MATA KULIAH:
EVALUASI DAN SUPERVISI
BIMBINGAN KONSELING
Oleh
Paul Arjanto, S.Pd., M.Pd.
Evaluasi dan Supervisi merupakan hal yang hampir terlupakan dalam setiap pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling khususnya di sekolah. Hal ini disebabkan oleh karena
kurangnya pemahaman Guru Bimbingan dan Konseling / Konselor bahkan calon Sarjana
Bimbingan dan Konseling (mahasiswa) terhadap evaluasi dan supervisi bimbingan dan
(akuntabilitas) program, perencanaan, proses dan hasil dari layanan bimbingan dan konseling
kepada pihak-pihak terkait, meliputi: kepala sekolah, guru mata pelajaran, orang tua dan peserta
didik sehingga terukur dan memberikan dampak bagi perkembangan pribadi-sosial, belajar dan
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu
dalam penulisan Buku Ajar ini. Setiap masukan dari seluruh pihak sangat penulis harpakan
dalam rangka pengembangan dan perbaikan terhadap isi, sistematika, dan elaborasi yang terdapat
dalam buku ini. Akhir kata, kiranya buku ajar yang sangat sederhana ini dapat diterima dan
digunakan sebagai sumber bacaan dan informasi bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan
ii
DAFTAR ISI
Prakata ....................................................................................................................................... ii
Bab III. Arti Penting Evaluasi dalam Unjuk Kerja Profesi Konselor .................................. 24
iii
BAB I
HAKEKAT EVALUSI DAN SUPERVISI
BIMBINGAN KONSELING
A. Pengertian Evaluasi
Evaluasi (evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan, evaluasi dapat diartikan
sebagai proses pengukuran akan efektivitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai
tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai
analisis situasi program berikutnya.
Secara konseptual, evaluasi adalah jantung perubahan dan perkembangan suatu organisasi,
program, kegiatan, atau institusi. Tanpa evaluasi yang baik, suatu kegiatan, program, atau
organisasi sulit diharapkan untuk berkembang secara kompetitif. Rencana strategis yang baik
hanya dapat dihasilkan jika ia didasarkan pada evaluasi yang baik. Namun demikian, kegiatan
evaluasi sering kali diabaikan atau kurang diperhatikan. Tidak jarang, evaluasi dianggap sebagai
aksesori yang kurang bermanfaat bagi peningkatan program, kegiatan, atau organisasi, dan hanya
menghamburkan biaya, tenaga, dan waktu.
Dalam mengadakan sebuah proses evaluasi, terdapat beberapa hal yang harus dibahas,
yaitu apa yang menjadi bahan evaluasi, bagaimana proses evaluasi, kapan evaluasi diadakan,
mengapa perlu diadakan evaluasi, di mana proses evaluasi diadakan, dan pihak yang
mengadakan evaluasi. Hal yang perlu dilakukan dalam evaluasi tersebut adalah adanya
narasumber, efektivitas penyebaran pesan, pemilihan media yang tepat, dan pengambilan
keputusan anggaran dalam mengadakan sejumlah promosi dan iklan.
Evaluasi tersebut perlu diadakan dengan tujuan untuk menghindari kesalahan perhitungan
pembiayaan, memilih strategi terbaik dari berbagai alternatif strategis yang ada, meningkatkan
efisiensi iklan secara general, dan melihat apakah tujuan sudah tercapai, Di sisi lain, perusahaan
terkadang enggan untuk mengadakan evaluasi karena biayanya yang mahal, terdapat masalah
dengan penelitian, ketidaksetujuan akan apa yang hendak dievaluasi, merasa telah mencapai
tujuan, dan banyak membuang waktu.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas akan evaluasi pelaksanaan program
bimbingan dan konseling. terlebih dahulu perlu dibahas mengenai pengertian evaluasi
1
pelaksanaan program bimbingan dan konseling. Berikut ini beberapa pengertian menurut sumber
berbeda:
1. Menurut Nana Sudjana (1991), evaluasi adalah memberikan pertimbangan atau nilai
berdasarkan kriteria tertentu.
2. Menurut Moh. Surya dan Rochman Natawidjaja (1986), evaluasi adalah upaya menelaah
atau menganalisis program layanan bimbingan dan konseling (BK) yang telah dan sedang
dilaksanakan untuk mengembangkan serta memperbaiki program bimbingan secara
khusus dan program pendidikan di sekolah (termasuk madrasah) secara umum.
3. Menurut W.S. Winkel (1991), evaluasi program bimbingan adalah mencakup usaha
menilai efesiensi dan efektivitas pelayanan bimbingan itu sendiri demi peningkatan mutu
program bimbingan. Pelaksanaan evaluasi menuntut diadakan penelitian dengan
mengumpulkan data secara sistematis, mengadakan penafsiran, dan merencanakan
langkah-langkah perbaikan.1
4. Menurut Sukardi (1990), evaluasi pelaksanaan program bimbingandan konseling di
sekolah adalah segala upaya, tindakan, atau proses untuk menetukan derajat kualitas
kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan dan konseling
di sekolah, dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan
program bimbingan yang dilaksanakan.
5. Menurut Dewa Ketut Sukardi (1990), evaluasi program bimbingan adalah segala upaya,
tindakan, atau proses untuk menetukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah, dengan mengacu pada
kriterian atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang
dilaksanakan. Jadi, pelaksanaan program bimbingan merupakan salah satu usaha untuk
menilai efisiensi dan efektivitas pelayanan bimbingan dan konseling demi peningkatan
mutu program bimbingan dan konseling.
1
Winkel W.S. & Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta:
Gramedia, 1991), hlm. 135.
2
6. Menurut Fitri Wahyuni (2009), evaluasi pelaksanaan program bimbingan dan konseling
adalah usaha penelitian dengan cara mengumpulkan data secara sistematis, menarik
kesimpulan atas dasar data yang diperoleh secara objektif, mengadakan penafsiran, serta
merencanakan langkah-langkah perbaikan, pengembangan, dan pengarahan staf.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat dirumuskan dua pengertian dari evaluasi
bimbingan dan konseling. Pertama, evaluasi program bimbingan dan konseling merupakan suatu
usaha untuk menilai efisiensi dan efektifitas pelayanan bimbingan dan konseling demi
peningkatan mutu program bimbingan dan konseling.
Kedua, evaluasi program bimbingan dan konseling ialah suatu usaha penelitian dengan
cara mengumpilkan data secra sistematis, menarik kesimpulan atas dasar data yang diperoleh
secara objektif, mengadakan penafsiran, serta merencanakan langkah-langkah perbaikan,
pengembangan, dan pengarahan staf.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa evaluasi pelaksanaan program bimbingan dan
konseling merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Sebab, berdasarkan hasil evaluasi
itulah, dapat diambil suatu kesimpulan apakah kegiatan yang telah dilakukan dapat mencapai
sasaran yang diharapkan secara efektif dan efisien atau tidak, kegiatan perlu diteruskan atau
tidak, dan sebagainya. Oleh karena itu, kegiatan evaluasi program bimbingan dan konseling
dilakukan untuk beberapa hal berikut;
1. Meneliti secara periodik hasil pelaksanaan program BK agar dapat diketahui bagian
program mana yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki.
2. Memperkuat asumsi atau perkiraan yang mendasari pelaksanaan program BK. Salah satu
asumsi atau perkiraan yang berkenaan dengan evaluasi adalah apakah program dan
layanan BK telah benar-benar efektif membantu klien di sekolah dan madrasah dalam
mengembangkan secara memuaskan perilaku yang positif.
3. Melengkapi bahan-bahan informasi dan data yang diperlukan untuk pelayanan BK
kepada klien secara perorangan. Program pengumpulan data (testing) yang mencakup
kecerdasan, bakat, dan tes hasil belajar akan sangat membantu konselor dan petugas-
petugas bimbingan yang lain dalam menentukan jenis bantuan yang perlu diberikan
kepada klien.
3
4. Memperoleh dasar yang kuat sebagai kelancaran pelaksanaan program BK di sekolah dan
madrasah berkenaan dengan masyarakat.
B. Pengertian Supervisi
Keterampilan utama dari seorang kepala sekolah adalah melakukan penilaian dan
pembinaan kepada konselor untuk secara terus-menerus meningkatkan kualitas proses bimbingan
yang dilaksanakan di kelas agar berdampak pada kualitas hasil belajar klien. Untuk dapat
mencapai kompetensi tersebut, kepala sekolah diharapkan dapat melakukan supervisi yang
didasarkan pada metode dan teknik supervisi yang tepat sesuai dengan kebutuhan konselor.
Glickman (1981) mendefenisikan supervisi sebagai serangkaian kegiatan untuk membantu
konselor dalam mengembangkan kemampuannya mengelola proses bimbingan demi pencapaian
tujuan bimbingan.2 Dengan demikian, esensi supervisi itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja
konselor dalam mengelola proses bimbingan, melainkan membantu konselor dalam
mengembangkan kemampuan profesionalismenya.
Prinsip-prinsip supervisi modern yang harus direalisasikan pada setiap proses supervisi di
sekolah-sekolah, di antaranya;
1. Supervisi harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis, bersifat
terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara
supervisor dengan konselor-konselor, melainkan juga antara supervisor dengan pihak lain
yang terkait dengan program supervisi.
2. Supervisi harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi bukan tugas yang bersifat
sambilan dan hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Apabila konselor
telah berhasil mengembangkan dirinya, bukan berarti tugas supervisor selesai, melainkan
harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat problem proses
bimbingan selalu muncul dan berkembang.
2
Glickman C.D., Developmental Supervision: Alternative Practices for Helping Teachers (New
York: Holt, Rinehart, and Winston, 1981).
4
3. Supervisi harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi.
Titik tekan supervisi haruslah demokratis, aktif, dan kooperatif. Supervisor harus
melibatkan secara aktif konselor yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program
bukan hanya pada supervisor, melainkan juag pada konselor-konselor. Oleh karena itu,
program supervisi sebaiknya direncanakan, dikembangkan, dan dilaksanakan bersama
secara kooperatif dengan konselor-konselor, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait
di bawah koordinasi supervisor.
4. Program supervisi harus integral dengan program secara keseluruhan. Dalam upaya
perwujudan prinsip ini, diperlukan hubungan yang bik dan harmonis antara supervisor
dengan semua pihak pelaksana program pendidikan.
5. Supervisi harus komprehensif. Program supervisi harus mencakup keseluruhan aspek
pengembangan, walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu
berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan sebelumnya.
6. Supervisi harus konstruktif. Supervisi bukanlah untuk mencari kesalahan-kesalahan
konselor-konselor, melainkan untuk mengembangkan pertumbuhan dan kreativitas
konselor dalam memahami serta memecahkan problem-problem yang dihadapi.
7. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi, keberhasilan program supervisi
harus objektif, berdasarkan kebutuhan nyata pengembangan profesional konselor-
konselor.
1. Supervisi
Supervisi adalah suatu proses sistematis dan berkelanjutan dalam pengumpulan,
analisis, dan penggunaan informasi untuk mengontrol manajemen dan pengambilan
keputusan. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memastikan apakah hal-hal apa pun
5
dari suatu program yang sedang dijalankan dapat berjalan secara efektif, efisien, sesuai
dengan langkah atau rencana yang telah disusun sebelumnya.
Supervisi harus dilakukan secara kontinu atau reguler, missal bulanan, per semester,
tahunan, dan lain sebagainya. Dalam melakukan supervisi tersebut, harus jelas indikator-
indikator yang harus dipantau. Dan, supervisi dilakukan dengan lima tujuan berikut;
a. Menghasilkan kinerja terbaik dengan cara memperoleh feedback dari semua pihak
atau aspek yang sedang kita kerjakan.
b. Meningkatkan rencana kerja dan melakukan tindakan perbaikan dengan segera
terhadap beberapa penyimpangan (deviasi) yang mungkin terjadi.
c. Menjejaki progress dan perubahan yang terjadi dari sisi input, proses, maupun output
melalui sistem pelaporan dan pencatatan reguler.
d. Membantu pengambilan keputusan, seperti manajer program dalam menentukan hal-
hal yang memerlukan fokus perhatian penuh atau usaha yang lebih dan hal yang
kurang prioritas, atau hal yang harus segera diluruskan, dikembalikan, dan diarahkan
munuju tujuan ideal, sesuai rencana.
e. Temuan hasil supervisi selanjutnya akan menjadi bahan atau bagian dari alat evaluasi
untuk inteverensi selanjutnya.
2. Evaluasi
Evaluasi adalah sekumpulan aktivitas yang dirancang untuk menentukan nilai atau harga
dari suatu program atau intervensi tertentu. Evaluasi dilakukan untuk menentukan apakah proyek
tersebut berhasil, kurang berhasil, atau gagal. Meskipun demikian, evaluasi bisa bersifat formatif,
artinya temuan evaluasi dijadikan sebagai acuan untuk melakukan revisi atau perbaikan, tetapi
bisa juga bersifat sumatif untuk menentukan efektif atau tidak, berhasil atau tidak, layak atau
tidak, sehingga memungkinkan suatu program perlu dilanjukan atau dihentikan.
Dengan demikian, tujuan evaluasi adalah untuk mengukur dan menilai pengaruh, hasil atau
produk, dan dampak dari suatu intervensi/program sebagai acuan pengambilan keputusan, baik
selama pelaksanaan program maupun untuk tindak lanjut pelaksanaan program ke depan.
Evaluasi suatu program biasanya terbagi dalam dua tingkatan, yakni evaluasi tengah
program (midterm evaluation) dan evaluasi akhir program (program completion evaluation).
Evaluasi tengah program dimaksudkan untuk review kemajuan dan usulan-usulan alternatif
6
desain program untuk sisa waktu pelaksanaan program. Sedangkan, evaluasi akhir program
dimaksudkan untuk menilai dan mendokumentasikan sumber daya yang digunakan, serta hasil-
hasil kemajuan tujuan program. Evaluasi akhir program bertujuan untuk merumuskan pelajaran
yang dipetik (lesson learn) sebagai pijakan bagi perancang, pelaksana dan para penerima
manfaat program dalam perbaikan desain program di masa mendatang.
7
e. Tepat waktu. Artinya, pelaksanaan evaluasi dan supervisi harus sesuai dengan waktu
yang dijadwalkan.
f. Berkesinambungan. Artinya, hasil evaluasi dan supervisi harus digunakan sebagai umpan
balik penyempurnaan pada kebijakan berikutnya.
Sementara itu, ada juga pembagian manajemen yang disederhanakan menjadi empat
fungsi. Pertama, planning. ini merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan
pendefenisian sasaran untuk kinerja organisasi di masa depan dan untuk memutuskan tugas-tugas
dan sumber daya apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran tersebut.
8
Kedua, organizing. Fungsi manajemen yang berkenaan dengan penugasan
mengelompokkan tugas-tugas ke dalam departemen-departemen dan mengalokasikan sumber
daya ke departemen.
Ketiga, leading. Fungsi manajemen yang berkenaan dengan cara menggunakan pengaruh
untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi.
Keempat, controlling. Fungsi manajemen yang berkenaan dengan kepala sekolah terhadap
aktivitas karyawan dalam menjaga organisasi agar tetap berada pada jalur yang sesuai dengan
sasaran dan melakukan korelasi apabila diperlukan.
Dari sini, jelas bahwa kedudukan evaluasi dan supervisi merupakan salah satu bagian dari
manajemen, yaitu controlling. Perbedaan istilah antara controlling dan evaluasi supervisi
hanyalah pada penggunaan kata-katanya saja, tetapi arti dari istilah tersebut relative sama.
9
4) mengetahui sampai sejauh mana keterlibatan semua pihak dalam usaha
menunjang keberhasilan pelaksanaan program bimbingan dan konseling,
5) Memperoleh gambaran sejauh mana peranan masyarakat terhadap pelaksanaan
program bimbingan dan konseling,
6) Mengetahui sampai sejauh mana kontribusi program bimbingan dan konseling
terhadap pencapaian tujuan pendidikan pada umumnya, TIK dan TIU pada
khususnya,
7) Mendapat informasi yang adekuat dalam rangka perencanaan langkah-langkah
pengembangan program bimbingan dan konseling selanjutnya, serta
8) Membantu mengembangkan kurikulum sekolah untuk kesesuaian dan kebutuhan.
2. Tujuan Kusus
Secara khusus, tujuan evaluasi dan supervisi program bimbingan dan konseling adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada klien
di sekolah (madrasah).
b. Mengetahui apakah efektivitas dan efesiensi layanan yang diberikan sudah dalam
fungsinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua individu di sekolah
(madrasah) dan di luar sekolah.
c. Mengetahui bagaimanakah sumbangan program terhadap program pendidikan secara
keseluruhan di sekolah (madrasah yang bersangkutan).
d. Mengetahui apakah teknik-teknik atau program yang digunakan berjalan secara
efektif dalam mencapai tujuan-tujuan bimbingan.
e. Mengetahui aspek-aspek lain yang perlu dimasukan ke dalam program bimbingan
untuk perbaikan layanan yang diberikan.
f. Membantu kepala sekolah (madrasah), konselor-konselor, termasuk pembimbing
dalam melakukan perbaikan tata kerja mereka dalam memahami dan memenuhi
kebutuhan tiap-tiap klien.
g. Mengetahui bagian-bagian manakah dari program bimbingan yang perlu diadakan
perbaikan.
10
h. Mendorong semua personel bimbingan agar bekerja lebih giat dalam
mengembangkan program-program bimbingan.
i. Menunjukkan sejauh mana sumber-sumber masyarakat telah digunakan atau
diikutsertakan dalam program bimbingan untuk tujuan-tujuan pengembangan serta
perbaikan program dan pelayanan bimbingan.
11
BAB II
PERKEMBANGAN MODEL DAN PERMASALAHAN
EVALUASI BIMBINGAN KONSELING
Program bimbingan dan konseling telah cukup lama dilaksanakan pada setting pendidikan
di Indonesia, khususnya sekolah. Meskipun demikian, praktik penyelenggaraannya masih diliputi
masalah-masalah yang sama dengan masalah pada awal penyelenggaraannya. Hingga kini,
anggapan guru BK sebagai polisi sekolah masih terjadi. Pada sisi lain, kepala sekolah dan guru
masih memandang rendah kemanfaatan program bimbingan dan konseling. Kondisi ini juga
menjadi keresahan Prof. Buchori sebagai salah satu pendiri BK di Indonesia yang
mengungkapkan bahwa tidak jarang program bimbingan dan konseling hanya merupakan
komponen pelengkap di sekolah sebagai persyaratan administrasi sekolah (Buchori, 2001:14).
Penyelenggaraan suatu program bimbingan dan konseling semestinya didukung oleh
sistem manajemen yang baik. Pelaksanaan program perlu disertai dengan evaluasi yang mangkus
sehingga program tidak mengalami stagnansi. Sejalan dengan itu, Gysbers & Henderson
(2006:6) menyebutkan bahwa penyelenggaraan suatu program bimbingan dan konseling
dilakukan dalam suatu alur manajerial ang utuh mulai dari planning, designing, implementing,
evaluating, dan improving. Pentingnya evaluasi sebagai bagian yang utuh dalam
penyelenggaraan program BK di sekolah juga disebutkan oleh banyak ahli lain (Astramovich,
2004; Borders & Sandra M. Drury, 1997).
Evaluasi program bimbingan dan konseling menjadi bagian penting yang perlu
mendapatkan perhatian serius dalam upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan program BK
di sekolah. Gysbers (2004) mencatat bahwa evaluasi menjadi isu penting dalam BK pada dekade
terakhir. Sejalan dengan itu, Dahir & Stone (2009) mengungkapkan bahwa telah 25 tahun lebih
evaluasi dan akuntabilitas menjadi perhatian yang serius. Kesadaran mengenai pentingnya
evaluasi merupakan faktor yang mendorong munculnya berbagai model, metode, maupun teknik
dalam evaluasi program bimbingan dan konseling di Amerika.
12
merupakan bentuk perbaikan terhadap kelemahan yang terdapat dalam model evaluasi
sebelumnya. Oleh karena itu, model evaluasi terkini merupakan akumulasi yang memiliki
koherensi dengan model evaluasi program sebelumnya.
Pada tahun 1960-an evaluasi berkembang pesat karena adanya perkembangan akuntabilitas
dalam pendidikan. Pada era ini, konsentrasi evaluasi terdapat pada output siswa dan juga
berbagai metode yang digunakan untuk menelaahnya (Stufflebeam & Shienkfield, 1985;
Gysbers, 2004; Fitzpatrick et al., 2011). Evaluasi program bimbingan dan konseling yang
berfokus pada output banyak dipengaruhi oleh model evaluasi goal attainment yang
dikembangkan oleh Ralph Tyler. Pengaruh model goal attainment tampak pada munculnya 3
domain taksonomi tujuan program bimbingan (taxonomy of guidance objective) yaitu
educational, vocational, dan social (Wellman et al. dalam [Gysbers, 2004:4]). Pada periode ini
juga, Pine (Gysbers, 2004) melakukan studi pada tahun 1975 untuk mengembangkan 16 outcome
dalam istilah yang operasional.
Evaluasi program bimbingan dan konseling yang hanya menelah aspek hasil memiliki
banyak kekurangan. Pertama, evaluasi ini mengabaikan aspek proses. Pengabaian terhadap aspek
proses dapat membuat evaluasi terjebak pada kegiatan penentuan keberhasilan program, akan
tetapi minim informasi mengenai komponen yang harus diperbaiki. Kelemahan kedua, model
evaluasi program pada era tahun 1960-an ada kemiripannya dengan evaluasi pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai objek evaluasi bukan sebagai subjek enaluasi. Evaluasi program
bimbingan dan konseling berkecebderungan mengukur hasil yand terdapat pada peserta didik,
tanpa membuka ruang untuk mengidentifikasi proses program bimbingan dan konseling yang
memiliki kontribusi pada pencapaian tujuan program. Froehlich (Gysbers, 2004:3) menyebutkan
bahwa studi mengenai evaluasi masih sangat sedikit. Dalam konteks ini, Dimmit et al. (Sink,
2009:70) mengatakan bahwa model evaluasi program bimbingan dan konseling yang hanya
berfokus pada aspek hasil, tidaklah cukup.
13
evaluasi program pada bidang pendidikan, terutama model formative dan summative yang
dikembangkan oleh Scriven yang berpendapat bahwa aspek proses menjadi bagian yang penting
dan tidak terpisahkan dari hasil.
Studi evaluasi program bimbingan dan konseling yang dilakukan pada era tahun 1980
sampai dengan era 1990 telah memasukkan aspek proses dan hasil dalam evaluasi yang
dilakukan. Gysbers (2004) mengungkapkan pada era itu, California State of Department of
Education mengembangkan panduan yang di dalamnya terdapat panduan mengevaluasi program
bimbingan dan konseling, baik formative dan summative yang menggunakan data hasil, data
proses, dan data konteks. Pada era ini juga muncul istilah akuntabilitas yang menekankan
pentingnya pemberian informasi kepada orang tua, administrator, serta legislator berkenaan
dengan efektifitas program BK.
Evaluasi program bimbingan dan konseling yang hanya berfokus pada proses dan hasil
dipandang masih memiliki kelemahan. Keterbatasan muncul terutama karena ketidakberhasilan
suatu program sering kali disebabkan oleh perencanaan yang buruk. Perencanaan terkadang
dilakukan tanpa melibatkan suatu kegiatan penelaahan kebutuhan. Lapan (2001) berpendapat
aspek perencanaan merupakan aspek penting dalam program yang menetukan arah dan
keberhasilan program. Pendapat senada juga disampaikan oleh Dimmit (2010) yang menyebut
bahwa kegiatan need assessment perlu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
evaluasi program. Model evaluasi program bimbingan dan konseling kemudian berkembang
mengakomodasi tiga aspek dalam evaluasi: perencanaan, proses, serta hasil (Lapan, 2001;
Astramovich, 2001; Dimmit, 2010).
14
evaluasi yang dikembangkan oleh Stufflebeam tersebut tersebut. Model CIPP merupakan model
evaluasi program yang focus pada 3 aspek evaluasi, perencanaan, proses dan produk.
Orientasi utama dari evaluasi konteks adalah untuk mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan suatu objek, seperti institusi, program, populasi target, atau orang, dan juga untuk
menyediakan arahan untuk perbaikan. Tujuan evaluasi konteks adalah untuk menyediakan alas
an yang rasional bagi konselor dan administrator dalam menentukan tujuan dan kompetensi
siswa, yang mana semua itu akan membantu membentuk program dan highlight berbagai elemen
struktur.
Orientasi utama dari evaluasi input adalah untuk membantu menentukan program yang
membawa pada perubahan yang dibutuhkan. Evaluasi input mempermasalahkan apakah strategi
yang terpilih untuk mencapai tujuan program sudah tepat. Evaluasi ini dilakukan dengan
menelaah dan menilai secara kritis pendekatan yang relevan yang dapat digunakan. itu
merupakan pendahuluan atau tanda kesuksesan, kegagalan, dan efisiensi atau usaha untuk
melakukan perubahan. Trotter et al. (1998) menambahkan bahwa evaluasi input ini dapat
dipandang sebagai alat untuk menelah sumber-sumber sistem yang ada di sekolah yang dapat
digunakan untuk memberikan dukungan pada praktik dan strategi yang dipilih.
Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan
program sesuai dengan strategi yang telah direncanakan. Dalam ungkapan yang lain,
Stufflebeam et al. (1985) mengatakan bahwa evaluasi proses merupakan pengecekan yang
berkelanjutan atas implementasi perencanaan. Evaluasi proses bertujuan untuk mengidentifikasi
atau memprediksi dalam proses pelaksanaan, seperti cacat dalam desain prosedur atau
implementasinya. Evaluai proses juga bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai dasar
memperbaiki program, serta untuk mencatat, dan menilai prosedur kegiatan dan peristiwa.
Evaluasi produk adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan, dan
menilai pencapaian program. Feedback atas pencapaian tujuan ini penting selama pelaksanaan
program dan sebagai sebuah kesimpulan. Evaluasi produk dapat dilakukan dengan membuat
defenisi operasional dan mengukur criteria objektif, melalui mengumpulkan penilaian dari
stakeholder, dengan unjuk kerja (performing) baik dengan menggunakan analisa secara
kuantitatif, maupun kualitatif.
Sejalan dengan Trotter et al. yang menekankan aspek perencanaan, proses, dan hasil, Dahir
& Stone (2009) memandang perlu adanya suatu metode yang dapat menjembatani antara ranah
15
penelitian dan praktisi yang accountable. Model evaluasi ini lahir atas tuntutan untuk
memberikan informasi mengenai hasil evaluasi kepada stakeholder program BK, baik kepala
sekolah, wali kelas, serta siswa. Brott (2006) menjelaskan bahwa evaluasi program merupakan
strategi yang digunakan dalam sistem akuntabilitas program bimbingan dan konseling. Melalui
evaluasi program yang dilakukan, maka dapat diketahui ukuran efektivitas program bimbingan
dan konseling yang menjadi dasar penyampaian informasi kepada pihak yang berkepentingan
terhadap program bimbingan dan konseling. Studi yang dilakukan oleh Perera Diltz & Kimberly
(2010) terhadap 1.704 konselor sekolah di Amerika mengenai kegiatan evaluasi program yang
dilakukan menunjukan bahwa 54% konselor sekolah melakukan kegiatan pengumpulan data
evaluasi. Akan tetapi, konselor sekolah yang memberikan informasi mengenai hasil evaluasi
hanya sekitar 32% dari yang melakukan evaluasi. Oleh karena itu, Perera Diltz & Kimberly
(2010) mengungkapkan bahwa konselor sekolah dituntut untuk memberikan informasi mengenai
akuntabilitas program BK kepada stakeholder sehingga konselor sekolah dapat melindungi posisi
dan profesi mereka.
Dalam studi evaluasi yang dilakukannya pada tahun 2013 sampai dengan 2006, Dahir &
Stone (2009) mengembangkan model evaluasi berbasis action research yang dilaksanakan lebih
dari 175 konselor sekolah di Amerika Serikat. Lebih lanjut, Dahir & Stone mengajukan 6
langkah yang dikenal dengan M.E.A.S.U.R.E sebagai langkah dalam action research sebagai
model evaluasi program bimbingan dan konseling.
M = mission/misi → mengaitkan misi sekolah dengan tujuan program BK
E = element → mengidentifikasi elemen data yang penting sebagai stakeholder internal
maupun eksternal
A = analyze → analisa elemen mana yang penting dan yang kurang penting
S - U = stakeholder-unit → menetukan stakeholder yang akan terlibat
R = reanalyzed → menentukan pencapaian hasil dan rekomendasi perbaikan program
E = educate → menyampaikan hasil evaluasi pada stakeholder
Studi yang dilakukan oleh Astramovich & J. Randy Crooker (2007) menguatkan
pentingnya akuntabilitas pada ketiga aspek evaluasi (perencanaan, proses, dan hasil) dalam
evaluasi program bimbingan dan konseling. Luaran dari studi yang dilakukan adalah munculnya
Bridge accountability model pada tahun 2007. Model ini dibangun untuk membantu konselor
sekolah merencanakan, melaksanakan, dan menelaah atau menilai keefektifan dan pengaruh
16
program yang diselenggarakan. Dalam model Bridge, evaluasi konseling dibagi menjadi dua
bagian siklus yaitu: siklus program, dan siklus konteks program. Siklus program merupakan
siklus dilakukannya evaluasi perencanaan program, pelaksanaan program, serta monitoring dan
pengukuran hasil program. Siklus pertama dijembatani oleh kegiatan penyampaian hasil program
kepada stakeholder, sehingga pada siklus kedua stakeholder dapat memberikan feedback
terhadap pencapaian hasil, sehingga konselor skolah dapat merencanakan strategi sebagai
masukan untuk perencanaan program, yang dilakukan dengan need assessment yang nantinya
menghasikan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam program. Berikut bagan model evaluasi
jematan akuntabilitas.
Bridge accountability model merupakan model yang memperbaiki model-model
sebelumnya. Bridge accountability model dapat dikatakan sebagai model yang komprehensif,
karena memberikan perhatian pada 3 aspek evaluasi, yaitu perencanaan, proses, dan hasil. Bridge
accountability model menelaah konteks dimana kebutuhan stakeholder perlu ditelaah sebagai
dasar pengembangan program. Model ini juga menelaah proses implementasi sehingga perbaikan
segera dapat dilakukan. Pengukuran terhadap hasil menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
model ini.
Meskipun demikian, model ini memandang hasil sebagai seperangkat objectives (tujuan)
program. Dalam konteks ini, kriteria keberhasilan lebih bersifat internal. Kondisi ini tentu dapat
menimbulkan perbedaan persepsi antara guru BK dan juga stakeholder (kepala sekolah, guru
mata pelajaran). Evaluasi dapat saja menunjukan keberhasilan mencapai tujuan program, akan
tetapi tidak berhasil dalam pandangan kepala sekolah dan guru mata pelajaran. Keterbatasan
mengenai kriteria keberhasilan sebenarnya telah lama disadari oleh ahli evaluasi program BK.
Sejak era 60-an Froehliech telah menyadarinya dan menyarankan untuk menggunakan kriteria
keberhasilan yang bersifat eksternal (Gysbers, 2004). Gysbers (Dimmit, 2010: 50)
mengemukakan bahwa evaluasi program dilakukan untuk dua hal, (1) apakah program BK
mencapai tujuannya, dan (2) bagaimana program BK memberikan kontribusi pada pencapaian
misi sekolah. Sejalan dengan Gysbers, Frances White (2007: 62) mengemukakan bahwa
akuntabilitas yang dilakukan konselor secara tradisional seperti menghitung jumlah jam,
kehadiran, kelengkapan program, tidak lagi cukup. Akuntabilitas sekarang menuntut guru BK
untuk mengetahui efektivitas program, baik bimbingan maupun konseling yang diselenggarakan.
Lebih lanjut, White (2007: 67) mengungkapkan bahwa konselor perlu membagi informasi
17
mengenai akuntabilitas berupa outcome yang ingin dicapai seperti prestasi, kehadiran, kelulusan,
keamanan, dan keinginan melanjutkan studi.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di Indonesia telah berjalan selama lebih dari tiga
pulh tahun. Meskipun demikian masalah – masalah yang terjadi dalam dunia bimbingan
konseling sekarang, tidak jauh berbeda dengan masalah yang terjadi pada masa lalu.
Permasalahan motivasi belajar siswa, keterlambatan, serta absensi masih banyak dialami oleh
siswa. Pada sisi lain, guru BK mengalami kesulitan menyelenggarakan berbagai program
bimbingan dan konseling. Seringkali program bimbingan dan konseling tidak dipedulikan siswa,
bahkan tidak diminati siswa.
Salah faktor yang menyebabkan permasalahan diatas terjadi adalah karena ketiadaan
evaluasi yang dilakukan oleh guru BK. Ketiadaan evaluasi membuat terjadinya pengulangan
berbagai program bimbingan dan konseling yang tidak menarik, serta tidak dibutuhkan oleh
siswa. Untuk itu sebelum kita membahas lebih dalam mengenai apa dan bagaimana evaluasi
program bimbingan dan konseling, kita perlu membahas mengenai permasalahan dalam
penyelenggaraan program bimbingan dan konseling serta permasalahan mengenai evaluasi
program bimbingan dan konseling itu sendiri. Pembahasan ini dimaksudkan agar kita memiliki
pemahaman mengenai berbagai permasalahan penyelenggaraan program BK dan permasalahan
eveluasi program BK yang menjadi dasar pentingnya dilakukan evaluasi terhadap program
bimbingan dan konseling..
18
BK dan program bimbingan dan konseling hanya merupakan komponen pelengkap disekolah
yang memang harus ada sebagai persyaratan administrasi.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Badrujaman (2008) mengenai evaluasi program
bimbingan di salah satu SMA di DKI Jakarta menunjukan bahwa sekolah tersebut tidak
membuat perencanaan program bimbingan secara baik. Selain itu strategi juga ditetapkan untuk
mencapai tujuan juga tidak tepat. Kondisi ini membuat guru BK melaksanakan program
bimbingan dan konseling secara incidental, dan kurang terencana. Akibatnya proses menjadi
tidak menarik dan tidak menyentuh esensi (kebutuhan) dari siswa. Bahkan tidak jarang siswa
akhirnya tidak mempedulikan kegiatan bimbingan yang diselenggarakan oleh guru BK. Kondisi
ini membuat tujuan yang telah ditetapkan dicapai melalui kegiatan bimbingan tersebut. Kondisi
ini pada akhirnya berimplikasi pada minimnya siswa yang dapat mencapai tugas
perkembangannya sebagai akibat program bimbingan.
Hasil penelitian di atas paling tidak memberikan penjelasan pada pertanyaan mengapa
belakangan ini banyak sekolah yang tidak lagi memiliki jam bimbingan dan konseling.
Ketiadaan jam BK tersebut membuat guru BK tidak dapat melakukan bimbingan yang rutin dan
sistematis. Meskipun kondisi berhubungan dengan kebijakan kepala sekolah, akan tetapi hal itu
juga dipengaruhi oleh bagaimana kepala sekolah melihat kegiatan bimbingan dan konseling
diselenggarakan. Ketika penyelenggaraan program ini dilakukan tanpa perencanaan yang
matang, strategi yang tidak tepat, proses yang tidak terorganisasikan dengan baik, maka bisa jadi
itulah fenomena yang dilihat kepala sekolah dan dijadika dasar dalam pengambilan
kebijakannya. Melalui penjelasan ini saya bukan ingin mengatakan bahwa sudah sepantasnya
bahwa jam bimbingan BK itu ditiadakan,akan tetapi saya ingin mengatakan bahwa ada alasan
mengapa hal itu terjadi, dan itu berhubungan dengan penyelenggaraan program bimbingan itu
sendiri.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa permasalahan tersebut selalu terjadi?
Mengapa program bimbingan yang semestinya dapat membantu siswa mengembangkan potesi
yang dimilikinya ternaya tidak direspon positif oleh siswa? Mengapa siswa merasa program BK
tidak berdampak positif pada diri siswa? Dan mengapa program BK seperti itu tetap saja
dilakukan berulang – ulang? Salah satu jawaban dari jawaban dari pertanyaan itu adalah karena
minimnya evaluasi yang dilakukan oleh guru BK tidak menyadari bahwa program yang
dimilikinya tidak efektif dan perlu mendapatkan perbaikan, bahkan mungkin pergantian.
19
Untuk mengatasi masalah itu, guru BK harus berani untuk melakukan evalusi terhadap
program bimbingan dan konseling yang diselenggarakan. Evaluasi dilakukan untuk menemukan
kelemahan program serta selanjutnya memperbaiki dan mengembangkannya. Penulis merasa
bahwa apabila guru BK dapat menunjukan bukti bahwa program bimbingan dan konseling itu
dibutuhkan dan harus ada, maka kepala sekolah akan mengeluarkan kebijakan yang berpihak
pada guru BK. Bukti yang diberikan tentunya bukakanlah bukti subjektif guru BK yang dapat
saja kemudian dibantah oleh guru lain atau kepala sekolah. Bukti yang harus ditunjukan haruslah
buki yang berasal dari sebuah prses evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
20
Bimbingan konseling sebagai salah satu layanan yang disediakan sekolah untuk melayani
siswa merupakkan bagian yang tidak dapat terpisah dari program pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah dalam: PP No.28 Tahun 1990 Pasal 25 Ayat 1 dijelaskan bahwa
bimbingan dan koseling bertujuan untuk membantu siswa menemukan pribadi, mengenal
lingkungan, merencanakan masa depan. Bimbingan dan konseling merupakan sub sistem dari
sistem yang ada pada instiusi pendidikan formal.
Sebagaimana diketahui bahwa evaluasi terhadap layanan yang ada dalam dunia
persekolahan seperti pembelajaran bidan studi, telah menjadi sesuatu yang biasa, karena telah
dilakukan dalam waktu yang lama. Adanya ulangan harian, ujian akhir semester, bahkan ujian
nasional merupakan bentuk – bentuk evaluasi yang biasa dilakukan. Layanan bimbingan dan
konseling sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program pendidikan dituntut untuk
memiliki evaluasi terhadap berbagai layanan yang diselenggarakan. Tuntutan terhadap evaluasi
ini terdapat dalam keputusan MENPAN No. 84 Tahun 1993 Bab II Pasal 3 mengenai tugas
pokok guru BK. Tugas pokok guru BK ialah menyusun program bimbingan, melaksanakan
program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan
tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Tantawy ( 1995 ) menjelaskan lebih lanjut yang dimaksud evaluasi pelaksanaan bimbingan
merupakan kegiatan menilai keberhasilan layanan dalam bidang bimbingan pribadi, sosial,
karier, dan belajar. Kegiatan mengevaluasi itu meliputi juga kegiatan menilai keberhasilan jenis
– jenis layanan yang dilaksanakan, yakni layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran,
bimbingan kelompok, serta konseling kelompok. (Tantawy, 1995:75).
Evaluasi terhadap layanan bimbingan dan konseling pada era sekarang ini memiliki peran
yang sangat penting dan menentukan dalam kerangka pendidikan nasional. Hal ini dapat terlihat
pada aspek budi pekerti yang menjadi salah satu indicator syarat kelulusan. Sebuah artikel yang
dimuat dalam suara merdeka tahun 2004, dikemukakan bahwa banyak kalangan termasuk kepala
sekolah berpendapat bahwa guru bimbingan konseling merupakan orang yang paling mengetahui
dan paling tepat untuk memberikan penilaian terhadap aspek budi pekerti tersebut. Hal ini
tentunya menjadi sebuah pelang sekaligus tantangan guru bimbingan konseling untuk melakukan
evaluasi yang mangkus.
Sejalan dengan pentingnya evaluasi dalam perbaikan layanan dan pengambilan keputusan,
guru BK sebagai evaluator dituntut memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam memilih dan
21
mendesain evaluasi terhadap layanan yang diselenggarakan kepada siswa. Meskipun penting,
akan tetapi tuntutan menjadi evaluator sendiri terhadap program bimbingan konseling yang
diselenggarakan, bukanlah hal yang mudah. Beberapa penelitian menunjukan bahwa banyak
guru BK tidak melakukan evaluasi terhadap program yang diselenggarakannya.
Penelitian yang dilakukan Rachmalia (2006) mengenai pelaksanaan tugas pokok guru BK
menunjukan bahwa untuk aspek evaluasi bimbingan konseling masih belum banyak diakukan.
Hal ini dapat dilihat bahwa guru BK yang melakukan evaluasi layanan untuk mengetahui
seberapa sukses layanan yang diberikan yang menjawab selalu sebanyak 18,75%, sering 25%,
kadang – kadang 50%, pernah 6,25%, dan tidak pernah 0% (Rachmalia,2006:28). Berdasarkan
penelitian Rachmalia terlihat bahwa masih banyak guru BK yang tidak melakukan evaluasi
terhadap layanan bimbingan dan konseling yang dselenggarakannya.
Kondisi terhadap guru BK tidak melakukan evaluasi terhadap program yang
diselenggarakan tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan evaluasi oleh guru BK adalah pengetahuan guru BK mengenai evaluasi program
bimbingan dan konseling yang masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Arifin mengenai
pengetahuan evaluasi guru BK di Sulawesi Selatan, menunjukan bahwa guru bimbingan
konseling memiliki pengetahuan evaluasi yang rendah. Hal tersebut terlihat dari skor yang
diperoleh responden dalam penelitian, di mana sebanyak 85,36% responden memiliki skor
dibawah 12 ( rentangan skor 0 – 24 ), sedangkan hanya 14,64% responden yang memperoleh
skor diatas 12, secara keseluruhan rerata skor yang diperoleh responden adalah 8,69 ( Arifin,
2002:179). Penelitian Gantina dan Aip (2007) memperkuat temuan arifin mengenai rendahnya
tingkat pengetahuan guru BK mengenai evaluasi program bimbingan dan konseling. Gantina dan
Aip meneliti 110 guru BK SMA di Jakarta Selatan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
tingkat pengetahuan guru BK SMA di Jakarta Selatan hanya sekitar 45,72 (skor tertinggi 100).
Selain pengetahuan guru BK yang masih rendah mengenai evaluasi program bimbingan dan
konseling, faktor lain yang juga memberikan pengaruh pada pelaksanaan evaluasi program
bimbingan konseling adalah komitmen guru BK itu sendiri dalam memberikan layanan program
bimbingan konseling termasuk melaksanakan evaluasi di dalam.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, sebuah studi yang dilakukan oleh
Astramovich terhadap 241 konselor sekolah menengah atas, menengah pertama, dan dasar di
amerika, menunjukan bahwa konselor yang tidak mengunakan data dari program yang mereka
22
selenggarakan untuk modifikasi atau perbaikan program yaitu 50,4%, dan hanya 5,2% yang
melakukanya setiap hari, 7,4% yang melakukannya setiap minggu, 14,3% yang pernah
melakukannya ( melakukan apa/bagaimana?), 8,3% melakukannya dua kali, dan 14,3% yang
pernah melakukannya sekali. Hal yang menarik studi tersebut, didapati pula bahwa 90% dari
seluruh konselor tersebut sadar bahwa melakukan evaluasi tersebut menjadi sebuah kebutuhan
pada era sekarang (Astramovich, 2004:18-33).
Fenomena di atas, tentunya memberikan gambaran bahwa guru bimbingan konseling masih
memiliki keterbatasan untuk melakukan evaluasi terhadap layanan yang mereka selenggarakan.
Pada satu sisi mereka sadar bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang menjadi kebutuhan mereka
untuk dilakukan, akan tetapi di sisi yang lain, mereka kurang memiliki pengetahuan mengenai
evaluasi program bimbingan konseling itu sendiri.
Rendahnya persentase guru BK yang melakukan evaluasi terhadap program bimbingan dan
konseling yang diselenggarakannya, tentunya dapat memiliki dampak yang negative bagi
program bimbingan dan konseling itu sendiri. Dampak negative tersebut dapat berupa ketiadaan
informasi sebagai umpan balik yang seharusnya menjadi petunjuk berkenaan dengan kekuatan
dan kelemahan program yang diselenggarakan. Selain guru BK tidak dapat mengetahui secara
pasti apakah tujuan program yang telah ditetapkan sudah tercapai. Ketiadaan evaluasi dapat
berdampak pula guru BK mengulangi program yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan
siswa, serta tidak bersentuhan dengan permasalahan yang ada pada siswa. Permasalahan tersebut
tentunya dapat menciptakan kondisi di mana program bimbingan dan konseling diselenggarakan
akan tetapi permasalahan siswa tetap tinggi.
23
BAB III
ARTI PENTING EVALUASI DALAM UNJUK KERJA PROFESI KONSELOR
A. Pengantar
Suatu ketika ada berita di media, seorang artis meninggal dunia karena mengidap penyakit
yang baru saja diketahuinya ketika tidak lama lagi nyawanya hilang. Berat badan diluar batas
normal, dan keseringan mengalami pusing, gejala-gejala yang lain terjadi, tetapi tidak
membuatnya mau “cek up” kesehatan ke dokter. Si artis selalu menolak untuk memeriksakan
dirinya, karena takut akan diagnose penyakit yang dideritanya. Akhirnya semuanya memang
akan menemui ajal/akhir hayatnya, namun tragis si artis meninggal dalam usia sangat muda dan
salah satu penyebabnya adalah kelalaian tidak mau mengevaluasi kesehatanya.
Adalah penting dalam setiap sisi kehidupan, kita mengevaluasi segala sesuatu yang kita
lakukan. Istilah evaluasi diri, evaluasi kondisi keuangan, evaluasi kondisi kesehatan, dan
sebagainya, sering kita lakukan dan kadang tanpa kita sadari menjadi kebiasaan. Seorang ayah
yang telah memukul dengan kejam anaknya, beberapa menit kemudian terdiam duduk disudut
ruangan bertanya pada dirinya sendiri, benarkah yang saya lakukan tadi? Apa akibat yang terjadi
dengan perbuatan saya itu? Mungkin jawaban terhadap pertanyaan diri si ayah tadi adalah
anakku bukannya tambah baik, anakku luka bukan hanya fisik tetapi juga psikisnya. Karena
adanya pertanyaan dan evaluasi diri dari si ayah, di masa datang dia tidak akan melakukan
perbuatan yang sama untuk memberikan pembelajaran pada anaknya. Ayah yang baik tadi akan
merubah dirinya. Gambaran ini, menunjukan arti pentingnya evaluasi.
Selanjutnya mari kita lihat evaluasi dalam sebuah profesi dibidang pendidikan yaitu
konselor. Bicara tentang arti penting evaluasi dalam unjuk kerja profesi konselor, akan lebih
menarik jika dimulai dengan membahas konselor sebagai sebuah profesi. Dalam bagian
pengantar ini akan dijabarkan pembahasan tentang konselor sebagai sebuah profesi dan sejarah
keberadaannya di Indonesia. Bagian berikutnya dari Bab I ini nanti, akan mengupas pentingnya
evaluasi dalam profesi konselor.
Agar lebih jelas, kita lihat cirri-ciri sebuah profesi terlebih dahulu. McCully, 1993, Tolbert,
1972, dan Nugent, 1981 (dalam Prayitno, 2002: 11) mengemukakan cirri-ciri sebuah profesi
yaitu :
24
1. Suatu profesi merupakan jabatan atau pekerjaan yang memiliki fungsi dan
kebermaknaan social yang sangat menentukan.
2. Untuk menyujudkan fungsi tersebut diatas, para anggotanya (petugas pekerjaan itu)
harus menampilkan pelayanan yang khusus, didasarkan atas teknik-teknik intelektual
dan keterampilan-keterampilan tertentu yang unik.
3. Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin saja melainkan
bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut
pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Para anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu ilmu yang jelas sistematis,
eksplisit.
5. Untuk menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka
waktu yang cukup lama.
6. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui
prosedur seleksi pendidikan dan latihan serta lisensi ataupun sertifikasi.
7. Para anggotanya baik perorangan maupun kelompok lebih mementingkan pelayanan
yang bersifat social daripada pelayanan yang mengejar keuntungan ekonomi.
8. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara eksplisit dalam kode etik
yang benar-benar diterapkan.
9. Selama berada dalam pekerjaan itu para anggotanya terus-menerus berusaha
menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara
teratur literature dalam bidang pekerjaan itu, menyelenggarakan dan memahami
hasil-hasil riset serta berperan secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama
anggota.
Begitu banyak ciri sebuah profesi sehingga tidak semua jenis pekerjaan dikatakan profesi.
Bimbingan dan Konseling sebagai suatu layanan yang dilaksanakan oleh konselor merupakan
sebuah profesi karena telah memenuhi ciri-ciri tersebut diatas. Hal ini dapat dilihat dari adanya
visi dan misi Bimbingan Konseling (selanjutnya kita singkat BK), kode etik dan organisasi
profesi BK.
Visi BK mengacu pada pandangan optimistic tentang manusia yang mengarah kepada
kehidupan cerdas dan bahagia, sehingga lebih konkrit sumbangan BK kepada dunia pendidikan
baik di sekolah, maupun diluar sekolah, membantu masyarakat untuk memenuhi dan
25
mempelajari hal-hal yang baru yang perlu bagi kehidupan mereka, memberdayakan warga
masyarakat dalam memperoleh keseimbangan hidup, bekerja, dan memperkembang-kan diri
lebih jauh. Misi BK terkait dengan tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asas BK.
Aksi dan dedikasi serta kualitas layanan dan pelaksana layanan memang belum optimal.
Mengenai kualitas pelaksana profesi BK, kutipan berikut (dalam Prayitno, 2002: 53) dapat
memberikan cermin tentang keadaan tenaga pelaksana BK :
1. Dunia konseling (khususnya di sekolah) di Amerika Serikat pada tahun 1970-an ditokohi
oleh orang-orang yang sebenarnya tidak layak disebut konselor professional Pine (1975),
mengemukakan bahwa konselor disekolah dapat dikelompokan ke dalam tiga golongan
yaitu konselor yang diangkat tanpa latihan, konselor yang diangkat dengan (hanya)
dibekali latihan sederhana, dan konselor yang merangkap sebagai guru. Jumlah konselor
yang termasuk ke dalam tiga golongan itu banyak sekali, jauh melebihi jumlah konselor
yang benar-benar dihasilkan dan dilatih secara khusus oleh lembaga pendidikan konselor.
2. Mengapa di sekolah-sekolah itu diangkat sedemikian banyak tenaga yang tidak
professional dalam konseling? Jawabannya terletak pada menurunnya dana, baik yang
disediakan oleh pemerintah federal maupun negara bagian, sehingga sekolah-sekolah tidak
lagi sanggup mengangkat konselor-konselor professional lulusan program pendidikan
konseling (Gotch, 1984). Untuk mengisi lowongan yang seharusnya ditempati oleh tenaga
konselor professional itu maka diangkatlah konselor-konselor yang dapat dikelompokkan
ke dalam tiga golongan tersebut.
3. Konselor-konselor yang tergolong kedalam tiga kelompok itu, oleh Pine (1975) disebut
sebagai tenaga yang untrained, dan undertrined atau uncommitted terhadap layanan
konseling dan terhadap siswa yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari mereka.
Dalam keadaan seperti itu jelaskan bahwa profesi konseling amat dirugikan oleh unjuk
kerja dan tingkah laku konselor yang kurang atau tidak terlatih sama sekali, serta separuh hati
atau acuh tak acuh terhadap pekerjaan yang seharusnya diselenggarakan secara professional itu.
Dunia konseling mendapatkan awan hitam yang menutupi berbagai aspek positif yang
(sebenarnya) dapat ditampilkan oleh profesi konseling.
Selanjutnya mari kita lihat kilas balik keberadaan profesi konselor di Indonesia. Beberapa
versi mengungkap keberadaan profesi konselor, diantaranya dijelaskan Marjohan, dkk (2007)
26
bahwa keberadaan profesi konselor di Indonesia dimulai dari adanya pemikiran para pejabat
pendidikan dalam peninjauanya di Amerika Serikat sekitar 1962. Beberapa pejabat Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan penyuluhan di
sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria penetapan konselor ketika itu tidak
jelas dan ragam tugasnyapun sangat lebar, mulai dari berperan semacam polisi sekolah sampai
dengan mengkonversi hasil ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar.
Pada awal decade 1960-an, LPTK-LPTK mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga
akademik yang akan menyiapkan konselor yang dinamakan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan
dengan program studi yang diseleggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana Muda dengan
masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana dengan masa belajar 2 tahun
setelah Serjana Muda.
Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP
(Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya dan Manado). Melalui
proyek ini pelayanan BP ikut dikembangkan. Selanjutnya tahun 1975 lahir dan berlakunya
Kurikulum SMU yang disebut Kurikulum SMA 1975 yang memuat pedoman pelaksanaan BP.
Pada tahun yang sama dilaksanakan Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang yang
menghasilkan terbantuknya organisasi profesi bimbingan dengan nama Ikatan Bimbingan
Indonesia (IPBI), AD/ART IPBI, Kode etik jabatan konselor dan program kerjanya.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan penyuluhan di
IKIP dengan tujuan, menghasilkan tenaga pembimbing dan penyuluhan pendidikan
berkualifikasi setaraf diploma (D-2 atau D-3) yang dapat secara resmi diangkat oleh pemerintah
bekerja di sekolah. Tahun 1989 lahir SK Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
026/Menpan/1989 tentang Angka kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, yang didalamnya ditetapkan secara resmi adanya kegiatan
pelayanan BP di sekolah dan pengaturan kenaikan pengkat jabatan guru pembimbing. Lebih
lanjut UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional secara tegas mencantumkan
adanya pelayanan bimbingan pada satuan-satuan pendidikan.
Tahun 1993 keluar SK menpan No. 84/1993 tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya dan dalam SK tersebut secara resmi nama bimbingan dan penyuluhan diganti dengan
Bimbingan dan Konseling (BK). Selanjutnya dengan diberlakukannya kurikulum 1994, mulailah
ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di
27
Indonesia sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan setiap sekolah untuk menyediakan 1
(satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya
terealisasi pada jenjang pendidikan menengah.
Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti
untuk menciutkan jumlah LPTK penyelenggara Program S1 BK mulai tahun 1987, maka semua
sekolah menengah di tanah air juga tidak mudah melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan,
masing-masing sekolah menengah mengalihtugaskan guru-guru yang paling bisa dilepas
(dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan BK setelah dilatih cras
program, dan lulusannya disebut Guru pembimbing.
Pada tahun 2003 diberlakukan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
menyebutkan adanya jabatan konselor dalam pasal 1 ayat (6). Tahun 2004 keluar surat izin
praktik (lisensi) dari Ketua Umum ABKIN bagi para konselor lulusan Pendidikan Profesi
Konselor, para konselor lulusan PPK telah mampu praktik mandiri, menyelenggarakan praktik
konseling dikantor/lembaga pelayanan konselor di kampus, instansi, organisasi, yayasan dan
lembaga seperti KONI.
Selanjutnya tahun 2006 keluar Permendiknas NO. 22/ 2006 menetapkan bahwa kurikulum
satuan pendidikan meliputi tiga komponen, yaitu komponen mata pelajaran, muatan lokal dan
pengembangan diri. Komponen pengembangan diri meliputi pelayanan konseling dan kegiatan
ekstrakurikuler, sehingga konselor di sekolah selain melaksanakan pelayanan konseling juga
dapat menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler.
Dari kronologis perkembangan profesi konselor di atas dapat dilihat bahwa jelas konselor
adalah sebuah profesi. Profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan keahlian
dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pelanggan berdasarkan norma-norma
yang berlaku (Dirjen Dikti, 2003). Kekuatan dan eksistensi profesi muncul sebagai akibat
interaksi timbale balik antara kinerja para professional dengan kepercayaan public (public trust).
Oleh sebab itu perlu kita lihat tugas pokok konselor di lembaga pendidikan secara umum yang
salah satunya adalah melaksanakan kegiatan evaluasi.
28
Keputusan Mentri dan Surat Keputusan Bersama Mentri dengan Kepala BAKN, telah mengatur
pelaksanaan kegiatan BK. Seperti dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini, dalam Undang-
undang No. 20 Tahun 2003 telah dibunyikan secara jelas, konselor sebagai salah satu tenaga
pendidik.
Terkait dengan tugas pokok konselor sekolah dijabarkan secara jelas dalam lanjutan SKB
Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 25 Tahun 1993 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Isi SKB di atas menunjukan
cakupan atau batasan kerja konselor di sekolah yang meliputi bidang bimbingan (saat ini sudah
dikembangkan menjadi 6 bidang bimbingan yaitu : bimbingan pribadi, social, belajar, karir,
kehidupan berkeluarga dan keberagamaan), kegiatan layanan (sudah dikembangkan menjadi 9
jenis layanan yaitu : layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan
konten, layanan konseling perorangan, konseling kelompok, bimbingan kelompok, layanan
mediasi dan konsultasi), serta kegiatan pendukung. Untuk lebih lengkap hubungan masing-
masingnya dapat dilihat pada skema berikut :
Selanjutnya lebih teknis diatur dalam SK Mendikbud No. 025/O/1995 tentang Juknis
Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pada ayat ke 5 yaitu
tugas Guru Pembimbing :
1. Setiap Guru Pembimbing diberi tugas bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya
terhadap 150 orang siswa.
2. Bagi sekolah yang tidak memiliki Guru Pembimbing yang berlatar belakang bimbingan
dan konseling, maka guru yang telah mengikuti penataran bimbingan dan konseling
sekurang-kurangnya 180 jam dapat diberi tugas sebagai Guru Pembimbing, Penugasan ini
bersifat sementara sampai guru yang ditugasi itu mencapai taraf kemmpuan bimbingan dan
konseling sekurang-kurangnya setara D3 atau di sekolah tersebut telah ada Guru
Pembimbing yang berlatar belakang minimal D3 bidang bimbingan dan konseling.
3. Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling dapat diselenggarakan di dalam atau jam
pelajaran sekolah. Kegiatan bimbingan dan konseling di luar sekolah sebanyak-banyaknya
50% dari keseluruhan kegiatan bimbingan untuk seluruh siswa di sekolah itu, atas
persetujuan Kepala Sekolah.
4. Guru Pembimbing yang tidak memenuhi jumlah siswa yang diberi pelayanan bimbingan
dan konseling, diberi tugas sebagai berikut :
29
a. Memberikan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah lain baik negeri maupun
swasta. Penugasan dilakukan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang, sekurang-
kurangnya Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/
Kotamadya; atau
b. Melakukan kegiatan lain dengan ketentuan bahwa setiap 2 (dua) jam efektif
disamakan dengan membimbing 8 (delapan) orang siswa. Kegiatan lain tersebut
misalnya menjadi pengelola perpustakaan dan tugas sejenis yang ditetapkan Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Penugasan tersebut dapat diberikan
sebanyak-banyaknya 12 (dua belas) jam efektif. Kegiatan tersebut tidak dinilai lagi
pada unsure penunjang, karena telah digunakan untuk memenuhi jumlah kewajiban
siswa yang harus dibimbing.
c. Bagi Guru Pembimbing yang jumlah siswa yang diberi bimbingan kurang dari 150
siswa, diberi angka kredit secara proporsional.
d. Bagi Guru Pembimbing yang jumlah siswa yang dibimbing lebih dari 150 siswa,
diberi bonus angka kredit. Bonus angka kredit bimbingan diberikan dari butir
kegiatan melaksanakan program, bimbingan Pemberian bonus angka kredit kelebihan
siswa sebanyak-banyaknya 75 siswa.
Ayat 7 pada SK tersebut selanjutnya berisi pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling:
1. Setiap kegiatan menyusun, melaksanakan program mengevaluasi, menganalisis, dan
melaksanakan kegiatan tindak lanjut, kegiatannya meliputi :
a. layanan orientasi
b. layanan informasi
c. layanan penempatan dan penyaluran
d. layanan pembelajaran (yang selanjutnya dikembangkan dengan istilah layanan
penguasaan konten)
e. layanan konseling kelompok
f. layanan bimbingan kelompok
g. aplikasi instrumentasi
h. himpunan data
i. konfrensi kasus
j. kunjungan rumah
30
k. alih tangan kasus
2. Kegiatan bimbingan dan konseling secara keseluruhan harus mencakup :
a. bimbingan pribadi
b. bimbingan social
c. bimbingan belajar
d. bimbingan karir
3. Layanan orientasi wajib dilaksanakan pada awal caturwulan pertama terhadap siswa baru.
4. Satu kali kegiatan bimbingan dan konseling memakan waktu rata-rata 2 (dua) jam tatap
muka.
Dari isi kedua ayat dalam SK Mendikbud No. 25/O/1995 diatas, tampak jelas tugas Guru
pembimbing nama yang masih digunakan untuk konselor sekolah yang belum mengambil
pendidikan profesi konselor tersebut, diatur sedemikian rupa dan jelas dimana kegiatan evaluasi
menjadi salah satu tugas pokok yang harus dilakukannya.
Konselor yang profesional dituntut untuk memiliki kompetensi mengevaluasi. Akhmad
Sudrajat (2002) menguraikan kompetensi evaluasi bagi konselor yaitu menguasai konsep dari
praksis penilaian (assessment) untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli/klien.
Mendeskripsikan hakikat asesmen untuk keperluan pelayanan konseling, memiliki teknik
penilaian sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling, mengadministrasikan
asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah peserta didik, memilih dan
mengadministrasikan teknik penilaian pengungkapan kemampuan dasar dan kecendrungan
pribadi pserta didik, memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi
aktual peserta didik berkaitan dengan lingkungan, mengakses data dokumentasi tentang peserta
didik dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menggunakan hasil penilaian dalam pelayanan
bimbingan dan konseling dengan tepat, menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik
penilaian.
Lebih jelas rincian kompetensi yang dituntut pada konselor dalam melaksanakan evaluasi
sebagai berikut :
1. Konselor dapat mengembangkan instrumen nontes (pedoman wawancara, angket, atau
format lainnya) untuk keperluan pelayanan Bimbingan dan Konseling.
2. Konselor dapat mengaplikasikan instrumen nontes untuk mengungkapkan kondisi aktual
peserta didik/ konseli berkaitan dengan lingkungan.
31
3. Konselor dapat mendeskripsikan penilaian yang digunakan dalam pelayanan Bimbingan
dan Konseling yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/konseli.
4. Konselor dapat memilih jenis penilaian (Instrumen Tugas Perkembangan/ITP, Alat
Ungkap Masalah/Aum, Daftar Cek Masalah/DCM, atau instrumen non tes lainnya) yang
sesuai dengan kebutuhan layanan bimbingan dan konseling.
5. Konselor dapat mengadministrasikan penilaian (merencanakan, melaksanakan, mengolah
data) untuk mengungkapkan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi peserta
didik/konseli.
6. Konselor dapat mengadministrasikan penilaian (merencankan, melaksnakan, mengolah
data) untuk mengungkapkan masalah peserta didik/konseli (data cacatan pribadi,
kemapuan akademik, hasil evaluasi belajar, dan hasil psikotes).
7. Konselor dapat menampilkan tanggung jawab profesional sesuai dengan azas Bimbingan
dan Konseling (misalnya kerahasiaan, keterbukaan, kemuktahiran, dll.) dalam praktik
penilitian.
Lebih lanjut pada prakteknya, kinerja konselor harus mengikuti lima pedoman
keprofesionalnya (Belkin, 1975 171-172) dalam Mungin Eddy Wibowo (2011:292), sebagai
berikut:
1. Konselor harus memulai karirnya sejak hari pertama menapilkan diri sebagai konselor
sekolah dengan program kerja yang jelas dan siap untuk melaksanakan tugas tersebut.
Konselor yang sudah siap menjalankan tugas itu member kesempatan kepada seluruh
personil sekolah dan siswa untuk mengetahui program-program yang hendak dijalankan.
2. Konselor harus selalu mempertahankan sikap profesional tanpa mengganggu keharmonisan
hubungan konselor dengan personil sekolah lainnya dan dngan siswa. Dalam hal ini
konselor harusmenonjolkan keprofesionalannya, tetapi tetap menghindarkan sikap elistis
atau kesombongan/keangkuhan profesional.
3. Tanggungjawab konselor untuk memahami perannya sebagai konselor profesional dan
menterjemahkan peranannya ke dalam kegiatan nyata.
4. Konselor sekolah agar dapat bekerja dengan efektif, harus memahami tanggung jawabanya
kepada semua siswa, baik siswa yang gagal, yang menimbulkan gangguan, yang
berkemungkinan putus sekolah, yang mempunyai permasalahan emosional, yang
mengalami kesulitan belajar, maupun siswa yang mempunyai bakat istimewa (gifted), yang
32
berpotensi rata-rata, yang pemalu dan menarik diri dari dari hadapan khalayak ramai, serta
yang bersikap menarik perhatian atau mengambil muka pada konselor atau personil
lainnya.
5. Konselor harus memahami dan mengembangkan kompetensi untuk membantu siswa-siswa
yang mengalami masalah dengan kadar cukup parah dan siswa yang mengalami gangguan
emosional khusus, khususnya melalui program-program kelompok, program kegiatan di
luar sekolah dan pendidikan/pembelajaran sekolah dan bentuk pelayanan lainnya.
Pada bagian pertama ciri keprofesionalan bahwa konselor yang sudah siap menjalankan
tugas, memberi kesempatan kepada seluruh personil sekolah dan siswa untuk mengetahui
program-program yang hendak dan sudah dijalankan. Artinya konselor harus melakukan evaluasi
dan melaporkan hasil evaluasi kegiatannya pada pihak yang terkait yaitu pimpinan dan personil
sekolah yang lain. Dengan mengacu pada pedoman keprofesionalan di atas, konselor hendaknya
tampil sebagai profesi yang tidak dipandang sebelah mata, atau dianggap sebagai pelengkap
organisasi sekolah saja. Konselor akan dipandang sebagai profesi yang profesional.
C. Evaluasi dalam Unjuk Kerja Profesi Konselor di Lembaga Pendidikan dan Upaya
Meningkatkan Public Trust
Konselor sebagai profesi yang sedang berkembang, para anggota profesi konseling harus
berusaha memenuhi standar profesi konselorr agar konseling dapat merebut kepercayaan publik
(Public Trust) melalui peningkatan kinerja konselor yang bermartabat. Kualifikasi konselor
adalah anggota Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) yang minimal Sarjana
Pendidikan (S1) Bidang Bimbingan Konseling dan tamatan Pendidikan Profesi Konselor (PPK).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Mungin Eddy Wibowo (2011) bahwa sebagai penyandang
gelar profesi bimbingan konseling, konselor harus memiliki kompetensi: (1) memahami secara
mendalam klien yang hendak dilayani; (2) menguasai landasan teoritik keilmuan pendidikan dan
bimbingan konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap klien;
dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas diri secara berkelanjutan.
Mungin Eddy (2011:293) menegaskan lagi kualitas profesionalisme konselor ditunjukan
oleh unjuk kerja:
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi.
33
3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang
dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilan.
4. Mengajar kualitas dan cita-cita profesi.
5. Memiliki kebanggaan terhadap profesi.
Konselor yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dalam
mengelola kegiatan pelayanan konseling harus berfokus pada keempat pilar kegiatan yaitu :
1. Membuat perencanaan layanan dan kegiatan pendukung mulai dari membuat
program tahunan, semesteran, bulanan dan mingguan sampai dengan harian.
2. Mengorganisasikan berbagai unsure dan sarana yang akan dilibatkan di dalam
kegiatan.
3. Melaksanakan konseling dengan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung
sesuai dengan masing-masing kegiatan yang telah direncanakan dan diorganisasikan.
4. Mengontrol pelaksanaan pelayanan dalam bentuk penilaian hasil dan proses kegiatan
serta mempertanggungjawabkan kepada pihak yang terkait.
Kegiatan mengontrol pelaksanaan pelayanan dalam bentuk penilaian hasil dan proses
kegiatan serta mempertanggungjawabkan kepada pihak yang terkait, adalah kegiatan evaluasi
yang menjadi salah satu pilar pokok yang harus dikuasai konselor. Suharsimi Arikunto (2011: 4)
menegaskan mengingat pentingnya status bimbingan dan konseling bagi pertumbuhan peserta
didik, maka kegiatan bimbingan dan konseling tersebut perlu dilakukan penilaian agar diperoleh
hasil yang semakin baik. Penilaian yang dilakukan dengan terus menerus dan berkelanjutan
merupakan upaya peningkatan mutu atau dengan istilah yang lebih luas penilaian adalah quality
improvement, sebuah upaya peningkatan kualitas secara berkelanjutan.
Berkaitan dengan hal itu, Riska Ahmad (2004) mengatakan sampai sekarang pendapat
tentang unjuk kerja BK khususnya di sekolah masih beraneka ragam quality-nya. Pendapat
tersebut bukan hanya mengangkut tentang belum/telah terlaksananya tetapi juga menyangkut
sejauh mana keberhasilan program layanan yang telah diberikan.
Berbagai contoh kongkret menunjukan keanekaragaman pendapat tersebut. Sering
dijumpai dalam kenyataan yang terjadi di sekolah-sekolah, seperti jika seorang siswa sering
absen, setelah diberi layanan oleh konselor sekolah/Guru pembimbing, ternyata masih absen. Hal
ini dijadikan indicator bahwa Guru pembimbing tidak berhasil. Jika seorang siswa pada semester
1 menduduki peringkat (rangking) 45 dari 45 orang siswa, setelah diberi layanan BK ternyata
34
masih menduduki peringkat yang sama pada semester berikutnya, maka aka nada kesimpulan
bahwa Guru Pembimbing/ konselor sekolah tidak berhasil.
Kondisi real dari pada unjuk kerja konselor sekolah dalam praktek layanan BK dan
kesimpulan yang diambil oleh masyarakat sekolah di atas, akhirnya memunculkan “image” yang
tidak benar tentang BK. Pelayanan BK tidak bermanfaat, Guru Pembimbing/ konselor sekolah
tidak bekerja dan yang lebih fatal keputusan mengatakan “Untuk apa ada layanan BK di sekolah,
toh hasilnya tidak ada, lebih baik tidak ada saja pelayanan BK itu.”
Hal tersebut tentu tidak kita inginkan dan bertolah belakang dengan upaya menciptakan
public trust dan pencapaian profesionalisme dalam profesi konselor. Padahal jika kita lihat lebih
lanjut menurut Riska Ahmad (2004) munculnya berbagai pendapat yang miring tentang BK
disebabkan karena kita (konselor sekolah) belum melaporkan/memberitahukan proses yang tepat,
yang sesuai dengan salah satu unsur yang cukup penting dalam keseluruhan upaya BK yaitu
unsur penilaian atau evaluasi terhadap layanan BK yang diselenggarakan. Terkait dengan hal itu,
Don C. Locke (2001:524) mengemukakan:
Evaluation is not a popular topic in the counseling profession, most likely because
evaluation necessarily involve application of judgment, and most counselors strive
to be nonjudgement in their counseling and other professional activities.
Unfortunately, however ignoring good evaluation does not serve the profession
well.
Penjelasan Don C. Locke di atas yaitu evaluasi menjadi tidak popular dikalangan konselor
dan mereka tidak ingin dinilai/disalahkan apa yang sudah mereka perbuat. Bagaimanapun,
mengabaikan evaluasi akan berpengaruh jelek terhadap profesi.
Pada umumnya konselor telah merasa puas dan beranggapan pekerjaannya telah selesai
setelah program layanan mereka buat terlaksana. Namun bagaimana hasil dari layanan yang
dilakukan, sampai seberapa perolehan Klien dari layanan yang dilakukan, berubahkah tingkah
laku klien? Sering kali hal itu tidak dinilai. Kalaupun dinilai, tidak secara eksplisit dan jelas
sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini jelas akan merusak profesi konselor dalam pendangan umum, terutama jika
dikaitkan dengan pengambil kebijakan, seperti pimpinan sekolah/kepala sekolah. Don C. Locke
(2001:524) menjelaskan lebih lanjut:
35
.......Most, if not all, of the various stakeholders in counseling service delivery
program want and often demand, evaluation information. They have every right to
make such demands because, by definition, they are affected by and have vested
interests in, those programs. If the counseling profession ignores the wants and
demands of its stakeholders, then its perceived value among its stakeholders, as well
as among other in society, never can be as high as it should be.
Pengambilan kebijakan seperti kepala sekolah, akan sengat tertarik pada kegiatan BK jika
ada informasi hasil evaluasi kegiatan program BK. Persoalan banyak di sekolah, keberadaan BK
dianggap tidak penting “dianak tirikan” karena pengambil kebijakan tidak pernah mendapatkan
informasi hasil kerja konselor sekolah yang dirasakan penting bagi pengembangan diri siswa itu.
Dengan demikian, arti penting evaluasi dalam profesi konseling akan terkait dengan public
trust. Kekuatan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja
konselor profesional dengan kepercayaan publik. Masyarakat akan memiliki kepercayaan pada
profesi konselor jika konseling dilakukan oleh konselor yang memang memiliki kompetensi
sebagai konselor, dan akan dilihat dari hasil evaluasi kegiatannya sebagai konselor.
Mungin Eddy W (2011:293) menguraikan lebih lanjut citra dan mutu kinerja konselor
dapat ditegakkan sehingga akan minimbulkan public trust, bilamana dalam pelaksanaan tugas
profesionalnya konselor telah dapat mewujudkan hal-hal berikut:
1. Pelayanan konseling sebagai pelayanan social. konselor dalam menangani masalah
tidak disertai oleh penyikapan “negative antaginistic” yaitu cenderung memandang
masalah sebagai sesuatu yang tidak boleh ada, harus diberantas dengan segera, jika
perlu dengan kekerasan. Seharusnya konselor menyikapi “social altruistik” yaitu
memandang bahwa adanya masalah itu adalah wajar dan manusiawi serta
penganannya harus dilakukan secara lembut, hati-hati, serta penuh pertimbangan dan
kesabaran. Jadi pelayanan yang diberikan oleh konselor secara tulus dengan
mencurahkan segenap daya dan kemampuan yang ada demi keberhasilan dan
kebahagiaan klien.
2. Pelayanan yang ditampilkan unik. Konselor harus mampu mengidentifikasi individu
(klien) yang pemenuhannya perlu dilakukan melalui pelayanan konseling; dan dalam
penanganannya menggunakan cara-cara yang berbeda dengan ahli lain seandainya
ahli lain menangani juga masalah yang sama. Penanganan konselor terhadap individu
36
yang mencuri misalnya, harus berbeda cara penanganannya dengan guru mata
pelajaran, psikolog dan sebagainya.
3. Penampilan layanan atas dasar kaidah-kaidah intelektual. Pelayanan konseling pada
penyikapan altruistic lebih dapat diharapkan untuk menerapkan kaidah-kaidah
intelektual dibandingkan dengan penanganan pada penyikapan negative antagonistik.
4. Menjalankan kode etik profesional. Kode etik sangat penting bagi mutu layanan dan
penerimaan klien serta masyarakat atas layanan tersebut. Dengan kode etik yang
mantap klien dan masyarakat akan meningkatkan persepsi mereka terhadap
pelayanan konseling dan akan mempercayakan dengan sepenuh hati penanganan
masalah mereka kepada konselor. Sebaliknya bila pelaksanaan kode etik kedodoran,
konselor dijauhi oleh (calon) klien dan masyarakat akan mengecam serta
melontarkan predikat yang pasti merugikan profesi konseling.
5. Wawasan terhadap body of knowledge konseling. Konselor harus memiliki
pendidikan profesi konseling, cukup matang, pengalaman yang luas, pengembangan
diri yang terus menerus dan intensif dengan disertai riset akan lebih memantapkan
keilmuan konseling khususnya yang khas budaya Indonesia.
Disinilah arti penting pelaksanaan penilaian/evaluasi dalam pelaksanaan kegiatan layanan
BK. Data hasil evaluasi program BK akan mengungkapkan bahwa pelayanan konseling adalah
pelayanan sosial, pelayanan yang unik dan didasarkan atas kaidah-kaidah intelektual. Dari hasil
evaluasi akan terlihat kode etik yang dilanggar dan bagaimana wawasan konselor tentang body of
knowledge konseling.
Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia Nomor 27 Tahun
2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor dinyatakan dengan jelas,
salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh konselor adalah, melakukan evaluasi
hasil, proses dan program Bimbingan dan Konseling. Terkait denagn itu, Pendidikan calon
konselor di tinggkat strata satu (S1) yang nantinya harus mengikuti pendidikan profesi konselor,
dilaksanakan untuk membekali mahasiswa dengan kompetensi/ konselor. Dalam hal ini menjadi
dasar, perlunya mata kuliah EVALUASI BIMBINGAN KONSELING.
Untuk menguasai kompetensi evaluasi, pembahasan tentang evaluasi BK dalam buku ini
akan dimulai dengan melihat konsep dasar evaluasi secara umum dalam pendidikan, yang
kemudian baru mengerucut pada evaluasi BK dan pelaksanaanya. Hal ini dimaksudkan agar
37
wawasan mahasiswa calon konselor lebih luas dan dapat membedakan evaluasi BK khususya
dan evaluasi pendidikan secara umum.
38
BAB IV
PROGRAM BK KOMPREHENSIF
Dunia bimbingan dan konseling merupakan bidang yang berkembang secara dinamis. Ilmu
pengetahuan mengenai bimbingan dan konseling juga berkembang dari tahun ke tahun dan
dekade ke dekade. Perubahan dalam sebuah bidang kajian tentunya harus disikapi secara
responsive oleh profesi di bidang tersebut, sebagai bentuk kekinian (up-to-date) layanan
profesional yang diselenggarakan.
Di Indonesia, kita sudah sangat terbiasa dengan model pola 17 atau model pola 17+.
Selama puluhan tahun kita menggunakan model tersebut di sekolah. Seiring dengan
perkembangan model BK Komprehensif di Amerika, para ahli BK di Indonesia menyerap serta
mengembangkan model tersebut. Perkembangan ini kemudian diteruskan oleh ABKIN sebagai
organisasi profesi untuk membuat pedoman pelaksanaan BK di sekolah yang mengakomodasi
model tersebut. Meskipun terdapat perbedaan model BK di sekolah, apakah itu pola 17 atau pola
17+ atau BK Komprehensif, akan tetapi inti kegiatan dari model tersebut tetap sama yaitu dua
kegiatan utama, kegiatan bimbingan dan konseling.
39
Berdasarkan defenisi di atas terdapat empat konsep penting, yaitu: pertama, program
bimbingan dan konselin komprehensif merupakan arah kerja (framework) bimbingan dan
konseling di sekolah. Kedua, framework tersebut berisi perencanaan, tahapan, rangkaian kegiatan
dan pelayanan bimbingan dan konseling. Ketiga, kegiatan dan pelayanan bimbingan dan
konseling dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa, sekolah, masyarakat, serta berdasarkan
sumber-sumber yang dimiliki. Keempat, sasaran program bimbingan dan konseling adalah siswa,
dan orang tua.
Bimbingan dan konseling komprehensif sebagai sebuah model penyelenggaraan program
bimbingan dan konseling di sekolah telah terbukti efektif. Gysbers (Brown, 2005: 13)
berdasarkan studi yang dilakukannya mengungkapkan bahwa program bimbingan dan konseling
komprehensif memberikan kontribusi pada pencapaian prestasi akademis peserta didik. Studi
lain yang dilakukan oleh Yusuf, Ahman, serta Juntika, mengenai model program bimbingan dan
konseling komprehensif di Bandung menunjukan bahwa program bimbingan dan konseling
komprehensif efektif diselenggarakan pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
serta Sekolah Menengah Atas, serta Sekolah Menengah Kejuruan (Yusuf, Syamsu, 1998;
Ahman, 1998; Juntika, 1998).
Selanjutnya Gysbers & Henderson (2006: 59) mengemukakan bahwa terdapat empat
elemen yang membentuk program bimbingan dan konseling komprehensif (comprehensive
guidance and counseling program). Elemen tersebut meliputi: kurikulum bimbingan (guidance
curriculum), perencanaan siswa secara individual (individual student planning), layanan
responsive (responsive service), serta dukungan sistem (support system). Keempat komponen
program tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Rambu-rambu Penyelenggaraan BK di
Pendidikan Formal, 2007: 25).
Pelayanan dasar dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh peserta
didik melalui kegiatan yang memberikan pengalaman terstuktur secara klasikal atau kelompok.
Kegiatan disusun dan diselenggarakan secara sistematis untuk mengembangkan perilaku jangka
panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (dituangkan sebagai standar
kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan
mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya. Penggunaan istrumen asesmen
perkembangan dan kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk mendukung
40
implementasi komponen ini. Asesmen kebutuhan diperlukan sebagai landasan pengembangan
pengalaman terstruktur (Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK di Pendidikan Formal, 2007: 26).
Pelayanan responsif merupakan pelayanan yang diselenggarakan untuk membantu konseli
yang memiliki masalah dalam pencapaian tugas perkembangan. Pelayanan responsif hakikatnya
adalah respons segera atas masalah yang dialami konseli. Pelayanan responsif memiliki alternatif
kegiatan yang beragam, meliputi konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orang
tua, guru, dan ahli tangan kepada ahli lain. Tujuan pelayanan responsif adalah membantu konseli
agar dapat memenuhi kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu
konseli yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya
(Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK di Pendidikan Formal, 2007: 26). Pelayanan responsif
juga bertujuan untuk mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi konseli yang
mucul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karier, dan/atau
masalah perkembangan pendidikan.
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kapada konseli agar mampu merumuskan
dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depan berdasarkan
pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan
kesempatan yang tersedia di lingkungannya. Pemahaman konseli secara mendalam dengan
segala karakteristiknya, penafsiran hasil asesmen, dan penyediaan informasi yang akurat sesuai
dengan peluang dan potensi yang dimiliki konseli diperlukan sehingga konseli mampu memilih
dan mengambil keputusan yang tepat di dalam mengembangkan potensinya secara optimal,
termasuk keberbakatan dan kebutuhan khusus konseli (Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK di
Pendidikan Formal, 2007: 28). Pelayanan perencanaan individual dapat dilakukan melalui
kegiatan orientasi, infomasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi.
Ketiga pelayanan di atas merupakan pelayanan yang diselenggarakan oleh konselor secara
langsung kepada siswa. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan
kegiatan menajemen, tata kerja, infrastuktur (misalnya teknologi informasi dan komunikasi), dan
pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang secara tidak
langsung memberikan bantuan kepada konseli atau memfasilitasi optimalisasi perkembangan
konseli. Pelayanan ini memberikan dukungan kepada konselor dalam memperlancar
penyelenggaraan layanan dasar, responsif, dan perencanaan individual siswa (Rambu-Rambu
Penyelenggaraan BK di Pendidikan Formal, 2007: 29).
41
B. LAYANAN DASAR (KURIKULUM BIMBINGAN)
1. Pengertian Layanan Dasar
Layanan dasar merupakan suatu istilah yang tercantum dalam rambu-rambu
penyelenggaraan BK di pendidikan formal. Layanan dasar merupakan satu dari empat layanan
yang menjadi bagian dari program bimbingan dan konseling komprehensif. Layanan dasar
merupakan istilah yang memiliki arti yang sama dengan kata “guidance curriculum” sebagai satu
dari empat program dalam program bimbingan dan konseling komprehensif yang
direkomendasikan oleh ASCA. Layanan dasar sebagai terjemahan guidance curriculum, ternyata
memiliki beberapa istilah yang sepadan. Beberapa ahli bimbingan dan konseling juga
menggunakan istilah kurikulum bimbingan sebagai terjemahan dari guidance curriculum (Fitri,
2012; Yusuf, Syamsu; 1998). Layanan dasar atau kurikulum bimbingan sesungguhnya adalah
seperangkat program bimbingan yang diselenggarakan bagi seluruh peserta didik dalam rangka
membentuk seperangkat kompetensi dalam tugas perkembangan. Pada penelitian ini, istilah
layanan dasar digunakan merujuk pada rambu-rambu penyelenggaraan BK di pendidikan formal
sebagai dokumen yang memiliki legalitas yuridis.
Layanan dasar sesungguhnya bukanlah ide baru. Keberadaan layanan dasar memiliki akar
sejarah yang kuat. Hal yang baru mungkin berkaitan dengan susunan, teknik-teknik, metode, dan
sumber-sumber yang sekarang tersedia. Asosiasi Konselor Sekolah Amerika telah lama
mengembangkan layanan dasar (guidance curriculum) sebagai salah satu layanan yang perlu
diselenggarakan di sekolah. Schmidt (1999) mengungkapkan bahwa layanan dasar merupakan
salah satu program dalam model bimbingan perkembangan. Model bimbingan perkembangan
kemudian berkembang menjadi model bimbingan dan konseling komprehensif yang tetap
menjadikan layanan dasar sebagai salah satu layanan dalam program bimbingan dan konseling
komprehensif.
Yusuf & Juntika (2006) menyebutkan bahwa layanan dasar bertujuan untuk membantu
semua siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan
memperoleh keterampilan dasar hidupnya. Sejalan dengan itu, Gysbers & Henderson (2006)
menjelaskan bahwa guidance curriculum merupakan salah satu program bimbingan dan
konseling komprehensif yang bertujuan untuk memebentuk seperangkat kompetensi dalam tugas
perkembangan sehingga peserta didik dapat menjalani hidupnya dengan sukses.
42
Layanan dasar merupakan layanan yang sangat penting dalam konsep program bimbingan
dan konseling komprehensif. Layanan dasar diselenggarakan untuk seluruh siswa tanpa
terkecuali. Layanan dasar bersifat preventif dan developmental sehingga mampu memberikan
landasan bagi pencapaian tugas perkembangan. Sink et al. (2005:296) mengemukakan bahwa
program bimbingan (guidance curriculum) memberikan dampak pada pencapaian tugas
perkembangan siswa. Studi yang dilakukan Lapan et al. (1997) terhadap 22.962 peserta didik di
Negara Bagian Missouri mengenai pengaruh layanan dasar, menunjukan bahwa siswa pada
sekolah yang menyelenggarakan layanan dasar secara penuh memiliki capaian yang lebih tinggi,
perencanaan masa depan yang lebih terencana, memperoleh informasi mengenai karier, serta
memiliki iklim sekolah yang lebih baik.
Penyelenggaraan layanan dasar mempermudah pekerjaan guru BK dalam mengembangkan
potensi siswa. Melalui layanan dasar, guru BK dapat mengenal siswa secara mendalam. Kondisi
ini terjadi karena guru BK berinteraksi secara intensif dengan siswa. Pada sisi yang lain,
kompetensif yang dibentuk melalui layanan dasar dapat mencegah siswa mengalami masalah.
Kondisi ini tentunya membuat guru BK bekerja lebih efektif dan efisien, kerena tidak terjebak
pada penumpukan beban kerja akibat banyaknya siswa yang mengalami masalah.
43
Daniel (Prayitno, 2004: 198) menjelaskan telah lama dikenal bahwa berbagai informasi
berkenaan dengan orientasi siswa baru, pindah program, dan peta sosiometri, serta bagaimana
mengembangkan hubungan antarsiswa dapat disampaikan dan dibahas dalam bimbingan
kelompok. Brewer (Winkel & Hastuti, 2006: 91) berpandangan bahwa tugas pokok semua tenaga
pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk mengatur berbagai bidang kehidupan sedemikian
rupa sehingga bermakna dan memberikan kepuasan, seperti bidang kesehatan, bidang kehidupan
keluarga, bidang pekerjaan, bidang rekreasi, bidang pendalaman pengetahuan, dan bidang
kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia, layanan dasar memiliki prioritas tersendiri dalam layanan bimbingan dan
konseling di sekolah. Layanan dasar diselenggarakan di sekolah secara rutin. Berdasarkan SK
Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 25 Tahun 1993 pasal 5 ayat 3
menyatakan bahwa guru pembimbing harus membimbing 150 orang siswa. Menurut Juntika
(2004: 20) membimbing 150 orang siswa itu setara dengan mengajar di kelas selama 18 jam
pelajaran per minggu. Implikasinya di sekolah, hampir setiap Sekolah Menengah Atas memiliki
alokasi waktu satu (1) jam kegiatan bimbingan setiap minggunya di setiap kelas. Bimbingan
kelompok inilah yang disebut sebagai bimbingan klasikal dalam layanan dasar.
Bekerja dalam kelompok atau bekerja dengan kolompok (group work) menunjukan pada
seperangkat metode dan teknik yang dirancang untuk mendampingi suatu kelompok dalam
meningkatkan cara dan mutu berinteraksi sedemikian supa, sehingga menunjang pencapaian
tujuan yang ditetapkan, dan pengembangan kepribadian masing-masing anggota yang tergabung
dalam suatu kelompok. Bagi guru bimbingan dan konseling di sekolah, bekerja dengan
kelompok berarti merancang dan mengelola serangkaian kegiatan yang memberikan pengalaman
kepada siswa berinteraksi satu sama lain dalam lingkup kelompok. Tujuan dari bimbingan
kelompok ini adalah menunjang perkembangan pribadi, perkembangan sosial, serta
perkembangan belajar dan karier siswa.
Dalam hal ini, guru BK memanfaatkan proses kelompok (group process), yaitu interaksi
dan komunikasi yang berlangsung antara anggota peserta kegiatan bimbingan dan kelompok
yang bekerja sama untuk memenuhi suatu kebutuhan yang dihayati bersama, untuk memecahkan
suatu problem yang dihadapi bersama melalui tukar pikir dalam diskusi, dan /atau untuk
merencanakan suatu aksi yang akan dilakukan bersama.
44
Meskipun tanggung jawab konselor sekolah termasuk juga mengorganisasikan dan
mengimplementasikan kurikulum bimbingan, kerja sama dan dukungan dari pihak pimpinan
sekolah dan staf sungguh penting dalam rangka kesuksesan implementasi. Orang tua dan wali
kelas juga dilibatkan untuk memberikan masukan bagi program bimbingan dan konseling
terutama kurikulum bimbingan. Hal ini juga dimaksudkan agar orang tua dan wali memberikan
dukungan dan dorongan proses bimbingan di rumah. Bentuk pelaksanaan bimbingan kelompok
secara klasikal (group guidance class) menjadi ciri khas dari model bimbingan yang ada
sekarang ini. Hal ini tampak pada adanya jam bimbingan di sekolah.
45
berikutnya, yaitu pembentukan konsepsi (conceptualization), kemudian pada tingkat
yang paling tinggi yaitu konsistensi perilaku dan efektivitas melalui evaluasi internal
dan eksternal (ganeralization).
Tugas utama pengembangan kurikulum bimbingan adalah untuk mengorganisasikan dan
memetakan kompetensi siswa di mana mereka mengikuti wilayah dan urutan secara teoritis.
Sebagaimana telah dikemukakan pada asumsi kelima bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan,
yaitu perceptualization, conceptualization, serta generalization. Masing-masing tingkatan ini
memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Tingkat perceptualization merupakan tingkat dimana
daerah kompetensi yang dikuasai ada pada kesadaran diri akan pengetahuan, keterampilan, nilai,
sikap, dan lain sebagainya yang menjadi prasyarat dalam pembentukan perilaku. Pada tahap ini
terdapat dua kategori yaitu orientasi linkungan, di mana kompetensi di arahkan pada
pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap, dan lain sebagainya, sesuatu yang harus diketahui dan
dipahami oleh siswa. Kategori kedua yaitu orientasi diri, dimana kompetensi siswa lebih terarah
pada pembentukan persepsi siswa secara individual. Artinya berbagai pengetahuan, ketampilan,
nilai, sikap yang dipahami, dipersepsikan sebagai sesuatu yang khas oleh siswa secara
individual. Tingkat yang kedua adalah conceptualization, yaitu tingkat kompetensi yang
menekankan pada interaksi antara orientasi akan lingkungan dan orientasi diri. Tujuan umum
pada tahap ini adalah: (a) membantu siswa membuat pilihan, keputusan yang tepat, serta rencana
yang memwanya pada kepuasan pribadi dan penerimaan sosial, (b) mengambil aksi yang penting
dalam kaitannya dengan rencana perkembangan, (c) membangun perilaku untuk menguasai
lingkungan sekolah, dan sosial. Dua kategori utama dalam tingkat conceptualization adalah arah
kecenderungan, dan adaptif dan penyesuaian perilaku. Tingkat yang ketiga adalah
generalization, yaitu tingkat kompetensi dimana siswa mampu (a) mengakomodasi peminatan
budaya dan lingkungan dengan konflik yang minimum, (b) mencapai kepuasan pribadi dari
transaksi dengan lingkungan, (c) mendemonstrasikan kompetensi dengan menguasai tugas
tertentu dalam situasi yang baru.
Sejalan dengan Gysbers & Henderson, ABKIN dalam Rambu-Rambu Penyelenggaraan
BK di Pendidikan Formal (2007) menyebutkan bahwa tujuan layanan dasar adalah membantu
siswa mencapai tugas perkembangan. Oleh karena itu, tugas perkembangan merupakan
kompetensi yang menjadi tujuan dari layanan dasar. Lebih lanjut, desebutkan bahwa terdapat tiga
kategori tingkat kompetensi, meliputi pengenalan, akomodasi, dan tindakan.
46
Selanjutnya, Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK di Pendidikan Formal (2007) berkenaan
dengan standar kompetensi kemandirian peserta didik, mengidentifikasi 11 aspek perkembangan,
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Standar Kemandirian Peserta Didik SMP
Kompetensi
Tugas perkembangan Pengenalan Tindakan
Akomodasi
Landasan hidup Mengenal arti dan Berminat Melakukan berbagai
religius tujuan ibadah mempelajari arti dan kegiatan ibadah
tujuan setiap bentuk dengan kemauan
ibadah sendiri
Landasan perilaku Mengenal alas an Memahami Bertindak atas
etis perlunya keberagaman pertimbangan diri
maturan/norma aturan/patokan dalam terhadap norma yang
berperilaku berperilaku alam berlaku
konteks budaya
Kematangan emosi Mempelajari cara- Memahami Mengespresikan
cara keberagaman perasaan atas dasar
mengekspresikan ekspresi perasaan diri pertimbangan
perasaan secara wajar dan orang lain kontekstual
Kematangan Mempelajari cara- Menyadari adanya Mengambil
intelektual cara pengambilan resiko dari keputusan
keputusan dan pengambilan berdasarkan
pemecahan masalah keputusan pertimbangan resiko
yang mungkin terjadi
Kesadaran tanggung Mempelajari cara- Menghargai nilai- Berinteraksi dengan
jawab sosial cara memperoleh hak nilai persahabatan orang lain atas dasar
dan memenuhi dan keharmonisan nilai-nilai
kewajiban dalam dalam kehidupan persahabatan dan
lingkungan sehari-hari keharmonisan hidup
kehidupan sehari-hari
Kesadaran gender Mengenal peran- Menghargai peranan Berinteraksi dengan
peran sosial sebagai diri dan orang lain lain jenis secara
laki-laki atau sebagai laki-laki atau kolaboratif dalam
perempuan perempuan dalam memerankan peran
kehidupan sehari-hari jenis
Pengembangan diri Mengenal Menerima keadaan Menampilkan
kemampuan dan diri secara positif perilaku yang
keinginan diri merefleksikan
keragaman diri dalam
lingkungannya
Perilaku Mengenal nilai-nilai Menyadari menfaat Membiasakan diri
kewirausahaan perilaku hemat, ulet, perilaku hemat, ulet, hidup hemat, ulet,
(kemandirian sungguh-sungguh, sungguh-sungguh, sungguh-sungguh,
47
perilaku ekonomis) dan kompetitif dalam dan kompetitif dalam dan kompetitif dalam
kehidupan sehari-hari kehidupan sehari-hari kehidupan sehari-hari
Wawasan dan Mengekspresikan Menyadari Mengidentivikasi
kesiapan karier ragam pekerjaan, keberagaman nilai ragam alternatif
pendidikan, dan dan persyaratan dan pekerjaan,
aktivitas dalam aktivitas yang pendidikan, dan
kaitan dengan menuntut pemenuhan aktivitas yang
kemapuan diri kemampuan tertentu mengandung
relevansi dengan
kemapuan diri
Kematangan Mempelajari norma- Menyadari Bekerja sama dengan
hubungan dengan norma pergaulan keragaman latar teman sebaya yang
teman sebaya dengan teman sebaya belakang teman beragam latar
yang beragam latar sebaya yang belakangnya
belakangnya mendasari pergaulan
Untuk mencapai perkembangan tersebut, ABKIN (2007) mengidentifikasi tujuh (7) fokus
pengembangan sebagai materi layanan dasar yang juga memiliki kesamaan dengan fokus
pengembangan yang disampaikan oleh Gysbers (Fitri, 2012: 23) yaitu:
1. Self esteem/self concept, mencakup kompetensi: memiliki konsep diri yang positif,
menghargai keunikan diri sebagai pribadi, mengelola perasaan.
2. Motivasi berprestasi, mencakup kompetensi: mengembangkan potensi akademis mereka,
memanfaatkan berbagai kesempatan pendidikan, mengidentifikasi kesempatan karier yang
dapat memenuhi potensi mereka, mengembangkan kemampuan kepemimpinan.
3. Keterampilan pengambilan keputusan, memecahkan masalahh, menetapkan tujuan,
mencakup kompetensi: mengumpulkan informasi, menentukan tujuan, memecahkan
masalah, mengembangkan rencana tindakan, membuat keputusan, mengelola perubahan,
mengelola situasi transisi.
4. Keterampilan hubungan antarpribadi yang efektif, mencakup: menghargai orang lain, dapat
berhubungan dengan orang lain secara baik, berpartisipasi dengan baik di dalam kelompok,
mengembangkan persahabatan yang sehat.
5. Keterampilan komunikasi mencakup kompetensi: memahami keterampilan komunikasi
dasar, mengungkapan/mengekspresikan diri, mendengarkan orang lain.
6. Penyadaran keragaman badaya mencakup: menghargai budaya mereka sendiri,
menghormati orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda sebagai individual dan
menerima keberadaan budaya mereka tersebut, berhubungan dengan orang lain yang
48
berbeda budaya secara efektif dengan berdasar pada penghargaan terhadap perbedaan,
mengevaluasi bagaimana stereotip mempengaruhi mereka dan hubungan mereka dengan
orang lain.
7. Perilaku yang bertanggung jawab, mencakup kompetensi: berperilaku secara bertanggung
jawab, mengambil tanggung jawab terhadap tindakan diri sendiri, memiliki disiplin diri.
49
BAB V
KONSEP EVALUASI BIMBINGAN DAN KONSELING
50
disampaikan oleh Groundlund memang terkait dengan konteks pembelajaran. Evaluasi pada
konteks pembelajaran lebih diarahkan pada penentuan sejauh mana tujuan pembelajaran dicapai
siswa. Sejalan dengan itu, Sumadi Suryabrata berpendapat bahwa istilah evaluasi menekankan
pada penggunaan informasi yang diperoleh dengan pengukuran manapun dengan cara lain untuk
menentukan pendapat dan membuat keputusan – keputusan pendidikan. Ada kata kunci yang
didapat berdasarkan pendapat dua ahli di atas, yaitu bahwa evaluasi adalah proses yang memiliki
tujuan untuk menentukan atau membuat keputusan. Kata kunci pengambilan keputusan juga
disebutkan oleh Stufflebeam yang mendefenisikan evaluasi sebagai “ as a process of providing
useful information for decision making (Stufflebeam et al, 2004:89). Defenisi Stufflebeam
tersebut sejalan dengan defenisi yang dikeluarkan oleh komite evaluasi amerika serikat yang
mendefenisikan evaluasi program pendidikan as being “ the process of delineating, obtaining,
dan providing useful information for judging decision alternative ( Fitzpatrick et al, 2004:9).
Berdasarkan defenisi yang dikemukakan oleh ahli, maka jelaslah bahwa evaluasi memiliki
beberapa karakteristik yang khas. Pertama, evaluasi adalah proses dimana didalamnya terdapat
proses pengumpulan informasi. Informasi ini dapat berupa informasi yang bersifat kuantitatif dan
bersifat kualitatif yang didapat melalui proses pengukuran. Kedua, dalam evalu deasi, terdapat
proses analisis dan interprestasi informasi, artinya di dalam evaluasi terdapat proses
membandingkan fakta dengan patokan tertentu. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa
proses penilaian juga terjadi dalam proses evaluasi. Dan ketiga, inilah karakteristik yang
membedakannya dengan penilaian adalah bahwa evaluasi merupakan proses yang menjadi dasar
penentuan suatu pengambilan keputusan. Artinya hasil dari evaluasi harus dapat memberikan
rekomendasi berkenaan dengan keputusan suatu program, apakah program tersebut dilanjutkan,
dihentikan, atau dilanjutkan akan tetapi dengan beberapa revisi.
Berdasarkan pembahasan istilah penilaian dan evaluasi, maka dapat kita ketahui bahwa
penilaian evaluasi merupakan suatu tahapan. Penilaian merupakan proses yang dilakukan dalam
rangka proses evaluasi. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka perhatikanlah
contoh berikut. Pada satu sekolah di Jakarta, coordinator bimbingan dan konseling melihat
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolahnya berjalan kurang efektif, terutama pada
bimbingan klasikal yang rutin dilakukan satu jam pelajaran dalam seminggu. Untuk
memperbaiki kondisi ini, maka coordinator bimbingan dan konseling melakukan pengkajian
terhadap penyelenggaraan program bimbingan klasikal tersebut. Tahap pertama coordinator
51
melakukan proses pengumpulan data berkenaan dengan tanggapan siswa terhadap program
bimbingan klasikal yang diselenggarakan dengan menyebarkan angket. Pada tahap ini
coordinator BK telah melakukan proses pengukuran. Setelah data terkumpul kemudian
coordinator BK menganalisis data tersebut dengan melihat berapa banyak siswa yang
memberikan tanggapan positif dan negative terhadap program. Berdasarkan criteria yang
dikembangkan oleh coordinator BK, program dianggap baik, apabila lebih dari 75% siswa
memberikan tanggapan positif pada program. Program dianggap cukup baik apabila siswa yang
memberikan tanggapan positif antara 50% sampai dengan 75%. Sedangkan program dianggap
buruk apabila lebih dari 50% siswa memberikan tanggapan negative. Kita misalkan saja hasil
pengukuran menunjukan 80% siswa memberikan tanggapan negative terhadap program, maka
coordinator memberikan penilaian buruk terhadap program. Kemudian berdasarkan hasil
penilaian tersebut, coordinator bimbingan dan konseling mengambil keputusan untuk merevisi
program bimbingan klasikal yang ada disekolah tersebut. Keseluruhan dari apa yang dilakukan
oleh coordinator BK tersebut adalah yang kita sebut sebagai evaluasi.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis cenderung mengunakan kata evaluasi untuk
program bimbingan dan konseling daripada kata penilaian. Hal ini karena kata evaluasi
mencakup juga penilaian di dalamnya dan menghantarkan kegiatan sampai dengan pengambilan
keputusan. Proses pengambilan keputusan menjadi hal yang penting dalam program bimbingan
dan konseling, karena yang paling penting dari sebuah prses penelaahan terhadap program
adalah pengambilan keputusan apakah program dapat dilanjutkan, dihentikan, atau direvisi. Hal
ini lebih penting dari pada sekedar memberikan nilai dari program itu sendiri.
52
lain mungkin berpendapat lain, mereka merasa bahwa guru BK tidak boleh memberikan nilai
kepada siswa, karena BK tidaklah sama dengan mata pelajaran.
Munculnya berbagai pendapat mengenai evaluasi program bimbingan dan konseling. Di
atas lebih dikarenakan adanya pengetahuan dan persepsi yang kurang tepat mengenai evaluasi
program bimbingan dan konseling itu sendiri. Kondisi ini juga sangat dipahami mengingat
sangat sulitnya mendapatkan bahan bacaan mengenai evaluasi program bimbingan dan konseling
dalam bahasa Indonesia. Maka dari itulah kita di bagian awal pembahasan ini penting sekali
kiranya kita membahas mengenai apa itu sebenarnya evaluasi program bimbingan dan konseling,
dan apa bedanya dengan evaluasi hasil belajar mata pelajaran.
53
pendidikan (Brienkerhorr, 1986:15). Tyler menganggap evaluasi merupakan proses
membandingkan antara tujuan yang ditetapkan dengan tujuan yang dapat dicapai. Defenisi Tyler
ini memiliki penekanan pada apa yang telah dicapai melalui program. Defenisi yang berbeda
dikemukakan oleh Tyler ini kemudian diikuti oleh beberapa ahli ahli evaluasi setelahnya, seperti
Met Fesel, Michael, dan juga Provus, yang memberikan penekanan evaluasi pada pencapaian
hasil dari program. Defenisi yang berbeda dikemukakan oleh Scriven yang mendefenisikan
evaluasi sebagai proses mengumpulkan dan mengkombinasikan data performance dengan
seperangkat tujuan yang telah ditetapkan (Isaac & William, 1984:4). Definisi Scriven ini, tidak
lagi hanya memberikan tekanan pada pencapaian hasil, akan tetapi juga memberikan perhatian
pada aspek proses. Scriven kemudian terkenal dengan model evaluasi formatif dan sumatif yang
dikembangkannya. Stake dalam Isaac & Michael mendefenisikan evaluasi sebagai proses
mengambarkan dan memberikan penilaian pada program pendidikan (Isaac & William, 1984:8).
Defenisi yang dikemukakan Stake ini lebih bersifat kualitatif, dimana interaksi menjadi bagian
penting yang hanya diamati melalui proses yang interaktif. Stufflebeam merupakan ahli evaluasi
yang mengusulkan evaluasi melalui pendekatan yang berorientasi kepada pemegang keputusan
(a decision oriented evaluation approach structured). Stufflebeam merumuskan a decision
oriented evaluation approach structured ( Stufflebeam dan Shinkfield, 1985:155). Defenisi
tersebut kemudian sedikit direvisi pada tahun 1973 oleh Stufflebeam yang mendefenisikan
evaluasi sebagai “ the process of delineating, obtaining, dan providing useful information for
judging decision alternative (Fitzpatrick, et.al, 2004:89). Defenisi tersebut sejalan dengan
defenisi yang dikeluarkan oleh komite yang mendefenisikan evaluasi program dalam pendidikan
as being “ the process of delineating, obtaining, dan providing useful information for judging
decision alternative ( Isaac & William, 1984:9 ). Defenisi tersebut sejalan dengan defenisi yang
dikeluarkan Comitte yang mendefenisikan evaluasi program dan pendidikan as being ” the
process of delineating, obtaining, dan providing useful information for judging decision
alternative (Isaac & William, 1984:9). Defenisi ini memberikan tekanannya pada tiga (3) hal,
pertama, bahwa evaluasi merupakan proses sistematis yang terus – menerus. Kedua proses ini
terdiri atas 3 langkah, yaitu (1) menyatakan pertanyaan yang menuntut suatu suatu jawaban atas
informasi yang spesifik untuk digali, (2) membangun data yang relevan, dan (3) menyediakan
informasi akhir ( kesimpulan ) yang menjadi bahan pertimbangan mengambil keputusan. Ketiga
evaluasi memberikan dukungan pada proses mengambilkan keputusan dengan memilih salah
54
satu alternatif pilihan dan melanjutkan tindak lanjut atas keputusan tersebut. Defenisi yang di
kemukakan Stufflebeam sejalan dengan apa yang dikemukakan Owen yang mendefenisikan
evaluasi sebagai the process of providing information designed to assist making decision about
the objek being evaluated ( Owen, 1993:3). Evaluasi merupakan sebuah proses penyediaan
informasi yang didesain untuk membantu membuat keputusan mengenai objek yang dievaluasi.
Melalui defenisi yang dikemukakany, Owen menegaskan bahwa penyedian informasi sebagai
dasar membuat keputusan merupakan proses yang memiliki perencanaan. Hal itu berarti
evaluasi tidak boleh dilakukan secara spontan tanpa perencanaan terlebih dahulu.
Berdasarkan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses pemberian penilaian terhadap keberadaan dan
keberhasilan suatu program yang dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data, serta
analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan. Kesimpulan ini tentunya
memberikan penekanan pada beberapa hal yaitu:
1) Evaluasi merupakan sebuah proses, artinya bahwa evaluasi merupakan suatu kegiatan
yang didalamnya terdapat serangkaian prosedur serta tahapan kegiatan yang harus
dilakukan.
2) Dalam evaluasi terdapat pemberian penilaian, artinya evaluasi akan memberikan nilai
tertentu berdasarkan criteria tertentu.
3) Penilaian dilakukan terhadap keberhargaan dan keberhasilan suatu program. Hal ini
menegaskan bahwa evaluasi program merupakan evaluasi yang memberikan
penekanannya pada keberhasilan dan keberhargaan program. Penilaian ( judgement)
diberikan kepada program bukan kepada audience atau peserta didik yang dilayani
dalam program.
4) Evaluasi dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, pengolahan data, serta
analisis data.
5) Hasil evaluasi digunakan untuk mengambil suatu keputusan, apakah program sudah
baik atau tidak, apakah program dapat diteruskan, perlu diperbaiki, atau bahkan
diganti dengan program lain.
Selanjutnya, evaluasi program inilah yang akan diaplikasikan dalam bidang bimbingan
dan konseling dalam rangka melakukan evaluasi terhadap program bimbingan dan konseling.
Hal ini juga berarti evaluasi bahwa evaluasi program merupakan ilmu yang digunakan sebagai
55
cara untuk melakukan evalusi, sedangkan program bimbingan dan konseling merupakan objek
evaluasinya. Berdasarkan pemahaman ini, maka kita dapat mendefenisikan evaluasi progam
bimbingan dan konseling sebagai proses pemberian penilaian terhadap keberhargaan dan
keberhasilan program bimbingan dan konseling yang dilakukan melalui pengumpulan data,
pengolahan data, serta analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan.
Berbicara mengenai program bimbingan dan konseling tentunya banyak sekali. Pada model pola
17 atau pola 17+ terdapat beberapa layanan dan pendukung. Pada model BK Komprehensif
terdapat 4 program besar, yaitu; layanan dasar ( guidance curriculum ), layanan responsive (
responsive services), layanan perencanaan individual siswa, serta dukungan sistem (system
support). Evaluasi program bimbingan dan konseling adalah evaluasi terhadap berbagai program
bimbingan dan konseling yang ada disekolah. Meskipun terdapat berbagai model dalam
penyelenggaraan program bimbingan dan konseling di sekolah apakah itu pola 17 atau pola 17+
atau bahkan BK Komprehensif, akan tetapi tetap saja terdapat dua kegiatan pokok dalam
program bimbingan dan konseling, yaitu bimbingan dan konseling itu sendiri.
56
Selain memiliki perbedaan dengan evaluasi hasil belajar pada bidang studi, evaluasi
program bimbingan dan konseling juga memiliki persamaan sebagai berikut:
Tabel 5.2
Persamaan Evaluasi Program BK dengan Evaluasi Hasil Belajar Mata Pelajaran
Evaluasi Hasil Belajar Mata
Karakteristik Evaluasi Program BK
Pelajaran
Tahapan Evaluasi Pengumpulan data, pengolahan Pengumpulan data,
data, analisis data, serta pengolahan data, analisis
pengambilan keputusan data, serta pengambilan
keputusan
Evaluator Guru BK Guru Mata Pelajaran
57
akuntabel adalah program yang dapat memberikan penjelasan kepada stakeholder, apakah itu
guru, orang tua, kepala sekolah, dan juga siswa mengenai mengapa satu program dilaksanakan
dan mengapa program yang lain tidak dilaksanakan. Selain itu, program akuntabel adalah
program yang dapat diketahui sejauh mana pencapaian dari tujuan – tujuan tersebut, maka
kepercayaan stakeholder menjadi meningkat.
58
2006:77 ) menjelaskan criteria merupakan karakteristik program yang dianggap basis penting
untuk melakukan riset evaluasi pada program tersebut. Pendapat ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Winkel & Hastuti ( 2006: 828) bahwa criteria adalah patokan dalam evaluasi
program. Berbeda dengan criteria, standar memiliki penekanannya pada pertanyaan “ seberapa
banyak criteria penting telah mencukupi?” sementara indicator merujuk pada ukuran yang
digunakan untuk mengumpulkan data sehubungan dengan performansi nilai criteria untuk
mengumpulkan data sehubungan dengan performansi nilai criteria ( valued criteria).
Criteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan dan penting
untuk melakukan riset evaluasi. Pemberian nilai pada criteria didasarkan pada keyakinan,
pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajian teoritis.
Menetapkan criteria sebagai patokan dalam evaluasi program memang tidak mudah.
Schmidt ( 1999:264) menjelaskan empat (4) cara untuk menentukan criteria dalam evaluasi
outcome, yaitu mengunakan pencapaian melalui persentase, membandingkan pencapaian siswa
yang mengikuti program dan yang tidak mengikuti program, menanyakan pada siswa, orang tua,
atau guru, serta dengan membandingkan skor pre – test dan post – test. Gysbers ( 2006:338)
mengatakan bahwa tidak ada aturan yang keras dan cepat untuk menghasilkan sebuah standard
performance. Meskipun tidak ada aturan yang keras, akan tetapi biasanya standar tersebut
dihasilkan melalui penilaian ahli berdasarkan pengalaman anggota staf. Winkel & Hastuti ( 2006
) mejelaskan bahwa criteria dapat ditentukan berdasarkan ciri yang melekat dalam program
bimbingan tersebut, baik eksternal maupun internal.
59
Gysbers (2006) mengemukakan bahwa dalam membantu pendekatan yang berorintasi pada
perbaikan dalam evaluasi program, premis dasar di bawah ini penting untuk dipahami, yaitu:
1. Konselor sekolah harus terlibat secara personal dalam mengevaluasi program mereka.
2. Evaluasi program yang diadakan pada barisan depan diimplementasikan penting
untuk menentukan sasaran yang disesuai dan kompetensi siswa yang dilayani dalam
program.
3. Evaluasi pada banyak segi dalam prosesnya akan melibatkan observasi terhadap
perilaku, wawancara, menelaah produksi media, rekaman lain, focus group
discussion ( FGD ), forum terbuka, survey, pengukuran yang terstandar, penilaian
ahli, serta telaah teman ( peer review)
4. Evaluasi program akan sukses apabila didukung oleh administrator, diadakan oleh
konselor sekolah dengan berkolaborasi dengan yang lain, yang menjadi costomernya.
Selain pemahaman akan premis dasar tersebut, Winkel dan Hastuti ( 2006:580)
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil guna bimbingan adalah kedudukan
layanan bimbingan dan fasilitas yang ada, serta sikap anggota staf sekolah terhadap layanan
bimbingan.
Myrick (2003) mengemukakan bahwa terdapat 5 alasan mengapa guru BK tidak
melakukan evaluasi program bimbingan dan konseling. Kelima alasan tersebut saling berkaitan
evaluasi meliputi; guru BK tidak memiliki waktu, guru BK tidak memiliki pengetahuan dan
ketrampilan, adanya ketakutan guru BK terhadap akuntabilitas, perasaan nyaman guru BK
dengan apa yang ada, serta persepsi guru BK bahwa hasil sulit untuk diukur.
Keberhasilan evaluasi tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh kecanggihan metode evaluasi
yang digunakan, akan tetapi juga pengenalan terhadap obje kevaluasi atau program yang akan di
evaluasi. pengenalan program bimbingan dan konseling yang mendalam dan menyeluruh
membuat evaluator tajam dalam menangkap berbagai hal-hal penting dalam program yang
selanjutny amempengaruhinya dalam menentukan desain evaluasi yang paling tepat untuk
program. Pada bagian ini dapat dibahas mengenai program bimbingan dan konseling. Program
60
ini dimaksudkan agar pembaca memahami secara benar apa yang dimaksud dengan program
bimbingan dan konseling.
61
H. PENGERTIAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Pengertian merupakan batasan suatu konsep. Pengertian inilah yang membedakan satu
konsep dengan konsep lainnya. Pemahaman yang baik akan suatu konsep dapat dilakukan
melalui memahami pengertian dari konsep tersebut. Penjelasan ahli mengenai pengertian
bimbingan dan konseling sangatlah beragam. Hal ini disebabkan karena definisi mengenai
bimbingan konseling terus berkembang sampai sekarang. Bernard & Fullmer dalam Prayitno dan
Amti (2004) mendefinisikan bimbingan sebagai segala kegiatan yang bertujuan meningkatkan
realisasi pribadi setiap individu (Prayitno & Erman Amti, 2004:93). Scmidz (1999)
mendefinisikan bimbingan sebagai terminology yang menjelaskan area kurikulum yang
berkaitan dengan ranah afektif atau psikologi pendidikan (Schimdt,1999:10). Kedua definisi
diatas memberikan gambaran bahwa bimbingan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh individu. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Schimd bahwa kegiatan tersebut di bingkai dalam sebuah kurikulum. Lebih lanjut, Gysbers &
Henderson mengemukakan bahwa potensi yang dikemukakan dalam kurikulum bimbingan
merupakan seperangkat kompetensi berupa tugas perkembangan siswa (Gysbers & Henderson,
2006:110).
Berbeda dengan bimbingan, terminology konseling lebih menekankan pada pelayanan
profesional yang lebih khusus. Hal ini terlihat dari definisi yang dikemukakan oleh Prayitno
bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah
(disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno &
Erman Amti, 2004:105). Sedangkan Bernard & Fullmer dalam Prayitno & Amti mendefinisikan
konseling sebagai pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-
kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari individu dan membantu individu yang
bersangkutan untuk mengapresiasi ketiga hal tersebut (Prayitno & Erman Amti, 2004:93-103).
Definisi tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Division of Counseling Psycology
yang mendefinisikan konseling sebagai suatu proses untuk membantu individu mengatasi
hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal
kemampuan pribadi yang dimilikinya.
Meskipun terdapat dua kata, yaitu bimbingan dan konseling, akan tetapi bimbingan dan
konseling merupakan suatu kata yang saling melengkapi. Van Zandt et al (2004) mengatakan
62
bahwa dua kombinasi kata tersebut dapat digabung dalam konsep program konseling sekolah
yang komprehensif(a comprehensive developmental school counseling program). Pemikiran
tersebut senada dengan apa yang disampaikan Schimdt yang mengatakan bahwa konseling di
sekolah (counseling in school) merujuk pada profesi sekaligus program, sehingga konseling tidak
hanya terbatas pada bantuan konselor terhadap klien untuk mengatasi klien saja, akan tetapi
serangkaian program yang lebih luas yang diselenggarakan oleh konselor sekolah. Definisi yang
disampaikan oleh Schimdt ini mengandung arti bahwa bimbingan tercakup dalam konseling.
Berbeda dengan Schmidt, Gysbers & Henderson tetap memandang bahwa kata bimbingan dan
konseling tidak dapat disatukan dan digantikan hanya dengan kata konseling. Lebih lanjut
Gysbers & Henderson mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling tetap harus dibedakan
walaupun dalam program kedua konsep tersebut merupakan satu kesatuan, sehingga Gysbers &
Henderson menggunakan konsep program bimbingan dan konseling yang komprehensif sebagai
program bimbingan dankonseling yang ada di sekolah.
Berdasarkan kajian diatas, maka bimbingan dan konseling dapat diartikan sebagai
seperangkat program pelayanan bantuan yang dilakukan melalui kegiatan perorangan dan
kelompok untuk membantu peserta didik melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri
dan berkembang secara optimal, serta membantu peserta didik mengatasi masalah yang
dialaminya.
63
diteruskan oleh ABKIN sebagai organisasi profesi untuk membuat pedoman pelaksanaan BK di
sekolah yang mengakomodir model tersebut. Meskipun terdapat perbedaan pada beberapa model
BK di sekolah—pola 17 atau 17+ atau BK komprehensif---tetapi inti kegiatan dari model
tersebut tetap sama yaitu dua kegiatan utama, kegiatan bimbingan dan kegiatan konseling.
1. Program Bimbingan
Program bimbingan dan konseling yang ada di sekolah memiliki berbagai program, baik
dalam program kegiatan layanan, maupun dalam program satuan pendidikan. Salah satunya
adalah program layanan bimbingan kelompok yang sering juga disebut sebagai program
bimbingan atau istilah yang sekarang banyak digunakan adalah layanan dasar (guidance
curriculum). Dalam rangka itu, penting membahas lebih dalam mengenai program bimbingan
atau bimbingan kelompok atau layanan dasar(guidance curriculum) tersebut. Layanan
Bimbingan kelompok sebagaimana dijelaskan pada dasarnya memiliki banyak persamaan
dengan konsep kurikulum bimbingan yang disampaikan oleh Gysbers & Henderson, sehingga
bimbingan kelompok dapat pula disebut layanan dasar (guidance curiculum) untuk lebih
memahami pengertian bimbingan kelompok atau program bimbingan atau layanan dasar
(guidance curriculum), maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai macam-macam
bimbingan.
a. Macam-macam bimbingan
Pelayanan bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan formal terlaksana dengan
mengadakan sejumlah kegiatan bimbingan. Seluruh kegiatan itu terselenggaran dalam
rangka suatu program bimbingan (guidience program), yaitu suatu kegiatan bimbingan
yang terencana, terorganisasi, selama periode tertentu, misalnya semesteran atau satu
tahun ajaran. Program bimbingan yang diselenggarakan dapat juga dibedakan
berdasarkan bentuk bimbingan, sifat bimbingan, dan ragam bimbingan.
Bentuk bimbingan menunjukan pada jumlah orang yang diberi layanan bimbingan.
Bilamana siswa yang dilayani hanya satu orang, maka digunakan istilah bimbingan
individual atau bimbingan perseorangan. Bilamana siswa yang dilayani lebih dari satu
orang maka digunakan istilah bimbingan kelompok, baik kelompok kecil, agak besar, dan
besar.
64
Sifat bimbingan menunjuk pada suatu tujuan yang ingin dicapai dalam pelayanan
bimbingan apakah itu mendamping siswa dalam perkembangan yang sedang berjalan
agar berlangsung seoptimal mungkin, atau apakah membantu siswa memperbaiki proses
perkembangan yang telah mengalami salah jalur agar kemudian berlangsung lebih baik
atau apakah bimbingan bertujuan membantu siswa dalam membekali agar lebih siap
menghadapi tantangan di masa depan.
Ragam bimbingan menunjuk pada bidang kehidupan tertentu atau aspek perkembangan
tertentu yang menjadi focus perhatian dalam pelayanan bimbingan. Ragam bimbingan
dapat dibedakan menjadi tiga bagian, meliputi: bimbingan akademik, karir, dan
bimbingan pribadi sosial. Ketiga bagian tersebut sesungguhnya saling terkait satu dengan
yang lainnya, akan tetapi dibedakan dalam rangka keperluan praktis. Winkel dan Hastuti
(2006) beranggapan tidak masalah ketika dibedakan antara bimbingan akademik, karir,
dan pribadi sosial akan tetapi harus diingat bahwa ketiga bimbingan saling terkait dan
dapat pula saling timpah tindih (Winkel dan Hastuti 2006:110-123). Untuk itu maka tidak
ada satu ragam bimbingan yang absolute akan tetapi lebih tepatnya di katakan lebih
dominan.
b. Pengertian program bimbingan/layanan dasar (guidance kurikulum).
Program bimbingan adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam kelompok. Gazda
dalam Praitno (2004) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok disekolah merupakan
kegiatan informasi kepada sekolompok siswa untuk membantu mereka menyusun
rencana dan keputusan yang tepat (Praitno 2004:1995). Gazda juga menyebutkan bahwa
bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat
personal, vokasional, dan sosial. Mc Daniel dalam praitno (2004) menjelaskan telah lama
dikenal bahwa berbagai informasi berkenan dengan orientasi siswa bau, pindah program,
dan peta sosiometri serta bagaimana mengembangkan hubungan antar siswa dapat
disampaikan dan dibahas dalam bimbingan kelompok (Praitno 2004:1995). Brewer dalam
Winkel dan Hastuti (2006) berpandangan bahwa tugas pokok semua tenaga pendidik
adalah mempersiapkan siswa untuk mengatur berbagai bidan kehidupan sedemikian rupa
sehingga bermakna dan memberikan kepuasan seperti bidan kesehan, bidang kehidupan
keluarga, bidang pekerjaan, bidang rekreasi, bidang pendalaman pengetahuan, dan bidang
65
kegidupan bermasyarakat (Winkel dan Hastuti (2006:91). Berdasarkan pendapat para ahli
diatas, dapat diambil beberapa pokok pikiran mengenai bimbingan kelompok, meliputi
Bimbingan kelompok merupakan kegiatan kelompok yang diberikan untuk siswa
Kegiatan bimbingan kelomppok meliputi bidang akademik, pribadi sosial, serta
karir.
Tujuan bimbingan kelompok adalah untuk membantu siswa menyusun rencan dan
keputusan yang tepat baik dalam hal akademik, pribadi sosial, serta karir.
Bimbingan kelompok merupakan tugas pokok guru BK yang ada disekolah.
Di Indonesia layanan bimbingan kelompok memiliki prioritas tersendiri dalam
layanan bimbingan dan konseling disekolah. Bimbingan kelompok diselenggarakan
di sekolah. Berdasarkan SK Mendikbut dan kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No.
25 Tahun 1993 passal 5 ayat 3 menyatakan bahwa guru BK harus membimbing 150
orang siswa menurut Juntika (2004) membimbing 150 orang siswa itu setara dengan
mengajar di kelas selama 18 jam pelajaran per minggu (Juntika 2004:20).
Implikasinya disekolah, hampir setiap sekolah menengah atas memiliki alokasi waktu
(1) jam pelajaran bimbingan di setiap minggunya di setiap kelas bimbingan kelompok
inilah yang disebut sebagai bimbingan kelompok terjadwal. Bekerja dalam kelompok
atau bekerja dengan kelompok (group work) menunjuk seperangkat metode dan
teknik yang di rancang untuk mendampingi suatu kelompok dalam meningkatkan
cara dan mutu berinteraksi sedemikian rupa sehingga menunjang pencapaian tujuan
yang ditetapkan pengembangan kepribadian masing-masing anggota yang
tergabuinga dalam suatu kelompok bagi guru BK disekolah bekerja denga
sekelompok berarti merancang dan mengelolah serangkaian kegiatan yang
memberikan pengalaman kepada siswa berinteraksi satu sama lain dalam lingkup satu
kelompok tujuan dari bimbingan kelompok ini adalah menunjang perkembangan
pribadi, perkembangan sosial serta perkembangan belajar dan kair siswa (Winka dan
Hastuti 2006:134). Dalam hal ini, guru BK memanfaatkan proses kelompok (group
process) yaitu berinteraksi dan komunikasi yang berlangsung antara anggota peserta
kegiatan bimbingan kelompok yang bekerja sama unuk memenuhi suatu kebutuhan
yang dihayati bersama untuk memecahkan suatu problem yang dihadapi bersama
66
melalui tukar pikiran dalam diskusi, atau untuk merencanakan suatu aksi yang akan
dilakukan bersama.
Bimbingan kelompok di atas sejalan dengan pikiran Gysbers yang mengemukakan
bahwa salah satu dari aasumsi dalam konsepsi program yang komprehensif adalah
didasarkan pada bahwa ada sebuah konten (isi /materi) dimana semua siswa butuh
untuk mempelajarinya secara sistematik, dan cara yang berurutan. Hal ini berar
Bimbingan kelompok di atas sejalan dengan pikiran Gysbers yang mengemukakan
bahwa salah satu dari aasumsi dalam konsepsi program yang komprehensif adalah
didasarkan pada bahwa ada sebuah konten (isi /materi) dimana semua siswa butuh
untuk mempelajarinya secara sistematik, dan cara yang berurutan. Hal ini berarti
konselor sekolah melibatkan kurikulum, yaitu kurikulum bimbingan.
Kurikulum bimbingan sesungguhnya bukanlah ide yang baru: kepada dan kurikulum
bimbingan memiliki akar sejarah yang kuat. Yang baru mungkin adalah susunan
teknik-teknik dalam bimbingan dan konseling, metode, dan sumber-sumber yang
sekarang tersedia dalam kinerja terbaik sebagai bagian dari kurikulum bimbingan.
Asosiasi konselor sekolah Amerika menegaskan bahwa sesuatu yang baru lainnya
adalah konsep bahwa program bimbinga dan konseking yang komprehensif telah
diorganisasikan dan diurutkan dalam sebuah kurikulum (Gysbers dan Henderson
2006:68-69).
Bentuk kurikulum bimbingan berisi kompetensi-kompetensiyang dipilih yang sesuai
dengan kebutuhan siswa (sesuai dengan tingkat dan jenjang) dan kegiatan yang
terstruktur, yang diselenggarakan secara sistematis, dipilih untuk memenuhi
kebutuhan siswa anda, sekolah, dan masyarakat melalui strategi berikut ini:
Kegiatan di kelas
Konselor mengajar, tim pengajar, atau memberikan dukungan pengajaran
kegiatan pembelajaran dalam kurikulum bimbingan di dalam kelas. Guru
mengajarkan pula unit-unit tertentu. Kurikulum tidak terbatas untuk
mengajarkan satu atau dua subjek tertentu akan tetapi keseluruhan dari subjek
yang terdapat dalam kurikulum bimbingan tersebut.
67
Kegiatan sekolah
Konselor sekolah mengorganisasikan dan menyelenggarakan sesi kelompok
yang luas seperti career days dan educational/collegel/vocational days.
Anggota yang lain dari tim bimbingan konseling seperti guru dan admistrator
dilibatkan dalam mengorganisasikan dan menyelenggarakan kegiatan tersebut.
Meskipun tanggung jawab konslelor sekolah termasuk juga
mengorganisasikan dan mengimplementasikan kurikulum bimbingan, kerja
sama dan dukungan dari pihak pimpinan dekolah dan staf sungguh penting
dalam rangka kesuksesan implementasi. Orang tua dan wali juga dilibatkan
untuk memberikan masukan bagi program bimbingan dan konseling terutama
kurikulum bimbingan. Hal ini juga dimaksudkan agar orang tua dan wali
memberikan dukungan dan dorongan proses pembelajaran bimbingan di
rumah. Bentuk pelaksanaan bimbingan kelompok (group guidance class)
menjadi ciri khas dari model bimbingan yang ada sekarang ini (Gybers dan
Henderson, 2006:68-69). Hal ini tampak pada adanya jam bimbingan
disekolah.
c. Wilayah kurikulum bimbingan dan Desain urutannya
Untuk memahami apa yang menjadi wilayah dari kurikulum bimbingan, beberapa asumsi
mengenai perkembangan perlu diperhatikan. Hal ini penting karena dalam kurikulum
bimbingan tugas perkembangan siswa merupakan kompetensi yang akan dicapai. Gybers
& Henderson (2006) mengemukakan (5) lima asumsi mengenai manusia, meliputi;
1. Perkembangan individu adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan berurutan (akan
tetapi bukan berarti seragam) yang bergerak dengan meningkatnya evektifitas dalam
mengatur dan menguasai lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan baik
psikologis maupun sosial
2. Tahap, atau tingkat perkembangan individu terkait dengan bawaan dan keakuratan
persepsi. Tidak ada seorang pun dalam setting pendidikan yang memiliki
perkembangan yang masih nol, bahkan yang perlu dilakukan adalah menigkatkannya.
3. Perubahan perkembanfgan yang positif merupakan langkah potensil yang
mengantarkan pencapaian tujuan pada tingkat yang lebih tinggi.
68
4. Lingkungan atau variabel situasi menyediakan dimensi eksternal perkembangan
individu. Pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap, nilai, dan aspirasi merupakan
produk/hasil dari interaksi atas variabel eksternal dan variabel internal yang menjadi
karakteristik individu.
5. Proses pembelajaran dalam perkembangan bergerak dari tingkat permulaan kesadaran
(Awarness) dan perbedaan (perseptualisation), pada tingkat yang berikutnya yaitu
pembentukan konsepsi (konseptualisation) kemudian pada tingkat yang paling tinggi
yaitu konsistensi perilaku dan efektivitas melalui evaluasi internal dan eksternal
(generalization).
69
(c) mendemonstrasikan kompetensi dengan menguasai tugas tertentu dalam situasi yang
baru.
2. Program Konseling
Konseling merupakan program yang sangat penting dalam program bimbingan dan
konseling. Program konseling merupakan program yang berusaha merespon secara aktif
berbagai permasalahan yang ada disekolah. Gysbers dan Henderson ( 2006 ) menjelaskan bahwa
program yang responsive merujuk pada kegiatan yang secara aktif merespon berbagai
permasalahan yang muncul disekolah. Tujuan dari komponen ini adalah untuk bekerja dengan
siswa yang sedang memiliki permasalahan atau berpotensi memiliki permasahan yang dapat
mengangu kesehatan pribadi – sosialnya, akademiknya, serta kariernya, dan perkembangan
pendidikannya. Isu yang spesifik yang mungkin dihadapi siswa adalah pilihan pendidikan, karier,
kehilangan anggota keluargga, hubungan, kehadiran, putus sekolah, stress, pelecehan, bunuh diri,
dan lain sebagainya.
a. Defenisi konseling
Defenisi konseling berdasarkan The New Grollier Webster International Dictionary
(1971) kata konseling merupakan ali bahasa dari bahasa counseling yang berasal dari
bahasa latin consilium yang berarti member saran, informasi, opini, dialok, atau
pertimbangan yang di berikanoleh seseorang kepada yang lain dalam rangka membuat
keputusan atau tindakan yang akan datang.
Menurut Shertzer dan Stone (Syuhada, 1988) konseling adalah proses interaksi yang
memberikan fasilitas atau kemudahan-kemudahan untuk pemahaman yang bermakna
terhadap diri dan lingkungan serta menghasilkan kemantapan da/ atau kejernihan tujuan-
tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku di masa dating.
b. Ciri-ciri konseling
Sebagai suatu program yang khusus, tentunya konseling memiliki karakterisik yang
meliputi,:
i. Konseling merupakan suatu proses yang terjadi oleh adanya hubungan antara
konselor dengan klien dengan sengaja akan mencapai satu tujuan yang bermakna
bagi klien
70
ii. Konseling merupakan suatu bantuan agar klien lebih mampu memahami diri serta
lingkungannya guna merencanakan masa depannya yang lebih baik.
iii. Dalam proses konseling konselor memberikan fasilitas yang bernilai psikologis
bagi klien yang digali dari teori-teori, metode, dan teknik psikologi kepribadian
dan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk memungkinkan klien melakukan perubahan
perilaku dari yang kurang positif kepada yang lebih positif. Hasil yang ingin
dicapai oleh konselor dan klien ialah perwujudan dan/atau kejelasan nilai-nilai
dan tujuan-tujuan perilaku klien dimasa datang, yaitu peilaku yang dapat
membahagiakan/menyejahterakan diri serta masyarakatnya (Syhuada 1988).
c. Fungsi layanan konseling
Secara umum bimbingan dan konseling berfungsi sebagai fasilitator sarana yang
memberikan kemudahan-kemudahan baik terhadap bimbingan maupun
sekolah/perguruan tinggi/lembaga/masyarakat. Secara khusus konseling memiliki fungsi
penyembuhan (curative), bagi orang yang menderita gannguan karena tidak mampu
memecahkan masalah-masalah baik masalah klinis maupun nonklinis, psiko terapi atau
layanan rujukan yang tepat (kepada ahli yang sesuai dengan kebutuhan penderita)
(Syuhada 1988:9-11).
d. Tujuan konseling
Sebagai suatu proses pemberian bantuan konseling memiliki tujuan yang meliputi:
i. Mrenyediakan fasilitas untyk perubahan tingkah laku
ii. Meningkatkan ketrampilan untuk menghadapi sesuatu
iii. Meningkatkan kemampuan dalam mengambil keputusan
iv. Meningkatkan hubungan antar perorangan (interpersonal)
v. Tujuan akhir yang ingin di capai adalah menjadi pribadi yang mandiri
Mengenal dan menerima diri dan lingkungan
Mengambil keputusan sendiri dalam berbagai hal
Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya
Mengarahkan diri sendiri
Mengaktualisasikan diri
71
e. Langkah-langkah pelaksanaan konseling secara umum
Dalam melaksanakan konseling individual konselor terikat pada tahap-tahap konseling
sebagai berikut:
a. Pendahuluan
1) Menegakan rapport yang bertujuan membuat klien aman dan nyaman
2) Melengkapi data yang bertujuan merumuskan masalah
3) Mengumpulkan data yang bertujuan untuk mencari alternatif pemecahan
b. Bagian inti
1) Mencari alternatif pemecahan
2) Memilih alternatif pemecahan
3) Merencanakan pemecahan
4) Melaksanakan pemecahan
c. Penutup
1) Menyimpulkan
2) Membuat perjanjian berikutnya
72
BAB VI
MODEL EVALUASI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang di lakukan sejak lama. Pada masa yunani evaluasi
dilakukan walaupun masih dalam bentuk yang sederhana dan kurang professional. Misalkan saja
Socrates yang membuat evaluasi sederhana terhadap pelajaran yang ia berikan kepada murid-
muridnya. Pada tahun 1970 evaluasi baru menjadi suatu profesi yang professional. Hal ini
ditandai dengan banyaknya ahli yang memiliki perhatian pada bidang evaluasi di berbagai
bidang kehidupan, seperti pendidikan, sosial, serta kesehatan.
Para ahli evaluasi tersebut kemudian mengemukakan berbagai macam model evaluasi.
Setiap model evaluasi memiliki karakteristiknya masing-masing berkenan dengan konsep dasar,
metode, serta focus evaluasi. Suffle (sufflebeam & shinkfield, 1985:49). Khusus dalam bidang
bimbingan dan konseling, model-model evaluasi yang sering dgunakan untuk mengevaluasi
program bimbingan dan konseling adalah model goal attainment yang di kembangkan oleh
Tyler, model evaluasi formative dan summative yang di kembangkan oleh scriven, model
evaluasi responsive yang dikembangkan oleh stake, serta model CIPP yang di kembangkan oleh
stufflebeam dan kawan-kawan.
Berikut ini akan kita bahas karakteristik dai setiap model evaluasi, meliputi pengertian
evaluas, focus evaluai, metode evaluasi , serta kelebihan dan kelemahan evaluasi.
73
Menurut Tyler ( dalam Kaufman dan Thomas, 1980) pengertian evaluasi perlu ditekankan
pada pemerolehan dalam gambaran mengenai efektifitas sistem pendidikan yang memengaruhi
pencapaian tujuan pendidikan/pembelajaran. Penekanan evaluasi pada aspek hasil ini di dasarkan
pada pemahaman bahwa tujuan penidikan/pembelajaran adalah adanya perubahan tingkah laku
yang diinginkan pada peserta didik. Untuk itu, maka evaluasi di arahkan untuk memeriksa sejayh
mana perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan itu telah terjadi pada peserta didik.
Dengan diperolehnya informasi mengenai sejauh mana tujuan-tujuan dicapai, dapat diambil
keputusan tentang tindakan yang perlu di ambil sehubungan dengan perbaikan sistem pendidikan
dan peserta didik yang bersangkutan .
Evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta berkelanjutan. Perubahan tingkah laku sebagai hasil
belajar tidak hanya terbatas pada segi pengetahuan (kognifitif ) saja, melainkan jga mencakup
dimensi ketrampilandan nilai atau sikap. Befariasinya tujuan pendidikan tersebut memberikan
implikasi pada penggunaan alat ukur/instrument evaluasi. Evaluasi tidak cukup lagi hanya
menggunakan tes tertulis, akan tetapi juga tes perbuatan, lembar pengamatan, serta inventori.
Langkah-langkah Evaluasi
Model evaluasi berbasis tujuan telah dikembangkan dan digunakan selam delapan tahun
pada akhir 1930. Proses ini membawa Tyler memahami evaluasi sebagai proses menentukan
seberapa besar tujuan program dapat di capai. Berdasrkan pemikiran itulah langkah-langkah
yang digunakan dalam melkikan sebuah evaluasi (Fitzpatrick, et.al, 2004:72). Langkah-langkah
tersebut meliputi:
1) Menentukan tujuan seluas-luasnya atau sasaran-sasaran.
2) Mengklasifikasikan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran.
3) Menegaskan sasaran dalam bentuk perilaku.
4) Menemukan situasi-situasi dalam pencapaian tujuan yang dapat dilihat.
5) Mengembangkan atau memilih teknik pengukuran.
6) Mengumpulkan hasil data.
7) Membandingkan hasil data dengan perilaku berdasarkan tujuan.
74
Goodlad dalam Sanders (2004) berpendapat bahwa Tyler mempermudah evaluasi Karena
adanya tujuan umum untuk menentukan tujuan lebih baik dari pada penentuan tujuan khusus
(perilaku) yang tidak tepat (FitzPatrick,et.al, 2004:72). Meskipun demikian, tujuan yang luas
untuk kegiatan apapun pada akhirnya menuntut defenisi operasional. Adanya defenisi
operasional membuat rencana pengukuran dan pengaturan dapat dipilih. Melalui penentuan
tujuan umum, dan khusus, Tyler percaya bahwa penyadiaan layanan di butuhkan untuk
merundingkan kepentingan dan arti tujuan umum layanan mereka.
Goodlad (1979) mencatat bahwa Tyler menggambarkan enam kategori dan tujuan
pendidikan di Amerika (FitzPatrick, et.al, 2004:72), meliputi:
1) Tambahan informasi
2) Perkembangan dari kebiasaan kerja dan kemampuan belajar
3) Perkembangan cara berfikir yang efektif
4) Internalisasi sikap, minat, apresiasi, dan sensitivitas sosial
5) Pemeliharaan kesehatan fisik
6) Prkembangan filosofi hidup
Satu publikasi yang mnyatakan pemikiran mengenai tujuan pendidikan yaitu HandBook
Education Variabels (Nowakowski, Bunda, working Bernacki, dan Harrington, 1985). Pedoman
tersebut membagi perkembangan siswa tangkat dasar dan siswa tingkat dua dalam tujuh katgori,
meliputi;
1) Kecerdasan
2) Emosi
3) Fisik dan Rekreasi
4) Estetis dan Kebudayaan
5) Moral
6) Kejujuran
7) Sosisal
Satu dari tiap ketegori ini telah di uraikan dalam bagian yang begitu luas untuk
dikembangkan. Seperti sumber mencontohkan tingkatan pada pendekatan evaluasi yang telah
dikembangkan oleh Tyler. Goodlad (1979) bahwa evaluasi pendidikan di Amerika tidak bisa
membuat banyak kemajuan sampai tujuan ini di bahas, diterima, ditetapkan secara operasiona
dan diawasi (FitzPatrick ,et.al, 2004:73). Tyler menekankan pentingnya memeriksa secara garis
75
besar tujuan sebelum menerimanya sebagai dasar untuk mengevaluasi kegiatan. Pemerikasaan
tujuan yang menggunakan tiga sumber: filosofi (sifat pengetahuan), sosial (sifat masyarakat),
dan pedagogis (sifat dari pelajar dan proses pembelajaran).
Pendekatan berorientasi tujuan telah menominasi tujuan pikiran dan perkembangan dari
evaluasi sejak tahun 1930 di USA dan di wilayah lain ( Madaus dan StuffleBeam, 1989). Bloom
dan Krathwohl memengaruhi perbaikan pendekatan evaluasi berorientasi tujuan dengan
penelitian mereka tentang taksonomi tujuan pendidikan yang memiliki tiga ranah, meliputi;
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah konatif. Dengan perkembangan taksonomi tujuan ini,
pendidik memiliki peralatan yang kuat untuk membantu mereka dalam penggunaan pendekatan
tyler dalam evaluasi.
76
5) Mengabaiakan alternatif-alternatif penting yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan program
6) Melalaikan konteks yang memiliki kewenangan evaluasi
7) Mengabaikan hasil penting lainnya yang ditutupi oleh tujuan (hasil yang sengaja
didapatkan dari kegiatan)
8) Mengabaikan fakta-fakta dari nilai program yang tidak dapat digambarkan dengan
tujuan itu sendiri
Evaluasi Formatif
Scriven (1991) mendefinisikan evaluasi formatif sebagai evaluasi yag biasanya dilakukan
ketika suatu produk atau program tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih
dari sekali dengan tujuan untuk melakukan perbaikan. Sementara Weston, McAlpine dan
Bordonaro ( 1995 ) menjelaskan bahwa tujuan evaluasi formative adalah untuk memastikan
tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk melakukan perbaikan suatu produk atau
program. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Wothen dan Sanders ( 1997 ) bahwa
evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi evaluative yang bermanfaat untuk
memperbaiki program.
Dalam konteks bimbingan dan konseling, evaluasi formatif dapat didefenisikan sebagai
suatu proses pengumpulan data untuk menentukan keberhasilan atau menilai tentang kelebihan
dan kelemahan suatu program ketika program tersebut masih dalam tahap pengembangan (
Proses kegiatan sedang berjalan ). Kekuatan dan kelemahan yang teridentifikasi melalui evaluasi
formatif kemudian digunakan sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan ( revisi ).
Tujuan evaluasi formatif adalah untuk merevisi program layanan yang sedang dikembangkan
77
dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber dengan mengunakan berbagai metode dan
alat pengumpulan data tertentu.
Evaluasi formatif dapat menanggapi program dalam konteks yang dinamis, dan berusaha
memperbaiki keadaan kerumitan yang merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan dari
berbagai bentuk program dalam lingkungan kebijakan yang berubah – ubah. Kesesuaian antara
perencanaan dan pelaksanaan program baik pada konteks organisasi, personel, struktur dan
pelaksanaan program baik pada konteks organisasi, personel, struktur dan prosedur menjadi
focus evaluasi ini. Beberapa ketidakcocokan antara penunjuk dan pelaksanaan dapat dijadkan
dasar untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan, menemukan halangan, rintangan, serta
peluang yang ada untuk menimbulkan pemahaman tentang bagaimana program dapat
diimplementasikan secara lebih baik.
Evaluasi dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis data dari seluruh pelaksanaan
program dan timbale balik yang tepat dari evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar terdapat informasi
yang akurat bagi pelaku program dalam rangka pengambilan keputusan dan tindak lanjut. Baker
(1978) mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi ada dua faktor yang mempengaruhi
kegunaan evaluasi formatif, yaitu control dan waktu. Bila saran perbaikan akan dijalankan, maka
evaluasi formatif diperlukan control. Informasi yang diberikan menjadi jaminan apakah
kelemahan dapat diperbaiki. Apabila informasi mengenai kelemahan tersebut terlambat sampai
kepada pengambilan keputusan, maka evaluasi akan bersifat sia – sia.
78
3) Evaluasi kelompok kecil (samall group) yaitu evaluasi dimana evaluator mengujicobakan
suatu program layanan pada suatu kelompok siswa dan mencatat performance dan
komentar-komentarnya.
4) Uji lapangan (field test) yaitu evaluasi dimana evaluator mengobservasi program layanan
yang diujicobakan kepada sekelompok siswa tertentu dalam suatu situasi nyata.
Review Ahli
Review asli adalah proses dimana seorang atau beberapa ahli melakukan review terhadap
muatan programlayanan yang masih kasar atau masih dalam rancangan (draft) untuk menentukan
kelebihan dan kelemahannya. Hal ini bisa dilakukan dalam tahap pertama pada proses evaluasi
formatif. Evaluator bersama ahli ikut bersama dan mencatat komentar-komentar ahli serta
menanyakan informasi yang lain.
Review ahli memiliki kelebihan, antara lain: (1) review mengahasilkan tipe informasi yang
berbeda jika dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari evaluasi orang per orang,
kelompok kecil atau uji lapangan, (2) kadang-kadang ahli yang dibutuhkan telah ada dan dibayar
dengan murah. Sedangkan kelemahannya antara lain: (1) review ahli tidak memberikan
pamdangan atau pendapat dari sudut pandang siswa. (2) review ahli memerlukan biaya yang
tinggi jika orang ahli harus di datangkan dari wilayah yang jauh.
Informasi yang dapat digali dari pelaksanaan review ahki antara lain: (1) informasi yang
berkaitan dengan materi (conten), seperti kelengkapan, akuraasi, kepentingna, serta kedalaman
(2) informasi yang berkaitan dengan desain instruksional, seperti kesesuaian dengan karakteristik
dan, tugas perkembangan siswa, kesesuaian antara tujuan – materi – evaluasi, ketepatan
pemilihan media, ktertarikan bagi siswa (3) informasi yang berkaitan dengan implementasi,
seperti pemudahan penggunaan, kesesuaian dengan lingkungan belajar sebenarnya, kesesuaian
dengan lingkungan (4) informasi kualitas teknis, seperti kualitas layout, grafis, audio, visual, dll.
Evaluasi satu-satu
Evaluasi satu-satu adalah evaluasi yang melibatkan seorang siswa untuk mereview draft
kasar program layanan yang sedang dikembangkan dengan didampingi oleh sorang evaluator.
Evaluator duduk bersama siswa ketika siswa mereview program layanan mengamati bagaimana
siswa tersebut “ merasakan” program layanan, mencatat komentar siswa, bertanya kepada siswa
79
selama dan setelah penggunaan layanan. Siswa juga biasanya akan diminta untuk ,menyelesaikan
pre dan posttest untuk mengukur efektivitas program layanan.
Salah satu keuntungan dari evaluasi satu-satu adalah evaluasi ini memberikan informasi
dari sudut pandang siswa. Evaluator memiliki kesempatan untuk berbicara secara terbuka dengan
siswa tentang reaksi mereka terhadap program layanan yang sedang dikembangkan. Kemudian
kita jufga memperoleh kesempatan untuk menemukan alasan mengapa siswa mungkin
mengalami kebingungan atau kesulitan terhadap beberapa tertentu, atau mengetahui alasan siswa
mengapa merasa tertarik pada aspek tertentu. Selain itu, evaluasi ini dilakukan dengan mudah,
cepat, murah, dan produktif.
Informasi yang dapat diperoleh dari evaluasi satu-satu meliputi beberapa aspek, antara lain:
(1) materi (conten) : seperti tingkat kesulitan, kejelasan, daya tarik, serta kekinian materi (2)
desain instruksional sperti kejelasan tujuan, kelogisan sistematika, penyampaian materi (3)
implementasi seperti tingkat kesuliatan penggunaan, tingkat kemudahan dana, kemungkinan
kesulitan yang dihadapi (4) kualitas teknis, seperti kualitas animasi, video, serta layout.
Tudak ada payokan untuk menentukan berapa orang siswa yang dapat kita gunakan untuk
melakukan evaluasi satu-satu. Dick and Carey (1990) menyatakan bahwa dua atau tiga orang
siswa cukup memadai. Lowe, Thruston dan Brown (1983) melaporkan bahwa penggunaan
seorang siswa jugatelah menghasilkan informasi yang cukup memadai sebagai bahan masukan
untuk melakukan revisi. Wager (1981) dan Robeck (1965) menunjukan bahwa menggunakan dua
atau tiga orang siswa untuk melakukan evaluasi ini menghasilkan informasi atau masukan untuk
revisi yang cukup memadai. Menurut Tessmer (1996), untuk memilih subjek dalam evaluasi
satu-satu, ada beberapa karakteristik yang bisa di jadikan patokan, yakni:
1) Pengetahuan siswa; meliputi seberapa jauh mereka dapat mengetahui tentang materi yang
akan diberikan. Ini dapat dilakukan dengan hasil tes kemampuan awal (pre-test) atau
penilaian guru BK
2) Kemampuan siswa; apakah siswa mempunyai kemampuan intelektual dan strategi yang
menunjukan bahwa dirinya sebagai siswa yang dapat belajar cepat atau lambat.
3) Minat siswa; meliputi apakah mereka akan menunjukan motivas yang kuat untuk
mempelajari dan mereview program layanan yang sedang dikembangkan.
4) Keterwakilan siswa; seberapa banyak jumlah siswa dari populasi yang memiliki
kemampuan ketrampilan dan motivasi.
80
5) Kepribadian siswa; apakah cukup percaya diri dan terbuka untuk mengekspresikan
kritiknya selama evaluasi.
Uji Lapangan
Uji lapangan adalah evaluasi yang dilakukan terhadap suatu program layanan yang sudah
selesai dikembangkan, tapi masih membutuhkan atau memungkinkan untuk direvisi akhir. Ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengkonfirmasi akhir, memperoleh pendapat akhir dan menguji
keefektifan serta kemampuan untuk diimplementasikan terhadap program layanan yang sudah
dalam tahap akhir pengembangan. Tessmer (1996) mengatakan bahwa uji lapangan dapat
dikatakan sebagai uji realitas (reality check), karena uji lapangan dilakukan diakhir menjelang
suatu produk layanan disebarluaskan untuk digunakan oleh penggunaannya.
Salah satu kelebihan umum dari uji lapangan adalah bahwa dengan evaluasi ini akan
diperoleh informasi apakah program layanan dengan menggunakan metode tertentu akan benar-
benar berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Evaluator dapat melakukan “cek realitas”
dengan melakukan observasi dan mencatat atau merekam permasalahan yang timbul pada saat
implementasi. Menurut Tessmer (1996), ada beberapa focus pengalian informasi yang perlu
dijadikan patokan dalam uji lapangan, diantaranya adalah sbb:
1) Kemampuan untuk dilaksanakan; seperti dapatkah program layanan tesebut digunakan
sesuai dengan apa yang diharapkan ? apakah penggunaanya memerlukan pelatihan
khusus ? apakah diperlukan perangkat pendukung lain?
2) Kesinambungan; seperti faktor-faktor apa saja yang memungkinkan program layanan
tidak digunakan? Akankah materi yang diberikan sudah kadaluarsa?
3) Efektifiitas; seperti apakah revisi yang telah dilakukan sebelumnya dapat meningkatkan
pencapaian tujuan sebelumnya? Apakah siswa dapat mengaplikasikan materi yang telah
diberikan?
4) Kecocokan dengan lingkungan; seperti apakah program layanan tersebut dapat digunakan
dalam beberapa variasi lingkungan (seperti dirumah, dikelas)?
5) Hal-hal apa saja yang menyebabkan program layanan itu membosankan?
81
Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif merupakan evaluasi yang menilai hasil program atau akibatnya. Untuk
menentukn efektifitas program, maka evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
capaian hasil. Untuk mengetahui hasil tersebut, beberapa informasi dapat digunakan dalam
evaluasi sumatif, baik informasi sebelum program diselenggarakan maupun informasi setelah
program diselenggarakan.
Evaluasi sumatif adalah model pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah berakhirnya
kegiatan belajar-mengajar. Pola evaluasi ini dilakukan kalau guru bermaksud untuk mengetahui
tahap perkembangan terakhir dari tingkat pengetahuan atau penguasaan materi yang telah dicapai
oleh siswa. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa hasil belajar merupakan totalitas sejak
awal hingga akhir. Hasil penilaian ini merupakan indicator mengenai taraf keberhasilan proses
belajar mengajar tersebut. Atas dasar itu maka dapat ditentukan apakah dapat dilanjutkan kepada
program baru atau harus diadakan pelajaran pengulangan. Beberapa keuntungan dari evaluasi
sumatif meliputi:
Mereka bisa, jika dirancang dengan tepat, menyediakan bukti untuk sebuah hubungan
sebab akibat
Menilai efek jangka panjang
Menyediakan data mengenai dampak program.
82
Patton dalam Isaac dan William (1984) menegaskan bahwa dalam mengevaluasi satu
program, metode kualitatif sangat dapat mempertinggi pemanfaatan temuan evaluasi. Hal ini
disebabkan karena data evaluasi kualitatif betul-betul dipertimbangkan secara personal, artinya
evaluator memahami masalah dari sudut pandang audience. Pemahaman evaluator ini didapat
Karena evaluator telah brhubungan dekat secara mantap dengan program. Evaluator
menggunakan prosedur pengamatan serta wawancara secara mendalam, yang membuat berbagai
informasi dapat digali secara mendalam dan natural dengan tetap memberikan sikap hormat
kepada responden dengan menjadikan ide dan pendapat mereka yang kemudian dinyatakan
dalam istilah.
Evaluasi responsif ditandai oleh ciri-ciri penelitian kualitatif naturalistic. Evaluasi
responsive prcaya bahwa evaluasi yang berarti yaitu mencari pengertian isu dari berbagai sudut
pandang semua orang yang terlibat, yang berrminat, dan yang berkepentingan dalam program.
Data lebih banyak dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan observasi dari pada tes dan
angket. Keberadaan data yang kualitatif ini membuat analisis dan interpretasi data bersifat
impresionistik.bentuk laporan evaluasi ialah studi kasus atau gambaran yang deskriptif. Focus
utama evaluasi responsive adalah menunjukan perhatian dan isu peserta/stakeholders.
Stake (1972) mencatat bahwa ia tidaklah mengusulkan suatu pendekatan baru ke evaluasi,
“evaluasi responsive memberikan focus pada orang-orang yang terlibat dalam evaluasi,
dilakukan pada setting yang alamiah, dimana evaluator mengamati dan bereaksi (Fitzpatrick,
et.al,2004:136). Suatu evaluasi bidang pendidikan adalah evaluasi responsive jika memiliki
orientasi lebih secara langsung ke aktifitas program dibanding ke tujuan program; bereaksi
terhadap kebutuhan. Pendengar untuk informasi; dan mempertimbangkan perspektif nilai dalam
melaporkan kegagalan dan kesuksesan program. Pendekatan responsif mencoba untuk bereaksi
tehadap isu penting dalam program.
Tujuan, kerangka, dan focus (dari dan tentang) evaluasi responsive muncul dari interaksi
dengan unsur, dan pengamatan terhadap interaksi. Kondisi ini mengakibatkan evaluasi
berkembang sepanjang evaluasi dilakukan, sepanjang data-data dikumpulkan.
Kunci dari evaluasi responsif adalah evaluator harus mau mendengarkan audience-nya.
Penilai responsive tentu saja mengerjakan banyak berbagai hal. Ia membuat suatu rencana
pengamatan dan negosiasi. Stake (1975) menggunakan “jam” yang ditunjukan di dalam figure
sebagai memonic (ingatan). Menurut Stake, walaupun cara terbaik melakukan evaluasi adalah
83
mulai dari jam dua belas dan berproses searah jarum jam, akan tetapi Stake melihat semua
peristiwa dapat mengikuti peristiwa lain, dan pada titik (jam) manapun penilai boleh pindah atau
bergerak berlawanan arah jarum jam atau close-clockwise. Berdasarkan penjelasan Stake,
tahapan kegiatan evaluasi dalam model responsive terlihat fleksibel.
Criteria dalam sebuah evaluasi responsive berasal dari pokok persoalan dari semua
stakeholders yang terkait. Pokok persoalan tersebut secara berangsur – angsur muncul dalam
pembicaraan dengan stakeholders dan seharusnya dihubungkan dengan sistim nilai yang
mendasari supaya memudahkan proses negosiasi dan saling pengertian. Stakeholders adalah
sekelompok orang yang tertarik pada kekuasaan. Didalam evaluasi responsive stakeholders
seharusnya berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi tersebut, hal tersebut meliputi perumusan
84
pertanyaan, seleksi peserta, dan interpretasi penemuan untuk itu maka seorang evaluator dalam
model responsive ini harus melakukan evaluasi berdasarkan fase – fase evaluasi responsive yang
telah dikemangkan oleh Stake ( Fitzpatrick, et.al, 2004:138), yaitu:
1) Pendahuluan, transaksi, hasil
2) Penamaan “ tema “: mempersiapkan evaluasi bagi studi kasus
3) Pengesahan/konfirmasi
4) Memisahkan format yang digunakan untuk audience
5) Memasang laporan formal, jika ada
6) Bicara dengan klien, staf program dan audience
7) Identifikasi bidan program
8) Meninjau aktifitas program
9) Menemukan tujuan dan focus pada tujuan
10) Mengkonsep persoalan dan masalah
11) Identifikasi kebutuhan dan mengulang persoalan pokok
12) Memilih observasi, memutuskan dan pemberian instrument ( jika ada )
Stake ( 1978 ) selalu meningkatkan ketepatan hasil evaluasi responsif melalui pengunaan
pendekatan kepada peserta evaluasi dengan mengelaborasi informasi penting dan teknik
pengumpulan data secara rasional. Stake menyerukan untuk mengikuti pendekatan ini dengan
beberapa alasan, meliputi ( Fitzpatrick, et.al, 2004: 138):
1. Membantu audience untuk mengerti evaluasi program ini dapat dilakukan melalui
intaraksi yang alamiah antara evaluator dan audience
2. Mendapatkan pengetahuan dari pengalaman manusia
3. Pengamatan yang alami. Interaksi yang alami membuat evaluator mengenal kemiripan
dari objek dan pokok persolan didalam dan diluar konteks evaluasi, kondisi ini
membuat evaluator memandang dan memahami program dalam perspektif audience
4. Mempelajari satu objek secara mendalam. Evaluasi responsive memberikan jalan
kepada evaluator untuk mempelajari audience secara mendalam.
85
evaluasi responsive dapat mendorong proses perumusan masalah dengan cara menyediakan
informasi yang dapat membantu kita memahami isu secara lebih baik.
Keterbatasan pendekatan responsive adalah keenganannya membuat prioritas atau
penyederhanaan informasi untuk memegang keputusan dan kenyataan yang praktis tidak
mungkin menampung semua sudut pandang dari berbagai kelompok. Evaluator dalam
pendekatan responsive ini, harus dapat menempatkan diri di posisi orang lain. Dia tidak boleh
membuat keputusan tersendiri, tetapi lebih sebagai pihak yang memeriksa, dan mengecek
kembali kepastian pada sumber data primer. Evaluator bertindak sebagai konselor menolong
peserta program, memperjelas pengertian mereka tentang programnya sendiri. Evaluator harus
dilatih melakukan teknik – teknik penelitian kualitatif. Ini termasuk strategi open endead atau
strategi akhir terbuka untuk pengumpulan data,seperti observasi dan wawancara yang semi
struktur. Ini termasuk juga teknik mengorganisir dan analisa data kualitatif.
86
Stufflebeam berpendapat bahwa evaluasi seharusnya memiliki tujuan untuk memperbaiki (
to improve ) bukan untuk membuktikan ( to prove ). Dengan demikian evaluasi seharusnya dapat
membuat suatu perbaikan, meningkatkan akuntabilitas, serta pemahaman yang lebih dalam
mengenai fenomena. Menurut Stufflebeam, evaluasi seharusnya dapat memberikan gambaran
yang menyeluruh terhadap program. Lebih dari pada itu, menurutnya, penelaahan menyeluruh.
Pada akhirnya, ia melihat terdapat empat komponen evaluasi yang juga merupakan tahapan
dalam. Keempat komponen tersebut adalah context, input, process, serta product.
87
2. Evaluasi Input ( Input Evaluation )
Orientasi utama dari evaluasi input adalah untuk membantu menentukan program pada
perubahan yang dibutuhkan. Evaluasi input mempermasalahkan apakah strategi yang dipilih
untuk mencapai tujuan program sudah tepat. Evaluasi ini dilakukan dengan menelaah dan
menilai secara kritis pendekatan yang relevan yang dapat digunakan ( stufflebeam & shinefield,
1985:173). Evaluasi ini merupakan pendahuluan atau tanda kesuksesan, kegagalan dan efisiensi
atas usaha untuk melakukan perubahan, Trotter et al ( 1998 ) menambahkan bahwa evaluasi
input ini juga dapat dipandang sebagai mana sumber – sumber sistim yang ada disekolah dapat
digunakan untuk memberikan dukungan pada praktik dan strategi ( Trotter at al., 1998:138).
Evaluasi input bertujuan untuk mengidentifikasikan dan menelaah kapabilitas sistim,
alternative strategi program, desain prosedur dimana strategi akan diimplementasikan. Input
dalam program bimbingan dan konseling dapat berupa jumlah sumber daya manusia didalam
divisi bimbingan dan konseling, dukungan keuangan, ruangan, peralatan seperti computer,
software, serta media bimbingan.
Evaluasi input ini dapat dilakukan dengan mengunakan metode menginventarisasi dan
menganalisis sumber –sumber yang tersedia, baik guru bimbingan konseling, ataupun material,
strategi solusi, relevansi desain prosedur, kepraktisan dan biaya, kemudian dibandingkan dengan
criteria yang ditetapkan berdasarkan telaah literature, atau dengan mengunjungi program yang
telah berhasil, atau berdasarkan ahli.
88
pre test dan post test terhadap pengetahuan dan ketrampilan, mengobservasi perilaku tertentu
pada siswa, self rapport, mengenai perbaikan tingkah laku, penilaian performance rutin ( tingkat,
test terstandar, portofolio, self studi yang terus menerus, studi kasus individual, kehadiran dan
data kedisiplinan, kesesuaian antara program dan pelaksanaan, keterlaksanaan program,
pengukuran sosiometri, serta hambatan – hambatan yang ditemui.
89
keterangan bahwa evaluasi konteks dan evaluasi produk di lakukan secara simultan. evaluasi
proses untuk melihat implementasi dan strategi yang dipilih, sedangkan evaluasi produk untuk
melihat apakah tujuan telah tercapai. Evaluasi produk ini kemudian menjadi dasar menentukan
keputusan mengenai program.
90
BAB VII
EVALUASI BIMBINGAN
KONSELING DAN AKUNTABILITAS
Pada Bab I sudah dijelaskan bahwa bimbingan konseling sering merupakan suatu profesi.
Sebagai sebuah profesi, pelaksana layanan konseling memiliki keterkaitan dengan lingkungan
sosial dan lingkungan masyarakat khususnya pengguna jasa layanan konseling. A. Muri Yusuf
(2001) menegaskan tugas konselor terkait dengan pengguna jasa atau masyarakat secara umum
adalah akuntabilitas/pertanggungjawaban secara priodik sehingga masyarakat memahami dan
menyadari posisi yang sesungguhnya. Bicara masalah pertanggungjawaban tidak terlepas dari
kegiatan evaluasi dan akan menjadi pembicaraan kita pada bab ini.
A. Pengertian Akuntabilitas BK
Kata akuntabilitas lebih tepat diartikan pertanggungjawaban. A. Muri Yusuf (2001)
menjelaskan, akuntabilitas tidak sama dengan responsibilitas. Akuntabilitas lebih mengacu
kepada pertanggung jawaban keberhasilan atau kegagalan pencapaian misi organisasi, sedangkan
secponsibilitas berhubungan dengan kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah yang
diterima. Akuntabilitas mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang atau amanah itu.
Kaitan akuntabilitas dengan profesi konselor dalam pelaksanaan pelayanan BK adalah
seorang konselor berkewajiban untuk mempertanggungkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan misi BK dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban, yang dilaksanakan secara periodic. Oleh karena itu,
akuntabilitas BK harus disampaikan dihadapan pemberi wewenang tugas/ amanah dan
menampilkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program manajemen, keuangan dan
administrasif dalam kurun waktu tertentu.
Seorang konselor mendapat wewenang untuk melaksanakan BK di sekolah. Amanah
tersebut hendaklah dipertanggungjawab kannya kepada pemberi amanah dalam periode waktu
tertentu (umpanya dalam tahun akademik 2009). Apakah ia berhasil dalam melaksanakan tugas
ataukah ia gagal melaksanakannya. Seorang koordinator BK mendapat amanah dari Guru
Pembimbing sebutan untuk konselor sekolah dan kepala sekolah untuk memimpin unit BK di
sekolah dalam kerangka pelaksanaan pelayanan BK yang benar dan baik. Sehubungan dengan
91
itu, koordinator BKhendaklah mempertanggungjawabkan amanah tersebut kepada Guru
pembimbing dan Kepala Sekolah. Media yang digunakannya dapat berbentuk; pertemuan
bersama antara koordinator, guru pembimbing dan kepala sekolah yang membahas khusus
pertanggungjawaban koordinator bimbingan konseling sekolah.
92
mediasi dan layanan konsultasi. Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan layanan
dilakukan lima kegiatan pendukung yanitu himpunan data, aplikasi instrumentasi,
konferensi kasus, home visit, dan ahlitangan kasus. Perencanaan kegiatan BK disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik.
3. Sudahkah BK mensosialisasikan dan mempromosikan penerapan programnya?
Jawabannya, seharusnya sudah disosialisasikan dan dipromosikan setidaknya
dilingkungan sekolah dan sekitar sekolah, dan untuk itu perlu dirancang layanan orientasi
dan informasi tentang keberadaan BK seoptimal mungkin bagi masyarakat dan personil
sekolah.
4. Apakah rencana program yang dibuat telah berjalan secara efektif, efisien, dan
ekonomis?
Jawabannya, untuk itu perlu dilakukan evaluasi BK
93
Selanjutnya A Muri Yusuf (2002) juga menguraikan akuntabilitas dapat dilihat dari sisi
dalam organisasi dan di luar organisasi yang dikenal dengan akuntabilitas internal dan
akuntabilitas eksternal.
1. Akuntabilitas Internal; artinya pada setiap tingkatan/hirarkhi, setiap petugas
bertanggungjawab kepada mereka yang mengawasi dan mengendalikan pekerjaannya. Di
sekolah, guru pembimbin/konselor sekolah mempertanggungjawabkan kerjanya kepada
kepala sekolah.
2. Akuntabilitas Eksternal; pertanggungjawaban disampaikan kepada unit yang relevan di
luar organisasinya. Misalnya pertanggungjawaban kepada masyarakat pemakai jasa
layanan konseling.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami jenis akuntabilitas dan bentuknya dala pelaksanaan
kegiatan BK
94
Justru yang diharapkan faktor pendukung akuntabilitas menonjol ada dalam organisasi BK.
Faktor pendukung akuntabilitas adalah (dalam A Muri Yusuf, 2002):
1. Kepemimpinan yang memberi teladan
2. Mendiskusikan program-program yang akan dilaksanakan dengan benar dan tuntas,
sehingga dapat ditentukan dengan jelas apa tujuan yang akan dicapai dan apa pula
indikator kinerjanya
3. Ciptakan koordinasi yang baik inter dan antar unit terkait
4. Rumuskan standar kinerja yang jelas, dan
5. Komunikasikan kepada semua pihak, tujuan dan makna akuntabilitas
95
BAB VIII
PROSEDUR EVALUASI LAYANAN DASAR
BERORIENTASI AKUNTABILITAS
Terdapat sebelas (11) langkah dalam melakukan evaluasi perencanaan program bimbingan.
Kesebelas langkah tersebut merupakan gambungan dari evaluasi terhadap tujuan dan strategi.
Penggambungan ini dimaksudkan agar evaluasi dapat dilaksanakan secara sistematis. Berikut
adalah penjelasan dari setiap langkah.
96
b. Menentukan kriteria keberhasilan evaluasi dan standar keberhasilan
Mutrofin & Hadi (2006:77) menjelaskan kriteria merupakan karakteristik program yang
dianggap habis penting untuk melakukan riset evaluasi program. Pendapat ini senada
dengan apa yang disampaikan oleh Winkel & Hastuti (2006: 825) yang mengemukakan
bahwa kriteria adalah patokan dalam evaluasi program. Pemberian nilai pada kriteria
didasarkan pada keyakinan, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajian
teoritis.
Berdasarkan pendapat ahli, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria adalah sebuah
patokan keberhasilan suatu program. Terkait dengan program bimbingan, maka kriteria
yang dimaksud dalam evaluasi tujuan adalah patokan dalam menentukan kesesuaian tujuan
program dengan kebutuhan siswa.
Merujuk pada pendapat Prayitno & Erman Amti (2004), Gysbers & Henderson (2006) dan
juga Rambu-Rambu Penyelenggaraan BK di Pendidikan Formal (2007), makapeneliti
memiliki kesimpulan bahwa terdapat dua (2) kriteria keberhasilan yang menjadi ukuran
kesesuaian tujuan program dengan kebutuhan siswa, yaitu: (1) tujuan program sesuai
dengan tugas perkembangan siswa, (2) tujuan program sesuai dengan permasalahan siswa.
Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekanannya pada pertanyaan “seberapa
banyak kriteria penting telah mencukupi?” Oleh karena itu, standar keberhasilan pada
evaluasi tujuan terkait dengan berapa besar derajat kesesuaian sehingga diaggap sesuai
dengan kebutuhan.
Penentuan standar keberhasilan dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, penentuan standar
keberhasilan perlu mempertimbangkan aspek empiris. Maksudnya, standar haruslah
ditentukan secara realistis sesuai dengan keadaan sekolah masing-masing. Tentunya
berbeda standar pada sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah dengan fasilitas
seadanya. Kedua, penentuan standar harus berorientasi pada perbaikan berkelanjutan. Ini
berarti bahwa guru BK harus berupaya meningkatkan standar secara terus-menerus.
Penentuan standar keberhasilan pada evaluasi tujuan pada dasarnya mirip dengan
penentuan standar nilai minimal pada mata pelajaran. Boleh jadi setiap sekolah memiliki
SKM yang berbeda, akan tetapi sekolah yang SKM-nya stagnan, menggambarkan juga
stagnansi program.
97
c. Mengembangkan instrumen evaluasi perencanaan pada aspek tujuan
Instrumen evaluasi merupakan alat pengumpul data yang digunakan dalam evaluasi.
Instrumen berfungsi mengumpulkan fakta-fakta mengenai kriteria keberhasilan program.
Pengukuran terhadap kriteria terkait dengan permasalahan siswa dapat dilakukan
menggunakan instrumen mengenai permasalahan siswa. Sedangkan pengukuran terhadap
kriteria kesesuaian antara tujuan layanan dengan tugas perkembangan tidak dilakukan
menggunakan instrumen, akan tetapi berdasarkan standar kemandirian peserta didik.
Pengukuran permasalahan siswa, dilakukan oleh konselor sebagai evaluator dengan
mengembangkan sendiri instrumen evaluasi, atau menggunakan instrumen yang telah
dikembangkan oleh orang lain. Beberapa contoh instrumen permasalahan siswa yang telah
dikembangkan adalah: daftar cek masalah, serta alat ungkap masalah (AUM).
98
random dimaksudkan agar kegiatan pengumpulan data dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Langkah 3: Melakukan analisis data
Setelah data evaluasi terkumpul, maka langkah selanjutnya (ketiga) adalah melakukan
analisis data. terdapat tiga (3) kegiatan yang dilakukan dalam langkah analisis data, meliputi:
tabulasi data, analisis data, serta membandingkan permasalahan dan pencapaian tugas
perkembangan dengan tujuan program.
a. Tabulasi data
Tabulasi data merupakan kegiatan di mana isian jawaban responden yang telah diberikan
skor, disusun dalam sebuah tabel. Misalkan saja guru BK menggunakan instrumen
permasalahan yang mengukur 10 macam permasalahan terdiri atas 21 item (lihat Lampiran
2). Berikut disajikan sistem scoring.
Pilihan jawaban Positif Negatif
Selalu 5 1
Sering 4 2
Kadang-kadang 3 3
Jarang 2 4
Tidak pernah 1 5
99
Langkah 4: Mengambil keputusan mengenai kompetensi dan rekomendasi
Langkah keempat dalam evaluasi perencanaan adalah mengambil keputusan mengenai
kompetensi yang menjadi tujuan dalam program bimbingan. Pengambilan keputusan dilakukan
dengan terlebih dahulu membandingkan hasil evaluasi dengan kriteria dan standar keberhasilan.
100
c. Mengembangkan instrumen evaluasi
Trotter et al (1998), mengungkapkan bahwa evaluasi strategi dapat menggunakan teknik
penilaian ahli. Oleh karena itu, instrumen yang dikembangkan adalah instrumen penilaian
ahli.
d. Menentukan teknik analisa data
Teknik analisis data digunakan untuk mengetahui sejauh mana capaian atas kriteria
keberhasilan program. Dengan kata lain, analisis data dilakukan untuk menetukan ketepatan
strategi pencapaian tujuan berdasarkan penilaian ahli.
Merujuk kepada standar keberhasilan yang mengunakan satuan persentase dalam sebagai
ukuran, maka teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif yaitu teknik
persentase. Berikut disajikan rumus persentase yang digunakan.
101
b. Menghitung persentase penilaian ahli
Kegiatan selanjutnya dalam analisis data adalah menghitung persentase hasil penilaian ahli,
dengan rumus persentase yang telah ditentukan dalam rencana evaluasi.
c. Membandingkan hasil penilaian ahli dengan kriteria dan standar keberhasilan
Kegiatan terakhir dalam analisis data adalah membandingkan penilaian ketepatan strategi
menurut ahli dengan kriteria keberhasilan.
Langkah 9: Mengambil keputusan mengenai strategi dan rekomendasi
Langkah kesembilan dalam evaluasi perencanaan adalah mengambil keputusan mengenai
strategi pencapaian tujuan program.
102
4. Lampiran
Lampiran terdiri atas satuan layanan yang bisa dilakukan dan satuan layan setelah dilakukan
evaluasi perencanaan.
103
aspek proses evaluasi bertujuan untuk menggambarkan analisis masalah yang berkaitan
dengan komponen proses. Tujuan evaluasi proses layanan dasar adalah untuk mengetahui
efektivitas pelaksanaan layanan dasar.
b. Menetapkan kriteria dan standar keberhasilan
Sebuah program akan dikatakan berhasil dan sukses apabila memenuhi kriteria keberhasilan
yang ditetapkan. Membahas mengenai kriteria keberhasilan sebagai patokan evaluasi tidak
akan terlepas membahas standar. Maka kedua konsep tersebut tentunya tidak sama, akan
tetapi memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Mutrofin & Hadi menjelaskan kriteria
merupakan karakteristik program yang diaggap basis penting untuk melakukan riset evaluasi
pada program tersebut (Hadi & Mutrofin, 2006: 77). Pendapat ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Winkel & Hastuti bahwa kriteria adalah patokan dalam evaluasi program.
Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekananya pada pertanyaan, “seberapa banyak
kriteria penting telah mencukupi?”
Kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan dan
penting untuk melakukan riset evaluasi. Pemberian nilai pada kriteria didasarkan pada
keyakinan, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajian teoritis. Juntika
(2004) menyatakan bahwa yang termasuk dalam aspek penilaian proses adalah kesesuaian
antara program dengan pelaksanaan, keterlaksanaan program, serta hambatan-hambatan yang
dijumpai.
Suatu program bimbingan dikatakan terlaksana secara efektif apabila mencapai kriteria
keberhasilan, meliputi:
1. Materi dibutuhkan oleh siswa
2. Metode yang digunakan melibatkan siswa secara aktif
3. Media yang digunakan menarik
4. Siswa mendapatkan manfaat dari kegiatan bimbingan
Selain kriteria keberhasilan, standar pencapaian merupakan bagian yang terintegrasi
dengan kriteria beberhasilan. Standar keberhasilan berbentuk derajat pencapaian kriteria
keberhasilan yang menggunakan ukuran persen (%).
104
c. Membuat Instrumen evaluasi
Pada langkah merencanakan evaluasi proses, dikembangkan pula buku diary siswa yang akan
mengakomodasi informasi mengenai kegiatan bimbingan. Buku diary siswa ini
dikembangkan berdasarkan kriteria keberhasilan dalam evaluasi proses. Untuk memudahkan
proses analisis dan interpretasi, maka di dalam buku diary terdapat dua bentuk informasi,
yaitu kuantitatif dan kualitatif. Perangkat lain yang juga perlu disediakan adalah catatan guru
BK. Buku catatan ini diperlukan dalam rangka mencatat berbagai peristiwa atau kejadian
penting yang terdapat dalam pelaksanaan.
Keterangan:
E = Ketercapaian kriteria proses
X = Jumlah siswa yang menjawab “Ya”
N = Jumlah seluruh siswa
Sedangkan untuk manfaat yang didapat, kelebihan, kekurangan, serta saran terhadap
program, data dianalisis menggunakan analisis kualitatif. Salah satu model analisis kualitatif
adalah teknik analisa interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 21-23).
Analisis interaktif tersebut terdiri atas tiga komponen kegiatan yang saling terkait satu sama lain:
reduksi data, beberan (display) data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan proses
menyeleksi, menetukan fokus, menyederhanakan, meringkas, dan mengubah bentuk data
“mentah” yang ada dalam catatan lapangan. Dalam proses ini dilakukan penajaman, pemilahan,
pemfokusan, penyisihan data yang kurang bermakna, dan menatanya sedemikian rupa sehingga
kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi. Setelah deriduksi, data siap dibeberkan. Artinya,
tahap analisis sampai pada pembenaran data. Berbagai macam data evaluasi proses telah
direduksi perlu dibeberkan dengan tertata rapi dalam bentuk narasi plus matriks, garafik,
105
dan/atau diagram. Pembeberan data yang sistematik, interaktif, dan inventif serta mantap akan
memudahkan pemahaman terhadap apa yang telah terjadi sehingga memudahkan penarikan
kesimpulan atau menentukan rekomendasi yang akan dilakukan selanjutnya.
106
2. Ringkasan kesimpulan evaluasi
Ringkasan kesimpulan merupakan kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dalam evaluasi.
3. Rekomendasi
Rekomendasi merupakan saran-saran perbaikan berdasarkan hasil evaluasi.
4. Lampiran
Lampiran terdiri atas tabulasi data evaluasi proses.
107
b. Tentukan kriteria keberhasilan evaluasi dan standar keberhasilan
Gysbers (2006) menyatakan bahwa program bimbingan (guidance curriculum) adalah
program yang diselenggarakan untuk membantu siswa mencapai tugas perkembangannya.
Erford (2004) menjabarkan tugas perkembangan menjadi bagian yang lebih kecil yaitu
kompetensi dan objektif (tujuan layanan).
Menetapkan kriteria sebagai patokan dalamevaluasi program memang tidak mudah. Schimdt
menjelaskan empat (4) cara untuk menetukan kriteria dalam evaluasi outcome (hasil), yaitu
menggunakan pencapaian mlalui persentase, membandingkan pencapaian siswa yang mengikuti
program dan yang tidak mengikuti program, menanyakan pada siswa, orang tua, atau guru, serta
dengan membandingkan skor pre-test dan post-test (Schmidt, 1999: 264).
Merujuk kepada pendapat yang dikemukakan oleh Schimtd (1999), maka peneliti
menganggap bahwa cara menetukan kriteria yang paling baik adalah membandingkan skor
pencapaian tujuan layanan di awal semester dan akhir semester. Cara ini dianggap paling baik
karena dua hal. Pertama, karena cara yang lain, seperti membandingkan dengan siswa yang tidak
mengikuti program, tidak mungkin dilakukan. Kedua, adanya kondisi ini, lebih menyakinkan
untuk menjamin perubahan pada pencapaian tujuan layanan semata-mata disebabkan oleh
program bimbingan.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka kriteria yang digunakan dalam evaluasi hasil
program bimbingan terdapat peningkatan pencapaian kompetensi/tujuan layanan sebelum dan
sesudah diberikan program bimbingan.
Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekananya pada pertanyaan “seberapa banyak
kriteria penting telah mencukupi?” Oleh karena itu, pertanyaan terkait dengan standar
keberhasilan pada evaluasi hasil program bimbingan adalah berapa besar derajat kesesuaian
sehingga program dianggap berhasil.
108
tujuan layanan berkaitan juga dengan karakteristik sekolah yang berbeda satu dengan yang lain.
Tujuan layanan ditandai dengan penggunaan kata kerja operasional.
Langkah selanjutnya dalam pengembangan instrumen evaluasi adalah menemukan situasi-
situasi yang mewakili sasaran yang ingin diketahui pencapaiannya. Dengan kata lain guru BK
mengembangkan butir-butir yang dapat digunakan untuk mengukur capaian tujuan layanan.
Situasi atau butir ini dapat diambil dari materi dalam kegiatan layanan dasar tersebut. Guru BK
dapat membatasi jumlah situasi (baca: butir) yang akan diukur.
Setelah butir berhasil deidentifikasi oleh guru BK, maka langkah selanjutnya adalah
mengembangkan teknik pengukuran. Pada langkah ini, guru BK harus memilih teknik
pengukuran yang akan digunakan untuk mengukur situasi-situasi yang mewakili tujuan layanan.
Teknik pengukuran tentu saja harus sesuai dengan yang akan diukur. Teknik pengukuran tentu
saja harus sesuai dengan situasi yang akan diukur. Situasi-situasi yang telah diidentifikasi
kemudian disusun dalam suatu instrumen.
109
Langkah 3: Melakukan analiasi data
Data yang telah dikumpulkan, kemudian dioleh, serta dianalisis sehingga dapat diketahui sejauh
mana capaian peserta program terhadap tujuan program. Pengolahan dan analisis data dilakukan
dalam beberapa langkah, meliputi:
a. Memberikan skor terhadap setiap jawaban siswa
Pemberian skor pada setiap jawaban siswa bergantung pada skala pengukuran yang dipilih.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa tes dapat digunakan untuk mengukur
kompetensi siswa, maka setiap jawaban benar akan diberikan skor 1, dan 0 untuk jawaban
salah.
b. Membuat tabulasi data
Setelah guru BK menelaah jawaban siswa, maka langkah selanjutnya adalah membuat
tabulasi data.
c. Menganalisa pencapaian tujuan
Setelah data evaluasi selesai ditabulasikan, maka guru BK sebagai evaluator melakukan
analisis terhadap data tersebut. Analisis dilakukan untuk menetahui tingkat capaian program.
Teknik statistik deskriptif (dalam hal ini persentase) digunakan dengan rumus:
Keterangan:
- Skor total merupakan jumlah dari seluruh skor siswa
- Skor ideal merupakan skor maksimum yang mungkin dicapai siswa. Skor ideal dicari
dengan mengalikan jumlah siswa dengan jumlah butir soal
Setelah pencapaian tujuan program pada awal program dan akhir program diketahui, maka
langkah selanjutnya adalah membandingkan perencanaan tujuan dengan standar pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, guru BK harus harus membuat kriteria keberhasilan dan standar terlebih
dahulu. Kiteria keberhasilan sesungguhnya adalah sebuah patokan suatu program dikatakan
berhasil atau tidak. Kriteria keberhasilan dalam evaluasi ini adalah adanya peningkatan capaian
tujuan sebelum dan sesudah program dilaksanakan.
Selain kriteria keberhasilan, standar merupakan bagian penting dalam mengambil
keputusan apakah program berhasil atau tidak. Dengan kata laim, kriteria keberhasilan yang
110
menyebutkan bahwa ada peningkatan harus tegas menyebutkan standar peningkatanya.
Penentuan standar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, standar perlu mempertimbangkan
kemampuan dan pengalaman guru BK, serta sarana pendukung yang dimiliki sekolah. Kedua,
penetuan standar harus mengacu kepada peningkatan secara berkelanjutan. Kedua faktor ini
penting dipertimbangkan menjaga agar kerja keras guru BK mendapatkan penghargaan, tetapi
juga pada sisi yang lain standar mengalami peningkatan secara berkelanjutan.
111
D. PROSEDUR PELAKSANAAN EVALUASI DAMPAK LAYANAN DASAR
(KURIKULUM BIMBINGAN)
112
c. Tentukan teknik analisis data
Teknik analisa data digunakan untuk mengetahui sejauh mana capaian atas kriteria
keberhasilan program. Dengan kata lain, analisis data dilakukan untuk menetukan apakah
standar dapat tercapai atau tidak.
Merujuk kepada standar keberhasilan yang menggunakan satuan persentase sebagai ukuran,
maka teknik analisis data yang digunakan adalah teknik statistis kolerasi dan juga
determinasi untuk mengetahui kontribusi. Berikut disajikan rumus korelasi yang digunakan.
Keterangan:
rXY : Koefisien kolerasi antara pencapaian hasil bimbingan dan pencapaian perestasi
X : Skor hasil bimbingan
Y : Skor prestasi siswa
Y2 : Kuadrat persentasi siswa
N : Jumlah responden
ΣX : Jumlah skor total hasil bimbingan
ΣY : Jumlah skor total prestasi siswa
ΣX2 : Jumlah kuadrat skor hasil bimbingan
ΣY2 : Jumlah kuadrat skor total prestasi siswa
XY : Jumlah perkalian X dan Y
Agar perhitungan koefisien kolerasi lebih mudah, maka disarankan menggunakan program
Microsoft Office program Excel. Koefisien determinasi adalah suatu angka koefisien yang
menunjukan basarnya pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya yang dinyatakan
dalam angka persentase, dengan rumus:
113
Langkah 3: Melakukan analisis data
Data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah, serta dianalisis sehingga dapat diketahui sejauh
mana kontribusi program bimbingan terhadap pencapaian prestasi. Pengolahan dan analisis data
dilakukan menggunakan program Excel. Berikut disajikan langkah-langkah, meliputi:
a. Membuat tabulasi data
Setelah guru BK mendapatkan data mengenai pencapaian hasil program bimbingan dan
prestasi siswa, maka langkah selanjutnya adalah membuat tabulasi data pada lembar kerja di
program Excel. Berikut disajikan contoh tabel tabulasi data.
Tabulasi Data Evaluasi Dampak
Pencapaian hasil program bimbingan Rerata prestasi siswa
40 75
43 78
45 67
52 78
34 89
45 76
65 83
34 56
53 64
23 34
43 56
45 76
56 87
76 89
34 56
54 56
34 34
45 56
54 74
34 78
114
34 65
65 34
32 56
23 43
54 65
34 76
34 56
43 45
33 45
31 54
115
Berikut disajikan gambar dalam Excel.
Pencapaian hasil program bimbingan Rerata prestasi siswa
40 75
43 78
45 67
52 78
34 89
45 76
65 83
34 56
53 64
23 34
43 56
45 76
56 87
76 89
34 56
54 56
34 34
45 56
54 74
34 78
34 65
65 34
32 56
23 43
54 65
34 76
34 56
43 45
116
33 45
31 54
Koefisien kolerasi = Pearson (array 1 ; aray 2) → 0,41
determinasi =
Langkah 1 Langkah 2
Langkah 3 Langkah 4
117
2. Ringkasan kesimpulan evaluasi
Ringkasan kesimpulan merupakan kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dalam evaluasi.
3. Rekomendasi
Rekomendasi merupakan saran-saran perbaikan berdasarkan hasil evaluasi.
4. Lampiran
Lampiran terdiri atas data perhitungan koefisien kolerasi dan determinasi.
118
BAB IX
EVALUASI PERENCANAAN DAN PROSES BIMBINGAN KONSELING
119
bimbingan. Disinilah, evaluator harus mendefinisikan lingkungan (environment) dimana program
dilaksanakan, mendefinisikan berbagai kebutuhan yang tidak di akomodasi, dan menentukan
kenapa kebutuhan ini belum diakomodasi.Evaluasi ini dicapai melalui seperangkat penilaian
berdasarkan penelahaan (assesmen) atas kebutuhan pelanggan (Customers), penentuan atas
kelebihan dan kekurangan program terkini, dan menyetujui prioritas program.
Trotter et al mengidentifikasikan empat langkah dalam melakukan evaluasi pada aspek
tujuan dalam program bimbingan.Keempat langkah tersebut meliputi; mengidentifikasikan
kebutuhan siswa melalui diskusi dengan siswa, guru, dan orang tua, merancang item survey,
melakukan survey kebutuhan serta membandingkan kebutuhan siswa berdasarkan evaluasi
dengan tujuan yang telah ditetapkan (Trotter et al 1998:35-142).
Berdasarkan pembahasan diatas, maka evaluasi pada aspek tujuan yang dimaksud adalah
kesesuaian antara tujuan yang telah ditetapkan dengan kebutuhan siswa.Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah yang menjadi kebutuhan siswa dalam program bimbingan.Gysbers
(2006) mengatakan bahwa program bimbingan (guidance curriculum) merupakan program yang
diselenggarakan untuk membantu siswa mencapai tugas perkembangannya.Prayitno (2004)
menegaskan bahwa materi bimbingan diambil berdasarkan; tugas perkembangan dan
permasalahan siswa.Berdasarkan dua (2) ahli bimbingan dan konseling tersebut, yang dimaksud
kebutuhan siswa dalam program bimbingan adalah pencapaian tugas perkembangan dan
pemberian bantuan terhadap permasalahan siswa.
Evaluasi pada aspek tujuan bukan hanya dimaksudkan untuk membantu guru bimbingan
konseling menemukan kebutuhan yang tidak terakomodasi, atau tujuan yang tidak relevan
dengan kebutuhan, akan tetapi dapat juga membantu guru bimbingan konseling untuk
memformulasikan tujuan program bimbingan dan konseling dan kompetensi siswa yang
diharapkan.
Evaluasi program bimbingan pada aspek tujuan ini tidak dilakukan pada setiap
semester.Hal ini disebabkan karena kompetensi siswa tentunya tidak berubah setiap semester
atau bahkan setiap tahun. Penulis menyarankan untuk melakukan evaluasi program bimbingan
padaaspek tujuan ini tiga sampai lima tahun sekali. Hal ini sesuai dengan pendapat Gysbers
(2006) yang menyatakan bahwa evaluasi pada kurikulum bimbingan dapat dilakukan tiga atau
lima tahun sekali.
120
2. Prosedur Pelaksanaan Evaluasi Tujuan
a. Menentukan Tujuan Evaluasi
Tahap pertama dalam melakukan evaluasi adalah menentukan tujuan evaluasi. Penentuan
tujuan ini merupakan hal yang sangat penting karena berdasarkan tujuan inilah guru
BK/konselor sekolah akan melakukan evaluasi. Tujuan evaluasi secara umumberkaitan
dengan dua hal, berkaitan dengan aspek yang akan dievaluasi dan dengan objek evaluasi.
Penentuan aspek tujuan menandakan bahwa guru BK menginginkan tujuan yang
ditetapkan dalam program merupakan kompetensi yang memang penting dan butuh untuk
dibentuk pada siswa.
Objek evaluasi, yaitu program bimbingan mengarahkan pada kompetensi yang menjadi
tujuan program terbatas pada lingkup bimbingan.Berdasarkan dua hal itu, maka evaluasi
tujuan memiliki tujuan untuk mengetahui ketepatan tujuan yang ditetapkan dalam
program.Hal ini berarti guru BK/konselor ingin melihat tujuan program yang
ditetapkannya dalam program bimbingan sudah sesuai dengan kebutuhan siswa atau
belum.
b. Menentukan Kriteria Evaluasi
Sebuah program akan dikatakan berhasil dan sukses (proses penilaian) apabila memenuhi
kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Membahas mengenai kriteria keberhasilan sebagai
patokan evaluasi tidak akan terlepas membahas standar, dan indicator. Makna ketiga
konsep tersebut tentunya tidak sama, akan tetapi memiliki kaitan satu dengan lainnya.
Mutrofin & Hadi menjelaskan kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap
basis penting untuk melakukan riset evaluasi pada program tersebut (Hadi & Mutrofin,
2006;77). Pendapat ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Winkel & Hastuti
bahwa kriteria adalah patokan dalam evaluasi program. Berbeda dengan kriteria, standar
memiliki penekanannya pada pertanyaan “seberapa banyak kriteria penting telah
mencukupi?”.Sementara indicator merujuk pada ukuran yang digunakan untuk
mengumpulkan data sehubungan dengan performansi nilai kriteria (value criteria).
Kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan
dan penting untuk melakukan riset evaluasi.Pemberian nilai pada kriteria didasarkan pada
keyakinan, pegalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajia teoritis.
121
Winkel & Hastuti menjelaskan bahwa kriteria dapat ditentukan berdasarkan ciri
yang melekat dalam program bimbingan tersebut, baik eksternal maupun internal.Pada
aspek tujuan kriteria yang dapat digunakan dalam evaluasi program bimbingan adalah
tujuan bersumber pada kebutuhan yang realistis.Sesuai dengan pendapat Gybers dan
Prayitno kebutuhan yang dimaksud adalah sesuai dengan tugas perkembangan siswa
danpermasalahan siswa. Untuk lebih jelasnya mengenai kriteria keberhasilan yang
digunakan untuk menentukan efektifitas program bimbingan dalam evaluasi pada aspek
tujuan sebagai berikut;
Tabel 9.1
Kriteria Keberhasilan Evaluasi Perenanaan Program Bimbigan Pada Aspek Tujuan
122
Sesuai dengan Pencapaian
tugas tugas Membandi
perkembagan
Penentuan
perkembangan ngkan
Tujuan
Berdasarkan tujuan
EVALUASI
tugas hasil
PROGRAM perkembangan evaluasi
BIMBINGAN dan
PADA dengan KEPUTUSAN
permasalahan
ASPEK
siswa. tujuan
TUJUAN
program
123
Tabel 9.2
Perencanaan evaluasi Program Bimbingan pada aspek tujuan
Komponen Indikator Sumber data Teknik pengumpulan
data
Memberikan inventori
Tugas perkembangan
Siswa mengenai tugas
siswa
Perencanaan perkembangan siswa
(tujuan) Melakukan survei terhadap
Permasalahan siswa Siswa
permasalahan siswa
e. Menentukan InstrumenEvaluasi
Teknik penumpulan data yang digunakan dalam evaluasi pada aspek tujuan ini adalah
dengan menyebarkan angket dan memberikan inventori.Untuk lebih jelas dapat dilihat
dbawah ini mengenai teknik pengumpulan data dan instrument yang digunakan.
Tabel 9.3
Tekik Pengumpulan Data da Istrume Pengumpulan Data
Evaluasi Perencanan Pada Aspek Tujuan
Insrumen yang
Komponen Teknik Pengumpulan Data
Digunakan
Memberikan inventori mengenai tugas Inventoritugas
Perencanaan perkembangan siswa perkembangan siswa
(tujuan) Melakukan survei terhadap permasalahan Angket permasalahan
siswa siswa
124
E=X
Keterangan:
E =deskriptif presetase
X =frekuensi yang diari
N =jumlah total responden
125
CONTOH LAPORAN EVALUASI PERENCANAAN PROGRAM BIMBIGAN
SEKOLAH ANTAH BERANTAH JAKARTA
Tabel 9.4
Gambaran pencapaian tugas perkembangan siswa
Data diatas menunjukan bahwa siswa memiliki pencapaian tugas perkembangan yang
cukup baik, walaupun tetap masih terdapat tugas perkembangan yang belum dicapainya. Pada
area yang belum tercapai inilah seharusnya program bimbingan diarahkan.
126
Berdasarkan hasil evaluasi dapat juga terlihat gambaran pencapaian tugas perkembangan
siswa pada tiap-tiap tugas perkembanganya.Untuk tugas perkembangan menerima kondisi
fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif, siswa telah memiliki pencapaian sebanyak
89.44%.tugas perkembangan menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari
jenis kelamin manapun telah dicapai siswa sebanyak 89.35% sedangkan tugas perkembangan
menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan) sebanyak 79.17%.
untuk tugas perkembangan berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang
tua dan orang dewasa lainnya, siswa telah mencapai sampai 95.37%, sedangkan mempersiapkan
karier ekonomi sudah sampai 87.5%. untuk tugas perkembangan mempersiapkan pernikahan dan
kehidupan berkeluarga pencapaian tugas perkembangannya 58.56%, sedangkan untuk tugas
perkembangan mempersiapkann tingkah laku social yang bertanggung jawab 43.98%, serta
pencapaian tugas perkembangan siswa dalam mencapai system nilai dan etika sebagai pedoman
tingkah lakunya sebesar 56.02%. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9.5
Pencapaian siswa pada tiap tugas perkembangannya
Berdasarkan data diatas maka dapat diketahui bahwa siswa telah mencapai tugas
perkembangan cukup baik pada tugas perkembangan berusaha melepaskan diri dari
127
ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya, menerima kondisi fisiknya
dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima hubungan yang lebih matang dengan
teman sebaya dan jenis kelamin manapun, serta menerima peran jenis kelamin masig-masig.
Sedangkan tugas perkembangan yang masih kurang dicapai siswa dengan baik adalah
mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan tingkah laku social yang bertanggung jawab,
mencapai system nilai dan etika sebagai pedoman tingkah lakunya, serta
mempersiapkanpernikahan dan kehidupan berkeluarga. Berdasarkan pencapaian siswa dalam
tugas perkembangan, seharusnya program bimbingan lehih diarahkan pada tugas perkembangan:
1. mempersiapkan karir ekonomi,
2. mempersiapkan tingkah laku social yang bertanggung jawab,
3. mencapai system nilai dan etika sebagai pedoman tingkah lakunya,
4. serta mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
b. Permasalahan Siswa
Tugas perkembangan siswa bukanlah satu-satunya pertimbangan dalam menentukan tujuan
program bimbingan kelompok terjadwal, masih terdapat permasalahan siswa yang perlu
diperhatikan.Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, maka diketahui bahwa sebanyak 70.3% siswa
memiliki masalah kesulitan belajar, sebanyak 51.4% siswa memiliki masalah gangguan makan,
sebanyak 43.2% siswa memiliki masalah sakit-sakitan, sebanyak 32.4% siswa memiliki masalah
keinginan bunuh diri siswa memiliki masalah mengkonsumsi minuman keras, sebanyak 29.3%
siswa memiliki masalah merokok, sebanyak 18.9% siswa memiliki masalah pergaulan bebas,
sebanyak 18.9% siswa memiliki masalah ikut tawuran, sebanyak 8.1% siswa memiliki masalah
penyalahgunaan obat terlarang dan narkotika, sebanyak 10.8% siswa memiliki masalah
melakukan hubungan seksual, sebanyak 2.7% siswa memiliki masalah ketakutan hamil diluar
nikah, serta tidak ada siswa yang memiliki aborsi dan masalah terjangkit HIV/AIDS. Lebih jelas
dapat terlihat pada tabel dan grafik dibawah ini.
128
Tabel 9.6
Permasalahan Siswa
No. Masalah Siswa Persen (%)
1. Kesulitan belajar 70.27
2. Gangguan makan 51.35
3 Sakit-sakitan 43.24
4. Keinginan bunuh diri 32.43
5. Mengkonsumsi minuman keras 29.73
6. Merokok 29.73
7. Pergaulan bebas 18.92
8. Ikut tawuran 18.92
9. Penyalahgunaan obat terlarang dan narkotika 8.1
10. Melakukan hubungan seksual 10.8
11. Ketakutan hamil diluar nikah 2.7
12. Aborsi 0
13. Terjangkit HIV/AIDS 0
Berdasarkan permasalahan siswa diatas, maka dapat terlihat bahwa masalah yang banyak
dialami oleh siswa adalah masalah kesulitan belajar, gangguan makan, sakit-sakitan, keinginan
bunuh diri, mengkonsumsi minuman keras, serta merokok. Keenam (6) masalah tersebut
termasuk berat karena lebih dari 20% siswa mengalami masalah tersebut. Akan tetapi empat (4)
masalah lainnya yaitu perkaulan bebas, penyalahgunaan obat terlarang dan narkotika, melakukan
hubungan seksual, serta kekuatiran hamil diluar nikah meskipun persentasenya dibawah 20% ,
akan tetapi termasuk masalah besar yang juga harus mendapat perhatian serius. Dengan
demikian kesepuluh (10) masalah tersebut perlu mendapatkan tempat dalam tujuan program
bimbingan kelompok terjadwal yang ditetapkan.
129
2. Siswa mampu menghayati prinsip dan gaya belajar sebagai pelajar untukmencapai
keberhasilan belajar yang mendasari pencapaian masa depan yang diharapkan
3. Siswa mampu menghargai dan memanfaatkan waktu dengan benar (efektif dan produktif)
4. Siswa mampu melihat bakat, kemampuan, dan prestasi diri yang perlu disyukuri dan
dikembangkan untuk meningkatkan mutu kehidupannya
5. Siswa mampu hidup bersama orang lain yang mendasarkan diri pada etika pergaulan
6. Siswa mampu bergaul secara efektif sebagai remaja sehingga mendapatkan manfaat bagi
perkembangan dirinya
7. Siswa mampu melaksanakan kepemimpinan remaja yang efektif dan efisien/mumpuni
sesuai dengan karakter seorang pemimpin handal
Tujuan Program Bimbingan Semester Genap
1. Siswa mampu bersikap dan bertingkahlaku, dan mengembangkan diri sesuai dengan
dimensi kecerdasan yang dimilikinya sehingga berhasil dalam kehidupannya
2. Siswa mampu mengenal, menganalisis, dan terampil mengatasi masalah yang dialami
pada rentang tahapan hidupnya dimasa remaja sehingga menjadi remaja yang efektif
3. Siswa mampu berfikir dan bersikap positif dalam pergaulan hidup sehari-hari di sekolah,
keluarga, dan masyarakat pada umumnya.
4. Siswa mampu memilih bentuk rekreasi yang paling efektif sehingga memperoleh manfaat
bagi perkembangan sosialisasi, kesehatan jiwa dan raganya, serta bermanfaat bagi
masyarakat di sekitarnya
5. Siswa menyadari perlunya sikap anti korupsi dalam bentuk apapun dan menjalankan
sikap itu dalam kehidupan sehari-hari
Siswa mampu mengupayakan diri menjadi remaja yang mendiri.
130
4. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga
5. Membantu siswa mengatasi kesulitan belajar
6. Membantu mengarahkan pengentasan masalah gangguan makan
7. Membantu mengarahkan kehidupan yang sehat
8. Membantu mengarahkan siswa untuk mengatasi keinginan bunuh diri
9. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan menkomsumsi minuman keras
10. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan perilaku merokok
11. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan pergaulan bebas
12. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan penyalahgunaan obat terlarang dan
narkotika
13. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan melakukan hubungan seksual
Tujuan program bimbingan diatas merupakan tujuan yang dihasilkan melalui evaluasi
tujuan.Untuk menjawab pertanyaan apakan tujuan program bimbingan sudah sesuai dengan
tugas perkembangan siswa dan permasalahan siswa, maka langkah selanjutnya adalah
membandingkan antara tujuan program yang dihasilkan melalui evaluasi tujuan dengan tujuan
program bimbingan siswa kelas XI SMP/SMA/SMK Antah Berentah Jakarta.
Berdasarkan tujuan yang dihasilkan melalui evaluasi tujuan dan yang sudah ditetapkan
devisi bimbingan konseling bimbingan SMP/SMA/SMK Antah Berentah Jakarta, maka dapat
terlihat bahwa beberapa tujuan pada program bimbingan yang akan dimiliki kesamaan dengan
tujuan program bimbingan yang dihasilkan melalui evaluasi tujuan, akan tetapi terdapat pula
tujuan program bimbingan yang ada tidak sesuai dengan tujuan program bimbingan yang
dihasilkan melalui evaluasi tujuan. Untuk lebih jelas dapat melihat perbandingan kedua tujuan
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 9.7
Perbandingan Tujuan Hasil Evaluasi Tujuan Dengan Tujuan Program yang ada
Tujuan Berdasarkan Tujuan Program Bimbingan siswa kelas XI
Evaluasi SMP/SMA/SMK Antah Berantah Jakarta
Persiapan karier ekonomi Siswa mampu melihat bakat, kemampuan, dan prestasi diri
yang perlu disyukuri dan dikembangkan untuk
meningkatkan mutu kehidupannya
Siswa mampu bersikap dan bertingkahlaku, dan
mengembangkan diri sesuai dengan dimensi kecerdasan
131
yang dimilikinya sehingga berhasil dalam kehidupannya
siswa mengatasi kesulitan Siswa mampu menghayati makna belajar sebagai pelajar
belajar untuk mencapai keberhasilan belajar yang mendasari
pencapaian masa depan yang diharapkan
Siswa mampu menghayati prinsip dan gaya belajar sebagai
pelajar untuk mencapai keberhasilan belajar yang
mendasari pencapaian masa depan yang diharapkan
Mempersiapkan tingkah Siswa mampu berfikir dan bersikap positif dalam pergaulan
laku sosial siswa yang hidup sehari-hari di sekolah, keluarga, dan masyarakat pada
bertanggung jawab umumnya.
Mencapai sistem nilai dan Siswa mampu hidup bersama orang lain yang mendasarkan
etika sebagai pedoman diri pada etika pergaulan
tingkah lakunya
Membantu siswaSiswa mampu bergaul secara efektif sebagai remaja
menghindarkan dansehingga mendapatkan manfaat bagi perkembangan dirinya
menghilangkan pergaulanSiswa mampu memilih bentuk rekreasi yang paling efektif
bebas sehinngga memperoleh manfaat bagi perkembangan
sosialisasi, kesehatan jiwa dan raganya, serta bermanfaat
bagi masyarakat disekitarnya
Membantu mengarahkan Siswa mampu mengenal, menganalisis, dan terampil
siswa untuk mengatasi mengatasi masalah yang dialamipada rentang tahapan
keinginan bunuh diri hidupnya dimasa remaja sehingga menjadi remaja yang
efektif.
Membantu mengarahkan -
siswa untuk pola hidup
yang sehat
Membantu siswa -
menghindarkan dan
menghilangkan konsumsi
minuman keras
Membantu siswa
menghindarkan dan
menghilangkan perilaku -
merokok
Membantu siswa -
menghindarkan dan
menghilangkan
penyalahgunaan obat
terlarang dan narkotika
Membantu siswa -
menghindarkan dan
menghilangkan melakukan
hubungan seksual
- Siswa mampu menghargai dan memanfaatkan waktu
dengan benar (efektif dan produktif)
132
- Siswa mampu melaksanakan kepemimpinan remaja yang
efektif dan efisien/mumpuni sesuai dengan karakter
seorang pemimpin handal.
- Siswa menyadari perlunya sikap anti korupsi dalam bentuk
apapun dan menjalankan sikap itu dalam kehidupan sehari-
hari
- Siswa mampu mengupayakan diri menjadi remaja yang
mandiri.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa dari tiga belas (13) tujuan yang
ditetapkan dalam program bimbingan kelas XI oleh divisi bimbingan konseling SMA XX
Jakarta, sebanyak Sembilan (9) tujuan sesuai dengan tujuan yang dihasilkan melalui evaluasi
konteks, meliputi;
1. Siswa mampu melihat bakat, kemampuan, dan prestasi diri yang perlu disyukuri dan
dikembangkan untuk meningkatkan mutu kehidupannya
2. Siswa mampu bersikap dan bertingkah laku, dan mengembangkan diri sesuai dengan
dimensi kecerdasan yang dimilikinya sehinnga berhasil dalam kehidupannya
3. Siswa mampu menghayati makna belajar sebagai pelajar untuk mencapai keberhasilan
belajar yang mendasari pencapaian masa depan yang diharapkan
4. Siswa mampu menghayati prinsip dan gaya belajar sebagai pelajar untuk mencapai
keberhasilan belajar yang mendasari pencapaian masa depan yang diharapkan
5. Siswa mampu berpikir positif dalam pergaulan hidup sehari-hari di sekolah, keluarga,
dan masyarakat pada umumnya
6. Siswa mampu hidup bersama orang lain yang mendasarkan diri pada etika pegaulan
7. Siswa mampu bergaul secara aktif sebagai remaja sehingga mendapatkan manfaat bagi
perkembangan dirinya
8. Siswa mampu memilih bentuk rekreasi yang paling efektif sehinngga memperoleh
manfaat bagi perkembangan sosialisasi, kesehatan jiwa dan raganya, serta bermanfaat
bagi masyarakat disekitarnya
9. Siswa mampu mengenal, menganalisis, dan terampil mengatasi masalah yang
dialamipada rentang tahapan hidupnya dimasa remaja sehingga menjadi remaja yang
efektif.
Meskipun sebagian besar tujuan sesuai akan tetapi juga masih terdapat empat (4) tujuan
yang belum sesuai dengan hasil evaluasi tujuan, meliputi;
133
1. Siswa mampu menghargai dan memenfaatkan waktu dengan benar (efektif dan produktif)
2. Siswa mampu melaksanakan kepemimpinan remaja yang efektif dan efesien/mumpuni
sesuai dengan karakter seorang pemimpin handal
3. Siswa menyadari perlunya sikap anti korupsi dalam bentuk apa pun dan menjalankan
sikap itu dalam kehidupan sehari-hari
4. Siswa mampu mengupayakan diri menjadi remaja yang mandiri
Evaluasi tujuan juga menunjukan bahwa terdapat lima (5) tujuan yang seharusnya ada akan
tetapi masih belum tearkomodasi dalam program bimbingan kelas XI SMP/SMA/SMK Antah
Berantah Jakarta, meliputi;
1. Membantu mengarahkan siswa untuk pola hidup yang sehat.
2. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan mengkonsumsi minuman keras.
3. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan perilaku merokok.
4. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan penyalahgunaan obat terlarang dan
narkotika.
5. Membantu siswa menghindarkan dan menghilangkan hubungan seksual.
Berdasarkan pemaparan data di atas, maka dapat terlihat bahwa terdapat proposi yang
relative sama besar antara program yang sesuai dengan tugas perkembangan dan permasalahan
siswa dan program yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan dan permasalahan siswa. Hal
ini tampak dari 13 tujuan yang telah ditetapkan, 9 tujuan sesuai, 4 tujuan tidak sesuai, dan 5
tujuan belum terakomodasi.
3. Pengambilan Keputusan
Evaluasi tujuan menunjukan bahwa tujuan yang ditetapkan dalam program bimbingan kelas
XI SMP/SMA/SMK Antah Berantah Jakarta memiliki banyak ketidak sesuaian dengan tugas
perkembangan dan permasalahan siswa.Walaupun demikian tetap ada tujuan yang sesuai dengan
tugas perkembangan dan permasalahan siswa. Berdasarkan pembahasan di atas, maka diambil
keputusan bahwa terdapat beberapa tujuan program yang harus diubah, Tujuan program
bimbingan harus mengacu kepada hasil evaluasi tujuan.
134
B. EVALUASI INPUT PROGRAM BIMBINGAN
1. Konsep
Orintasi utama dari evaluasi input adalah untuk membantu menentukan program yang
membawa pada perubahan yang dibutuhkan. Evaluasi input mempermasalahkan apakah strstegi
yang dipilih untuk mencapai tujuan program sudah tepat. Evaluasi ini dilakukan dengan menelah
dan menilai secara kritis pendekatan yang relevan yang dapat digunakan (stufflebeam &
Shinkfield, 1985: 173 ). Evaluasi ini merupakan pendahuluan atau tanda kesuksesan, kegagalan,
dan efesiensi atas usaha untuk melakukan perubahan. Trotter et al (1998) menambahkan bahwa
evaluasi input ini juga dapat dipandang sebagai bagimana sumber-sumber sistem yang ada
disekolah dapat digunakan untuk memberikan dukungan pada praktik dan strategi yang dipilih
(Trotter et al., 1998: 138 ).
Evaluasi input bertujuan untuk mengidentifikasikan dan menelah kapabilitas sistem,
alternative strategi program, desain prosedur di mana strategi akan diimplemntasikan. Evaluasi
input ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode menginventarisasi dan menganalisis
sumber-sumber yang tersedia, baik guru bimbingan konseling, ataupun material, strategi
solusi,relevansi desain prosedur, kepraktisan dan biaya, kemudian dibandingkan dengan kriteria
yang ditetapkan berdasarkan telah literatur, atau dengan mengunjungi program yang telah
berhasil, atau berdasarkan ahli.
Untuk mengetahui apakah strategi yang ditetapkan oleh divisi bimbingan dan konseling
dalam mencapai tujuannya sudah dapat tentunya tidak akan terlepas dari sumber-sumber yang
mereka miliki. Gysbers & Anderson bahkan mengatakan bahwa efesiensi program bimbingan
dan konseling dapat diukur berdasarkan keberadaan sumber-sumber yang dimiliki oleh suatu
sekolah. Menentukan suatu strategi tentunya perlu mempertimbangkan sumber apa yang mereka
miliki. Dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang dimiliki, strategi akan lebih realistis,
dan didukung dengan kemampuan yang ada. Sehingga evaluasi program bimbingan pada aspek
input perlu diarahkan untuk melihat sejauh mana srategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan
program bimbingan, termasuk didalamnya menelaah sumber-sumber yang mendukungnya.
1. Strategi dalam program bimbingan
Sebagimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa program bimbingan
merupakan program yang bertujuan untuk membantu siswa dapat mencapai tugad
perkembanganya.Agar tujuan ini dapat tercapai, guru BK/Konselor merencana
135
seperangkat strategi untuk mencapai tujuan tersebut.Strategi yang direncanakan tersebut
meliputi; materi bimbingan yang disampaikan, metode bimbingan yang digunakan, serta
media bimbingan yang dipilih. Ketiga komponen strategi itulah yang akan dilihat
ketepatannya dalam evaluasi program pada aspek input.
a. Materi yang ditetapkan dalam Program Bimbingan
Program bimbingan merupakan salah satu program dalam program dalam program
bimbingan dan konseling yang bertujuan membangun kompetensi tertentu sesuai
dengan tugas perkembangan siswa. Gysber & Enderson (150) mengatakan bahwa
materi instruksional dalam program bimbingan ditentukan dari kompetensi yang
diharapkan dari program tersebut .hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh
Sink et al yang menyatakan bahwa isi dari kegiatan program bimbingan adalah
pembangunan kompetensi siswa yang sesuai (sink et al., 2005: 296 ). Winkel
mengemukakan bahwa materi bimbingan meliputi tata cara belajar yang tepat,
pergaulan yang sehat diantara teman sekelas, tugas-tugas perekembangan masa
remaja, prosedur pemilihan program studi disekolah dan lain sebaginya. Materi untuk
pelajaran bimbingan ditentukan berdasarkan pegalaman guru BK, kebutuhan-
kebutuhan nyata anak remaja ( tugas perkembangan ), serta usul dari pihak siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dihasilkan kesimpulan bahwa materi
program bimbingan merupakan materi yang dipilih berdasarkan pencapaian tugas
perkembangan siswa, dan tingkat permasalahan siswa.Integrasi keduanya merupakan
kebutuhan siswa yang harus dilayani dalam program bimbingan.
b. Metode yang digunakan dalam Program Bimbingan
Pencapaian terhadap kompetensi yang diharapkan dalam program bimbingan tidak
hanya ditentukan oleh materi dan media yang tepat dan baik.Akan tetapi bagimana
materi itu disampaikan merupakan factor penting dala rangka pencapaian kompetensi
yang diharapkan.Untuk itu, maka pemilihan metode yang tepat untuk menyampaikan
materi dalam menyelenggarakan kegiatan bimbingan penting diperhatikan.
Program bimbingan dan konseling terutama bimbingan kelompok terjadwal
merupakan kegiatan yang berorientasi pada kompetensi tugas perkembangan siswa,
yang meliputi bidang pribadi-sosial, akademik, dan karier.Bidang-bidang tersebut
dapat juga dianggap sebagai ranah tujuan bimbingan kelompok terjadwal.Ranah ini
136
serupa dengan tiga ranah tujuan pembelajaran yang diungkapkan oleh Bloom yang
meliputi kognitif, afektif, dan konatif.Program bimbingan dan konseling merupakan
layanan psiko-edukasi atau layanan edukasi psikologi yang ada di sekolah.Kondisi ini
tentunya membuat program bimbingan dan konseling memiliki proporsi yang besar
pada tujuan yang bersifat afektif dan konatif disamping kognitif yang proporsinya
tidak sebesar afektif dan konatif.Atas dasar itulah maka, metode-metode yang
digunakan dalam menyampaikan materi dalam program bimbingan harus berorientasi
pada tujuan tersebut. Confusius menyatakan bahwa saya lupa apa yang saya dengar,
saya ingat apa yang saya lihat, dan saya memahami apa yang saya lakukan
(Silberman, 2004:5). Ungkapan ini merupakan petunjuk bagi seorang pendidik untuk
memperlihatkan metode yang akan digunakan dalam pembelajaran termasuk guru
BK.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan program bimbingan banyak berada pada ranah
afektif dan konatif, hal ini memiliki implikasi pada program bimbingan dimana tidak
akan efektif apabila siswa hanya saja mendengarkan guru BK menyampaikan materi.
Dalam pembelajaran siswa haruslah menjadi subjek pembelajaran, sehingga siswa
harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran tersebut. Hal ini diperkuat oleh
Silberan yang mengungkapkan bahwa pembelajaran akti merupakan metode yang
seharusnya banyak digunakan dalam pembelajaran (Silberman, 2004:12).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan dari program bimbingan
adalah kompetensi dalam tugas perkembangannya, yang meliputi ranah afektif,
kognitif, serta konatif.Hal ini juga memiliki implikasi pada penggunaan metode
dalam program bimbingan, sehingga bermacam-macamnya tujuan program
bimbingan membuat metode yang digunakan oleh konselor sekolah juga harus
bervariasi. Dalam program, metode yang dapat digunakan adalah ceramah, diskusi,
bermain peran, simulasi, debat, dan lain sebagainya. Siberman mengemukakan 10
metode yang dapat membuat siswa berpartisipasi setiap saat, meliputi; diskusi
terbuka, kartu-kartu respons, polling, diskusi kelompok kecil, patner belajar, whips,
panel, fishbowl, game, serta memanggil pembicara selanjutnya (Silberman,
2004:26).Kesepuluh metode yang disampaikan oleh Silberman tentunya dapat
implementasikan pada kegiatan bombingan di kelas.Berdasarkan uraian diatas maka
137
dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan dala bimbingan kelompok haruslah
metode yang membuat siswa menjadi subjek pembelajaran. Siswa harus terlibat aktif
dalam proses bimbingan yang diselenggaraka oleh konselor sekolah.
138
computer personal, CD player, CD ROM, video camera,internet, sehingga media
yang digunakan terbatas pada media yang dapat digunakan pada saat itu.
Sekarang perubahan terjadi begtu cepat, sehingga perubahan itu seharusnya
memberikan perubahan pada media atau teknologi layanan bimbingan dan konseling
(Mitchell & Hardly:289). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
membuat layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakan di sekolah dituntut
untuk menggunakan teknologi komunikasi dan informasi tersebut dalam program.
Mitchell & Gibson mengemukakan bahwa dalam memberikan layanan bimbingan
dan konseling media yang dapat digunakan adalah CD-ROMs, CD, video, animasi,
serta informasi berupa grafik (Mitchell & Gibson: 423). Selain itu media yang dapat
digunaka dalam menyampaikan materi bimbingan (kurikulum bimbingan) adalah
slide presentasi, notebook, televise, film, OHP, serta LCD.
139
tentunya harus memiliki beberapa persyaratan.Pertama adalah persyaratan pendidikan, di
mana seorang konselor sekolah merupakan lulusan pada program starta 1 program studi
bimbingan dan konseling.Hal ini sesuai dengan UU guru dan dosen serta UU sistem
pendidikan nasional.Strategi yang baik adalah strategi yang harus mempertimbangkan
kemampuan personal sekolah dalam menyelengggarakan program bimbingan dan
konseling. Dengan kata lain, perbandingan jumlah konselor sekolah dan jumlah siswa
menjadi perlu diperhatikan. Sulit untuk merumuskan beberapa rasio perbandingan jumlah
konselor sekolah dan jumlah siswa, akan tetapi Gysber & Anderson mencoba
memberikan gambran beberapa sekolah di Amerika Serikat. Negara bagian Alabama
menetapkan rasio konselor dengan siswa adalah 1: 225. Sedangkan di Kalifornia
perbandingannya 1: 971. Secara rata-rata rasio konselor sekolah dengan jumlah siswa
yang ditangani di Amerika Serikat adalah 1: 300-500 (Schmidt, 1999:49). Di Indonesia
perbandingan atau rasio konselor sekolah dengan jumlah siswa adalah 1: 150. Hal ini
sesuai dengan amanta SK Mendikbud dan Kepala BAKN No.0433/P/1993 dan No.25
Tahun 1993 pasal 5 ayat 3.
Waktu yang disediakan konselor untuk menyelanggarakan program bimbingan dan
konseling merupakan factor yang juga perlu dipertimbangkan dalam memilih strategi
untuk mencapai tujuan program bimbingan dan konseling. Gysbers & Anderson (2006)
mengatakan bahwa sebaiknya waktu konselor adalah delapan (8) jam/hari, di mana jam
sekolah adalah 7,5 jam (Schimdt, 1999: 96). Waktu tersebut dimaksudkan agar konselor
menyediakan waktu sesudah jam pelajaran sekolah penting pertimbangkan. Apabila
konselor melakukan konseling pada saat jam pelajaran berlangsung, tentunya dapat
membuat siswa tidak mengikuti pelajaran. Hal ini tentunya dapat berakibat kurang baik
bagi siswa itu sendiri.Untuk itu, konselor perlu memberikan waktu kepada siswa di luar
jam pelajaran sekolah. Penggunaan waktu untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan
konseling tentunya perlu memperlihatkan proposi antara kegiatan Pada jam sekolah dan
jam laur sekolah. Berkenan dengan hal itu, Tantway (1996) mengatakan bahwa
pelekasanaan kegiatan bimbingan dan konseling dapat dilakukan di dalam atau di luar
jam sekolah, akan tetapi kegiatan layanan dilakukan di luar jam sekolah sebanyak-
banyaknya 50% dari keseluruhan kegiatan bimbingan (Tantaway, 1995:22). Penjelasan
140
Tantawy tersebut memberikan penegasan bahwa proporsi waktu kegiatan bimbingan dan
konseling lebih banyak dilakukan di sekolah.
141
nyaman dapat membuat siswa kurang termotivasi dan akhirnya kurang optimalnya
pencapaian program. Fasilitas yang diperlukan dalam program kegiatan bimbingan
kelompok terjadwal meliputi; ruang bimbingan dan konseling, ruang karier, serta ruang
audiovisual.
142
b. Menentukan Kriteria Evaluasi
Sebuah program akan dikatakan berhasil dan sukses apabila memenuhi kriteria
keberhasilan yang ditetapkan. Membahasa menganai kriteria keberhasilan sebagai
patokan evaluasi tidak akan terlepasa membahas standar, dan indicator. Makna
ketiga konsep tersebut tentunya tidak sama, akan tetapi memeiliki kaitan satu
dengan yang lainnya. Mutrofin & Hadi menjelaskan kriteria merupakan
karakteristik program yang dianggap basis penting untuk melakukan riset evaluasi
pada program tersebut ( Hadi& Mutrofin,2006: 77). Pendapat ini senada dengan
apa yang disampaikan oleh Winkel & Hastuti bahwa kriteria adalah patokan dalam
evaluasi program. Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekannanya pada
pertanyaan “ seberapa banyak kriteria penting telah mencukupi?”. Sementara
indicator merujuk pada ukuran yang digunakan untuk mengumpulkan data
sehubungan dengan performansi nilai kriteria (valued criteria).
Kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan dan
penting untuk melakukan riset evaluasi.Pemeberian nilai pada kriteria didasarkan
pada keyakianan, pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil ujian
teoritis.Winkel & Hastuti menjelaskan bahwa kriteria dapat ditentukan berdasarkan
cirri yang melekat dalam program bimbingan tersebut, baik eksternal maupun
internal. Unutk kriteria yang melekat pada ciri eksternal meliputi; terdapat ahli
bimbingan dengan rasio 1: 150, kualifikasi yang memadaidari staf bimbingan,
terdapat kartu pribadi,terdapat banyak sumber infprmasi, sarana dan prasarana yang
cukup, menjangkau seluruh populasi siswa, dan terdapat rencana yang tertulis.
Gysber & Henderson (150) mengatakan bahwa materi intruksional dalam
bimbingan kelomlpok terjadwal ditentukan dari kompeteni yang diharapkan dari
program tersebut. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Sink et al yang
menyatakan bahwa isi dari kegiatan bimbingan kelompok terjadwal adalah
pembanguanan kompetensi siswa yang sesuai (Sink et al., 2005: 296). Dalam
pembelajaran siswa haruslah menjadi subjek pembelajaran, sehingga siswa harus
terlibat akitf merupakn metode yang seharusnya banyak digunakan dalam
pembelajaran (Siberman,2004: 12). Mitchell & Gibson mengemukakan bahwa
dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling media yang dapat digunakan
143
adalah CD-ROMs, CD,video, animasi, serta informasi berupa grafik (Mitchell &
Gibson:423). Selain itu media yang dapat digunakan dalam menyampaikan materi
bimbingan kelompok terjadwal ( kurikulum bimbingan) adalah slide
presentasi,note book,televise, film, OHP, serta LCD. Di indionesia perbandingan
atau rasio konselor sekolah dengan jumlah siswa adalah 1:150. Hal ini sesuai
dengan amanat SK Mendikbud dan Kapala BAKN No.0433/P/1993 dan No 1993
pasal 5 ayat 3.Waktu yang disediakan konselor untuk menyelenggarakan program
bimbingan dan konseling merupakan factor yang juga perlu dipertimbangakan
dalam memilih strategi untuk mencapai tujuan program bimbingan dan konseling.
Gysbers & Anderson (2006) mengatakan bahwa sebaiknya waktu konselor adalah
delapan
(8) jam/hari, dimana jam sekolah adalah 7.5 jam (Gysbers & Henderson,2006: 96).
Waktu tersebut dimaksudkan agar konselor menyediakan waktu sesudah jam
pelajaran sekolah. Seorang konselor yang pfosesional tentunya harus memenuhi
persayartan pendidikan,sesuai dengan UU guru dan dosen serta UU sistem
pendidikan nasional. Seorang konselor sekolah harus lulusan pada program starta 1
Program studi Bimbingan dan Konseling.Gysbers & Anderson mengemukakan
bahwa yang termasuk dalam komponen sumber keuangan adalah anggaran (
budet), bahan (material) ,perlengkapan (aquipment), serta fasilitas. Gysber &
Henderson mengemukakan bahwa kebijakan sekolah merupakan factor penting
dalam rangaka pelekasaaan program bimbingan dan konseling di sekolah (Gysbers
& Henderson: 97). Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka kriteria yang
digunakan untuk menentukan efektivitas program bimbingan pada aspek input
adalah sebagai berikut;
Tabel 9.8
Kriteria Keberhasilan Program Bimbingan pada aspek input
Komponen Indikator kriteria
Rasio guru BK dengan siswa Terdapat ahli bimbinmgan dengan
rasi 1:150
Kualifikasi guru bimbingan Kualifikasi yang memedai dari staf
konseling bimbingan (S1 bimbingan konseling)
Jam kerja konselor 8 jam per hari
Dukungan keuangan Terdapat rencana anggaran
144
Ruangan Terdapat ruang BK dan ruang
bimbingan yang nyaman
Peralatan bimbingan Terdapat peralatan bimbingan yang
memadai
Kebijakan sekolah Terdapat jam BK 1 jam seminggu
Materi bimbingan Materi bimbingan sesuai dengan
tugas perkembangan dan
permasalahan
input Media bimbingan Media bimbingan variasi dan menarik
Metode bimbingan Metode bimbingan melibatkan siswa
secara aktif
145
Tabel 9.9
Perencanaan evaluasi pada aspek input
Teknik
Komponen Indikator Sumber data
pengumpulan data
Input Rasio guru Bk dengan Dokumen jumlah guru dan Studi dokumen
siswa jumlah siswa
Kualifikasi pendidikan Dokumen ijazah guru BK Studi dokumen
guru
Jam kerja guru BK Data kedatangan dan wawancara
pulang guru BK
Dukungan keuangan Kepala sekolah, guru BK, Wawancara dan studi
dan dokumen keuangan dokumen
program BK
Ruangan Ruangan BK observasi
Peralatan bimbingan Catatan inventarusasi Studi dokumen
barang TU
Terdapat jam BK Jadwal pelajaran sekolah Studi dokumen
Materi bimbingan Program bimbingan Studi dokumen
Media bimbingan Program bimbingan Studi dokumen
Teknik bimbingan Program bimbingan Studi dokumen
Tabel 9.10
Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen pengumpulan Daata pada aspek input
Komponen Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang Digunakan
Studi dokumen Pedoman studi dokumen
Studi dokumen Pedoman studi dokumen
Wawancara dan studi Pedoman wawancara dan Pedoman studi
dokumen dokumen
Observasi Pedoman observasi
Observasi Pedoman observasi
Input Observasi Pedoman observasi
Studi dokumen yang telaah Pedoman studi dokumen dan panduan telaah
literatur literature
Studi dokumen yang telaah Pedoman studi dokumen dan panduan telaah
146
literatur literature
Studi dokumen yang telaah Pedoman studi dokumen dan panduan telaah
literatur literature
Setelah anda memahami cara melakukan evaluasi perencanaan program bimbingan, baik
pada aspek tujuan, dan aspek input, sekarang anda diajak untuk memahami apa dan bagaimana
melakukan evaluasi program bimbingan pada aspek proses. Keberhasilan program bimbingan
tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh perencanaan yang baik.Bahkan, pada sering kita menemui
masalah atau hambatan ketika menerapkan perencanaan di lapangan.Berbagai kondisi
(variable)yang tidak kita duga sebelumnya dapat saja menjadi factor penghambat keberhasilan
program bimbingan. Oleh karena itu, maka evaluasi program bimbingan pada aspek proses
147
penting dilakukan. Evaluasi program bimbingan pada aspek proses merupakan evaluasi yang
berorientasi pada diagnosis kelebihan atau kelemahan program. Melalui evaluasi proses
diharapkan kelemahan yang ada pada saat pelaksanaan program dapat segera diperbaiki.
Untuk melakukan evaluasi program bimbingan pada aspek proses, maka kita perlu untuk
memahami konsep evaluasi program bimbingan pada aspek proses, serta prosedur
pelaksanaannya. Untuk memudahkan anda memahami evaluasi program bimbingan pada aspek
proses, anda akan diberikan contah hasil evaluasi program bimbingan pada aspek proses.
C. KONSEP
Banyak ahli yang berpendapat bahwa evaluasi proses penting dilakukan. Stufflebeam
dalam model evaluasi CIPP yang dikembangkannya menyebutkannya sebagai komponen proses
(process). Istilah lain untuk evaluasi proses disampaikan oleh Scriven yang menyebutnya sebagai
evaluasi formative. Gysbers menggunakan istilah programevaluation untuk evaluasi terhadap
aspek proses dalam program. Ahli evaluasi yang juga dan bahkan sangat menekankan evaluasi
proses adalah Stake yang mengemukakan evaluasi responsive. Meskipun istilah evaluasi proses
yang digunakan para ahli evaluasi berbeda, tetapi sesungguhnya para ahli evaluasi tersebut
sependapat bahwa aspek proses merupakan bagian penting dalam pelaksanaan evaluasi terhadap
suatu program.
Stufflebeam mengatakan bahwa evaluasi proses merupakan pengecekan yang
berkelanjutan atas implementasi perencanaan (Stufflebeam & Shinkfield, 1985:175). Pendapat
Stufflebeam tersebut menegaskan bahwa evaluasi proses merupakan evaluasi yang dilakukan
untuk melihat apakah pelaksanaan program sesuai dengan strategi yang telah direncanakan.
Dalam ungkapan yang lain, evaluasi proses bertujuan untuk mengidentifikasikan atau
memprediksi dalam proses pelaksanaan, seperti cacat dalam desain prosedur atau
implementasinya. Scriven berpendapat bahwa evaluasi proses adalah bagian integral dari proses
perkembangan (pengembangan). Evaluasi ini menyediakan feedback bagi perencanaan dan juga
membangun suatu perbaikan pelaksanaan. Secara umum Scriven mengatakan bahwa evaluasi
proses (formative) dilakukan untuk membantu staf memperbaiki apapun yang mereka laksanakan
atau bangun/kembangkan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa evaluasi proses
bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai dasar memperbaiki program, serta untuk
mencatat, dan menilai prosedur kegiatan dan peristiwa.
148
Bagian terpenting yang harus dipahami dalam evaluasi proses program bimbingan adalah
penekanannya pada usaha perbaikan yang dapat dilakukan berkenaan dengan aspek proses
program bimbingan. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam melaksanakan program bimbingan,
guru bimbingan dan konseling memiliki perencanaan bimbingan yang disebut satuan layanan
(satlan). Meskipun guru bimbingan dan konseling telah membuat satuan layanan dengan baik,
akan tetapi sangat mungkin ketika dilaksanakan, perencanaan tersebut tidak sesuai dengan
harapan guru bimbingan dan konseling. Pada konteks tersebut, maka guru bimbingan dan
konseling perlu untuk menelaah berbagai kelemahan yang terdapat dalam program tersebut, dan
akhirnya dapat menyusun rencana dan melaksanakan program yang lebih baik.
Keberadaan evaluasi proses yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling
sesungguhnya memberikan jaminan bahwa pelaksanaan program bimbingan secara berkelanjutan
mengalami perbaikan terus menerus. Selain itu, dengan adanya evaluasi proses ini perbaikan
terhadap pelaksanaan program bimbingan dapat dilakukan segera, tidak usah menunggu satu
semester atau satu tahun baru melakukan perbaikan. Misalkan saja, guru bimbingan dan
konseling melakukan evaluasi proses pada kegiatan program bimbingan yang dilakukan di satu
kelas. Berdasarkan evaluasi proses yang dilakukan maka metode yang digunakan guru
bimbingan dan konseling dalam program bimbingan tidak efektif. Hal ini terlihat dari siswa yang
pasif, serta minat yang krang mengikuti kegiatan bimbingan. Maka berdasarkan hasil evaluasi
proses tersebut, ketika guru bimbingan dan konseling melaksanakan kegiatan program
bimbingan di kelas yang berbeda, metode yang digunakan sudah mengalami perbaikan.
Usaha perbaikan (didalamnya terdapat identifikasi kelebihan, kelemahan, hambatan)
tesebut tentunya dapat dilakukan apabila guru bimbingan dan konseling memiliki cukup
informasi/data berkenaan dengan kelebihan dan kelemahan program yang dilakukan. Dalam
evaluasi proses ini, guru bimbingan dan konseling perlu memonitor kegiatan, berinteraksi terus
menerus, serta dengan mengobservasi kegiatan. Kegiatan monitoring tentunya memerlukan
berbagai macam instrumen.Pada evaluasi proses, instrument yang dapat digunakan banyak
sekali, seperti misalnya angket, pedoman observasi, tes, dan lain sebagainya.
149
D. PROSEDUR PELAKSANAAN EVALUASI PADA ASPEK PROSES
1. Menentukan Tujuan Evaluasi
Tahap pertama dalam melakukan evaluasi adalah menentukan tujuan evaluasi. Penentuan
tujuan ini merupakan hal yang sangat penting karena berdasarkan tujuan inilah guru BK/konselor
sekolah akan melakukan evaluasi. Tujuan evaluasi secara umum berkaitan dengan dua hal,
pertama berkaitan dengan aspek yang akan dievaluasi dan dengan objek evaluasi. Penentuan
aspek proses, menandakan bahwa guru BK menginginkan program bimbingan dan terlaksana
dengan efektif. Objek evaluasi, yaitu program bimbingan mengarahkan bahwa proses yang
dimaksud terbatas pada lingkup bimbingan. Berdasarkan dua hal itu, maka pada aspek proses
evaluasi bertujuan untuk menggambarkan analisis masalah yang berkaitan dengan komponen
proses, meliputi; kesesuaian antara perencanaan program dengan pelaksanaan.
150
Tabel 9.11
Kriteria Keberhasilan Evaluasi Program Bimbingan Pada Aspek Proses
Komponen Indokator kriteria
Proses Keterlaksanaan program Program terlaksana
Waktu pelaksanaan Sesuai rencana
Pemberian materi bimbingan Siswa merasa puas dengan materi
yang disampaikan
Penggunaan media bimbingan Siswa merasa tertarik dengan media
yang dipilih
Penggunaan metode bimbingan Siswa terlibat aktif Dalam kegiatan
bimbingan
Ketercapaian materi BK Siswa memahami materi yang
disampaikan
151
Tabel 9.12
Perencanaan evaluasi pada aspek proses
Komponen Indikator Sumber Data Teknik Pengumpulan Data
Proses Keterlaksaan program Guru BK Catatan guru BK
Waktu pelaksanaan sesuai Guru BK Catatan guru BK
perencanaan
Pemberian materi Siswa Penyebaran angket dan atau
bimbingan wawancara
Penggunaan metode Siswa Observasi dan atau
bimbingan penyebaran angket dan atau
wawancara
Penggunaan metode Siswa Observasi dan atau
bimbingan penyebaran angket dan atau
wawancara
Ketercapaian materi Siswa Angket/wawancara/angket
5. Menentukan Instrumen Evaluasi
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam evaluasi ini adalah dengan menggunakan
wawancara, angket, review ahli, studi dokumentasi, memberikan tes, serta observasi. Untuk lebih
jelas dibawah ini dapat dilihat mengenai teknik pengumpulan data instrument yang digunakan.
Tabel 9.13
Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data pada aspek proses
Komponen Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan
Proses Catatan guru BK Pedoman observasi, pedoman
studi dokumen, dan pedoman
wawancara
Catatan guru BK Pedoman observasi, angket,
dan pedoman wawancara
penyebaran angket dan atau wawancara Pedoman observasi, angket,
dan pedoman wawancara
Observasi dan atau penyebaran angket dan Pedoman observasi, angket,
atau wawancara dan pedoman wawancara
Observasi dan atau penyebaran angket dan Pedoman observasi, dan
atau wawancara pedoman wawancara
Ketercapaian materi Siswa
152
6. Menentukan Teknik Analisis Data
Aspek proses akan menggunakan teknik analisis data kuantitatif dan kualitatif. Untuk
capaian materi BK, tanggapan siswa terhadap materi, metode, serta media, data dianalisis dengan
menggunakan statistic, deskriptif untuk melihat presentase.
153
BAB X
EVALUASI HASIL DAN PROGRAM BIMBINGAN KONSELING
Setelah anda memahami seluk beluk dan cara melakuakan evaluasi perencanan program
bimbingan, dan evaluasi proses program bimbingan, sekarang anda diajak untuk memahami
seluk-beluk dan cara melakukan evaluasi program bimbingan pada aspek hasil. Aspek hasil
merupakan asapek yang seringkali digunakan oleh banyak orang untuk mengetahui keberhasilan
suatu program. Pada akhirnya kita akan juga stakeholder (siswa, orang tua, wali kelas, kepala
sekolah) ingin mengetahui apakah program bimbingan yang kita selanggarakan memberikan
dampak tertentu pada siswa atau tidak. Evaluasi program bimbingan pada aspek hasil merupakan
evaluasi yang mengukur sejauh mana capaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
program bimbingan.Evaluasi hasil ini dapat memberikan informasi kepada guru BK/konselor
dan juga stakeholder dari program bimbingan, apakah program yang diselenggarakan
memberikan dampak positif pada siswa.
Untuk melakukan evaluasi program bimbingan pada aspek hasil, kita perlu memahami
konsep evaluasi program bimbingan pada aspek hasil, serta prosedur pelakasanaanya. Unutk
memudahkan anda memahami evaluasi program bimbingan pada aspek hasil, anda juga akan
diberi contoh hasil evaluasi program bimbingan pada aspek hasil.
A. KONSEP
Evaluasi hasil adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan, dan
menilai pencapain program (Hadi & Mutrofin,2006: 176).Feedback atas pencapaian/prestasi ini
penting selama pelaksanana program dan sebagai sebuah kesimpulan.Evaluasi hasil juga
bertujuan mengumpulkan deskripsi dan penilaian terhadap luaran (outcome) dan menghubungan
itu semua dengan objektif, tujuan, input, dan informasi proses, serta unutk menginterpretasikan
kalayakan dan keberhargaan program.Evaluasi hasil dapat dilakukan dengan membuat defenisi
operasional dan mengukur kriteria objektif, melalui pengumpulan data dari siswa.
Evaluasi hasil program bimbingan dan konseling khususnya pada program bimbingan
tentunya berbeda dengan evaluasi hasil dalam pembelajaran bidang studi.Hasil yang hendak
dicapai melalaui pembelajaran biadan studi umumnya bersifat jangka pendek, artinya dalam
jangka waktu 6 bulan atau satu (1) semester perubahan kompetensi dapat dilihat.Kondisi ini
154
berbeda dengan hasil yang diharapakan dalam program bimbingan dan konseling khususnya
program bimbingan. Pada program bimbingan dan konseling khususnya program bimbingan
pembentukan kompetensi yang dikehendaki melalui program bimbingan dicapai melalui sebuah
proses. Gysbers (2006) menyatakan bahwa pada program bimbbingan (guidance curriculum)
kompetensi yang akan dibentuk melalui tiga tahapan, yaitu perceptualization ,conceptualization,
generalization (baca penjelasanya pada BAB II menganai objek evaluasi). Beradarakan
pemahaman bahwa pembentukan kompetensi tersebut melalui sebuah proses, maka aspek hasil
bukanlah merupakan aspek tungga. Artinya kita masih dapat membagi lagi aspek hasil program
bimbingan menjadi beberapa bagian berdasarakan jangka waktunya.
Beberapa hali mengajukan berbagai konsep menganai hal ini.Pusat kurikulium (2004)
mengajukan adanya penilaian segera (laiseg), penilaian jangka pendek (laijapen), dan penilaian
jangka panjang (laijapan).Menurut pandangan penulis.Melakukan eavaluasi terhadap hasil segera
setelah program bimbingan dilakukan sulit untuk diterpakan.Hal ini dikarenakan kompetensi
belum Nampak secra jelas.Penulis berpandapat bahwa evaluasi pada aspek hasil segera cocok
ditunjukan unutk melihat sejauh mana tanggapan siswa terhadap kegiatan program bimbingan
yang dilaksanakan, bukan untuk melihat capaian hasilnya. Sehingga untuk evaluasi segera
penulis lebih melihatanya sebagai evalausi proses.
Sama halnya dengan evaluasi hasil segera, melakukan evaluasi hasil jangka panjang juga
sulit dilakukann hal ini tentunya disebabakan oleh beberapa factor.Pertama, evaluasi ini sulit
dilakukan karena guru BK/Konselor memiliki keterbatasan waktu.Misalkan saja guru
BK/Konselor di SMA X menyelenggarakan suatu program bimbingan yang bertujuan agar siswa
dapat memilih jurusan diperguruan tinggi secara tepat. Untuk menetahui hasil dari program ini,
tentunya koselor harus menunggu beberapa waktu., setahun misalnya untuk mengetahui apakah
siswa merasa cocok atau puias dengan jurusan yang ia pilih diperguruan tinggi. Itu artinya guru
BK/konselor harus melakukan evaluasi hasil pada siswa yang telah lulus SMA. Meskipun
evaluasi ini tidak mudah dilakukan, akan tetapi menurut hemat penulis, evaluasi hasil jangka
panjang ini penting dilakukan karena ini juga menjadi ukuran keberhasilan dan juga tingakat
akuntabilitas program bimbingan itu sendiri.
Evalausi hasil yang paling mungkin dilakukan oleh guru BK/ konselor adalah evaluasi
hasil jangka pendek. Evaluasi hasil jangka pendek ini dilakukan melalui pengukuran terhadap
berbagai tujuan program dalam satu semester. Evaluasi hasil jangka pendek ini memiliki dua
155
manfaat sekaligus.Pada satu sisi, evaluasi hasil jangka pendek dapat memberikan informasi
mengenai apakah program bimbingan yang dilakasanakan memberikan dampak pada siswa. Pada
sisi yang lain, hasil dari evaluasi ini dapat digunakan sebnagai bahan informasi mengenai sejauh
mana perkembangan siswa. Artinya melauai evaluasi hasil ini, sbagai guru BK/konselor kita
dapat melaporkan sejaiuh mana capaian kompetensi siswa yang kita berikan program/layanan
pada periode tertentu (misalnya dalam satu semester). Kompetensi yang akan dibentuk melalui
program bimbingan (guidance curriculum)dikembangakan berdasarakan tugas perkembangan.
Kemudian dijabarakan menjadi kompetensi-kompetensi (competences) yang akan menghasilkan
tujuan-tujuan layanan (objektif). Erford (2004) mengajukan struktur hierarki sistem kompetensi
dalam kurikulum bimbingan sebagai berikut.
S1 S1
C1 C2 C3 C4 C5
01 02 03 04 05 06 06 07 08 09 C10 C11
Berdasarkan bagan di atas maka dalam program bimbingan keseluruhan objektif atau
tujuan layanan dibagi dalam tiap semester sesuai dengan tingkatannya. Evaluasi program
bimbingan pada sapek hasik kemudian dilakukan pada akhir semester untuk mengukur
pencapaian siswa pada setiap objektif atau tujuan layanan tersebut., sehingga tiap semester
pencapaian kompetensi dan tujuan layanan yang dilaporkan oleh guru BK/konselor berbeda-beda
sesuai dengan kompetensi atau tujuan layanan pada tiap semester.
156
B. PROSEDUR PELAKASANAAN EVALUASI HASIL PROGRAM BIMBINGAN
1. Menentukan Tujuan Evalausi
Tahap peretama dalam melakukan evalausi adalah menetukan tujuan evalausi. Penentuan
tujuan ini merupakan hal yang sangat penting karena berdasarkan tujuan inilah guru BK/konselor
sekolah akan melakukan evaluasi. Tujuan evaluasi secara umum berkaitan dengan dua hal,
pertama berkaitan dengan aspek yang akan dievaluasi dan dengan objek evaluasi. Penentuan
aspek hasil menandakan bahwa guru BK ingin mengetahui dampak dari program.Objek evaluasi,
yitu program bimbingan mengarahakan bahwa hasil yang dimaksud terbatas pada lingkup
bimbingan.Artinya kompetensi yang diukur adalah kompetensi dalam program
bimbingan.Berdasarakan dua hal itu, maka pada aspek hasil ini evaluasi bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat program bimbingan memeberikan pengharu pada pencapaian
kompetensi/tujuan layanan yang telah ditetapkan.
157
yang mengikuti program dan yang tidak mengikuti program, menanyakan pada siswa, orang tua,
atau guru, serta dengan membandingkan skor pre-test dan post-test (Schimdt, 1999: 264).
Gysbers (2006) manyatakan bahwa program bimbingan (quidance curriculum) adalah
program yang diselengagarakan untuk membantu siswa mancapai tugas
perekembanganya.Erford (2004) menjabarakan tugas perkembangan menjadi bagian yang lebih
kecil yaitu kompetensi dan objektif (tujuan layanan).
Berdasarakan pendapat para ahli di atas, maka kriteria yang digunakan untuk
menentukan evektifitas program bimbingan pada aspek hasil adalah sebagai berikut;
Tabel 10.1
Kriteria Keberhasilan Program Bimbingan Pada Aspek Hasil
komponen Indicator Kriteria
Hasil Tujuan layanan tercapai Terdapat perebedaan pencapaian
kompetensi/ tujuan layanan sebelum
dan sesudah diberikan program
bimbingan
Sebelum program
EVALUASI dilaksanakan
Pencapaian
PROGRAM PERBEDAAN
kompetensi/tujuan
BMBINGAN
layanan
PADA ASPEK Sesudah program
HASIL dilaksanakan
Bagan 10.2 Desain Evaluasi Perencanaan Program Bimbingan pada aspek hasil
158
4. Meyusun Tabal Perencanaan Evaluasi
Berdasarakan tujuan evaluasi yang sudah kita tetapkan, maka kita menyusun tabel
perencanan evaluasi.Tabel perencanan evaluasi terdiri atas empat kolom yang terdiri atas, kolom
komponen, kolom indicator, kolom sumber data, dan kolom teknik pengumpulan
data.Komponen atau aspek evaluasi terdiri atas empat komponen yaitu konteks, input, proses,
dan produk.Berdasarakan keempat komponen tersebut, maka kita dapat menjabarakan indicator-
indikator. Kemudian, berdasarkan indicator tersebut maka kita dapat menentukan sumbar
datanya dan cara bagaimna mengumpulkan data tersebut. Lebih jelasnya bagaimana tabel
perencanan evaluasi disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 10.2
Perencanan evaluasi pada aspek hasil
Komponen Indicator Sumber data Teknik pengumpulan
data
Produk Pencapaian siswa Memberikan instrument
kompetensi/tujuan layanan tingkat pencapaian hasil
Tabel 10.3
Teknik Pengumpulan Data Dan Instrumen Pengumpulan Data Pada Aspek Hasil
Komponen Teknik pengumpulan data Instrumen yang digunakan
Hasil Member angket mengenai pancapaian Angket pencapaian kompetensi/
kompetensi/ tujuan layanan di awal tujuan layanan program
semester dan akhir semester bimbingan
159
C. PENYUSUNAN LAPORAN EVALUASI HASIL PROGRAM BIMBINGAN
Evaluasi hasil program bimbingan merupakan evaluasi yang memeiliki dua
manfaat.Pertama, evaluasi memberikan informasi capaian tujuan program secara
umum.Informasi ini dapat menjadi dasar menetukan evektifitas program.Kedua, hasil evaluasi
dapat dijadikan dasar untuk membuat laporan perkembangan siswa.Artinya, berdasarakan hasil
evaluasi, kita dapat mengetahui sejauh mana capaian siswa terhadap berbagai kompetensi (tujuan
layanan) yang ingin dibentuk.
Berdasarkan dua manfaat di atas, berdasarakan evaluasi hasil program bimbingan yang
dilakukan, kita dapat membuat dua laporan hasil evaluasi, meliputi; laporan evalausi kelompok,
serta laporan perkembangan siswa (individual). Laporan kelompok merupakan laporan hasil
evaluasi yang berisi gamabran umum (kelompok) pencapaian tujuan program bimbingan dalam
satu semester. Laporan hasil evaluasi, analisis data hasil evaluasi, serta keputusan.
Laporan perkembangan siswa (individual) adalah laporan yang berisi perkembangan siswa
setelah diberikan program bimbingan.Laporan perekembangan ini berisi pencapaian siswa
terhadap kompetensi (tujuan layanan) pada program bimbingan dalam satu semester.Untuk lebih
jelasnya mengenai laporan kelompok dan laporan perkembangan siswa (individual) perhatiakan
contoh berikut.
.
EVALUASI PROGRAM KOSELING
160
jawab utuk melaporkan keberhasilan konseling yang dilakukan kepada pihak yang
berkepetingan, seperti kepala sekolah, orang tua, dan lain sebagainya.
Pada bab viiii ini kita akan membahas mengenai evaluasi program koseling. Pembahasan
akan dibagi menjadi tiga, yaitu kovsep evaluasi program konseling, prosedur pelaksanaan
evaluasi program koseling, serta contoh evaluasi program konseling.
161
yang menjadi kliennya. Laporan sebagai bentuk tanggung jawab konselorpada apa yang
dilakukannya.
2. Menetapkan kriteria
Sebuah program akan dikatakan berhasil dan sukses apabila memenuhi kriteria
keberhasilan yang ditettapkan. Membahas mengenai kriteria keberhasilan sebagai patokan
evaluasi tidak akanterlepas membahas standar, dan indicator. Makna ketiga konsep tersebut
tentunya tidak sama, akan tetapi memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Mutrofin & Hadi
162
menjelaskan kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap basis penting untuk
melakukan riset evaluasi pada program tersebut (Hadi & Mutrofin, 2006:77). Pendapat ini
senada dengan apa yang disampaikan oleh Winkel dan Hastuti bahwa kriteria adalah patokan
dalam evaluasi program. Berbeda dengan kriteria, standar memiliki penekanannya pada
pertanyaan “seberapa banyak kriteria penting telah mencukupi”. Sementara indicator merujuk
pada ukuran yang digunakan untuk mengumpulkan data sehubungan dengan performansi nilai
kriteria (valued criteria).
Kriteria merupakan karakteristik program yang dianggap sebagai basis relevan dan penting
untuk melakukan riset evaluasi.Pemberian nilai pada kriteria didasarkan pada keyakinan,
pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, dan hasil kajian teoritis.
Menetapkan kriteria sebagai patokan dalam evaluasi program memang tidak mudah.
Schimid menjelaskan empat (4) cara untuk menentukan kriteria dalam evaluasi outcome yaitu
menggunakan pencapaian melalui presentase, membandingkan pencapaian siswa yang mengikuti
program dan yang tidak mengikuti program, menanyakannya pada siswa, orang tua, dengan
membandingkan skor pre-test dan post-test (Schimdt, 1999:26). Gysbers mengatakan bahwa
tidak ada aturan yang keras dan cepat untuk menghasilkan sebuah standard performance.
Meskipun tidak ada aturan yang keras, akan tetapi biasanya standar tersebut dahasilkan melalui
penilaian ahli berdasarkan pengalaman anggota staf.
Stone & Shertzer dalam Winkel & Hastuti mengemukakan kriteria yang sering digunakan
dalam evaluasi program bimbingan dan konseling adalah taraf keberhasilan siswa belajar di
perguruan tinggi kemudian hari, perasaan puas dalam memangku jabatan di masyarakat, aspirasi
realistis dalam penyusunan rencana masa depan, frekuensi pengumngkapan masalah berkurang,
hasil belajar meningkat, keterlibatan siswa dalam kegiatan akademik meningkat, siswa
bermasalah berkurang, dan lebih banyak siswa yang memanfaatkan layanan bimbingan (Winkel
& Hastuti, 24006:13). Rosecrance, Hinderman dalamGysbers mengidentifikasikan outcomes
siswa dalam program bimbingan dan konseling, yaitu (Gysbers & Henderson:69):
1. Lebih sedikit siswa yang drop out
2. Adanya peningkatan dalam standar beasiswa
3. Moral yang lebih baik
4. Kehidupan sekolah yang lebih baik
5. Siswa yang mengulang lebih sedikit
163
6. Siswa lebih mendapatkan informasi lebih banyak mengenai masa depan
7. Kepuasan lulusan dalam penyesuaian terhadap masyarakat, pekerjaan, serta pendidikan
lanjutan di universitas
8. Kasus pelanggaran disiplin lebih sedikit
9. Lebih cerdas dalam menseleksi materi
10. Kebiasaan belajar yang baik
Sejalan dengan Rosescrance, dan Hinderman, Hadi Suparto mengemukakan kriteria
keberhasilan program konseling sebagai berikut (Suprapto, 1990:36).
1. Kegagalan berkurang
2. Jumlah masalah ketertiban berkurang
3. Penggunaan layanan konseling meningkat jumlah siswa yang mengganti programnya
berkurang
4. Jumlah siswa yang mengganti programnya berkurang
5. Kelayakan tujuan-tujuan vokasional
6. Jumlah putus sekolah berkurang
7. Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler meningkat
8. Banyaknya penempatan kerja
9. Taraf kepuasan kerja
10. Wawasan dan pengertian diri meningkat
11. Penerimaan diri dan tahu diri meningkat
12. Kepuasan diri meningkat
13. Penerimaan dan penghargaan terhadap orang lain meningkat
14. Asumsi klien terhadap tanggung jawab
15. Perbaikan jenjang
16. Kriteria yang eksplisit dalam berbagai tes, seperti TAT, Discomfort-Relief quotient
Berdasarkan para ahli tersebut, kita dapat melihat bahwa para ahli tersebut, kita dapat
melihat bahwa para ahli menetapkan kriteria keberhasilan program konseling berdasarkan
tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam konseling.Berbagai kriteria diatas tentunya tidak harus
digunakan semuanya apabila kita ingin melakukan evaluasi terhadap program konseling yang
kita selenggarakan.Kriteria yang kita gunakan sangat tergantung pada apa tujuan-tujuan (goal)
yang akan dicapai melalui proses konseling tersebut. Boleh jadi konseling yang anda
164
selenggarakan bertujuan untuk menurunkan tingkat keterlambatan di sekolah anda, maka kriteria
yang anda gunakantentunya harus sejalan dengan itu.
Menetapkan tujuan konseling memang bukan merupakan hal yang mudah. Karena bisa
jadi, satu klien dengan klien yang lain memiliki tujuan yang berbeda untuk masalah yang
dihadapinya. Dengan demikian, memang penentuan kriteria akan sangat bergantung pada
pengenalan yang baik terhadap tujuan (goals)dalam konseling tersebut. Rogers dalam
Hadisuparto memberikan ilustrasi mengenai kriteria (Suparto:37).
“Sementara banyak bukti klinis bahwa seringkali tingkah laku berubah selama atau
sesudah terapi, sukar untuk membuktikan bahwa perubahan itu sebagai akibat dari terapi atau
bahwa perubahan itu menggambarkan perbaikan.Perbaikan bagi seorang klien, mungkin berarti
kesediaan baru untuk menerima perbedaan pendapat istrinya, sedangkan bagi klien lain,
perbaikan bole jadi berarti berkurangnya pertengkaran dengan istrinya”.
Pernyataan Rogers tersebut memberikan gambaran bagi kita bahwa tujuan (goals)
merupakan sesuatu yang unik bagi setiap klien. Sehingga, penetapan tujuan yang menjadi yang
menjadi kriteria dalam evaluasi program konseling didapat melalui interaksi konselor dank lien
pada proses konseling.
Kriteria yang digunakan dalam koseling hendaknya bersesuaian dengan tujuan-tujuan
konseling.Hadi Suparto menegaskan bahwa dalam menentukan kriteria berdasarkan tujuan maka
perlu untuk memperhatikan bahwa kriteria atau tujuan perlu dibuat dalam bentuk pernyataan
yang operasional.Dalam hal ini kriteria yang kita tetapkan tentunya harus bisa diamati dan bisa
diukur.
Berdasarkan pendapat ahli diatas, maka kriteria yang digunakan untuk menentukan
efektifitas program konseling adalah sebagai berikut;
165
Tabel 10.4
Kriteria Keberhasilan Program Konseling
Indikator Kriteria
166
Tabel 10.5
Perencanaan evaluasi program konseling
167
F. PENYUSUNAN LAPORAN EVALUASI PROGRAM KONSELING
Penyusunan laporan hasil evaluasi program konseling sedikit berbeda dengan penyusunan
laporan evaluasi sebelumnya. Laporan hasil evaluasi program konseling dilakukan tidak secara
kelompok, akan tetapi secara individual. Guru BK (evaluator) menyusun laporan berdasarkan
kegiatan kegiatan konseling yang dilakukannya terhadap siswa. Untuk lebih jelasnya,
perhatikanlah contoh kegiatan evaluasi program konseling dan laporannya.
Bu Sandra adalah seorang guru BK/Konselor di SMA Kenyamanan.Bu Sandra sekarang
sedang menangani siwa kelas XI yang bernama XX karena sering terlambat datang ke
sekolah.Menurut catatan pada daftar keterlambatan, dalam dua bulan terakhir, XX sudah
terlambat sebanyak 20 kali atau sekitar 50%. Untuk itu, maka Bu Sandra memanggil XX untuk
mendiskusikan masalahnya sekaligus membuat perencanaan konseling termasuk didalamnya
perencanaan evaluasi.berdasarkan wawancara awal yang dilakukan (in take interview) maka
terlihat bahwa XX sering terlambat karena ia baru dua bulan pindah rumah yang jauh, sehingga
ia tidak terbiasa bangun lebih pagi dari biasanya. Untuk itu, maka ditentukanlah tujuan konseling
untuk membuat XX bangun lebih pagi, sehingga ia datang tepat waktu di sekolah. Untuk itu,
maka Bu Sandra menggunakan pendekatan behavioral dengan teknik intermiten untuk membantu
siswa mengatasi masalahnya.Konseling direncanakan dilakukan dalam 4 kali pertemuan.
Dengan berbagai instrument yang telah disiapkan, maka Bu Sandra, maka Bu Sandra siap
melakukan evaluasi terhadap program konseling yang ia selenggarakan. Berdasarkan
pengumpulan data yangdilakukan Bu Sandra, diketahui bahwa siswa XX sudah dapat terbuka
pada pertemuan pertama.Ini tampak dari berbagai macam alasan yang dikemukakan oleh XX
berkenaan dengan masalah keterlambatannya. Keterbukaan siwa XX juga didorong oleh ruang
konseling yang kedap suara sehungga siswa XX tidak takut suaranya terdengar oleh orang lain
dalam ruangan. Bu Sandra lalu menelaah tahapan konseling yang ia laksanakan.
168
BAB XI
SUPERVISI BIMBINGAN KONSELING
Untuk dapat melaksanakan tugasnya tersebut, kepala sekolah tentu harus menguasai
berbagai prinsip, metode, dan teknik supervisi, sehingga dapat menentukan strategi, pendekatan,
atau model supervisi yang cocok untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau program. Materi
ini merupakan salah satu bahan yang ditujukan bagi supervisor untuk menguasai kompetensi
tersebut.
169
Kompetensi supervisi adalah kemampuan kepala sekolah dalam melaksanakan kepala
sekolah akademik, yakni menilai dan membina guru/konselor dalam rangka mempertinggi
kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, agar berdampak terhadap kualitas hasil
belajar klien.
Inti dari kompetensi supervisi adalah membina guru/konselor dalam meningkatkan mutu
proses pembelajaran. Oleh sebab itu, sasaran supervisi adalah materi pokok dalam proses
pembelajaran, penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi pembelajaran, prnggunaan media
dan teknologi informasi dalam pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, serta
penelitian tindakan kelas. Oleh karena itu, tujuan umum supervisi ini adalah menerapkan teknik
dan metode supervisi di sekolah, serta mengembangkan kemampuan dalam menilai dan
membina guru/konselor untuk mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya
agar berdampak terhadap kualitas hasil belajar klien.
Berkaitan dengan kemampuan supervisi seorang kepala sekolah, maka dapat diuraikan
kemampuan dan keahlian yang wajib dimiliki seorang kepala sekolah, yaitu:
170
C. Pendekatan dalam Supervisi
Menurut Sahertian (Sahertian, 2000, ada tiga pendekatan yang digunakan dalam
melaksanakan supervisi, yaitu sebagai berikut;
171
D. Materi dan Fungsi Supervisi Bk
Guru pembimbing/konselor bertugas menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling di sekolah, sesuai dengan petunjuk pelaksanaan BK. Sebagai pelaksana utama, tenaga
inti, tugas guru pembimbing/konselor adalah sebagai berikut;
1. Merencanakan program bimbingan.
2. Melaksanakan seluruh pelayanan bimbingan.
3. Menilai proses dan hasil pelayanan bimbingan serta kegiatan pendukungnya.
4. Melaksanakan kegiatan pendukung bimbingan.
5. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian.
6. Mengadministrasikan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan.
7. Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan dalam pelayanan bimbingan.
Secara khusus, dapat dikatakan bahwa materi supervisi konseling sekolah mencakup dua
hal. Pertama, layanan dan orientasi pokok, yang meliputi layanan orientasi, informasi,
bimbingan penempatan dan penyaluran, bimbingan belajar, konseling kelompok, dan konseling
perorangan.
Kedua, kegiatan pendukung bimbingan, yang meliputi aplikasi instrumentasi bimbingan,
penyelenggaraan himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus.
Sedangkan, fungsi dari supervisi BK adalah memonitor, mencatat, memberi dukungan,
mengukur dan menilai kinerja, serta mendorong untuk merefleksi. Fungsi-fungsi tersebut
kemudian termanifestasikan dalam kegiatan berikut;
1. Mengontrol kegiatan-kegiatan dari para personel bimbingan, yaitu bagaimana
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.
2. Mengontrol adanya kemungkinan hambatan-hambatan yang ditemui oleh para personel
bimbingan dalam melaksanakan tugas.
3. Memungkinkan dicarinya jalan keluar terhadap hambatan-hambatan dan permasalahan-
permasalahan yang ditemui.
4. Kemungkinan terlaksananya program bimbingan secara lancar ke arah pencapaian tujuan
sebagaimana yang telah ditetapkan.
172
BAB XII
METODE DAN PENGEMBANGAN INSTRUMEN SUPERVISI
A. Pengertian Supervisi BK
Secara etimologi, supervisi berarti pengawasan, penilikan, dan pembinaan. Sedangkan,
secara termonologi, supervisi adalah bantuan berbentuk pembinaan yang diberikan kepada
seluruh staf sekolah untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang lebih baik.
Setelah mengetahui supervisi, harus diketahui juga pengertian dari bimbingan, baik secara
umum maupun khusus. Bimbingan bersifat umum merupakan usaha-usaha untuk memberikan
penerangan atau pendidikan agar yang menerima bimbingan lebih mengetahui, menyenagi, dan
bersikap positif terhadap apa yang dibimbingkan. Sedangkan, bimbingan yang bersifat khusus
adalah bimbingan yang diberikan guru, pembimbing, atau konselor kepada anak-anak yang
dalam perkembangan pendidikannya memperlihatkan kelambatan atau hambatan/kesulitan.
Supervisi bimbingan dan konseling merupakan satu relasi antara supervisor dan konselor
(supervisee), di mana supervisor (konselor senior) memberi dukungan dan bantuan untuk
meningkatkan mutu kinerja profesional supervisee yang bertumpu pada satu prinsip, yaitu
mengakui setiap manusia mempunyai potensi untuk berkembang.
Dari penjelasan yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa supervisee konseling
merupakan pengawasan dan pembinaan yang diberikan kepada pembimbing atau konselor untuk
membantu anak-anak yang dalam tahap perkembangan pendidikannya lambat, sehingga situasi
belajar-mengajar menjadi lebih optimal.
Adapun, program kegiatan supervisee bukan merupakan konseling/psikoterapi, pemaksaan
(imposing), kritik negatif (negative criticism), memperdayakan (disempowering), pertemanan
(friendship), mencari kesalahan (fault finding), hukuman (punishment), maupun untuk konselor
yang baru (vovicecounselor).
173
aspek pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung (supporting)
terlaksananya konseling.
Ada beberapa tujuan yang diharapkan tercapai dalam supervisi BK di sekolah, yaitu
meningkatkan kompetensi profesional konselor, meningkatkan kesadaran dan identitas
profesional, mendorong perkembangan pribadi dan profesional, mempromosikan kinerja
profesional, serta memberikan jaminan mutu terhadap praktik profesional.
Namun demikian, dalam pelaksanaan supervisi BK perlu diperhatikan beberapa prinsip
dasar supervisi BK sehingga proses yang dilakukan bisa terukur dan dipertanggungjawabkan.
Secara garis besar, prinsip supervisi BK ada dua, yaitu:
1. Prinsip Umum
Supervisi harus bersifat praktis, dalam arti dapat dikerjakan sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah.
a. Hasil supervisi harus berfungsi sebagai sumber informasi bagi staf sekolah untuk
pengembangan proses belajar mengajar/bimbingan konseling.
b. Supervisi dilaksanakan dengan mekanisme yang menunjang kurikulum yang berlaku.
2. Prinsip Khusus
Supervisi hendaknya dilaksanakan secara sistematis, objektif, realistis, antisipatif,
konstruktif, dan kreatif.
a. Sistematis artinya supervisi dikembangkan dengan perencanaan yang matang sesuai
dengan sasaran yang diinginkan.
b. Objektif artinya supervisi memberikan masukkan, sesuai dengan aspek yang terdapat
dalam instrumen.
c. Realistis artinya supervisi didasarkan atas kenyataan yang sebenarnya, yaitu pada
keadaan hal-hal yang sudah dipahami dan dilakukan oleh para staf sekolah.
d. Antisipatif artinya supervisi diarahan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang
mungkin akan terjadi.
e. Konstruktif artinya supervisi memberikan saran-saran perbaikan kepada yang
sisupervisikan untuk berkembang sesuai dengan ketentuan atau aturan yang berlaku.
f. Kreatif artinya supervisi mengembangkan.
174
C. Metode Supervisi
Terdapat dua metode supervisi yang dapat dilakukan kepala sekolah. Metode-metode
tersebut dibedakan antara yang bersifat individual dan kelompok yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan.
1. Metode supervisi individual adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada
konselor tertentu yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. Supervisor
di sini hanya berhadapan dengan seorang konselor yang dipandang memiliki persoalan
tertentu.
2. Metode supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang
ditujukan kepada dua orang atau lebih. Konselor-konselor yang diduga, sesuai dengan
analisis kebutuhan memiliki masalah, kebutuhan, dan kelemahan-kelemahan yang sama
dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu. Kemudian, mereka diberikan layanan
supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi.
D. Teknik-Teknik Supervisi
Ada bermacam-macam teknik supervisi dalam upaya pembinaan kemampuan konselor
yang meliputi pertemuan staf, kunjungan supervisi, bulletin profesional, perpustakaan
profesional, laboratorium kurikulum, penilaian konselor, demonstrasi bimbingan, pengembangan
kurikulum, pengembangan petunjuk bimbingan, darmawisata, lokakarya, kunjungan antarkelas,
bacaan profesional, dan survey masyarakat-sekolah. Sedangkan, menurut Gwyn, teknik-teknik
supervisi tersebut bisa dikelopokkan menjadi dua kelompok, yaitu teknik supervisi individual
dan teknik supervisi kelompok.
1. Teknik Supervisi Individual
Teknik-teknik supervisi yang dikelompokkan sebagai teknik individual adalah kunjungan
kelas, observasi kelas, pertemuan individual, kunjugan antarkelas, dan menilai diri sendiri.
Berikut ini dijelaskan pengertian-pengertian dasarnya secara singkat satu per satu.
a. Kunjungan Kelas
Kunjungan kelas adalah teknik pembinaan konseloroleh kepala sekolah dan pembina
lainnya dalam rangka mengamati pelaksanaan proses belajar-mengajar sehingga
memperoleh data yang diperlukan dalam rangka pembinaan konselor. Kunjungan
175
kelas ini bisa dilaksanakan dengan atau tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, dan bisa
juga atas dasar undangan dari konselor itu sendiri.
b. Observasi Kelas
Secara sederhana, observasi kelas berarti melihat dan memperhatikan secara teliti
terhadap gejala yang tampak. Observasi kelas adalah teknik observasi yang dilakukan
oleh supervisor terhadap proses bimbingan yang sedang berlangsung. Secara umum,
aspek-aspek yang diamati selama proses bimbingan yang sedang berlangsung adalah:
1) Usaha-usaha dan aktivitas konselor-klien dalam proses bimbingan,
2) Cara penggunaan media bimbingan,
3) Reaksi mental para klien dalam proses belajar-mengajar, dan
4) Keadaan media bimbingan yang dipakai dari segi meterilny.
c. Pertemuan Individual
Pertemuan individual adalah satu pertemuan, percakapan, dialog, dan tukar pikiran
antara Pembina atau supervisor dengan konselor, konselor dengan konselor,
mengenai usaha meningkatkan kemampuan profesional konselor. Dalam percakapan
individual ini, supervisor harus berusaha mengembangkan segi-segi positif konselor,
mendorong konselor mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan memberikan pengarahan
hal-hal yang masih meragukan, sehingga terjadi kesepakatan konsep tentang situasi
bimbingan yang sedang dihadapi.
d. Kunjungan Antarkelas
Kunjungan antarkelas dapat juga digolongkan sebagai teknik supervisi secara
perorangan. Konselor berkunjung dari satu kelas ke kelas lain dalam lingkungan
sekolah itu sendiri. Dengan adanya kunjungan antarkelas ini, konselor akan
memperoleh pengalaman baru dari teman sejawatnya mengenai pelaksanaan proses
bimbingan, pengelolaan kelas, dan sebaginya.
e. Menilai Diri Sendiri
Menilai diri sendiri merupakan satu teknik individual dalam supervisi pendidikan.
Penilaian diri sendiri merupakan satu teknik pengembangan profesional konselor.
Penilaian diri sendiri memberikan informasi secara objektif kepada konselor tentang
peranannya di kelas dan memberikan kesempatan kepada konselor untuk mempelajari
metode. Nilai diri sendiri merupakan tugas yang tidak mudah bagi konselor. Untuk
176
mengukur kemampuan mengajarnya, konselor harus menilai murid-muridnya, juga
menilai dirinya sendiri.
177
Keempat, Perasaan konselor kepada klien. Tujuan dari level supervisi ini adalah
mengidentifikasi dan memahami reaksi conter-transference konselor dan isu personal yang
dirangsang kembali melalui kontak dengan klien.
Kelima, sesuatu yang terjadi saat ini dan sekarang antara supervisor dan yang diawasi.
Hubungan yang terjadi dalam sesi supervisi mungkin memaparkan karakteristik yang mirip
dengan hubungan antara konselor dan kliennya.
Keenam, perasaan pengawas dalam merespons dari klien yang diawasi juga dapat
memberikan panduan beberapa cara untuk melihat kasus yang tidak secara sadar diartikulasikan
oleh pengawas atau yang diawasi, sekaligus memberikan kontribusi terhadap pemahaman
kualitas hubungan pengawas dengan yang di awasi. Sementara itu, dampak supervisi konseling
yang tidak efektif adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada belikan dari orang yang kompeten, apakah praktik profesional telah memenuhi
standar kompetensi dari kode etik,
2. Ketinggalan IPTEK dalam BK,
3. Kehilangan identitas profesi BK,
4. Kejenuhan profesional (bornout),
5. Pelanggaran kode etik yang akut,
6. Mengulang kekeliruan secara masif,
7. Erosi pengetahuan yang sudah didapat dari pendidikan prajabatan, dan
8. Siswa dirugikan, tidak mendapatkan layanan BK sebagaimana mestinya.
178
dan memprogram supervise akademik, selalu diperlukan instrumen pengukuran. Proses supervise
akademik dapat digambarkan sebagai berikut:
Langkah 2:
Pengamatan
Langkah 1: Pertemuan
Prapengamatan
Penilaian Proses
Pengamatan
Langkah 4: Pertemuan
Setelah Pengamatan Langkah 3: Analisis
Hasil Pengamatan
Langkah 5: Hasil
Pengamatan Laporan
Penjelasan:
Langkah 1: Pertemuan Prapengamatan
Kepala sekolah berusaha menjelaskan pada guru/konselor tentang kegiatan
spesifik di kelas. Berunding dengan guru/konselor untuk membangun saling
pengertian dan kemudahan komunikasi sehingga kunjungannya dapat diterima
dan tidak menakutkan. Ia dapat mendiskusikan dan memutuskan hal-hal yang
akan disupervisi, mulai dari metode, pengelolaan kelas, sampai evaluasi
pembelajaran.
Langkah 2: Pengamatan
Setelah sebelumnya melakukan pertemuan serta berdiskusi dengan
guru/konselor, kepala sekolah harus memutuskan hal-hal yang harus diamati dari
kejadian-kejadian yang ada, misalnya:
a. Apakah guru/konselor secara konsisten mendominasi proses konseling
sepanjang waktu?
179
b. Apakah ia melibatkan klien dalam proses?
c. Apakah metodenya efektif?
d. Apakah tayangan dalam alat bantu audio visual dan alat bantu
bimbingan/konseling lainnya relevan dengan materi BK?
e. Seberapa banyak aplikasi proses bantuan untuk kehidupan klien?
180
B. Jenis-Jenis Instrumen Supervisi
Jenis supervisi yang dibutuhkan oleh konselor adalah supervisi klinis, supervisi
pengembangan, dan supervisi administrasi. Tujuan dari supervisi klinis adalah peningkatan
keterampilan profesional dan fungsi-fungsi etis konselor. Sumber data yang mendukung
supervisi klinis meliputi pengamatan atas konselor yang sedang menerapkan keterampilan
profesional konseling dan nilai-nilainya. Dalam setting sekolah, peluang khas pengumpulan data
untuk mendukung supervisi klinis cukup tersedia, seperti rekaman langsung, observasi,
presentasi kasus, dan konsultasi. Para supervisor klinis harus seorang konselor senior yang
mempunyai kompetensi memadai tentang teori dan teknik konselor pada umumnya.
Sementara itu, tujuan supervisi pengembangan adalah peningkatan program bimbingan
konseling dan pengejaran perkembangan profesional konselor. Sumber data yang mendukung
supervisi pengembangan adalah rekaman-rekaman tujuan dan aktivitas yang dikerjakan untuk
mencapai tujuan dan ukuran mencapai tujuan, rencana program, dan implementasi, self report,
serta survey kepuasan konsumen. Supervisi perkembangan yang ideal dilakukan oleh konselor
yang kompeten, di mana berasal dari sistem yang sama seperti di supervisi.
Dalam konteks peningkatan mutu profesional, konselor ketiga jenis supervisi inilah yang
mempunyai peranan amat penting. Kinerja konselor akan terganggu ketika supervisi administrasi
dilakukan kepala sekolah atau pengawas yang tidak mempunyai kompetensi dan latar belakang
bimbingan konseling. Sebab, dia tidak memahami peran dan fungsi konselor atau standar-standar
etik yang dipegang teguh oleh konselor.
181
Supervisor yang kaya metodologi diperkirakan lebih mampu menghadapi situasi yang
mendesak dengan menggunakan berbagai macam aktivitas dan seperangkat teknik eklektik yang
tepat. Supervisor dapat merespons situasi yang muncul dengan penuh percaya diri, serta dapat
merencanakan dan melaksanakan program supervisi dengan menggabungkan berbagai
metodologi. Namun, dalam buku ini, penulis hanya akan memfokuskan pada supervisi klinis. Hal
ini dikarenakan penerapan supervisi pengembangan dan supervisi administrasi sudah terwakili
oleh pembahasan di bab evaluasi terdahulu.
Setidaknya ada dua cara dalam mengembangkan instrumen (alat ukur), yaitu dengan
mengembangkan sendiri dan dengan cara menyadur (adaptation). Menurut Arikunto (1988),
langkah-langkah yang harus dilalui dalam menyusun instrumen apa pun, termasuk instrumen
pengawasan sekolah, adalah sebagai berikut:
182
1. Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen yang akan disusun. Contoh:
tujuan menyusun angket untuk mengumpulkan data tentang besarnya menat belajar
dengan modul.
2. Membuat kisi-kisi yang mencanangkan tentang perincian variabel dan jenis instrumen
yang bersangkutan. Contoh: untuk mengumpulkan data tentang kegiatan belajar-
mengajar di kelas diperlukan angket, wawancara, observasi, dan dokumen.
3. Membuat butir-butir instrumen. Menyusun instrumen bukanlah pekerjaan yang mudah.
Bagi peneliti atau pengawas sekolah pemula, tugas menyusun instrumen merupakan
pekerjaan yang membosankan dan menyebalkan. sebelum memulai pekerjaan, mereka
menganggap bahwa menyusun instrumen itu mudah. Setelah tahu bahwa langkah awal
adalah membuat kisi-kisi yang menuntut kejelian luar biasa, tidak mengherankan kalau
banyak di antara pengawas yang merasa kesulitan.
4. Menyunting instrumen. Apabila butir-butir instrumen sudah selesai dilakukan, maka
penilai atau pengawas melakukan pekerjaan terakhir dari penyusunan instrumen, yaitu
mengadakan penyuntingan (editing). Hal-hal yang dilakukan dalam tahap-tahap ini
adalah ;
a. Mengurutkan butir menurut sistematika yang dikehendaki penilai atau pengawas
untuk mempermudah pengolahan data.
b. Menuliskan petunjuk pengisian, identitas, dan sebagainya.
c. Membuat pengantar permohonan pengisian bagi angket yang diberikan kepada orang
lain.
183
BAB XIII
SUPERVISI PADA ALIRAN KONSELING
Konseling sebagai sebuah ilmu akan selalu berkembang, seiring dengan berkembangnya
teori-teori baru yang bermunculan. Teori-teori yang muncul biasanya merupakan kritik dari dari
teori-teori sebelumnya. Memang, patut diakui bahwa titik pandang (teori) dalam konseling tidak
ada yang sempurna, sehingga terbuka kesempatan bagi ilmuwan untuk memberikan kritik dan
masukan ataupun penyempurnaan dari teori yang sudah ada.
Masing-masing aliran konseling mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Namun,
dengan adanya kekurangan dan kelebihan seperti itu justru memperkaya pengetahuan dan
keterampilan seorang konselor.
Menyikapi adanya perbedaan aliran dalam ilmu konseling, ada beberapa pandangan yang
dikemukakan oleh ahli maupun praktisi konseling. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa
dengan adanya perbedaan aliran dalam konseling, maka seharusnya konselor harus memilih
salah satu dari aliran yang paling sesuai dengan dirinya. Pandangan kedua mengatakan bahwa
tidak perlu terlalu fanatik terhadap satu aliran kenseling tertentu, sehingga bisa saja suatu saat
seorang konselor menggunakan metode konseling tertentu, tetapi di saat lain berubah
menggunakan metode konseling lain sesuai kebutuhan. Bahkan, pandangan yang lebih ekstrem
lagi mengatakan bahwa bisa saja dalam suatu proses konseling, kita menggambungkan beberapa
metode konseling sekaligus. Lalu, bagaimana yang benar? Menurut hemat penulis, semua benar,
tergantung konselor yang akan memakainya. Tidak ada sangsi apa pun terhadap konsekuensi
pilihan tersebut.
Hanya saja, hal penting menjadi supervisor konseling, yakni harus memahami dan
mengerti terhadap masing-masing aliran konseling tersebut. Akan sangat naïf manakala
supervisor melakukan supervisi kepada konselor, sementara dia tidak tahu banyak proses
konseling yang dilakukan oleh konselor yang disupervisi. Oleh karena itu, membekali diri
dengan pengetahuan dan keterampilan metode konseling dari masing-masing aliran konseling
menjadi keharusan bagi seorang supervisor.
Kali ini, kita akan membahas beberapa teori-teori konseling, seperti Gestalt, Behavior,
Trait and Factor, serta Rational Emotif, yang selanjutnya diikuti dengan cara melakukan
supervisi tersebut terhadap proses konseling berdasarkan teori yang ada.
184
A. Aliran Psikologi Gestalt
Pendekatan konseling Gestalt berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu
aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan
dari organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu
koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong ke arah keseluruhan dan integrasi
pemikiran, perasaan, dan tingkah lakunya.
Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki
dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya
integritas atau keutuhan pribadi. Jadi, hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah:
1. Tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya;
2. Merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya
dengan lingkungannya itu;
3. Aktor bukan reaktor;
4. Berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya;
5. Dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, serta
6. Mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.
185
menagani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan tersebut. Dampaknya, ada beberapa asumsi
tingkah laku bermasalah, di antaranya;
1. Individu bermasalah karena terjadi pertentangan antara kekuatan top dog dan keberadaan
under dog. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, dan mengancam,
sedangkan under dog adalah keadaan defensive, membela diri, tidak berdaya, lemah,
pasif, dan ingin dimaklumi.
2. Perkembangan yang terganggu, yaitu tidak terjadi keseimbangan antara apa yang harus
ada (self image) dan apa yang diinginkan (self).
3. Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis.
4. Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya.
5. Mengalami gap/kesenjangan, sekarang dan yang akan datang.
6. Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi.
Sedangkan, spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi kepribadian kaku
(rigid), tidak mau bebas bertanggung jawab (ingin tetap tergantung), menolak berhubungan
dengan lingkungan, memelihara unfinished business, menolak kebutuhan dair sendiri, dan
melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”.
Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani menghadapi berbagai
macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa
klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi
percaya pada diri dan dapat berbuat lebih banyak untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya.
Individu yang bermasalah, pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh,
melainkan baru memanfaatkan sebagian saja. Melalui konseling, konselor membantu klien agar
potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik, tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut;
1. Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau
realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
2. Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya.
3. Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke
mengatur diri sendiri (to be true to himself).
186
4. Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat bertingkah laku menurut prinsip-
prinsip Gestalt; Semua situasi bermasalah (unfinished business) yang muncul dan selalu
akan muncul dapat diatasi dengan baik.
187
C. Aliran Psikologi Trait and Factor
Konseling dengan pendekatan Trait and Factor digolongkan ke dalam kelompok
pendekatan pada dimensi kognitif atau rasional. Teori atau pendekatan ini secara intelektual,
logis dan rasional memecahkan kesulitan-kesulitan klien dalam suatu proses konseling.
Konseling dengan pendekatan Trait and Factor atau pendekatan rasional ini sering disebut
konseling yang direktif (directive counseling) karena konselor secara aktif membantu klien
mengarahkan perilakunya menuju pemecahan kesulitan. Sehingga, konseling ini juga disebut
konseling yang counselor centered atau clinical counseling.
Beberapa pendapat mengenai esensi konseling ini telah dikemukakan oleh para ahli, yang
kesemuanya menggambarkan bahwa konseling ini benar-benar bersifat directive, meskipun
kemudian terdapat perubahan-perubahan dari pendapat tersebut. Dari pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan, pendapat Williamson dan Darley tampaknya berubah menjadi tidak lagi bersifat
directive atau counselor-centered.
Konselor profesional di mana pun mereka pernah mendapat pendidikan cenderung
menempatkan klien di pusat proses penyuluhan. Sehingga, tidaklah adil apabila aliran clinical
counseling dianggap sebagai pendekatan yang directive, meskipun konselor-konselor dari aliran
ini begitu jauh mempertahankan adanya unsur-unsur pengendalian dalam penyelenggaraan
wawancara. Aliran ini justru lebih bersifat directive daripada aliran clien-centered.
Teori atau pendekatan Trait and Factor ini dipelopori oleh E. G. Williamson dan J. G.
Darley, serta pendukung-pendukung lainnya seperti Walter Bingham, Donald G, Paterson,
Thurstone, Eysenk, dan Cattel.
188
1. Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional. Reaksi emosional
yang sehat maupun tidak sehat, bersumber dari pemikiran itu.
2. Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irasional. Dengan pemikiran rasional
dan inteleknya, manusia dapat terbebas dari gangguan emosional.
3. Pemikiran irasional bersumber pada disposisi lewat pengalaman masa kecil dan pengaruh
budaya.
4. Pemikiran dan emosi tidak dapat dipisahkan.
5. Berpikir logis dan tidak logis dilakukan dengan simbol-simbol bahasa.
6. Pada diri manusia, sering terjadi self verbalization, yaitu mengatakan sesuatu secara
terus-menerus pada dirinya.
7. Pemikiran tidak logis-irasional dapat dikembalikan pada pemikiran logis dengan
reorganisasi persepsi. Pemikiran tidak logis itu merusak dan merendahkan diri melalui
emosionalnya.
Dalam buku tersebut, Ellis juga mengemukakan indikator keyakinan irasional yang berlaku
secara universal. Indikator-indikator orang yang berkeyakinan irasional tersebut sebagai berikut;
1. Pandangan bahwa suatu keharusan bagi orang dewasa untuk dicintai oleh orang lain dari
segala sesuatu yang dikerjakan.
2. Pandangan bahwa tindakan tertentu adalah mengerikan dan jahat. Sementara, orang yang
melakukan tindakan demikian sangat terkutuk. Seharusnya, berpandangan bahwa
tindakan tertentu adalah kegagalan diri atau anti-sosial, dan orang yang melakukan
tindakan demikian adalah melakukan kebodohan. ketidaktahuan, atau neirotik, serta akan
lebih baik jika ditolong untuk berubah.
3. Pandangan hal yang mengerikan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri kita.
Seharusnya, berpandangan bahwa kita menjadi lebih baik untuk mengubah atau
mengendalikan kondisi yang buruk, juga bahwa mereka menjadi lebih memuaskan. Dan,
jika hal itu tidak mungkin, untuk sementara, menerima dan secara baik-baik mengubah
keadaannya.
4. Pandangan bahwa kesengsaraan manusia selalu disebabkan oleh faktor eksternal dan
kesengsaraan itu menimpa diri seseorang melalui orang lain atau peristiwa. Seharusnya,
189
berpandanggan bahwa neurosis itu sebagian besar disebabkan oleh pandangan bahwa kita
mendapatkan kondisi yang sial.
5. Pandangan bahwa jika sesuatu dapat berbahaya atau menakutkan, kita terganggu dan
tidak akan berakhir dalam memikirkannya. Seharusnya, berpandangan bahwa seseorang
akan lebih baik menghadapinya secara langsung dan mengubahnya tidak berbahaya. Dan,
jika tidak memungkinkan, diterima sebagai hal yang tidak dapat dihindari.
6. Pandangan bahwa jika lebih mudah menghindari berbagai kesulitan hidup dari tanggung
jawab daripada berusaha untuk menghadapinya. Seharusnya, berpandangan bahwa
kemudahan itu biasanya banyak kesulitan di kemudian hari.
7. Pandangan bahwa kita secara absolut membutuhkan sesuatu dari orang lain atau orang
asing, atau yang lebih besar dari diri sendiri sebagai sandaran. Seharusnya, berpandangan
lebih baik untuk menerima risiko berfikir dan bertindak tidak dengan bergantung.
8. Pandangan bahwa kita sehasusnya kompeten, intelijen, dan mencapai semua
kemungkinan yang menjadi perhatian kita. Seharusnya, pandangan itu adalah kita bekerja
lebih baik daripada selalu membutuhkan untuk bekerja secara baik dan menerima diri
sendiri sebagai makhluk yang tidak benar-benar sempurna, yang memiliki keterbatasan.
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam melakukan proses konseling, seorang konselor
sering menggunaka metode dan teknik yang berbeda dengan konselor lainnya. Hal ini bisa
dianggap wajar karena penggunaan metode dan teknik konseling oleh konselor itu dipengaruhi
oleh dua hal. Pertama, asal ilmu itu didapat. Artinya, seorang konselor bisa jadi memilih
menggunakan teknik konseling tertentu disebabkan oleh pengalaman pertama ketika dia
mengikuti perkuliahan di kampusnya. Karena begitu terkesannya dengan keterangan sang dosen
yang menggunakan teknik konseling tetentu sehingga tertanam di pikirannya untuk selalu
menggunakan teknik konseling tersebut.
Kedua, taste atau selera. Setelah membandingkan antara teknik satu dengan lainnya, dapat
disimpulkan bahwa teknik konseling tertentu lebih familiar pada dirinya, sehingga ia memilih
untuk menggunakan teknik tersebut dalam proses konselingnya.
190
Penggunaan teknik konseling bagi seseorang juga tidak bersifat mutlak. Artinya, dengan
berkembangnya pengetahuan dan keterampilan, seorang konselor baik melalui bahan bacaan
maupun pelatihan-pelatihan, sehingga dalam kurun waktu tertentu, dimungkinkan ada perubahan
penggunaan teknik konseling. Misal, seorang konselor yang awalnya begitu fanatik
menggunakan teknik konseling Behavior, setelah membaca dan mengikuti workshop teknik
kenseling RET berubah haluan menjadi lebih sering menggunakan teknik konseling RET.
Menghadapi keadaaan seperti itu, seorang supervisor konseling perlu mengetahui teknik
konseling berdasarkan alirannya masing0masing. Hal ini diperlukan karena seorang supervisor
seharusnya mempunyai kompetensi pengetahuan dan keterampilan di atas orang yang
disupervisi.
Dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dari masing-masing aliran konseling itu
kemudian diterjemahkan ke dalam instrumen supervisi. Sebab, bagaimanapun, proses supervisi
harus menunjukan adanya kegiatan yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain bisa
dipertanggungjawabkan, kegiatan itu juga bisa diukur. Oleh karena itu, dokumentasi berupa
instrumen supervisi yang mudah terbaca dan terukur, mutlak dibuat sebelum melakukan
supervisi kepada konselor.
Tulisan berikut akn menggambarkan tahapan melaksanakan teknik konseling tertentu,
sekaligus contoh instrumen supervisi berdasarkan tahapan atau langkah-langkah proses
konseling pada masing-masing aliran.
191
terhadap ketidakpuasannya, semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan diri.
Sehingga, makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
b. Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien, serta menekankan kepada klien
bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alas an-
alasannya secara bertanggung jawab.
Ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat itu
juga. Klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala peresaan dan perbuatan pada
masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang, klien diperbolehkan
memproyeksikan dirinya kepada konselor. Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan
celah-celah atau aspek-aspek kepribadian yang hilang. Dari sini, dapat diidentivikasi apa yang
harus dilakukan klien.
Keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan,
dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling. Pada fase ini,
klien menunjukan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai
individu yang unik dan manusiawi. Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya,
menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonomi,
perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan tingkah lakunya. Dalam situasi ini, klien secara sadar
dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor dan siap untuk
mengembangkan potensi dirinya.
Pendapat lain mengatakan bahwa proses konseling Gestalt terjadi dalam tahapan tertentu
yang fleksibel. Tiap-tiap tahapan memiliki prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor
dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahapan Pertama (The Beginning Phase)
Konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran konseli,
menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli secar sehat, serta
menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi (personal support) dan
lingkungannya. Secara garis besar, proses yang dilalui dalam konseling taha pertama adalah;
a. Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk proses konseling.
b. Mengembangkan hubungan kolaboratif (working alliace).
c. Mengupulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran kepribadiannya
dengan menggunakan pendekatan fenomenologis.
192
d. Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pribadi konseli.
e. Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
f. Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis tehadap konseli.
193
5. Tahap Kelima (Ending)
Pada tahap ini, konseli siap memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor.
Tahap pengakhiran ditandai dengan proses-proses berikut;
a. Berusaha melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah selesai.
b. Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
c. Merayakan apa yang telah dicapai.
d. Menerima apa yang belum tercapai.
e. Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa depan.
f. Membiarkan pergi dan melanjutkan.
Berdasarkan tahapan-tahapan konseling Gestalt tersebut, maka instrumen supervisi yang
bisa dikembangkan adalah sebagai berikut;
194
PEDOMAN SUPERVISI
SUPERVISI PENDEKATAN KONSELING GESTALT
Konselor : ....................................................
Klien : ....................................................
Supervisor : ....................................................
Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai
dengan keadaan yang saudara amati dengan rambu-rambu:
Skala 0, bila keterampilan tersebut tidak dilakukan
Skala 1, bila keterampilan tersebut dilakukan tetapi tidak tepat
Skala 2, bila keterampilan tersebut dilakukan dengan tepat
SKALA
NO. TAHAPAN/KETERAMPILAN KONSELOR
0 1 2
1 Fase pertama:
a. Mengembangkan pertemuan konseling agar tercapai situasi yang
memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien.
b. Mengembangkan pola hubungan konseling yang sesuai dengan
keunikan klien.
2 Fase kedua:
a. Membangkitkan motivasi klien: memberi kesempatan untuk
menyampaikan dan menyadari ketidaksenangan atau
ketidakpuasannya.
b. Mengembangkan otonomi klien.
3 Fase ketiga:
a. Mendorong klien untuk menyatakan perasaan-perasaannya pada saat
ini.
b. Memberi kesempatan kepada klien untuk mengalami kembali segala
perasaan dan pembuatan pada masa lalu dalam situasi di sini dan
saat ini.
c. Berusaha menemukan aspek-aspek kepribadian klien yang hilang
4 Fase Keempat:
a. Mengondisikan klien agar memperoleh pemahaman dan penyadaran
tentang dirinya, tindakannya, dan perasaannya.
b. Memfasilitasi klien untuk menunjukan ciri-ciri integritas
kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.
195
c. Mengondisikan klien untuk menunjukan kepercayaan pada
potensinya, menyadari dirinya, sadar dan bertanggung jawab atas
perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya.
d. Mengondisikan klien agar secara sadar dan bertanggung jawab
memutuskan untuk “melepaskan diri” dari konselor, dan siap untuk
mengembangkan potensi.
Ambon, .........................
Supervisor
.........................................
Proses konseling dibingkai dalam bentuk kerangka kerja dalam membantu konseling untuk
mengubah tingkah lakunya. Proses konseling adalah proses belajar. Konselor membantu
terjadinya proses tersebut dengan cara mendorong konseli untuk mengemukakan keadaan yang
benar-benar dialaminya pada waktu itu. Konseling behavior memiliki empat tahap dalam proses
konseling, sebagai berikut;
1. Melakukan Assessment
Langkah awal kerja konselor adalah melakukan assessment. Assessment diperlukan untuk
mengidentifikasi metode atau teknik yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin
diubah.
196
2. Menetapkan Tujuan (Goal Setting)
Dalam hal ini, konselor dan konseli bersama-sama mendiskusikan tujuan yang telah
ditetapkan konseli, yang terkait dengan:
a. Apakah merupakan tujuan yang benar-benar diinginkan konseli,
b. Apakah tujuan itu realistis,
c. Bagaimana kemungkinan manfaatnya, dan
d. Bagainama kemungkinan kerugiannya.
197
PEDOMAN SUPERVISI
SUPERVISI PENDEKATAN KONSELING BEHAVIOR
Konselor : ....................................................
Klien : ....................................................
Pengamat : ....................................................
Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai
dengan keadaan yang saudara amati dengan rambu-rambu:
Skala 0, bila keterampilan tersebut tidak dilakukan
Skala 1, bila keterampilan tersebut dilakukan tetapi tidak tepat
Skala 2, bila keterampilan tersebut dilakukan dengan tepat
SKALA
NO. TAHAPAN/KETERAMPILAN KONSELOR
0 1 2
1 Assesment:
a. Mempersilahkan klien untuk menceritakan masalahnya.
b. Mengidentifikasikan perilaku yang bermasalah.
c. Mengklarifikasi perilaku yang bermasalah.
d. Mengidentifikasi peristiwa yang mengawali perilaku bermasalah.
e. Mengidentifikasi peristiwa yang menyertai perilaku bermasalah.
f. Mengidentifikasi intensitas perilaku bermasalah.
g. Mengidentifikasi perasaan klien pada saat menceritakan perilaku
bermasalah.
h. Merangkum pembicaraan klien.
i. Menemukan inti masalah.
j. Mengidentifikasi hal-hal yang menarik dalam kehidupan klien.
k. Memberikan motivasi pada klien.
l. Mengidentifikasi hubungan sosial dari diri klien.
2 Goal setting:
a. Mengungkapkan kembali pernyataan klien tentang tujuan yang igin
dicapai.
b. Mempertegas tujuan yang ingin dicapai.
c. Memberikan kepercayaan dan menyakinkan klien bahwa konselor
benar-benar ingin membantu klien mencapai tujuan.
d. Membantu klien memandang masalahnya dengan memperhatikan
hambatan yang dihadapi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
198
e. Merinci tujuan menjadi sub tujuan yang berurutan dan operasional.
3 Teknik implementasi:
a. Menentukan teknik konseling yang sesuai dengan masalah klien dan
tujuan konseling.
b. Menyusun prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang ditetapkan.
c. Melaksanakan prosedur perlakuan sesuai dengan teknik yang
ditetapkan.
4 Evaluasi terminasi:
a. Menanyakan dan mengevaluasi apa yang dilakukan klien setelah
diberi treatment.
b. Membantu klien mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke
tingkah laku klien.
c. Mengeksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.
d. Menyimpulkan apa yang telh dilakukan dan dikatakan klien.
e. Membahas tugas-tugas yang harus dilakukan pada pertemuan
selanjutnya.
f. Mengakhiri proses konseling.
Ambon, .........................
Supervisor
.........................................
199
1. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan langkah pengumpulan data atau informasi tentang diri klien, termasuk
lingkungannya. Pengumpulan data yang akurat, biasanya dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode atau teknik, terutama tes psikologis dari berbagai aspek kepribadian klien.
Dengan kata lain, pengumpulan data dilakukan secara integratif dan komprehensif.
2. Sistesis (Synthesis)
Pada langkah ini, yang dilakukan konselor adalah menyintesiskan data yang relevan dan
berguna, dngan keluhan atau gejala yang muncul. Dalam membuat sintesis, konselor
memadukan, menyusun, dan merangkum data yang ada untuk memperoleh gambaran lebih jelas
tentang keadaan diri klien.
3. Diagnosis (Diagnoses)
Pada langkah ini, konselor menetapkan atau merumuskan kesimpulan tentang masalah
klien serta latar belakang atau sebab-sebabnya. Secara rinci, yang dilakukan konselor adalah:
a. Melakukan identifikasi masalah secara deskriptif, misal ketergantungan, kekurangan
informasi, konflik internal atau konflik dalam diri sendiri, kecemasan dalam membuat
pilihan, atau tidak ada masalah (bordin).
b. Menemukan sebab-sebab. Dalam hal ini, biasanya konselor mencari hubungan antara
masa lalu, masa kini, dan masa depan, sehingga dapat diperoleh kejelasan. Dalam
proses ini, konselor sering menggunakan intuisinya yang kemudian dicek dengan
logika.
4. Prognosis (Prognosis)
Pada langkah ini, konselor memprediksi tentang kemungkinan keberhasilan klien dari
proses konseling. Artinya, memprediksi tentang hasil yang dapat dicapai oleh klien dari
kegiatan-kegiatannya selama konseling, serta merumuskan bentuk yang sesuai.
200
a. Menciptakan atau meningkatkan hubungan baik antara konselor dengan klien.
b. Menafsirkan data yang telah ada dan mengomunikasikannya kepada klien.
c. Memberikan saran atau ide kepada klien atau merencanakan kegiatan yang dilakukan
bersama klien.
d. Membantu klien dalam melaksanakan rencana kegiatan.
e. Jika perlu, menunjukan kepada konselor atau ahli lain untuk memperoleh diagnosis
atau konseling dalam masalah yang lain.
201
PEDOMAN SUPERVISI
SUPERVISI PENDEKATAN KONSELING TRAIT AND FAKTOR
Konselor : ....................................................
Klien : ....................................................
Pengamat : ....................................................
Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai
dengan keadaan yang saudara amati dengan rambu-rambu:
Skala 0, bila keterampilan tersebut tidak dilakukan
Skala 1, bila keterampilan tersebut dilakukan tetapi tidak tepat
Skala 2, bila keterampilan tersebut dilakukan dengan tepat
SKALA
NO. TAHAPAN/KETERAMPILAN KONSELOR
0 1 2
1 Analisis
Megumpulkan data mengenai klien secara komprehensif, dapat
dipercaya, tepat, dan relevan untuk mendiagnosis pembawaan, minat,
motif, kesehatan jasmani, keseimbangan emosional, dan sifat-sifat lain
yang memudahkan penyesuaian secara memuaskan, baik di sekolah
maupun pekerjaan.
2 Sintesis
Merangkum dan mengatur data hasil analisis yang sedemikian rupa,
sehingga menunjukkan bakat klien, kelemahan dan kekuatan, serta
kemampuan penyesuaian diri.
3 Diagnosis
Menemukan keterampilan dan pola yang dapat mengarahkan pada
permasalahan, sebab-sebabnya, serta sifat-sifat klien yang relevan dan
berpengaruh terhadap proses penyesuaian diri.
a. Identifikasi Masalah
Membantu menentukan dan mendeskripsikan masala yang dihadapi
klien.
b. Menentukan Sebab-sebab
Menggunakan intuisinya, yang kemudian dicek oleh logika, reaksi
klien, dan uji coba dari program kerja berdasarkan diagnosis
sementara.
c. Prognosis
Membantu klien mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab
202
untuk dirinya sendiri, yang berarti dia mampu dan mengerti secara
logis, tetapi secara emosional belum mau menerimanya.
4 Konseling
Membantu klien untuk menemukan sumber diri sendiri maupun dari
luar dirinya, baik di lembaga sekolah, atau mesyarakat dalam upaya
mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal sesuai dengan
kemampuannya, yaitu dengan cara:
a. Belajar terpimpin menuju pegertian diri,
b. Mendidik atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu
sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiannya dan penyesuaian
hidupnya,
c. Bantuan pribadi agar klien mengerti dan terampil dalam menerapkan
prinsip serta teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
d. Mengimplementasikan hubungan dan teknik yang bersifat
menyembuhkan, dan
e. Mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran.
5 Tindak Lanjut
Memberi bantuan kepada klien dalam menghadapi masalah baru
dengan mengingatkannya pada masalah sumber, sehingga menjamin
keberhasilan konseling.
Ambon, .........................
Supervisor
.........................................
203
D. Tahapan Konseling RET dan Supervisinya
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan konselor dalam tahapan konseling RET ini.
Berikut ini penjelasan detailnya.
1. Langkah Pertama
Pada langkah ini, peran konselor ialah menyadarkan klien bahwa gangguan atau masalah
yang dihadapi disebabkan oleh cara berpikirnya yang tidak logis. Di sini, klien belajar untuk
memisahkan antara keyakinan yang rasional dari yang tidak rasional. Sedangkan, peran konselor
sebagai propagandis yang mendorong, membujuk, serta menyakinkan klien untuk menerima
gagasan yang tidak logis dan rasional.
2. Langkah Kedua
Peran konselor adalah menyadarkan klien pemecahan msalah yang dihadapi merupakan
tanggung jawabnya sendiri. Oleh karena itu, peran konselor dalam rasional emotif therapy
adalah menyadarkan dan menunjukan kepada klien bahwa gangguan emosional yang selama ini
dirasakan akan menghantuinya apabila ia tidak berpikiran logis.
3. Langkah Ketiga
Pada langkah ini, konselor mengjak klien menghilangkan cara berfikir dan gagasan yang
tidak rasional.
4. Langkah Keempat
Peran konselor adalah mengembangkan pandangan-pandangan yang realistis dan
menghindarkan diri dari pandangan yang tidak rasional.
Berdasarkan langkah atau fase pelaksanaan kegiatan konseling Rational Emotif tersebut,
maka dapat dibuat instrumen supervisi seperti berikut;
204
PEDOMAN SUPERVISI
SUPERVISI PENDEKATAN KONSELING BEHAVIOR
Konselor : ....................................................
Klien : ....................................................
Pengamat : ....................................................
Petunjuk : Berilah tanda silang pada jenjang skala yang disediakan sesuai
dengan keadaan yang saudara amati dengan rambu-rambu:
Skala 0, bila keterampilan tersebut tidak dilakukan
Skala 1, bila keterampilan tersebut dilakukan tetapi tidak tepat
Skala 2, bila keterampilan tersebut dilakukan dengan tepat
SKALA
NO. TAHAPAN/KETERAMPILAN KONSELOR
0 1 2
1 Mengelola Pandangan dan Pikiran Klien
a. Mengidentifikasi masalah klien.
b. Menjelaskan dan menunjukan bahwa masalah klien bersuber pada
keyakinan/cara berpikir yang irasional.
c. Mendiskusikan arah perubahan keyakinan/cara berpikir irasional ke
rasional.
d. Mendiskusikan tujuan konseling.
e. Mengonfrontasi keyakinan/cara berpikir irasional.
f. Merestruktur kognitif dan menghentikan cara berfikir irasional.
2 Mengelola Emosi dan Afeksi
a. Membina kesepakatan ke arah perubahan klien.
b. Memelihara suasana konseling dengan:
1) Humor,
2) Puisi, kata mutiara, atau
3) Menyanyi.
c. Melaksanakan teknik relaksasi dengan:
1) Pelenturan otot,
2) Teriakan,
3) Mengheningkan cipta, atau
4) Joging di tempat.
3 Mengelola Tingkah Laku
a. menganjurkan klien untuk berbuat.
b. Menunjukan contoh perilaku yang konstruktif.
c. Mengajak klien untuk menjaga dan mengembangkan cara berfikir
rasional.
205
Ambon, .........................
Supervisor
.........................................
206
REFERENSI
Badrujaman, A. (2014). Teori dan Aplikasi Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Indeks
Furqon, & Badrujaman, A. (2014). Model Evaluasi Layanan Dasar Berorientasi Akuntabilitas.
Jakarta: Indeks
Gysbers, N. C. & Henderson, P. (2010). Developing and Managing Your School Guidance and
Mashudi, F. (2015). Pedoman Lengkap Evaluasi dan Supervisi Bimbingan dan Konseling.
Neukrug, E. (2012). The World of The Counselor: An Introduction to Counseling Profession (4th
207