Suatu kondisi dimana terasa adanya gejala sikap dan perilaku guru yang
mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya, seperti sering datang terlambat, mengajar
tidak terencana atau malas mengerjakan tugas administrasi secara rutin, dan sering
mengeluh. Hal ini menandakan bahwa salah satu penyebabnya adalah kondisi iklim
kerja yang kurang kondusif di sekolah. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan dan
akan berdampak negatif terhadap proses belajar mengajar yang berkualitas. Kepala
sekolah selaku manajer disyaratkan mampu mengupayakan kondisi iklim kerja yang
kondusif di sekolah.
Salah satu persoalan penting dan genting dunia pendidikan kita adalah
bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Masyarakat kini semakin sadar
bahwa pendidikan adalah salah satu jembatan untuk meraih kehidupan masa depan
yang lebih baik (better education better life), pendidikan yang bermutu menjadi
kebutuhan, tuntutan dan harapan seluruh lapisan masyarakat.
Berbagai usaha meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh
pemerintah, seperti pendidikan dan pelatihan guru, pengadaan sarana dan prasarana,
peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru melalui lesson study dan sertifikasi
guru, studi banding di dalam maupun ke luar negeri, peningkatan kesejahteraan guru
melalui tunjangan sertifikasi dan sebagainya, tetapi fakta menunjukkan bahwa
disebagian besar sekolah semua usaha tersebut tidak berdampak signifikan terhadap
peningkatan mutu. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, “Sebenarnya dimana
letak masalahannya?”
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan
erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan
manajemen sekolah, serta kultur sekolah. (Zamroni, 2013). Peningkatan mutu sekolah
sebagian besar hanya menekankan pada aspek pertama, yakni meningkatkan mutu
proses belajar mengajar dan sarana/prasarana, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan
dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur
sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah. Namun, sejauh ini
bukti-bukti telah menunjukkan, bahwa sasaran peningkatan mutu pada aspek PBM dan
sarana/prasarana saja tidak cukup, faktor penentu mutu pendidikan ternyata tidak
hanya dalam wujud fisik saja, tetapi perlu dibarengi dengan pendekatan non fisik yakni
dengan membangun dan mengembangkan kultur sekolah.
(Djemari, 2004) mengemukakan bahwa Stolp&Smith (1994) mendeskripsikan
kultur sekolah sebagai pola makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup
norma, nilai, keyakinan, seremonial, ritual, tradisi, dan mitios dalam derajat yang
bervariasi yang ditunjukkan oleh warga sekolah. Senada dengan pernyataan tersebut,
Zamroni(2009) mengemukakan bahwa kultur sekolah adalah norma-norma, nilai-nilai,
keyakinan, sikap, harapan-harapan, dan tradisi yang ada di sekolah dan diwariskan
antar generasi, dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi
maupun siswa dan mempengaruhi pola pikir (mindset), sikap, dan tindakan seluruh
warga sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan
yang muncul di sekolah.
Konsep budaya di dunia pendidikan merupakan situasi yang akan memberikan
landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran yang efektif dan
efisien. Djemari(2004) menyatakan bahwa kultur sekolah yang positif dapat
memperbaiki kinerja sekolah, membangun komitmen warga sekolah serta membuat
suasana kekeluargaan, kolaborasi, ketahanan belajar, semangat terus maju, dorongan
bekerja keras, dan tidak mudah mengeluh. School culture sangat vital perannya bagi
sebuah proses pendidikan, banyak anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi
sekolahnya tidak mendukung, anak dimaksud tidak tumbuh optimal, bakatnya
terpendam, bahkan mati. Sebaliknya,anak yang kepintaran dan bakatnya sedang-
sedang saja, tapi karena lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut tumbuh sebagai
anak yang mandiri dan sukses (Hidayat, 2010). Hal ini senada dengan yang
dikemukakan Zamroni (2010) bahwa: “Pembelajaran yang baik hanya dapat
berlangsung pada sekolah yang memiliki kultur positif. Kultur sekolah yang sehat akan
berdampak kesuksesan siswa dan guru dibandingkan dengan dampak bentuk
reformasi pendidikan lainnya. Kultur sekolah yang sehat dan positif berkaitan erat
dengan motivasi dan prestasi siswa serta produktivitas dan kepuasan guru”.
Contoh Budaya Positif di sekolah:
1. Warga sekolah memiliki keyakinan hanya mereka yang belajar keras dan
sungguh-sungguh yang akan memperoleh prestasi tinggi
2. Memegang teguh bahwa prestasi dan proses mencapainya seperti dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisahkan
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma sosial, etika dan moral
4. Membangun jembatan antara visi, misi, dan aksi
5. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki kinerja dan etos
kerja yang baik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah
6. Kepala Sekolah, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan memiliki spirit
corp dan team work yang tinggi
7. Komitmen seluruh warga sekolah (Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga
kependidikan) untuk selalu belajar (belajar sepanjang hayat)
8. Menghargai prestasi siswa
9. Memiliki simbol-simbol yang menekankan penghargaan dan sangsi, sehingga
mendorong pencapaian prestasi dan menghambat pelanggaran dan tidak
memiliki prestasi
10. Lingkungan sekolah yang bersih, rapi, sejuk, dan aman
Contoh Budaya Negatif di sekolah:
1. Siswa memiliki keyakinan belajar asal-asalan apa adanya pasti naik kelas dan
lulus.
2. Siswa ingin meraih prestasi yang setinggi-tingginya dengan segala cara untuk
mencapainya, sekalipun melanggar norma dan nilai (misalnya : Nyontek, bekerja
sama dalam ulangan, plagiat dalam membuat tugas, dsb.).
3. Siswa tidak antusias menerima tugas karena hanya akan membikin mereka
harus belajar lebih banyak.
4. Siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek dan hanya beberapa siswa
yang selalu mengerjakan PR karena mereka yakin dengan belajar sebagaimana
sekarang ini saja mereka akan naik kelas dan lulus mendapatkan ijazah. Ijazah
dianggap sebagai sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai
simbol ilmu yang telah dikuasai.
5. Siswa malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik, tidak antusias dalam
mengajar, dan tidak menguasai materi.
6. Hasil karya siswa dan prestasi sekolah tidak dipajang sebagaimana mestinnya
yaitu sebagai suatu kebanggaan yang dapat memberikan motivasi untuk yang
lainnya.
7. Guru sering melecehkan siswa dan tidak memperlakukan mereka sebagai anak
yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak kecil. Oleh karena
itu, sebagai balasannyasiswa tidak menghargai guru.
8. Sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan
menyalahkan siswa atas prestasinya.
9. Kebijakan kepala sekolah bersifat pilih kasih.
10. Menghindari kolaborasi dan selalu ada pertentangan.
11. Mereka yang innovatif malah di kritik dan tidak disenangi.
12. Diktator, komentator, Agitator, Spektator.
13. Diantara warga sekolah tidak ada saling percaya dan selalu mencari kesalahan
orang lain.
14. Banyak siswa dan guru yang terlambat datang ke sekolah.
15. Lingkungan sekolah yang kotor, membuang sampah tidak pada tempatnya.
Membangun dan melakukan perubahan kultur sekolah tidak bisa melalui
ceramah, slogan, atau himbauan saja (Zamroni, 2010). Perlu adanya kesungguhan dan
komitmen yang kuat yang dilaksanakan secara konsisten dengan program-program
aksi yang konkrit dengan strategi pengkondisian, pembiasaan, dan keteladanan, baik
melalui pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan struktural
denganmembuat kesepakatan berupa regulasi (peraturan, tata tertib, dsb.) yang
mengikatsiswa, guru, dan seluruh warga sekolah lainnya, adanya program-program
pembiasaan (habituasi)yang lambat laun akan menjadi budaya/karakter, sedangkan
pendekatan kultural melalui interaksi dengan menanamkan nilai-nilai, sikap dan
prilaku yang diintegrasikan pada setiap mata pelajaran dan/ataumelalui kegiatan ekstra
kurikuler,dan yang terpenting dengan cara pembudayaan dengan keteladanan yang
ditunjukkan oleh kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya di
sekolah.“Setiap sekolah mempunyai kultur, tapi sekolah yang sukses hanyalah sekolah
yang memiliki kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi pendidikan yang
menjadi harapan dan cita-cita dari seluruh warga sekolah” (Zamroni, 2010)
Arah Pengembangan Budaya Sekolah:
Produk budaya sekolah yang positif (Djemari, 2009):
Peran Kepala Kekolah
Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan
menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya.
Perubahan kearah kultur yang positif harus dimulai dari kepemimpinan kepala
sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog,
saling perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi
bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa
ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan
kepala sekolah, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap
kelas, kepuasan terhadap pelayanan dan produktivitas sekolah, Pandangan ini sangat
penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.
Kultur sekolah berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah
tentang masa depan sekolahnya. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi
tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur sekolah.
Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara kepala sekolah, guru,staf
administrasi danorang tua siswa. Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala sekolah
dapat berperan sebagai model, b) mampu membangun kerjasama tim, c) belajar dari
guru, staf, dan siswa, dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus
dikembangkan. Kepala sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah
yang spesifik tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk
melihat, memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah.
Dengan dapat memahami permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara
mendalam, kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat
diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi
berlangsungnya proses pendidikan yang bermutu.
Definisi Iklim Kerja
Menurut beberapa ahli berpendapat bahwa yang dimaksud dengan iklim kerja adalah
sebagai berikut:
Miller (1997:128)
Pengertian iklim kerja menurut Miller adalah nilai semangat yang mendasar
dalam cara mengelola hubungan dan mengorganisasikannya.
Robbins(2007:716)
Pengertian iklim kerja menurut Robbins adalah istilah yang dipakai untuk
memuat rangkaian variable perilaku yang mengacu pada nilai, kepercayaan dan
prinsip pokok yang berperan sebagai suatu dasar bagi sistem manajemen organisasi.
Pengertian iklim kerja menurut Davis dan Newstorm adalah kepribadian sebuah
organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi
masing-masing anggota dalam memandang organisasi.[3]
Iklim kerja secara lingkungan psikologis dapat dikaji dari segi ciri-ciri, jenis-jenis,
dan dimensinya, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Ciri-ciri Iklim Kerja Kondusif
Iklim kerja yang ada di sekolah adalah merupakan factor utama yang
menentukan keadaan kualitas pembelajaran yang dihadapi oleh peserta didik di
sekolah. Ciri-ciri Iklim Kerja yang Kondusif. Supardi (2014: 123) menyebutkan ciri-ciri
iklim kerja yang kondusif adalah :
1. Iklim Terbuka,
Iklim ini merujuk kepada keadaan dimana semangat kerja kebersamaan berada
ditahap yang tinggi, dan ketidakpedulian rendah. Dalam iklim terbuka ini, kepala
sekolah senantiasa memberi bantuan, memberi arahan dan menggerakkan kerja melalui
teladan yang baik. Guru-guru bekerja secara bersungguh-sungguh dan berkelompok.
Iklim terbuka menggambarkan hubungan yang harmonis dan saling menghormati
antara guru, kepala sekolah, staf karyawan dan peserta didik.
1. Iklim Autonomus,
1. Iklim Terkawal,
Iklim ini merujuk kepada suasana yang dirasakan tidak terlihat semangat untuk
bekerja keras dan pergaulan sosialnya kurang sekali. Iklim ini mempunyai ciri-ciri yang
menekankan data pengeluaran, kesendirian, halangan dan kebersamaan adalah tinggi
sementara kesungguhan berada ditahap yang sederhana dan sifat kepedulian,
ketidakpedulian dan kemesraan adalah rendah.
1. Iklim biasa,
2. Iklim paternal,
Di samping jenis-jenis iklim kerja di atas, ada pula yang disebut dengan dimensi
iklim kerja. Menurut Steve Kelneer, menyatakan terdapat enam dimensi iklim kerja
antara lain:
Flexibility Conformity
Responsibility
Hal ini berhubungan dengan perasaan karyawan tentang jalannya tugas
organisasi yang diemban dengan rasa tanggung jawab terhadap hasil yang dicapai,
karena mereka terlibat di dalam proses yang sedang berjalan.
Standarts
Hal ini berhubungan dengan perasaan karyawan tentang keadaan organisasi
yang mana manajemen memberikan perhatian kepada pelaksanaan tugas dengan baik,
tujuan yang sudah ditetapkan dan juga toleransi kepada kesalahan atau hal yang
kurang sesuai atau kurang baik.
Reward
Reward berhubungan dengan perasaan karyawan tentang penghargaan dan
pengakuan terhadap pekerjaan yang baik.
Clarity
Clarity berhubungan dengan perasaan karyawan bahwa mereka mengetahui apa
yang diinginkan dari mereka berhubungan dengan pekerjaan, peranan dan tujuan
organisasi.
Tema Commitmen
Kemudian menurut Piness, Iklim kerja suatu organisasi dapat diukur dengan empat
dimensi, antara lain:
Dimensi Psikologi
Dimensi ini mencakup varibale seperti beban kerja, kurang otonomi, kurang
pemenuhan sendiri (self-fullment clershif) dan kurang inovasi.
Dimensi Struktural
Dimensi ini mencakup variabel seperti fisik, bunyi dan tingkat keserasian antara
kebutuhan kerja dan struktur fisik.
Dimensi Sosial
Dimensi ini mencakup aspek interaksi dengan klien (dari segi kuantitas dan ciri-
ciri permasalahannya) rekan satu kerjaan (tingkat dukungan dan kerja sama) dan
penyelia (dukungan dan imbalan).
Dimensi Birokratik
Dapat disimpulkan bahwa iklim kerja yang kondusif di sekolah dapat diukur
melalui dimensi rasa aman dan nyaman, kegiatan belajar mengajar yang berkualitas,
hubungan dengan orang lain yang harmonis, dan lingkungan kerja yang kondusif.
Upaya menciptakan iklim kerja yang kondusif secara lingkungan fisik dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Salah satu ciri organisasi yang efektif adalah terciptanya budaya dan iklim
organisasi yang menyenangkan sehingga pegawai/karyawan merasa aman, nyaman,
dan tertib di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini ditandai dengan fasilitas-fasilitas
fisik organsiasi yang terawat dengan baik. Penampilan fisik organisasi yang selalu
bersih, rapi, indah dan nyaman.
Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran,
hadist, pesan pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah
pengadaan dan penempatan poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau
menjadi pesan sloganis belaka.
KESIMPULAN
Budaya dan iklim kerja yang kondusif di sekolah bukan hanya yang bersifat
lingkungan psikologis saja, akan tetapi juga lingkungan fisik. Lingkungan psikologis
misalnya terjadinya komunikasi dan interaksi yang harmonis antar warga sekolah
secara keseluruhan baik internal maupun eksternal dalam rangka membentuk karakter
peserta didik dan meningkatkan prestasi akademiknya. Sedangkan lingkungan fisik
misalnya sarana-prasarana yang representatif, bersih. tertib, dan indah yang menjadi
budaya pembeda dengan sekolah lainnya.
RUJUKAN:
Daftar Pustaka:
Djemari, 2004; Pengembangan Kultur Sekolah, Materi Workshop, Yogyakarta
Hidayat, Komarudin, 2010; Membangun Kultur Sekolah, http://www.uinjkt.ac.id
Zamroni, 2010, Membangun Kultur Sekolah, Materi Workshop, Jakarta
Zamroni, 2009; Panduan Teknis Pengembangan Kultur Sekolah, Depdiknas, Jakarta
Zamroni, 2013; Paradigma Pendidikan masa
depan,http://www.pakguruonline.pendidikan.net