KESATU :
ATAU
KEDUA :
Bertitik tolak dari kerangka yang dibangun Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
kepolisian untuk kemudian berlanjut pada Dakwaan Penuntut Umum, pada
dasarnya adalah langkah penegakan hukum demi menemukan kebenaran
materiil –bukan hanya kebenaran formil belaka- pada hukum pidana. Dalam
arti proses yang kita adalah menegakkan prinsip-prinsip hukum pidana yang
berlaku bagi segenap warga negara tanpa pandang bulu, demi terwujudnya
kebenaran dan keadilan yang dituangkan dalam putusan Majelis Hakim Yang
Mulia yang sering diibaratkan sebagai perpanjangan tangan Tuhan di dunia
ini.
Surat dakwaan yang memuat berbagai uraian verbal tindak pidana yang di
duga dilakukan terdakwa, haruslah disusun berdasarkan bahan-bahan/fakta-
fakta, kemudian ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan
yang sudah tertuang secara resmi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan.
Pada Tahun 399 SM, Socrates sebagai filsuf besar dalam usianya yang 70
Tahun, dihadapkan pada persidangan yang terkenal dengan “Court of The
Heliast”, dimana pada persidangan tersebut Socrates diadili oleh 501 Warga
Athena. Jumlah Ganjil untuk menjamin suatu putusan bebas atau bersalah
dalam peradilan tersebut. Pada dasarnya, peradilan ini menuduh Socrates
melakukan dua kejahatan, yaitu :
● Pertama : Socrates sengaja menolak menyembah dewa resmi
Yunani
● Kedua : Socrates sengaja merusak pikiran generasi muda
Yunani
Tiga orang Penuduh (Penuntut) yaitu Anytus, Meletus dan Cylin maju ke
hadapan persidangan dan membacakan kedua tuduhan yang didakwakan
kepada Socrates. Dari awal dibuka persidangan, Socrates telah dengan sadar
menyakini bahwa ia sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari
persidangan sebagai orang bebas, karena sebagian besar hakim adalah
musuh-musuhnya dan demikian pula dengan penuduhnya. Untuk tuduhan
tidak beragama, Socrates akan dengan mudah menangkis karena pokok
masalahnya tidak langsung menyangkut kehidupan warga Athena. Tapi,
Berkaca dari hal tersebut, sudah sepantasnya apabila kita yang hadir dalam
persidangan ini kembali mengetuk hati nurani masing-masing dalam melihat
dan mempelajari dengan seksama perkara yang tengah kita hadapi. Marilah,
bersama-sama menghilangkan segala tendensi atau kepentingan apapun.
“Hukum adalah suatu perintah yang masuk akal, ditujukan untuk
kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas
suatu masyarakat yang dipromulgasikan”.
Demikianlah defisini hukum menurut Thomas Aquinas, dimana definisi ini
tetap menjadi definisi yang lengkap dan aktual hingga saat ini. Hukum adalah
suatu perintah yang logis. Kalau ada hukum yang tidak logis maka hukum itu
bertentangan dengan eksistensinya sendiri. Kelogisan hukum itu sendiri
dapat diverifikasikan dalam kalimat-kalimat yang tertuang dalam perumusan
suatu tata aturan serta tata system yang kemudian menjadi tolak ukur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ketika proses dalam memperoleh keadilan pada suatu peradilan pidana yang
dimulai dari tahap penyidikan hingga adanya putusan peradilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap gagal untuk mewujudkan keadilan, maka
terjadilah apa yang kita kenal dengan “Miscarriage of Justice” (Kegagalan
dalam penegakan keadilan). Persoalan “Misscarriage of Justice” sendiri
Selain itu kami selaku Para Penasihat Hukum Terdakwa melihat Surat
Dakwaan dari Rekan Jaksa Penuntut adalah dakwaan tidak cermat
karena tidak didasarkan atas suatu penyidikan sebenarnya dan adanya
bagian-bagian dalam proses penyidikan yang dihilangkan serta diitambahkan
begitu saja untuk kemudian dimasukkan dalam Dakwaan oleh Rekan
Penuntut Umum.
Bahwa karena surat dakwaan itu disusun berdasarkan kesimpulan dari hasil
penyidikan, dengan sendirinya apabila hasil penyidikan itu mengandung
Bahwa karena semua atau sebagian besar hasil penyidikan telah tertuang
dalam Berkas Perkara yang dibuat penyidik pada Polresta Surabaya Nomor :
BP / 355 / IV / 2013 /Satreskrim Tanggal 29 April 2013 , selanjutnya disebut
juga: BERKAS PERKARA, maka untuk keperluan penyusunan KEBERATAN ini
selain Surat Dakwaan Penuntut Umum, Berkas Perkara yang dibuat oleh
penyidik itu juga akan menjadi bahan analisis yang sangat penting dalam
KEBERATAN yang kami ajukan selaku Penasihat Hukum terdakwa ini;
Bahwa Terdakwa dan para advokatnya yakin karena cacat formal atau
kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik dalam Surat
Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap penyidikan itu cukup
mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan pembentuk undang-
undang melalui KUHAP, maka sangat diharapkan Majelis Hakim Yang Mulia
mau memberi tempat yang selayaknya bagi KEBERATAN yang diajukan
Terdakwa atau para advokatnya dalam perkara ini.
Bahwa kami para Penasihat Hukum Terdakwa menyadari benar apa yang
dikemukakan Pror. Mr. Taverne, bahwa Jaksa dalam menyusun dakwaan
hidup dibawah tirani tuduhan. Dalam pada itu, banyak tuduhan yang
dituangkan dalam bentuk tidak menguntungkan “lessbarheid”nya yaitu
mengurangi pengertian bagi terdakwa dan menimbulkan kesulitan
(“ingewikkeldheid”), sehingga sudah cukup sempurna apabila disebutkan
secara singkat mengenai “feiten” disertai penyebutan tempat dan waktu
dimana perbuatan dilakukan.
Parahnya lagi, keterangan Legal Opini Ahli Pidana (Prof. Dr. H. Didik
Endro Purwoleksono,SH,MH) yang pernah diajukan Terdakwa dan para
Penasihat Hukumnya sama sekali tidak dilampirkan dalam berkas
perkara dan juga tidak disertakan sebagai salah satu alat bukti yang
dalam berkas perkara ini. Padahal jelas dan tegas keterangan ahli
dalam legal opini yang diberikan saat penyidikan menyatakan perkara
yang sedang disidik Penyidik Polrestabes Surabaya atas nama tersangka
Selain itu, apabila dikaji lebih dalam Surat Dakwaan penuntut Umum,
ternyata bagian tertentu yang dihilangkan atau disembunyikan adalah bagian
yang sangat merugikan posisi Terdakwa, dan sebaliknya bagian tertentu
yang ditambahkan Penuntut Umum adalah bagian yang menguntungkan
posisi Saksi Irwan Candra sehingga perkara ini dengan yakinnya oleh
Penuntut Umum dilanjutkankan ke proses pelimpahan perkara ke
Pengadilan Negeri Surabaya di Surabaya untuk disidangkan.
Karena itu, kami sependapat dengan Ahli Hukum Pidana Hoenagels yang
menyebutkan “Jangan menggunakan Hukum Pidana untuk mempidana
Perbuatan yang tidak jelas korbannya dan Kerugiannya”
Jika ada Sengketa mengenai Hak Milik menjadi Objek Sengketa dimana ada 2
(dua) Orang atau lebih sama–sama mengaku berhak, maka terlebih dahulu
harus diselesaikan secara perdata hingga mendapatkan kekuatan hukum
tetap karena proses secara pidana merupakan upaya terakhir (ULTIMUM
REMEDIUM).
Bahwa andaikata saksi Irwan Candra merasa berhak atas obyek tersebut
seharusnya yang bersangkutan menempuh jalur hukum perdata dengan
mengajukan gugatan secara perdata bukan dengan cara–cara melakukan
Bahwa kasus pidana yang sedang kita hadapi ini adalah merupakan “Kasus
Rekayasa” yang dilakukan segilintir orang yang Profesional Litigator (Tukang
Pembuat Perkara). Sungguh sangat disayangkan Rekan Penuntut Umum
dalam kasus Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias Hok Kian Lai ikut
hanyut dalam Permainan Tukang Pembuat Perkara dengan memperkosa
kaedah-kaedah Hukum untuk maksud–maksud tertentu dan dengan tujuan
tertentu, dimana Terdakwa Soleh Harijanto ataupun kami para Penasihat
Hukum terdakwa tidak mengetahuinya.
Atas uraian eksepsi/keberatan yang telah kami sampaikan maka dengan ini
kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa Soleh Harijanto Bin Slamet alias
Hok Kian Lai memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim pemeriksa perkara
ini agar berkenan menetapkan dan memutuskan :
NOOR AUFA, SH S.P. WIBOWO, SH, MH