Anda di halaman 1dari 19

KONSEP ROY

BAB I

PENDAHULUAN

KONSEP ROY

A.    Latar Belakang

Dengan meningkatnya tuntutan dan kebutuhan akan profesionalisme keperawatan maka perlunya

perawat memahami landasan teori yang dijadikannya sebagai pedoman dalam melaksanakan

asuhan keperawatan. Salah satu teori keperawatan yang dapat dikembangkan untuk praktek

keperawatan di Indonesia adalah teori “Model Adaptasi Roy” dari Sister Callista Roy. Teori ini

menjelaskan bagaimana individu/klien mampu meningkatkan kesehatannya dengan

mempertahankan perilaku secara adaptif dan merubah perilaku yang maladaptif.

Model Adaptasi Roy merupakan salah satu teori keperawatan yang berfokus pada kemampuan

adaptasi klien terhadap stressor yang dihadapinya. Dalam penerapannya Roy menegaskan bahwa

individu adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan utuh yang memiliki mekanisme

koping untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Roy mendefinisikan lingkungan

sebagai semua yang ada di sekeliling kita dan berpengaruh pada perkembangan manusia. Sehat

adalah suatu keadaan atau proses dalam menjaga integritas diri, respon yang menyebabkan

penurunan integritas tubuh menimbulkan adanya suatu kebutuhan dan menyebabkan individu

berespon terhadap kebutuhan tersebut melalui upaya atau prilaku tertentu. Menurutnya peran

perawat adalah membantu pasien beradaptasi terhadap perubahan yang ada.


Pasien inkontinensia urine sering mengalami masalah psikososial, fisik, dan seksual, seperti

depresi, gangguan tidur, berkurangnya interaksi sosial, pekerjaan dan aktivitas fisik. Kondisi ini

juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan biaya perawatan tinggi

( Rachmawaty E, 2007 ). Banyak wanita-wanita masih percaya bahwa inkontinensia adalah

suatu kondisi yang alami / wajar di dalam proses penuaan atau suatu akibat penekanan pada saat

melahirkan. Mereka umumya sulit untuk mendiskusikan masalah dengan para teman, keluarga

atau konsultan. Beberapa wanita-wanita percaya bahwa masalah mereka bukanlah hal yang

serius dan perlu untuk berkonsultasi. ( Anders K, 2006 ). Tetapi pada penelitian lain dikatakan

bahwa Inkontinensia urin dapat menyebabkan kecemasan, hilangnya keyakinan, keadaan yang

memalukan, dan isolasi sosial. Penderita-penderita selalu takut bila mengalami kondisi ini pada

saat dia berhubungan dengan orang lain. Beberapa gaya hidup secara dramatis berubah.

( Raisbeck E , 2005 ).

Melihat begitu kompleksnya masalah dan penanganan yang diberikan dalam mengatasi problem

inkontinensia ini tentunya diperlukan adaptasi dari klien terhadap problem dan pengobatan yang

dihadapinya sehingga perlunya menggunakan pendekatan “Model Adaptasi Roy” dalam

mengatasi masalah yang dialaminya.

B. Tujuan Penulisan
    

1.      Tujuan Umum

Dapat memahami dan menerapkan Model Adaptasi Roy dalam memberikan Asuhan

Keperawatan.
2.      Tujuan Khusus

a.       Dapat mengaplikasikan Model Adaptasi Roy dalam Asuhan Keperawatan klien yang

mengalami inkontinensia urine.

b.      Dapat menganalisa penerapan Model Adaptasi Roy pada klien yang mengalami inkontinensia

urine.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A.    Model Adaptasi Roy

Dalam Asuhan Keperawatan, sesuai dengan paradigma yang dikemukakan Roy (1984)

menyatakan bahwa sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok

dan masyarakat yang dipandang sebagai “ Holistik adaptif system” dalam segala aspek yang

merupakan satu kesatuan.

Input Proses control Efektor Out put


   St      
imu
li
ekst
ern
dan
inte
rn
  Ti
ngk
at
ada
ptas
i
(foc
al,r
esid
ual
kon
stek
tual
)
 

Respon

o      Adaptif

o      Inefektif

 
Mekanisme koping :
    Regulator
    Kognator

    Fungsi fisiologi


    Konsep diri
    Fungsi Peran
    Interdependensi
/
 

Umpan Balik
Gambar 2.1
Model Sistem Adaptasi Manusia berdasar ”Model Adaptasi Roy”
Sumber : Tomey dan Alligood, 2006

Skema tersebut menunjukkan manusia sebagai sistem adaptasi selalu mendapatkan input sebagai

stimulus untuk melakukan proses kontrol. Proses kontrol adalah mekanisme koping yang terdiri

dari subsistem regulator dan cognator. Subsistem regulator melakukan koping yang

diperlihatkan dalam mode adaptasi fisiologis. Penghubung sistem regulator adalah proses koping

neural, kimia dan endokrin. Tanda-tanda yang dinyatakan oleh aktivitas regulator antara lain

peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi, ketegangan, kegembiraan, hilang nafsu makan

dan meningkatnya serum cortisol. Sedangkan subsistem kognator berhubungan dengan fungsi

yang lebih tinggi dari otak yaitu persepsi atau pengolah informasi yang terdiri dari proses

perhatian, dan ingatan. Mekanisme koping kognator diperlihatkan dalam 3 (tiga) mode adaptif,

yaitu konsep diri, interdependen dan fungsi peran. (Roy & Andrew’s ,1991) ; (George, 1995) ;

(Tomey dan Alligood, 2006)

B.     Proses Keperawatan Berdasar Teori “Model Adaptasi Roy”

Model Adaptasi Roy menjelaskan proses keperawatan secara terperinci , termasuk melakukan

pengkajian terhadap tingkah laku klien dan factor yang mempengaruhinya, identifikasi masalah,
menetapkan tujuan, memilih intervensi dan mengevaluasi hasil untuk menghasilkan keperawatan

yang menyeluruh. ( Tolson &McIntosh, 1996, dalam Araich Manjit, 2001). Proses keperawatan

menurut model ini terdiri dari dua tahap pengkajian, yaitu pengkajian terhadap prilaku pasien

dan pengkajian terhadap stimulus yang menyebabkan terjadinya prilaku tersebut.

Diagram Proses keperawatan dalam Model Adaptasi Roy


(Araich Manjit, 2001)

Tiga jenis stimulus menurut model adaptasi Roy


(Araich Manjit, 2001)

Dalam menegakkan diagnosa keperawatan, Roy menunjukkan 3 metode dalam pembuatan

diagnosa keperawatan yaitu :

   Menggunakan tipe yang berhubungan dengan 4 mode adaptasi, contoh hipoksia.

   Menggunakan diagnosa dengan mengobservasi respon dalam satu modes berdasar stimuli yang

paling mempengaruhi. Contoh, nyeri dada akibat kekurangan oksigen pada otot jantung karena

cuaca panas.

   Menggunakan respon dalam satu atau beberapa modes adaptif yang berhubungan stimulus yang

sama. Contoh, nyeri dada pada seorang petani yang bekerja di luar pada cuaca yang panas.

Diagnosa dapat ditulis juga dengan kegagalan peran karena keterbatasan kemampuan fisik untuk

bekerja pada cuaca panas.

( George, 1995 )

Setelah diagnosa ditegakkan maka perlu ditetapkan tujuan , tujuan adalah penetapan pernyataan

jelas dari hasil perilaku asuhan keperawatan untuk klien. Tujuan umum didefinisikan sebagai

mempertahankan dan memperkuat perilaku adaptif dan merubah perilaku tidak efektif menjadi

adaptif. Tujuan jangka pendek mengidentifikasi hasil perilaku yang meningkatkan adaptasi.

Intervensi keperawatan adalah perencanaan tindakan yang ditujukan untuk melakukan perubahan

/ pengaturan stimulus fokal dan konstektual. Rencana tindakan difokuskan pada peningkatan

kesanggupan klien untuk melakukan koping sehingga seluruh stimuli yang mempengaruhi

perilaku mampu diadaptasi dengan baik. Perawat dapat pula merencanakan aktivitas spesifik

untuk mengubah stimulus terpilih secara tepat. Langkah terakhir dalam proses keperawatan
adalah melakukan evaluasi. Evaluasi menunjukkan efektivitas mekanisme koping klien terhadap

stimuli yang diterimanya.


BAB III

APLIKASI TEORI PADA KASUS KLIEN DENGAN INKONTINENSIA URI

A. Kasus

Ny M umur 40 tahun mengalami inkontinensia urine akibat pasca stroke yang di alaminya, Ny

M datang ke poli stroke dan mengeluhkan sering kencing tanpa disadari. , akibatnya klien

merasa terganggu dalam beraktivitas sehari – hari. Sebelum mengalami serangan stroke

kebiasaan eliminasi Ny M normal yaitu : frekwensi BAK (siang 5 x/ hari dan malam 2-3 x/ hari

), volume urine ± 100 – 150 cc tiap BAK dengan warna dan bau normal. Hasil pemeriksaan fisik

didapatkan data BB Ny M adalah 60 Kg, Tensi 130/90mmHg, Nadi 80 x/menit, respirasi 18

x/menit dan suhu 36, 5 derajat C , wajah menampakkan ekspresi cemas.

Ny M adalah seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai seorang kepala sekolah pada

suatu institusi pendidikan swasta, ,dia menanyakan dengan ekspresi tegang dan cemas terkait

seringnya ia tidak dapat menahan respon BAK , akibatnya klien selalu membawa banyak

pakaian dalam pengganti , merasa tidak nyaman dan sering gatal pada daerah genetalianya. klien

merasa malu dan membatasi aktivitasnya di luar ruangan. Klien mengatakan akibat masalah ini

dia sering membatasi minum.

B. Pembahasan Kasus Berdasarkan Model Adaptasi Roy

1.      Pengkajian

n Prilaku

Berdasarkan model adaptasi Roy ada 4 (empat) mode yang harus dikaji terhadap prilaku

inkontinensia urine yang di alaminya yaitu :


Mode fisiologis Mode Mode Mode
Konsepdiri Fungsi peran Interdependen
Mencakup pengkajian         Keyakinan Takut terjadi Kekhawatiran
oksigenisasi, nutrisi,        Spiritual kegagalan peran terputusnya
eliminasi, aktivitas, istirahat,         body image di keluarga dan interaksi dengan
keseimbangan cairan dan        integritas fisik tempat kerja keluarga dan
elektrolit.         prinsip kolega
Pengkajian Fokus pada        ideal dirinya.
Fungsi eliminasi yang
meliputi :
- frekwensi BAK
- Karakteristik
- Volume dan karakteristik
urine ( warna, kejernihan,
bau )
- Urgensi ( ketidak mampuan
menahan kencing ) dan
faktor yang
menyebabkannya misalkan
tertawa, batuk .
- Kebiasaan saat BAK
( Posisi )
- Nyeri atau ketidaknyamanan
- Hasil Laboratorium

n Stimulus

Merupakan pengkajian terhadap stimulus yang menyebabkan prilaku di atas :

Stimulus Fokal Stimulus contektual Stimulus residual


Faktor-faktor yang komunikasi dan dukungan -          Tahap perkembangan pasien
menyebabkan inkontinensia : kultur / budaya -          Kemungkinan
        penyakit          Data Identitas diri yang depresi/penurunan derajat
        Proses penuaan mencakup umur, jenis kesehatan
        Keseimbangan cairan kelamin, karena dapat
        Stress mempengaruhi persepsi
terhadap nyeri.
         Status mental
         Kecemasan/coping skill
        Pengetahuan awal tentang
masalah perawatan kesehatan

        Identifikasi kemampuan dan


kebutuhan keluarga / sumber
ekonomi
        Kurang pengetahuan tentang
penyakit dan perubahan
tingkah laku
        Komunikasi & dukungan
keluarga
        Nilai budaya serta
lingkungan tempat tinggal

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urine . Perawat harus

mengetahui adanya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan transient inkontinensia urine

atau inkontinensia urine yang menetap. Perawat harus mampu membedakan apakah penyebab

inkontinensia urine ini karena faktor penyakit atau proses ketuaan. Ada beberapa kondisi yang

dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urine pada lansia wanita yaitu : perubahan

neurotransmitter sistem syaraf pusat, penurunan hantaran saraf, gangguan manajemen cairan,

hyperaktivitas bladder, gangguan kontraktilitas baldder, peningkatan kejadian prolap pada organ

plevic, dan tipisnya lapisan mukosa kandung kencing yang disebakna oleh penurunan estrogen.

( Enriqueze Elizabeth, diperoleh tanggal 28 september 2007).

Keseimbangan cairan mempunyai keterkaitan besar kepada inkontinensia. Masukan cairan yang

tidak adekwat sering terjadi pada orang dewasa terutama pada lansia yang tidak dapat menahan

kencingnya , mereka sering membatasi minum untuk mengurangi keinginan kencing. Hal ini

tentunya dapat menimbulkan masalah baru terutama untuk klien lansia yaitu dehidrasi.
Evaluasi lingkungan terdekat perlu dikaji terutama berkaitan dengan resiko trauma yang dapat

terjadi pada lansia akibat peningktan frekwensi ke kamar mandi, Bagaimana pencahayaan di

kamar mandi , terutama pada malam hari, Lantai kamar mandi juga harus dijamin tidak licin

untuk menghindari terpelesetnya karena terburu-buru ingin buang air kecil. Ada tidaknya

pegangan pengaman bagi lansia untuk ke kamar mandi.

Pengobatan mungkin berpengaruh paling besar pada keadaan inkontinensia. Perawat harus sadar

akan efek samping dari pengobatan yang diberikan pada lanjut usia, terutama penggunaan obat-

obat sedatif, narkotik, anticholinergics, parasimpatolitik, dan calcium channel blockers.

Diuretika juga menyebabkan klien inkontinensia. Perawat harus mempertimbangkan perlu

tidaknya penghentian atau pergantian obat dalam menangani kasus inkontinensia ini.

Perawat juga harus memahami terhadap adanya nyeri dan metode yang digunakan pasien dalam

menghadapi nyeri tersebut. Pengalaman dari nyeri mungkin membantu perkembangan

inkontinensia, Kondisi nyeri ini kadang membuat klien untuk membatasi diri untuk pergi ke

kamar mandi. Sering kali, perawat-perawat tidak menyadari bahwa kondisi-kondisi seperti

radang sendi pada lansia sangat menyakitkan sehingga mereka membatasi untuk bergerak.

Tekanan fisik atau psikologis yang mempengaruhi pasien menurut Roy adalah stimulus yang

wajib dikaji perawat. Tekanan fisik bisa disebabkan oleh satu iritan, seperti adanya fecal

impaction atau suatu tumor. Adapun Secara psikologis, penderita bisa tertekan oleh kebingungan

akan apa yang dialami atau oleh rasa takut akan ngompol. Bagian akhir dari pengkajian stimulus
adalah tahap tumbuh kembang pasien. Menurut tahap perkembangan Erickson wanita- wanita tua

umumnya mengalami gangguan integritas diri atau despair. Keadaan inkontinensia sangat

mempengaruhi integritas dalam dirinya. Dalam hal ini juga perlu dikaji komunikasi dan

dukungan keluarga dalam menemukan kembali integritas diri pasien lansia yang mengalami

inkontinensia tersebut.

.      Diagnosa Keperawatan

Untuk dapat menegakkan diagnosa keperawatan yang benar, perawat harus mampu mengenali

respon - respon adaptif dari klien. Klien akan mengalami respon yang berbeda terhadap

perubahan lingkungannya, baik itu lingkungan internal atau eksternal. Kemampuan Cognator

dapat mempengaruhi setiap kebutuhan yang physiologic, termasuk eliminasi, dan ini akan

membantu klien untuk menyesuaikan diri dalam mencapai tujuan. Roy melalui tiga cara yaitu

menggunakan typologi berdasarkan adaptasi mode, mengobservasi perilaku yang paling

dipengaruhi oleh stimulus dan menyimpulkan dari perilaku dari satu atau lebih adaptif mode

dengan stimulus yang sama maka diagnosa disusun menggunakan cara ketiga dengan diagnosa

sebagai berikut :

Diagnosa keperawatan untuk kebutuhan fisiologisnya :

a. Urgensi inkontinensia urine berhubungan dengan gangguan neurologik sekunder akibat

stroke

b. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelembabab daerah genitalia dari

ekresi urine

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan urgensi berkemih


Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan kebutuhan konsep diri :

Gangguan body image berhubungan dengan bau, seringnya berganti pakaian dalam sekunder

akibat urgensi berkemih

Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan fungsi peran:

Isolasi sosial berhubungan dengan penurunan status kesehatan atau ketakutan terhadap hal yang

memalukan

3.      Tujuan

Tujuan yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah klien adalah :

a.       Menunjukkan kontinensia urine yang adekwat dengan kriteia :

-          mengenali urgensi berkemih

-          keadekwatan waktu untuk mencapai kamar kecil antara urgensi dan pengeluaran urine

-          mampu memperkirakan pola untuk mengeluarkan urine

b.      Integritas kulit terjaga dengan kriteria tidak ada tanda- tanda lesi jaringan, suhu, dan elastisitas

kulit normal

c.       Klien mendapatkan tidur yang adekwat dengan kriteria :

        Jumlah jam tidur cukup

        Tidak ada masalah dengan pola, kualitas dan rutinitas tidur

        Perasaan segar setelah tidur / istirahat

d.      Body image positif dengan kriteria ;

        kepuasan terhadap penampilan


        kongruen antara realitas tubuh dan ideal tubuh

e.       Menunjukkan keterlibatan sosial dengan kriteria :

-          melaporkan adanya interaksi dengan teman dekat, tetangga, anggota keluarga, dan atau

kelompok kerja

-          melaporkan adanya partisipasi sebagai anggota kelompok keagamaan. Klub atau kelompok

sukarelawan

-          berpartisipasi dalam aktivitas pengalihan

4.      Intervensi Keperawatan

Intervensi dibuat berdasarkan dari hasil pengkajian prilaku dan stimulus yang didapatkan.

Perawat dapat menggunakan model Roy untuk meningkatkan dan menguatkan stimuli atau

tindakan untuk berubah atau menghilangkan masalah. Hal ini Tergantung pada tingkat dari

keadaan inkontinensia, jenis dan intensitas intervensi itu mungkin bervariasi . Intervensi harus

mempertimbangkan di mana pasien tinggal, bagaimana sikap dari keluarga, dan faktor

lingkungan lain. Banyak intervensi yang dapat diberikan pada kondisi inkontinensia ini yaitu

meliputi intervensi prilaku, farmakologi dan atau intervensi pembedahan.

Adapun intervensi keperawatan (dihubungkan dengan stimulus fokal ) yang dapat dilakukan

berdasarkan diagnosa yang dibuat diatas adalah :

a.             Kaji kemampuan klien untuk mengenali urgensi berkemihnya

b.            Ciptakan lingkungan yang memudahkan pasien pergi ke kamar mandi .

c.             Dorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan untuk di pagi dan siang hari mencegah

konstipasi akibat pasien mengurangi konsumsi cairan

d.            Anjurkan pasien untuk tetap mempertahankan daerah genetalia tetap kering dan bersih

e.             Ajarkan latihan kegel untuk mengendalikan inkontinensianya


f.             Dorong pasien untuk mengikuti program rehabilitasi otot panggul

g.            Gali support sistem yang mendukung untuk meningkatkan self image pasien dengan melibatkan

keluarga untuk berpartisipasi dalam program latihan

5.      Evaluasi

Evaluasi terhadap kebutuhan fisiologis mengungkapkan prilaku adaptif, yang dicapai dengan

memanipulasi stimulus fokal, apakah pelaksanaan latihan kegel dapat meningkatkan status

eliminasi pasien , seperti urgensi berlemih terpelihara, integritas kulit baik. Dan pola tidur

terpenuhi baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Untuk kebutuhan konsep diri dan peran , pencapaian tujuan mungkin relatif lambat, karena

kondisi kronis penyakitnya, Kita dapat melihat beberapa hasil seperti penurunan tingkat

kecemasan, secara verbal mau mengungkapkan kondisi penyakitnya dan perlu perawatan jangka

panjang dengan tetap melaksanakan rehabilitasi otot panggul. Pasien juga harus mempunyai

kemampuan untuk tetap melakukan akitivitas sosialnya dengan penyesuaian terhadap kondisi

inkontinensianya.

C.    Penutup

Penggunaan salah satu teori keperawatan yang logis dalam mengatasi problem inkontinensia

urine ini adalah dengan menggunakan pendekatan teori dari Sister Callista Roy. Teori adaptasi

model Roy mempunyai kekuatan untuk melakukan pendataan secara lengkap dan akurat karena

pengkajianya melalui dua tahap sehingga sangat membantu perawat untuk melakukan asuhan
keperawatan, selain itu metode perumusan diagnosa Roy memberikan tiga alternatif pilihan

,melalui penggunaan typologi sesuai mode adaptasi, melalui observasi perilaku yang paling

dipengaruhi stimulus dan menyimpulkan dari berbagai adaptif made dengan stimulus yang sama

sehingga perawat mempunyai berbagai alternatif untuk menentukan diagnose yang tepat bagi

klien.

Model yang dikembangkan Roy dapat diaplikasikan diberbagai tatanan pelayanan rumahsakit

dari klien dengan penyakit akut maupun kronis , dari klien dengan permasalahan fisiologis dan

psikologis , hal tersebut sesuai dengan karakteristik teori sebagaimana pendapat (1995) bahwa

teori harus dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah klien dari yang sederhana sampai yang

komplek. Pada intervensi, model adaptasi Roy dapat menghindarkan terjadinya duplikasi

pembuatan perencanakan tindakan dan lebih terarah karena penetapan masalah berdasarkan

berbagai respon yang sama walaupun berasal dari berbagai sistim mode.

Kelemahan teori ini menurut penulis sulit untuk diterapkan pada anak khususnya bagi perawat

pemula atau yang kurang menguasai tentang konsep tumbuh kembang anak akan sulit untuk

menginterpretasikan respon dari anak sehingga sulit untuk mengelompokkan data pada area

fokal,kontexual dan residual dan ini akan mengurangi akurasi penetapan diagnosa dan intervensi.
BAB III

Kesimpulan dan saran

A.    Kesimpulan

.
1.            Penggunaan Model Adaptasi Roy meningkatkan pelayanan perawatan pada pasien dengan

inkontinensia urine. Implementasi dari model praktek ini dirasakan berdampak positif terhadap

rasa kepedulian sebagai perawat-dan menggambarkan profesi perawat secara keseluruhan.

Model ini efektif untuk memfasilitasi pasien ke arah tujuan yang diharapkan. Menurut penulis,

penggunaan model ini pada kasus inkontinensia urine meningkatkan kualitas pelayanan

keperawatan pasien , terutama menggunakan pendekatan yang komprehensif dalam pengkajian

dan perencanaan

2.            Teori adaptasi model Roy dapat diaplikasikan pada semua tatanan pelayanan keperawan dengan

berbagai kondisi klien dengan mudah, ringkas dan menjangkau cakupan yang luas dari

permasalahan klien.

B.     Saran

1.      Perlunya dikembangkan lebih spesifik suatu pendekatan Model Adaptasi Roy dalam
memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dalam meningkatkan respon adaptif klien.
2.      Perlu dilakukan analisis yang mendalam untuk penerapan Model Adaptasi Roy, agar dapat
diaplikasikan juga pada semua gangguan kesehatan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Araich Manjit ( 2001), ICUs and Nursing Web Journal; Roy Adaptation Model: Demonstration of
Theory Integration into Process of care in Coronary Care Unit, diperoleh tanggal 26 September
2007 dari http://www.nursing.gr/protectedarticles/Roy.pdf,

Anders K. (2006). Nursing Standard;.Recent developments in stress urinary incontinence in


women.diperoleh tanggal 26 September 2007) dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdf?
vid=8&hid=120&sid=617dba73-8d1e-42ff-b27a-ad26f251d6a9%40sessionmgr104

Brunner & Suddarth.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Agung Waluyo (et al.);
Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester…(et al.).Ed.8.-Jakarta : ECG,2001

Enriqueze Elizabeth, A Nursing Analysis of the Causes of and Approaches for Urinary Incontinence
among Elderly Women in Nursing Homes , diperoleh tanggal 28 september 2007, dari
http://www.o-wm.com/,)

Fitzpatrick, Joyce. J. & Ann, L.Whall. (1989). Conceptual Models of Nursing – Analysis and
Application. USA : Appleton & Lange

George Julia B (1995), Nursing Theories: The base professional Nursing practice (4th ed), California :
Appleton & Lange.

Levine. ( 1992 ). Canadian Journal Of Nursing; The Roy Adaptation Model. diperoleh dari
http://www.cjnr.nursing.mcgill.ca/archive/30/30_4_levine.html pada tanggal 20 September 2007

Raisbeck E .(2005), Practice Nurse ; Understanding urinary incontinence in women Understanding


urinary incontinence in women. diperoleh tanggal 26 September 2007 dari
http://proquest.umi.com/pqdweb?
did=939418051&sid=11&Fmt=4&clientId=45625&RQT=309&VName=PQD

Rachmawaty E. (2007). Kompas ; Bila ngompol di usia senja.diperoleh tanggal 25 mei 2007 dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/25/kesehatan/3555362.htm 4 Oktober 2007-10-23

Tomey, Marriner dan Alligood. (2006). Nursing Theorists and their Work, Philadelphia : Mosby

Anda mungkin juga menyukai