsi,
kabupaten dan kota di Indonesia, parah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan, 70
persen Pemda bermasalah. Dari 538 Pemda, hanya 30 persen atau 156 mendapat opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP). Selebihnya, atau 382 daerah, potensi merugikan negara bahkan
korupsi. Yang mengejutkan, kata dia, terdapat 280 pemerintah daerah yang laporan keuangannya,
harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). ”Jadi, laporan keuangan kita masih bermasalah dalam hal tata kelola.
Belum sampai ke upaya penggunaannya untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, jelas di Undang-
Undang Dasar, selain tata kelola, keuangan negara juga harus untuk kemakmuran rakyat,” beber
Ketua BPK RI Harry Azhar Azis, saat menjadi pembicara dalam Silahturahim Umat Islam oleh
Majelis Umat Islam (MUI) Sulut, di Graha Gubernuran, kemarin. Saking banyaknya temuan
indikasi penyalahgunaan keuangan negara yang dilapor ke KPK, sebanyak 60 persen total kasus
ditangani komisi antirasuah itu, berasal dari laporan BPK. “Kalau ada yang sudah jelas-jelas
merugikan uang negara, kita langsung laporkan ke penegak hukum,” tegasnya.
Seharusnya, kata Harry, Pemda semakin terbuka dan bertanggung jawab mengelola keuangan.
Kemakmuran rakyat harus diutamakan. Apalagi, aset senilai Rp 2.000 triliun berputar di Pemda.
Sedangkan aset pemerintah pusat Rp3.500 triliun, aset BUMN Rp 4.500 triliun, aset BUMD Rp 758
triliun. Jadi total hampir Rp11 ribu triliun. “Kalau dibagi ke daerah, hampir 60 persen di Pulau
Jawa, 23 persen di Sumatera, 10 persen Kalimantan, dan Sulawesi 4 persen. Di Sulut sekitar 1
sampai 2 persen. Papua 1 atau 2 persen,” urai Harry.
Dana ini, kata dia, harus diperjuangkan agar masyarakat sejahtera. Karena ujung dari pengelolaan
keuangan negara adalah mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Ukurannya yaitu opini
yang disampaikan BPK. Seharusnya, dengan total aset Pemda yang mencapai Rp2.000 triliun,
program-program pembangunan di daerah sudah menunjukkan peningkatan kemakmuran
rakyat,” jelasnya.
Acara yang dipandu Direktur JPNN/CEO Manado Post, Suhendro Boroma ini berlangsung
menarik. Banyak peserta mengajukan pertanyaan. Harry ditanyakan soal hubungan opini
BPK dan kesejahteraan rakyat. “Pada tahun 2016 nanti, mulai dicanangkan hubungan hasil
pemeriksaan keuangan dengan kesejahteraan rakyat. Seharusnya, saat raih WTP, kemiskinan dan
pengangguran turun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik,” jelasnya.
Namun, kata dia, WTP suatu daerah tidak selalu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tergantung
kasusnya. “Ada daerah yang raih WTP beberapa tahun, tapi rakyat miskin bertambah. Tapi ada
pula yang jadi sejahtera. Jadi beda-beda kasusnya,” jelasnya. Saat menjabat anggota DPR-RI
dulu, dia berjuang agar ukuran kemakmuran rakyat ada Undang-Undang (UU). “Namun hingga
sekarang UU-nya belum ada. Karena setiap kita, bisa beda tafsirnya soal kemakmuran,” sebutnya.
Harry menyayangkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia saat ini yang tertinggal dari negara
lain. Menurut dia, hal ini erat kaitannya dengan pengelolaan keuangan. Dia contohkan Singapura
dan Malaysia. “Tahun 1960-an, Singapura Indonesia kurang lebih sama. Namun saat ini, Singapura
10 kali lebih sejahtera dari Indonesia. Malaysia juga sama, sekarang Malaysia tiga kali lebih kaya
dari kita. Wajar Malaysia pandang sebelah mata Indonesia. Karena psikologi orang kaya pandang
sebelah mata orang miskin,” tuturnya. Untuk itu, kata Harry, setiap rupiah yang dikelola harus
diperhatikan. “Kita harus serius memperhatikan tiap rupiah yang dikelola. Sejauh mana bisa
meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.
Sumber: http://manadopostonline.com/read/2015/05/12/BPK-70-persen-Pemda-bermasalah/9116
Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan, M. Chatib Basri dalam cara pembukaan Rapat Kerja
Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Tahun 2013, di Kementerian Keuangan, Jakarta, hari
ini (12/9). Turut hadir dan membuka Rakernas tersebut Wakil Presiden RI, Boediono, bersama
sejumlah menteri kabinet. “Target Pemerintah tentu saja, semua K/L dan Pemda harus meraih
WTP. Kalau Anda kasih target, harus yang paling tinggi,” kata Menteri Keuangan, M. Chatib Basri,
dalam jumpa pers seusai acara pembukaan.
Menurut Chatib Basri, peningkatan K/L dan Pemda yang meraih opini WTP dari BPK merupakan
cermin dari keberhasilan Indonesia bangkit dari krisis 1997. Pasca krisis tersebut, menurut dia,
Indonesia telah berhasil melakukan reformasi ekonomi lewat perumusan dan implementasi
peraturan secara spesik.
Salah satunya ialah dengan terbitnya UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
dan UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara. Ini, kata, Chatib Basri, menjadi dasar pengelolaan keuangan negara secara tertib dan
esien, termasuk pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara.
Peningkatan perolehan opini WTP oleh K/L terlihat dari data bahwa sejak tahun 2007 terdapat
peningkatan yang signikan, berturut-turut dari 16 (2007) menjadi 35 (2008), 45 (2009), 53 (2010),
67 (2011) dan 69 (2012). Hal yang sama terjadi pada Pemda. Berturut-turut sejak tahun 2007 adalah
4 (2007), 13 (2008), 15 (2009), 34 (2010), 67 (2011) dan 116 (2012).
Chatib Basri menambahkan, peningkatan ini tidak terlepas dari keputusan pemerintah yang mulai
tahun 2005 menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan pemerintah. Sebelumnya, pertanggungjawaban hanya berupa Perhitungan
Anggaran Negara (PAN) yang disampaikan kepada DPR dan dibahas untuk menjadi UU dua tahun
sesudah berakhirnya anggaran.
LKPP yang disusun berdasarkan laporan keuangan K/L, menurut Chatib Basri telah berhasil
mendorong peningkatan kualitas laporan keuangan K/L dan Pemda. Chatib Basri bahkan
memberikan catatan bahwa K/L yang mengelola anggaran dan aset besar seperti Mahkamah
Agung, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PU, BPN telah berhasil
memperoleh opini WTP dari sebelumnya Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Sumber: http://jaringnews.com/ekonomi/umum/48367/terbanyak-sepanjang-sejarah-pemda-dan-k-l-raih-opini-wtp