Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

MIODYSPLASIA

Oleh :
IIS INTAN LESTARI
P17320120509

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN BANDUNG
POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
2021
A. Pengertian Myelodisplastic Syndrome
Myelodisplastic syndrome (MDS), adalah kelompok penyakit clonal
hematopoietic stem cell yang terdapat adanya keabnormalan differensiasi dan
maturasi dari sumsum tulang, yang membawa pada kegagalan sumsum tulang dengan
sitopenia, disfungsi elemen darah, dan kemungkinan terjadi komplikasi leukemia.
Kegagalan sumsum tulang biasanya hiperselular dan normoselular, walaupun begitu
MDS dapat ditemukan dengan hiposelular. Penting untuk membedakan MDS
hiposelular dengan anemia aplastik untuk menentukan manajemen dan prognosisnya.
Yang membedakan MDS hiposelular adalah adanya abnormalitas clonal cytogenetic
yaitu adanya abnormalitas pada tangan kromosom. Pada MDS juga mungkin
ditemukan adanya cincin sideroblas (akumulasi besi pada mitokondria), (Lestari and
Sutirta, 2014).
MDS hampir sama dengan anemia aplastic, perbedaannya, pada MDS sel
darah yang belum dewasa tidak dapat bertahan lama dan lebih cepat mati pada saat
masih berada di sumsum tulang belakang. Seseorang dengan penyakit ini lebih mudah
merasa lelah, lebih mudah terkena infeksi, mengalami pendarahan, dan lebih mudah
mengalami luka memar. MDS juga dapat berkontribusi menyebabkan acute
myelogenous leukemia (AML), sehingga sering juga disebut dengan penyakit pre-
leukemia.
B. Klasifikasi
Beberapa jenis sindrom mielodispastik menurut Barbara, 2014:
1. Anemia refraktori: anemia tanpa adanya peningkatan sel blast.
2. Sitopenia refraktori: neutropenia atau trombositopenia tanpa adanya
peningkatan sel blast.
3. Anemia refraktori dengan cincin sideroblast: anemia sideroblast tanpa adanya
peningkatan sel blast.
4. Sitopenia refraktori dengan dysplasia multigalur: anemia atau sitopenia
dengan dysplasia lebih dari satu galur tanpa adanya peningkatan sel blast.
5. Anemia refraktori dengan sel blast berlebihhan: anemia dan displasia dengan
peningkatan sel blast didarah dan disusum tulang.
6. MDS dengan sel (5)(q) terisolasi: anemia refraktori dengan atau tanpa cincin
sideroblast tanpa peninngkatan sel blast.
7. MDS terkait terapi: MDS dalam kemoterapi sititoksik atau irradiasi.

C. Etiologi
1. Penyebab MDS
Penyebab MDS tidak diketahui, tetapi studi menunjukkan, bahwa ada faktor-faktor
risiko tertentu, terkait dengan terjadinya penyakit.
2. Faktor-faktor risiko sindrom myelodysplastic
Faktor-faktor lain, bahwa mungkin meningkatkan kemungkinan mengembangkan
MDS termasuk:
 Kehadiran anggota keluarga dengan MDS;
 Sindrom genetik tertentu:
 Sindrom Down:
 Fanconi Anemia;
 Neutropenia bawaan;
 Riwayat Keluarga gangguan trombosit;
 Paparan dosis besar radiasi;
 Paparan bahan kimia tertentu, seperti benzena;
 Dampak dari pestisida;
 Terapi radiasi atau kemoterapi untuk pengobatan kanker;
 Merokok.
D. Manifestasi klinis
Ciri umum yang bisa ditemukan pada MDS ini adalah turunya kadar HB atau
trombosit atau bahkan leukosit serta eritrosit yang terkadang jauh melampaui jumlah
normalnya. Namun untuk lebih memastikan seseorang terkena MDS atau bukan
haruslah melalui pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP), dimana pada
pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan kelainan bentuk sel serta perubahan
perubahan pada eritrosit dan neutrophil.
A. Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klonal mendominasi disumsum tulang, menekan sel
induk sehat. Mutasi klonal dapat terjadi akibat predisposisi genetik atau dari
kerusakan sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh paparan terhadap salah satu
dari berikut ini: kemoterapi sitotoksik, radiasi, infeksi virus, bahan kimia genotoksik
(misalnya benzena). MDS dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder
terhadap penanganan kanker lain yang agresif, dengan paparan radiasi, agen alkilasi,
atau inhibitor topoisomerase II; Hal ini juga terjadi pada pasien dengan transplantasi
sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS, penyebab utama sitopeni adalah
peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Seiring perkembangan penyakit dan
berubah menjadi leukemia, mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan proliferasi sel
leukemia menguasai sumsum sehat.
B. Pemeriksaan Penunjang
Diperkenalkan pada tahun 1997, IPSS diciptakan untuk menerjemahkan risiko
pengembangan penyakit pasien dari deskripsi yang luas ke dalam standar objektif.
IPSS mengidentifikasi tiga faktor penyakit pasien berikut:
1. The percentage of marrow leukemic blast cells (blasts).
2. The type of chromosomal changes, if any, in the marrow cells (cytogenetics).
3. The presence of one or more cytopenias (decrease in the number of cells circulating
in the blood)
Diagnosis Diferensial yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis differensial
adalah penyakit lain yang memiliki gejala pansitopenia. Penyakit yang memiliki
gejala pansitopenia adalah fanconi’s anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
(PNH), myelodysplastic syndrome (MDS), myelofibrosis, aleukemic leukemia, dan
pure red cell aplasia. Pemeriksaan sumsum tulang belakang (BMP) dilakukan untuk
mendiagnosa suatu penyakit yang berhubugan dengan kelaian sumsum tulang.
C. Penatalaksanaan
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Tetapi
sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak jelas atau
idiopatik.
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yaitu: (1) anemia, (2) neutropenia, dan (3)
trombositopenia.
1. Pada anemia. Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin
kurang dari 7g/dl, berikan sampai hb 9-10 g/dl1. Pada pasien yang lebih muda
mempunyai toleransi kadar hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien yang lebih
tua kadar hemoglobin dijaga diatas 8g/dl4.
2. Pada neutropenia. Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur, fokus
dalam menjaga perawatan higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang sering. Jika
terjadi infeksi maka identifikasi sumbernya, serta berikan antibiotik spektrum luas
sebelum mendapatkan kultur untuk mengetahui bakteri gram positif atau negatif.
Tranfusi granulosit diberikan pada keadaan sepsis berat kuman gram negatif,
dengan netropenia berat yang tidak memberikan respon terhadap pemberian
antibiotik.
3. Pada trombositopenia. Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika
terdapat pendarahan aktif atau trombosit kurang dari <20.000/mm.
Terapi jangka panjang terdiri dari: (1) Terapi imunosupresif, dan (2) terapi
transplantasi sumsum tulang.
1. Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi
pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi
imunosupresif direkomendasikan pada pasien: (a) lebih tua dari 40 tahun,
walaupun rekomendasi berdasarkan dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak mampu
mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena masalah penyakit atau usia tua,
(c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi tranplantasi sumsum
tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang sesuai, dan (e) memilih terapi
imunosupresif setelah menimbang faktor resiko dan manfaat dari semua pilihan
terapi.
2. Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline (ALG)
atau anti thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang bertujuan
untuk menekan proses imunologik. ALG dapat bekerja meningkatkan pelepasan
haemopoetic growth factor. Sekitar 40%70% dari kasus memberi respon terhadap
pemberian ALG. Terapi ATG dapat menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien
mengalami demam, athralgia, dan skin rash sehingga sering diberikan bersamaan
dengan kortikosteroid. Siklosporin menghambat produksi interleukin-2 oleh sel-T
serta menghambat ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien yang
diterapi dengan siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat dapat
menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi hubungan
interaksi dengan obat lainnya.
Adapun pengobatan pada MDS ini umumnya hanya sebatas mengatasi gejala
gejala yang timbul saja seperti tranfusi darah jika kadar hb anjlog, juga tranfusi
trombosit jika kadarnya juga turun. Namun pada tingkat lanjut pengobatan bisa
dengan menggunakan sitostatika jenis Dacogen, Lenalidomide oral atau Hydroxyurea
(Hydrea). Menjaga pola hidup sehat dengan memperbaiki pola makan serta tidak
terlalu banyak melakukan aktifitas aktifitas yang berat konon dapat menyembuhkan
penyakit ini atau minimal menjaga penyakit ini agar tidak berkembang menjadi
leukemia akut.
D. Pathway

Parparan zat kimia, (benzana). Paparan


radiasi, idiopatik, genetic tertentu, radiasi dan
kemoterapi, merokok

kerusakan sel induk


hematopoietic, sell stem.

Mutasi klonal pada


sumsum tulang

Sel darah dewasa


tidak dapat bertahan,
Lebih cepat mati saat
masih berada
disumsum tulang

Myelodisplastic
syndrome (MDS)

Komposisi darah
jauh dibawah
normal

Trombosit rendah, Leukosit dibawah normal Intolerance terhadap


(trombositopenia) aktifitas

Resiko perdarahan Resiko infeksi Intolerance activity


E. Masalah Keperawatan

Diagnosa NOC Intervensi (NIC)


Resiko NOC: NIC: Bleeding precaution
perdarahan Blood lose severity 1. Monitor ketat tanda-
Blood koagulation tanda perdarahan
2. Catat dan monitor nilai
Setelah dilakukan tindakan HB dan HT secara
keperawatan selama 3x24 jam kontinu
diharapkan pasien dapat mengontrol 3. Monitor nilai lab PT,
perdarahan dan meningkatkan kadar PTT, Trombosit.
trombosit, dengan kriteria hasil: 4. Monitor TTV.
5. Kolaborasi dengan
Indikator Awal Tujuan pemberian produk darah.
Tidak ada 6. Identifikasi penyebab
hematuri dan perdarahan.
hematemesis 7. Monitor intake dan
Kehilangan darah
output cairan
yang terlihat
Haemoglobin dan 8. Lakukan manual
hematokrit dalam pressure (tekan) pada
batas normal area perdarahan.
Plasma, 9. batasi aktifitas pasien.
trombosit dalam
batas normal

Intoleransi NOC: Activity tolerance NIC: Activity therapy


aktifitas 1. Kolaborasi dengan tim
Setelah dilakukan tindakan kesehatan lain untuk
keperawatan selama 3x24 jam merencanakan terapi
diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas yang sesuai.
aktifitas yang sesuai dengan 2. monitoring program
penyakitnya, dengan kriteria hasil aktivitasi klien.
sebagai berikut: 3. Bantu klien memilih
aktivitas yang sesuai
Indikator Awal Tujuan dengan kondisi.
Status
cardiopulmonal Energy Management
Level
1. Tentukan pembatasan
ketidaknyamanan
Penghematan aktivitas fisik pada klien
Energy 2. Monitor efek dari
Level lelah pengobatan klien.
Status perawatan
3. Monitor intake nutrisi
diri
Istirahat yang adekuat sebagai
sumber energy.
4. Anjurkan klien dan
keluarga untuk mengenali
tanda dan gejala
kelelahan saat aktivitas.
5. Anjurkan klien untuk
membatasi aktivitas yang
cukup berat.

Risiko infeksi NOC: NIC: Infection control


Immune Status 1. Ganti peralatan
Knowledge : Infection control perawatan per pasien
Risk control sesuai protocol.
2. Tingkatkan intake
Setelah dilakukan tindakan nutrisi yang tepat.
keperawatan selama 3x24 jam 3. Dorong intake cairan
diharapkan pasien mampu mengenal yang sesuai.
tanda-tanda infeksi dan mengontrol 4. Dorong untuk
atau mencegah terjadinya infeksi, beristirahat.
dengan kriteria hasil: 5. Ajarkan pasien dan
keluarga mengenai
Indikator Awal Tujuan tanda dan gejala
Mencari infeksi dan kapan
informasi terkait harus melaporkan
control infeksi kepada penyedia
Mengidentifikasi
perawatan kesehatan.
faktor risiko
6. Ajarkan pasien dan
infeksi
Mengidentifikasi anggota keluarga
tanda dan gejala mengenai hubungan
infeksi bagaimana
Memonitor faktor menghindari infeksi.
lingkungan yang
berhubungan
dengan risiko
infeksi
Mempertahankan
lingkungan yang
bersih
Mengebangkan
strategi efektif
untuk mengontrol
infeksi
Mempraktikan
strategi untuk
mengontrol
infeksi
Monitor
perubahan status
kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6th Edition. Missouri:Elseiver


Mosby
Herdman T.H and Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing Diagnosis, Definition
and Clasification 2015-2017. EGC. Jakarta
Jane Bain, Barbara. (2014). Hematologi: Kurikulum inti. Barbara Jane Bain; Alih Bahasa,
Anggraini Iriani, dkk. Jakarta: EGC.
Moorhead, S. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of Health
Outcomes.5th Edition. Missouri: Elsevier Saunder
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC
Thaha,Wiradewi, L.AA,Sutirta, Y. (2014). Diagnosis, Diagnosis Differensial dan
Penatalaksanaan Immunosupresif dan Terapi Sumsum Tulang pada Pasien Anemia
Aplastik. Sanglah Denpasar: Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.
What are the key statistics about myelodysplastic syndromes? American Cancer Society.
Available.
at http://www.cancer.org/cancer/myelodysplasticsyndrome/detailedguide/myelodysplasticsyn
dromes-key-statistics. Accessed: Mei, 23. 2017

Anda mungkin juga menyukai