Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI

INDOSESIA & ISI KURIKULUM MENURUT CENDIKIA MUSLIM

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum PAI
Dosen Pengampu : Alfian Eko Rahmawan, M.Pd.I.

Disusun Oleh :
Adi Sulistyo Wibowo (02.11100)
Muhammad Fathan Rizkiyyan (02.11108)
Muhammad Pandu Asyhab Baroq (02.11111)
Rizal Munthohar (02.11112)
Rais Sidiq Mustafa (02.11121)

FAKULTAS TARBIYYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT ISLAM MAMBA’UL ‘ULUM SURAKARTA
TAHUN PENDIDIKAN 2021 / 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI. Keberhasilan dalam
penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu tak lupa penyusun
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. H. Muhammad Kurniawan Budi Wibowo, S.Ag., S.H., M.H. selaku rektor Institut
Islam Man’baul ‘Ulum Surakarta.
2. Alfian Eko Rahmawan, M.Pd.I. selaku dosen pembimbing mata kuliah Pengembangan
Kurikulum PAI.
3. Berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena
itu kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan
proposal ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surakarta, 30 September 2021


Hormat kami,

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata Kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan lebih
kurang sejak satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya
dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam
bidang olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari star sampai kefinish.
Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan
arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan
praktik pendidikan. Dalam pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan
sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh siswa.
Pandangan ini menekankan pengertian kurikulum pada segi isi. Dalam pandangan
yang muncul kemudian, penekanan terletak pada pengalaman belajar. Dengan titik
tekan tersebut, kurikulum diartikan sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada
para siswa dibawah pengawasan atau pengarahan sekolah.
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum bukan
hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa-
peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kurikuler
yang formal juga kegiatan kurikuler yang tidak formal. Kegiatan kurikuler yang tidak
formal ini sering disebut ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler.
Untuk sekolah yang bersangkutan, kurikulum sekurang-kurangnya memiliki dua
fungsi: Sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan; dan
Sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan sehari-hari.
Keutamaan mempelajari kurikulum bagi seseorang yang menekuni dunia
pendidikan adalah suatu kegiatan yang tidak boleh terlewatkan, karena berbicara
pendidikan berarti berbicara kurikulum yang ada didalamnya. Dengan demikian,
ditandai dengan adanya kurikulum maka dalam makalah ini yang akan di bahas
mengenai isi kurikulum berdasarkan para pekar pemikir Islam.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang, sebagai berikut :
a. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Indonesia
b. Isi Kurikulum PAI Menurut Cendikia Muslim
C. Tujuan
a. Mengetahui Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Indonesia
b. Mengetahui Isi Kurikulum PAI Menurut Cendikia Muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Indonesia
1. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pra Kemerdekaan
Pada dasarnya pendidikan agama Islam sangat tidak diperhatikan pada masa ini.
Pendidikan pada prakemerdekaan ini dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya bangsa ini
dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk
pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah (Ali
Hasan, 2003:47). Pada mulanya, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memperhatikan
pendidikan namun murni hanya mencari rempah-rempah. Meski demikian, bangsa
Eropa ini juga memiliki misi penyebaran agama. Karena itu pada abad ke-16 dan 17,
mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen di
Nusantara. Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi mereka tapi juga
penduduk pribumi yang beragama Kristen.
Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan yang
dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha, khususnya tanam
paksa, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan. Namun kelas ini masih hanya
diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai. Konsep ideal
pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang
dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada
pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah
airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring
penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial.
Dari deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam pada
masa Prakemerdekaan sangat tidak diperhatikan, pendidikan pada prakemerdekaan ini
dipengaruhi oleh kolonialisme yang berpusat pada agama mereka (Penjajah), selain itu dari
segi kelas hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para
pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak
terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan
tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-
norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan
menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial.
2. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam Masa Orde Lama
Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum, di antaranya:
a. Kurikulum 1947
Oleh karena beberapa sebab, kurikulum ini dalam prakteknya baru
dilaksanakan pada tahun 1950. Oleh sebab itu, banyak kalangan
menyebutkan bahwa perkembangan kurikulum di Indonesia secara formal
dimulai tahun 1950. Keberadaan pendidikan agama Islam telah diatur
pelaksanaannya dalam SKB dua menteri (Menteri PP & K dan Menteri
Agama) tahun 1946.
Kurikulum 1947 ini masih kental dengan corak system pendidikan
Jepang ataupun Belanda (Sutrisno, 2012:63-64). Hal ini terjadi mungkin
disebabkan karena Negara ini baru merdeka. Sehingga, proses pendidikan lebih
ditekankan untuk mewujudkan manusia yang cinta Negara, sehingga menjadi
berdaulat dan tumbuh kesadaran berbangsa dan bernegara
b. Kurikulum 1952-1964
Dalam kurikulum ini muatannya adalah pada pengajaran yang harus
disampaikan pada siswa, dalam bentuk mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, dan sejarah. Sementara
itu, pelaksanaan pembelajaran dalam kurikulum ini sebagaimana diatur
dalam UUPPP (Undang-Undang Pokok (Pendidikan dan Pengajaran)
nomor 4 tahun 1950. Selanjutnya, muncul SKB dua menteri tahun 1951
yang menegaskan bahwa pendidikan agama wajib diselenggarakan di sekolah-
sekolah, minimal 2 jam perminggu.
Selain itu, DEPAG juga telah mengupayakan terbentuknya kurikulum
agama di sekolah maupun pesantren, akhirnya dibentuklah tim yang
diketuai oleh K.H. Imam Zarkasyi dari Pondok Pesantren Gontor yang
berhasil menyusun kurikulum agama yang kemudian disahkan oleh menteri
agama pada tahun 1952. Disebutkan bahwa, setelah DEPAG berhasil
menyusun kurikulum itu, pendidikan agama memperoleh porsi 25 % dari
keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan sekolah selama seminggu.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Kurikulum 1947 masih kental
dengan corak system pendidikan Jepang ataupun Belanda, adapun Kurikulum tahun
1952-1964 diprakarsai oleh DEPAG dengan membentuk tim yang diketuai oleh K.H.
Imam Zarkasyi dari Pondok Pesantren Gontor yang berhasil menyusun kurikulum
agama yang kemudian disahkan oleh menteri agama pada tahun 1952. Disebutkan
bahwa, setelah DEPAG berhasil menyusun kurikulum itu, pendidikan agama
memperoleh porsi 25 % dari keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan sekolah
selama seminggu.

3. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam Masa Orde Baru


Peralihan dari era orde lama ke era orde baru pada akhirnya turut berdampak
pada wajah pendidikan nasional, buktinya kurikulum yang berlaku di era orde lama
juga turut berganti, dan tidak cukup disitu, di era orde baru sendiri kurikulum telah
mengalami beberapa perubahan. Dibawah ini adalah model kurikulum yang
berlangsung selama era orde baru, antara lain:
a. Kurikulum 1968
Boleh dibilang, kurikulum 1968 ini adalah penyempurnaan dari
kurikulum 1964. Sejak kemerdekaan, kurikulum ini menjadi model
kurikulum terintegrasi. Focus kurikulum ini tidak lagi pancawardhana
sebagaimana kurikulum 1964. Hanya saja, pelaksanaan pendidikan agama
kebijakannya kurang lebih sama dengan kurikulum 1964.
b. Kurikulum 1975
Dalam kurikulum ini, orientasi pendidikan adalah untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar. Di era inilah dikenal
istilah satuan pelajaran yang merupakan rencana pengajaran pada setiap
bahasan. Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan
pendidikan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional
umum dan tujuan instruksional khusus.
Pendidikan agama islam dalam kurikulum 1975 mengalami perubahan
cukup signifikan. Adanya SKB 3 menteri (Menteri Agama, Menteri dalam
Negeri dan Menteri P&K) serta disusunnya kurikulum madrasah 1975,
pendidikan agama mendapatkan porsi 30%, sementara pendidikan umum
70%. Sehingga ijazah madrasah setingkat dengan ijazah dari sekolah umum,
dan murid madrasah yang ingin pindah ke sekolah umumpun
diakui/diperbolehkan. Kondisi demikian berbeda dengan masa-masa sebelum
kurikulum 1975 ini diterapkan.
c. Kurikulum 1984
Boleh dibilang, kurikulum 1984 ini adalah menyempurnakan kurikulum
1975. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah
tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pendidikan agama dikuatkan
melalui SKB 2 Menteri (Menteri P&K dan Menteri dalam Negeri) yang
mempertegas lulusan madrasah juga bisa juga melanjutkan pendidikannya ke
sekolah umum (Muhyidin, 2012:67).
d. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-
kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Yang patut
dicatat dalam periode ini adalah, terbitnya UU SISDIKNAS No 2 tahun
1989 yang menegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang
berciri khas islam, artinya muatan kurikulum struktur dan konsepnya senafas
dengan nilai- nilai islam. Lebih jauh, dengan UU SISDIKNAS ini,
pendidikan agama Islam akhirnya berjalan satu paket dengan system
pendidikan nasional.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru ini
(Kurikulum tahun 1968, 1975, 1984, 1994 dan suplemen kurikulum 1999) pendidikan
agama Islam akhirnya berjalan satu paket dengan system pendidikan Nasional.
4. Sejarah Kurikulum Pendidikan Agama Islam Masa Reformasi
Sejarah telah mencatat bahwa bergantinya rezim maka akan berdampak pada
perubahan kebijakan yang berlaku. Era reformasi yang mengedepankan keterbukaan,
transparansi dan akuntabilitas, nyatanya telah pula berpengaruh pada dunia
pendidikan nasional. Kurikum di era reformasi juga telah mengalami beberapa
perubaha, diantaranya:
a. Kurikulum KBK
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Era ini memiliki visi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang berdaya saing, maju, sejahtera dalam wadah NKRI (Mulyasa, 2003:3).
Sebagai salah satu dampak dari laju reformasi adalah dibuatnya sistem
Kurikulum Berbasis Kompetensi atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Menguatkan hal diatas, pemerintah kemudian menetapkan UU No 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2
tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara. Diantara karakteristik utama KBK, yaitu:
 Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
 Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan
potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
 Berpusat pada siswa.
 Orientasi pada proses dan hasil.
 Pendekatan dan metode yang digunakan beragam da
bersifat kontekstual.
 Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
 Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
 Belajar mengetahui (learning how to know),
 Belajar melakukan (learning how to do),
 Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
 Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
Dalam KBM-nya, pendekatan belajar mengajar lebih pada jenis pendekatan CTL
(Contekstual Teaching and Learning), menyangkut konstruktuvisme, inkuiri,
bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian otentik.
Dengan ditetapkannya kurikulum 2004 ini, maka berimplikasi langsung
dengan pelaksanaan pendidikan agama islam, akhirnya madrasahpun menjadikan
kompetensi , sebagai basisnya.
Apapun model dan bentuknya, harus diakui keberadaan kurikulum menjadi
unsur penting dalam dunia pendidikan. Tanpa kurikulum, maka sulit rasanya
menerjemahkan dan mewujudkan tujuan pendidikan (Suharto, 2011:125).

5. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006


Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang
menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada
desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi
dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan
dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan
(sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang
perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini sekolah
sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan
sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong
pada lokalitas pendidikan.
Selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan agama islam di madrasah/sekolah,
dijabarkan dalam kurikulum agama yang dikeluarkan oleh KEMENAG, dan tepat
pada bulan Mei 2008 menteri Agama menandatangani PERMENAG no 02 tahun
2008, menyangkut standard kompetensi lulusan dan standard isi PAI (Sutrisno,
2012:73).
6. Kurikulum 2013
Berikut ini adalah ciri-ciri yang melekat dalam K-13, yaitu:
a. Mewujudkan Pendidikan Berkarakter
Pendidkan berkarakter sebenarnya merupakan karakter dan ciri pokok
kurikulum pendidikan sebelumnya. Dimana dalam kurikulum tersebut
dituntut bagaimana mencetak peserta didik yang memiliki karakter yang
baik, bermoral dan mmemiliki budi pekerti yang baik. Namun pada
implementasi kkurikulum ini masih terdapat berbagai kekuragan sehingga
menuaiberbagai kritik. sehingga kurikulum berbasis kompetensi ini direvisi
guna menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan dan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa.
b. Menciptakan Pendidikan Berwawasan Lokal
Wawasan lokal merupakan satu hal yang sangat penting. Namun pada
kenyataan yang terjadi selama ini, potensi dan budaya lokal seaan terabaikan
dan tergerus oleh tingginya pengaruh buudaya modern. Budaya yang cenderung
membawa masyarakat untuk melupakan cita-cita luhur nenek moyang dan
potensi yang dimilikinya dari dalam jiwa. Hal itulah yang mendoronggg
bagaimana penanaman budaya lokal dalam pendidikan dapat diterapkan.
Sistem ini akan diterapkan dalam konsep sintem pendidikan kurikulum 2013.
Sistem yang dapat lebih mengentalkan budaya lokal yang selamaa ini dilupakan
dan seakan diacuhkan. Olehnya itu dengan sistem pendidkan kurikulum 2013
diharapkan pilar budaya lokal dapat kembali menjadi inspirasi dan
implementasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dihrapkan budaya lokal dapat
menjadi ciri penting dan menjadi raja di negeri sendiri dan tidak punah
ditelan zaman.
c. Menciptakan Pendidikan yang Ceria dan Bersahabat
Pendidikan tidak hanya sebagai media pembelajaran. Tetapi pada
dasarnya pendidikan merupakan tempat untuk menggali seluruh potensi
dalam diri. Olehnya itu, dengan sistem pendidikan yang diterapkan pada
kurikulum 2013 nantinya akan diharapkan dapat menggali seluruh potensi
diri peserta didik, baik restasi akademik maupun non akademik. Maka
dengan begitu pada kurikulum 2013 nantinya akan diterapkan pendidikan
yang lebih menyenangkan, bersahabat, menarik dan berkompeten. Sehingga
dengan cara tersebut diharapkan seluruh potensi dan kreativitas serta inovasi
peserta didik dapat tereksploitasi secara cepat dan tepat.
Kurikulum adalah perangkat yang diberikan oleh suatu lembaga
pendidikan yang berisi rancangan pembelajaran yang akan diberikan kepada
peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan Mahmud, 2010:408).
Curriculum is the totally of learning experiences provided to student so that
they can attain general skills and knowledge at the variety learning sites
(George Willis, 2007:11).
Dapat dipahami bahwa kurikulum dimaksudkan untuk mengarahkan
pendidikan ke arah tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Sebagai
rancangan pendidikan mempunyai kurikulum kedudukan sentral dalam
sebuah kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil dari
sebuah pendidikan. Kurikulum memiliki hubungan yang erat dengan usaha
mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Dari pemaparan ditasa dapat disimpulkan bahwa pada masa Reformasi dengan
ditetapkannya kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ini, maka berimplikasi
langsung dengan pelaksanaan pendidikan agama islam, akhirnya madrasahpun
menjadikan kompetensi , sebagai basisnya.
Adapun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 merupakan
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu- rambu
yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini sekolah
sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan
sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada
lokalitas pendidikan. Selanjutnya, penyelenggaraan pendidikan agama islam di
madrasah/sekolah, dijabarkan dalam kurikulum agama yang dikeluarkan oleh
KEMENAG, dan pada bulan Mei 2008 menteri Agama menandatangani PERMENAG
no 02 tahun 2008, menyangkut standard kompetensi lulusan dan standard isi PAI.
Sedangkan kurikulum yang tahun 2013 (K-13) ini berorientasi pada mewujudkan
pendidikan berkarakter, menciptakan pendidikan berwawasan local serta menciptakan
pendidikan yang ceria dan bersahabat.

B. Isi Kurikulum PAI Menurut Cendikia Muslim


Berikut ini beberapa pemikir ulama tentang isi kurikulum pendidikan Islam di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran Al-Abrasyi, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir Tentang Isi Kurikulum
Sebagaimana dikutip oleh alAbrasyi, bahwa Kurikulum Pendidikan Islam
terbagi dalam dua tingkatan, yaitu: Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i) yang
mencakup materi kurikulum pemula difokuskan pada pembalajaran al Qur’an dan as
Sunnah, dan tingkatan atas (manhaj‘ali) yakni kurikulum yang mempunyai dua
kualifikasi, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu
syari’ah yang mencakup fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan ilmu- ilmu yang ditujukan
untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti, ilmu
bahasa, matematika dan mantiq (logika). Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir
mengambil isi Kurikulum Pendidikan Islam yang berpijak pada QS.Fushshilat ayat
53 :

٥٣﴿ ‫ف بِ َربِّكَ أَنَّهُ َعلَى ُكلِّ َش ْي ٍء َش ِهي ٌد‬


ِ ‫ق أَ َولَ ْم يَ ْك‬
ُّ ‫اق َوفِي أَنفُ ِس ِه ْم َحتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ ْم أَنَّهُ ْال َح‬
ِ َ‫م آيَاتِنَا فِي اآْل ف‬wْ ‫﴾ َسنُ ِري ِه‬
Terjemahnya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaa) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu
tidak cukup (bagikamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”

Dalam ayat ini terkandung tiga isi Kurikulum Pendidikan Islam, yaitu:
a. Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan” Ilmu ini meliputi ilmu kalam,
fiqh, akhlaq/tasawuf, ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan lain- lain.
b. Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Ilmu ini berkaitan dengan
perilaku manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial, berbudaya dan
berakal.Ilmu ini meliputi ilmu sejarah, politik, bahasa, filsafat, psikologi dan lain-
lain.
c. Isi kurikulum yang berorientasi pada “kealaman”. Ilmu ini berkaitan dengan alam
semesta, seperti : ilmu fisika , kimia, pertanian, perikanan, biologi danlain-lain.

2. Pemikiran Imam Al-Gazali dan Ibnu Khaldun Tentang isi Kurikulum


Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya
mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang
dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi
manusia di dunia maupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu nujum dan
ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat dan akan
meragukan terhadap adanya Tuhan. Oleh karena itu, ilmu ini harus dijauhi.
2. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu
agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang
suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena
ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan
Tuhan), misalnya ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua
kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu :
1. Ilmu yang hukum mempelajarinya Fardhu „ain yang wajib dipelajari oleh
setiap individu, misalnya ilmu agama dan cabang-cabangnya, ilmu yang
bersumber pada kitab Allah SWT.
2. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang
digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
Muhammad Munir Mursi menjelaskan bahwa al-Ghazali mengusulkan
beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah antara lain :
1. Ilmu al-Qur‟an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis, dan tafsir.
2. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafaz-lafaznya, karena ilmu
ini berfungsi membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi
yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Pengklasifikasian ilmu kepada beberapa klasifikasi seperti tersebut di atas oleh
al-Ghazali, maka implementasi dalam menyusun kurikulum al-Ghazali memberi
perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya
terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya
al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai
dengan sifat pribadinya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud.
Menurut Ibnu Khaldun ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan
kepada peserta didik yaitu :
1. Kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman, kurikulum ini mencakup
ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, bayan, dan sastra (adab) atau bahasa
yang tersusun secara puitis (syair).
2. Kurikulum sekunder yaitu yang menjadi pendukung untuk memahami Islam,
kurikulum ini meliputi filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di
dalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu
ketuhanan, ilmu-ilmu tehnik, hitung, fisika, kimia, antropologi, kedokteran,
anstronomi, sejarah, dan tingkah laku (behavior) manusia. Termasuk juga ilmu
sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Tentang ilmu nujum, Ibnu Khaldun
menganggapnya sebagai ilmu fasid (merusak), karena ilmu itu dipergunakan
untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal
itu merupakan sesuatu yang bathil berlawanan dengan ilmu tauhid dan syari’at
agama yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah itu
sendiri.
3. Kurikulum primer, yaitu merupakan kurikulum yang menjadi inti pelajaran
Islam, kurikulum ini meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqliyah, seperti al-
Qur’an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat, ilmu ushul fiqih, fiqih,
faraid, ilmu kalam, tasawuf dan lainlain.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di atas dapat
dikelompokkan menjadi: “ilmu-ilmu agama Islam yang berdasarkan otoritas syari’at
(al-‘ulûm asy-syari’iyyah al-naqliyyah), dan Ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat
alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulûm
al-‘aqliyyat).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan deskripsi diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendidikan agama Islam pada masa Prakemerdekaan sangat tidak
diperhatikan, pendidikan pada prakemerdekaan ini dipengaruhi oleh kolonialisme
yang berpusat pada agama mereka (Penjajah), selain itu dari segi kelas hanya
diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai. Konsep ideal
pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang
dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada
pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah
airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring
penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial.
2. Kurikulum 1947 masih kental dengan corak system pendidikan Jepang
ataupun Belanda, adapun Kurikulum tahun 1952-1964 diprakarsai oleh DEPAG
dengan membentuk tim yang diketuai oleh K.H. Imam Zarkasyi dari Pondok
Pesantren Gontor yang berhasil menyusun kurikulum agama yang kemudian
disahkan oleh menteri agama pada tahun 1952. Disebutkan bahwa, setelah DEPAG
berhasil menyusun kurikulum itu, pendidikan agama memperoleh porsi 25 % dari
keseluruhan mata pelajaran yang diajarkan sekolah selama seminggu.
3. Pada masa orde baru ini (Kurikulum tahun 1968, 1975, 1984, 1994 dan
suplemen kurikulum 1999) pendidikan agama Islam akhirnya berjalan satu paket
dengan system pendidikan Nasional.
4. Pada masa Reformasi dengan ditetapkannya kurikulum 2004
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) ini, maka berimplikasi langsung dengan
pelaksanaan pendidikan agama islam, akhirnya madrasahpun menjadikan kompetensi
, sebagai basisnya.
Adapun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 merupakan
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-
rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini
sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus
pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP
lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Selanjutnya, penyelenggaraan
pendidikan agama islam di madrasah/sekolah, dijabarkan dalam kurikulum agama
yang dikeluarkan oleh KEMENAG, dan tepat pada bulan Mei 2008 menteri Agama
menandatangani PERMENAG no 02 tahun 2008, menyangkut standard kompetensi
lulusan dan standard isi PAI.
Sedangkan kurikulum yang tahun 2013 (K-13) ini berorientasi pada
mewujudkan pendidikan berkarakter, menciptakan pendidikan berwawasan local
serta menciptakan pendidikan yang ceria dan bersahabat.
Serta berikut ini beberapa pemikir ulama tentang isi kurikulum pendidikan
Islam di antaranya adalah (1) Pemikiran Al-Abrasyi, Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir Tentang Isi Kurikulum. Sebagaimana dikutip oleh alAbrasyi, bahwa
Kurikulum Pendidikan Islam terbagi dalam dua tingkatan, yaitu: Tingkatan pemula
(manhaj ibtida’i) dan tingkatan atas (manhaj‘ali). Sedangkan Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir mengambil isi Kurikulum Pendidikan Islam yang berpijak pada
QS.Fushshilat ayat 53 seperti yang telah di sebutkan tadi di atas. (2) Pemikiran Imam
Al-Gazali dan Ibnu Khaldun Tentang isi Kurikulum. Pandangan al-Ghazali tentang
kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia
membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh
anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu : Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit.
Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. dan Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang
tidak boleh diperdalam. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun ada tiga kategori
kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik yaitu : Kurikulum yang
merupakan alat bantu pemahaman, Kurikulum sekunder, dan Kurikulum primer.
DAFTAR PUSTAKA

Asrahah Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu

Suhartono Toto, 2011, Filasafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ar Ruzz Media

Willis George dan Colin J. Marsh, 2007, Curriculum Altirnative, Approaches,

Ongoing Issue. New Jersey, USA, Pearson Merril Prentice Hall

Ahmadie Thoha (Penj),  Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta: Pustaka  Firdaus,  2000) Toto

Suharto,  Filsafat Pendidikan Islam  (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006)

ejournal.unuja.ac.id/index.php/edureligia/article/view/47

Anda mungkin juga menyukai