Anda di halaman 1dari 15

Ronaldo Satria Widodo

190422627719

HH

MATERIALITAS

Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi
akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan
atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap
informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.

Ada juga yang dinamakan materialitas pelaksanaan, yaitu suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk laporan
keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang semestinya
kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak terdeteksi yang secara
agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Jika berlaku,
materialitas pelaksaan dapat ditetapkan oleh auditor pada jumlah yang lebih rendah daripada
materialitas golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu.

Berdasarkan pertimbangan biaya-manfaat, auditor tidak mungkin melakukan


pemeriksaan atas semua transaksi yang dicerminkan dalam laporan keuangan, auditor harus
menggunakan konsep materialitas dan konsep risiko audit dalam menyatakan pendapat atas
laporan keuangan auditan.

1. Konsep materialitas berkaitan dengan seberapa salah saji yang terdapat dalam asersi
dapat diterima oleh audiotr agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh
besarnya salah saji tersebut.
2. Konsep risiko audit berkaitan dengan risiko kegagalan auditor dalam mengubah
pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.

Penentuan materialitas membutuhkan penggunaan pertimbangan profesional. Sebagai


langkah awal dalam menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan,
persentase tertentu sering kali diterapkan pada suatu tolak ukur yang telah dipilih. Faktor-
faktor yang dapat memengaruhi proses identifikasi suatu tolak ukur yang tepat mencakup:
1. struktur kepemilikan dan pendanaan entitas

2. unsur-unsur laporan keuangan (aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, dan beban)

3. sifat entitas, posisi entitas dlm siklus hidupnya, industri serta lingkungan ekonominya

4. fluktuasi relatif tolak ukur tersebut ( pendapatan, laba bruto, beban periode sebelumnya)

5. unsur yg menjadi perhatian khusus auditor (tujuan evaluasi kinerja keuangan, pengguna
fokus laba)

Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam
audit dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan keuangan dan
pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor. Dalam perencanaan audit, auditor
membuat pertimbangan-pertimbangan tentang ukuran kesalahan penyajian yang dipandang
material. Pertimbangan-pertimbangan tersebut menyediakan suatu dasar untuk:

1. menentukan sifat, saat dan luas prosedur penilaian risiko

2. mengidentifikasi dan menilai risiko kesalahan penyajian material

3. menentukan sifat, saat dan luas prosedur audit lanjutan

Auditor harus merevisi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan (dan,
jika berlaku, materialitas untuk golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu)
pada saat auditor menyadari adanya informasi selama audit yang mungkin saja menyebabkan
auditor menentukan jumlah materialitas yang berbeda dari jumlah materialitas yang pertama
kali ditetapkan.

Opini yang diberikan juga berdasarkan kecukupan bukti, salah saji dan materialitas
yang telah diidentifikasi oleh auditor. Jika selama proses audit, auditor menemukan tingkat
kesalahan pada penyajian laporan keuangan secara individu suatu golongan akun dan
keseluruhan dibawah tingkat materialitas yang ditetapkan oleh auditor, maka opini yang akan
diberikan adalah opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), dan jika ternyata
sebaliknya, tingkat kesalahan berada diatas atau melebihi tingkat materialitas yang ditentukan
maka opini yang akan diberikan adalah wajar dengan pengecualian (qualified opinion) atau
tidak wajar (adverse opinion), tergantung seberapa material kesalahan tersebu
PROFESIONAL SKEPTICISM

A. Pengertian

Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani “skeptesthai” yang berarti menguji,


menyelidiki, mempertimbangkan. Skeptisisme juga berasal dari kata skeptis, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2008) dan kamus Oxford (Hornby, 1980) berarti
sikap meragukan, mencurigai, dan tidak memercayai kebenaran suatu hal, teori, ataupun
pernyataan. Kaum skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena memiliki sikap
tidak puas dan masih mencari kebenaran. Skeptisisme diartikan sebagai aliran atau paham
yang memandang sesuatu selalu tidak pasti, meragukan, dan mencurigakan. Sedangkan
profesional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2008) adalah sesuatu
yang bersangkutan dengan profesi, yang membutuhkan keahlian khusus untuk
menerapkannya. Kata profesional dalam skeptisisme profesional merujuk pada fakta bahwa
auditor telah, dan terus dididik dan dilatih untuk menerapkan keahliannya dalam mengambil
keputusan sesuai standar profesionalnya (Quadackers, 2009). Skeptisisme profesional sendiri
belum memiliki definisi yang pasti (Hurtt, 2003, dan Quadackers, 2009), namun dari definisi
kata skeptisisme dan profesional tersebut, dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional
auditor adalah sikap auditor yang selalu meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, dan
menilai secara kritis bukti audit serta mengambil keputusan audit berlandaskan keahlian
auditing yang dimilikinya. Skeptisisme bukan berarti tidak percaya, tapi mencari pembuktian
sebelum dapat memercayai suatu pernyataan (Center for Audit Quality, 2010).

Skeptisisme profesional merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki auditor


(Tuanakotta 2013). Dalam situasi apapun setiap auditor dituntut untuk mempunyai sikap
skeptisisme profesional seperti yang tercantum dalam SAS No. 99 Tahun 2002. Skeptisisme
profesional mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara
kritis terhadap bukti audit. Karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit,
maka skeptisisme profesional harus digunakan selama proses tersebut. Auditor tidak boleh
menganggap bahwa manajemen entitas yang diperiksa tidak jujur, tetapi juga tidak boleh
menganggap bahwa kejujuran manajemen tersebut tidak diragukan lagi. Secara khusus dalam
audit, Standar Profesional Akuntan Publik (IAPI, 2011) menjelaskan bahwa skeptisisme
profesional adalah sikap yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi bukti audit
secara kritis. Pengertian serupa dipaparkan dalam International Standards on Auditing
(IAASB, 2009), skeptisisme profesional adalah sikap yang meliputi pikiran yang selalu
bertanyatanya (questioning mind), waspada (alert) terhadap kondisi dan keadaan yang
mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji material yang disebabkan oleh kesalahan
atau kesengajaan (fraud), dan penilaian (assessment) bukti-bukti audit secara kritis. Konsep
skeptisisme profesional yang tercermin dalam standar tersebut adalah sikap selalu bertanya-
tanya, waspada, dan kritis dalam melaksanakan seluruh proses audit.

B. Pentingnya Skeptisisme Prfesional

Pentingnya skeptisisme profesional banyak ditekankan oleh berbagai jenis profesi.


Umumnya profesi yang membutuhkan skeptisisme profesional adalah profesi yang
berhubungan dengan pengumpulan dan penilaian bukti-bukti secara kritis, dan melakukan
pertimbangan pengambilan keputusan berdasarkan bukti yang dikumpulkan. Profesi-profesi
yang dirujuk antara lain, detektif, polisi, auditor, pengacara dan hakim, dan penyelidik.
Namun, dari berbagai bidang profesi dan akademis yang membutuhkan skeptisisme
profesional, hanya auditor yang menyaratkan skeptisisme profesional dalam standar
profesionalnya (Hurtt, 2003). Seperti yang tercantum dalam SPAP seksi 230 (IAPI, 2011),
skeptisisme profesional merupakan unsur yang terkandung dalam Standar Umum ketiga
mengenai penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama dalam pelaksanaan
pekerjaan auditor (due professional care).

Due professional care merupakan komponen yang penting dalam proses audit.
Banyak diskusi telah dilakukan mengenai praktik kerja yang dilakukan oleh manajemen
audit, supervisor, dan staff untuk menekankan pentingnya due professional care (Gallegos,
2003). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahman (dalam
Bawono, 2010) dan Louwers dkk (2008) yang menyimpulkan bahwa due professional care
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas audit, dan kegagalan audit
cenderung disebabkan karena kurangnya sikap skeptisisme profesional auditor dan due
professional care. Oleh karena itu, skeptisime profesional dan due professional care adalah
prinsip yang fundamental dalam semua tindakan yang dilakukan auditor eksternal (Center for
Audit Quality, 2010, dan Kopp dkk, 2003). Selain meningkatkan kualitas audit dan
mendeteksi terjadinya fraud, skeptisisme profesional auditor juga berperan dalam mencegah
terjadinya fraud. Penemuan Chen dkk (2009) mempertegas pentingnya skeptisisme
profesional auditor yang ditunjukkan dalam bentuk tindakan audit (audit actions) karena
dapat mengurangi kecenderungan manajer untuk melakukan fraud.

C. Karakteristik Skeptisisme Profesional

Karakteristik pertama, pola pikir yang selalu bertanya-tanya (questioning mind),


mencerminkan sikap keragu-raguan seperti yang terdapat dalam definisi skeptisisme
profesional secara umum maupun khusus dalam auditing.

Karakteristik kedua, penundaan pengambilan keputusan (suspension of judgment),


mencerminkan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu hal. Orang yang skeptis
tetap akan mengambil suatu keputusan, namun tidak segera, karena mereka membutuhkan
informasi-informasi pendukung lainnya untuk mengambil keputusan tersebut (Hurtt, 2003).

Karakteristik ketiga, mencari pengetahuan (search for knowledge), menunjukkan


bahwa orang yang skeptis memiliki sikap keingintahuan akan suatu hal. Berbeda dengan
sikap bertanya-tanya, yang didasari keraguan atau ketidakpercayaan, karakteristik ketiga ini
didasari karena keinginan untuk menambah pengetahuan (Hurtt, 2003).

Karakteristik keempat, pemahaman interpersonal (interpersonal understanding),


memberikan pemahaman bahwa orang yang skeptis akan mempelajari dan memahami
individu lain yang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda mengenai suatu hal (Hurtt,
2003). Dengan memahami persepsi orang lain, orang yang skeptis akan mengambil
kesimpulan dan beragumentasi untuk mengoreksi pendapat orang lain.

Karakteristik kelima, percaya diri (self-confidence), diperlukan oleh auditor untuk


dapat menilai buktibukti audit, selain itu, percaya diri diperlukan oleh auditor untuk dapat
berhadapan dengan berinteraksi dengan orang lain atau klien, termasuk juga beradu
argumentasi dan mengambil tindakan audit yang diperlukan berdasarkan keraguan atau
pertanyaan yang timbul dalam dirinya (Hurtt, 2003).

Karakteristik keenam, determinasi diri (self-determination), diperlukan oleh auditor


untuk mendukung pengambilan keputusan, yakni menentukan tingkat kecukupan bukti-bukti
audit yang sudah diperolehnya (Hurtt, 2003).

D. Faktor-faktor yang Memengaruhi Skepritsisme Profesional

Penelitian Murtanto (dalam Lastanti, 2005) menyimpulkan bahwa pengalaman dan


pengetahuan merupakan komponen penting bagi keahlian auditor. Meskipun tingkat pola
pikir skeptis setiap orang berbeda-beda, namun dapat dipengaruhi oleh pengalaman, pelatihan
secara langsung dan tidak langsung, dan budaya yang ada dalam lingkungan perusahaan
tempat auditor bekerja, termasuk juga bentuk insentif yang diberikan secara formal maupun
informal (Financial Reporting Council, 2010). Auditor dengan pengalaman yang banyak akan
menunjukkan tingkat skeptisisme profesional yang lebih tinggi (Anugerah dkk, 2011).

Kantor tempat auditor bekerja, sebagai sebuah perusahaan, akan berusaha menjaga
hubungan baik dengan kliennya. Hal ini dapat memengaruhi kondisi lingkungan kerja dan
budaya yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Tekanan yang dihadapi saat mengaudit klien
akan berbeda, terutama saat menghadapi klien yang besar dan ternama. Hal ini akan
memengaruhi skeptisisme tim auditor yang bertugas dalam mengaudit klien karena tidak
ingin menghadapi risiko klien yang tidak puas. Selain itu, delay, yang disebabkan oleh
pencarian bukti-bukti audit yang mendalam karena skeptisisme profesional yang diterapkan,
akan memengaruhi kinerja auditor karena tekanan untuk menyelesaikan proses audit dengan
tepat waktu (Financial Reporting Council, 2010).

Relasi yang terbentuk antara auditor dan klien juga dapat memengaruhi skeptisisme
auditor. Penelitian Asare dan McDaniel (dalam Hurtt, 2003) menemukan bahwa kedekatan
antara auditor dan klien dapat memengaruhi skeptisisme profesional auditor, semakin dekat
auditor dengan kliennya, semakin rendah skeptisisme profesionalnya, dan sebaliknya.
Menurut Sweeney dan Pierce (--), kerja sama dan kepercayaan mutualisme yang terbentuk
secara berlebihan (excessive) antara auditor dan klien akan mengurangi skeptisisme auditor.

E. Skeptisisme Profesional dalam Standar Profesional Akuntan Publik

Standar Umum yang pertama, yakni kompetensi auditor, memiliki kontribusi terhadap
skeptisisme profesional. Standar Umum yang pertama ini menyaratkan auditor untuk
memiliki keahlian, pelatihan teknis, dan pengalaman yang cukup untuk dapat melaksanakan
audit (IAPI, 2011). Penelitian membuktikan bahwa pelatihan dan pengalaman dapat
meningkatkan skeptisisme profesional (lihat Suprianto, 2010, Quadackers, 2009, Suraida,
2005, dan Carpenter dkk, 2002).

Standar Umum yang kedua, mengenai independensi auditor juga memiliki kontribusi
terhadap skeptisisme profesional. Standar Umum yang kedua ini menyaratkan auditor untuk
terbebas dari segala bentuk perikatan dengan klien yang diaudit untuk dapat memberikan
opini yang netral dan tidak berpihak pada klien maupun pihak eksternal lainnya (IAPI, 2011).
PROFESSIONAL JUDGEMENT

Judgement auditor diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadapt seluruh bukti,
karena akan memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit, sehingga tidak
efisisen. Bukti ini lah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
Audit judgment diperlukan empat tahap dalam proses audit atas laporan keuangan, yaitu
penerimaan perikatan, perencannan audit, pelaksanaan audit, dan pelaporan audit (Mulyadi
2010:96).

Proses Professional Judgement

Penjelasan proses audit judgment tersebut adalah sebagi berikut:

1. Penerimaan Perikatan

Saat auditor menerima suatu perikatan audit, maka harus melakukan audit
judgment terhadap beberapa hal yaitu integritas manajemen, indenpendensi,
objektivitas, kemampuan untuk menggunakan kemahiran profesionalnya dengan
kecermatan dan yang pada akhirnya diambil keputusan menerima atau tidak suatu
perikatan audit.

2. Perencanaan Audit.

Pada saat tahap perencanaan audit, auditor harus mengenali resiko-resiko


dan tingkat materialitas suatu saldo akun yang tealah ditetapkan. Judgment pada
tahap ini digunakan untuk menetukan prosedur-prosedur audit yang selanjutnya
dilaksnakan, karena judgment pada tahap awal audit ditentukan berdasarkan
pertimbangan pada tingkat materialitas yang diramalkan.

3. Pelaksanaan Pengujian Audit

Dalam kaitannya dengan laporan keuangan, judgment yang


diputusakanoleh auditor akan berpengaruh terhadap opini seorang auditor
mengenai kewajaran laporan keuangan. Ada berbagai faktor-faktor pembentuk
opini seorang auditor mengenai kewajaran laporan keuangan kliennya, yaitu
keandalan sistem pengendalian intern klien, kesesuaian transaksi akuntansi dengan
prinsip akuntansi berterima umum, ada tidaknya pembatasan audit yang dilakukan
oleh kliem dan konsisten pencatatan transaksi akuntansi. Karenanya, dapat
dikatakan bahwa judgment merupakan aktivitas pusat dalam melaksanakan
pekerjaan audit.

4. Pelaporan Audit

Ketetapan judgment yang dihasilkan oleh auditor dalam menyelesaikan


pekerjaan auditnya memberikan pengaruh signifikan terhadap kesimpulan akhir
(opini) yang akan dihasilkannya. Sehingga secara tidak langsung juga akan
mem[engaruhi tepat atau tidak tepatnya keputusan yang akan diambil oleh pihak
luar perusahaan yang mengandalkan laporan keuangan auditan sebagai acuannya.

Tingkat Professional Judgement

Menurut Meyer dalam Jamilah, dkk (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan


tingkatnya, judgement auditor dibedakan menjadi tiga :

1. Judgement auditor mengenai tingkat matrealitas.

Konsep matrealitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau
keseluruhan adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di indonesia, sedangkan beberapa hal lainnya adalah
tidak penting. Matrealitas memberikan suatu pertimbangan penting dalam menentuan jenis
laporan audit mana yang tepat untuk di terbitkan dalam suatu kondisi tertentu (IAI, 2011 :
312)

Financial Accounting Standart Board (FASB) mendefinisikan matrealitas sebagai


besarnya suatu penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang dipandang dari
keadaan-keadaan yang melingkupinya, memungkinkan pertimbangan yang dilakukan oleh
orang yang mengandalkan pada informasi menjadi berubah atau dipengaruhi oleh
penghilangan atau salah saji tersebut. Definisi di atas mengharuskan auditor untuk
mempertimbangkan (1) keadaan-keadaan yang berhubugan dengan satuan usaha
(perusahaan klien), dan (2) informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan
mengandalkan pada laporan keuangan yang telah di audit
Materialitas dan risiko audit dipertimbangkan oleh auditor pada saat perencanaan dan
pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan pendapat dari Alvin A. Arens, et al
(2012:319), yaitu :

a) Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas

b) Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke segmen-segmen

c) Mengestimasi total salah saji dalam segmen

d) Memperkirakan salah saji gabungan

e) Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau yang


direvisi tentang materialitas

2. Judgement auditor mengenai tingkat risiko audit.

Seorang auditor dalam melaksanakan tugas audit, dihadapkan pada resiko audit
yang dihadapinya sehubungan dengan judgement yang ditetapkannya. Dalam
merencanakan audit, auditor harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan
tingkat risiko audit yang cukup rendah dan pertimbangan awal mengenai tingkat
matrealitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan bawaan dalam proses
audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material (IAI,2011 : 312). Judgement
auditor mengenai risiko audit dan matrealitas bersama dengan hal-hal lain, diperlukan
dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil
prosedur tersebut.

3. Judgement auditor mengenai going concern.

Kegagalan dalam mendeteksi kemungkinan ketidakmampuan klien untuk going


concern, seperti kasus Enron dan WorldCom, menimbulkan social cost yang besar bagi
auditor karena tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Statement of audit
standars (SAS) no. 59 yang dikeluarkan oleh American Institute of Certified Public
Accountans (1998), merupakan pernyataan dari badan regulasi audi untuk mereskon
keputusan going concern. SAS 59 menuntut auditor harus mempertimbangkan apakah
terdapat keraguan yang substansial pada kemampuan entitas terus berlanjut sebagai usaha
yang going concern untk periode waktu yang layak pada setia penugasan audit. Secara
umum SAS 59 membahas tentang going concern akan tetapi memberikan definisi
operasional going concern. Sedangkan kepuusan going concern merupakan hal yang sulit,
sehingga keputusan ini harus diambil oleh auditor yang memiliki keahlian yang memadai.
Dengan kata lain keputusan audior mengenai going concern membutuhkan judgmenet
auditor yang berpengalaman SAS 59 menuntut auditor untuk memperhatikan rencana,
strategi, dan kemampuan manajemen klien untuk mengatasi kesulitan keuangan bisnis.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Professional Judgment

Meyer dalam Yustrianthe (2012) menyebutkan bahwa audit judgment dipengaruhi


oleh banyak faktor, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Salah satu faktor teknisnya
adalah adanya pembatasan lingkup atau waktu audit, sedangkan faktor non teknis adalah
sebagai berikut :

1. Gender merupakan salah satu faktor yang dinilai mempengaruhi audit judgment. Gender
dalam hal ini tidak hanya diartikan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,
tetapi lebih dilihat dari segi sosial dan cara mereka dalam menghadapi dan memproses
informasi yang diterima untuk melaksanakan pekerjaan dan membuat keputusan. Dalam
hal memberikan judgment, auditor selalu dihadapkan pada informasi yang nantinya akan
diproses dan melahirkan audit judgment.

2. Tekanan ketaatan juga diduga memiliki andil dalam mempengaruhi judgment auditor.
Auditor akan merasa berada dalam tekanan ketaatan pada saat mendapat perintah dari
atasan ataupun permintaan klien untuk melakukan apa yang mereka inginkan yang
mungkin bertentangan dengan standar dan etika profesi auditor. Tekanan personal,
emosional atau keuangan juga dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan
memengaruhi kualitas audit serta pertimbangan (judgment) auditor

3. Kompleksnya suatu pekerjaan juga dinilai dapat mempengaruhi seseorang dalam


menjalankan tugasnya dan mempengaruhi kualitas pekerjaannya. Dengan kerumitan dan
kompleksnya suatu pekerjaan dapat mendorong seseorang untuk melakukan kesalahan-
kesalahan dalam pekerjaannya. Dalam bidang audit, kesalahan-kesalahan dapat terjadi
pada saat mendapatkan, memproses dan mengevaluasi informasi.

4. Pengalaman dinilai memiliki manfaat atau pengaruh yang besar terhadap penilaian kinerja
auditor. Pengalaman sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, karena pengalaman
seseorang yang bertambah akan meningkatkan pengetahuannya juga. Pengalaman auditor
dapat dilihat dari lamanya seseorang bekerja pada profesi yang sama sebagai auditor.
Semakin lama auditor dalam menekuni profesinya, maka mereka dinilai semakin
berpengalaman.

5. Persepsi Etis, Robbins dan Timothy (2008) mengartikan persepsi sebagai proses dimana
individu mengatur dan menginterpretasi kesan-kesan sensoris mereka guna member arti
bagi lingkungan mereka. Akuntan yang profesional dalam menjalankan tugasnya pasti
memiliki pedoman-pedoman yang mengikat seperti Kode Etik Akuntan Indonesia.
Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya akuntan publik memiliki arah yang jelas dan
dapat memberikan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-
pihak yang menggunakan hasil keputusan auditor.

6. Pemahaman kode etik, dalam membuat auditor judgment seorang auditor juga harus
memperhatikan kode etik karena kode etik merupakan kebutuhan profesi akuntansi akan
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi akuntansi.

Pengaruh Pengetahuan Audit terhadap Professional Judgement

Tingkat pengetahuan yang dimiliki auditor merupakan hal yang sangat penting yang dapat
mempengaruhi auditor dalam mengambil keputusan. Pengetahuan merupakan salah satu
kunci keefektifan kerja. (Arleen 2008, dalam Fitrianli dan Daljono 2012).

Semakin berpengalaman seorang auditor dalam bidangnya, maka auditor dinilai


mempunyai pengetahuan lebih dalam mengidentifikasi bukti atau informasi yang relevan dan
tidak relevan untuk mendukung penugasan auditnya termasuk dalam pembuatan audit
judgment-nya. Komponen pengetahuan sangat penting dalam mendukung keprofesionalisme
seorang akuntan publik. Menurut Rini Purwanti (2009) adanya hubungan yang signfikan
antara pengetahuan terhadap audit judgement dan memiliki hubungan berbanding lurus saat
pengetahuan ditingkatkan maka audit judgement semakin meningkat.

Pengaruh Pengalaman Auditor terhadap Professional Judgement

Bonner dalam Yustrianthe (2012) menyatakan bahwa pengalaman dinilai memiliki


manfaat atau pengaruh yang besar terhadap penilaian kinerja auditor. Selain itu, pengalaman
menjadi salah satu persyaratan dalam memperoleh ijin menjadi akuntan publik. Pengalaman
sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, karena pengalaman seseorang yang bertambah
akan meningkatkan pengetahuannya juga. Pengalaman dapat dilihat dari berbagai sisi.
Pengalaman auditor dapat dilihat dari lamanya seseorang bekerja pada profesi yang sama
sebagai auditor. Semakin berpengalaman seorang auditor dalam bidangnya, maka auditor
dinilai mempunyai pengetahuan lebih dalam mengidentifikasi bukti atau informasi yang
relevan dan tidak relevan untuk mendukung penugasan auditnya termasuk dalam pembuatan
audit judgment-nya.

Penelitian Suartana dan Kartana (2007) menunjukkan bahwa pengalaman audit


mempunyai peranan yang penting dalam menanggapi bukti audit. Individu yang kurang
mengenal dengan suatu keputusan berisiko, berperilaku secara lebih berhati-hati dan lebih
menghindari risiko dibandingkan mereka yang lebih mengenal dengan tugas itu. Maka dapat
diartikan bahwa auditor yang kurang familiar atau kurang berpengalaman terhadap suatu
tugas pertimbangan akan lebih berorientasi pada bukti negatif daripada auditor yang
mempunyai pengalaman yang lebih banyak.

Pengaruh Tekanan Ketaatan terhadap Professional Judgement

Tekanan ketaatan pada etika profesional pada penelitian ini mengacu pada situasi konflik
dimana auditor mendapat tekanan dari atasan maupun entitas yang diperiksa untuk
melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari standar, sehingga terjadi dilema etika yang
mengharuskan auditor menggunakan sikap profesional dan taat pada aturan etika
profesionalnya. Indikator-indikator yang relevan dengan tekanan ketaatan pada etika
profesional Auditor yang profesional akan menjalankan tanggung jawabnya dengan sebaik-
baiknya untuk menghasilkan laporan hasil audit yang berkualitas bagi para pemakainya.
Untuk menghasilkan suatu pertimbangan audit yang baik seorang auditor harus taat terhadap
etika professional. Ketaatan pada etika profeisonal dalam membuat pertimbangan ini
dibutuhkan karena seorang auditor yang memiliki etika professional akan bertanggung jawab
terhadap keputusan yang dibuat menyangkut pertimbangan audit tersebut (Ade Rahayu,
2014).

Seorang auditor sering mengalami dilema dalam penerapan standar profesi auditor pada
pengambilan keputusannya. Kekuasaan klien dan pemimpin menyebabkan auditor tidak
independen lagi, karena ia menjadi tertekan dalam menjalankan pekerjaannya. Klien atau
pimpinan dapat saja menekan auditor untuk melanggar standar profesi auditor. Hal ini
tentunya akan menimbulkan tekanan pada diri auditor untuk menuruti atau tidak menuruti
dari kemauan klien maupun pimpinannya. Sehingga terkadang tekanan ini dapat membuat
auditor mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan (Ade Rahayu, 2014)
PROFESSIONAL DUE CARE

De Angelo dalam Kusharyanti (2003) mendefinisikan kualitas audit sebagai


kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan
pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan
menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara
tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor.

Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), dalam Standar Profesional Akuntan Publik (2001)
menyebutkan kualitas pelaksanaan audit selalu mengacu pada standar-standar yang
ditetapkan, meliputi standar umum, standar pekerjaan dan standar pelaporan. Standar umum
merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang
mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam
melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan
mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan
selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan
keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.

Namun dalam pelaksanaannya banyak yang menyalahi peraturan maupun prosedur


audit. Sehingga menimbulkan citra yang buruk bagi auditor di masyarakat. Terdapat beberapa
kasus auditor yang terjadi di Indonesia sehingga pada tahun 2008 dan 2009 Menteri
Keuangan memberikan sanksi terhadap beberapa kantor akuntan public yang dinyatakan
bersalah melakukan pelanggaran yang berujung pada pembekuan izin kerja kantor akuntan
publik.

Kualitas audit erat kaitannya dengan due professional care. karena ketika auditor ingin
menghasilkan laporan audit yang berkualitas, auditor harus menerapkan due professional care
dalam setiap penugasan auditnya. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan
seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan
keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun
kecurangan.

Penelitian yang dilakukan oleh (Pancawati Hardiningsih & Rachmawati Meita


Oktaviani : 2012) membuktikan bahwa Due Professional Care mempunyai pengaruh positif
terhadap kualitas audit. Hasil ini menunjukkan bahwa auditor selalu melakukan review secara
kritis pada setiap tingkat supervise terhadap pelaksanaan audit dan terhadap setiap
pertimbangan audit maka auditor akan selalu menjaga kualitas hasil auditnya.

Berbeda dengan hasil penelitian dari (Saripudin, Netty Herawaty, Rahayu : 2012)
yang menyebutkan bahwa Secara parsial variabel due professional care tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas auditor. Sehingga due professional care yang dimiliki auditor
belum tentu meningkatkan kualitas audit yang dihasilkan.

Due professional care memiliki arti kemahiran professional yang cermat dan seksama
(PSA No.4 SPAP 2011). Singgih dan Bawono (2010) menyebutkan bahwa kecermatan dan
keseksamaan dalam penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk
melaksanakan skeptisme profesional. Sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit
dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit.

Due professional care erat kaitannya dengan Kualitas audit. karena ketika auditor
ingin menghasilkan laporan audit yang berkualitas, auditor harus menerapkan due
professional care dalam setiap penugasan auditnya. Penggunaan kemahiran profesional
dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai
bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
maupun kecurangan.

Kualitas audit dianggap penting bagi pengguna laporan keuangan, karena dengan
semakin tingginya kualitas audit maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat
dipercaya dan dapat dipergunakan oleh para pihak yang berkepentingan di dalam dan di luar
perusahaan untuk mengambil keputusan. Selain itu semakin tingginya kualitas audit juga
dapat memperkecil kekhawatiran akan adanya skandal keuangan yang dapat mengurangi rasa
kepercayaan publik terhadap laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai “pengaruh due professional


care terhadap kualitas audit”, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Due professional care yang dimiliki oleh auditor di Kota Bandung ketika
melaksanakan tugas audit sudah baik. Hal ini tercermin pada hasil penelitian yang
dapat ditunjukan pada seluruh jawaban responden dengan hasil akhir berupa kategori
“tinggi”.
2. Kualitas audit pada auditor Kantor Akuntan Publik di Kota Bandung sangat baik. Hal
ini terlihat pada hasil penelitian yang dapat ditunjukan pada seluruh jawaban
responden dengan hasil akhir berupa kategori “sangat tinggi".

3. Terdapat pengaruh yang kuat antara due professional care terhadap kualitas audit. Hal
ini disebabkan oleh sikap due professional care yang dimiliki oleh auditor senior dan
junior itu sendiri yang mampu mempengaruhi atas kualitas audit dalam penugasan
audit atas laporan keuangan. Hal ini didukung oleh teori dari Mautz dan Sharaf yang
menyatakan bahwa kesalahan dapat dideteksi jika auditor memiliki keahlian dan
kecermatan. Temuan kesalahan pada laporan keuangan klien merupakan salah satu
hal yang menunjukkan kualitas audit dan menunjukkan keahlian yang dimiliki oleh
tim audit.

Anda mungkin juga menyukai