PEMICU 3
Tn R usia 24 tahun adalah korban kecelakaan lalu lintas (KLL) yang diterima di Instalasi Gawat
darurat tanggal 1 Januari 2021 pkl 03.00 dengan kondisi kesadaran spoor koma, E2M3V3, TD
70/50mmHg, N 115x/menit sinus ritme, P 28x/menit, perifer dingin, CRT > 3 detik, P battle sign
negative, raccoon eye positif, otorrhea, renorrhea (kemerahan), ring sign positif, fraktur tibia
dextra terbuka 1/3 distal dan perdarahan ++, foto rongent thorax normal, foto rongent kepala
fraktur basis cranii. Pemeriksaan laboratorium tanggal 1 Januari 2021 pkl. 04.10 ditemukan Hb
10g/dl, Hematokrit 30%, eritrosit 4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL;
SGOT 40uL SGPT 45uL; ureum 40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5 ; Na 115.
Setelah penanganan selama 3 jam di IGD kondisi pasien: kesadaran somnolen, E3M3V3, TD
110/60 mmHg, HR 100 x/menit, P 20 x/menit. Pasien dilakukan operasi craniotomy dan
pemasangan oriff pada tibia dextra. Pembedahan anestesi general berlangsung 3 jam dengan
kondisi hemodinamik untabil: 60/40 mmHg-100/50 mmHg, HR 100-130x/menit, P dengan
ventilator, perdarahan 600 cc, infus RL 2000 cc, tranfusi PRC 500 cc, urine 50 cc. pasien post
operasi pindah ke ICU
Pasien dipindahkan keruang ICU pada pukul 09.00 dengan kondisi terpasang ventilator,
kesadaran DPO (dalam pengaruh obat), TD 90/40 mmHg, HR 115x/menit, saturasi 98%, drain
pada kepala, infus RL 20 tts/menit, cairan residu NGT pasien merah segar. Instruksi post operasi
knock down; terapi : Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari, resofol 4 mg/KgBB/jam, triofusin 1000 1L/24
jam, levofloxacin 2x1 gr, manitol 3x 125 cc diberikan hingga hari ke 5 rawat (tapering off)),
PRC 500 cc.
STEP 1
STEP 2
1. Nurul Azmi : Pertolongan pertama untuk orang awam yang bisa dilakukan saat melihat
kecelakaan lalu lintas itu seperti apa?
2. Khansaa : Apa saja komplikasi yang terjadi pada operasi kraniotomi?
3. Leli : Sebagai seorang perawat, perawatan yang diberikan kepada pasien yang baru
melakukan operasi craniotomy dan dan pemasangan oriff?
4. Eneng Erna : Kondisi seperti apa yang mengindikasikan sebuah obat harus dilakukan
tapering off?
5. Saffana : Bagaimana penatalaksanaan fraktur crani dan fraktur Tibia pada
kegawatdaruratan kecelakaan pada kasus?
6. Dewi Safira : Apa saja indikasi pasien yang akan dilakukan operasi craniotomy dan
pemasangan oriff pada tibia dextra?
7. Aprilia : Kenapa pada hasil pemeriksaan lab kultur darah bisa ditemukan bakteri
pseudomonas aeruginosa mengapa bakteri tersebut bisa ditemukan didalam darah pasien?
8. Dewi Andini : Bakteri pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan penyakit apa?
apakah dapat memperparah kondisi pasien?
9. Eneng Erna : Didalam kasus Tn. R mengalami fraktur Tibia dextra terbuka dan fraktur
crani, sebagi perawat, ketika kita menemukan pasien seperti itu di tempat kejadian prinsip
apa yang bisa diterapkan untuk mengurangi risiko terjadinya perparahan dari kondisi
pasien tersebut?
10. Hasby : Asuhan keperawatan dari kasus tersebut?
11. Leli : Penyebab TD pasien menurun setelah dilakukan tindakan operasi craniotomy?
12. Selvi : Apa penyebab Tn. R sampai mengalami kesadaran spoor koma ?
13. Khansaa : Pada kasus pasien saat pertama kali ditemukan TD 70/50 dan pernapasan
115x/menit ini ga normal. Lalu bagaimana tindakan pertama perawat dalam menangani
pasien spt ini?
14. Dewi Andini : Pemantauan apa saja yang dilakukan perawat pada pasien dengan fraktur
tibia dan fraktur basis krani?
15. Firda Sundusun R : Gangguan yang terjadi pada pasien di sistem apa saja?
16. Hasby : Peran perawat dalam menangani pasien dengan kesadaran DPO?
17. Aprilia : Indikasi apa yang dilakukan jika pasien mendapatkan terapi transfusi PRC?
18. Firda Sundusun R : Kontraindikasi dari pemasangan ventilator CMV?
19. Eneng Erna : Kenapa di dalam kasus cairan residu NGT pasien berwarna segar,
penyebabnya apa?
20. Aprilia : Pemeriksaan SGOT dan SGPT fungsinya untuk apa?
21. Selvi Dianasari : Apakah kondisi Tn.R setelah dirawat di ICU selama 10 hari apakah
membaik? ditandai dengan apa?
22. Dewi Safira : Bagaimana mkbilisasi pasien ketika mengalami fraktur di rs?
23. Saffana : Pada kasus tertulis saturasi oksigen pasien sudah 98%, tetapi kenapa pasien
masih terpasang ventilator?
STEP 3
PETA KONSEP
HIPOTESA
Tn R usia 24 tahun korban kll, masuk ke igd 1 januari pukul 3 dengan fraktur tibia, kondisi
kesadara spoor koma, td rendah, nadi meningkat, pernafasan cepat, crt lebih dari 3 detik, terdapat
cairan yang keluar dari telinga, untuk hasil labaratoriumnya Hb 10g/dl, Hematokrit 30%, eritrosit
4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 40uL SGPT 45uL; ureum
40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5 ; Na 115. Setelah 3 jam di igd dilakukan operasi craniotomy
dan pemasangan oriff pada tibia dextra. Dengan indikator cedera kepala. Setelah 10 hari dirawat
di ICU TD 100/60 – 130/80 mmHg, HR 90 – 110x/menit, P 28 – 40x/menit, S 390C, luka
fraktur femur pus+. Pada tanggal 10 januari 2021 pkl 09.00 TD 110/60 mmHg,, Hr 120-130
x/menit, P35-40x/menit, AGD PH 7,30; PCO2 25 mmHg; PO2 110 mmHg; HCO3 15 mmol/L;
BE+2, Sat O2 98%; pasien masih menggunakan ventilator pressure controlled CMV. Hasil
pemeriksaan laboratorium ditemukan kultur darah positif pseudomonas aeruginosa; Hb 11g/dl,
Hematokrit 33%, eritrosit 6 juta, leukosit 20 ribu uL, trombosit 350 uL, GD 100 mg/dL; SGOT
100 uL SGPT 120 uL; ureum 75 mg/dL; creatinin 2,0 gr/dL, PCT 10 microgram/L.
Kemungkinan besar pasien mengalami infeksi.
STEP 5
Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang
dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade
dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna
yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum
dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika
(Sjamsuhidayat, 2010)
A). Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme
otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.
Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
B). Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta
ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
C). Memar
E). Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur, intensitas dan
keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus ,
meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
F). Ketegangan
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi
pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen
fraktur.
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait.
Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal
dari fraktur
J). Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi dapat
menyebabkan syok
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang
patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya
pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit,
namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar (Wiarto, 2017).
Patah tulang terbuka dapat mudah diidentifikasi dari adanya luka di daerah patahan tulang, selain
itu juga dapat dilihat adanya darah yang keluar dari luka berwarna agak kehitaman (darah dari
intrameduler), tampak juga adanya fat bubble sign, yaitu cairan dari intrameduler yang
mengandung fat globule sehingga berwarna kuning keemasan seperti minyak (Soloman, dkk.
2010 dalam Hidayati, dkk. 2018)
c. Patofisiologi
Fraktur Basis Cranii
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
paremkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia
otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi
cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi
secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera
kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat
benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari
kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu.
Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala
primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma, misalnya epidoral. Hematom yaitu adanya darah di ruang
epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal
hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa
tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan teriadi geiala-geiala
permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis
metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /menit/100 gr jaringan
otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan
fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan
udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P
dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. Fraktur basis cranii
merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak
(oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah
atau mandibula; atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi
dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit
biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih
sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan
gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum,
beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke
superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah
occiput atau mandibula (Khlilullah, 2019).
(Ishman & Friedland, 2014)
Fraktur Tibia
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum pembuluh
darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan
kerusakan jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-
pembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya, menyerap hematoma tersebut dan
menggantikannya.
Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini
menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang disebut callus. Callus
kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran
kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang. Pada permulaan akan
terjadi perdarahan disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh
darah pada tulang dan periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya.
Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut
fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang tersebut
dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga
tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel
kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan.
Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat pada
foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini
menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.
Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari
tulang dan terjadi pendarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah
tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel
pembentuk tulang primitive (osteogenik) berdiferensiasi menjadi chondroblast dan
osteoblast. Chondroblast akan mensekresi fosfat yang merangsang deposisi kalsium.
Terbentuknya lapisan tebal (callus) di sekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan
meluas, bertemu dengan lapisan callus dari fragmen satunya dan menyatu. Penyatuan dari
kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan
osteoblast yang melekat pada tulang dan meluar menyebrangi lokasi fraktur.
Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi
lebih kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami remodeling untuk
mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast tulang baru dan osteoblast
akan menyeingkirkan bagian yang rusak dan tulang sementara.
(Carter, 2016)
d. Penatalaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi
Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang schingga kembali seperti semula secara
optimal. Metode reduksi terbagi atas
a. Reduksi Tertutup : dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan). Ektermitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduk si dan
menstabilkan ekstemitas untuk penyembuhan tukang, Sinar-X harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
b. Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang fraktur untuk
meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan spaasme otot yang terjadi.
• Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menepelkan plester
langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot
pda bagian yang ciden dan biasanya digunakan untuk jangku pendek (48-72jam).
• Skeletal traksi adalah traksi yang digurakan untuk meluruskan tulang yang cidera dan
sendi panjang untuk mempertahankan traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
• Maintenance traksi menupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan dapat diberikan
secara langsung pada tulang dengan kawat atau pins.
c. Reduksi Terbuka : dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interma dalam bentuk pin, kawat, sckrup. plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang
• OREF (Open Reduction Ekstemal Fixation) adalah reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dimana tulang di transfiksasikan di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau
kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain
dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur terbuka
dengan kenusakan jaringan lunak. Alat ini memberik an dukungan yang stabil untuk
fraktur komunitif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga
posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman
bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
• ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode penatalaksanaan patah tulang
dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana dikakukan insisi pada
tempat yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang anatomic temapt yang
mengalami fraktur.
3. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang hanus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaan yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi ekstema atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu. pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungk inkan, harus mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi. segera dimulai latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
(Rasjad, 2012)
Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii
1. Operasi
Indikasi Pembedahan:
• Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis
• Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule
• Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah
• Trauma balistik pada temoral yang mengakibatkan kerusakan vaskular
• Defek luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, Pneumocephalus , atau
kebocoran LCS lebih dari lima hari
Tindakan bedah yang dilakukan:
• Craniotomy
• Duraplasty
• Cranioplasty
2. Konservatif
Perawatan non operatif di ruangan meliputi:
a. Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan tanda vital
b. Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga optimalnya suplai O2ke otak
c. Airway: menghisap secret/darah/muntahan bila diperlukan, trakheostomi. Penderita
COB dengan lesi yang tidak memerlukan evakuasi dan penderita dengan gangguan analisa
gas darah dirawat dalam respirator
d. Mempertahankan perfusi otak, memposisikan kepala head up sekitar 30 derajat dengan
menghindari fleksi leher
e. Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine, mencegah retensi urine,
mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi risiko dekubitus)
f. Head Up 302
g. Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb kurang dari
10 gr/dl.
h. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
i. Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan
sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita
j. Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti
ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita Muntah
k. Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak
operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada
keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20% dalam 24
jam. Penghentian secara gradual.
l. Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan
dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang, PHT
diberikan sebagai terapi.
m. Antibiotik Profilaksis
e. Komplikasi
Komplikasi Fraktur Basis Cranii dan Fraktur Tibia
Beberapa komplikasi dari fraktur basis cranii menurut (Smelzer, 2007):
Infeksi
Infeksi dapat menyebar langsung dari luka terbuka akibat fraktur/melalui hidung (setelah
fraktur tulang ethmoid) dan bisa juga melalui sinus lain (misal mastoid)
Kebocoran CSF
Mempengaruhi sekitar 10% dari fraktur cranium, terutama basis cranium. Dapat
didiagnosis secara klinis dengan drainase cairan jelas/serosanguineous dari telinga,
hidung atau patah tulang terbuka. Cairan dapat diuji menggunakan beta-2 transferin
dengan cara elektroforesis immunofixation untuk mengetahui ada tidaknya CSF.
Endoskopi intranasal dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial dan untuk
mendapatkan CSF untuk memantau komplikasi meningitis.
Meningitis
Meningitis dilaporkan dalam 0,7-15,3% kasus fraktur cranium. Faktor risiko meliputi
adanya fraktur terbuka, kontaminasi kotor dan keterlambatan dalam pengobatan. Prompi
debridemen dan penutupan luka terbuka akan meminimalkan risiko komplikasi infeksi.
Perdarahan Intracranial
Biasanya muncul dengan gejala hilangnya kesadaran/menurun, kejang, sakit kepala,
kelemahan/perubahan sensoris atau perubahan dalam kognitif, berbicara atau penglihatan.
Hasil CT Scan akan menunjukkan pengumpulan cairan subdural/epidural.
Deficit Neurologis
Fraktur basilar dapat merusak saraf kranial sehinga dapat terjadi deficit pendengaran,
kelumpuhan wajah (VII) atau mati rasa (V) dan nystagmus.
Fraktur dasar tengkorak dapat menyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada
tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjungtiva/ekimosis periorbital (racoon
eyes)
Beberapa komplikasi dari fraktur tibia
Komplikasi pada fraktur tibia adalah cedera pada pembuluh darah, cedera saraf terutama
n. peroneus, pembengkakan yang menetap, pertautan lambat, pseudoartrosis dan
kekakuan sendi pergelangan kaki. Sindrom kompartmen sering ditemukan pada fraktur
tungkai bawah tahap dini. Tanda dan gejala 5 P harus diperhatikan siang dan malam pada
hari pertarna pasea cedera atau pasca bedah, yaitu nyeri (pain) dikeadaan istirahat,
parestesia karena rangsangan saraf perasa, pucat karena iskemia, paresis atau paralisis
karena gangguan saraf motorik, dan denyut nadi (pulse) tidak dapat diraba lagi.
Selain itu didapatkan peninggian tekanan intrakornpartmen yang dapat diukur (pressure),
gangguan perasaan yang nyata pada pemeriksaan yang membandingkan dua titik (points)
dan kontraktur jari dalam posisi fleksi karena kontraktur otot fleksor jari. Operasi
fasiotomi ketiga kompartmen tungkai bawah merupakan operasi darurat yang harus
dikerjakan segera setelah diagnosis ditegakkan sebab setelah kematian otot tidak ada
kemungkinan fungsinya pulih kembali.
(Smeltzer, S, & Bare. 2011)
2. Operasi kraniotomi dan pemasangan oriff
a. Indikasi
indikasi dilakukannya craniotomy umumnya adalah untuk menangani:
• Tumor otak
• Infeksi otak
• Abses otak
• Pembengkakan (edema) otak
• Perdarahan dalam tulang tengkorak
• Hematoma atau terdapat bekuan darah
• Aneurisma atau atriovenous malformation
• Cedera otak traumatik dan benda asing pada kepala, contohnya peluru
• Penanganan hidrosefalus, yakni pemasangan shunt ke dalam ventrikel otak agar cairan
otak yang berlebihan dapat dikeluarkan
• Pemasangan deep brain stimulator
• Pemasangan monitor tekanan intrakranial
• Biopsi jaringan otak
• Drainase bekuan darah
• Pemasangan endoskopi untuk mengangkat tumor otak
• Trauma kepala
• Stroke hemoragik
(Satya, 2013)
Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan 'tunggu dulu' pada penderita fraktur kranium sangat berbahaya, karena diagnosis dan
penanganan yang cepat sangatlah penting.
Pertahankan A (airway)
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara yang dikeluarkan pasien,
ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar lihat ada sumbatan airway atau tidak dan
suara-suara nafas serta hembusan nafas pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan
cara kepala dimiringkan, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing.
Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi.
Pertahankan B (Breathing)
Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien bernafas spontan'tidak kemudain
pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk
dilakukan intubasi dan support pernafasan dengan memberikan masker 02 sesuai indikasi.
Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi normalnya
antara 16 - 20X/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2
antara 28 - 35 mmHg .
Pertahankan C (Circulation)
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung, tidak teraba lakukan resusitasi
jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan kenali tanda-tanda siaonosis. Waspada terjadinya
shock dan lakukan penanganan luka secara baik serta pasang infus dengan larutan RL.
Disability
Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale (GCS).
Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien sadar, memeberi respon suara terhadap
rangsang nyeri atau pasien tidak sadar. Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat
reaksi terhadap cahaya, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan
kiri.
Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain secara generalis. Tetapi
jaga agar pasien tidak hipotermi.
Secondary Survey
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC sudah mulai stabil
dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih lanjut
dan melakukan pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, MRI dan CT Scan.
(ATLS).
Operasi Craniotomy
Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel,
dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik.
Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak
terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain.
3. Electroencephalogram (EEG)
4. Angiografy Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema,perdarahan trauma.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah
(karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak.
9. Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan
TIK/perubahan mental.
11. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang.
Pemasangan Orif
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah "pencitraan" menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. X-Ray dapat dilihat
gambaran fraktur, deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan
arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
Fraktur Tibia
Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur tibia berupa:
Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan
role of two, yang terdiri dari :
Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak
terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
Darah rutin,
Faktor pembekuan darah,
Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
Urinalisa,
Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur
tersebut.
5. Ventilator mekanik CMV
Controlled Minute Ventilation (CMV)
Mode ventilasi ini sangat mirip dengan mode yang dipakai diruang operasi dimana laju nafas
dan volume tidal ditentukan oleh klinisi. CMV digunakan bila nafas spontan tidak ada atau
minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia yang berat.
Indikasi
Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah:
Laju nafas > 35
Volume tidal < 5ml/kg
Kapasitas < 15ml/kg
Oksigenasi: PaO2 < 50mmHg dengan fraksi oksigen 60%
Ventilasi: PCO2 > 50mmHg
6. Terapi obat
Instruksi post operasi knock down terapi :
1) Fentanyl 2 mcg/KgBB/hari
Fentanil merupakan obat golongan opioid yang banyak digunakan sebagai anti nyeri. Fentanil
adalah opioid sintesis yang efektif dalam menumpulkan respon simpatis pada laringoskopi
dan intubasi serta stimulus pembedahan. Fentanyl memiliki onset yang cepat, durasi yang
singkat, pelepasan histamin yang sedikit dan efek depresi kardiovaskuler yang minimal.
Pemberian dosis intravena tunggal memiliki onset cepat (30 detik), efek analgetik puncak 2-3
menit dan durasinya 20-40 menit.
Penggunaan fentanyl pada sedasi dalam adalah dengan bolus dosis tunggal 1-2 µg/kg sebelum
obat sedasi diberikan. Setelah didapatkan pengurangan nyeri yang adekuat, dosis kecil obat
sedative dapat diberikan secara titrasi untuk mendapatkan efek analgetik yang diharapkan.
Penggunaan fentanyl dengan cara seperti ini dapat menurunkan efek samping depresi napas
selama pemilihan prosedur dan pasiennya tepat.
(Soenarto, 2016)
2) Resofol 4 mg/KgBB/jam
Induksi dan pemeliharaan anestesi umum; sedasi penderita yang diberi napas buatan
(ventilated) dan mendapat perawatan intensif, digunakan hingga 3 hari. Pantau kadar lemak
darah pada pasien yang berisiko kelebihan lemak atau apabila sedasi lebih dari 3 hari;
kehamilan; menyusui; kontaminasi bakteri.
KONTAMINASI BAKTERI. Untuk menghindarkan risiko infeksi akibat kontaminasi bakteri,
teknik aseptik yang ketat harus dijalankan ketika menyedot emulsi propofol dalam alat suntik.
3) Triofusin 1000 1L/24 jam
GLUKOSA (DEKSTROSE MONOHIDRAT) : penggantian cairan dan pemberian energi.
(PIONAS Badan POM, 2015)
4) Levofloxacin 2x1 gr
INDIKASI Levofloxacin diindikasikan untuk pengobatan pada orang dewasa (≥ 18 tahun)
dengan infeksi ringan, sedang, sampai berat yang disebabkan oleh bakteri yang peka. -
Sinusitis bakterial akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophyllus
influenzae, atau Moraxella catarrhalis. - Eksaserbasi akut dari bronkitis kronik yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophyllus
influenzae, Haemophyllus parainfluenzae, atau Moraxella catarrhalis. - Pneumonia
nosokomial yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin,
Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Haemophyllus influenzae, atau Streptococcus pneumoniae. Terapi tambahan harus digunakan
ketika ada indikasi klinis. Dimana Pseudomonas aeruginosa diduga merupakan bakteri
patogen, terapi kombinasi dengan anti-pseudomonas golongan β-lactam direkomendasikan.
(First Medi Pharma, 2020)
5) Manitol 3x 125 cc diberikan hingga hari ke 5 rawat (tapering off))
Manitol merupakan jenis diuretik osmotik yang banyak atau sering dipergunakan untuk
mengatasi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan intraseluler ke
intravaskular melalui perbedaan gradien osmotik antara otak dan darah.
(Batubara dkk, 2016)
6) PRC 500 cc
Indikasi umum transfusi PRC, diindikasikan untuk pasien dengan simtomatik defisiensi
kapasitas pembawa oksigen atau hipoksia jaringan karena massa sel darah merah yang tidak
cukup beredar. PRC dapat digunakan untuk pasien dengan kehilangan darah akut yang gejala
atau kondisinya mungkin tidak membaik dengan pemberian larutan kristaloid.
(Nurfallah, 2020)
b. Cara kerja
Fentanyl : Fentanyl bekerja sebagao agonis reseptor. Mula kerja fentanil 15 menit setelah
pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgesik timbul lebih cepat
setelah pemberian subkutan atau intramuskular yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam
waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas fentanyl 75-100µg parenteral kurang
lebih sama dengan Morfin 10mg. Karena bioavabilitas oral 40-60% maka efektivitas sebagai
analgesik bila diberikan peroral setengahnya bila diberikan parenteral.
Fentanyl larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi
terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-
dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
Resofol : Penyuntikan resofol berhubungan dengan iritasi langsung obat sehingga terjadi
stimulasi reseptor vena nosisepsi atau ujung saraf bebas yang berada di sekitar vena. Nyeri
pada penyuntikan resofol berhubungan dengan konsentrasi fraksi bebas resofol dalam lipid
dan 90% fase air karena bahan dasar resofol adalah minyak dalam air yang mengandung
kedelai, gliserol, dan lesitin telur yang menimbulkan iritasi pada mukosa dinding vena.
Rangsang nyeri akan ditangkap oleh serabut saraf sensoris bermielin tipe-A-delta dan tipe C,
kemudian oleh poly-mechano reseptor rangsang nyeri diubah menjadi impuls listrik, proses
tersebut disebut fase transduksi.
(BPOM, 2015).
Triofusin : Sediaan infus yang mengandung Fruktosa, glukosa, xylitol, elektrolit, vitamin.
Triofusin E1000 digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi total dan parsial, vitamin, serta
elektrolit yang diberikan secara parenteral (melalui infus pembuluh darah) pada pasien yang
sedang menjalani perawatan di rumah sakit.
Levofloxacin : Antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga spektrum luas yang bekerja pada
bakteri gram-positif dan gram-negatif serta patogen atipikal terutama pada infeksi traktus
respiratorius
Manitol : Terdapat dua mekanisme utama manitol dalam mengurangi ICH. Mekanisme
pertama adalah meningkatkan gradien osmotik sawar otak, dimana molekul tidak bebas
berdifusi (koefisien permeabilitas rendah). Manitol menyebabkan osmosis air dari parenkim
otak, sehingga terjadi penurunan kadar air otak dan peningkatan volume ekstraseluler.
Pengurangan kadar air otak mengurangi perilesional edema, yang telah dibuktikan dalam
beberapa uji klinis dan uji pada hewan. Mekanisme kedua terkait dengan efek rheologi,
manitol dapat menurunkan hematokrit, viskositas dan deformabilitas sel darah merah
sehingga terjadi peningkatan aliran mikrovaskular dan peningkatan curah jantung serta Mean
Arterial Pressure (MAP). Peningkatan aliran darah dan oksigen ke otak serta vasokonstriksi
serebral selanjutnya mengurangi volume darah otak, mengurangi TIK dan meningkatkan CPP
(BPOM, 2015).
PRC : Sel darah merah akan menjadi komponen darah yang paling sering ditransfusikan. Sel
ini berfungsi mengalirkan oksigen dari jantung ke seluruh tubuh serta membuang karbon
dioksida.
c. Efek samping
Fentanyl : Reaksi lokal seperti ruam kulit, eritema, dan gatal. Demam atau panas dari luar,
monitor pasien untuk efek samping yang meningkat bila timbul demam (absorpsi mungkin
meningkat). Obat ini lama bekerja, oleh karena itu, pasien perlu dimonitor efek samping
selama 24 jam.
Resofol : Obat ini sering digunakan untuk tindakan pembiusan, namun menimbulkan nyeri
penyuntikan yang mengakibatkan ketidaknyamanan pasien.
Triofusin : Demam, nyeri pada saat injeksi, trombosis vena (terjadi penggumpalan darah pada
vena), flebitis (peradangan pada pembuluh darah), dan hipervolemia.
Levofloxacin : Levofloxacin berpotensi menyebabkan efek samping. Efek samping yang
umum terjadi setelah menggunakan obat ini adalah: Gangguan pencernaan, seperti diare dan
sembelit, mual dan muntah, pusing, sakit kepala, dan gangguan tidur.
Efek samping ini akan hilang dalam beberapa hari. Jika efek tersebut terasa lebih berat atau
tidak membaik, segera ke dokter. Anda juga dianjurkan untuk segera ke dokter jika
mengalami reaksi alergi obat atau efek samping yang serius, seperti:
• Perubahan volume dan warna urine.
• Nyeri atau pembengkakan otot, tendon, dan sendi.
• Kesemutan atau mati rasa.
• Dada terasa nyeri.
• Gangguan indra penglihatan, perasa, pencium, atau pendengaran.
• Diare berat atau terdapat darah pada tinja.
• Halusinasi
Manitol : Efek samping yang mungkin muncul adalah :
• Vasodilatasi sistemik dan serebral sesaat bilamana diberikan dalam dosis besar dan cepat,
• Hipovolemia intravaskuler sesaat yang dilanjutkan dengan diuresis dan hipovolemia yang
persisten,
• Gangguan elektrolit serum,
• Keadaan hiperosmotik,
• TTIK berulang (rebound phenomenon) pada penghentian pemberian yang mendadak,
• Eksaserbasi perdarahan intrakranial yang aktif,
• Dalam dosis tinggi risiko juga dapat berupa hipovolemi, hemokonsentrasi, hiperglikemia,
asidosis metabolik, gagal ginjal.
PRC : Meski jarang terjadi, transfusi darah dapat menimbulkan sejumlah efek samping. Efek
samping tersebut dapat muncul pada saat transfusi darah berlangsung atau beberapa waktu
setelahnya. Berikut ini adalah beberapa efek samping yang dapat terjadi akibat transfusi
darah:
• Demam
• Reaksi alergi (rasa tidak nyaman, nyeri dada atau punggung, sulit bernapas, demam,
mengigil, kulit memerah, denyut jantung cepat, tekanan darah turun, dan mual)
• Reaksi anafilaksis (pembengkakan pada wajah dan tenggorokan, sesak napas, serta
tekanan darah rendah)
• Kelebihan zat besi
• Cedera paru-paru
• Infeksi
• Penyakit graft versus host
• Acute immune hemolytic reaction
• Delayed immune hemolytic reaction
(Tjay, 2012).
7. Asuhan keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN
Identitas
Nama: Tn. R
Usia: 24 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB
Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB
Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
Pengkajian Primer:
A (Airway): -
B (Breathing): P 28x/menit,
C (Circulation): TD 70/50 mmHg, N 115x/menit sinum ritme, perifer dingin, CRT>3 detik
D (Disability): Kesadaran spoor koma, E2M3V3
Pengkajian Sekunder
Riwayat kesehatan sekarang: Fraktur tibia dextra terbuka 1/3 distal dan perdarahan ++
Pengkajian head to toe: P battle sign (-), raccoon eye (+), otorrhea, renorrhea (kemerahan),
ring sign (+)
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi: foto rontgent thorax normal, foti rontgent kepala fraktur basis crani
Pemeriksaan laboratorium (1 Januari 2021 pkl 04.10): Hb 10 gr/dL, hematokrit 30%,
eritrosit 4 juta, leukosit 12 ribu uL, trombosit 300 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 40 uL, SGPT
45 uL; ureum 40 mg/dL; creatinin 0,9 gr/dL; K 3,5; Na 115.
Identitas
Nama: Tn. R
Usia: 24 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00
Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 06.00
Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
Pengkajian Primer:
A (Airway): -
B (Breathing): P 20x/menit,
C (Circulation): TD 110/60 mmHg, HR 100x/menit
D (Disability): Kesadaran somnolen, E3M3V3
Tindakan yang dilakukan:
Operasi cranitomy dan pemasangan oriff pada tibia dextra
Monitor selama Operasi :
TD 60/40 mmHg -100/50 mmHg
HR 100-130x/menit
P dengan ventilator
Perdarahan 600 cc
Urin 50 cc
Terapi selama Operasi :
Infus RL 2000 cc
Transfusi PRC 500
Identitas
Nama: Tn. R
Usia: 24 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00 WIB
Tanggal pengkajian: 1 Januari 2021 pukul 09.00 WIB
Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
Pengkajian Primer:
A (Airway): -
B (Breathing): Saturasi oksigen 98%
C (Circulation): TD 90/40 mmHg, HR 115x/menit,
D (Disability):
Terapi yang diberikan
Identitas
Nama: Tn. R
Usia: 24 tahun
Jenis kelamin: Laki-laki
Tanggal masuk IGD: 1 Januari 2021 pukul 03.00
Tanggal pengkajian: 10 Januari 2021 pkl 09.00
Keluhan utama: Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
Pengkajian Primer:
A (Airway): -
B (Breathing): P 35-40x/menit, saturasi oksigen 98%
C (Circulation): TD 110/60 mmHg, HR 120-130x/menit
D (Disability):
Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan AGD: PH 7,30; PCO2 25 mmHg, PO2 110 mmHg; HCO3 15 mmol/L; BE+2
Pemeriksaan laboratorium: kultur darah + pseudomonas aeruginosa; Hb 11g/dl, hematokrit
33%, eritrosit 6 juta, leukosit 20 ribu uL, trombosit 350 uL, GD 100 mg/dL; SGOT 100 uL,
SGPT 120 uL; ureum 75 mg/dL; kreatinin 2,0 gr/dL, PCT 10 mcg/L
Analisis Data :
DI IGD jam pertama
Diagnosa Prioritas
Intervensi
DI IGD jam pertama
Manajemen perdarahan
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Identifikasi penyebab
perdarahan
Periksa adanya darah pada
muntah, sputum, feses, urine,
pengeluaran NGT dan drainase
luka, jika perlu
Periksa ukuran dan
karakteristik hematoma, jika
ada
Monitor terjadinya perdarahan
(sifat dan jumlah)
Monitor nilai hemoglobin dan
hematokrit sebelum dan
setelah kehilangan darah
Monitor tekanan darah dan
parameter hemodinamik
Monitor intake dan output
cairan
Monitor koagulasi darah
Monitor tanda da gejala
perdarahan masif
Terapeutik
Edukasi
Jelaskan tanda-tanda
perdarahan
Anjurkan melapor jika
menemukan tanda-tanda
perdarahan
Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi
Terapi oksigen
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Terapeutik
Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Pemberian analgesic
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Terapeutik
Kolaborasi
Edukasi
Pencegahan perdarahan
Observasi
Terapeutik
Kolaborasi
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasi prosedur
debridement (mis. enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik),
jika pertu
Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
Edukasi
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Observasi
Terapeutik
Observasi
Identifikasi penyebab
perdarahan
Periksa adanya darah pada
muntah, sputum, feses, urine,
pengeluaran NGT dan drainase
luka, jika perlu
Periksa ukuran dan
karakteristik hematoma, jika
ada
Monitor terjadinya perdarahan
(sifat dan jumlah)
Monitor nilai hemoglobin dan
hematokrit sebelum dan
setelah kehilangan darah
Monitor tekanan darah dan
parameter hemodinamik
Monitor intake dan output
cairan
Monitor koagulasi darah
Monitor tanda da gejala
perdarahan masif
Terapeutik
Edukasi
Jelaskan tanda-tanda
perdarahan
Anjurkan melapor jika
menemukan tanda-tanda
perdarahan
Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Observasi
Monitor tekanan darah
Monitor nadi (frekuensi,
kekuatan, irama)
Monitor pernapasan (frekuensi,
kedalaman)
Monitor suhu tubuh
Monitor oksimetri nadi
Monitor tekanan nadi (selisih
TDS dan TDD)
Identifikasi penyebab
perubahan tanda vital
Terapeutik
Edukasi
Perawatan Luka
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasi prosedur
debridement (mis. enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik),
jika perlu
Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
Edukasi
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Regulasi Temperatur
Observasi
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
antipiretik, Jika perlu
Terapeutik
Edukasi
Observasi
Monitor kecepatan aliran
oksigen
Monitor posisi alat terapi
oksigen
Monitor aliran oksigen secara
periodic dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah ), jika perlu
Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik
Edukasi
Kolaborasi
Manajemen Ventilasi
Mekanik
Observasi
Terapeutik
Kolaborasi
Angelika, Irene dan Eko Prasetyo. 2019. Evaluasi Radiologi pada Kasus Fraktur Basis Kranii.
Diambil dari https://ejournal.unsrat.ac.id. Diakses pada 3 November 2021 pukul 15.21 WIB.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional, Badan POM RI.
Jakarta. Diperoleh dari http://pionas.pom.go.id. Diakses pada tanggal 03 November 2021
Pukul 12.40 WIB.
Batubara, Budi Harto dkk. 2016. Perbandingan Osmolaritas Plasma Setelah Pemberian Manitol
20% 3 mL/ kgBB dengan Natrium Laktat Hipertonik 3 mL/kgBB pada Pasien Cedera Otak
Traumatik Ringan-Sedang. Jurnal Anestesi Perioperatif 4 (3). Diperoleh dari
http;//journal.fk.unpad.ac.id diakses pada 3 November 2021 23:57 WIB
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria.
Carter Michel A. 2016. Fraktur dan Dislokasi dalam: Price Sylvia A, Wilson Lorraine McCarty.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh. 2014. Keperawatan Medikal bedah, Ed. I.
Yogyakarta: Rapha publishing.
Elon, Yunus, Dkk. 2021. Teori dan Model Keperawatan. Medan: Yayasan Kita Menulis.
First Medi Pharma. 2020. Levofloxacin Hemihydrate. Diperoleh dari http;//firstmedipharma.
Co.id
Ishman & Friedland. 2014. Temporal Bone Fractures: Tradutional Classification and Clinical
Relevance. Laryngoscope
Greenberg, M. S., 2016, Handbook of Neurosurgery, 8th edn, Thieme Medical Publishers Inc,
New York.
Greenberg. 2016. Seri Buku Kecil Terapi Alternatif. Yogyakarta : Yayasan Spritia.
Hidayati, Afif Nurul, dkk. (Ed.) 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Airlangga
University Press.
PIONAS Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2015. Propofol. Diperoleh dari
http;//poinas.pom.go.id diakses pada 3 November 2021 23:21 WIB
Pratama, Razi Ageng., dkk. 2020. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal Of
Anaesthesia and Pain. Volume 1 No. 3 E-ISSN 2722-3205. Diakses dari https://jap.ub.ac.id
pada tanggal 3 November 2021 pukul 16.30 WIB.
Rasjad, Chairuddin. 2012. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
Rosyid A & Marhana I. 2020. Bunga Rampai Kedokteran Respirasi 2020. Surabaya : Airlangga
University Press.
Muttaqin, Arif. 2013. Buku Saku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC.
Smeltzer, C. S., & Bare, B. G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Philadelphia:
Lippincott william & Wilkins
Smeltzer, S, & Bare. 2011. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical Nursing.
Philadelpia : Lippin cott
Smelzer, Suzanne. C. 2011 . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed. 8
Vol. 3. Jakarta: EGC.
Soenarto, R. F., 2016. Opioid Intraanestesi. In: S. Chandra & E. Harijanto, eds. Opioid dalam
Praktik Anestesi dan Terapi Intensif. Jakarta: Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi
Intensif Indonesia.
Solomon, L., Warwick, D., and Nayagam, S. 2010. Apley’s System of Orthopaedic and
Fractures. 9th Ed. London: Hodder Arnold.
Tjay Tan Hoan. 2012. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan Dan Efek Sampingnya. Pt Elex
Media Komputindo : Jakarta