190422627719
HH
MATERIALITAS
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi
akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan
atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap
informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.
Ada juga yang dinamakan materialitas pelaksanaan, yaitu suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk laporan
keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang semestinya
kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak terdeteksi yang secara
agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Jika berlaku,
materialitas pelaksaan dapat ditetapkan oleh auditor pada jumlah yang lebih rendah daripada
materialitas golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu.
1. Konsep materialitas berkaitan dengan seberapa salah saji yang terdapat dalam asersi
dapat diterima oleh audiotr agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh
besarnya salah saji tersebut.
2. Konsep risiko audit berkaitan dengan risiko kegagalan auditor dalam mengubah
pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
3. sifat entitas, posisi entitas dlm siklus hidupnya, industri serta lingkungan ekonominya
4. fluktuasi relatif tolak ukur tersebut ( pendapatan, laba bruto, beban periode sebelumnya)
5. unsur yg menjadi perhatian khusus auditor (tujuan evaluasi kinerja keuangan, pengguna
fokus laba)
Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam
audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan keuangan dan
pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor. Dalam perencanaan audit, auditor
membuat pertimbangan-pertimbangan tentang ukuran kesalahan penyajian yang dipandang
material. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menyediakan suatu dasar untuk:
Auditor harus merevisi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (dan,
jika berlaku, materialitas untuk golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu)
pada saat auditor menyadari adanya informasi selama audit yang mungkin saja menyebabkan
auditor menentukan jumlah materialitas yang berbeda dari jumlah materialitas yang pertama
kali ditetapkan.
Opini yang diberikan juga berdasarkan kecukupan bukti, salah saji dan materialitas
yang telah diidentifikasi oleh auditor. Jika selama proses audit, auditor menemukan tingkat
kesalahan pada penyajian laporan keuangan secara individu suatu golongan akun dan
keseluruhan dibawah tingkat materialitas yang ditetapkan oleh auditor, maka opini yang akan
diberikan adalah opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), dan jika ternyata
sebaliknya, tingkat kesalahan berada diatas atau melebihi tingkat materialitas yang ditentukan
maka opini yang akan diberikan adalah wajar dengan pengecualian (qualified opinion) atau
tidak wajar (adverse opinion), tergantung seberapa material kesalahan tersebu
PROFESIONAL SKEPTICISM
A. Pengertian
Due professional care merupakan komponen yang penting dalam proses audit.
Banyak diskusi telah dilakukan mengenai praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen
audit, supervisor, dan staff untuk menekankan pentingnya due professional care (Gallegos,
2003). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman (dalam
Bawono, 2010) dan Louwers dkk (2008) yang menyimpulkan bahwa due professional care
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas audit, dan kegagalan audit
cenderung disebabkan karena kurangnya sikap skeptisisme profesional auditor dan due
professional care. Oleh karena itu, skeptisime profesional dan due professional care adalah
prinsip yang fundamental dalam semua tindakan yang dilakukan auditor eksternal (Center for
Audit Quality, 2010, dan Kopp dkk, 2003). Selain meningkatkan kualitas audit dan
mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional auditor juga berperan dalam mencegah
terjadinya fraud. Penemuan Chen dkk (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme
profesional auditor yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena
dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.
Kantor tempat auditor bekerja, sebagai sebuah perusahaan, akan berusaha menjaga
hubungan baik dengan kliennya. Hal ini dapat memengaruhi kondisi lingkungan kerja dan
budaya yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Tekanan yang dihadapi saat mengaudit klien
akan berbeda, terutama saat menghadapi klien yang besar dan ternama. Hal ini akan
memengaruhi skeptisisme tim auditor yang bertugas dalam mengaudit klien karena tidak
ingin menghadapi risiko klien yang tidak puas. Selain itu, delay, yang disebabkan oleh
pencarian bukti-bukti audit yang mendalam karena skeptisisme profesional yang diterapkan,
akan memengaruhi kinerja auditor karena tekanan untuk menyelesaikan proses audit dengan
tepat waktu (Financial Reporting Council, 2010).
Relasi yang terbentuk antara auditor dan klien juga dapat memengaruhi skeptisisme
auditor. Penelitian Asare dan McDaniel (dalam Hurtt, 2003) menemukan bahwa kedekatan
antara auditor dan klien dapat memengaruhi skeptisisme profesional auditor, semakin dekat
auditor dengan kliennya, semakin rendah skeptisisme profesionalnya, dan sebaliknya.
Menurut Sweeney dan Pierce (--), kerja sama dan kepercayaan mutualisme yang terbentuk
secara berlebihan (excessive) antara auditor dan klien akan mengurangi skeptisisme auditor.
Standar Umum yang pertama, yakni kompetensi auditor, memiliki kontribusi terhadap
skeptisisme profesional. Standar Umum yang pertama ini menyaratkan auditor untuk
memiliki keahlian, pelatihan teknis, dan pengalaman yang cukup untuk dapat melaksanakan
audit (IAPI, 2011). Penelitian membuktikan bahwa pelatihan dan pengalaman dapat
meningkatkan skeptisisme profesional (lihat Suprianto, 2010, Quadackers, 2009, Suraida,
2005, dan Carpenter dkk, 2002).
Standar Umum yang kedua, mengenai independensi auditor juga memiliki kontribusi
terhadap skeptisisme profesional. Standar Umum yang kedua ini menyaratkan auditor untuk
terbebas dari segala bentuk perikatan dengan klien yang diaudit untuk dapat memberikan
opini yang netral dan tidak berpihak pada klien maupun pihak eksternal lainnya (IAPI, 2011).
PROFESSIONAL JUDGEMENT
Judgement auditor diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadapt seluruh bukti,
karena akan memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak
efisisen. Bukti ini lah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
Audit judgment diperlukan empat tahap dalam proses audit atas laporan keuangan, yaitu
penerimaan perikatan, perencannan audit, pelaksanaan audit, dan pelaporan audit (Mulyadi
2010:96).
1. Penerimaan Perikatan
Saat auditor menerima suatu perikatan audit, maka harus melakukan audit
judgment terhadap beberapa hal yaitu integritas manajemen, indenpendensi,
objektivitas, kemampuan untuk menggunakan kemahiran profesionalnya dengan
kecermatan dan yang pada akhirnya diambil keputusan menerima atau tidak suatu
perikatan audit.
2. Perencanaan Audit.
4. Pelaporan Audit
Konsep matrealitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau
keseluruhan adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di indonesia, sedangkan beberapa hal lainnya adalah
tidak penting. Matrealitas memberikan suatu pertimbangan penting dalam menentuan jenis
laporan audit mana yang tepat untuk di terbitkan dalam suatu kondisi tertentu (IAI, 2011 :
312)
Seorang auditor dalam melaksanakan tugas audit, dihadapkan pada resiko audit
yang dihadapinya sehubungan dengan judgement yang ditetapkannya. Dalam
merencanakan audit, auditor harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan
tingkat risiko audit yang cukup rendah dan pertimbangan awal mengenai tingkat
matrealitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan bawaan dalam proses
audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material (IAI,2011 : 312). Judgement
auditor mengenai risiko audit dan matrealitas bersama dengan hal-hal lain, diperlukan
dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil
prosedur tersebut.
1. Gender merupakan salah satu faktor yang dinilai mempengaruhi audit judgment. Gender
dalam hal ini tidak hanya diartikan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih dilihat dari segi sosial dan cara mereka dalam menghadapi dan memproses
informasi yang diterima untuk melaksanakan pekerjaan dan membuat keputusan. Dalam
hal memberikan judgment, auditor selalu dihadapkan pada informasi yang nantinya akan
diproses dan melahirkan audit judgment.
2. Tekanan ketaatan juga diduga memiliki andil dalam mempengaruhi judgment auditor.
Auditor akan merasa berada dalam tekanan ketaatan pada saat mendapat perintah dari
atasan ataupun permintaan klien untuk melakukan apa yang mereka inginkan yang
mungkin bertentangan dengan standar dan etika profesi auditor. Tekanan personal,
emosional atau keuangan juga dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan
memengaruhi kualitas audit serta pertimbangan (judgment) auditor
4. Pengalaman dinilai memiliki manfaat atau pengaruh yang besar terhadap penilaian kinerja
auditor. Pengalaman sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, karena pengalaman
seseorang yang bertambah akan meningkatkan pengetahuannya juga. Pengalaman auditor
dapat dilihat dari lamanya seseorang bekerja pada profesi yang sama sebagai auditor.
Semakin lama auditor dalam menekuni profesinya, maka mereka dinilai semakin
berpengalaman.
5. Persepsi Etis, Robbins dan Timothy (2008) mengartikan persepsi sebagai proses dimana
individu mengatur dan menginterpretasi kesan-kesan sensoris mereka guna member arti
bagi lingkungan mereka. Akuntan yang profesional dalam menjalankan tugasnya pasti
memiliki pedoman-pedoman yang mengikat seperti Kode Etik Akuntan Indonesia.
Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya akuntan publik memiliki arah yang jelas dan
dapat memberikan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-
pihak yang menggunakan hasil keputusan auditor.
6. Pemahaman kode etik, dalam membuat auditor judgment seorang auditor juga harus
memperhatikan kode etik karena kode etik merupakan kebutuhan profesi akuntansi akan
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi akuntansi.
Tingkat pengetahuan yang dimiliki auditor merupakan hal yang sangat penting yang dapat
mempengaruhi auditor dalam mengambil keputusan. Pengetahuan merupakan salah satu
kunci keefektifan kerja. (Arleen 2008, dalam Fitrianli dan Daljono 2012).
Tekanan ketaatan pada etika profesional pada penelitian ini mengacu pada situasi konflik
dimana auditor mendapat tekanan dari atasan maupun entitas yang diperiksa untuk
melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari standar, sehingga terjadi dilema etika yang
mengharuskan auditor menggunakan sikap profesional dan taat pada aturan etika
profesionalnya. Indikator-indikator yang relevan dengan tekanan ketaatan pada etika
profesional Auditor yang profesional akan menjalankan tanggung jawabnya dengan sebaik-
baiknya untuk menghasilkan laporan hasil audit yang berkualitas bagi para pemakainya.
Untuk menghasilkan suatu pertimbangan audit yang baik seorang auditor harus taat terhadap
etika professional. Ketaatan pada etika profeisonal dalam membuat pertimbangan ini
dibutuhkan karena seorang auditor yang memiliki etika professional akan bertanggung jawab
terhadap keputusan yang dibuat menyangkut pertimbangan audit tersebut (Ade Rahayu,
2014).
Seorang auditor sering mengalami dilema dalam penerapan standar profesi auditor pada
pengambilan keputusannya. Kekuasaan klien dan pemimpin menyebabkan auditor tidak
independen lagi, karena ia menjadi tertekan dalam menjalankan pekerjaannya. Klien atau
pimpinan dapat saja menekan auditor untuk melanggar standar profesi auditor. Hal ini
tentunya akan menimbulkan tekanan pada diri auditor untuk menuruti atau tidak menuruti
dari kemauan klien maupun pimpinannya. Sehingga terkadang tekanan ini dapat membuat
auditor mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan (Ade Rahayu, 2014)
PROFESSIONAL DUE CARE
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), dalam Standar Profesional Akuntan Publik (2001)
menyebutkan kualitas pelaksanaan audit selalu mengacu pada standar-standar yang
ditetapkan, meliputi standar umum, standar pekerjaan dan standar pelaporan. Standar umum
merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang
mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam
melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan
mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan
selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan
keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.
Kualitas audit erat kaitannya dengan due professional care. karena ketika auditor ingin
menghasilkan laporan audit yang berkualitas, auditor harus menerapkan due professional care
dalam setiap penugasan auditnya. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan
seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan
keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun
kecurangan.
Berbeda dengan hasil penelitian dari (Saripudin, Netty Herawaty, Rahayu : 2012)
yang menyebutkan bahwa Secara parsial variabel due professional care tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas auditor. Sehingga due professional care yang dimiliki auditor
belum tentu meningkatkan kualitas audit yang dihasilkan.
Due professional care memiliki arti kemahiran professional yang cermat dan seksama
(PSA No.4 SPAP 2011). Singgih dan Bawono (2010) menyebutkan bahwa kecermatan dan
keseksamaan dalam penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk
melaksanakan skeptisme profesional. Sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit
dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit.
Due professional care erat kaitannya dengan Kualitas audit. karena ketika auditor
ingin menghasilkan laporan audit yang berkualitas, auditor harus menerapkan due
professional care dalam setiap penugasan auditnya. Penggunaan kemahiran profesional
dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
maupun kecurangan.
Kualitas audit dianggap penting bagi pengguna laporan keuangan, karena dengan
semakin tingginya kualitas audit maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat
dipercaya dan dapat dipergunakan oleh para pihak yang berkepentingan di dalam dan di luar
perusahaan untuk mengambil keputusan. Selain itu semakin tingginya kualitas audit juga
dapat memperkecil kekhawatiran akan adanya skandal keuangan yang dapat mengurangi rasa
kepercayaan publik terhadap laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik.
1. Due professional care yang dimiliki oleh auditor di Kota Bandung ketika
melaksanakan tugas audit sudah baik. Hal ini tercermin pada hasil penelitian yang
dapat ditunjukan pada seluruh jawaban responden dengan hasil akhir berupa kategori
“tinggi”.
2. Kualitas audit pada auditor Kantor Akuntan Publik di Kota Bandung sangat baik. Hal
ini terlihat pada hasil penelitian yang dapat ditunjukan pada seluruh jawaban
responden dengan hasil akhir berupa kategori “sangat tinggi".
3. Terdapat pengaruh yang kuat antara due professional care terhadap kualitas audit. Hal
ini disebabkan oleh sikap due professional care yang dimiliki oleh auditor senior dan
junior itu sendiri yang mampu mempengaruhi atas kualitas audit dalam penugasan
audit atas laporan keuangan. Hal ini didukung oleh teori dari Mautz dan Sharaf yang
menyatakan bahwa kesalahan dapat dideteksi jika auditor memiliki keahlian dan
kecermatan. Temuan kesalahan pada laporan keuangan klien merupakan salah satu
hal yang menunjukkan kualitas audit dan menunjukkan keahlian yang dimiliki oleh
tim audit.