Anda di halaman 1dari 8

AGENESIS GIGI INSISIVUS LATERAL PADA PASIEN MALNUTRISI

(Laporan Kasus)

Ida Ayu Mita1 Linda Sari Sembiring2

1
Mahasiswa Program Profesi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Kristen Maranatha
2
Dosen Pembimbing Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Kristen Maranatha

Abstract
Tooth agenesis or hypodontia is one of the most common anomalies of the
human dentition, characterized by the developmental absence of one or more teeth.
They typically affect those teeth during initiation phase. This paper present a case of
15 Years old boy who doesn’t have insisivus lateral maxilla and among the
anamnesis and also physical examination this boy has characterized of a
malnutrition. As we know that one of aetiology of agenesis is a malnutrition that can
interrupted the developmental of human body and also oral cavity including teeth.

Keywords : agenesis, malnutrition

Abstrak
Agenesis gigi atau hipodontia adalah salah satu anomaly yang sering
ditemukan pada keadaan gigi manusia, dikarakteristikan oleh tidak adanya
perkembangan dari satu atau lebih gigi. Secara tipikal agenesis terjadi pada gigi saat
phase inisiasi. Makalah ini membahas kasus dari seorang anak laki-laki usia 15 tahun
yang tidak memiliki benih gigi insisif lateral maksila dan berdasarkan anamnesis dan
juga pemeriksaan klinis, anak dikategorikan dalam kategori malnutrisi. Sebagai mana
kita ketahui bahwa salah satu penyebab dari agenesis gigi adalah adanya gangguan
nutrisi yang dapat mengganggu perkembangan tubuh anak dan juga rongga mulut
termasuk didalamnya adalah gigi.
Kata kunci :agenesis, malnutrisi

1
Pendahuluan
Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang berkembang
dari interaksi antara sel epitel rongga mulut dan sel bawah mesenkim. Setiap gigi
berbeda secara anatomi, tapi dasar proses pertumbuhannya dan erupsi adalah sama
pada semua gigi. Erupsi gigi merupakan suatu proses yang berkesinambungan
dimulai dari awal pembentukan melalui beberapa tahap sampai gigi muncul ke
rongga mulut. Erupsi gigi adalah proses yang bervariasi pada setiap anak. Variasi ini
masih dianggap sebagai suatu keadaan yang normal jika lamanya perbedaan waktu
erupsi gigi masih berkisar antara 2 tahun.

Perkembangan gigi-geligi melalui proses kompleks yang disebut juga


odontogenesis, dalam mekanisme pembentukan gigi terbagi dalam tahap morfologi
dan fase fisiologis. Jika pada prosesnya tidak berjalan dengan baik maka dapat
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan pada gigi baik itu kelebihan gigi atau
kekurangan gigi (supernumerary teeth atau agenesis). Kemungkinan agenesis sering
ditemukan pada gigi yang berkembang terakhir dari setiap kelas morfologi gigi, yakni
insisivus lateral, premolar dua, dan molar tiga.. Hal ini dapat menimbulkan masalah
estetis dan mempengaruhi psikologis anak.

Pada tahap erupsi gigi ini dapat terjadi gangguan erupsi gigi, misalnya terlambat
atau cepatnya gigi permanen erupsi berdasarkan umur tiap anak, hal ini dapat
menyebabkan kelainan-kelainan pada tahap erupsi gigi permanen. Oleh karena itu,
erupsi gigi permanen pada anak merupakan hal yang harus diperhatikan. Variasi
dalam erupsi gigi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor RAS, genetik,
hormonal, jenis kelamin, geografis, status ekonomi, budaya serta nutrisi.

Nutrisi individu dapat dinilai melalui status gizi, status gizi merupakan status
kesehatan tiap individu yang dukur dari tinggi badan dan berat badan berdasarkan
umur. Status gizi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu status gizi baik dan status gizi

2
buruk. Status gizi dipengaruhi oleh asupan nutrisi dari makanan dan minuman yang
dikonsumsi.

Pada anak dengan status gizi yang baik, pertumbuhan dan perkembangan gigi
permanennya berjalan dengan normal, sedangkan pada anak yang mengalami
gangguan asupan nutrisi maka akan terjadi gangguan baik pada benih gigi maupun
proses erupsi.

2
Selain itu, menurut penelitian Thomaz EBAF, et al. yang dilakukan di Bahia,
diperoleh hasil kekurangan gizi kronik pada anak usia dini dapat menyebabkan
tertundanya erupsi gigi, serta status gizi dapat dikaitkan dengan maloklusi gigi, yaitu
pada anak-anak yang menderita gizi buruk dapat menyebabkan perubahan spasial gigi
pada rahang.

Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun datang ke RSGM Maranatha
mengeluhkan gigi taring kiri tidak tumbuh, sementara gigi taring kanan sudah tumbuh
sejak 2 tahun lalu, dan gigi depan hanya berjumlah 3. Pada pemeriksaan klinis dan
interpretasi radiografi ditegakkan bahwa :
a. Terdapat impaksi gigi 23. Gambaran radiologis memperlihatkan bahwa akar gigi
23 belum seluruhnya terbentuk, mahkota gigi sudah terbentuk sempurna, mahkota
gigi 23 cenderung ke arah distal
b. Tidak terdapat benih gigi 12 dan 22
c. Persistensi gigi 53
d. Karies profunda gigi 63

Pada awalnya gigi 63 dilakukan perawatan pulpektomi, namun saat sedang


dilakukan preparasi gigi terdapat pus yang keluar dan terjadi kegoyangan sehingga

3
dilakukan pencabutan pada gigi 63. Kemudian rencana perawatan untuk celah antara
gigi 21 dan 24 adalah dibuatkan space regainer, namun terdapat cross bite anterior
sehingga rencana perawatan diubah, dan dipilih penggunaan ortodontik lepasan untuk
koreksi cross bite anterior, crowding, dan menutup celah antar gigi sehingga dapat
memberikan ruang yang cukup untuk erupsi gigi 23. Gigi 53 dipertahankan, untuk
menjaga agar tidak ada celah antara gigi 13 dan 14.

Gambar 1. Gambaran panoramik pada pasien

Berdasarkan pemeriksaan fisik pasien, pasien memiliki perawakan tubuh lebih


kecil dibandingkan dengan anak laki-laki sebaya nya, tinggi badan pasien sejak
kunjungan awal ke dokter gigi yaitu tahun 2013 tidak ada perubahan sampai saat ini.
Berat badan pasien saat awal kunjungan 25kg dengan tinggi badan 129 cm dan
sampai saat ini tidak menunjukan peningkatan yang berarti. Tanda –tanda seks

4
sekunder seperti Suara pasien belum pecah seperti anak laki-laki sebayanya.
Berdasarkan anamnesa pada pasien dan pengasuh pasien, pasien biasa hanya makan
dengan nasi dan garam, sangat jarang makan dengan lauk pauk dan sayuran sejak
kecil, tingkat sosioekonomi dan pendidikan pasien rendah, dan anak tidak tinggal
dengan orang tua.

Pembahasan

Bentuk gigi desidui sudah mulai berkembang pada usia 4 bulan dalam kandungan.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi,
proliferasi, histodiferensiasi, morfodiferensiasi, aposisi, kalsifikasi dan erupsi. Pada
masing-masing tahap dapat terjadi kelainan yang menyebabkan anomali dalam
jumlah gigi, ukuran gigi, bentuk gigi, struktur gigi, warna gigi dan gangguan erupsi
gigi

Jumlah gigi manusia yang normal adalah 20 gigi sulung dan 32 gigi tetap, tetapi
dapat dijumpai jumlah yang lebih atau kurang dari jumlah tersebut. Kelainan jumlah
gigi adalah dijumpainya gigi yang berlebih karena benih berlebih atau penyebab lain
dan kekurangan jumlah gigi disebabkan karena benih gigi yang tidak ada atau kurang.

Agenesis adalah istilah untuk keadaan dimana pasien kehilangan gigi akibat
kegagalan perkembangan. Pada periode gigi permanen, kehilangan gigi terjadi lebih
sering pada maksila dan seringnya terjadi pada insisif lateral. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa prevalensi kehilangan gigi permanen 0,1 – 0,9 dari populasi
Kaukasian, seimbang antara laki-laki dan perempuan. Perkembangan kehilangan gigi
permanen keadaan nya terjadi pada maksila dan mandibula. Pada populasi kaukasia
molar ketiga adalah gigi yang paling sering hilang, lalu selanjutnya gigi premolar dua
mandibula, insisif lateral maksila, dan premolar dua maksila. Rasio perempuan dan
laki-laki yang dilaporkan adalah 4:1. Kehilangan gigi molar ketiga terjadi 9-30%.

5
Banyak hipotesa yang berbeda telah dikemukakan tentang etiologi kelainan
jumlah gigi, sehingga saat ini tidak ada yang dapat mengatakan dengan pasti sebagai
etiologi, tetapi sifat herediter mempunyai peranan dengan melihat ras dan tendensi
keluarga. Faktor lingkungan dapat menyebabkan pecahnya benih gigi ketika bayi
masih dalam kandungan, misalnya radiasi, trauma, infeksi, gangguan nutrisi dan
hormonal. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kekurangan gizi, atau sebaliknya
kurang gizi juga menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Terjadinya hubungan
timbal balik antara kejadian penyakit infeksi dan gizi kurang maupun gizi buruk.
Penyakit infeksi memiliki resiko yang buruk terhadap balita, resiko yang dapat terjadi
adalah pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan.

Salah satu etiologi hipodontia adalah adanya malnutrisi, oleh sebabnya penting
untuk melakukan penilaian penentuan status gizi, masalah yang berhubungan dengan
proses pemberian makanan dan diagnosis klinis pasien. Anamnesis meliputi asupan
makan, pola makan, toleransi makan, perkembangan oromotor, motorik halus dan
motorik kasar, perubahan berat badan, faktor sosial, budaya dan agama serta kondisi
klinis yang mempengaruhi asupan. Penimbangan berat badan dan pengukuran
panjang/tinggi badan dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan timbangan
yang telah ditera secara berkala. Pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum dan tanda
spesifik khususnya defisiensi mikronutrien harus dilakukan.

Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat asupan gizi yang cukup,
malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan di
antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk mempertahankan
kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit ataupun pengambilan
makanan yang tidak seimbang.

Pada kasus, pasien memiliki berat badan 25kg dan tinggi badan 129 cm
berdasarkan indeks BMI didapatkan nilai 15,00 sehingga dikategorikan kedalam
kategori underweight (<18,5). Benih insisif lateral mulai mengalami kalsifikasi saat

6
usia 10-12 bulan, berdasarkan anamnesa dari pengasuh dan orang tua saat anak saat
baru lahir keadaan ekonomi tergolong sulit sehingga asupan gizi tidak adekuat dan
tidak ada pengetahuan mengenai pemberian ASI dan diet sehat.

Hilangnya benih gigi insisifus lateral diduga dikarenakan adanya infeksi pada saat
pembentukan benih gigi terutama pada proses inisiasi gigi pada usia 10-12 bulan.
Seperti telah dibahas sebelumnya adanya ketidak adekuatan asupan gizi pada anak
maka dapat menyebabkan terjadinya infeksi yang mempengaruhi proses inisiasi benih
gigi insisif lateral.
Perawatan untuk pasien agenesis membutuhkan perawatan interdisiplin. Kerja
sama yang baik dari dokter gigi umum, dokter gigi anak, dokter gigi ortodontik,
dokter gigi bedah mulut, dan dokter gigi prostodontik yang saling memberikan
kontribusi akan memberikan hasil yang optimal untuk pasien.

Tujuan perawatan gigi pada pasien hipodonsia adalah untuk menjaga gigi yang
masih ada, meningkatkan estetik, memudahan pasien untuk makan berbagai jenis
makanan, meningkatkan kemampuan bicara,meningkatkan rasa diterima oleh
keluarga dan lingkungan, dan meningkatkan kenyamanan emosional dan psikologis.

Daftar Pustaka
1. Mc Donald, R. (2004). Dentistry for the Child and Adolescent. Mosby:
Elsevier.
2. Pinkham, J.R., et.al. 2005. Pediatric Dentistry Infancy Through Adolesence.
4th ed. Saunders : St. Louis.

3. Nunn JH, et al. The Interdisciplinary Management of Hypodontia:


Background and Role of Paediatric Dentisty. British Dental Journal; Volume
194 No. 5 March 8 2003.

7
4. Valle AL, et al. A Multidisciplinary Approach for the Management of
Hypodontia: Case Report. J Appl Oral Sci; Volume 19 No. 5: 544-8 2011.

5. McDonald RE. Dentistry for Child and Adolescent. 8th ed. St. LouisMosby:
2004.

6. Gill DS, et al. Counselling Patient with Hypodontia. Dental Update. 2008.
June.

Anda mungkin juga menyukai