POLRI
dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
POLRI
Peranan dan Kedudukan POLRI
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
dalam Sistem Ketatanegaraan
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Indonesia
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H
Masa transisi demokrasi Indonesia saat ini menuntut negara dan alat negara
untuk tampil lebih professional dan mandiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) sebagai salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan, dan fungsi
strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai
masyarakat adil dan makmur. Polri juga berperan dalam menegakkan hukum,
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah menetapkan
status Polri melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000
dihasilkan dua ketetapan penting, yaitu Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000
Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan dua
ketetapan tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap
Pasal 30 UUD 1945. Berdasarkan aturan-aturan hukum di atas, jelaslah bahwa Polri
bukanlah militer dan bukan pula bertugas dalam bidang pertahanan negara–yang
merupakan wilayah tugas tentara/militer. Upaya pemisahan Polri dan TNI dilakukan
setelah reformasi di Indonesia. Pada era tersebut, kedudukan Polri semakin dipertegas,
karena secara yuridis keberadaannya telah dipisahkan dari TNI. Polri menjadi ujung
tombak perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sesuai perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan pembaharuan
hukum, khususnya pemisahan TNI dan Polri, ada beberapa konsekuensi hukum yang
lahir. Pertama, Polri punya kuasa di bidang kepolisian preventif dan reprensif dalam
iii
rangka Criminal Justice System. Kedua, Polri berperan aktif memelihara keamanan
dalam negeri. Ketiga, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden, dimana
Kepala Polri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Sesuai dengan kedudukannya yang berada langsung di bawah presiden, dalam
merumuskan susunan organisasi Polri pemerintah diharapkan memperhatikan
bahwa Polri merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem ketatanegaraan
Indonesia sehingga Polri merupakan Kepolisian Nasional. Pembagian daerah hukum
Polri disusun menurut keperluan pelaksanaan tugas Polri yang diusahakan sesuai
dengan pembagian wilayah administratif pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar
dapat diwujudkan keselarasan dengan unsur Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System) atau instansi lainnya dalam rangka penyelenggaraan fungsi
pemerintahan Susunan Polri tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas
usul Kapolri. Secara organisasi, Polri dipimpin oleh Kepala Polri yang menetapkan
dan mengendalikan kebijaksanaan teknis kepolisian sesuai dengan kebijaksanaan
presiden dengan memperhatikan saran dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung makna
bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif
yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang timbul dari
kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan yang mandiri
dalam pelaksanaan tugasnya.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance
Reform), yang didirikan tahun 2000, melalui hibah dari berbagai lembaga dan negara
donor mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola pemerintahan, salah satunya
adalah mendorong terwujudnya iklim demokrasi yang akomodatif dan partisipatif.
Karena itu, Kemitraan sangat mengapresiasi hasil penelitian Saudara M.Gaussyah
dan berinisiatif untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku.
Buku ini setidaknya menggambarkan bahwa reformasi yang sedang bergulir di
Indonesia belum selesai, masih banyak hal-hal yang perlu kita benahi dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Semoga buku ini dapat
berguna sebagai pendorong munculnya gagasan-gagasan, regulasi, dan kebijakan
inovatif dalam perwujudan Good Governance di Indonesia.
Wicaksono Sarosa
Direktur Eksekutif Kemitraan
iv
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Identifikasi Masalah 9
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9
1.4 Kerangka Pemikiran 10
1.5. Metode Penelitian 18
1.6 Sistematika Penulisan 21
v
3.4 Tugas dan Wewenang POLRI 44
3.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat Ini 46
3.6 Perkembangan Lingkungan Strategis 55
3.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara
Inggris dan Jepang 68
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan 1
Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana
yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber
pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu
masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena
polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi.
Dewasa ini hampir di mana pun di dunia, polisi berurusan dengan pekerjaan
memelihara hukum dan ketertiban (law and order). Lebih khusus lagi memerangi
kejahatan dalam masyarakat. Oleh karena spesialisasi dan pembagian kerja yang
makin ketat dan rinci yang menjadi ciri masyarakat modern, maka pekerjaan polisi
pun menjadi tidak mudah. Dalam hubungan ini, polisi dihadapkan kepada struktur
birokrasi dan hukum modern yang semakin formal. Sekalipun polisi mengemban
tugas memelihara hukum dan ketertiban, tetapi tugas itu tetap dilaksanakan dalam
ruang lingkup dan mengikuti persyaratan yang disodorkan oleh struktur tersebut.
Untuk mengatasi masalah yang dihadapi polisi (Polri) ke depan, harus diberikan
aturan, peranan, dan kedudukan yang jelas serta tegas terhadap lembaga kepolisian.1
Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat
negara yang memiliki kedudukan, tujuan dan fungsi penting serta strategis dalam
mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil
dan makmur. Untuk itu perlu dipahami pengertian Polri itu sendiri.
Secara konstitusional, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan status
Polri melalui perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sebagaimana dimuat dalam Bab XII Pasal 30 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).
Pasal 30 ayat (2): Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan
hukum.
Pasal 30 ayat (5): Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, di dalam menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan
keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan
keamanan diatur dengan undang-undang.
Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945, dapat diketahui
bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
1 Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1988, hlm. 174.
2 Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Ketertiban Sosial, Penerbit UII Press, Yogyakarta
1992,hlm.173
3 LaRouche, Apakah Demokrasi itu ?- Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin
(diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service, Inc, Washinton DC, 1994, hlm. 242.
4 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta,1997. hlm.36
Pendahuluan 3
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Polri haruslah bersikap profesional
dan berwibawa dengan menganut prinsip bahwa hukum adalah di atas segala-
galanya, keadilan dan kejujuran harus ditegakkan. Dalam melaksanakan tugasnya
memelihara keamanan di dalam negeri, Polri haruslah dapat secara tepat dan akurat
memanfaatkan segenap potensi bangsa terutama dengan melibatkan seluruh rakyat
Indonesia sebagai bahagian dari unsur keamanan itu sendiri dengan menciptakan
suatu kondisi bahwa setiap rakyat mampu untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai unsur
sistem penyelenggara kekuasaan negara, unsur sistem keamanan, serta unsur
sistem peradilan pidana yang masing-masing membawa konsekuensi-konsekuensi
institusional serta organisasi tersendiri. Masalah itu lahir oleh karena dalam
hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, Polri tentu akan
berhadapan dengan berbagai bentuk dinamika masyarakat sipil. Sementara itu
sebagai unsur keamanan, Polri harus bekerja dalam kerangka konsep dan operasi
yang berlaku dikalangan Kepolisian dan sebagai sistem peradilan pidana, Polri
bergerak sebagai ujung tombak, sekaligus penyeleksi dalam sebuah proses hukum.5
Polri sebagai institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi sebagai alat
negara harus menjalankan strategi negara, khususnya untuk kepentingan stabilitas
serta pengendalian masyarakat sipil. Di samping itu, Polri harus pula merealisasikan
kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai penghormatan terhadap hak
asasi manusia, dan mewujudkan keadilan (hukum maupun sosial) dalam kondisi
masyarakat yang demokratis.
Selain standar dan konvensi internasional di bidang hak-hak sipil dan politik,
hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, serta hak-hak kelompok-kelompok masyarakat
(anak, perempuan, buruh,dll), secara internasional diakui juga oleh sejumlah konvensi
serta prinsip yang dapat menjadi acuan bagi evaluasi orientasi dan pola kerja “alat
negara” yaitu antara lain :6
1. Body of Principles for the Protection of All Persons under any form of Detention or
Inprisonment;
2. Declaration on the Protection of All Person from being Subjected to Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment;
4. Code of Conduct for Law Enforcement officials.
Dewasa ini, tugas polisi semakin kompleks, hal ini disebabkan oleh kemajuan
teknologi yang berkembang dengan sangat pesat yang memicu terjadinya globalisasi
dan modernisasi di segala bidang kehidupan. Modernisasi tidak hanya membawa
5 Kusumah, Mulyana W, Polisi Masa depan Dalam Perspektif Kriminologi-Polisi, Masyarakat dan Negara, Bigraf
Publishing, Yogyakarta, 1995, hlm.153.
6 Ibid, hlm.154.
Pendahuluan 5
mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Suasana ketertiban
yang mantap diperlukan oleh masyarakat yang menghendaki keadaan yang aman
dan stabil.
Polri pada hakikatnya mempunyai tugas “melindungi” yang berbeda dengan
Angkatan Perang. Secara prinsipil terdapat perbedaan tugas dan fungsi antara
Angkatan Perang sebagai penegak kedaulatan dan Polri sebagai penegak hukum,
pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat sehingga kedudukannya dalam
sistem ketatanegaraan dan tugas serta kewenangannya dalam sistem pemerintahan
berbeda, dalam arti tidak dapat disatukan.
Menurut Vollenhoven dan Recless, kalau ingin maju dan memiliki masyarakat
yang berdisiplin tinggi, suatu negara harus memiliki kepolisian yang kuat dan
tangguh. Kedua pakar hukum tersebut, mengembangkan teori Montesquieu yang
membagi kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif atau yang lebih dikenal dengan teori Trias Politica. Namun teori Trias Politica
ini menurut Vollenhoven7 masih perlu dikembangkan lagi, sehingga perlu menambah
satu kekuasaan negara lagi menjadi empat kekuasaan negara (caturpraja),8 yaitu
kepolisian sebagai pengawas sekaligus pemaksa undang-undang, agar undang-
undang dipatuhi oleh segenap masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan
terpelihara, disiplin masyarakat terwujud serta dinamika kehidupan masyarakat
berjalan dengan baik.
Sejak akhir abad ke-20 telah ada konstelasi tentang perubahan peran kepolisian
dari lingkup penegakan hukum secara sempit ke arah lingkup yang lebih luas
mencakup upaya memelihara ketertiban dan pelayanan sosial. Hal tersebut menuntut
orientasi, dimensi dan topik baru mengenai peran kepolisian, yang gilirannya
menuntut pula bahasan tentang penyesuaian organisasi dan kedudukan kepolisian
dalam menyelenggarakan fungsinya.
Di Indonesia sekalipun fungsi kepolisian telah mengalami perkembangan dari
lingkup penegakan hukum yang sempit ke arah lingkup yang lebih luas, namun dalam
perjalanannya seringkali dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang meletakkan polisi
pada sisi kepentingan bukan pada profesionalisme sesuai dengan visi dan misinya,
sehingga fungsi kepolisian mengalami distorsi.
Distorsi fungsi kepolisian, tercermin pada tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Tugas Polri pada masa yang lalu banyak diambil alih oleh beberapa institusi
yang tidak memiliki wewenang kepolisian. Hal itu pula yang menyebabkan Polri
didudukkan sebagai subordinat dari institusi yang tidak memiliki fungsi dan peran
yang sama dengan kepolisian secara universal. Tugas kepolisian pada masa lalu,
7 Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 447.
8 Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara kedalam :
a. Regelaarsrecht = the law of the legislative process = Hukum Peraturan perundangan
b. Bestuursrecht = the law of the government = Hukum Tata Pemerintahan
c. Justitierecht = the law of the administration of justice = Hukum Acara Peradilan
d. Politierecht = the law of the administration of security = Hukum Kepolisian
Pendahuluan 7
dikenal dengan istilah kemandirian Polri, dalam kenyataannya tidak/belum
terlaksana. Hal ini disebabkan masih kuatnya intervensi berbagai lembaga di luar
Polri, termasuk intervensi pemerintah dalam proses operasional dan manajemen
Polri. Ketidaktransparanan dalam finansial dan penyediaan sarana/prasarana untuk
lembaga Polri dan tidak berfungsinya secara baik mekanisme kepangkatan dan
dewan kepangkatan di tubuh Polri disebabkan oleh adanya rekayasa dari luar Polri.
Pengaturan tentang kedudukan polisi sebagai alat negara di dalam kerangka
penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tersebut berada dalam ru-
ang lingkup ilmu hukum tata negara. Hal ini sesuai dengan batasan hukum tata
negara, yang antara lain sebagaimana dikatakan oleh Logemann, bahwa hukum
tata negara (dalam arti yang sempit) adalah serangkaian kaidah hukum yang
mengatur:9
1. jabatan-jabatan apakah yang terdapat dalam susunan ketata negaraan
tertentu;
2. siapakah yang mengadakan jabatan-jabatan itu;
3. bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat;
4. apakah tugasnya (lingkungan pekerjaannya);
5. apakah wewenang hukumnya;
6. perhubungan kekuasaannya satu sama lain;
7. dalam batas-batas apakah organisasi negara (dan bagian-bagiannya)
menjalankan tugas kewajibannya.
9 Sri Soemantri M, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm.143-147
10 Ibid, hlm.145-146
11 Ibid, hlm.146
Pendahuluan 9
1.3.2.2 Kegunaan Praktis :
Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kegunaan praktis
terutama menemukan faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat
kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-
hambatan tersebut.
12 Kansil, C.S.T, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 14-15.
13 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm.9-10.
14 Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm.94
15 Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30.
16 Istilah polisi merujuk baik pada orangnya atau lembaganya, adalah suatu badan / orang yang diberikan
kewenangan kepadanya untuk menegakan hukum dan menciptakan Kamtibmas. Perkataan polisi berasal
dari kata Yunani politeia, yang dipergunakan untuk menyebut orang menjadi warga negara dari kota Athena,
kemudian pengertian itu berkembang dan artinya berubah menjadi kota dan dipakai untuk menyebut semua
urusan kota.
Pendahuluan 11
kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan
seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan
semata, yang harus dikejar kemakmuran seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan
tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam
mengatur pergaulan hidup khalayak ramai. Tindakan-tindakan pemerintah dewasa
ini yang menjadi tujuan adalah kepentingan umum.
Negara kesejahteraan itu merupakan pengembangan dari ide negara hukum,
yang oleh Kant dimanfaatkan sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban
di masyarakat (rust en orde/Kamtibmas). Tidak mengherankan bahwa ide Kant
dikenal dengan nama Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat) dimana pencapaian
kesejahteraan masing-masing terserah pada warga masing-masing sesuai prinsip
liberalisme (sempit) dengan persaingan bebasnya. Ide negara hukum ini berkembang
dari Negara Hukum Liberal (Jaga Malam) ke Negara Hukum Formal; kemudian Negara
Hukum Materiil dan yang terakhir sekarang ialah negara hukum dalam arti negara
kemakmuran yang dikenal dengan sebutan : Wohlfahrtstaat, Social Service State,
sociale Verzorgingsstaat, welfarestaat dan sebagainya.17
Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :
“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial,...”
17 Padmo Wahjono, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Nasional
(Politik Pembangunan Hukum Nasional ), UII Press,Yogyakarta,1992, hlm.40
18 Kansil,C.S.T, Op.cit., Hlm 41
Adanya proteksi konstitusional ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 setelah perubahan ketiga yang menyatakan bahwa : Negara Indonesia
adalah negara hukum. Demikian pula di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang
sistem Pemerintahan Negara, dimana dalam bagian II dikatakan : Pemerintahan
berdasarkan atas sistem hukum dasar, tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas
(absolutisme).
Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat
19 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1993,
hlm.13
Pendahuluan 13
dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri20 sedikitnya memiliki 3 (tiga)
muatan yaitu :
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.
Pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi mempunyai arti
membatasi kekuasaan negara dari tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat yang
dikuasainya.
Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dalam
negara yang berdasarkan hukum inilah keberadaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, pengayom,
pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan kepastian
hukum, mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta sebagai tulang
punggung keamanan negara dalam menyelenggarakan pembangunan.
Secara konstitusional kedudukan polisi di dalam kerangka penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 30 ayat
(4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga21 Pengaturan tentang kedudukan polisi
dalam konstitusi menandakan bahwa lembaga Polri merupakan alat negara yang
mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi sebagai pewujud keamanan dan ketertiban
masyarakat, di samping sebagai alat negara penegak hukum yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Criminal Justice System (CJS).
Salah satu unsur dari negara hukum yang tidak kalah pentingnya adalah
adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pembagian tugas dan wewenang
yang dimaksudkan adalah meliputi wewenang legislatif, wewenang eksekutif dan
wewenang yudikatif. Mengenai masalah pembagian tugas dan wewenang ini, dapat
dikemukakan gagasan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu,
seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah mendapat
nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)”. Dalam buku
ini (1748) Montesquieu, mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi
dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan
kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah :
1. Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif )
2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif )
3. Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang
(Yudikatif ).22
23 Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH UI dan CV. Sinar Bakti,
Jakarta,1988, hlm 140
24 Pasal 11 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
Pendahuluan 15
menghambat kemandirian Polri. Kedudukan lembaga Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam eksekutif dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia berada di bawah Presiden, dan ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan
bahwa Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung
jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai bagian dari eksekutif, polisi bertanggung jawab atas Penegakan Hukum
(Gakkum) dan ketertiban dalam masyarakat. Polri sebagai bagian terpenting dalam
sistem pemerintahan negara (eksekutif ) yang mempunyai wewenang dan fungsi
pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), yang harus siap
menjaga dan menjamin keamanan serta ketertiban masyarakat akibat perubahan-
perubahan yang terjadi, perlu melakukan langkah-langkah strategik berupa intropeksi
yang cermat terhadap kedudukannya, fungsinya, peran dan wewenangnya agar
polisi (Polri) benar-benar tetap dapat menempatkan dirinya sebagai pembimbing,
pelindung, pengayom dan penegak hukum yang profesional, efektif, efisien, modern
dan handal.
Untuk menentukan sikap dalam memanfaatkan semangat reformasi yang bergulir
saat ini, perlu dilakukan secara strategis dan realistis dengan mempertimbangkan
secara sungguh-sungguh tentang peluang dan kendala yang akan dihadapinya.
Pertimbangan tersebut, haruslah didasarkan pada kepentingan efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan tugas-tugas Polri. Hendaknya permasalahan ini tidak hanya
ditinjau dari segi kepentingan Polri semata, tetapi juga dari sudut kepentingan yang
lebih besar yaitu kepentingan nasional.
Sejalan perkembangan situasi yang melahirkan tuntutan reformasi agar Polri
mandiri terlepas dari campur tangan politik maupun sebagai perpanjangan alat
kekuasaan murni sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pelopor dalam
penegakan hukum yang selalu berpegang pada kebenaran, keadilan, dan keterbukaan
serta menuntut perlunya dilakukan upaya-upaya pemberdayaan tentang kedudukan,
fungsi dan peranan Polri sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat dalam
mengemban tugasnya sebagai alat negara penegak hukum inti pembinaan keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam penanganan masalah-masalah keamanan dalam
negeri.
Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan
dalam kamus bahasa Indonesia dapat diatikan sebagai suatu perasaan tenteram,
tidak merasa takut, khawatir atau berbahaya atau suatu keadaan yang sentosa (tidak
ada sesuatu yang menakutkan atau membahayakan), keamanan, ketenteraman,
keadaan yang aman.25 Melalui istilah asing dapat ditemukan beberapa istilah dari
kata keamanan tersebut seperti istilah Security Council dan National Security.
Mengenai paham dan pandangan tentang keamanan di dapatkan pula di dalam
persetujuan DPR.
25 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952, hlm.28.
26 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994, hlm.35
27 Ibid, hlm.38
28 Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1970, hlm 43.
Pendahuluan 17
potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang
diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara
yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan
unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya, dan
reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal dan efektif adalah
dengan cara mensejajarkan kedudukan Polri setingkat Menteri dan Panglima TNI
serta Jaksa Agung, dalam suatu Lembaga Khusus Pemerintah yang otonom serta
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Untuk mempermudah pemahaman tentang kerangka pemikiran tersebut di
atas, maka dibuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :
Dwipraja Trias Politica Catur praja Arti Sempit Arti luas Negara Kesejahteraan
Pembangunan
Ketertiban
Polisi
29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.10
30 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm.14
Pendahuluan 19
Pengembangan Polri (Kadis Litbang Polri), Kepala Dinas Hukum Polri (Kadis
Kum Polri), Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data Polri (Kadis Infolahta
Polri) pada tingkat Markas Besar Polri. Pada satuan kewilayahan Polda,
wawancara dilakukan terhadap Kapolda/Waka Polda, Asrena dan Kadit/Sesdit
fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, Personil, dan
Intel Pam Polri.
Ditingkat Polwil / Polwiltabes, wawancara dilakukan terhadap Kapolwil
/ Kapolwiltabes atau Wakapolwil / Wakapolwiltabes, Pemegang Kas (Pekas),
Kepala Bagian fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara,
dan Intel Pam Polri; sedangkan ditingkat Polres/Polresta/Poltabes/Polres
metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolres / Kapolresta / Kapoltabes /
Kapolres Metro atau Wakapolres / Wakapolresta / Wakapoltabes / Wakapolres
Metro. Ditingkat Polsek / Polsekta / Polsektif / Polsek metro, wawancara
dilakukan terhadap Kapolsek / Kapolsekta / Kapolsektif / Kapolsek Metro atau
Wakapolsek / Wakapolsekta / Wakapolsektif / Wakapolsek metro. Penentuan
sampel dilakukan secara purposive.
31 Ibid, hlm. 19
Pendahuluan 21
lingkungan strategis, yang meliputi lingkungan global, regional, dan
nasional serta strategi penataan kedudukan organisasi Polri dan diakhiri
dengan studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di
Negara Inggris dan Jepang.
BAB IV : Mengemukakan kajian terhadap makna dan implikasi kedudukan Polri
sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat. Pada bagian awal dikemukakan tentang kedudukan
Polri menurut UUD 1945 dan menurut UU No. 2 Tahun 2002. Selanjutnya
dikemukakan tentang tantangan tugas Polri pada era reformasi, yang
mengemukakan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan inti
Binkamtibmas, Polri sebagai salah satu bagian dari unsur Criminal Justice
system, dan pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan
masalah keamanan dalam negeri. Dikemukakan pula tentang pelaksanaan
kedudukan polisi sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di
dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta
beberapa pemikiran tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat
kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum
dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan
merupakan hasil kajian dari bab-bab sebelumnya yang dipadukan
dengan identifikasi masalah. Terakhir dikemukakan saran-saran yang ada
relevansinya dengan penelitian ini.
32 Sjachran Basah, Ilmu Negara -Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989, hlm. 104.
33 Kansil, C.S.T., Loc.cit, hlm. 29.
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 23
kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, mencapai kesejahteraan umum,
dan melindungi warga negaranya dari ancaman dan gangguan pihak luar. Salah
satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yang dipelopori
oleh Krabbe, yakni negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan
berdasarkan dan berpedoman pada hukum.
Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara
hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat)
dan negara hukum dalam arti luas/materil/modern atau negara kesejahteraan
(welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan mereka yang
menganggap bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang
yang dibuat dengan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, di antaranya Kant,
negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat).
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam,
yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman,
ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas suatu
negara hukum klasik tidak lain adalah mempertahankan dan melindungi ketertiban
sosial dan ekonomi berdasarkan asas “laissez faire laissez aller” yang berarti bahwa
biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri kemakmurannya,
negara jangan ikut campur tangan.34
Dalam suatu negara hukum klasik, tugas negara tidak luas. Negara hanya bertugas
membuat dan mempertahankan hukum tertulis atau hanya menjaga keamanan
dalam arti sempit. Negara hanya berfungsi sebagai penjaga malam (nachtwaker).
Oleh karena itu, negara hukum klasik dikenal dengan sebutan “nachtwakersstaat”.
Negara melakukan reaksi apabila adanya pengaduan atau laporan dari warga jika
terjadi ancaman atau hal-hal yang membahayakan warga. Singkatnya, tindakan
negara adalah pasif tapi represif.
Berbeda dengan negara hukum klasik, negara hukum modern mempunyai
ruang lingkup tugas yang luas. Negara harus melaksanakan dan mengutamakan
kepentingan seluruh rakyat. Negara dituntut harus menciptakan kemakmuran
dan kesejahteraan, keamanan, dan ketertiban serta melindungi seluruh rakyat dari
ancaman dan bahaya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
Negara hukum modern bersifat aktif dan responsif. Sebagai pengembangan
lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare
state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum.
Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk
mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negara tersebut.
Istilah negara hukum yang diperkenalkan di Eropa Kontinental disebut dengan
Dari rumusan yang dikemukan Dicey di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur Rule of Law itu adalah :
(1) Supremacy of the law (supremasi hukum)
(2) Equality before the law (kedudukan yang sama didepan hukum)
(3) Constitution based on human rights (Hak-hak asasi tidak bersumber pada
konstitusi atau undang-undang dasar)36
Paham Dicey ini adalah sebagai lanjutan dari ajaran Locke yang berpendapat
bahwa manusia sejak dilahirkan telah mempunyai hak asasi dan tidak semua hak
asasi itu diserahkan kepada negara dalam bentuk kontrak sosial. Bagaimana ia
menyerahkan seluruh hak-hak asasinya kepada negara sedangkan ia masih hidup,
justru ia harus mempertahankannya, dan negara melindunginya.
Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas
bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya, disebutkan
bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut
dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-
alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.
Alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan, baik
yang berasal dari kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif harus dapat
mengawasi dan melaksanakan peraturan yang telah dibuatnya. Untuk itu, harus
35 Dicey, A.V., Introduction to the Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939, hlm.202.
36 Ibid, hlm.48-49.
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 25
diadakan pembagian tugas, fungsi, dan wewenang. Semua pihak harus menjunjung
tinggi hukum tanpa kecuali.
Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:
(1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(2) Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain yang
tidak memihak;
(3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Menurut Friedrich Julius Stahl,37 suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
(1) Negara hukum itu tidak hanya negara yang mempertahankan tata hukum
semata;
(2) Negara hukum itu bukan hanya melindungi hak-hak asasi manusia secara statis;
(3) Negara hukum mempunyai cara dan watak yang dinamis, yang mengatur jalan
dan batas-batas kegiatannya;
(4) Dinamika dan kegiatan dari negara hukum mengarah kepada tujuan tertentu,
yaitu menetapkan secermat-cermatnya dan menjamin sekuat-kuatnya
lingkungan kebebasan warga negara menurut cara hukum; dan
(5) Tugas kesusilaan negara hukum tidak boleh bersifat campur tangan secara etika,
secara akhlak dalam suasana hak dan kebebasan warga negara.
37 Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hlm. 24.
38 Mahfud, Moh, MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 27.
Dalam suatu negara hukum perlu ditegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya aparat penegak hukum, salah satunya
adalah polisi. Polisi secara yuridis, dapat mengambil alih tugas/fungsi negara sebagai
pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri dan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Negara kesejahteraan yang merupakan pengembangan dari ide negara hukum,
yang oleh Kant dimanfaatkan sekadar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban
di masyarakat (rust en orde). Tidak heran jika ide Kant yang dikenal dengan nama
negara penjaga malam (nachtwakerstaat), yang dalam mencapai kesejahteraan
diserahkan kepada warga masing-masing sesuai dengan prinsip liberalisme (sempit)
dengan persaingan bebasnya.
Menurut Soekanto,42 suatu negara yang menganut konsepsi negara kesejahteraan
(welfare state/social service) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politica dipandang tidak prinsipil lagi.
Pertimbangan efisiensi kerja lebih dipentingkan daripada pertimbangan dari
sudut politis, sehingga perasaan organ-organ eksekutif lebih penting daripada
organ legislatif;
(2) Peranan negara tidak hanya terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban
belaka, akan tetapi perlu adanya upaya aktif negara di dalam penyelenggaraan
kepentingan masyarakat di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga
perencanaan merupakan sarana yang penting;
(3) Negara kesejahteraan (welfare state/social service) merupakan negara hukum
materiil yang mementingkan keadilan sosial material dan bukan persamaan
yang bersifat formal semata-mata;
(4) Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, maka di dalam suatu negara
39 Freies ermessen adalah istilah hukum Jerman, sedangkan Pouvoir discretionnaire adalah istilah hukum Perancis
40 Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FMPM Unpad, Bandung, 1960, hlm. 21.
41 Sri Soemantri M, Loc. Cit. Hlm. 29-30
42 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas
Indonesia, Jakarta,1976, hlm.54.
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 27
kesejahteraan, hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak mutlak, akan tetapi hak
tersebut dipandang mempunyai fungsi sosial yang berarti adanya batas di dalam
kebebasan penggunaannya; dan
(5) Terdapat kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan
semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh semakin
luasnya peranan negara di dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.
Konsepsi negara kesejahteraan yang telah disebutkan di atas memberikan
tanggung jawab yang tidak ringan kepada negara untuk dapat melaksanakannya. Di
samping adanya kewajiban negara untuk dapat menegakkan hukum dan menjaga
keamanan dan ketertiban, negara juga harus berperan aktif dalam mewujudkan
kesejahteraan dalam bidang ekonomi, keadilan sosial, dan budaya. Terwujudnya
kesejahteraan rakyat merupakan tugas pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk
pembangunan. Salah satu syarat terlaksananya pembangunan adalah keadaan
aman dan tertib (adanya stabilitas keamanan). Mewujudkan stabilitas keamanan
merupakan fungsi lainnya yang diemban oleh pemerintah, yang didelegasikan
kepada alat negara, yang dalam hal ini adalah polisi.
Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :
“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial...”
43 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai pustaka,
Jakarta, Edisi kedua, 1991, hlm.521.
44 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10.
45 Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan
Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29.
46 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2 Tahun V, Edisi Mei
1987, hlm. 23.
47 Sri Soemantri M, Op.cit, hlm.51
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 29
(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
mendasar.
48 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
49 Dahlan Thaib, at all, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
50 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 16.
Dengan trias politica ini diartikan bahwa kekuasaan seluruhnya yang ada dalam
negara itu harus habis dibagi antara ketiga kekuasaan di atas. Pembagian seperti ini
biasa juga disebut separation of powers. Dalam bentuk negara seperti ini umumnya
kekuasaan tertinggi ada pada parlemen (legislatif ) yang disebut pula dengan
overwicht van het parlemen. Dalam keadaan seperti ini raja/presiden (eksekutif ) hanya
sebagai pelaksana produk-produk (undang-undang) yang dihasilkan oleh legislatif.
Keadaan ini makin lama makin kurang serasi karena sewaktu-waktu pemerintah
bisa jatuh atau pemerintah sangat tergantung pada kebijakan parlemen (legislatif ).
Oleh karena itu, mulailah dicari pengertian lain dari trias politica yang tetap menjamin
kebebasan politik dan adanya checks and balance antara kekuasaan yang ada dalam
negara. Jadi, muncullah pengertian baru trias politica yang tergantung dari keadaan
negara masing-masing yang biasa disebut pemisahan kekuasaan (division of powers).
Dalam pembagian kekuasaan dimaksudkan bahwa untuk melaksanakan suatu
tugas tertentu tidak perlu satu organ saja, tetapi dapat ditambah dengan organ
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 31
lainnya. Di sini kekuasaan yang ada di dalam negara itu tetap dibagi atas tiga
kekuasaan, yaitu :
(1) membuat Undang-undang;
(2) melaksanakan Undang-undang; dan
(3) mengawasi pelaksanaan Undang-undang.
Badan atau lembaga yang melaksanakannya tidak perlu hanya oleh satu badan
tiap kekuasaan, bisa bersama-sama dengan badan/lembaga lain. Misalnya untuk
tugas membuat undang-undang di Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Presiden.52 Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menganut
ajaran pemisahan kekuasan (ajaran trias politica murni), tetapi menganut pembagian
kekuasaan.
Salah satu pembagian kekuasaan itu adalah fungsi eksekutif. Di Indonesia,
presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan undang-undang dan mengupayakan pembangunan
nasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, terutama dalam menyukseskan
pembangunan, presiden dibantu oleh wakil presiden, menteri-menteri dan pejabat
pemerintah setingkat menteri. Salah satu pejabat pemerintah setingkat menteri
adalah kapolri yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
Polri yang berada di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung
kepada presiden merupakan alat negara yang mempunyai tugas khusus. Tugas khusus
yang dimaksud adalah menciptakan suasana aman, tertib, damai, dan menegakkan
hukum. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Polri diberi kewenangan, baik secara
konstitusional maupun yuridis. Karena merupakan bahagian dari fungsi eksekutif,
dalam hal kebijakan, pembinaan, pengawasan, dan operasional kepolisian harus
sesuai dengan kebijakan pemerintah (presiden).
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara maksimal dan optimal,
Polri harus diberikan kedudukan sebagai suatu lembaga khusus pemerintah yang mandiri
dan otonom. Karena lembaga khusus pemerintah, maka dalam hal pengangkatan dan
pemberhentian pimpinan Polri (Kapolri) harus diserahkan sepenuhnya pada kebijakan
presiden, sebab, hal itu merupakan hak prerogatif presiden.
52 Pasal 5 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa : “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Istilah polisi dipakai untuk menyebut bagian dari pemerintahan dan masih dalam
arti yang luas, yang meliputi semua pemeliharaan objek-objek kemakmuran dan
kesejahteraan. Dengan perkataan lain, urusan polisi adalah urusan pemerintahan
yang tidak termasuk dalam keempat bagian lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta dinyatakan
bahwa istilah polisi berarti :
“1. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum, 2. pegawai negeri yang
bertugas menjaga keamanan”.54
Di dalam Encyclopaedia of Social Sciences disebutkan pengertian polisi adalah
sebagai berikut:
“The term police in its early definitions has covered a wide range of functions. It has
been employed to described various aspects of the control of public sanitation;
it has had a highly special meaning with respect to the suppression of political
offences; and at times it has been expanded to cover pratically all form of public
regulation and domestic order. Now, however, it is used primarily with reference
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 33
to the maintenance of public order and the protection of person and property
from the commission of unlawful acts”.55
Artinya adalah bahwa istilah polisi yang sekarang lazim dipergunakan diartikan
sebagai pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta
miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya
atau gangguan umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Pengertian
sebelumnya meliputi pula kegiatan-kegiatan seperti perataan jalan-jalan dan
penerangan, pembersihan jalan dan kesehatan seperti juga halnya dipergunakan
cukup luas, yang meliputi seluruh bidang kebijaksanaan pemerintahan dalam negeri.
Arti politie yang dikemukakan oleh Vollenhoven dalam ajaran caturpraja berbunyi:
Onder politie vallen de regeeringorganen, die bevoegd en gehouden zijn om
58 Memet Tanumidjaja, Perlukah Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam Negara Kesatuan RI, Majalah
Bhayangkara No. 2-3, Tahun I, September-Oktober 1950, hlm. 46.
59 Abdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994, hlm. 43.
60 Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Gramedia Jakarta, 1996, hlm. 1
Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas 35
hukum dan mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam
melaksanakan fungsi tersebut, polisi bertindak sebagai pelayan, pengayom, dan
pelindung masyarakat. Polisi sebagai bagian dari masyarakat sipil (civillian society)
memegang tanggung jawab penuh atas keselamatan dan keamanan masyarakat.
Segala urusan yang menyangkut keamanan dalam negeri merupakan urusan dan
kewenangan polisi.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 37
dipisahkan kembali seperti pada jaman Hindia Belanda, yakni kejaksaan berada di
bawah departemen kehakiman dan kepolisian berada di bawah departemen dalam
negeri.
Pada tanggal 25 Juni 1946, pemerintah mengeluarkan Ketetapan No. 11/SD/1946
yang isinya menyatakan bahwa jawatan kepolisian negara dikeluarkan dari struktur
organisasi departemen dalam negeri. Selanjutnya organisasi kepolisian dan kepala
kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada perdana menteri. Ketetapan itu mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946,
yang kemudian dikenal dan diperingati sebagai Hari Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau biasa disebut sebagai hari bhayangkara.
Pada bulan September 1946, berdasarkan penetapan Dewan Pertahanan Negara
No. 49, Polri dinyatakan mempunyai kedudukan sebagai tentara. Sejak saat itu segala
pemeliharaan kesatuan Polri menjadi tanggung jawab kementerian pertahanan.
Pada jaman Republik Indonesia Serikat (RIS), organisasi Polri pun terpecah
menjadi Kepolisian Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas: Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Indonesia Timur, dan Kepolisian Negara
Sumatera Timur. Akan tetapi, ketika NKRI terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950,
tempat wilayah kepolisian itu kembali dalam satu wadah Polri dan berpusat di Jakarta.
Pada tanggal 1 Desember 1950 dibentuk polisi perairan yang berkembang
dalam struktur organisasi Polri. Pada saat itu jabatan Kapolri disebut menteri muda
kepolisian dengan susunan departemennya terdiri atas: pusat departemen kepolisian
dan membawahi lima direktorat dan sebuah biro.
Pada tahun 1960 keluar Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, yang isinya
menyatakan bahwa Polri di integrasikan dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), yang sejak itu telah disamakan statusnya sebagai bagian dari
angkatan perang yang telah ada sebelumnya, yaitu Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat (TNI-AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) dan
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Kemudian, Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengesahkan berlakunya Undang-undang Pokok
Kepolisian No. 13 Tahun 1961. Undang-undang ini mempertegas kedudukan Polri
sebagai salah satu unsur angkatan perang (unsur ABRI).
Pada tahun 1963 sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian diubah
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 290/1946, tanggal 12 September 1964, kembali dikukuhkan
Angkatan Kepolisian sebagai bagian dari ABRI. Selanjutnya dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 32/1967 tanggal 17 Agustus 1967 ditetapkan ABRI
sebagai bagian dari Departemen Pertahanan dan Keamanan yang meliputi Angkatan
Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Kepolisian (AK).
Masing-masing angkatan tersebut dipimpin oleh seorang panglima angkatan
dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)/
Panglima ABRI (Pangab). Tahun berikutnya sebutan Panglima Angkatan Kepolisian
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 39
keamanan negara, tentang keprajuritan, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1997
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Secara bertahap memisahkan sistem
dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dari sistem dan
penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional ABRI serta menempatkannya
pada departemen pertahanan keamanan.
Meskipun dalam beberapa kurun waktu, langkah-langkah pemisahan tersebut
telah berjalan demikian jauh dari segi yuridis. Status hukum personil dan kedudukan
secara organisatoris, Polri tetap merupakan prajurit dan merupakan bagian integral
dari organisasi ABRI, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini belum diubah/diperbarui. Namun demikian, langkah-langkah kebijakan tersebut,
secara sosiologis, di samping filosofis, pada umumnya disambut dengan baik oleh
Polri sendiri maupun masyarakat dan bangsa Indonesia.
Salah satu pertimbangan yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari
ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian (Polri) dengan fungsi militer (TNI). Dilihat
dari segi tujuan, fungsi militer ditujukan untuk menjaga keselamatan, keutuhan,
dan kedaulatan negara, sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin
ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat kepada hukum.
Dari segi objek fungsi militer ditujukan untuk pengamanan negara/bangsa,
sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk pengamanan individu/ masyarakat/
pemerintah. Objek penindakan militer adalah ancaman dan musuh dari luar
negeri maupun dari dalam negeri, sedangkan objek penindakan kepolisian adalah
pelanggar hukum. Dalam tugas sehari-harinya, kepolisian berupaya untuk membina
keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum, sementara militer
menyelenggarakan pertahanan negara.
Suatu hal yang paling mendasar dan sangat membedakan kedua jenis pekerjaan
tersebut terletak pada falsafah pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan
pekerjaan militer, kewenangan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan
ancaman terhadap keselamatan dan kedaulatan negara betapapun kecilnya, pada
dasarnya berada pada Kepala Negara yang kemudian didelegasikan secara berjenjang
ke bawah. Sebaliknya, dalam pekerjaan kepolisian, kewenangan pengambilan
keputusan yang berkenaan dengan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban
masyarakat berapa pun besarnya berada pada individu polisi, walaupun dalam situasi
tertentu secara berjenjang perlu ditarik ke atas (melaporkan dan menerima perintah
pimpinan).
Perbedaan ini membawa konsekuensi bahwa anggota militer pada dasarnya
adalah pelaksana keputusan yang diambil oleh atasannya, sedangkan kepolisian
pada prinsipnya adalah pengambil keputusan. Dengan beratnya tuntutan tugas di
lapangan, seorang polisi dituntut harus selalu tampil siap dan profesional.
Dalam konteks reformasi yang diperjuangkan bangsa Indonesia dewasa ini
pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan Polri dari ABRI adalah
bahwa peranan dan fungsi antara polisi dan militer adalah berbeda, di samping
Negara adalah organisasi kekuasaan. Hal ini disebabkan setiap negara terdapat
pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada
dalam infrastruktur politik.
Kekuasaan sendiri adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak
kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Bahwa
konstitusi diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat dari
materi muatan yang selalu terdapat dalam setiap konstitusi yaitu:
(1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar; dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaran yang mendasar.
Dengan demikian, pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi
mempunyai arti membatasi kekuasaan dalam negara. Dengan perkataan lain,
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 41
adanya pengakuan tersebut berarti pihak yang berkuasa dalam negara tidak dapat
sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kerangka negara hukum
inilah keberadaan Polri sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum,
pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan
kepastian hukum dan keadilan serta keamanan dalam negeri menjalankan fungsinya.
Namun demikian, perjalanan sejarah Polri telah mengalami beberapa kali
perubahan baik dalam fungsi, tugas maupun peranannya, yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Sejak dulu polisi merupakan bagian dari pasukan bersenjata, khususnya dalam
perang kemerdekaan. Polri dianggap sebagai bagian dari kekuatan bersenjata dalam
revolusi fisik dalam rangka menegakkan dan membela NKRI. Kemudian, berdampak
timbulnya budaya yang mengarah pada militeristik di lingkungan polisi;
(2) Sejarah perjalanan Polri selama lebih dari 57 tahun merupakan refleksi konfigurasi
politik Pemerintahan Negara Republik Indonesia, demikian pula keberadaan
Polri yang terintegrasi di ABRI untuk menghindari upaya perpecahan di Kesatuan
Republik Indonesia oleh kekuatan-kekuatan politik untuk kepentingannya
walaupun hal ini tidak dapat dipertahankan selamanya;
(3) Keberadaan Polri dalam lingkungan ABRI telah berdampak negatif terhadap
efektifitas pelaksanaan tugas pokok, fungsi, dan peran Polri sehingga tidak
mampu secara maksimal mengembangkan diri melaksanakan misinya;
(4) Angkatan Perang (TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL) yang seharusnya menitik beratkan
pelaksanaan tugasnya pada kemampuan sistem teknologi persenjataan, tidak
akan efektif dalam melaksanakan tugasnya apabila harus membagi konsentrasi
kekuatan dan kemampuannya dengan tugas di bidang kepolisian. Hal ini
didasarkan pada kenyataan adanya perbedaan yang hakiki antara dunia polisi
dan dunia militer;
(5) Adanya legitimasi peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan
Polri dalam lingkungan ABRI, ternyata tidak berdampak positif bagi meningkatnya
kinerja Polri selama ini;
(6) Kepolisian secara universal pada umumnya menganut pola yang hampir sama
yaitu mengarah kepada National Police System yang merupakan bagian dari
fungsi pemerintahan dan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Karena
itu, perlu adanya identifikasi kembali terhadap kedudukan Polri dari aspek hukum
tata negara;
(7) Di dalam penjelasan tentang pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945,
terdapat kata melindungi yang sesungguhnya mempunyai dua makna yaitu :
melindungi masyarakat dan melindungi kedaulatan negara; dan
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa polisi mempunyai sifat
internasional yang tidak dipunyai oleh angkatan perang lain.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 43
3.4 Tugas dan Wewenang POLRI
Menurut Poerwadarminta,62 tugas diartikan : pertama, sebagai sesuatu yang
wajib dilaksanakan atau yang ditentukan untuk dilaksanakan, kedua perintah untuk
melakukan sesuatu, dan ketiga fungsi atau jabatan. Yang dimaksud dengan fungsi
menurut Logeman63 adalah suatu lingkungan pekerjaan tertentu yang diadakan dan
dilakukan guna kepentingan negara. Jadi, setiap fungsi adalah lingkungan pekerjaan
tertentu yang bersifat tetap dalam hubungan dengan keseluruhan negara. Adapun
yang dimaksud dengan lingkungan pekerjaan tertentu menurut Utrecht64 adalah
suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan
tepat dan teliti (zoveel mogelijk nauwkurig omschreven) yang bersifat duurzaam, yang
berarti tidak dapat diubah dengan begitu saja.
Dasar pelaksanaan tugas Polri di Indonesia adalah Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 yang menyebutkan : “...kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
segenap tumpah darah Indonesia...”.
Amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut mengandung makna bahwa untuk
membentuk suatu negara diperlukan suatu organisasi negara yang disebut
pemerintahan. Dalam tugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tugas Negara Indonesia yang di
dalamnya berkaitan dengan keberadaan polisi negara bersama-sama dengan
komponen bangsa yang lain.
Polri sebagai salah satu komponen bangsa yang berperan sebagai penegak
hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order), pengayom, pelindung dan
pelayan masayarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri (Kamdagri).
Diketahui bahwa dalam struktur pemerintahan ada 2 (dua) unsur penting yaitu supra
struktur dan infra struktur (pendukung pemerintahan atau disebut juga struktur
administrasi negara) yang didalamnya terdapat organisasi Polri yang mempunyai
tugas utama menjaga keamanan negara.
Jika ditinjau sacara universal, tugas-tugas kepolisian yang dilakukan oleh
negara-negara di dunia ada batasan-batasan pelaksanaan tugas kepolisian secara
umum. Batasan-batasan tugas kepolisian pernah disampaikan pada kongres ke-8
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada acara pencegahan kejahatan dan perlakuan
terhadap tertuduh. Dalam Kongres tersebut telah ditentukan kriteria tugas kepolisian
yang berlaku secara universal, antara lain:
(1) Penyusunan tugas secara birokrasi dengan penekanan pada jalur perintah dan
pengawasan tugas,
(2) Kewenangan kepolisian bersumber pada undang-undang dan kewajibannya
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 45
(3) Azas Preventif (Asas Pencegahan)
Azas ini merupakan azas yang sangat terkenal, bukan saja digunakan oleh
kepolisian tetapi juga digunakan dalam ilmu kedokteran. Sedangkan di Inggris azas
ini disebut azas “The Nine Principles of The English Police”, bahwa penyelesaian perkara
tidak diukur dari jumlahnya, akan tetapi dibuktikan dengan tidak terjadinya kejahatan
dan ketidak tertiban. Dengan demikian, pengukuran suatu wilayah dapat dilihat dari
tertib dan tidaknya suatu wilayah, karena penyelesaian perkara dalam pelaporannya
sering dimanipulasi (dark number).
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 47
Dasar filosofi Polri lainnya adalah doktrin Tata Tentaram Kerta Raharja, Tri Brata,
dan Catur Prasetya yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan
pelayanan, perlindungan masyarakat. Sifat doktrin kepolisian ini adalah dinamis
sehingga lebih diperlukan seni kreatifitas untuk memutuskan sendiri tanpa harus
menunggu perintah.
Dasar filosofi Polri tentu berbeda jauh dengan filosofi khas militer, yaitu : sapta
marga, sumpah prajurit, dan trilogi ABRI, yang menitik beratkan pada sifat-sifat
keprajuritan yang patuh dan taat pada pimpinan, sebagai perintah mutlak yang
tidak bisa dibantah karena merupakan kewenangan komando yang bersifat hierarki.
Dalam doktrin militer ini, kepentingan komando adalah di atas segala-galanya.
Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, pengambilan kebijaksanaan organisasi
sesuai dengan kewenangannya dirasakan sangat lambat serta kurang adanya
kepastian, karena setiap keputusan harus melalui Mabes Polri yang cenderung
birokratis. Di samping itu sering kebijaksanaan dan kepentingan Polri lebih banyak
terpinggirkan, karena Mabes Polri lebih mengutamakan misi ABRI/ TNI). Sebagai
contoh adalah kebijakan Pengamanan Langsung (Pamsung) dan Pengamanan Tidak
Langsung (Pamtaksung) pada masa Pemilihan Umum (Pemilu), kebijakan operasi
gabungan, kebijakan misi keluar negeri baik yang menyangkut pendidikan ataupun
penugasan luar negeri (penugasan-penugasan PBB atau Internasional lainnya).
Melihat kewenangan yang begitu besar pada mabes ABRI terhadap kebijakan Polri,
sangat mempengaruhi kinerja Polri. Campur tangan organisasi lain di luar Polri
mengakibatkan kerugian pada kinerja dan citra Polri.
Aparat Polri yang selalu dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat
dengan berbagai permasalahannya secara komplek dituntut untuk segera mengambil
keputusan setiap saat. Dengan mengutamakan kemampuan individu yang disertai
dengan kewenangan diskresi yang melekat pada anggota Polri dan merupakan
pertanggung jawaban pribadi, namun dengan berlakunya pola kerja ABRI selama
ini (sebelum lahirnya UU No.2/2002) yang mengutamakan kepentingan kelompok,
tanggung jawab ada pada atasan sehingga anggota selalu menjadi ragu untuk
melakukan kewenangan diskresi, bahkan bisa dianggap salah bila tanpa adanya
perintah atasan, karena sesuai dengan motto militer yang menyatakan bahwa : “tidak
ada anak buah yang salah, sehingga komandanlah yang harus bertanggung jawab”.
Rumusan tugas pokok Polri, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 13
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
(2) menegakkan hukum, dan
(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan tugas pokok Polri yang terdapat dalam UU No. 2/2002, berbeda jauh
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1982 (telah dicabut dengan UU
No.3/2002 tentang Pertahanan Negara). Dalam UU No. 20/1982 disebutkan bahwa
Polri selain mengemban fungsi keamanan (Kamdagri) juga mengemban fungsi
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 49
dikoordinasikan oleh Polri dalam melaksanakan penyidikan ternyata tidak melalui
aparat Polri dan dapat diterima oleh penuntut umum proses pemeriksaannya. Kondisi
demikian apabila berlangsung secara terus menerus tanpa adanya koreksi dapat
mengakibatkan undang-undang tidak dapat berjalan dengan semestinya sehingga
dikhawatirkan akan mengurangi peran Polri pada masa yang akan datang sebagai
koordinator pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Tidak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap aparat penegak hukum untuk
melaksanakan hukum sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, menyebabkan
terjadinya pelecehan terhadap peran sesama atau antaraparat penegak hukum dan
dapat merusak sistem yang telah disepakati oleh wakil-wakil rakyat.
(a) Mentalitas
Diberikannya kewenangan yang sangat besar kepada Polri oleh pemerintah
dan Undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002), telah membawa dampak negatif pada
sikap mental aparat kepolisian yang cenderung arogan dan bersikap sebagai tuan
yang harus dilayani, bukannya sebagai alat negara yang melayani, mengayomi dan
melindungi masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya indikator :
67 Nur Rasyid, Wawancara, (staf ahli Menkeh dan Ham) Selasa, 9 Juli 2002, Jakarta.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 51
Selama ini sering terlihat dalam penampilan luar Polri dari postur tubuh dan
cara berpakaian, yang lebih menonjolkan sikap sebagai prajurit TNI yang terkesan
angker dan kaku, sehingga masyarakat menganggap bahwa Polri tidak menunjukkan
sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang ramah, sopan, santun, luwes dan
simpatik. Padahal, pada hakikatnya postur dan penampilan Polri adalah ditujukan
sebagai pelayanan masyarakat dan bukan sebagai prajurit yang berhadapan dengan
musuh yang harus dibunuh. Kesan demikian menjadikan masyarakat akan menjauh
dan membuat masyarakat enggan untuk berurusan dengan polisi.
Kerapian berpakaian anggota Polri juga merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan sebagai bagian dari unsur pelayanan. Kadang kala, masyarakat menjadi
enggan untuk berurusan dengan Polisi yang kelihatan kumuh, tidak rapi dan terkesan
urakan. Tidak jarang ditemui, petugas Polri di lapangan yang kurang memperhatikan
etika dan estetika dalam berpakaian. Hal ini kelihatan sepele tetapi cukup
menentukan. Jika dibandingkan penampilan petugas Polri yang ada di lapangan
dengan petugas Polri yang ada di kantoran (sebagai administrasi atau ajudan), akan
terlihat perbedaan yang kontras. Memang, tidak pantas menyalahkan petugas Polri
yang di lapangan semata karena medan tugas yang dihadapi jauh berbeda dengan
petugas yang hanya duduk di belakang meja.
69 Susanto, I.S, Hukum dan Demokrasi, Caraka Candi, Edisi September 2001, Dispen Polda Jawa Tengah, hlm. 28,
Semarang, 2001.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 53
(2) Sarana/prasarana
Pada hakikatnya sarana/prasarana adalah unsur pendukung keberhasilan tugas.
Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak mengalami hambatan dalam pengadaannya.
Salah satu faktor hambatan adalah dalam pelaksanaan sistem pengadaan sarana/
prasarana, khususnya perlengkapan yang terpusat di logistik mabes Polri. Di samping
itu, peralatan yang dibutuhkan untuk operasional Polri masih diwarnai oleh siapa
yang menyumbang dan belum didasarkan pada kebutuhan sistem peralatan yang
benar sehingga dengan cara pengadaan sarana/prasarana yang terpusat ditemui
barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan operasional Polri di lapangan. Di lain
pihak, pengadaan sarana/prasarana secara terpusat tidak efisien dan nonekonomis
karena banyak saran/prasarana yang mubazir serta apabila ada yang rusak sangat
sulit memperbaikinya, karena kelangkaan suku cadang atau tidak ada tempat/
bengkel untuk memperbaiki barang tersebut.
Kondisi sarana/prasarana Polri saat ini, jumlahnya sangat tidak memadai.
Secara kualitas dan kuantitas sarana/prasarana tersebut kurang dapat mendukung
operasional anggota di lapangan. Terkait dengan pengadaan sarana/prasarana
Polri, maka keperluan yang mendesak adalah sarana transportasi, komunikasi, dan
informasi untuk mendukung tugas-tugas Polri pada saat ini.
(3) Anggaran
Keberhasilan pelaksanaan tugas Polri sangat ditentukan oleh dukungan anggaran
yang memadai, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional. Akan tetapi,
kenyataannya dukungan untuk anggaran Polri sangat kecil misalnya dalam hal biaya
penyidikan hanya dapat terpenuhi 15-20 % dari kebutuhan ril. Dukungan anggaran
yang relatif kecil ini menimbulkan dampak, antara lain, hasil kerja yang dicapai tidak
optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas.
Pola anggaran yang diterapkan di organisasi Polri sering kali tidak melakukan
koordinasi dengan departemen lain, seperti departemen kehakiman dan ham dan
kejaksaan agung dalam hal penyediaan anggaran makan tahanan, departemen
kesehatan dalam hal visum et repertum, transportasi ambulance, dan mobil jenazah.
Sistem anggaran Pori yang masih menggunakan paradigma lama dengan
budget oriented system dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan sudah selayaknya
mengacu pada paradigma baru sistem anggaran Polri dengan melakukan program
oriented system. Budget oriented system adalah penyusunan anggaran yang mengacu
pada ketersediaan anggaran pada APBN yang diserahkan ke Mabes Polri. Kegiatan
operasional kepolisian dibatasi dengan jumlah atau ketersediaan anggaran, bahkan
tidak jarang dengan suatu indeks tertentu, anggota Polri harus dapat menyelesaikan
suatu tindak pidana. Begitu pula halnya dengan pimpinan Polri, baik di tingkat Polda,
Polwil, Polres maupun Polsek, yang harus mengirit dana dan menyusun kegiatan
sesuai dengan dana yang tersedia atau dana yang dijatahkan.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 55
timbulnya konflik bersenjata dengan negara lain, telah berpaling ke arah upaya
memacu pertumbuhan ekonomi domestik dan mulai merintis dan merealisasikan
kerjasama ekonomi global.
Kepentingan-kepentingan ekonomi tersebut ditandai dengan adanya indikasi
penyatuan mata uang eropa oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), AFTA, NAFTA,
APEC, G-8, G-14, GATT-WTO dan lainnya serta dibarengi dengan isu-isu yang kuat
di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, dan demokrasi. Hal ini
menempatkan politik penggunaan kekuatan bersenjata diarahkan untuk membela,
melindungi, dan bahkan digunakan sebagai penekan kepentingan ekonomi,
kelestarian lingkungan hidup, kehidupan demokrasi, dan HAM.
Bagi negara-negara berkembang yang masih mencari kemampuan bersenjata
mengalami tekanan-tekanan dari pengaruh global tersebut dengan resiko tertinggi
adalah terpecahnya negara-negara berkembang menjadi negara-negara otonom
berdasarkan etnis. Tumbuhnya negara-negara yang berdasarkan etnis tadi belum
mampu diimbangi dengan kekuatan dan kemampuan ekonomi sendiri yang akhirnya
akan bergantung pada negara adidaya dalam bidang ekonomi.
Situasi di atas akan menimbulkan konflik kepentingan antarnegara maju dalam
perebutan pengaruh atas penguasaan sumber daya alam, pasar, penguasaan
tehnologi, dan ketimpangan sistem moneter. Di samping itu, akan terjadi pula
konflik kepentingan antarnegara maju dan negara berkembang karena masalah
perdagangan, hutang, dan pembayarannya, dan alih tehnologi serta perbedaan
pengertian demokrasi dan HAM. Konflik kepentingan antarnegara berkembang yang
banyak disebabkan oleh masalah perbedaan suku, ras, warna kulit, dan agama.
Adanya kecenderungan konflik antarnegara akibat adanya perbedaan
kepentingan masing-masing negara dapat menimbulkan benturan kepentingan
sehingga dapat berkembang menjadi konflik terbuka dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, dan sosial budaya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang semakin pesat, terutama
pada tehnologi komunikasai dan transportasi, menyebabkan isu-isu global, baik itu
masalah HAM, demokrasi, ekonomi, hukum, maupun politik menyebar makin cepat
dan menerpa pada berbagai tataran di berbagai negara di belahan dunia.
Isu demokrasi, HAM dan lingkungan hidup serta keterbukaan yang semula diterima
secara hati-hati dengan alasan perbedaan budaya dan stabilitas, pada akhirnya dapat
diterima sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan tingkah laku masyarakat. Perubahan-perubahan isu global
tersebut disatu sisi akan mengarah pada tingkat perbaikan kualitas kehidupan, namun
disisi lain akan menyebabkan semakin tingginya bentuk gangguan kamtibmas dan
modus operandi kejahatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Terus meningkatnya penduduk dunia akan menimbulkan kerusakan lingkungan
yang mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan sebagai sumber daya
alam, ini berarti juga langkanya bahan pangan yang mampu disiapkan termasuk
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 57
Israel yang tidak kunjung selesai karena adanya dukungan Amerika Serikat terhadap
Israel yang merugikan Palestina akan dapat berkembang menjadi konflik terbuka.
Konflik terbuka tidak hanya antara Israel dan Palestina, tetapi bisa meluas dengan
terlibatnya Amerika Serikat dan negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Kuwait,
Arab Saudi, bahkan bisa meluas ke negara-negara muslim di seluruh belahan dunia.
Perjuangan Irak untuk melepaskan tekanan dari sanksi PBB masih akan memerlukan
waktu yang panjang yang dapat membangkitkan solidaritas masyarakat muslim
untuk membantu Irak. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk secara arif dan
bijaksana dari setiap negara di dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia.
Konflik yang terjadi pada kawasan regional juga akan sangat mempengaruhi
kestabilan keamanan di dalam negeri Indonesia karena banyaknya konflik regional
yang dapat menciptakan konflik internal, sekurang-kurangnya antara masyarakat
pengunjuk rasa dan aparat kepolisian ketika demonstrasi terjadi. Peran pemerintah
Indonesia dalam menyikapi perkembangan lingkungan strategis sangat membantu
peran Polri dalam menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dalam
kedudukannya sebagai alat negara.
(b) Demografi
Jumlah penduduk yang besar (lebih kurang 230 juta jiwa) dengan tingkat
pertumbuhan 1,6% per tahun merupakan peluang dalam menjadikan jumlah
penduduk sebagai aset dari pembangunan. Akan tetapi, penyebaran penduduk
yang belum merata dengan kualitas yang relatif rendah merupakan kerawanan
dan menjadi beban pembangunan. Dihadapkan pada dampak krisis ekonomi yang
belum terselesaikan akan berakibat pada bertambah tingginya angka pengangguran
maupun kelompok masyarakat di bawah garis kemungkinan.
Tidak seimbangnya jumlah penduduk dengan jumlah polisi akan menyulitkan
Polri melaksanakan fungsi penegakan hukum dan pewujud keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat. Untuk mengurangi Police Employee Rate yang begitu besar, sudah
sepatutnya jumlah personil Polri ditambah, sekurang-kurangnya agar mencapai ratio
ideal sesuai dengan standar kepolisian di negara-negara ASEAN yaitu 1 : 700.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 59
pemberian pinjaman atau penanaman investasi di Indonesia. Para investor asing dan
pihak pemberi pinjaman perlu mendapatkan jaminan stabilitas keamanan dan politik
di dalam negeri. Hal ini penting untuk kelancaran pembangunan di Indonesia dan
proses pengembalian pinjaman serta keuntungan dari investasi yang ditanamkan.
Jaminan stabilitas keamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri dan
menuntut Polri untuk bertindak secara profesional. Selanjutnya, polri juga dituntut
mampu mengerti dan memahami perjanjian internasional dan perlindungan
terhadap aset asing yang ditanamkan di Indonesia.
(d) Ideologi
Pancasila sebagai ideologi negara akan tetap dipertahankan dan UUD 1945
sebagai konstitusi negara akan terus di sempurnakan sesuai dengan tuntutan
masyarakat menuju masyarakat madani, adil, makmur, dan sejahtera.
Gangguan terhadap ideologi negara merupakan ancaman serius terhadap
keutuhan dan kedaulatan negara, dan sebagai tindakan preventif Polri harus
dapat dengan segera membaca tanda-tanda ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan terhadap ideologi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
(e) Politik
Tuntutan akan transparansi, penegakan HAM, dan demokrasi dibarengi dengan
gelombang reformasi dalam bidang politik mendorong tumbuhnya kelompok-
kelompok politik yang saling berlomba untuk tampil sebagai pucuk pimpinan
nasional. Perubahan paket peraturan perundang-undangan bidang politik akan lebih
memberikan peluang pada berbagai kekuatan untuk membentuk partai politik, yang
akan mengarah pada perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
Terhadap kekuatan politik TNI/Polri yang terdapat di Majelis Permusyawaratan
rakyat (MPR) dalam fraksi TNI/Polri juga terjadi perubahan yang sangat signifikan,
bahwa berdampak pada dihilangkannya fraksi TNI/Polri tersebut di MPR. Adanya
wacana bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk ikut dalam pemilihan umum
merupakan fenomena politik yang berdampak besar terhadap sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Menurut penulis hak ikut memilih dan dipilih dalam pemilihan umum
bagi anggota Polri merupakan suatu kesempatan Polri secara lembaga atau individu
untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan politik. Dengan demikian,
sangat tidak tepat untuk tetap mempertahankan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
2 Tahun 2002.70
Konsekuensi bagi anggota Polri yang terpilih sebagai pengurus suatu partai
politik atau memegang jabatan politis adalah berhenti sementara dari tugas dan
fungsinya sebagai Polri, mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.71
70 Pasal 28 ayat (1) : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan Politik dan tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal 28 ayat (2) : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”
71 Lihat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002.
(f) Ekonomi
Krisis moneter yang melanda Indonesia dengan segala permasalahan yang
timbul sudah mengarah pada krisis kepercayaan terhadap berbagi kebijakan yang
diambil dalam bidang ekonomi. Gonta-ganti pimpinan tertinggi eksekutif (presiden)
dan pembantu-pembantunya, pergantian beberapa direktur Bank Indonesia (BI) dan
jatuh bangunnya tim-tim ekonomi membuat Indonesia semakin kepayahan dalam
menata kembali sistem perekonomiannya.
Gelombang reformasi ekonomi yang dituntut mahasiswa dan para pakar
ekonomi menjadikan kondisi perekonomian Indonesia lebih terpuruk ke dalam
bidang ekonomi, baik makro maupun mikro yang sangat memprihatinkan.
Pembangunan yang selama ini dilaksanakan telah porak poranda, bahkan secara
tragis menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk yang mengalami dampak
krisis moneter dari beberapa negara di Asia, khususnya di asia Tenggara. Meskipun
demikian, tingkat kebocoran dana APBN bisa mencapai 40 %, dan menambah prestasi
buruk Indonesia sebagai negara terkorup di dunia.
Kondisi seperti ini apabila tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan
sosial yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan sangat membahayakan stabilitas
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Keterpurukan ekonomi di Indonesia
secara perlahan atau drastis dapat meningkatkan angka tindak kriminal . Hal ini tentu
berimbas pada kesiapan Polri untuk menciptakan daya tangkal yang cepat, tepat,
dan efektif dalam mengatasi ganguan kamtibmas.
(h) Pertahanan
Urusan pertahanan negara menjadi tanggung jawab TNI sepenuhnya sesuai
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 61
dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 200272. Sejauh
ini belum ada ancaman perang yang serius dan terbuka yang dilancarkan pihak
asing terhadap Indonesia. TNI sebagai alat negara penjaga keutuhan dan kedaulatan
negara harus dapat memainkan peran sebagai benteng pertahanan negara dengan
peningkatan profesionalisme prajurit (militer), dan tidak ikut campur dalam bidang
yang di luar kewenangannya.
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina
kemampuan, daya tangkal negara, dan bangsa serta menangggulangi setiap
ancaman. Pemerintah berkewajiban mempersiapkan secara dini segala sesuatu yang
menyangkut sistem pertahanan negara, baik dengan menyediakan sarana/prasarana
seperti markas, persenjataan, alat komunikasi, maupun informasi.
Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan
TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan
komponen pendukung. Sebagai komponen utama, TNI harus profesional dan handal
dalam bertindak dan berbuat, karena yang dihadapi adalah ancaman dari luar.
Dengan demikian kecanggihan persenjataan dan peralatan perang/tempur harus
disediakan secara memadai. Lebih penting lagi adalah kemauan dari TNI untuk terus
mengasah keahlian dan keterampilan untuk menguasai teknologi persenjataan dan
harus meninggalkan keterlibatannya dalam politik dan pemerintahan atau yang
biasa disebut back to barac (kembali ke barak).
Polri adalah komponen cadangan yang harus siap sedia tampil bila diperlukan.
Untuk itu, kesiapan Polri juga tidak hanya terbatas pada masalah penegakan hukum
dan Kamtibmas tapi lebih jauh sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan negara lapis
kedua. Kembalinya TNI ke barak merupakan konsekuensi dari suatu negara modern
dan demokrasi, dan sedikit banyak membantu Polri untuk lebih mengembangkan
kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum
dan ketertiban dalam masyarakat (law and order) tanpa ada campur tangan dari pihak
mana pun, termasuk TNI.
(i) Keamanan
Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan
adalah suatu kondisi dinamis yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman
yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh masyarakat, yang memungkinkan
seluruh rakyat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tuntutan hidup masing-
masing dalam kehidupan sehari-hari yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat ditujukan kepada usaha
untuk mengembangkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersifat
swakarsa, dengan berintikan Polri sebagai alat negara penegak hukum yang mahir,
72 Pasal 10 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa : “Tentara Nasional
Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
73 Mabes Polri, Naskah Akademik RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1991.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 63
hak-hak orang lain yang secara substantif menyangkut masalah kemandirian lembaga
dalam menjalankan tugas pokoknya. Kemandirian lembaga penegak hukum itu,
terutama, berkaitan dengan aspek struktural, instrumental, dan kultural.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan era global yang telah mendorong
tumbuhnya hubungan antarnegara di berbagai bidang kehidupan, antara lain,
bidang perdagangan, pendidikan, komunikasi, transportasi, media informasi, serta
terjalinnya hubungan antara sentra-sentra kekuasaan yang memiliki kemampuan
ruang lingkup yang lebih luas, dituntut agar Polri secara kontinyu untuk meningkatkan
profesionalismenya.
Perkembangan itu mempengaruhi sistem pemerintahan sehingga apabila
semua kekuasaan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, kepentingan-kepentingan
yang melekat pada diri individu akan semakin berkurang dan individu-individu
tersebut akan berusaha merebut kembali hak-haknya. Sebagai antisipasi awal
untuk menghindari perebutan hak tersebut, harus ada pembatasan dan pembagian
kekuasaan. Dalam bidang penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, misalnya,
kekuasaan dan kewenangan untuk itu diberikan kepada Polri.
Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat
harus memahami secara bijak kondisi penegakan hukum saat ini. Hal ini berarti
bahwa Polri secara sadar mencari akar permasalahan untuk dapat dicarikan jalan
keluarnya. Sebagai konsekuensi lembaga yang mandiri dan profesional otonomi
penuh dalam pengambilan kebijakan sepanjang menyangkut masalah pelaksanaan
tugas harus diberikan kepada Polri. Terabaikannya otonomi Polri pada masa lalu telah
menimbulkan berbagai dampak yang merugikan kehidupan masyarakat.
Pembenahan secara struktural akan membawa Polri sebagai lembaga yang
benar-benar mandiri dan profesional yang dikuatkan dengan peraturan perundang-
undangan. Kemandirian Polri merupakan kegiatan penghubung untuk menentukan
orientasi budaya dan struktur organisasi. Di satu sisi, kemandirian Polri sangat
tergantung pada orientasi yang melekat pada kebijakan-kebijakan yang dibawa
oleh para pejabat Polri. Di sisi lain, derajat kemandirian Polri dipengaruhi oleh cara-
cara polisi menjalankan kegiatan-kegiatan regulatif dan kegiatan-kegiatan kolektif
maupun aspek-aspek fundamental organisasi.
Kemandirian Polri tidak dapat dilepaskan dengan usaha pemberdayaan
organisasi, yang penguatan lembaga Polri itu menyangkut juga keseimbangan
antarpengguna kekuasaan yang melekat dalam organisasi dengan kemungkinan-
kemungkinan ketimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketidakseimbangan
kekuasaan yang melekat pada organisasi Polri menyebabkan kemampuan dan kinerja
Polri tidak maksimal dapat dilakukan.
Pasal 8 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan bahwa Polri
berada di bawah Presiden. Kapolri adalah penanggung jawab pembinaan anggota
dan operasional kepolisian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dengan UU No. 2 tahun 2002, kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri karena telah
terpisah dari angkatan perang dan Departemen Pertahanan Keamanan. Akan tetapi,
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 65
Kedudukan Polri sebagai lembaga yang mandiri dan otonom juga akan
memudahkan Polri meningkatkan sumber daya manusianya melalui lembaga-
lembaga pendidikan luar negeri dan dalam negeri sesuai dengan kebutuhan
operasional kepolisian. Bantuan dari luar negeri pun akan mudah didapat. Selama
ini sebelum Polri mandiri bantuan dari luar negeri untuk pendidikan atau penugasan
Polri ke luar negeri sering dimanfaatkan oleh TNI sehingga pihak penyedia bantuan
luar negeri enggan mengikutsertakan Polri dalam pendidikan dan pelatihan yang
di biayai oleh luar negeri, misalnya Pendidikan dan pelatihan international police
(Interpol) yang meminta Polri mengirimkan 15 anggota terbaiknya (anggota Polri),
tetapi karena adanya intervensi dari pihak luar, yang dikirimkan adalah 15 orang
dengan rincian 9 Polri, 5 TNI-AD dan 1 TNI AL.75
Penyediaan sarana/prasarana Polri, seperti alat transportasi, alat komunikasi,
gedung perkantoran, asrama, dan alat khusus kepolisian dapat direncanakan dan
diatur secara lebih efisien dan efektif oleh Polri sendiri. Selama ini penyediaan
sarana/prasarana di atas didistribusikan dari perbekalan dan angkutan dari mabes
ABRI sehingga banyak sarana/prasarana yang tidak terpakai atau mubazir dan biaya
perawatan dan operasional yang tinggi.
75 Data Pengiriman Diklat Interpol ke Inggris, Dinas Infolahta Mabes Polri, Jakarta, 2000.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 67
oleh pejabat Depdagri. Di samping itu, mekanisme pertanggungjawaban dan
pelaporan akan mengalami kesulitan-kesulitan karena akan ada dualisme pimpinan
di tubuh Polri yaitu Kapolri dan Mendagri. Dari empat alternatif tersebut di atas, maka
yang paling menguntungkan bagi kemandirian dan profesionalisme Polri adalah
kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung.
76 Reiner and Robert, The Rise and The Fall of The Police Legitimacy, Wheatsheat Books Ltd, London, 1986, hlm. 48.
77 Friedmann, Robert, R, Community Policing Comporative Perspective and Prospects, Harnester Wheatsheef, London,
1992, hlm. 115.
78 Dudu Duswara Machmudin, Eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum dan
Pembinaan Keamanan Ketertiban Masyarakat Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997, Tesis, PPS Unpad,
Bandung, 1999, hlm. 153-154.
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 69
tetap dipertahankan di Inggris yang pada akhirnya berkembang menjadi kepolisian
metropolitan London.
Kepolisian Inggris sangat menjunjung tinggi hukum dalam melaksanakan
tugasnya. Mematuhi ketentuan hukum adalah segi utama dari polisi metropolitan.
Dalam melayani masyarakat, polisi Inggris sangat santun dan dapat menarik simpati
masyarakat, bahkan melakukan pemeriksaan yang sangat manusiawi terhadap
tersangka pelaku tindak pidana.
Pada tugas atau ronda yang berbahaya, anggota polisi yang dipilih khusus dapat
membawa pistol atau pedang pendek. Akan tetapi, setiap kali menggunakan atau
bahkan mencabut senjata itu diteliti dengan cermat dan bila tidak dapat dibenarkan
sebagai usaha untuk bela diri, ada kemungkinan tindakan itu akan berakhir dengan
pemecatan. Oleh karena itu, polisi Inggris lebih suka dan lebih bangga dengan
hanya bersenjatakan pentung polisi. Bila tidak terpaksa, pentung itu pun tak perlu
dikeluarkan dari sarungnya.
Gagasan “Bobby” (polisi) yang ramah disimpulkan untuk telinga orang modern
dengan kata-kata klise, “Kalau ingin mengetahui pukul berapa, tanyakan kepada
polisi”, karena unsur pelayanan yang diberikan oleh anggota polisi Inggris, tidak
mengherankan jika polisi Inggris dapat menjadi patokan dari polisi-polisi dari negara
lain. Polisi Inggris adalah salah satu dari polisi terbaik di dunia saat ini.
79 Norma, E.H., Japan’s Emergence as A Modern State, Institute of Pacific Relation, New York, 1940, hlm. 118.
80 Pada mulanya Biro itu pada tahun 1872 ditempatkan di bawah Kementerian Kehakiman, tetapi pada tahun 1874
dipindahkan ke Kementerian Dalam Negeri.
Personil polisi Jepang yang ditempatkan dalam satu prefektur rata-rata adalah
5000 perwira dan mengayomi lebih kurang 2,5 juta penduduk. Untuk mencapai
Police Employee Rate, Jepang dapat dikategorikan ideal yakni 1: 500.
Di Jepang, pejabat-pejabat Polisi tidak langsung bertanggung jawab kepada
politisi dan memang belum pernah. Sejak Jaman Restorasi Meiji sampai tahun 1945
pengawasan langsung terhadap polisi dilakukan oleh kaum birokrat. Kepala polisi
prefektur melapor kepada gubernur yang diangkat oleh pemerintah pusat. Masalah
kepolisian nasional dikoordinasikan melalui kementerian dalam negeri. Satu-satunya
politisi yang terlibat adalah Menteri Dalam Negeri.
Operasional kepolisian di Jepang didasarkan sistem yang khas, terdiri dari pos-
pos yang tetap. Ada dua macam, yakni Koban di daerah perkotaan dan Chuzaisho
di daerah pedesaan. Pada setiap giliran, petugas di Koban juga berganti. Petugas
ini melaporkan tugasnya di pos polisi dan kemudian menyebar ke koban-koban.
Chuzaisho ialah pos di daerah hunian, dijaga selama 24 jam oleh seorang perwira,
kadang-kadang oleh dua orang, yang tinggal bersama keluarganya di sekitar pos
tersebut.
Koban hampir terlihat di mana-mana dan tidak ada dua koban yang sama secara
fisik. Satu-satunya ciri yang dimiliki semua koban adalah lampu merah seperti bola
dunia yang tergantung di pintu depan dan menyala di malam hari, disertai poster
orang-orang buronan yang ditempelkan di papan pengumuman di dinding depan,
dan dinding-dinding yang bercat abu-abu pudar. Chuzaisho tampak seperti rumah
Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif
tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 71
biasa, beberapa chuzaisho dibangun menyerupai pondok-pondok di pegunungan
dengan bubungan atapnya yang runcing.
Terdapat kira-kira 5.800 koban dan lebih dari 10.000 chuzaisho di Jepang.
Walaupun chuzaisho hampir dua kali lipat koban, tetapi koban merupakan pos yang
lebih penting karena hampir empat per lima penduduk Jepang tinggal di daerah
perkotaan. Koban itu lebih dari sekadar sumber bantuan darurat. Ia merupakan sarana
pelayanan masyarakat. Para perwira koban merupakan garis depan satuan polisi
dalam memberi bantuan. Merekalah yang pertama-tama tiba di tempat keadaan
darurat. Mereka mendapat kesempatan pertama untuk menangkap tersangka yang
melakukan kejahatan, dan memiliki tanggung jawab terbesar untuk mencegah
terjadinya kekerasan.
Koban berada di bawah komando pos polisi. Pos merupakan tempat para perwira
melapor untuk bertugas, menyimpan perlengkapan, berlatih, mengirim tersangka,
memperoleh keterangan, dan kadang-kadang tempat makan dan tidur. Pos-pos
diorganisasi dalam seksi-seksi menurut sifat pekerjaan yang dilakukan seperti patroli,
pengaturan lalu lintas, pencegahan kejahatan, penyidikan kejahatan, keamanan, dan
administrasi. Pos polisi ada di bawah pengawasan markas besar prefektur. Prefektur
adalah tingkat tertinggi yang memberi perintah atas operasi dari hari ke hari.81
Pada dasarnya, baik, kepolisian Inggris dan Jepang adalah berada di bawah
Departemen Dalam Negeri yang bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri
sebagai pengambil kebijakan, sedangkan kepolisian Indonesia (Polri) berada di
bawah Presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan pengambil keputusan serta kebijakan
Polri. Kepolisian Inggris, Jepang dan Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang
tunduk pada kekuasaan eksekutif (Presiden atau Perdana Menteri).
81 Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 9 -10.
Demikian pula yang disebutkan dalam berbagai literatur hukum tata negara
maupun ilmu politik tentang ruang lingkup paham konstitusi yang terdiri atas:
(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik tunduk pada hukum);
(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan
(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan.84
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 73
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya, pemerintah dan masyarakat
harus berdasarkan hukum. Untuk itu diadakan lembaga penegak hukum, yang salah
satunya adalah lembaga Polri. Sebagai dasar kewenangan secara konstitusional
terhadap Polri dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum maka harus diatur
kedudukan, fungsi dan kewenangan Polri dalam UUD 1945.
Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan kedua menyebutkan bahwa:
“Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
85 Menurut ajaran Tripraja, pemerintahan dalam arti sempit hanya terdiri atas satu kekuasaan saja, yaitu kekuasaan
eksekutif. Pemerintahan dalam arti sempit terdiri dari Presiden ,Wakil Presiden, dan Menteri-menteri.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 75
(3) Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan,
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia harus bekerja
sama dan saling membantu.
TNI dan Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari fungsi eksekutif,
baik panglima TNI maupun kapolri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi (panglima tertinggi
angkatan perang/TNI dan kepala kepolisian tertinggi/polisi pemuncak).86
Segala kebijakan, baik yang menyangkut pembinaan maupun operasional
ditentukan presiden. Adanya campur tangan lembaga lain di luar kekuasaan eksekutif
adalah bentuk intervensi yang dapat menghalangi kemandirian dan profesionalisme
prajurit TNI dan anggota Polri.
Pada ketentuan menimbang huruf (e) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000
disebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat diperlukan aparat keamanan
dan ketertiban yang memberikan perlindungan dan penegakan hukum berupa
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut pada huruf (g) TAP MPR No. VII/
MPR/2000 disebutkan bahwa telah dilakukan pemisahan secara kelembagaan yang
setara antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adanya aparat keamanan dan ketertiban yang memberikan perlindungan,
pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam suatu negara adalah suatu
keharusan. Ini bermakna bahwa setiap negara yang modern dan menghargai HAM
harus memberikan perlindungan, kenyamanan, ketertiban, dan ketenteraman
kepada warga negaranya dengan mengadakan suatu alat negara yang berperan dan
berfungsi khusus untuk itu.
Adanya pemisahan secara kelembagaan yang setara antara TNI dan
Polri memberikan kewenangan penuh pada masing-masing pihak untuk
dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dalam rangka mewujudkan
profesionalismenya. Kesetaraan secara kelembagaan antara TNI dan Polri membawa
konsekuensi bahwa jabatan panglima TNI dan kapolri adalah sederajat sehingga
antara yang satu dan lainnya tidak bisa saling perintah atau saling menjatuhi.
Menurut Soeprapto,87 ada tiga pejabat setingkat menteri yang membantu
presiden sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara yaitu:
(1) Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
(2) Jaksa Agung Republik Indonesia; dan
(3) Gubernur Bank Indonesia..
Seiring dengan adanya perubahan Undang Undang Dasar 1945 dan adanya
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 serta lahirnya
Dalam kenyataannya, kesetaraan antara TNI dan Polri hanya dapat dipahami dan
diterima oleh sebagian pihak saja. Ketidakrelaan TNI disetarakan dengan Polri dapat
dilihat dari adanya tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan pembinaan
personil yang seolah-olah menempatkan anggota Polri sebagai bawahan. Sering
ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari, adanya oknum-oknum TNI yang sengaja
melanggar aturan lalu lintas atau tidak mau berhenti ketika adanya razia lalu lintas
walaupun diberhentikan oleh polisi lalu lintas karena yang bersangkutan tidak
menggunakan helm.
Masih adanya sebagian anggota TNI yang menjadi pelindung bandar narkoba,
prostitusi, perjudian, dan masih arogannya oknum TNI di lapangan menunjukkan
kekurangikhlasan TNI dalam memposisikan Polri sebagai teman dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini diperburuk oleh sikap sebagian besar anggota
Polri yang berperilaku menyimpang dan kurang profesional dalam menindak setiap
pelanggar atau pelaku tindak pidana, termasuk prajurit TNI, walaupun ada mekanisme
penyerahan kepada polisi militer.
Penegasan tentang peran Polri sebagai alat negara penegak hukum dan
kamtibmas diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) TAP MPRRI No. VII/MPR/2000
yang menyatakan :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
(2) Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 77
kolektif yang dapat menunjang pelaksanaan dan keberhasilan tugas. Negara, dalam
hal ini Pemerintah (Presiden), wajib menyediakan sarana/prasarana yang cukup dan
memadai untuk mewujudkan profesionalisme Polri.
Sebagai salah satu penegak hukum yang mendapatkan mandat untuk
memobilitaskan sosialisasi hukum adalah polisi. Polisi didaulat oleh negara sebagai
agen yang bertugas mengawinkan dirinya dengan masyarakat, dengan maharnya
hukum. Polri dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjunjung tinggi hukum
dan hak asasi manusia serta mempunyai tugas mengusahakan ketaatan warga
negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.88
Kedudukan Polri di bawah Presiden sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 7 ayat (2) Tap MPR No. VII/MPR/2000 memberikan makna bahwa Polri adalah
lembaga khusus pemerintah yang diberi wewenang secara yuridis konstitusional
untuk melaksanakan penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tanpa
adanya halangan dari lembaga mana pun.
Polri sebagai institusi dan organisasi yang menjalankan fungsi alat negara harus
menjalankan strategi-strategi negara khususnya untuk kepentingan stabilitas serta
pengendalian masyarakat sipil.89 Kedudukan Polri yang berada di bawah Presiden
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden membawa implikasi bahwa
Polri adalah bagian dari pemerintahan dalam arti yang sempit (eksekutif ) yang ikut
bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan melalui pelaksanaan
tugas-tugas polisionil, khususnya dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
90 Oetojo Oesman, Forum Makehjapol Diadakan Untuk Menciptakan Kepastian Hukum, Dispen Polda Aceh,
Machdum Sakti, Edisi 11 Maret – April 1997, Banda Aceh, 1997.
91 Muh. Nurdin, Sekjen Polri, Wawancara, Rabu, 7 Februari 2001, Ruang kerja Sekjen Polri di Mabes Polri, Jakarta.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 79
telah memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional kepolisian
di Indonesia.
Sebagaimana dinyatakan dalam konsideran huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002
bahwa :
“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan
fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada ,masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia
selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia”
92 Pasal 10 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
wewenang kepolisian secara hierarki.
93 Teguh Soedarsono, Wakil Gubernur PTIK, wawancara, Selasa, 19 Maret 2002, Mabes Polri, Jakarta.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 81
undangan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat melakukan campur tangan atau
intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian termasuk presiden sebagai
pimpinan tertinggi Polri. Jika ini terwujud menandakan bahwa Polri benar-benar
telah mandiri.
Selama ini, intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian kerap kali terjadi.
Adanya lembaga-lembaga lain di luar Polri yang sering mengintervensi tugas Polri
dalam penegakan hukum dan Kamtibmas merupakan suatu kesalahan fatal. Adanya
beberapa oknum TNI yang sengaja menghalang-halangi Polri dalam melaksanakan
tugas adalah bentuk intervensi yang paling nyata. Sebagai contoh adalah kasus
penyerangan Polres Ambon di Maluku yang dilakukan oleh anggota TNI (Armed
dan Infanteri) yang meminta dibebaskannya pelaku tindak pidana dan penganggu
kamtibmas (provokator) yang terdiri atas masyarakat sipil dan seorang anggota
TNI berpangkat Letnan dua. Penyerangan dan pemaksaan untuk melepaskan
pelaku tindak pidana tidak hanya merupakan bentuk intervensi tapi telah berwujud
pelecehan hukum.
Demikian pula contoh intervensi yang dilakukan pihak militer/TNI terhadap Polri
yang sedang melaksanakan operasi Kamtibmas di Aceh (Nangroe Aceh Darussalam)
dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengiriman sejumlah anggota TNI
ke Aceh (NAD) untuk membantu Polri dalam menanggani aksi pemberontakan GAM
telah salah dimanfaatkan TNI. Keberadaan TNI yang didasarkan atas permintaan Polri
(walaupun yang dimintakan sedikit tapi yang dikirimkan melebihi permintaan) dan
berada di bawah kendali operasi (BKO) Polri ternyata tidak mau patuh dan tunduk
pada kebijakan yang diambil oleh Polri. Hal tersebut menimbulkan dilema bagi Polri
dalam melaksanakan tugas menegakkan hukum dan kamtibmas.
Intervensi TNI yang terlalu jauh dalam operasi Kamtibmas di Aceh (NAD)
menyebabkan Polri kewalahan94 dalam menyikapi tindakan/kebijakan yang diambil
oleh pimpinan TNI. TNI yang tidak mau patuh dan tunduk pada perintah/kebijakan
Polri justru menyulitkan Polri dalam melaksanakan tugas di lapangan sehingga tidak
jarang terjadinya kontak senjata antara anggota Polri dan TNI yang menimbulkan
korban bagi kedua belah pihak.
Begitu pula kasus kerusuhan di Poso yang melibatkan anggota TNI dan Polri yang
saling tembak, padahal saat itu kondisi keamanan dan ketertiban sedang terganggu
dengan adanya konflik ditengah masyarakat. Dengan adanya kasus saling tembak
TNI dan Polri menjadikan situasi makin memanas. Intervensi terhadap pelaksanaan
tugas Polri tidak boleh dilakukan oleh siapapun termasuk oleh Kapolri. Kapolri tidak
berwenang untuk memerintahkan anggotanya yang sedang melakukan penyidikan
suatu perkara tindak pidana jika tidak berdasarkan hukum.
94 Menurut Surya Dharma, Kadit Reserse Polda Aceh dan Suryadi Andi, Kadit Bimmas Polda Aceh, serta Sayid Huseini,
Kapolres Aceh Besar bahwa adanya dualisme komando dilapangan mempersulit Polri dalam menjalankan peran
dan fungsinya. Disamping itu ada beban lain yang harus ditanggung Polri yakni meningkatnya secara tajam
anggaran operasional di lapangan.
95 Ahwil Luthan, Irjen Polri, Wawancara, Mabes Polri, Kamis, 18 April 2002, Jakarta.
96 I Gede Pantja Astawa Pakar HTN dan Dosen tetap Unpad, Wawancara, Kamis, 22 Agustus 2002, Kampus Unpad
Di Pati Ukur, Bandung.
97 Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatkan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral
dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
98 Pasal 38 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa : Komisi Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 83
4.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi
4.3.1 Polri Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Inti Pembinaan
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
Tantangan tugas Polri di era reformasi berkaitan dengan masalah keamanan dalam
negeri tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik yang berskala
nasional, regional maupun global. Namun demikian, secara makro tantangan tugas
Polri di masa mendatang dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu kejahatan
terhadap negara, masalah-masalah kriminalitas, masalah lalu lintas, masalah-masalah
ketertiban umum, dan masalah bencana (disaster).
Kelima masalah tersebut senantiasa mengalami perkembangan, seiring
dengan makin gencarnya tuntutan keterbukaan, demokratisasi dan tuntutan HAM.
Sementara itu, kekuatan personil, sarana/prasarana, dan anggaran yang tersedia
untuk menunjang pelaksanaan tugas masih sangat terbatas.
Salah satu dari kejahatan terhadap keselamatan negara adalah kejahatan terhadap
keamanan negara. Kejahatan terhadap keamanan negara merupakan ganguan
kamtibmas yang sangat sulit diatasi karena terbatasnya kemampuan Polri dalam
mencegah, menangkal, dan menindak. Kesulitan yang dialami Polri pada dasarnya
tidak berasal dari intern Polri semata, tetapi juga dipengaruhi oleh lngkungan di luar
Polri. Adanya dukungan luar negeri bahkan tindakan dari oknum TNI yang dengan
sengaja memfasilitasi para pemberontak menyulitkan Polri melakukan penegakan
hukum dan ketertiban masyarakat.
Adanya keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang terjadi di
Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Irian Jaya (Papua), dan Riau serta adanya konflik
horizontal di daerah-daerah, seperti di Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, yang
memungkinkan para provokator untuk mengacaukan stabilitas keamanan dan
berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan memerlukan profesionalisme
tindakan dari Polri untuk dengan cepat dan tepat menanganinya.
Sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat, Polri berkewajiban
menumpas segala pemberontakan dan segala sesuatu yang mengancam keutuhan
dan kedaulatan negara. Kegiatan subversi, sabotase, dan upaya lain yang sengaja
diciptakan untuk mengangggu keamanan negara wajib ditumpas dan diselesaikan
secara hukum oleh Polri, karena tanggung jawab Polri sebagai penanggung jawab
keamanan dalam negeri.
Kejahatan terhadap martabat dan kedudukan Presiden/Wakil Presiden makin
sering terjadi, khususnya pada saat terjadinya aksi unjuk rasa/demonstrasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah,
dengan membonceng pada gerakan-gerakan kemanusiaan maupun HAM yang sempit.
Penghinaan dan hujatan secara terbuka yang ditujukan kepada Presiden/Wakil
Presiden bahkan disertai dengan tindakan fisik merupakan fenomena baru dalam
99 Tim Ganda Wibawa Sakti, Gawisa, No. 365/Pebruari/XXX/Tahun 2002, Dispen Polda Jabar, hlm. 44, Bandung,
2002.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 85
kegiatan masyarakat berupa pertunjukan kesenian, pertandingan olah raga, arak-
arakan atau pawai di jalan umum, serta unjuk rasa yang seringkali berkembang
menjadi kerusuhan massa yang sangat merugikan dan menganggu ketenteraman
masyarakat secara luas memerlukan pola penanganan yang sistematis. Hal tersebut
penting dilakukan secara baik untuk dapat meninkatkan harkat, martabat dan citra
Polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Masalah bencana (disaster) juga diperkirakan sering terjadi, baik yang diakibatkan
oleh alam (bencana alam) maupun yang diakibatkan oleh ulah manusia, seperti
kecelakaan bus, kereta api, pesawat, kapal laut, tanah logsor, banjir, kebakaran, wabah
penyakit, keracunan makanan, dan gempa bumi.
Berbagai gangguan keamanan tersebut di atas telah tumbuh dan berkembang
seirama dengan pesatnya pembangunan nasional yang menggunakan tehnologi
dan merupakan tanggung jawab Polri untuk dapat mencegah dan mengatasi setiap
terjadinya gangguan kamtibmas. Tuntutan di era reformasi terhadap Polri untuk
memelihara dan memantapkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat
harus dilakukan dengan mencermati dan menelaah perkembangan masyarakat yang
dapat menjadi sumber ancaman terhadap Kamtibmas yang secara teoretis dapat
digambarkan bahwa terjadinya suatu peristiwa karena adanya akar masalah yang
mengendap dan tidak terlihat di bawah permukaan (teori gunung es). Endapan-
endapan tersebut pada hakikatnya bersumber dari aspek-aspek astagatra dalam
pembangunan nasional yang terus berlanjut hingga saat ini.
Pembangunan aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan
keamanan membawa endapan/residu berupa Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Hal
ini apabila tidak dieliminasi dapat berkembang menjadi faktor interaksi atau Police
Hazard (PH). Police Hazard ini dapat menjelma menjadi Ancaman Faktual (AF) bila
bertemu dengan faktor pencetus.
Oleh karena itu tantangan tugas Polri di era reformasi memang sarat dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat yang senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan lingkungannya. Untuk mengantisipasi tuntutan tugas Polri yang
semakin berat di era reformasi, dukungan terhadap kemandirian dan profesionalisme
Polri dari masyarakat, bangsa, dan negara harus diwujudkan secara konkret.
Kedudukan Polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan
ketertiban dalam masyarakat (law and order) sudah seharusnya dilaksanakan atau
diwujudkan.
4.3.2 Polri Sebagai Salah Satu Bagian dari Unsur Criminal Justice System
(CJS)
Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System (CJS) adalah suatu
pendekatan sistem dalam prosedur penanganan perkara pidana yang diwujudkan
dalam bentuk kerjasama antara lembaga-lembaga CJS yang biasanya terdiri
Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, kedudukan Polri sebagai salah satu unsur
CJS secara organisatoris tidak memiliki posisi yang setara dengan unsur-unsur CJS
lainnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap efektivitas hubungan kerjasama
antarsesama institusi penegak hukum.
Dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam
masyarakat, Polri melalui pelaksanaan tugas secara preemtif, preventif, dan represif
berupaya maksimal membuat masyarakat patuh dan memiliki kesadaran hukum.
Para penegak hukum termasuk polisi harus mawas diri karena selain harus menjaga
hukum dapat berjalan dengan lurus dan benar. Akan tetapi, juga mampu mengikat
mereka supaya mau menghormati dan mematuhi hukum.101 Polri dapat juga
dikatakan sebagai alat perlindungan masyarakat terhadap kejahatan atau dengan
istilah lain disebut social defence.102 Oleh karena itu, organisasi Polri haruslah setara
dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (kejaksaan dan pengadilan), agar
mandiri dalam mengambil keputusan yang terkait dengan pelaksanaan tugas pokok,
peranan, wewenang dan fungsi Polri.
100 Kunarto, HAM dan POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm. 129.
101 Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 7.
102 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Permasalahannya Ditinjau Dari Segi Kriminologi
dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 10.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 87
fungsi dan peranan Polri. Untuk menyamakan persepsi tentang kamtibmas, ada
baiknya diberikan/dicarikan batasannya terlebih dahulu.
Keamanan masyarakat menurut Surat Keputusan Menhankam/Pangab No.
Skep/B/66/1972 diartikan sebagai berikut:
(1) Perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psikis;
(2) Adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan ;dan
ketakutan
(3) Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya; dan
(4) Perasaan kedamaian dan ketenteraman lahiriah dan bathiniah.
Ketertiban (order) masyarakat adalah suasana tertib dan ketertiban yang
merupakan suatu keadaan yang menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja
dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Tertib itu sendiri
berarti keteraturan, yaitu situasi dimana segala sesuatu berjalan teratur. Ketertiban
adalah keadaan yang sesuai dengan norma-norma serta hukum yang berlaku.103
Mewujudkan kedudukan Polri pada posisi yang benar sebagai lembaga khusus
pemerintah setingkat Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sehingga pemberdayaan peran
Polri sebagai ujung tombak penanganan keamanan dalam negeri dapat terwujud.
Disamping itu, peningkatan pembinaan personil, sarana/prasarana, dan anggran yang
mendukung operasional Polri harus didukung oleh semua komponen masyarakat,
bangsa, dan negara.
Dalam rangka pemberdayaan peran Polri tersebut juga perlu ditegaskan kembali
tentang budaya kerja Polri yang fight crime, help delinquence, dan love humanity serta
menghilangkan budaya militeristik. Realisasi dan aplikasi undang-undang kepolisian
yang baru, yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 harus segera dilaksanakan.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2002 harus
segera disiapkan. Di lain pihak, Polri dituntut untuk kembali mewujudkan doktrin
kepolisian dari pelaksanaan tugas sehari-hari, yakni berpedoman kepada doktrin Tata
Tentrem Kerta Raharja.
Struktur organisasi Polri yang belum sepenuhnya efektif dan efisien harus segera
dibenahi untuk dapat meningkatkan peran dan fungsinya sebagai alat negara
penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Kedudukan Polri pada lembaga
yang independen akan mengembangkan organisasi Polri untuk lebih mandiri dan
profesional, baik di bidang pembinaan maupun operasional serta dapat terwujudnya
jati diri Polri sebagai aparat penegak hukum dan pembina kamtibmas.
Dalam rangka pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan
masalah kamdagri, ada beberapa arah kebijaksanaan yang harus dilakukan, antara lain;
(a) Merealisasikan secara cepat UU No. 2 tahun 2002 dengan melengkapi semua
peraturan pelaksananya;
103 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 141.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 89
(b) Refungsionalisasi Fungsi Kepolisian
Refungsionalisasi fungsi kepolisian adalah tindakan untuk mengembalikan
fungsi kepolisian secara benar, yaitu sebagai alat negara penegak hukum dan
pembina ketertiban masyarakat yang hanya meliputi bidang keamanan (security)
dan bukan berfungsi di bidang pertahanan (defence), sehingga ada garis batas
yang tegas dan jelas serta mampu membedakan antara fungsi pertahanan yang
menjadi tugas pokok militer/angkatan perang (TNI) dan fungsi keamanan yang
menjadi tugas pokok polisi (Polri).
Tampilnya Polri sebagai pengendali operasi utama dalam tugas-tugas
keamanan dalam negeri secara penuh, kecuali dalam keadaan bahaya/darurat
yang ditetapkan oleh undang-undang. Membiasakan Polri untuk melaksanakan
tugas-tugasnya dengan civilian approach (pendekatan sipil), bukan dengan
military approach (pendekatan militer). Pembenahan segera struktur organisasi
Polri, penambahan sarana/sarana dan anggaran Polri serta penambahan personil
Polri yang sesuai dengan standar PBB, yaitu 1 : 400 secara bertahap dalam rangka
menunjang tugas Polri sebagai penegak hukum dan kamtibmas.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 91
tingkat Polda, Kabagbin pada tingkat Polwil, Kabagmin pada tingkat Polres, dan
Wakapolsek pada tingkat Polsek.
Pengawasan internal dapat pula dilakukan dengan melakukan wasrik
(pengawasan dan pemeriksaan). Wasrik yang dilakukan harus memenuhi standar
tertentu untuk menghindari kekaburan dan penyalahgunaan wasrik. Selama ini
wasrik sering salah digunakan, yakni menggunakan wasrik untuk memperkaya
diri sendiri dan membuat kelabakan sasaran wasrik (objek wasrik). Adanya
tuntutan fasilitas, penyediaan dana dari pimpinan/penanggung jawab wasrik
dapat mengganggu pencapaian tujuan wasrik.
Pemantauan dari luar (eksternal control), baik melalui media massa, DPR, LSM
maupun masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan kinerja Polri harus
intensif dilaksanakan. Tentu hal ini bertujuan untuk memperbaiki citra polisi dan
meningkatkan profesionalisme Polri.
Pengawasan lapangan oleh pimpinan satuan dengan memperhatikan
delegation of authority dan lapis pertanggungjawaban atas pelanggaran dan
ketidakefektifan cara bertindak anggota di lapangan dalam rangka menggalakan
pengawasan melekat. Di samping itu, pemberian penghargaan (reward) terhadap
anggota yang berhasil dalam melaksanakan tugas dan pemberian hukuman
(punishment) terhadap anggota yang bersalah atau melakukan pelanggaran
harus dilaksanakan secara adil dan bijaksana.
Pemberian penghargaan tidak hanya didasarkan pada keberhasilan
pelaksanaan tugas semata, tetapi juga dilihat dari pola kerja, kedisiplinan,
dan motivasi. Reward tidak hanya diberikan kepada anggota Polri yang secara
langsung dianggap berhasil mengungkap dan menangkap pelaku tindak
pidana, tetapi juga kepada anggota yang telah berhasil menekan angka tindak
pidana yang terjadi (anggota Bimmas yang melakukan penyuluhan, anggota
lantas yang dapat menekan angka kecelakaan, dan kemacetan lalu lintas).
Reward tidak hanya berupa pujian, penyerahan uang prestasi maupun
pemberian penghargaan semata-mata, yang lebih penting adalah menciptakan
motivasi agar setiap anggota yang dianggap berhasil dapat mempengaruhi
anggota-anggota yang lainnya untuk ikut berprestasi. Terhadap anggota yang
berprestasi dapat diajukan untuk promosi kenaikan pangkat atau melanjutkan
pendidikan.
Punishment yang diberikan kepada anggota tidak separuh-separuh, tetapi
harus tegas dan dapat memberikan nilai perbaikan terhadap anggota yang
melakukan kesalahan. Tindakan tegas dapat berupa pemecatan dari keanggotaan
Polri, penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat atau jabatan.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 93
ke daerah lain, jika terjadi suatu kerusuhan massa atau ganguan kamtibmas
yang melibatkan banyak massa dan memerlukan jumlah personil yang besar
pula. Asrama yang kurang layak huni seperti yang ada saat ini, walau beberapa
asrama telah cukup baik, akan mempengaruhi kinerja operasional anggota Polri.
Bagaimana anggota Polri dapat bekerja secara baik jika istirahat/tidur kurang
nyaman. Seringkali ketika hujan, asrama Polri bocor atau bahkan banjir. Letak
asrama yang baik adalah yang dekat dengan kantor tempat anggota bertugas,
tidak di daerah yang mudah terkena banjir, dan kondisi bangunan yang baik.
Banyak anggota Polri yang tidak tertampung di asrama yang memilih
tinggal (mengontrak atau sewa rumah) yang letaknya berjauhan dengan kantor
sehingga dapat menganggu efesiensi dan efektifitas kerja. Bisa jadi terlambat
karena letaknya jauh atau terkena macet dalam perjalanan dari rumah ke kantor.
Jarak ideal antara rumah adn kantor adalah tidak lebih dari 2 Km atau tidak lebih
dari 10 menit perjalanan dengan berkendaraan.
Sarana perlengkapan administrasi dan perkantoran, seperti, komputer,
internet, mesin tik, AC, alat tulis, dan kertas juga harus diperhatikan. Hal ini untuk
menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pungutan
liar yang berkedok uang administrasi yang dibebankan kepada masyarakat yang
mengurus suatu keperluan di kantor polisi.
Hasil survei dan wawancara, kebanyakan sarana administrasi, seperti
komputer, adalah hasil swadaya pimpinan Polri yang bersangkuatn, bahkan tidak
jarang merupakan barang pribadi pimpinan yang bersangkutan yang dipinjam
pakai di kantornya selama ia masih menjabat. Hasil swadaya adalah hasil usaha
dari seorang anggota/pimpinan Polri yang dengan kemampuan pribadinya
mengusahakan untuk ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada, baik melalui
permohonan bantuan kepada pihak ketiga, bantuan sukarela pihak ketiga atau
sumbangan dari anggota/pimpinan yang bersangkutan. Jika Polri telah mandiri
dan tetap ingin menjaga citra yang baik, budaya swadaya perlu ditiadakan
karena akan mempengaruhi citra Polri dalam penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat.
Masyarakat yang dimintakan bantuan atau dengan ikhlas memberikan
bantuan akan menjadi beban tersendiri bagi Polri apabila terjadi pelanggaran
atau tindak pidana yang dilakukan oleh donatur (penyumbang) karena dianggap
telah berjasa dengan polisi. Begitu pula terhadap anggota/pejabat Polri yang
menyumbang sesuatu untuk keperluan dinas, kadangkala ada sesuatu yang
diharapkan dari pemberiannya itu, baik untuk mencari perhatian pimpinan atau
ingin mendapatkan pujian. Hal seperti ini akan berdampak buruk jika akan terjadi
mutasi atau promosi jabatan karena adanya unsur penilaian yang seharusnya
tidak perlu menjadi bahan pertimbangan.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 95
buruk, pakaian seragam yang berpola militer, orientasi kerja yang hanya berdasarkan
perintah atasan bukan karena kebutuhan masyarakat dan kurang mandiri serta
profesionalnya anggota Polri dalam melaksanakan tugas merupakan paradigma Polri
yang harus diubah dan ditinggalkan.
Perubahan struktural mencakup perubahan kelembagaan (organisasai/institusi)
dalam ketatanegaraan, susunan, dan kedudukan Polri. Segi kelembagaan telah
diakui bahwa penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam ketatanegaraan adalah Polri
sebagai alat negara yang memiliki kedudukan setingkat Kejaksaan Agung (Lembaga
Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung).
Dengan kedudukan organisasi tersebut , diharapkan Polri akan memiliki peluang
yang lebih besar untuk lebih meningkatkan kinerja dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu organisasi Polri yang baru menurut
Machfud104 harus memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menganut integrated system sebagai
kepolisian nasional. Pendekatan pengorganisasian Polri sebagai polisi nasional
dilaksanakan secara buttom up dengan pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab yang lebih luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (KOD) dan Polsek
sebagai ujung tombak operasional;
(2) Wilayah hukum kesatuan kewilayahan Polri, disusun menyesuaikan pembagian
wilayah pemerintahan daerah dan sistem peradilan pidana serta perkembangan
masyarakat; dan
(3) Organisasi Polri disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin
pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat sehingga masyarakat merasa
puas akan pelayanan Polri. Oleh karena itu, organisasi Polri harus hemat struktur,
tetapi kaya fungsi. Di samping itu, struktur organisasi harus bersifat network dan
tidak selalu piramidal sehingga kerjasama terus dapat dikembangkan.
104 Ibnu Sudjak Machfud, Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi Yang Mandiri dan Profesional,
karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hlm. 6-7.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 97
pertimbangan luas wilayah dan besarnya angka ganguan kamtibmas, perlu dicapai
rasio perbandingan yang seimbang antara jumlah polisi dan jumlah penduduk (Police
Employee Rate). Police Employee Rate menurut standar PBB adalah 1 : 400, sedangkan
menurut standar ASEAN adalah 1 : 700.
Bertitik tolak pada hal tersebut, aspek pembinaan anggota Polri, sejak
penerimaan sampai dengan pensiun harus diarahkan untuk mencapai efesiensi dan
efektivitas pelaksanaan tugas Polri. Untuk itu, sistem pembinaan anggota Polri akan
lebih didesentralisasikan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
para pemimpin organisasi Polri di tingkat bawah untuk membina anggotanya.
Penambahan usia pensiun Polri dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun dan bagi anggota
yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun (Pasal 30 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002) akan
membantu mencapai Police Employee Rate di Indonesia.
Sistem pendidikan Polri yang selama ini diwarnai nuansa militer berdampak
kepada sikap anggota Polri yang arogan, tidak profesional, sehingga tidak disukai
masyarakat. Sebagai upaya mewujudkan anggota Polri yang profesional dan
berbudaya serta mampu mengimbangi tingkat pendidikan masyarakat, sistem
pendidikan Polri disusun berdasarkan sistem pendidikaan nasional melalui
pengembangan ilmu kepolisian, yang saat ini memiliki konsorsium ilmu kepolisian
di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Berbagai substansi pendidikan dan
latihan Polri dengan berbagai materi yang terkait erat dengan profesi kepolisian, antara
lain, penguasaan HAM, demokratisasi, lingkungan hidup, dan kemampuan dialog
interaktif maupun muatan lokal/nasional dengan masyarakat perlu ditingkatkan.
Profesionalisme Polri akan sulit diwujudkan tanpa dukungan peralatan dan
fasilitas yang memadai (kurangnya sarana/prasarana). Oleh karena itu, penyediaan
sarana/prasarana, fasilitas dan jasa akan lebih difokuskan kepada upaya-upaya untuk
melengkapi peralatan kepolisian yang langsung mendukung pelaksanaan operasional
dilapangan serta upaya pemeliharaan untuk memperpanjag usia pakai. Atas dasar itu,
dukungan peralatan untuk kesatuan kewilayahan, terutama Polres dan Polsek, harus
mendapat porsi yang besar, baik berupa sarana mobilitas, sarana komunikasi, maupun
peralatan pendukung fungsi-fungsi kepolisian dengan standar khusus. Keberadaan
sarana/prasarana yang terkesan mubazir, seperti mobil mewah yang diperuntukkan
bagi perwira tinggi Polri sudah selayaknya ditiadakan atau dieliminasi.
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat menuju Polri yang
mandiri dan profesional, sistem operasional Polri dirumuskan dalam pola operasional
kepolisian yang terdiri atas kegiatan rutin dan operasi khusus kepolisian. Pendekatan
preemtif dan preventif lebih dikedepankan, sedangkan tindakan represif dilakukan
dalam rangka menumbuhkan efek jera terhadap setiap pelaku tindak kejahatan.
Inti pelayanan Polri (core services) meliputi, polisi tugas umum termasuk bimbingan
masyarakat, pembinaan keamanan ketertiban, kelancaran lalu lintas, dan penegakan
hukum.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 99
intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri terlebih dalam tugas penegakan hukum.
Lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia semakin mempertegas kedudukan Polri sebagai alat negara
penegak hukum dan kamtibmas secara yuridis sebagaimana yang dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, bahwa:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 101
Tabel I Tanda Kepangkatan Polri
Tanda Kepangkatan Lama (Singkatan) Tanda Kepangkatan Baru (Singkatan)
Golongan Perwira Tinggi
Jenderal Polisi (Jenderal Pol) Jenderal Polisi (Jenderal Pol)
Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol)
Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol)
Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol) Brigadir Jenderal polisi (Brigjen Pol)
Golongan Perwira Menengah
Senior Superintendent (Sr. Supt) Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol)
Superintendent (Supt) Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)
Assisten Superintendent (Ass. Supt) Komisaris Polisi (Kompol)
Golongan Perwira Pertama
Senior Inspektur (Sr. Insp) Ajun Komisaris Polisi (AKP)
Inspektur Polisi Tk.I (Iptu) Inspektur polisi Tk.I (Iptu)
Inspektur Polisi Tk.II (Ipda) Inspektur Polisi Tk.II (Ipda)
Golongan Bintara Tinggi
Ajun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu) Ajun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu)
Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aiptu) Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aipda)
Golongan Bintara Rendah
Sersan Mayor Polisi (Serma) Brigadir Kepala Polisi (Brigka)
Sersan Kepala Polisi (Serka) Brigadir Polisi
Sersan Satu polisi (Sertu) Brigadir Polisi Tk.I (Brigtu)
Sersan Dua Polisi (Serda) Brigadir Polisi Tk.II (Brigda)
Golongan Tamtama
Kopral Kepala (Kopka) Ajun Brigadir Polisi (Abrig)
Kopral Satu (Koptu) Ajun Brigadir Polisi Tk.I (Abrigtu)
Kopral Dua (Koptu) Ajun Brigadir Polisi Tk.II (Abrigda)
Bhayangkara Kepala (Bharaka) Bhayangkara Kepala (Bharaka)
Bhayangkara Tk.I (Bharatu) Bhayangkara Tk.I (Bharatu)
Bhayangkara Tk.II (Bharada) Bhayangkara Tk.II (Bharatu)
Sumber: Skep Kapolri No. Skep/01/I/2000 tentang Pemberitahuan Perubahan Tanda Kepangkatan Bagi Anggota Polri
(Sejak tahun 2007, golongan Tamtama telah dihapuskan di Polri)
Tabel II
Police Employee Rate di Jajaran Polda Bali
No. Kabupaten/Kota Jumlah Polisi Jumlah Penduduk (jiwa) Ratio
(jiwa)
1 Badung – Denpasar 1.732 828.547 1 : 478
2 Gianyar 816 345.787 1 :424
3 Klungkung 451 163.900 1: 363
4 Karangasem 584 376.354 1 : 644
5 Bangli 446 197.210 1 : 442
6 Buleleng 877 577.644 1 : 659
7 Jembrana 623 212.675 1 : 341
8 Tabanan 858 380.322 1 : 443
Sumber Data: Dispen Polda Bali, 2001
105 Uji coba standar pelayanan dilakukan penulis terhadap beberapa satuan kewilayahan di bawah Polwil
Purwakarta dan membuktikan bahwa 95 % atau 19 dari 20 telephone yang ditujukan untuk uji coba dilayani
sebelum dering telephone keempat, uji coba dilakukan pada 19 – 21 April 2001 di Purwakarta, Kapolwilnya saat
itu Kombes Pol. Drs. Nanan Soekarna.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 103
Police employee rate menurut standar PBB adalah 1 : 400 dan ASEAN adalah 1 :
700. Sebagai perbandingan dengan negara-negara lain, standar police employee rate
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel III
Police Employee Rate Beberapa Negara di Asia
No. Negara Perbandingan Keterangan
1 India 1 : 700 Kurang
2 Pakistan 1 : 600 Kurang
3 Singapura 1 : 400 Ideal
4 Jepang 1 : 400 Ideal
5 Hongkong 1 : 250 Sangat Ideal
6 Indonesia 1 : 1200 Sangat Kurang
7 Malaysia 1 : 400 Ideal
Standar PBB 1 : 400 Ideal
Sumber Data: Paparan Aspers, pada Konsep Pembinaan SDM Polri Dalam Rangka Reformasi menuju Polri yang
Profesional, 23 Desember 2000.
Kondisi sarana/prasarana Polri yang sangat minim akan berdampak pada kinerja
anggota Polri di lapangan. Terbatasnya sarana perkantoran, sarana transportasi,
alat komunikasi, perumahan, dan asrama, serta alat penunjang tugas kepolisian
lainnya, seperti pakaian seragam dan atributnya, mantel lantas, rompi lantas, jaket
anti peluru, tongkat lantas, seragam dalmas, senpi bahu dan gengam, canon water,
kawat penghalang Polri, dan patrolite RX akan berakibat yang kurang baik dalam
pelaksanaan tugas Polri di lapangan, terlebih bila harus mematuhi norma-norma
hukum internasioal dan HAM.
Hal tersebut diperburuk lagi dengan terbatasnya anggaran Polri. Untuk tahun
2000/2001 anggaran Polri di dalam RAPBN hanya sebesar 1,7 trilliun rupiah. Anggaran
tersebut tidak hanya dipergunakan untuk tingkat Mabes Polri, tetapi juga harus
didistribusikan ke Polda-polda hingga Polsek-polsek seluruh Indonesia. Terbatasnya
anggaran operasional Polri akan mempengaruhi kinerja Polri baik dalam memberikan
perlindungan, pengayoman, maupun perlindungan. Terbatasnya anggaran, baik yang
ditujukan untuk administrasi kantor, BBM, uang lauk pauk tahanan, penyidikan perkara,
akan menyebabkan anggota Polri untuk berusaha mencukupi biaya operasional tugas
dengan cara-caranya sendiri, bahkan tidak jarang telah menyalahi hukum dan moral.
Sikap arogansi yang masih diperlihatkan sebagian anggota Polri dalam
memberikan pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat adalah
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 105
dalam pelaksanaan tugas Polri. Krisis ekonomi yang diawali oleh krisis moneter
menyebabkan makin meningkatnya angka ganguan kamtibmas dan meningkatnya
secara tajam pelaku tindak pidana.
Gelombang reformasi yang menuntut adanya transparansi di segala bidang,
termasuk adanya tuntutan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
belum dapat diwujudkan, menyebabkan sebagian daerah ingin memisahkan
diri. Adanya kebijakan pemilu dengan sistem multipartai dengan berbagai corak
perjuangan dan kebijakannya menyebabkan saling tarik kepentingan, baik di
masyarakat maupun di lembaga legislatif yang dapat menimbulkan kerawanan
politik sehingga Polri harus bekerja secara ekstra untuk meredam gejolak-gejolak
yang terjadi di tengah masyarakat.
Kekurangharmonisan antara partai-partai besar yang berkuasa (PDI-P, PPP, PG,
PAN, dan PKB) sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara makro. Tarik
ulur kepentingan yang dipraktikkan oleh wakil rakyat di DPR sangat meresahkan
masyarakat dan membebani Polri dalam melaksanakan tugasnya. Saling sikut,
propaganda dan menghujat antarpengurus/pendukung partai menyebabkan
semakin tingginya angka kerawanan sosial yang dapat menyebabkan ganguan
Kamtibmas.
Tumbuhnya berbagai kelompok masyarakat106 yang aktif melaksanakan tugas
kepolisian seperti banser PKB, pemuda ka’bah PPP, satgas PDI-P dengan melakukan
beraneka ragam kegiatan yang bersifat kepolisian, seperti pengamanan, pengaturan
lalu lintas, pemeriksaan/pengeledahan badan terhadap tamu, dll tanpa adanya
kontrol dan pembatasan kewenangan sehingga menimbulkan penyimpangan-
penyimpangan dan keraguan masyarakat terhadap tugas kepolisian itu sendiri.
Hal tersebut akan menimbulkan rasa apatis masyarakat terhadap Polri dalam
melaksanakan tugasnya.
Adanya intervensi yang masih diperlihatkan oleh pihak militer (TNI) baik melalui
kelembagaan, seperti turut campur dalam tugas operasi khusus kepolisian seperti
di Aceh (NAD) yang sedang digelar operasi kamtibmas, yakni dengan pengiriman
prajurit TNI secara besar-besaran (sekitar 14.000 personil) walaupun yang dimintakan
oleh Polri jauh dari angka tersebut (2.000 personil) yang dimintakan sebagai tenaga
bantuan operasi. Hal tersebut tentu membebani Polri, baik dari segi anggaran
maupun penyediaan sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh TNI seperti barak,
alat transportasi, dan uang lauk pauk. Di samping itu, sangat sulit bagi Polri untuk
mengontrol pihak militer walaupun mereka di Bawah Kendali Operasi (BKO) pihak
kepolisian (Polda Aceh).
Adanya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh Polri dan juga TNI di sepanjang
jalan Banda Aceh – Medan terhadap masyarakat (truk angkutan barang, bus antar
106 Keberadaan pengamanan swakarsa, termasuk yang dilakukan oleh partai-partai dibenarkan oleh undang-
undang sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan melampaui kewenangannya sebagai tenaga
pembantu, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2/2002.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 107
4.0.3 Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-
hambatan Polri dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Alat Negara
Penegak Hukum dan Kamtibmas
Dalam rangka mengoptimalkan peranan dan fungsi Polri sebagai alat negara di
dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order)
adalah dengan memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan
memperkecil semua faktor kendala yang ada. Untuk mengatasi hambatan-hambatan
yang dihadapi Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah dengan melakukan
hal-hal sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 UU No. 2/2002 menyatakan bahwa :
Pasal 33 ayat (1) : “Pembinaan kemampuan profesi Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika
profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya
di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan
penugasan secara berjenjang dan berlanjut”
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 109
Pembinaan kemampuan profesi anggota Polri dilaksanakan melalui pembinaan
etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara
berjenjang, berlanjut, dan terpadu. Peningkatan dan pengembangan pengetahuan
dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di
luar lingkungan Polri, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta
berbagai bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme.
Sedangkan pengalaman maksudnya meliputi jenjang penugasan yang diarahkan
untuk memantapkan kemampuan dan prestasi. Tuntutan pelaksanaan tugas serta
pembinaan kemampuan profesi Polri mengharuskan adanya lembaga pendidikan
tinggi kepolisian yang menyelenggarakan pendidikan ilmu kepolisian yang bersifat
akademik maupun profesi dan pengkajian teknologi kepolisian.107
Untuk meningkatkan sumber daya manusia Polri melalui jenjang penugasan,
diperlukannya kebijakan dan kearifan dari pimpinan Polri. Pimpinan Polri harus jeli
melihat kemampuan dan prestasi kinerja bawahannya secara merata dan menyeluruh.
Selama ini pimpinan Polri banyak menggunakan manajemen jendela (Window
Management) dalam menilai prestasi bawahannya. Manajemen jendela (window
management) adalah suatu majemen yang hanya memperhatikan keberhasilan
orang-orang yang berada di sekitar atau di dekatnya, atau dengan perkataan lain,
hanya menilai keberhasilan tugas bawahannya sepanjang bawahan tersebut terlihat
oleh pimpinan tersebut untuk dipromosikan ke suatu jabatan tertentu. Padahal
orang-orang yang berhasil tidak hanya berada di dekat pimpinan tersebut saja.
Untuk mengatasi terbatasnya jumlah personil Polri, harus diadakan program
prioritas Polri, yakni menambah jumlah personil Polri sekurang-kurangnya sesuai
dengan standar ASEAN 1 : 700. Dewasa ini penduduk Indonesia mencapai 230 Juta
jiwa. Dengan demikian, idealnya, jumlah personil Polri di Indonesia adalah 328.571.
di samping itu, perpanjangan usia pensiun bagi anggota Polri dalam upaya mencapai
Police Employee Rate yang seimbang di samping sebagai upaya memaksimalkan
pelayanan terhadap masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU No.
2/2002 bahwa usia pensiun maksimum anggota Polri adalah 58 tahun dan dapat
dipertahankan sampai dengan 60 tahun bagi anggota yang memiliki keahlian khusus
dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian. Polri perlu juga melakukan upaya
pembinaan potensi masyarakat dan sistem pembinaan wilayah108 misalnya dengan
meningkatkan pengamanan swakarsa.
Dalam menghilangkan kultur militer dari anggota Polri tidak dapat dilakukan
secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Langkah pertama dan utama yang
perlu dilakukan adalah menanamkan kembali doktrin kepolisian yakni, Doktrin
Tata Tentrem Kerta Raharja, Tri Brata dan Catur Prasetya dan kembali kepada motto
kepolisian yakni fight crime, help the delinquent, dan love humanity.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 111
Menurut penjelasan Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) bahwa :
(1) Hubungan kerjasama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pihak lain
dimaksudkan untuk kelancaran tugas kepolisian secara fungsional dengan tidak
mencampuri urusan instansi masing-masing. Khusus hubungan kerja sama
dengan pemerintah daerah adalah memberikan pertimbangan aspek keamanan
kepada pemerintah daerah dan instansi terkait serta kegiatan masyarakat, dalam
rangka menegakkan kewibawaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dimaksud dengan kerja sama multilateral antara lain kerjasama dengan
International Criminal Police Organization-Interpol dan Aseanapol.
Kerja sama dengan instansi lain, baik di dalam maupun luar negeri, akan
memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan tugas Polri. Keikutsertaan
Polri sebagai pasukan pemelihara perdamaian dunia (peace keeping operation) di
bawah bendera PBB akan berdampak terhadap anggota polri akan pentingnya
menghargai HAM, demokrasi, dan lingkungan. Jadi, dengan adanya kerja sama
tersebut membantu Polri untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh
masyarakat, baik itu masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.
Untuk mengimbangi keadaan geografis Indonesia yang sangat luas, Polri dapat
melakukan pembagian wilayah hukum kerja berdasarkan daerah hukum kerja
pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa Polda memiliki wilayah hukum kerja provinsi,
Polwil memiliki wilayah hukum Pembantu Gubernur, Polres memiliki wilayah hukum
kabupaten/kota, dan Polsek memiliki wilayah hukum kecamatan. Sampai saat ini,
jumlah kesatuan wilayah Polri belum sebanding dengan jumlah provinsi, kabupaten/
kota dan kecamatan yang ada di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan
organisasi Polri ketingkat bawah seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Keterbatasan anggaran Polri yang disebabkan oleh belum pulihnya Indonesia
dari krisis ekonomi yang menyebabkan kecilnya anggaran Polri dalam RAPBN
dapat diatasi dengan melakukan efesiensi, efektifitas, dan skala prioritas anggaran.
Melakukan kerjasama dengan lembaga lain, terutama dengan pemda, akan sangat
membantu dalam ketersediaan anggaran Polri, khususnya anggaran operasional.
Para pimpinan kewilayahan Polri tingkat daerah (Kapolda dan Kapolres) dapat
mengajukan anggaran ke pihak legislatif agar dapat dianggarkan dalam APBD.109
Untuk mengatasi tingginya angka kriminalitas dan gangguan kamtibmas dapat
ditekan melalui peningkatan peran setiap fungsi teknis kepolisian, baik dalam
melakukan tindakan pre-emtif, preventif, maupun represif. Melibatkan pengamanan
swakarsa (pam swakarsa) baik dari masyarakat maupun partai politik dapat terus
109 Kapolres Bandung, AKBP Drs. Edmon Ilyas pada Agustus 2000 pernah melakukan presentasi dan pengajuan
anggaran Polres Bandung di depan sidang DPRD Kabupaten Bandung dan berhasil memperoleh dana
operasional Polri yang tercantum dalam APBD 2001 sebesar 100 Juta Rupiah.
Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara
di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 113
BAB 5
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis makna dan implikasi kedudukan polisi
sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat (law and order), kiranya dapat ditarik kesimpulan dan disampaikan saran-
saran sebagai berikut:
5.1 Kesimpulan
1. Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung
makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan
eksekutif yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang
timbul dari kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan
yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Dengan kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional dapat
menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
3. Faktor-faktor yang mendukung kedudukan Polri sebagai alat negara dalam
kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya
legitimasi secara yuridis konstitusional dan perkembangan lingkungan global,
regional, dan nasional yang menghendaki di kedepankannya Polri dalam
penangganan masalah Kamdagri. Faktor-faktor yang menghambat kedudukan
Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban
dalam masyarakat terdiri atas faktor kendala intern dan ekstern. Upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan
memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan memperkecil
semua faktor kendala yang ada.
A. BUKU-BUKU
Abdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994.
Abdullah Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1991.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti,
Jakarta, 1995.
Amirin Tatang, M, Menyusun Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Ketertiban Sosial,
Penerbit UII Press, Yogyakarta 1992.
Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi
revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
Daoed Joesoef, Dua Pemikiran tentang Pertahanan Keamanan dan Strategi Nasional,
Yayasan Proklamasi, Jakarta, 1973.
Dicey, A.V., Introduction to The Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939.
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
1987.
Djokosutono, Ilmu Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Ermaya Suradinata, Pembinaan Potensi Masyarakat dan Sistem Pembinaan Wilayah
D. KAMUS
Encyclopaedia Britanica, Volume XVIII, 1768.
Encyclopaedia of Social Sciences, Volume XI-XII.
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai pustaka, Jakarta, Edisi kedua, 1991.
ISBN: 978-602-1616-04-8