Anda di halaman 1dari 3

Menjadi Mahasiswa “mencari Identitas di dunia Ide”

Sunandar Ihsan
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo, Kendari
Jl. H.E.A Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonuhu Kendari
Email: sunandar.elrumi@gmail.com

Mahasiswa mahluk apakah itu…? Pertanyaan menggelitik yang menandakan dua hal, mencari identitas
dan mencari defenisinya, mangkarakterisasi sifat-sifatnya untuk menempatkannya pada posisinya yang
pas.
Menjadi mahasiswa adalah salah satu keberuntungan yang harus dirayakan mengingat tidak semua orang
merasakan bangku kuliah. Data mahasiswa aktif seluruh Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia saat ini yang telah
terdaftar di pangkalan DIKTI baik perguruan tinggi negeri maupun swasta berjumlah 5.046.214 dengan rincian
2.704.893 orang perempuan dan laki-laki 2.341.321 orang. Jika berdasarkan kategori PT maka jumlah mahasiswa
aktif PT Negeri adalah 2.054.935 (dengan jumlah perempuan sebanyak 1.211.784 orang dan laki-laki 843.151
orang), sedangkan PT Swasta total ada 2.991.278 orang dengan jumlah perempuan 1.493.109 orang dan laki-laki
berjumlah 1,498.169 orang.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2017 untuk angka persentase penduduk Indonesia usia 10 tahun keatas yang
tidak/belum sekolah tahun 2015 adalah 5,25 % baik di kota maupun pedesaan. Jika dilihat angka partisipasi
pendidikan formal dan non formal untuk usia 19-24 tahun berkisar pada angka 23,93%, sedangkan angka partisipasi
kasar perguruan tinggi yaitu 23,40% dan partisipasi murni hanya 17,91%. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan
persentase jumlah penduduk yang sedang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan (berapapun usianya) terhadap
jumlah penduduk usia sekolah yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Sedangkan Angka Partisipasi Murni
(APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu. Suatu angka yang sedikit jika melihat jumlah yang
mampu bersekolah di peguruan tinggi.

APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam
rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK merupakan indikator yang
paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Hal ini
menunjukan masih begitu banyak manusia Indonesia yang belum merasakan bangku kuliah pada perguruan tingkat
lanjutan/tinggi.

Mahasiswa berarti siswa yang maha. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ma-ha berarti sangat, amat,
teramat atau besar. Sedangkan sis-wa berarti murid atau pelajar yang identik dengan tingkat sekolah dasar dan
menengah. Oleh karenanya mahasiswa berarti pelajar tingkat paling tinggi yang tidak ada lagi tingkatan diatasnya
dalam statusnya sebagai murid. Mahasiswa adalah atribut yang dilekatkan kepada mereka yang belajar-pada suatu
lembaga pendidikan dan berada diatas kategori siswa dari segi intensitas maupun ekstensinya. Suatu tingkatan
teratas dari status sebagai murid yang disebut menjadi siswa yang maha. Meskipun kategori mahasiswa itu satu,
jenjang, kedalaman kajiannya menyebabkan tingkat pencapaian dibuat bertingkat yang disebut sebagai strata.
Tingkatan strata dalam mahasiswa menunjukan tingkat pencapaian pengetahuan baik dari segi kedalaman kajian
maupun proses pengalaman belajar.

Menjadi mahasiswa berarti memenuhi pencapaian tertinggi dalam statusnya selama menjadi siswa. Dalam
kehidupan selanjutnya sebagai mahasiswa itulah kebebasan sebagai seorang pembelajar teraktualisasikan secara
sebenarnya. Oleh karenanya ciri seorang mahasiswa adalah mandiri dalam pekerjaan belajarnya dalam artian

1
pencapaian tingkat pengetahuan dan pendalaman intelektualitasnya bergantung pada bagaimana mahasiswa
memanfaatkan segala potensi baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Pada saat menjadi mahasiswalah orientasi pemikiran, kecenderungan, bahkan karakter penuh sebagai manusia
dewasa menjadi terbentuk. Hal ini dikarenakan pada saat menjadi siswa tidak ada pilihan untuk menjadi apapun
selain mereka yang sekolah di kejuruan dan memilih tambahan pesantren sebagai tempat belajar yang itupun para
siswa tinggal mengikuti apa yang diprogramkan oleh pihak sekolah. Tidak ada kemandirian untuk menentukan
sendiri apa yang harus diperbuat untuk dirinya sebagai seorang siswa selain menikmati sajian yang telah
dihidangkan. Berbeda dengan mahasiswa, seorang mahasiswa akan mengalami perubahan kondisi dan suasana
belajar yang mengharuskannya untuk memilih dan menentukan serta mengurusi sendiri apa yang harus dilakukan
untuk mengikuti proses belajar. Dengan kebebasan memilih yang merupakan anugrah Tuhan dan menjadi ciri
manusia rasional dan dewasa, mahasiswalah yang menentukan dirinya sendiri berhasil atau tidak, cepat atau lambat
dalam mengarungi proses perkuliahan tersebut. Pilihan bebasnya juga membantunya untuk mengaktualisasikan
pikiran, perasaan dan kecenderungannya untuk ikut dan bergabung dalam organisasi apapun yang tersaji
dihadapannya dan yang dipilihnya.

Lahirnya tipe-tipe mahasiswa yang berorientasi akademik, religius, organisasi dengan tipe-tipe radikal, liberal, atau
istilah kiri, kanan, yang mengusung ideologi-ideologi tertentu seperti contoh ideologi khilafah tidak lepas dari
pengaruh yang ditimbulkan oleh prakondisi selama menjadi mahasiswa. Peran lembaga pendidikan melalui
kebijakan dan sistem, budaya kampus yang dipangaruhi oleh budaya masyarakat tempat kampus tersebut berada,
organisasi kemahasiswaan intra atau ekstra kampus, serta beragamanya diskursus politik dan ekonomi dunia, akan
membentuk ciri mahasiswa dari segi pemikiran, sikap dan tingkah laku sadar yang akan menjadi karakter mahasiswa
tersebut. Menjadi mahasiswa berarti menjadikan seseorang melihat lebih luas pada dunia dan merasakan
kebebasan yang lebih dengan kendali penuh atas dirinya sendiri.

Dengan posisi mahasiswa sebagai pembelajar pada tingkat tertinggi dengan ciri kebebasan dan kemandirian yang
disifatinya, menjadikan mahasiswa punya posisi terhormat dimata masyarakat. Di mata masyarakat umum dan
pemerintah mahasiswa diharapkan menjadi ujung tombak perubahan yang lebih baik untuk perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara sebab merekalah yang dibekali dengan ilmu dan pengetahuan yang tingkatannya paling
tinggi dari jenjang sekolah. Ini adalah salah satu keuntungan mahasiswa yang harus dimanfaatkan. Tidak heran
aspirasi mahasiswa menjadi suara yang paling diperhatikan dalam masyarakat bahkan mendapat dukungan dan
juga oleh pemerintah. Kita masih ingat demonstrasi mahasiswa tahun 1966 yang menjatuhkan Sukarno dari kursi
Presidennya, kemudian hal yang sama terulang pada Suharto di tahun 1998 dengan isu utama reformasi. Pesiden
Megawati Sukarno Putri pun yang berkunjung ke UGM tahun 2000 ditolak oleh mahasiswa UGM yang dengan berani
duduk bersila beramai-ramai di jalanan masuk kampus UGM. Presiden-presiden selanjutnya tak urung selalu
mendapat kritikan dari mahasiswa ketika kebijakan dianggap tidak pro rakyat. Keran kebebasan berpendapat sejak
era reformasi menyebabkan pula mahasiswa berani menghina presiden sejak era SBY sampai Jokowi. Suatu sikap
yang patut disayangkan untuk status sebagai mahasiswa yang belajar dalam Negara abngsa Indonesia.
Keberpihakan pada rakyat dan kepentingan umum inilah menjadikan mahasiswa punya daya jual dan daya tawar
yang menarik dimata para politisi yang berambisi. Tak jarang suara mahasiswa juga “dibeli” untuk memuluskan
agenda mereka yang terselubung itu. Sayangnya mahasiswa juga tidak sepenuhnya dan tidak semuanya mampu
mempertahankan karakter kemandiriannya. Idealisme mahasiswa akhirnya runtuh dan jatuh berkeping-keping ketika
mahasiswa mulai memperhatikan kepentingan pribadi bukan lagi kepentingan masyarakat, ditaklukkan dan bertekuk
lutut dikaki para politisi berduit yang lihai memainkan kata-kata. Tidak jarang pula mahasiswa dengan tipuan berbaju
agama oleh para ustad melahirkan mahasiswa radikal yang mulai memandang remeh bahkan kepada bangsanya

2
sendiri. Sebagian ada mahasiswa yang terpengaruh oleh gemerlapnya kehidupan oleh mereka yang ada ribuan mil
jauhnya dari negeri Indonesia hanya karena mereka seringnya muncul di TV. Meski mahasiswa miskin masih ada
dan cukup banyak, pragmatisme mahasiswa dapat menghilangkan identitas mahasiswa sebagai kaum intelektual.

Pragmatisme seorang mahasiswa lahir salah satunya dari sistem pendidikan yang menganut paradigma prestasi
akademik dalam satuan kuantitatif, sehingga nilai IPK yang tinggi dianggap kesuksesan seorang mahasiswa. Meski
mulai bergeser, paradigma prestasi akademik masih mendominasi pada ranah teoritis maupun praktis karena IPK
tinggi menjadi standar bagi keberhasilan lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang tercermin
dari penialaian oleh lembaga akreditasi dan hal ini pula dipakai dalam penjaringan untuk memasuki lembaga yang
sama sekali berbeda dengan atmosfer kampus sebelumnya.

Karena satuan angka yang menjadi ukuran yang disajikan dalam bentuk table-tabel statistik maka dengan
melupakan kualitas, yang oleh Thomas Armstrong -seorang pencetus teori-teori pendidikan dan penerima banyak
penghargaan-, disebut sebagai paradigma perkembangan manusia, kualitas pendidikan melalui paradigma prestasi
akademik melahirkan efek negatif pada mahasiswa. Kecenderungan yang hanya mementingkan nilai IPK dengan
mengabaikan nilai hakiki dari belajar itiu sendiri yang sekaligus melupakan perbedaan latar belakang budaya
mahasiswa, gaya dan kecepatan belajar. Dengan menjadikan IPK sebagai tolok ukur, menghasilkan dampak buruk
selanjutnya pada mahasiswa dengan menggunakan cara-cara praktis bahkan illegal mulai dari istilah SKS (sistem
kebut semalam) bahkan menyontek untuk memperoleh nilai baik. Menyontek tentu saja perlaku tidak normal saat
ujian yang dapat disejajarkan dengan mencuri yang lahir dari sikap mental tidak jujur. Ketidakjujuran inilah yang
menjadi benih subur tumbuhnya korupsi ditambah dengan keahlian menghalalakan segala cara demi mencapai
hasil. Oleh karenanya proses sudah tidak lagi menjadi perhatian dan ukuran keberhasilan, tapi dari hasil yang
dicapai.

Ciri abad 21 ditandai dengan perkembangan teknologi informasi yang masif melahirkan dunia tak lagi terbatas dan
sekaligus menjadi “sempit”. Hal ini menyebabkan manusia termasuk mahasiswa berpotensi akan menjadi apapun
dimasa depannya. Keterbukaan informasi menyebabkan banyaknya pilihan sekaligus peluang untuk menjadi apa
saja dalam menentukan pilihan hidupnya. Suatu masa depan yang tak dapat diramalkan dan di determinasikan
bahkan dipastikan wujudnya. Olehnya mengandalkan nilai-nilai akademik akan sangat membahayakan tanpa
dibarengi dengan kecerdasan psikologis dan sosial dalam menghadapi tantangan globalisasi ini. Dengan dukungan
nilai-nilai spiritual yang baik seorang mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan kemampuan soft skil-nya
sebagai ciri bahkan hasil dari pencapaian spiritualnya yang murni. Diharapkan dengan pendalaman dan
pengalaman serta kesehatan spiritual itu menjadikan mahasiswa sebagai manusia sempurna tanpa perlu menjadi
superhero dengan ciri komunikasi yang baik, jujur, ramah dan santun, kreatif, semangat, percaya diri, sopan,
bijaksana , moderat, serta mencintai apa yang menjadi miliknya, budayanya dan toleran terhadap perbedaan. Modal
utama dalam mengarungi dan beradaptasi untuk melaluinya dengan layar terkembang lebar dan gagah di kehidupan
abad 21. Dalam pernyataan World Bank oleh Deputi Senior Bank Indonesia tahun 2016 mengatakan bahwa “ Kami
tidak mencari orang yang memiliki kompetensi teknis spesifik tetapi lebih memilih kompetensi holistik”.

Kendari, 5 April 2017


Sunandar Ihsan Elrumi

Anda mungkin juga menyukai