Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.A

Dengan kasus “EMFISEMA PANLOBULAR”

Di ruang IGD

RSUD Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto”

OLEH :

Fitrotun Nisa’

(0117046)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan asuhan keperawatan pada klien dengan EMFISEMA PANLOBULAR

Di ruang IGD

Nama mahasiswa : Fitrotun Nisa’

Telah di setujui pada

Hari :

Tanggal :

Pembimbing pendidikan

Dr. Linda Presti F., S.Kep.Ners., M.Kes

Npp
KONSEP

ASUHAN KEPERAWATAN EMFISEMA ( PANLOBULAR)

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan

adanya kondisi klinis berupa melebarkan saluran udara bagian distal bronkhiolus

terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli.(Muttaqin,2008)

Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang

ditandai dengan pelebaran ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi

jaringan.(Somantri, 1996)

Emfisema adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai oleh

perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar kerusakan dinding alveolar.

(Asih, 2003)

Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang

diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. (RAB, 1996)

2. Faktor Resiko

Emfisema disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian

besar dapat dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90%

kasus emfisema. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan sosial ekonomi dan

status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan

lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara (Reeves,dkk, 2001).
3. Klasifikasi

Terdapat dua tipe emfisema, yaitu :

a. Emfisema Centriolobular

Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus,

biasanya pada region paru atas, inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi

biasanya kantong alveolar tetap bersisa.

b. Emfisema Panlobular (Panacinar)

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru

bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, sangat

sering timbul pada seorang perokok.

c. Emfisema Paraseptal

Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari

blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab

dari pneumotorak spontan. Paracinal timbul pada orang tua dan klien dengan

defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan

dispnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul kor pulmonal (CHF

bagian kanan) (Somantri, 2009).

4. Etiologi

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat

antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).(Nowak,2004)

b. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada

emfisema kecuali pada penderita dengan enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim
ini menetralkan enzim proteoitik ysng sering dikeluarkan pada peradangan dan

merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih

jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang

diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema

paru dalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih

cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

c. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-

gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada

seseorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru

bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi

bronkhitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang

kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

d. Hipotesis Elastase-Antielastase

Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan

antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan

antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru.

Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang

penting adalah pankreas, sel-sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary

alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap

rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem

antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa

1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi

keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan

jaringan elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)


5. Patofisiologi

Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang berlebihan,

kehilangan rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan

redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan

emfisema.

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan

paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)

dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).

Keseimbangan timbul karena kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk

disebut functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru

berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan FRC yang lebih besar.

Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu

terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,

sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup.

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih

cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan

menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi

yang tidak seimbang. Namun, semua itu tergantung pada kerusakannya. Mungkin

saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik

sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama

dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi

dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).

Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami

kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam


darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding

alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaring-jaring kapiler pulmonal

berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk

mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal.

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu

melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis

menetap dalam paru yang mengalami emfisema ini memperberat masalah.

Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh

peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru.

Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan

negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus

dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini

membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang berdampak pada kekakuan

dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada

berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal mengalami

peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena

adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang

bagian napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien

membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu

napas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan

bahu melengkung ke depan.

Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat

inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi


normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tiodak memungkinkan terjadi. Kapasitas

vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1

detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas

alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi klien untuk

menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang

menyempit meningkatkan upaya pernapasan. (Smeltzer dan Bare, 2002)

(Muttaqin, 2008).

6. Tanda dan Gejala

Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit

bertahun – tahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15 – 25 tahun.

Pada umur 25 – 35 tahun mulai timbul perubahan pada seluruh nafas kecil dan

fungsi paru. Umur 35 – 45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45 – 55

tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55 –

60 tahun sudah ada korpulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan

meninggal dunia. Pada pengkajian fisik didapatkan :

a. Dispnea

b. Pada inspeksi : bentuk dada “ bureel chast”

c. Pada perkusi : hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.

d. Pada auskultasi : terdengan bunyi nafas dengan, ronki, dan perpanjang

ekspirasi.

e. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum

f. Distensi vena leher selama ekspirasi.

Adapun gejala dari penyakit emfisema paru – paru diantaranya adalah :

a. Pada awal gejalanya serupa dengan bronkitis kronis

b. Napas terengah – engah di sertai dengan suara seperti peluit.


c. Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol , penderita sampai

membungkuk.

d. Bibir tampak kebiruan

e. Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun

f. Bentuk menahun.

7. Komplikasi

Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami

kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam

darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding

alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan kapiler pulmonal berkurang.

Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk

mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi

emfisema.terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena

jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.

(Nowak,2004; Muttaqin,2008)

8. Pathofisiologi

Satuan pertukaran udara di paru disebut dengan alveoli akan mengalami

kerusakan progresif seiring waktu pada emfisema.pasien harus inspirasi dan

ekspirasi dengan volume udara lebih besar demi memenuhi kebutuhan metabolik

distribusi oksigen ( O2 ), pengeluaran karbondioksida ( CO2) dan menjaga

keseimbangan asam basa. Pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran paru pada

rongga toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk mengembang

pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga ventilasi menjadi

terbatas.
9. Pathway
10. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen dada: menunjukkan hiperinflasi paru, pendataran diafragma,

peningkatan ruang udara retrostrenal, menurunnya marking vaskular/bullae.

b. Uji fungsi paru: lihat pada asma; kapasitas total paru (TLC: Total

LungCapcity) menurun, kapasitas inspiratori menurun, dan volume residual

meningkat.

c. Analisa Gas Darah : PaO₂ (parsial O2) menurun, PaCO₂ (parsial CO2) normal

atau meningkat, pH normal atau asidosis, respiratori alkalosis ringan sekunder

akibat hiperventilasi.

d. Bronkhogram : menunjukkan dilatasi silindris bronkhi pada saat inspirasi,

kolaps bronkhial pada saat ekspirasi akut.

e. HSD dan hitung banding : Hemoglobin meningkat pada emfisema lanjut.

f. Kimia darah : pemeriksaan antitripsin-α1 dilakukan untuk memastikan

defisiensi dan diagnosis emfisema primer.

g. EKG saat latihan fisik, tes stres : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi

pulmonal, mengevaluasi keefektifan terapi bronkhodilator, merencanakan atau

mengevaluasi program latihan (Asih, 2003).

11. Penatalaksanaan

a. Pentalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas

hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati

obstruksi saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi

mencakup :
1) Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja

napas

2) Mencegah dan mengobati infeksi

3) Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatlan ventilasi paru

4) Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi

pernapasan yang adekuat

5) Dukungan psikologis

6) Edukasi dan rehabilitasi klien

b. Penatalaksanaan Medis

Jenis obat yang diberikan berupa :

1) Bronkodilator. Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu simpatomimetik

(adrenergik) dan senyawa xanthine. Bronkodilator ini bekerja pada tempat

yang berbeda dan tampaknya bekerja secara sinergis bilamana digunakan

bersama-sama. Obat-obatan adrenalik yang bekerja pada beta 2 yang

terletak pada otot polos saluran nafas memiliki efek samping terhadap

jantung yang lebih kecil daripada obat-obatan golongan beta 1 yang

memiliki reseptor myokardium. (Long, 1996)

2) Terapi aerosol, Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga

dapat dibuang. Tindakan terapi aerosol harus diberika sebelum waktu

makan untuk memperbaiki ventilasi paru dan dengan demikian

mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan.

3) Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam

pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan

bronkhiolus yang membuang sekresi setelah tindakan lain tidak

menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan. Dosis disesuaikan


untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping

jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peninkatan nafsu

makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus

peptikum,osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan

katarak.

4) Oksigenasi. Terapi oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup

pada klien emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi

oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80

mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per

hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-

gejala klien dan memperbaiki kulaitas hidup klien.(Muttaqin, 2008;

Somantri, 2009).

B. Konsep Askep

1. Pengkajian

Data Subyektif
a. Anamnesa
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan
(onset) yang membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok,
bentuk kronis yang lama, mengi serta nafas pendek dan cepat ( takipnea ).
Gejala – gejala diperburuk oleh infeksi pernafasan. Perawat perlu mengkaji
obat – obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat
apakah masih relevan untuk digunakan kembali.
b. Identitas
1) Identitas Pasien : nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur,
tanggal MRS, golongan darah, suku/bangsa, agama, pendidikan, alamat,
no RM, diagnosa medis, lingkungan tempat tinggal
2) Identitas Penanggungjawab : nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat.
c. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan emfisema untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah sesak nafas, batuk produktif, berat
badan menurun.
d. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Keluhan
batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering di
keluhkan. Tanyakan selama keluhan batuk muncul, apakah ada keluhan
lain.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu
mengarahkan atau menegakkan pertanyaan untuk membedakan antara
sesak nafas yang di sebabkan oleh gangguan pada sistem pernafasan dan
sistem kardiovaskuler.
Agar memudahkan perawat mengkaji keluhan sesak napas, maka dapat
dibedakan sesuai tingkat klasifikasi sesak. Pengkajian ringkas dengan
menggunakan PQRST dengan lebih memudahkan perawat dalam
melengkapi pengkajian.
a) Proviking incident : apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak nafas.
b) Quality of pain : apa sesak nafas yang di rasakan atau di
gambarkan klien.
c) Region : dimana rasa berat dalam melakukan pernapasan ?
d) Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa sesak yang di rasakan
klien
e) Time : berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
klien pernah menderita bronkitis atau infeksi pada saluran pernafasan atas,
keluhan batuk lama pada masa kecil, dan penyakit lainnya yang
memperberat emfisema
3) Riwayat kesehatan keluarga
Secara patologi emfisema diturunkan dan perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah di alami oleh anggota keluarga lainnya .
Data Primer

a. Pemeriksaan fisik fokus

1) Inspeksi

Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan

frekuensi pernapasan serta penggunaan obat bantu nafas. Pada inspeksi

klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest ( akibat udara

yang terperangkap ), penipisan masa otot, dan pernapasan dengan bibir

dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot – otot

bantu napas ( sternokleidomastoideus ).

Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas

kehidupan sehari hari seperti makan dan mandi . pengkajian batuk

produktif dengan sputum purulen sisertai demam mengindikasikan adanya

tanda pertama infeksi pernapasan.

2) Palpasi

Pada palpasi ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

3) Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan

diafragma menurun.

4) Auskultasi

Sering di dapatkan bunyi nafas ronki dan wheezing sesuai tingkat

beratnya obstruktif pada bronkiolus. Pada pengkajian lain didapatkan

kadar oksigen yang rendah ( hiposemia ) dan kadar karbon dioksida yang

tinggi ( hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya,

bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk


meningkatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan ( dispnea

eksersional).

Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi

dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang di

hasilkannya. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat

pengumpulan sekresi ini . setelah infeksi ini terjadi klien mengalami mengi

yang berkepanjangan saat ekspirasi, anoreksia, penurunan berat badan dan

kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin

mengalami distensia selama ekspirasi.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi secret jan nafas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

b. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan peningkatan kerja

pernapasan, hipoksemia secara reversibel/menetap.

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan & kriteria hasill Intervensi


1 Pola nafas tidak Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas
efektif berhubungan keperawatan selama 1x24 (1.01011) :
dengan hipoksia / jam, maka pola napas Observasi
sesak nafas membaik dengan kriteria - Monitor pola napas
hasil: (mis : frekuensi,
 Pola napas membaik kedalaman, usaha
 Berat badan meningkat napas)

 Keseimbangan asam basa - Monitor bunyi napas

membaik tambahan (mis :

 Konsevasi energi membaik gurgling, mengi,


wheezing, ronkhi
 Status neurologis membaik kering)
 Tingkat ansietas menurun - Monitor sputum

 Tingkat keletihan menurun (jumlah, warna, aroma)


Terapeutik
Tingkat nyeri menurun
- Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head tilt and chin lift
(jaw thrust jika curiga
trauma servikal)
- Posisikan semi fowler
atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
- Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakheal
- Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
4. Implementasi
Implementasi adalah serangkain kegiatan yang di lakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari masalah status kesehatan yang di hadapi ke dalam status
kesehatan yang mengambarkan kriteria hasil yang di harapkan .

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna

apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah di lakukan tercapai atau perlu

pendekatan lain. Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan di lakukan

penilaian untuk melihat keberhasilannya


ASUHAN KEPERAWATAN EMFISEMA PANLOBULAR

Nama Mahasiswa : Fitrotun Nisa’


NIM : 0117046
Ruangan : IGD No. Reg. :-
Pengkajian diambil : 30 Juni 2020 Jam :-

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Nama Pasien : Tn. A Tgl. MRS : 30 Juni 2020
Umur : 50 Tahun Diagnosa Medis : Emfisema Panlobular
Jenis Kelamin : Laki - laki
Suku / Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sidoarjo
2. Riwayat Keperawatan Klien
a) Keluhan Utama :
Pasien mengatakan sesak nafas sejak setengah jam yang lalu.
b) Riwayat Keperawatan Sekarang :
Pasien datang ke IGD pada tanggal 30 Juni 2020 dengan keluhan sesak nafas
sejak setengah jam yang lalu
c) Riwayat keperawatan yang lalu :
Pasien mengatakan 11 tahun yang lalu di diagnosa menderita emfisema
panlobular
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
-
3. Pengkajian primer
a) Keadaan umum
keadaan umum lemah, kesadaran composmentis, GCS 4,5,6, .
b) Tanda – tanda Vital
Suhu tubuh : 38,3 ºC Nadi : 68x / mnt
TD : 130/80 mmHg Respirasi : 32x / mnt
c) Airway
- Tidak ada sumbatan jalan nafas
- Tidak tedapat secret
- Tidak terdapat nyeri telan
d) Breathing
- RR 32x/menit
- Sesak nafas
- Terdapat suara nafas tambahan (ronchi di lapang paru bagian kanan,
whezzing)
- Terpasang O2 nassal 4 Lpm
e) Circulation
- Tekanan darah 130/80mmHg
- Nadi 68x/menit
- Kulit pucat
- Turgor kulit baik
- CRT <2 detik
- Akral hangat
f) Pemeriksaan kepala dan leher :
1) Kepala dan rambut :
- Bentuk bentuk : simetris dan oval, tidak ada benjolan, tidak ada
lesi,beruban , bersih ,rambut lurus.
- Keluhan yang berhubungan : tidak ada
2) Mata :
- Konjungtiva anemis
- Sclera putih
- Bentuk mata bulat
- Pupil isiokor
- Gerak bola mata normal
- Pandangan agak kabur
- Tidak ada benjolan dan tidak nyeri tekan
3) Hidung :
- Bentuk hidung simetris
- Pernafasan cuping hidung ( - )
- Hidung bersih dan tidak ada secret
- Terpasang O2 nassal 4 Lpm
- Tidak ada benjolan dan tidak nyeri tekan
4) Telinga :
- Bentuk telinga simetris
- Tidak terdapat serumen
- Telinga kenyal
- Tidak ada benjolan dan tidak nyeri tekan
5) Mulut & leher :
- Mukosa bibir kering
- Sianosis ( + )
- Tidak terdapat nyeri telan dan nyeri tekan
- Tidak terdapat pembesaran vena jugularis
- Tidak terdapat pembesaran kelenjar teroid
6) Pemeriksaan Integumen ( Kulit )
Kulit bewarna pucat, bersih, tidak ada lesi, turgor kulit baik, CRT < 2, akral
hangat
7) Pemeriksaan Thoraks / Dada
Jantung :
- Inspeksi : Simetris, statis, dinamis
- Palpasi : Teraba normal.
- Perkusi : suara jantung redup
- Auskultasi : bunyi jantung normal S1 S2 tunggal, irama jantung reguler
Paru :
- Inspeksi : Simetris, statis
- Palpasi : Sterm fremitus kanan=kiri
- Perkusi : suara paru sonor
- Auskultasi : terdapat suara tambahan ( ronchi di lapang paru bagian
kanan, whezzing ( + ).
8) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : tidak terdapat luka
Palpasi : terdapat nyeri tekan di bagian abdomen kanan, skala nyeri 7, tidak
teraba pembesaran hepar ,tidak teraba pembesaran ginjal.
Perkuasi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus 16x/menit
9) Pemeriksaan Kelamin dan Daerah Sekitarnya
Tidak terdapat luka genetalia dan anus, tidak terdapat benjolan, terpasang
dower kateter ( ± 600 cc ) warna kuning, bau amoniak, terdapat pembesaran
skrotum, genetalia dan anus bersih, tidak ada nyeri tekan di genetalia dan
anus
10) Pemeriksaan ekstremitas
Bentuk ekstremitas atas bawah kanan kiri simetris kekuatan otot 5 4
5 5
4. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Ds : Emfisema pamlobular Pola nafas tidak efektif
klien mengatakan sesak sejak berhubungan dengan
setengah jam yang lalu Dipengaruhi oleh hipoksia/ sesak nafas
Do : rokok,polusi, infeksi
RR : 32x/menit
Terdapat suara nafas tambahan Ketidak seimbangan
( ronchi bagian kanan , elastisitas dan
elastisitase
whezzing ) , Terpasang O2
nassal 4 Lpm
Menghilangnya
kemampuan
mengembangkan paru
secara elastis

Penyempitan saluran
nafas

Gangguan pertukaran
gas tidak seimbang

Hipoksia / sesak nafas

Pola nafas tidak


efektif

5. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoksia / sesak nafas
6. Intervensi
No Diagnosa Tujuan & kriteria hasill Intervensi
1 Pola nafas tidak Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas
efektif berhubungan keperawatan selama 1x24 (1.01011) :
dengan hipoksia / jam, maka pola napas Observasi
sesak nafas membaik dengan kriteria - Monitor pola napas
hasil: (mis : frekuensi,
 Pola napas membaik kedalaman, usaha
 Berat badan meningkat napas)

 Keseimbangan asam basa - Monitor bunyi napas

membaik tambahan (mis :

 Konsevasi energi membaik gurgling, mengi,

 Status neurologis membaik wheezing, ronkhi


kering)
 Tingkat ansietas menurun
- Monitor sputum
 Tingkat keletihan menurun
(jumlah, warna, aroma)
Tingkat nyeri menurun Terapeutik
- Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head tilt and chin lift
(jaw thrust jika curiga
trauma servikal)
- Posisikan semi fowler
atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
- Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakheal
- Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawtan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawtan Indonesia. Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku : Diagnosa Keperawatan edisi 9.
Jakarta : EGC
Muttaqin,Arif.2012.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika.

http://www.ziddu.com/download/64755169/pathway-emfisema.doc.html

Anonim. 2011. Penyakit Obstruksi Paru Kronik. http://www.kalbeportal.com.

———. 2014. COPD in Smoker. http://content.nejm.org/.

Davey. 2010. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: Erlangga

Guyton dan Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi Pernapasan.
Jakarta: EGC

Kumar dkk. 2014. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai