Anda di halaman 1dari 16

Ulasan Tentang Landasan Fisis Anisoropi Magnetik Pada Batuan

Oleh

Ni Komang Tri Suandayani SSi, MSi

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2015
Lembar Pengesahan

Ulasan Tentangg Landasan Fisis Anisotropi Magnetik Pada Batuan

Mengetahui Penulis

Dekan Fakultas MIPA UNUD

Drs Ida Bagus Made Suaskara, MSi Ni Komang Tri Suandayani, SSi.MSi

NIP : 196606111997021001 NIP :19701712199903200


DAFTAR ISI

ISI HALAMAN

HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

ABSTRAK iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II ENERGI MAGNETIK DARI SISTEM PARTIKEL 3

BAB III ANISOTROPI MAGNETIK PADA BATUAN 7

3.1 FormulasiDan Pengukuran Anisotropi magnetik 9

BAB IV PENUTUP 10

DAFTAR PUSTAKA
ULASAN TENTANG LANDASAN FISIS ANISOTROPI MAGNETIK PADA BATUAN

Tri Suandayani

Jurusan Fisika Universitas Udayana

ABSTRAK

Anisotropi magneik telah menjadi sebuah topik yang menonjol dalam kajian sifat magnetik
batuan. Pada makalah ini diulas tentang bagaimana batuan dapat bersifat anisotropi secara
magnetik. Ulasan dimulai dengan melihat kembali energi magnetik dari system partikel,
termasuk jenis-jenis energi yang terkait dengan kemagnetan. Selanjutnya akan dijelaskan
kerumitan dari anisotropi magnetik pada batuan khususnya bagi sedimen dan batuan beku.
Ulasan diakhiri dengan formulasi formal dari anisotropi magnetik yang diturunkan dari besaran
suseptibilitas magnetik.
I. PENDAHULUAN

Diantara sekian banyak pokok bahasan dalam kajian magnetik batuan(rock-


magnetism),kajian tentang anisotropi magnetik merupakan salah satu topik yang menonjol
dan berkembang dengan sangat pesat. Anisotropi adalah variasi sifat fisis terhadap arah
pengukurannya. Pada medium anisotropis, suatu parameter fisis x mempunyai harga yang
berbeda jika parameter tersebut diukur pada dua orientasi yang berbeda. Sementara itu,pada
medium yang bersifat isotropis, parameter fisis x akan bernilai sama pada semua arah atau
orientasi pengukuran. Dalam beberapa tahun terakhir , kajian tentang anisotropi dari
suseptibilitas magnetic (AMS, anisotropy of magnetic susceptibility) menjad sangat berperan
sebagai metode tidak merusak (non- destructive method) yang cepat dan efektif untuk
menentukan fabric (struktur dan tekstur) batuan dan karenanya telah digunakan sec Pada
tahun 1993, tara meluas dalam berbagai masalah geologi dan geofisika. Kajian anisotropi
magnetic memungkinkan kita untuk merekontruksi struktur dan tekstur magnetik dari suatu
batuan yang dipengaruhi oleh seluruh fraksi-fraksi mineral yang membentuk batuan tersebut.

Pentingnya peran anisotropi magnetik dalam ilmu kebumian sudah diprediksi sejak lama
(Graham, 1954). Metodologi pengukuran anisotropi magnetik kemudian diperkenalkan oleh
Girdler (lihat Gridler,1961a, Gridler 1961b). Sejakitu, pengukuran anisotropi magnetik,
khusunya AMS , dilakukan secara meluas dalamberbagai kasus melingkupi hamper semua
jenis batuan. Hubungan antara anisotropi magnetik dan fabrik magnetik diformalkan oleh
Jelinek (1981) sementara hubungan antara anisotropi magnetik strain (regangan) dan struktur
serta serat batuan diperkenalkan oleh Borradaile (19880.

Jika pada masa sebelumnya magnetik anisotropi selalu diidentikkan dengan AMS, maka
pada tahun 1985 diperkrnalkan salah satu bentuk lain dari anisotropi magnetik, yaitu AAR
atau anisotropy of anhysteretic remanence (McCabe dkk, 1985). Pada tahun 1993, terbitlah
sebuah buku khusunya tentang anisotropi magnetic yang membahas aspek-aspek
fundamental serta penerapan dari anisotropi magnetik (lihat Tarling dan Hrouda, 1993). Pada
decade yang sama, statistic data anisotropi telah dikaji melalui metoda Monte-Carlo oleh
Lienert (19991) dan melalui pendekatan Bootstrap oleh Tauxe dkk. (1991). Metoda inversi
juga telah digunaka dalam pengolahan data paleomagnetik (Knusden dkk, 2003). Dari sisi
pemodelan, Housen dkk (1993) membuat sebuah model numerik dari anisotropi dari fabric
batuan, sementara Canon-Tapia (1996) membuat model anisotropi magnetik dengan
membandingkan antara anisotropi akibat bulir tunnggal (single grain) yang bersifat
anisotropic dan anisotropi akibat distribusi mineral magnetik yang anisotropik.
Pada sisi lain, penelitian tentang anisotropi magnetik dan anisotropi permeabilitas terus
berlanjut hingga saat ini. Selain topik-topik yang berhubungan dengan pemkaian aau aplikasi
anisoropi magnetik, beberapa topik fundamental masih giat diteliti. Hubungan antara fabric
batuan, deformasi dengan anisotropi dibahas pada Borradaile (2001), Borrdaile dan Gauthier
(2001) serta Pares dan van der Pluijm (2002). Topik fundamental lain adalah bagaimana
membedakan kontribusi magetik anisotropi dari kompoen-komponen mineral yang bersifat
diamagetik, paramagnetic dan ferimagnetik (lihat Hernadez dan Hirt, 2004; Kelso dkk.,2002;
Hrouda, 2002; Hroouda dkk, 2000). Sementara itu hubungan antara anisotropi magnetik
dengan bentuk-bentuk anisotropi lain pada batuan (contohnya anisotropi permeabillitas dan
anisotropi seismik) juga telah mulai dikaji (lihat Benson dkk., 2003).

Pada makalah ini akan dipaparkan landasa fisis yang menyebabkan terjadinya anisotropi
magnetik pada batuan. Pemahman yang menyeluruh tentang aspek fisis dari anisotropi
magnetik diharapkan dapat mendorong pengembangannya dalam berbagai bidang.
II. ENERGI MAGNETIK DARI SISTIM PARTIKEL

Pembahasan yang paling mendasar tentang anisotropi magnetik harus dimulai dari
konsep energi yang brhubungan denga medan magnetik. Sebagaimana sebuah titik massa
mempunyai energi potensial jika ditempatkan pada medan gaya berat (gravitasi) akibat massa
yang lain (mislanya Bumi), maka sebuah momen magnetik juga akan mempunyai energi
potensial jika ditempatkan pada medan magnetic. Rapat energi interaksi magnetostatik atau
magnetostatic interacon energy density (Eh) dinyatakan sebagai:

Eh = M ∙ B (1)

dan memiliki nilai minimum saat magnetasi M searah dengan medan magnetik B. Energi
inilah yang menggerakkan jarum kompas untuk mencari keadaan energi yang minimum
dengan menyearahkannya denga medan magnetik Bumi.

Sementara itu, sifat ferromagnetik pada sejumlah kristal mucul karena alasan mekanika
kuantum. Pada kristal-kristal ini, elektron-elektron pada orbit-orbit yang bersebelahan
mengatur keadaan spinnya sedemikian sehingga mereka tidak menempati orbit yang sama
dengan elektron yang mempunyai spin yang sama (sesuai dengan prinsip Pauli). Karenanya
spin-spin elektronik pada kristal-kristal tersebut terkoordinasi berarah pararel atau antipararel
sesuai dengan rincian dari interaksi. Rapat energi pertukaran atau exchange energy dinsety
(Ee) ini adalah sumber dari magnetisasi spontan. Untuk setiap pasanngan spin, Ee
didefinisikan sebagai berikut:

Ee = -2 Je Si ∙ Sj (2)

dimana Je adalah integral pertukaran (exchange integral), sementara Si dan Sj adalah vektor-
vektor spin. Struktur kristal akan menentukan besar dan arah dari integral pertukaran. Energi
pertukaran sendiri akan bernilai minimum jika spin-spin elektronik berarah pararel atau
antipararel.

Untuk suatu kristal tertentu, besarnya energi dari momen-momen magnetik mempunyai
nilai yang bervariasi tergantung pada sumbu kristal. Contohnya mineral magnetite (Fe3O4)
yang mempunyai struktur kubik, energi terbesar berada pada arah-arah sumbu ([100], [010],
[001]), sementara energi terendah berada pada arah diagonal [111] (lihat gambar 1). Sumbu
atau arah degan energi terendah , [111] pada magnetite, lazim disebut sebagai sumbu atau
arah mudah (easy axis), sebaliknya sumbu-sumbu ([100], [010], [001]) disebut sebagai
sumbu atau arah sulit (hard axes). Variasi besarnya energi terhadap orientasi kristal ini
dikenal dengan nama energi anisotropi magnetokristalin (magnetocrystalline anisotropy
energy) Ea. Untuk kubik kristal dengan cosinus arah α1, α2, α3 terhadap arah-arah
kristalografik 100, 010, dan 001), Ea. dinyatakan sebagai berikut:

Ea = K1(α12α22+α22α32+α32α12+K2α12α22α32 (3)
dimana K1 dan K2 adalah konstanta-konstanta anisotropi magnetokristalin yang
ditentukan secara empirik. Untuk mineral magnetite pada temperatur kamar , nilai K1 adalah -
1.35×10-4 Jm-3. Karena K1 bernilai negative, dapat ditunjukkan bahwa Ea. bernilai minimum
saat berarah [111].

Akibat adanya energi anisotropi magnetokristalin, maka jika magnetisai telah searah
dengan sumbu mudah, maka diperlukan usaha untuk mengubahnya. Pengubahan magnetisasi
yang searah dengan sumbu mudah (misalnyai temperatur [111] pada magnetite) memerlukan
usah ang lebih besar disbanding pengubahan magnetisasi pada sumbu sulit. Parameter fisis
yng lazim digunakan untuk menggambarkan stabillitas dari sekumpulan partikel magnetic
adalah koersivitas remanen atau coerciviy of remanence (Hcr) yang didefinisikan sebagai
besarnya medan magnetic yang diperlukan untuk mengubah magnetisasi dari satu arah
mudah kearah mudah yang lain dengan melewati tingkat energy terntentu.

Selain simetri kubik, banyak lagi jenis simetri kristal yang lain, diantaranya simetri
uniaksial (uniaxial simetry). Untuk masing-masing jenis simetri kristal, Ea didefinisikan
secara berbeda( tidak sama dengan persamaan(3)). Salah satu mineral magnetic alamiah
utama lainnya,hematite(Fe2O3), didominasi oleh simetri uniaksial. Karena itu magnetisasi
pada hematite jauh lebih rumit disbanding magnetisasi pada magnetite.

Konstanta-konstanta anisotropi magnetokristalin merupakan fungsi nyadari temperature.


Pada magnetite, misalnya nilai K1 tandanya (dari negative ke positif) pada temperature yang
disebut titik isotropic. Pada temperature tersebut, anisotropi magnetokristalin mengecil
sehingga lenyaplah penghalang( energy barrier) yang mengikat magnetisasi berarah parallel
terhadap arah diagonal. Spin-spin karenanya mengarah lebih bebas . Pada temperature yang
lebih rendah lagi penghala menguat kembali tetapi dengan topologi yang berbeda. Sumbu-
sumbu kristal menjadi sumbu mudah, sementara arah diagonal menjadi sumbu sulit. Titik
isotropic ini terkait dengan phenomena yang disebut dengan transisi Verwey pada sekitar
120K. Pada transisi ini magnetite yang semula berbentuk kubik berubah menjadi monoklinik.

Besarnya energy magnetic yang disebabkan oleh tekanan atau stress ( E σ) pada suatu
kristal dapat dihampiri dengan persamaan berikut:

Eσ = -(3/2) λ σ sin2 θ (4)

dimana λ adalah konstanta yang ditentukan secara empirik, σ adalah stress atau tekanan, dan
θ adalah sudut antara stress terhadap sumbu kristalografi. Untuk mineral magnetite, λ
bernilai 4×10-6.

Ada satu lagi sumber atau penyebab anisotropi magnetic, yaitu bentuk dari bulir (grain).
Untuk memahami anisotropi bentuk (shape anisotropy atau magnetostatik) perlu diketahui
terlebih dahulu konsep medan demagnetisasi internal. Jika sebuah benda termagnetisasi,
maka benda itu menghasilkan sebuah medan magnetik luar yang besarnya proporsional
dengan momen magnetiknya (Gambar 2a). Medan magnetik ini seolah-olah dihasilkan oleh
sebaran kutub-kutub magnetic bebas (imajiner) di permukaan (Gambar 2b). Adanya kutub-
kutub bebas di permukaan ini juga menghasilkan medan magnetic internal (Gambar 2c) yang
lazim disebut medan demagnetisasi (Hd). Besarya Hd berbanding lurus dengan besarnya
magnetisasi dan sangat bergantung pada bentuk. Secara matematis Hd dinyatakan sebagai
berikut:

Hd = - N M (5)

dimana N adalah factor demagnetisasi yang bergantung pada bentuk. Untuk benda berbentuk
bola, kutub-kutub bebas dipermukaan tersebar sedemikian sehingga sebagian besar
menempati kutub dan tidak ada yang menempati daerah „ekuator‟ (Gambar 2d). Secara
matematik dapat ditunjukkan bahwa untuk bola nilai N adalah 1/3.

Untuk benda berbentuk lonjong (Gambar 2e dan 2f) distribusi kutub-kutub bebas akan akan
bergantung pada arah magnetisasi diberikan pada sumbu panjang (sumbu α pada Gambar 2e),
maka kutub-kutub bebas akan terpisah lebih jauh dibanding dengan magnetisasi pada sumbu
pendek (sumbu b pada Gambar 2f). Karena medan demagnetisasi berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak, maka besarnya factor bentuk untuk kofigurasi pada Gambar 2e (Na) akan lebih
kecil dari 1/3, sementara factor bentuk untuk konfigurasi pada Gambar 2f (Nb) akan lebih
besar dari 1/3. Untuk sebuah ellipsoid tiga dimensi dengan sumbu, masing, a, b, dan c,
jumlah total Na+Nb+Nc = 1 (untuk SI, dan 4π untuk istim cgs).

. Energi
anisotropi magnetokristalin sebagai fungsi arah pada kristal magnetite. Arah yang paling mudah untuk dimagnetisasi adalah arah
diagonal (diambil dari Williams dan Dunlop,1995).
Energi anisotropi lazim disebut sebagai energy magnetostatik (Ems) dan rapat energinya
untuk sebuah ellipsoid dinyataka dengan persamaan berikut:

Ems = ½ µ0 Na M2 + ½ µ0 (Nc - Na) M2 sin2 θ (6)

dimana Nc dan Na masing-masing adalah factor demagnetisasi pada sumbu pendek dan sumbu
panjang. Suku kedua pada sisi sebelah kanan pada persamaan (6) akan bernilai

–Ku = ½ µ0 ΔN M2 pada θ = π/2 (atau keadaan uniaksial). Besaran Ku disebut sebagai konstanta
anisotropi uniaksial. Untuk benda berbentuk ellipsoid lonjong (Nb=Nc) dan a/c = 1.5,
selisih ΔN = Nb – Nc = 0.1 . Sementara itu untuk magnetite, magnetisasinya ( ) adala sebesar
4.5 × 105 Am-1. Sehingga nilai Ku untuk magnetite pipih seperti itu adalah = 2.3 × 104 Jm-3. Nilai
Ku ini jauh lebih besar dari nilai K1 pada energy anisotropi magnetokristalin. Akibatnya
magnetisasi pada magnetite yang sedikit pipih atau lonjong akan didominasi oleh anisotropi
uniaksial karena bentuk. Untuk mineral yang memiliki magnetiasi (M) yang kecil (sebagaima
hematite), anisotropi didominasi oeh konfiguras magnetokristalin. Secara singkat anisotropi
magnetic pada magnetite ditimbulkan oleh factor bentuk, sementara pada hematite didominasi
oleh anisotropi magnetokristalin.

Dari pembahasa diatas jelas bahwa anisotropi energilah yang melawan perubahan arah
magnetic sehingga bahan feromagnetik mempunyai kemampuan untuk mempertahanka
magnetisasinya, meskipun medan magnetic yang mengakibatkan magnetisasi itu telah berubah
atau dihilangkan. Perubahan arah magnetic dan magnetisasi dapat terjadi jika bahan diberi
gangguan sehingga momen-momen magnetiknya dapat mengatasi penghalang berupa energy
anisotropi untuk selanjutnya mengarah pada medan magnetic yang baru. Gangguan tersebut,
diantaranya, dapat berupa medan magnetic yang tinggi atau naiknya temperature
III. ANISOTROPI MAGNETIK PADA BATUANb

Pada batuan, sifat magnetic dan magnetisasi diakibatkan oleh adanya mineral-
mineral yaing bersifat ferromagnetic. Secara kuantitatif jumlah mineral ferromagnetic pada
batuan sangat kecil (<0,1% dari total massa). Namun demikian sifat magnetiknya begitu
menonjol sehingga mendominasi magnetisasi batuan. Pada sejumlah batuan , sifat magnetiknya
bergantung pada arah pengukuran. Batuan seperti ini dikatakan bersifat anisotropic. Pada batuan
lain, sifat magnetiknya hamper sama pada semua arah pengukuran dan karenanya bersifat
isotropic.

Sifat anisotropi magnetic pada batuan tidak saja bergantung pada derajat anisotropi
dari masing-masing bulir mineral ferromagnetic, tetapi bergantung juga pada orientasi dari bulir-
bulir tersebut. Misalnya batuan yang memiliki bulir-bulir yang sangat anisotropic tetapi tidak
terorientasi dengan baik akan memiliki derajat anisotropi yang sama dengan batuan lain yang
memiliki bulir-bulir yang tidak begitu anisotropik tetapi sangat terorientasi. Lebih lanjut lagi,
ukuran bulir mineral ferromagnetic juga dapat mempengaruhi anisotropi magnetic batuan. Bulir-
bulir yang kecil (<0,1 µm bagi magnetic) cenderung mempunyai domain tunggal (single domain
atau SD), sementara bulir yang lebih besar mempunyai domain jamak( multidomain atau MD).
Bulir SD mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan bulir MD. Misalnya ambil dua bulir
magnetic berbentuk ellipsoid, masing-masing berukuran SD dan MD. Untuk bulir MD arah
suseptibilitas magnetic mempunyai harga maksimum pada arah sejajar dengan sumbu panjang
ellipsoid, sementara untuk bulir SD justru sebaliknya. Untuk bulir SD, arah suseptibilitas
maksimum justru berarah tegak lurus terhadap sumbu panjang.

Pada batuan , masalah anisotropi magnetic dapat menjadi lebih rumit jika masalah
interaksi antara bulir-bulir mineral ferromagnetic juga diperhitungkan . Sebagai contoh , untaian
dari bulir-bulir mineral magnetic berbentuk bola yang saling terpisah tidak akan menghasilkan
anisotropi magnetic. Namun jika jarak antar bulir diperkecil (meskipun tidak harus saling
berinteraksi), bulir-bulir tersebut akan saling berinteraksi menghasilkan pengarahan magnetic
(magnetic alignment) sebagai bentuk dari anisotropi magnetik.

Hal-hal di atas harus diperhitungkan dalam penafsiran data anisotropi magnetic.


Dalam banyak kasus, aspek-aspek mineralogy(jenis mineral, fasa) dan granulometri (bentuk dan
ukuran bulir) dari mineral-mineral ferromagnetic pada batuan harus diketahui dengan baik
sebelum melakukan penafsiran terhadap data anisotropi magnetik.

Selain dipengaruhi oleh mineral-mineral ferromagnetic yang terkandung di


dalamnya, anisotropi magnetic pada suatu batuan juga sanat dipengaruhi oleh proses
pembentukan batuan tersebut. Pada sedimen, misalnya struktur dan teksturnya (atau fabric)
sangat dipengaruhi gaya-gaya hidrolis saat terjadinya proses deposisi sedimen. Selanjutnya
struktur dan tekstur dapat berevolusi akibat proses kompaksi dan diagenesis . Seluruh proses
juga berpengaruh pada orientasi dan interaksi bulir-bulir mineral magnetic. Karenanya,
anisotropi magnetic juga meningkat sejalan dengan proses yang terjadi pada sedimen. Secara
umum, derajat anisotropi magnetik berbanding lurus dengan besarnya arus, kemiringan lokasi
deposisi, serta derajat kompaksi. Tidak heran, metoda anisotropi magnetic banyak digunakan
untuk mempelajari arus purba (paleocurrent) serta pengaruh-pengaruh kompaksi pada sedimen.

Gambar 2.a Magnetisasi internal di dalam kristal ferromagnetik. b Terbenruknya medan magnetic eksternal dari serangkaian
“monopole” di permukaan kristal. c edan demagnetisasi internal akibat kutub-kutub di permukaan. d. Kutub-kutub permukaan
pada sebuah bola.e.Kutub-kutub permukaan pada sebuah ellips dimana magnetisasi searah dengp sumbu panjang. f. Kutub-kutub
permukaan pada sebuah ellips dimana magnetisasi berarah tegak lurus terhadap sumbu panjang.
Pada batuan beku, struktur dan tekstur terbentuk saat pembentukan kristal dari
cairan magmatic yang kental dan bertemperatur tinggi Berbeda dengan sedimen, medan
magnetic Bumi dan medan gaya berat hamper tidak mempunyai pengaruh pada arah
pembentukan kristal. Struktur dan tekstur batuan beku dipengaruhi oleh proses kristalisasi
magma dan selanjutnya juga di pengaruhi oleh perubahan-perubahan kimiawi dan fisis yang
terjadi pada batuan. Struktur dan tekstur yang terkait dengan mineral-mineral ferromagnetic
serupa dengan struktur dan tekstur mineral-mineral paramagnetic yang mendominasi batuan
beku. Ini menyebabkan mengapa kajian anisotropi magnetic banyak digunakan untuk
memperkirakan struktur dan tekstur batuan beku.

4. FORMULASI DAN PENGUKURAN ANISOTROPI MAGNETIK

Kuantisasi dari anisotropi magnetic, biasanya diturunkan dari konsep suseptibilitas


magnetic (λ), yaitu besaran kesebandingan antara vector medan magnetic (lemah) yang
dikenakan pada bahan, H, dengan vector magnetisasi yang dihasilkannya, Secara matematik,

M=λH (7)

Untuk bahan isotropic, λ adalah sebuah scalar biasa. Tetapi untuk bahan
anisotropic M tidak selalu searah dengan H, sehingga λ harus dinyatakan sebagai sebuah tensor
orde 2. Pada sistim koordinat λ1 λ2 dan λ3 persamaan (7) menjadi

M1 = λ11 H1 + λ12 H2 + λ13 H3

M2 = λ21 H1 + λ22 H2 + λ23 H3 (8)

M3 = λ31 H1 + λ32 H2 + λ33 H3

Atau dalam notasi tensor

Mi = λij Hj (9)

Tensor suseptibilitas λij dianggap sebagai tensor orde 2 yang simetrik ( λij= λji),
karenanya hanya enam elemen atau komponen tensor yang perlu diketahui. Penentuan nilai-nilai
keenam elemen tensor ini dilakukan melalui pengukuran harga suseptibilitas magnetic pada
enam ( atau lebih ) arah yang berbeda dengan sebuah pola tertentu. Tergantung dari jumlah
pengukuran, keenam elemen tensor kemudian ditentukan dengan menggunakan operasi matriks.
Rincian dari matriks yang digunakan untuk masing-masing jumlah pengukuran telah dijelaskan
dalam berbngan agai makalah (misalnya Girdler, 1961a serta Borradaile dan Stupavsky, 1995).
Tensor suseptibilitas magnetik juga dapat ditransformasikan ke system koordiat
yang baru dimana elemen-elemen λij = 0, untuk I ± j. Transformasi dilakukan dengan
menyelesaikan masalah eigen pada tensor suseptibilitas sehingga di peroleh tiga nilai eigen dan
tiga vekor eigen. Nilai eigen terbesar lazim disebut suseptibi litas maksimum (λ1 atau λmax ),
sementara nilai eigen terkecil disebut suseptibilitas minimum ( λ3 atau λmin ). Nilai eigen diantara
keduanya disebut sebagai suseptibilitas menengah atau inter-mediate ( λ2 atau λint). Tensor
suseptibilitas kemudian dapat dinyatakan sebagai sebuah ellipsoid dengan sumbu-sumbu λ1 λ2
dan λ3 yang masing-masing sebagai sumbu-sumbu system koordinat yang baru.

Dalam literature, besarnya anisotropi magnetik pada bahan tersebut lazim


dinyatakan dengan derajat anisotropi (λ1/λ3) atau prosentase anisotropi ((λ1/λ3) – 100%. Batuan
dengan prosentase anisotropi diatas 3% dapat dinyatakan sebagai batuan yang isotropik. Nilai
prosentase anisotropi magnetic pada batuan biasanya berkisar antara 1 s/d 15%. Selain derajat
anisotropi magnetik, lazim pula ditentukan tingkat kelonjongan (lineation) dan tingkat kepipihan
(foliation) dari ellipsoid suseptibilitas. Lineation dinyatakan sebagai λ1/λ3 , sementara foliation
sebagai λ2/λ3.

Untuk beberapa keperluan, anisotropi magnetic ditentukan tidak melalui


suseptibilitas melainkan melalui remanen magnetik yang diberikan secara artifisial, contohnya
AAR. Jika remanen magnetik diberikan melalui medan magnetik yang rendah , hubungan antara
M dan H masih dapat dianggap linear sehingga persamaan (8) dan cara-cara penyelesaiannya
masih dapat digunakan.

5. PENUTUP

Anisotropi magnetik masih menjadi salah satu kajian paling popular dalam bidang
kemagnetan batuan. Anisotropi magnetik telah menjadi metode baku dan diterapkan dalam
berbagai bidang. Meskipun demikian masih banyak hal yang belum sepenuhnya dipahami seperti
masalah interaksi antar partikel magnetik, kontribusi dari campuran mineral-mineral magnetik
yang berbeda, serta pemisahan yang tegas antara anisotropi pada tingkat batuan dan anisotropi
pada tingkat bulir.
DAFTAR PUSTAKA

Benson,P.M.P.G. Meredith,and E.S..Platzman . Relating pore fabric geometry to acoustic and


permeability anisotropy in Crab Orchard Sandstone A laboratory study using magnetic ferrofluid
Geophysical Research Letters, vol 33,no 19 pp1976-1979,2003

X,XBorradaile, ,Gj, Magetic susceptibility petrofabric, and strain a review Technophysics, vol
156,pp1-20,1988

Borradaile,G.J.and M.Stupavsky, Anisotropy of magnetic susceptibility measurement schemes,


Geophysical Research Letters, vol 22,pp1957-1960, 1993

Canon- Tapia, E, Single-grain versus distribution anisotropy a simple three-dimensional model


Physic of the Earth and Planetary Interiors, vol 94,pp 149-158, 1996

Girdler, R.W, The measurement and computation of anisotropy of magnetic susceptibility of ,


Limitations of tensor rocks, Geophysical Journal of the Royal Astronomical Society, America,
vol 65, pp, 1257-1258, 1954

Housen.B.A.C. Richter, and B.A. van der Pluijm. Composite magnetic anisotropy fabrics
experiments, numerical models, and implications for the quantification of rock fabric,
Tectionophysics, vol 220,pp1-12,1993

Hrouda,F,B, Henry, and G.J. Borradaile Limitations of tensor subtraction in isolating


diamagnetic fabrics by magnetic anisotropy, Tectonophysics vol 322,pp303-310,2000

Jelinek,V, Characterization of the magnetic fabric of rocks, Tectonophysics, vol 79, pp63-
67,1981

Kelso,P,R,B. Tikoff,M.Jackson and W,Su,A new method for the separation of paramagnetic and
ferromagnetic susceptibility anisotropy using low field and high field methods, Gephysical
Journal International, vol 151,pp 345-359, 2002

O‟Reilly, W, Rock and mineral magnetism, Blackie&Son, 1984

Pares,J,M, and B.A van der Pluijm, Evaluating magnetic lineations (AMS) in defomed rocks
Tectonophysic vol,350, no 283-298, 2002

Tarling, D.H. and F Hrouda, The magnetic anisotropy of rocks, Chapman& Hall,1993

Tauxe,L,N,Kylistra,and C. Constable, Bootstrap statistics for paleomagnetic data, Journal of


Geophysical Research B, Solid Earth vol 96,pp11723-11740, 1991

Williams and Dunlop, simulation of magnetic hystreretis in pseudo-single-domain grains of


magnetite, Journal of Geophysical Research B: Solid Earth, vol 100,pp. 3859-3871, 1995

Anda mungkin juga menyukai