Anda di halaman 1dari 130

Peranan dan Kedudukan

POLRI
dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H


Peranan dan Kedudukan POLRI

Peranan dan Kedudukan

POLRI
Peranan dan Kedudukan POLRI
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
dalam Sistem Ketatanegaraan
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Indonesia
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H


Peranan dan Kedudukan POLRI dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Penulis : Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Cetakan Pertama, Januari 2014


ISBN: 978-602-1616-04-8

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan


Jl. Wolter Monginsidi No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Telp +62-21-7279-9566
Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916
http://www.kemitraan.or.id
KATA PENGANTAR
Direktur Eksekutif Kemitraan

Masa transisi demokrasi Indonesia saat ini menuntut negara dan alat negara
untuk tampil lebih professional dan mandiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) sebagai salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan, dan fungsi
strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai
masyarakat adil dan makmur. Polri juga berperan dalam menegakkan hukum,
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah menetapkan
status Polri melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000
dihasilkan dua ketetapan penting, yaitu Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000
Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan dua
ketetapan tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap
Pasal 30 UUD 1945. Berdasarkan aturan-aturan hukum di atas, jelaslah bahwa Polri
bukanlah militer dan bukan pula bertugas dalam bidang pertahanan negara–yang
merupakan wilayah tugas tentara/militer. Upaya pemisahan Polri dan TNI dilakukan
setelah reformasi di Indonesia. Pada era tersebut, kedudukan Polri semakin dipertegas,
karena secara yuridis keberadaannya telah dipisahkan dari TNI. Polri menjadi ujung
tombak perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sesuai perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan pembaharuan
hukum, khususnya pemisahan TNI dan Polri, ada beberapa konsekuensi hukum yang
lahir. Pertama, Polri punya kuasa di bidang kepolisian preventif dan reprensif dalam

iii
rangka Criminal Justice System. Kedua, Polri berperan aktif memelihara keamanan
dalam negeri. Ketiga, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden, dimana
Kepala Polri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Sesuai dengan kedudukannya yang berada langsung di bawah presiden, dalam
merumuskan susunan organisasi Polri pemerintah diharapkan memperhatikan
bahwa Polri merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem ketatanegaraan
Indonesia sehingga Polri merupakan Kepolisian Nasional. Pembagian daerah hukum
Polri disusun menurut keperluan pelaksanaan tugas Polri yang diusahakan sesuai
dengan pembagian wilayah administratif pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar
dapat diwujudkan keselarasan dengan unsur Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System) atau instansi lainnya dalam rangka penyelenggaraan fungsi
pemerintahan Susunan Polri tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas
usul Kapolri. Secara organisasi, Polri dipimpin oleh Kepala Polri yang menetapkan
dan mengendalikan kebijaksanaan teknis kepolisian sesuai dengan kebijaksanaan
presiden dengan memperhatikan saran dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung makna
bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif
yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang timbul dari
kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan yang mandiri
dalam pelaksanaan tugasnya.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance
Reform), yang didirikan tahun 2000, melalui hibah dari berbagai lembaga dan negara
donor mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola pemerintahan, salah satunya
adalah mendorong terwujudnya iklim demokrasi yang akomodatif dan partisipatif.
Karena itu, Kemitraan sangat mengapresiasi hasil penelitian Saudara M.Gaussyah
dan berinisiatif untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku.
Buku ini setidaknya menggambarkan bahwa reformasi yang sedang bergulir di
Indonesia belum selesai, masih banyak hal-hal yang perlu kita benahi dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Semoga buku ini dapat
berguna sebagai pendorong munculnya gagasan-gagasan, regulasi, dan kebijakan
inovatif dalam perwujudan Good Governance di Indonesia.

Jakarta, 3 Januari 2014

Wicaksono Sarosa
Direktur Eksekutif Kemitraan

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Identifikasi Masalah 9
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9
1.4 Kerangka Pemikiran 10
1.5. Metode Penelitian 18
1.6 Sistematika Penulisan 21

BAB 2 KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN POLRI SEBAGAI ALAT


NEGARA PENEGAK HUKUM DAN KAMTIBMAS 23
2.1 Negara Berdasarkan Atas Hukum 23
2.2 Pembatasan Kekuasaan Melalui Konstitusi 29
2.3 Pembagian Kekuasaan dan Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara
Penegak Hukum dan Kamtibmas. 30
2.4 Istilah Polisi 32

BAB 3 TINJAUAN UMUM TERHADAP SEJARAH, KEDUDUKAN, TUGAS, DAN


WEWENANG POLRI SERTA STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN
DAN FUNGSI KEPOLISIAN DI NEGARA INGGRIS DAN JEPANG 37
3.1 Sejarah Perkembangan POLRI 37
3.2 Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia 41
3.3 Kedudukan Polri Dalam Kepolisian Internasional 43

v
3.4 Tugas dan Wewenang POLRI 44
3.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat Ini 46
3.6 Perkembangan Lingkungan Strategis 55
3.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara
Inggris dan Jepang 68

BAB 4 KAJIAN TERHADAP MAKNA DAN IMPLIKASI KEDUDUKAN POLISI


SEBAGAI ALAT NEGARA DI DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM
DAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT 73
4.1 Kedudukan Polri Menurut UUD 1945 73
4.2 Kedudukan Polri Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 78
4.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi 84
4.4 Pelaksanaan Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara yang Mandiri
dan Profesional di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban
dalam Masyarakat 95
4.5 Beberapa Pemikiran tentang Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat
Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara dalam Kerangka Penegakan Hukum
dan Ketertiban dalam Masyarakat Serta Upaya-Upaya yang Dapat
Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Tersebut. 99

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 115


5.1 Kesimpulan 115
5.2 Saran-saran 116

DAFTAR PUSTAKA 117


A. BUKU-BUKU 117
B. DISERTASI, TESIS DAN MAKALAH 120
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 121
D. KAMUS 121
E. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat Kabar) 122

vi
BAB  I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Peranan hukum dalam mengatur kehidupan manusia sudah dikenal sejak
masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan
hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu
hukum, yaitu ubi societas ibi ius, yang bermakna di mana ada masyarakat di sana ada
hukum.
Hukum memegang peranan penting dalam perkembangan masyarakat; oleh
karena itu tidak heran apabila peranan hukum mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Pada masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk menciptakan dan
memelihara keamanan dan ketertiban (Kamtib). Selanjutnya fungsi ini berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat sendiri.
Dalam menjalankan fungsi menciptakan dan memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat (Kamtibmas) diperlukan institusi atau aparat penegak
hukum. Dalam hal ini adalah lembaga kepolisian, sebagai suatu kelompok pekerja
yang unik, yang menjalankan peran fungsional dan simbolik dalam masyarakat. Di
dalam menjalankan peran yang demikian itu, lembaga kepolisian adalah pelindung
kebebasan yang paling penting bagi perorangan atau kelompok. Namun secara
paradoksal, diakui atau tidak, polisi juga dapat merupakan ancaman terhadap
kebebasan.
Secara fungsional, polisi dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sikap etis,
adil, ramah, dan jujur di dalam memberikan pelayanan dan menjaga ketertiban,
bukan sebagai tuan yang harus dilayani oleh masyarakat. Dalam menjaga ketertiban,
polisi diberi wewenang untuk membatasi kebebasan gerak seseorang secara hukum.

Pendahuluan 1
Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana
yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber
pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu
masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena
polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi.
Dewasa ini hampir di mana pun di dunia, polisi berurusan dengan pekerjaan
memelihara hukum dan ketertiban (law and order). Lebih khusus lagi memerangi
kejahatan dalam masyarakat. Oleh karena spesialisasi dan pembagian kerja yang
makin ketat dan rinci yang menjadi ciri masyarakat modern, maka pekerjaan polisi
pun menjadi tidak mudah. Dalam hubungan ini, polisi dihadapkan kepada struktur
birokrasi dan hukum modern yang semakin formal. Sekalipun polisi mengemban
tugas memelihara hukum dan ketertiban, tetapi tugas itu tetap dilaksanakan dalam
ruang lingkup dan mengikuti persyaratan yang disodorkan oleh struktur tersebut.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi polisi (Polri) ke depan, harus diberikan
aturan, peranan, dan kedudukan yang jelas serta tegas terhadap lembaga kepolisian.1
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat
negara yang memiliki kedudukan, tujuan dan fungsi penting serta strategis dalam
mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil
dan makmur. Untuk itu perlu dipahami pengertian Polri itu sendiri.
Secara konstitusional, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan status
Polri melalui perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sebagaimana dimuat dalam Bab XII Pasal 30 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).
Pasal 30 ayat (2): Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan
hukum.
Pasal 30 ayat (5): Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, di dalam menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan
keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan
keamanan diatur dengan undang-undang.

Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945, dapat diketahui
bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

1 Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1988, hlm. 174.

2 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), bertugas melindungi,
mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, yang akhirnya
bertujuan untuk mencapai ketertiban hukum dan ketertiban sosial.2
Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Kepolisian
Nomor 2 Tahun 2002 adalah :
“Suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat
terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya
tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban,
dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung
kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan
masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat”.

Pengertian Kamtibmas sebagaimana disebutkan di atas ialah bahwa Kamtibmas


merupakan suatu kebutuhan dasar masyarakat yang menginginkan suasana aman,
damai dan tertib dalam tata kehidupan. Hal ini berkaitan dengan harapan dan
keinginan masyarakat yang mendambakan perasaan bebas dari ganguan fisik dan
psikis, bebas dari rasa takut dan segala macam ancaman bahaya serta perasaan
damai dan tenteram lahir dan bathin. Hak-hak tersebut adalah hak alami manusia
berdasarkan hukum alam. Oleh karena manusia mempunyai hak yang dikenal sebagai
bayangan hidup dari Tuhan, maka setiap individu mempunyai hak untuk berdaulat,
hak untuk berada, hak untuk berfungsi dan hak untuk dilindungi.3
Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000 juga dihasilkan dua buah ketetapan
yang amat penting artinya bagi Polri, yaitu Ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2000
Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan Tap MPR
No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tersebut semakin bermakna setelah
adanya perubahan kedua terhadap Pasal 30 UUD 1945.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Tap MPR No. VII/MPR/2000 disebutkan bahwa Polri
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat; sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menjalankan
perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.
Dalam konteks ini, Kunarto4 menyatakan bahwa sebagai alat negara yang
memiliki peranan dan tanggung jawab dalam bidang penegakan hukum di Wilayah

2 Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Ketertiban Sosial, Penerbit UII Press, Yogyakarta
1992,hlm.173
3 LaRouche, Apakah Demokrasi itu ?- Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin
(diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service, Inc, Washinton DC, 1994, hlm. 242.
4 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta,1997. hlm.36

Pendahuluan 3
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Polri haruslah bersikap profesional
dan berwibawa dengan menganut prinsip bahwa hukum adalah di atas segala-
galanya, keadilan dan kejujuran harus ditegakkan. Dalam melaksanakan tugasnya
memelihara keamanan di dalam negeri, Polri haruslah dapat secara tepat dan akurat
memanfaatkan segenap potensi bangsa terutama dengan melibatkan seluruh rakyat
Indonesia sebagai bahagian dari unsur keamanan itu sendiri dengan menciptakan
suatu kondisi bahwa setiap rakyat mampu untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai unsur
sistem penyelenggara kekuasaan negara, unsur sistem keamanan, serta unsur
sistem peradilan pidana yang masing-masing membawa konsekuensi-konsekuensi
institusional serta organisasi tersendiri. Masalah itu lahir oleh karena dalam
hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, Polri tentu akan
berhadapan dengan berbagai bentuk dinamika masyarakat sipil. Sementara itu
sebagai unsur keamanan, Polri harus bekerja dalam kerangka konsep dan operasi
yang berlaku dikalangan Kepolisian dan sebagai sistem peradilan pidana, Polri
bergerak sebagai ujung tombak, sekaligus penyeleksi dalam sebuah proses hukum.5
Polri sebagai institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi sebagai alat
negara harus menjalankan strategi negara, khususnya untuk kepentingan stabilitas
serta pengendalian masyarakat sipil. Di samping itu, Polri harus pula merealisasikan
kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai penghormatan terhadap hak
asasi manusia, dan mewujudkan keadilan (hukum maupun sosial) dalam kondisi
masyarakat yang demokratis.
Selain standar dan konvensi internasional di bidang hak-hak sipil dan politik,
hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, serta hak-hak kelompok-kelompok masyarakat
(anak, perempuan, buruh,dll), secara internasional diakui juga oleh sejumlah konvensi
serta prinsip yang dapat menjadi acuan bagi evaluasi orientasi dan pola kerja “alat
negara” yaitu antara lain :6
1. Body of Principles for the Protection of All Persons under any form of Detention or
Inprisonment;
2. Declaration on the Protection of All Person from being Subjected to Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment;
4. Code of Conduct for Law Enforcement officials.

Dewasa ini, tugas polisi semakin kompleks, hal ini disebabkan oleh kemajuan
teknologi yang berkembang dengan sangat pesat yang memicu terjadinya globalisasi
dan modernisasi di segala bidang kehidupan. Modernisasi tidak hanya membawa

5 Kusumah, Mulyana W, Polisi Masa depan Dalam Perspektif Kriminologi-Polisi, Masyarakat dan Negara, Bigraf
Publishing, Yogyakarta, 1995, hlm.153.
6 Ibid, hlm.154.

4 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


dampak positif dalam bidang kehidupan, tetapi juga membawa dampak negatif
terutama dalam bidang kejahatan/pidana. Meningkatnya intensitas kejahatan dan
berbagai macam tindak kejahatan yang terjadi dengan berbagai modus operandinya
memberikan suatu tantangan tugas baru yang lebih berat bagi Polri dalam
mewujudkan Kamtibmas.
Ketika taraf kehidupan masyarakat masih sederhana, modus operandi
kejahatan yang timbul pun tergolong sederhana (konvensional), seperti pencurian,
pembunuhan biasa, penggelapan, perampokan, perkosaan, dan penipuan. Akan
tetapi ketika modernisasi merasuki kehidupan masyarakat, maka intensitas kejahatan
semakin tinggi dan modus operandi kejahatan semakin canggih pula. Tidak hanya itu,
masalah kamtibmas pun semakin kompleks dan mutakhir. Dewasa ini, pembunuhan
yang disertai dengan perampokan dan perkosaan merupakan berita pagi yang
sudah biasa didengar atau dibaca. Begitu pula pencurian uang melalui pembobolan
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) melalui komputer pun sudah sering dilakukan, bahkan
kasus terakhir pembobolan rekening kartu kredit warga negara asing yang dilakukan
melalui akses internet oleh warga negara Indonesia cukup merepotkan Polri. Banyak
lagi kejahatan yang lebih canggih dan modern yang dilakukan oleh petualang-
petualang kejahatan yang tidak dapat diungkap dan ditangkap oleh pihak Polri.
Di lain pihak, masih lemahnya institusi Polri dalam menangani berbagai aksi
kerusuhan dan pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah menyebabkan institusi
Polri dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan ironisnya oleh pemerintah
sendiri, sehingga tidak jarang dalam menangani aksi kerusuhan dan pemberontakan,
institusi Polri sering didahului atau dilangkahi oleh institusi militer. Seperti contoh
dalam menangani kerusuhan di Ambon, Maluku, yang tampil ke depan terlebih
dahulu adalah institusi militer, sehingga terjadi gesekan-gesekan di lapangan. Begitu
pula halnya dengan pemberontakan di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), peranan
Polri sebagai ujung tombak pencipta Kamtibmas kurang berfungsi secara baik. Hal
ini dapat dilihat dari digelarnya operasi militer yang dikenal dengan operasi jaring
merah pada saat diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989 sampai
tahun 1998, dimana peran Polri diambil alih oleh institusi militer (TNI). Seharusnya
dalam keadaan seperti itu, Polri menunjukkan perannya sebagai pewujud Kamtibmas
(sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri) sesuai dengan bunyi Pasal 4
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia”.
Menurut ketentuan Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945, Polri diberikan
kedudukan dan peranan yang penting dan strategis dalam rangka perwujudan
keamanan dan ketertiban masyarakat serta diberi tugas untuk melindungi,

Pendahuluan 5
mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Suasana ketertiban
yang mantap diperlukan oleh masyarakat yang menghendaki keadaan yang aman
dan stabil.
Polri pada hakikatnya mempunyai tugas “melindungi” yang berbeda dengan
Angkatan Perang. Secara prinsipil terdapat perbedaan tugas dan fungsi antara
Angkatan Perang sebagai penegak kedaulatan dan Polri sebagai penegak hukum,
pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat sehingga kedudukannya dalam
sistem ketatanegaraan dan tugas serta kewenangannya dalam sistem pemerintahan
berbeda, dalam arti tidak dapat disatukan.
Menurut Vollenhoven dan Recless, kalau ingin maju dan memiliki masyarakat
yang berdisiplin tinggi, suatu negara harus memiliki kepolisian yang kuat dan
tangguh. Kedua pakar hukum tersebut, mengembangkan teori Montesquieu yang
membagi kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif atau yang lebih dikenal dengan teori Trias Politica. Namun teori Trias Politica
ini menurut Vollenhoven7 masih perlu dikembangkan lagi, sehingga perlu menambah
satu kekuasaan negara lagi menjadi empat kekuasaan negara (caturpraja),8 yaitu
kepolisian sebagai pengawas sekaligus pemaksa undang-undang, agar undang-
undang dipatuhi oleh segenap masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan
terpelihara, disiplin masyarakat terwujud serta dinamika kehidupan masyarakat
berjalan dengan baik.
Sejak akhir abad ke-20 telah ada konstelasi tentang perubahan peran kepolisian
dari lingkup penegakan hukum secara sempit ke arah lingkup yang lebih luas
mencakup upaya memelihara ketertiban dan pelayanan sosial. Hal tersebut menuntut
orientasi, dimensi dan topik baru mengenai peran kepolisian, yang gilirannya
menuntut pula bahasan tentang penyesuaian organisasi dan kedudukan kepolisian
dalam menyelenggarakan fungsinya.
Di Indonesia sekalipun fungsi kepolisian telah mengalami perkembangan dari
lingkup penegakan hukum yang sempit ke arah lingkup yang lebih luas, namun dalam
perjalanannya seringkali dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang meletakkan polisi
pada sisi kepentingan bukan pada profesionalisme sesuai dengan visi dan misinya,
sehingga fungsi kepolisian mengalami distorsi.
Distorsi fungsi kepolisian, tercermin pada tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Tugas Polri pada masa yang lalu banyak diambil alih oleh beberapa institusi
yang tidak memiliki wewenang kepolisian. Hal itu pula yang menyebabkan Polri
didudukkan sebagai subordinat dari institusi yang tidak memiliki fungsi dan peran
yang sama dengan kepolisian secara universal. Tugas kepolisian pada masa lalu,

7 Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 447.
8 Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara kedalam :
a. Regelaarsrecht = the law of the legislative process = Hukum Peraturan perundangan
b. Bestuursrecht = the law of the government = Hukum Tata Pemerintahan
c. Justitierecht = the law of the administration of justice = Hukum Acara Peradilan
d. Politierecht = the law of the administration of security = Hukum Kepolisian

6 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


di satu sisi mengemban fungsi militer, dan di sisi lain fungsi kepolisian yang harus
melindungi dan mengayomi masyarakat. Motto militer “ to kill or to be killed” harus
disatukan dengan motto kepolisian “fight crime, help the delinquent, love humanity”.
Secara filosofis hal tersebut satu sama lain sangat bertentangan.
Pada saat kedudukan Polri masih bagian dari ABRI, banyak masalah yang
timbul sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kredibilitas Polri di
mata dunia internasional. Contoh masalah tersebut adalah ketidakberdayaan Polri
membasmi sarang-sarang perjudian, peredaran narkoba, perampokan bersenjata,
praktek prostitusi, dll. Hal ini dikarenakan oleh sebagian dari pelaku tindak pidana
tersebut dilindungi oleh aparat militer (TNI), yang pada saat itu intervensi TNI terlalu
kuat dalam menghalangi tindakan kepolisian. Di samping itu, pendidikan, latihan dan
keterampilan yang diterima Polri sangat terbatas, bahkan sangat jarang mengirimkan
anggotanya untuk mendapat pendidikan luar negeri karena sering diambil hak
pendidikannya oleh TNI, bahkan untuk pendidikan intelijen dan pendidikan Interpol
pun lebih didominasi oleh TNI. Pada akhirnya timbullah antipati, apatis dan rasa benci
masyarakat terhadap Polri, yang dianggap tidak mampu mewujudkan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Setelah Polri terpisah dari ABRI, masih banyak masalah yang dijumpai, antara
lain ketidaksiapan Polri dalam mengantisipasi tindak pidana yang terjadi karena
rendahnya sumber daya manusia Polri, keterbatasan sarana/prasarana operasional
penunjang tugas seperti alat komunikasi, kendaraan bermotor, senjata api, dan alat
khusus kepolisian. Bahkan fasilitas markas/kantor masih belum memadai. Tidak
hanya itu, keterbatasan personil, pemahaman tugas anggota yang kurang memadai,
anggaran yang terbatas, dan gaji yang kurang memadai membuat anggota Polri sering
bertingkah tidak simpatik dan bahkan melanggar hukum. Ketidakjelasan kedudukan
dan mekanisme pertanggungjawaban di tubuh Polri, mekanisme kepangkatan dan
mutasi yang tidak jelas serta peran, fungsi dan kedudukan Polri yang kurang jelas
menyebabkan institusi Polri masih kurang dihargai dan dihormati oleh masyarakat.
Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, diatur tentang
kedudukan Polri, yang menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia
berada di bawah Presiden”.
Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas kedudukan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ada beberapa
alternatif yang dapat dijadikan acuan tentang kedudukan Polri langsung di bawah
Presiden, yaitu :
1. Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung
2. Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Kepolisian Negara Republik
Indonesia
3. Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang dipimpin oleh Kapolri.
4. Berada/sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri.
Dewasa ini, walaupun kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri, yang biasa

Pendahuluan 7
dikenal dengan istilah kemandirian Polri, dalam kenyataannya tidak/belum
terlaksana. Hal ini disebabkan masih kuatnya intervensi berbagai lembaga di luar
Polri, termasuk intervensi pemerintah dalam proses operasional dan manajemen
Polri. Ketidaktransparanan dalam finansial dan penyediaan sarana/prasarana untuk
lembaga Polri dan tidak berfungsinya secara baik mekanisme kepangkatan dan
dewan kepangkatan di tubuh Polri disebabkan oleh adanya rekayasa dari luar Polri.
Pengaturan tentang kedudukan polisi sebagai alat negara di dalam kerangka
penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tersebut berada dalam ru-
ang lingkup ilmu hukum tata negara. Hal ini sesuai dengan batasan hukum tata
negara, yang antara lain sebagaimana dikatakan oleh Logemann, bahwa hukum
tata negara (dalam arti yang sempit) adalah serangkaian kaidah hukum yang
mengatur:9
1. jabatan-jabatan apakah yang terdapat dalam susunan ketata negaraan
tertentu;
2. siapakah yang mengadakan jabatan-jabatan itu;
3. bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat;
4. apakah tugasnya (lingkungan pekerjaannya);
5. apakah wewenang hukumnya;
6. perhubungan kekuasaannya satu sama lain;
7. dalam batas-batas apakah organisasi negara (dan bagian-bagiannya)
menjalankan tugas kewajibannya.

Menurut batasan yang diberikan oleh Logemann tersebut, jelas bahwa


pengaturan tentang wewenang hukum jabatan termasuk dalam bidang hukum
tata negara. Kedudukan Polisi di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat merupakan kajian bidang hukum tata negara karena menyangkut
mengenai jabatan-jabatan yang terdapat dalam susunan ketata negaraan Indonesia,
juga mengatur mengenai tugas, wewenang, hubungan kekuasaan Polri dengan
kekuasaan pemerintahan lainnya dan batas-batas Lembaga Polri menjalankan tugas
kewajibannya.
Wade dan Bradley,10 berpendapat bahwa tugas serta wewenang lembaga-
lembaga negara merupakan kajian bidang hukum ketatanegaraan. Demikian pula
pendapat Hood Philips11, yang menegaskan bahwa, hubungan antara satu lembaga
negara dengan lembaga negara lainnya, pengaturan tugas dan kewenangan dari
masing-masing lembaga negara merupakan ruang lingkup hukum ketatanegaraan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan; bahwa kedudukan, tugas dan wewenang
polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat adalah masalah hukum dan kajian bidang Hukum Tata Negara Indonesia.

9 Sri Soemantri M, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm.143-147
10 Ibid, hlm.145-146
11 Ibid, hlm.146

8 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Sesuai dengan latar belakang perlu dilakukan penelitian terhadap Polri sebagai
penegak hukum dan penjaga ketertiban dalam masyarakat.

1.2 Identifikasi Masalah


Berkaitan dengan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,
permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Apakah makna dan implikasi yang timbul dari kedudukan Polri sebagai alat
negara ?
2. Apakah dengan kedudukan Polri sebagai alat negara dapat menjamin
terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat ?
3. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat kedudukan Polri
sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat serta upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi
hambatan-hambatan tersebut ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kedudukan dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia
secara yuridis dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat
2. Mengungkapkan peranan Polri dalam kedudukannya sebagai alat negara
dalam upaya menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
3. Mengungkapkan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat
kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat serta mengungkap upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

1.3.2 Kegunaan Penelitian


1.3.2.1 Kegunaan Teoretis :
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kegunaan bagi
pengembangan ilmu berupa kerangka teoritik tentang kedudukan Polri
sebagai alat negara.

Pendahuluan 9
1.3.2.2 Kegunaan Praktis :
Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kegunaan praktis
terutama menemukan faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat
kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-
hambatan tersebut.

1.4 Kerangka Pemikiran


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dan
terpisah dari lingkungannya. Adanya keinginan untuk memenuhi segala kebutuhan
hidupnya mengakibatkan manusia saling berhubungan antara satu dan lainnya.
Agar terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan-
aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.
Untuk mencapai tujuan bersama, maka setiap manusia perlu bernegara,12
oleh karena negara adalah suatu organisasi kekuasaan daripada manusia-manusia
(masyarakat) dan merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan
bersama itu. Tiap-tiap negara mempunyai tujuannya. Tujuan suatu negara bermacam-
macam, antara lain :
a. untuk memperluas kekuasaan semata-mata;
b. untuk menyelenggarakan ketertiban hukum;
c. untuk mencapai kesejahteraan umum.
Salah satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yakni
negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan
berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum segala kekuasaan dari
alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa kecuali harus
tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berkuasa dalam negara itu.
Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni
negara hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam
(nachtwakersstaat) dan negara hukum dalam arti luas/materiil/modern atau negara
kesejahteraan (welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan
dari mereka yang menganggap, bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi
oleh undang-undang yang dibuat dengan bantuan dewan perwakilan rakyat. Dalam
pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, antaranya Kant, maka
negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat).
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam,
yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman,

12 Kansil, C.S.T, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 14-15.

10 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas negara
hanya memelihara keamanan semata.13
Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas
bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya disebutkan
bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut
dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-
alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.
Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:14
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain
yang tidak memihak;
c. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Sri Soemantri M,15 mengemukakan bahwa unsur-unsur terpenting negara hukum


ada empat, yaitu :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar
atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya institusi penegak hukum, salah


satunya yaitu polisi.16 Polisi secara yuridis dapat mengambil alih tugas/fungsi negara
sebagai pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak
sendiri dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sebagai
pengembangan lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara
kesejahteraan (welfare state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan
kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang
dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, kemakmuran dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat negara itu. Negara hukum dalam arti luas ini mempunyai

13 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm.9-10.
14 Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm.94
15 Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30.
16 Istilah polisi merujuk baik pada orangnya atau lembaganya, adalah suatu badan / orang yang diberikan
kewenangan kepadanya untuk menegakan hukum dan menciptakan Kamtibmas. Perkataan polisi berasal
dari kata Yunani politeia, yang dipergunakan untuk menyebut orang menjadi warga negara dari kota Athena,
kemudian pengertian itu berkembang dan artinya berubah menjadi kota dan dipakai untuk menyebut semua
urusan kota.

Pendahuluan 11
kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan
seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan
semata, yang harus dikejar kemakmuran seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan
tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam
mengatur pergaulan hidup khalayak ramai. Tindakan-tindakan pemerintah dewasa
ini yang menjadi tujuan adalah kepentingan umum.
Negara kesejahteraan itu merupakan pengembangan dari ide negara hukum,
yang oleh Kant dimanfaatkan sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban
di masyarakat (rust en orde/Kamtibmas). Tidak mengherankan bahwa ide Kant
dikenal dengan nama Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat) dimana pencapaian
kesejahteraan masing-masing terserah pada warga masing-masing sesuai prinsip
liberalisme (sempit) dengan persaingan bebasnya. Ide negara hukum ini berkembang
dari Negara Hukum Liberal (Jaga Malam) ke Negara Hukum Formal; kemudian Negara
Hukum Materiil dan yang terakhir sekarang ialah negara hukum dalam arti negara
kemakmuran yang dikenal dengan sebutan : Wohlfahrtstaat, Social Service State,
sociale Verzorgingsstaat, welfarestaat dan sebagainya.17
Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :
“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial,...”

Subekti dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan


“mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam
pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang
membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan
menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.18 Sebagai alat negara yang diberikan
kewenangan untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi
bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kondusif, aman, tentram dan damai
dalam masyarakat.
Sebagai alat negara yang berperan dan berfungsi menegakan hukum dan
ketertiban masyarakat, polisi harus memainkan peran aktif dalam mewujudkan negara
kesejahteraan. Salah satu syarat untuk dapat mewujudkan negara kesejahteraan
oleh polisi adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada Polri sebagai
penanggung jawab keamanan dalam negeri yang utama. Rumusan tentang hakekat

17 Padmo Wahjono, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Nasional
(Politik Pembangunan Hukum Nasional ), UII Press,Yogyakarta,1992, hlm.40
18 Kansil,C.S.T, Op.cit., Hlm 41

12 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


permasalahan, maupun spektrum ancaman Kamdagri pada dasarnya adalah
permasalahan dan urusan dalam negeri yang bersifat pelanggaran hukum termasuk
pemberontakan-pemberontakan bersenjata yang masih berasal dan berskala
dalam negeri. Mengingat luasnya permasalahan Kamdagri yang penangganannya
harus menggerakkan seluruh unsur potensi masyarakat baik sebagai komponen
dasar utama maupun pendukung diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang
memungkinkan Polri untuk dapat menggerakan dan mengendalikan segenap
potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang
diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara
yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakan dan mengendalikan
unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya.
Reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang efektif adalah dengan
mendudukan lembaga Polri sebagai lembaga otonom setingkat Menteri, Panglima
TNI atau Kejaksaaan Agung, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Negara adalah organisasi kekuasaan, hal ini disebabkan karena setiap negara
mempunyai pusat-pusat kekuasaan baik yang berada dalam suprastruktur politik
maupun yang berada dalam infrastruktur politik. Sedangkan kekuasaan adalah suatu
kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain atau kemampuan untuk
mengendalikan pihak lain. Untuk membatasi kekuasaan itulah diadakan konstitusi,
hal ini tidak lain untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang dari pemegang
kekuasaan, Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely.
International Commission of Jurist telah menentukan syarat-syarat representative
goverment under the rule of law (pemerintahan berdasarkan atas sistem perwakilan
yang berdasarkan hukum), sebagai berikut :
1. Adanya proteksi konstitusional,
2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
3. Adanya pemilihan umum yang bebas,
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat,
5. Adanya tugas oposisi,
6. Adanya pendidikan civic.19

Adanya proteksi konstitusional ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 setelah perubahan ketiga yang menyatakan bahwa : Negara Indonesia
adalah negara hukum. Demikian pula di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang
sistem Pemerintahan Negara, dimana dalam bagian II dikatakan : Pemerintahan
berdasarkan atas sistem hukum dasar, tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas
(absolutisme).
Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat

19 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1993,
hlm.13

Pendahuluan 13
dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri20 sedikitnya memiliki 3 (tiga)
muatan yaitu :
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.
Pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi mempunyai arti
membatasi kekuasaan negara dari tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat yang
dikuasainya.
Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dalam
negara yang berdasarkan hukum inilah keberadaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, pengayom,
pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan kepastian
hukum, mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta sebagai tulang
punggung keamanan negara dalam menyelenggarakan pembangunan.
Secara konstitusional kedudukan polisi di dalam kerangka penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 30 ayat
(4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga21 Pengaturan tentang kedudukan polisi
dalam konstitusi menandakan bahwa lembaga Polri merupakan alat negara yang
mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi sebagai pewujud keamanan dan ketertiban
masyarakat, di samping sebagai alat negara penegak hukum yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Criminal Justice System (CJS).
Salah satu unsur dari negara hukum yang tidak kalah pentingnya adalah
adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pembagian tugas dan wewenang
yang dimaksudkan adalah meliputi wewenang legislatif, wewenang eksekutif dan
wewenang yudikatif. Mengenai masalah pembagian tugas dan wewenang ini, dapat
dikemukakan gagasan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu,
seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah mendapat
nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)”. Dalam buku
ini (1748) Montesquieu, mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi
dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan
kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah :
1. Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif )
2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif )
3. Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang
(Yudikatif ).22

20 Sri Soemantri M, Op.cit.,hlm.51


21 Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga menyatakan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat serta menegakan hukum.
22 Solly Lubis, M., Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.57.

14 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan tersebut harus dipisah-pisah demikian,
sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya, dan pemisahan ini perlu, supaya
kekuasaan pemerintahan tidak terpusat pada satu tangan saja (raja). Dengan
adanya pemisahan kekuasaan itu diharapkan akan dapat dicegah tindakan-tindakan
sewenang-wenang dan bahkan kebebasan berpolitik dalam negara akan lebih
terjamin.
Menurut Donner Trias Politica itu bertitik tolak pada perbedaan bentuk dari
pelbagai macam tindakan penguasa saja. Karena itu lebih tepat jika orang bertitik
tolak pada kenyataan, bahwa sesungguhnya semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu :
1. bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan
dilakukan (bidang politik atau politics / policy making).
2. bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari tujuan atau
tugas yang sudah ditetapkan itu (bidang pemerintahan atau bestuur).
Selanjutnya Vollenhoven berpendapat, bahwa dalam melaksanakan tugas
negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang lazim disebut caturpraja, yaitu :
1. regeling (membuat peraturan)
2. bestuur (pemerintahan dalam arti sempit)
3. rechtspraak (mengadili)
4. politie (polisi).
Pentingnya polisi dalam menjalankan tugas negara, menjadikan fungsi polisi
sebagai fungsi yang harus diatur sendiri dalam suatu lembaga kepolisian. Begitu
pula halnya di Indonesia, yang mengedepankan polisi sebagai alat negara yang
menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga
sangat patut menempatkan polisi dalam suatu institusi sendiri yang mandiri dan
otonom.
Indonesia tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, tetapi menganut
pembagian kekuasaan. Pengertian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari
pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan
negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun
mengenai fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang
dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.23
Polri adalah alat negara yang merupakan salah satu bagian dari fungsi eksekutif
(pelaksana undang-undang). Adanya intervensi terhadap kedudukan, peran dan
fungsi Polri termasuk intervensi dalam pengangkatan Kapolri oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)24 adalah salah satu bentuk intervensi politik yang

23 Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH UI dan CV. Sinar Bakti,
Jakarta,1988, hlm 140
24 Pasal 11 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

Pendahuluan 15
menghambat kemandirian Polri. Kedudukan lembaga Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam eksekutif dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia berada di bawah Presiden, dan ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan
bahwa Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai bagian dari eksekutif, polisi bertanggung jawab atas Penegakan Hukum
(Gakkum) dan ketertiban dalam masyarakat. Polri sebagai bagian terpenting dalam
sistem pemerintahan negara (eksekutif ) yang mempunyai wewenang dan fungsi
pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), yang harus siap
menjaga dan menjamin keamanan serta ketertiban masyarakat akibat perubahan-
perubahan yang terjadi, perlu melakukan langkah-langkah strategik berupa intropeksi
yang cermat terhadap kedudukannya, fungsinya, peran dan wewenangnya agar
polisi (Polri) benar-benar tetap dapat menempatkan dirinya sebagai pembimbing,
pelindung, pengayom dan penegak hukum yang profesional, efektif, efisien, modern
dan handal.
Untuk menentukan sikap dalam memanfaatkan semangat reformasi yang bergulir
saat ini, perlu dilakukan secara strategis dan realistis dengan mempertimbangkan
secara sungguh-sungguh tentang peluang dan kendala yang akan dihadapinya.
Pertimbangan tersebut, haruslah didasarkan pada kepentingan efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan tugas-tugas Polri. Hendaknya permasalahan ini tidak hanya
ditinjau dari segi kepentingan Polri semata, tetapi juga dari sudut kepentingan yang
lebih besar yaitu kepentingan nasional.
Sejalan perkembangan situasi yang melahirkan tuntutan reformasi agar Polri
mandiri terlepas dari campur tangan politik maupun sebagai perpanjangan alat
kekuasaan murni sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pelopor dalam
penegakan hukum yang selalu berpegang pada kebenaran, keadilan, dan keterbukaan
serta menuntut perlunya dilakukan upaya-upaya pemberdayaan tentang kedudukan,
fungsi dan peranan Polri sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat dalam
mengemban tugasnya sebagai alat negara penegak hukum inti pembinaan keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam penanganan masalah-masalah keamanan dalam
negeri.
Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan
dalam kamus bahasa Indonesia dapat diatikan sebagai suatu perasaan tenteram,
tidak merasa takut, khawatir atau berbahaya atau suatu keadaan yang sentosa (tidak
ada sesuatu yang menakutkan atau membahayakan), keamanan, ketenteraman,
keadaan yang aman.25 Melalui istilah asing dapat ditemukan beberapa istilah dari
kata keamanan tersebut seperti istilah Security Council dan National Security.
Mengenai paham dan pandangan tentang keamanan di dapatkan pula di dalam

persetujuan DPR.
25 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952, hlm.28.

16 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


konsepsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tata Tenteram Karta Raharja, dimana
disebutkan bahwa arti aman mengandung 4 (empat) unsur pokok yakni :
1. Security : adalah perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psykis.
2. Surety : adalah perasaan bebas dan kekhawatiran.
3. Safety : adalah perasaan bebas dari risiko.
4. Peace : adalah perasaan damai lahiriah dan bathiniah26

Keempat unsur tersebut menimbulkan kegairahan kerja dan akhirnya tercapai


kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil. Paham keamanan yang dianut di
Indonesia mengandung dua pengertian yaitu keamanan dan kesejahteraan.
Mewujudkan ketertiban masyarakat adalah salah satu tugas polisi yang paling
utama disamping penegakan hukum. Istilah ketertiban masyarakat dapat ditemukan
dalam rangkaian kata Kamtibmas, sedangkan istilah ketertiban umum atau openbare
orde diartikan sebagai Normale rechtsniveau atau tingkat ketenangan yang normal.
Tingkat ketenangan yang normal ini dapat tercapai apabila keselamatan ditempat
umum dapat terjamin.
Menurut Zevenbergen dalam bukunya Formele Encyclopaedie derrechtwetenschap
dinyatakan bahwa openbare orde ada sangkut pautnya dengan masyarakat dimana
tiap anggotanya tahu akan kewajibannya dan tidak melanggar kepentingan orang
lain.27 Dalam doktrin Kepolisian Negara Republik Indonesia Tata Tenteram Kerta
Raharja dinyatakan bahwa tertib dan ketertiban adalah : “ Suatu keadaan, dimana
terdapat keadaan keamanan dan ketertiban yang menimbulkan kegairahan dan
kesibukan bekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruh sesuai
dengan doktrin Kepolisian Tata Tenteram Kerta Raharja.”28
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
disebutkan bahwa:
Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional
dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman
yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi
dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menangulangi
segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Mengingat luasnya permasalah keamanan dan ketertiban masyarakat yang
penanganannya harus menggerakkan seluruh potensi masyarakat baik sebagai
komponen dasar utama maupun pendukung, diperlukan suatu kebijakan pemerintah
yang memungkinkan Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan segenap

26 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994, hlm.35
27 Ibid, hlm.38
28 Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1970, hlm 43.

Pendahuluan 17
potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang
diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara
yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan
unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya, dan
reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal dan efektif adalah
dengan cara mensejajarkan kedudukan Polri setingkat Menteri dan Panglima TNI
serta Jaksa Agung, dalam suatu Lembaga Khusus Pemerintah yang otonom serta
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Untuk mempermudah pemahaman tentang kerangka pemikiran tersebut di
atas, maka dibuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :

Bagan I : Kerangka Pemikiran

Pemisahan kekuasaan Negara Hukum

Dwipraja Trias Politica Catur praja Arti Sempit Arti luas Negara Kesejahteraan

Pembangunan

Ketertiban

Polisi

1.5. Metode Penelitian


1.5.1 Objek dan Metode Penelitian
Objek penelitian ini pada dasarnya sekitar peraturan perundang-undangan yang
berkaitan erat dengan Polri. Selain itu juga akan dilihat bagaimana pelaksanaan
peraturan tersebut di lapangan. Berkenaan dengan objek penelitian ini, maka
tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.29 Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yang dilakukan dengan
cara meneliti data sekunder berupa:30

29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.10
30 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm.14

18 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa
UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR RI dan Undang-undang yang berkaitan
dengan Polri beserta peraturan pelaksanaannya.
2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang ditulis oleh para pakar
hukum dan ahli ilmu kepolisian, dan makalah-makalah.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, bibliografi, dan
indeks.
Untuk mendukung akurasi data, dipergunakan pula pendekatan yuridis historis,
yaitu dengan meneliti sejarah hukum yang dapat mengungkapkan perkembangan
dan latar belakang pengaturan tentang Polri dalam peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pendekatan yuridis sosiologis dipergunakan juga untuk dapat
mengungkapkan bagaimana peranan, fungsi, tugas dan kedudukan Kepolisian Negara
Republik Indonesia itu dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang mengaturnya
serta faktor-faktor apa saja yang menghambat di dalam pelaksanaannya.
Untuk melengkapi pendekatan penelitian, dipergunakan juga pendekatan
yuridis komparatif yang berguna untuk mengungkapkan perbandingan pengaturan
terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Inggris, dan
Kepolisian Negara Jepang.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara,
yaitu :
1.5.2.1 Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini dilaksanakan guna mendapatkan data-data sekunder,
melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-
literatur, karya-karya penelitian, tulisan-tulisan para pakar hukum dan ahli
ilmu kepolisian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

1.5.2.2 Penelitian Lapangan (Field Research)


Penelitian lapangan ini dilaksanakan untuk memperoleh data primer.
Hal ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan informan
dan responden yang terdiri dari Perwira Tinggi, Perwira Menengah, Perwira
Pertama, Bintara, Tamtama dan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia mulai dari tingkat Markas Besar Polri, Polda, Polwil,
Polres dan Polsek, tokoh masyarakat dan pemerhati kepolisian. Wawancara
dilakukan terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri),
Inspektoral Jenderal Polri (Irjen Polri), Deputi Operasional Polri (Deops
Polri), Assisten Personil Polri (Aspers Polri), Kepala Dinas Penelitian dan

Pendahuluan 19
Pengembangan Polri (Kadis Litbang Polri), Kepala Dinas Hukum Polri (Kadis
Kum Polri), Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data Polri (Kadis Infolahta
Polri) pada tingkat Markas Besar Polri. Pada satuan kewilayahan Polda,
wawancara dilakukan terhadap Kapolda/Waka Polda, Asrena dan Kadit/Sesdit
fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, Personil, dan
Intel Pam Polri.
Ditingkat Polwil / Polwiltabes, wawancara dilakukan terhadap Kapolwil
/ Kapolwiltabes atau Wakapolwil / Wakapolwiltabes, Pemegang Kas (Pekas),
Kepala Bagian fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara,
dan Intel Pam Polri; sedangkan ditingkat Polres/Polresta/Poltabes/Polres
metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolres / Kapolresta / Kapoltabes /
Kapolres Metro atau Wakapolres / Wakapolresta / Wakapoltabes / Wakapolres
Metro. Ditingkat Polsek / Polsekta / Polsektif / Polsek metro, wawancara
dilakukan terhadap Kapolsek / Kapolsekta / Kapolsektif / Kapolsek Metro atau
Wakapolsek / Wakapolsekta / Wakapolsektif / Wakapolsek metro. Penentuan
sampel dilakukan secara purposive.

1.5.3 Analisis Data


Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan
tersebut akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dimaksudkan guna
mengungkapkan hasil penelitian dan hasil sinkronisasi baik vertikal maupun
horizontal dari bahan-bahan hukum,31 yang dituangkan dalam bentuk rumusan-
rumusan dan uraian-uraian.

1.5.4 Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
di Jakarta dan di 20 (dua puluh) Kepolisian Daerah (POLDA) diseluruh Indonesia
mulai dari tingkat Markas Polda (Mapolda), Markas Polwil (Mapolwil), Markas Polres
(Mapolres) dan Markas Polsek (Mapolsek), lokasi penelitian tersebut adalah :
1. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (MABES POLRI) di Jakarta
2. POLDA Metro Jaya (beserta jajarannya)
3. POLDA Jawa Barat (beserta Jajarannya)
4. POLDA Yogyakarta (beserta jajarannya)
5. POLDA Bali (beserta jajarannya)
6. POLDA Kalimantan Barat (beserta jajarannya)
7. POLDA Jawa Timur (beserta jajarannya)
8. POLDA Sulawesi Tengah (beserta jajarannya)
9. POLDA Aceh (beserta jajarannya)

31 Ibid, hlm. 19

20 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


10. POLDA Sulawesi Selatan (beserta jajarannya)
11. POLDA Kalimantan Timur (beserta jajarannya)
12. POLDA Irian Jaya (beserta jajarannya)
13. POLDA Sumatera Utara (beserta jajara)nnya
14. POLDA Sulawesi Utara (beserta jajarannya)
15. POLDA Jawa Tengah (beserta jajarannya)
16. POLDA Sumatera Barat (beserta jajaranya)
17. POLDA Sumatera Selatan (beserta jajarannya)
18. POLDA Lampung (beserta jajarannya)
19. POLDA Jambi (beserta jajarannya)
20. POLDA Maluku (beserta jajarannya)
21. POLDA Riau (beserta jajarannya)

Adapun yang dimaksud dengan POLDA beserta jajaran adalah kesatuan-kesatuan


kewilayahan yang berada dalam ruang lingkup wilayah hukum Kepolisian Daerah dan
kesatuan kewilayahan di bawah Kepolisian Daerah yang meliputi Kepolisian Wilayah
(Polwil), Kepolisian Resort (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek).

1.6 Sistematika Penulisan


Guna mempermudah pembahasan, maka tesis ini disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut :
BAB I : Mengemukakan latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Mengemukakan kajian teoretik tentang kedudukan Polri sebagai alat
negara penegak hukum dan Ketertiban dalam masyarakat, yang didahului
dengan kajian negara berdasarkan atas hukum, pembatasan kekuasaan
melalui konstitusi, pembagian kekuasaan dan kedudukan Polri sebagai
alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta istilah
polisi.
BAB III : Mengemukakan tinjauan umum terhadap sejarah, kedudukan, tugas
dan wewenang Polri serta studi komparatif tentang kedudukan dan
fungsi kepolisian di Negara Inggris dan Jepang, yang didahului dengan
sejarah perkembangan Polri sebelum dan sesudah reformasi. Selanjutnya
dikemukakan tentang kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, kedudukan Polri dalam kepolisian internasional, tugas dan
wewenang polri, kondisi kemandirian Polri saat ini yang meliputi aspek
struktural, instrumental dan kultural, dikemukakan pula perkembangan

Pendahuluan 21
lingkungan strategis, yang meliputi lingkungan global, regional, dan
nasional serta strategi penataan kedudukan organisasi Polri dan diakhiri
dengan studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di
Negara Inggris dan Jepang.
BAB IV : Mengemukakan kajian terhadap makna dan implikasi kedudukan Polri
sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat. Pada bagian awal dikemukakan tentang kedudukan
Polri menurut UUD 1945 dan menurut UU No. 2 Tahun 2002. Selanjutnya
dikemukakan tentang tantangan tugas Polri pada era reformasi, yang
mengemukakan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan inti
Binkamtibmas, Polri sebagai salah satu bagian dari unsur Criminal Justice
system, dan pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan
masalah keamanan dalam negeri. Dikemukakan pula tentang pelaksanaan
kedudukan polisi sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di
dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta
beberapa pemikiran tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat
kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
merupakan hasil kajian dari bab-bab sebelumnya yang dipadukan
dengan identifikasi masalah. Terakhir dikemukakan saran-saran yang ada
relevansinya dengan penelitian ini.

22 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


BAB  2

KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN


POLRI SEBAGAI ALAT NEGARA PENEGAK
HUKUM DAN KAMTIBMAS

2.1 Negara Berdasarkan Atas Hukum


Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup secara
sendiri-sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Aristoteles, seorang filsof yang hidup
pada masa Yunani Kuno, menyatakan bahwa manusia itu menurut fitrahnya adalah
makhluk yang bermasyarakat (man is by nature a political animal). Dalam ajarannya,
Aristoteles menyatakan lebih lanjut bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon.32
Artinya, manusia sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin berkumpul dengan
sesama manusia lainnya. Jadi manusia adalah makhluk yang suka bermasyarakat. Oleh
karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, manusia disebut makhluk sosial.33
Demikian pula penegasan Hugo de Groot (Grotius) bahwa manusia mempunyai
hasrat yang terpuji yang disebut hasrat bermasyarakat (appetitus societatis). Untuk
terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan-
aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.
Adanya anggota masyarakat, pemimpin, dan aturan-aturan yang mengatur
tingkah laku di antara manusia, lama kelamaan menjadi besar dan semakin kompleks
sehingga pada akhirnya lahir kelompok manusia yang bernaung dalam suatu negara.
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang terdiri atas manusia-manusia dan
merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. Setiap
negara mempunyai tujuannya masing-masing. Dalam negara yang modern, biasanya
tujuan negaranya tercantum dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya.
Ada bermacam-macam tujuan suatu negara, di antaranya, untuk memperluas

32 Sjachran Basah, Ilmu Negara -Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989, hlm. 104.
33 Kansil, C.S.T., Loc.cit, hlm. 29.

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 23
kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, mencapai kesejahteraan umum,
dan melindungi warga negaranya dari ancaman dan gangguan pihak luar. Salah
satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yang dipelopori
oleh Krabbe, yakni negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan
berdasarkan dan berpedoman pada hukum.
Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara
hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat)
dan negara hukum dalam arti luas/materil/modern atau negara kesejahteraan
(welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan mereka yang
menganggap bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang
yang dibuat dengan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, di antaranya Kant,
negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat).
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam,
yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman,
ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas suatu
negara hukum klasik tidak lain adalah mempertahankan dan melindungi ketertiban
sosial dan ekonomi berdasarkan asas “laissez faire laissez aller” yang berarti bahwa
biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri kemakmurannya,
negara jangan ikut campur tangan.34
Dalam suatu negara hukum klasik, tugas negara tidak luas. Negara hanya bertugas
membuat dan mempertahankan hukum tertulis atau hanya menjaga keamanan
dalam arti sempit. Negara hanya berfungsi sebagai penjaga malam (nachtwaker).
Oleh karena itu, negara hukum klasik dikenal dengan sebutan “nachtwakersstaat”.
Negara melakukan reaksi apabila adanya pengaduan atau laporan dari warga jika
terjadi ancaman atau hal-hal yang membahayakan warga. Singkatnya, tindakan
negara adalah pasif tapi represif.
Berbeda dengan negara hukum klasik, negara hukum modern mempunyai
ruang lingkup tugas yang luas. Negara harus melaksanakan dan mengutamakan
kepentingan seluruh rakyat. Negara dituntut harus menciptakan kemakmuran
dan kesejahteraan, keamanan, dan ketertiban serta melindungi seluruh rakyat dari
ancaman dan bahaya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Negara hukum modern bersifat aktif dan responsif. Sebagai pengembangan
lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare
state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum.
Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk
mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negara tersebut.
Istilah negara hukum yang diperkenalkan di Eropa Kontinental disebut dengan

34 Andi Mustari Pide, Loc. Cit., hlm. 46.

24 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


rechtsstaat (negara hukum) yang merupakan kebalikan dari machtsstaat (negara
kekuasaan). Istilah tersebut tidak dikenal di negara-negara Anglo-Saxon. Di Inggris,
dipergunakan istilah Rule of Law untuk penyebutan negara hukum. Menurut Dicey35,
istilah Rule of Law memiliki tiga arti :
(1) Rule of law itu berarti supremasi yang mutlak atau keutamaan yang absolut dari
hukum. Rule of Law diadakan untuk menghindari terjadinya tindakan sewenang-
wenang atau kekuasaan yang berlebihan dari negara.
(2) Rule of Law berarti adanya kewajiban yang sama dari setiap warga negara untuk
mentaati hukum yang sama pula. Dalam arti ini, Rule of Law menolak gagasan
tentang adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang tertentu dalam
proses peradilan.
(3) Rule of Law dapat dipergunakan sebagai formula untuk merumuskan fakta,
bahwa di Inggris, hukum konstitusi yang di negara-negara lain dicantumkan
dalam Undang Undang Dasar, bukanlah sumber hukum, melainkan konsekuensi
dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Dari rumusan yang dikemukan Dicey di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur Rule of Law itu adalah :
(1) Supremacy of the law (supremasi hukum)
(2) Equality before the law (kedudukan yang sama didepan hukum)
(3) Constitution based on human rights (Hak-hak asasi tidak bersumber pada
konstitusi atau undang-undang dasar)36

Paham Dicey ini adalah sebagai lanjutan dari ajaran Locke yang berpendapat
bahwa manusia sejak dilahirkan telah mempunyai hak asasi dan tidak semua hak
asasi itu diserahkan kepada negara dalam bentuk kontrak sosial. Bagaimana ia
menyerahkan seluruh hak-hak asasinya kepada negara sedangkan ia masih hidup,
justru ia harus mempertahankannya, dan negara melindunginya.
Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas
bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya, disebutkan
bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut
dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-
alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.
Alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan, baik
yang berasal dari kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif harus dapat
mengawasi dan melaksanakan peraturan yang telah dibuatnya. Untuk itu, harus

35 Dicey, A.V., Introduction to the Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939, hlm.202.
36 Ibid, hlm.48-49.

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 25
diadakan pembagian tugas, fungsi, dan wewenang. Semua pihak harus menjunjung
tinggi hukum tanpa kecuali.
Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:
(1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(2) Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain yang
tidak memihak;
(3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Menurut Friedrich Julius Stahl,37 suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
(1) Negara hukum itu tidak hanya negara yang mempertahankan tata hukum
semata;
(2) Negara hukum itu bukan hanya melindungi hak-hak asasi manusia secara statis;
(3) Negara hukum mempunyai cara dan watak yang dinamis, yang mengatur jalan
dan batas-batas kegiatannya;
(4) Dinamika dan kegiatan dari negara hukum mengarah kepada tujuan tertentu,
yaitu menetapkan secermat-cermatnya dan menjamin sekuat-kuatnya
lingkungan kebebasan warga negara menurut cara hukum; dan
(5) Tugas kesusilaan negara hukum tidak boleh bersifat campur tangan secara etika,
secara akhlak dalam suasana hak dan kebebasan warga negara.

International Commission of Jurist dalam kongres keduanya di Bangkok pada


tahun 1965 telah berhasil merumuskan The dynamic aspects of the Rule of Law in
the modern age, yang pada intinya menyatakan bahwa syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law adalah sebagai
berikut:38
(1) Adanya proteksi konstitusional;
(2) Adanya badan peradilan yang tidak memihak;
(3) Adanya pemilihan umum yang bebas;
(4) Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;
(5) Adanya kebebasan untuk berserikat dan beroposisi, dan
(6) Adanya pendidikan kewarganegaraan.
Adanya perincian syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di atas, jelas
bahwa ada pengakuan tentang perlunya perluasan tugas eksekutif agar menjadi
lebih aktif, bukan lagi bersikap sebagai nachwachterstaat. Pemerintah dalam negara
hukum modern (yang juga dikenal sebagai welfare state) diberi tugas membangun
kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bertuurzorg) dengan konsekuensi
pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam menjalankannya.
Pemerintah dalam rangka bestuurzorg ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak

37 Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hlm. 24.
38 Mahfud, Moh, MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 27.

26 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


atas inisiatifnya sendiri, tidak hanya bertindak atas inisiatif parlemen. Itulah sebabnya
kepada pemerintah diberikan Freies Ermessen atau Pouvoir Discretionnaire,39 yaitu
kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial
dan keleluasaan untuk selalu terikat pada produk legislasi parlemen (wakil rakyat).40
Sri Soemantri M,41 mengemukakan bahwa unsur-unsur terpenting dalam negara
hukum ada empat, yaitu :
(1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan;
(2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
(3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan
(4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Dalam suatu negara hukum perlu ditegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya aparat penegak hukum, salah satunya
adalah polisi. Polisi secara yuridis, dapat mengambil alih tugas/fungsi negara sebagai
pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri dan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Negara kesejahteraan yang merupakan pengembangan dari ide negara hukum,
yang oleh Kant dimanfaatkan sekadar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban
di masyarakat (rust en orde). Tidak heran jika ide Kant yang dikenal dengan nama
negara penjaga malam (nachtwakerstaat), yang dalam mencapai kesejahteraan
diserahkan kepada warga masing-masing sesuai dengan prinsip liberalisme (sempit)
dengan persaingan bebasnya.
Menurut Soekanto,42 suatu negara yang menganut konsepsi negara kesejahteraan
(welfare state/social service) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politica dipandang tidak prinsipil lagi.
Pertimbangan efisiensi kerja lebih dipentingkan daripada pertimbangan dari
sudut politis, sehingga perasaan organ-organ eksekutif lebih penting daripada
organ legislatif;
(2) Peranan negara tidak hanya terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban
belaka, akan tetapi perlu adanya upaya aktif negara di dalam penyelenggaraan
kepentingan masyarakat di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga
perencanaan merupakan sarana yang penting;
(3) Negara kesejahteraan (welfare state/social service) merupakan negara hukum
materiil yang mementingkan keadilan sosial material dan bukan persamaan
yang bersifat formal semata-mata;
(4) Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, maka di dalam suatu negara

39 Freies ermessen adalah istilah hukum Jerman, sedangkan Pouvoir discretionnaire adalah istilah hukum Perancis
40 Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FMPM Unpad, Bandung, 1960, hlm. 21.
41 Sri Soemantri M, Loc. Cit. Hlm. 29-30
42 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas
Indonesia, Jakarta,1976, hlm.54.

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 27
kesejahteraan, hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak mutlak, akan tetapi hak
tersebut dipandang mempunyai fungsi sosial yang berarti adanya batas di dalam
kebebasan penggunaannya; dan
(5) Terdapat kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan
semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh semakin
luasnya peranan negara di dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.
Konsepsi negara kesejahteraan yang telah disebutkan di atas memberikan
tanggung jawab yang tidak ringan kepada negara untuk dapat melaksanakannya. Di
samping adanya kewajiban negara untuk dapat menegakkan hukum dan menjaga
keamanan dan ketertiban, negara juga harus berperan aktif dalam mewujudkan
kesejahteraan dalam bidang ekonomi, keadilan sosial, dan budaya. Terwujudnya
kesejahteraan rakyat merupakan tugas pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk
pembangunan. Salah satu syarat terlaksananya pembangunan adalah keadaan
aman dan tertib (adanya stabilitas keamanan). Mewujudkan stabilitas keamanan
merupakan fungsi lainnya yang diemban oleh pemerintah, yang didelegasikan
kepada alat negara, yang dalam hal ini adalah polisi.
Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :
“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial...”

Berdasarkan rumusan konsep negara kesejahteraan di atas, dapat disimpulkan


bahwa cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah;
(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) Memajukan kesejahteraan umum;
(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah


darah Indonesia harus diadakan lembaga khusus pemerintah yang bertugas
melindungi masyarakat. Lembaga khusus pemerintah tersebut adalah Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri). Sebagai alat negara penegak hukum dan
ketertiban masyarakat (law and order). Polri bertanggung jawab penuh atas keadaan
aman dan tertib. Segala bentuk ancaman yang datang dari dalam negeri yang
dapat membahayakan kelangsungan pembangunan merupakan tugas Polri untuk
menangkalnya. Polri berfungsi sebagai tulang punggung pembangunan dalam
negara kesejahteraan.

28 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


2.2 Pembatasan Kekuasaan Melalui Konstitusi
Secara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme”
inti maknanya sama. Akan tetapi, penggunaan atau penerapan katanya berbeda.
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang
undang dasar) suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau prilaku yang
tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut adalah tidak
konstitusional (inkonstitusional). Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu
suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui
konstitusi.43 Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara,44 sedangkan istilah
undang undang dasar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”.
Perkataan “wet” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti undang-undang,
dan “grond” berarti tanah atau dasar. Jadi dalam bahasa Indonesia, “Grondwet”
diterjemahkan undang undang dasar.
Di negara-negara yang mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
nasionalnya menggunakan istilah “constitution”, yang dalam bahasa Indonesianya
disebut konstitusi.45 Dalam praktiknya, pengertian konstitusi dapat berarti lebih
luas daripada pengertian undang undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan
dengan pengertian undang undang dasar.
Pada prinsipnya, diadakannya konstitusi adalah bertujuan untuk membatasi
tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, untuk menjamin hak-hak yang
diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut
Soetoprawiro,46 setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan:
(1) Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik,
(2) Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa, serta
menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.

Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat


dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri47 sedikitnya mempunyai tiga
materi muatan, yaitu :
(1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
(2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar; dan

43 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai pustaka,
Jakarta, Edisi kedua, 1991, hlm.521.
44 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10.
45 Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan
Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29.
46 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2 Tahun V, Edisi Mei
1987, hlm. 23.
47 Sri Soemantri M, Op.cit, hlm.51

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 29
(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.

Menurut Miriam Budiardjo,48 setiap undang undang dasar memuat ketentuan-


ketentuan sebagai berikut :
(1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran
yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
(2) Hak-hak asasi manusia;
(3) Prosedur mengubah undang undang dasar; dan
(4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang
undang dasar.
Dalam literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang lingkup
paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri atas :49
(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;
(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip tersebut merupakan simbol bagi suatu pemerintahan yang
konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya
sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, tidak diimplementasikan dalam praktik
penyelenggaraan bernegara, belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang
konstitusional atau menganut paham konstitusi.50
Pembatasan kekuasaan negara melalui konstitusi harus dapat diimplementasikan
oleh penyelenggara pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehari-harinya. Polri
yang merupakan salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif memiliki kewenangan
untuk menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dan telah mendapat
legitimasi secara konstitusional.

2.3 Pembagian Kekuasaan dan Kedudukan Polri Sebagai Alat


Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas.
Ajaran Machiavelli (1469-1527) yang ditulis dalam bukunya berjudul “II Principles”
mengartikan negara sebagai negara kekuasaan. Ajaran Machiavelli yang memusatkan

48 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
49 Dahlan Thaib, at all, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
50 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 16.

30 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


segalanya pada raja melahirkan kerajaan yang berkuasa mutlak (monarkhi mutlak).
Ajaran ini, kemudian diperkuat oleh Hobbes (1588-1679), yang menyatakan
bahwa negara dibentuk atas dasar perjanjian masyarakat. Dalam perjanjian itu
rakyat menyerahkan hak-haknya (hak asasinya) kepada suatu kolektivitas, yaitu
suatu kesatuan dari individu-individu yang diperolehnya melalui “pactum uniones”.
Kemudian, kolektivitas ini menyerahkan hak-haknya (kekuasaannya) kepada raja
dalam “pactum subjektiones” tanpa syarat apa pun. Raja sama sekali berada di luar
perjanjian. Oleh karena itu raja mempunyai kekuasaan yang mutlak (monarchi
absolut).
Kedua ajaran tersebut diatas ditentang oleh Rousseau (1712-1778). Ia
menyetujui bahwa negara sebagai hasil perjanjian masyarakat, tetapi hak-hak
rakyat tidak diserahkan kepada penguasa/negara, karena rakyatlah yang berdaulat
di dalam negara dan penguasa hanya merupakan mandataris rakyat. Menurut
Montesquieu, seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah
mendapat nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)”
bahwa dalam perjanjian masyarakatlah penguasa diberi wewenang atau kekuasaan
untuk menjalankan tugasnya, yaitu melindungi hak-hak asasi rakyat. Dalam bukunya
tersebut (1748) Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus
dibagi-bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs =
pemisahan kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah sebagai berikut :
(1) Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif );
(2) Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif ); dan
(3) Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang
(Yudikatif ).51

Dengan trias politica ini diartikan bahwa kekuasaan seluruhnya yang ada dalam
negara itu harus habis dibagi antara ketiga kekuasaan di atas. Pembagian seperti ini
biasa juga disebut separation of powers. Dalam bentuk negara seperti ini umumnya
kekuasaan tertinggi ada pada parlemen (legislatif ) yang disebut pula dengan
overwicht van het parlemen. Dalam keadaan seperti ini raja/presiden (eksekutif ) hanya
sebagai pelaksana produk-produk (undang-undang) yang dihasilkan oleh legislatif.
Keadaan ini makin lama makin kurang serasi karena sewaktu-waktu pemerintah
bisa jatuh atau pemerintah sangat tergantung pada kebijakan parlemen (legislatif ).
Oleh karena itu, mulailah dicari pengertian lain dari trias politica yang tetap menjamin
kebebasan politik dan adanya checks and balance antara kekuasaan yang ada dalam
negara. Jadi, muncullah pengertian baru trias politica yang tergantung dari keadaan
negara masing-masing yang biasa disebut pemisahan kekuasaan (division of powers).
Dalam pembagian kekuasaan dimaksudkan bahwa untuk melaksanakan suatu
tugas tertentu tidak perlu satu organ saja, tetapi dapat ditambah dengan organ

51 Solly Lubis, M, Op. Cit., hlm.57.

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 31
lainnya. Di sini kekuasaan yang ada di dalam negara itu tetap dibagi atas tiga
kekuasaan, yaitu :
(1) membuat Undang-undang;
(2) melaksanakan Undang-undang; dan
(3) mengawasi pelaksanaan Undang-undang.

Badan atau lembaga yang melaksanakannya tidak perlu hanya oleh satu badan
tiap kekuasaan, bisa bersama-sama dengan badan/lembaga lain. Misalnya untuk
tugas membuat undang-undang di Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Presiden.52 Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menganut
ajaran pemisahan kekuasan (ajaran trias politica murni), tetapi menganut pembagian
kekuasaan.
Salah satu pembagian kekuasaan itu adalah fungsi eksekutif. Di Indonesia,
presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan undang-undang dan mengupayakan pembangunan
nasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, terutama dalam menyukseskan
pembangunan, presiden dibantu oleh wakil presiden, menteri-menteri dan pejabat
pemerintah setingkat menteri. Salah satu pejabat pemerintah setingkat menteri
adalah kapolri yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
Polri yang berada di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung
kepada presiden merupakan alat negara yang mempunyai tugas khusus. Tugas khusus
yang dimaksud adalah menciptakan suasana aman, tertib, damai, dan menegakkan
hukum. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Polri diberi kewenangan, baik secara
konstitusional maupun yuridis. Karena merupakan bahagian dari fungsi eksekutif,
dalam hal kebijakan, pembinaan, pengawasan, dan operasional kepolisian harus
sesuai dengan kebijakan pemerintah (presiden).
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara maksimal dan optimal,
Polri harus diberikan kedudukan sebagai suatu lembaga khusus pemerintah yang mandiri
dan otonom. Karena lembaga khusus pemerintah, maka dalam hal pengangkatan dan
pemberhentian pimpinan Polri (Kapolri) harus diserahkan sepenuhnya pada kebijakan
presiden, sebab, hal itu merupakan hak prerogatif presiden.

2.4 Istilah Polisi


Istilah polisi dari satu masa ke masa yang lain memiliki arti yang berbeda-
beda. Arti kata polisi sekarang adalah berbeda dengan arti yang diberikan pada

52 Pasal 5 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa : “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

32 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


mulanya. Istilah polisi juga berbeda dari tiap-tiap negara. Hal ini karena setiap negara
cenderung memberikan istilah dalam bahasanya sendiri yang disesuaikan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di negara yang bersangkutan.
Istilah polisi pada mulanya berasal dari bahasa Yunani “Politeia”, yang berarti
seluruh pemerintahan negara kota. Seperti diketahui di abad sebelum masehi,
Negara Yunani terdiri atas kota-kota yang dinamakan polis. Jadi, pada jaman itu arti
polisi demikian luasnya, bahkan, selain meliputi seluruh pemerintahan kota, termasuk
juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap
dewa-dewanya. Pada jaman itu, sebagai akibat masih kuatnya rasa kesatuan dalam
masyarakat, urusan keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan. Setelah
timbulnya agama Nasrani, urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan
sehingga arti polisi menjadi seluruh urusan pemerintahan negara dikurangi urusan
agama.53
Pada abad ke-16, di Perancis, urusan pemerintahan semakin ruwet dan kompleks.
Hal tersebut disebabkan oleh berkembangnya hubungan luar negeri sehingga
diferensiasi tugas-tugas pemerintahan tidak bisa dielakkan lagi. Di Perancis saat itu
terdapat pembagian pemerintahan dalam lima bagian yaitu sebagai berikut:
(1) Defensi
(2) Diplomasi
(3) Finansi
(4) Justisi
(5) Polisi

Istilah polisi dipakai untuk menyebut bagian dari pemerintahan dan masih dalam
arti yang luas, yang meliputi semua pemeliharaan objek-objek kemakmuran dan
kesejahteraan. Dengan perkataan lain, urusan polisi adalah urusan pemerintahan
yang tidak termasuk dalam keempat bagian lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta dinyatakan
bahwa istilah polisi berarti :
“1. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum, 2. pegawai negeri yang
bertugas menjaga keamanan”.54
Di dalam Encyclopaedia of Social Sciences disebutkan pengertian polisi adalah
sebagai berikut:
“The term police in its early definitions has covered a wide range of functions. It has
been employed to described various aspects of the control of public sanitation;
it has had a highly special meaning with respect to the suppression of political
offences; and at times it has been expanded to cover pratically all form of public
regulation and domestic order. Now, however, it is used primarily with reference

53 Momo Kelana, Op. Cit., hlm. 13.


54 Poerwadarminta, Op. Cit., hlm. 549.

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 33
to the maintenance of public order and the protection of person and property
from the commission of unlawful acts”.55

Istilah polisi dalam ensiklopedi ilmu-ilmu sosial, pada pengertian semulanya,


meliputi bidang tugas yang luas. Istilah itu digunakan untuk menjelaskan berbagai
aspek dari pengawasan kesehatan umum dan dalam arti yang sangat khusus dipakai
dalam hubungannya dengan usaha penanggulangan pelanggaran-pelanggaran
politik. Sejak itu telah meluas secara praktis meliputi semua bentuk pengaturan
dan ketertiban umum. Saat ini, istilah tersebut digunakan dalam hubungan dengan
pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya
dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.
Istilah polisi juga ditemukan dalam Encyclopaedia Britanica, yang pengertian
polisinya hampir sama dengan yang disebutkan dalam Encyclopaedia of Social
Sciences. Dalam Encyclopaedia Britanica disebutkan bahwa :
“As now generally employed, the term police means the maintenance of public
order and the protection of person and property from the hazards of public
accidents and the commission of unlawful acts. Earlier meannings included such
limited activities as streeet paving and lighting, or scavenging and sanitation,
as well as applications broad enought to comprehend the entire range of the
domestic policies of governments”.56

Artinya adalah bahwa istilah polisi yang sekarang lazim dipergunakan diartikan
sebagai pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta
miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya
atau gangguan umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Pengertian
sebelumnya meliputi pula kegiatan-kegiatan seperti perataan jalan-jalan dan
penerangan, pembersihan jalan dan kesehatan seperti juga halnya dipergunakan
cukup luas, yang meliputi seluruh bidang kebijaksanaan pemerintahan dalam negeri.

Istilah kepolisian juga dikemukakan oleh Vollenhoven,57 yang membagi hukum


administrasi negara ke dalam empat bagian yaitu:
(1) Regelaarsrecht (hukum perundang-undangan);
(2) Bestuursrecht (hukum tata pemerintahan);
(3) Justitierecht (hukum acara peradilan); dan
(4) Politierecht (hukum kepolisian).

Arti politie yang dikemukakan oleh Vollenhoven dalam ajaran caturpraja berbunyi:
Onder politie vallen de regeeringorganen, die bevoegd en gehouden zijn om

55 Encyclopaedia of Social Sciences, Volume XI-XII,hlm. 183.


56 Encyclopaedia Britanica, Volume XVIII, 1768, hlm. 158.
57 Kansil,C.S.T., Loc. Cit., hlm. 447.

34 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


door toezicht of zo nodig door dwang te bewerken, dat de geregeerden hunnerzijds
doen of laten wat hun plicht is te doen of te laten en welke bestaat uit:
a. het afwerend toezien op naleving door de geregeerden van hun publieken plicht;
b. het actieve speuren naar niet naleving door de geregeerden van hun publieken
plicht;
c. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht krachtens
rechtelijke tusschenkomst;
d. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht hetwelk
kan geschieden zonder rechterlijke tuschenkomst (gereede dwang);
e. het verantwoorden van wat bij dezen arbelt gedaan of nagelaten is.58

Pengertian polisi menurut Vollenhoven adalah termasuk organ-organ


pemerintahan yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan dengan
jalan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan bahwa yang diperintah berbuat
atau tidak berbuat menurut kewajibannya masing-masing yang terdiri atas:
(1) Melihat cara menolak bahwa yang diperintahkan itu melaksanakan kewajiban
umumnya;
(2) Mencari secara aktif perbuatan-perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban
umum tadi;
(3) Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban umumnya
dengan melalui pengadilan;
(4) Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban umum itu
tanpa perantaraan pengadilan; dan
(5) Memberi pertangungjawaban dari apa yang tercantum dalam pekerjaan
tersebut.

Menurut Wahid,59 bahwa pengertian polisi adalah seorang “protector” dan


wakil rakyat yang berkewajiban mengayomi martabat manusia (human dighnity)
dan sebagai subjek aktif atas pemanisfestasian peraturan perundang-undangan,
dengan menjadikan hukum dan hak asasi manusia sebagai muatan mutlak dalam
pelaksanaan tugas kepolisian.
Para pakar di bidang kepolisian menyimpulkan bahwa dalam istilah polisi
terdapat tiga pengertian, yakni :
(1) Polisi sebagai fungsi;
(2) Polisi sebagai organ kenegaraan; dan
(3) Polisi sebagai pejabat atau petugas.60
Pada dasarnya polisi adalah alat negara yang diberi peranan untuk menegakan

58 Memet Tanumidjaja, Perlukah Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam Negara Kesatuan RI, Majalah
Bhayangkara No. 2-3, Tahun I, September-Oktober 1950, hlm. 46.
59 Abdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994, hlm. 43.
60 Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Gramedia Jakarta, 1996, hlm. 1

Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 35
hukum dan mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam
melaksanakan fungsi tersebut, polisi bertindak sebagai pelayan, pengayom, dan
pelindung masyarakat. Polisi sebagai bagian dari masyarakat sipil (civillian society)
memegang tanggung jawab penuh atas keselamatan dan keamanan masyarakat.
Segala urusan yang menyangkut keamanan dalam negeri merupakan urusan dan
kewenangan polisi.

36 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


BAB  3
TINJAUAN UMUM TERHADAP SEJARAH,
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG
POLRI SERTA STUDI KOMPARATIF TENTANG
KEDUDUKAN DAN FUNGSI KEPOLISIAN DI
NEGARA INGGRIS DAN JEPANG

3.1 Sejarah Perkembangan POLRI


Sejarah perkembangan Polri yang diangkat dalam tulisan ini adalah sejarah
perkembangan Polri setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945 sampai dengan era reformasi saat ini. Hal ini penting diungkapkan karena,
sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini Polri telah mengalami perubahan baik
menyangkut aspek struktural, instrumental maupun kultural yang signifikan. Bahkan,
tidak jarang ditemukan sejarah perkembangan Polri itu terulang kembali dari satu
masa ke masa yang lainnya.

3.1.1 Sebelum Reformasi


Dalam mengenal perkembangan kepolisian, maka kita juga harus mengenal
perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sejarah perkembangan Kepolisian
di Indonesia juga telah mengalami beberapa perkembangan, yang dimulai pada masa
awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Masa awal kemerdekaan, Polri di bawah kementerian dalam negeri. Bentuk
organisasinya adalah jawatan kepolisian Negara Republik Indonesia yang membawahi
sejumlah kantor polisi daerah. Pada tanggal 1 Oktober 1945, keluar maklumat
pemerintah yang ditanda tangani bersama antara menteri dalam negeri, menteri
kehakiman dan jaksa agung yang isinya menyatakan bahwa semua kantor kejaksaan
dimasukkan dalam lingkungan departemen kehakiman dan kantor kepolisian masuk
dalam lingkungan departemen dalam negeri. Hal ini merupakan perubahan kepolisian
dan kejaksaan yang semasa pendudukan Jepang disatukan dalam departemen
keamanan. Pascapendudukan Jepang keberadaan organisasi kepolisian dan kejaksaan

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 37
dipisahkan kembali seperti pada jaman Hindia Belanda, yakni kejaksaan berada di
bawah departemen kehakiman dan kepolisian berada di bawah departemen dalam
negeri.
Pada tanggal 25 Juni 1946, pemerintah mengeluarkan Ketetapan No. 11/SD/1946
yang isinya menyatakan bahwa jawatan kepolisian negara dikeluarkan dari struktur
organisasi departemen dalam negeri. Selanjutnya organisasi kepolisian dan kepala
kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada perdana menteri. Ketetapan itu mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946,
yang kemudian dikenal dan diperingati sebagai Hari Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau biasa disebut sebagai hari bhayangkara.
Pada bulan September 1946, berdasarkan penetapan Dewan Pertahanan Negara
No. 49, Polri dinyatakan mempunyai kedudukan sebagai tentara. Sejak saat itu segala
pemeliharaan kesatuan Polri menjadi tanggung jawab kementerian pertahanan.
Pada jaman Republik Indonesia Serikat (RIS), organisasi Polri pun terpecah
menjadi Kepolisian Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas: Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Indonesia Timur, dan Kepolisian Negara
Sumatera Timur. Akan tetapi, ketika NKRI terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950,
tempat wilayah kepolisian itu kembali dalam satu wadah Polri dan berpusat di Jakarta.
Pada tanggal 1 Desember 1950 dibentuk polisi perairan yang berkembang
dalam struktur organisasi Polri. Pada saat itu jabatan Kapolri disebut menteri muda
kepolisian dengan susunan departemennya terdiri atas: pusat departemen kepolisian
dan membawahi lima direktorat dan sebuah biro.
Pada tahun 1960 keluar Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, yang isinya
menyatakan bahwa Polri di integrasikan dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), yang sejak itu telah disamakan statusnya sebagai bagian dari
angkatan perang yang telah ada sebelumnya, yaitu Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat (TNI-AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) dan
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Kemudian, Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengesahkan berlakunya Undang-undang Pokok
Kepolisian No. 13 Tahun 1961. Undang-undang ini mempertegas kedudukan Polri
sebagai salah satu unsur angkatan perang (unsur ABRI).
Pada tahun 1963 sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian diubah
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 290/1946, tanggal 12 September 1964, kembali dikukuhkan
Angkatan Kepolisian sebagai bagian dari ABRI. Selanjutnya dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 32/1967 tanggal 17 Agustus 1967 ditetapkan ABRI
sebagai bagian dari Departemen Pertahanan dan Keamanan yang meliputi Angkatan
Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Kepolisian (AK).
Masing-masing angkatan tersebut dipimpin oleh seorang panglima angkatan
dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)/
Panglima ABRI (Pangab). Tahun berikutnya sebutan Panglima Angkatan Kepolisian

38 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Negara Republik Indonesia diubah menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri) yang dibakukan sampai dengan sekarang.
Struktur organisasi Polri yang sekarang ini berlaku didasarkan pada Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 46 dan 60 Tahun 1983 yang dijabarkan dalam
Keputusan Panglima ABRI No. Kep/11/1992, tanggal 5 Oktober 1992 yang tersusun
dalam dua tingkatan, yaitu tingkat Markas Besar (Mabes) dan tingkat Kewilayahan.
Tingkat Kewilayahan itu kemudian dinamakan Kepolisian Daerah (Polda). Masing-
masing tingkat memiliki struktur organisasi tersendiri. Polda-polda dibedakan dalam
tipe A, tipe B, dan tipe C. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Pokok Kepolisian
No. 28 tahun 1997 yang menegaskan bahwa untuk pembinaan bertanggung jawab
kepada menhankam.
Dilihat dari sejarah lahirnya Polri sebagai pejuang yang bersama-sama dengan
pejuang lainnya dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, kedudukan
Polri sebagai bagian integral dari ABRI sangat berbeda dengan kepolisian di negara
lain manapun di dunia, akan tetapi, sebagai alat negara yang berfungsi untuk
menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
tidak berbeda dengan kepolisian di negara lain.
Sejarah perkembangan kepolisian pada era sebelum reformasi telah mengalami
beberapa perubahan dalam penyempurnaan organisasi Polri yang disesuaikan
dengan tuntutan tugas, namun dengan pertimbangan kondisi Polri saat ini
dirasakan perlu adanya perubahan berkelanjutan dan dilakukan pembenahan dan
penyempurnaan organisasi sehingga diharapkan Polri mampu menyelesaikan setiap
permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Dilihat dari sejarah perkembangan sejak 1 Oktober 1945 sampai dengan
tahun 1960 terlihat bahwa Polri dalam pelaksanaan tugasnya telah otonom, baik
yang menyangkut organ, lingkup tugas dan kebijaksanaan. Sejak akhir tahun 1960
sampai dengan sebelum reformasi, dalam pengertian bahwa Polri terintegrasi dalam
organisasi ABRI, jadi saat itu pula dirasakan organisasi Polri tidak mandiri karena
segala kebijakan, struktur, dan finansial tergantung pada mabes ABRI.

3.1.2 Pada Era Reformasi


Dengan pernyataan Menhankam/Pangab, Jenderal TNI Wiranto, pada Oktober
1998, Polri akan dikeluarkan dari ABRI dan mulai 1 April 1999, Polri secara struktural
memisahkan diri dari ABRI, hal ini merupakan sebuah proses dimulainya menuju Polri
mandiri dan pada masa transisi Polri diletakkan di bawah Menhankam. Pemindahan
wewenang pembinaan pertanggungjawaban yang selama ini dipegang Pangab
telah beralih ke Menhankam. Kebijakan pemisahan tersebut didasarkan pada
Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 Tentang Langkah-langkah Kebijaksanaan
dalam Pemisahan Polri dari ABRI yang menginstruksikan kepada Menhankam/
Pangab untuk menyiapkan pembaharuan undang-undang tentang pertahanan dan

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 39
keamanan negara, tentang keprajuritan, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1997
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Secara bertahap memisahkan sistem
dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dari sistem dan
penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional ABRI serta menempatkannya
pada departemen pertahanan keamanan.
Meskipun dalam beberapa kurun waktu, langkah-langkah pemisahan tersebut
telah berjalan demikian jauh dari segi yuridis. Status hukum personil dan kedudukan
secara organisatoris, Polri tetap merupakan prajurit dan merupakan bagian integral
dari organisasi ABRI, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini belum diubah/diperbarui. Namun demikian, langkah-langkah kebijakan tersebut,
secara sosiologis, di samping filosofis, pada umumnya disambut dengan baik oleh
Polri sendiri maupun masyarakat dan bangsa Indonesia.
Salah satu pertimbangan yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari
ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian (Polri) dengan fungsi militer (TNI). Dilihat
dari segi tujuan, fungsi militer ditujukan untuk menjaga keselamatan, keutuhan,
dan kedaulatan negara, sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin
ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat kepada hukum.
Dari segi objek fungsi militer ditujukan untuk pengamanan negara/bangsa,
sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk pengamanan individu/ masyarakat/
pemerintah. Objek penindakan militer adalah ancaman dan musuh dari luar
negeri maupun dari dalam negeri, sedangkan objek penindakan kepolisian adalah
pelanggar hukum. Dalam tugas sehari-harinya, kepolisian berupaya untuk membina
keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum, sementara militer
menyelenggarakan pertahanan negara.
Suatu hal yang paling mendasar dan sangat membedakan kedua jenis pekerjaan
tersebut terletak pada falsafah pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan
pekerjaan militer, kewenangan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan
ancaman terhadap keselamatan dan kedaulatan negara betapapun kecilnya, pada
dasarnya berada pada Kepala Negara yang kemudian didelegasikan secara berjenjang
ke bawah. Sebaliknya, dalam pekerjaan kepolisian, kewenangan pengambilan
keputusan yang berkenaan dengan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban
masyarakat berapa pun besarnya berada pada individu polisi, walaupun dalam situasi
tertentu secara berjenjang perlu ditarik ke atas (melaporkan dan menerima perintah
pimpinan).
Perbedaan ini membawa konsekuensi bahwa anggota militer pada dasarnya
adalah pelaksana keputusan yang diambil oleh atasannya, sedangkan kepolisian
pada prinsipnya adalah pengambil keputusan. Dengan beratnya tuntutan tugas di
lapangan, seorang polisi dituntut harus selalu tampil siap dan profesional.
Dalam konteks reformasi yang diperjuangkan bangsa Indonesia dewasa ini
pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan Polri dari ABRI adalah
bahwa peranan dan fungsi antara polisi dan militer adalah berbeda, di samping

40 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


adanya pertimbangan praktis. Pertimbangan praktis yang dimaksud adalah jika
polisi dan militer disatukan, akan sangat sulit untuk menghindari adanya intervensi-
intervensi yang mungkin terjadi. Pada era Orde Baru, intervensi ABRI dalam tugas-
tugas operasional Polri, seperti penyidikan perkara-perkara yang ada kaitannya
dengan jaringan kekuasaan dan pengontrolan atas kegiatan-kegiatan politik, sering
terjadi.
Perkembangan kepolisian pada era reformasi sekaligus merupakan pelaksanaan
reformasi Polri dan merupakan momentum yang harus ditindaklanjuti oleh Polri
untuk merumuskan kembali kedudukan, tugas, dan peran Polri yang sesuai dengan
aspirasi masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis
dalam tatanan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi supremasi hukum, moral,
dan etika, demokrasi, hak asasi manusia, transparansi, dan keadilan.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian yang dilaksanakan dalam era reformasi,
memerlukan adanya perubahan dan penyesuaian aspek struktural, instrumental dan
kultural dengan mengacu pada paradigma baru dan tantangan masa depan.

3.2 Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Negara adalah organisasi. Maksudnya sekelompok manusia yang mengadakan
kerjasama serta pembagian kerja, berusaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu
tujuan organisasi. Dengan adanya pembagian kerja dalam organisasi itu, setiap
orang yang tergolong dalam kerjasama itu mempunyai tugas tertentu dalam ikatan
keseluruhan.
Tujuan negara dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia”

Negara adalah organisasi kekuasaan. Hal ini disebabkan setiap negara terdapat
pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada
dalam infrastruktur politik.
Kekuasaan sendiri adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak
kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Bahwa
konstitusi diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat dari
materi muatan yang selalu terdapat dalam setiap konstitusi yaitu:
(1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar; dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaran yang mendasar.
Dengan demikian, pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi
mempunyai arti membatasi kekuasaan dalam negara. Dengan perkataan lain,

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 41
adanya pengakuan tersebut berarti pihak yang berkuasa dalam negara tidak dapat
sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kerangka negara hukum
inilah keberadaan Polri sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum,
pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan
kepastian hukum dan keadilan serta keamanan dalam negeri menjalankan fungsinya.
Namun demikian, perjalanan sejarah Polri telah mengalami beberapa kali
perubahan baik dalam fungsi, tugas maupun peranannya, yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Sejak dulu polisi merupakan bagian dari pasukan bersenjata, khususnya dalam
perang kemerdekaan. Polri dianggap sebagai bagian dari kekuatan bersenjata dalam
revolusi fisik dalam rangka menegakkan dan membela NKRI. Kemudian, berdampak
timbulnya budaya yang mengarah pada militeristik di lingkungan polisi;
(2) Sejarah perjalanan Polri selama lebih dari 57 tahun merupakan refleksi konfigurasi
politik Pemerintahan Negara Republik Indonesia, demikian pula keberadaan
Polri yang terintegrasi di ABRI untuk menghindari upaya perpecahan di Kesatuan
Republik Indonesia oleh kekuatan-kekuatan politik untuk kepentingannya
walaupun hal ini tidak dapat dipertahankan selamanya;
(3) Keberadaan Polri dalam lingkungan ABRI telah berdampak negatif terhadap
efektifitas pelaksanaan tugas pokok, fungsi, dan peran Polri sehingga tidak
mampu secara maksimal mengembangkan diri melaksanakan misinya;
(4) Angkatan Perang (TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL) yang seharusnya menitik beratkan
pelaksanaan tugasnya pada kemampuan sistem teknologi persenjataan, tidak
akan efektif dalam melaksanakan tugasnya apabila harus membagi konsentrasi
kekuatan dan kemampuannya dengan tugas di bidang kepolisian. Hal ini
didasarkan pada kenyataan adanya perbedaan yang hakiki antara dunia polisi
dan dunia militer;
(5) Adanya legitimasi peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan
Polri dalam lingkungan ABRI, ternyata tidak berdampak positif bagi meningkatnya
kinerja Polri selama ini;
(6) Kepolisian secara universal pada umumnya menganut pola yang hampir sama
yaitu mengarah kepada National Police System yang merupakan bagian dari
fungsi pemerintahan dan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Karena
itu, perlu adanya identifikasi kembali terhadap kedudukan Polri dari aspek hukum
tata negara;
(7) Di dalam penjelasan tentang pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945,
terdapat kata melindungi yang sesungguhnya mempunyai dua makna yaitu :
melindungi masyarakat dan melindungi kedaulatan negara; dan

42 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


(8) Dalam Pasal 10 UUD 1945 hanya dinyatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas Angkatan darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara
dan tidak memasukkan Polisi di dalamnya. Hal ini karena polisi memang bukan
bagian dari Angkatan Perang.

3.3 Kedudukan Polri Dalam Kepolisian Internasional


Pada umumnya tugas, fungsi, dan peranan kepolisian di belahan bumi mana
pun pada prinsipnya hampir sama, yaitu yang berhubungan dengan masalah
penanggulangan kejahatan/kriminalitas. Perkembangan kejahatan, baik kualitas
maupun kuantitasnya, banyak dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta
pengaruh era globalisasi. Hal tersebut diatas menyebabkan ketergantungan suatu
negara terhadap negara lain dalam upaya penanggulangan kejahatan internasional
sangat dirasakan. Oleh karena, itu peranan polisi internasional sebagai wadah
kerjasama internasional kepolisian mutlak dibutuhkan.
Bentuk dan tata cara kerjasama yang dilakukan International Police (Interpol)
dalam rangka menanggulangi kejahatan internasional, antara lain:
(1) Tukar menukar informasi dan data kriminal,
(2) Saling bantu dalam penyelidikan,
(3) Kerjasama penyidikan, dan
(4) Ekstradisi.61

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa NCB-Interpol Indonesia dalam


bekerjasama penanggulangan kejahatan internasional mempunyai peran
sebagai berikut:
(1) Pusat pertukaran informasi dan data kriminal,
(2) Penghubung/perantara dalam kerjasama internasional kepolisian,
(3) Juru penerang, dan
(4) Koordinator.

Kerjasama kepolisian antarnegara anggota ICPI-Interpol dilaksanakan berdasarkan:


(1) Souveregnty (penyerahan kedaulatan),
(2) Hukum/Undang-undang,
(3) Universalitas,
(4) Persamaan hak, dan
(5) Metode kerja fleksibel.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa polisi mempunyai sifat
internasional yang tidak dipunyai oleh angkatan perang lain.

61 Momo Kelana, Op.cit, hlm. 72.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 43
3.4 Tugas dan Wewenang POLRI
Menurut Poerwadarminta,62 tugas diartikan : pertama, sebagai sesuatu yang
wajib dilaksanakan atau yang ditentukan untuk dilaksanakan, kedua perintah untuk
melakukan sesuatu, dan ketiga fungsi atau jabatan. Yang dimaksud dengan fungsi
menurut Logeman63 adalah suatu lingkungan pekerjaan tertentu yang diadakan dan
dilakukan guna kepentingan negara. Jadi, setiap fungsi adalah lingkungan pekerjaan
tertentu yang bersifat tetap dalam hubungan dengan keseluruhan negara. Adapun
yang dimaksud dengan lingkungan pekerjaan tertentu menurut Utrecht64 adalah
suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan
tepat dan teliti (zoveel mogelijk nauwkurig omschreven) yang bersifat duurzaam, yang
berarti tidak dapat diubah dengan begitu saja.
Dasar pelaksanaan tugas Polri di Indonesia adalah Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 yang menyebutkan : “...kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
segenap tumpah darah Indonesia...”.
Amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut mengandung makna bahwa untuk
membentuk suatu negara diperlukan suatu organisasi negara yang disebut
pemerintahan. Dalam tugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tugas Negara Indonesia yang di
dalamnya berkaitan dengan keberadaan polisi negara bersama-sama dengan
komponen bangsa yang lain.
Polri sebagai salah satu komponen bangsa yang berperan sebagai penegak
hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order), pengayom, pelindung dan
pelayan masayarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri (Kamdagri).
Diketahui bahwa dalam struktur pemerintahan ada 2 (dua) unsur penting yaitu supra
struktur dan infra struktur (pendukung pemerintahan atau disebut juga struktur
administrasi negara) yang didalamnya terdapat organisasi Polri yang mempunyai
tugas utama menjaga keamanan negara.
Jika ditinjau sacara universal, tugas-tugas kepolisian yang dilakukan oleh
negara-negara di dunia ada batasan-batasan pelaksanaan tugas kepolisian secara
umum. Batasan-batasan tugas kepolisian pernah disampaikan pada kongres ke-8
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada acara pencegahan kejahatan dan perlakuan
terhadap tertuduh. Dalam Kongres tersebut telah ditentukan kriteria tugas kepolisian
yang berlaku secara universal, antara lain:
(1) Penyusunan tugas secara birokrasi dengan penekanan pada jalur perintah dan
pengawasan tugas,
(2) Kewenangan kepolisian bersumber pada undang-undang dan kewajibannya

62 Poerwadarminta, W.J.S., Op. Cit, hlm. 1122.


63 Momo Kelana, Opcit, hlm. 30.
64 Utrecht, Op. Cit., hlm. 53.

44 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


yang harus dirancang dalam bentuk sistem aturan kode etik dan prosedur
pelaksanaan tugas yang menghasilkan disiplin yang pasti,
(3) Para petugas kepolisian perlu dikenali oleh warga masyarakat sehingga
penggunaan emblim, pakaian seragam, tanda pangkat dan lokasi tugas
merupakan bagian dari ekspresi kewenangan kepolisian guna kepastian hukum,
(4) Digunakannya tindakan fisik yang dilengkapi dengan senjata merupakan bagian dari
komitmen kepolisian untuk memberikan jaminan keamanan bagi warga masyarakat,
(5) Kegiatan petugas kepolisian baik didalam dinas maupun diluar dinas menjadi
bagian dari satuannya, dan
(6) Bersumber dari kewajiban kepolisian setiap petugas kepolisian harus mampu
melaksanakan tugas dengan penilaian sendiri dalam keadaan memaksa untuk
kepentingan umum. Azas ini disebut diskresi. Dalam pemahaman tentang
tugas-tugas kepolisian yang secara universal tersebut yang dikaitkan dengan
kewenangan yang dimiliki berdasarkan undang-undang dijelaskan oleh
Logemann bahwa wewenang adalah alat penolong dari pelaksanaan tugas,
dimana tugas dirumuskan secara umum, sedangkan kewenangan dirumuskan
secara konkret.

Berdasarkan tugas dan kewenangan Polri tersebut diatas, maka untuk


memberikan rambu-rambu bagi pelaksanaan tugas kepolisian telah ditetapkan azas
secara universal yang dianut oleh semua negara di dunia, yaitu:

(1) Azas Legalitas


Sebagai aparat penegak hukum selalu mengutamakan azas legalitas, yaitu
azas yang mempersyaratkan adanya dasar hukum, ketentuan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan bagi setiap tindakan polisi. Azas ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan adanya perlindungan terhadap
hak-hak warga negara yang harus dilindungi oleh hukum dan polisi bertindak
berdasarkan undang-undang yang berlaku.

(2) Azas Kewajiban


Perkembangan masalah dan tuntutan pelayanan prima dalam masyarakat begitu
cepat sehingga polisi sering dihadapkan pada keadaan belum adanya aturan-aturan
yang belum pasti, untuk itu azas kewajiban yang memungkinkan petugas polisi
dapat bertindak berdasarkan kewajiban umum. Polri dalam menjaga ketertiban dan
keamanan umum mempunyai kewenangan yang disebut diskresi (Police Discretion)
dengan azas ini diperlukan persyaratan profesionalisme dan kualitas sumber daya
manusia yang mampu secara mandiri mengambil keputusan dilapangan secara cepat
dan tepat. Pada azas ini melekat tanggung jawab secara individu dari setiap petugas
polisi dan tidak bisa berdalih bahwa tindakan itu atas perintah atasan.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 45
(3) Azas Preventif (Asas Pencegahan)
Azas ini merupakan azas yang sangat terkenal, bukan saja digunakan oleh
kepolisian tetapi juga digunakan dalam ilmu kedokteran. Sedangkan di Inggris azas
ini disebut azas “The Nine Principles of The English Police”, bahwa penyelesaian perkara
tidak diukur dari jumlahnya, akan tetapi dibuktikan dengan tidak terjadinya kejahatan
dan ketidak tertiban. Dengan demikian, pengukuran suatu wilayah dapat dilihat dari
tertib dan tidaknya suatu wilayah, karena penyelesaian perkara dalam pelaporannya
sering dimanipulasi (dark number).

(4) Azas Partisipasi


Azas ini merupakan azas partisipasi dari masyarakat untuk menangkal, mencegah
terjadinya ganguan keamanan dan ketertiban masyarakat/kriminalitas dari dalam
masyarakat itu sendiri. Hal ini mengarah pada pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan metode Community Policing.
Dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian tersebut yang dilegitimasi
dalam peraturan perundang-undangan, maka ada suatu tangggung jawab hukum
bagi setiap anggota Polri yang bukan saja tanggung jawab pidana, tanggung jawab
perdata maupun tanggung jawab administrasi, tetapi yang lebih penting tanggung
jawab moral terhadap masyarakat yang menyangkut hak asasi manusia secara
mendasar. Dengan demikian maka setiap petugas menempatkan dirinya sebagai
warga negara teladan dari warga negara yang lain.

3.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat Ini


Dalam membahas tentang kondisi kemandirian Polri saat ini, akan diuraikan
tentang aspek struktural, aspek instrumental, dan aspek kultural. Akan dikaitkan pula
di dalamnya kondisi pembinaan kekuatan dan kondisi penggunaan kekuatan Polri.

3.5.1 Aspek Struktural


Sejak awal berdirinya kepolisian di Indonesia, status dan kedudukan kepolisian
senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan politik, sebagaimana yang
dikatakan oleh Djamin65:
“Polisi sebagai suatu organisasi yang telah ada sejak tahun 1945, telah mengalami
beberapa kali perubahan struktur. Polri pernah berada di bawah Departemen
Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan juga di bawah Presiden, kemudian pernah di
bawah Perdana Menteri dan bahkan sebagai Departemen tersendiri (Departemen

65 Wawancara, Senin, 14 Januari 2002, PTIK, Jakarta.

46 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Kepolisian). Semua itu menunjukkan bahwa sejak awal, walaupun Polri di bawah
naungan Departemen lain, tetapi status dan kedudukannya tetap sebagai organisasi
yang mandiri dan otonom karena baik pembinaan operasional, kebjakan dan
anggaran masih tetap dikendalikan oleh Polri sendiri”
Sejak berintegrasi dengan ABRI, Polri berada di bawah menhankam/pangab,
dimana sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997, pembinaan
berada di bawah Menhankam, sedangkan Kapolri tetap sebagai pimpinan Polri dan
merupakan salah satu staf dari Menhankam, sehingga jabatan Kapolri setingkat
dengan Direktur Jenderal (Dirjen) di departemen lain. Hal ini berarti bahwa secara
hierarkis dapat dikatakan menurun karena sebelumnya Kapolri setingkat Menteri yang
langsung di bawah Presiden sebagai Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. Dengan
kondisi pembinaan di bawah Markas Besar ABRI (mabes ABRI), mengisyaratkan bahwa
segala kebijakan yang menyangkut masalah anggaran, personil, sarana/prasarana,
pendidikan, dan operasional rutin Polri tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Polri,
tetapi harus melalui Mabes ABRI.
Polri yang merupakan bagian integral dari ABRI secara hierarkis merupakan
organisasi angkatan bersenjata yang termuda sehingga dalam segala geraknya, Polri
harus mampu bersikap menempatkan diri sebagai junior sesuai dengan hierarki yang
memang menjadi tradisi/ciri khas militer. Dengan demikian, sebagai junior dalam
ABRI akan sulit untuk mengembangkan diri secara maksimal karena ditinjau dari segi
kemampuan, kekuatan, keberanian, kelengkapan, profesionalisme, dan lain-lain akan
tetap sebagai junior yang ditabukan melangkahi seniornya.
Sebagai imbas dari kebijakan polisi ABRI di era reformasi, khususnya yang
menyangkut dwi fungsi ABRI, Daerah Operasi Militer (DOM), dan tindakan-tindakan
kekerasan ABRI telah mempengaruhi organisasi Polri yang memang sebelumnya
kurang diuntungkan sehingga menjadikan organisasi serta citra Polri yang semakin
terpuruk.

3.5.2 Aspek Instrumental


Aspek instrumental adalah segala aspek yang berkaitan erat dengan peraturan,
kebijakan, dan sarana/prasana penunjang tugas kepolisian, baik yang berhubungan
dengan peraturan perundang-undangan, dasar filosofi tugas, doktrin, kebijaksanaan
(political will), pola kerja, kemampuan fungsi, dan penerapan hukum terhadap pola
kerja kepolisian.
Dasar filosofi pelaksanaan tugas kepolisian adalah untuk melumpuhkan musuh
dengan mengutamakan motto mencegah lebih baik dari pada mengobati. Sebelum
lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri merupakan bagian integral
dari ABRI, maka filosofi militer kill or to be killed telah mempengaruhi dasar filosofi
Polri sehingga berakibat pada sering terjebaknya aparat kepolisian pada tindakan
kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 47
Dasar filosofi Polri lainnya adalah doktrin Tata Tentaram Kerta Raharja, Tri Brata,
dan Catur Prasetya yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan
pelayanan, perlindungan masyarakat. Sifat doktrin kepolisian ini adalah dinamis
sehingga lebih diperlukan seni kreatifitas untuk memutuskan sendiri tanpa harus
menunggu perintah.
Dasar filosofi Polri tentu berbeda jauh dengan filosofi khas militer, yaitu : sapta
marga, sumpah prajurit, dan trilogi ABRI, yang menitik beratkan pada sifat-sifat
keprajuritan yang patuh dan taat pada pimpinan, sebagai perintah mutlak yang
tidak bisa dibantah karena merupakan kewenangan komando yang bersifat hierarki.
Dalam doktrin militer ini, kepentingan komando adalah di atas segala-galanya.
Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, pengambilan kebijaksanaan organisasi
sesuai dengan kewenangannya dirasakan sangat lambat serta kurang adanya
kepastian, karena setiap keputusan harus melalui Mabes Polri yang cenderung
birokratis. Di samping itu sering kebijaksanaan dan kepentingan Polri lebih banyak
terpinggirkan, karena Mabes Polri lebih mengutamakan misi ABRI/ TNI). Sebagai
contoh adalah kebijakan Pengamanan Langsung (Pamsung) dan Pengamanan Tidak
Langsung (Pamtaksung) pada masa Pemilihan Umum (Pemilu), kebijakan operasi
gabungan, kebijakan misi keluar negeri baik yang menyangkut pendidikan ataupun
penugasan luar negeri (penugasan-penugasan PBB atau Internasional lainnya).
Melihat kewenangan yang begitu besar pada mabes ABRI terhadap kebijakan Polri,
sangat mempengaruhi kinerja Polri. Campur tangan organisasi lain di luar Polri
mengakibatkan kerugian pada kinerja dan citra Polri.
Aparat Polri yang selalu dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat
dengan berbagai permasalahannya secara komplek dituntut untuk segera mengambil
keputusan setiap saat. Dengan mengutamakan kemampuan individu yang disertai
dengan kewenangan diskresi yang melekat pada anggota Polri dan merupakan
pertanggung jawaban pribadi, namun dengan berlakunya pola kerja ABRI selama
ini (sebelum lahirnya UU No.2/2002) yang mengutamakan kepentingan kelompok,
tanggung jawab ada pada atasan sehingga anggota selalu menjadi ragu untuk
melakukan kewenangan diskresi, bahkan bisa dianggap salah bila tanpa adanya
perintah atasan, karena sesuai dengan motto militer yang menyatakan bahwa : “tidak
ada anak buah yang salah, sehingga komandanlah yang harus bertanggung jawab”.
Rumusan tugas pokok Polri, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 13
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
(2) menegakkan hukum, dan
(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan tugas pokok Polri yang terdapat dalam UU No. 2/2002, berbeda jauh
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1982 (telah dicabut dengan UU
No.3/2002 tentang Pertahanan Negara). Dalam UU No. 20/1982 disebutkan bahwa
Polri selain mengemban fungsi keamanan (Kamdagri) juga mengemban fungsi

48 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


bantuan pertahanan. Fungsi keamanan dan pertahanan merupakan dua fungsi
yang berbeda, sebagai mana yang dikatakan oleh Djamin:66 “Fungsi pertahanan dan
keamanan tidak dapat disatukan, karena fungsi pertahanan sebagai defence adalah
fungsi khusus militer yang berperan untuk bertempur, sedangkan fungsi keamanan
adalah sebagai security adalah fungsi khas kepolisian universal yang berperan untuk
melindungi dan melayani masyarakat”.
Kondisi Polri saat ini, di samping melaksanakan tugas pokok juga melaksanakan
tugas-tugas sosial politik. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung
keterlibatannya dengan politik akan mengakibatkan keberpihakan pada faham
tertentu. Padahal sesuai dengan tugas pokoknya sebagai penegak hukum harus
bersikap adil dan tidak memihak. Hal ini jelas akan menurunkan tingkat kepercayaan
dan legitimasi yang telah diberikan rakyat kepada Polri, sehingga sering muncul
adanya anggapan masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kriminal yang
sengaja dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang berkuasa.
Salah satu dari aspek insrumental yang mempengaruhi kinerja Polri adalah
pelaksanaan tugas yang erat kaitannya dengan kemampuan fungsi kepolisian.
Dewasa ini, terdapat lima fungsi dasar pada organisasi Polri, yaitu:
(1) Fungsi Reserse;
(2) Fungsi Intel Pam Polri;
(3) Fungsi Bimmas;
(4) Fungsi Lantas; dan
(5) Fungsi Sabhara.
Kelima fungsi fungsi kepolisian tersebut harus dapat bekerja secara sistematis,
terpadu, dan kontinyu dengan melakukan tindakan preemtif, preventif maupun
tindakan represif. Di samping itu perlu juga pemberdayaan fungsi teknis kepolisian
dalam mewujudkan profesionalisme Polri Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan
kemampuan Polri sebagai penegak hukum yang harus diwujudkan dalam proses
penyelidikan dan penyidikan.
Kemampuan Polri sebagai penegak hukum dalam proses penyelidikan dan
penyidikan belum dapat diwujudkan secara maksimal, sebagaimana harapan
masyarakat. Perbedaan penafsiran terhadap aturan hukum yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum baik itu oleh Polisi, Jaksa, dan Hakim seringkali tidak sama. Hal
ini menimbulkan dampak negatif terhadap peran Polri sebagai aparat penyidik. Lebih
jauh dari itu, sering terjadi tumpang tindih kewenangan atas suatu proses penyidikan,
karena menurut aturan hukum, di Indonesia selain Polri masih ada organisasi yang
berwenang melakukan upaya penyidikan, baik itu dari pihak kejaksaan ataupun
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Kurangnya konsistensi dan ketegasan terhadap pelaksanaan undang-
undang oleh aparat penegak hukum seperti pihak PPNS di atas, yang seharusnya

66 Wawancara, Senin, tanggal 12 Agustus 2002, PTIK, Jakarta.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 49
dikoordinasikan oleh Polri dalam melaksanakan penyidikan ternyata tidak melalui
aparat Polri dan dapat diterima oleh penuntut umum proses pemeriksaannya. Kondisi
demikian apabila berlangsung secara terus menerus tanpa adanya koreksi dapat
mengakibatkan undang-undang tidak dapat berjalan dengan semestinya sehingga
dikhawatirkan akan mengurangi peran Polri pada masa yang akan datang sebagai
koordinator pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Tidak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap aparat penegak hukum untuk
melaksanakan hukum sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, menyebabkan
terjadinya pelecehan terhadap peran sesama atau antaraparat penegak hukum dan
dapat merusak sistem yang telah disepakati oleh wakil-wakil rakyat.

3.5.3 Aspek Kultural


Aspek kultural adalah segala sikap, tingkah laku, atau budaya yang mengarah
pada perwujudan Polri yang mandiri dan profesional. Terdapat sedikitnya empat
unsur yang penting dibahas, yakni : mentalitas, sikap tampang, pengembangan
profesi, dan kondisi sumber daya Polri.

(a) Mentalitas
Diberikannya kewenangan yang sangat besar kepada Polri oleh pemerintah
dan Undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002), telah membawa dampak negatif pada
sikap mental aparat kepolisian yang cenderung arogan dan bersikap sebagai tuan
yang harus dilayani, bukannya sebagai alat negara yang melayani, mengayomi dan
melindungi masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya indikator :

(1) Aparat sebagai penegak hukum


Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri merupakan
bagian integral dari ABRI. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa tugas-tugas Polri pun
dapat dilaksanakan oleh ABRI lainnya, sehingga di lapangan sering terjadi aparat TNI
melaksanakan tugas-tugas kepolisian yang bukan kewenangannya, yang akhirnya
terbiasa dengan tugas-tugas tersebut yang dianggapnya benar, karena tidak ada
yang berani protes terhadap tindakannya tersebut atau ada pihak yang melarangnya,
bahkan polisi pun tidak bisa berbuat banyak. Adanya kebiasaan tersebut di atas,
timbul kesan di masyarakat bawah yang buta hukum, bahwa aparat TNI dapat
juga melaksanakan tugas-tugas kepolisian, sehingga sering ditemukan adanya
laporan-laporan dari masyarakat yang menyangkut dengan tindak pidana/masalah
kriminalitas yang ditujukan ke markas koramil ataupun kodim.
Untuk melaksanakan penegakan hukum, khususnya dalam menghilangkan dualisme
hukum dalam penanganan tugas-tugas polisionil, menurut Nur Rasyid67 bahwa :

67 Nur Rasyid, Wawancara, (staf ahli Menkeh dan Ham) Selasa, 9 Juli 2002, Jakarta.

50 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


“Untuk menegakkan hukum, segala kewenangan polisionil harus
dikembalikan kepada Polri, sehingga tidak ada tolak-tarik kewenangan antara
Polri dan TNI. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah jelas menyebutkan kedudukan
Polri sebagai alat negara, peran dan fungsi Polri sebagai penegak hukum dan
ketertiban dalam mayarakat. Begitu pula halnya dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2002 yang secara tegas menyatakan bahwa TNI bertugas
melindungi kedaulatan negara dari ancaman musuh dari luar atau sebagai
alat pertahanan negara”.

(2) Pola kepemimpinan dan keteladanan Polri yang kurang baik.


Kepemimpinan dan keteladanan Polri, terutama pejabat Polri dan petugas Polri
di lapangan, sering menunjukkan sikap yang kurang simpatik dan kurang tegas
dalam pengambilan keputusan. Dikatakan kurang simpatik karena masih ditemukan
adanya jual beli dan tawar menawar terhadap proses penanganan tindak pidana dan
adanya perlakuan yang berbeda terhadap pelaku tindak pidana. Sikap kurang tegas
dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dari tindakan pejabat kepolisian yang
terkesan lambat dan kurang berani mengambil keputusan sebelum adanya petunjuk/
instruksi dari atasannya.
Pada dasarnya setiap anggota Polri dituntut perseorangan untuk memutuskan
sesegera mungkin untuk membuat keputusan apa yang harus dilakukannya menurut
kepatutan hukum dalam menanggani masalah kamtibmas/ tindak pidana. Hal ini
karena Polri telah dibekali dengan kewenangan diskresi dalam melaksanakan tugas.
Hal tersebut di atas, kadang juga dapat dimaklumi, karena adanya pengaruh
hierarki dan birokrasi di dalam aspek pembinaan, khususnya dalam penilaian
pembinaan jenjang karir kepemimpinan puncak Polri, terutama untuk golongan
pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) sampai dengan perwira tinggi (pati) yang
lebih banyak ditentukan oleh kebijakan pimpinan mabes Polri yang mengakibatkan
Polri kehilangan daya dalam menentukan kebijakan operasional yang cepat dan
tanggap terhadap masalah-masalah Kamtibmas.
Sebagaimana telah dikatakan oleh mantan Kapolri, Kunarto68 bahwa: “Kelemahan
yang paling esensial yang ada di tubuh Polri adalah kelemahan manajerial yang
berakibat pada kelemahan pembinaan maupun operasional”.

(b) Sikap Tampang Polri


Sikap tampang Polri adalah suatu bentuk penampilan (performance) dari setiap
anggota Polri baik dari segi penampilan karakter individu (tingkah laku) maupun
kerapian berpakaian.

68 Kunarto, Wawancara, Rabu, 9 Januari 2002, PTIK, Jakarta.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 51
Selama ini sering terlihat dalam penampilan luar Polri dari postur tubuh dan
cara berpakaian, yang lebih menonjolkan sikap sebagai prajurit TNI yang terkesan
angker dan kaku, sehingga masyarakat menganggap bahwa Polri tidak menunjukkan
sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang ramah, sopan, santun, luwes dan
simpatik. Padahal, pada hakikatnya postur dan penampilan Polri adalah ditujukan
sebagai pelayanan masyarakat dan bukan sebagai prajurit yang berhadapan dengan
musuh yang harus dibunuh. Kesan demikian menjadikan masyarakat akan menjauh
dan membuat masyarakat enggan untuk berurusan dengan polisi.
Kerapian berpakaian anggota Polri juga merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan sebagai bagian dari unsur pelayanan. Kadang kala, masyarakat menjadi
enggan untuk berurusan dengan Polisi yang kelihatan kumuh, tidak rapi dan terkesan
urakan. Tidak jarang ditemui, petugas Polri di lapangan yang kurang memperhatikan
etika dan estetika dalam berpakaian. Hal ini kelihatan sepele tetapi cukup
menentukan. Jika dibandingkan penampilan petugas Polri yang ada di lapangan
dengan petugas Polri yang ada di kantoran (sebagai administrasi atau ajudan), akan
terlihat perbedaan yang kontras. Memang, tidak pantas menyalahkan petugas Polri
yang di lapangan semata karena medan tugas yang dihadapi jauh berbeda dengan
petugas yang hanya duduk di belakang meja.

(c) Pengembangan Profesi


Kesalahan masa lalu dalam memposisikan Polri sebagai bagian integral dari ABRI
menyebabkan sulitnya pengembangan profesi di tubuh Polri. Sebelum Polri mandiri,
Polri dididik dan dibina secara militer, sebagai konsekuensi bagian dari ABRI (militer),
sehingga sifat-sifat militer tetap melekat dalam pelaksanaan tugas. Hal tersebut
mengakibatkan tidak profesionalnya anggota polisi69. Di samping itu, pengembangan
profesi yang dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan operasional
tidak dapat secara maksimal dilaksanakan. Selain disebabkan terbatasnya sarana/
prasarana pendidikan yang terbatas, juga sulitnya persyaratan dan prosedur yang
harus dipenuhi untuk dapat mengikuti pendidikan. Di lain pihak, pendidikan dan
penugasan ke luar negeri harus melalui Mabes ABRI yang terkadang, hal ini menjadi
kendala dan penghambat karena alasan birokratis, anggaran yang terbatas serta
kebijakan lain yang kurang transparan.
Setelah UU No.2 Tahun 2002 lahir tidak secara otomatis mengubah sistem
pendidikan dan kurikulum pada lembaga pendidikan dan latihan Polri. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa materi/kurikulum pendidikan yang masih terkesan militeristik.
Dalam lembaga pendidikan dan latihan Polri juga masih dikenal sebutan atau
panggilan komandan bagi atasan. Sebenarnya istilah komandan hanya dikenal
di lingkungan militer. Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil cukup kiranya

69 Susanto, I.S, Hukum dan Demokrasi, Caraka Candi, Edisi September 2001, Dispen Polda Jawa Tengah, hlm. 28,
Semarang, 2001.

52 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


memanggil/menyebut kepala atau “pak” kepada atasan/pimpinannya. Hal lainnya
yang kurang benar untuk dipertahankan dalam lembaga pendidikan dan latihan
Polri adalah tentang materi menembak yang sasarannya adalah organ vital dari
manusia, yakni kepala dan dada (jantung). Seharusnya Polri menembak hanya untuk
melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah dari tubuh manusia.
Untuk pengembangan organisasi Polri yang mandiri dan profesinal sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002, Polri harus segera meninggalkan
paradigma lama dan menuju paradigma baru sebagai civillian police (polisi sipil).

(d) Kondisi Sumber Daya Polri


Berbicara masalah manajemen sumber daya akan dibahas masalah personil,
sarana/prasarana, dan anggaran yang ada selama ini.
(1) Personil
Jumlah personil Polri dari segi kuantitas pada saat ini mencapai kurang lebih
189.908 (tahun 1997/1998) dan jumlah ini diproyeksikan akan mencapai 195.805
(tahun 1998-1999) atau mengalami kenaikan 5.807 orang. Dengan jumlah personil
polri yang ada serta adanya penambahan yang relatif sangat kecil pada tiap tahunnya
mengakibatkan rasio jumlah polisi dibandingkan penduduk 1 : 1.200. Rasio tersebut
sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain, terlebih lagi jika
mengikuti standar rasio polisi yang ditetapkan oleh PBB, yakni 1 : 400.
Untuk mengejar kondisi police employee rate yang seimbang sesuai dengan
tuntutan PBB tidak mudah. Hal ini karena dipengaruhi oleh luas wilayah Indonesia yang
sangat luas disamping jumlah penduduk yang setiap tahunnya cenderung meningkat.
Personil Polri dilihat dari segi kualitas pada saat ini dirasakan masih jauh dari apa
yang diharapkan oleh masyarakat. Peningkatan profesionalisme pelaksanaan tugas
Polri yang dihadapkan dengan tugas-tugas dan tantangan saat ini semakin komplek,
disamping itu sistem pembinaan pendidikan Polri harus pula disusun dengan sistem
pendidikan yang benar-benar menunjang pelaksanaan tugas operasional kepolisian.
Terbatasnya lembaga pendidikan dan pelatihan Polri dalam menerima siswa
polri menjadi kendala sendiri dalam menghasilkan Polri yang profesional dan
berkualitas. Masalah yang sangat disesalkan adalah adanya ketidak transparanan
dalam penerimaan siswa di lembaga pendidikan dan latihan Polri baik itu di Sekolah
Polisi Negara (SPN) yang mendidik para Bintara Polri, Sekolah Calon Perwira (Secapa),
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim
Pol), dan bahkan di Sekolah Staf dan Administrasi Perwira Tinggi (Sespati). Hal ini
dapat dilihat dalam proses penyaringan dan perekrutan calon siswa yang masih
menggunakan campur tangan (adanya rekomendasi dari pihak-pihak tertentu) dan
bawah tangan (adanya suap) dalam proses untuk meluluskan calon siswa.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 53
(2) Sarana/prasarana
Pada hakikatnya sarana/prasarana adalah unsur pendukung keberhasilan tugas.
Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak mengalami hambatan dalam pengadaannya.
Salah satu faktor hambatan adalah dalam pelaksanaan sistem pengadaan sarana/
prasarana, khususnya perlengkapan yang terpusat di logistik mabes Polri. Di samping
itu, peralatan yang dibutuhkan untuk operasional Polri masih diwarnai oleh siapa
yang menyumbang dan belum didasarkan pada kebutuhan sistem peralatan yang
benar sehingga dengan cara pengadaan sarana/prasarana yang terpusat ditemui
barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan operasional Polri di lapangan. Di lain
pihak, pengadaan sarana/prasarana secara terpusat tidak efisien dan nonekonomis
karena banyak saran/prasarana yang mubazir serta apabila ada yang rusak sangat
sulit memperbaikinya, karena kelangkaan suku cadang atau tidak ada tempat/
bengkel untuk memperbaiki barang tersebut.
Kondisi sarana/prasarana Polri saat ini, jumlahnya sangat tidak memadai.
Secara kualitas dan kuantitas sarana/prasarana tersebut kurang dapat mendukung
operasional anggota di lapangan. Terkait dengan pengadaan sarana/prasarana
Polri, maka keperluan yang mendesak adalah sarana transportasi, komunikasi, dan
informasi untuk mendukung tugas-tugas Polri pada saat ini.

(3) Anggaran
Keberhasilan pelaksanaan tugas Polri sangat ditentukan oleh dukungan anggaran
yang memadai, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional. Akan tetapi,
kenyataannya dukungan untuk anggaran Polri sangat kecil misalnya dalam hal biaya
penyidikan hanya dapat terpenuhi 15-20 % dari kebutuhan ril. Dukungan anggaran
yang relatif kecil ini menimbulkan dampak, antara lain, hasil kerja yang dicapai tidak
optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas.
Pola anggaran yang diterapkan di organisasi Polri sering kali tidak melakukan
koordinasi dengan departemen lain, seperti departemen kehakiman dan ham dan
kejaksaan agung dalam hal penyediaan anggaran makan tahanan, departemen
kesehatan dalam hal visum et repertum, transportasi ambulance, dan mobil jenazah.
Sistem anggaran Pori yang masih menggunakan paradigma lama dengan
budget oriented system dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan sudah selayaknya
mengacu pada paradigma baru sistem anggaran Polri dengan melakukan program
oriented system. Budget oriented system adalah penyusunan anggaran yang mengacu
pada ketersediaan anggaran pada APBN yang diserahkan ke Mabes Polri. Kegiatan
operasional kepolisian dibatasi dengan jumlah atau ketersediaan anggaran, bahkan
tidak jarang dengan suatu indeks tertentu, anggota Polri harus dapat menyelesaikan
suatu tindak pidana. Begitu pula halnya dengan pimpinan Polri, baik di tingkat Polda,
Polwil, Polres maupun Polsek, yang harus mengirit dana dan menyusun kegiatan
sesuai dengan dana yang tersedia atau dana yang dijatahkan.

54 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Budget oriented system membuat Polri sangat kesulitan dalam pelaksanaan
operasional tugas sehari-hari, karena dengan terbatasnya anggaran yang tersedia
membuat Polri tidak dapat memberikan pelayanan yang memadai dan memuaskan
kepada masyarakat. Disamping itu juga dapat menimbulkan dampak negatif yaitu
timbulnya pungutan-pungutan liar, suap-menyuap dalam penanganan perkara,
kolusi dengan pelaku tindak kriminal. Hal ini dimungkinkan karena tuntutan tugas
yang begitu tinggi, tetapi anggaran yang tersedia terbatas membuat pejabat Polri
dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan peyimpangan. Kutipan-kutipan yang
sengaja dimintakan kepada pengusaha bahkan kepada pelaku tindak pidana dengan
alasan untuk memenuhi kebutuhan anggaran baik untuk membuat markas komando
(mako/kantor), uang makan tahanan, uang penyelidikan, dan penyidikan, dll.
Untuk profesionalnya organisaasi Polri, maka sistem anggaran harus disusun
berdasarkan program oriented system yaitu, penyusunan anggaran yang didasarkan
pada program kerja Polri. Jadi anggaranlah yang harus mengikuti kerja atau kegiatan
operasional kepolisian. Memang hal ini masih relatif sulit diterapkan di Indonesia
karena terbatasnya anggaran yang diberikan oleh negara melalui APBN kepada Polri,
tetapi apabila ingin diwujudkan pasti akan bisa, karena didukung oleh masyarakat.
Banyak masyarakat yang dengan sukarela menyumbangkan sarana/prasarana kepada
Polri, baik berupa mobil patroli, mobil patroli dan pengawalan (Patwal), sepeda motor,
dan sepeda untuk patroli, tanah dan bahan bangunan untuk pembangunan mako/
kantor, asrama atau sarana pendidikan dan kesehatan Polri. Kerelaan masyarakat
tersebut karena dilandasi pemikiran bahwa jika mereka ingin aman dan tenteram,
petugas Polri harus dibekali secara cukup. Tentu saja Polri harus respon terhadap
pemberian masyarakat tersebut dengan memberikan pelayanan, pengayoman dan
perlindungan kepada masyarakat sebagai umpan baliknya.

3.6 Perkembangan Lingkungan Strategis


Perkembangan lingkungan strategis yang dibahas meliputi perkembangan
lingkungan strategis global, regional, dan nasional serta strategi penataan kedudukan
organisasi Polri. Perkembangan lingkungan strategis ini penting diungkapkan untuk
dapat membaca peluang dan hambatan yang akan dihadapi Polri dalam kapasitasnya
sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

3.6.1 Perkembangan Lingkungan Strategis Global


Perkembangan global yang menonjol adalah terjadinya pergeseran konstalasi
politik dari format bipolar ke multipolar. Konteks tersebut telah menggeser skala
prioritas sikap negara dunia yang pada mulanya berupaya semaksimal mungkin
memperkokoh pertahanan sebagai strategi penangkalan terhadap kemungkinan

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 55
timbulnya konflik bersenjata dengan negara lain, telah berpaling ke arah upaya
memacu pertumbuhan ekonomi domestik dan mulai merintis dan merealisasikan
kerjasama ekonomi global.
Kepentingan-kepentingan ekonomi tersebut ditandai dengan adanya indikasi
penyatuan mata uang eropa oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), AFTA, NAFTA,
APEC, G-8, G-14, GATT-WTO dan lainnya serta dibarengi dengan isu-isu yang kuat
di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, dan demokrasi. Hal ini
menempatkan politik penggunaan kekuatan bersenjata diarahkan untuk membela,
melindungi, dan bahkan digunakan sebagai penekan kepentingan ekonomi,
kelestarian lingkungan hidup, kehidupan demokrasi, dan HAM.
Bagi negara-negara berkembang yang masih mencari kemampuan bersenjata
mengalami tekanan-tekanan dari pengaruh global tersebut dengan resiko tertinggi
adalah terpecahnya negara-negara berkembang menjadi negara-negara otonom
berdasarkan etnis. Tumbuhnya negara-negara yang berdasarkan etnis tadi belum
mampu diimbangi dengan kekuatan dan kemampuan ekonomi sendiri yang akhirnya
akan bergantung pada negara adidaya dalam bidang ekonomi.
Situasi di atas akan menimbulkan konflik kepentingan antarnegara maju dalam
perebutan pengaruh atas penguasaan sumber daya alam, pasar, penguasaan
tehnologi, dan ketimpangan sistem moneter. Di samping itu, akan terjadi pula
konflik kepentingan antarnegara maju dan negara berkembang karena masalah
perdagangan, hutang, dan pembayarannya, dan alih tehnologi serta perbedaan
pengertian demokrasi dan HAM. Konflik kepentingan antarnegara berkembang yang
banyak disebabkan oleh masalah perbedaan suku, ras, warna kulit, dan agama.
Adanya kecenderungan konflik antarnegara akibat adanya perbedaan
kepentingan masing-masing negara dapat menimbulkan benturan kepentingan
sehingga dapat berkembang menjadi konflik terbuka dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, dan sosial budaya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang semakin pesat, terutama
pada tehnologi komunikasai dan transportasi, menyebabkan isu-isu global, baik itu
masalah HAM, demokrasi, ekonomi, hukum, maupun politik menyebar makin cepat
dan menerpa pada berbagai tataran di berbagai negara di belahan dunia.
Isu demokrasi, HAM dan lingkungan hidup serta keterbukaan yang semula diterima
secara hati-hati dengan alasan perbedaan budaya dan stabilitas, pada akhirnya dapat
diterima sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan tingkah laku masyarakat. Perubahan-perubahan isu global
tersebut disatu sisi akan mengarah pada tingkat perbaikan kualitas kehidupan, namun
disisi lain akan menyebabkan semakin tingginya bentuk gangguan kamtibmas dan
modus operandi kejahatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Terus meningkatnya penduduk dunia akan menimbulkan kerusakan lingkungan
yang mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan sebagai sumber daya
alam, ini berarti juga langkanya bahan pangan yang mampu disiapkan termasuk

56 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


sumber daya energi alam. Hal ini akan dapat meningkatkan persaingan yang
merupakan sumber konflik antarnegara.
Perkembangan lingkungan strategis global tersebut dapat menyebabkan adanya
tuntutan terhadap perubahan-perubahan pada berbagai bidang pemerintahan,
termasuk di dalamnya organisasi polri yang harus memperlihatkan ketanggapannya
dalam mengantisipasi berbagai perkembangan secara profesional dan proporsional.

3.6.2 Perkembangan Lingkungan Strategis Regional


Dengan adanya kegiatan ekonomi dunia yang cenderung bergeser dari kawasan
Samudra Atlantik ke kawasan Samudra Pasifik, di satu sisi akan dapat membuka
peluang bagi bangsa-bangsa Asia Pasifik untuk meningkatkan kemakmurannya. Di
samping itu, perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya
konflik ekonomi dan politik karena benturan kepentingan banyak negara.
Berbagai benturan kepentingan tersebut terjadi karena secara geografis wilayah
Asia Tenggara dan Asia Timur berbeda antara satu negara dan negara lainnya.
Ketidakseimbangan jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan
jumlah sumber daya alam yang sangat terbatas dapat meningkatkan kerawanan
kejahatan di kawasan Asia Pasifik. Kemajemukan ideologi yang dianut oleh negara-
negara di kawasan Asia Tenggara dan asia Pasifik menimbulkan perbedaan pandangan
dan kepentingan yang akibatnya dapat memuncak pada persengketaan antarnegara
di kawasan masing-masing.
Dalam konteks pergaulan masyarakat dan negara secara regional tidak dapat
dihindari keadaan yang membawa perkembangan dan perubahan suatu negara
dalam wilayah regional, di mana perkembangan dan perubahan negara yang
satu dapat mempengaruhi perkembangan negara lainnya. Perbedaan-perbedan
geopolitis, geostrategis, ideologi, etnis, ras, dan agama akan semakin dipertajam
dengan adanya perbedaan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam. Hal ini akan
menyebabkan tingkat konflik semakin tinggi, baik kualitas maupun kuantitasnya,
dan tentunya akan berpengaruh pada kestabilan keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat.
Di kawasan Asia Tengah yang pada mulanya aman dan damai telah mengalami
perubahan dan perkembangan lingkungan strategis yang cukup mengancam
perdamaian dunia. Percoban nuklir di dua negara India dan Pakistan akan membawa
dampak yang berjangka panjang terhadap kesiapan dan persiapan persenjataannya.
Kecurigaan dan pertentangan-pertentangan akan menimbulkan berbagai kecaman
yang akan diikuti dengan tindakan yang tidak menguntungkan dari negara-negara
maju, tentu saja tindakan dari negara-negara maju tersebut akan berimbas ke negara-
negara lain di luar kawasan Asia Tengah.
Di kawasan Timur Tengah disibukkan dengan konflik antara Israel dan Palestina
yang tidak kunjung berakhir. Upaya-upaya perdamaian antara negara Palestina dan

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 57
Israel yang tidak kunjung selesai karena adanya dukungan Amerika Serikat terhadap
Israel yang merugikan Palestina akan dapat berkembang menjadi konflik terbuka.
Konflik terbuka tidak hanya antara Israel dan Palestina, tetapi bisa meluas dengan
terlibatnya Amerika Serikat dan negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Kuwait,
Arab Saudi, bahkan bisa meluas ke negara-negara muslim di seluruh belahan dunia.
Perjuangan Irak untuk melepaskan tekanan dari sanksi PBB masih akan memerlukan
waktu yang panjang yang dapat membangkitkan solidaritas masyarakat muslim
untuk membantu Irak. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk secara arif dan
bijaksana dari setiap negara di dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia.
Konflik yang terjadi pada kawasan regional juga akan sangat mempengaruhi
kestabilan keamanan di dalam negeri Indonesia karena banyaknya konflik regional
yang dapat menciptakan konflik internal, sekurang-kurangnya antara masyarakat
pengunjuk rasa dan aparat kepolisian ketika demonstrasi terjadi. Peran pemerintah
Indonesia dalam menyikapi perkembangan lingkungan strategis sangat membantu
peran Polri dalam menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dalam
kedudukannya sebagai alat negara.

3.6.3 Perkembangan Lingkungan Strategis Nasional


Mencermati perkembangan negara Indonesia sedang mengalami krisis moneter,
hukum, politik, dan ekonomi serta ancaman disintegrasi bangsa yang memuncak
pada bentuk krisis kepercayan terhadap pemerintah. Secara mendasar disebabkan
adanya ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi, poltik, dan hukum. Pokok
permasalahannya terletak pada mekanisme dan dinamika pengambilan keputusan
yang tidak transparan karena adanya berbagai faktor. Pengambilan keputusan yang
terpusat pada eksekutif menyebabkan masyarakat kurang melakukan kontrol yang
akhirnya bermuara pada sikap apatis. Keadaan ini menghasilkan distorsi fungsi dan
sistem sehingga melahirkan berbagai krisis yang berlanjut menjadi krisis kepercayan
masyarakat terhadap pemerintah.
Pada saat ini telah ada kecenderungan pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke
legislatif. Pergeseran kekuasaan ini menimbulkan nuansa baru dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia. Adanya paradigma baru
yang coba diterapkan di Indonesia ternyata membuat negara dan bangsa Indonesia
dalam kehidupan bernegara yang sangat sulit. Adanya tolak tarik kekuasaan antara
eksekutif dan legislatif membuat terbengkalainya beberapa urusan pemerintahan
yang berdampak pada masyarakat. Ketidakpastian hukum, kesenjangan ekonomi,
arogansi politik, disintegrasi bangsa, dan kemunduran budaya serta degradasi moral
menyebabkan Bangsa Indonesia mengalami kemunduran beberapa langkah dalam
proses pembangunan.
Ada beberapa hal yang menjadi objek bahasan perkembangan lingkungan
strategis nasional yaitu : Kondisi geografi, demografi, sumber daya alam, ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

58 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


(a) Geografi
Kondisi geografi Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu pulau dan terletak
pada posisi silang memberikan kedudukan yang strategis di bidang transportasi,
perdagangan, dan hubungan antarnegara yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pembangunan nasional. Namun demikian, dapat juga mengundang
kerawanan karena terbuka kesegala arah yang mengarah pada berbagai konflik
khususnya masalah perbatasan.
Terdapatnya beragam kelompok etnis, agama, dan kepercayaan serta sumber
kekayaan alam yang hampir merata di seluruh pelosok nusantara akan menempatkan
Indonesia pada potensi yang rawan terhadap pertikaian yang berdasarkan suku,
agama dan rasial (sara) yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa apabila tidak
ditangani dengan baik.
Luasnya kepulauan Indonesia tidak sepenuhnya dapat diawasi secara maksimal
oleh negara melalui alat-alat perlengkapan negara , khususnya oleh Polri yang
terbatas dalam personil, sarana/prasarana, dan anggaran. Tidak heran apabila di
daerah tertentu yang luput dari perhatian pemerintah pusat, seperti Aceh, Papua,
dan Ambon terjadi gangguan kamtibmas dalam skala besar, bahkan telah menuju ke
arah konflik bersenjata. Untuk itu, perlu kiranya pemerintah memaksimalkan peran
Polri sebagai alat negara dalam fungsinya menegakkan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.

(b) Demografi
Jumlah penduduk yang besar (lebih kurang 230 juta jiwa) dengan tingkat
pertumbuhan 1,6% per tahun merupakan peluang dalam menjadikan jumlah
penduduk sebagai aset dari pembangunan. Akan tetapi, penyebaran penduduk
yang belum merata dengan kualitas yang relatif rendah merupakan kerawanan
dan menjadi beban pembangunan. Dihadapkan pada dampak krisis ekonomi yang
belum terselesaikan akan berakibat pada bertambah tingginya angka pengangguran
maupun kelompok masyarakat di bawah garis kemungkinan.
Tidak seimbangnya jumlah penduduk dengan jumlah polisi akan menyulitkan
Polri melaksanakan fungsi penegakan hukum dan pewujud keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat. Untuk mengurangi Police Employee Rate yang begitu besar, sudah
sepatutnya jumlah personil Polri ditambah, sekurang-kurangnya agar mencapai ratio
ideal sesuai dengan standar kepolisian di negara-negara ASEAN yaitu 1 : 700.

(c) Sumber Daya Alam


Eksploitas dan eksplorasi sumber daya alam dan hayati dalam menunjang
pembangunan nasional akan memerlukan peran serta investor asing sebagai pihak
penanam modal. Selain itu, pihak ketiga sebagai pemodal atau pemberi pinjaman
(IMF, World Bank, ADB, dll) mensyaratkan beberapa ketentuan dalam proses

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 59
pemberian pinjaman atau penanaman investasi di Indonesia. Para investor asing dan
pihak pemberi pinjaman perlu mendapatkan jaminan stabilitas keamanan dan politik
di dalam negeri. Hal ini penting untuk kelancaran pembangunan di Indonesia dan
proses pengembalian pinjaman serta keuntungan dari investasi yang ditanamkan.
Jaminan stabilitas keamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri dan
menuntut Polri untuk bertindak secara profesional. Selanjutnya, polri juga dituntut
mampu mengerti dan memahami perjanjian internasional dan perlindungan
terhadap aset asing yang ditanamkan di Indonesia.
(d) Ideologi
Pancasila sebagai ideologi negara akan tetap dipertahankan dan UUD 1945
sebagai konstitusi negara akan terus di sempurnakan sesuai dengan tuntutan
masyarakat menuju masyarakat madani, adil, makmur, dan sejahtera.
Gangguan terhadap ideologi negara merupakan ancaman serius terhadap
keutuhan dan kedaulatan negara, dan sebagai tindakan preventif Polri harus
dapat dengan segera membaca tanda-tanda ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan terhadap ideologi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

(e) Politik
Tuntutan akan transparansi, penegakan HAM, dan demokrasi dibarengi dengan
gelombang reformasi dalam bidang politik mendorong tumbuhnya kelompok-
kelompok politik yang saling berlomba untuk tampil sebagai pucuk pimpinan
nasional. Perubahan paket peraturan perundang-undangan bidang politik akan lebih
memberikan peluang pada berbagai kekuatan untuk membentuk partai politik, yang
akan mengarah pada perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
Terhadap kekuatan politik TNI/Polri yang terdapat di Majelis Permusyawaratan
rakyat (MPR) dalam fraksi TNI/Polri juga terjadi perubahan yang sangat signifikan,
bahwa berdampak pada dihilangkannya fraksi TNI/Polri tersebut di MPR. Adanya
wacana bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk ikut dalam pemilihan umum
merupakan fenomena politik yang berdampak besar terhadap sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Menurut penulis hak ikut memilih dan dipilih dalam pemilihan umum
bagi anggota Polri merupakan suatu kesempatan Polri secara lembaga atau individu
untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan politik. Dengan demikian,
sangat tidak tepat untuk tetap mempertahankan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
2 Tahun 2002.70
Konsekuensi bagi anggota Polri yang terpilih sebagai pengurus suatu partai
politik atau memegang jabatan politis adalah berhenti sementara dari tugas dan
fungsinya sebagai Polri, mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.71

70 Pasal 28 ayat (1) : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan Politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal 28 ayat (2) : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”
71 Lihat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002.

60 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Perlu disadari bahwa Polri adalah bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(f) Ekonomi
Krisis moneter yang melanda Indonesia dengan segala permasalahan yang
timbul sudah mengarah pada krisis kepercayaan terhadap berbagi kebijakan yang
diambil dalam bidang ekonomi. Gonta-ganti pimpinan tertinggi eksekutif (presiden)
dan pembantu-pembantunya, pergantian beberapa direktur Bank Indonesia (BI) dan
jatuh bangunnya tim-tim ekonomi membuat Indonesia semakin kepayahan dalam
menata kembali sistem perekonomiannya.
Gelombang reformasi ekonomi yang dituntut mahasiswa dan para pakar
ekonomi menjadikan kondisi perekonomian Indonesia lebih terpuruk ke dalam
bidang ekonomi, baik makro maupun mikro yang sangat memprihatinkan.
Pembangunan yang selama ini dilaksanakan telah porak poranda, bahkan secara
tragis menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk yang mengalami dampak
krisis moneter dari beberapa negara di Asia, khususnya di asia Tenggara. Meskipun
demikian, tingkat kebocoran dana APBN bisa mencapai 40 %, dan menambah prestasi
buruk Indonesia sebagai negara terkorup di dunia.
Kondisi seperti ini apabila tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan
sosial yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan sangat membahayakan stabilitas
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Keterpurukan ekonomi di Indonesia
secara perlahan atau drastis dapat meningkatkan angka tindak kriminal . Hal ini tentu
berimbas pada kesiapan Polri untuk menciptakan daya tangkal yang cepat, tepat,
dan efektif dalam mengatasi ganguan kamtibmas.

(g) Sosial budaya


Terjadinya perubaan nilai budaya yang lebih transparan juga dilandasi oleh
tindakan lebih berani dalam menolak adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), yang nilai-nilai ini akan sangat mempengaruhi stabilitas kamtibmas. Adanya
pengawasan atau kontrol masyarakat serta adanya transparansi dalam segala bidang
merupakan gejala sosial yang baru dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara di Indonesia.
Adanya serapan kebudayaan dari luar juga mempengaruhi pola pikir dan tindak
masyarakat. Bisa jadi masyarakat itu akan cenderung arogan dan euforia dengan
kebebasan politik. Di lain pihak, dapat pula menjadikan perubahan pola pikir dan
tindak masyarakat seiring dengan meningkatnya kepatuhan dan ketaatan kepada
hukum, sehingga menimbulkan masyarakat yang makin taat dan patuh hukum.

(h) Pertahanan
Urusan pertahanan negara menjadi tanggung jawab TNI sepenuhnya sesuai

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 61
dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 200272. Sejauh
ini belum ada ancaman perang yang serius dan terbuka yang dilancarkan pihak
asing terhadap Indonesia. TNI sebagai alat negara penjaga keutuhan dan kedaulatan
negara harus dapat memainkan peran sebagai benteng pertahanan negara dengan
peningkatan profesionalisme prajurit (militer), dan tidak ikut campur dalam bidang
yang di luar kewenangannya.
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina
kemampuan, daya tangkal negara, dan bangsa serta menangggulangi setiap
ancaman. Pemerintah berkewajiban mempersiapkan secara dini segala sesuatu yang
menyangkut sistem pertahanan negara, baik dengan menyediakan sarana/prasarana
seperti markas, persenjataan, alat komunikasi, maupun informasi.
Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan
TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan
komponen pendukung. Sebagai komponen utama, TNI harus profesional dan handal
dalam bertindak dan berbuat, karena yang dihadapi adalah ancaman dari luar.
Dengan demikian kecanggihan persenjataan dan peralatan perang/tempur harus
disediakan secara memadai. Lebih penting lagi adalah kemauan dari TNI untuk terus
mengasah keahlian dan keterampilan untuk menguasai teknologi persenjataan dan
harus meninggalkan keterlibatannya dalam politik dan pemerintahan atau yang
biasa disebut back to barac (kembali ke barak).
Polri adalah komponen cadangan yang harus siap sedia tampil bila diperlukan.
Untuk itu, kesiapan Polri juga tidak hanya terbatas pada masalah penegakan hukum
dan Kamtibmas tapi lebih jauh sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan negara lapis
kedua. Kembalinya TNI ke barak merupakan konsekuensi dari suatu negara modern
dan demokrasi, dan sedikit banyak membantu Polri untuk lebih mengembangkan
kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum
dan ketertiban dalam masyarakat (law and order) tanpa ada campur tangan dari pihak
mana pun, termasuk TNI.

(i) Keamanan
Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan
adalah suatu kondisi dinamis yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman
yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh masyarakat, yang memungkinkan
seluruh rakyat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tuntutan hidup masing-
masing dalam kehidupan sehari-hari yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat ditujukan kepada usaha
untuk mengembangkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersifat
swakarsa, dengan berintikan Polri sebagai alat negara penegak hukum yang mahir,

72 Pasal 10 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa : “Tentara Nasional
Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

62 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


terampil, bersih, dan berwibawa. Dalam pembinaan kamtibmas ini lebih diutamakan
usaha-usaha pencegahan dan penangkalan, sedangkan pembinaan masyarakat
terhadap keamanan dan ketertiban terus ditingkatkan melalui setiap kesempatan
yang tidak hanya melibatkan Polri, melainkan juga semua instansi pemerintah yang
terkait dan masyarakat itu sendiri.
Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi
segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk ganguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat, yang merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya
proses pembangunan nasional.73
Dewasa ini masalah keamanan merupakan masalah kebutuhan hidup yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Adanya rasa aman merupakan bagian dari HAM (freedom of
fear). Polri sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri harus berperan aktif
untuk mewujudkan kamtibmas. Maraknya aksi unjuk rasa yang kadang cenderung
anarkhis harus dapat direspon dan ditangani secara baik dan tidak melanggar HAM.
Di samping itu, adanya rusuh massa, tawuran, bahkan pemberontakan bersenjata,
seperti di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Papua (Irian Jaya), dan Ambon
memerlukan pola penagganan yang serius dan hati-hati serta perlu kebijakan-
kebijakan yang dapat diterima oleh semua komponen masyarakat.

3.6.4 Strategi Penataan Kedudukan Organisasi Polri


Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan
hukum dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan di depan hukum. Setiap
warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Hal ini bermakna
bahwa di era globalisasi nuansa hukum benar-benar melandasi setiap tindakan
dan penyelenggaraan kenegaraan untuk mewujudkan adanya rasa keadilan dan
kepastian bagi seluruh warganya.
Untuk menciptakan kondisi yang demikian, konsekuensinya bagi aparat penegak
hukum sebagai pilar terdepan harus memiliki independensi atau kemandirian dalam
melaksanakan tugasnya, meskipun dalam masyarakat masih dijumpai beraneka
ragam struktur sosial yang terkonfigurasi dalam tataran politik masyarakat. Hal ini
menuntut rasionalitas yuridis dalam bentuk tegaknya hukum untuk menjamin
kejelasan hak dan kewajiban serta batas-batas sosial bagi kebebasan individu dalam
menjalankan aktivitasnya.
Dikaitkan dengan penyelenggaraan hukum dewasa ini, ada satu masalah yang
bersumber pada ketidakselarasan lembaga penegak hukum dalam mengantisipasi
perkembangan antara prinsip kebebasan dan prinsip kewajiban untuk menghormati

73 Mabes Polri, Naskah Akademik RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1991.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 63
hak-hak orang lain yang secara substantif menyangkut masalah kemandirian lembaga
dalam menjalankan tugas pokoknya. Kemandirian lembaga penegak hukum itu,
terutama, berkaitan dengan aspek struktural, instrumental, dan kultural.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan era global yang telah mendorong
tumbuhnya hubungan antarnegara di berbagai bidang kehidupan, antara lain,
bidang perdagangan, pendidikan, komunikasi, transportasi, media informasi, serta
terjalinnya hubungan antara sentra-sentra kekuasaan yang memiliki kemampuan
ruang lingkup yang lebih luas, dituntut agar Polri secara kontinyu untuk meningkatkan
profesionalismenya.
Perkembangan itu mempengaruhi sistem pemerintahan sehingga apabila
semua kekuasaan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, kepentingan-kepentingan
yang melekat pada diri individu akan semakin berkurang dan individu-individu
tersebut akan berusaha merebut kembali hak-haknya. Sebagai antisipasi awal
untuk menghindari perebutan hak tersebut, harus ada pembatasan dan pembagian
kekuasaan. Dalam bidang penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, misalnya,
kekuasaan dan kewenangan untuk itu diberikan kepada Polri.
Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat
harus memahami secara bijak kondisi penegakan hukum saat ini. Hal ini berarti
bahwa Polri secara sadar mencari akar permasalahan untuk dapat dicarikan jalan
keluarnya. Sebagai konsekuensi lembaga yang mandiri dan profesional otonomi
penuh dalam pengambilan kebijakan sepanjang menyangkut masalah pelaksanaan
tugas harus diberikan kepada Polri. Terabaikannya otonomi Polri pada masa lalu telah
menimbulkan berbagai dampak yang merugikan kehidupan masyarakat.
Pembenahan secara struktural akan membawa Polri sebagai lembaga yang
benar-benar mandiri dan profesional yang dikuatkan dengan peraturan perundang-
undangan. Kemandirian Polri merupakan kegiatan penghubung untuk menentukan
orientasi budaya dan struktur organisasi. Di satu sisi, kemandirian Polri sangat
tergantung pada orientasi yang melekat pada kebijakan-kebijakan yang dibawa
oleh para pejabat Polri. Di sisi lain, derajat kemandirian Polri dipengaruhi oleh cara-
cara polisi menjalankan kegiatan-kegiatan regulatif dan kegiatan-kegiatan kolektif
maupun aspek-aspek fundamental organisasi.
Kemandirian Polri tidak dapat dilepaskan dengan usaha pemberdayaan
organisasi, yang penguatan lembaga Polri itu menyangkut juga keseimbangan
antarpengguna kekuasaan yang melekat dalam organisasi dengan kemungkinan-
kemungkinan ketimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketidakseimbangan
kekuasaan yang melekat pada organisasi Polri menyebabkan kemampuan dan kinerja
Polri tidak maksimal dapat dilakukan.
Pasal 8 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan bahwa Polri
berada di bawah Presiden. Kapolri adalah penanggung jawab pembinaan anggota
dan operasional kepolisian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dengan UU No. 2 tahun 2002, kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri karena telah
terpisah dari angkatan perang dan Departemen Pertahanan Keamanan. Akan tetapi,

64 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


ironisnya, UU No. 2 Tahun 2002 tidak menyebutkan secara tegas tentang keberadaan/
kedudukan lembaga Polri yang berada langsung di bawah Presiden.
Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan acuan tentang kedudukan Polri
langsung di bawah Presiden, yaitu:

(1) Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung


Kedudukan polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat/setara dengan
Kejaksaan Agung akan menjadikan Polri sebagai lembaga otonom dan mandiri.
Otonom dalam pengertian dapat mengurus dan mengatur dirinya sendiri tanpa
adanya intervensi dari luar (selama ini pembinaan personil bertanggung jawab
kepada Menhankam/Pangab) dan mandiri bahwa segala kebijakan baik anggaran,
personil maupun operasional berada penuh di tangan Kapolri sebagai pucuk
pimpinan tertinggi Polri.
Hal senada juga disampaikan oleh mantan kapolri, Djamin74 di depan sidang
MPR pada acara dengar pendapat Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat (BP MPR), yang menyatakan sebagai berikut:
“Sebaiknya Polri tidak di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan
Keamanan, tetapi dijadikan departemen tersendiri yang berorientasi pada
penegakan hukum. Departemen ini berada langsung di bawah presiden dan
bertanggung jawab kepada presiden, sambil menunggu perubahan UU No.
22 Tahun 1982 dan UU No. 28 Tahun 1997”

Kedudukan Polri setingkat Kejaksaan Agung akan menyamakan posisi lembaga


Polri dengan lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung, sedangkan
hakim telah tunduk di bawah Mahkamah Agung (Lembaga Tinggi Negara). Jabatan
Kapolri dan Jaksa Agung adalah sebagai pejabat negara setara dengan menteri.
Dalam peran, wewenang, fungsi, dan kedudukannya sebagai alat negara penegak
hukum dan ketertiban dalam masyarakat, Polri memiliki kewenangan penuh dalam
mengendalikan semua pembinaan dan operasional polisionil.
Kedudukan setara Kejaksaan Agung bagi Polri juga membawa dampak terhadap
anggaran Polri, karena akan mendapat anggaran tersendiri dalam APBN, sama seperti
Kejaksaan Agung. Selama ini Polri hanya menerima dana subsektor dari beberapa
departemen, seperti anggaran subsektor keamanan dari Departemen Dalam Negeri,
anggaran subsektor pembinaan dan operasional kepolisian dari Departemen
Pertahanan Keamanan, dan anggaran khusus Polri yang berasal dari panglima ABRI
(ketika Polri masih bagian dari ABRI). Anggaran tersebut adalah anggaran sisa yang
jumlahnya sangat jauh dari kebutuhan ideal anggaran Polri. Anggaran tersebut tidak
tetap sifatnya, dapat lebih besar atau lebih kecil sesuai dengan kebijakan keuangan
lembaga atasnya (Depdagri, Dephankam, Mabes ABRI).

74 Harian Media Indonesia, hlm. 12, tanggal 26 Februari 2000, Jakarta.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 65
Kedudukan Polri sebagai lembaga yang mandiri dan otonom juga akan
memudahkan Polri meningkatkan sumber daya manusianya melalui lembaga-
lembaga pendidikan luar negeri dan dalam negeri sesuai dengan kebutuhan
operasional kepolisian. Bantuan dari luar negeri pun akan mudah didapat. Selama
ini sebelum Polri mandiri bantuan dari luar negeri untuk pendidikan atau penugasan
Polri ke luar negeri sering dimanfaatkan oleh TNI sehingga pihak penyedia bantuan
luar negeri enggan mengikutsertakan Polri dalam pendidikan dan pelatihan yang
di biayai oleh luar negeri, misalnya Pendidikan dan pelatihan international police
(Interpol) yang meminta Polri mengirimkan 15 anggota terbaiknya (anggota Polri),
tetapi karena adanya intervensi dari pihak luar, yang dikirimkan adalah 15 orang
dengan rincian 9 Polri, 5 TNI-AD dan 1 TNI AL.75
Penyediaan sarana/prasarana Polri, seperti alat transportasi, alat komunikasi,
gedung perkantoran, asrama, dan alat khusus kepolisian dapat direncanakan dan
diatur secara lebih efisien dan efektif oleh Polri sendiri. Selama ini penyediaan
sarana/prasarana di atas didistribusikan dari perbekalan dan angkutan dari mabes
ABRI sehingga banyak sarana/prasarana yang tidak terpakai atau mubazir dan biaya
perawatan dan operasional yang tinggi.

(2) Departemen Kepolisian yang Dipimpin oleh Menteri Kepolisian Negara


Republik Indonesia.
Keberadaan Departemen Kepolisian telah pernah diadakan di Indonesia pada
tahun 1950-an (1 Desember 1950) telah ada Kepala Kepolisian Negara yang disebut
Menteri Muda Kepolisian, yang Departemennya terdiri atas Pusat Departemen
Kepolisian yang membawahi 5 (lima) Direktorat dan 1 (satu) Biro. Tahun 1960 telah ada
pula sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian yang pada tahun 1963 sebutan
tersebut diganti dengan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak).
Keberadaan Departemen tersendiri bagi Polri sebenarnya akan sangat
membantu Polri dalam mewujudkan Polri mandiri dan profesional. Akan tetapi,
adanya Departemen Kepolisian dalam suatu kabinet tidak lazim dilakukan oleh
negara-negara di dunia.

(3) Lembaga Pemerintah NonDepartemen (LPND) yang Dipimpin oleh Kapolri


Kedudukan Polri sebagai lembaga pemerintah nondepartemen secara politis
dan yuridis kurang menguntungkan bagi Polri. Hal ini disebabkan LPND bukan
suatu organisasi yang memiliki operasional kebutuhan yang tinggi, yang sewaktu-
waktu dapat dihapus atau ditiadakan. Polri adalah lembaga yang memiliki intensitas
operasional yang sangat tinggi dan tidak hanya terfokus pada satu kegiatan
operasional saja sebagaimana yang lazim dilaksanakan di LPND.
LPND adalah suatu lembaga yang secara politik melaksanakan suatu kebijakan
pemerintah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan dan sangat tergantung

75 Data Pengiriman Diklat Interpol ke Inggris, Dinas Infolahta Mabes Polri, Jakarta, 2000.

66 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


pada kebijakan pemerintah pusat (presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
tertinggi). LPND adalah alat kekuasaan pemerintah pusat untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sedangkan Polri adalah alat
negara yang tidak terkooptasi dalam lingkaran kekuasaan dan bukan alat kekuasaan
pemerintah pusat yang semata-mata bertugas melaksanakan kebijakan-kebijakan
dari pemerintah pusat.

(4) Berada/sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri


Polri sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri pernah diadakan di Indonesia
sejak awal keberadaan atau kelahiran Polri yakni pada 1 Oktober 1945, yang diawali
oleh maklumat pemerintah yang ditandatangani bersama antara Menteri Dalam
Negeri, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, yang isinya menyatakan bahwa semua
kantor kejaksaan dimasukkan dalam lingkungan Departemen Kehakiman dan kantor
kepolisian masuk dalam Departemen Dalam Negeri.
Secara universal bahwa kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam
Negeri adalah suatu hal yang lumrah, sebagaimana yang diterapkan oleh kepolisian
di negara-negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang. Di Inggris,
misalnya, Polisi adalah bagian dari Departemen Dalam Negeri walaupun diberi
suatu departemen tersendiri di bawah Departemen Dalam Negeri yang disebut
Departemen Kepolisian (Police Departement). Hal yang sama juga diterapkan di
Amerika Serikat dan Jepang.
Bagi Polri, keberadaannya di bawah Departemen Dalam Negeri adalah suatu
kemunduran. Hal ini disebabkan bahwa Polri telah diberikan tempat istimewa
langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jika
berada di bawah Departemen Dalam Negeri, tentu Kapolri harus bertanggung jawab
kepada menteri dalam negeri terlebih dahulu.
Keberadaan Polri di bawah Depdagri secara yuridis bertentangan dengan UU
No. 2 Tahun 2002 dan secara politis telah membawa Polri terkooptasi pada pusat
kekuasaan sehingga di khawatirkan Polri tidak mandiri dan tidak profesional. Dari
segi pembinaan, anggaran, personil, dan operasional kepolisian juga akan dijumpai
kendala yang sangat serius, karena, meskipun Polisi adalah bagian dari masyarakat
sipil, tetapi Polisi adalah orang sipil yang dipersenjatai.
Dalam pembinaan fungsi teknis kepolisian juga akan dihadapkan pada kendala-
kendala yang bersifat teknis. Fungsi teknis kepolisian adalah suatu fungsi khusus
yang terdapat di lembaga Polri yang memerlukan penangganan khusus dan tidak
dapat disamakan dengan pembinaan pada umumnya. Adanya fungsi teknis reserse,
intel pam Polri, lalu lintas, bimmas dan sabhara pada lembaga Polri yang tidak dikenal
di Departemen Dalam Negeri akan menyulitkan dalam proses pembinaan dan
operasional dilapangan apabila tidak diatur secara baik.
Segi penegakan hukum juga akan ditemukan hal-hal yang profesional dan
proporsional. Hal ini terlebih bila ada pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 67
oleh pejabat Depdagri. Di samping itu, mekanisme pertanggungjawaban dan
pelaporan akan mengalami kesulitan-kesulitan karena akan ada dualisme pimpinan
di tubuh Polri yaitu Kapolri dan Mendagri. Dari empat alternatif tersebut di atas, maka
yang paling menguntungkan bagi kemandirian dan profesionalisme Polri adalah
kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung.

3.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi


Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang
Mempelajari dan memperbandingkan kedudukan dan fungsi kepolisian melalui
studi kepustakaan bertujuan untuk dapat mengambil sisi positif dari pelaksanaan
kebijakan (policy) suatu negara terhadap kepolisiannya agar dapat diterapkan di
Indonesia sepanjang hal tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum dan
moral. Diambilnya perbandingan terhadap dua negara, yakni Inggris dan Jepang,
didasari atas alasan bahwa kepolisian terbaik saat ini di dunia adalah kepolisian
Inggris dan Jepang, yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

3.7.1 Kepolisian Inggris


Polisi Inggris dibentuk untuk menghadapi perlawanan yang kuat dari berbagai
kepentingan politik dan filsafat yang luas cakupannya pada saat-saat awal lahirnya
kepolisian Inggris yang dilakukan oleh kelas menengah dan atas serta kaum pekerja
(kelas bawah). Walaupun kebencian/kecurigaan kelas menengah dan atas cepat
menghilang, kebencian kaum pekerja berlangsung terus, yang diungkapkan dengan
benturan fisik yang sporadis dan dilambangkan dengan berbagai julukan yang sifatnya
menghina polisi, seperti; crushers, Peel’s Bloody Gang, Blue Locusts, Jenny Darbies, Raw
Lobsters, dan Blue Drones. Akan tetapi, menjelang tahun 1950-an, polisi tidak hanya
diterima, akan tetapi diperlakukan sebagai orang penting oleh masyarakat. Tidak ada
negara lainnya yang telah menjadikan angkatan kepolisian suatu lambang nasional
sedemikian besarnya.76
Kedudukan kepolisian Inggris berada di bawah Kementerian Dalam Negeri yang
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya kepolisian Inggris tunduk pada Menteri Dalam
Negeri. Kepolisian Inggris dipimpin oleh seorang Kepala Polisi yang dikenal dengan
Komisaris Polisi. Organisasai kepolisian Inggris diorganisasi dalam sebuah hierarki
birokratis. Ini berbeda dengan keadaan sebelumnya yang mengandalkan campuran
orang yang beraneka ragam sifatnya sebagai pekerja paruh waktu, para penangkap
maling yang giat, dan sukarelawan amatir. Penerimaan tenaga dan kenaikan pangkat
didasarkan atas prestasi yang tidak berpihak atau mendahulukan sanak keluarga.

76 Reiner and Robert, The Rise and The Fall of The Police Legitimacy, Wheatsheat Books Ltd, London, 1986, hlm. 48.

68 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Rowan dan Mayne (pejabat yang berwenang menerima anggota polisi),
menetapkan syarat yang cukup berat dan secara ketat diterapkan dalam penerimaan
anggota polisi, khususnya yang bekerja pada daerah metropolitan. Daerah-daerah
provinsi lainnya diperkenalkan pula unsur standardisasi minimal lewat inspektorat
kepolisian. Rowan dan Mayne merinci sekumpulan ketentuan dan peraturan ketat,
yang tidak saja menentukan norma intern menyangkut pakaian, tingkah laku, disiplin,
dan cara bertindak yang harus ditempuh kalau menghadapi publik.
Organisasi standar pada kepolisian Inggris adalah berbentuk direktorat yang
terbagi atas bagian administrasi dan operasional. Bagian operasional adalah kekuatan
utama dalam struktur kepolisian, sedangkan bagian administrasi adalah kekuatan
pendukung. Organisasi ini tidak membagi fungsi secara tajam, tetapi seluruh
kekuatan, baik itu administrasi ataupun operasional yang terbagi dalam unit kerja
harus melakukan fungsi:77
(1) Memelihara keamanan dan melindungi harta seseorang;
(2) Mencegah terjadinya kejahatan;
(3) Melakukan tindakan represif, berupa kegiatan penyidikan sampai diajukan ke
pengadilan;
(4) Menentukan seseorang harus diserahkan ke kejaksaan atau tidak;
(5) Dapat bertindak sebagai Jaksa terhadap perkara ringan yang diajukan di
pengadilan;
(6) Melaksanakan pengamanan dan ketertiban lalu lintas;
(7) Melaksanakan tugas khusus dari departemen dalam negeri; dan
(8) Membina hubungan baik dengan masyarakat setempat.
Kepolisian Inggris menurut jenisnya terbagai dua, yaitu Kin Police dan Ruler
Appointed Police.78 Kin Police adalah polisi rakyat karena polisi jenis ini dibentuk dari
masyarakat sekitar dan bertugas mengamankan daerahnya sendiri. Satuan terkecil
dari Kin Police disebut Thything yang terbentuk dari kelompok yang terdiri atas sekitar
10 Keluarga, dan ditunjuk satu orang sebagai polisi yang disebut Thythingman.
Sepuluh Thyting tunduk pada Hundredman dalam satu shire yang dapat berbentuk
Yorkshire atau Lancashire yang tunduk pada Shire-Reeve (yang selanjutnya dikenal
dengan sebutan Sheriff). Pada akhirnya satuan ini menjadi besar dan disebut County
Police.
Ruler appointed Police adalah polisi yang tidak diangkat oleh masyarakat tetapi
diangkat oleh Raja (Penguasa). Polisi jenis ini bekerja secara profesional dan harus
memenuhi standar-standar kepolisian yang telah ditetapkan. Polisi ini dilengkapi
dengan peralatan yang baik serta dilengkapi dengan satuan penjaga keamanan
negara yang terkenal dengan sebutan Scotland Yard. Polisi jenis ini sampai sekarang

77 Friedmann, Robert, R, Community Policing Comporative Perspective and Prospects, Harnester Wheatsheef, London,
1992, hlm. 115.
78 Dudu Duswara Machmudin, Eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum dan
Pembinaan Keamanan Ketertiban Masyarakat Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997, Tesis, PPS Unpad,
Bandung, 1999, hlm. 153-154.

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 69
tetap dipertahankan di Inggris yang pada akhirnya berkembang menjadi kepolisian
metropolitan London.
Kepolisian Inggris sangat menjunjung tinggi hukum dalam melaksanakan
tugasnya. Mematuhi ketentuan hukum adalah segi utama dari polisi metropolitan.
Dalam melayani masyarakat, polisi Inggris sangat santun dan dapat menarik simpati
masyarakat, bahkan melakukan pemeriksaan yang sangat manusiawi terhadap
tersangka pelaku tindak pidana.
Pada tugas atau ronda yang berbahaya, anggota polisi yang dipilih khusus dapat
membawa pistol atau pedang pendek. Akan tetapi, setiap kali menggunakan atau
bahkan mencabut senjata itu diteliti dengan cermat dan bila tidak dapat dibenarkan
sebagai usaha untuk bela diri, ada kemungkinan tindakan itu akan berakhir dengan
pemecatan. Oleh karena itu, polisi Inggris lebih suka dan lebih bangga dengan
hanya bersenjatakan pentung polisi. Bila tidak terpaksa, pentung itu pun tak perlu
dikeluarkan dari sarungnya.
Gagasan “Bobby” (polisi) yang ramah disimpulkan untuk telinga orang modern
dengan kata-kata klise, “Kalau ingin mengetahui pukul berapa, tanyakan kepada
polisi”, karena unsur pelayanan yang diberikan oleh anggota polisi Inggris, tidak
mengherankan jika polisi Inggris dapat menjadi patokan dari polisi-polisi dari negara
lain. Polisi Inggris adalah salah satu dari polisi terbaik di dunia saat ini.

3.7.2 Kepolisian Jepang


Susunan organisasi polisi sekarang di Jepang mencerminkan tradisi historis
negaranya. Jepang mempunyai sistem polisi nasional yang dikoordinasikan oleh
pemerintah pusat dan operasionalnya distandardisasikan. Polisi Jepang diciptakan
melalui undang-undang dengan prakarsa dari pusat yang dirancang untuk
mengkonsolidasi pemerintah nasional.79 Polisi Jepang dibentuk dari atas ke bawah
atau dari pusat ke daerah. Menjelang tahun 1974 urusan polisi di setiap prefektur
kecuali Tokyo, dipimpin oleh gubernur yang diangkat oleh pemerintah pusat. Biro
polisi di kementerian dalam negeri mengkoordinasi urusan polisi secara nasional.80
Di Jepang, dewasa ini, komando operasi polisi ada pada organisasi prefektural.
Dengan demikian, di Jepang terdapat 46 angkatan kepolisian, ditambah dengan
Okinawa. Pemerintah pusat sendiri tidak mempunyai angkatan yang operasional.
Pemerintah pusat hanya dapat memimpin operasi polisi prefektural kalau negara
dinyatakan dalam keadaan darurat nasional. Badan Kepolisian Nasional atau National
Police Agency (NPA) yang terdapat di Tokyo dan merupakan bagian dari pemerintahan
nasional, seluruhnya adalah organisasi staf yang mencurahkan perhatian kepada
perencanaan, koordinasi dan pengawasan. Badan itu tetap memiliki aneka fasilitas

79 Norma, E.H., Japan’s Emergence as A Modern State, Institute of Pacific Relation, New York, 1940, hlm. 118.
80 Pada mulanya Biro itu pada tahun 1872 ditempatkan di bawah Kementerian Kehakiman, tetapi pada tahun 1874
dipindahkan ke Kementerian Dalam Negeri.

70 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


untuk digunakan oleh polisi prefektur, seperti berkas tentang kejahatan, laboratorium
forensik, jaringan komunikasi, dan sekolah-sekolah latihan lanjutan.
Walaupun badan kepolisian nasional tidak dapat memimpin operasi di lapangan,
badan itu mempunyai kekuasaan besar sekali dalam menentukan tingkah laku dan
cara kerja polisi. Pengaruh NPA terwujud dalam berbagai cara :
(1) Badan ini menetapkan kurikulum untuk semua sekolah polisi, termasuk menerima
tenaga baru dari sekolah-seklah latihan yang dijalankan oleh tiap prefektur;
(2) Walaupun besarnya angkatan kepolisian di prefektur ditetapkan oleh ordonansi
lokal, angkatan itu harus memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh
pemerintah pusat. Ini menjamin supaya liputannya kira-kira sama antara tempat
yang satu dan tempat yang lain;
(3) Tarif gaji untuk anggota polisi di tiap prefektur harus sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh NPA;
(4) Pemerintah nasional memberi sumbangan keuangan kepada prefektur untuk
menutup berbagai kategori pengeluaran yang berhubungan dengan operasi
polisi; dan
(5) Semua pejabat dengan pangkat pengawas senior dan lebih tinggi, di mana pun
mereka ditempatkan ditunjuk sebagai pegawai pemerintah nasional dan dibayar
dari dana pusat.

Personil polisi Jepang yang ditempatkan dalam satu prefektur rata-rata adalah
5000 perwira dan mengayomi lebih kurang 2,5 juta penduduk. Untuk mencapai
Police Employee Rate, Jepang dapat dikategorikan ideal yakni 1: 500.
Di Jepang, pejabat-pejabat Polisi tidak langsung bertanggung jawab kepada
politisi dan memang belum pernah. Sejak Jaman Restorasi Meiji sampai tahun 1945
pengawasan langsung terhadap polisi dilakukan oleh kaum birokrat. Kepala polisi
prefektur melapor kepada gubernur yang diangkat oleh pemerintah pusat. Masalah
kepolisian nasional dikoordinasikan melalui kementerian dalam negeri. Satu-satunya
politisi yang terlibat adalah Menteri Dalam Negeri.
Operasional kepolisian di Jepang didasarkan sistem yang khas, terdiri dari pos-
pos yang tetap. Ada dua macam, yakni Koban di daerah perkotaan dan Chuzaisho
di daerah pedesaan. Pada setiap giliran, petugas di Koban juga berganti. Petugas
ini melaporkan tugasnya di pos polisi dan kemudian menyebar ke koban-koban.
Chuzaisho ialah pos di daerah hunian, dijaga selama 24 jam oleh seorang perwira,
kadang-kadang oleh dua orang, yang tinggal bersama keluarganya di sekitar pos
tersebut.
Koban hampir terlihat di mana-mana dan tidak ada dua koban yang sama secara
fisik. Satu-satunya ciri yang dimiliki semua koban adalah lampu merah seperti bola
dunia yang tergantung di pintu depan dan menyala di malam hari, disertai poster
orang-orang buronan yang ditempelkan di papan pengumuman di dinding depan,
dan dinding-dinding yang bercat abu-abu pudar. Chuzaisho tampak seperti rumah

Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 71
biasa, beberapa chuzaisho dibangun menyerupai pondok-pondok di pegunungan
dengan bubungan atapnya yang runcing.
Terdapat kira-kira 5.800 koban dan lebih dari 10.000 chuzaisho di Jepang.
Walaupun chuzaisho hampir dua kali lipat koban, tetapi koban merupakan pos yang
lebih penting karena hampir empat per lima penduduk Jepang tinggal di daerah
perkotaan. Koban itu lebih dari sekadar sumber bantuan darurat. Ia merupakan sarana
pelayanan masyarakat. Para perwira koban merupakan garis depan satuan polisi
dalam memberi bantuan. Merekalah yang pertama-tama tiba di tempat keadaan
darurat. Mereka mendapat kesempatan pertama untuk menangkap tersangka yang
melakukan kejahatan, dan memiliki tanggung jawab terbesar untuk mencegah
terjadinya kekerasan.
Koban berada di bawah komando pos polisi. Pos merupakan tempat para perwira
melapor untuk bertugas, menyimpan perlengkapan, berlatih, mengirim tersangka,
memperoleh keterangan, dan kadang-kadang tempat makan dan tidur. Pos-pos
diorganisasi dalam seksi-seksi menurut sifat pekerjaan yang dilakukan seperti patroli,
pengaturan lalu lintas, pencegahan kejahatan, penyidikan kejahatan, keamanan, dan
administrasi. Pos polisi ada di bawah pengawasan markas besar prefektur. Prefektur
adalah tingkat tertinggi yang memberi perintah atas operasi dari hari ke hari.81
Pada dasarnya, baik, kepolisian Inggris dan Jepang adalah berada di bawah
Departemen Dalam Negeri yang bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri
sebagai pengambil kebijakan, sedangkan kepolisian Indonesia (Polri) berada di
bawah Presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan pengambil keputusan serta kebijakan
Polri. Kepolisian Inggris, Jepang dan Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang
tunduk pada kekuasaan eksekutif (Presiden atau Perdana Menteri).

81 Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 9 -10.

72 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


BAB  4
KAJIAN TERHADAP MAKNA DAN IMPLIKASI
KEDUDUKAN POLISI SEBAGAI ALAT NEGARA
DI DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM
DAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT

4.1 Kedudukan Polri Menurut UUD 1945


Undang Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum yang tertinggi di
Indonesia. Undang Undang Dasar atau konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan
mengenai ketatanegaraan yang bersifat mendasar. Dengan perkataan lain, segala
tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak
didasarkan atau menyimpangi konstitusi berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah
tidak konstitusional (tidak sesuai hukum dasar).82
Dalam Undang Undang Dasar 1945 memuat sedikitnya empat unsur yang terdiri
atas:
(1) Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan
atas hukum atau peraturan perundang-undangan.;
(2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
(3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan
(4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.83

Demikian pula yang disebutkan dalam berbagai literatur hukum tata negara
maupun ilmu politik tentang ruang lingkup paham konstitusi yang terdiri atas:
(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik tunduk pada hukum);
(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan.84

82 Dahlan Thaib, at all, Op. Cit. hlm. 1.


83 Sri Soemantri M, Loc. Cit., hlm. 29-30.
84 Dahlan Thaib, dkk, Op.Cit, hlm. 2

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 73
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya, pemerintah dan masyarakat
harus berdasarkan hukum. Untuk itu diadakan lembaga penegak hukum, yang salah
satunya adalah lembaga Polri. Sebagai dasar kewenangan secara konstitusional
terhadap Polri dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum maka harus diatur
kedudukan, fungsi dan kewenangan Polri dalam UUD 1945.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan kedua menyebutkan bahwa:
“Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung”.

Menurut ketentuan konstitusi tersebut jelas ada pembagian sekaligus pemisahan


tugas dan kewenangan dalam masalah pertahanan dan keamanan. Segala sesuatu
yang menyangkut masalah pertahanan adalah mutlak tanggung jawab Tentara
Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen pertahanan negara yang paling utama,
yang dibantu oleh Polri sebagai komponen kekuatan cadangan dan rakyat sebagai
komponen kekuatan pendukung.
Dalam bidang keamanan yang menjadi komponen utama adalah Polri, dan TNI
sebagai komponen cadangan serta rakyat sebagai komponen pendukung. Secara
tegas UUD 1945 memberikan kewenangan yang penuh kepada Polri untuk melakukan
usaha dan upaya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. TNI adalah
tenaga cadangan yang hanya boleh turun tangan membantu apabila ada permintaan
dari pihak Polri dalam penanganan masalah keamanan. Di samping itu, rakyat adalah
sebagai pendukung setiap kebijakan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tugas
kepolisian dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.
Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan kedua, secara tegas juga
menyebutkan kedudukan Polri sebagai alat negara, yang menyebutkan sebagai
berikut : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat serta menegakkan hukum”.
Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai salah satu
organ kekuasaan eksekutif (pemerintahan).85 Di bawah Presiden. Hal ini bermakna
bahwa kedudukan lembaga Polri berada di bawah lingkup kekuasaan eksekutif
dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertingginya. Segala bentuk kegiatan
operasional dan pembinaan Polri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden. Segala aspek, baik aspek struktural, instrumental maupun kultural Polri
sangat bergantung pada kebijakan pemerintah (Presiden). Hal ini senada dengan
ketentuan Pasal 8 Tap MPR No. VII/MPR/2000 yang menyatakan bahwa Presiden
dalam menetapkan arah kebijakan Polri dibantu oleh Lembaga Kepolisian Nasional.

85 Menurut ajaran Tripraja, pemerintahan dalam arti sempit hanya terdiri atas satu kekuasaan saja, yaitu kekuasaan
eksekutif. Pemerintahan dalam arti sempit terdiri dari Presiden ,Wakil Presiden, dan Menteri-menteri.

74 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Apabila dilihat kedudukan kepolisian di negara-negara lainnya di dunia,
kedudukan kepolisiannya akan berbeda-beda pula sesuai dengan visi, misi, dan
kebijakan suatu pemerintahan. Kadangkala dapat dilihat kedudukan kepolisian
negara yang berada di bawah kendali Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman,
Perdana Menteri. Wakil Presiden dan di bawah Presiden secara langsung, seperti di
Indonesia.
Di Indonesia kedudukan Polri yang berada di bawah Presiden sebagai wujud
pemuliaan terhadap profesi kepolisian. Akan tetapi, UUD 1945 tidak secara tegas
menyebutkan bentuk organisasi Polri, apakah berbentuk suatu departemen, lembaga
non departemen atau lembaga khusus pemerintah. Ironisnya Undang-undang No. 2
Tahun 2002 juga tidak menyebutkan secara tegas bentuk dari organisasi Polri.
Membahas kedudukan Polri sebagai alat negara sebagaimana yang disebutkan
dalam UUD 1945 akan terasa hambar apabila tidak membahas sekaligus Ketetapan
MPR RI yang mengatur kebijakan tentang kepolisian. Hal ini disebabkan oleh
karena kedudukan Ketetapan MPR juga merupakan sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.
Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan :
“Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam
pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia adalah :
(1) Undang Undang Dasar 1945;
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
(3) Undang-undang;
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
(5) Peraturan Pemerintah;
(6) Keputusan Presiden;
(7) Peraturan Daerah”.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI)


sebagai sumber hukum kedua tertinggi setelah UUD 1945 juga telah mengatur
tentang Polri, di antaranya, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tap MPR RI
Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat (1), (2) dan ayat (3) Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI
dan Polri menyebutkan bahwa :
(1) Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan
negara
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 75
(3) Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan,
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia harus bekerja
sama dan saling membantu.

TNI dan Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari fungsi eksekutif,
baik panglima TNI maupun kapolri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi (panglima tertinggi
angkatan perang/TNI dan kepala kepolisian tertinggi/polisi pemuncak).86
Segala kebijakan, baik yang menyangkut pembinaan maupun operasional
ditentukan presiden. Adanya campur tangan lembaga lain di luar kekuasaan eksekutif
adalah bentuk intervensi yang dapat menghalangi kemandirian dan profesionalisme
prajurit TNI dan anggota Polri.
Pada ketentuan menimbang huruf (e) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000
disebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat diperlukan aparat keamanan
dan ketertiban yang memberikan perlindungan dan penegakan hukum berupa
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut pada huruf (g) TAP MPR No. VII/
MPR/2000 disebutkan bahwa telah dilakukan pemisahan secara kelembagaan yang
setara antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adanya aparat keamanan dan ketertiban yang memberikan perlindungan,
pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam suatu negara adalah suatu
keharusan. Ini bermakna bahwa setiap negara yang modern dan menghargai HAM
harus memberikan perlindungan, kenyamanan, ketertiban, dan ketenteraman
kepada warga negaranya dengan mengadakan suatu alat negara yang berperan dan
berfungsi khusus untuk itu.
Adanya pemisahan secara kelembagaan yang setara antara TNI dan
Polri memberikan kewenangan penuh pada masing-masing pihak untuk
dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dalam rangka mewujudkan
profesionalismenya. Kesetaraan secara kelembagaan antara TNI dan Polri membawa
konsekuensi bahwa jabatan panglima TNI dan kapolri adalah sederajat sehingga
antara yang satu dan lainnya tidak bisa saling perintah atau saling menjatuhi.
Menurut Soeprapto,87 ada tiga pejabat setingkat menteri yang membantu
presiden sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara yaitu:
(1) Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
(2) Jaksa Agung Republik Indonesia; dan
(3) Gubernur Bank Indonesia..

Seiring dengan adanya perubahan Undang Undang Dasar 1945 dan adanya
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 serta lahirnya

86 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas, Jakarta, 1970, hlm.40.


87 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan- Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta, 1998, hlm. 71-72.

76 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Undang-undang No.2 Tahun 2002 jabatan panglima ABRI telah ditiadakan dan
digantikan dengan jabatan Panglima TNI dan Kapolri. Konsekuensi yang timbul
dari perubahan konstitusi dan lahirnya Tap MPR No. VI/MPR/2002 dan Tap MPR No.
VII/MPR/2000 serta lahirnya UU No. 2/2002 adalah adanya empat pejabat negara
setingkat menteri, yaitu:
(1) Panglima TNI;
(2) Jaksa Agung Republik Indonesia;
(3) Gubernur Bank Indonesia; dan
(4) Kapolri.

Dalam kenyataannya, kesetaraan antara TNI dan Polri hanya dapat dipahami dan
diterima oleh sebagian pihak saja. Ketidakrelaan TNI disetarakan dengan Polri dapat
dilihat dari adanya tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan pembinaan
personil yang seolah-olah menempatkan anggota Polri sebagai bawahan. Sering
ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari, adanya oknum-oknum TNI yang sengaja
melanggar aturan lalu lintas atau tidak mau berhenti ketika adanya razia lalu lintas
walaupun diberhentikan oleh polisi lalu lintas karena yang bersangkutan tidak
menggunakan helm.
Masih adanya sebagian anggota TNI yang menjadi pelindung bandar narkoba,
prostitusi, perjudian, dan masih arogannya oknum TNI di lapangan menunjukkan
kekurangikhlasan TNI dalam memposisikan Polri sebagai teman dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini diperburuk oleh sikap sebagian besar anggota
Polri yang berperilaku menyimpang dan kurang profesional dalam menindak setiap
pelanggar atau pelaku tindak pidana, termasuk prajurit TNI, walaupun ada mekanisme
penyerahan kepada polisi militer.
Penegasan tentang peran Polri sebagai alat negara penegak hukum dan
kamtibmas diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) TAP MPRRI No. VII/MPR/2000
yang menyatakan :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.

Peranan Polri sebagai penanggung jawab Kamtibmas, penegak hukum,


pengayom, dan pelayan kepada masyarakat memiliki makna bahwa Polri adalah alat
negara pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam menciptakan ketertiban
hukum dan masyarakat tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Untuk dapat
menjalankan perannya tersebut, setiap anggota Polri dituntut untuk memiliki
keahlian dan keterampilan secara profesional. Setiap anggota Polri dituntut untuk
senantiasa mengembangkan kemampuan, baik kemampuan individual maupun

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 77
kolektif yang dapat menunjang pelaksanaan dan keberhasilan tugas. Negara, dalam
hal ini Pemerintah (Presiden), wajib menyediakan sarana/prasarana yang cukup dan
memadai untuk mewujudkan profesionalisme Polri.
Sebagai salah satu penegak hukum yang mendapatkan mandat untuk
memobilitaskan sosialisasi hukum adalah polisi. Polisi didaulat oleh negara sebagai
agen yang bertugas mengawinkan dirinya dengan masyarakat, dengan maharnya
hukum. Polri dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjunjung tinggi hukum
dan hak asasi manusia serta mempunyai tugas mengusahakan ketaatan warga
negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.88
Kedudukan Polri di bawah Presiden sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 7 ayat (2) Tap MPR No. VII/MPR/2000 memberikan makna bahwa Polri adalah
lembaga khusus pemerintah yang diberi wewenang secara yuridis konstitusional
untuk melaksanakan penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tanpa
adanya halangan dari lembaga mana pun.
Polri sebagai institusi dan organisasi yang menjalankan fungsi alat negara harus
menjalankan strategi-strategi negara khususnya untuk kepentingan stabilitas serta
pengendalian masyarakat sipil.89 Kedudukan Polri yang berada di bawah Presiden
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden membawa implikasi bahwa
Polri adalah bagian dari pemerintahan dalam arti yang sempit (eksekutif ) yang ikut
bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan melalui pelaksanaan
tugas-tugas polisionil, khususnya dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.

4.2 Kedudukan Polri Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun


2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kedudukan polisi di berbagai negara di dunia selalu bergantung kepada sistem
pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan, sistem administrasi
kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem administrasi
negara berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian pada tatanan preventif
dan represif sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang
meliputi fungsi pengaturan, perizinan, pelaksanaan tugas pokok, pengelolaan,
pengawasan, dan penyelesaian perselisihan-perselisihan. Sistem peradilan pidana
berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian pada tatanan represif sehingga
akan mempunyai ciri sistem pidana.
Dalam menentukan kedudukan Polri harus dapat memenuhi tuntutan atau
harapan dari masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana

88 Abdul Wahid, Loc. Cit, hlm.44.


89 Kusumah Mulyana, W., Op. Cit., hlm. 154-155.

78 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


yang menjadi harapan masyarakat ketika reformasi bergulir. Kedudukan Polri
hendaknya dapat meningkatkan citra penyelenggaraan negara, baik di dalam negeri
maupun di dunia internasional dengan dasar rujukan aspek-aspek kepolisian yang
bersifat universal.
Kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan (salah satu bagian dari kekuasaan
eksekutif ) harus menghasilkan sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan
memungkinkan dinamika peran kepolisian pada tatanan nasional, regional dan
internasional semakin baik. Polri dituntut pula untuk dapat mewujudkan keamanan,
ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Untuk dapat
memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, kedudukan Polri harus dapat memberikan
jaminan kemandirian dan profesionalisme, baik dalam aspek pembinaan maupun
operasional.
Kedudukan Polri yang berkaitan dengan fungsi penegakan hukum selalu
berkaitan dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Di Indonesia unsur
Criminal Justice System (CJS) terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Ketiga
unsur tersebut satu sama lain memiliki tugas yang berbeda. Oleh karena itu, struktur
keorganisasian CJS harus ada garis kerjasama (koordinasi), sebagai contoh, adanya
Mahkamah Agung, Kehakiman Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkehjapol)90.
Menurut Nurdin91 kedudukan Polri dalam kerangka CJS sangat rentan terhadap
pengaruh faktor sistem pemerintahan yang dianut suatu negara. Namun demikian
dalam era reformasi yang menuntut adanya demokratisasi dan HAM, Polri akan
lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan fungsinya sebagai penegak hukum
bila kedudukannya dalam sistem peradilan pidana tetap dipertahankan. Untuk itu,
kedudukan Polri juga harus disetarakan dengan kedua lembaga penegak hukum
lainnya, yaitu Kehakiman dan Kejaksaan. Hal ini untuk mempermudah adanya
koordinasi dan saling kerjasama yang saling mengisi (interdependensi, dan bukan
dependensi).
Untuk menciptakan koordinasi antara ketiga unsur dari CJS tanpa ada unsur
intervensi dari satu lembaga terhadap lembaga lain, diperlukan adanya syarat
kesamaan dalam kedudukannya, sebagaimana kedudukan Kejaksaan Agung maupun
Mahkamah Agung, walau secara kelembagaan bahwa Kejaksaan Agung adalah
bagian dari fungsi eksekutif dan Mahkamah Agung adalah salah satu dari lembaga
tinggi negara. Namun demikian, sebagaimana sifat tugas dan peranannya sebagai
penyidik, Polri menempati urutan terdepan sebagai gerbang pertama dalam sistem
penegakan hukum.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan salah satu landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan
Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Polri sebagai alat negara

90 Oetojo Oesman, Forum Makehjapol Diadakan Untuk Menciptakan Kepastian Hukum, Dispen Polda Aceh,
Machdum Sakti, Edisi 11 Maret – April 1997, Banda Aceh, 1997.
91 Muh. Nurdin, Sekjen Polri, Wawancara, Rabu, 7 Februari 2001, Ruang kerja Sekjen Polri di Mabes Polri, Jakarta.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 79
telah memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional kepolisian
di Indonesia.
Sebagaimana dinyatakan dalam konsideran huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002
bahwa :
“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan
fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada ,masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia”

Tanggung jawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri (kamdagri)


sepenuhnya ada di tangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh Polri harus
menyentuh semua aspek dan lapisan masyarakat, baik yang tinggal di kota maupun
desa.
Keberadaan polisi di tingkat kewilayahan baik, itu Polda, Polwil, Polres, maupun
Polsek bertujuan agar seluruh masyarakat dapat merasakan keberadaan Polri sebagai
pemelihara kamtibmas. Bahkan, di tingkat pedesaan, telah ada Bintara Pembina
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang dipersiapkan khusus
untuk melayani masyarakat, baik dalam penyebaran informasi, penyuluhan maupun
penegakan hukum. Hal ini bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat merasakan
kedamaian dan kepastian hukum. Akan tetapi karena terbatasnya jumlah personil
Polri, bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah desa, tidak setiap desa memiliki
Babinkamtibmas. Sering ditemukan seorang Babinkamtibmas harus melayani tiga
atau empat desa sebagai daerah tugasnya. Terbatasnya jumlah personil Polri dan
besarnya daerah hukum kerja akan menyulitkan Polri memberikan pelayanan yang
baik kepada masyarakat sebagaimana yang diharapkan.
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).

Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam melaksanakan perannya sebagai


pemelihara Kamtibmas, penegakan hukum, serta pemberikan perlindungan,

80 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh
pada Polri untuk menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan
Kamtibmas. Polri sebagai Kepolisian Nasional bermakna bahwa kesatuan Polri adalah
kesatuan yang bersifat hierarki92 dan ada pertanggungjawaban ke atas terhadap
pelaksanaan tugas Polri di tingkat bawahan.
Mabes Polri adalah kesatuan Polri tingkat teratas. Dalam rangka pelaksanaan
peran dan fungsi kepolisian, wilayah NKRI dibagi dalam daerah menurut kepentingan
pelaksanaan tugas Polri. Terdapat dua puluh enam buah Polda di seluruh Indonesia.
Padahal jumlah provinsi di Indonesia saat ini lebih dari 30 provinsi. Tentu saja tidak
sebandingnya jumlah Polda dan provinsi membawa konsekuensi adanya Polda-polda
yang membawahi dua provinsi seperti Polda Jawa Barat yang membawahi wilayah
hukum Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.
Kedudukan Polri sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif secara tegas dinyatakan
dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Kedudukan Polri di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden memberikan makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan
bagian dari kekuasaan eksekutif yang tunduk pada kebijakan Pemerintah (Presiden)
serta mempunyai kedudukan yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya. Mandiri
dalam pelaksanaan tugas operasional berarti bahwa dalam menjalankan peran dan
fungsinya sebagai penegak hukum dan Kamtibmas, Polri diberi kewenangan yang
seluas-luasnya sesuai peraturan perundang-undangan untuk mengambil segala
kebijakan dalam menjalankan tugasnya tersebut.
Implikasi yang timbul dari kedudukan Polri sebagai alat negara adalah adanya
kemandirian bagi Polri untuk menyusun, merencanakan, dan melaksanakan
segala kebijakan kepolisian untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas Polri serta
kemampuan Polri untuk melakukan kerja sama dengan badan, lembaga, dan instansi
lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
Adanya intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri adalah bertentangan dengan
hukum. Menurut Soedarsono,93 kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka
penegakan hukum dan Kamtibmas adalah suatu kedudukan yang istimewa. Hal ini
disebabkan oleh adanya kebebasan ditangan Polri untuk melaksanakan peran dan
fungsinya secara maksimal dan optimal melalui kebijakan yang diambil oleh Polri
sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

92 Pasal 10 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
wewenang kepolisian secara hierarki.
93 Teguh Soedarsono, Wakil Gubernur PTIK, wawancara, Selasa, 19 Maret 2002, Mabes Polri, Jakarta.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 81
undangan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat melakukan campur tangan atau
intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian termasuk presiden sebagai
pimpinan tertinggi Polri. Jika ini terwujud menandakan bahwa Polri benar-benar
telah mandiri.
Selama ini, intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian kerap kali terjadi.
Adanya lembaga-lembaga lain di luar Polri yang sering mengintervensi tugas Polri
dalam penegakan hukum dan Kamtibmas merupakan suatu kesalahan fatal. Adanya
beberapa oknum TNI yang sengaja menghalang-halangi Polri dalam melaksanakan
tugas adalah bentuk intervensi yang paling nyata. Sebagai contoh adalah kasus
penyerangan Polres Ambon di Maluku yang dilakukan oleh anggota TNI (Armed
dan Infanteri) yang meminta dibebaskannya pelaku tindak pidana dan penganggu
kamtibmas (provokator) yang terdiri atas masyarakat sipil dan seorang anggota
TNI berpangkat Letnan dua. Penyerangan dan pemaksaan untuk melepaskan
pelaku tindak pidana tidak hanya merupakan bentuk intervensi tapi telah berwujud
pelecehan hukum.
Demikian pula contoh intervensi yang dilakukan pihak militer/TNI terhadap Polri
yang sedang melaksanakan operasi Kamtibmas di Aceh (Nangroe Aceh Darussalam)
dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengiriman sejumlah anggota TNI
ke Aceh (NAD) untuk membantu Polri dalam menanggani aksi pemberontakan GAM
telah salah dimanfaatkan TNI. Keberadaan TNI yang didasarkan atas permintaan Polri
(walaupun yang dimintakan sedikit tapi yang dikirimkan melebihi permintaan) dan
berada di bawah kendali operasi (BKO) Polri ternyata tidak mau patuh dan tunduk
pada kebijakan yang diambil oleh Polri. Hal tersebut menimbulkan dilema bagi Polri
dalam melaksanakan tugas menegakkan hukum dan kamtibmas.
Intervensi TNI yang terlalu jauh dalam operasi Kamtibmas di Aceh (NAD)
menyebabkan Polri kewalahan94 dalam menyikapi tindakan/kebijakan yang diambil
oleh pimpinan TNI. TNI yang tidak mau patuh dan tunduk pada perintah/kebijakan
Polri justru menyulitkan Polri dalam melaksanakan tugas di lapangan sehingga tidak
jarang terjadinya kontak senjata antara anggota Polri dan TNI yang menimbulkan
korban bagi kedua belah pihak.
Begitu pula kasus kerusuhan di Poso yang melibatkan anggota TNI dan Polri yang
saling tembak, padahal saat itu kondisi keamanan dan ketertiban sedang terganggu
dengan adanya konflik ditengah masyarakat. Dengan adanya kasus saling tembak
TNI dan Polri menjadikan situasi makin memanas. Intervensi terhadap pelaksanaan
tugas Polri tidak boleh dilakukan oleh siapapun termasuk oleh Kapolri. Kapolri tidak
berwenang untuk memerintahkan anggotanya yang sedang melakukan penyidikan
suatu perkara tindak pidana jika tidak berdasarkan hukum.

94 Menurut Surya Dharma, Kadit Reserse Polda Aceh dan Suryadi Andi, Kadit Bimmas Polda Aceh, serta Sayid Huseini,
Kapolres Aceh Besar bahwa adanya dualisme komando dilapangan mempersulit Polri dalam menjalankan peran
dan fungsinya. Disamping itu ada beban lain yang harus ditanggung Polri yakni meningkatnya secara tajam
anggaran operasional di lapangan.

82 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Menurut penulis bahwa pengangkatan dan pemberhentian kapolri oleh
Presiden dengan persetujuan DPR sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 11 ayat
(1) UU NO. 2 Tahun 2002 adalah salah satu bentuk intervensi. Intervensi dimaksud
adalah intervensi yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPR) terhadap Presiden.
Hal ini didasari pada pandangan bahwa Polri adalah bagian dari kekuasaan eksekutif
yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabatan Kapolri
adalah setara Jaksa Agung atau Menteri negara lainnya. Untuk pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif Presiden.
Adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri
menandakan masih adanya campur tangan lembaga legislatif terhadap lembaga
eksekutif, sebagaimana yang dinyatakan oleh Luthan95 bahwa Polri berada dalam
kekuasan eksekutif yang tunduk pada Presiden. Segala kebijakan mengenai kepolisian
ada di tangan Presiden termasuk dalam hal pengangkatan dan pemberhentian
Kapolri.
Senada dengan itu, Pantja Astawa96 menyatakan bahwa harus adanya
persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah tindakan
emosional dari lembaga legislatif (DPR). Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi secara
sejarah tetapi tidak dapat dibenarkan secara hukum (yuridis) karena Polri adalah
tunduk pada kekuasaan eksekutif dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Adanya campur tangan DPR, baik dalam pengangkatan maupun pemberhentian
Kapolri akan menyebabkan Polri terkooptasi pada kepentingan kekuasaan. Padahal
Polri dituntut bersikap netral dalam kehidupan politik sebagaimana yang diamanahkan
dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002.97 Di samping itu, untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri
telah ada Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut Komisi Kepolisian Nasional.98
Dengan kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional
diharapkan dapat menjamin penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Adanya kepercayaan masyarakat, kemauan, dan kebijakan (political will) dari
pemerintah dan kesungguhan dari setiap anggota Polri untuk bersikap profesional
dan proporsional dapat menjamin pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum
dan ketertiban dalam masyarakat.

95 Ahwil Luthan, Irjen Polri, Wawancara, Mabes Polri, Kamis, 18 April 2002, Jakarta.
96 I Gede Pantja Astawa Pakar HTN dan Dosen tetap Unpad, Wawancara, Kamis, 22 Agustus 2002, Kampus Unpad
Di Pati Ukur, Bandung.
97 Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatkan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral
dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
98 Pasal 38 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa : Komisi Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 83
4.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi
4.3.1 Polri Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Inti Pembinaan
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Tantangan tugas Polri di era reformasi berkaitan dengan masalah keamanan dalam
negeri tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik yang berskala
nasional, regional maupun global. Namun demikian, secara makro tantangan tugas
Polri di masa mendatang dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu kejahatan
terhadap negara, masalah-masalah kriminalitas, masalah lalu lintas, masalah-masalah
ketertiban umum, dan masalah bencana (disaster).
Kelima masalah tersebut senantiasa mengalami perkembangan, seiring
dengan makin gencarnya tuntutan keterbukaan, demokratisasi dan tuntutan HAM.
Sementara itu, kekuatan personil, sarana/prasarana, dan anggaran yang tersedia
untuk menunjang pelaksanaan tugas masih sangat terbatas.
Salah satu dari kejahatan terhadap keselamatan negara adalah kejahatan terhadap
keamanan negara. Kejahatan terhadap keamanan negara merupakan ganguan
kamtibmas yang sangat sulit diatasi karena terbatasnya kemampuan Polri dalam
mencegah, menangkal, dan menindak. Kesulitan yang dialami Polri pada dasarnya
tidak berasal dari intern Polri semata, tetapi juga dipengaruhi oleh lngkungan di luar
Polri. Adanya dukungan luar negeri bahkan tindakan dari oknum TNI yang dengan
sengaja memfasilitasi para pemberontak menyulitkan Polri melakukan penegakan
hukum dan ketertiban masyarakat.
Adanya keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang terjadi di
Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Irian Jaya (Papua), dan Riau serta adanya konflik
horizontal di daerah-daerah, seperti di Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, yang
memungkinkan para provokator untuk mengacaukan stabilitas keamanan dan
berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan memerlukan profesionalisme
tindakan dari Polri untuk dengan cepat dan tepat menanganinya.
Sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat, Polri berkewajiban
menumpas segala pemberontakan dan segala sesuatu yang mengancam keutuhan
dan kedaulatan negara. Kegiatan subversi, sabotase, dan upaya lain yang sengaja
diciptakan untuk mengangggu keamanan negara wajib ditumpas dan diselesaikan
secara hukum oleh Polri, karena tanggung jawab Polri sebagai penanggung jawab
keamanan dalam negeri.
Kejahatan terhadap martabat dan kedudukan Presiden/Wakil Presiden makin
sering terjadi, khususnya pada saat terjadinya aksi unjuk rasa/demonstrasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah,
dengan membonceng pada gerakan-gerakan kemanusiaan maupun HAM yang sempit.
Penghinaan dan hujatan secara terbuka yang ditujukan kepada Presiden/Wakil
Presiden bahkan disertai dengan tindakan fisik merupakan fenomena baru dalam

84 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


kegiatan aksi masyarakat yang mengatasnamakan kebebasan menyatakan pendapat
dalam konteks demokrasi.
Konsekuensi dari tugas dan peran Polri sebagai aparat penegak hukum dan
inti pembinaan Kamtibmas di era reformasi adalah meningkatnya perkembangan
kriminalitas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Bentuk ganguan kamtibmas yang
berupa tindakan kriminal tidak lagi hanya dalam bentuk konvensional, seperti
pencurian, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan
(curas), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penipuan/penggelapan, dan
narkotika. Meskipun demikian telah berkembang kejahatan dimensi baru (new
dimention of crime), antara lain, berupa berbagai jenis penipuan dengan modus
operandi baru, seperti maritime fraud, advance fee fraud, pemalsuan surat/bukti
pembayaran atau transaksi seperti credit card, dan surat bukti transfer.
Di samping itu telah berkembang pula jenis kejahatan baru (new tipes of crime),
seperti penggunaan komputer atau jaringan internet untuk melakukan kejahatan
perbankan (cybercrime),99dan pelanggaran Haki. Kesemuanya ini merupakan
tantangan tugas Polri yang menuntut kemampuan pembuktian yang tidak mudah
dalam upaya penyidikan.
Salah satu hasil dari pembangunan nasional adalah terjadinya peningkatan
kegiatan dan sarana/prasarana transportasi, berupa peningkatan kualitas jalan,
peningkatan jumlah (volume) kendaraan, dan peningkatan arus lalu lintas seiring
dengan peningkatan dinamika pembangunan. Peningkatan kegiatan maupun
sarana/prasarana di bidang transportasi memiliki dampak positif dan juga dampak
negatif berupa meningkatnya jumlah angka kecelakaan lalu lintas dengan jumlah
korban luka-luka dan meninggal yang tinggi, terjadinya kemacetan lalu lintas, polusi
udara dan suara. Hal tersebut diatas menambah beban tugas Polri dan menuntut
Polri bekerja secara maksimal, optimal, dan profesional.
Sering ditemukan adaya keluh kesah dan umpatan masyarakat yang ditujukan
kepada Polri apabila terjadinya kemacetan lalu lintas atau kecelakaan lalu lintas,
padahal masalah lalu lintas bukan semata-mata tanggung jawab Polri tetapi juga
merupakan tanggung jawab Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Pemerintah
Daerah (Pemda), dan masyarakat secara keseluruhan.
Keterbatasan sarana transportasi Polri, baik itu kurangnya kendaraan bermotor
(mobil dan sepeda motor) yang digunakan untuk patroli, pengawalan, laka lantas,
olah tempat kejadian perkara (olah TKP) serta minimnya anggaran untuk BBM dan
perawatan kendaraan membuat operasional Polri di bidang lalu lintas menjadi
semakin sulit. Sepatutnya pemerintah dan masyarakat membantu pengadaan sarana/
prasarana kepolisian dalam rangka mempermudah kegiatan/aktivitas masyarakat di
luar rumah.
Masalah ketertiban umum yang semakin meluas dan meningkat dari waktu ke
waktu menuntut penanganan yang serius dan bijaksana. Pengamanan terhadap

99 Tim Ganda Wibawa Sakti, Gawisa, No. 365/Pebruari/XXX/Tahun 2002, Dispen Polda Jabar, hlm. 44, Bandung,
2002.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 85
kegiatan masyarakat berupa pertunjukan kesenian, pertandingan olah raga, arak-
arakan atau pawai di jalan umum, serta unjuk rasa yang seringkali berkembang
menjadi kerusuhan massa yang sangat merugikan dan menganggu ketenteraman
masyarakat secara luas memerlukan pola penanganan yang sistematis. Hal tersebut
penting dilakukan secara baik untuk dapat meninkatkan harkat, martabat dan citra
Polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Masalah bencana (disaster) juga diperkirakan sering terjadi, baik yang diakibatkan
oleh alam (bencana alam) maupun yang diakibatkan oleh ulah manusia, seperti
kecelakaan bus, kereta api, pesawat, kapal laut, tanah logsor, banjir, kebakaran, wabah
penyakit, keracunan makanan, dan gempa bumi.
Berbagai gangguan keamanan tersebut di atas telah tumbuh dan berkembang
seirama dengan pesatnya pembangunan nasional yang menggunakan tehnologi
dan merupakan tanggung jawab Polri untuk dapat mencegah dan mengatasi setiap
terjadinya gangguan kamtibmas. Tuntutan di era reformasi terhadap Polri untuk
memelihara dan memantapkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat
harus dilakukan dengan mencermati dan menelaah perkembangan masyarakat yang
dapat menjadi sumber ancaman terhadap Kamtibmas yang secara teoretis dapat
digambarkan bahwa terjadinya suatu peristiwa karena adanya akar masalah yang
mengendap dan tidak terlihat di bawah permukaan (teori gunung es). Endapan-
endapan tersebut pada hakikatnya bersumber dari aspek-aspek astagatra dalam
pembangunan nasional yang terus berlanjut hingga saat ini.
Pembangunan aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan
keamanan membawa endapan/residu berupa Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Hal
ini apabila tidak dieliminasi dapat berkembang menjadi faktor interaksi atau Police
Hazard (PH). Police Hazard ini dapat menjelma menjadi Ancaman Faktual (AF) bila
bertemu dengan faktor pencetus.
Oleh karena itu tantangan tugas Polri di era reformasi memang sarat dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat yang senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan lingkungannya. Untuk mengantisipasi tuntutan tugas Polri yang
semakin berat di era reformasi, dukungan terhadap kemandirian dan profesionalisme
Polri dari masyarakat, bangsa, dan negara harus diwujudkan secara konkret.
Kedudukan Polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat (law and order) sudah seharusnya dilaksanakan atau
diwujudkan.

4.3.2 Polri Sebagai Salah Satu Bagian dari Unsur Criminal Justice System
(CJS)
Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System (CJS) adalah suatu
pendekatan sistem dalam prosedur penanganan perkara pidana yang diwujudkan
dalam bentuk kerjasama antara lembaga-lembaga CJS yang biasanya terdiri

86 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


atas Hakim, Jaksa, dan Polisi. Dari pendekatan hukum, CJS merupakan prosedur
penanganan perkara-perkara pidana yang bertujuan untuk menemukan kebenaran
materiel dengan bertumpu pada azas legalitas di bawah nuansa supremasi hukum.
Menurut Kunarto100, sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah :
“Sistem dalam satu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Menanggulangi mengandung pengertian mengendalikan, yang bermakna
mencegah (prevensi) dan memberantas (represi). Karena kejahatan itu tidak
mungkin dihilangkan sama sekali, maka mengendalikan berarti pula menjaga
agar kejahatan atau gangguan Kamtibmas itu selalu dalam batas toleransi
masyarakat”

Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, kedudukan Polri sebagai salah satu unsur
CJS secara organisatoris tidak memiliki posisi yang setara dengan unsur-unsur CJS
lainnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap efektivitas hubungan kerjasama
antarsesama institusi penegak hukum.
Dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam
masyarakat, Polri melalui pelaksanaan tugas secara preemtif, preventif, dan represif
berupaya maksimal membuat masyarakat patuh dan memiliki kesadaran hukum.
Para penegak hukum termasuk polisi harus mawas diri karena selain harus menjaga
hukum dapat berjalan dengan lurus dan benar. Akan tetapi, juga mampu mengikat
mereka supaya mau menghormati dan mematuhi hukum.101 Polri dapat juga
dikatakan sebagai alat perlindungan masyarakat terhadap kejahatan atau dengan
istilah lain disebut social defence.102 Oleh karena itu, organisasi Polri haruslah setara
dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (kejaksaan dan pengadilan), agar
mandiri dalam mengambil keputusan yang terkait dengan pelaksanaan tugas pokok,
peranan, wewenang dan fungsi Polri.

4.3.3 Pemberdayaan Peran Polri Sebagai Ujung Tombak Penanganan


Masalah Keamanan dalam Negeri
Pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah
keamanan dalam negeri adalah suatu upaya sistematis dan sinergis yang dilakukan
secara kontinyu untuk menempatkan Polri sebagai penanggung jawab utama
kamdagri. Adapun tujuan pemberdayaan peran Polri tersebut adalah untuk
mewujudkan peran Polri sebagai organisasi yang mandiri dan profesional yang jauh
dari intervensi lembaga lain dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum
dan ketertiban masyarakat, yang mengacu pada spesialisasi menurut tugas pokok,

100 Kunarto, HAM dan POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm. 129.
101 Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 7.
102 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Permasalahannya Ditinjau Dari Segi Kriminologi
dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 10.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 87
fungsi dan peranan Polri. Untuk menyamakan persepsi tentang kamtibmas, ada
baiknya diberikan/dicarikan batasannya terlebih dahulu.
Keamanan masyarakat menurut Surat Keputusan Menhankam/Pangab No.
Skep/B/66/1972 diartikan sebagai berikut:
(1) Perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psikis;
(2) Adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan ;dan
ketakutan
(3) Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya; dan
(4) Perasaan kedamaian dan ketenteraman lahiriah dan bathiniah.
Ketertiban (order) masyarakat adalah suasana tertib dan ketertiban yang
merupakan suatu keadaan yang menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja
dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Tertib itu sendiri
berarti keteraturan, yaitu situasi dimana segala sesuatu berjalan teratur. Ketertiban
adalah keadaan yang sesuai dengan norma-norma serta hukum yang berlaku.103
Mewujudkan kedudukan Polri pada posisi yang benar sebagai lembaga khusus
pemerintah setingkat Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sehingga pemberdayaan peran
Polri sebagai ujung tombak penanganan keamanan dalam negeri dapat terwujud.
Disamping itu, peningkatan pembinaan personil, sarana/prasarana, dan anggran yang
mendukung operasional Polri harus didukung oleh semua komponen masyarakat,
bangsa, dan negara.
Dalam rangka pemberdayaan peran Polri tersebut juga perlu ditegaskan kembali
tentang budaya kerja Polri yang fight crime, help delinquence, dan love humanity serta
menghilangkan budaya militeristik. Realisasi dan aplikasi undang-undang kepolisian
yang baru, yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 harus segera dilaksanakan.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2002 harus
segera disiapkan. Di lain pihak, Polri dituntut untuk kembali mewujudkan doktrin
kepolisian dari pelaksanaan tugas sehari-hari, yakni berpedoman kepada doktrin Tata
Tentrem Kerta Raharja.
Struktur organisasi Polri yang belum sepenuhnya efektif dan efisien harus segera
dibenahi untuk dapat meningkatkan peran dan fungsinya sebagai alat negara
penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Kedudukan Polri pada lembaga
yang independen akan mengembangkan organisasi Polri untuk lebih mandiri dan
profesional, baik di bidang pembinaan maupun operasional serta dapat terwujudnya
jati diri Polri sebagai aparat penegak hukum dan pembina kamtibmas.
Dalam rangka pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan
masalah kamdagri, ada beberapa arah kebijaksanaan yang harus dilakukan, antara lain;
(a) Merealisasikan secara cepat UU No. 2 tahun 2002 dengan melengkapi semua
peraturan pelaksananya;

103 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 141.

88 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


(b) Mempersiapkan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah
Kamdagri untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya
masyarakat guna terwujudnya sosok Polri yang bersih dan berwibawa serta
dicintai masyarakat;
(c) Meningkatkan sumber daya Polri baik di bidang pembinaan maupun operasional
serta dukungan anggaran secara efektif dan efisien guna mendukung tugas-
tugas penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; dan
(d) Mengikis habis budaya militeristik yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas
kepolisian sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat
dengan berpegang teguh pada prinsip fight crime, help deliquence, dan love
humanity. Disamping itu anggota Polri harus kembali kejati diri yang sebenarnya
yaitu sebagai insan Bhayangkara Rastra Sewakotama, pelindung, pelayan dan
pengayom masyarakat.

Terdapat beberapa sasaran pemberdayaan Polri sebagai ujung tombak


penanganan masalah kamdagri dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak
hukum dan kamtibmas diantaranya sebagai berikut:
(a) Reposisi dan revitalisasi organisasi Polri
Reposisi atau memposisikan kembali Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil
dan revitalisasi atau memfungsikan kembali peranan dan fungsi Polri sebagai
aparat penegak hukum dan ketertiban masyarakat merupakan suatu keharusan.
DPR dan pemerintah berkewajiban menyiapkan segala perangkat hukum untuk
menempatkan kembali kedudukan Polisi sebagai alat negara di dalam kerangka
penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 telah memberikan kedudukan yang jelas
dan tegas kepada Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam
masyarakat, tetapi belum diikuti oleh peraturan pelaksananya. Kedudukan Polri
sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat adalah kedudukan
Polri sebagai bagian dari fungsi eksekutif yang bertanggung jawab secara penuh
terhadap tegaknya hukum dan terwujudnya keamanan dalam negeri.
Dalam upaya reposisi dan revitalisasi organisasi Polri harus diupayakan
terwujudnya kewenangan penuh kepada Polri untuk menangani masalah-
masalah kamdagri dan menghindari adanya intervensi dari pihak lain.
Mewujudkan kewenangan Polri sebagai penyidik tunggal dalam perkara pidana
sebagaimana yang diamanatkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Tidak memberlakukan doktrin-doktrin dan peraturan yang
bersifat militer yang dapat mengikat dan membebani tugas Polri, baik secara
lembaga maupun sebagai perorangan, serta memberlakukan doktrin Polri Tata
Tentrem Kerta Raharja.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 89
(b) Refungsionalisasi Fungsi Kepolisian
Refungsionalisasi fungsi kepolisian adalah tindakan untuk mengembalikan
fungsi kepolisian secara benar, yaitu sebagai alat negara penegak hukum dan
pembina ketertiban masyarakat yang hanya meliputi bidang keamanan (security)
dan bukan berfungsi di bidang pertahanan (defence), sehingga ada garis batas
yang tegas dan jelas serta mampu membedakan antara fungsi pertahanan yang
menjadi tugas pokok militer/angkatan perang (TNI) dan fungsi keamanan yang
menjadi tugas pokok polisi (Polri).
Tampilnya Polri sebagai pengendali operasi utama dalam tugas-tugas
keamanan dalam negeri secara penuh, kecuali dalam keadaan bahaya/darurat
yang ditetapkan oleh undang-undang. Membiasakan Polri untuk melaksanakan
tugas-tugasnya dengan civilian approach (pendekatan sipil), bukan dengan
military approach (pendekatan militer). Pembenahan segera struktur organisasi
Polri, penambahan sarana/sarana dan anggaran Polri serta penambahan personil
Polri yang sesuai dengan standar PBB, yaitu 1 : 400 secara bertahap dalam rangka
menunjang tugas Polri sebagai penegak hukum dan kamtibmas.

(c) Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Anggota Polri


Peningkatan sumber daya manusia bagi Polri dalam rangka menuju Polri yang
mandiri dan profesional adalah suatu langkah konkrit yang harus secepat
mungkin dilaksanakan. Peningkatan SDM Polri baik secara kuantitas (jumlah)
maupun secara kualitas (mutu).
Pembinaan kekuatan personil Polri meliputi aspek kuantitas dan kualitas.
Aspek kuantitas berarti menyangkut tentang jumlah personil, rasio perbandingan
jumlah Polri dengan penduduk, rasio perbandingan jumlah Polri dengan
bentuk-bentuk ancaman/gangguan Kamtibmas, komposisi dan jumlah personil
dalam suatu struktur terutama struktur operasional. Kuantitas (jumlah) Polri
yang memadai dan memenuhi angka rasio, diharapkan dapat menanggulangi
segenap dampak negatif gangguan keamanan dalam negeri, baik pada proses
penggelaran pasukan maupun operasional Polri yang pada akhirnya diharapkan
kemandirian Polri dapat terwujud.
Pendidikan dan latihan sebagai salah satu sarana meningkatkan kemampuan
dan profesionalisme diarahkan pada kebutuhan ril Polri. Pendidikan dilaksanakan
dengan cara pembenahan komponen pendidikan, terutama materi (kurikulum)
pendidikan yang diarahkan pada materi profesionalisme Polri, khususnya
penguasaan materi hukum dan ilmu sosial, dan meninggalkan pola-pola
pendidikan militer.
Bentuk-bentuk latihan diarahkan pada kemampuan pelaksanaan tugas
operasional Polri sehari-hari, khususnya pengendalian huru-hara, penyidikan
tindak pidana yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan peraturan-peraturan
yang menyangkut kepentingan umum atau kasus-kasus yang menjadi sorotan

90 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


publik. Pendidikan moral, rohani, dan budaya kerja Polri juga harus dilakukan
sesuai dengan misi dan visi Polri sebagai civilian police (polisi sipil).
Diadakannya latihan terpadu yang bekerja sama dengan instansi terkait
berkaitan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), gejolak sosial, dan
HAM terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan Polri yang mandiri
dan profesional dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan
ketertiban dalam masyarakat.

(d) Sosialisasi Budaya Kerja dan Moral Kerja Polri


Membudayakan kerja Polri sebagai aparat penegak hukum yang berpegang
pada jiwa fight crime, help delinquence, dan love humanity bukan merupakan
pekerjaan yang gampang, karena lebih dari 50 tahun terbiasa denga pola-pola
kerja militeristik. Begitu pula halnya dengan moral kerja Polri yang menuntut
setiap anggota Polri adalah pelayan, pelindung, pengayom, dan suri tauladan
masyarakat, yang tercermin dari perbuatan, perkataan dan tingkah laku. Selama
ini sering ditemukan bahwa moral polisi sangat buruk sehingga ada kesan
masyarakat menjauh dari Polri. Seyogyanya Polri adalah contoh teladan baik
dalam akhlak maupun perbuatan
Adanya pungutan liar (pungli), perlakuan yang tidak sama terhadap pelaku
tindak pidana, mempeti-es kan perkara, sogok, suap, dan tilang damai (tidak
menilang tapi meminta sejumlah uang kepada pelanggar lalu lintas) merupakan
tindakan amoral yang tidak patut dipertahankan lagi. Paradigma baru kepolisian
adalah menjalankan dengan sungguh-sungguh kode etik Polri (Insan Rastra
Sewa Kottama, Insan Negara Janottama, dan Insan Anuca Canadharma), Catur
Prasetya (Satya Haprabu, Hanyaken Musuh, Gineung Pratidina, dan Tan Satrisna),
dan Doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja.
Membentuk penampilan dan postur aparat kepolisian yang simpatik, ramah,
jujur, dan sopan yang dilandasi mental ketaqwaan, kewibawaan, dan kearifan
yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kesatuan maupun
dalam lingkungan masyarakat. Penampilan diri Polri tersebut harus diwujudkan
secara tulus dan ikhlas.

(e) Pengawasan Polri


Pengawasan yang dilakukan terhadap Polri dapat dilakukan, baik secara
internal maupun eksternal. Secara internal dilakukan oleh pimpinan Polri, baik
secara pribadi atau kelembagaan. Secara pribadi dapat dilakukan pengawasan
melekat (waskat) dan pengawasan ke dalam (wasdal). Pengawasan melekat
dilakukan oleh setiap individu anggota Polri dan dinilai oleh rekan-rekan dan
pimpinan Polri. Pengawasan ke dalam dilakukan oleh pimpinan Polri yang
bertanggung jawab untuk pembinaan dan pengawasan anggota, dalam hal
ini adalah Assiten Personalia pada tingkat Mabes Polri, Kadit Personil pada

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 91
tingkat Polda, Kabagbin pada tingkat Polwil, Kabagmin pada tingkat Polres, dan
Wakapolsek pada tingkat Polsek.
Pengawasan internal dapat pula dilakukan dengan melakukan wasrik
(pengawasan dan pemeriksaan). Wasrik yang dilakukan harus memenuhi standar
tertentu untuk menghindari kekaburan dan penyalahgunaan wasrik. Selama ini
wasrik sering salah digunakan, yakni menggunakan wasrik untuk memperkaya
diri sendiri dan membuat kelabakan sasaran wasrik (objek wasrik). Adanya
tuntutan fasilitas, penyediaan dana dari pimpinan/penanggung jawab wasrik
dapat mengganggu pencapaian tujuan wasrik.
Pemantauan dari luar (eksternal control), baik melalui media massa, DPR, LSM
maupun masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan kinerja Polri harus
intensif dilaksanakan. Tentu hal ini bertujuan untuk memperbaiki citra polisi dan
meningkatkan profesionalisme Polri.
Pengawasan lapangan oleh pimpinan satuan dengan memperhatikan
delegation of authority dan lapis pertanggungjawaban atas pelanggaran dan
ketidakefektifan cara bertindak anggota di lapangan dalam rangka menggalakan
pengawasan melekat. Di samping itu, pemberian penghargaan (reward) terhadap
anggota yang berhasil dalam melaksanakan tugas dan pemberian hukuman
(punishment) terhadap anggota yang bersalah atau melakukan pelanggaran
harus dilaksanakan secara adil dan bijaksana.
Pemberian penghargaan tidak hanya didasarkan pada keberhasilan
pelaksanaan tugas semata, tetapi juga dilihat dari pola kerja, kedisiplinan,
dan motivasi. Reward tidak hanya diberikan kepada anggota Polri yang secara
langsung dianggap berhasil mengungkap dan menangkap pelaku tindak
pidana, tetapi juga kepada anggota yang telah berhasil menekan angka tindak
pidana yang terjadi (anggota Bimmas yang melakukan penyuluhan, anggota
lantas yang dapat menekan angka kecelakaan, dan kemacetan lalu lintas).
Reward tidak hanya berupa pujian, penyerahan uang prestasi maupun
pemberian penghargaan semata-mata, yang lebih penting adalah menciptakan
motivasi agar setiap anggota yang dianggap berhasil dapat mempengaruhi
anggota-anggota yang lainnya untuk ikut berprestasi. Terhadap anggota yang
berprestasi dapat diajukan untuk promosi kenaikan pangkat atau melanjutkan
pendidikan.
Punishment yang diberikan kepada anggota tidak separuh-separuh, tetapi
harus tegas dan dapat memberikan nilai perbaikan terhadap anggota yang
melakukan kesalahan. Tindakan tegas dapat berupa pemecatan dari keanggotaan
Polri, penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat atau jabatan.

(f) Standarisasi Sarana/prasarana dan anggaran Polri


Kebutuhan peralatan dan perlengkapan Polri harus disesuaikan dengan
hakekat ancaman serta karakteristik daerah operasi. Sarana/prasarana yang

92 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


memadai yang digunakan sebagai dukungan mobilitas operasional kepolisian
maupun pendidikan Polri harus diarahkan untuk terwujudnya profesionalisme,
efektifitas dan efesiensi pelaksanaan tugas polri.
Sarana pendidikan baik berupa gedung pendidikan, pelatihan, dan
pendidikan kejuruan harus disesuaikan dengan standar lembaga pendidikan
pada umumnya, baik segi fisik bangunan, dan lokasi tempat pendidikan. Sarana
olah raga sebagai sarana penunjang dan tempat ibadah merupakan tempat
pengasahan mental yang harus diadakan untuk menunjang materi pendidikan,
latihan dan kejuruan.
Sarana transportasi berupa kendaraan bermotor (truk, mobil, ambulance,
mobil jenazah, sepeda motor), helikopter, kapal patroli, pesawat angkut personil
dan barang, sepeda sebagai sarana patroli pedesaan dan perumahan harus
disesuaikan dengan kebutuhan lapangan operasional kepolisian. Selama ini
sarana kendaraan patroli berupa mobil patroli yang disediakan kurang sesuai
dengan kondisi daerah operasi dan tuntutan tugas kepolisian. Selain jumlah
mobil patroli yang sangat terbatas, kemampuan operasionalnya juga tidak
mampu memenuhi kebutuhan tugas operasional di lapangan, di samping itu
kelangkaan suku cadang dan mahalnya biaya perawatan serta borosnya BBM
merupakan masalah tersendiri yang menjadi salah satu kendala pelaksanaan
tugas Polri secara maksimal dan optimal.
Sarana komunikasi dan informasi juga merupakan masalah yang penting
untuk dipersiapkan secara baik. Kekurangan repeater sebagai penguat jaringan
komunikasi, keterbatasan radio panggil (kachina, Handy Talky), tidak adanya
jaringan telepon dan mesin faximile serta mahalnya operasional hand phone
(pulsa, pesawat telephone) merupakan hambatan pelaksanaan kemandirian dan
profesionalisme Polri.
Dewasa ini alat komunikasi dan informasi yang dimiliki Polri masih
ketinggalan zaman. Banyak Handy Talky (HT) yang masih dipergunakan oleh
anggota reserse dan intel pam Polri, padahal tingkat kerahasiaan HT sangat
rendah dan kurang optimal bila dimanfaatkan oleh satuan reserse dan intel
pam Polri. Jika dipergunakan oleh anggota sabhara, lantas atau bimmas masih
memadai.
Sarana perumahan atau asrama bagi anggota Polri juga dirasakan sangat
kurang memadai. Terbatasnya jumlah asrama dan jumlah rumah menjadikan
anggota Polri harus mencari tempat tinggal (rumah) sendiri. Walaupun ada
sebagian anggota yang memilki rumah pribadi tetapi jika dibandingkan dengan
yang tidak punya rumah maka yang tidak punya rumah pribadi jelas lebih banyak,
terlebih jika dibandingkan dengan anggota yang baru menjadi anggota Polri.
Keberadaan asrama, rumah jabatan (rumah dinas) yang letaknya berdekatan
dengan kantor polisi adalah suatu keharusan. Hal ini mempermudah dalam
mobilitas anggota yang berkaitan dengan pergeseran pasukan dari satu daerah

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 93
ke daerah lain, jika terjadi suatu kerusuhan massa atau ganguan kamtibmas
yang melibatkan banyak massa dan memerlukan jumlah personil yang besar
pula. Asrama yang kurang layak huni seperti yang ada saat ini, walau beberapa
asrama telah cukup baik, akan mempengaruhi kinerja operasional anggota Polri.
Bagaimana anggota Polri dapat bekerja secara baik jika istirahat/tidur kurang
nyaman. Seringkali ketika hujan, asrama Polri bocor atau bahkan banjir. Letak
asrama yang baik adalah yang dekat dengan kantor tempat anggota bertugas,
tidak di daerah yang mudah terkena banjir, dan kondisi bangunan yang baik.
Banyak anggota Polri yang tidak tertampung di asrama yang memilih
tinggal (mengontrak atau sewa rumah) yang letaknya berjauhan dengan kantor
sehingga dapat menganggu efesiensi dan efektifitas kerja. Bisa jadi terlambat
karena letaknya jauh atau terkena macet dalam perjalanan dari rumah ke kantor.
Jarak ideal antara rumah adn kantor adalah tidak lebih dari 2 Km atau tidak lebih
dari 10 menit perjalanan dengan berkendaraan.
Sarana perlengkapan administrasi dan perkantoran, seperti, komputer,
internet, mesin tik, AC, alat tulis, dan kertas juga harus diperhatikan. Hal ini untuk
menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pungutan
liar yang berkedok uang administrasi yang dibebankan kepada masyarakat yang
mengurus suatu keperluan di kantor polisi.
Hasil survei dan wawancara, kebanyakan sarana administrasi, seperti
komputer, adalah hasil swadaya pimpinan Polri yang bersangkuatn, bahkan tidak
jarang merupakan barang pribadi pimpinan yang bersangkutan yang dipinjam
pakai di kantornya selama ia masih menjabat. Hasil swadaya adalah hasil usaha
dari seorang anggota/pimpinan Polri yang dengan kemampuan pribadinya
mengusahakan untuk ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada, baik melalui
permohonan bantuan kepada pihak ketiga, bantuan sukarela pihak ketiga atau
sumbangan dari anggota/pimpinan yang bersangkutan. Jika Polri telah mandiri
dan tetap ingin menjaga citra yang baik, budaya swadaya perlu ditiadakan
karena akan mempengaruhi citra Polri dalam penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
Masyarakat yang dimintakan bantuan atau dengan ikhlas memberikan
bantuan akan menjadi beban tersendiri bagi Polri apabila terjadi pelanggaran
atau tindak pidana yang dilakukan oleh donatur (penyumbang) karena dianggap
telah berjasa dengan polisi. Begitu pula terhadap anggota/pejabat Polri yang
menyumbang sesuatu untuk keperluan dinas, kadangkala ada sesuatu yang
diharapkan dari pemberiannya itu, baik untuk mencari perhatian pimpinan atau
ingin mendapatkan pujian. Hal seperti ini akan berdampak buruk jika akan terjadi
mutasi atau promosi jabatan karena adanya unsur penilaian yang seharusnya
tidak perlu menjadi bahan pertimbangan.

94 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


4.4 Pelaksanaan Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara yang
Mandiri dan Profesional di dalam Kerangka Penegakan
Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat
Kepolisian secara universal pada umumnya menganut pola yang hampir sama,
yaitu mengarah kepada National Police System yang merupakan bagian dari fungsi
pemerintahan (kekuasan eksekutif ). Kedudukan Polri sebagai alat negara yang
mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat tidak terlepas dari pengaruh kebijakan yang diambil oleh presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi.
Dalam rangka membantu Presiden menyukseskan pembangunan nasional, Polri
sebagai salah satu alat negara yang berperan dan berfungsi menegakkan hukum
dan ketertiban, harus diberikan kedudukan yang tegas dan jelas secara yuridis. Hal
ini untuk membantu Polri melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai alat negara
penegak hukum dan ketertiban masyarakat.
Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung
akan memberikan kewenangan yang luas pada Polri untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Segi pengambilan kebijakan akan mempermudah
Polri mengatur pembinaan dan operasional dalam rangka pelaksanaan tugas sehari-
hari.
Pembenahan struktural Polri menuju polisi sipil (civillian police) akan semakin
cepat. Efisiensi dan efektivitas perwujudan misi dan visi Polri akan semakin cepat
terlaksana. Pembenahan struktur organisasi Polri yang dirasakan masyarakat sedikit
kurang sesuai dengan bentuk organisasi polisi sipil akan terus diperbaiki menuju
perubahan struktur organisasi dengan paradigma baru sebagai polisi sipil.
Polri sebagai salah satu alat negara penegak hukum dan pelindung masyarakat,
sekaligus merupakan fron terdepan dalam sistem penegakan hukum dan sebagai
inti pembina kamtibmas, selama ini telah berupaya untuk menanggulangi segala
bentuk kejahatan yang terjadi dan telah berupaya semaksimal mungkin memberi
perlindungan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam
Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam era reformasi memerlukan penyesuaian
dan perubahan aspek struktural, instrumental, dan kultural dengan paradigma baru
reformasi dan tantangan tugas masa depan. Hal tersebut akan berkaitan dengan jati
diri organisasi (struktural), jati diri fungsi, otonomi kewenangan, dan kompetensi
(instrumental) serta jati diri sikap, mental, dan prilaku yang tercermin dalam budaya
pelayanan Polri (kultural).
Jati diri dan organisasi yang terkesan militeristik, yang terlihat dalam sikap
pelayanan yang kaku, kualitas intelektual yang rendah, sikap dan metode kerja yang

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 95
buruk, pakaian seragam yang berpola militer, orientasi kerja yang hanya berdasarkan
perintah atasan bukan karena kebutuhan masyarakat dan kurang mandiri serta
profesionalnya anggota Polri dalam melaksanakan tugas merupakan paradigma Polri
yang harus diubah dan ditinggalkan.
Perubahan struktural mencakup perubahan kelembagaan (organisasai/institusi)
dalam ketatanegaraan, susunan, dan kedudukan Polri. Segi kelembagaan telah
diakui bahwa penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam ketatanegaraan adalah Polri
sebagai alat negara yang memiliki kedudukan setingkat Kejaksaan Agung (Lembaga
Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung).
Dengan kedudukan organisasi tersebut , diharapkan Polri akan memiliki peluang
yang lebih besar untuk lebih meningkatkan kinerja dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu organisasi Polri yang baru menurut
Machfud104 harus memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menganut integrated system sebagai
kepolisian nasional. Pendekatan pengorganisasian Polri sebagai polisi nasional
dilaksanakan secara buttom up dengan pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab yang lebih luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (KOD) dan Polsek
sebagai ujung tombak operasional;
(2) Wilayah hukum kesatuan kewilayahan Polri, disusun menyesuaikan pembagian
wilayah pemerintahan daerah dan sistem peradilan pidana serta perkembangan
masyarakat; dan
(3) Organisasi Polri disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin
pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat sehingga masyarakat merasa
puas akan pelayanan Polri. Oleh karena itu, organisasi Polri harus hemat struktur,
tetapi kaya fungsi. Di samping itu, struktur organisasi harus bersifat network dan
tidak selalu piramidal sehingga kerjasama terus dapat dikembangkan.

Upaya pemuliaan profesi Polri dilakukan melalui pemberian otonomi dan


kemandirian dalam penentuan kebijakan Polri untuk menunjang pelaksanaan
tugasnya yang dilakukan secara terus menerus, di antaranya dengan melakukan:
(1) Memberikan kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan
Kamtibmas yang mandiri dan setara dengan kedudukan Kejaksaan Agung, yaitu
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kesetaran
tersebut diharapkan akan lebih memberdayakan Polri dalam mewujudkan
supremasi hukum;
(2) Mencegah peluang adanya intervensi kekuasaan terhadap Polri yang mengarah
pada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan;
(3) Mempertegas peran Polri dan meniadakan tumpang tindih kewenangan dengan

104 Ibnu Sudjak Machfud, Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi Yang Mandiri dan Profesional,
karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hlm. 6-7.

96 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


instansi lain dalam penegakan hukum dan pembinaan Kamdagri; dan
(4) Berkenaan dengan pemisahan Polri dari ABRI, segala undang-undang dan
peraturan pelaksana lainnya yang mengatur tentang Polri sebagai bagian dari
ABRI, atau mengatur kewenangan dalam penegakan hukum dan pembinaan
keamanan dalam negeri, secara bertahap juga harus disesuaikan, seperti
peradilan terhadap anggota Polri, sistem pengajian, dan pembinaan Polri.

Kompetensi kepolisian erat kaitannya dengan kewenangan Polri dan


kewenangan instansi lain, terutama dalam jajaran sistem peradilan pidana serta
aparat penyelenggara fungsi kepolisian khusus dan penyidik pegawai negeri sipil
tertentu. Kompetensi dikembangkan dengan kerjasama yang saling mendukung
melalui penerapan asas partisipasi dan asas subsidiaritas. Dalam perspektif reformasi
kemampuan fungsi harus diarahkan kepada penguasaan spesifik dan tidak lagi hanya
bersifat umum, karena bentuk tuntutan masyarakat mengarah kepada tuntutan
yang beraneka ragam dan spesifik. Tuntutan profesionalisme dapat dipenuhi melalui
pemantapan kemampuan fungsi (pendidikan kejuruan atau dikjur). Ketentuan dan
substansi bahan pelajaran untuk penyiapan kemampuan fungsi perlu disesuaikan
dengan bentuk tugas aktual dan tuntutan masyarakat. Di samping itu, perlu ada
penempatan anggota Polri yang sesuai dengan dikjurnya masing-masing dan
memperbanyak anggota Polri untuk mengikuti dikjur.
Selain instrumen hukum dan perundang-undangan, yang menjadi batasan
sikap dan prilaku kedinasan Polri, masih diperlukan ada kode etik Polri yang akan
membimbing sikap dan prilaku yang memperhatikan etika profesi kepolisian, baik
perseorangan maupun kesatuan. Sebagai suatu profesi, Polri memiliki kode etik. Kode
etik pada hakikatnya berisi nilai-nilai ideal (Statement of Idea) tentang suatu profesi
dan sekaligus statement of guide line (code of conduct) yang merupkan prinsip moral
profesi kepolisian. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam kode etik, antara lain,
pemuliaan profesi Polri, batas-batas tugas dan kekuasaan kepolisian, prinsip-prinsip
yang berhubungan dengan pelayanan, perlindungan dan pelayanan masyarakat,
prinsip penggunaan upaya paksa, prinsip pengumpulan bukti, dan informasi serta
perawatan peralatan kepolisian.
Perubahan aspek struktural dan aspek instrumental bermuara pada aspek
kultural karena kesemuanya terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual
Polri terhadap masyarakat. Aspek kultural menggambarkan budaya kepolisian yang
akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, baik dengan pujian, perasaan
puas maupun dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan
prilaku Polri.
Menangkap tuntutan reformasi untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme
Polri, konsekuensinya adalah ditingkatkannya aspek kualitas dan kuantitas anggota
Polri. Hampir di setiap negara selalu mengaitkan jumlah anggota polisi dengan
jumlah penduduk negaranya. Untuk itu, pada lima tahun ke depan, di samping

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 97
pertimbangan luas wilayah dan besarnya angka ganguan kamtibmas, perlu dicapai
rasio perbandingan yang seimbang antara jumlah polisi dan jumlah penduduk (Police
Employee Rate). Police Employee Rate menurut standar PBB adalah 1 : 400, sedangkan
menurut standar ASEAN adalah 1 : 700.
Bertitik tolak pada hal tersebut, aspek pembinaan anggota Polri, sejak
penerimaan sampai dengan pensiun harus diarahkan untuk mencapai efesiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas Polri. Untuk itu, sistem pembinaan anggota Polri akan
lebih didesentralisasikan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
para pemimpin organisasi Polri di tingkat bawah untuk membina anggotanya.
Penambahan usia pensiun Polri dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun dan bagi anggota
yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun (Pasal 30 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002) akan
membantu mencapai Police Employee Rate di Indonesia.
Sistem pendidikan Polri yang selama ini diwarnai nuansa militer berdampak
kepada sikap anggota Polri yang arogan, tidak profesional, sehingga tidak disukai
masyarakat. Sebagai upaya mewujudkan anggota Polri yang profesional dan
berbudaya serta mampu mengimbangi tingkat pendidikan masyarakat, sistem
pendidikan Polri disusun berdasarkan sistem pendidikaan nasional melalui
pengembangan ilmu kepolisian, yang saat ini memiliki konsorsium ilmu kepolisian
di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Berbagai substansi pendidikan dan
latihan Polri dengan berbagai materi yang terkait erat dengan profesi kepolisian, antara
lain, penguasaan HAM, demokratisasi, lingkungan hidup, dan kemampuan dialog
interaktif maupun muatan lokal/nasional dengan masyarakat perlu ditingkatkan.
Profesionalisme Polri akan sulit diwujudkan tanpa dukungan peralatan dan
fasilitas yang memadai (kurangnya sarana/prasarana). Oleh karena itu, penyediaan
sarana/prasarana, fasilitas dan jasa akan lebih difokuskan kepada upaya-upaya untuk
melengkapi peralatan kepolisian yang langsung mendukung pelaksanaan operasional
dilapangan serta upaya pemeliharaan untuk memperpanjag usia pakai. Atas dasar itu,
dukungan peralatan untuk kesatuan kewilayahan, terutama Polres dan Polsek, harus
mendapat porsi yang besar, baik berupa sarana mobilitas, sarana komunikasi, maupun
peralatan pendukung fungsi-fungsi kepolisian dengan standar khusus. Keberadaan
sarana/prasarana yang terkesan mubazir, seperti mobil mewah yang diperuntukkan
bagi perwira tinggi Polri sudah selayaknya ditiadakan atau dieliminasi.
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat menuju Polri yang
mandiri dan profesional, sistem operasional Polri dirumuskan dalam pola operasional
kepolisian yang terdiri atas kegiatan rutin dan operasi khusus kepolisian. Pendekatan
preemtif dan preventif lebih dikedepankan, sedangkan tindakan represif dilakukan
dalam rangka menumbuhkan efek jera terhadap setiap pelaku tindak kejahatan.
Inti pelayanan Polri (core services) meliputi, polisi tugas umum termasuk bimbingan
masyarakat, pembinaan keamanan ketertiban, kelancaran lalu lintas, dan penegakan
hukum.

98 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus negara yang setingkat dengan
Kejaksaan Agung dapat meningkatkan peran dan fungsi kepolisian, terutama dalam
menjamin penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Adanya kewenangan
penuh secara yuridis bagi Polri dalam menjalankan fungsinya sebagai alat negara
yang mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat akan memudahkan Polri melaksanakan tugas-tugas polisionil
secara baik dan sesuai dengan harapan masyarakat.

4.5 Beberapa Pemikiran tentang Faktor-faktor Pendukung


dan Penghambat Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara
dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam
Masyarakat Serta Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan
untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Tersebut.
Kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat memiliki beberapa peluang dan kendala. Kedua faktor
tersebut saling berhimpitan dan memerlukan suatu keahlian dan kebijakan untuk dapat
mengoptimalkan faktor peluang yang ada dan mengeliminasi faktor penghambat.
Faktor pendukung adalah setiap aspek yang dapat menunjang keberadaan Polri
sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat, sedangkan
faktor penghambat adalah setiap aspek yang dapat menghalangi pencapaian tujuan
Polri dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.

4.5.1 Faktor Pendukung


Faktor pendukung yang paling utama bagi kedudukan Polri sebagai alat negara
di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah
adanya pengakuan secara konstitusional tentang eksistensi Polri, sebagaimana
yang ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (4) setelah perubahan kedua UUD 1945 yang
menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”
Adanya penegasan secara konstitusional terhadap kedudukan Polri sebagai
alat negara yang berperan dalam menegakan hukum dan ketertiban masyarakat
memberikan landasan yang kuat bagi Polri untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Sebagai bagian dari
kekuasaan eksekutif, kebijakan Polri harus mengacu pada kebijakan Pemerintah
(Presiden). Walaupun demikian, tidak bermakna bahwa Presiden dapat pula melakukan

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 99
intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri terlebih dalam tugas penegakan hukum.
Lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia semakin mempertegas kedudukan Polri sebagai alat negara
penegak hukum dan kamtibmas secara yuridis sebagaimana yang dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, bahwa:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”

Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan


Agung akan mempermudah Polri melaksanakan tugas-tugas polisionilnya. Sebagai
alat negara yang memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, Polri dituntut untuk selalu terbuka dan responsif terhadap tuntutan
masyarakat. Pengakuan secara yuridis telah mempertegas pentingnya peranan
Polri dalam dinamika masyarakat demokratis dan modern di Indonesia. Banyaknya
permintaan yang diajukan oleh lembaga dunia seperti PBB kepada Polri dalam
menjaga perdamaian (peace keeping) di negara-negara atau daerah-daerah yang
sedang bergejolak adalah sebagai salah satu bukti bahwa Polri semakin dikedepankan
dalam tugas-tugas perdamaian dan kemanusiaan.

Perkembangan lingkungan global yang menuntut penghargaan terhadap HAM


dan demokrasi, sedikit banyak membantu Polri untuk dapat meningkatkan perannya
sebagai bagian dari masyarakat sipil (civillian police) dalam melaksanakn tugas-tugas
polisionil. Kecenderungan masyarakat dunia (internasional) untuk mengedepankan
Polisi daripada militer dalam menangani perkara atau sengketa memberikan angin
segar kepada polisi, khususnya Polri dalam meningkatkan perannya secara maksimal.
Di samping itu, perkembangan lingkungan regional dan nasional yang
menginginkan Polri tampil di depan dalam setiap penanganan perkara, khususnya
yang melibatkan massa dalam jumlah yang besar memberikan kepercayaan yang
tinggi terhadap Polri untuk menampilkan identitas diri sebagai pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat.
Kecenderungan masyarakat yang lebih mengharapkan kehadiran polisi
daripada militer merupakan fenomena baru di Indonesia. Ini menandakan bahwa
masyarakat semakin paham akan keberadaan Polri dalam proses penegakan hukum
dan kamtibmas. Adanya pemberitahuan tentang kegiatan masyarakat kepada Polri,
termasuk pemberitahuan kegiatan demonstrasi, memperlihatkan adanya kesadaran
hukum yang semakin baik di kalangan masyarakat luas. Tentu hal seperti ini harus
direspon secara cepat, tepat, dan baik oleh Polri.

100 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


4.5.2 Faktor Kendala
Faktor kendala adalah faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan
Polri dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya sebagai alat negara penegak
hukum dan kamtibmas. Faktor kendala dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
faktor kendala intern dan faktor kendala ekstern.

(a) Faktor kendala intern


Faktor kendala intern adalah faktor-faktor penghambat pencapaian tujuan polri
yang berasal dari dalam tubuh Polri sendiri, di antaranya adalah struktur organisasi
Polri yang terlalu rumit dan birokrasi, kurangnya sumber daya manusia Polri,
terbatasnya jumlah personil, minimnya sarana/prasarana Polri, anggaran Polri yang
sangat minim, dan masih adanya kultur militer dalam sikap anggota Polri.
Rumitnya struktur organisasi dan panjangnya rantai birokrasi di Polri
menyebabkan Polri kurang respon terhadap tuntutan masyarakat, terutama yang
berkaitan dengan kebijakan yang harus diambil oleh pimpinan tertinggi Polri
(kapolri). Tidak hanya itu, untuk mengurus keperluan kecil saja memerlukan waktu
yang relatif lama. Hal ini disebabkan banyaknya pintu-pintu yang harus dilalui.
Mekarnya organisasi Polri di tingkat markas besar yang pada saat ini terdiri atas 78
perwira tinggi aktif yang memegang jabatan struktural dengan rincian satu Jenderal
Polisi, enam Komisaris Jenderal Polisi, lima belas Inspektur Jenderal Polisi, dan lima
puluh enam Brigadir Jenderal Polisi membuat rumitnya struktur organisasi Polri dan
dikhawatirkan terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas, seperti Irops
dengan Kapuskodalops, Karo Informatika dengan Pusinfokrimnas.
Untuk efisiensi struktur organisasi perlu dirampingkan struktur dengan
menghilangkan beberapa jabatan struktural yang mempunyai kesamaan fungsi/
tugas. Di samping itu jabatan Wakil Kapolri (Waka Polri) perlu diadakan kembali.
Jabatan Irjen Polri dihapus karena telah adanya Jabatan Sekjen Polri. Waka Polri perlu
diadakan kembali karena merupakan salah satu dari unsur pimpinan tinggi yang
dapat mengambil keputusan dan kebijaksanaan serta memberikan pertimbangan
kepada Kapolri. Di samping itu, akan mempermudah regenerasi di tubuh Polri.
Struktur Polri ditingkat Polda disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan
tingkat kerawanan daerah. Struktur di tingkat Polda, Polwil, Polres dan Polsek tidak
perlu terlalu besar tetapi cukup kaya fungsi. Adapun fungsi yang dimaksud adalah
fungsi reserse, intel pam polri, lantas, bimmas dan sabhara yang telah ada perlu
dipertahankan sedangkan fungsi lain seperti fungsi bantuan sosial (bansos) dan fungsi
pembinaan personil (binpers) perlu diadakan untuk membantu pelaksanaan tugas
Polri dan memenuhi harapan masyarakat. Begitu pula jenjang kepangkatan perlu
ditata kembali agar tidak terlalu rumit seperti saat ini. Adapun jenjang kepangkatan
saat ini adalah :

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 101
Tabel I Tanda Kepangkatan Polri
Tanda Kepangkatan Lama (Singkatan) Tanda Kepangkatan Baru (Singkatan)
Golongan Perwira Tinggi
Jenderal Polisi (Jenderal Pol) Jenderal Polisi (Jenderal Pol)
Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol)
Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol)
Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Brigadir Jenderal polisi (Brigjen Pol)
Golongan Perwira Menengah
Senior Superintendent (Sr. Supt) Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol)
Superintendent (Supt) Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)
Assisten Superintendent (Ass. Supt) Komisaris Polisi (Kompol)
Golongan Perwira Pertama
Senior Inspektur (Sr. Insp) Ajun Komisaris Polisi (AKP)
Inspektur Polisi Tk.I (Iptu) Inspektur polisi Tk.I (Iptu)
Inspektur Polisi Tk.II (Ipda) Inspektur Polisi Tk.II (Ipda)
Golongan Bintara Tinggi
Ajun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu) Ajun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu)
Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aiptu) Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aipda)
Golongan Bintara Rendah
Sersan Mayor Polisi (Serma) Brigadir Kepala Polisi (Brigka)
Sersan Kepala Polisi (Serka) Brigadir Polisi
Sersan Satu polisi (Sertu) Brigadir Polisi Tk.I (Brigtu)
Sersan Dua Polisi (Serda) Brigadir Polisi Tk.II (Brigda)
Golongan Tamtama
Kopral Kepala (Kopka) Ajun Brigadir Polisi (Abrig)
Kopral Satu (Koptu) Ajun Brigadir Polisi Tk.I (Abrigtu)
Kopral Dua (Koptu) Ajun Brigadir Polisi Tk.II (Abrigda)
Bhayangkara Kepala (Bharaka) Bhayangkara Kepala (Bharaka)
Bhayangkara Tk.I (Bharatu) Bhayangkara Tk.I (Bharatu)
Bhayangkara Tk.II (Bharada) Bhayangkara Tk.II (Bharatu)
Sumber: Skep Kapolri No. Skep/01/I/2000 tentang Pemberitahuan Perubahan Tanda Kepangkatan Bagi Anggota Polri
(Sejak tahun 2007, golongan Tamtama telah dihapuskan di Polri)

Kurangnya sumber daya manusia (human resources) Polri yang disebabkan


termarginalkannya anggota Polri selama ini dan terbatasnya lembaga pendidikan
dan latihan serta rendahnya kualitas dan syarat yang diajukan untuk dapat menjadi
anggota Polri menyebabkan secara kualitas sebagian anggota Polri kurang dapat
membantu masyarakat. Kurangnya staf pemikir di lingkungan markas besar maupun
di Polda-polda yang dapat memberikan pengaruh kuat sampai tingkat pimpinan
pemerintah menyebabkan Polri selalu tertinggal. Tidak sebandingnya jumlah
personil Polri yang mendapat pendidikan tinggi akan menyebabkan ketertinggalan
Polri dalam merespon perkembangan masyarakat yang cenderung tinggi dan kritis.

102 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Kualitas anggota polri masih belum sesuai harapan apabila dibandingkan dengan
tingkat pendidikan masyarakat yang diayomi. Hal ini disebabkan sistem pendidikan
Polri yang masih perlu direformasi atau ditata kembali. Rendahnya kualitas Polri
sangat kentara terasa di tingkat polres dan polsek yang berhadapan langsung
dengan masyarakat. Sikap masa bodoh, kurang responsif, dan arogan dapat dilihat
dari pelayanan yang diberikan di polres atau polsek, walaupun ada sebagian Polres
dan polsek yang baik dalam melayani masyarakat.
Bahkan beberapa polres dan polsek di lingkungan Polwil Purwakarta105 telah
menetapkan standar pelayanan Polri. Misalnya, penerimaan pengaduan atau informasi
masyarakat melalui pesawat telepon. Tiga kali dering telepon tidak diangkat oleh
petugas piket, petugas telah dianggap lalai dalam tugasnya dan dapat diajukan
keberatan terhadap atasannya dalam hal ini adalah kapolwil, kapolres atau kapolseknya.
Rasio antara Polri dan penduduk secara kuantitatif belum mencapai tingkat ideal.
Bahkan, beberapa daerah, seperti Polda Jawa Barat, rasio perbandingan polisi dan
jumlah penduduk adalah 1 : 1954 (dari asumsi jumlah anggota Polri 21.986 jumlah
penduduk 42. 969.453 pada awal Januari 2002). Rata-rata perbandingan jumlah polisi
dan jumlah penduduk (Police Employee Rate) di Indonesia adalah 1 : 1200. Salah satu
polda yang mendekati ideal adalah Polda Bali, yakni Police Employee Ratenya adalah
1 : 478 (jumlah anggota Polri 6.387 dan jumlah penduduk 3.054.201 data Juli 2001),
selengkapnya dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel II
Police Employee Rate di Jajaran Polda Bali
No. Kabupaten/Kota Jumlah Polisi Jumlah Penduduk (jiwa) Ratio
(jiwa)
1 Badung – Denpasar 1.732 828.547 1 : 478
2 Gianyar 816 345.787 1 :424
3 Klungkung 451 163.900 1: 363
4 Karangasem 584 376.354 1 : 644
5 Bangli 446 197.210 1 : 442
6 Buleleng 877 577.644 1 : 659
7 Jembrana 623 212.675 1 : 341
8 Tabanan 858 380.322 1 : 443
Sumber Data: Dispen Polda Bali, 2001

105 Uji coba standar pelayanan dilakukan penulis terhadap beberapa satuan kewilayahan di bawah Polwil
Purwakarta dan membuktikan bahwa 95 % atau 19 dari 20 telephone yang ditujukan untuk uji coba dilayani
sebelum dering telephone keempat, uji coba dilakukan pada 19 – 21 April 2001 di Purwakarta, Kapolwilnya saat
itu Kombes Pol. Drs. Nanan Soekarna.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 103
Police employee rate menurut standar PBB adalah 1 : 400 dan ASEAN adalah 1 :
700. Sebagai perbandingan dengan negara-negara lain, standar police employee rate
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel III
Police Employee Rate Beberapa Negara di Asia
No. Negara Perbandingan Keterangan
1 India 1 : 700 Kurang
2 Pakistan 1 : 600 Kurang
3 Singapura 1 : 400 Ideal
4 Jepang 1 : 400 Ideal
5 Hongkong 1 : 250 Sangat Ideal
6 Indonesia 1 : 1200 Sangat Kurang
7 Malaysia 1 : 400 Ideal
Standar PBB 1 : 400 Ideal
Sumber Data: Paparan Aspers, pada Konsep Pembinaan SDM Polri Dalam Rangka Reformasi menuju Polri yang
Profesional, 23 Desember 2000.

Kondisi sarana/prasarana Polri yang sangat minim akan berdampak pada kinerja
anggota Polri di lapangan. Terbatasnya sarana perkantoran, sarana transportasi,
alat komunikasi, perumahan, dan asrama, serta alat penunjang tugas kepolisian
lainnya, seperti pakaian seragam dan atributnya, mantel lantas, rompi lantas, jaket
anti peluru, tongkat lantas, seragam dalmas, senpi bahu dan gengam, canon water,
kawat penghalang Polri, dan patrolite RX akan berakibat yang kurang baik dalam
pelaksanaan tugas Polri di lapangan, terlebih bila harus mematuhi norma-norma
hukum internasioal dan HAM.
Hal tersebut diperburuk lagi dengan terbatasnya anggaran Polri. Untuk tahun
2000/2001 anggaran Polri di dalam RAPBN hanya sebesar 1,7 trilliun rupiah. Anggaran
tersebut tidak hanya dipergunakan untuk tingkat Mabes Polri, tetapi juga harus
didistribusikan ke Polda-polda hingga Polsek-polsek seluruh Indonesia. Terbatasnya
anggaran operasional Polri akan mempengaruhi kinerja Polri baik dalam memberikan
perlindungan, pengayoman, maupun perlindungan. Terbatasnya anggaran, baik yang
ditujukan untuk administrasi kantor, BBM, uang lauk pauk tahanan, penyidikan perkara,
akan menyebabkan anggota Polri untuk berusaha mencukupi biaya operasional tugas
dengan cara-caranya sendiri, bahkan tidak jarang telah menyalahi hukum dan moral.
Sikap arogansi yang masih diperlihatkan sebagian anggota Polri dalam
memberikan pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat adalah

104 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


perbuatan yang justru menjelekkan citra polisi di mata masyarakat. Adanya kultur
militer yang masih mendarah daging pada sebagian anggota Polri karena pengaruh
integrasi dengan militer (ABRI) pada masa yang lalu akan berdampak pada
pelaksanaan tugas Polri. Polri adalah unsur pelayan masyarakat, tetapi justru akan
minta dilayani (sebagai tuan) yang dipraktikkan oleh sebagian anggota Polri tidak
dapat dibenarkan.
Mengubah kultur militer terhadap anggota Polri tidak dapat dilakukan secara
serta merta dan dalam waktu yang singkat. Perlu adanya pembinaan secara kontinyu
dan pada akhirnya perlu diberikan sanksi tegas jika budaya kerja tidak segera diubah.
Peranan masyarakat, pemerintah, dan khususnya pimpinan Polri, sangat membantu
perubahan kultur polisi dari kultur militeristik ke kultur sipil (civillian police).

(b) faktor kendala ekstern


Faktor kendala ekstern adalah faktor-faktor penghambat pencapaian tujuan polri
yang berasal dari luar tubuh Polri sendiri, yang terdiri atas isu global tentang HAM,
letak geografis Indonesia, krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia,
ketidakstabilan politik dalam negeri, intervensi pihak-pihak terhadap pelaksanaan
tugas Polri, karakteristik kerawanan daerah yang berbeda-beda, dan peraturan
perundang-undangan menyangkut Polri yang belum optimal.
Bermunculannya isu internasional tentang demokratisasi dan HAM serta
lingkungan hidup telah mengubah perilaku masyarakat yang sebelumnya monoton
menjadi kritis untuk mengontrol Pemerintah khususnya Polri dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Kebebasan pers yang kadangkala terlalu membesar-besarkan
permasalahan tanpa adanya cross cek lapangan membuat Polri harus memantapkan
pengawasan dan berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya.
Letak geografis Indonesia yang terletak antara dua benua dan dua samudra dapat
mempengaruhi bentuk dan jenis kejahatan, khususnya sebagai jalur perdagangan
narkoba. Di samping itu luasnya wilayah NKRI yang tidak sebanding dengan kantor
polisi dan jumlah anggota Polri akan sangat menyulitkan Polri mengawasi kamtibmas
di seluruh pelosok Nusantara.
Kondisi geografis negara yang terdiri atas ribuan pulau dan perairan yang
sangat luas merupakan kendala dalam pengorganisasian kewilayahan Polri yang
memerlukan pengelompokan tipologi yang berpengaruh terhadap pola dukungan
sistem transportasi, persenjataan, dan peralatan yang dipergunakan secara spesifik.
Keadaan perekonomian Indonesia yang mengalami keterpurukan dan
disusul dengan krisis moneter sangat menyulitkan pemenuhan anggaran yang
dibutuhkan dalam mendukung tugas-tugas polisionil, terutama dalam program
penambahan personil Polri sehingga mencapai rasio yang standar (PBB atau ASEAN)
maupun pemenuhan sarana/prasarana pendukung yang sangat dibutuhkan

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 105
dalam pelaksanaan tugas Polri. Krisis ekonomi yang diawali oleh krisis moneter
menyebabkan makin meningkatnya angka ganguan kamtibmas dan meningkatnya
secara tajam pelaku tindak pidana.
Gelombang reformasi yang menuntut adanya transparansi di segala bidang,
termasuk adanya tuntutan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
belum dapat diwujudkan, menyebabkan sebagian daerah ingin memisahkan
diri. Adanya kebijakan pemilu dengan sistem multipartai dengan berbagai corak
perjuangan dan kebijakannya menyebabkan saling tarik kepentingan, baik di
masyarakat maupun di lembaga legislatif yang dapat menimbulkan kerawanan
politik sehingga Polri harus bekerja secara ekstra untuk meredam gejolak-gejolak
yang terjadi di tengah masyarakat.
Kekurangharmonisan antara partai-partai besar yang berkuasa (PDI-P, PPP, PG,
PAN, dan PKB) sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara makro. Tarik
ulur kepentingan yang dipraktikkan oleh wakil rakyat di DPR sangat meresahkan
masyarakat dan membebani Polri dalam melaksanakan tugasnya. Saling sikut,
propaganda dan menghujat antarpengurus/pendukung partai menyebabkan
semakin tingginya angka kerawanan sosial yang dapat menyebabkan ganguan
Kamtibmas.
Tumbuhnya berbagai kelompok masyarakat106 yang aktif melaksanakan tugas
kepolisian seperti banser PKB, pemuda ka’bah PPP, satgas PDI-P dengan melakukan
beraneka ragam kegiatan yang bersifat kepolisian, seperti pengamanan, pengaturan
lalu lintas, pemeriksaan/pengeledahan badan terhadap tamu, dll tanpa adanya
kontrol dan pembatasan kewenangan sehingga menimbulkan penyimpangan-
penyimpangan dan keraguan masyarakat terhadap tugas kepolisian itu sendiri.
Hal tersebut akan menimbulkan rasa apatis masyarakat terhadap Polri dalam
melaksanakan tugasnya.
Adanya intervensi yang masih diperlihatkan oleh pihak militer (TNI) baik melalui
kelembagaan, seperti turut campur dalam tugas operasi khusus kepolisian seperti
di Aceh (NAD) yang sedang digelar operasi kamtibmas, yakni dengan pengiriman
prajurit TNI secara besar-besaran (sekitar 14.000 personil) walaupun yang dimintakan
oleh Polri jauh dari angka tersebut (2.000 personil) yang dimintakan sebagai tenaga
bantuan operasi. Hal tersebut tentu membebani Polri, baik dari segi anggaran
maupun penyediaan sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh TNI seperti barak,
alat transportasi, dan uang lauk pauk. Di samping itu, sangat sulit bagi Polri untuk
mengontrol pihak militer walaupun mereka di Bawah Kendali Operasi (BKO) pihak
kepolisian (Polda Aceh).
Adanya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh Polri dan juga TNI di sepanjang
jalan Banda Aceh – Medan terhadap masyarakat (truk angkutan barang, bus antar

106 Keberadaan pengamanan swakarsa, termasuk yang dilakukan oleh partai-partai dibenarkan oleh undang-
undang sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan melampaui kewenangannya sebagai tenaga
pembantu, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2/2002.

106 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


kota/provinsi, dan kendaraan pribadi) akan menurunkan citra Polri di masyarakat.
Anggota Polri yang melakukan perbuatan tersebut telah ditindak tetapi TNI
tidak dapat dihentikan karena bukan kewenangan Polri Seringnya anggota TNI
menghalangi Polri dalam pelaksanaan penegakan hukum di masyarakat merupakan
bentuk intervensi yang tidak dapat dibiarkan.
Karakteristik kerawanan daerah yang bervariasi di beberapa tempat sebagai
akumulasi berbagai aspek kehidupan masyarakat, dapat menimbulkan berbagai
kerawanan keamanan dalam negeri seperti separatis, aksi-aksi massal, dan tindakan-
tindakan kekerasan yang bersifat massal serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan
secara berkelompok, menuntut tersedianya kekuatan Polri yang cukup besar untuk
menghadapinya. Akan tetapi dalam kenyataannya tugas tersebut masih ditangani
oleh kesatuan TNI lainnya sehingga Polri secara mandiri dinilai masih belum mampu
menanggani permasalahan tersebut.
Di lain pihak, kesatuan TNI yang membantu Polri dalam menangani permasalahan
tersebut rawan terhadap tindakan-tindakan berlebihan dan menjadi sorotan
internasional sebagai aksi melanggar HAM karena dianggap sebagai kegiatan operasi
militer. Keterlibatan militer (TNI) dalam tugas-tugas pemulihan keamanan dan
ketertiban yang berlebihan akan makin memperburuk citra polisi di masyarakat dan
dunia internasional, kecuali apabila Polri telah benar-benar tidak mampu mengatasi
kerawanan yang terjadi.
Keberadaan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya dapat menjamin kemandirian dan
profesionalisme Polri. Tidak ditegaskannya kedudukan Polri dalam struktur kekuasaan
eksekutif menjadi Polri kurang mandiri dan otonom. Di samping itu, banyak peraturan
pelaksana dari undang-undang tersebut yang belum dilengkapi, diantaranya adalah:
(1) Peraturan Pemerintah mengenai pembagian daerah hukum menurut
kepentingan pelaksanaan tugas Polri ( Pasal 6 ayat (3) UU No. 2/2002);
(2) Peraturan Pemerintah mengenai usia pensiun maksimum Polri (Pasal 30 ayat (3)
UU No. 2/2002);
(3) Peraturan Pemerintah mengenai Polri dapat meminta bantuan TNI dalam rangka
melaksanakan tugas keamanan (Pasal 41 ayat (1) UU No. 2/2002);
(4) Keputusan Presiden mengenai Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 37 ayat (2) UU No.
2/2002); dan
(5) Keputusan Presiden mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 39 ayat (3) UU No.
2/2002).

Belum dilengkapinya peraturan perundang-undangan, terutama mengenai


peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan menyulitkan
Polri melaksanakan tugas dan kewajibannya secara maksimal dalam kedudukannya
sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 107
4.0.3 Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-
hambatan Polri dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Alat Negara
Penegak Hukum dan Kamtibmas
Dalam rangka mengoptimalkan peranan dan fungsi Polri sebagai alat negara di
dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order)
adalah dengan memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan
memperkecil semua faktor kendala yang ada. Untuk mengatasi hambatan-hambatan
yang dihadapi Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah dengan melakukan
hal-hal sebagai berikut:

(a) Terhadap faktor kendala intern


Melakukan perampingan struktur organisasi Polri merupakan solusi pertama
yang harus dilakukan untuk efesiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Polri.
Menghilangkan beberapa jabatan struktural dari organisasi Polri seperti meniadakan
jabatan struktural Irjen Polri, Irops, dan Pusinfokrimnas. Jabatan struktural Waka Polri
perlu diadakan kembali. Di samping itu, merampingkan organisasi Polri yang penting
untuk dijadikan acuan adalah memperkecil jabatan struktural yang dirasakan kurang
bermanfaat, tetapi dapat dengan memperkaya fungsi pada organisasi, seperti
penambahan jabatan direktorat bantuan sosial (dirbinsos) dengan pangkat Brigadir
Jenderal Polisi pada tingkat Mabes Polri.
Pada tingkat polda, jabatan Inspektur Kepolisian Daerah (Irpolda) sebaiknya
ditiadakan dan sebagai kompensasinya diadakan jabatan Kepala Direktorat Bantuan
Sosial (Kadit Bansos) dengan pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) atau Ajun
Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang disesuaikan dengan masing-masing tipe Polda.
Demikian tingkat Polres perlu diadakan jabatan baru yakni, Kepala Satuan Bantuan
Sosial (Kasat Bansos) dengan pangkat Komisaris Polisi (Kompol), Ajun Komisaris Polisi
(AKP), atau Inspektur Polisi Satu (IPTU) yang disesuaikan dengan masing-masing
tipe Polres. Sedangkan pada tingkat Polsek tidak perlu adanya pengurangan atau
penambahan jabatan.
Organisasi Polri harus dibuat efektif dalam arti hemat struktur kaya fungsi,
sehingga jumlah levelnya dapat dihemat. Pada saat ini organisasi sipil seperti lembaga-
lembaga sosial di negara maju berlaku struktur organisasi dengan menggunakan
Directory Staff System karena sistem ini dapat memperlancar transaksi atas, bawah,
maupun samping yang tidak terhambat dengan birokrasi yang panjang dan berbelit.
Upaya peningkatan sumber daya manusia Polri dapat dilakukan melalui jalur
pendidikan dan latihan. Pendidikan dapat ditempuh melalaui jalur pendidikan
formal, seperti sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan tinggi anggota Polri tidak
hanya cukup pada S-1 (Sarjana), tetapi harus diupayakan pula sampai S-2 (Program
Magister) dan S-3 (Program Doktoral). Pendidikan melalui jalur formal tersebut dapat

108 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


dilakukan di lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Polri sendiri, seperti Akademi
Kepolisian (Akpol), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Staf dan
Pimpinan Kepolisian (Sespimpol) maupun di lembaga pendidikan lain, seperti di
universitas-universitas negeri/swasta di seluruh Indonesia.
Untuk meningkatkan keahlian dan profesionalisme anggota Polri, perlu
ditingkatkan pendidikan kejuruan (dikjur) Polri yang disesuaikan dengan bakat
dan kemampuan anggota pada masing-masing fungsi. Untuk meningkatkan
profesionalisme anggota Polri anggota yang akan mengikuti dikjur harus telah lulus
seleksi khusus kemampuan fungsi. Bagi anggota yang telah memperoleh dikjur agar
tetap dipertahankan pada fungsinya masing-masing untuk mewujudkan polisi yang
profesional.
Selama ini banyak anggota Polri yang belum mengikuti dikjur karena terbatasnya
anggaran. Di samping itu, ada pula anggota Polri yang mengikuti lebih dari satu dikjur
dengan beberapa fungsi yang berbeda pula. Misalnya, anggota polri yang mengikuti
Dikjur Dasar Bintara Reserse (Dasba Serse) juga mengikuti Dikjur Dasar Bintara
Lalu lintas (Dasba Lantas) atau Dikjur Dasar Bintara Bimbingan Masyarakat (Dasba
Bimmas). Ada pula yang mengikuti dikjur secara tidak konsisten, seperti anggota Polri
yang mengikuti Dikjur Dasba Lantas kemudian mengikuti Dikjur Bintara Lanjutan
Reserse (Balan Serse), bahkan tidak jarang ada anggota Polri yang belum mengikuti
dikjur dasar diizinkan mengikuti dikjur lanjutan. Begitu pula pada dikjur yang diikuti
oleh para perwira. Dikjur sendiri ada yang ditujukan bagi bintara, perwira pertama,
dan perwira menengah. tingkatan dikjur meliputi dikjur dasar, dikjur lanjutan, dan
dikjur senior.
Ketidakkonsistenan dalam menempuh jalur dikjur akan menyebabkan anggota
Polri kurang profesional dan membuang anggaran secara percuma. Penempatan
anggota Polri sesuai dengan dikjur yang diikuti pada fungsinya masing-masing akan
meningkatkan profesionalisme anggota Polri dalam menjalankan tugasnya sehari-
hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 UU No. 2 /2002 yang menyatakan bahwa:
“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi”

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 UU No. 2/2002 menyatakan bahwa :
Pasal 33 ayat (1) : “Pembinaan kemampuan profesi Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika
profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya
di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan
penugasan secara berjenjang dan berlanjut”

Pasal 32 : “Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 32 dilakukan pengakjian, penelitian, serta
pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian”

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 109
Pembinaan kemampuan profesi anggota Polri dilaksanakan melalui pembinaan
etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara
berjenjang, berlanjut, dan terpadu. Peningkatan dan pengembangan pengetahuan
dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di
luar lingkungan Polri, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta
berbagai bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme.
Sedangkan pengalaman maksudnya meliputi jenjang penugasan yang diarahkan
untuk memantapkan kemampuan dan prestasi. Tuntutan pelaksanaan tugas serta
pembinaan kemampuan profesi Polri mengharuskan adanya lembaga pendidikan
tinggi kepolisian yang menyelenggarakan pendidikan ilmu kepolisian yang bersifat
akademik maupun profesi dan pengkajian teknologi kepolisian.107
Untuk meningkatkan sumber daya manusia Polri melalui jenjang penugasan,
diperlukannya kebijakan dan kearifan dari pimpinan Polri. Pimpinan Polri harus jeli
melihat kemampuan dan prestasi kinerja bawahannya secara merata dan menyeluruh.
Selama ini pimpinan Polri banyak menggunakan manajemen jendela (Window
Management) dalam menilai prestasi bawahannya. Manajemen jendela (window
management) adalah suatu majemen yang hanya memperhatikan keberhasilan
orang-orang yang berada di sekitar atau di dekatnya, atau dengan perkataan lain,
hanya menilai keberhasilan tugas bawahannya sepanjang bawahan tersebut terlihat
oleh pimpinan tersebut untuk dipromosikan ke suatu jabatan tertentu. Padahal
orang-orang yang berhasil tidak hanya berada di dekat pimpinan tersebut saja.
Untuk mengatasi terbatasnya jumlah personil Polri, harus diadakan program
prioritas Polri, yakni menambah jumlah personil Polri sekurang-kurangnya sesuai
dengan standar ASEAN 1 : 700. Dewasa ini penduduk Indonesia mencapai 230 Juta
jiwa. Dengan demikian, idealnya, jumlah personil Polri di Indonesia adalah 328.571.
di samping itu, perpanjangan usia pensiun bagi anggota Polri dalam upaya mencapai
Police Employee Rate yang seimbang di samping sebagai upaya memaksimalkan
pelayanan terhadap masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU No.
2/2002 bahwa usia pensiun maksimum anggota Polri adalah 58 tahun dan dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun bagi anggota yang memiliki keahlian khusus
dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian. Polri perlu juga melakukan upaya
pembinaan potensi masyarakat dan sistem pembinaan wilayah108 misalnya dengan
meningkatkan pengamanan swakarsa.
Dalam menghilangkan kultur militer dari anggota Polri tidak dapat dilakukan
secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Langkah pertama dan utama yang
perlu dilakukan adalah menanamkan kembali doktrin kepolisian yakni, Doktrin
Tata Tentrem Kerta Raharja, Tri Brata dan Catur Prasetya dan kembali kepada motto
kepolisian yakni fight crime, help the delinquent, dan love humanity.

107 Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 2/2002.


108 Ermaya Suradinata, Pembinaan Potensi Masyarakat dan Sistem Pembinaan Wilayah Dalam Rangka Strategi
Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, Penerbit Ramadan, Bandung, 1996, hlm. 2.

110 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Mengembalikan kultur Polri dari militer ke sipil dapat dimulai dari proses rekrutmen
personil Polri, proses pendidikan termasuk materi dan kurikulum pendidikan/latihan,
seragam dinas yang disesuaikan dengan pakaian sipil yakni tidak terlalu ketat dan
berwarna menyejukkan agar tidak terkesan anker, menyusun kembali pola, dan
sebutan pangkat dan jabatan dalam kepolisian. Kultur Polri sebagai civillian police
dapat dilihat dari sikap dan tingkah laku anggota Polri sehari-hari.
Dalam mengatasi minimnya anggaran Polri dapat dilakukan dengan efisiensi
dan efektivitas penggunan anggaran dengan menggunakan skala prioritas. Sistem
penyusunan anggaran yang menggunakan Budget Oriented System tidak dapat
dipertahankan lagi dan harus diganti dengan Program Oriented System sehingga
dapat melakukan kerjasama dengan instansi lain di luar Polri, yang salah satunya
adalah Pemerintah Daerah (Pemda).
Dalam distribusi anggaran dari mabes Polri ke jajaran tingkat bawah sebaiknya
menggunakan pola satu pintu. Selama ini, untuk sampainya dana dari Mabes Polri ke
Polres atau Polsek harus melewati beberapa pintu. Sebagai contoh, anggaran perawatan
kendaraan dan bangunan yang didistribusikan dari Mabes Polri ke Polsek harus melalui
pintu Polda (Kepala Keuangan Polda atau Kaku Polda), Polwil (Pemegang Kas Polwil
atau Pekas Polwil), Polres (Juru Bayar Polres atau Jubar Polres), dan akhirnya Juru Bayar
Polsek (Pubar Polsek). Selain tidak efisien juga dikhawatirkan terjadinya kebocoran
dana. Sebaiknya dana yang dialokasikan oleh Mabes Polri ke Polsek langsung ditujukan
ke Polsek yang bersangkutan melalui Kapolsek atau Juru Bayar Polsek.

(b) Terhadap faktor kendala ekstern


Untuk mengatasi perkembangan lingkungan strategis global, regional dan
nasional, Polri dituntut adaptif terhadap perkembangan jaman. Adanya isu HAM,
demokratisasi, dan lingkungan hidup jangan dijadikan sebagai beban, tetapi
dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan profesionalisme Polri. Polri dapat
melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Polri sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 42 ayat (1), (2), dan ayat (3) UU No. 2/2002 bahwa :
(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan,
lembaga, serta instansi di dalam di luar negeri yang didasarkan atas sendi-sendi
hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan
kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.
(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-
unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta
masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas
(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan
kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral
dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun
kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 111
Menurut penjelasan Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) bahwa :
(1) Hubungan kerjasama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pihak lain
dimaksudkan untuk kelancaran tugas kepolisian secara fungsional dengan tidak
mencampuri urusan instansi masing-masing. Khusus hubungan kerja sama
dengan pemerintah daerah adalah memberikan pertimbangan aspek keamanan
kepada pemerintah daerah dan instansi terkait serta kegiatan masyarakat, dalam
rangka menegakkan kewibawaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dimaksud dengan kerja sama multilateral antara lain kerjasama dengan
International Criminal Police Organization-Interpol dan Aseanapol.

Kerja sama dengan instansi lain, baik di dalam maupun luar negeri, akan
memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan tugas Polri. Keikutsertaan
Polri sebagai pasukan pemelihara perdamaian dunia (peace keeping operation) di
bawah bendera PBB akan berdampak terhadap anggota polri akan pentingnya
menghargai HAM, demokrasi, dan lingkungan. Jadi, dengan adanya kerja sama
tersebut membantu Polri untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh
masyarakat, baik itu masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.
Untuk mengimbangi keadaan geografis Indonesia yang sangat luas, Polri dapat
melakukan pembagian wilayah hukum kerja berdasarkan daerah hukum kerja
pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa Polda memiliki wilayah hukum kerja provinsi,
Polwil memiliki wilayah hukum Pembantu Gubernur, Polres memiliki wilayah hukum
kabupaten/kota, dan Polsek memiliki wilayah hukum kecamatan. Sampai saat ini,
jumlah kesatuan wilayah Polri belum sebanding dengan jumlah provinsi, kabupaten/
kota dan kecamatan yang ada di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan
organisasi Polri ketingkat bawah seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Keterbatasan anggaran Polri yang disebabkan oleh belum pulihnya Indonesia
dari krisis ekonomi yang menyebabkan kecilnya anggaran Polri dalam RAPBN
dapat diatasi dengan melakukan efesiensi, efektifitas, dan skala prioritas anggaran.
Melakukan kerjasama dengan lembaga lain, terutama dengan pemda, akan sangat
membantu dalam ketersediaan anggaran Polri, khususnya anggaran operasional.
Para pimpinan kewilayahan Polri tingkat daerah (Kapolda dan Kapolres) dapat
mengajukan anggaran ke pihak legislatif agar dapat dianggarkan dalam APBD.109
Untuk mengatasi tingginya angka kriminalitas dan gangguan kamtibmas dapat
ditekan melalui peningkatan peran setiap fungsi teknis kepolisian, baik dalam
melakukan tindakan pre-emtif, preventif, maupun represif. Melibatkan pengamanan
swakarsa (pam swakarsa) baik dari masyarakat maupun partai politik dapat terus

109 Kapolres Bandung, AKBP Drs. Edmon Ilyas pada Agustus 2000 pernah melakukan presentasi dan pengajuan
anggaran Polres Bandung di depan sidang DPRD Kabupaten Bandung dan berhasil memperoleh dana
operasional Polri yang tercantum dalam APBD 2001 sebesar 100 Juta Rupiah.

112 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-
undangan. Pembentukan rakyat terlatih dalam bidang keamanan, atau kamra dapat
dihidupkan kembali. Pendidikan masyarakat melalui fungsi dikmas lantas atau
bimmas harus terus dipertahankan, seperti pendidikan patroli keamanan sekolah
(PKS), remaja bhayangkari club (RBC), polisi sahabat anak (PSA), dan satuan pengatur
lalu lintas (Supeltas).
Kedudukan Polri sebagai alat negara yang berperan dalam penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat adalah keberadaan Polri sebagai bagian dari
masyarakat sipil (civil society) yang tunduk pada kekuasaan eksekutif (Presiden). Hanya
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi yang dapat mengatur
mengenai kebijakan Polri dan itupun hanya terbatas pada kebijakan dan tidak dapat
melakukan intervensi ketika Polri melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum
dan ketertiban masyarakat (law and arder).
Intervensi pihak lain terhadap Polri termasuk DPR dan TNI adalah bertentangan
dengan hukum. Ikut campur tangannya DPR dalam proses pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri adalah salah satu bentuk intervensi politik legislatif terhadap
eksekutif (Polri). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden No. 6
tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah
yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan
memelihara keamanan dalam negeri”.

Sebagai penanggung jawab Kamdagri seharusnya Polri diberi kewenangan


untuk melakukan penindakan terhadap siapa saja pelaku dan pelindung tindak
pidana, termasuk jika dilakukan oleh anggota TNI. Tidak ada satu orang pun atau
lembaga apa pun yang dapat mengintervensi Polri dalam melaksanakan tugas
polisionilnya. Intervensi yang selama ini terjadi, seperti perlunya persetujuan
terhadap pengangkatan dan pemberhentian kapolri oleh DPR dapat membawa Polri
kesikap yang tidak netral. Untuk itu mendesak kiranya Undang-undang No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia direvisi.
Dalam mengatasi berbagai macam karakteristik kerawanan daerah yang berbeda-
beda dapat diatasi dengan melakukan pendekatan secara sosial kultural terhadap
daerah penugasan. Penempatan putera/puteri asli daerah dalam wilayah tugasnya
masing-masing sangat membantu penguasaan budaya lokal masyarakat. Di samping
itu, perlu pula menempatkan perwira-perwira tua dan berpengalaman di kesatuan
kewilyahan tingkat Polsek karena mereka lebih paham dan cepat beradaptasi dengan
masyarakat sekitar atau masyarakat lokal.
Untuk mengatasi kemandulan hukum yang berkenaan dengan kedudukan Polri
sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas, UU No. 2/2002 mendesak untuk
direvisi, sepanjang pasal-pasalnya tidak mendukung kedudukan Polri sebagai alat
negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Perlu dilengkapi pula segera beberapa peraturan pelaksana dari UU No. 2/2002.

Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 113
BAB  5

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis makna dan implikasi kedudukan polisi
sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat (law and order), kiranya dapat ditarik kesimpulan dan disampaikan saran-
saran sebagai berikut:

5.1 Kesimpulan
1. Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung
makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan
eksekutif yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang
timbul dari kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan
yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Dengan kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional dapat
menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
3. Faktor-faktor yang mendukung kedudukan Polri sebagai alat negara dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya
legitimasi secara yuridis konstitusional dan perkembangan lingkungan global,
regional, dan nasional yang menghendaki di kedepankannya Polri dalam
penangganan masalah Kamdagri. Faktor-faktor yang menghambat kedudukan
Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat terdiri atas faktor kendala intern dan ekstern. Upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan
memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan memperkecil
semua faktor kendala yang ada.

Kesimpulan dan Saran 115


5.2 Saran-saran
1. Untuk mewujudkan kemandirian dan profesionalisme Polri disarankan agar
memberikan kedudukan Polri sebagai suatu lembaga khusus pemerintah
setingkat Kejaksaan Agung, yang berada dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden serta mandiri dan otonom tanpa intervensi dari pihak mana
pun terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dalam kerangka penegakan
hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
2. Untuk mencapai optimalisasi, efisiensi, dan efektifitas dalam pelaksanaan tugas
kepolisian, disarankan agar Polri melakukan pembenahan segera terhadap aspek
struktural, instrumental, dan kultural. Hal ini harus didukung sepenuhnya oleh
pemerintah, masyarakat, dan anggota Polri sendiri.
3. Khusus dalam penyusunan anggaran disarankan agar Polri menggunakan pola
penyusunan anggaran yang mengacu pada Program Oriented System.
4. Demi terwujudnya Polri profesional yang sesuai dengan harapan dan keinginan
masyarakat, disarankan agar Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia direvisi, terutama yang berkaitan erat
dengan pengangkatan dan pemberhentian kapolri serta melengkapi dengan
segera peraturan pelaksana yang ada kaitan dengan lahirnya Undang-undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.

116 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU
Abdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994.
Abdullah Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1991.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti,
Jakarta, 1995.
Amirin Tatang, M, Menyusun Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Ketertiban Sosial,
Penerbit UII Press, Yogyakarta 1992.
Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi
revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
Daoed Joesoef, Dua Pemikiran tentang Pertahanan Keamanan dan Strategi Nasional,
Yayasan Proklamasi, Jakarta, 1973.
Dicey, A.V., Introduction to The Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939.
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
1987.
Djokosutono, Ilmu Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Ermaya Suradinata, Pembinaan Potensi Masyarakat dan Sistem Pembinaan Wilayah

Daftar Pustaka 117


Dalam Rangka Strategi Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat
Semesta, Penerbit Ramadan, Bandung, 1996.
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Friedmann, Robert, R, Community Policing Comporative Perspective and Prospects,
Harnester Wheatsheef, London, 1992.
Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Gramedia, Jakarta, 1996.
Harman Benny, K, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ELSAM,
Jakarta, 1997.
Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003), Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Harun Al-Rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, Edisi Kedua, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1996.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya
Di Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.
Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
----------, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Kunarto, Merenunggi Kritik Terhadap Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995.
----------, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.
----------, HAM dan POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.
----------. Polri Mandiri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999.
Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH
UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta,1988.
Kusumah Mulyana, W, Polisi Masa Depan Dalam Perspektif Kriminologi, Bigraf
Publishing, Yogyakarta, 1995.
LaRouche, Apakah Demokrasi itu? Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di
Amerika Latin, (diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service Inc., Washinton
DC, 1994.
Mabes Polri, Naskah Akademik RUU Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Dispen Polri, Jakarta, 1991.
Mahfud, Moh, MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

118 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994.
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Permasalahannya
Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
Norma, E.H., Japan’s Emergence as A Modern State, Institute of Pacific Relation, New
York, 1940.
Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Penerbit Kristen, Jakarta, 1967.
Oudang, M, Perkembangan Kepolisian di Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia, Jakarta, 1952.
Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984.
----------, Asas Negara Hukum dan perwujudannya dalam sistem Hukum Nasional (Sistem
Hukum Nasional Politik Pembangunan Hukum Nasional), UII Press,Yogyakarta,1992.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952.
Reiner and Robert, The Rise and The Fall of The Police Legitimacy, Wheatsheat Books
Ltd., London, 1986.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1983.
Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, 1988.
Sjachran Basah, Ilmu Negara: Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1989.
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980.
Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1970.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1985.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1976.
Solly Lubis, M., Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1992.
Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987.
----------, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Daftar Pustaka 119


----------, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia
Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
----------, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung,1993.
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.
Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, PT Eresco, Bandung, 1988.
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1982.
Utrecht E., Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1960.
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1989.

B. DISERTASI, TESIS DAN MAKALAH


Direktorat Bimmas Mabes Polri, Misi Sosial Politik ABRI, Dirbimmas Polri, Jakarta, 1992.
Dudu Duswara Machmudin, Eksistensi Kepolisian Negara republik Indonesia Dalam
Penegakan Hukum dan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Menurut
Undang Undang Nomor 28 Tahun 1997 (Tesis), Bandung, 1999.
I Gede Pantja Astawa, Hak Asasi Manusia Pada Umumnya dan Di Indonesia Pada
Khususnya, Makalah disampaikan dihadapan Perwira siswa (Pasis) pada
Sespimpol, Lembang Bandung, 2000.
Romli Atmasasmita, Kedudukan dan Peran Kepolisian Negara RI Dalam Kerangka CJS,
Makalah pada seminar Kepolisian Negara RI tanggal 29-31 Juli 1998, Sespim Polri,
Lembang Bandung, 1998.
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Imlementasi Kemerdekaan Berserikat
dan berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945 (Disertasi), Bandung, 1996.
Sri Soemantri M, Peran Polri Dalam Mengimlementasikan Hak Azasi Manusia, Makalah
pada Seminar Kepolisian Negara RI tanggal 29-31 Juli 1998, Sespim Polri,
Lembang Bandung, 1998.
Triyana Yohanes, Kedudukan dan Tugas Polri Pada Waktu Perang Di Tinjau Dari Sudut
Hukum Humaniter (Tesis), Bandung, 1994.
Wakil Assospol Kassospol ABRI, Pembinaan dan Operasi Sosial Politik, Kodam I/BB (TNI-
AD), Medan, 1989.

120 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang Undang No. 13/1961 Tentang Undang Undang Pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Undang Undang No. 8/1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana yang
telah dirubah dengan UU No. 43/1999.
Undang Undang No. 20/1982 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Undang Undang No. 28/1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang Undang No. 9/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka
Umum
Undang Undang No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang Undang No. 3/2002 Tentang Pertahanan Negara.
Keputusan Presiden No. 79/1969 Tentang Berlakunya Organisasi ABRI, TNI-AD, TNI-AU,
TNI-AL dan POLRI.
Keputusan Presiden No. 6/1999 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Instruksi Presiden No. 2/1999 Tentang Langkah-langkah Kebijaksanaan Dalam
Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
Surat Keputusan Kapolri No.Skep/01/I/2000 Tentang Pemberitahuan Perubahan Tanda
Kepangkatan Bagi Anggota Polri.

D. KAMUS
Encyclopaedia Britanica, Volume XVIII, 1768.
Encyclopaedia of Social Sciences, Volume XI-XII.
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai pustaka, Jakarta, Edisi kedua, 1991.

Daftar Pustaka 121


E. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat
Kabar)
Anwar Mushadad, Tinjauan Ilmu Sejarah Terhadap Nilai-nilai Perjuangan Polri-Dalam
Rangka HUT Bhayangkara ke-55, Warta Sura Dwipa Sarvabhavena, Edisi Khusus,
No. 364 Juli 2001, Dispen Polda Bali, Denpasar, 2001.
Harian Media Indonesia, Tanggal 26 Februari 2000, Jakarta.
Ibnu Sudjak Machfud, Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi
yang Mandiri dan Profesional, karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001.
Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro
Justitia, No. 2 Tahun V, Edisi Mei 1987.
Kunarto, Polisi Dikedepankan, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret-April 1997, Dispen Polda
Aceh, Banda Aceh, 1997.
Memet Tanumidjaja, Perlukah Kementerian Keamanan Dalam Negeri Dalam Negara
kesatuan RI, Majalah Bhayangkara No. 2-3, Tahun I, September-Oktober 1950.
Oetojo Oesman, Forum Makehjapol Diadakan Untuk Menciptakan Kepastian Hukum,
Dispen Polda Aceh, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret – April 1997, Banda Aceh,
1997.
Susanto, I.S, Hukum dan Demokrasi, Caraka Candi, Edisi September 2001, Dispen Polda
Jawa Tengah, Semarang, 2001.
Tim Ganda Wibawa Sakti, Gawisa, No. 365/Pebruari/XXX/Tahun 2002, Dispen Polda
Jabar, hlm. 44, Bandung, 2002.

122 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


Diterbitkan Oleh:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Jl. Wolter Monginsidi No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIA
Telp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916
http://www.kemitraan.or.id

ISBN: 978-602-1616-04-8

Anda mungkin juga menyukai