Anda di halaman 1dari 12

CONTOH KASUS

(Kasus 1) Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Gagal Jantung Dengan Intoleransi
Aktivitas Di Ruang Kemuning Rsud Jombang
1. Pengkajian
Pengkajian pada partisipan 1 dilakukan pada tanggal 04 Juni 2018 jam 10.00
WIB, partisipan berusia 68 tahun dengan keluhan utama yang dirasakan adalah sesak
nafas. Pasien datang di IGD pada tanggal 03 Juni 2018 jam 07.30 WIB dengan keluhan
perutnya keras dan sesak nafas. Diagnosa medis pasien AHF + CAD – OMI Anteroseptal.
Saat di IGD mendapat terapi Infus RL 500cc/24 jam, Injeksi furosamid 40 mg, Injeksi
ranitidin 50 mg, Pemberian oksigen nasal canul 4 lpm dan pasien menolak dilakukan
pemasangan kateter. Pasien dipindahkan ke ruang kemuning pada jam 09. 30 WIB dan
mendapatkan terapi infus RL 500 cc/24 jam, Injeksi furosamid 2 x 1 amp, spironolactone
1 x 25 mg, ISDN 3 x 5 mg, ramipril 1 x 2,5 mg, paracetamol 3 x 500 mg, ASA 1 x 80 mg.
Pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin menurun 10,6 g/dl, Kreatinin serum meningkat
2,23 mg/dl dan Urea meningkat 82,3 mg/dl. Foto thorax Ap didapatkan pembesaran
jantung (Kardiomegali). EKG didapatkan VES artinya terjadi aritmia ventrikel, terdapat
Q patologis yang artinya terjadi seragan old miokard akut yang berarti serangan ulang
atau sudah lama terjadi, RHD (Rheumatic Heart Disease) artinya terjadi kerusakan pada
katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran. Sebelumnya pasien pernah
dirawat inap 1x ±1 tahun yang lalu dengan diagnosa jantung bengkak.
Pada partisipan 2 pengkajian dilakukan pada tanggan 08 Juni 2018 jam 08.00
WIB, partisipan berusia 76 tahun dengan keluhan utama yang dirasakan adalah nafasnya
ngongsroh. Pasien datang di IGD pada tanggal 07 Juni 2018 jam 13.00 WIB dengan
keluhan Sejak 3 hari yang lalu badannya lemes + sesak nafas. Diagnosa medis pasien
AHF + CAD – OMI Anteroseptal + Pleuropneumonia D/S. Saat di IGD mendapat terapi
Infus NS 500cc/24 jam, Injeksi furosamid 40 mg, Injeksi ranitidin 50 mg, Pemberian
oksigen masker non-rebrithing 10 lpm dan kateter sudah dipasang di RS NU Jombang.
Kemudian pasien dipindahkan ke ruang kemuning pada jam 13.00 WIB dan mendapatkan
terapi infus RL 300cc/24 jam, Injeksi lasix 2 x 1 amp, ISDN 3 x 5 mg, spironolactone 1 x
25 mg, Nebul combivent 2x. Pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin menurun 9,8 g/dl,
Kreatinin serum meningkat 2,69 mg/dl dan Urea meningkat 104,8 mg/dl. Foto thorax Ap
didapatkan pembesaran jantung ( Kardiomegali ) dan effusi pleura D/S. EKG didapatkan
VES artinya terjadi aritmia ventrikel, terdapat Q patologis yang artinya terjadi seragan old
miokard akut yang berarti serangan ulang atau sudah lama terjadi. Sebelumnya pasien
pernah dirawat inap 1 bulan yang lalu dengan diagnosa jantung bengkak.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah intoleransi aktivitas berbuhungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Intoleransi aktivitas merupakan suatu diagnosa yang lebih menitikberatkan respon
tubuh yang tidak mampu untuk bergerak terlalu banyak karena tubuh tidak mampu
memproduksi energi yang cukup. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa untuk
bergerak kita membutuhkan sejumlah energi. Pembentukan energi dilakukan di sel,
tepatnya di mitokondria melalui beberapa proses tertentu. Untuk membentuk energi,
tubuh memerlukan nutrisi dan CO2.
Pada kondisi tertentu, dimana suplai nutrisi dan CO2 tidak sampai ke sel, tubuh
akhirnya tidak dapat memproduksi energi yang banyak. Jadi, apapun penyakit yang
membut terhambatnya/terputusnya suplai nutrisi dan CO2 ke sel dapat mengakibatkan
respon tubuh berupa intoleransi aktivitas (Anisa, 2016).
Mekanismes patofisiologi terjadinya keluhan intoleransi aktivitas diakibatkan
karena jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap nutrien dan oksigen karena kerusakan sifat kontraktil dari
jantung dan curah jantung kurang dari normal. Hal ini disebabkan karena meningkatnya
beban kerja otot jantung. Sehingga bisa melemahkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
produksi energi menjadi berkurang (Anisa, 2016).
Pada data kedua partisipan didapatkan keluhan sesak nafas dan mengalami
kelelahan pada saat beraktivitas sehari-hari, didapatkan pada hasil EKG yaitu VES artinya
terjadi aritmia ventrikel dan terdapat Q patologis. Data subyektif dan obyektif ini dapat
memunculkan diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Intervensi
Pada tujuan intervensi setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
toleransi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil: konjungtiva tidak pucat, telapak
tangan tidak pucat, kebutuhan tidur meningkat, dan tanda – tanda vital normal.
Intervensi pertama bina hubungan saling percaya, kedua bantu pasien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan, ketiga observasi TTV sebelum, selama
dan setelah beraktivitas, keempat anjurkan pasien untuk istirahat (Bed rest), kelima
ajarkan secara bertahap latihan aktivitas sesuai dengan kondisi pasien, keenam kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian tambahan oksigen dan obat terapi.
4. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan pada partisipan 1 dilakukan pada tanggal 04 Juni 2018
dengan hasil selama tirah baring “mengajarkan membuka dan menutup telapak tangan
selama 5 menit, pada 4.40 detik mengeluh sesak, dan aktivitas langsung dihentikan”
dengan hasil TTV:sebelum beraktivitas TD: 150/90 mmHg N: 102 x/menit S: 38˚C RR:
29 x/menit, selama beraktivitas TD: 150/90 mmHg N: 105 x/menit S: 37,9˚C RR: 30
x/menit, setelah beraktivitas TD: 150/80 mmHg N: 102 x/menit S: 37,9˚C RR: 30x/menit.
Tanggal 05 Juni 2018 “Mengajarkan menggerak – gerakkan pergelangan tangan
dan kedua kaki selama 5 menit dan mengeluh sesak bertambah pada detik 3.50, dan
aktivitas langsung dihentikan” dengan hasil TTV: sebelum beraktivitas TD: 130/90
mmHg N: 95 x/menit S: 37,5˚C RR: 25 x/menit, selama beraktivitas TD: 140/80 mmHg
N: 98 x/menit S: 37,5˚C
RR: 27 x/menit, setelah beraktivitas TD: 130/80 mmHg N: 94 x/menit S: 37,5˚C
RR: 26 x/menit. Tanggal 06 Juni 2018 raktivitas “Mengajarkan untuk melakukan gerakan
miring kanan dan miring kiri selama 5 menit dan tidak mengeluh bertambah sesak”
dengan hasil TTV: sebelum beraktivitas TD: 110/70 mmHg N: 71 x/menit S: 36 ˚C RR:
24 x/menit, selama beraktivitas TD: 110/90 mmH N: 73 x/menit S: 36,2 ˚C RR: 25
x/menit, setelah beraktivitas TD: 110/80 mmHg N: 80 x/menit S: 36,9 ˚C RR: 25 x/menit.
Pada partisipan 2 dilakukan pada tanggal 08 Juni 2018 dengan hasil selama tirah
baring “mengajarkan membuka dan menutup telapak tangan selama 5 menit sampai
selesai tidak mengeluh nafasnya bertambah ngongsroh” dengan hasil TTV: sebelum
beraktivitas TD: 110/80 mmHg N: 94 x/menit S: 36,7 ˚C RR: 30 x/menit, selama
beraktivitas TD: 110/90 mmHg N: 96 x/menit S: 36,7 ˚C RR: 29 x/menit, setelah
beraktivitas TD: 110/90 mmHg N: 95 x/menit S: 36,7 ˚C RR: 30 x/menit. Tanggal 09 Juni
2018 “mengajarkan menggerak – gerakkan pergelangan tangan dan kedua kaki selama 5
menit dan mengeluh ngongsroh pada detik 2.40, dan aktivitas langsung dihentikan”
dengan hasil TTV: sebelum beraktivitas TD: 120/80 mmHg N: 92 x/menit S: 37 ˚C RR:
27 x/menit, selama beraktivitas TD: 120/90 mmHg N: 95 x/menit S: 37 ˚C RR: 29
x/menit, setelah beraktivitas TD: 110/90 mmHg N: 93 x/menit S: 36,8 ˚C RR: 26 x/menit.
Tanggal 10 Juni 2018 “mengajarkan untuk melakukan gerakan miring kanan dan miring
kiri selama 5 menit dan mengeluh bertambah ngongsroh pada detik 30, dan aktivitas
langsung dihentikan” dengan hasil TTV: sebelum beraktivitas TD: 110/90 mmHg N: 94
x/menit S: 36,8 ˚C RR: 27 x/menit, selama beraktivitas TD: 110/90 mmHg N: 96 x/menit
S: 37 ˚C RR: 29 x/menit, setelah beraktivitas TD: 110/80 mmHg N: 92 x/menit S: 37 ˚C
RR: 27 x/menit.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses pembuatan keputusan sebagai alat
untuk menilai keberhasilan dari asuhan keperawatan. Dalam penelitian evaluasi dilakukan
3 x 24 jam menunjukkan bahwa level toleransi pasien meningkat setiap harinya. Pada
partisipan 1 evaluasi tanggal 04 Juni 2018 pasien mengatakan sesak nafas, keadaan
umum: Lemah, kesadaran: Composmentis, TD: 140/80 mmHg, N: 100 x/menit, S: 37,8
ºC RR: 28 x/menit, terlihat pasien bisa membuka dan menutup telapak tangan meskipun
hanya sebentar Auskultasi jantung: Suara jantung: S1 S2 tunggal, irama jantung:
Irreguler, Masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan
1,2,3,4,6. Evaluasi tanggal 05 Juni 2018 pasien mengatakan sesak nafas berkurang,
keadaan umum : Cukup, kesadaran: Composmentis, TD: 120/90 mmHg, N: 90 x/menit, S:
37,3 ºC, RR: 24 x/menit, terlihat pasien sudah bisa membuka dan menutup telapak tangan
selama 5 menit tanpa ada keluhan, Auskultasi jantung: Suara jantung: S1 S2 tunggal,
irama jantung: Irreguler, Masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi,
intervensi dilanjutkan 1-6. Evaluasi tanggal 06 Juni 2018 pasien mengatakan sesak nafas
berkurang, keadaan umum: Cukup, kesadaran: Composmentis, TD: 90/80 mmHg, N: 80
x/menit, S: 36,9 ºC, RR: 23 x/menit, pasien sudah bisa melakukan aktivitas membuka dan
menutup telapak tangan, menggerak-gerakkan kedua telapak tangan dan kaki dan
melakukan miring kanan miring kiri tanpa ada keluhan, Auskultasi jantung: Suara
jantung: S1 S2 tunggal, irama jantung: reguler, Masalah keperawatan intoleransi aktivitas
teratasi sebagian, intervensi dihentikan.
Sedangkan pada partisipan 2 evaluasi pada tanggal 08 Juni 2018 pasien
mengatakan nafasnya ngongsroh, keadaan umum: Lemah, kesadaran: Composmentis TD:
110/80 mmHg, N: 92 x/menit, S: 36,9 ºC, RR: 28x/menit, terlihat pasien bisa membuka
dan menutup telapak tangan selama 5 menit, Auskultasi jantung: Suara jantung: S1 S2
tunggal, irama jantung: Irreguler,
Masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan
1,2,3,4,6. Evaluasi pada tanggal 09 Juni 2018 pasien mengatakan ngongsroh sudah
berkurang, keadaan umum : Lemah, kesadaran : Composmentis, TD : 120/80 mmHg, N :
93 x/menit, S : 37 ºC, RR : 26x/menit, terlihat pasien sedikit bisa menggerak-gerakkan
pergelangan kaki, Auskultasi jantung : Suara jantung : S1 S2 tunggal, irama jantung :
Irreguler, Masalah keperawatan intoleransi aktivitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan
1,3,4,5,6. Evaluasi pada tanggal 10 Juni 2010 pasien mengatakan ngongsroh sudah
berkurang, keadaan umum : Cukup kesadaran : Composmentis, TD : 110/80 mmHg, N :
93 x/menit, S : 37 ºC, RR : 26x/menit, pasien sudah bisa melakukan aktivitas membuka
dan menutup telapak tangan, menggerak-gerakkan kedua telapak tangan dan kaki tanpa
ada keluhan, tapi pada saat miring kanan miring kiri pasien belum bisa melakukannya,
Auskultasi jantung : Suara jantung : S1 S2 tunggal, irama jantung : reguler, Masalah
keperawatan intoleransi aktivitas teratasi sebagian, intervensi dihentikan.

(Kasus 2) Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Stroke Non Hemoragik Di Ruang
Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Tn. S, Umur 70 tahun, Agama: Islam, Alamat: Ngawi, Pendidikan: tidak sekolah,
Pekerjaan: Tani dan Nomor Rekam Medis: 346036, Penanggung jawab: Tn. S, Umur 35
tahun (Anak Klien), Agama: Islam. Klien masuk rumah sakit melalui IGD pada tanggal 11
Juli 2012 jam 11.00 WIB dengan diagnosa medis Stroke Non Hemoragik. Klien dibawa ke
IGD RS Sragen karena mengalami penurunan kesadaran. Kemudian klien dirawat di ruang
ICU untuk mendapat perawatan yang lebih intensive. Klien di pindah ke ICU tanggal 11 Juli
jam 13.00 WIB. Pengkajian dilakukan pada tanggal 13 Juli 2012 jam 07.00 WIB.
Riwayat kesehatan pasien, Kurang lebih 3 jam SMRS (11-72012) klien mengalami
penurunan kesadaran, keluar keringat dingin, badan lemas, ekstremitas kiri lemah baik atas
maupun bawah. Lalu oleh keluarga klien langsung dibawa ke puskesmas setempat, setelah di
puskesmas klien dirujuk ke IGD RSUD Sragen. Pasien baru datang dari IGD dengan keluhan
tidak sadar sejak jam 5 pagi (11-7-2012), kurang lebih 3 jam SMRS. Keluar keringat dingin,
badan lemas, ekstremitas kiri lemah, kesadaran somnolent E3V1M4, terpasang infuse RL 20
tpm, terpasang DC, terpasang O2 nasal 3 lpm. Dengan TD: 190/110 mmHg, N: 106x/mnt,
RR: 26x/mnt, S: 36,5°C. Dari IGD klien dipindah ke ICU agar mendapatkan perawatan
intensif. Klien mendapatkan terapi infuse RL 20 tpm, O2 nasal 3 lpm, injeksi ceftriaxone 1
gram, injeksi ranitidine 25 mg. Klien terpasang NGT, DC, dan infuse. Setelah dikonsulkan
oleh dokter spesialis, klien disarankan untuk mendapatkan perawatan intensif. Lalu klien di
bawa ke ICU.
Keadaan umum klien: lemah, tanda-tanda vital: tekanan darah: 190/110mmHg, nadi 106
x/menit, suhu 36,5C, respirasi 26x/menit, SPO2 98%, akral dingin, klien terpasang DC
ukuran 18. Pemeriksaan head to toe diperoleh beberapa hasil pemeriksaan fokus di antaranya:
pemeriksaan paru inspeksi: pengembangan dada kanan kiri sama, tidak ada bekas luka, tidak
nampak penggunaan otot bantu nafas dan retraksi, palpasi: pergerakan dada simetris antara
kanan dan kiri, perkusi: sonor, auskultasi: bunyi paru terdapat ronkhi. Pemeriksaan jantung
inspeksi: ictus cordis tidak nampak, palpasi: ictus cordis teraba di line mid clavikula sinistra
intercosta ke V, perkusi: pekak seluruh lapang jantung, auskultasi: bunyi jantung reguler S1
dan S2 tanpa bunyi jantung tambahan. Pemeriksaan abdomen inspeksi: perut datar, tidak ada
jejas, tidak ada luka bekas operasi, auskultasi: peristaltik 15x/menit, perkusi: tympani,
palpasi: tidak ada pembesaran hepar, tidak ada nyeri tekan, abdomen lunak.
Hasil pemeriksaan labolatorium pada tanggal 11 Juli 2012 diperoleh hasil: nilai
Hemoglobin 14,1 gr/dl (13-16), Leokosit 19,5 ribu/ul (4-12 ribu/ul), Eritrosit 43,81 juta/ul,
Hematokrit 39,9 % (36-47 %), Trombosit 447 ribu/ul (150-400 ribu/ul), Kreatinin 1,3 mg/dl,
Ureum 35,3 mg/dl.
Hasil pemeriksaan EKG pada tanggal 11 Juli 2012 diperoleh hasil: normal, tidak ada
iskemik maupun AMI. Klien dirawat di ICU mulai tanggal 11 Juli 2012 jam 11.00 WIB.
Penulis melakukan pengkajian dimulai pada tanggal 13 Juli 2012 jam 07.00 WIB. Diagnosa
yang muncul pada klien pada hari pertama antara lain:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan produksi secret.
Diagnosa tersebut muncul didukung data bahwa terdapat bunyi paru tambahan ronchi,
nampak penumpukan sekret pada mulut klien berwarna putih kekuningan, RR: 30x/menit.
Intervensi keperawatan untuk diagnosa bersihan jalan nafas yaitu setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan jalan nafas bersih dengan kriteria hasil
suara nafas normal dan irama nafas teratur. Intervensi keperawatannya adalah: buka jalan
nafas, posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi, lakukan fisioterapi dada bila perlu,
keluarkan sekret dengan suction, auskultasi suara nafas, monitor respirasi dan O2.
Implementasi yang dilaksanakan penulis antara lain melakukan oral hygiene dan
melakukan suction. Evaluasi dari diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif adalah jalan
nafas bersih, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan, mulut bersih, tidak
terdapat sekret, RR: 24x/menit. Dapat disimpulkan bahwa masalah bersihan jalan nafas
teratasi.
2. Gangguan perfusi cerebral berhubungan dengan penurunan aliran darah cerebral karena
adanya iskemik infark.
Diagnosa tersebut muncul didukung data bahwa keluarga mengatakan tangan dan kaki
klien tidak dapat digerakkan, GCS E3 V1 M4, kesadaran sopor, TD: 180/120 mmHg, RR:
26x/menit, N: 120x/menit, S: 36,5°C. Intervensi keperawatan untuk diagnosa gangguan
perfusi cerebral yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
gangguan perfusi cerebral dapat diatasi dengan kriteria hasil TTV dalam batas normal,
perfusi cerebral adekuat. Intervensi keperawatannya adalah: monitor frekuensi dan irama
jantung, observasi perubahan status mental, observasi warna kulit/membran mukosa,
pantau pemberian oksigen.
Implementasi yang dilaksanakan penulis antara lain mengukur TTV, mengkaji
keadaan umum klien mengkaji GCS, mengkaji pemberian oksigen. Evaluasi dari diagnosa
gangguan perfusi serebral adalah keadaan umum klien lemah, kesadaran sopor, GCS E3
V1 M4, ekstremitas sebelah kiri lemah, TD: 160/100 mmHg, N: 115x/menit, RR:
24x/menit, S: 37°C. Dapat disimpulkan bahwa masalah gangguan perfusi serebral teratasi
sebagian.
3. Kerusakan mobilitas fisik di tempat tidur berhubungan dengan penurunan kesadaran
Diagnosa tersebut muncul didukung data bahwa keluarga mengatakan tangan dan kaki
klien sebelah kiri tidak dapat digerakkan,keadaan umum lemah, GCS E3 V1 M4,
kekuatan tonus otot ekstremitas atas kanan 4, kiri 1, ekstremitas bawah kanan 4, kiri 1.
Intervensi keperawatan untuk gangguan mobilitas fisik yaitu setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan sendi klien tidak kaku, tidak terjadi atropi,
klien bisa menggerakkan anggota badannya.
Intervensi keperawatannya adalah: kaji keadaan umum klien, kaji GCS klien, kaji
TTV, kaji kekuatan otot klien, kaji kemampuan ROM klien, lakukan latihan ROM aktif
dan pasif, lakukan perubahan posisi setiap 2 jam. Implementasi yang dilaksanakan
penulis antara lainmengganti posisi klien setiap 2 jam, melatih ROM pasif, memberikan
posisi yang nyaman. Evaluasi dari diagnosa gangguan mobilitas fisik adalah keadaan
umum klien lemah, kesadaran sopor, GCS E3 V1 M4, ekstremitas sebelah kiri lemah,
klien bisa dilakuakan ROM pasif, tidak ada tandatanda decubitus. Dapat disimpulkan
bahwa masalah gangguan mobilitas fisik teratasi sebagian.
4. Defisit selfcare berhubungan dengan kerusakan fisik dan motoric
Diagnosa tersebut muncul didukung data bahwa keluarga mengatakan kebutuhan
klien dalam perawatan diri dilakukan oleh keluarga, keadaan umum lemah, GCS E3 V1
M4, kesadaran sopor, klien terjadi hemiparase pada ekstremitas kiri, klien memerlukan
bantuan ADL dengan score 0 ketergantungan total). Intervensi keperawatan untuk defisit
selfcare yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kebutuhan ADL klien terpenuhi dengan kriteria hasil klien bersih, klien tidak bau, baju
dan tempat tidur klien bersih. Intervensi keperawatannya adalah: kaji kemampuan klien
untuk melakukan perawatan diri secara mandiri, mandikan klien 2x sehari, ganti baju
klien setiap hari, banru klien dalam pemenuhan nutrisi.
Implementasi yang dilaksanakan penulis antara lain memandikan klien setiap pagi dan
sore, mengganti baju klien setiap hari, memberikan lotion atau bedak pada punggung
klien. Evaluasi dari diagnosa defisit self care adalah klien bersih, klien tidak bau, baju
klien bersih, tempat tidur klien bersih. Dapat disimpulkan bahwa masalah defisit selfcare
teratasi.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh primer menurun
Diagnosa tersebut muncul didukung data bahwa suhu klien 39°C, leukosit klien
meningkat, klien terpasang alat-alat invasive seperti NGT, DC, dan infus. Intervensi
keperawatan untuk resiko infeksi yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil tidak ada tandatanda
infeksi, tanda-tanda vital dalam batas normal, status imun klien adekuat, leukosit dalam
batas normal.
Intervensi keperawatannya adalah: Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain,
instruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan sesudahnya, gunakan
sabun antiseptik untuk cuci tangan, lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan, gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung, berikan antibiotik
sesuai program, monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal, monitor hitung
leukosit, pertahankan aseptik dalam setiap tindakan, inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas. Evaluasi dari diagnosa resiko infeksi adalah adalah suhu
klien 37° C, tidak ada tanda-tanda infeksi. Dapat disimpulkan bahwa masalah resiko
infeksi teratasi sebagian.
Evaluasi dari setiap diagnosa yang muncul adalah sebagai berikut, bersihan jalan nafas
tidak efektif diperoleh masalah teratasi sebagian, gangguan perfusi serebral diperoleh
masalah teratasi sebagian, kerusakan mobilitas fisik di tempat tidur diperoleh masalah teratasi
sebagian, defisit selfcare diperoleh masalah teratasi sebagian, dan resiko infeksi diperoleh
masalah teratasi sebagian
(Kasus 3) Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi
Pengkajian awal pada hari kamis tanggal 20 februari 2020 pukul 14.00 WIB didapatkan
hasil bahwa adanya penurunan kesadaran (sopor) dengan GCS E2 M2 VETT, Terpasang O2
Ventilator mode SIMV, PEEP/CPAP= 5, Nafas mesin = 10, Tidal Volume 500 ml, FiO2=
60%, TD= 96/64 mmHg, HR= 119 x/menit, Suhu 36 C, RR= 20 x/menit, SaO2= 99%.
Terdapat suara nafas tambahan (Ronkhi) saat di Auskultasi pada paru, Pasien tampak
kesulitan berbicara, pasien tampak tidak batuk, Ph darah arteri 7.270, PCO2= 52.1 mmHg,
BE= -4 mmol/L, SaO2/SPO2 = 99%, Pasien tampak terpasang alat pernafasan ventilasi
mekanik, Pasien tampak terpasang alat bedsite monitor.
Penulis melakukan pengkajian dengan metode auto anamnesa dan observasi, pasien
bernama Ny.S berumur 63 tahun, beragama islam, pendidikan terakhir SD, dan pekerjaan
Ny.S sebagai Ibu rumah tangga. Ny.S tinggal di Kedungjati, Grobogan. Menurut pemeriksaan
dokter G, Ny.S di diagnosa medis gagal nafas dengan penyakit stroke non hemoragik. Ny.S
di bawa ke IGD RSUD Salatiga oleh anaknya yang bernama Tn.S, umur 53 tahun,
pendidikan terakhir SLTA, dengan pekerjaan Wiraswasta, yang bertempat tinggal di
Kedungjati, Grobogan.
Pengkajian fokus didapatkan hasil Breathing: Memakai ET No 7,5 dengan ventilator
mode SIMV, PEEP/CPAP= 5, Nafas mesin= 10, tidal volume 500 ml, fiO2 =60 %, nafas
pasien= 20 x/menit. Blood; HR (Heart Rate) = 119 x/menit, irama jantung sinus takikardia,
tekanan darah 96/64 mmHg, capillary refill time >3 detikk (sianosis), akral hangat, suhu
tubuh 36 C, terdapat sianosis di kuku tangan dan kaki (warna kebiru-biruan). Brain;
Kesadaran sopor, GCS E2 M2 VETT , ukuran pupil 3mm/3mm, pupil isokor, reflek terhadap
cahaya +/+. Blader; Terpasang DC (catether urine) di ICU sejak pada tanggal 17 Februari
2020 observasi output urine hari ke empat selama 8 jam di ICU berjumlah 350 cc, warna
urine kuning keruh. Bowel; Mukosa bibir kering, lidah kotor, tidak menggunakan gigi palsu,
bising usus 10 x/menit, muntah (-), konstipasi (-), terpasang NGT. Bone; Turgor kulit jelek,
kulit pasien tampak kering, terdapat ulkus dekubitus, kekuatan otot ka/ki pasif, tidak ada
kelainan bentuk tulang, tidak ada fraktur, perdarahan kulit (-).
Berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan penulis pada Ny.S mengalami
penurunan kesadaran(sopor), Data obyektif pasien terdapat suara nafas tambahan (ronkhi)
saat di auskultasi pada paru, pasien kesulitan berbicara, pasien tampak tidak batuk.
Berdasarkan kasus yang dialami Ny.S didapatkan masalah keperawatan bersihan jalan
nafas tidak efektif. Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan membersihkan
secret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2016).
Gejala dan tanda mayor subjektif (tidak tersedia), sedangkan objektif yaitu betuk tidak
efektif atau tidak mampu batuk, sputum berlebih/ obstruksi dijalan napas, mengi, wheezing
dan atau/ronkhi. Gejala dan tanda minor subjektif meliputi dipsnea, sulit bicara, ortopnea,
sedangkan objektif meliputi gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,
pola napas berubah.
Berdasarkan fokus diagnosis utama yang diambil oleh penulis adalah bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan dibuktikan dengan batuk tidak efektif
atau tidak mampu batuk, sputum berlebih/obstruksi dijalan nafas, mengi, wheezing dan/atau
ronkhi, dipsnea, gelisah (D.0001). Maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan
tujuan perencanaan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x8 jam,
diharapkan masalah bersihan jalan nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil meliputi pasien
produksi sputum menurun, sianosis menurun (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018). Intervensi
yang di buat penulis berdasarkan diagnosis keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif.
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut, kemudian penulis menyusun intervensi
keperawatan berdasarkan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) yaitu; Monitor
bunyi napas tambahan (misalnya gurgling, mengi, wheezing, ronkhi), Lakukan
hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal, Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, Jika
tidak kontraindikasi, Kolaborasi pemberian bronkodilator ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Berdasarkan intervensi yang telah direncanakan, penulis melakukan implementasi pada
diagnosis keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk, sputum
berlebih/obstruksi dijalan nafas, mengi, wheezing dan/atau ronkhi, dispnea, gelisah (D.0001)
yang dilaksanakan 3 hari. Pada hari pertama tanggal 20 Februari 2020 pada pukul 14.20 WIB
dilakukan tindakan memonitor bunyi napas tambahan. Terdapat suara nafas
tambahan(ronkhi) saat di auskultasi pada paru. Pada pukul 15.00 WIB melakukan
hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal. Pasien tampak produksi secret berlebih,
pasien tampak tidak dapat batuk, pasien tampak terpasang ventilator mekanik, SPO2 97%.
Pada hari kedua tanggal 21 Februari 2020 pada pukul 14.10 WIB memonitor bunyi napas
tambahan. Terdapat suara nafas tambahan (ronkhi) saat di auskultasi pada paru, pasien
tampak terpasang alat bantu pernafasan ventilator mekanik. Pada pukul 15.10 WIB
melakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal. Pasien tampak produksi secret
berlebih, pasien tampak tidak dapat batuk, pasien tampak terpasang alat ventilator mekanik,
SPO2 98%. Pada hari ketiga tanggal 22 Februari 2020 pada pukul 21.30 WIB memonitor
bunyi nafas tambahan. Terdapat suara nafas tambahan(ronkhi) saat di auskultasi pada paru.
Pada pukul 05.45 WIB melakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal. Pasien
tampak produksi secret berlebih, pasien tampak tidak dapat batuk, pasien tampak terpasang
alat ventilator mekanik, SPO2 96%, Pasien tampak sianosis di kuku tangan dan kaki (warna
kebiru-biruan).
Berdasarkan keluhan Ny.S, menurut penulis pemberian hiperoksigenasi satu menit pada
proses suction terhadap saturasi oksigen (SPO2) pasien terpasang ventilator. Menurut
Kozier&Erb (2012) hiperoksigenasi adalah pemberian oksigen konsentrasi tinggi (100%)
yang bertujuan untuk menghindari hipoksemia akibat suction. hiperoksigenasi merupakan
teknik yang terbaik untuk menghindari hipoksemia akibat suction. dengan demikian, semua
prosedur suction, tindakan hiperoksigenasi harus dilaksanakan.
Dari tindakan yang sudah dilakukan diatas sesuai dengan teori yang ada dapat
mempengaruhi kondisi pasien selama 3 hari perawatan yang diberikan oleh penulis yaitu
terdapat perbandingan nilai SPO2 sebelum dan setelah tindakan pemberian hiperoksigenasi
pada proses suction.
Hasil evaluasi pada diagnosis keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan spasme jalan nafas dibuktikan dengan batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk,
sputum berlebih/obstruksi dijalan napas, mengi, wheezing dan/atau ronkhi, dispnea, gelisah
(D.0001) yang dilakukan pada Ny.S pada hari pertama tanggal 20 Februari 2020 adalah S:- ,
O: SaO2 pasien tampak sebelum dilakukan tindakan hiperoksigenasi pada proses suction
97%, SaO2 pasien tampak setelah dilakukan tindakan hiperoksigenasi pada proses suction
99%, pasien tampak produksi secret berlebih, pasien tampak terpasang alat ventilator
mekanik, terdapat suara nafas tambahan (ronkhi) saat di Auskultasi pada paru. A: Masalah
bersihan jalan nafas teratasi sebagian. P: Lanjutkan Intervensi; monitor bunyi nafas
tambahan, lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal.
Evaluasi hari kedua pada tanggal 21 Februari 2020 adalah S: -, O: SaO2 pasien tampak
sebelum dilakukan tindakan hiperoksigenasi pada proses suction 98%, SaO2 pasien tampak
setelah dilakukan tindakan hiperoksigenasi pada proses suction 99%, pasien tampak produksi
secret berlebih, pasien tampak terdapat suara nafas tambahan (ronkhi) saat di asukultasi pada
paru, pasien tampak terpasang alat bantu pernafasan ventilator mekanik. A: Masalah bersihan
jalan nafas teratasi sebagian. P: Lanjutkan Intervensi ; monitor bunyi nafas tambahan,
lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal.
Pada evaluasi hari ketiga pada tanggal 22 Februari 2020 adalah S: -, O: Terdapat suara
nafas tambahan (ronkhi) saat di asukultasi pada paru, SaO2 pasien tampak sebelum dilakukan
tindakan hiperoksigenasi pada proses suction 96%, SaO2 pasien tampak setelah dilakukan
tindakan hiperoksigenasi pada proses suction 99%, pasien tampak produksi secret berlebih,
pasien tampak terpasang alat bantu pernafasan ventilator mekanik, Pasien tampak sianosis di
kuku tangan dan kaki (warna kebiru-biruan). A: Masalah bersihan jalan nafas teratasi
sebagian. P: Lanjutkan Intervensi; monitor bunyi nafas tambahan, lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan endotrakeal.

REFERENSI
Arina, Zeni. (2018). Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Gagal Jantung Dengan
Intoleransi Aktivitas Di Ruang Kemuning Rsud Jombang. Laporan Tugas
Akhir. http://103.38.103.27/repository/index.php/PUB-
KEP/article/download/1043/840 (Kasus 1)
Rachman, Erna Wijayanti. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Stroke Non
Hemoragik Di Ruang Intensive Care Unit (Icu) Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Laporan Tugas Akhir.
http://eprints.ums.ac.id/21986/16/Naskah_Publikasi.pdf (Kasus 2)
Paramitha, Risma. (2020). Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigenasi. Laporan Tugas Akhir.
http://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/1384/1/P17A%20NASKAH
%20PUBLIKASI_RISMA%20PARAMITHA_P17040.pdf (Kasus 3)

Anda mungkin juga menyukai