Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENGELOLAAN KAWASAN DAERAH

ALIRAN SUNGAI

I KETUT ARGYA RESWARA

19700139

2019C

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


BAB I

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan
ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan,
dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No.37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai).

Daerah Aliran Sungai memiliki peran yang sangat penting bagi siklus hidrologi,
kemampuannya menjaga dan menjadi tempat untuk mengalirkan air dari hulu ke hilir sebagai
sumber kehidupan menjadi jaminan yang akan menyatukan komponen biotik dan abiotik dalam
menjaga keseimbangan lingkungan. Adanya Daerah Aliran Sungai yang terawat dapat
meminimalisirkan kerusakan alam, karena lingkungannya yang terjaga. Banyaknya kebutuhan
manusia dan kondisi alam yang dinamis membuat lingkungan dapat berubah sewaktu – waktu,
terutama karena bencana. Bencana seringkali mengganggu struktur atau keseimbangan alam
yang akan mempengaruhi siklus hidrologi, salah satunya yaitu banjir.

Apapun definisi yang yang kita anut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di
dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktorfaktor biotik, nonbiotik dan manusia.
Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi
dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem
tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran
terdiri dari air dan muatan sedimen. Komponen - komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah
dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor.

Bencana Gunung Merapi dan kebutuhan akan ruang membuat sistem hidrologi di
wilayah DAS Opak menjadi terganggu. Hal ini disebabkan karena, material yang dihasilkan
Gunung Merapi berupa sedimen menumpuk di sungai – sungai yang dilaluinya. Letusan tahun
2010 menghasilkan aliran gelombang piroklastik yang melingkupi area seluas ± 22,3 km2 dan
sekitar 6,9 % mengisi lembah – lembah sungai dan sisanya mengendap pada sisi kanankiri
sungai (BNPB,2011). Setidaknya terdapat 13 sungai yang berhulu di Gunung Merapi yang
potensial terjadi aliran lahar dan terjadi sedimentasi yaitu Trising, Apu, Senowo, Pabelan,
Lamat, Blongkeng, Putih, Krasak, Boyong, Code, Kuning, Opak, Gendol dan Woro. Sungai –
sungai tersebut berpotensi terjadi aliran lahar dan sedimentasi terutama pada saat setelah
kejadian erupsi

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-
lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti
permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah
Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan
tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan
DAS.

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen


terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan
terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS,
mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat.
Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan
bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan
holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di 12 DAS
prioritas (Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, Asahan,
Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan
pertimbangan seperti :

(1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih
maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini;

(2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi
instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS;
dan

(3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi


DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga
kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air.

Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang


mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan
pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS
sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun
kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai
dari daerah hulu sampai hilir.

Definisi DAS Berdasarkan fungsi sebagai berikt dalam rangka memberikan gambaran
keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-
batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu

Pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan
air (debit), dan curah hujan.

Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara
lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan
ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai,
waduk, dan danau.

Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan
melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan
terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor
kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan
didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan
manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk
kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi
maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak
terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.
BAB II

ISI

DAS DI INDONESIA

Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai
suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan
suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi
untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya
serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi
keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,
pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan
ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai (DAS).

Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah
Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun
dimulainya Pelita I yaitu pada tahun 1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan
kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim kemarau dan kemudian
dipergunakan melepas air sebagai “base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air
hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang
kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow”
sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan
tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.

Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu
daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan
perundangundangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter
iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input
yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut,
khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS.

Berdasarkan pertimbangan hal tersebut maka pembahasan kondisi DAS dalam makalah
ini memakai hidrograf aliran dan angkutan sedimen sebagai ukuran tingkat kinerja DAS. Peran
strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin nyata pada saat
DAS tidak dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan penjamin kualitas air
yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan sedimentasi yang tinggi. Dalam
prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat
dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan
kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan
terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Dari hasil inventarisasi
lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan + 8,3
juta hektar di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999).

Selain itu bencana banjir, tanah longsor, dan berbagai kejadian alam yang melanda
Indonesia tidak terlepas dari kerusakan ekologi. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh
kerusakan hutan. Berbagai bencana akibat kerusakan ekologi yang melanda Indonesia di tahun
2002 diawali oleh banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta pada
awal Februari 2002. Dalam peristiwa tersebut, yang diindikasikan karena rusaknya kawasan
hutan di daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), tidak hanya mengakibatkan kerugian
harta dan benda, melainkan juga nyawa.

PENGELOLAAN DAS BERKELANJUTAN

Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal
dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal
dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami
sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat
manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang
dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan
keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 2002)

Dalam menjabarkan model pengelolaan DAS maka setiap unit DAS, secara substansi
dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu
dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari
proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa
pengelolaan DAS merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka
terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen
sistem DAS.
DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air
untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami
konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata,
pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan
kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya.
Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup
aspekaspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan
dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses
alami daur hidrologi.

Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian


komponenkomponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan,
sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial
dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan,
serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah
adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati
beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu,
daerahdaerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta
menjadi tanggung jawab bersama.

Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu
adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut :

(1) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan


lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila
aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada
lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka
perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir
sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.

(2) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau


kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan
dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan
kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu
tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi :

(a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities),


(b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan
berakhir (temporal externalities), dan

(c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan
(sectoral externalities).

(3) Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat
dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya
kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor
(organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan
keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.

Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian)
karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar
proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian
atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya
kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya
dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model
pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-
sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang
menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air
melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan.

Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan


aspekaspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya
antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung
lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman,
pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan
menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS
untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas
air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung
mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya pada
musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak
terdapat aliran air.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan
menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya
proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai
menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi
berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya
percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas
air.

Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu
merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan
sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya
merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis
maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan
ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan
beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa
perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka
kerja (framework).

Konsep pengelolaan

Kerangka pemikiran pengelolaan DAS dalam hal ini akan melibatkan tiga dimensi
pendekatan analisis (standar) untuk pengelolaan DAS seperti dikemukakan oleh Hufschmidt
(1986). Dengan kombinasi ketiga unsur utama diharapkan diperoleh gambaran yang
menyeluruh tentang proses dan mekanisme pengelolaan DAS. Ketiga dimensi pendekatan
analisis pengelolaan DAS tersebut adalah :

1. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan


pelaksanaan yang terpisah tetapi erat kaitannya.

2. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat


implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan
terkait.
3. Pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing -masing berkaitan dan
memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.

Selama ini pengalaman yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan


pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat politis/administratif
(negara,provinsi,kabupaten) dan oleh karenanya, batas-batas ekosistem alamiah kurang banyak
dimanfaatkan. Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti banjir dan tanah longsor tidak
mengenal batas-batas politis. Sebaliknya bahwa aliran air (banjir), tanah longsor, erosi, migrasi
ikan dan organisme akuatis lainnya serta pencemaran air berlangsung menurut batas-batas
daerah aliran sungai (ekologis).

Pembangkit listrik tenaga air, saluran-saluran irigasi dan jaringan transportasi (darat
dan air) akan mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang
berlangsung di dalam DAS. Beberapa aktivitas pengelolaan DAS yang diselenggarakan di
daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada
gilirannya dapat menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau
saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di daerah hulu). Peristiwa
degradasi lingkungan ini jelas mengabaikan penetapan batas -batas politis sebagai batas
pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian, daerah aliran sungai dimanfaatkan sebagai
satuan perencanaan dan pengelolaan (sumberdaya alam) yang logis dari sisi pandang
pengelolaan lingkungan.

Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan


ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan
kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS
dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Inilah
tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin diwujudkan. Pada dasarnya dalam penetapan
program atau kegiatan perencanaan pengelolaan suatu DAS tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain atau memprioritaskan satu lebih daripada yang lain, karena perencanaan pengelolaan
DAS ini merupakan suatu program atau kegiatan yang harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dan saling terkait antara satu program dengan program yang lain.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan degradasi DAS . Dalam upaya meningkatkan
pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit
pengelolaan

Pemeliharaan DAS

Pemeliharaan DAS adalah suatu pekerjaan yang wajib dilaksanakan guna kelestarian
fungsi suatu DAS secara keseluruhan, sebagai wadah aliran air permukaan ataupun sebagai
sumberdaya air bagi segala keperluan kehidupan manusia. Pemeliharaan DAS meliputi badan
sungai dan juga daerah aliran sungai secara keseluruhan. Adakalanya kondisi badan sungai
yang baik menjadi tidak baik karena DAS mengalami kerusakan. Untuk pengamanan terhadap
daerah yang berpotensi terhadap kerusakan maka DAS perlu dijaga kelestariannya. Menjaga
daerah tangkapan hujan di hulu maupun daerah pedataran merupakan salah satu bagian dari
pemeliharaan (Sri Sangkawati, 2000).
BAB III

KESIMPULAN

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah
yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan
lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air,
kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian
pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi biofisik (seperti, pengendalian erosi,
pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian konservatif);
berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya
setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS terpadu harus
mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan
pembangunan yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Salim Emil, (1986) , Pembangunan berwawasan lingkungan, (Jakarta : LP3ES)

Suripan, (2002), Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, (Yogyakarta :Andi)

Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator
Sentral”, Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan
Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.

Kodoatie, R.J. et.all. 2001. Pengelolan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Andi.

DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai