Anda di halaman 1dari 1772

TUMOR

NON-ODONTOGENIK
drg. lrhamTaufiqurrahmanM.Si.Med.,Sp.BMM(K)
• Efek radiasi yang • Efek radiasi yang
tidak dipengaruhi dipengaruhi oleh
oleh dosis ambang dosis am bang yang
yang menyebabkan menyeb ab kan
perubahan pada sel hingga kema tian sel
tubuh • Cth: sel kulit mati,
• Cth: kanker, katarak, kematian
perubahan genetika pada janin
Prinsip ALADAIP (A s Low as Diagnostically Ac c ep t ab le being
lndican-oriented and Patient-specific) menjadi konsep yang
paling baru. Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 2017
oleh The European DIMITRA Project. Konsep Al ADAIP
menekankan pada pemberian dosis serendah mungkin yang
telah disesuaikan dengan indikasi serf a kondisi karakter personal
tiap pasien namun tet ap mem berikan ha sil rad iog raf yang dap at
bernilai diagnostic dan dapat diinterpretasi.
• Mencegah terjadinya efek
deterministik yang membahayakan
kese ha t an don mengurangi frekue nsi
terja d inya efek st okast ik p a d a ting ka t
yg cukup rendah sehing g a d a p a t
dit erima oleh a n g gota m a sya rakat
Pengusaha lnstalasi
• Membentuk Organisasi Proteksi Radiasi dan
menunjuk PPR
• mengizinkan seseorang bekerja dengan sumber
radiasi se t ela h me m p e rha t ika n segi kesehatan,
pendidikan dan pengalaman kerja dengan sumber
radiasi
• Memberitahukan k e p a d a semua pekerja rad ia si
tentang adanya potensi bahaya radiasi
• Menyediakan prosedur kerja yang diperlukan
• Menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan
• Menyediakan fasilitas dan peralatan yang
diperlukan untuk bekerja dengan sumber radiasi
• Memberitahukan BAl?ETEN don lnstansi lain bila
terjadi bahaya radiasi
Pekerja Radiasi
• Mengetahui, memahami don melaksanakan
semua ketentuan keselamatan radiasi
• Memanfaatkan sebaik - baiknya peralatan
keselamatan radiasi yang tersedia, bertindak
hati - hati, serta bekerja secara aman untuk
melindungi baik dirinya sendiri maupun orang
lain
• Melaporkan setiap kejadian kecelakaan
bagaimanapun kecilnya kepada PPR
• Melaporkan setiap gangguan kesehatan yang /

dirasakan, yang diduga akibat penyinaran .:


lebih atau masukJJ� Q zct rqdlooktif ke dalam
tubuh r -
• Semakin besar jarak thdp sumber, maka dosis
radiasi semakin kecil
• Pengendalian radiasi sinar hambur dari
ruangan sinar x dapat dilakukan menjaga
jarak 3 m dr tabung sinar x

• Waktu yang digunakan untuk melakukan


pemeriksaan dgn sumber radiasi harus
dilakukan dengan cepat
• Perisai Sumber: dari pabrik (kotak selubung utama-pelindung
PB)
• Perisai Strukturan: thdp sinar X bermanfaat, kebocoran,
radiasi hambur (dinding berlapis Pb mengelilingi ruangan)
• Perisai Primer: thdp radiasi sinar primer/ berkas guna (tempat
tabung sinar x. kaca berlapis timbal
• Perisai Sekund er: thdp rad iasi/ sinar hambur (p akaian
proteksi, perisai yang d a p a t dipinda h-pinda h)
3. Melakukan pemantauan don
perawatan terhadap Alat Proteksi Oiri
{APO) dengan cara melakukan kalibrasi
set iap 6 bulan sekali. Untuk APO yang
tela h di kalibrasi diberi Sticker yang
berisikan tanggal pelaksanaan do n
tanggal masa berlaku.

--------- '·
/ .. -
l
5. Memasang tanda-tanda radiasi pada
daerah kerja, seperti :

A CAUTION
RADIATION
AREA
DILARANG MASUK JIKA
LAMPU MIRAH MENYALA
Drg. Amy Nindia
Carabelly, M.Si

PSKG ULM
ECTODERMAL (EPITHELIUM) MESENCHYMAL
1. Dental lamina ( Epithel rest of serres) 1. Dental Papilla
2. Enamel organ ( Reduced enamel epithelium) 2. Dental Sac
3. Epithel root sheath of Hertwig’s (Epithel rest
of Malassez)

2
3
A. EPITHELIAL
1. Ameloblastoma : B. MIXED
ODONTOGENIC C. MESENCHYMAL
a. Unicystic type ODONTOGENIC TUMORS
b. Extraosseous/ TUMORS
1. Odontogenic fibroma
peripheral type 1. Ameloblastic fibroma
c. Matastasizing/ 2. Odontogenic
2. Primordial myxoma/myxofibroma
malignant
odontogenic tumour
ameloblastoma 3. Cementoblastoma
2. Squamous odontogenic 3. Odontoma
4. Cemento-ossifying
tumor 1. Compound type fibroma
3. Calcifying epithelial 2. Complex type
odontogenic
4. Dentinogenic ghost
4. Adenomatoid odontogenic 4
cell tumour
tumor
5
KLASIFIKASI:
• Unicystic type  mengalami perubahan kistik
• Extraosseous/peripheral type  gingiva nodul
• Metastasizing ameloblastoma  malignant
• Kasus tertinggi no 3 setelah odontogenik keratocyst dan
odontoma
DD:
ETIOLOGI:
• Kista dentigerous
• Sisa dental lamina
• Squamous odontogenik tumor
• Sisa epitel mallassez
• Lapisan epitel dari kista odontogenik
TERAPI & PROGNOSIS:
• Sel basal dari mukosa rongga mulut
• Enukleasi
• Pertumbuhan dari enamel organ
• Block reseksi
KLINIS:
• Solid lesi rekuren 35%
• Dekade 4-5
• Lesi unikistik rekuren 37%
• Locally aggresive
• Tranformasi maligna <1%
• Unilokuler atau multilokuler
• Terjadi di maksilla atau mandibula,
• 85% terjadi pada rahang bawah dan pada area ramus
ascendens
• Tumbuh lambat, tidak berkapsul,
"soap bubble" appearance. "honeycombed" appearance.
RADIOGRAFI:
 soap bubble appearance -> lesi besar
 honeycombed app -> lesi kecil
 Perluasan kearah bukal dan lingual
 Resorbsi akar gigi yang berbatasan dg tumor
 Pada beberapa kasus tampak gigi yang tdk tumbuh (molar ketiga mand)
 Solid amelob.  unilokuler shg hrs dibedakan dengan kista (tepi radiopak)
:

1. Cystic
Folicular Ameloblastoma Plexiform Ameloblastoma
2. Acanthomatous
• Terlihat sel 3. Granular
kolumnal
perifer yang 4. Basaloid
• Terlihat sel
tersusun kolumnal
seperti pulau perifer yang
odontogenik tersusun
epitelium seperti tali
• Terdapat pulau- anastomosis
pulau yang panjang
mengalami
degenerasi • Tampak stellate
kistik yang retikulum
berisi stellate
retikulum

8
Basaloid
 Sel yang
penuh/rapat
Glanular
 Sel cuboidal di
 Granular cell metaplasi didalam
bagian perifer
Acanthomatous sel

 Squamous metaplasia  Terdapat banyak sel cuboid


Cystic didalam folicle  Inti terdesak ketepi 9

 Kadang terdapat  Sitoplasma terisi eusinofilik


keratin granules
HPA:
• Tipe Luminal : tumor terbatas di daerah permukaan
lumina kista
• Tipe intraluminal/plexiform : tumor yang tumbuh dari
lapisan kista, terkadang menyerupai tipe plexiform
solid/multikistik ameloblastoma
• Tipe Mural : Tumor infiltrasi ke dinding kista fibrous

10
HPA:
• Pulau pulau epitel ameloblastik yang terlihat di
lamina propia
• Pulau dapat berbentuk plexiform atau follicular
• 50% kasus tumor terhubung dengan lapisan basal
mukosa epitel
plexiform

11

follicular
• Benign ameloblastoma yang menunjukkan pertumbuhan metastatic
• Tumbuh de novo (sering), bisa juga berasal dari ameloblastoma
• Menunjukkan sitologi atipia yang minim tetapi metastasis
• Metastasis dapat muncul di pinggul, tulang belakang, otak, ginjal, myocardium, tetapi lebih
sering terjadi di paru
• Metastasis berhubungan dengan multikistik ameloblastoma
• Pertumbuhan yang cepat, sakit, ulser mukosa, parastesi
• Sering muncul di mandibula khususnya posterior
• Hypercalcemia adalah marker metastasis
HPA:
 Sama dengan ameloblastoma convensional tetapi terdapat metastasis
 Sel benign
 Sel amelobals yang membentuk pulau dengan peripheral palisading columnar 12

 Terdapat stellate retikulum


KLINIS:
• Di duga berkembang dari sisa-sisa lamina gigi, sel-sel Malassez,
atau epitel gingiva.
• Terjadi pada orang dewasa dekade 3 – 4
• Lesi di posterior mandibula atau anterior maksila
• Lokal agresif
• Jarang rekuren
DD:
 Foliicular ameloblastoma
 Primary intraosseous
 Metatatic carsinoma
HPA:
 Sel mature squamous epitelium yang membentuk pulau ireguler
dengan diskeratotik sel
 Beberapa pulau menunjukkan perubahan kistik atau berisi sekret
13
(cairan) eosinophilic tidak berbentuk
 Stroma berisi jaringan fibrous yang melimpah
 Sekeliling sel terdiri dari squamous atau sel kuboid gepeng
• Jarang dijumpai  kurang dr 1% dr tumor odontogen
• Lokal aggresif
• Dapat perforasi ke cortical plate
ETIOLOGI:
• stratum intermedium
• Enamel organ
• Sisa dental lamina
KLINIS:
• Pada penderita usia 30-50 thn dan tidak ada predeleksi
gender
• Lebih banyak pada posterior mandibula
• Tidak sakit
• Pembengkakan tumbuh lambat tanpa gejala 14
• Adanya ditandai dengan pembentukan pulau, lembaran atau benang dari sel epitel polihedral pada stroma fibrous.
• Mengandung nukleus variasi ukuran dan bentuk yang cukup besar
• Terdapat area luas dari amorphous eosinophilic hyainized (seperti amiloid), material ekstraseluler terhyalinisasi juga
sering tampak. 15

• Gambaran utama: kalsifikasi yang dibentuk dari bahan seperti amiloid dan membentuk cincin konsentris yang biasa
disebut cincin Liesegang.
• Prevalensi 3-7% dari seluruh tumor odontogen

ETIOLOGI:
 Berasal dari enamel organ epitelium
 Sisa dental lamina

KLINIS:
 terjadi pada region anterior maksila (terbanyak pada
area insisivus lateral-caninus)
 75% kasus berhubungan dengan mahkota gigi
impaksi
 Asymptomatic
 Dekade 2 16
Duct like

HPA;
• Lesi dikelilingi kapsul fibrous yang tebal
• Tumor berisi spindle-shaped epithelial cells, yang
Rosette like
berbentuk helai atau lingkaran dengan sedikit
jaringan ikat
• Sel epitel dapat membentuk
• Rosette like structure
• Tubular
• Duct like strukture
• Terkadang di jumpai kalsifikasi pada tumor
Kapsul fibrous

17
18
• Tumor yang ditandai dengan proliferasi dari kedua jaringan
epitel dan mesenkimal tanpa pembentukan enamel atau
dentin.
ETIOLOGI:
• Belum diketahui, diduga lesi de novo pada tahap
odontogenesis
KLINIS:
 tumbuh lambat,
 Dekade 1 & 2
 70% terdapat di posterior mandibula
HPA:
 Tumor terdiri dari sel jaringan mesenkim yang menyerupai
19
primitive dental papilla, yang bercampur dengan proliferasi
odontogenic epithelium
• Tumor yang terdiri dari dental papila yang di kelilingi
cuboid atau columnal epitel yang menyerupai
enamel epitelium dari enamel organ
ETIOLOGI:
• Berasal dari mesenkim dari pertumbuhan gigi yang
gagal membentuk organ gigi
KLINIS:
 Lesi baru
 Baru terdapat 9 kasus
 3-19 tahun
 Mandibula lebih banyak dibanding maksila
HPA:
 Lesi anggresive
 asympthomatic  Proliferasi jaringan ektomesenkim atau myxoid fibrous
yang longgar
 Sel stellate yang tersebar
20
 Fusiform fibroblast di bagian tengah tumor
 Periferal lesi dilapisi oleh columnar atau cuboidal epitel
• Tumor yang sering terjadi
• Ini bukan true neoplasm tapi dianggap kelainan
pertumbuhan
• Terdapat dua tipe:
1. Compouns : multiple small tooth like structure
2. Complex : lesi yang berisi kumpulan massa
enamel dan dentn, tetapi tidak menyerupai
gigi
KLINIS:
 Dekade 2
 Tipe compound sering di anterior maksila,
sedangkan tipe complex sering muncul di regio
posterior maksila dan mandibula
 Asymptomatic
 Menghambat erupsi gigi permanen 21
Compund odontoma Complex odontoma
HPA: HPA:
• Terdiri dari enamel, dentin, dan sementum yang • Terdiri dari enamel, dentin, dan sementum tetapi
menyerupai bentukan gigi tidak menyerupai bentukan gigi
• Enamel matriks immanture dan hypomineral • Bentukannya acak

22
• Variasi dari calcifying odontogenic cyst
(COC)
• Locally invasive neoplasma
• Dapat berupa central (intraosseous) atau
peripheral (extraosseous di gingiva atau
alveolar mucosa)
• Intraosseus banyak muncul di M1-C
mandibular
• Periperal banyak muncul di anterior HPA:
mandibula, exophilic nodul di gingiva atau • Terdapat pulau odontogenik epitel dengan mature connective tissue
alveolar mukosa pasien edentulous  menyerupai ameloblastoma
• 12-75 tahun • Terdapat sel ghost sel besar, ellipsoidal keratinized epiteali cell
ETIOLOGI: tanpa inti

 Diduga dari rest of serre atau permukaan • Ghost sel berasal dari metastasis odontogen epitel atau squamous
epitel metaplasia atau degenerasi sel epitel atau hasil proses apoptosis
23
• Terdapat homogeneously basophilic globules of calcification
• Terdapat dentinoid atau osteoid material
24
KLINIS:
• Dekade 4
• Unilucular radiolucency
• 60% di masilla (anterior M1), 50% di posterior
mandibula
• asympthomatic
HPA:
• Proliferasi fibroblast-like spindle cell yang tebal
• Stroma kolagen tipis
• Bebrapa tumor nampak myxoid stroma
• Odontogenik epitel jarang
• Kadang terdapat clear cell
25
• Nampak eosinofilic material
• Terkadang terdapat kalsifikasi
KLINIS:
• Dekade 2-4
• Menyebabkan ekspansi tulang rahang
• Multilokular radiolucency
• Posterior maksilla dan mandibula
• Berhubungan dengn resorpsi akar dan perforasi
cortex
HPA:
• Tidak terbungkus
• Infiltrasi proliferasi spindle, bipolar dan sel
stellate dengan nukleus tipis didalam
mucinous/myxoid stroma
• Pulau epitel odontogen jarang terlihat
26
KLINIS:
 Dekade 2 & 3
 Berhubungan dengan akar gigi posterior
 Lebih sering di mandibula dibanding maksila
HPA:
 Proliferasi cementoblast
 Lesi terdiri dari lembaran atau trabekula tipis dengan
lacunae ireguler dan basophilic reversal lines yang
menonjol
 terkadang di temukan multinucleated sel giant
 Lesi nampak seperti osteoblastoma

27
• Tumbuh dari periodontal ligamen
• Terdiri dari sementum, tulang, jaringan
ikat
• Slow growing intrabony mass
• Leboh sering pada wanita usia dekade 3-
5
• 70-90% di mandibula
• Asymptomatic
• Berhubungan dengan trauma
HPA;
• Terdapat fibrocelluler tissue, immature
bone trabekula dan cementoid
28
29
30
Carsinoma : Epitel
Sarcoma : Mesenkym
31
• Aggresivve neoplasma
• Jarang terjadi
• Mandibula atau maksilla
• Ameloblastoma carsinoma : malignant cytology
Malignant ameloblastoma : minimal cytology atypia
tapi metastasis
HPA:
 Follicular (sering), plexiform, trabecular
 Mitotic activity, inti hiperkromatin
 Terkadang peripheral palisade hilang

32
KLINIS:
 Dekade 6-7
 80% posterior mandibula, 10% anterior maxilla
 Perforasi cortex, nyeri, mobility gigi, parastesi
HPA:
Verrucous carsinoma
 Tumbuh de novo didalam tulang, atau dari
kista/tumor odontogen (odontogenic keratocyst)
 Bentukan squamous sel carsinoma, high grade
 Lesi yang tumbuh dari lapisan keratocystic
odontogenic tumor umumnya berkeratin
 Terdapat displasia yang bervariasi
 Tumor membentuk verrrucous atau papillary
squamous carsinoma 33

Pulau squamous, dyskeratosis Keratin formasi & nuclear atypia


• Jarang, 15 kasus
• Locally aggresive malignant dengan metastasis rendah
• Invasive dan destruktif
• Mandibula > maksila
• Posterior mandibula
• Perpindahan gigi, parastesi
HPA:
 Sclerotic stroma
 Proliferasi epitel berbentuk tali atau sarang dengan
infiltrative margin
 Displasia sel
 Inti hiperkromatin

Sclerotic : mengeras 34
Sclerotic stroma : mengerasnya jaringan fibrous
KLINIS:
 Dekade 6
 Wanita > pria
 75% di mandibula
 Kehilangan gigi, parastesi
HPA:
 Infiltrative tumor berbentuk pulau dal lobul
sel round/polyhedral dengan tepi yang jelas
 Clear cell atau eosinofilic pucat
 Inti hiperkromatin
 Terdapat mitosis
 Sedikit atipia
35
 Berasal dari calcifying cystic odontogenic
tumor atau dentinogenic ghost cell tumor
 Jarang
 Sering di pria
 Maksila > mandibula
Atipia, mitosis
 Sakit, parastesi, resorbsi akar atau gigi
pindah
HPA:
 Ghost cells  bisa kalsifikasi
 Sel atipia

36

Ghost cell, mitosis


 Jarang
 Berhubungan dengan ameloblastoma,
ameloblastic fibroma, ameloblastic
fibrosarcoma, dan osteosarcoma,
 Terdapat proliferasi epitel dan
mesenkim yang malignant
 De novo atau dari lesi jinak yang
bertransformasi
 Aggresive, rekuren tinggi, metastasis
 HPA:
 Sel epitel malignant yang membentuk
pulau atau tali
 Pleomorphic (variasi ukuran & bentuk Malignant epitel komponen : malignant mesenkin komponen :
sel dan inti) pleomorphic, sel membesar dan hiperseluler, pleomorphic, sel
 Inti hiperkromatin inti sel atipia membesar dan inti sel atipia

 Hiperseluler sel mesenkim 37

 Atipia
• Kadang terdapat komposisi enamel dan dentin
• Ameloblastic fibrodentinosarcoma : terdapat dentin
didalam malignan stroma
• Ameloblastic fibroodontosarcoma : terdapat enamel
didalam malignan stroma
• De novo atau transformasi ganas dari ameloblaslastic
fibroma
• Local aggresif, rekuren tinggi, jarang metastasis
• Sakit, bengkak, parastesi
• Mandibula > maksila

HPA:
 Benign epitel komponen dan malignant mesenkim
komponen
 Proliferasi connective tissue stroma yang berlebihan
 Pleomorphic sel
 Mitotic sel, anaplasia
38
 Inti sel : vesicular, prominent, hiperkromatin,
pleomorphism
 Lapisan epitel parakeratin strtified squamous
EPULIS

drg.Amy Nindia Carabelly, M.Si


Definisi : tonjolan /tumor abnormal pada gingiva, lokal dan berbatas jelas
Etiologi :
• Iritasi kronis → hiperplasia → radang kronik → epulis
• Hormonal
• Kelainan kongenital
Gambaran klinis :
• Tumor epitel → palpasi kenyal
• Batas jelas
• Sessile / pedunculated
• Sakit / tidak sakit
• Berdarah / tidak mudah berdarah
• Pink / merah keunguan
Gambaran histopatologi :
• Hiperplasia epitel
• Rete peg tidak beraturan
Terapi :
 Hilangkan iritasi/ faktor penyebab
 Eksisi
Prognosis : Baik
MACAM EPULIS
• Epulis Fisuratum
• Epulis Fibromatosa
• Epulis Granulomatosa
• Epulis Gravidarum/ Pyogenik Granuloma
• Epulis Gigantoselulare/ Giant Cell Epulis
• Epulis Angiomatosa/ Talangiectitacum
• Epulis Kongenital
- - - - - - S u l c u s
Marginal
gingiva
Sulcular
----epithelium

Relepegs
(epithelium)

Attached
gingiva
Propr� Ipapilae ..-•
(�mina
propria/connectiv
Junctional
Periodontal epithelium tissue)
ligament
Retepegs
(eprthelium)

Proprialpapilae
(lamina . ,... _
propria/connectiv
tissue)

Gingiva normal Epulis Fisuratum


Epulis Fisuratum Epulis Fibromatosa
•Di area gingiva yang Di papila interdental
terkena gigi palsu
•Iritasi kronik ok gigi palsu Iritasi kronik
:
tumpatan overhanging,
kalkulus
•Bentuk memanjang 
Bentuk bulat, lokal
Epulis Fisuratum Epulis Fibromatosa
Epulis Granulomatosa Epulis Gravidarum

•Iritasi kronis •Iritasi kronis + hormonal (hamil)


•Pasca pencabutan/restorasi gigi •Kalkulus
•Bergranula •Bergranula
•Merah ungu •Merah ungu
•Mudah berdarah •Mudah berdarah
Epulis Granulomatosa Epulis Gravidarum
EPULIS ANGIOMATOSA/
TELANGIECTATICUM
•Di papila interdentalis
•Angiomatosa → pembuluh
darah besar
•Telangiectaticum →
pembuluh darah kapiler
•Sel radang kronis
Giant cell epulis
EPULIS KONGENITAL

•Congenital granular cell tumor of


alveolar mucosa of jaw in newborns
•90% girls; 10% present as multiple
lesions
•Doesn't recur, even if incompletely
excised 0.5 - 2 cm soft, pedunculated
mucosal mass
•Spontaneously regresses over first 8
months of life
TERIMA KASIH
KISTA
ODONTOGEN

Drg. Amy Nindia Carabelly, M.Si

PSKG ULM
 Kista adalah rongga patologis berisi bahan cair/

setengah cair, dibatasi dinding kista yang dilapisi


KISTA epitel menghadap lumen dan bagian luarnya

dilapisi oleh jaringan ikat dan pembuluh darah

 Kista
1. True cysts: dilapisi epitel
2. Pseudo cysts: tidak dilapisi epitel

 Epitel kista dapat bertransformasi menjadi


neoplastik

 Bersifat destruksi bukan resorpsi


Gambaran Histopatologi:
 Nampak rongga kista
dilapisi epitel
 Terdapat sel infiltrasi
radang kronis
Gambaran Radiologi:
Nampak radiolusen dengan batas radiopaq pada daerah yang terlibat
Terapi :
 Enukleasi  pengambilan kista secara
keseluruhan
 Marsupialisasi  pembuatan jendela
pada dinding kista  pengambilan sebagian
dinding kista
Prognosis : Baik
PATHOGENESIS
TAHAPAN:
A. Cyst Initiation
Sel-sel inisiator adalah
1. Cell rest of Malassez C. Cyst Enlargement
(remanants of Hertwigs epithelial root
1. Peningkatan volume oleh karena isi kista
sheath in the periodontal ligamen after
the root formation is completed) 1. Sekresi mucus
2. Reduced enamel epithelium 2. Transudasi atau eksudasi  ok infeksi/inflamasi
(residual epithelial cells surround the  Inflammatory cells release cofactors
crown of the tooth after enamel formation
 Lymphocytes release lymphokine
is complete)
 Osteoclast activating factor
3. Cell rests of serres (Dental lamina)
 Monocytes release interleukin-1
(Islands of epthelial cells that originate
from the oral epithelium and remain in 3. Peningkatan osmolaritas
the tisuue after inducing tooth
development)  Raises internal hydrostatic pressure
 Attracts fluid into the cavity
B. Cyst Formation
 Retention of fluid within the cavity
Mengakibatkan proliferasi sel epitel dan
2. Peningkatan permukaan area kantong atau proliferasi epitel
pembentukan small cavity
3. Resorpsi tulang sekitar
Rest epithel of
Malassez

Fase pertumbuhan gigi bell


stage.

A: Ameloblast

B: Tulang

D: Dentin
Fase pertumbuhan
gigi cap stage DP: Dental Papila
DF: Dental folicle; O: Odontoblast
DL: Dental Lamina;
DP: Dental Papila SR: Stellate retikulum
Str1t lfied
squamous
eplth eU• I
layer S1rat111eel
sQu:omous
ep1tl'lehum

Basement
membrane

..,

Type of epithelium Associated type of mucosa Basic histological description

Nonkeratinized epithelium Lining mucosa Basal intermediate, superfisial layers


Orthokeratinised epithelium Masticatory mucosa Basal princle, granular, keratin layers (cell
cointain only keratin and no nuclei)
Parakeratinized epithelium Masticatory mucosa Basal princle, granular, keratin layers (cell
cointain keratin and nuclei)
ODONTOGENIC CYSTS
WHO CLASSIFICATON -
2017
DEVELOPMENTAL ORIGIN
 Dentigerous cyst
 Odontogenic keratocyst
 Lateral periodontal and botryoid odontogenic cyst
 Gingival cyst
 Glandular odontogenic cyst
 Calcifying odontogenic cyst
 Orthokeratinized odontogenic cyst

INFLAMMATORY ORIGIN
 Radicular cyst
 Collateral inflammatory cyst

NON ODONTOGENIC CYST


 Nasopalatine cyst
THE CYSTS FROM
DEVELOPMENTAL
ORIGIN
KISTA DENTIGEROUS / KISTA FOLIKULER
KLINIS:
ETIOLOGI :
 Kista odontogen terbanyak kedua
 Berasal dari reduced enamel epithelium  Berkaitan dengan gigi yg tidak
(campuran external dan internal enamel erupsi terutama M3, C RA & P
epitelium setelah gigi terbentuk)  Tumbuh sentral, lambat → mencapai
ukuran besar
 Mengalami squamous metaplasia  Asimtomatik  kecuali ada
 Berkembang dalam folikel dental yang normal sekunder infeksi
 Usia : pada semua dekade →
 Mengelilingi gigi yang tidak erupsi, menempel puncaknya dekade III& IV
di CEJ
PATOGENESA : DD (Rö):
1. Terjadinya penumpukan cairan intra folikuler  Unilokuler ameloblastoma
di dalam enamel organ.  Adenomatoid odontogenik tumor
2. Hancurnya sel-sel epitel pada folikel (yang  Ameloblastik Fibroma
berproliferasi) pada gigi yang impaksi dan
 Odontogenic keratocyst
3. Terjadinya peningkatan tekanan osmotik → TERAPI:
cairan masuk → kista.
Enukleasi/ marsupialisasi
RŐ :
 Unilocular
 Radiolusen berbatas jelas dengan tepi
radiopak pada mahkota gigi yang impaksi.
 Gambaran radiolusen dapat central,
lateral dan circumferential
HPA:

 Epitel dilapisis nonkeratinized stratified

squamous epitelium

 Dinding kista jar. ikat fibrous → fibroblas


CEJ
 Kadang-kadang epitel permukaan secara

morfologi mirip epitel pelapis ameloblastoma.


Odontogenic Keratocyst
 Locally aggresive DD:
 Kista rahang yang membentuk keratin  Ameloblastoma
 RM yang berkeratin  hard palatum & gingiva  Kista dentigerous
 Calcyfing odontogenic cyst
ETIOLOGI :
 Adenomatoid odontogenic cyst
 Berasal dari rest dental lamina
 Ameloblastic fibroma
KLINIS :

 Dekade 3-4 TERAPI:


 Pria > wanita  Enukleasi/ marsupialisasi
 Unilokuler atau multilokuler  Tidak direkomdasikan untuk
kuretase
 Dapat terjadi di semua rahang, tetapi lebih
sering di posterior mandibula Tingkat rekuren tinggi
 Terkadang berhubungan dengan gigi impaksi
Odontogenic Keratocyst
HPA:
 Epitel berlapis pipih ± 5-10 lapis dengan parakeratosis
 Inti basal cell tersusun palisade yang rata
 Lumen berisi debris keratin
 Epitel tanpa retepek
 Terdapat satelit cyst dalam dinding kista
Lateral periodontal and Botryoid odontogenic cyst

ETIOLOGI :
 Berasal dari rest dental lamina
 Unilocular : Lateral periodontal cyst
Multilocular : Botryoid odontogenic cyst

KLINIS:

 Lesi di antara dua gigi vital


 Premolar (sering), Caninus
 Sering terjadi di mandibula

TERAPI:

Enukleasi / kuretase
Lateral periodontal and Botryoid odontogenic cyst
HPA:
 Epitel dilapisi nonkeratinized stratified squamous epitelium atau sel cuboid
 Epitel plaque tersusun oleh clear cell yang berisi glycogen
Clear cell
(sitoplasma bening)
Gingival Cyst of Infant/ Gingival Cyst of Adult
Bohn nodule ETIOLOGI :
 Berasal dari rest dental lamina (rest of
serres) di gingiva
ETIOLOGI :
 Berasal dari rest dental lamina KLINIS:
 Terletak di free gingiva, attached gingiva,
TERAPI: gingival papila
Tidak perlu  usia 3 bulan akan  Regio gigi sekitar vital
hilang  Pria > wanita

HPA:  Usia dekade II-VIII  puncak dekade V


&VI
 Simple kista yang dilapisi 3-5
DD:
layer stratified squamous
epithelium  Sialocyst

 Biasanya dipenuhi keratin  Odotogenic keratocyst

TERAPI:
 Eksisi
Jarang terjadi rekuren
Gingival Cyst of Adult
HPA:
 Dilapisi nonkeratinized cuboidal atau
squamous epithelium
 Terkadang di temukan clear cell di epitel
plaque
DD (Rö):
Glandular Odontogenic Cyst  Kista dentigerous
 Mucoepidermoid carsinoma
ETIOLOGI :
 Kista Botryoid odontogenic atau
 Berasal dari rest dental lamina lateral periodontal

KLINIS: TERAPI:

 Unilokular atau multilokular  Periferal ostectomy/ blok reseksi/


marginal reseksi
 Bersifat locally aggressive
 Enukleasi/ Kuretase
 usia 50-70 tahun
Tingkat rekuren tinggi
 80% terjadi di mandibula dan
menyebabkan ekspansi rahang
 60% terjadi di anterior rahang
 Lesi berhubungan dengan
pemindahan gigi, resorpsi akar,
gigi impaksi,
 Lesi dapat menyebabkan
perforasi cotex (60%)
HPA:
Glandular Odontogenic Cyst  Unikistik/multikistik
 Epitel dilapisi
nonkeratinized
stratified squamous
atau basaloid epitel
 Terdapat sel mukosa
atau sel serupa duktus
atau mirocystik d
wilayah epitel
 Bagian dari kista dapat
dilapisi oleh sesuatu
yang tidak di ketahui
 Sel luminal terkadang
nampak aktifitas
secretory dan
berbentuk seperti
moncong (snouting)
 Terkadang terdapat
epitelial plaque dan
clear cell
Calcifying Odontogenic Cyst
(COC)
ETIOLOGI :
 Berasal dari rest dental lamina

KLINIS:

 Dekade 2 & 3
 Unilokuler
 Lokasi anterior maxilla atau posterior
mandibula,
 90% terjadi di posterior mandibula
DD:
atau ramus
Ghost cell odontogenic tumor
 Terkadang berhubungan dengan gigi
impaksi TERAPI:
 Enukleasi/ eksisi
Jarang terjadi rekuren
HPA:
1. Simple cystic
 Single kista yang dilapisi
squamous atau sel yang
menyerupai stellate retikulum
dengan sedikit sel basal yang
tersusun palisade

 Terdapat ghost cell (sel tanpa


inti, sitoplasma eusinofil)

 Terdapat dystropic kalsifikasi


 Lesi sering berhubungan dengan
odontoma

2. Ameloblastomatous
 Seperti gambaran simple cystic 3. Dentinogenic ghost cell tumor
tapi terdapat proliferasi
 Komponen sama dengan simple cystic tetapi
ameblastoma yang membentuk
tanpa struktur kistik
tali/pulau
 Ghost cell melimpah
 Terdapat lapisan epitel dengan
inti basal sel palisade yang  Terdapat endapat dentinoid yang luas &
terbalik di dalam dinding kista calsifikasi
Orthokeratinized Odontogenic Cyst
ETIOLOGI :
TERAPI:
 Berasal dari rest dental lamina
 Menyerupai kista epidermoid Eksisi / kuretase
Jarang rekuren
KLINIS:

 Usia 30-40 tahun


 Pria lebih banyak daripada
wanita
 90% terjadi di posterior
mandibula atau ramus
 Terkadang berhubungan dengan
gigi impaksi

DD:
Keratocystic odontogenic tumor
(apabila terdapat parakeratin)
Orthokeratinized
HPA:

 5-15 lapis ortokeratin dan granular layer


 Inti sel basal tidak tersusun palisade
 Tidak terdapat inflamasi
 Terdapat material keratin di lumen
 Tidak terdapat kista satelite di dinding
THE CYSTS FROM
INFLAMMATORY
ORIGIN
Radicular Cyst
ETIOLOGI :
 Inflamasi  karies, trauma, devitalisasi
 Berasal dari proliferasi rests of Malassez
 Kista terbanyak di rongga mulut

KLINIS:

 Gigi non vital


 Apical atau lateral
 Sakit
 kalo terjadi rekuren  residual cyst

DD:
TERAPI :
 Semua inflamasi intraosseous, odontogenik
 Enukleasi
 Granuloma periapikal
 Curetase
 Penyakit periodontal kronis
 Apicoectomy
Radicular Cyst
HPA :
 Dilapisi nonkeratinized stratified
squamous epithelium
 Proliferasi epitel membentuk
plexiform atau retiform
 Dinding kista berisi edematous
granulation tissue, scar tissue, sel
plasma, Russell bodies, limfosit,
foamy makrofag, terkadang
terdapat abses
 Terdapat hyaline lamellar atau
rushton bodies (globular struktur
dari odontogenik) di dalam epitel
 Terkadang terdapat material root
canal filling
Inflammatory Collateral Cyst/ Paradental Cyst
ETIOLOGI : DD:
 Inflamasi  erupsi parsial M3 yang  Kista dentigerous
mengalami pericoronitis
 Kista Lateral periodontal
 Berasal dari permukaan lateral akar gigi  Pericoronitis
 Berasal dari proliferasi rests of Malassez /
TERAPI:
crevicular epitel/ reduced enamel
epithelium Enukleasi tanpa/ dengan mencabut gigi
 Jarang terjadi di rongga mulut Jarang rekuren

KLINIS:

 Regio mandibular
 Dewasa > anak
 Bukal (sering), distal, fasial gigi M3
 Gigi M3 vital
Inflammatory
Collateral Cyst/
Paradental Cyst
HPA :
 Dilapisi nonkeratinized
stratified squamous
epithelium
 stratified squamous
epithelium membentuk
arcade (gang)
 Terdapat sel inflamasi
NON
ODONTOGENIC
CYST
Nasopalatine Cyst
ETIOLOGI :
 Berasal dari sisa duktus nasopalatinus di
lantai poterior nasal cavity anterior menuju
midline palatum

KLINIS:

 Bentuk bulat, oval, atau bentuk hati di Heart shaped between the
regio insisivus sentral rahang atas upper central incisors
 Simetris radiolusen
 Menyebabkan akar divergen
 Gigi vital
 Dekade 4 & 5

TERAPI:

Eksisi
Nasopalatine Cyst

HPA :
 Dilapisi nonkeratinized stratified squamous epithelium, low cuboidal,
pseudostratified, columnal
 Terdapat sebaran sel mukous bersilia
 Terdapat nasopalatine neurovascular bundle
PEMERIKSAAN PATOLOGI
TUMOR
RONGGA MULUT

FKG
Universitas
Lambung Mangkurat
Fungsi.

• Menegakkan diagnosa
• Rencana perawatan
• Menetukan prognosis
Indikasi
• Lesi yang menetap lebih dari dua minggu tanpa diketahui
penyebabnya
• Lesi yang membesar dan tidak memberkan reaksi pada perawatan
local setelah 10-12 hari
• Lesi hiperkeratotik yang menetap
• Tumor yang menetap, baik yang Nampak atau terdeteksi pada palpasi
• Pembesaran yang tidak diketahui penyebabnya dan menetap untuk
waktu yang lama
• Lesi yang mempengaruhi fungsi local misalnya fibroma
• Lesi tulang yang tidak teridentifikasi secara spesifik setelah
pemeriksaan klinis dan radiografis
• Lesi yang mempunyai karakteristik sebagai keganasan
• Pemeriksaan histopatologi yang memadai harus
dibantu dengan:
– Data klinis pasien yang lengkap
– Specimen yang baik: adekuat, representatif,
penyimpanan baik.
– Harus terendam formalin

• Kadang diperlukan pemeriksaan histologi cepat


saat operasi – disebut Frozen Section
examination (jaringan dbekukan – dipotong –
dicat – dilihat dgn mikroskop).
Contoh:
– untuk menentukan radikalitas operasi tumor
ganas
– untuk menentukan jinak / ganas saat operasi
Diagnosis neoplasma dapat dilakukan
berdasarkan:

1.Pemeriksaan makroskopis. klinis


2.Pemeriksaan hormon dan enzim. tu.marker
3.Pemeriksaan darah tepi.  lab
4.Pemeriksaan mikroskopis.  sitologi / hpa
Pemeriksaan khusus sesuai kebutuhan
meliputi:

•Pengecatan khusus
•Pengecatan imunohistokimia
•Pemeriksaan otopsi klinik
DETEKSI DINI KEGANASAN
Pemeriksaan Patologi Anatomi berperan dalam
diagnosis suatu penyakit.

Deteksi dini keganasan dalam mulut sulit


dilakukan secara klinis, diperlukan cara
diagnostik secara laboratoris.

Pemeriksaan Lab Patologi Anatomi seperti


pemeriksaan sitologi dan histopatologi
PEMERIKSAAN PATOLOGI
UNTUK TUMOR R M.
Untuk mendiagnosis tumor atau suatu
keganasan dikelompokkan menjadi 2
yaitu:
1. Histopatologis
2. Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan Histopatologis
• Biopsi merupakan salah satu cara
pemeriksaan patologi anatomi yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis
pasti suatu lesi,
• bermanfaat untuk rencana perawatan,
• untuk menentukan prognosis.
Cara pengolahan jaringan biopsi:

• a. Cara klasik dengan blok parafin


dan dipulas dengan HE. Cara ini
memerlukan waktu beberapa hari.
• b. Cara potong beku (frozen section,
vriescoupe),  digunakan untuk
tindakan operas! cepat. Jaringan
segar atau yang telah difiksasi,
dibekukan dengan CO2
TAHAPAN YANG PERLU
DIPERHATIKAN PADA HPA

1. Persiapan Jaringan
2. Pemprosesan Jaringan
3. Pemotongan jaringan
4. Pewarnaan/ pengecatan jaringan
Interpretasi biopsi
Data klinis harus dipertimbangkan dalam
penilaian jaringan biopsi. ada 2
tingkatan yang berbeda:
1. Penilaian perubahan histopatologis yang
terjadi.
2. Analisis perubahan-perubahan berdasar
kan keadaan klinis dan morfologis.
• Pada biopsi dapat terjadi hasil positif
dan negatif palsu
• Bagian terpenting dari laporan biopsi
adalah deskripsi mikroskopis yang
menjabarkan secara rinci hal-hal
yang mendasari diagnosis
Pemeriksaan Sitologi
Sitologi adalah ilmu yang mempelajari morfologi
dan/atau sifat kimiawi sel atau bagian sel.

Sitodiagnosis merupakan pemeriksaan sitologi untuk


mendiagnosis atau cara mendiagnosis  merupakan
pemeriksaan tambahan dari biopsi ( bukan sebagai
pengganti biopsi.)

Pemeriksaan sitologi didefinisikan sebagai


pemeriksaan mikroskopis sel yang diapus dari
permukaan lesi dengan mempelajari karakteristiknya
Dasar pemeriksaan sitologi sebagai alat bantu
diagnostik untuk tumor:

• Pemeriksaan sel yang terlepas dengan tujuan


penentuan keganasan dalam tingkat dini.
• Sel tumor ganas kohesinya kurang sehingga
mudah terlepas.
• Sel tumor ganas mempunyai sifat yang berubah
dari sel normal. Perubahan ini dinamakan
anaplasia.
Cara pengambilan bahan klinis
Pengambilan bahan klinis dalam mulut
dapat dilakukan secara:
• Imprint: kaca objek ditempelkan pada
permukaan lesi.
• Swab: mengusap menggunakan cotton
bud, semen spatula, spatula kayu.
• Scrap : mengerok permukaan lesi.
• Biopsi aspirasi untuk tumor berongga yang
mengandung cairan.
Akurasi hasil pemeriksaan
sitologi
• Akurasi pemeriksaan sitologi sama
dengan pemeriksaan histopatologi.
• Pada kasus keganasan atau yang
dicurigai sebagai keganasan, ahli
sitopatologi  gambaran karakteristik sel
dengan pemeriksaan histopatologi serta
data laboratoris pendukung lainnya.
Interpretasi sitologi
Kriteria interpretasi hasil sitologi yang
digunakan oleh sitopatologis sebagai
petunjuk adanya keganasan adalah:
• Perubahan pada inti sel ukuran
(membesar), bentuk (bervariasi atau
pleomorfik),
• distribusi kromatin tidak normal dan warna
menjadi lebih gelap (hiperkromatik),
• perbandingan inti-sitoplasma tdk normal,
• dinding inti tidak teratur, anak inti lebih dari
satu dan tidak teratur.
PEMBUATAN SEDIAAN

SITOLOGI
BAHAN DAN METODOLOGI
Pembuatan sediaan mikroskopik sitologi/ tehnik
hapusan  berbeda dengan bahan padat ,  tidak
memerlukan tahap pemprosesan dan pemotongan
jaringan.

Pembuatan sediaan hapusan dapat dibagi menjadi


dua tahap yaitu :
- 1. tahap persiapan
- 2. tahap pengecatan
1. TAHAP PERSIAPAN a. Bhn hapusan/ lokiasi
b. Alat - alat

a. Bahan hapusan dapat diambil dengan cara :


1. mengerok/ scrabing : untuk bahan dari mukosa
rongga mulut
2. aspirasi : untuk bahan dari cairan kista

b. alat-alat yang diperlukan:

Tahap persiapan pembuatan sediaan hapusan


memerlukan :
1. Pemberian label yang bertujuan
a. mencegah kekeliruan bahan
b. memudahkan pemeriksaan ulang
2. Fiksasi
Berbeda dengan pembuatan sediaan sayatan ,
pada sediaan hapusan fiksasi dibagi menjadi :

a. Fiksasi primer
dilakukan sebelum bahan dihapuskan.
dilakukan untuk pengiriman bahan yang masih berupa
cairan atau sisa bahan yang masih diperlukan untuk
pemeriksaan lebih lanjut.

Yang perlu diperhatikan pada fiksasi primer :


- kadar protein dari bahan makin tinggi kadar protein dari
suatu bahan, digunakan kadar alcohol yang rendah ( 70% ).
- perbandingan bahan fiksasi dengan volume bahan yang
dilakukan di lab. 1-10 kali volume bahan
- waktu fiksasi yang dilakukan dilab. 10 jam dan tidak
lebih dari 7 hari.
b. Fiksasi sekunder
Merupakan fiksasi yang dilakukan setelah bahan dihapuskan
pada gelas benda
Bahan yang sering digunakan adalah bahan fiksasi alcohol 95 %
selama 15 – 30 menit.

Beberapa bahan yang dapat digunakan untuk fiksasi hapusan adalah:


1. alcohol eter (alcohol 95% dengan dietil eter dalam perbandingan
volume yang sama).
2. alcohol 95 %
3. campuran 7 bagian butyl alcohol dan 3 bagian alcohol 95%
4. larutan schaudin
larutan merkuri chlorida jenuh sebanyak 66 ml
etil alcohol absolut sebanyak 33 ml
asam asetat (glacial) sebanyak 0,3 ml
bahan tersebut diatas dibuat larutan yang homogen
3. Membuat hapusan
Hapusan dapat dibuat dari bahan segar atau
bahan yang telah difiksasi.
Cara menghapuskan bahan dapat dengan bantuan
gelas obyek / gelas benda (yang kedua ujungnya
telah ditumpulkan ) , langsung dengan sudip
(spatula), atau dengan alat kerok (scraper).

Setelah bahan dihapus segera difiksasi (fiksasi


sekunder).
2. TAHAP PENGECATAN

A. PAPANICOLOAU.
Cat yang perlu disiapkan :
a. cat hematoksilin 5 gram dilarutkan dalam 50 ml
alcohol absolut.
Larutan potassium alum / amonium alum dalam air
suling dengan dipanaskan.
Kedua larutan dicampurkan dan segera didihkan,
selanjutnya diambil dari penangas dan
ditambahkan asam merkuri perlahan-lahan, kemudian
dipanaskan lagi sampai larutan berwarna ungu gelap.
Sebelum digunakan larutan hematoksilin harus
disaring.
b. cat orange
O.G.6 persediaan ( 0,5 % dalam etil alcohol 95% )
sebanyak 100 ml.
Asam fosfotungstat 0,015 gram.
Keduanya dilarutkan sampai homogen.

c. cat eosin azure 50 (E.A.50)


light green S.F (0,1 % dalam etil alcohol 95%)
bismark brown (0,5 % dalam etil alcohol 95%)
eosin yellowish (0,5 % dalam etil alcohol 95%),45ml
asam fosfotungstat sebanyak 2 gram
lithium karbonat beberapa tetes
bahan tersebut dibuat larutan yang homogen
Cara pengecatan :
1. hidrasi :
- alkohol 95%
- alkohol 70%
- air suling
2. Pengecatan utama :
hematoksilin Harris selama 5 – 30 detik
3. Deferensiasi :
- air suling
- alcohol 95%
- ammonia (0,1% dalam alcohol 95%)
- alkohol 95% selama 1 menit
4. Pengecatan pembanding (1) :
- O.G.6 selama 90 detik
- Alcohol 95% dua kali , masing-masing selama 5 celup.
5. Pengecatan pembanding (2) :
- E.A 50 selama 90 detik
6. Dehidrasi :
- alkohol 95% , 2 kali masing-masing selama 5 celup
- alkohol absolut 2 kali masing-masing 5 celup
7. Penjernihan :
- alcohol absolut 2 kali selama 5 celup
- xilol 2 kali masing-masing selama 5 celup
8. Mounting :
entelan atau balsam Canada.
B. CARA PENGAMBILAN BAHAN APUSAN DAN
PEWARNAAN RAPID:
1. Bahan diambil dengan spatel ; kerokan / apusan
dilakukan pada mukosa mulut dari belakang ditarik
kearah depan dengan sedikit tekanan dan tidak melukai;
2. Bahan pada spatel dioleskan merata pada obyek glass
(yang diberi label);
3. Sediaan dimasukkan dalam larutan fiksasi (lar.I), selama
+3 detik dan dikeringkan
4. Sediaan dimasukkan dalam larutan Eosin (lar.II), selama
+30 detik dan dicuci dengan air
5. Sediaan dimasukkan dalam larutan Metylene blue (lar.III),
selama +25 detik dan dicuci dengan air
6. Dikeringkan dan ditutup caver glass menggunakan
entelan
HAS I L

Hasil pengecatan sangat dipengaruhi oleh kwalitas

Inti berwarna biru / biru gelap


Sitoplasma dapat berwana : kemerahan, biru ,
kuning, hijau dan keabu-abuan.
ALAT DAN BAHAN UNTUK PEWRNAAN RAPID

1. spatel kayu / semen spatel 9. Lar. Fiksasi


2. obyek glass 10.Lar. Eosin
3. caver glass 11.Lar. Metylene Blue
4. staining jar 12.Air / aqua
5. hair dryer 13.Entelan
6. tissue
7. pinsil kaca / label
8. mikroskop cahaya
GAMBAR ALAT UNTUK MELIHAT LOKASI LESI
ALAT YANG DAPAT DIPAKAI UNTUK SCRABING
SIKAT KECIL DAN HALUS DAPAT DIPAKAI PENGAMBILAN
BAHAN APUSAN
ALAT YANG DIPAKAI

Kaca obyek
Kaca penutup
BAHAN PEWARNAAN RAPID (PAKET)

Larutan-1 Larutan-2 Larutan-3


Larutan - 1 (tidak berwarna)
Larutan - 2 (eosin = warna merah-orange)
Larutan - 3 (metylene blue = warna biru)
SKEMA PEMBUATAN SEDIAAN CARA RAPID
BAHAN

FIKSASI LARUTAN-1
5-10’ 3” KERINGKAN
KERINGKAN

LARUTAN-2
30”
TUTUP DNG
ENTELAN

KERINGKAN

AIR
AIR LARUTAN-3 1-3”
1-3” 20”
T.ar r nin o lo g i � ; Terrniooloqt
h1st<:>logr i sitologi

Slr at Lir n Sel


korneum aupertisial

f
'
Zona intraepltelial J
l
f
r'
Stratum soinosum Sel
Sl1perl1sla!is interrneoler

r
'
i
)
I
Stratum spinosum
orotundurn l Sel basal
eksterna
I
I
I
(parabasat)

l
Straturn sumdrikum { l Sel basal
J interna
(basal)

Gambar : susunan sel epitel normal


Susunan epitel normal NORMAL
secara sitologi
Sel keratin

SN : Sel superfisial
SF

IM

SN: Sel Superfisial dan Intermediet


SN: Sel superfisial
SN : Sel intermediet
SN: Sel intermediet
SN : Sel para basal
Sel superfisial

SN: Sel para basal


Sel radang

SF

IM

Sel radang
PMN

LIMFOSIT

Sel radang
PMN

Radang akut : sel P M N.


Sel netrofil
Eusinofil
Basofil
Sel makropak
Sel plasma
Sel monosit
Sel limfosit
Superfisial

Rdg akut: Leukositball


Hypae
Ground glass (herpes)
Infeksi Jamur - Clue sel
Clue sel


,
"" ., ..
...
.... ..

. Sel halo (hpv)


Sel haloperinuklear (hpv)
Sel vakuol
Displasia
Nis 1
Nis-1
Nis 2
Nis 3
Displasia high
Sel jenis ketiga

Sel kumparan
(fiber)

Gambar/bentuk sel ganas


Sel ganas

Ca: sel anaplasi


Ca
Ca
CIS
Cis

., , •
• ._ I
,



' �

••

-
,.".

..,.r
I
4l
I • •
' ""., J
...
• • #

' I
:,
•' ••

� ·•"
,1

""
• • .., • ,. . '
" ' ) I
' '•
Scc
Scc
Scc
BEBERAPA TERMINOLOGI
PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI
KASUS PRAGANAS DAN GANAS
• Istilah displasia, carcinoma in situ, dan
karsinoma invasif akan ditemukan pada
laporan hasil biopsi dan sitologi kasus
keganasan atau kasus yang dicurigai
ganas.
• Istilah-istilah ini sangat berkaitan satu
dengan lainnya karena mewakili 3 tahap
pertumbuhan keadaan patologis menuju
kanker
Invasive
In situ cancer
Cell with cancer
mutation !

Hyperplasia
Displasia
Kriteria adanya displasia epitel adalah
ditemukannya gambaran mikroskopis sbb:
• tingkat ringan ditandai perubahan pada sel ,
perubahan bentuk sel, dan gangguan polarisasi
atau susunan sel yang baru terbatas pada 1/3
lapisan basal mukosa mulut.
• Displasia tingkat sedang perubahan meliputi 2/3
ketebalan lapisan epitel dan sudah ditemukan
pleomorfi inti sel, mitosis yang meningkat, dan
keratinisasi sel individual atau diskeratosis.
• Pada tingkat berat, perubahan ini ditemukan
sangat nyata disertai hilangnya polarisasi epitel
meliputi seluruh ketebalan lapisan epitel.
HPA Displasia
Normal Mild dysplasia

Moderate dysplasia Severe dysplasia


Carcinoma in Situ
• Carcinoma in situ sinonim dengan
displasia derajat tinggi, resiko untuk
berubah menjadi kanker sangat tinggi.
• sel neoplastik berproliferasi hanya pada
daerah tumor saja
• dianggap sebagai prekursor , bila tidak
diobati akan berubah menjadi tumor
ganas,  karsinoma invasif, atau kanker
Carcinoma in situ Cancer

Outer tissue
layer rr=======""""==d
Muscle
layers

Connective
tissue
Inner tissue
layer
Karsinoma Invasif
• Karsinoma invasif dinamakan
kanker, merupakan tahap akhir,
merupakan suatu penyakit yang bila
tidak diobati akan menginvasi
jaringan tubuh dan menyebabkan
kematian.
HPA CARSINOMA INSITU
HPA Karsinoma invasif

HPA WELL DEFF CA


Kuliah Pakar
Skenario 2 Blok 13
Kelompok 7
Dosen Tutorial
Prof. Dr. drg. Rosihan Adhani, S.Sos, M.S.

Dosen Kuliah Pakar


drg. Amy Carabelly
Nama Anggota Kelompok
Muhammad Nabiel Taqiyuddin HAM 1911111310018
Nurul Fitriyani Dewi 1911111320001
Ni Wayan Gayatri Ayu Pramesti 1911111320003
Reni Amirah Salsabila Fitri 1911111320020
Resha Yusnida 1911111320033
Afifah R a hma de lla 1911111320034
Brachmedio Barito Syech Erlangga 1911111210022
Fitria Ulfah Rahman 1911111220016
Indah Lestari Puspaningtias 1911111220024
Dhiya Salma Azminida 1911111220005
Diba Eka Diputri 1911111220021
Radhia Mufida 1911111120017
Skenario
Benjolan di rahang bawah kiri
Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM dengan keluhan terdapat benjolan di rahang
bawah kiri, tidak sakit, dan pasien tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral
normal. Pemeriksaan intra oral didapatkan bentukan keras berwarna kekuningan di
area 36-38 yang menyerupai dentin, bentuk tidak beraturan. Gingiva sekitar lesi juga
mengalami pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar. Hasil pemeriksaan
radiografi panoramik terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang
dikelilingi lapisan tipis radiolusent. Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat gambaran enamel, dentin dan
matrik pulpa yang tidak beraturan.

Gambar 1. A. Intra oral; B. Gambaran Radiografi; C. Gambaran Histopatologi


Identifikasi dan analisis masalah
1. Apakah diagnosis pada skenario diatas?
Jawab:
dari pemeriksaan yang diperlukan tadi ada yang mengatakan bahwa dia tumor dan harus
dipalpasi. Menurut saya, untuk diagnosisnya adalah tumor odontogenik. Dilihat
berdasarkan dari pemeriksaan pasien yang tidak adanya keluhan dan tidak adanya demam
sehingga meniadakan diagnosis dari abses, diikuti pemeriksaan radiografinya gambaran
radiofak dengan garis radiolusen yang meniadakan diagnosis dari kista.

2. Apa saja yang mempengaruhi terjadinya kasus pada skenario?


Jawab:
Faktor resiko dapat berupa faktor keturunan, mutasi gen, dan gangguan pada mekanisme
gen pertumbuhan gigi

3. Apakah jenis kelamin dan umur berpengaruh pada skenario di atas?


Jawab:
Tumor ini dapat terjadi pada setiap usia, usia rata-rata kejadian adalah pada dekade kedua
Identifikasi dan analisis masalah
4. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa pada skenario
di atas?
Jawab:
palpasi untuk tahu sakit atau tidak, radiografi untuk tahu penampakannya apakah radiolucent
atau radiopaque, dan biopsi untuk mengetahui diagnosis pastinya

5. Apa etiologi berdasarkan pada kasus di skenario?


Jawab:
- Untuk etiologi dari tumor odontogenik ini sendiri belum ada referensi yang menjelaskan.
Untuk odontoma pun sama tidak diketahui secara pasti mengapa odontoma terjadi. Tetapi
infeksi dan/atau trauma di tempat tumor tumbuh bisa menjadi suatu penyebabnya.
- Biasanya tumor terjadi karena infeksi, sisa perkembangan gigi dan akar gigi, residual cyst

6. Apa diagnosis banding berdasarkan skenario diatas?


Jawab:
Ameloblastoma
Identifikasi dan analisis masalah
7. Apa terapi yang dilakukan pada kasus skenario tersebut?
Jawab:
- Bisa dilakukan enukleasi atau pengangkatan pada tumor tersebut, kemudian juga dilakukan
pencabutan pada gigi impaksinya.
- radioterapi dan kemoterapi
Enukleasi dapat menggunakan anestesi lokal, dan apabila pasien memiliki keluhan sakit
maka dapat diberikan analgetik dan antibiotik.
- Perawatan suportif untuk menjaga kualitas hidup (penggantian gigi yang hilang)
Penanganan yang bisa dilakukan adalah ekstirpasi masa odontoma secara operatif yang
disertai dengan pengambilan gigi 36 yang tertindih oleh massa (massa pada gambaran
radiografi). Dan jika ada gigi yang tidak tumbuh karena adanya odontoma tersebut.
Dokter gigi bisa menginstruksikan untuk makan makanan yang dingin dan lembut kepada
pasien pasca operasi
Sebelum dilakukan enukleasi bisa dilakukan insisi mukosa intraoral dan pengambilan
tulang yang adekuat terlebih dahulu untuk membuka lesi.
Identifikasi dan analisis masalah
8. Bagaimana prognosis pada kasus seperti skenario di atas?
Jawab:
Prognosis baik dan kemungkinan terjadinya rekurensi (kekambuhan) sangat kecil apabila
dilakukan penanganan yang baik. Prognosis buruk dengan kemungkinan terjadinya rekurensi
lebih besar apabila tidak dilakukan pengambilan yang tidak adekuat.

9. Komplikasi jika tidak ditangani?


Jawab:
- Memungkinkan terjadinya infeksi yang lebih luas karena menyebar ke jaringan
disekitarnya, pasien juga bisa merasakan sakit saat mengunyah dan menelan makanan
sehingga bisa menyebabkan kekurangan gizi
Gigi dapat mengalami impaksi atau maloklusi dikarenakan tumor tersebut membesar dan
mendorong posisi gigi rahang

10. Apa diagnosis banding berdasarkan skenario diatas?


Jawab:
karna odontoma termasuk ke tumor jinak, maka bisa membesar dengan waktu yang lama
Identifikasi dan analisis masalah
11. Mengapa terjadi pembengkakan pada gingiva?
Jawab:
karena pada skenario dikatakan bahwa adanya bentukan keras berwarna kuning menyerupai
dentin, dan tidak beraturan, hal itu bisa menyebabkan pembengkakan pada gingiva.

12. Apa pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus tersebut?


Jawab:
Kalau keturunan bisa mencegahnya dengan mencari riwayat penyakit dari keluarga dan
menjaga gaya hidup dan menjaga makanan. Dari drg sendiri bisa mencegahnya dengan jangan
membuat luka lain yang tidak diperlukan dalam tindakan pada pasien, karena tumor bisa
disebabkan oleh infeksi. Drg juga harus menjaga kebersihan dan sterilisasi lingkungan, alat,
dan bahan.
PROBLEMTREE
Definisi

Epidemiologi

Etiologi

Klasifikasi

Manifestasi

ODONTOMA
klinis

Patofisiologi

Komplikasi

Pemeriksaan

Tatalaksana

Diagnosis
banding

Pencegahan

Prognosis
Sasaran Belajar
1. Apa definisi dari odontoma?
2. Bagaimana epidemiologi dari odontoma?
3. Apa etiologi dari odontoma?
4. Apa saja klasifikasi dari odontoma?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari odontoma?
6. Bagaimana patofisiologi dari odontoma?
7. Apa komplikasi yang terjadi jika odontoma tidak ditangani dengan baik?
8. Apa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis odontoma?
9. Apa tatalaksana yang dilakukan untuk menangani odontoma?
10. Apa saja diagnosis banding dari odontoma?
11. Apa pencegahan dari odontoma?
12. Bagaimana prognosis dari odontoma?
01
Definisi Odontoma
Definisi Odontoma

Odontoma adalah tumor jinak odontogenik, non agresif


dan merupakan kelainan perkembangan gigi
(hamartomatous). Odontoma berkembang dari jaringan
odontogenik primordial. Komposisinya adalah
kombinasi dari epitel odontogenik dan ektomesenkhim
odontogenik.

Nasution FA et al., 2018;


Satish V et al., 2011
02
Epidemiologi Odontoma
Epidemiologi Odontoma

Frekuensi tumor odontogenik yang


dilaporkan di seluruh dunia bervariasi
hingga kisaran yang luas, yaitu 1-32%.
Sebagian besar melaporkan odontoma
sebagai lesi tumor odontogenik dalam
interval 35-76%. Perbedaan prevalensi di
antara berbagai penelitian ini dapat
disebabkan oleh perbedaan terminologi
dan klasifikasi, tetapi kemungkinan aspek
etnis atau genetiknya sama.

Barba LT, et al., 2016


Menurut Jenis Kelamin

50,6%

49,4%

Barba LT, et al., 2016


Menurut Usia

Menurut prevalensi usia, odontoma dapat


diidentifikasi pada rentang usia yang
luas, namun puncak prevalensi tinggi
dilaporkan pada dekade kedua kehidupan
dan karena pemeriksaan radiografi rutin.
Analisis kasus odontoma di Jepang
menunjukkan bahwa sekitar setengah
dari pasien berusia antara 10 dan 19
tahun, dengan tingkat deteksi untuk
mereka yang berusia di bawah 10 tahun
dilaporkan sekitar 10%.

Barba LT, et al., 2016;


Hamada M, et al., 2021
Rongga Mulut

Lokasi yang paling sering dilaporkan adalah area


gigi incisivus-caninus rahang atas (67%) pada
anterior bawah dan posterior rahang bawah
(33%). Compound Odontoma (CpO) lebih sering
muncul daripada odontoma complex. Compound
odontoma ditemukan di anterior rahang atas di
atas mahkota salah satu gigi yang tidak erupsi,
atau di antara akar gigi yang erupsi (61%),
sedangkan complex odontoma paling sering
muncul di bagian posterior mandibula (59%)

Barba LT, et al., 2016


03
Etiologi Odontoma
Etiologi Odontoma

Etiologi pasti dari patologi ini belum


diketahui secara jelas, tetapi infeksi,
trauma, riwayat keluarga, dan mutasi
genetik dianggap sebagai faktor
predisposisi yang berkontribusi terhadap
terjadinya odontoma.

Torul et al., 2020;


Rahaswanti, 2016
Etiologi Odontoma

Penyebab Lokal
Munculnya odontom dapat terjadi karena tekanan pertumbuhan karena ruang yang tidak
memadai yang memiliki berbagai efek pada perkembangan gigi.

Infeksi
Infeksi dari gigi sulung sebelumnya juga dapat menjadi faktor, meskipun tidak mungkin
cukup dini bila diturunkan dari gigi sulung; tetapi infeksi yang lebih umum mungkin
penting.

Etiologi
Etiologi odontoma diyakini berasal dari ameloblas dewasa. Sel-sel khusus
ini memiliki potensi untuk mengembangkan tumor dengan variasi
tampilan dan isi yang luas.

Satish V et al., 2011


Etiologi Odontoma
Sisa Sel Serres (Sisa Lamina Gigi)
Sisa sel serres dari gigi yang dipertahankan dengan beberapa pulau epitel
mengalami proliferasi untuk berkembang menjadi odontom, sementara yang
lain mengalami degenerasi untuk membentuk rongga kistik yang menutupi
gigi yang stimulusnya mungkin merupakan cacat genetik pada gigi. proses
pembentukan gigi.

Sel Epitel Odontogenik Asing


Ketika tunas ini dibagi menjadi beberapa partikel, mereka dapat berkembang secara
individual menjadi banyak gigi yang posisinya tidak tepat atau struktur seperti gigi.
Ketika kuncup berkembang tanpa pembagian yang tidak biasa dan terdiri dari jaringan
gigi yang serampangan, mereka dapat berkembang menjadi odontome yang kompleks.

Trauma
Trauma pada kuman gigi yang sedang berkembang juga dapat
menghasilkan odontome jaringan keras.

Satish V et al., 2011


Etiologi Odontoma

Faktor Genetik
Hipotesis mengenai etiologi odontome jaringan keras adalah bahwa mereka diturunkan
atau karena mutan atau gangguan, mungkin pascanatal, dengan kontrol genetik
perkembangan gigi. Odontome dapat terjadi dalam satu atau lebih dari tiga cara:
• Dengan gangguan pada mekanisme di mana gen mengontrol pembentukan dan
bentuk gigi
• Dengan mutasi pada gen yang bersangkutan
• Dengan pewarisan gen abnormal tersebut.

Satish V et al., 2011


04
Klasifikasi Odontoma
Klasifikasi Odontoma

01 02
Compound Complex
Odontoma Odontoma

03 04
Fibro-odontome
Odontoameloblastoma
ameloblastik
(Nasution et al., 2019; Prabhu et al., 2019)
05
Manifestasi Klinis
Odontoma
Manifestasi Klinis Odontoma

1 Compound odontoma biasanya memiliki jaringan gigi normal yang tersusun


dalam pola teratur dan terlihat seperti struktur gigi kecil dalam jumlah
banyak yang disebut odontoids atau denticles.

2 Kompleks odontoma terdiri dari massa yang irregular dari jaringan yang
mengalami kalsifikasi dengan sedikit atau tidak ada kemiripan dengan gigi
normal. Secara histologi enamel, dentin, sementum dan kadang-kadang
jaringan pulpa terlihat, meskipun tipe jaringan terlihat normal, tetapi
anatomi mikro nya tidak normal.

3 Pada saat di palpasi pada area pembengkakan keras. Pada pemeriksaan


ekstra oral terlihat asimetri wajah di area angulus mandibula, dimana regio
mandibula kiri lebih besar daripada regio kanan.

(Nasution et al., 2019)


06
Patofisiologi Odontoma
Patofisiologi Odontoma
Odontoma terjadi karena proliferasi neoplastik sel-sel odontogenik benih gigi di
mana sel-sel epitel dan mesenkim berdiferensiasi menjadi ameloblastik dan
odontogenik, tetapi tidak berhasil mencapai keadaan normal sehingga substansi gigi
terbentuk secara abnormal. Hal ini menyebabkan mineralisasi enamel organ yang
menyimpang. Disregulasi pada morfogenesis dan mineralisasi gigi mengakibatkan
terhentinya perkembangan gigi normal yang puncaknya membentuk odontoma. Sel-sel
epitel dan mesenkim berdiferensiasi membentuk email, dentin, dan sementum yang
tersusun dalam susunan jaringan abnormal, yaitu dalam bentuk dentikel, kemudian
jaringan stroma berhentik aktivitasnya membentuk kapsul, dan kadang membagi tumor
dalam bentuk septa-septa.
Menurut derajatnya kalsifikasi odontoma, tiga tahap perkembangan dapat
diidentifikasi: pada tahap pertama lesi muncul radio-lucent (karena kurangnya
kalsifikasi jaringan gigi), tahap menengah ditandai dengan: kalsifikasi parsial, dan pada
tahap akhir odontoma tampak radio-opak dan dikelilingi oleh radio-lucent.

(Patekar et al., 2018; Barba et al., 2016)


07
Pemeriksaan
Odontoma
Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Odontoma

Anamnesis Pemeriksaan Penunjang


Radiografi, CBT,
pemeriksaan histologis,
Pemeriksaan Klinis mikroradiografi dan
pemeriksaan HPA
Pemeriksaan intraoral &
ekstraoral: palpasi &
inspeksi
Pemeriksaan Radiografi
Manifestasi radiologis yang unik: Hiperdensitas, noncystic, massa yang mudah diidentifikasi dengan
pinggiran radiolucent.

• Odontoma Compound:
o Gambaran radiopak diamati dengan
aspek gigi dan dentikel yang
tertutup.
o Ada gigi malformasi atau struktur
seperti gigi yang terorganisasi
dengan baik, biasanya berupa lesi
seperti kista radiolusen
• Odontoma Complex:
o Gambaran radiopak dari massa yang
tida teratur yang dikelilingi oleh
garis radiolusen tipis. A)Compound odontoma (panah putih) menunjukkan
beberapa struktur seperti gigi kecil di mandibula
o Radiopasitas oval berbentuk tidak anterior.
teratur biasanya dikelilingi oleh tepi B) Complex odontoma (panah putih), muncul sebagai
radiolusen tipis yang berbatas tegas massa radiopak yang menutupi gigi yang belum erupsi
di mandibula posterior.

(Isola Gaetano, et al., 2017; Ibourk A, et al., 2021; Junior GSM, et al., 2021; Lester D, 2021)
Pemeriksaan Histopatologis

• Odontoma Compound:
o Lebih sering ditemukan pada jaringan
odontogenic mesenkimal.
o Adanya jaringan gigi, email demineralisasi,
dentin, sementum dan pulpa, tersusun dalam
struktur gigi yang teratur dan sebagian
dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat.

Histologi odontoma
compound menunjukkan
beberapa gigi kecil yang
berkembang dengan baik dan
A) Adanya jaringan gigi yang tersusun secara teratur antara dentin dan
teratur, dentin dan pulpa. B) Dentin (400x) email

(Barba LT, 2016 ; Lester D, 2021)


Pemeriksaan Histopatologis
• Odontoma Complex:
o Lebih sering ditemukan pada epitel
ameloblastik.
o Adanya gambaran struktur kalsifikasi yang tidak
normal.
o Massa jaringan keras gigi yang tidak teratur;
untai epitel odontogenik dapat ditemukan di
perifer.
o Kadang ditemukan phantom cell, sementikel,
dan epitel ameloblastik dapat dideteksi.

Histologi odontoma complex


menunjukkan pencampuran
prekursor odontogenik yang
tidak teratur, terdapat
Massa tidak teratur dari dentin-like material dentin-like material
dan prisma email.

(Barba LT, 2016 ; Zhuoying Cai, Fengguo Yan., 2019; Lester D, 2021)
08
Tatalaksana
Odontoma
Rencana Perawatan

Pengangkatan Pencabutan gigi Prawatan


tumor yang terkait ortodontik

Rencana Perawatan Apabila Gigi yang Terkait Dapat dipertahankan


untuk erupsi:
Perawatan Closed method
Tindakan bedah
ortodontik cekat exposure
Untuk mengambil tumor Dibantu dengan traksi
Untuk memperoleh ruang
pada gigi ringan ortodontik untuk
yang cukup untuk gigi
membimbing erupsi gigi
erupsi serta mengkoreksi
yang impaksi
malposisi gigi individual

(Arfiadi LN, et al., 2016; Proteasa CT., 2018)


Tatalaksana
Bedah Eksisi dengan Anastesi Lokal:
Pada umumnya penatalaksanaan lesi odontoma berukuran kecil adalah dilakukan
bedah eksisi dan biasanya tidak terjadi lesi yang rekuren, sedangkan pada lesi
odontoma yang besar, eksisi dapat mempengaruhi jaringan tulang dan gigi
disekitarnya.

Enukleasi Bedah Konservatif:


Perawatan pilihan untuk menangani odontoma dengan cara removal kapsul jaringan
konjungtiva yang mengelilinginya, serta mempersiapkan sampel untuk studi
histopatologis yang akan mendukung diagnosis yang akurat.
Perawatan eksposur bedah diikuti dengan enukleasi odontoma adalah pilihan
perawatan yang diterima untuk memungkinkan erupsi gigi permanen.
Dalam kasus gigi impaksi yang berhubungan dengan odontoma, lebih baik menunggu
selama tiga bulan untuk erupsi gigi impaksi. Jika gigi impaksi gagal erupsi setelah
tiga bulan, direkomendasikan bahwa gigi impaksi harus diekspos secara pembedahan
dengan atau tanpa traksi ortodontik.

(Barba LT, et al., 2016; Eswara, 2017; Nasution FA, 2018; Proteasa CT., 2018; Bouenba, 2021)
Tatalaksana
Perawatan Ortodontik:
Kadang diperlukan untuk reposisi lengkung gigi yang dipertahankan (koreksi
maloklusi) dan traksi untuk membantu erupsi gigi setelah pengambilan odontoma
secara bedah.

Osteomi:
Sejumlah teknik berbeda telah diusulkan untuk osteotomi: ultrasonik, CO2,
penggunaan handpiece highspeed, bedah piezo, dan laser erbium.

Evaluasi:
Perawatan observasi sederhana dengan pemeriksaan klinis dan radiologis berkala,
untuk mengevaluasi perkembangan gigi tersebut.

(Barba LT, et al., 2016; Isola, 2017; Proteasa CT., 2018; Ibourk A et al, 2021)
Traksi untuk membantu gigi 21 erupsi
Bedah eksisi complex odontoma setelah pengambilan odontoma secara
bedah

Hasil pengambilan complex Fotografi intraoral setelah 12 bulan perawatan


odontoma ortodontik cekat & fotogrwafi periapikal setelah 6
bulan traksi ortodontik, jaringan tampak sehat dan
terbentuk jaringan tulang di sekitar akar gigi

(Arfiadi LN, et al., 2016; Nasution FA, 2018


09
Komplikasi
Odontoma
Komplikasi yang terjadi jika Odontoma tidak ditangani
dengan baik
Gangguan pada erupsi gigi (impaksi, erupsi
tertunda, retensi gigi sulung/permanen) Ankilosis
Defek infraboni Devitalisasi
Penyakit periodontal Aplasia
Malformasi Kista dentigerous
Malposisi Supernumerary
Maloklusi Disostosis cleidokranial

Dilaserasi Hipopituitarisme
(Rahaswanti, 2016; Isola, et al., 2017)
10
Diagnosis Banding
Odontoma
Diagnosis Banding

01 04 07
Ossifying fibroma Benign
Osteoid Osteoma
cementoblastoma

02 05 08
Periapical ossesus Osteoma lesi Fibro-osseus
dysplasia

03 06 (Nasution FA, 2018. Widayanti et al,


2017)

Dense bone island Cementoblastoma


11
Pencegahan
Odontoma
Pencegahan Odontoma

Cara mencegah odontoma tidak diketahui hingga saat ini. Namun, bisa
mengurangi resiko penyakit ini dengan rutin memeriksa
kesehatangigi dan mulut ke dokter. Tindakan pencegahan dapat
dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya tumor di dalam
rongga mulut,antara lain:
Upaya Pencegahan

Menjagakesehatan dan Rutin melakukan


Segera melakukan
kebersihan rongga pemeriksaan ke dokter
penambalan apabila
mulut, dengan cara gigi minimal enam
terdapat lubang pada
menggosok gigi dua bulan sekali
gigi
kali sehari

(Patekar D, et al. 2018).

Menghindari kebiasaan
Segera memeriksakan
merokok, mengunyah
Konsumsi makanan diri ke dokter apabila
tembakau, minuman
atau minuman yang merasa ada suatu yang
alkohol yang dapat
berpotensi karsiogenik kelainan atau sakit
memicu terjadinya
dialami.
tumor pada mulut
12
Prognosis
Odontoma
Prognosis

Odontoma dirawat dengan cara tradisional eliminasi bedah, dan ada kemungkinan
kecil kekambuhan. Peningkatan kerusakan pada gigi berhubungan dengan kecepatan
diagnosis dan deteksi dini, dan pengangkatan odontoma tampaknya berhubungan
dengan prognosis yang lebih baik untuk gigi impaksi. Pada kebanyakan pasien,
radiografi sederhana adalah teknik penentuan yang cukup untuk diagnosis setelah
kecurigaan klinis. Oleh karena itu, impaksi gigi terkait odontoma dapat didiagnosis
dan diobati dengan sukses sepenuhnya dengan beban minimal bagi pasien
Daftar Pustaka
Arfiadi, LN., Farmasyanti, CA., Kuswayuning. 2016. Penatalaksanaan interdisipliner kasus impaksi gigi
incisivus sentral maksila akibat obstruksi odontoma kompleks. Majalah Kedokteran Gigi Klinik;
2(2):86-91.
Ariasmi Luh E. Manajemen kasus impaksi kaninus maksila disertai odontoma dan transposisi gigi
insisivus
lateral. Majalah Kedokteran Gigi Klinik (Clinical Dental Journal) UGM. April 2019; 5(1): 1-5.
Barba, LT., et al. 2016. Descriptive aspects of odontoma: literature review. Revista Odontológica
Mexicana; 20(4):pp e265-e269.
Bouenba M, et al. 2021. Odontoma as an Etiology of Permanent Incisive Retention: Two Clinical Cases.
EAS Journal of Dentistry and Oral Medicine; 3(5): 133-137.
Eswara UMA. 2017. Compound Odontoma in Anterior Mandible-A Case Report. Malays J Med Sci;
24(3): 94.
Hamada, M., et al. 2021. Compound Odontoma Removed by Endoscopic Intraoral Approach: Case Report.
Dentistry Journal MDPI; 9(81):1-6.
Ibourk A, Yahya IB, Bellamine M. 2021. Impacted Permanent Incisor Associated With Compound
Odontoma: Case Report and Literature Review. Journal of Dental Science Research Reviews &
Reports. 3(1): 1-3.
Isola G, Cicciù M, Fiorillo L, Matarese G. 2017. Association Between Odontoma and Impacted Teeth.
Journal of Craniofacial Surgery; 28(3): 755-758.
Daftar Pustaka
Lester D. R. Thompson, MD. 2021. Odontoma. Ear, Nose & Throat Journal; 100(5S) 536S–537S.
Nasution FA., dan Sitam, S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik. J Ked
GI Unpad; 30(2):102-106.
Patekar D, et al. 2018. Odontoma - A Brief Overview. Journal of Oral Disease Markers; 2(2018): 23-25.
Proteasa, CT., dan Proteasa, E. 2018. Compound odontoma – morphology, clinical findings and treatment.
Case report. Romanian Journal of Morphology and Embryology; 59(3):997-1000.
Rahaswanti LWA. 2016. Compound Odontoma Sebagai Penghambat Erupsi Gigi Insisif Sentral Kiri
Rahang Atas (Laporan Kasus). Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Satish, V., Prabhadevi, M. C., & Sharma, R. (2011). Odontome: a brief overview. International journal of
clinical pediatric dentistry, 4(3), 177.
Torul D, et al. 2020. Complex-Comspound Odontoma: A Rare Clinical Presentation. Odovtos International
Journal of Dental Sciences. 22(1). 1659-1046.
Widayanti R, Hardianto A, Priyanto W, Rizki KA. 2017. Hemimandibulectomy of an extensive complex
odontoma in the mandible: a case report. Journal of Dentomaxillofacial Science; 2(3): 187-190.
- I MADE YUDHA DHARMAWAN
- AQSHALL ILHAM SAFATULLAH
- MUHAMMAD RIZKI FADHIL Kelompok 2
- DESWYNE DIANGSARI
Dosen Pembimbing:
- NOVI TIARA LESTARI
- AMILIA ARIYANI drg.Renie Kumala Dewi Sp.KGA
- ERIEL PALDAOUNY GANDRUNG
- GAMA PUTRA PAMUNGKAS
- MELATI RAIHAN ANIDAR
- MUHAMMAD HAFLY FARIZ ASYRAQ
- IFTAH IKHFAFAH
- QANTYA AULIANA ALIFA RAHMA
Skenario
Benjolan di rahang bawah kiri Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM
dengan keluhan terdapat benjolan di rahang bawah kiri, tidak sakit, dan
pasien tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral normal.
Pemeriksaan intra oral didapatkan bentukan keras berwarna
kekuningan di area 36-38 yang menyerupai dentin, bentuk tidak
beraturan. Gingiva sekitar lesi juga mengalami pembengkakan dengan
warna serupa jaringan sekitar. Hasil pemeriksaan radiografi panoramik
terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang dikelilingi
lapisan tipis radiolusent. Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat gambaran
enamel, dentin dan matrik pulpa yang tidak beraturan.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis pada skenario tersebut?
- Odontoma, dikarenakan pada skenario dikatakan bahwa dibawah massa ada gigi impaksi dan gambaran radiografinya berupa
radiopak
- Diagnosisnya yaitu odontoma, lebih spesifiknya yaitu jenis odontoma complex, yang biasanya terjadi di bagian posterior
mandibula.
2. Apa etiologi dari skenario tersebut?
- Karena adanya kelainan perkembangan gigi
3. Apa ada hubungannya dengan usia?
- Ya ada, odontoma kompleks lebih sering pada wanita usia 20an, dan odontoma compound lebih sering pada remaja
4. Apa komplikasi yang mungkin terjadi apabila benjolan pada pasien tidak ditangani?
- Pada skenario dijelaskan untuk massa padatan tersebut menghalangi gigi 36, jika tidak ditangani bisa menyebabkan impaksi
pada gigi tersebut.
- Bentuk gigi dari odontoma ini seperti gigi normal, cenderung bererupsi tetapi tidak aktif, kalau bererupsi sebagian, cepat terjadi
karies. Jika tidak cepat ditangani, karies ini akan berkembang dengan cepat dan dapat menginfeksi jaringan lunak
- Pada skenario gingiva mengalami pembengkakan, oleh karena itu pasien bisa mengalami kesulitan dalam menelan makanan
dan sulit untuk berbicara
- Dapat menghambat pertumbuhan gigiserta mengalami rasa sakit terus menerus dan menghambat estika.
Menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan yang mungkin disebabkan adanya infeksi di daerah retromolar.
5. Bagaimana epidemiologi dari kasus tersebut?
(Sasaran Belajar)
Identifikasi dan Analisis Masalah
6. Apakah faktor resiko dari penyakit tersebut ?
- Kelainan genetik pada sel pertumbuhan gigi. mutasi gen p53
- Tidak adanya erupsi pada gigi
- Wanita dan dewasa muda sekitar umur 20 tahun
7. Apakah penanganan dari kasus diatas?
- Dengan bedah eksisi jika lesi odontoma kecil, jika besar dan melibatkan gigi molar bisa dilakukan pencabutan.
-Perawatan suportif untuk membantu menjaga kualitas hidup. Salah satunya terapi yang bisa membantu Anda untuk bisa kembali
bicara dan menelan, serta penggantian gigi yang hilang
- Enukleasi (prosedur pembedahan untuk pengangkatan massa), kuretase
- Rekontruksi tulang rahang, dilakukan oprasi/pembedahan dan melakukan terapi medis.
8. Bagaimana interpretasi gambaran HPA dan radiologi pada kasus tersebut?
Sasaran Belajar
9.Mengapa pada hasil pemeriksaan radiografi panoramik terdapat massa radiopak dikelilingi lapisan tipis radiolusent?
Sasaran Belajar
Topic Tree
Sasaran Belajar
1. Menjelaskan Definisi Odontoma
2. Menjelaskan Etiologi Odontoma
3. Menjelaskan Epidemiologi Odontoma
4. Menjelaskan Klasifikasi Odontoma
5. Menjelaskan Gambaran Klinis Odontoma
6. Menjelaskan Patogenesis Odontoma
7. Menjelaskan Pemeriksaan Odontoma
a. Pemeriksaan Kondisi Umum
b. Pemeriksaan Radiografi
c. Pemeriksaan HPA
8. Menjelaskan Penatalaksanaan Odontoma
9. Menjelaskan Diagnosa Banding Odontoma
10.Menjelaskan Prognosis Odontoma
11.Menjelaskan Komplikasi Odontoma
Definisi Odontoma
Odontoma merupakan anomali jumlah gigi yang memiliki dua tipe yaitu
complex dan compound. Compound odontoma memiliki kesamaan
anatomi dengan bentuk gigi normal, terdiri dari kumpulan struktur
seperti gigi yang berukuran kecil, bersifat asimtomatik namun
berhubungan dengan gangguan erupsi gigi. Secara radiograf,
compound odontoma terdiri dari struktur terkalsifikasi menyerupai gigi,
biasanya dikelilingi oleh area radiolusen sempit yang berhubungan
dengan gigi yang tidak erupsi. Odontoma adalah malformasi atau lesi
perkembangan hamartoma non-agresif yang berasal dari odontogenik,
terdiri dari email, dentin, sementum dan jaringan pulpa (oleh karena
itu disebut juga campuran yang terdiri dari multiple atau lebih dari satu
tipe)

(Octavia A & Fauziah E . 2018; Ariasmi LE, 2019).


Etiologi Odontoma
Etiologi odontoma tidak diketahui, tetapi beberapa asosiasi diduga trauma gigi sulung, inflamasi,
dan proses infeksi, anomali herediter dan genetik mutasi. Munculnya ,Odontoma dapat terjadi
karena tekanan pertumbuhan karena ruang yang tidak memadai yang memiliki berbagai efek
pada perkembangan gigi.

Ameloblas Sisa Sel Serres


Infeksi
Dewasa (Sisa Lamina Gigi)

Sel Epitel
Trauma Faktor Genetik
Odontogenik Asing

(Nasution, 2019;Satish,
2011)
Epidemiologi Odontoma
Berdasarkan hasil penelitian dari 10 orang yang mengalami odontoma,
6 diantaranya mengalami compound odontoma (80%) dan 2 orang
pasien mengalami kompleks odontoma (20%). 6 pasien berjenis
kelamin laki-laki dan 4 pasien berjenis kelamin perempuan. Rata-rata
seluruh pasien berusia 18 tahun (dengan rentan usia 10-48 tahun).
Pasien compound odontoma rata-rata usianya adalah 11 tahun dan
kompleks odontoma rata-rata berusia 38 tahun.

(Nadaf A, Wakeed S, Shah A.2017 ; Nasution FA ,Azahri .2019)


Klasifikasi Odontoma
Berdasarkan WHO

Odontoma Kompleks
Jaringan keras gigi yang terkalsifikasi yang memiliki
morfologi seperti gigi-gigi kecil

Odontoma Compound
Terdiri dari jaringan odontogenik yang memiliki struktur seperti
gigi tetapi tidak berbentuk seperti gigi

(Arfiadi, 2016)
Gambaran Klinis
Odontoma
Asymtomatik, biasanya terjadi pada usia dekade kedua
dan ketiga. Odontoma compleks jarang terjadi
dibandingkan odontoma compound. Sering ditemukan
dengan gigi yang tidak erupsi, biasanya sering terjadi
pada region molar pertama dan molar kedua rahang
bawah. Bisa berasal dari tooth bud dari gigi impaksi atau
supernumerary teeth. Lesi kecil, jarang menjadi besar,
namun bisa menjadi besar sampai 6 cm sehingga
menyebabkan ekpansi rahang.

Vyasarayani P, Krishna M, Pratheeth ; 2012.


Lanjutan…
Compound
Compleks
Gambaran Klinis:
Gambaran Klinis: • Lesi noninfiltratif yang tumbuh lambat.
• Membentuk massa keras yang bulat telur, atau Terjadi paling sering di rahang atas, terutama di rahang
tidak teratur serta dikelilingi foliker fibrosa anterior (regio insisivus-kaninus).
• Pertumbuhan odontoma kompleks biasanya • Biasanya tidak menimbulkan rasa sakit dengan potensi
lambat dan tidak menimbulkan rasa sakit, sering pertumbuhan terbatas
dikaitkan dengan perubahan pada gigi permanen • Laki-laki dan perempuan sama-sama terpengaruh.
atau sulung • Terlihat pada dekade kedua dan ketiga kehidupan.
• Lebih jarang daripada odontoma compound. Lesi terjadi akibat Kegagalan erupsi gigi permanen dan
Mandibula posterior paling sering terkena. timbil diantara akar gigi.
• Jumlah gigi dapat berkisar dari beberapa hingga beberapa
• Sering terlihat pada regio molar kedua dan
ratus. Toothlet umumnya lebih kecil dari gigi normal dan
ketiga. mungkin berbentuk kerucut, bulat, seperti akar, seperti
• Sebagian besar odontoma kompleks berukuran tetesan, atau morfologinya tidak teratur. Jaringan folikel
kecil, tetapi lesi raksasa mungkin terjadi gigi juga dapat dimasukkan bersama dengan jaringan
• Terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan keras.

Slootweg, 2016; Balaji and Balaji, 2018; Maltagliati et al., 2020


Patogenesis 1. Perkembangan odontoma umumnya dikaitkan
dengan kegagalan erupsi gigi permanen, impaksi,
dan keterlambatan pengelupasan gigi sulung.
Odontoma
2. Disregulasi pada morfogenesis dan mineralisasi gigi
mengakibatkan terhentinya perkembangan gigi normal yang
berpuncak pada pembentukan odontoma. Diikuti dengan
transforming growth factor-β, β-catenins menginduksi
perubahan morfogenetik pada sel epitel.

3. Odontoma berkembang dari jaringan odontogenik primordial.


Komposisinya adalah kombinasi dari epitel odontogenik dan
ektomesenkhim odontogenik. Biasanya tumor ini tidak bergejala,
dan penyebab yang paling sering ditemukan adalah impaksi gigi
permanen dan persistensi gigi sulung.

Pacifici A et al. 2015 ; Patekar et al. 2018


Nasution et al. 2018
Lanjutan…
Odontoma kompleks berkembang dari lamina dura atau
organ email menggantikan gigi normal. Setiap cedera di
area pembentukan gigi juga dianggap menyebabkan
odontoma.

Odontoma compound dapat dihasilkan oleh


pembelahan berulang dari benih gigi atau oleh
beberapa tunas dari lamina gigi dengan
pembentukan banyak benih gigi. Mereka mulai
sebagai lesi lunak di dalam tulang selama periode
pembentukan gigi.

Balaji and Balaji, 2018


Lanjutan…
Tiga tahap perkembangan dapat diidentifikasi, berdasarkan gambaran radiologis dan derajat kalsifikasi lesi
pada saat diagnosis:

• Tahap pertama ditandai dengan radiotransparansi karena tidak adanya kalsifikasi jaringan gigi.

• Tahap kedua atau menengah menunjukkan kalsifikasi parsial.


Tahap radiopak ketiga atau klasik menunjukkan kalsifikasi jaringan yang dominan dengan halo
radiotransparan di sekitarnya.

Balaji and Balaji, 2018


Pemeriksaan odontoma
A. pemeriksaan kondisi Prosedur diagnosis kasus odontoma,
umum meliputi:
Diagnosis odontoma ditetapkan secara
anamnesis, pemeriksaan intraoral dan a. Data diri pasien
ekstraoral yang meliputi palpasi dan b. Melihat keadaan umum pasien
inspeksi. Umumnya kasus odontoma c. Anamnesis
sering ditemui bersamaan dengan kasus d. Pemeriksaan klinis
impaksi molar ketiga bawah. Kasus
impaksi disertai odontoma pada bagian
anterior rahang atas jarang ditemukan.

Tristan
b. pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan radiografis harus dilakukan pada pasien-pasien anak dengan keluhan gigi
permanen yang terlambat erupsi, gigi desidui yang belum tanggal melewati masa yang
diperkirakan, dan adanya gigi permanen yang erupsi di posisi ektopik, karena mungkin
merupakan gejala adanya masalah odontogenik yang bersiat patologis. Pemeriksaan radiografi
convensional seperti (periapical atau panoramic)tampaknya menjadi metode klinis yang paling
efektif untuk membedakan kedua jenis tersebut. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan intraoral, ekstraoral dan CBCT 3D. Tujuan dilakukan pengambilan radiograf 3
dimensi adalah untuk memastikan keadaan akar gigi yang kemungkinan tumpang tindih
Odontoma compound, yang secara radiografis menunjukkan gigi malformasi atau struktur
seperti gigi yang terorganisasi dengan baik, kerdil yang dikelilingi oleh zona radiolusen tipis.
Gambarannya radioopak unilokuler yang terdiri dari struktur seperti gigi kecil-kecil dalam
jumlah banyak Odontoma kompleks menunjukkan radiopak oval berbentuk tidak teratur
biasanya dikelilingi oleh tepi radiolusen tipis yang berbatas tegas. Massa gabungan tunggal
seperti material dan tak ada kemiripan anatomi gigi apapun. Muncul sebagai massa yang buram
dikelilingi oleh tepi sempit radiolusen. Radiografi dapat dilakukan
selama pengobatan untuk mengetahui perkembangan dari odontoma.
Nasution, 2018 , Balaji and Balaji, 2018
C. pemeriksaan HPA
Odontoma compound
Odontoma compound memiliki tampilan histologis yang Mirip dengan gigi normal
yang meliputi dentin tubuler matur, matriks email, sementum, dan jaringan pulpa yang
strukturnya sama seperti gigi pada umumnya(terdiri dari dentin, email, sementum, dan
pulpa) yang dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat yang mewakili folikel. Lapisan
sementum dapat ditemukan di atas dentin. Pulpa tampak sebagai jaringan ikat fibrosa
di dalam ruang yang dikelilingi oleh jaringan keras gigi.

Gambar 1 (A) Gambaran Histopatologi Compound Odontoma Ditandai


dengan Jaringan Gigi, Dentin, dan Pulpa Tersusun Secara Teratur (B)
Lia Pembesaran Dentin 400x (Barba et al., 2016; Balaji and Balaji, 2018)
Odontoma kompleks
Odontoma kompleks secara mikroskopis tampak sebagai kumpulan
jaringan gigi terdiri dari dentin, email, sementum, dan pulpa yang tidak
teratur tetapi sering memiliki pola radial. Pulpa tampak sebagai jaringan
ikat fibrosa Dalam ruangan yang dikelilingi kapsul jaringan ikat tipis
kadang-kadang, keberadaan sementikel dan epitel ameloblastik dapat
dideteksi

Gambar 2 Gambaran Histopatologi Complex Odontoma Ditandai


dengan Jaringan Gigi, Prisma Email, Dentin, dan Massa yang Tidak
Teratur (Barba et al., 2016; Balaji and Balaji, 2018)
Penatalaksanaan Odontoma
a) Penatalaksanaan odontoma complex
Odontoma memiliki potensi pertumbuan yang terbatas.Perawatannya
adalah dengan enukleasi atau kuretase jika odontoma merupakan
sumber potensial obstruksi pada gigi yang erupsi sebagai fokal
infeksi. Odontoma complex yang besar harus diambil untuk
mengembalikan tulang yang normal dan untuk mencegah fraktur
rahang.
b). Pengambilan secara bedah dengan enukleasi merupakan pilihan
perawatan, odontoma compound dapat mempredisposisi perubahan kistik dan
menyebabklan destruksi tulang. Odontoma dapat ditangani melalui insisi
mukosa intraoral dan pengambilan yang adekuat pada tulang yang membuka
lesi. Jika terkalsifikasi, odontoma tidak dapat terjadi lagi, rekurensi lebih sering
terjadi setelah pengambilan yang tidak adekuat dari tahap dini lesi.
Pengambilan jaringan lunak direkomendasikan untuk mencegah rekurensi.

(Preetha, 2010).
Diagnosis banding
odontoma
1) Ossifying fibroma
2) Periapical ossesus dysplasia
3) Dense bone island
4) Benign cementoblastoma
5) Osteoma

(Nasution,2018).
Progonosis
Odontoma
Prognosis Odontoma SANGAT BAIK
“lesi tidak memiliki potensi keganasan dan
kekambuhan jarang terjadi”

Operasi pengangkatan odontoma yang berukuran kecil memiliki tingkat


kesulitan yang lebih rendah dibandingkan dengan pengangkatan odontoma
yang berukuran besar.

• Pengangkatan odontoma yang cukup besar akan melibatkan pengambilan


tulang yang besar pula.

(Slootweg, 2016; Gervasoni C, 2017; Souza et al., 2021)


Gagalnya Erupsi Gigi Komplikasi
Pergerakan Gigi Odontoma
Resorpsi Akar dan Gigi Berdekatan
yang Berjejal

Pembentukan Kista

(Rosdiana, 2019)
Kesimpulan

Odontoma didefinisikan sebagai malformasi perkembangan yang merupakan hamartoma yang berasal dari odontogenik. Tergantung
pada pertumbuhannya yang lambat dan perilakunya yang tidak agresif, mereka diklasifikasikan sebagai tumor jinak. Secara histologis
ada dua jenis odontoma; odontoma compound terdiri dari semua jaringan gigi yang menyerupai struktur seperti gigi dan odontoma
kompleks hadir sebagai massa yang tidak teratur. Odontoma memiliki prevalensi 21% sampai 67% dari semua tumor odontogenik.
Odontoma adalah lesi yang mempengaruhi anak-anak dan dewasa muda, terutama dalam dekade kedua kehidupan, dan tidak menutup
kemungkinan dapat terjadi pada setiap usia, tanpa kecenderungan gender yang signifikan. Pada studi kasus lainnya menyebutkan bahwa
60% dari odontoma kompleks terjadi pada wanita. Odontoma kompleks lebih jarang terjadi daripada odontoma compound dan biasanya
terjadi pada penderita usia yang lebih tua. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa mayoritas odontoma yang ditemukan pada area
anterior maxilla dan berhubungan dengan gigi kaninus yang tidak erupsi adalah compound odontoma (62%) dan kompleks odontoma
biasanya ditemukan pada area molar pertama dan molar kedua mandibula (70%). Gigi permanen dipengaruhi jauh lebih sering daripada
gigi desidui. Penelitian yang dilakukan Peranovic dan Noffke pada tahun 2016 melaporkan kasus odontoma yang paling banyak adalah
berhubungan dengan impaksi gigi permanen yaitu sebanyak 52 kasus (57,7%) dan persistensi gigi sulung sebanyak (16,6%).
Daftar Pustaka
-Gervasoni C, et al. 2017. Odontomas: Review Of The Literature And Case
Reports. Journal Of Biological Regulators & Homeostatic Agents. 31(2): 19-125.
1 ernational
- Slootweg, P. (2016) Dental and Oral Pathology. Nijmegen: Springer Int
Publishing Switzerland. port’, pp.
Souza, G. et al. (2021) ‘Compound Odontoma in an Adolescent : Case Re
8–11. nyerupai
- Rosdiana N, Sam B, Epsilawati L. Evaluasi gigi supernumerary yang meal
Radiologi
odontoma Dentomaksilofasial
menggunakan cone Indonesia. 2019;3(3)5.
beam computed tomography (CBCT). Jurn
Ariasmi LE, et al. 2019. Manajemen kasus impaksi kaninus maksila disertai odontoma dan transposisi gigi insisivus
lateral. Clinical Dental Journal. 5(1): 1-5.
Nadaf A, Wakeel S, Shah A. 2017. Odontoma Clinicophatological Manifestasion and Their Management. Journal of
Advanced Medical and Dental Sciences Research; 5(12): 127-129.
Nasution FA, Azhari. Gambaran Compound Odontoma Dari Radiograf Panoramik Dan CBCT. Jurnal Ilmiah dan
Teknologi Kedokteran Gigi. 2019; 15(2): 33-36.
Octavia A, Fauziah E. 2018. Cone Beam Computed Tomography dalam Penatalaksanaan Gigi Supernumerari dan
Odontoma. Journal of Indonesian Dental Association. 1(1). 106-110.
SATISH, V.; PRABHADEVI, Maganur C.; SHARMA, Rajesh. Odontome: a brief overview. International journal of
clinical pediatric dentistry, 2011, 4.3: 177.
Balaji, S. and Balaji, P. P. (2018) Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd edn. Elsevier
Nasution dkk. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik. J Ked Gi Unpad. Agustus 2018;
30(2); 102-106.
Patekar D, Supriya K, Archana AG. 2018. Odontoma - A brief overview. Journal of Oral Disease Markers; 2: 23–25.
Pacifici A, Carbone D, Marini R, Pacifici L. 2015. Surgical Management of Compound Odontoma Associated with
Unerupted Tooth. Hindawi. 902618: 1-6
Vyasarayani P, Krishna M, Pratheeth G. Treatment of compound odontoma causing delayederuption of
maxillary central incisor assisted by diode laser.RUJODS, Ranchi University. 2012.
Arfiadi LN., et al. 2016. Penatalaksanaan interdisipliner kasus impaksi gigi incisivus sentral maksila akibat obstruksi
odontoma kompleks. MKGK. 2(2): 86-91.
Benjolan di rahang bawah kiri Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM
dengan keluhan terdapat benjolan di rahang bawah kiri, tidak sakit, dan pasien
tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral normal. Pemeriksaan intra oral
didapatkan bentukan keras berwarna kekuningan di area 36-38 yang menyerupai
dentin, bentuk tidak beraturan. Gingiva sekitar lesi juga mengalami
pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar. Hasil pemeriksaan
radiografi panoramik terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang
dikelilingi lapisan tipis radiolusen. Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat gambaran enamel, dentin
dan matrik pulpa yang tidak beraturan.
Definisi
Etiologi
Penyebab Lokal Ameloblas Matur

dimiliki
terdahulu

Sisa Sel Serres


(Sisa Dental Lamina)
Infeksi

gigi.
Sel Epitel Odontogenik
Asing

jaringan Faktor genetik


teratur

Trauma
Patogenesis
Odontoma kompleks Odontoma majemuk

pembentukan banyak benih gigi.


• Mereka mulai sebagai lesi lunak
di dalam tulang selama periode
pembentukan gigi
Klasifikasi WHO Berdasarkan asal
perkembangannya

Berdasarkan gambaran Menurut posisinya


kasar, radiografik dan
mikroskopis
Thoma and Goldman
(1946) classification
Ameloblastic fibro-odontome

Odonto-ameloblastoma

Complex odontome

Compound odontome
et
ODONTOMA
Peripheral Odontoma

Fitur histopatologi (H&E)


• A-1000 m, tumor odontogenik jinak yang
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosam yang
sebagian besar padat dan epitel lapisan mukosa
mulut;
• B-100 m, struktur seperti gigi yang tersusun oleh
matriks email (tanda bintang) dan dentin matur
(panah);
• C-50 m, massa dentin imatur dalam jaringan ikat
fibrosa; Struktur seperti gigi yang berhubungan
dengan,
• D-100 m, papila gigi (tanda bintang), dan,
• E-50 m, jaringan pulpa di sekitarnya (tanda
bintang);
• F-50 m, jaringan ikat fibrosa padat yang
mengandung sarang epitel odontogenik (panah)

(da Silva Rocha OKM et al, 2020).


07
Gambar an
radiografi
banyak
dan massa radioopak
radiolusen. dikelilingi area
radiolusen

(Nasution et al., 2019)


(Nasution et al., 2019)
Gambaran radiografi kompleks odontoma umumnya radioopak
homogen yang dikelilingi halo radiolucent dengan batas jelas
(well-defined, soft tissue capsule border).

Cone Beam Computed Tomography(CBCT) merupakan


alternatif teknik pilihan yang dapat dipertimbangkan dalam
menentukan batas lesi odontoma, ekspansi, tulang kortikal yang
menipis dan perforasi.

(Nasution et al., 2019)


Hasil radiograf panoramik menunjukkan lesi multiple radioopak berbentuk
oval, dikelilingi radiolusen pada area anterior rahang atas kiri. Lesi bersifat
lokal, single lesion, pada area servikal dari mesial gigi 11 hingga mesial gigi
22, berbatas jelas (well-defined border). Radiolusen tipis (soft tissue capsule)
terlihat mengelilingi gambaran lesi radioopak. Batas kortikasi (corticated
border) pada bagian terluar lesi terlihat sebagai gambaran yang radioopak
tipis. Pada bagian superior lesi, terlihat gambaran radioopak menyerupai gigi
21. Lesi menyebabkan gigi 21 tidak erupsi.
(Nasution et al., 2019)
Hasil radiograf CBCT pada coronal view memperlihatkan lesi dengan
panjang (arah mesialdistal) sekitar 10,4 mm dan lebar (arah superiorinferior)
sekitar 6,7 mm. Lesi menyebabkan impaksi gigi 21 dengan arah semi vertikal
dan akar gigi 21 masuk ke dalam cavum nasal. Sagittal view CBCT
memperlihatkan lesi radioopak bersinggungan dengan insisal gigi 21 dan
labio servikal gigi 22

(Nasution et al., 2019)


Foramen apikal gigi 21 terlihat belum menutup sempurna dan folikel gigi 21
mengalami pelebaran, pada bagian labial 2,3 mm dan palatal 4,3 mm. Axial view
CBCT terlihat adanya diskontinuitas tulang kortikal labial pada bagian mesial.
Densitas menunjukkan bahwa lesi memiliki kemiripan dengan jaringan gigi.
Berdasarkan pemeriksaan panoramik dan CBCT, dapat disimpulkan diagnosis
lesi secara radiograf adalah compound odontoma yang menyebabkan impaksi
gigi 21.
(Nasution et al., 2019)
dengan
enukleasi dimana enukleasi ini
bersifat kuratif, dan kekambuhan
tidak menjadi masalah.

samping atau komplikasi yang terkait,


misalnya, traksi ortodontik untuk gigi
untuk pemeriksaan histopatologis untuk
yang disertakan
mendukung diagnosis yang akurat.
(Proteasa CT et al., 2018)
Etiologi odontoma masih belum diketahui. Odontoma diduga
terkait dengan berbagai kondisi patologis, seperti trauma lokal pada gigi sulung, proses inflamasi dan/atau infeksi,
ameloblas matur, sisa sel serres atau karena anomali herediter, hiperaktivitas odontoblastik, dan perubahan komponen
genetik yang menyebabkan penyimpangan dalam jalur pensinyalan terhadap control perkembangan gigi. Secara klinis
odontoma terbagi menjadi central (intraosseous), peripheral (extraosseous) dan erupsi serta secara histologis terbagi
menjadi compound, complex, dan mixed compound-complex odontoma. Odontoma
Kheur, 2(1):
ODONTOMA

DOSEN TUTORIAL :
drg. Melisa Budipramana , Sp. Ort
DOSEN KULIAH PAKAR :
drg. Amy Nindia Carabelly , M.Si
DISUSUN OLEH KELOMPOK 4
Anggota Kelompok :
Sity Noormazidah 1911111120020
Muhammad Rayhan 1911111210010
Talitha Dwi Avissa 1911111220001
Manik Ulya Arfiyanti 1911111220002
Natasya Nurul Izzati 1911111220003
Novi Dwi Maulida 1911111220011
Tom Christian 1911111310029
Ni’mal Maula 1911111320004
Indraswari Wahyu Pertiwi 1911111320007
Yajma Kamiila Rahman 1911111320022
Syifa Kamila 1911111320040
● SKENARIO

Benjolan di Rahang Bawah Kiri

Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM dengan keluhan terdapat benjolan di rahang
bawah kiri, tidak sakit, dan pasien tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral
normal. Pemeriksaan intra oral didapatkan bentukan keras berwarna kekuningan di area
36-38 yang menyerupai dentin, bentuk tidak beraturan. Gingiva sekitar lesi juga
mengalami pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar. Hasil pemeriksaan
radiografi panoramik terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang dikelilingi
lapisan tipis radiolusent. Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut. Hasil
pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat gambaran enamel, dentin dan matrik
pulpa yang tidak beraturan.

Identifikasi Istilah Asing dan Klarifikasi Istilah
Asing
(Tidak ada)

Identifikasi Masalah
1. Apa diagnosis penyakit pada skenario?
2. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk kasus
di atas? dan bagaimana pencegahannya?
3. Apa etiologi dari skenario tersebut dan kenapa
terdapat bentukan keras berwarna kekuningan
pada area 36-38?
4. Bagaimana interpretasi pada gambaran
histopatologi pada skenario tersebut?
5. Apa yang menyebabkan terjadinya
pembengkakan gingiva pada sekitar lesi?
6. Apa komplikasi yang terjadi apabila benjolan
pada pasien tidak diobati?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis kasus pada
skenario?
8. Apakah usia mempengaruhi penyakit pada
skenario tersebut?
9. Apa diagnosis banding dari skenario tersebut?
Analisis Masalah
1. Apa diagnosis penyakit pada skenario?
Odontoma, karena tampilan yang sewarna dengan jaringan dan pada pemeriksaan histopatologis
tampak seperti jaringan gigi yang tidak beraturan dan terjadi di gigi bagian bawah, serta di mandibula
sebelah kiri, dan terdapat gambaran radiologinya berupa radiopak.
2. Bagaimana tatalaksana yang tepat untuk kasus di atas? dan bagaimana pencegahannya?
Tatalaksana dapat dilakukan dengan enukleasi dan dapat dilakukan pembedahan serta radioterapi
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, anamnesis, dan pemeriksaan penunjang.
3. Apa etiologi dari skenario tersebut dan kenapa terdapat bentukan keras berwarna kekuningan pada area
36-38?
Terjadinya kelainan pertumbuhan sel pada gigi, yaitu sel odontoblas. Terjadinya bentukan keras
berwarna kekuningan karena adanya proliferasi sel odontoblast, dan adanya kelainan genetik, yaitu
terjadi mutasi genetik pada gen p53.
4. Bagaimana interpretasi pada gambaran histopatologi pada skenario tersebut?
Hasil pemeriksaan radiografi panoramik terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang
dikelilingi lapisan tipis radiolusen. Dan Gambaran HPA-nya terdapat enamel, dentin, dan sementum
yang tidak menyerupai seperti bentukan gigi serta bentukannya acak.
5. Apa yang menyebabkan terjadinya pembengkakan gingiva pada sekitar lesi?
Pembengkakan gingiva pada sekitar lesi dikarenakan respon inflamasi yang terjadi disekitar lesi.
Analisis Masalah
6. Apa komplikasi yang terjadi apabila benjolan pada pasien tidak diobati?
Bisa saja benjolan tersebut akan menjadi sebuah tumor ganas dan bisa menyebar luas ke organ-organ
lainnya melalui pembuluh darah, juga apabila terus berkembang dengan cepat dan dapat menginfeksi
jaringan lunak dan menimbulkan neuralgia.
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kasus pada skenario?
Radiografi panoramik untuk melihat kelainan-kelinan pada gigi-gigi dan tulang rahang, juga dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang yang lain yaitu pemeriksaan laboratorium yakni histopatologi. Dan
Pemeriksaan MRI atau CT Scan.
8. Apakah usia mempengaruhi penyakit pada skenario tersebut?
Usia berpengaruh terhadap odontoma karena odontoma berhubungan dengan gigi molar yang tidak erupsi
sehingga rata-rata odontoma terjadi pada orang berusia muda.
9. Apa diagnosis banding dari skenario tersebut?
Cementoblastoma, dapat muncul dengan gambaran klinis dan radiografis yang mirip dengan complex
odontoma namun cementoblastoma sering bergabung dengan akar gigi yang terlibat. Ossifying
fibroma, periapical osseous dysplasia, dan dense bone island. Untuk perbedaannya, odontoma lebih
radiopak dibandingkan ossifying fibroma; lesi periapical osseous dysplasia adalah lesi multiple,
lokasinya di periapikal gigi, dan batas sklerotiknya tidak jelas sedangkan odontoma berbatas jelas;
dense bone island tidak mempunyai soft tissue capsule sedangkan odontoma mempunyai soft tissue
capsule.
Problem Tree
Sasaran Belajar
1. Apa definisi odontoma?
2.Apa etiologi odontoma?
3. Apa epidemiologi odontoma?
4. Apa saja klasifikasi dari odontoma?
5. Manifestasi Klinis
6. Bagaimana patogenesis dari odontoma?
7. Apa saja diagnosis banding dari odontoma?
8. Bagaimana tata laksana dari odontoma?
9. Pemeriksaan odontoma
10. Terapi odontoma
11. Apa komplikasi dari odontoma?
12. Bagaimana prognosis odontoma?
Definisi
“ Definisi Odontoma menurut WHO atau
Organisasi Kesehatan Dunia mengklasifikasikan
odontoma dalam kategori tumor odontogenik yang
tersusun oleh epitel dan ectomesenchyme
odontogenik dengan pembentukan aringan dan tanpa
pembentukan jaringan gigi yang termineralisasi. Istilah
odontoma diciptakan oleh Pierre Paul Broca pada
tahun 1867. Odontoma adalah tumor jinak
odontogenic yang non agresif dan merupakan yang
paling banyak ditemukan.

(Arora & Donald, 2016; Balaji & Balaji,


2018; Nasution, 2018; Neville et al., 2019).
Etiologi
Odontoma
E T IO L O G I O D
Etiologiodontom ase car a pa sti tid akd ike tah ui
cedera traumatis pada gigi sulung adalah faktor yang memungkin. Dikaitkan dengan trauma,
O N T O MA
te inflamasi
proses tapi mu dan/atau
tasi geninfeksi,
eti ameloblasts;
kpadabenihgigidan
cell rests of Serres (dental lamina remnants)
atau hereditary anomalies (Gardner’s syndrome and Hermann’s syndrome), hiperaktivitas
odontoblastik, dan perubahan komponen genetik yang menyebabkan penyimpangan dalam
jalur pensinyalan untuk mengontrol perkembangan gigi

Odontoma terbentuk karena peningkatan proliferasi


lamina gigi dan sisa-sisanya (laminar odontoma) atau
skizodontia multipel. Odontoma karena mutagen atau
gangguan pada pascanatal saat perkembangan gigi dan
bermanifestasi sebagai bagian dari sindrom nevus sel
basal, sindrom Gardner, adenomatosis kolon familial,
penyakit Tangier, sindrom Hermann, atau sindrom
odontoma-disfagia

(Bouenba, 2021; Prabhu, 2019)


(Reichart et al, 2014)

ETIOLOGI ODONTOMA

Salah satu faktor penyebab kelainan pertumbuhan


odontoma adalah tidak berhasilnya atau perubahan
interaksi ectomesenchymal pada fase awal pertumbuhan
benih gigi dan/atau membuat berbeda pada fase
subsekuen pada perkembangan jaringan ini.
Diasumsikan pula bahwa yang membuat berbeda pada
mekanisme mineralisasi dengan modifikasi komponen
mineral pada email dapat menyebabkan maturasi
inkomplit
Epidemiologi
Odontoma
EPIDEMIOLOGI ODONTOMA
Odontoma dapat ditemukan pada
usia berapa pun; namun, kebanyakan
dari mereka terdeteksi dalam dua
dekade pertama kehidupan. Tidak ada
predileksi jenis kelamin. Sedangkan
Budnick menemukan sedikit predileksi
terjadinya pada laki-laki (59%)
dibandingkan dengan perempuan
(41%). Dari semua Odontoma, 67%
terjadi pada rahang atas dan 33% pada
rahang bawah

Bouenba, 2021)
EPIDEMIOLOGI ODONTOMA
Odontoma tidak menunjukkan gejala dan sering ditemukan
secara kebetulan di kalangan remaja. Telah dilaporkan bahwa 75,3%
odontoma terdeteksi pada pemeriksaan gigi rutin. Odontoma
kadang-kadang mengganggu erupsi gigi sulung dan sekitar 70%
berhubungan dengan impaksi, malposisi, aplasia, malformasi, dan
devitalisasi gigi yang berdekatan. Nyeri dan inflamasi yang
berhubungan dengan odontoma telah dilaporkan hanya pada 4% kasus.
Penelitian telah menunjukkan bahwa compound odontoma sering
ditemukan di daerah rahang atas anterior, sedangkan odontoma
kompleks ditemukan di daerah mandibula posterior. Predileksi jenis
kelamin odontoma kontroversial; namun, beberapa peneliti melaporkan
bahwa compound odontoma lebih sering pada pria, sedangkan
odontoma kompleks sedikit lebih sering pada wanita. Kedua jenis
odontoma cenderung terjadi di sisi kanan kedua rahang. Tinjauan lebih
lanjut menunjukkan bahwa ada 8 kasus odontoma raksasa yang
dilaporkan dengan diameter melebihi 3 cm

(Bhat, 2017; Park, 2019)


EPIDEMIOLOGI ODONTOMA
Odontoma adalah karena temuan radiografi rutin (63,3%), diikuti oleh kurangnya erupsi gigi
permanen (30%); Manifestasi klinis yang paling banyak diamati pada pasien adalah tidak adanya erupsi
gigi (78,3%), diikuti oleh perpindahan gigi tetangga (18,3%) dan infeksi (3,4%). Odontoma paling
sering terletak di regio anterior maksila superior (50%) diikuti oleh zona anterior mandibula (15%).
Sebagian besar odontoma menunjukkan ukuran inferior hingga 10 mm (n=36; 60%), sedangkan dua
kategori lainnya termasuk 12 tumor (20%) di masing-masing tumor

(Duque, 2019)
Klasifikasi
Odontoma
KLASIFIKASI ODONTOMA
Gabell, James, dan Payne (1914) mengelompokkan odontoma berdasarkan asal
perkembangannya yaitu epitel, komposit (epitel dan mesodermal), dan mesodermal.
Kemudian, Thoma dan Goldman (1946) mengklasifikasikan odontoma sebagai berikut:
1) Odontoma komposit geminasi (Geminated composite odontomes), dua atau lebih gigi
yang kurang lebih berkembang dengan baik menyatu bersama.
2) Odontoma komposit compound (Compound composite odontomes), terdiri dari gigi
yang kurang lebih belum sempurna.
3) Odontoma komposit kompleks (Complex composite odontomes), struktur terkalsifikasi
yang tidak terlalu mirip dengan struktur anatomi normal gigi.
4) Odontoma yang melebar (Dilated odontomes), mahkota atau bagian akar gigi
menunjukkan adanya pembesaran.
5) Odontoma kistik (Cystic odontomes), odontoma yang biasanya terbungkus oleh
jaringan ikat fibrosa dalam kista atau di dinding kista.

(Rana et al., 2019)


KLASIFIKASI ODONTOMA
Berdasarkan World Health Organization (WHO), odontoma diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok yaitu:
1) Complex odontoma: jaringan yang terkalsifikasi tersusun secara sederhana dalam massa
yang tidak teratur dan tidak memiliki persamaan morfologis dengan gigi yang belum
sempurna.
2) Compound odontoma: tumor odontogenik yang memiliki struktur menyerupai gigi.
Odontoma ini lebih sering ditemukan di region anterior maksila dan biasanya memiliki
jaringan mirip gigi normal yang tersusun dalam pola teratur dan terlihat seperti struktur gigi
kecil dalam jumlah banyak yang disebut odontoids atau denticles, diskrit, terbungkus di
dalam fibrous connective tissue stroma.
3) Ameloblastic fibro-odontoma: terdiri dari berbagai jumlah jaringan gigi yang terkalsifikasi
dan jaringan seperti papila gigi, komponen selanjutnya menyerupai ameloblastic fibroma.
Ameloblastic fibro-odontoma dianggap sebagai prekursor yang belum matang dari
odontoma kompleks.

(Rana et al., 2019; Anggraeni et al., 2019; Nasution et al., 2018; Nasution et al., 2019)
KLASIFIKASIODONTOMA
1. Compound odontoma
Ada tiga jenis compound odontoma, yaitu:
a. Denticular type, yang terdiri dari dua atau lebih dentikel terpisah,
masing-masing memiliki mahkota dan akar atau selubung epitel hertwig
dengan distribusi jaringan keras gigi yang sebanding dengan yang
ditemukan pada gigi.
b. Articulate type, terdiri dari dua atau lebih massa terpisah atau partikel yang
tidak memiliki kemiripan makroskopis dengan gigi dan terdiri dari jaringan
keras gigi yang tersusun secara tidak normal.
c. Denticulo particulate type, terdiri dari dentikel dan massa partikel yang
terlihat bersamaan.

(Anggraeni et al., 2019; Nasution et al., 2018; Nasution et al., 2018; Neville et al., 2019; Vyasarayani et al., 2012)
KLASIFIKASI ODONTOMA

malformasi. Seperti pada odontoma kompleks, enukleasi bersifat kuratif

(Neville et al., 2019)


KLASIFIKASI ODONTOMA

yang sempit. Sebagian besar compound odontoma 74,3% ditemukan pada usia 20-30-an saat
pemeriksaan radiografi rutin pada regio insisivus dan caninus rahang atas. Compound odontoma
dapat mengakibatkan gigi permanen anterior tidak erupsi pada anak

(Anggraeni et al., 2019; Nasution et al., 2018; Nasution et al., 2019; Neville et al., 2019; Vyasarayani et al., 2012)
KLASIFIKASI ODONTOMA

(Rana et al., 2019)


KLASIFIKASI ODONTOMA

(Rana et al.,
KLASIFIKASI ODONTOMA
2. Complex odontoma merupakan tumor odontogenik yang terdiri dari massa campuran
jaringan keras dan jaringan lunak yang matang, tidak teratur, dan berdiferensiasi secara
tidak baik sebagai email, dentin, atan sementum sehingga tidak memiliki persamaan
morfologis dengan gigi normal. Complex odontoma paling sering ditemukan pada dekade
pertama dan kedua di regio posterior mandibular (59%) dan regio premolar (7%) akibat
adanya kegagalan erupsi gigi posterior. Radiografi biasanya menunjukkan massa
terkalsifikasi yang berbatas tegas dengan berbagai tingkat radiopasitas yang dikelilingi
oleh
bentukan cincin radiolusen (well-defined, soft tissue capsule border) dan biasanya di
atas atau di dekat gigi impaksi. Seluruh lesi dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat, mirip
dengan folikel gigi. Lesi complex odontoma yang besar dapat menyebabkan gangguan pada
struktur disekitarnya, seperti impaksi dan perubahan tempat gigi didekatnya dan ditandai
dengan perluasan tulang kortikal. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) merupakan
alternatif teknik pilihan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan batas lesi
odontoma, ekspansi, tulang kortikal yang menipis dan perforasi

(Anggraeni et al., 2019; Nasution et al., 2019; Nasution et al., 2018; Neville et al.,
KLASIFIKASI ODONTOMA
Complex odontoma kadang-kadang muncul tanda pembengkakan. Radiografi
biasanya menunjukkan radiolusensi yang berbatas tegas dengan berbagai tingkat
radiopasitas dan biasanya di atas gigi impaksi. Secara histopatologi, odontoma
kompleks ditandai oleh campuran jaringan lunak dan keras odontogenik yang
acak atau tidak beraturan. Meskipun struktur seperti gigi tidak terbentuk,
komponen odontogenik tetap mempertahankan hubungan normalnya satu sama
lain seperti ameloblas berhubungan dengan matriks email, dan papila gigi
berhubungan dengan perkembangan dentin. Seluruh lesi dikelilingi oleh kapsul
jaringan ikat, mirip dengan folikel gigi. Enukleasi biasanya bersifat kuratif,
meskipun lesi yang besar mungkin memerlukan prosedur rekonstruktif setelah
pengangkatan

(Neville et al.,
KLASIFIKASI ODONTOMA

(Neville et al.,
(Rahaswanti,
Manifestasi
Klinis
Compound odontoma dan Complex odontoma
Compound Odontoma
✔ Tidak adanya satu atau beberapa gigi, dan seringkali mencegah erupsi normal
dan terjadi perubahan pada lengkung gigi normal.
✔ asimtomatik dan painless. konsistensinya keras dan saat dipalpasi tidak ada
fluktuasi.
✔ Tampak lunak, berlobus, atau berbentuk tidak teratur.

✔ Kejadian rekurensinya lambat dan ukurannya jarang melebihi ukuran gigi.


Odontoma yang berkuran besar dapat menyebabkan perlusan pada tulang
kortikal. Lesi kecil, jarang menjadi besar, namun bisa menjadi besar sampai 6
cm sehingga menyebabkan ekpansi rahang.

✔ Pada kasus yang jarang terjadi pembentukan odontoma dengan gigi sulung.

✔ Pada kasus yang jarang disertai dengan nyeri, supurasi, erupsi tertunda,
perpindahan gigi, dan pembengkakan karena erupsi odontoma ke dalam oral
cavity dan adanya infeksi sekunder akibat invasi bakteri secara langsung.
✔ Umumnya odontoma terjadi pada dekade kedua dalam kehidupan.

✔ Tidak terdapat hubungan jenis kelamin dengan adanya tumor odontogen ini
dan tumor ini memulai pembentukannya bersamaan dengan pembentukan dan
perkembangan gigi normal

(Chaudhari, 2015; Preetha et al., 2010;


Vyasarayani et al., 2012).
Complex Odontoma
✔ Tampak seperti massa jaringan gigi yang amorf dan tidak
teratur. Diferensiasi strukturalnya buruk sehingga tidak
memiliki kemiripan dengan bentuk normal gigi.
✔ Seringkali membentuk massa seperti kembang kol dari
jaringan gigi keras yang dikelilingi oleh folikel fibrosa.
✔ Cenderung berkembang di posterior rahang bawah. Sering
terlihat pada regio molar kedua dan ketiga.

✔ Bisa berasal dari tooth bud dari gigi impaksi atau


supernumerary teeth.

✔ Terjadi pada dekade kedua dan ketiga kehidupan.

✔ Odontoma membentuk massa keras yang biasanya tanpa


gejala.
✔ Complex odontoma lebih jarang terjadi dibandingkan
compound odontoma

(Balaji & Balaji, 2018; Chaudhari, 2015; Nasution et al., 2019; Preetha et al., 2010; Vyasarayani et al., 2012).
Patogenesis
Odontoma
Patogenesis Odontoma
Patogenesis dari odontoma biasa dikaitkan dengan sejumlah penyebab termasuk trauma selama
periode gigi sulung, anomali herediter seperti sindrom Gardner, sindrom Hermann, dan sindrom
saraf sel basal, hiperaktifitas odontoblastik, atau perubahan komponen genetik yang bertanggung
jawab untuk mengendalikan perkembangan gigi

Odontoma itu sendiri adalah keadaan dari benih gigi yang sedang berkembang
yang diferensiasinya tidak lengkap baik selama periode pra-ameloblastik
atau
ameloblastik, yang kemudian menyebabkan mineralisasi organ email yang
menyimpang.
terhentinya perkembanganDisregulasi
gigi pada morfogenesis
normal dan mineralisasi
yang berpuncak gigi
pada pembentukan
mengakibatkan
odontoma.
Bersamaan dengan transforming growth factor-β dan β-catenins menginduksi
perubahan morfogenetik pada sel epitel. β-catenin bertindak sebagai agen
transduksi sinyal intraseluler di jalur pensinyalan Wnt. Pensinyalan Wnt
perannya yaitu menghambat degradasi β-catenin. Dengan demikian, β-catenin
mutan melalui jalur Shh dan Bmp 4 menyebabkan peningkatan kondensasi
mesenkim yang mengarah pada pembentukan jaringan keras gigi ektopik
yang
berlebihan.
Diagnosis
Banding
Diagnosis Banding

Ossifying Periapical Dense Bone Ameloblastic


Fibroma Osseous Island Fibro-odonto
Dysplasia ma

Benign Osteoma Peripheral


Cementoblas Giant Cell
toma Granuloma
(Barba LT, 2016; Johannsson GI, 2017; Lumerman HS, 2012; Nasution FA, 2018).
TATALAKSANA
ODONTOMA
PEMERIKSAAN ODONTOMA

01 02 03
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
Klinis Radiografi Histologis
Pemeriksaan Klinis

Terdapat tiga gambaran klinis odontoma yaitu


intra-osseous, ekstra-osseous, dan erupsi.
Odontoma intra-osseous adalah yang paling sering.
Odontoma terjadi secara asimtomtik dan painless.
Konsistensinya keras dan saat dipalpasi tidak ada
evaluasi. Tampak lunak, berlobus, atau berbentuk
tidak teratur. Lokasi yang paling sering adalah
daerah insisivus-kaninus rahang atas (67%) diikuti
oleh daerah anterior bawah dan posterior rahang
bawah (33%).
Gambar. Pemeriksaan Ekstra Oral, Foto Klinis Memperlihatkan
Asimetri pada Wajah Pasien dengan Complex Odontoma

(Barba et al., 2016; Chaudhari, 2015; Preetha et al., 2010; Vyasarayani et al., 2012 Nasution et al., 2018)
Pemeriksaan Radiografi
Odontoma secara radiografi baik compound
odontoma maupun complex odontoma adalah massa
radiopak dan memiliki batas yang jelas, odontoma
juga tampak sebagai suatu lesi radiopak yang
dikelilingi dengan radiolusen tipis yang menunjukkan
adanya kapsul jaringan penghubung. Gambaran
odontoma ditentukan berdasarkan derajat
pembentukan senyawa organik dan anorganik. Tahap
awal ditandai oleh kurangnya kalsifikasi dan terlihat
area radiolusen. Tahap kedua dan ketiga adalah
kalsifikasi sebagian dan massa radiopak dikelilingi
area radiolusen.

Gambar. Compound
Odontoma pada Gigi
Premolar Bawah

Gambar. Pemeriksaan
Radiografi Panoramik
Complex Odontoma
(Anggraeni et al., 2019; Octavia et al., 2018; Nasution et al., 2018; Barba et al., 2016)
Pemeriksaan Radiografi

Gambaran radiografi complex odontoma umumnya


radiopak homogen yang dikelilingi halo radiolucent
dengan batas jelas (well-defined, soft tissue capsule
border). Lesi complex odontoma yang besar dapat
menyebabkan gangguan pada struktur di sekitarnya, seperti
impaksi dan perubahan tempat gigi di dekatnya dan ditandai
dengan perluasan tulang kortikal. Complex odontoma
memiliki densitas yang lebih besar dibanding tulang dan
setara atau lebih besar dibanding gigi. Gambaran complex
odontoma adalah radiopak irregular berupa massa
terkalsifikasi, lebih sering terjadi pada regio posterior
rahang bawah dan menyebabkan ekspansi tulang.

Gambar. (A) Complex Odontoma di Periapikal


(B) Complex Odontoma di Daerah Premolar
Bawah
(Nasution FA, 2019; Rosdiana N, 2019; Nasution et al., 2019; Barba et al., 2016)
Pemeriksaan Radiografi

Gambaran radiografi compound odontoma adalah radiopak


unilokuler yang terdiri dari struktur seperti gigi kecil-kecil
dalam jumlah banyak (denticles). Biasanya tidak terjadi
ekspansi tulang pada compound odontoma. Compound
odontoma memperlihatkan dua gambaran yang berbeda yaitu
kelompok kecil massa dengan densitas yang tidak teratur,
tidak memiliki kemiripan dengan gigi, dan adanya dua atau
lebih massa yang menyerupai gigi dengan bentuk email konus
menutupi mahkota.

Gambar. Radiografi Panoramik Compound Odo

(Nasution FA, 2019; Rosdiana N, 2019; Nasution et al., 2019)


Pemeriksaan Radiografi
CBCT (Cone Beam Computed Tomography) merupakan alternatif teknik yang dapat dipertimbangkan dalam
menentukan batas lesi odontoma, ekspansi, tulang kortikal yang menipis dan perforasi. CBCT lebih efektif dibanding
panoramik karena tidak ada superimposed struktur anatomi serta memungkinkan pembuatan gambar pada bidang
axial, koronal, sagittal dan oblik. Secara klinis, CBCT memiliki beragam aplikasi seperti menentukan lokasi, luas
lesi, kondisi struktur internal lesi, dan kondisi patologis pada tulang rahang. Gambar tomografi juga dapat
memperjelas hubungan antara bagian invaginasi dari gigi dengan bilik dan/atau saluran akar, dan tentukan apakah
invaginasi berhubungan dengan ruang ligamen periodontal. Gambar tomografi menyediakan rincian tentang anatomi
internal dalam banyak irisan tipis di bidang bagian yang berbeda dan memungkinkan dokter untuk secara akurat
menyesuaikan perawatan dan menilai kesulitan.

Gambar. Sagittal View CBCT Gam


ambar. 3D View CBCTGambar. Coronal View CBCT bar. Axial View
CBCT
(Nasution FA, 2019; Rosdiana N, 2019; Nasution et al., 2019)
Pemeriksaan Radiografi
Teknik computed tomography (CT) atau CT scan yakni prosedur yang
menggabungkan serangkaian gambar X-ray yang diambil dari berbagai sisi
(tomografi) dapat dilakukan untuk menentukan ekstensi dari lesi dan topografi
anatomi. Biasanya digunakan dalam menganalisis odontoma kompleks (Deliverska E,
2016).

(Deliverska E, 2016)
Pemeriksaan Histologis
Gambaran histologis odontoma
dikarakteristikkan sebagai produk dari
enamel, dentin, sementum, dan jaringan
pulpa yang telah memasuki tahap
histodiferensiasi dan morfodiferensiasi.
Massa terdiri dari semua jaringan gigi
yang tidak tersusun secara teratur, tapi
sering kali dengan pola radial. Pulpa
biasanya bercabang halus sehingga massa
seperti mengalami perforasi, seperti spons,
dengan cabang kecil dari pulpa. Kapsul
jaringan ikat di sekitar odontoma serupa
dengan folikel yang mengelilingi gigi
normal. Salah satu fitur tambahan yang
menarik adalah keberadaan ghost cell di
odontoma.

(Gupta M & Panda S. 2018)


Pemeriksaan Histologis
Dari pemeriksaan histologis, compound odontoma dicirikan oleh adanya jaringan gigi, email
demineralisasi, dentin, sementum, dan pulpa yang tersusun dalam struktur gigi yang teratur dan
sebagian dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat. Sebaliknya, complex odontoma menunjukkan massa
jaringan keras gigi yang tidak teratur; helai epitel odontogenik dapat ditemukan di pinggiran, dan
kadang-kadang, keberadaan sementikel dan epitel ameloblastik dapat dideteksi.

Gambar. (A) Gambaran Histopatologi Compound Odontoma Ditandai


dengan Jaringan Gigi, Dentin, dan Pulpa Tersusun Secara Teratur (B)
Pembesaran Dentin 400x
Gambar. Gambaran Histopatologi Complex Odontoma Ditandai dengan
Jaringan Gigi, Prisma Email, Dentin, dan Massa yang Tidak Teratur

(Barba et al., 2016)


TERAPI ODONTOMA
Terapi odontoma dengan eliminasi bedah tradisional memiliki kemungkinan kekambuhannya kecil. Eksposur bedah
diikuti dengan enukleasi odontoma adalah pilihan perawatan yang diterima untuk memungkinkan erupsi gigi
permanen. Pengobatan enukleasi bedah konservatif dengan cara membuang kapsul jaringan penghubung yang
mengelilinginya. Gigi impaksi cenderung erupsi terlepas dari derajat pembentukan akar setelah ekstirpasi odontoma.
Terkadang traksi ortodontik diperlukan untuk mengarahkan gigi impaksi ke oklusi yang memuaskan. Perawatan
odontoma dengan operasi pengangkatan bersama dengan eksisi lengkap dari setiap jaringan lunak yang terkait
karena ada risiko odontoma mengganggu erupsi gigi permanen, perpindahan gigi yang berdekatan dan menimbulkan
kista dentigerous. Beberapa alasan untuk dilakukan eksisi lesi yaitu pasien khawatir akibat diagnosis ketika di
informasikan adanya lesi, untuk memungkinkan gigi erupsi pada posisi yang sesuai, dan untuk menegakkan
diagnosis diantara odontoma kompleks dan lesi radiopak lainnya.

Gambar. Hasil Eksisi

(Isola, 2017; Eswara, 2017; Bouenba, 2021; Bhat S, 2017; Park JC et al., 2018; Balaji &
Balaji, 2018; Fonseca et al., 2018)
TERAPI ODONTOMA
Perawatan complex odontoma adalah dengan enukleasi atau kuretase jika odontoma merupakan sumber potensial
obstruksi pada erupsi gigi atau jika kemungkinan merupakan fokus infeksi, untuk mencegah komplikasi seperti
kehilangan gigi, perubahan kistik, ekspansi tulang, dan erupsi gigi permanen yang tertunda. Complex odontoma
yang besar harus dipotong menjadi segmen-segmen untuk diangkat untuk mempertahankan tulang normal dan
mencegah fraktur rahang. Pengobatan pilihan compound odontoma adalah operasi pengangkatan dengan
enukleasi, karena odontoma majemuk dapat menjadi predisposisi perubahan kistik dan menyebabkan kerusakan
tulang yang cukup besar. Odontoma dapat didekati melalui insisi mukosa intraoral dan pengangkatan tulang di
atasnya yang memadai untuk mengekspos lesi.

(Balaji SM, 2018; Nelson et al., 2010; Orozco, 2019; Bouenba, 2021)
Komplikasi
Odontoma
Komplikasi Odontoma

1. Gangguan Erupsi Gigi


2. Malposisi Gigi
3. Resorpsi Akar
4. Neuralgia
5. Gigi berjejal
6. Perpindahan gigi permanen
7. Pembentukan Kista

(Rosdiana N, 2019; Teodora C, 2018; Octavia A, 2018, Hamada


M;2021; Eversole LR. 2011).
Prognosis
Odontoma
Prognosis Odontoma

“ Prognosis odontoma adalah baik pada gigi


impaksi jika disertai diagnosis dan deteksi serta
pengangkatan odontoma secara dini. Setelah
pengangkatan odontoma dapat diprediksi
terjadinya erupsi gigi spontan, maka diperlukan

“ kerja sama ortodonti-bedah untuk pemosisian gigi


yang benar.
(Isola et al., 2017; Bilodeau, E.A,
2017;Gervasoni C,et al. 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Balaji SM, Balaji PP. 2018. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery (3rd ed.). Elsevier.

Chaudhari NT, Sharma NK, Kanodia DR, Sethy SK. Compound Composite Odontoma: Two Case Report and Review. Journal of Oral
Medicine, Oral Surgery, Oral Pathology and Oral Radiology. 2015; 1(2): 83-88.

Jóhannsson GI, Bærentzen S, Blomlöf J. 2017. Peripheral complex odontoma in the gingiva: A case report of an 11 year old boy and
review of literature. Open Journal of Stomatology. 7(9), 419-427

Lumerman HS, Bowe RB. 2012. Atlas of Oral and Maxillofacial Histopathology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Nasution FA, Sitam S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik Panoramic radiograph analysis of complex
odontoma. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 30(2), 102-106

Patekar, D., Kheur, S. and Gupta, A.A., 2018. Odontoma-A brief overview. Journal of Oral Disease Markers, 2, pp.23-25.

Vyasarayani P, Krishna M, Pratheeth G. Treatment of compound odontoma causing delayed eruption of maxillary central incisor assisted
by diode laser. RUJODS. 2012; 1(2): 1-10.

Anggraeni NLAPD, Sulistiawati IDAN, Martini AAK. 2019. PROCEEDING BOOK The 4th Bali Dental Science & Exhibition
Balidence 2019. Bali: UNMAS Press.

Barba LT, Campos DM, Rascón MMN, Barrera VAR, Rascón AN. 2016. Descriptive aspects of odontoma: literature review. Revista
Odontológica Mexicana. Volume 20(4); 265-269.
Bhat S, Babu SG, Castelino RL, Madi M, Achalli S, Madiyal A. 2017. Compound odontoma-A case report. J Turgut Ozal Med Cent;
24(3): 357-9.

Bouenba M, et al. 2021. Odontoma as an Etiology of Permanent Incisive Retention: Two Clinical Cases. EAS Journal of Dentistry
and Oral Medicine; 3(5): 133-137.

Chaudhari NT, Sharma NK, Kanodia DR, Sethy SK. Compound Composite Odontoma: Two Case Report and Review. Journal of Oral
Medicine, Oral Surgery, Oral Pathology and Oral Radiology. 2015; 1(2): 83-88.

Deliverska, E., Gagov, L., Stefanov, L. and Rubiev, M. 2016. Odontoma–Report of Two Cases and Literature Review. MedInform,
1(1), pp.414-421.

Eswara UMA. 2017. Compound Odontoma in Anterior Mandible-A Case Report. Malays J Med Sci; 24(3): 94.

Fonseca, R. J., Powers, M. P., Frost, D. E., & Lee, B. (2018). Oral and Maxillofacial Surgery (3rd ed.). Elsevier.

Gupta M, Panda S. 2018. Delayed Eruption due to Concurrent Occurrence of Compound Odontoma and Supernumerary Tooth in the
Maxillary Anterior Region : A Rare Case Report. Journal Contemporer Dental. 8(3):144-147.

Isola G, Cicciù M, Fiorillo L, and Matarese G. 2017. Association between odontoma and impacted teeth. Journal of Craniofacial
Surgery, 28(3), pp.755-758.

Nasution FA, Azhari. 2019. Gambaran Compound Odontoma Dari Radiograf Panoramik dan CBCT. Jurnal Ilmiah dan Teknologi
Kedokteran Gigi FKG UPDM(B). 15(2): 33-36.

Nasution FA, Sitam S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik Panoramic radiograph analysis of
complex odontoma. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 30(2), 102-106.

Octavia A, Fauziah E. 2018. Cone Beam Computed Tomography Dalam Penatalaksanaan Gigi Supernumerari dan Odontoma. Journal
of Indonesian Dental Association. 1(1): 106-110.
Orozco EIF, et al. 2019. Case Report: Interdisciplinary management of a complex odontoma with a periapical involvement of superior
anterior teeth. F1000Research; 8(153): 3-6.

Park JC, et al. 2018. Giant complex odontoma in the posterior mandible: A case report and literature review. Imaging Science in
Dentistry; 48(4): 289-293.

Preetha A, Balikai BS, Sujatha D, Pai A, Ganapathy KS. Complex odontoma. Gen Dent. 2010; 58(3):e100-2.

Rosdiana N, Sam B, Epsilawati L. 2019. Evaluasi Gigi Supernumerary yang Menyerupai Odontoma Menggunakan Cone Beam
Computed Tomography (CBCT). Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia. 3(3): 5-8.

Vyasarayani P, Krishna M, Pratheeth G. Treatment of compound odontoma causing delayed eruption of maxillary central incisor
assisted by diode laser. RUJODS. 2012; 1(2): 1-10.
TERIMAKASIH
Odontoma
Dosen Pembimbing: drg. Norlaila Sarifah, Sp. RKG
Dosen Pakar: drg. Amy Nindia Carabelly,M.Si

Skenario 2 Blok 13
Kelompok 5
Anggota Kelompok 5:
Skenario
Benjolan di rahang bawah kiri
Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM
dengan keluhan terdapat benjolan di rahang
bawah kiri, tidak sakit, dan pasien tidak ada
riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral
normal. Pemeriksaan intra oral didapatkan
bentukan keras berwarna kekuningan di area
36-38 yang menyerupai dentin, bentuk tidak
beraturan. Gingiva sekitar lesi juga mengalami
pembengkakan dengan warna serupa jaringan
sekitar. Hasil pemeriksaan radiografi panoramik
terdapat massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3
cm yang dikelilingi lapisan tipis radiolusen.
Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan
terdapat gambaran enamel, dentin dan matrik
pulpa yang tidak beraturan.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis kasus skenario?

Jawab : Diagnosis yg tepat pada pasien ini adalah tumor Odontogenik. Yakni Odontoma (Tumor gigi) jenis odontoma complex. Hal ini didasari atas pemeriksaan
subjektif pasien yang tidak adanya keluhan dan tidak adanya demam sehingga meniadakan diagnosis dari abses diikuti dengan adanya pemeriksaan radiografi yang
menunjukkan adanya gambaran radioopak dengan garis radiolusen yang meniadakan diagnosis dari kista yang gambarannya adalah gambaran radiolusen dengan tepi
yang radiopak. Untuk spesifiknya sendiri yaitu odontoma karena pada pasien ditemukan berupa massa padat menyerupai dentin terus tidak beraturan dan juga dari
gambaran radiografinya dia itu radiopak yang dikelilingi oleh radiolusen tipis.

2. Apa etiologi kasus pada skenario?

Jawab :

∙ Untuk yang diderita pasien sendiri kita duga yaitu Odontoma, yang merupakan tumor odontogenik. Untuk etiologi tumor sendiri secara umum disebabkan oleh
adanya proliferasi yang berlebih pada sel tersebut oleh adanya gangguan pada gen P53 dan gen RB (retinoblastoma). Untuk tumor Odontogenic sendiri sel yang
terus berproliferasi adalah sel-sel pembentuk gigi seperti adanya dental lamela, lamina dental, sel malassez dan lain sebagainya.

∙ Pola hidup yang buruk dan gangguan perkembangan jaringan

∙ Kista yang terletak pada tulang rahang

∙ Perkembangannya dapat dipengaruhi oleh gigi yang gagal bererupsi (Unerupted teeth) dan Kista dentigerous
Identifikasi dan Analisis Masalah
3. Apakah umur dan jenis kelamin berpengaruh?

Jawab : Berpengaruh, biasanya lebih sering terjadi pada laki-laki dan pada usia 40-50 tahun. Sering ditemukan secara tidak sengaja saat pasien melakukan
pemeriksaan radiografi di usia 20 tahun keatas.

4. Apa pemeriksaan penunjang yang tepat?

Jawab : Dilakukan pemeriksaan intraoral dan ekstraoral, palpasi dan inspeksi kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi panoramik, Pemeriksaan CT scan
dan MRI. Pemeriksaan Histopatologi Anatomi (HPA) dengan pewarnaan sesuai jaringan yang akan diperiksa, seperti pemeriksaan biopsi yaitu mengambil sedikit
jaringan untuk diperiksa dibawah mikroskop.

5. Apa penatalaksanaan yang tepat untuk kasus?

Jawab : Diawali dengan kita lakukan biopsi untuk menentukan apakah tumor yang kita hadapi ini adalah tumor jinak atau tumor yang ganas, selanjutnya penanganan
pada tumor jinak dapat dilakukan pembedahan untuk mengambil keseluruhan dari massa tumor tersebut diikuti dengan kuretase untuk membersihkan massa tumor
untuk mencegah rekurensinya diikuti dengan bone graf untuk mengganti massa tulang yang rusak. Sedangkan untuk tumor yg ganas dapat dilakukan radioterapi dan
kemoterapi untuk menghancurkan massa tumor dan mencegah terjadinya Metastase atau penyebaran dari tumor ganas tersebut ke jaringan lain. Bedah eksisi agar
tidak terjadi lesi rekuren, pencabutan pada gigi yang mengalami impaksi, hilangkan juga faktor penyebabnya. dan dijelaskan juga pada kuliah drg. Irham untuk
penatalaksanaan odontoma dapat berupa enukleasi pada penatalaksanaan tulang yang berdekatan(cryotherapy), reseksi baik en blok maupun parsial, radioterapi dan
kemoterapi. Setelah perawatan diresepkan obat antibiotik dan analgesik untuk meredakan nyeri.
Identifikasi dan Analisis Masalah
6. Bagaimana patogenesis terjadinya pembengkakan gingiva pasien?

Jawab : Odontoma adalah tumor odontogenik campuran atau berasal dari ektodermal dan mesodermal. Terjadi proliferasi sel odontogenik bersifat neoplastik, dimana
sel ektodermal dan mesodermal (epitel dan mesenkim) tersebut berdiferensiasi secara abnormal. Menyebabkan terbentuknya substansi abnormal seperti tumor.

7. Apa diagnosis banding kasus?

Jawab :

∙ ossifying fibroma
∙ benign cementoblastoma ; Gambaran radiografi campuran radiolusen dan radiopaque, dominan adalah radiopaq, umumnya terjadi pada akar premolar dan molar
mandibula dan dapat mengakibatkan resorpsi akar eksternal.

8. Apa dampak yang terjadi jika penyakit tidak ditangani?

Jawab : Jika benjolan membesar, benjolan dapat terasa nyeri dan bisa terjadi pembesaran limfonodi di leher. Lesi ini juga dapat meluas hingga ke tulang sehingga
menyebabkan terjadinya destruksi tulang yang menyebabkan pergeseran dan resorpsi akar gigi. Apabila tidak ditangani dikhawatirkan akan mengganggu jaringan
keras pendukung gigi seperti tulang alveolar sehingga mungkin dapat terjadi yang namanya perforasi tulang dan dapat dilakukan perawatan bone graft. Komplikasi lain
bisa juga berdampak pada proses erupsi gigi primer yang mana akan terhalang oleh adanya keadaan ini.
Identifikasi dan Analisis Masalah
9. Bagaimana prognosis penyakit pada skenario?

Jawab : Prognosis baik jika dapat di eksisi dengan sempurna. Karena apabila eksisi yang dilakukan sempurna dan tidak tersisa jaringan tumor jinak penyakit tersebut
maka tidak akan terjadi rekurensi atau kekambuhan sehingga didapatkan prognosis yang baik.

10. Apa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit jika tidak segera ditangani?

Jawab : Seperti yang kita duga pasien menderita odontoma, yang mana odontoma sendiri merupakan tumor jinak yang berekspansi secara lambat. Hal ini dapat
menimbulkan deformasi tulang di bawahnya sehingga wajah pasien akan tampak tidak simetris.
Problem Tree

Odontoma

Definisi Etiologi Klasifikasi Epidemiologi Patogenesis Diagnosis Manifestasi klinis Penatalaksanaan Pemeriksaan Komplikasi Prognosis
banding penunjang

Interpretasi
Sasaran Belajar

1. Definisi Odontoma 7. Manifestasi klinis Odontoma

2. Etiologi Odontoma 8. Penatalaksanaan Odontoma

3. Klasifikasi Odontoma 9. Pemeriksaan penunjang :

4. Epidemiologi Odontoma interpretasi HPA dan Radiografi


Odontoma
5. Patogenesis Odontoma
10. Komplikasi Odontoma
6. Diagnosis banding Odontoma
11. Prognosis Odontoma
Definisi
Odontoma
Definisi Odontoma

Odontoma adalah salah satu tumor odontogenik jinak


paling umum yang terjadi di rahang, dan dapat dibagi
menjadi tipe kompleks dan compound. Perbedaan diantara
keduanya adalah compound odontoma berbentuk seperti
struktur gigi, sedangkan complex odontoma tersusun atas
massa enamel dan dentin yang tidak teratur dan tidak
memiliki kemiripan anatomi. Tumor ini biasanya
merupakan lesi asimtomatik yang ditemukan secara
kebetulan selama pemeriksaan radiografi rutin, dan
perawatan standar odontoma yang terkait dengan jaringan
lunak adalah pengangkatan total untuk menghindari
kekambuhan (Hamada, et al., 2021; Singla & Gupta, 2016).
Etiologi
Odontoma
Trauma pada Gigi Sulung

Hiperaktivitas Odontoblastik

Faktor Lokal Sisa Paradental Malassez

Infeksi Anomali Herediter

Ameloblas Mature/Dewasa
Faktor Genetik

Proses Inflamasi Sel Epitel Odontogenik Asing

Peningkatan Proliferasi Lamina Gigi & Perubahan Patologis


Sisa-sisanya (disebut laminar
odontoma) / schizodontia multipel
Satish, 2011; Rahaswanti, 2016; Barba, 2016; Widayanti, 2017; Ceza
2017; Nasution, 2018; Rosdiana, 2019; Namdeo, 2019
Klasifikasi
Odontoma
Berdasarkan Klasifikasi WHO

Odontoma Compound
Odontoma Kompleks Jaringan odontogenik yang memiliki
struktur seperti gigi tetapi tidak berbentuk
Jaringan keras gigi yang terkalsifikasi seperti gigi
yang memiliki morfologi seperti
gigi-gigi kecil

Ameloblastik Fibro-Odontoma
Merupakan perkusor imatur dari
odontoma kompleks

Arfiadi LN,2016
Odontoma Kompleks

Gambaran radiografi kompleks odontoma (Gambar 2)


umumnya radioopak homogen yang dikelilingi halo
radiolucent dengan batas jelas (well-defined, soft tissue
capsule border). Lesi complex odontoma yang besar dapat
menyebabkan gangguan pada struktur disekitarnya,
seperti impaksi dan perubahan tempat gigi didekatnya dan
ditandai dengan perluasan tulang kortikal.

Odontoma kompleks (Gambar 4)


menunjukkan massa jaringan keras
gigi yang tidak teratur; helai epitel
odontogenik dapat ditemukan di
pinggiran, dan terkadang, kehadiran sel
hantu, sementikel dan epitel
ameloblastik dapat terdeteksi.

Barba,2016; Nasution, 2018; Nasution, 2019


Odontoma Compound
Gambaran radiografi (Gambar 3) menunjukkan lesi multiple
radioopak berbentuk oval, dikelilingi radiolusen pada area
anterior rahang atas kiri. Lesi bersifat lokal, single lesion, pada
area servikal dari mesial gigi 11 hingga mesial gigi 22, berbatas
jelas (well-defined border). Radiolusen tipis yang merupakan
kapsul jaringan lunak (soft tissue capsule) terlihat mengelilingi
gambaran lesi radioopak. Batas kortikasi (corticated border)
pada bagian terluar lesi terlihat sebagai gambaran yang
radioopak tipis.

Compound odontoma
(Gambar 3) ditandai dengan
adanya jaringan gigi, email
demineralisasi, dentin,
sementum dan pulpa, diatur
secara terorganisir dari struktur
gigi dan sebagian dikelilingi
oleh jaringan ikat kapsul

Barba,2016; Nasution, 2018; Nasution, 2019


Epidemiologi
Odontoma
Odontoma adalah lesi tumbuh lambat tanpa rasa sakit, sering terdeteksi selama pemeriksaan radiografi rutin
Prevalensi odontoma mencakup 4 hingga 78% dari kejadian semua tumor yang berasal dari
gigi
Kejadian odontoma lebih sering terjadi selama dekade kedua kehidupan
Presentasi klinis yang paling umum untuk odontoma adalah hubungannya dengan gigi sulung yang impaksi atau tertahan
Terutama didiagnosis pada anak-anak dan dewasa muda

Complex Odontoma Compound Odontoma


❑ Paling sering terletak di daerah posterior mandibula ❑ Paling sering terletak di daerah anterior rahang atas
❑ Ditemukan
bawah (70%)pada area molar pertama dan molar kedua
❑ Tanda
❑ Berhubungan dengan
paling sering gigi kaninus
ditemukan yang
>> tidak tidak erupsi
adanya erupsi gigi secara
rahang
(62%)

❑ Prevalensi Complex
Sekitar 6 0 % complexOdontoma
odontomaadalah
terjadisekitar 21 -
pada wanita
74% ❑absolut
Prevalensi Compound Odontoma sekitar 20 - 71%
❑ Compound Odontoma didiagnosis pada usia lebih dini
❑ Compound odontoma tidak menunjukkan predileksi jenis kelamin

Akerzoul, 2017; Octavia, 2018; Duque, 2019; Farah, 2019;


Rana, 2019; Aly, 2020; Goswami, 2020; Singh, 2020;
Patogenesis
Odontoma
Odontoma
PATOGENESIS
Odontoma adalah proliferasi hamartomatous (malformasi perkembangan) dari odontogenik
asal. Diperkirakan bahwa trauma lokal, infeksi dan mutasi genetic menyebabkan proliferasi
odontogenik epitel yang gagal dan mengubahnya menjadi interaksi ectomesenchyme selama
fase awal yang selanjutnya mengarahkan perkembangan gigi ke pembentukan email, dentin
dan sementum yang tidak teratur. Sel epitel dan mesenkim seharusnya mengalami
diferensiasi lengkap dengan ameloblas dan odontoblas memberikan hasil yang fungsional
membentuk email dan dentin. Namun perkembangannya menjadi pola abnormal karena
kegagalan sel untuk mencapai tahap morfodiferensiasi. Lesi yang terdiri dari lebih dari satu
jenis jaringan disebut sebagai odontoma compund. Pada beberapa odontoma compound,
email dan dentin terletak sedemikian rupa sehingga strukturnya memiliki kemiripan anatomi
dengan anatomi gigi normal namun dengan ukuran yang lebih kecil daripada gigi. Ketika
jaringan gigi yang mengalami kalsifikasi hanya tersusun dengan massa tidak beraturan yang
tidak memiliki kesamaan morfologis dengan gigi yang belum sempurna maka bentukank
tersebut disebut odontoma kompleks (Ghom, 2013).
Diagnosis
Banding
Odontoma
Odontoma
SECARA RADIOLOGI

● Ameloblastic Fibro-Odonto ● Periapical Cemento-osseus


ma Dysplasia (PCOD)
SECARA RADIOLOGI

● Ossifying fibroma ● Dense bone island


SECARA HISTOPATOLOGI

● Ameloblastic Fibro-Odonto ● Kista Odontogenis


ma Kalsifikasi
SECARA HISTOPATOLOGI
● Fibroma ameloblastik dan Fibrodentinoma
ameloblastik
Manifestasi
Klinis
Odontoma
Odontoma
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar lesi ini benar- benar asimtomatik, ditemukan pada pemeriksaan radiografi rutin
tau saat pengambilan film untuk menentukan alasan kegagalan erupsi gigi. Odontoma biasnya rel
atif kecil dan jarang melebihi ukuran gigi di daerah dimana mereka berada. Namun,
odontoma besar dengan diameter hingga 6 cm atau lebih kadang-kadang terlihat.

Meskipun odontoma kompon dan kompleks dapat ditemukan di tempat manapun, tipe kompon le
bih sering terlihat pada rahang atas anterior
odontoma kompleks lebih sering terjadi di daerah molar kedua rahang. Kadang-kadang,
odontoma akan berkembang sepenuhnya di dalam jaringan lunak gingiva. Lebih lanjut,
juga dibuktikan bahwa sebagian besar berukuran kecil, jarang melebihi ukuran gigi yang terkait.
MANIFESTASI KLINIS

Compound Odontoma memiliki manifestasi berupa kumpulan dari banyak struktur (dentikel)
yang terpisah, kecil, seperti gigi yang terpendam non erupsi, seluruh lesi biasanya berdiameter
tidak lebih dari 20 mm. Tipe ini biasanya ditemukan di
anterior rahang atas dan menyebabkan pembengkakan minimal.
MANIFESTASI KLINIS
Complex
Odontoma terdiri dari massa tunggal jaringan keras dan lunak yang tidak teratur, tidak memili
ki kemiripan morfologis dengan gigi dan sering membentuk nodul email dan dentin berbentuk
kembang kol yang tidak teratur. Ini bisa mencapai beberapa sentimeter dalam ukuran dan serin
g memperluas rahang. Seperti dibahas sebelumnya, odontoma kompleks biasanya asimtomatik
(Chi et al., 2017; Cawson et al., 2019; Akerzoul et al., 2017).
Penatalaksanaan
Odontoma
ODONTOMA
Penatalaksanaan Odontoma
Tahapan Tatalaksana 3dontoma

❑ (iagnosis dini penting untuk 1. (ilakukan Anamnesis dan


mencegah komplikasi, prognosis yang Pemeriksaan /linis
lebih baik, dan perawatan yang lebih D lntraoral: dilihat secara visual dan
murah. palpasi area bengkak
❑ Pilihan perawatan dapat berupa D Ekstraoral: adanya Asimetris Wajah
ekstraksi bedah dan resposisi bedah E\:
serta perawatan ortodontik.
❑ Perawatan pilihan terdiri dari enukleasi
bedah konservatiJ dengan membuang
kapsul jaringan konjungtiva yang
mengelilinginya
3. Bedah Eksisi
Tahapan Tatalaksana Odontoma D lakukan aseptic, lalu anastesi blok
nasopalatina dan anastesi tmbhn
2. Dilakukan pemeriksaan radiografi,
daerah insisif central
ex: panoramic dan CBCT
D insisi dan angkat tulang agar lesi
Ex:
terekspos pada mukobukal region
gigi terdampak dengan pelepasan
total flap
D massa tumor di angkat
D kapsul fibrosa dan jaringan inflamasi
proliferative yang tersisa dikuretase
D struktur disekitar diperhatikan
D memeriksa pelebaran kapsul
jaringan lunak sebagai penanda
infeksi atau pembentukan kista
dentigerous
4. Pemeriksaan HPA pada spesimen
Ex: D Sera makroskopis, lesi berupa massa
terkalsifikasi, putih, mirip jaringan gigi
D Pada odontoma kompleks perlu
konfirmasi dari pem. HPA
Pandangan intraoperatif pengangkatan odontoma
dan spesimen yang dipotong.
5. Perawatan pasea operasi
D Diberikan amoxieillin l gr, 2Xl slma 5
hari
D Diberikan gel klorheksidin 0,2% pada
daerah yang di rawat 5 menit, 2Xl slma
Regio retromolar mandibula kiri terbuka untuk jahitan tetap ditempat
pengambilan eangkok.
Rekonstruksi primer dari defek alveolar dengan
eangkok (distabilkan dengan sekrup stainless
steel).
Pemeriksaan
Penunjang
Odontoma
ODONTOMA
RADIOGRAFI
Compound Odontoma
Tampak sebagai lesi radiopak multipel ireguler kumpulan
struktur mirip gigi dengan berbagai ukuran dan berupa
bentuk yang dikelilingi oleh zona radiolusen yang sempit.
Dalam beberapa kasus, email, dentin, dan ruang pulpa
dapat terlihat, sehingga tampak tampilan yang heterogen
Gambar 1: Compound Odontoma: Sekelompok kecil
struktur seperti gigi yang mencegah erupsi kaninus
rahang atas.
Gambar 2: Compound Odontoma pada mandibula
anterior: Gambar Hasil pemeriksaan dengan Cone
Beam CT: (a)rekonstruksi panoramik, (b)rekonstruksi
aksial, dan (c) rekonstruksi radial di regio kaninus
kanan bawah (43). Terdapat sekelompok "dentikel" 2
antara gigi seri lateral kanan bawah (42) dan kaninus
kanan bawah (43) secara fokal memperluas
penipisan persimpangan korteks lingual dan crestal
(panah putih)
Complex Odontoma
Bermanifestasi sebagai massa terkalsifikasi yang tidak teratur, padat, dan radiopak dengan elemen
nodular dikelilingi oleh zona radiolusen yang tipis. Lesinya unilokular agak lebih homogen dengan
radiodensitas struktur gigi dan dipisahkan dari tulang normal oleh garis kortikalisasi yang jelas.
Tingkat radiopak bergantung pada kepadatan matriks mineral mencerminkan perbedaan jumlah dan
jenis jaringan keras yang telah terbentuk

Gambar Odontoma kompleks. Bagian dekalsifikasi ini menunjukkan massa dentin yang tidak teratur
bercampur dengan kumpulan kecil matriks email. serta ekspansi mandibula
HISTOPATOLOGI

Fletcher, 2019
Compound Odontoma
Terdiri dari struktur multipel yang menyerupai gigi
kecil, berakar tunggal, terdapat dalam matriks fibrosa
yang longgar. enamel yang matang dari struktur
seperti gigi hilang selama dekalsifikasi untuk
preparasi bagian mikroskopis, tetapi jumlah matriks
email yang bervariasi sering muncul. Jaringan pulpa
dapat terlihat pada bagian koronal dan akar dari
struktur seperti gigi. Secara histologis, dentikel
tertanam dalam jaringan ikat fibrosa dan memiliki
kapsul fibrosa di sekitar seluruh lesi. Setiap dentikel
memiliki struktur yang terorganisir dengan pulpa di
tengah dan penutup email di atas dentin yang
berbentuk tidak normal. Dentikel berkembang
seperti gigi normal, termineralisasi sepenuhnya dan
setelah matang, berhenti tumbuh
(Gambar Compound Odontoma; Jaringan keras gigi
disusun dengan cara yang lebih terorganisir
menyerupai struktur seperti gigi yang lebih kecil.
(pewarnaan hematoxylin dan eosin)
Complex Odontoma
sebagian besar terdiri dari dentin tubuler matur. Dentin ini
menutupi celah atau struktur melingkar berongga yang berisi
email matang yang dihilangkan selama dekalsifikasi. Ruang
tersebut mungkin berisi sejumlah kecil matriks email atau email
imatur. Pulau-pulau kecil sel hantu (ghost cell) epitel pewarnaan
eosinofilik terdapat pada sekitar 20% odontoma kompleks. lni
mungkin mewakili sisa-sisa epitel odontogenik yang telah
mengalami keratinisasi dan kematian sel dari anoksia lokal.
Sebuah lapisan tipis sementum sering hadir tentang pinggiran
massa. Kadang-kadang, kista dentigerous dapat muncul dari
lapisan epitel kapsul fibrosa odontoma kompleks. Secara
histologis, massa terdiri dari semua jaringan gigi dalam susunan
yang tidak teratur, tetapi seringkali dengan struktur radial. Pulpa
biasanya bercabang halus sehingga massa dilubangi, seperti
spons, oleh cabang kecil pulpa

(Gambar Complex Odontoma: Bagian dekalsifikasi ini


menunjukkan massa dentin yang tidak teratur bercampur
dengan kumpulan kecil matriks email)
Komplikasi
Odontoma
Komplikasi Odontoma
01 02 03
Erupsi gigi terhambat Peningkatan risiko karies Permasalahan pada gigi
gigi yang paling sering dan masalah periodontal yang berdekatan
mengalami impaksi akibat Gigi yang erupsi pada posisi Gigi yang bersebelahan dgn
adanya odontoma adalah rendah dapat meningkatkan odontoma 70% mengalami
kaninus, diikuti oleh gigi insisif risiko karies gigi atau masalah perubahan patologis yaitu
pertama rahang atas, dan gigi periodontal karena kesulitan mengalami malformasi,
molar ketiga dengan status kebersihan mulut malposisi, devitalisasi,
diastema, aplasia, impaksi
04 gigi yang berdekatan,
Infeksi perpindahan gigi, retensi
gigi yang jelas, resorpsi
tumor yang terlalu besar dapat akar, pelebaran ruang folikel
menyebabkan infeksi yang dari retensi
berhubungan dengan nanah,
pembentukan abses,
pembengkakan, nyeri, dan
parestesia
Prognosis
Odontoma
■ Perawatan ortodontik pada koreksi gigi impaksi gigi akibat adanya
obstruksi jalur erupsi yaitu odontoma bila ditangani secara
interdisipliner dengan tindakan bedah dan ortodontik
memiliki
■ prognosis yang baik.
Pemeriksaan rutin radiografi penting untuk deteksi dini dan
■ pencegahan efek samping
pemeriksaan panoramik periodik pada dekade pertama dan kedua
kehidupanodontoma
prognosis akan direkomendasikan untuk deteksi dini dan
yang lebih baik.
■ Closed method exposure dibantu dengan gaya traksi ortodontik
yang ringan untuk membimbing erupsi gigi yang impaksi dapat
menghasilkan kontur gingiva yang baik dan menghindari
kerusakaan jaringan periodontal maupun periapikal

Prabhu et al, 2019; Young S, 2012; Arfiadi L, 2016


Thankyou!
DAFTAR PUSTAKA

Arfiadi LN, Farmasyanti CA, Kuswayuning. 2016. Penatalaksanaan Interdisipliner Kasus Impaksi Gigi
Incisivus Sentral Maksila Akibat Obstruksi Odontoma Kompleks. MKGK; 2(2): 86-91
Bafna SS, Joy T, Tupkari, JV, & Landge JS. 2016. Dentinogenic ghost cell tumor. Journal of oral and
maxillofacial pathology : JOMFP. 20(1), 16'.

Cawson, R. A., & Odell, E. W. 2017. Cawson's essentials of oral pathology and oral medicine e-book.
Elsevier Health Sciences.
Cezairli B, Taskesen F, Coskum U, Cezairli NS, Tosun E. Surgical Treatment of a Large Complex
Odontoma. Meandros Med Dent J. 2017; 18 : 148-152.
Chi AC, Neville BW, Damm DD, & Allen CM. 2017. Oral and maxillofacial pathology-(-%ook.
Missouri: Elsevier Health Sciences.
DAFTAR PUSTAKA

Farah CS, McCullough MJ, Balasubramaniam R. 2019. Cham: Springer


International Publishing.
Feranasari AAIA, Firman RN, Pramanik F. 2020. Temuan insidental dense bone island pada radiograf
panoramik. Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI). 4(1): '7-40.)

Greer RO, Marx RE, Said S, & Prok LD. 2017. Pediatric Head and Neck Pathology. Cambridge
University Press.
Hamada M, Okawa R, Nishiyama K, Nomura R, Uzawa N, Nakano K. Compound Odontoma
Removed by Endoscopic Intraoral Approach: Case Report. Dentistry Journal. 2021; 9(81) : 1-6.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Rana V, Srivastava N, Kaushik N, Sharma V, Panthri P, Niranjan MM. 2019. Compound Odontome: A
Case Report. : 64–67.
DAFTAR PUSTAKA
KULIAH PAKAR
SKENARIO 2
Kelompok 6

Dosen Pembimbing:
Galuh Dwinta Sari, S. Psi., M. Psi., Psikolog
Dosen Kuliah Pakar:
drg. Amy Nindia Carabelly, M.Si
Anggota Kelompok

▪ Muhammad Dinil Fajr (1911111310035)


▪ Syafira (1911111320011)
▪ Husnul Mariah (1911111320013)
▪ Natasha Gabrielle Panjaitan (1911111320024)
▪ Dini Maulani (1911111320042)
▪ Nasrullah Syafruddin (1911111110012)
▪ Muhammad Akbar Baitullah (1911111210023)
▪ Nurfanza Muti Saputra (1911111210015)
▪ Jamilatun Nisa (1911111120007)
▪ Siti Musrifatuttazkiyah (1911111220018)
▪ Eugenia Clairine (1911111120008)
SKENARIO
Benjolan di rahang bawah kiri
Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM dengan keluhan
terdapat benjolan di rahang bawah kiri, tidak sakit, dan pasien
tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral normal.
Pemeriksaan intra oral didapatkan bentukan keras berwarna
kekuningan di area 36-38 yang menyerupai dentin, bentuk
tidak beraturan. Gingiva sekitar lesi juga mengalami
pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar. Hasil
pemeriksaan radiografi panoramik terdapat massa radiopak
padat ukuran 3,6 x 3 cm yang dikelilingi lapisan tipis
radiolusent. Nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut.
Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat
gambaran enamel, dentin dan matrik pulpa yang tidak
beraturan.
Identifikasi dan Klarifikasi Istilah Asing
1. Matrik pulpa : Dibentuk oleh fibroblast terdiri dari serabut kolagen dan substansi dasar.

Identifikasi dan Analisis Masalah


1. Apa diagnosis dari penyakit diatas?
Jawab: Odontoma dikarenakan ada gigi dibawah (gigi impaksi), di mandibula sebelah kiri, gambaran
radiologinya berupa radiopak. Odontoma kompleks, pasien tdk merasakan sakit atau tidak nyaman
dan
terdapat massa pada bagian rahang bawah pasien dengan warna normal
2. Apa yg menyebabkan benjolan dirahang bawah tersebut tidak sakit?
Jawab: Karena benjolan tersebut tidak mengenai pembuluh darah dan saraf, benjolan ini tidak sampai
mengenai lapisan lamina propria yang terdiri dari kumpulan pembuluh darah dan saraf, etiologinya bukan
dari infeksi dan peradangan oleh karena itu tidak ada pemicu rasa sakit, karena odontoma merupakan
tumor jinak sehingga saat teraba tidak terasa sakit.
3. Apa etiologi kasus pada skenario?
Jawab: Etiologinya masih belum jelas, namun dikaitkan dengan adanya infeksi, trauma, dan faktor
genetik, dikaitkan dengan pertumbuhan gigi yang keluar jalur, disebabkan karena gangguan mekanisme
pada pembentukan dimana gen mengontrol pembentukan dan bentuk gigi. Adanya mutasi genetik.
Identifikasi dan Analisis Masalah
4. Apa saja yg mempengaruhi kasus pada skenario diatas?
Jawab: Sasaran Belajar.
5. Bagaimana pemeriksaan pada pasien pada skenario tersebut?
Jawab: Radiografi panoramik untuk melihat kondisi benjolannya tersebut yg tidak dapat dilihat oleh mata.
Pemeriksaan histopatologi untuk melihat apakah sudah sesuai dengan ciri-ciri dari yang sesuai dengan
diagnosa penyakit dan pemeriksaan ini juga dapat melihat apakah adanya penyakit sistemik penyerta atau
tidak. Melakukan anamnesis berdasarkan SOAP, assessment TNM (Tumor, Nodul, Neoplasma),
disesuaikan dengan level KGB, dapat dilakukan CT scan (untuk jaringan keras), MRI (Jaringan lunak),
Biopsi (jika termasuk tumor jinak), dan dilakukan periskop tumor untuk menentukan apakah bebas tumor.
6. Apakah usia berpengaruh pada skenario tersebut?
Jawab: Tidak berpengaruh, untuk mendeteksinya biasanya umurnya pada usia remaja, tidak terkait dengan
umur, namun terkait dengan proses pertumbuh kembang gigi maka dari manifestasi pada tiap orang yang
mengalami odontoma akan muncul pada usia yang berbeda-beda.
7. Bagaimana patogenesis penyakit tersebut?
Jawab: Kalau berdasarkan diagnosisnya odontoma, maka patogenesisnya yaitu berasal dari sisa enamel,
lamina propria, atau pada masa perkembangan yang terganggu yang menyebabkan gangguan sel epitel
yang selanjutnya berkembang menjadi odontoma.
Identifikasi dan Analisis Masalah
8. Bagaimana penatalaksanaan yg dapatt dilakukan oleh dokter gigi umum dan dokter spesialis?
Jawab: Dokter umum dapat memberikan obat sebagai terapi, merujuk ke dokter spesialis bm, dan drg
spesialis dapat melakukan tindakan bedah eksisi. Dokter gigi umum dapat merujuk pasien untuk
melakukan pemeriksaan radiografi, drg spesialis bedah dapat melakukan pengangkatan massa melalui
prosedur bedah dan pengambilan gigi impaksi. Karena terdapat infeksi, pasien bisa diberikan antibiotik
dan analgesik.
9. Bagaimana manifestasi klinis kasus tersebut sesuai skenario?
Jawab: Konsistensinya keras, berwarna kekuningan, bentuknya ireguler, gambaran radiopak padat
dikelilingi gambaran radiolusen tipis. Odontoma compleks gambarannya menjadi satu menyatu pada
radiografi. Odontoma compound berbentuk bintik bintik kecil. Gingiva sekitar lesi mengalami
pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar, asimptomatik.
10. Apa saja komplikasi yg dapat terjadi apabila penyakit tersebut dibiarkan?
Jawab: Impaksi gigi, keadaan ini umumnya asimptomatik namun menimbulkan komplikasi seperti erupsi
gigi dan resorbsi akar, pergerakan gigi, dan gigi berdekatan yang berjejal, dan dapat terjadi pembentukan
kista
11. Bagaimana interpretasi gambaran histopatologi pada skenario tersebut?
Jawab: terlihat gambaran enamel, dentin, dan matrik pulpa yg tidak beraturan.
TOPIC TREE

Odontoma

Definisi Etiologi Epidemiologi Klasifikasi Patogenesis Manifestasi Pemeriksaan Pencegahan Penanganan Prognosis Diagnosis Komplikasi
Klinis banding

20,000
Sasaran Belajar
1. Apakah Definisi dari Odontoma?
2. Bagaimana Etiologi beserta Faktor predisposisi dari Odontoma ?
3. Bagaimana Epidemiologi dari Odontoma?
4. Apa saja Klasifikasi dari Odontoma?
5. Bagaimana Patogenesis dari Odontoma?
6. Bagaimana Manifestasi klinis dari Odontoma?
7. Bagaimana Pemeriksaan Klinis dan Penunjang dari Odontoma ?
8. Bagaimana Pencegahan dari Odontoma?
9. Bagaimana Penanganan dari Odontoma?
10. Bagaimana Prognosis dari Odontoma?
11. Apakah Diagnosis banding dari Odontoma?
12. Apakah Komplikasi dari Odontoma?
13. Bagaimana Hubungan Usia dengan terjadinya Odontoma?
DEFINISI
ODONTOMA
Definisi Odontoma

Merupakan salah satu tumor jinak


odontogenic, non agresif, dan merupakan
kelainan perkembangan gigi
(hamartomatous). Berkembang dari jaringan
odontogenic primordial.

(Gervasoni, 2017; Isola, 2017; Nasution, 2018)


ETIOLOGI
ODONTOMA
ETIOLOGI & FAKTOR PREDISPOSISI

Bersifat asimtomatik, terdeteksi


secara kebetulan pada
Etiologi tidak diketahui secara pemeriksaan radiologi, seringkali Terbentuk karena
jelas. Infeksi treauma, riwayat berhubungan dengan impaksi peningkatan proliferasi
keluarga, dan mutasi gen gigi. lamina gigi (laminar
dianggap menjadi faktor odontoma) / skizodontia
predisposisi multipel.

(Prabhu, 2019; Torul, 2020).


EPIDEMIOLOGI
ODONTOMA
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi 21%-67% dari
semua
tumor odontogenic. Dapat terjadi
pada semua
sebagian kelompok
besar umur, namun
kasus ditemui pada
usia 20 tahun kebawah.

Odontoma Kompleks Odontoma Compound


(CxO) (CO)
Prevalensi WHO odontoma kompleks Prevalensi WHO odontoma
21%- compound 2 0 % - 7 1 %
74%

(Nelson, 2010; Octavia, 2018; Duque, 2019)


KLASIFILASI
ODONTOMA
KLASIFIKASI ODONTOMA
Klasifikasi menurut WHO odontoma pada awalnya dibagi
menjadi tiga kelompok, tetapi pada tahun 2017 WHO
memperbarui klasifikasi dari odontoma hanya menjadi 2
kelompok yaitu compound (CO) dan Kompleks (CxO).

01 03
Kompleks (CxO) Ameloblastik
Jaringan keras gigi yang 02 fibro-odontoma
terkalsifikasi, memiliki
Compound (CO) Merupakan precursor
morfologi seperti gigi-gigi
imatur dari odontoma
kecil. Terdiri dari jaringan kompleks
odontogenic, memiliki
struktur seperti gigi namun
tidak berbentuk seperti gigi
(Arfiadi, 2016; Nasution FA 2019)
KLASIFIKASI ODONTOMA
Tiga jenis compound
Particular type
Terdiri dari dua atau lebih massa terpisah/ odontoma (CO):
partikel yang tidak memiliki kimiripan
mikroskopis dengan gigi, terdiri dari jaringan
keras gigi yang tersusun secara tidak normal Denticulo particular
type
Denticular type Terdiri dari dentikel
Terdiri dari dua/lebih dentikel dan massa partikel
terpisah, tiap dentikel memiliki yang terlihat
mahkota dan akar/ selubung bersamaan.
epitel hertwig dengan distribusi
jaringan keras gigi, sebanding
dengan yang ditemukan pada
gigi
(Fadhil ulum AR, 2020; Nasution
FA, 2019)
PATOGENESIS
ODONTOMA
PATOGENESIS ODONTOMA
• Odontoma berkembang dari jaringan
odontogenik primordial

• proliferasi neoplastik sel-sel odontogenik


benih gigi dimana sel-sel epitel dan mesenkim
berdiferensiasi ke tingkat ameloblastik dan
odontogenik tetapi tidak berhasil mencapai
keadaan normal, jadi substansi gigi terbentuk
secara abnormal.

• Sel-sel epitel dan mesenkim berdiferensiasi


membentuk email, dentin, dan sementum
yang tersusun dalam susunan jaringan yang
abnormal yaitu dalam bentuk dentikel,
Kemudian jaringan stroma berhenti
aktivitasnya membentuk kapsul, terkadang
membagi tumor dalam septa-septa.

(Balaji and Balaji, 2018)


TAHAP PERKEMBANGAN ODONTOMA
BERDASARKAN GAMBARAN RADIOLOGIS DAN DERAJAT
KALSIFIKASI

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3


Adanya radiotransparansi Disebut juga tahap Menunjukkan adanya kalsifikasi
karena tidak adanya menengah yang jaringan yang dominan dengan
kalsifikasi jaringan gigi menunjukkan adanya halo radiotransparan di
kalsifikasi parsial. sekitarnya.

(Balaji and Balaji, 2018)


MANIFESTASI
KLINIS
ODONTOMAODONTOMA
MANIFESTASI KLINIS ODONTOMA

GEJALA UMUM
• Retensi gigi permanen
• nyeri, (menganggu erupsi gigi)
• agenesis gigi permanen
• pembengkakan,
• infeksi yang berhubungan
• maloklusi
dengan nanah
anomali patologis yang diamati • suppurasi dan ekspansi tulang
pada gigi tetangga

Secara klinis, Odontoma pertumbuhan yang lambat, terbatas


sering tidak bergejala, dan jarang melebihi ukuran gigi
bersifat jinak, dan non (diameter odontoma <3 cm)
agresif. • Ketika, ukurannya besar/raksasa (>3 cm)
dapat menyebabkan ekspansi tulang
kortikal

(Nasution FA, 2019; Torul D, et al. 2020;


Isola Gaetano, 2017; Prabu N, 2019;
Park, J. C.,et al. 2018)
PEMERIKSAAN KLINIS DAN
PENUNJANG ODONTOMA
PEMERIKSAAN KLINIS DAN PENUNJANG ODONTOMA

Pemeriksaan Pemeriksaan
ekstraoral Post-operative
• melihat apakah wajah asimetri akibat Setelah 30 hari operasi dapat
pembengkakan dilakukan pengamatan melalui
rontgent apakah ada deformasi
• Melihat warna kulit apakah sama dengan kulit
dan mukosa di sekitarnya
Pemeriksaan tulang dan dibandingkan dengan
intraoral kondisi awal.
• Melakukan palpasi ekstraoral untuk
mengetahui massanya (konsistensi, lokasi,
Pemeriksaan pada dasar mulut dan
nyeri)
permukaan ventral lidah dengan ujung
lidah diangkat ke arah palatum dan
mengamati adanya kelainan:
• Warna
• tekstur
• distribusi papilla (Widayanti R, et al. 2017; Nasution, et al. 2018;
Orozco et al., 2019)
• simetrisitas dan mobilitas
PEMERIKSAAN KLINIS DAN PENUNJANG ODONTOMA

Pemeriksaan Pemeriksaan
Radiografi Histologis
• Cone Beam Computed Tomography (CBCT) • gambarannya terlihat seperti massa dari jaringan
merupakan alternatif teknik pilihan yang dapat
odontogenic yang terdestruksi.
dipertimbangkan dalam menentukan batas lesi
odontoma, ekspansi, tulang kortikal yang menipis dan
perforasi. • Dapat memiliki subtasi seperti cementum dan
dentinoid yang tercampur.
• Tampilan radiografi complex odontoma tergantung
perkembangan stadiumnya. • Massa kalsifikasi terlihat lapisan pulpa, epithelial
remnants dan matriks enamel

• Pada complex odontoma terlihat gambaran struktur


seperti gigi sedangkan pada kondisi compound
odontoma strukturnya 2 kali lebih rumit daripada
complex odontoma.
(Jain et al., 2018; Custodio et al., 2018; Orozco et al., 2019; Eswara, 2017;
Zhuoting and Fengguo, 2019; Widayanti R, et al. 2017; Nasution, et al. 2018)
Pencegahan dari Odontoma
Pencegahan
01. 02. 03.
Menhindari kebiasaan buruk Menghindari konsumsi
Rutin memeriksakan kesehatan seperti merokok dan minum makanan karsinogenik
gigi ke dokter gigi beralkohol

04. 05.
Melakukan pemeriksaan apabila merasa
Dental health Education
ada suatu kelainan
Patekar D, et al., 2018; Gerva
C, 2017
Penanganan Odontoma
Penanganan Odontoma

Tindakan bergantung pada posisi dan ukuran tumor serta struktur disekitarnya. Dapat
dilakukan eksisi. Perawatan pilihan terdiri dari enukleasi bedah konservatif.

Perawatan pendukung untuk menjaga lengkung gigi. Perawatan terdiri dari


pengangkatan lesi dan kuretase daerah tersebut untuk mencegah kemungkinan
degenerasi kistik

Gervason dan Jose D., 2016; Nasution FA, Sitam


S. 2018., Barba LT, et al. 2016., Torul D, et al.
2020
Prognosis Odontoma
PROGNOSIS
Prognosis odontoma baik karena lesi tidak memiliki potensi keganasan.
Pengangkatanlesi lengkap hampir membatalkan kekambuhan lesi. Tindak lanjut
radiografi penting untuk memantau hasil pengobatan. pemeriksaan dan
penatalaksanaan sebaiknya dilakukan sedini mungkin, sehingga prosedur
penatalaksaan bisa lebih sederhana dan dapat menekan biaya perawatan serta
menghasilkan prognosa yang lebih baik. Tingkat kesulitan operasi pengangkatan
odontoma tergantung pada posisi tumor dengan struktur disekitarnya. Operasi
pengangkatan odontoma yang berukuran kecil memiliki tingkat kesulitan yang lebih
rendah dibandingkan dengan pengangkatan odontoma yang berukuran besar.

Junior GSM, et al. 2021; Park JC, et al.


2018; Gervasoni C, et al. 2017
DIAGNOSIS BANDING
Odontoma
DIAGNOSIS BANDING

Periapical Osseus dysplasia Dense Bone Island

menyerupai lesi complex odontoma lesi radioopak tetapi tidak memiliki


tetapi lesinya multiple dan pusat lesi soft tissue capsule, sehingga dapat
terletak pada periapikal gigi dibedakan dengan odontoma

(Nasution, 2018)
DIAGNOSIS BANDING

Benign Cementoblastoma Ossifying fibroma


terjadi pada akar premolar dan
molar mandibula dan dapat
mengakibatkan resorpsi akar Osteoma
eksternal, ekspansi mandibula,
perforasi tulang kortikal tanpa terjadi pada regio posterior
disertai reaksi periosteal. sisi lingual mandibula, regio
kondilus atau koronoid dan
sinus frontal

(Nasution, 2018)
DIAGNOSIS BANDING

Central Calcifying
ossifying odontogenic cyst
fibroma

ameloblastic Calcifying
fibroodontoma epithelial
odontogenic

(Neville et al, 2015)


DIAGNOSIS BANDING

10 12
Complex odontoma fibro-osseous lesions
Cementoblastoma
11
seperti cemento-ossifying
Lesi stadium menengah osteoid osteoma fibroma, dysplasia
yang menyerang area akar periapical cemento-osseus,
gigi lesi tingkat menengah yang adenomatoid odontogenic
terjadi pada pasien muda tumor
disertai rasa sakit

(Jain et al., 2018; Orozco et al., 2019)


KOMPLIKASI
ODONTOMA
KOMPLIKASI
SUMBATAN
HIDUNG

GIGI SINDROM
IMPAKSI OTODENTAL

(Barba, 2016)
Dapat terjadi kemungkinan timbulnya rasa sakit, peradangan
pada jaringan lunak yang berdekatan atau infeksi yang
berhubungan dengan nanah, karies, dan pembentukan abses

(Barba, 2016)
HUBUNGAN USIA
DENGAN
TERJADINYA
ODONTOMA
Tidak ada hubungan usia namun
prevalensi odontoma biasanya terjadi
paling banyak pada dewasa muda dan
anak-anak dikarenakan odontoma
merupakan perkembangan jaringan
intraosseus yang mengganggu erupsi
gigi permanen atau desidui. Bisa terjadi
pada usia dewasa namun jarang

(Eswara, 2017; Custodio et al., 2018; Orozco et al., 2018)


Kemudian berdasarkan penelitian juga
menjelaskan usia berpengaruh terhadap
ukuran odontoma, semakin tua usia, semakin
besar ukuran odontoma
(Duque and Ardila, 2019).
.(6,0PU/$1
D Odontoma adalah salah satu tumor jinak odontogenik, non agresif dan merupakan kelainan perkembangan gigi
(hamartomatous). (tiologi pasti dari patologi ini belum diketahui seFara jelas, tetapi infeksi, trauma, riZayat keluarga,
dan mutasi genetik dianggap sebagai faktor predisposisi yang berkontribusi terhadap terjadinya odontoma.
D Odontoma sendiri dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun sebagian besar kasus odontoma ditemukan pada
usia 20 tahun ke baZah pada pemeriksaan radiografis.
D Gejala terkait yang paling umum dengan odontoma adalah nyeri, pembengkakan, maloklusi dan anomali
patologis
yang diamati pada gigi tetangga. Pada kematangan penuh, ukuran tumor biasanya berdiameter 1-2 Fm, Umumnya,
odontoma tidak melebihi diameter 3 Fm.
D Pemeriksaan odontoma dengan melakukan pemeriksaan intraoral, ekstraoral, radiografik panoramik dana
histopatologi. Pada umumnya penatalaksanaan lesi odontoma berukuran keFil adalah dilakukan bedah eksisi.
D Tingkat kesulitan operasi pengangkatan odontoma tergantung pada posisi tumor dengan struktur disekitarnya.
.omplikasi yang mungkin timbul : gigi impaksi, sumbatan hidung, sindrom otodental.
DAFTAR PUSTAKA
Arfiadi LN., et al. 2016. Penatalaksanaan interdisipliner kasus impaksi gigi incisivus sentral maksila akibat
obstruksi odontoma kompleks. MK*K. 2(2): 86-91.
● Balaji and Balaji, 2018) Balaji, S. and Balaji, P. P. (2018) Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd edn.
ElsevierPatekar D, et al. 2018. Odontoma - A brief overview. Journal of Oral Disease Markers; 2(2018): 23-25.
● Barba LT, et al. 2016. Descriptive aspects of odontoma: literature reviewAspectos descriptivos del odontoma:
revision de la literatura. Revista Odontologica Mexicana Science Direct. 20(4): 265-269.
Custodio M, Araujo JP, Gallo CB. 2018. Gingival complex odontoma: a rare case report with a review of the
literature. Autopsy Case Report; 8(1).
Duque FL, Ardila CM. 2019. Association between odontoma size, age and gender: Multivariate analysis of
retrospective data. J Clin Exp Dent. 11(8): 701-706.
● Eswara UMA. 2017. Compound Odontoma in Anterior Mandible-A Case Report. Malaysia Journal of Medical
Science; 24(3): 92-95.
Fadhil Ulum AR., Sitam, S., Firman, R. N., & Epsilawati, L. 2020. Characteristics of internal structure feature of
ameloblastoma, and ameloblastic fibroma and fibro-odontoma on radiographic examination (a literature review).
Makassar Dental Journal. 9(1).
● Gervasoni C, et al. 2017. Odontomas: Review Of The Literature And Case Reports. Journal Of Biological
Regulators & +oPeostatic $gents. 31(2): 119-125.
DAFTAR PUSTAKA
● Gervason dan Jose D. Odontoma Associated with Over Retained Primary Teeth that Caused Ectopic Eruption of
Canine: A Case Report Austin j Dent. 2016; 3(1): 1029.
● Isola G, et al. 2017. Association Between Odontoma and Impacted Teeth. The Journal of Craniofacial Surgery;
28(3): 755-757.
Jain A, Karuna YM, Baliga M, et al. 2018. Surgical Management of Complex Odontoma Associated with Agenesis
of a Molar. Contemporary Clinical Dentistry; 9(2): 388-390.
Junior GSM, De Mello DNP, Utami ER. 2021. Compoun Odontoma In an Adolescent. SVOA Dentistry: case
report;222-226.
Nammalwar, R. B., Moses, J., & Jeeva, S. (2018). Rare case of bilateral complex odontoma associated with
mandibular bicuspids. Dental research journal, 15(3), 220.
● Nasution FA,Sitam S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramic. J Ked Gi Unpad ;
30(2) : 103-106.
Nasution FA, Azhari. 2019. Gambaran Compound Odontoma Dari Radiograf Panoramik Dan Cbct. Jurnal Ilmiah
dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM. 15 (2) : 33-36.
● Neville BW, Damm DD, Allen CM. 2015. Oral and Maxillofacial Pathology 4 th Edition. Elsevier Inc: Canada.
● Nelson BL, Thompson LD. 2010. Compound odontoma, Head neck pathol; 4: 290-291.
● Octavia A, Fauziah E. 2018. Coen Beam Computed Tomography Dalam Penatalaksanaan Gigi Supernumerari dan
Odontoma. journal of Indonesian Dental Associlation. 2(2): 223-226.
DAFTAR PUSTAKA
Octavia A, Fauziah E. 2018. Cone beam computed tomography dalam penatalaksanaan gigi supernumerari dan
odontoma. journal of Indonesian Dental Association. 1(1): 106-110.
● Orozco EIF, Hasna AA, Junior MTDS, et al. 2019. Case Report: interdisplinary Management of a Complex
Odontoma with Periapical Involvement Of Superior Anterior Teeth. F1000Research; 8:1531.
Park, J. C., Yang, J. H., Jo, S. Y., Kim, B. C., Lee, J., & Lee, W. (2018). Giant complex odontoma in the posterior
mandible: A case report and literature review. Imaging science in dentistry, 48(4), 289-293.
● Patekar D, et al. 2018. Odontoma - A brief overview. journal of Oral Disease Markers; 2(2018): 23-25.
● Prabhu N, Issrani R, Patil S, Srinivasan A, Alam MK. 2019. OdontomaAn Unfolding Enigma. J Int Oral Health.
11(6): 334-339.
Preoteasa CT and Preotease E. 2018. Compound odontoma - morphology, clinical findings and treatment. Case
report. Romanian Journal Morphology and Embryology; 59(3): 997-1000.
Torul D, et al. 2020. Complex-Compound Odontoma: A Rare Clinical Presentation. Odovtos International
journal of Dental Sciences. 22(1): 23-28
THANKS!
Ask question?
1 …

CREDITS: This presentation template was created by


2
Slidesgo, including… 3
icons by Flaticon, infographics & images…
by Freepik
KULIAH
PAKAR
SKENARIO 3
KELOMPOK 7
DOSEN PEMBIMBING TUTORIAL:
Ika Kusuma Wardani, S.Tr.Keb., MMRS
DOSEN KULIAH PAKAR:
drg. Amy Nindia Carabelly., M.Si
Anggota Kelompok 7
Sara Yulia Carolina Situmorang 1911111220032
Muhammad Soni Fitrian 1911111310036
Shely Desia Widiawati 1911111320008
Sabila Maghfuroh Aqsha Syahari 1911111320012
Ahda Annisa 1911111320016
Geyanina Melda Adhiya 1911111320025
Annisa Al Afganing 1911111220004
Yeni Moni ka 1911111120016
Sri Meidita Achmad 1911111220017
Diva Ayu Fachriani 1911111220020
Widyandini Aulia Arif 1911111220013
SKENARIO
Benjolan di Rahang Bawah Kiri

Laki-laki usia 22 tahun datang ke RSGM dengan keluhan terdapat benjolan di rahang bawah kiri, tidak sakit, dan
pasien tidak ada riwayat demam. Pemeriksaan ekstra oral normal. Pemeriksaan intra oral didapatkan bentukan
keras berwarna kekuningan di area 36-38 yang menyerupai dentin, bentuk tidak beraturan. Gingiva sekitar lesi juga
mengalami pembengkakan dengan warna serupa jaringan sekitar. Hasil pemeriksaan radiografi panoramik terdapat
massa radiopak padat ukuran 3,6 × 3 cm yang dikelilingi lapisan tipis radiolusent. Nampak gigi 36 tertindih oleh
massa tersebut. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan terdapat gambaran enamel, dentin dan matrik pulpa
yang tidak beraturan.
IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI ISTILAH
ASING
Matriks pulpa dipelihara oleh sel
Matriks fibroblas di dalam pulpa. Seiring
pulpa? bertambahnya usia, matriks pulpa
semakin berkurang.
Radiografi yang bisa melihat daerah
maksila mandibula dan jaringan
Radiografi
panoramik
pendukungnya, contoh jaringan
pendukung seperti TMJ, antrum maksila
yang dimuat dalam satu film.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
1. Apa diagnosis yang sesuai pada skenario di atas?
Jawaban: Tumor odontogenik, yaitu odontoma. Odontoma sendiri berhubungan
dengan impaksi gigi dan seperti disebutkan pada skenario nampak gigi 36 yang
tertindih dan tidak adanya gigi 37 juga pada gambaran radiografi yang seharusnya
pada umur 22 tahun, molar 1 dan molar 2 pasien seharusnya sudah tumbuh sempurna.
Kemudian untuk pemeriksaan histopatologi, odontoma berhubungan dengan anomali
perkembangan enamel dan dentin yang ditunjukkan dengan hasil histopatologi
terdapat gambaran enamel, dentin dan matrik pulpa yang tidak beraturan.
2. Apa yang membuat pasien merasa tidak sakit padahal benjolan cukup besar?
Jawaban: Pasien tidak merasakan sakit walaupun benjolan cukup besar
kemungkinan karena benjolan tersebut tidak atau belum mengenai serabut saraf,
sehingga pasien tidak merasakan sakit.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
3. Bagaimana penatalaksanaan dari skenario di atas?
Jawaban: Penatalaksanaannya berupa bedah eksisi disertai dengan pencabutan gigi
yang impaksi untuk menghilangkan etiologi. Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan
jaringannya apakah sudah kembali normal atau tidak.
4. Bagaimana pemeriksaan pada skenario di atas?
Jawaban: Dilakukan palpasi dan inspeksi, dilanjutkan foto radiografi serta dilakukan
biopsi untuk melihat gambaran histopatologi/HPAnya juga dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang MRI atau CT-Scan.
5. Apa prognosis dari diagnosis pasien tersebut?
Jawaban: Prognosis baik. Setelah dilakukan tatalaksana dengan menghilangkan
benjolan dengan dilebihkan 2-3 mm pada jaringan sekitar untuk menghindari
rekurensi dan perbaikan oral hygiene pasien agar tidak ada lagi faktor pencetus,
mayoritas prognosis tumor odontogenik yaitu odontoma baik.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
6. Apa etiologi dari kasus di atas?
Jawaban: Etiologi odontoma belum jelas, biasanya dengan faktor pencetus berupa
trauma lokal dan infeksi. Infeksi bisa disebabkan oleh adanya impaksi gigi 36.
Etiologinya adalah OH buruk, kebiasaan merokok.
7. Apa yang terjadi jika penyakit tersebut tidak ditangani?
Jawaban: Akan memungkinkan terjadinya infeksi dan menyebar ke jaringan sekitar, rasa
sakit, kesulitan mengunyah dan menelan makan serta kekurangan gizi.
8. Apa patogenesis dari diagnosis pasien pada skenario?
Jawaban: Sasaran Belajar
9. Apa diagnosis banding dari skenario tersebut?
Jawaban: Diagnosis banding dari odontoma adalah periapical osseous dysplasia.
10. Apakah interpretasi dari gambaran histopatologi pada skenario?
Jawaban: Terdapat gambaran enamel, dentin, dan matrik pulpa yang tidak beraturan.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
11. Apa isi dari massa yang menindih gigi 36?
Jawaban: Terbentuk dari tumpukan enamel, dentin, dan pulpa.
12. Apa penyebab terjadi pembengkakan gingiva di sekitarnya?
Jawaban: Pada skenario disebutkan bahwa terdapat bentukan keras yang mengerupai
dentin. Kemungkinan pembengkakan gingiva disebabkan karena adanya massa
tersebut yang mendesak gingiva atau menyebabkan peradangan pada gingiva sehingga
gingiva menjadi bengkak.
PROBLEM TREE

Odontoma

Manifestasi Diagnosis
Definisi Epidemiologi Etiologi Klasifikasi Patofisiologi Pemeriksaan Tatalaksana Prognosis Komplikasi Pencegahan
Klinis Banding

Klinis Penunjang

Radiografi Histopatologi
SASARAN BELAJAR
1. Menjelaskan definisi odontoma

2. Menjelaskan epidemiologi odontoma

3. Menjelaskan etiologi odontoma

4. Menjelaskan klasifikasi odontoma

5. Menjelaskan patofisiologi odontoma

6. Menjelaskan manifestasi klinis odontoma

7. Menjelaskan pemeriksaan klinis odontoma

8. Menjelaskan pemeriksaan penunjang radiografi odontoma

9. Menjelaskan pemeriksaan penunjang histopatologi odontoma

10. Menjelaskan tatalaksana odontoma

11. Menjelaskan diagnosis banding odontoma

12. Menjelaskan prognosis odontoma

13. Menjelaskan komplikasi odontoma


01

Definisi
Odontoma
Definisi Odontoma
Odontoma adalah salah satu penyakit
tumor jinak odontogenik yang paling
umum dan termasuk kelainan
perkembangan gigi (hamartoma) oleh
epitel odontogenik dan ektomesenkim.
Biasanya terbentuk selama periode
odontogenesis kira-kira hingga 20
tahun dan mengandung empat jaringan
gigi (enamel, dentin, pulpa dan
sementum). Tumor ini tumbuh lambat
dan tanpa gejala serta terutama terjadi
pada regio gigi seri-kaninus dan regio
molar ketiga.
(Balaji SM, et al., 2018; Nasution FA, Azhari, 2019)
02

Epidemiologi
Odontoma
Epidemiologi Odontoma
Angka kejadian odontoma dilaporkan sebanyak
22-67% dari seluruh angka kejadian tumor
odontogenik yang terjadi di rahang atas.
Odontoma dapat terjadi pada semua kelompok
umur, tetapi sebagian besar kasus odontoma
ditemukan pada usia 20 tahun ke bawah pada
pemeriksaan radiografis. Kelompok usia yang
paling umum terkait dengan ameloblastoma
adalah antara 21-50 tahun. Hidalgo O et al
mempelajari 3.065 kasus dan menyebutkan
dalam hasil mereka bahwa 49,4% adalah pasien
perempuan dan 50,6% laki-laki. (Jose D, 2016; Raj A, 2017; Barba LT, 2016)
03

Etiologi
Odontoma
Etiologi Penyebab Lokal
Odontoma 01 Tekanan pertumbuhan
karena ruang tidak
memadai

Infeksi
Etiologi Odontoma 02 Infeksi piogenik

masih belum diketahui,


beberapa faktor diduga 03 Ameloblast Matur
sebagi etiologi
04 Sisa Sel Serres (Sisa
(Patekar, 2018; Satish, 2011)
dental lamina)
Etiologi
Odontoma

Faktor Genetik
05 Sel Epitel 07 Mutasi genetik,
Odontogenik Asing diturunkan.

Trauma
06 Riwayat trauma pra-erupsi
dari gigi permanen

(Patekar, 2018; Satish, 2011)


04

Klasifikasi
Odontoma
Klasifikasi
Odontoma

01 02
Compound Odontoma Complex Odontoma
1 Terlihat seperti struktur gigi kecil 1. Terdiri dari massa irregular dari
dalam jumlah banyak jaringan yang terkalsifikasi sedikit
(odontoid/denticles) 2. Tidak ada kemiripan dengan gigi
2 Umumnya terjadi pada regio anterior normal
maxilla 3. Sering terjadi pada regio posterior
3 Biasanya tidak terjadi ekspansi mandibula
tulang 4. Menyebabkan ekspansi tulang

(Nasution F.A, et al., 2018)


Klasifikasi
Central (intraosseous)
Odontoma Terjadi di dalam tulang dan
dapat erupsi ke rongga mulut

Peripheral (Extraosseous)
Menurut presentasi Terjadi pada jaringan lunak yang
menutupi bagian yang menopang
klinisnya gigi dari rahang

Erupted Odontoma
Erupsi spontan odontoma ke
dalam rongga mulut

(Prabhu, 2019; da Silva Rocha, 2020)


05

Patofisiologi
Odontoma
Patofisiologi Odontoma
1. Terjadi karena proliferasi neoplastik sel-sel odontogenik benih gigi.
2 Sel epitel dan mesenkim berdiferensiasi menjadi ameloblastik dan odontogenik,
tetapi tidak mencapai normal.
3. Mineralisasi enamel organ yang menyimpang.
4 Disregulasi pada morfogenesis dan mineralisasi gigi mengakibatkan terhentinya
perkembangan gigi normal yang puncaknya membentuk odontoma.
5 Sel-sel epitel dan mesenkim berdiferensiasi membentuk email, dentin, dan
sementum yang tersusun dalam susunan jaringan abnormal, yaitu dalam bentuk
dentikel, kemudian jaringan stroma berhenti membentuk kapsul, dan kadang
membagi tumor dalam bentuk septa-septa.
Odontoma kompleks berkembang dari lamina gigi atau organ email di tempat gigi
normal.
Odontoma compound dapat dihasilkan oleh pembelahan berulang dari benih gigi atau
dengan beberapa tunas dari lamina gigi dengan pembentukan banyak benih gigi.

(Balaji SM, 2018; Patekar D, et al., 2018)


06

Manifestasi
Klinis
Odontoma
Erupsi odontoma spontan akan
menimbulkan rasa sakit, inflamasi
jaringan lunak dan infeksi yang ditandai
adanya supurasi. Odontoma biasanya
tidak menimbulkan gejala, sehingga
ditemukan secara tidak sengaja pada
gambaran radiografi. Manifestasi klinis
terutama terkait dengan tidak adanya
erupsi gigi, di mana odontoma mencegah
erupsi gigi.

(Nasution FA, 2018)


07

Pemeriksaa
Klinis
Odontoma
Temuan Pemeriksaan Klinis
Odontoma
• Bersifat asimptomatik
Terdeteksi secara kebetulan pada pemeriksaan radiografi
rutin pada dekade kedua dan ketiga kehidupan
• Tumbuh lambat
Pemeriksaan •

Bersifat non agresif
Nyeri, pembengkakan, maloklusi
Anomali patologis yang diamati pada gigi yang
Klinis •
bersebelahan
Menyebabkan gangguan erupsi pada gigi sulung
Odontoma • Impaksi atau erupsi gigi permanen yang tertunda
Retensi berkepanjangan gigi sulung dan gigi yang
berdekatan dalam rahang
• Perpindahan letak gigi

(Torul, 2020; Meneses-Santos, 2018; Gedik, 2014)


Pemeriksaan Ekstra
Oral 1. Pemeriksaan Limfonodi: Palpasi
pada bagian kepala leher.
Pemeriksaan ekstra oral 2. Pemeriksaan Otot-Otot Mastikasi:
bertujuan untuk melihat Palpasi pada otot/musculus
penampakan secara umum 3 Pemeriksaan Temporo Mandibular
dari pasien, misalnya Joint (TMJ): Palpasi pada bagian
pembengkakan di muka pre aurikuler menggunakan jari
dan leher, pola skeletal, telunjuk atau stetoskop.
dan kompetensi bibir.

(Bakar, 2018)
Pemeriksaan Intra
Oral Bagian yang Diperiksa:
• Bibir
Pemeriksaan intra oral • Mukosa Labial
dilakukan dalam rongga • Dasar mulut dan vetral lidah
mulut berkaitan dengan gigi
• Dorsal lidah
dan jaringan sekitar (jaringan
lunak maupun jaringan • Palatum durum dan molle
keras). • Gingiva
• Gigi geligi

(Bakar, 2018)
08

Pemeriksaa
Penunjang
Radiografi
Odontoma
Pemeriksaan Penunjang Radiografi Odontoma

Radiografi odontoma dikategorikan


menjadi tiga jenis tahap Pada tahap akhir,
perkembangan berbeda berdasarkan odontoma menunjukkan
pada derajat kalsifikasi. Tahap radiopasitas dengan fokus
pertama ditandai dengan kepadatan variabel yang
penampilan radiolusen karena dikelilingi oleh halo
kurangnya kalsifikasi yang diikuti radiolusen dan garis
oleh tahap peralihan di mana lesi sklerotik tipis.
sebagian terkalsifikasi.

(Prabhu, 2019; Carlos, 2016)


Pemeriksaan Penunjang Radiografi Odontoma

(A) Compound odontoma menunjukkan


struktur seperti gigi multipel pada
mandibular anterior;
(B) Complex odontoma terlihat sebagai
massa radiopak yang menutupi gigi yang
belum erupsi pada mandibular posterior

(Lesler, 2021)
09

Pemeriksaa
Penunjang
Histopatologi
Odontoma
Pemeriksaan Penunjang Histopatologi Odontoma
Secara histologis, odontoma terdiri dari
jaringan keras dan lunak gigi seperti dentin,
sementum, jaringan pulpa dengan sel
odontoblastik, dan matriks email.
• Compound odontoma menunjukkan
struktur minute tooth-like dengan inti
sentral dari jaringan pulpa yang ditutupi
cangkang dentin dan sebagian ditutupi oleh
email yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa
yang mirip dengan folikel yang mengelilingi
gigi normal.
Gambaran HPA complex odontoma:
adanya gambaran struktur kalsifikasi • Complex odontoma terdiri dari kumpulan
yang tidak normal. email yang tidak terorganisir, dentin,
matriks email, sementum, dan jaringan
(Prabhu, 2019; Zhuoying Cai,
pulpa.
2019)
Pemeriksaan Penunjang Histopatologi Odontoma

(A) Histopatologi odontoma compound Histopatologi odontoma kompleks,


ditandai dengan adanya jaringan gigi massa tidak teratur dari bahan seperti
tersusun secara teratur, dentin dan dentin dan prisma enamel
pulpa; B) Dentin (400x)

(Barba et al, 2016)


10

Tatalaksan
Odontoma
Tatalaksana Odontoma
Odontoma Compound
Odontoma Kompleks Operasi pengangkatan dengan
enukleasi.
• Enukleasi dan kuretase jika
• Insisi mukosa intraoral dan
odontoma berpotensi sebagai
pengangkatan tulang di atasnya
sumber obstruksi untuk erupsi gigi
atau jika kemungkinan yang memadai untuk mengekspos
lesi.
menyebabkan infeksi.
Odontoma kompleks yang besar • Ketika sepenuhnya terkalsifikasi,
harus dipotong menjadi odontoma tidak akan kambuh.
segmen-segmen saat diangkat Kekambuhan lebih umum terjadi
agar tulang rahang tetap normal setelah pengangkatan tahap awal
dan mencegah patah tulang lesi yang tidak sesuai. Pengambilan
rahang. seluruh bagian jaringan lunak
(Balaji, 2018) dianjurkan untuk mencegah
odontoma kambuh kembali.
Odontoma dengan impaksi caninus dan insisif
lateral maksila
1. Membuat drainase dengan insisi untuk mengosongkan eksudat.
2
2. Membuka tumor dengan
Membuka tumor denganbedah insisi pada bagian cranial odontoma
dan melakukan
melakukan ekstraksi
ekstraksi gigi impaksi lalu memasangkan implan dan
crown.
3. Menutup flap dengan jahitan.
4. 3 bulan kemudian dilakukan bedah kedua untuk mengambil occlusal
plate odontoma.
5
5. Melakukan ekskolkleasi menyeluruh untuk mengangkat total tumor
berdasarkan pemeriksaan radiologis.
6. Mengisi bone allograft yang dilapisi albumin dan gentamisin pada
tulang yang mengalami defek.
7 Meresepkan antibiotic amo xicillin atau clavulanic acid setelah kedua
tindakan bedah tersebut 125 mg 2 kali sehari selama 1 minggu.
8.
8. Observasi setelah
Observasi setelah 66 bulan
bulan melalui gambaran radiografi menunjukkan
remodelling tulang dan integrasi lengkap graft.
9.
9. Melakukan pemasangan
Melakukan pemasangan implan dan crown.
(Minya et al., 2021)
Tatalaksana Odontoma

(Minya et al., 2021)


Tatalaksana Odontoma

(Minya et al., 2021)


11

Diagnosis
Banding
Odontoma
Tumor odontoma dapat dikaitkan dengan tumor
odontogenik lainnya seperti ameloblastoma,
ameloblastik fibro-odontoma,
odonto-ameloblastoma, calcifying epithelial
odontogenic tumor, adenomatoid odontogenic
tumor
tumordan
dankista
kista dentigerous, oleh karena itu studi
histopatologi direkomendasikan dalam semua kasus
untuk membuang
untuk membuang kemungkinan asosiasi ke
beberapa
beberapa jenis
jenis tumor odontogenik lain.

(Barba, 2016)
12

Prognosis
Odontoma
Prognosis Odontoma
Odontoma merupakan tumor jinak dan berkapsul
sehingga eksisi dapat dilakukan dengan sempurna
sehingga mempunyai prognosis yang baik karena
tidak menunjukkan adanya kekambuhan.
Pemeriksaan dan penatalaksanaan sebaiknya
dilakukan sedini mungkin, sehingga prosedur
penatalaksaan bisa lebih sederhana dan dapat
menekan biaya perawatan serta menghasilkan
prognosa yang lebih baik.

(Mahapatr S, et al., 2020)


13

Komplikasi
Odontoma
Komplikasi Odontoma
Komplikasi odontoma, yaitu defisiensi benih, malposisi,
diastema, gigi impaksi, pembentukan kista, retensi gigi susu,
crowding, perpindahan gigi diamati pada gigi yang berdekatan
dengan daerah yang relevan tergantung pada tumor ini.
Namun, odontoma mungkin jarang menyebabkan
pembengkakan, nyeri, peradangan, adenopati regional dan
pembesaran tulang. Sementara odontoma ukuran besar di
mandibula dapat menyebabkan cedera saraf alveolar inferior,
fraktur mandibula atau celah rongga tulang berukuran besar,
odontoma yang terletak di rahang atas dapat menyebabkan
sinusitis maksilaris akut.

(Cosgun A, et al., 2018)


14

Pencegahan
Odontoma
Pencegahan Odontoma
Pentingnya pemeriksaan rutin menggunakan radiografi
panoramik untuk deteksi dini odontoma dan
pencegahan efek samping. Pengambilan foto radiografi
panoramik pada dekade pertama akan bermanfaat untuk
deteksi dini odontoma dan pencegahan impaksi gigi
permanen. Selain itu, pertimbangan terhadap
perkembangan gigi dan kejadian odontoma, maka
pemeriksaan radiografi lain juga direkomendasikan
selama dekade kedua kehidupan. Oleh karena itu,
pemeriksaan panoramik periodik pada dekade pertama
dan kedua kehidupan akan direkomendasikan untuk
deteksi dini dan prognosis odontoma yang lebih baik.

(Prabhu, 2019; Seo-Young, 2012)


Kesimpulan
Odontoma adalah salah satu tumor odontogenik jinak paling
umum yang terjadi di rahang dan dapat dibagi menjadi tipe
02
kompleks dan majemuk. Odontoma umumnya didiagnosis
sebelum usia 20 tahun. Odontoma kompleks diketahui
memiliki sedikit predileksi pada wanita, sedangkan odontoma
majemuk lebih sering terjadi pada pria. Odontoma terjadi
karena proliferasi neoplastik sel-sel odontogenik benih gigi di
mana sel-sel epitel dan mesenkim berdiferensiasi menjadi
ameloblastik dan odontogenik, tetapi tidak berhasil mencapai
keadaan normal sehingga substansi gigi terbentuk secara
abnormal. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan secara ekstra
oral dan intra oral. Pada radiografi, lesi ini tampak radiopak,
berbatas tegas, lebih padat daripada tulang dan dikelilingi
oleh tepi radiolusen yang mewakili jaringan ikat folikel gigi.
Secara histologis, odontoma terdiri dari jaringan keras
dan
lunak
sel gigi seperti
odontoblastik, dandentin,
matriks sementum,
email. jaringan pulpa
dengan
DAFTAR
PUSTAKA
Bakar A. 2018. Kedokteran Gigi Klinis. Yogyakarta: CV. Quantum Sinergis Media.
Balaji SM, Balaji PP. 2018. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd Ed. India: Elsevier.
Barba, L. T., Campos, D. M., Rascón, M. M. N., Barrera, V. A. R., & Rascón, A.N. 2016.
Descriptive aspects of odontoma: literature review. Revista Odontologica Mexicana Science
Direct. 20(4): 265-269.
Cosgun A, et al. 2018. Erupted Complex Odontoma in Mandibula: Case Report. Interventions in
Pediatric Dentistry: Open Access Journal. 1(2): 24-26.
da Silva Rocha, O. K. M., da Silva Barros, C. C., da Silva, L. A. B., de Souza Júnior, E. F., de
Morais, H. H. A., & da Costa Miguel, M. C. 2020. Peripheral compound odontoma: A rare case
report and literature review. Journal of cutaneous pathology, 47(8), 720-724.
Jose D. 2016. Odontoma Associated with Over Retained Primary Teeth that Caused Ectopic
Eruption of Canine: A Case Report. Austin J Dent. 3(1): 1029.
Lesler DR, Thompson MD. 2021. Odontoma. Ear, Nose & Throat Journal. 100(S5): S374.
Mahapatr S, et al. 2020. Complex Odontoma:an Overview. Indian Journal of Forensic
Medicine & Toxicology. 14(4): 8675.
Minya F, et al. 2021. Odontoma Removal and Oral Rehabilitation Via Insertions of Albumin and
Gentamycin Coated Bone Allograft and Dental Implants-A Case Report. Biomedical Journal of
Scientific & Technical Research. 33(5): 26116-26120.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution FA, Sitam S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik
Panoramic radiograph analysis of complex odontoma. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Padjadjaran; 30(2): 102-106.
Patekar D, Kheur S, Gupta AA. 2018. Odontoma-A brief overview. Journal of Oral Disease
Markers; 2: 23-25.
Prabhu, N., et al. 2019. Odontoma-An Unfolding Enigma. Journal of International Oral
Health. 11(6): 337-8.
Raj A et al. 2017. Prevalence of odontogenic lesions among the Kanpur population: an institutional
study. Journal of Experimental Therapeutics and Oncology. 12: 35-42.
Satish, V., Prabhadevi, MC., Sharma, R. 2011. Odotome: A Brief Overview. International Journal
of Clinical Pediatric Dentistry. 4(3): 178-81.
Seo-Young A, Chang-Hyeon A, Karp-Shik C. 2012. Odontoma; A Retrospective Study of 73 Cases.
Korean Academy of Oral and Maxillofacial Radiology. 42: 80-1.
Zhuoying Cai, Fengguo Yan. 2019. Huge Erupted Complex Odontoma In Maxilla. Oral and
Maxillofacial Surgery Cases. 5: 1-6.
Terima
Kasih CREDITS: This presentation template
was created by Slidesgo, including
icons by Flaticon, and infographics &
images by Freepik
NAMA ANGGOTA
KELOMPOK
Skenario
Benjolan di rahang bawah kiri Laki-laki usia 22
tahun datang ke RSGM dengan keluhan
terdapat benjolan di rahang bawah kiri, tidak
sakit, dan pasien tidak ada riwayat demam.
Pemeriksaan ekstra oral normal. Pemeriksaan
intra oral didapatkan bentukan keras berwarna
kekuningan di area 36-38 yang menyerupai
dentin, bentuk tidak beraturan. Gingiva sekitar
lesi juga mengalami pembengkakan dengan
warna serupa jaringan sekitar. Hasil
pemeriksaan radiografi panoramik terdapat
massa radiopak padat ukuran 3,6 x 3 cm yang
dikelilingi lapisan tipis radiolusent. Nampak gigi
36 tertindih oleh massa tersebut. Hasil
pemeriksaan histopatologi menunjukkan
terdapat gambaran enamel, dentin dan matrik
pulpa yang tidak beraturan.
IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI
ISTILAH ASING
Jaringan lunak yang terletak di
Radiolucent
tengah-tengah gigi jaringan ini
adalah pembentuk,penyokong dan Daerah pada foto radiografi
merupakan bagian dari integral yang dilewati oleh sinar X
gigi yang mengelilinginya juga sehingga menghasilkan
merupakan suatu substansi gambaran berwarna hitam
gelatinus yang terdiri dari • Gambaran berupa bayangan
proteoglikan, gliko protein dan air gelap atau hitam pada suatu
film karena struktur jaringan
tersebut sedikit menyerap
Matriks Pulpa sinar-X
Identifikasi Dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis berdasarkan skenario di atas?
- Sesuai hasil anamnesa dan diagnosa penunjang pasien mengalami odontoma, yaitu tumor jinak
odontogenik non agresif akibat adanya kelainan perkembangan jaringan odontogenik. Berdasarkan
jenisnya terbagi menjadi dua, odontoma compound yang biasanya terjadi pada bagian maksila akibat
adanya kelainan pertumbuhan gigi dan odontoma komplek yang biasa terjadi pada bagian mandibula
karena adanya kelainan jaringan keras gigi. Dapat disimpulkan sesuai uraian tersebut pasien
mengalami kelainan odontoma kompleks.
- Berdasarkan skenario disebutkan bahwa nampak gigi 36 tertindih oleh massa tersebut maka bisa
disimpulkan bahwa massa ini termasuk tumor jinak karena salah satu ciri tumor jinak yaitu
mengalami destruktif (mendesak sekitarnya) yang mengakibatkan malposisi gigi.

2. Apa etiologi penyakit yang dialami pasien?


- Terjadinya kelainan pada pertumbuhan sel pada gigi, kemudian terjadinya bentukan keras berwarna
kekuningan karena adanya proliferasi sel.
- Mungkin bisa disebabkan oleh impeksi gigi/karies,jika kariesnya besar otomatis jaringan pulpa akan
terinfeksi kemudian bisa sampai apeks dari si gigi dan akan menyebar infeknya dan menjadi
penyakit odontogenik/odontoma.
- Tidak ada yang mengetahui secara pasti mengapa odontoma terjadi, tetapi infeksi dan/atau trauma
di tempat tumor tumbuh bisa menjadi penyebabnya.
- Tumor juga mungkin saja diperparah oleh paparan bahan karsinogenik, pada skenario pasien
Identifikasi Dan Analisis Masalah
merupakan lelaki berusia 22 tahun, sehingga ada kemungkinan odontoma pasien juga disebabkan oleh
paparan asap rokok. Tumor juga dapat terjadi apabila ada mutasi pada gen p53 yang menyebabkan tubuh
tidak bisa mengenali adanya pertumbuhan sel yang abnormal, dimana normalnya gen p53 ini akan
mengawasi pertumbuhan sel sel tubuh. Apabila ditemukan sel yang dapat menginisiasi tumor, maka akan
segera dieliminasi dengan mekanisme apoptosis.

3. Bagaimana cara dokter gigi menangani kasus pada skenario?


- Bedah eksisi secara menyeluruh sehingga odontoma tersebut tidak rekuren, apabila rekuren maka bisa
dilakukan radioterapi.
- Sebelum (dilakukannya bedah eksisi, dilakukan pemeriksaan intra oral dan ekstraoral, palpasi, dan
melakukan radiograf panoramik.
- Setelah mendapatkan diagnosa sememtara atas keadaan pasien, kemudian dapat dilakukan
pemeriksaan diagnosa penujang untuk dapat menegakkan diagnosa seperti radiografi dan pemeriksaan
histopatologi. Setelah itu jika diagnosa ditegakkan, maka dapat dilakukan tindakan eliminasi gigi yang
mengalami impaksi gigi dengan odontektomi, enukleasi untuk menghilangkan kista dan tindakan
bedah eksisi.
4. Apa yang akan terjadi jika kasus pada skenario tidak ditangani?
- Berdasarkan skenario untuk bentukannya kan tidak beraturan nah bisa jadi penyakitnya tumor
ganas,karna tadi didapatkan bahwa untuk diagnosisnya adalah odontogenik/odontoma, jadi
Identifikasi Dan Analisis Masalah
menurut saya odontogenik/odontoma ini bisa menjadi tumor ganas,tumor ganas tergantung pada tingkat
keganasan atau stadium kanker. Semakin tinggi stadium, terutama bila sudah menyebar ke organ lain
(stadium 4), jadi jika dibiarkan penyakitnya semakin sulit untuk disembuhkan.
- Jika tidak ditangani dengan benar, tumor gigi (odontoma) bisa menyebabkan komplikasi berupa gigi
impaksi, sumbatan hidung, sindrom otodenta

5. Bagaimana patogenesis pada skenario di atas?


- Apabila tumor disebabkan oleh adanya mutasi gen p53 maka apabila terjadi paparan yang menyebabkan
kerusakan sel, sel tersebut tidak akan teridentifikasi oleh gen p53. Sehingga sel mengalami
pertumbuhan yang abnormal dan menimbulkan pembesaran secara perlahan. Pada tumor juga dapat
disertai dengan gangguan pRb yang menyebabkan proliferasi sel tumor tidak dapat terhenti. Pada
kondisi normal, gen pRb berfungsi sebagai perintah untuk menghentikan proliferasi sel. Tumor juga
dapat membesar dikarenakan adanya penggunaan growth factor yang diregulasi sendiri oleh tumor
tersebut. Sehingga memperparah pembesaran sel.
- Menambahkan dari jawaban saudari Talytha, jika gen p53 merupakan patogenesis dari keadaan yang
dialami pasien maka pada dasarnya gen p53 akan melakukan kotrol terhadap jalannya siklus sel, dan
jika terjadi kesalahan DNA maka gen p53 akan melakukan perbaikan DNA dan mengistirahatkan siklus
sel. kemudian apabila gen p53 gagal, maka sel tersebut salah satunya akan terus beproliferasi dan
terjadi diferensiasi sel yang mengakibatkan kelainan atau pembentukan massa pada bagian rahang
bawah
pasien
Identifikasi Dan Analisis Masalah
6. Apakah ukuran dari benjolan tersebut dapat membesar?
- Apabila mutasi gen p53 terus berlanjut maka sel akan tetap berproliferasi karena gen p53 tidak dapat
berfungsi dengan baik. Hal ini membuat benjolan akan semakin membesar sebab cell cyclenya akan
terus berjalan dan menghasilkan sel mutasi yang semakin banyak.

7. Pemeriksaan apa yang dapat dilakukan pada skenario tersebut?


- Dapat dilakukan anamnesis terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik berupa inspeksi dan
palpasi serta untuk pemeriksaan penunjangnya dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis dan
pemeriksaan radiografis
- Untuk pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan mungkin dapat dilakukan pemeriksaan darah, MRI
ataupun CT Scan
- Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan intraoraldan ekstraoral kepada pasien dan pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan histapatologis dan radiografis.

8. Bagaimana gambaran histopatologi yang dapat terlihat pada skenario di atas?


- Bentuknya tidak beraturan dan acak, terdiri dari enamel, dentin, dan sementum tetapi gambaran
histopatologinya tidak seperti bentukan gigi normal.
Identifikasi Dan Analisis Masalah
9. Pada kasus skenario, Apakah pasien mengalami respon inflamasi dan mengapa
pasien tidak merasakan rasa sakit?
- Pasien pada skenario tidak mengalami odontoma spontan sehingga tidak menimbulkan inflamasi, rasa
sakit dan juga tidak menyebabkan infeksi karena supurasi.
- Kasus odontoma kompleks biasanya tidak merasakan rasa sakit pada perkembanganya, pembengkakan
itu kemungkinan diakibatkan infeksi di daerah retromolar. kecuali didaerah odontoma terjadi infeksi
pasien bisa merasakan sakit atau nyeri.
- Respon inflamasi akan terjadi bila tubuh menemukan adanya jejas atau benda asing yang masuk ke
tubuh. Namun sel tumor merupakan suatu pertumbuhan abnormal yang tidak dikenali sebagai jejas oleh
tubuh. Sehingga tubuh tidak merasa bahwa sel ini adalah ancaman yang harus dieliminasi. Hal ini
menyebabkan tidak terjadinya inflamasi pada pasien yang akhirnya memunculkan manifestasi
pembesaran tanpa disertai rasa sakit. Jadi pasien tidak mengalami inflamasi.

10. Apa saja manifestasi klinis yang dapat terlihat pada pasien di skenario tersebut?
- Berdasarkan sk pembekakan,terlihat juga asimetris pada wajah,dan juga jika si tumor
diabaikan menurut saya akan terjadi perforasi pada si tulang

11. Apakah usia dan jenis kelamin berpengaruh pada kasus di skenario di atas?
- Pada usia menurut saya berpengaruh, dan biasanya terjadi pada usia yang lebih muda.
- Saya rasa usia berpengaruh pada terjadinya kasus odontoma, mengingatkan salah satu faktor
Identifikasi Dan Analisis Masalah
penyebabnya adalah odontoma adalah impaksi gigi. Yang normalnya erupsi pada usia dewasa awal sekitar
usia 18-25 tahun. Namun untuk jenis kelamin sendiri saya rasa tidak berpengaruh secara langsung.
- Odontoma ini dapat terjadi pada setiap usia, dengan rata-rata usia pada dekade kedua

12. Setelah dilakukan penanganan apakah massanya dapat tumbuh kembali?


- Tergantung dari tindakan pembedahan/ penanganan yang dilakukan oleh dokter giginya
- Setuju dengan erysa tegantung tindakan oemebedahan yang dilakukan dokter dan seeprti pembahasan
diatas odontom kompleks itu bisa mengakibatkan komplikasi sehingga pasien dianjurkan untuk selalu
rutin konsultasi kepada dokter.

13. Apa saja diagnosis banding pada kasus tersebut?


- Diagnosa banding odontoma adalah ossifying fibroma, periapical osseous dysplasia dan dense bone
island.
- Diagnosis banding dari odontoma yaitu ada ossifying fibroma yang mana odontoma ini lebih sering
terjadi pada usia pasien yang lebih muda daripada ossifying fibroma.
- Periapical Osseus Dysplasia gambaran radiografisnya mirip tetapi lebih multiple.
ProblemTree
Sasaran Belajar
1. Apa Definisi dari Odontoma? 8. Bagaimana Gambaran
2. Apa Etiologi dari Odontoma? Histopatologi dari Odontoma
Kompleks?
3. Apa saja Klasifikasi dari
Odontoma? 9. Apa saja Pemeriksaan Penunjang
Odontoma Kompleks?
4. Apa Epidemiologi dari
Odontoma Kompleks? 10. Bagaimana Penatalaksanaan dari
Odontoma Kompleks?
5. Bagaimana Patogenesis dari
Odontoma Kompleks? 11. Apa saja Diagnosis Banding dari
Odontoma Kompleks?
6. Apa saja Manifestasi Klinis dari
Odontoma Kompleks? 12. Apa Komplikasi dari Odontoma
Kompleks?
7. Bagaimana Gambaran Radiologi
dari Odontoma Kompleks? 13. Bagaimana Prognosis dari
Odontoma Kompleks?
1. DEFINISI
Odontoma didefinisikan sebagai malformasi perkembangan yang
merupakan hamartoma yang berasal dari odontogenik. Tergantung
pada pertumbuhannya yang lambat dan perilakunya yang tidak
agresif, mereka diklasifikasikan sebagai tumor jinak Berdasarkan
gambaran radiografinya, World Health Organization (WHO)
mengklasifikasikan odontoma menjadi dua tipe, yaitu tipe majemuk
dan kompleks.
2. Etiologi
3. KLASIFIKASI
Odontoma diklasifikasikan menjadi dua yaitu odontoma majemuk dan
odontoma kompleks. Compound odontoma terdiri dari struktur gigi
kecil-kecil atau belum sempurna yang disebut odontoids atau denticles dan
lebih sering ditemukan pada anterior rahang atas, sedangkan odontoma
kompleks tampak seperti massa jaringan gigi yang amorf dan tidak teratur,
cenderung berkembang di posterior rahang bawah. Mayoritas odontoma
yang ditemukan pada area anterior maxilla dan berhubungan dengan gigi
kaninus yang tidak erupsi adalah odontoma majemuk (62%) dan odontoma
kompleks biasanya ditemukan pada area molar pertama dan molar kedua
mandibula (70%). Tumor ini dapat terjadi pada setiap usia, usia rata-rata
kejadian adalah pada dekade kedua.
4. EPIDEMIOLOGI
01 02 03
Pertama Kedua Ketiga
Hampir 57% dari lesi
Odontoma memiliki predileksi untuk angka
diidentifikasi selama pemeriksaan
prevalensi 21% sampai 67% kejadian pada laki-laki (59%)
tumor radiografi rutin, dan sangat
dari semua dibandingkan dengan
sedikit laporan dengan
odontogenik. perempuan (41%).
pembengkakan, nyeri, erupsi
tert
unda limfadenopati.

04
Keempat
05
Kelima
06
Keenam
Odontoma yang ditemukan pada kompleks odontoma biasanya 68% kasus complex odontoma
anterior maxilla dan berhubungan ditemukan pada area molar lebih sering terjadi pada sisi
dengan kaninus yang tidak erupsi pertama dan molar kedua kanan rahang daripada kiri.
adalah compound odontoma mandibula (70%).
(62%).
5. Patogenesis Odontoma
Kompleks
Odontoma kompleks lebih sering terjadi
pada mandibula posterior. Lesi
biasanya asimtomatik, terdeteksi p a d a
pemeriksaan gigi rutin. P a d a
gambaran radiografi menunjukkan
radiolusen tipis yang me r u p a k a n
kapsul jaringan lunak (soft tissue
capsule) terlihat mengelilingi g a mb a r a n
lesi radiopak. Odontoma kompleks
menunjukkan susunan dentin tubular,
ma t r i k s email, sementum, d a n
kadang-kadang ghost cell epitel yang
acak (tidak beraturan).

6. Manifestasi Klinis
Odontoma Kompleks
7. GAMBARAN
RADIOGRAFI Gambaran radiografi kompleks
ODONTOMA odontoma umumnya radioopak
homogen yang dikelilingi halo
radiolucent dengan b a t a s jelas (well-
KOMPLEKS defined, soft tissue capsule border).
Lesi complex odontoma yang besar
dapat me n ye b a b k a n gangguan p a d a
struktur disekitarnya, seperti
impaksi dan perubahan tempat gigi
didekatnya d a n ditandai dengan
p e r l u a s a n t u l a n g k o r t i k a l. P a d a
odontoma kompleks radiopasitas
t i d a k spesifik, t e t a p i d a p a t
diidentifikasi sebagai massa yang
t i d a k t e r a tur, tunggal a t a u
(Nasution FA dan Sitam S, 2018; Zhuoying C dan Fengguo Y, 2019). multipel.
8. Gambaran Histopatologi
Odontoma kompleks ditandai dengan adanya
jaringan asal gigi terdiri dari email yang
mengalami demineralisasi, dentin, sementum
dan pulpa menunjukkan massa yang tidak
teratur dari jaringan keras gigi. Pada epitel
perifer ditemukan strands odontogenik, yang
terkadang ditemukan adanya sementikula,
sel-sel ‘ghost cell’ dan epitel ameloblas.
Odontoma ini dapat berhubungan dengan
tumor lain dari tipe odontogenik seperti
Fibroodontoma, Ameloblastic fibroma,
Ameloblastoma, Calcifying Epithelial
Odontogenic Tumor, Odontoameloblastoma,
Dentigerous Cyst dan Odontoameloblastoma
Gambaran Histopatologi
1) Odontoma kompleks menunjukkan
susunan dentin tubular, matriks email,
sementum, dan kadang-kadang ghost cell
epitel yang acak.

2) Campuran jaringan keras dan lunak gigi


tersusun secara acak tanpa ada bekas
pada gigi.

3) Mikrograf menunjukkan massa dentin


dengan rongga di mana sisa-sisa matriks
email dapat terlihat.
Gambaran Histopatologi
4) Detail dari (b) menunjukkan pembentukan
aktif email dan dentin. Jaringan lunak
odontogenik hadir tetapi pada tingkat yang
lebih rendah daripada pada fibroodontoma
ameloblastik (Slootweg, 2013).
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan odontoma kompleks dapat dilakukan secara
histopatologi terhadap spesimen, radiografi panoramik.
Selain itu, Cone Beam Computed Tomography (CBCT)
dapat menjadi alternatif teknik pilihan yang dapat
dipertimbangkan dalam menentukan batas lesi odontoma,
ekspansi, tulang.
Radiografi intraoral dapat membantu dalam
mendiagnosis adanya odontoma dan klasifikasinya
biasanya dengan visualisasi, odontoma kompleks
menunjukkan radiopasitas berbentuk tidak teratur yang
dikelilingi oleh tepi radiolusen. Jika gambar visual dan
radiografi tidak dapat memberikan diagnosis yang pasti
seperti dalam beberapa kasus maka digunakan
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan histologi kortikal
yang menipis dan perforasi.
10. Penatalaksanaan
1. Conventional surgical procedure
Prosedur terdiri dari mengangkat mucoperiosteal flap, membuat ostektomi untuk mengungkapkan lesi,
reseksi odontoma dan, jika perlu ekstraksi gigi yang terkena. Semua fase pembedahan konvensional (insisi
mukosa, osteotomi, reseksi) dilakukan dengan anestesi lokal (Angiero, 2014).

2. Laser surgery procedure


Pembedahan konvensional dianggap sebagai pengobatan pilihan untuk odontoma, meskipun laser juga telah
berhasil digunakan dalam mengobati lesi kulit dan mukosa. Sistem laser ini memberikan kemampuan untuk
mengikis tulang secara efektif, tanpa menghasilkan efek samping termal yang besar pada jaringan yang
berdekatan (Angiero, 2014).

3. Postoperative treatment dan follow-up


Pengobatan farmakologis berupa pemberian amoksisilin 1 g kapsul, 2 kapsul per hari selama 5 hari. Dalam
kasus intoleransi terhadap penisilin, dapat diberikan spiramisin (kapsul 3.000.000 U, dua kapsul per hari
selama 5 hari) atau azitromisin (kapsul 500 mg, satu kapsul per hari selama 3 hari). Untuk pasien yang
sangat sensitif terhadap rasa sakit, diberikan analgesik berupa ibuprofen 200mg dua kapsul per hari selama
3 hari (Angiero, 2014).
11
DIAGNOSIS
BANDING
ODONTOMA
KOMPLEKS
PERIAPICAL
OSSEOUS
DM
YenSyPerLupAaiSIlA
esi complex BENIGN
odontoma tetapi lesinya CEMENTOBLAST
multiple dan pusat lesi OMA
terletak pada periapikal Gambaran radiografinya
gigi dominan radioopak dengan
batas well-defined yang
dikelilingi halo radiolucent,
OSTEOMA berbentuk wheel spoke
pattern. Umumnya terjadi
Radioopak dengan batas pada
akar premolar dan mola
well-defined, terdapat reaksi mandibula r
tulang sklerotik pada
trabekula dan osteoma

(Nasution & Sitam, 2018; Park et al.,


2018)
12
KOMPLIKASI
ODONTOMA
KOMPLEKS
13
PROGNOSIS
ODONTOMA
KOMPLEKS
Diagnosis dini odontoma membantu memastikan
prognosis
yang lebih baik, mengadopsi perawatan yang tidak terlalu
rumit dan traumatis. Karena deteksi dini dan perawatan
odontoma mendukung perkembangan gigi pasien, maka
dokter gigi harus mewaspadai tanda-tanda perubahan dari
normalitas.

Penatalaksanaan odontoma biasanya terdiri dari


pembedahan secara konservatif, dan prognosis
setelah
pengobatan sangat baik, dengan sedikit kekambuhan.

(Maissa B et al., 2021; Pacifici A et al., 2015)


Nasution FA, Sitam S. 2018. Analisis gambaran complex odontoma pada radiografi panoramik. J Ked Gi Unpad.
30(2): 102-106.
Anggraeni NLAP, I Dewa ANS, Kompiang MAA. 2019. Preparing Dentist Approach of The Industrial
Revolution 4.0: Predileksi Odontoma dengan Pemeriksaan Foto Rontgen Panoramik di RSGM Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar Tahun 2011-2016. Denpasar: Universitas
Mahasaraswati Press.
Satish V, Prabhadevi MC, Sharma R. 2011. Odontome: A brief overview. IJCPD. 4(3): 177-185.
Zhuoying C dan Fengguo Y. 2019. Huge erupted complex odontoma in maxilla. Oral and Maxillofacial Surgery
Cases, 5(1): 1-6.
Kuliah Pakar
Skenario 3 Blok
13
DOSENTUTORIAL:
GaluhDwintaSari, S.Psi, M.Psi, Psikolog.

DOSENPAKAR:
Dr. drg. Maharani LaillyzaApriasari, Sp.PM
SLIDESMANIA.COM
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 7

Brachmedio Barito Syech Erlangga 1911111210022


Andres Migael Hidalgo 1911111110010
Talytha Anggreyni 1911111220014
Amalia Putri 1911111120019
Novi Dwi Maulida 1911111220011
Maulida Hasanah 1911111220026
Antung Lutfiliawan 1911111320037
Shely Desia Widiawati 1911111320008
Aulia Rahimah 1911111320017
Yasmina Aulia 1911111320023
Nur Amalina 1911111320031
SLIDESMANIA.COM

Adam Kevin Dhaniswara 1711111210001


Skenario

Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD dirujuk


oleh spesialis bedah onkologi untuk merawat rongga mulutnya.
Hal ini dilakukan sebelum melakukan radioterapi kanker
nasopharyng. Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien
nantinya juga akan dilakukan saat dan sesudah radioterapi.
Apabila hal ini diabaikan maka akan menimbulkan masalah di
rongga mulut di kemudian hari, seperti terjadi erosi dan sariawan
SLIDESMANIA.COM

saat atau setelah radioterapi.


Identifikasi dan Klarifikasi Istilah Asing
Bedah Onkologi Erosi
● Jawab: Bedah onkologi adalah ● Jawab: Kerusakan dangkal
jenis bedah yang dilakukan pada mukosa rongga mulut
untuk pengobatan dan karena hilangnya lapisan
penanggulangan tumor dan epitel sampai pada stratum
kanker. Spesialis ini germinativum dan erosi tidak
biasanya juga melayani menimbulkan jaringan parut.
konsultasi di poli dengan
nama yang sama, yaitu poli
bedah onkologi atau bedah
tumor.

SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Mengapa penting dilakukan perawatan rongga mulut sebelum
melakukan radioterapi?
Jawab: Penting dilakukan perawatan rongga mulut untuk mengetahui kondisi
rongga mulut pasien sebelum dilakukan radioterapi, agar jika terdapat
disfungsi atau gangguan pada rongga mulut dapat diberikan perawatan
terlebih dahulu sehingga tidak menyebabkan efek samping dari lesi rongga
mulut yang tidak ditangani yang jika ditambah dengan efek samping dari
radioterapi itu sendiri, dikhawatirkan akan terjadi komplikasi yang lebih sulit
sehingga harus dilakukan penundaan terhadap radioterapinya, sehingga
akan meningkatkan biaya perawatan dan menurunkan kualitas hidup pasien.
SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Apa perawatan yang dilakukan sebelum pasien melakukan radiograpi
sehingga pasien dapat dirujuk ke bedah onkologi?
Jawab: Konsultasi kepada dokter spesialis untuk melakukan perawatan serta
mengevaluasi keadaan kondisi gigi dan rongga mulut pasien.
● Apa efek samping radioterapi pada rongga mulut?
Jawab: Efek samping berupa mukositis oral yang dapat terjadi karena faktor
penderita yang memiliki oral hygiene yang buruk dan ditambah dengan efek
radiasi dapat meningkatkan peradangan pada membran mukosa orofaring
sesudah dilakukannya radioterapi. Peradangan pada mukosa mulut dapat
menyebabkan terjadinya erosi atau ulserasi dan menyebabkan rasa nyeri.
SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Bagaimana mekanisme radioterapi sehingga dapat mempengaruhi
(memberikan efek) terhadap kondisi rongga mulut?
Jawab: Kondisi xerostomia pada pasien dengan radioterapi pada pasien
dapat terjadi akibat paparan radioterapi yang menyebabkan atrofi atau
penyusutan acini pada glandula saliva. Xerostomia sangat sulit untuk
dihindarkan karena glandula saliva tersebar di kepala dan sering termasuk
kedalam lapang pandang radioterapi. Xerostomia ini merupakan kondisi akut
yang dapat dialami pasien beberapa saat setelah radioterapi. Efek keringnya
rongga mulut yang dihasilkan oleh xerostomia dapat menyebabkan efek
kronis seperti karies akibat radioterapi, kondisi kering rongga mulut juga
menyebabkan kurangnya lubrikasi sehingga pasien rentan tergigit mukosa
dan memicu terjadinya ulserasi.
SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Apakah ada keuntungan dan kerugian dari radioterapi?
Jawab: Keuntungan radioterapi adalah sel tumor dapat dieliminasi dan
dirusak oleh pancaran gelombang radioterapi sampai DNA nya sehingga
mencegah pertumbuhan sel tumor kembali. Radioterapi merupakan
tatalaksana dasar yang diberikan kepada pasien tumor atau kanker. Tahapan
dasar tatalaksana tumor atau kanker adalah sebagai berikut: Pembedahan
(pengangkatan masa), radioterapi, kemoterapi.
● Apa korelasi kanker nasopharynx dengan keadaan rongga mulut?
Jawab: Korelasi dari kanker nasopharynx dengan kondisi rongga mulut
pasien berkaitan dengan efek setelah dilakukannya radioterapi karna efek
radioterapi dapat bermanifestasi berupa xerostomia, dan mempengaruhi
jumlah flora normal dalam rongga mulut pasien. Selain itu, kanker
nasopharynx sangat berdekatan dengan rongga mulut, seperti yang kita
ketahui kanker itu bersifat invasif atau cepat menyebar sehingga perlu di
perhatikan juga kondisi Rongga Mulut pasien.
SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Apa yang terjadi jika tidak dilakukan perawatan pada rongga mulutnya?
Jawab: Kanker nasofaring dapat terus membesar hingga menekan organ lain
di sekitarnya, seperti saraf, tenggorokan, dan otak. Kemudian dapat
terjadinya xerostamia, ketidak seimbangan flora rongga mulut yang dapat
mengakibatkan oral candidiasis.
● Mengapa spesialis bedah onkologi merujuk pasien ke dokter gigi?
Jawab: Hal ini disebabkan efek-efek dari radioterapi pada rongga mulut
pasien. Selain itu, dokter gigi perlu mengontrol rongga mulut pasien sebab
keseimbangan pH, flora normal, saliva di rongga mulut akan terganggu yang
menyebabkan muncul nya penyakit-penyakit tertentu di rongga mulut yang
dapat menjadi penyerta saat maupun setelah di lakukannya radioterapi.
SLIDESMANIA.COM
Identifikasi dan Analisis Masalah
● Apa saja jenis radioterapi yang dapat dilakukan kepada pasien sesuai
pada skenario?
Jawab: Cara pemberian yang dapat dilakukan bisa melalui pemberian cairan
yang diminum dan, melalui intravena (suntikan). Pada kasus disebutkan
pasien mengalami kanker nasopharing sehingga jenis radioterapi yang dapat
diberikan berupa radio kemoterapi yakni pemberian radioterapi yang
dilakukan bersamaan dengan kemoterapi.
SLIDESMANIA.COM
Problem Tree
SLIDESMANIA.COM
SASARAN BELAJAR
1. Definisi Radioterapi
2. Indikasi dan Kontraindikasi Radioterapi
3. Efek Samping Radioterapi
4. Penatalaksanaan Dokter gigi (Sebelum, Saat, Sesudah)
5. Komplikasi Radioterapi
6. Kelebihan dan Kekurangan Radioterapi
7. Prognosis Radioterapi
8. Dampak jika tidak dilakukan terapi
9. Etiologi Mucositis
10.Penatalaksanaan Mucositis

SLIDESMANIA.COM
DEFINISI
01
SLIDESMANIA.COM
Radioterapi atau terapi radiasi adalah terapi non-
bedah terpenting untuk pengobatan kuratif kanker

DEFINISI
dan dapat digunakan sebagai terapi kuratif,
paliatif maupun profilaksis (preventif).
Radioterapi bekerja dengan menggunakan sinar
pengion. Sinar pengion dapat berupa sinar-X dan
sinar gamma, atau dari kelompok partikel Alfa,
Beta, dan Neutron.
SLIDESMANIA.COM

(Stephens et al, 2016; Fitriatuzzakiyyah N et al., 2017; Mayarani, 2018).


02
INDIKASI &
KONTRAINDIKASI
SLIDESMANIA.COM
INDIKASI & KONTRAINDIKASI
RADIOTERAPI

INDIKASI KONTRAINDIKASI

 Lesi superfisial dengan ukuran besar,  Riwayat radiasi di tempat yang sama
 Usia > 75 tahun,  Lesi pada daerah insufisiensi vascular
 Menolak operasi atau kontraindikasi dengan tindakan  Bagian tengah dari kelopak mata atas
operasi,  Kulit pada daerah tulang belakang.
 Post operasi dengan gross residu, batas sayatan positif,  Tumor tidak radiosensitive
close margin (≤ 5 mm) invasi perineural, invasi tulang  Proses tumor telah lanjut (akan menimbulkan
rawan, rekuren dan metastasis kelenjar getah bening, serta anemia)
 UICC/AJCC stadium T3-T4.  Pasien psikiatrik
 Selain itu, Indikasi radioterapi menurut National  Pasien lansia
Comprehensive Cancer Network (NCCN) yaitu ukuran  Metastasis dan letak tumor tidak menguntungkan
tumornya lebih dari 5 cm, batasan sayatan dekat, atau  Mengalami mucositis oral dan kandidiasis oral akibat
metastasis pada satu atau lebih kelenjar limfe dengan atau penurunan imunitas seluler rongga mulut.
tanpa radioterapi pada kelenjar limfe aksila dan
supra/infraklavikula.

SLIDESMANIA.COM
(Fatmasari & Djakaria, 2017; Lubis RA et al., 2017)
03
EFEK SAMPING
RADIOTERAPI
SLIDESMANIA.COM
EFEK SAMPING RADIOTERAPI
Efek penyinaran radiasi pada tingkat molekuler dapat bersifat langsung dan tidak
langsung. Efek langsung berupa terjadinya proses ionisasi atom-atom pada DNA
kromosom di dalam nukleus (inti) sel akibat paparan sinar radiasi secara langsung
pada sel sehingga terjadi pemutusan rantai double helix DNAnya secara parsial
(single strain break) atau total (double strain breaks). Efek sitotoksik dari radioterapi
mengakibatkan stress oksidatif, peningkatan produksi reactive oxygen species
(ROS), dan meningkatkan radikal bebas. Radikal bebas yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan DNA pada sel epitel di mukosa oral. Perubahan akibat
radiasi bisa bersifat akut dan lanjut. Perubahan akut antara lain mukositis,
penurunan ketajaman alat pengecap, penurunan produksi saliva. Selain itu, efek
samping akut akibat radioterapi seperti mukositis, xerostomia, disfagia, kandidiasis
dan dysgeusia juga meningkat bila radioterapi diberikan bersamaan dengan
kemoterapi.
SLIDESMANIA.COM

(Dwikuntari L, 2017; Arumsadu AG, 2021; Sigarlaki ED, 2019; Sinaga PE, 2019).
Penatalaksanaan Dokter Gigi
● Sebelum radioterapi
● Saat radioterapi
● Sesudah radioterapi
SLIDESMANIA.COM
Sebelum radioterapi Saat radiografi
Perawatan Pada Rongga Mulut Saat Radioterapi
● Kerjasama dengan sejawat ahli dan 1. Komunikasi dengan ahli onkologi
Kolaborasi dengan tim multidisiplin 2. Memantau dan mendeteksi dini keadaan RM
● Dokter gigi harus dapat melakukan seperti mukositis, infeksi, karies, dan plak
anamnesis yang baik 3. Memberikan edukasi kepada pasien untuk
● Melakukan pemeriksaan klinis yang menjaga kelembaban dan kebersihan RM
tepat 4. Sedapat mungkin mencegah terjadinya trauma
● Eliminasi keluhan di rongga mulut 5. Pemberian analgesik jika nyeri pada RM
● Menegakkan diagnosis, dan menentukan 6. Mengamati kemampuan pasien dalam membuka
rencana perawatan yang tepat mulut
● Mengedukasi pasien dan orang tuanya 7. Aplikasi krim pelembut dan pelindung bibir
8. Pasien yang menggunakan gigi tiruan dianjurkan
untuk dilepas
(Mulatsih, 2008; Laksmiastuti, 2015;
9. Menunda bedah mulut/prosedur invasif jika:
National Cancer Institute,2016; Hasibuan, 10. Jumlah trombosit < 75.000/mm3 atau ada faktor
2019). pembekuan abnormal
11. Neutrofil abolute < 1000/mm3 (Seema, et al.,

SLIDESMANIA.COM
2014)
● Pemeriksaan rutin
● Hindari tindakan bedah invasive
● Penanganan mulut kering
● Latihan otot rahang

Setelah radioterapi ● Dapat dilakukan pembuatan gigi tiruan


lepasan
● Memberi informasi kepada pasien

(Akarslan, 2017; Laksmiastuti, 2015).

SLIDESMANIA.COM
Komplikasi Radioterapi
SLIDESMANIA.COM
Komplikasi Radioterapi

xerostamia Trismus Karies gig

kekeringan pada
mulut karena
disfungsi sekresi
kelenjar ludah yang
Mukositis Kandidiasis
dapat disebabkan oral oral
oleh beberapa kondisi
akibat faktor
host dengan
higiene yang
SLIDESMANIA.COM

buruk
Komplikasi Radioterapi

Kandidiasis (Suardewi &


Osteoradionekrosis
orofaringeal Winata,
2019;
Fitriatuzzakiyyah
Komplikasi et al., 2017;
Penyakit Grewal & Gupta,
Sistem Saraf
periodontal 2016)
Pusat (SSP)
SLIDESMANIA.COM
Kelebihan dan Kekurangan
SLIDESMANIA.COM
kelebihan kekurangan
● Terapi dengan radiasi
tingkat tinggi ini dapat ● Kurang efisien terhadap kanker yang
telah menyebar ke seluruh tubuh.
membunuh sel kanker,
● Radioterapi tidak hanya merusak DNA
● Mencegah penyebarannya, sel kanker namun juga pada sel
sekaligus mengecilkan ukuran normal. Ketika sel
tumor ganas serta Biaya ● Normal juga ikut rusak, maka berbagai
● Radioterapi sangat hemat, efek samping pun akan bermunculan.
5% dari biaya perawatan (Wijaya et al, 2017)
kanker dan efektik untuk
kanker lokal
SLIDESMANIA.COM

● Non – metastasis
Penderita KNF stadium awal, yaitu stadium I
dan II, mempunyai prognosis lebih baik
dibandingkan stadium lanjut, yaitu stadium III
dan IV. Angka harapan hidup lima tahun pada
stadium I, II, III, dan IV didapatkan sekitar
72%, 64%, 62%, dan 38%. Deteksi dan
diagnosis tahap awal sangat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil terapi yang lebih baik
SLIDESMANIA.COM

(Wijaya, 2017; Wang, 2014).


Dampak jika tidak dilakukan radioterapi akan
mengakibatkan ditundanya pada terapi selanjutnya
sehingga berpengaruh pada perawatan pasien,
meningkatkan morbiditas dan mortalitas,
meningkatkan biaya perawatan pasien, menurunkan
kualitas hidup pasien, dan terapi pasien tidak bisa
dilanjutkan karena akan berpengaruh terhadap
keselamatan penderita.
SLIDESMANIA.COM

(Traktama & Sufiawati, 2018; Scrossi et al., 2017).


Etiologi
Mucositis
SLIDESMANIA.COM
Etiologi mucositis terbagi
menjadi dua, yaitu :
1. Faktor terkait pasien
2. Faktor terkait terapi
SLIDESMANIA.COM

(Hasibuan C., et al. 2019)


01 Faktor terkait pasien

1. Jenis keganasan

2. Jenis kelamin

3. Usia

4. Genetik

5. Kesehatan mulut

6. Episode mucositis sebelumnya


SLIDESMANIA.COM

7. Status gizi
(Hasibuan C., et al. 2019)
02 Faktor terapi terapi

faktor terkait kemoterapi antara lain


dosis, jenis agen kemoterapi, dan fase
pengobatan. Pasien yang mendapat
kemoterapi dosis standar mempunyai
risiko sekitar 40% mengalami
mukositis oral, sedangkan pasien yang
mendapat kemoterapi dosis tinggi
mempunyai risiko sekitar 85- 95%.
SLIDESMANIA.COM

(Hasibuan C., et al. 2019)


Penatalaksanaan
mucositis
Perawatan Mulut Perawatan mulut dapat
mengurangi kolonisasi
dipertimbangkn sebagai
mikroorganisme rongga mulut,
dasar untuk tercapainya mengurangi nyeri, serta
kesehatan, integritas, dan mencegah infeksi jaringan
fungsi mukosa oral yang lunak rongga mulut yang
optimal berisiko menjadi infeksi
sistemik
(Hasibuan C., et al. 2019

SLIDESMANIA.COM
Skema pengobatan pada pasien dengan mukositis oral
1. Penghentian pengobatan
2. Modifikasi rencana radiasi/perencanaan ulang sesuai kebutuhan
3. Manajemen nyeri
4. Anestesi lokal-lignokain
5. Bilas topikal-termasuk aspirin dan doxepin
6. Opioid
7. Pengobatan infeksi yang hidup bersama / pengendalian
kandidiasis oral
8. Obat kumur mulut bezydamine
9. GM-CSF 4 lg/kg/hari subkutan
10. Terapi laser tingkat rendah

(Mallick et al. ,2016)

SLIDESMANIA.COM
DAFTAR PUSTAKA
Akarslan Z. 2017. Diagnosis and Management of Head and Neck Cancer. Croatia: InTech.

Arumsadu AG, Woroprobosari, NR,Sari RK, Mujayanto R. 2021. POTENTIAL OF OZONE WATER TO REDUCE THE
SEVERITY OF ORAL MUCOSITIS IN PATIENTS POST HEAD AND NECK RADIOTHERAPY. Jurnal Medali. 3(1), 12-19.

Dwikuntari L, Setijadi AR. 2017. EXTERNAL BEAM RADIATION THERAPY PADA KANKER PARU (A LITERATURE
REVIEW). Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 2(2): 375-392.

Fatmasari & Djakaria HM. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel Basal. Radioterapi & Onkologi Indonesia ; 8(2): 93-97.

Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar Radioterapi dan
Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 6(4): 311-320.

Hasibuan, C., Lubis, B., Rosdiana, N., Nafianti, S., & Siregar, O. R. (2019). Perawatan mulut untuk pencegahan mukositis oral
pada penderita kanker anak yang mendapat kemoterapi. Cermin Dunia Kedokteran, 46(6), 432-435.

Laksmiastuti SR, Tehuteru ES. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi pada Pasien Kanker Anak.
Indonesian Journal of Cancer; 9(4): 176-177.

Lubis RA, Efrida E dan Elvira D. 2017. Perbedaan jumlah leukosit pada pasien kanker payudara pasca bedah sebelum dan
Sesudah radioterapi. Jurnal Kesehatan Andalas . 6 (2): 276-282.

Mallick S, Benson R, Rath GK. 2016. Radiation induced oral mucositis: a review of current literature on prevention and
management. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology ; 273(9): 2285-2293.
SLIDESMANIA.COM
DAFTAR PUSTAKA
Mayarani, Hidayat EPS, Apriantoro NH, Kristian R, Irsal M. ANALISIS PAPARAN RADIASI SKYSHINE
ROOFTOP UNIT RADIOTERAPI RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA JAKARTA DENGAN SUDUT GANTRY LINEAR
ACCELERATOR 180°. SANITAS: JURNAL TEKNO LOGI DAN SENI KESEHATAN. 2018; 9(1) : 24-34.

Mulatsih S, Astuti S, Purwantika Y, Christine J. Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien
Keganasan di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Sari Pediatri. 2008; 10(4) : 230-235.

National Cancer Institute. (2016). Radiation Therapi and You. support for pleople with cancer.

Seema Devi, and Nimisha Singh. Dental Care During and After Radiotherapy in Head and Neck
Cancer. National Journal of Maxillofacial Surgery 2014. Vol. 5(2).

Sigarlaki ED, Imanto M, Cania E. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Medula;
8(2): 23-26.

Sinaga PE, Jamnasi J, Pasaribu SM. 2019. Faktor-Faktor yang MemengaruhimPenurunan Body Mass
Index Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada Pasien Kanker Kepala Leher. Radioterapi & Onkologi
Indonesia. 10(2): 36-42.

Sroussi HY, Epstein JB, Bensadoun RJ, Saunders DP, Lalla RV, Migliorati CA, Heaivilin N, Zumsteg
ZS. 2017. Common Oral Complications of Head and Neck Cancer Radiation Therapy: Mucositis,
Infections, Saliva Change, Fibrosis, Sensory Dysfunctions, Dental Caries, Periodontal Disease, and
Osteoradionecrosis. Cancer Medicine . 6(12): 2918-2931.
SLIDESMANIA.COM
DAFTAR PUSTAKA
Stephens, Frederick O, Aigner, Karl Reinhard. 2016. Basics of Oncology. Ed 2nd. Sigarlaki ED, et al.
Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Medula. 2019; 8(2).

Traktama DO, Sufiawati I. 2018. Keparahan Mukositis Oral Pada Pasien Kanker Kepala Leher Akibat
Kemoterapi dan/atau Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 52 – 63.

Wang W, dkk. 2014. Clinical Outcomes and Prognostic Factors of 695 Nasopharyngeal Carcinoma
Patients Treated with Intensity-Modulated Radiotherapy. In : BioMed Research International.

Wijaya CA, Muchtaridi M. Pengobatan Kanker Melalui Metode Gen Terapi. Jurnal Farmako. 2017; 15(1)

Wijaya FO, Seoeseno B. 2017. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. CDK-254. 44(7) : 478-
481.
SLIDESMANIA.COM
KULIAH PAKAR SKENARIO 3 BLOK 13

RADIOTERAPI
Dosen Tutorial
drg. Ferdy Rijaldi

Dosen Kuliah Pakar


Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM

KELOMPOK 6
NAMA ANGGOTA
ANNISA AL AFGANING 1911111220004
NAMIRA FATHYA SALSABILA 1911111120003
ZAKIAH HUSADA NOOR 1911111120002
JAMILATUN NISA 1911111120007
NAURA HANIFA 1911111220025
MUHAMMAD SONI FITRIAN 1911111310036
AHDA ANNISA 1911111320016
RENI AMIRAH SALSABILA FITRI 1911111320020
RAHMADHANI DIAN UTAMI 1911111320021
YAJMA KAMIILA RAHMAN 1911111320022
DINI MAULANI 1911111320042
SKENARIO

Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD dirujuk oleh
spesialis bedah onkologi untuk merawat rongga mulutnya. Hal ini
dilakukan sebelum melakukan radioterapi kanker nasopharyng.
Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien nantinya juga akan
dilakukan saat dan sesudah radioterapi. Apabila hal ini diabaikan
maka akan menimbulkan masalah di rongga mulut di kemudian
hari, seperti terjadi erosi dan sariawan saat atau setelah radioterapi.
Identifikasi dan Klarifikasi Istilah ASing
(Radioterapi) (Onkologi)
Radioterapi merupakan pengobaan yang dilakukan Onkologi merupakan cabang kedokteran yang berfokus
untuk menangani kanker dengan cara menghentikan pada prnyakit kanker, ontologi terbagi menjadi beberapa
pembelahan dari sel kanker tersebut dan biasanya subspesialisasi yaitu, onkologi medis, radiasi, bedah,
berdampak pada sel sekitar kanker tersebut ginekologi, anak dan hematologi.

Radioterapi merupakan terapi radiasi yang bertujuan Cabang ilmu kedokteran pada penyakit kanker, yaitu
untuk menghancurkan jaringan kanker, mengurangi mempelajari cara mendiagnosis, mengobati, merawat,
ukurannya atau menghilangkan gejala yang menyertai. maupun mencegah oleh dokter yang mendalami ilmu ini
Dengan cara sinar radiasi menghancurkan material disebut dengan dokter onkolog. Dokter onkolog dapat
genetik sel sehingga sel tidak dapat membelah dan memberi beberapa jenis terapi seperti bedah,
bahkan tumbuh lagi. kemoterapi, terapi radiasi, imunoterapi, dan terapi
hormon.
.
Apa saja efek yang Apa saja perawatan yang kenapa dokter spesialis
ditimbulkan radioterapi dapat dilakukan oleh dokter bedah onkologi merujuk
pada rongga mulut gigi sebelum, saat, dan pasien ke dokter gigi?
pasien ? setelah dilaksanakannya
radioterapi?

Apa indikasi dan Apa saja komplikasi yang


kontraindikasi radioterapi ? dapat terjadi apabila tidak
dilakukan perawatan pada
rongga mulut?
Selain radioterapi, apa
penatalaksanaan lain yang
dapat dilakukan terhadap
Apa saja keuntungan yang
pasien kanker nasopharynx?
pasien dapat apabila
melakukan perawatan
rongga mulut dalam masa
07 Bagaimana mekanisme
radioterapinya? (terjadinya) radioterapi
dapat mempengaruhi rongga
Apa yang terjadi jika tidak mulut?
dilakukan radioterapi?
05
09
Apa saja efek yang ditimbulkan radioterapi pada rongga mulut
pasien ?
Radioterapi adalah perawatan yang dilakukan pada pasien kanker dengan metode radiasi dosis tinggi, yang
tujuannya adalah membunuh sel kanker. namun karena dosis yang tinggi, radioterapi juga akan merusak jaringan atau sel
normal disekitarnya. Seperti epitel mukosa dan jaringan ikat, yang mengakibatkan mukosa rongga mulut pasien menipis dan
memudahkanterjadinyaulserasi mukositis. selainitujugamenggangguproduksi salivasehinggamenyebabkanhiposalivasi.
Terapi radiasi yang dilakukan bila mengenai gigi yang telah tumbuh,maka karies radiasi akan mulai terjadi
dalambeberapa bulan setelah terapi, dan juga terapi radiasi untuk terapi kanker leher sering menyebabkan trismus, trismus
adalahkekakuanpadaotot pengunyahan.
Konsekuensi karena terjadinya xerostomia oleh karena radioterapi menyebabkan kekeringan pada mulut, rasa
haus, kesulitan pada fungsi oral, kesulitan pada pemakaian protesa gigi, pengecapan terganggu, sensai terbakar, perubahan
jaringan mukosa di dalammulut dan karies radiasi. serta efek samping lain yaitu trismusdimana kesulitan dalammembuka
mulut lebihdari 3jari.
Efek samping radioterapi yang paling parah adalah dapat memicu terjadinya osteoradionekrosis dimana
jaringantulangmati akibat radioterapi.
Apa saja perawatan yang dapat dilakukan oleh dokter
gigi sebelum, saat, dan setelah dilaksanakannya
radioterapi?
Sebelumdilakukanradioterapi, dokter gigi dapat melakukaneliminasi penyakit mulut yangada di rongga mulut
pasien. dokter gigi juga harus melakukan tindakan preventif dan rehabilitatif, pemeriksaan radiografi untuk menentukan
apakah pasien memiliki kelainan periapikal, penyakit gigi, lalu pemeriksaan jaringan periodontal, dapat juga dilakukan
pemeriksaan mukosa rongga mulut, gigi geligi dan memeriksakan OHpasien. selain itu juga bisa diberikan edukasi terlebih
dahulumengenai komplikasi setelahdilakukannyaradioterapi.

Setelah dilalakukan radioterapi perawatan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi yaitu seperti yang dikatakan
sebelumnya mengenai adanya efek radioterapi pada rongga mulut maka perlu kita lakukan kontrol rtin serta kita harus
memerksakelenjarsalivapasienagartidakmenimbulkankomplikasi lebihlanjut.
Selama dilakuakan radioterapi jika pasien ada keluhan pada rongga pda rongga mulut sebiaknya segera
periksakan ke dokter gigi untuk mendapatkan perawatan. Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir dapat dilakukan
pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap 3 bulan sekali, dan pasien tetap harus memelihara kebersihan rongga
mulutnya.
Kenapa dokter spesialis bedah onkologi merujuk pasien ke
dokter gigi?
 Sebelumdilakukannyaradioterapi  Untukmeminimalisir efeksamping
disarankanuntukdilakukan dari radioterapi karenaefeksamping
perawaranronggamulut untuk dari radioterapi dapat
mencegahapabilaadakeluhanagar mengakibatkanxerostomia dan
tidaksemakinparahpenyakit pada terdapat candida albican
ronggamulut pasientersebut
Apa indikasi dan kontraindikasi
radioterapi ?
Untuk indikasinya yaitu pengobatan bagi pasien (Indikasi)
kanker dan pengobatan tumor yang mengarah ke Lesi superfisial denganukuranbesar, Usia>75tahun, Kasus
keganasan dengan lesi terletak di permukaan yang bila diangkat
denganpembedahanmeninggalkanbekaslukayangbesar

Untuk kontraindikasi radioterapi yaitu pasien (kontraindikasi)


dengan kehamilan di trimester pertama dan ketiga  Tumortidakradiosensitif
dimana pada saat seperti ini kondisi kehamilan  Prosestumor telahlanjut (akanmenimbulkananemia)
meningkatkan sensitivitas pada ibu hamil yang  Metastasisdanletaktumor tidakmenguntungkan
dapat menyebabkan ketidaknyamanan maupun  Pasienlansia
masalahpadakehamilannya.  Riwayat radiasi di tempat yangsama
 Bagiantengahdari kelopakmataatas
 Kulit padadaerahtulangbelakang
Apa saja komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak
dilakukan perawatan pada rongga mulut?

Efeksampingradioterapi pada kepalaleherdapat berupaxerostomia karenaatrofi kelenjarsaliva, selain


itumukositisdimanamukosaronggamulut pasienmengalami hyperemi atauberlanjut menjadi erosi dan ulser. Kondisi
RMdenganxerostomia dan mukositismenimbulkanketidaknyamananpasienuntukmakan, mengunyah, dan menelan
sehinggakondisi kesehatanpasiensecaraumummenurundan kualitashiduppasienjuga ikut menurun.
Pada ronggamulut terdapat banyakmikroorganismeflora normal yang denganadanyaradioterapi dapat
menjadi mikroorganismepatogenseperti jamurcandida yang akanmenyebabkancandidiasis, selainitudikhawatirkan
radioterapi akanmemperparahmasalahyang sudahadapada ronggamulut pasiensebelumdilakukanradioterapi
contohnyaperiodontitis dan ulser. kemudiankomplikasi lain juga dapat terjadi seperti infeksi sistemik.
Biasanyaterjadi setelah1 tahundilakukanradioterapi akanterjadi kerontokanrambut kemudianterjadi
kerusakanpembuluhdarahdan aliranlimfe
Mengganggupernapasan, dapat menyebarkeorgan lain sertamenjalar.
06 Selain radioterapi, apa penatalaksanaan lain yang
dapat dilakukan terhadap pasien kanker
nasopharynx?
 kemoterapi : pemberian obat-obatan yang berfungsi untuk membunuh sel kanker. kemoterapi biasanya ditunjang
denganprosedurradioterapi danimunoterapi.
 Pembedahan: Karena nasofaring berdekatan dengan banyak pembuluh darah dan saraf, prosedur pembedahan
dalammengatasi kanker nasofaring jarang digunakan. Metode ini lebih sering dilakukan untuk mengangkat kanker
padakelenjargetahbeningdi leher.
 ImunoterapiI: adalah pemberian obat yang merangsang sistemkekebalan tubuh untuk melawan sel kanker. Jenis
obat imunoterapi yang diresepkan oleh dokter, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Contoh obat
imunoterapi untukmengatasi kankernasofaringadalahpembrolizumabataucetuximab.

 Perawatanpaliatif, yaituperawatanuntukmencegahataumengatasi gejaladanefeksampingataspengobatanyang


diterima, perawatan paliatif ini dapat diberikan dengan metode lain untuk mengatasi kanker nasopharynx dengan
tujuanmembuat pasienmerasanyaman.
Apa saja keuntungan yang pasien dapat apabila
melakukan perawatan rongga mulut dalam masa
radioterapinya?

Mencegahkomplikasi lebihlanjut, prognosispasienlebihbaik, masa radioterapi lebihmudahdan fokuskarenatidakterdapat


komplikasi.

Peningkatanimunitastubuhpasiensecarakeseluruhan, BBterjaga, meningkatkanoptimalitaspengobatan


Bagaimana mekanisme (terjadinya) radioterapi
dapat mempengaruhi rongga mulut?
Dikarenakanradioterapi pada pasienini yang terkenayaitupada bagiankepala,leherdan telingadan efekradiasi yang kita
ketahui sendiri adaefekdirect dan indirect yaituadanyaradikal bebasyang akanmenggangguDNAyang berkaitandengan
sikluspembelahansehinggadapat terjadi komplikasi pada jaringansekitarnya.

09 Apa yang terjadi jika tidak dilakukan radioterapi?

Jika tidakdilakukanradioterapi menurut sayakarenapasienini menderitakankernasopharynx makapenyebarandari sel


kankernyasendiri ataumetastasisnyaakanlebihluassehinggadapat memperburukprognosisdari pasien, yang sebelumnya
dalammelakukanperawatanradioterapi ini kitajuga perlumempertimbangkankondisi pasiendikarenakanadanyaefek
radiasi.
1. Definisi radioterapi
2. Indikasi dan kontraindikasi radioterapi
3. Tatalaksana perawatan rongga mulut (pra-radioterapi, selama
radioterapi, pasca radioterapi)
4. Efek samping radioterapi (ekstraoral dan intraoral)
5. Tujuan perawatan rongga mulut pada pasien radioterapi
6. Manfaat perawatan rongga mulut pada pasien radioterapi
7. Dampak jika tidak dilakukan perawatan RM pada pasien
radioterapi
8. Prognosis perawatan radioterapi
9. Etiologi mukositis
10. Penatalaksanaan mukositis
DEFINISI
DEFINISI

Kawashita, Y., et al. 2020


Terapi kanker mempunyai tiga terapi dasar, yaitu pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi. Radioterapi semakin sering digunakan
sebagai terapi primer dalam penatalaksanaan kanker kepala dan
leher. Radioterapi menggunakan gelombang atau partikel berenergi
tinggi seperti sinar gamma, berkas elektron, photon, proton, dan
neutron yang bertujuan untuk menghancurkan DNA sel kanker
sehingga tidak bisa tumbuh dan membelah lagi.

(Yunus, 2016)
JENIS

Berdasarkan waktu Penghantaran radiasi


penggunaannya terhadap lokasi kanker

Radioterapi Radiokemoterapi Radioterapi Brachytherapy


Neoadjuvan eksternal

Sebelum dilakukannya Pemberian radioterapi Dipaparkan ke tubuh Metode ini digunakan dalam
secara eksternal perawatan rutin kanker
tindakan dengan metode yang dilakukan
ginekologi dan prostat serta
lain, misalnya radioterapi bersamaan dengan menggunakan mesin
pada situasi yang
preoperasi kemoterapi perawatan. membutuhkan perawatan
berulang.

Fitriatuzzakiyyah N, et al. 2017


TUJUAN RADIOTERAPI
Menghancurkan sel-sel tumor
dengan memberikan dosis yang
maksimal pada volume target
penyinaran tanpa menyebabkan
TERAPI KURATIF
kerusakan yang berarti pada
jaringan normal.
Meningkatkan kualitas hidup
dengan cara menghilangkan
gejala-gejala kanker dengan TERAPI PALIATIF
menerapkan dosis radiasi
paliatif.
Mencegah kemungkinan
metastasis atau kejadian TERAPI PROFILAKSIS
berulang melalui
penerapan radioterapi
Mayarani, et al. 2018; Fitriatuzzakiyyah N, et al.
INDIKASI dan
KONTRAINDIKASI
INDIKASI
Pasien kanker stadium dini
Terdapat lesi dipermukaan
Perluasanya masih minim
Bila diangkat dengan pembedahan
meninggalkan bekas luka yang besar (lesi
Pasien menolak operasi/
superfisial dengan ukuran besar)
03 operasi kontraindikasi
Usia > 75 tahun
Post operasi dgn fross residu, batas
05 sayatan positif, close margin (≤5mm)
invasi perineural, invasi tulang
Pasien kontraindikasi anestesi
rawan, rekuran dan metastasis getah
bening

(Fatmasari, 2017)
KONTRAINDIKASI
Pasien dgn connective tissue
diseases /kondisi genetic
Pasien muda menyebabkan kanker kulit
cth: xeroderma pigmentosum,
risiko tinggi terkena dermatitis dan scars epidermodysplasia verruciformis, dan basal
cell nevus syndrome

03 Riwayat radiasi di tempat


Ibu hamil
yang sama

(Fatmasari, 2017 ; Fitriatuzzakiyyah et al, 2017; Medscape, 2020)


Tatalaksana perawatan
rongga mulut
Pra-radioterapi
status periodontal, tumor, gigi
yang longgar dan patah, restorasi Memastikan OH optimal
yang berubah, penyakit periapikal
dan gigi, cenderung memicu
komplikasi Pemeriksaan radiografi untuk menentukan adanya peri
kelainan apikal, invasi tulang,
menyeluruh karies gigi dan penyakit
periodontal
Profilaksis dan scaling
supragingival, scalling dan root Intervensi gigi
planning subgingiva (beresiko),
penghalusan permukaan tajam,
perbaikan gigi palsu yg tdk Informasi demografis, riwayat
pas, tunda pengobatan elektif
Penilaian pra-perawatan sosial, riwayat dental dan
riwayat kesehatan pasien

untuk mencegah pencabutan gigi


osteoradionekrosis
(Ahmed, 2017; Silva, 2019)
Selama radioterapi

Manajemen mukositis oral


Oral care
perawatan preventif seperti
menyikat gigi, flossing, dan
penggunaan obat kumur Penghilangan plak gigi dgn metode
mekanis profesional dan
pembersihan puing-puing mukosa
dgn spons basah, minum air untuk
Penggunaan pilocarpine
mulut kering, Oral viscous lidocaine
hydrochloride untuk pengobatan gejala radang
seperti mucositis
pilocarpine agen parasimpatomimetik
sebagai agonis muskarinik,
menyebabkan stimulasi farmakologis
kelenjar eksokrin pada manusia; ini
menghasilkan air liur

Kawashita, 2020
Setelah radioterapi

Program pencegahan karies gigi Aplikasi fluoride topikal

Xerostomia dan hiposalivasi akibat terapi dapat Pasta gigi berfluoride telah terbukti
menginduksi perkembangan karies gigi yang memberikan manfaat yang signifikan dalam
parah dan infeksi di rahang. , jika perlu peresepan mencegah dan remineralisasi karies akar
obat untuk merangsang aliran saliva, dan pada pasien yang menjalani radiasi untuk
konseling nutrisi harus ditawarkan untuk kanker kepala dan leher
membatasi diet kariogenik Kawashita, 2020)
Efek samping
Efek Samping kemoterapi
Terjadi toksisitas kulit tingkat 1, 2
dan 3 berturut-turut sebesar
38%, 8% dan 4%
Toksisitas kulit akut

Tidur berlebihan, mual, dan anoreksia.


Radiasi yg parah: radionekrosis serebral Komplikasi sistem
dan medula spinalis fokal dengan lesi
vaskular berat (stenosis, trombosis, saraf pusat (SSP)
perdarahan, nekrosis vaskular fibrinoid)

disebut dengan istilah radiation induced Efek samping pada


heart desease (RIHD) jantung
anoreksia, mual, muntah, sulit tidur, sakit
kepala, demam, diare dan lemah.
Efek samping
Gangguan hemopoetik: anemia, sistemik lainnya
trombositopenia dan lekopenia

Sroussi et al., 2017; Fitriatuzzakiyyah et al., 2017; Sigarlaki & Winata, 2019
Efek samping kemoterapi

Mucositis Xerostomia Karies gigi

Periodontitis
Osteoradionecrosis
(Majithia et al., 2020; Sroussi et al.,
2017; Fitriatuzzakiyyah et al., 2017)
Efek samping kemoterapi

Nekrosis jar. lunak Trismus

Perubahan rasa
(hilang pengecapan) Periodontitis

Kandidiasis
orofaringeal (OPC)

(Majithia et al., 2020; Sroussi et al.,


2017; Fitriatuzzakiyyah et al., 2017)
Tujuan Perawatan
Rongga Mulut pada
Pasien Radioterapi
Tujuan Perawatan Rongga Mulut pada Pasien Radioterapi

PRA PERAWATAN SELAMA PERAWATAN


Menghilangkan potensi sumber infeksi, Berikan perawatan suportif untuk

Konseling terapi pasien tentang mukositis oral;

komplikasi kanker, Memberikan pengobatan kandidiasis oral;

Berikan perawatan pencegahan Kelola xerostomia;


Mencegah trismus

Kelola xerostomia;
Mencegah dan meminimalkan trismus;

PASCA PERAWATAN Mencegah dan mengobati karies gigi;


Mencegah osteonekrosis pascaradiasi (ORN);
Mendeteksi kekambuhan tumor

(Jawad et al., 2015)


Manfaat Perawatan Mulut
pada Pasien Radioterapi
Manfaat
Perawatan mulut dipertimbangkan sebagai
dasar untuk tercapainya kesehatan, integritas,
dan fungsi mukosa oral yang optimal.
Perawatan mulut dapat mengurangi kolonisasi
mikroorganisme rongga mulut, mengurangi
nyeri, serta mencegah infeksi jaringan lunak
rongga mulut yang berisiko menjadi infeksi
sistemik. Komponen dasar perawatan mulut
meliputi evaluasi kondisi rongga mulut, edukasi
pasien dan/atau keluarga, penyikatan gigi,
flossing, dan berkumur.

(Hasibuan, 2019)
Dampak Jika Tidak Dilakukan
Perawatan Rongga Mulut pada
Pasien Radioterapi
DAMPAK
Permasalahan dalam penatalaksanaan
penderita kanker terutama selama menerima
kemoterapi atau radioterapi sebagian besar
adalah mengalami mukositis oral dan
kandidiasis oral akibat penurunan imunitas
seluler rongga mulut. Keadaan ini akan
mengakibatkan penundaan dalam pemberian
radioterapi sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sehingga dapat mempengaruhi
perawatan serta meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.

(Traktama, 2018; Sinaga, 2019).


PROGNOSIS PERAWATAN
Prognosis Perawatan

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Radioterapi dapat membantu Pada penderita kanker stadium lanjut,
mengendalikan pertumbuhan kanker. prognosis lebih buruk, radioterapi dapat
Kanker kecil dan dini memiliki prognosis membantu mengendalikan gejala dan
yang lebih baik daripada kanker dengan menghilangkan rasa sakit. Prognosis buruk
invasi ke struktur yang berdekatan atau apabila terjadi metastasis jauh yang
keterlibatan nodus. Pasien dapat merupakan indikator prognosis buruk,
melanjutkan kehidupan sehari-hari. karena radioterapi tidak dapat mencegah
metastasis jauh. Metastasis jauh dapat
terjadi sebelum dan setelah radioterapi.

(Symonds, 2019; Yeh, 2021)


ETIOLOGI
Etiologi
Mukositis dapat terjadi akibat toksisitas langsung ataupun tidak langsung dari agen
kemoterapi pada mukosa oral.

terjadi akibat efek inhibisi langsung agen kemoterapi/radioterapi terhadap proliferasi dan
replikasi DNA sel-sel epitel mukosa oral, menurunkan kemampuan regenerasi sel-sel epitel basal
mukosa oral. Secara klinis, efek mukotoksik muncul tidak lama setelah kemoterapi dimulai,
puncaknya pada hari ke-7 atau ke-10 terapi.

Toksisitas tidak langsung merupakan bagian dari fase ulserasi, proses inflamasi
yang menimbulkan kerusakan barier mukosa oral disertai kondisi mielosupresi
yang menurunkan kemampuan menghambat masuknya patogen.

(Hasibuan C, et al.,2019)
Faktor Terkait

Dosis

Jenis agen
Fase pengobatan
kemoterapi

(Hasibuan C, et al.,2019)
Faktor Terkait

Jenis Keganasan Kesehatan Mulut

Usia
Status Gizi

Genetik

(Hasibuan C, et al.,2019)
Secara biologi, 3. Fase signaling dan
amplification
dijumpai lima fase
TNF-A mengaktifkan NFkB, mitogenactivated protein kinase (MAPK),
terbentuknya dan sphyngomyelinase pathways yang dapat memperbesar kerusakan
sel dan jaringan sehingga menyebabkan eritema dan atropi epitelial 4-
mukositis yaitu : 5 hari setelah tahap awal kemoterapi.

4. Fase ulserasi/bakteriologi
1. Fase Inisiasi
bila terjadi neutropenia diduga terjadi kolonisasi bakteri pada
kemoterapi berperan sebagai radikal bebas ulkus sehingga di dalam jaringan mukosa banyak mengandung
dapat merusak DNA endotoksin dan selanjutnya terjadi pelepasan IL-1 dan TNF-
alpha.

2. Fase message generation 5. Fase penyembuhan

terjadi reepitelisasi pada ulkus yang ditandai dengan


terjadi pengaktifan faktor transkripsi (NFkB) yang akan berpindahnya sel-sel epitel ke sebelah bawah dari
mengatur jumlah proinflamatory cytokine/ interleukin 1 pseudomembran (fibrin clot) ulkus kemudian berproliferasi
beta (IL–1B) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-A).
sehingga menebal menjadi mukosa yang normal.

(Hasibuan C, et al.,2019)
(Hasibuan C, et al.,2019)
PENATALAKSANAAN
Kebersihan Mulut Manajemen Nyeri Agen Kemoprotektif
Perawatan mulut rutin meliputi Agen topical: lidokain; analgesic Palifermin; obat kumur
pencabutan gigi palsu, pembersihan opioid; obat kumur morfin dexamethason profilaksis.
lembut yang meliputi flossing gigi dan 0,2%dan obat kumur doxepin
menyikat gigi dengan lembut, dan 0,5%; Benzydamin (anti-
pembilasan mulut. inflamasi).

Terapi Laser Tingkat Rendah Krioterapi


Terapi laser tingkat rendah untuk meningkatkan Untuk beberapa agen kemoterapi, data menunjukkan
penyembuhan luka dengan pengurangan rasa penggunaan menempatkan chip es di mulut
sakit dan pembengkakan jaringan. bermanfaat, misalnya, selama bolus 5-fluorouracil dan
melphalan dosis tinggi.

(Lalla, 2020; Bell, 2020; Sroussi, 2017)


Suplementasi Seng Diet
Seng bermanfaat untuk meningkatkan Untuk mukositis sedang hingga berat, diet
perbaikan jaringan serta memberikan harus dibatasi pada makanan yang tidak
efek antioksidan. Ini bermanfaat pada memperburuk mukosa atau risiko cedera
pasien dengan kanker mulut yang selama mengunyah. Makanan yang memiliki
menjalani kemoradiasi. lebih sedikit garam, asam, kelembaban, atau
membutuhkan pengunyahan yang signifikan
harus dihindari.

(Lalla, 2020; Bell, 2020; Sroussi, 2017)


Radioterapi dapat digunakan sebagai terapi kuratif, paliatif
maupun profilaksis (preventif). Pada kanker rongga mulut, tingkat
kesembuhan terbaik diperoleh dengan menggunakan teknik bedah dengan
radioterapi adjuvant atau pasca operasi (dengan atau tanpa kemoterapi).
Radioterapi juga memainkan peran penting dalam meringankan gejala pada
pasien dengan kanker kepala dan leher stadium lanjut/tidak dapat
disembuhkan, penyusutan tumor, pencegahan ulserasi, pencegahan
perdarahan, dan pengendalian nyeri. Secara menyeluruh perawatan oral
terhadap pasien dengan radioterapi wajib diberikan untuk menjaga
kesehatan. Protokol perawatan mulut standar direkomendasikan untuk
mencegah mukositis oral pada semua kelompok umur dan di semua
modalitas pengobatan kanker.
DAFTAR PUSTAKA
• Ahmed, O., et al. 2017. Dental Care during Radiotherapy in Head and Neck Cancer. International Journal of
Oral Healtand Medical Research; 4(4): 58-60.
• Bell A, Kasi A. 2020. Oral Mucositis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing
• Fatmasari, HM Djakaria. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel Basal. Journal of the Indonesian Radiation
Oncology Society: 8(2).
• Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Klinik Farmasi Indonesia; 6(4): 311-320.
• Hasibuan, C., Lubis, B., Rosdiana, N., Nafianti, S. & Siregar, O.R. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan
Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapat Kemoterapi. CDK-277. 46(6): 432-435.
• Jawad H, Hodson NA, Nixon PJ. 2015. A review of dental treatment of head and neck cancer patients, before,
during and after radiotherapy: part 1. British Dental Journal; 218: 65-68.
• Lalla RV. 2020. Evidence-Based Management of Oral Mucositis. Journal JCO Oncology Practice. 16(3): 111.
• Majithia N, Hallemeier CL and Loprinzi CL. 2020. Oral complications. In Abeloff's Clinical Oncology:
Elsevier; 607-620.
• Mayarani, Et Al. 2018. Analysis Of Rooftop Skyshine Radiation Exposure With Angle Of Gantry Linear
Accelerator 180° In Radiotherapy Unit Of Pertamina Sanitas: Jurnal Teknologi Dan Seni Kesehatan; 9(1): 24 –
34.
● Medscape. 2020. What are The Contraindications for Radiation Therapy to Treat Basal Cell Carcinoma (BCC)
● Kawashita, Y., Soutome, S., Umeda, M. & Saito, T. 2020. Review Article Oral management strategies for radiotherapy of head
and neck cancer. Japanese Dental Science Review. 56(2020): 62-67.
● Sigarlaki NLI, Winata A. 2019. GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA
RADIOTERAPI / KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016. E-JURNAL MEDIKA ; 8(1): 79-80.
● Silva, C.P.L.,et al. 2019. Oral management of patients with cancer. Revista Facultad de Odontología Universidad de Antioquia;
13(2): 189-191.
● Sinaga PE, et al. Juli 2019. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penurunan Body MassIndex Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada
Pasien Kanker Kepala Leher. Radioterapi & Onkologi Indonesia. 10 (2).Sroussi HY, Epstein JB, Bensadoun RJ, Saunders DP,
Lalla RV, Migliorati CA, Heaivilin N, Zumsteg ZS. 2017. Common oral complications of head and neck cancer radiation therapy:
mucositis, infections, saliva change, fibrosis, sensory dysfunctions, dental caries, periodontal disease, and osteoradionecrosis.
Cancer Med. 6(12): 2920-2922.
● Symonds, RP, Mills JA, Duxbury A. 2019. Walter and Miller's Textbook of Radiotherapy: Radiation Physics, Therapy and
Oncology-E-Book. Leichester: Elsevier Ltd.
● Yeh SA, et al. 2021. Outcomes of patients with nasopharyngeal carcinoma treated with intensity-modulated radiotherapy. Journal
of Radiation Research; 62(3): 438–447.
● Yunus, B., Wiwik, W.P. 2016. Prevalensi Xerostomia Setelah Dilakukan Terapi Radiasi. Makassar Dent J. 5(2): 65-68.
Kuliah Pakar
Skenario 3 Blok 13

Kelompok 4
Dosen Tutorial
drg. Gusti M. Perdana Putera
Dosen Kuliah Pakar
Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM
Nama Anggota Kelompok
Melati Raihan Anidar 1911111120006
Akhmad Akhdianoor Ramadhan 1911111110011
Yopy Prasetya Triaji 1911111210006
Manik Ulya Arfiyanti 1911111220002
Nurul A’idah 1911111220033
Muhammad Yunanda Anhar 1911111310027
Indraswari Wahyu Pertiwi 1911111320007
Fatma Kirana 1911111320010
Widya Rahmidianti 1911111320015
Syifa Kamila 1911111320040
Fitria Ulfah Rahman 1911111220016
Skenario
Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD dirujuk
oleh spesialis bedah onkologi untuk merawat rongga mulutnya.
Hal ini dilakukan sebelum melakukan radioterapi kanker
nasopharyng. Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien
nantinya juga akan dilakukan saat dan sesudah radioterapi.
Apabila hal ini diabaikan maka akan menimbulkan masalah di
rongga mulut di kemudian hari, seperti terjadi erosi dan sariawan
saat atau setelah radioterapi.
Identifikasi dan
Klarifikasi Istilah Asing
Bedah Onkologi Erosi
Hilang atau terkikisnya lapisan permukaan Hilang atau terkikisnya lapisan permukaan gigi
gigi karena asam, penyebab asam dapat karena asam, penyebab asam dapat berasal
berasal dari luar tubuh berupa makanan dari luar tubuh berupa makanan asam, dan
asam, dan dapat berasal dari dalam tubuh dapat berasal dari dalam tubuh seperti pH
seperti pH saliva yang rendah atau asam saliva yang rendah atau asam lambung yang
lambung yang naik ke rongga mulut. naik ke rongga mulut. terkikisnya lapisan
terkikisnya lapisan enamel karena enamel karena berbagai faktor, salah satunya
berbagai faktor, salah satunya yang yang terjadi pada skenario adalah efek
terjadi pada skenario adalah efek samping samping dari radioterapi. terkikisnya gigi pada
dari radioterapi. terkikisnya gigi pada lapisan enamel sehingga menyebabkan gigi
lapisan enamel sehingga menyebabkan sensitif.
gigi sensitif.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa perawatan yang dilakukan sebelum pasien melakukan radioterapi sehingga pasien dapat
dirujuk ke bedah onkologi?
Jawab:
Dapat dilakukan scaling, pembersihan gigi geligi serta komunikasi tentang asupan nutrisi
dikarenakan efek samping radioterapi salah satunya xerostomia yg akan meningkatkan
kemungkinan infeksi jamur candida.
Melakukan pengawasan pada kesehatan rongga mulut pasien agar keadaan RM pasien itu baik
sebelum, saat dan sesudah radioterapi. Proses radioterapi bisa memberikan efek xerostomia yang
dapat memperburuk kesehatan rongga mulut pasien. Sebelum terjadinya berbagai penyakit
alangkah baiknya kita dapat mencegah proses tersebut.

2. Apa dampak jika perawatan rongga mulut tidak dilakukan sebelum radioterapi?
Jawab:
Akan terjadi peningkatan koloni candida atau mikroorganisme lainnya dan dapat meningkatkan
insidensi karies radiasi.
Identifikasi dan Analisis Masalah
3. Seberapa penting perawatan rongga mulut dengan pasien radioterapi?
Jawab:
Sangat penting, karena radioterapi memiliki efek radiasi yang akan mempengaruhi rongga
mulut pasien sehingga dengan dilakukan perawatan pada rongga mulut diharapkan dapat
meminimalisir infeksi mikroorganisme lainnya pada rongga mulut seperti candidiasis dan
sebagainya. juga pasien disarankan untuk menjaga oral hygiene seperti teratur menyikat gigi,
kontrol rutin, dan evaluasi pada kelenjar saliva agar tidak menyebabkan komplikasi yang
lebih parah.
4. Apa perawatan gigi dan mulut yang dapat dilakukan pasien sesudah melakukan radioterapi?
Jawab:
Untuk mencegah/mengatasi xerostomia bisa menggunakan saliva substitusi/ saliva
pengganti, kontrol rutin selama 6 bulan pertama, dan menghindari tindakan invasif seperti
ekstraksi gigi.
Disarankan untuk kembali kontrol ke Dokter Gigi lagi, menjaga pola makan dan menghindari
rokok untuk sementara waktu demi berkurangnya gejala xerostomia dan menghindari infeksi
jamur candida, apabila terjadi xerostomia dan infeksi c. albicans bisa dilakukan evaluasi.
Identifikasi dan Analisis Masalah
5. Mengapa radioterapi bisa mempengaruhi kondisi rongga mulut?
Jawab:
Pada skenario disebutkan bahwa pasien menjalani radioterapi nasopharinx, dimana letak
nasopharinx sendiri berada di belakang hidung dan berdekatan dengan daerah rongga mulut.
Hal tersebut menimbulkan efek di rongga mulut seperti gangguan fungsi kelenjar saliva baik
mayor ataupun minor akibatnya dapat terjadi xerostomia dan penurunan pH saliva yang
memicu munculnya karies gigi, serta mengakibatkan ketidakseimbangan mikroflora pada
rongga mulut contohnya candida sebagai penyebab candidiasis. Bisa menimbulkan ulserasi
yang disebabkan karena infiltrasi sel inflamasi sehingga membuat mukosa pada mulut
menipis dan gampang menimbulkan luka, efek radiasi dari radioterapi juga bisa menyebabkan
lambatnya penyembuhan luka.
Identifikasi dan Analisis Masalah
6. Apa kelebihan dan kekurangan dari radioterapi?
Jawab:
Kelebihan: merusak DNA yang mengatur pembelahan diri sel kanker sehingga sel kanker
tidak dapat tumbuh berkembang menjadi buas, memang efeknya sangat besar tetapi hal ini
merupakan salah satu jalan keluarnya. Dapat mengurangi bahkan menghancurkan sel kanker
agar tidak berkembang lebih lagi.
kekurangan: Sel normal dapat terdampak efek radioterapi sehingga dapat timbul efek lain
seperti rambut rontok dll, pada lansia sangat merasakan dampaknya karena sulit untuk
meregenerasi sel yang sehat sehingga pada lansia sangat rentan. Tidak dapat menyeleksi sel
yang rusak, jadi sel tubuh yang baik pun kadang ikut rusak hal ini terbukti kebanyakan pasien
yang melakukan radioterapi mengalami kebotakan.
Identifikasi dan Analisis Masalah
7. Bagaimana indikasi & kontraindikasi untuk radioterapi?
Jawab:
Indikasi: radioterapi dapat dilakukan pada kanker atau tumor yang belum lama terjadi atau
kanker/tumor yang masih kecil dan pada kasus dengan lesi yang terletak dipermukaan yang
apabila dilakukan pembedahan akan menimbulkan bekas luka yang besar serta pasien tanpa
kerusakan periodontal.
Kontraindikasi: pada rongga mulut yang oral hygine nya buruk dan apabila di dalam rongga
mulut tersebut terdapat karies karena radioterapi dapat mempengaruhi gigi yang mengalami
karies tersebut sehingga karies akan semakin parah. juga pada ibu hamil karena dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada janin. Pasien anak, pasien lansia karena
daya tahan tubuh lansia sudah turun, pasien psikiatri, metasis letak tumor yang tidak
menguntungkan.
Identifikasi dan Analisis Masalah
8. Apa saja efek samping pada rongga mulut setelah dilakukannya radioterapi?
Jawab:
Xerostomia karena akan membuat sekresi saliva di rongga mulut yang menyebabkan saliva jd
menurun kemudian terjadi infeksi rongga mulut, terjadinya dental caries dan peningkatan
jamur candida albicans, bisa terjadi mucositis, dan disfungsi indra pengecapan
9. Apa perawatan gigi dan mulut yang dilakukan ketika melakukan radioterapi?
Jawab:
Restorasi gigi, scaling & memperbaiki kesehatan RM pasien serta dapat dilakukan
penanganan lesi atau penyakit rongga mulut jika ada hal tersebut di pasien, hingga pasien
dinyatakan sehat dan aman untuk dilakukan radioterapi.
Problem Tree
Definisi

Indikasi dan
Kontraindikasi

Radioterapi Perawatan RM
Sebelum Menjalani
Radioterapi

Perawatan RM Saat
Menjalani Radioterapi

Perawatan RM Setelah
Menjalani Radioterapi
Definisi Mucositis
Efek Samping
Radioterapi
Etiologi Mucositis

Mucositis

Manifestasi Klinis

Komplikasi Radioterapi

Tata Laksana
Sasaran Belajar
1. Apa definisi radioterapi?
2. Apa Jenis-jenis perawatan radioterapi?
3. Apa Indikasi dan Kontraindikasi perawatan radioterapi?
4. Bagaimana Perawatan rongga mulut sebelum pasien melakukan radioterapi?
5. Bagaimana Perawatan rongga mulut saat pasien melakukan radioterapi?
6. Bagaimana Perawatan rongga mulut sesudah pasien melakukan radioterapi?
7. Bagaimana Efek samping dari perawatan radioterapi?
8. Apa Definisi Mucositis?
9. Apa Etiologi Mucositis?
10. Bagaimana Manifestasi Klinis Mucositis?
11. Bagaimana Tatalaksana Mucositis?
12. Bagaimana Komplikasi dari radioterapi?
01
Definisi radioterapi
Radioterapi (terapi radiasi atau iradiasi) merupakan
modalitas pengobatan yang menggunakan radiasi energi
tinggi dari sinar X, gamma, neutron, proton, dan sumber lain
untuk menghilangkan kemampuan berproliferasi sel kanker,
membunuh sel kanker, dan mengecilkan tumor dengan cara
merusak genetik dari sel kanker terutama DNA

—Ireland, 2018; Kawashita, 2020; Santoso BS, 2009;


Sinaga PE, 2019
02
Jenis-Jenis Perawatan
Radioterapi
Berdasarkan kegunaannya radioterapi dapat
digunakan sebagai:

Radioterapi Radioterapi Radioterapi


kuratif paliatif profilaksis
biasanya berbentuk bertujuan untuk merupakan terapi yang
terapi tunggal untuk meningkatkan kualitas bertujuan untuk
penyembuhan suatu hidup dengan cara mencegah kemungkinan
kanker menghilangkan gejala- metastasis atau kejadian
gejala kanker berulang

—Fitriatuzzakiyyah, et al., 2017


Berdasarkan waktu penggunaannya
Radioterapi adjuvan
diberikan setelah dilakukannya metode
pengobatan tertentu

Radioterapi neoadjuvan
dilakukan sebelum dilakukannya tindakan
dengan metode lain misalnya radioterapi
preoperasi

Radiokemoterapi
pemberian radioterapi yang dilakukan
bersamaan dengan kemoterapi

—Fitriatuzzakiyyah, et al., 2017; Septiana, et al., 2020


Berdasarkan metode penghantaran radiasi
terhadap lokasi kanker yaitu:

Radioterapi eksternal Brachytherapy

radioterapi yang dipaparkan


sumber radiasi temporer atau
ke tubuh secara eksternal
permanen ditempatkan ke
menggunakan mesin
dalam rongga tubuh
perawatan.

—Fitriatuzzakiyyah, et al., 2017


Untuk tujuan terapi, radiasi
dapat dikelompokkan menjadi :

1. Radiasi Elektromagnetik
Radiasi elektromagnetik merupakan radiasi
ketika energi dibawa oleh osilasi medan
listrik dan medan magnet yang merambat
pada kecepatan cahaya.

2. Radiasi Partikel
Radiasi partikel adalah radiasi yang terdiri
dari partikel atom atau subatomik (elektron
dan proton) yang membawa energi dalam
bentuk kinetik atau massa yang bergerak.

—Septiana et al., 2020


03
Indikasi dan Kontraindikasi
Perawatan Radioterapi
Indikasi perawatan radioterapi

o Pasien menolak operasi atau kontraindikasi dengan tindakan operasi


o Post operasi dengan gross residu, batas sayatan positif, close margin (≤
5 mm) invasi perineural, invasi tulang rawan, rekuren dan metastasis
kelenjar getah bening
o Kasus dengan lesi terletak di permukaan yang bila diangkat dengan
pembedahan meninggalkan bekas luka yang besar (Lesi superfisial
dengan ukuran besar)
o Kasus pasien dengan kontraindikasi anastesi
o Kasus dengan pasien kanker stadium dini yang perluasan masih minim
o Kanker yang telah menyerang kulit

—Fatmasari, et al., 2017


Kontraindikasi perawatan radioterapi

○ Tumor tidak radiosensitif


○ Riwayat radiasi ditempat yang sama
○ Proses tumor telah lanjut (akan menimbulkan anemia)
○ Metastasis dan letak tumor yang tidak menguntungkan
○ Lesi pada daerah insufisiensi vascular
○ Pada bagian tengah dari kelopak mata atas dan kulit pada
daerah tulang belakang
○ Pasien muda karena risiko tinggi terkena dermatitis dan scars

—Brown S, 2015; Fatmasari, 2017; Medscape, 2020;


Wastitiamurti, 2018
04
Perawatan Rongga Mulut
Sebelum Pasien Melakukan
Radioterapi
Tujuan dari penilaian gigi pra-radioterapi adalah untuk memaksimalkan kualitas
hidup pasien seperti mempertahankan gigi untuk fungsi, estetika dan bicara
setelah perawatan onkologis.

Instruksi kebersihan
Restorasi
mulut
Memastikan bahwa semua gigi
Obat kumur klorheksidin yang tidak teratur dan bagian
glukonat 0,2% 10ml dua kali restorasi yang tajam
sehari selama seminggu dihaluskan
sebelum radioterapi

Ekstraksi gigi Appliance wear


Memastikan denture
Gigi dengan prognosis
pasien tdk akan
yang buruk harus dicabut
menyebabkan trauma
sebelum radioterapi
pada mukosa

—Jawad et al., 2015


o Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan
komplikasi pada RM
o Pemberian aplikasi fluor untuk mengurani risiko karies akibat radioterapi
o Sikat gigi, gusi, lidah dengan lembut, dengan sikat gigi dan pasta gigi berfluoride
setiap habis makan dan sebelum tidur menggunakan bulu sikat gigi yang lembut
o Latih otot rahang 3x sehari, untuk mencegah kekakuan rahang dari radiasi. Buka
tutup mulut sejauh mungkin tanpa sakit, 20 kali.
o Pasien yang memakai ortho: dilepas sebelum radioterapi

Perawatan kedokteran gigi harus sudah selesai 2 minggu sebelum perawatan


radioterapi dimulai. Jika waktu yang ada terbatas maka prioritas perawatan adalah
infeksi, ekstraksi, periodontal, dan sumber iritasi.

—Laksmiastuti,2015; Vlaho et al., 2017


Perawatan Rongga Mulut Saat Pasien
05 Melakukan Radioterapi
Perawatan saat menyikat semua permukaan Melakukan flossing minimal sekali
gigi minimal selama 2 menit, dua kali sehari, sehari atau sesuai anjuran.
menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat
lembut

Pada pasien bergigi,pemberian preparat


Menyikat dengan gerakan memutar fluor diperlukan apabila daerah
dan membentuk sudut 45 derajad penyinarannya meliputi lebih dari dua
terhadap permukaan gigi kelenjar saliva mayor.

Keringkan sikat gigi sebelum Menggunakan pelembab bibir


disimpan dan ganti sikat gigi secara berbahan dasar air dan menjaga
berkala. kecukupan caairan tubuh

Hasibuan C., et al. 2019 ; Traktama D danSufiawati I. 2018


06 Perawatan Rongga Mulut Sesudah
Pasien Melakukan Radioterapi
Penanganan Kehilangan
Penanganan Trismus Penanganan Xerostomia Indra Perasa
Dan Fibrosis Secretagogues yaitu,
pilocarpine, anethole trithione,
1. Tongue Blades dan cevimeline bekerja dengan
Suplemen seng sulfat dapat
membantu beberapa pasien
2. Dynamic Bite merangsang fungsi jaringan
kelenjar ludah untuk memulihkan indera
Opening Appliances perasa (200 mg 2-3 kali
sehari)

Perawatan Prostodontik Penanganan


Pascaradiasi & Menjaga OH Mukositis
Kontrol Rutin
Dental flossing, cairan kumur Berkumur dapat Pasca penyinaran, pasien
chlorhexidine setelah sikat gigi, menggunakan larutan garam dianjurkan untuk kontrol 2
pemberian fluoride dengan, obat (normal salin) ataupun minggu kemudian
stimulant produksi saliva seperti
larutan sodium bikarbonat
pilocarpine

Devi, et al., 2014 ; Hasibuan, et al. 2019; Grewal MS, et al. 2016
07 Efek Samping Dari Perawatan
Radioterapi

Efek Samping Lokal Efek Samping Sistemik


a) Keluhan di rongga mulut Dapat berupa a) Efek samping sistemik yang umum adalah
xerosmia, lesi mukosa, moniliasis, gangguan gigi anorexia, mual, muntah, sulit tidur, sakit kepala,
b) Gangguan telinga demam, diare dan lemah.
c) Gangguan mata b) Gangguan hemopoetik akibat radiasi berupa
d) Lesi Kulit anemia, trombositopenia dan leukopeni.
e) Lain-lain : kelainan otot, tulang, saraf

Rosita I dan Widyaningsih S. 2017


08
Definisi Mucositis
Definisi Mucositis
Mukositis oral merupakan peradangan pada mukosa
mulut, komplikasi umum yang didapat pada pasien
kanker yang mendapat kemoterapi atau terapi
radiasi pada daerah kepala dan leher. Puncak
mukositis terjadi selama 4-5 minggu terapi radiasi
dengan dosis yang sama.

Traktama DO, et al., 2018


09
Etiologi
Mucositis
Faktor terkait pasien

Jenis
Jenis kelamin Usia
keganasan Wanita lebih rentan Anak lebih rentan dan
terhadap komplikasi sering mengalami
kemoterapi mukositis

Genetik Kesehatan Status gizi


Polimorfisme MTHFR mulut Pada malnutrisi, defisit energi, protein,
C677T mempunyai dan mikronutrien mengganggu
Status periodontal buruk
regenerasi epitel/jaringan bahkan
hubungan signifikan meningkatkan risiko
dapat mengganggu fungsi sistem imun
terhadap risiko mukositis oral.
yang dapat meningkatkan risiko
mukositis oral
infeksi.
(Hasibuan et al., 2019)
Faktor terkait terapi

“Faktor-faktor terkait kemoterapi antara lain


dosis, jenis agen kemoterapi, dan fase
pengobatan. Pasien yang mendapat kemoterapi
dosis standar mempunyai risiko sekitar 40%
mengalami mukositis oral, sedangkan pasien
yang mendapat kemoterapi dosis tinggi
mempunyai risiko sekitar 85- 95%.

(Hasibuan et al., 2019)


10
Manifestasi
Klinis Mucositis
Manifestasi Klinis
Mucositis
Tanda-tanda klinis awal mucositis oral
termasuk eritema mukosa dan
pengelupasan superfisial, yang dapat
terjadi dengan dosis radiasi kumulatif
20−30 Gy. Di mana, mukosa utuh mulai
rusak ini diikuti oleh ulserasi. Ulserasi
biasanya ditutupi oleh pseudomembran
fibrinous putih.
(Kawashita Y, et al. 2020).
Skala yang paling umum digunakan untuk mengukur gejala mukositis oral
baik untuk tujuan klinis maupun penelitian adalah skala Organisasi
Kesehatan Dunia WHO.

Skala lain, dibagi menjadi pemeriksaan klinis dan gejala,


dikembangkan oleh National Cancer Institute (NCI).

(Kusiak et al., 2020).


Skala penilaian mukositis oral oleh Olsen et al. membedakan mucositis
oral dengan jumlah lesi, eritema mukosa, dan adanya perdarahan, dan
disajikan pada Tabel 3

(Kusiak et al., 2020).


11
Tatalaksana
Mucositis
Tatalaksana
Farmakologis
Mucositis Non Farmakologis

Debridemen oral Pengaturan diet

Dekontaminasi oral Perawatan mulut

Mengontrol perdarahan Madu

Manajemen topikal Pencegahan infeksi

cryotherapy.Cryotherapy

(Gupta, 2013; Lalla, et al., 2014)


Tatalaksana
Mucositis

(Hasibuan C, et al., 2019)


12
Komplikasi
Radioterapi
Komplikasi Radioterapi
- Mucositis oral
- Jaringan orofasial yang
terpengaruhi oleh radioterapi
- Candidiasis oral
- Xerostomia
- Sistem Saraf Pusat (SSP)
- Mukosa, periodonsium, dan gigi
- Osteoradionekrosis
- Karies gigi
- Infeksi yang berasal dari spesies jamur

(H. M. Wong, 2014; Fitriatuzzakiyyah, 2017).


Kesimpulan
Radioterapi (terapi radiasi atau iradiasi) merupakan modalitas pengobatan yang menggunakan
radiasi energi tinggi dari sinar X, gamma, neutron, proton, dan sumber lain untuk
menghilangkan kemampuan berproliferasi sel kanker, membunuh sel kanker, dan mengecilkan
tumor dengan cara merusak genetik dari sel kanker terutama DNA. Radiasi seringkali
digunakan bersamaan dengan kemoterapi dalam tindakan manajemen kuratif kanker kepala
dan leher. Radioterapi dapat diberikan dengan 2 cara. Pertama dengan cara internal yaitu
melalui cairan yang diminum, suntikan atau dengan penanaman jarum radioaktif, kawat atau
pellet. Selain itu, juga dapat diberikan secara eksternal melalui pancaran radiasi yang diarahkan
dari beberapa sudut, menyilang daerah tumor sehingga daerah ini menerima dosis absorbs
yang jauh lebih besar dibanding jaringan sehat disekitarnya. Mekanisme radiasi membunuh sel
Target utama dari terapi radiasi adalah kerusakan molekul DNA pada jaringan target. Secara
umum ada 2 jenis mekanisme kerusakan DNA akibat radiasi pengion, yaitu ionisasi langsung
dan tidak langsung. Kerusakan karena ionisasi langsung biasanya disebabkan oleh radiasi
partikel yang terjadi karena energi kinetik partikel dapat langsung merusak struktur atom
jaringan biologi yang dilewatinya, sedangkan ionisasi tidak langsung umumnya disebabkan oleh
radiasi elektromagnetik dengan cara membentuk elektron sekunder/ radikal bebas yang akan
berinteraksi dengan DNA menyebabkan kerusakan.
Terima Kasih
Daftar Pustaka
Brown S., Kirkbride P, Marshall E. 2015. Radiotherapy in the acute medical setting. Clin Med Lond; 15(4).
Devi, S., Nimisha S. 2014. Dental care during and after radiotherapy in head and neck cancer. National Journal of Maxillofacial
Surgery. 5(2): 117-124.
Fatmasari, Djakaria H.M. 2017. Radioterapi Pada Karsinoma Sel Basal. Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society.
8(2): 92-97.
Fitriatuzzakiyyah, N., Rano K. S., Irma M. P. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar Radioterapi dan
Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 6(4): 311-320.
Grewal MS, et al. 2016. dental Management of Head and Neck Cancer Patient treated with Radiotherapy and Chemotherapy.
Austin Journal of Dentistry ; 3(2); 103.
Gupta N, Khan M. 2013. Oral Mucositis. E-Journal of Dentistry. 3(3): 405-410.
Hasibuan C., et al. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapat
Kemoterapi. CDK-277; 46(6): 432-434.
Ireland R. 2018. Kamus Kedokteran Gigi. EGC: Jakarta.
Jawad, H., Hodson, N. A., & Nixon, P. J. (2015). A review of dental treatment of head and neck cancer patients, before, during
and after radiotherapy: Part 1. British Dental Journal, 218(2), 65–68.
Kawashita Y, Soutome S, Umeda M, Saito T. 2020. Oral management strategies for radiotherapy of head and neck cancer.
Japanese Dental Science Review. 56(1):62-67.
Kusiak, A., Jereczek-Fossa, B. A., Cichońska, D., & Alterio, D. (2020). Oncological-therapy related oral mucositis as an
interdisciplinary problem—Literature review. International journal of environmental research and public health, 17(7), 2464.
Laksmiastuti SR, Tehuteru ES. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi pada Pasien Kanker Anak. Indonesian
Journal of Cancer. 9(4): 176-177.
Lalla RV, Bowen J, Barasch A, Elting L, Epstein J, Keefe DM. 2014.
Daftar Pustaka
MASCC/ISOO clinical practice guidelines for the management of mucositis secondary to cancer therapy. Cancer. 120(10): 1453–
1461.
Medscape. 2020. What are The Contraindications for Radiation Therapy to Treat BasalCell Carcinoma (BCC).
Rosita I, Widyaningsih S. 2017. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Radioterapi Pada Pasien Kanker Nasofaring di RSUD
dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Jurusan Keperawatan. 1 (1): 1-8.
Santoso BS, et al. 2009. Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal THT-KL. 2(3): 134-141.
Septiana, et al. 2020. Mengenal Terapi Radiasi dan Kemoterapi bagi Dokter Gigi. Cetakan pertama, tim UB press. Indonesia.
Sinaga PE, et al. 2019. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penurunan Body Mass Index Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada
Pasien Kanker Kepala Leher. Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society. 10(2): 36-42.
Traktama DO, Sufiawati I. 2018. Keparahan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher akibat kemoterapi dan/atau
radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 52-63.
Vlaho, et al. 2017. Oral Side Effect Of Head & Neck Irradiation. Journal Intach. 1 (1): 3-12.
Wastitiamurti, R. A. (2018). Patofisiologi, Klasifikasi, dan Tatalaksana pada Grave’s Ophthalmopathy. Jurnal Kedokteran
Meditek. 24(65): 1-13.
Wong, H. M. (2014). Oral complications and management strategies for patients undergoing cancer therapy. The Scientific World
Journal, 2014, 1–14.
Kuliah Pakar
Skenario 3 Blok 13
Kelompok 5

Dosen Tutorial
drg. I Wayan Arya Krishnawan Firdaus, M.Kes

Dosen Pakar

Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM


Anggota Kelompok 5
Gama Putra Pamungkas 1911111210029
Nurfanza Muti Saputra 1911111210025
Muhammad Hafly Fariz Asyraq 1911111210008
Sity Noormazidah 1911111120020
Anisah Gustiandari 1911111120004
Sara Yulia Carolina Situmorang 1911111220032
Muhammad Dinil Fajr 1911111310035
Syafira 1911111320011
Husnul Mariah 1911111320013
Deswyne Diangsari 1911111320019
Frida Dillenia Contesa Garcia 1911111320042
Skenario
Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD
dirujuk oleh spesialis bedah onkologi untuk merawat
rongga mulutnya. Hal ini dilakukan sebelum melakukan
radioterapi kanker nasopharyng. Penatalaksanaan pada
rongga mulut pasien nantinya juga akan dilakukan saat
dan sesudah radioterapi. Apabila hal ini diabaikan maka
akan menimbulkan masalah di rongga mulut di kemudian
hari, seperti terjadi erosi dan sariawan saat atau setelah
radioterapi
Identifikasi dan Klarifikasi Istilah Asing

Onkologi
Jawab:
Salah satu bidang di kedokteran yang mempelajari pendeteksian
dan penanganan kanker.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Bagaimana perawatan rongga mulut sebelum dilakukan perawatan radioterapi?
Jawab:
Sebelum melakukan perawatan radioterapi, pasien perlu memeriksa rongga mulutnya untuk
mengetahui keadaan ronga mulutnya. Untuk mengetahui apakah terdapat kelainan di dalam
rongga mulut pasien sehingga dapat ditangani terlebih dahulu. Selain itu, dr/drg dapat
mengedukasi pasien agar dapat menjaga OH rongga mulutnya beberapa minggu atau sebelum
melakukan perawatan radioterafi.
2. Bagaimana perawatan rongga mulut sesudah dilakukan perawatan radioterapi?
Jawab:
Setelah dilakukan perawatan radioterapi dapat melakukan perawatan rehabilitative untuk
mengembalikan kondisi pasien setelah dilakukan tindakan dan dapat juga dilakukan pengecekan
pada kelenjar saliva agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Mencegah rekurensi kanker yang
tediagnosis pada pasien. Menginstruksikan kepada pasien untuk menjaga kondisi rongga
mulutnya seperti teratur menyikat gigi serta menjaga pola makan. Kemudian, monitoring
kesehatan rongga mulut pasien dan diperuntahkan pasien untuk rutin melakukan kunjukan ke
dokter gigi.
Identifikasi dan Analisis Masalah
3. Seberapa penting perawatan rongga mulut pada pasien dengan radioterapi?
Jawab:
Sangat penting karena radioterapi memiliki beberapa efek samping pada rongga mulut, jika tidak
ditangani maka perawatan radioterapi maupun efek sampingnya menimbulkan komplikasi
lanjutan pada pasien, misal untuk xerostomia, keadaan mulut yang kering dapat menyebabkan
sulitnya makan sehingga gizi pasien kurang dan imunnya semakin menurun, dampaknya
radioterapi sulit untuk diteruskan. Gangguan fungsi dari rongga mulut dapat mempengaruhi dari
kualitas hidup pasien, meningkatkan resiko infeksi, tertunda hingga kegagalan perawatan
radioterapi, dan biaya pengobatan semakin besar.
4. Apa saja yang dapat terjadi pada rongga mulut apabila perawatan di abaikan?
Jawab:
Apabila ada kelainan atau masalah pada RM pasien, baik sebelum dan sesudah dilakukan
radioterapi, dapat menjadi pemicu terjadi komplikasi pada keadaan pasien saat ini, dapat juga
terjadi penyebab munculnya berbagai masalah baru pada RM pasien jika sebelumnya sudah
terdapat masalah pada RM pasien, kemudian ada kemungkinan perawatan radioterapi yang
dijalani pasien tidak berhasil mengingat RM merupakan pintu masuk yang berhubungan dengan
tubuh pasien sendiri.
Identifikasi dan Analisis Masalah
5. Apakah perawatan radioterapi yang dijalani pasien memiliki efek samping di rongga mulut?

Jawab:
Ya ada, karena radioterapi menurunkan laju aliran saliva dan menyebabkan mukosa mudah rusak
akibat efek sitotoksi dari radiasi akibatnya menuju ke mukositis dan xerostomia. Xerostomia yang
dibiarkan terus menerus akan menimbulkan komplikasi berupa karies gigi dan karang gigi, selain
xerostomia, efek samping berupa oral candidiasis juga muncul karena turunnya imun tubuh
pasien saat radioterapi, maka candida albicans sebagai flora normal rongga mulut akan
meningkat.
6. Mengapa dokter spesialis bedah onkologi merujuk pasien ke poli gigi?
Jawab:
Kanker yang diderita pasien yaitu kanker nasopharynx, seperti yang kita ketahui nasopharynx
berdekatan dengan rongga mulut. Jadi spesialis onkologi konsultasi terlebih dahulu kepada dokter
gigi untuk mengetahui apakah ada kelainan atau penyakit yang terjadi pada rongga mulut pasien,
karena apabila dilakukan perawaatan radioterapi akan menyebabkan kelainan atau penyakit pada
rongga mulut yang tak tertangani bertambah parah bahkan menimbulkan komplikasi.
Identifikasi dan Analisis Masalah
7. Apakah ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh dokter sebelum melakukan perawatan
radioterapi?
Jawab:
Dokter dapat mempertimbangkan bahwa pasien dalam kondisi yang baik. Kemudian, pastikan
juga pasien dalam keadaan tidak hamil karena dikhawatirkan efek radiasi dari radiotheraphy
dapat berpengaruh terhadap janin yang dikandung. Dokter juga dapat mempertimbangkan efek
samping/ dosis radiasi saat dilakukan perawatan.

8. Apa Indikasi dan Kontraindikasi dari radioterapi?


Jawab:
Indikasi : kasus dengan pasien kanker stadium dini (belum adanya perluasan kanker atau
perluasan masih minim). Kontraindikasi : kanker / tumor tidak radiosensitive, proses kanker telah
lanjut, tidak boleh sedang mengidap penyakit sistemik, usia tidak diboleh dibawah usia 30 th,
pasien yang sedang hamil karena dapat berpengaruh buruk terhadap kandungannya, pasien yang
psikiatrik, dan pasien dengan OH yg buruk
Identifikasi dan Analisis Masalah
9. Apa saja komplikasi yang terjadi apabila tidak dilakukan perawatan pada rongga mulut?

Jawab:
Keadaan RM pasien dapat makin parah apabila sudah ada masalah sebelum dilakukan radioterapi
dan tidak segera ditangani, komplikasi setelah radio terapi terjadi xerostomia, jaringan mukosa RM
dapat terjadi peradangan, munculnya lesi dan bercak- bercak putih pada RM pasien.
Problem Tree

Raidoterapi

Efek Indikasi dan Mekanisme


Definisi Perawatan Jenis Prognosis
Samping Kontraidikasi Efek
Radioterapi Radioterapi
pada RM terhadap RM
Pra Selama Post

Langsung Tidak Langsung


Sasaran Belajar
1. Definisi dari radioterapi
2. Perawatan terhadap rongga mulut pada pra radioterapi
3. Perawatan terhadap rongga mulut selama menjalani radioterapi
4. Perawatan terhadap rongga mulut pada post radioterapi
5. Efek samping radioterapi secara langsung pada rongga mulut
6. Efek samping radioterapi secara tidak langsung pada rongga
mulut
7. Indikasi dari perawatan radioterapi
8. Kontraindikasi dari perawatan radioterapi
9. Mekanisme efek radioterapi terhadap rongga mulut
10. Jenis-jenis radioterapi
11. Prognosis dari perawatan radioterapi
01
DEFINISI
RADIOTERAPI
DEFINISI RADIOTERAPI

Radioterapi atau terapi radiasi adalah pengobatan


penyakit kanker dengan menggunakan sinar pengion.
Sinar pengion dapat berupa sinar-X dan sinar gamma,
atau dari kelompok partikel Alfa, Beta, dan Neutron.
Pengobatan ini bertujuan untuk menghancurkan sel-
sel tumor dengan memberikan dosis yang maksimal
pada volume target penyinaran tanpa menyebabkan
kerusakan yang berarti pada jaringan normal.

(Mayarani, et al., 2018; Sigarlaki, et al., 2019).


2.1 PERAWATAN RONGGA
MULUT PRA RADIOTERAPI
PERAWATAN RONGGA MULUT PRA RADIOTERAPI
● Melakukan pemeriksaan lengkap pada mukosa termasuk gigi geligi dan
periodonsium (pemeriksaan klinis dan radiografi mulut penuh), dan Vitalitas gigi
● Melakukan diagnosis dan pengobatan
● Melakukan pencabutan pada gigi yang menunjukkan Infeksi parah pulpa atau
periodontal pada fase praradiasi sehingga dapat mengurangi risiko
osteoradionekrosis
● Menginstruksikan untuk melakukan pencegahan secara mandiri di rumah
● Pemberian obat sitoprotektif juga dapat dilakukan untuk mencapai radioproteksi.
● Melakuakan perawatan kedokteran gigi harus sudah selesai 2 minggu sebelum
perawatan kanker dimulai,nJika waktu yang ada terbatas maka prioritas
perawatan adalah infeksi, ekstraksi, periodontal, dan sumber iritasi
● Kerjasama yang baik antara ahli onkologi anak dan dokter gigi anak
● Memberikan saran mengenai efek samping radioterapi di rongga mulut kepada
pasien

(Gupta et al., 2015; National Cancer Institute, 2019; Laksmiastuti SR, 2015).
2.2 PERAWATAN RONGGA
MULUT SELAMA
RADIOTERAPI
PERAWATAN RONGGA MULUT SELAMA
RADIOTERAPI
Tujuan penatalaksanaan oral selama radioterapi adalah untuk mencegah
1. Menggunakan pilocarpine hidroklorida
2. Perawatan mulut oleh dokter gigi setidaknya seminggu sekali sampai radioterapi selesai dilakukan
3. Penggunaan gel fluoride dapat membantu meminimalkan kerusakan gigi
4. Fisioterapi oral konvensional dianjurkan selama dan setelah radiasi
5. Berkomunikasi dengan ahli onkologi
6. Memonitor dan deteksi dini keadaan rongga mulut
7. Mengedukasi pasien tentang menjaga kelembaban dan kebersihan rongga mulut
8. Mencegah sedapat mungkin terhadap terjadinya trauma
9. Merawat semua kelainan yang timbul di rongga mulut akibat perawatan kanker
10. Pemberian analgesik untuk nyeri di rongga mulut

(Adam et al., 2012; Laksmiastuti SR, 2015; Kawashita et al.,2020).


2.3 PERAWATAN RONGGA
MULUT POST
RADIOTERAPI
PERAWATAN RONGGA MULUT POST RADIOTERAPI

Perawatan ini bertujuan untuk mengatasi efek samping pada rongga mulut post
radioterapi, diantaranya:
1. Lakukan perawatan rutin ke dokter gigi tiap 4-8 minggu selama 6 bulan pertama
(disesuaikan kebutuhan pasien).
2. Periksa kondisi mulut setiap hari, jika ada bercak putih, laporkan dengan segera.
3. Menjaga kelembaban rongga mulut (konsumsi cairan adequate 2-3liter/hari,
perbanyak minum pada siang hari, dan gunakan humidifier).
4. Bersihkan mulut, gigi, gusi, dan lidah 2x sehari dengan menggosok gigi (gunakan
sikat gigi ekstra lembut), gunakan pasta gigi berfluoride dan gel fluoride (sesuai
saran dokter).
5. Hindari trauma pada rongga mulut, konsumsi makanan yang mudah dikunyah dan
ditelan, gigit dan kunyah makanan secara perlahan (hindari makanan tajam/renyah,
makanan panas, pedas, asam, hindari konsumsi rokok dan alkohol).
6. Hindari makanan dan minuman yang mengandung gula berlebih (minuman
bersoda, permen karet).
7. Pemantauan ketat dan manajemen yang cepat berpengaruh terhadap penurunan
komplikasi kronis yang mungkin terjadi.
(Ahmad O & Mukhtar A, 2017).
03
EFEK SAMPING
RADIOTERAPI
EFEK LANGSUNG PADA RONGGA MULUT

01 Terjadinya proses ionisasi


atom-atom pada DNA
kromosom dalam nukleus
(inti sel).
03 Terjadi
(mukositis,
ketajaman
penurunan
perubahan

alat
akut
penurunan
pengecap,
produksi saliva,
disfungsi alat pengecap,
malnutrisi, gangguan gigi geligi.

Efek sitoksik, menyebabkan

02 stress
meningkatkan
reactive oxygen
oksidatif,
produksi
species
04 Pasien kemoterapi dosis standar
ber-risiko
mukositis
40%
oral,
mengalami
pasien
kemoterapi dosis tinggi ber-
(ROS) dan radikal bebas risiko 85%-95% mengalami
sehingga menyebabkan mukositis oral.
kerusakan DNA sel epitel
mukosa oral.
(Dwikuntari L, 2017; Arumsadu AG, 2021; Sigarlaki ED, 2019; Sinaga PE, 2019; Hasibuan C, 2019).
EFEK TIDAK LANGSUNG PADA RONGGA MULUT
1 2 3
Radiasi terhadap Penyakit
Disfungsi kelenjar ludah / demineralisasi karies periodontal
xerostomia permanen gigi

4 5 6
Trismus Perkembangan
deformitas
Nekrosis jaringan lunak / maksilofasial
Osteoradionekrosis (ORS)
(Ahmad O, 2017; Brook I, 2020; Brailo V, 2017).
04
INDIKASI &
KONTRAINDIKASI
RADIOTERAPI
INDIKASI RADIOTERAPI
Pemilihan radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring
(KNF) ialah mempertimbangkan pemilihan radiasi sebagi
pengobatan pilihan pertama, secara histopatologis
kebanyakan KNF (75%-95%) dari jenis karsinoma
undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non
keratinisasi (WHO tipe 2), tergolong radioresponsif faktor
anatomi nasofaring terletak pada dasar tengkorak dengan
banyak organ vital, dan penyebaran sel kanker daerah
kepala-leher, menyebabkan pembedahan radikal dengan
tujuan kuratif sangat sulit dikerjakan, dan kemoterapi
pada KNF masih memiliki hasil kontroversi.
(Edgar DS, 2019).
INDIKASI RADIOTERAPI
Indikasi lain radioterapi:
● Kasus dengan lesi terletak dipermukaan yang bila diangkat dengan pembedahan
meninggalkan bekas luka yang besar
● Kasus pasien dengan kontraindikasi anastesi
● Kasus dengan pasien kanker stadium dini yang perluasan masih minim
● Pasien menolak operasi atau kontraindikasi dengan tindakan operasi
● Kasus dengan lesi terletak di permukaan yang bila diangkat dengan pembedahan
meninggalkan bekas luka yang besar (lesi superfisial dengan ukuran besar)
● Post operasi dengan gross residu, batas sayatan positif, close margin (≤ 5mm) invasi
perineural, invasi tulang rawan, rekuren dan metastasis kelenjar getah bening.

(Fatmasari, 2017).
KONTRAINDIKASI RADIOTERAPI

● Usia di bawah 35 tahun


● Diabetes melitus (DM) dan hipertensi yang disertai dengan retinopati
● Pada pasien muda beresiko tinggi mengalami dermatitis dan scars serta dapat memicu
kanker pada usia muda
● Tumor tidak radiosensitif
● Tumor telah metastatis
● Pasien dengan connective tissue diseases atau kondisi genetik yang dapat
menyebabkan kanker kulit (xeroderma pigmentosum, epidermodysplasia verruciformis,
dan basal cell nevus syndrome).
● Gangguan ginjal dan gangguan pendengaran
● Radioterapi tidak bisa dilakukan di semua kondisi, terutama pada masa kehamilan. Ibu
hamil tidak boleh menjalani radioterapi, karena terapi ini dapat berakibat fatal pada
janin di dalam kandungan.

(Fitriatuzzakiyyah N et al, 2017; Kurnia B et al, 2021; Medscape, 2020; Wastitiamurti RA, 2018)
Mekanisme Efek Radioterapi Terhadap Rongga
Mulut
Kecepatan proliferasi sel dan penggantian epitel menyebaban mukosa mudah rusak akibat efek sitotoksi
dari radiasi. Perubahan atropik pada epitel mukosa oral terjadi saat total dosis radiasi mencapai level 1600-2200
cGy dengan pemberian sehari 200 cGy. Mekanisme kerusakan kelenjar yang dipicu oleh radiasi belum diketahui
dengan pasti, tetapi setidaknya ada tiga mekanisme yang diduga dapat menjelaskan fenomena tersebut, yaitu:

kerusakan langsung pada kerusakan sitotoksik pada


01 DNA sel kelenjar saliva
oleh proses oksidatif yang
dipicu oleh radiasi.
02 sel yang dipicu oleh
pelepasan bahan toksik
dari sel itu sendiri.

03
induksi radiasi apoptosis
oleh mekanisme intraselular

(Traktama DO & Sufiawati I, 2018; Hasibuan C, et al., 2019)


JENIS-JENIS RADIOTERAPI
Terapi radiasi sinar eksternal Brachytherapy
(EBRT) (radiasi internal)

Jenis terapi radiasi ini menggunakan sinar-X Brakiterapi merupakan salah satu alternatif
yang ditujukan ke tumor dan bentuk terapi booster untuk melengkapi radiasi eksterna.
radiasi yang paling umum untuk NPC. Contoh brakiterapi pada kanker nasofaring
Paling sering, perawatan radiasi diberikan 5 antara lain brakiterapi intrakaviter nasofaring
hari seminggu selama sekitar 7 minggu. dan brakiterapi interstisial dengan jarum
radium untuk KGB leher.

(Sinambela A, 2018; Dwikuntari L, 2017)


PROGNOSIS RADIOTERAPI

Ekspresi P53 Keagresifan Tumor Jenis kelamin Gaya Hidup dan


ekspresi p53 yang positif Stadium klinis, keterlibatan kelenjar dan Ras riwayat penyakit
akan memberikan prognosis limfatik regional, dan tatalaksana Penelitian menunjukkan Konsumsi akohol dan merokok
yang lebih baik terhadap serta adanya metastasis jauh bahwa angka harapan hidup dapat menurunkan keefektifan
hasil terapi radiasi pada merupakan faktor penting dalam pada pasien berjenis kelamin terapi dan meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. penentuan prognosis yang berkaitan perempuan lebih baik terjadinya pertumbuhan tumor
dengan angka harapan hidup secara daripada laki-laki. Penelitian yang semakin besar. Pada
keseluruhan. didapatkan data bahwa angka pasien anemia, Penurunan
harapan hidup pada orang ras kadar Hb dapat menjadi faktor
kulit putih lebih baik prognosis yang penting dalam
dibandingkan ras kulit hitam. penatalaksanaan radioterapi

(Tejosukmono dan Suharto, 2012; Faisal, 2014)


DAFTAR PUSTALA
Ahmad O,Mukhtar A. 2017. Cancer: Review Of The Literature. : Dental Care During Radiotherapy In Head And Neck
Cancer. International Journal Of Oral Health And Medical Research; 4(4): 58-60. Alvarez, P. B., Sayains,
M.

Arumsadu Ag, Woroprobosari, Nr,Sari Rk, Mujayanto R. 2021. Potential Of Ozone Water To Reduce The Severity Of
Oral Mucositis In Patients Post Head And Neck Radiotherapy. Jurnal Medali. 3(1): 12-19.

Brailo V, Boras VV, Juras DV, Rogulj AA, Brzak BL, Alajbeg I. 2017. Oral side effects of head and neck irradiation. Head
and Neck Cancer: Diagnosis and Management of 111.

Brook I. 2020. Late side effects of radiation treatment for head and neck cancer. Radiation oncology
journal. 38(2): 84–92.

Dwikuntari L, Setijadi Ar. 2017. External Beam Radiation Therapy Pada Kanker Paru (A Literature Review). Berkala
Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 2(2): 375-392.

Edgar DS, Mukhlis I, Eka C. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. MEDULA, Medicalprofession
Journal of Lampung University. 8(2): 23-26.

Faisal HH. 2014. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prognosis.
SMF Telinga Hidung Tenggorok Universitas Indonesia; 2(1): 33-39.
DAFTAR PUSTALA
Fatmasari, Djakaria HM. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel Basal. Radioterapi & Onkologi Indonesia. 8(2): 93-97.

Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar Radioterapi dan
Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia: 6(4).

t - A Systematic Review. National Journal Of Maxillofacial Surgery. 6(2): 160-166.

Hasibuan C, Et Al. 2019. Perawatan Mulut Untuk Pencegahan Mukositis Oral Pada Penderita Kanker Anak Yang
Mendapat Kemoterapi. Jurnal Cdk; 46(6): 432-435.

Kawashita Y, Sakiko S, Masahiro U, Toshiyuki S. 2020. Oral Management Strategies For Radiotherapy Of Head And
Neck Cancer. Jpn Dent Sci Rev; 56(1): 62–67.

Kurnia B, Setiani L, Safarianti. 2021. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Tonsil. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. 21(2): 184-188.

Laksmiastuti Sr, Tehuteru Es. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi Pada Pasien Kanker Anak.
Indonesian Journal Of Cancer. 9(4): 176-177.

National Cancer Institute. 2016. Radiation Therapi And You. Support For People With Cancer. Department Of Health
& Human Services: Usa.
DAFTAR PUSTALA
Mayarani, et al. 2018. Analysis Of Rooftop Skyshine Radiation Exposure With Angle Of Gantry Linear Accelerator 180°
In Radiotherapy Unit Of Pertaminasanitas: Jurnal Teknologi Dan Seni Kesehatan; 9(1): 24 – 34.

Medscape. 2020. What are The Contraindications for Radiation Therapy to Treat Basal Cell Carcinoma (BCC).

National Cancer Institute. 2019. Oral Complications Of Chemotherapy And Head/Neck Radiation Patient Version. 1-
23.

Sigarlaki Ed, Imanto M, Cania E. 2019. Tatalaksana Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Medula; 8(2): 23-26.

Sinaga Pe, Jamnasi J, Pasaribu Sm. 2019. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penurunan Body Mass Index Sebelum
Dan Sesudah Radioterapi Pada Pasien Kanker Kepala Leher. Radioterapi & Onkologi Indonesia. 10(2): 36-42.

Sinambela A, Djakaria HM. 2018. Revolusi Teknik Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Radioterapi & Onkologi Indonesia; 9(1):
20-28.

Tejosukmono A, Suharto A. 2012. Hubungan Ekspresi p53 dengan Prognosis Hasil Terapi Radiasi pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal
Mutiara Medika; 12(3): 10-16.

Traktama DO, Sufiawati I. 2018. Keparahan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher akibat kemoterapi dan/ atau radioterapi.
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 52-663.

Wastitiamurti RA. 2018. Patofisiologi, Klasifikasi, dan Tatalaksana pada Grave’s Ophthalmopathy. Jurnal Kedokteran
Meditek. 24(65): 1-13.
KELOMPOK 2
RADIOTERAPI
Dosen Pembimbing :drg. M. Aminullah Majedi
Dosen Pakar : Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp. PM
ANGGOTA
1. Fatimah Maulideya 1911111220009
2. Rizqiqa Harini 1911111220012
3. Indah Lestari Puspaningtias 1911111220024
4. Sri Meidita Achmad 1911111220017
5. Diba Eka Diputri 1911111220021
6. Siti Musrifatuttazkiyah 1911111220018
7. Eugenia Clairine 1911111120008
8. Tom Christian 1911111310029
9. Afina Ridoti 1911111320002
10. Aurelia Marsha Denta Oktavia 1911111320009
11. Amilia Ariyani 1911111320032
12. Resha Yusnida 1911111320033
SKENARIO
Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD dirujuk oleh
spesialis bedah onkologi untuk merawat rongga mulutnya. Hal ini
dilakukan sebelum melakukan radioterapi kanker nasopharyng.
Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien nantinya juga akan dilakukan
saat dan sesudah radioterapi. Apabila hal ini diabaikan maka akan
menimbulkan masalah di rongga mulut di kemudian hari, seperti terjadi
erosi dan sariawan saat atau setelah radioterapi.
Identifikasi dan klarifikasi istilah asing
- Cabang ilmu kedokteran yang berfokus
Onkologi pada kanker, misalnya seperti proses
- bidang ilmu kedokteran yang berfokus terjadinya kanker, diagnosis,
pada deteksi dan penanganan kanker. pengobatan, serta pencegahannya.

- -Onkologi bidang ilmu dokter spesialis


erosi kanker yang akan mendiagnosa kanker
menjadi tiga jenis yaitu jinak, praganas
- terjadi demineralisasi jaringan keras gigi dan ganas serta berkewangan untuk
karena reaksi kimia. melakukan penanganan terapi dan
- erosi adalah suatu pengikisan pada pengobatan pada pasien penderita
epitel dalam rongga mulut. kanker.
Identifikasi dan analis masalah
1. Apa indikasi dan kontraindikasi dalam dilakukannya radioterapi ?
o indikasinya yaitu apabila ada massa yang masih bisa diobati dengan radioterapi tanpa
pembedahan, kontra Indikasi yaitu pada Ibu hamil karna dapat mengganggu pertumbuhan
janin

o Indikasinya berupa kasus dengan lesi yang terletak di permukaan yang apabila dilakukan
pembedahan akan meninggalkan bekas luka yang besar.

o Indikasi yaitu radioterapi dapat dilakukan pada kanker atau tumor yang belum lama terjadi
(kanker/tumor dini yang masih kecil). Kontraindikasinya yaitu apabila kurang dari
seminggu pernah dilakukan tindakan pencabutan gigi atau operasi bedah pada rongga
mulut dan pada rongga mulut yang memiliki oral hygine buruk dan apabila di dalam
rongga mulut tersebut terdapat karies karena radioterapi dapat mempengaruhi gigi karies
tersebut sehingga semakin parah karies tersebut.

o Indikasi yaitu pada pasien yang memiliki kanker yang tergolong ganas atau stadium
lanjutan dan radioterapi dilakukan untuk menekan metastasis atau penyebaran pada kanker
tersebut
2. Apa efek samping dari radioterapi pada rongga mulut?
o Penurunan jumlah saliva (mulut kering/xerostomia), lesi mukosa, lesi kulit, demam, lemah/lesu, mual, muntah.
o Disfungsi indra pengecap, disfungsi kelenjar saliva, dan mucositis oral.
o Burning mouth syndrome.
o Dapat terjadinya erosi dan sariawan saat atau setelah terapi, dan ketidakseimbangan kondisi flora RM dapat
menyebabkan oral candidiasis, karies atau juga berpengaruh pada bagian periodontal pasien.
3. Apa yang dilakukan oleh Dokter saat/selama melakukan tatalaksana radioterapi ?
o Mengkomunikasikan dgn ahli onkologi, kemudian melakukan perawatan seluruh kelainan yang muncul pada
rongga mulut pasien akibat radioterapi, jika pasien mulut kering (xerostomia) maka dapat memberikan
perawatan untuk bibir seperti vaseline, dan memberikan pasien obat analgesik untuk nyeri pada rongga mulut
pasien.
o Melakukan perawatan pada kondisi hiposalivasi pada rongga mulut pasien akibat dari radioterapi dengan
melakukan pemberian obat untuk merangsang aktivitas kelenjar saliva dan juga bisa melakukan pemberian
analgesik dan antijamur oral apabila timbul candidasis oral pada rongga mulut pasien karena oral trush sering
terjadi pada pasien kanker yang melakukan radioterapi.
o Dokter juga wajib menggunakan APD, karena radiasi yang digunakan untuk membunuh sel kanker memiliki
dosis yang tinggi dan cukup berbahaya apabila dokter tidak menggunakan APD yang tepat.
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan tindakan perawatan pada rongga mulut
pasien ?

o Bisa mengalami gagal pernapasan dan mengganggu organ disekitanya, karena apabila tidak dilakukan
radioterapi si kanker tidak dapat diketahui. Dapat merugikan dan membuat penundaan saat terapi.

o Tindakan radioterapi dilakukan menggunakan penyinaran yang dosisnya tinggi sehingga dapat
mengganggu sel normal dalam tubuh pasien. Dalam rongga mulut misalnya dapat menyebabkan
mukositis, gangguan kelenjar saliva, kandidiasis, serta karies radiasi. Kemudian jika sebelumnya pasien
telah mengalami karies, jika tidak dilakukan perawatan terlebih dahulu pada kondisi tersebut sebelum
melakukan radioterapi, maka hal tersebut dapat memperparah kondisi pada rongga mulutnya sehingga
akan lebih sulit untuk ditangani.

o Sel kanker apabila tidak ditangani dengan segera akan dapat menyebar dengan luas. Ukuran yang
semakin besar dapat menekan saraf, tenggorokan, dan organ yang lainnya. Selain itu, apabila OH pada
pasien buruk akan mempercepat penyebaran bakteri dan memudahkan penyakit lain berkembang karena
kesehatan tubuh pasien.

5. Apa hubungan antara radioterapi dengan kondisi rongga mulut


pasien?
● Radioterapi dapat menimbulkan efek samping yang dapat muncul di
rongga mulut sehingga perlu dilakukan perawatan pada rongga
mulut untuk mencegah terjadinya rekurensi penyakit yang lebih
parah pada rongga mulut pasien yang akan menjalani radioterapi.
● Selain mencegah rekurensi dengan dilakukan pemeriksaan dan
perawatan RM pasien mencegah timbulnya komplikasi atau
penyakit baru yang akan mengganggu proses pengobatan pasien
6. Perawatan apa yang dapata dilakukan sebelum perawatan radioterapi ?
o Melakukan perawatan pada kelainan kelainan yang ada pada rongga mulut, misalnya melakukan restorasi dan
penumpatan gigi karies, melakukan scaling, melakukan ekstraksi pada gigi yang mempunyai prognosis yang
buruk. Mengedukasi dan mengingatkan pasien mengenai cara menjaga kebersihan rongga mulut dengan baik
dan benar, memberitahu efek samping/komplikasi pada rongga mulut yang mungkin terjadi setelah
dilakukannya radioterapi.

o Sebelum dilakukan tindakan radioterapi, maka dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu ke rongga mulut pasien
untuk mengetahui apakah ada kelainan atau karies agar dapat ditangani terlebih dahulu. Selain itu, dr/drg dapat
edukasikan kepada pasien agar menjaga OH rongga mulutnya beberapa minggu atau beberapa waktu sebelum
tindakan radioterapi yaitu dengan menjaga kebersihan rongga mulut dengan berkumur-kumur dengan obat
kumur yang mengandung fluor untuk mencegah sensitivitas jaringan keras gigi saat radioterapi dan bahan
bakteriostatik untuk mencegah mikroorganisme patogen dalam rongga mulut, rutin menyikat gigi, edukasi
kepada pasien agar menghindari makanan yang bersifat kariogenik seperti permen, coklat, dsb karena
mengandung gula yang tinggi dan dapat menyebabkan karies, serta mengarahkan pasien agar dapat memilih
pasta gigi dan obat kumur yang memiliki aksi bakterostatik dan antibakteri sehingga meminimalisir dampak
yang ditimbulkan akibat radioterapi.
8. Apa perawatan setelah dilakukan
radioterapi?

7. Apa tujuan dilakukannya radioterapi o Dapat dilakukan perawatan rehabilitatif untuk


mengembalikan kondisi pasien setelah
pada pasien tersebut?
tindakan kuratif dan dapat dilakukan tindakan
o Dilakukan radioterapi dengan tujuan dapat perawatan lainnya seperti melakukan
meringankan gejala pada kanker stadium perawatan rongga mulut seperti pengecekan
lanjut, dan untuk menyusutkan ukuran tumor kelenjar saliva agak tidak terjadi komplikasi
pada pasien yang mana nanti selanjutnya agar lebihlanjut.
bisa dilakukan pengangkatan dalam prosedur
operasi serta untuk membunuh dan
9. Apakah ada pertimbangan dari dokter
sebelum melakukan perawatan radioterapi?
membersikan sel-sel kanker setelah prosedur
pengangkatan agar kanker tidak kembali. o Melihat apakah pasien dalam keadaan stabil
atau tidak, dalam keadaan hamil atau tidak, dan
apakah kanker yang diderita pasien bisa diatasi
cukup dengan radioterapi atau perlu
pembedahan.
Definisi

PROBLEM Indikasi dan Kontra


Indikasi

Klasifikasi

TREE
Radioterapi
Mekanisme Sebelum Radioterapi

Perawatan Saat Radioterapi

Sesudah Radioterapi

Umum
Efek Samping
Rongga Mulut
Komplikasi

Prognosis

Hubungan Perawatan
RM dan Radioterapi
Sasaran belajar
1. Menjelaskan definisi 6. Menjelaskan Perawatan
radioterapi Sebelum Radioterapi
11. Menjelaskan
2. Menjelaskan indikasi 7. Menjelaskan Perawatan kekurangan radioterapi
radioterapi Saat Radioterapi
12. Menjelaskan prognosis
3. Menjelaskan 8. Menjelaskan Perawatan radioterapi
kontraindikasi radioterapi Setelah Radioterapi
13. Menjelaskan hubungan
4. Menjelaskan klasifikasi 9. Menjelaskan efek perawatan rongga
radioterapi samping mulut dan radioterapi
5. Menjelaskan Mekanisme 10. Menjelaskan Kelebihan
Radioterapi Radioterapi
01
DEFINISI PERAWATAN Radioterapi
Definisi radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas
pengobatan yang menggunakan radiasi
pengion untuk merusak materi genetik dari
sel kanker, terutama DNA, sehingga sel
mengalami kematian atau kehilangan
kemampuan berproliferasi
(Sinaga, 2019).
02
INDIKASI PERAWATAN Radioterapi
Indikasi radioterapi
-Kasus pasien dengan kontraindikasi anastesi.
-Pasien kanker stadium dini yang perluasan masih
- tumor yang berada disekitar struktur vital
minim.
seperti batang otak dan medula spinalis.
-Terjadi kontraindikasi dengan tindakan operasi.
-Kasus dengan lesi terletak di permukaan yang bila - Faktor anatomi nasofaring yang terletak di
dasar tengkorak dengan banyak organ vital
diangkat dengan pembedahan meninggalkan
dan pola menyebaran sel kanker di daerah
bekas luka yang besar yaitu lesi superfisial
kepala-leher yang menyebabkan
dengan ukuran besar.
pembedahan radikal untuk tujuan kuratif
-Post operasi dengan gross residu, batas sayatan sangat sulit dikerjakan (Edgar, 2019).
positif, close margin (≤ 5 mm) invasi perineural,
invasi tulang rawan, rekuren dan metastasis
kelenjar getah bening (Fatmasari, 2017).
03
kontraINDIKASI PERAWATAN Radioterapi
Kontraindikasi tatalaksana radioterapi
1. Riwayat radiasi di tempat yang sama
2. Lesi pada daerah insufisiensi vaskular
3. Bagian tengah dari kelopak mata atas
4. Kulit pada daerah tulang belakang

(Fatmasari, 2017)
Kontraindikasi radioterapi
Kontraindikasi radioterapi dibagi menjadi 2 kategori, yaitu relative dan pasti

1. Relative: usia muda (dibawah 40-50 tahun), anggota tubuh bagian bawah,
penyembuhan luka yang buruk, memiliki penyakit autoimun
(scleroderma/ SLE), pasien tidak koperatif (demensia, atau penyakit
berkaitan dengan gerak)
Kontraindikasi radioterapi
2. Kategori Pasti: adanya riwayat radioterapi dalam waktu dekat, sindrom
radioterapi hipersensitivitas (xeroderma pigmentosum dan sindrom
gorlin) (Singh KBG, Veness MJ., 2019).
04

Klasifikasi PERAWATAN Radioterapi


Klasifikasi

Tujuan Waktu
Terapi Terapi
Klasifikasi Radioterapi
● Klasifikasi Berdasarkan Tujuan Terapinya
A. Terapi kuratif biasanya berbentuk terapi tunggal untuk penyembuhan
suatu kanker, contohnya digunakan dalam kasus limfoma Hodgkin tahap
awal, kanker nasofaring, beberapa kanker kulit, dan kanker glotis awal.
B. Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara
menghilangkan gejala-gejala kanker dengan menerapkan dosis radiasi
paliatif. Penerapannya antara lain pada kasus maternal otak dan tulang
serta sindroma venacava superior. (Fitriatuzzakiyyah et al., 2017)
Klasifikasi Radioterapi
● Klasifikasi Berdasarkan Tujuan Terapinya
C. Terapi profilaksis (preventif) merupakan terapi yang bertujuan untuk
mencegah kemungkinan metastasis atau kejadian berulang melalui penerapan
radioterapi, contohnya adalah whole-barin radiotherapy untuk leukemia
limfoblastik akut dan kanker paru-paru sel kecil.
(Fitriatuzzakiyyah et al., 2017)
KLASIFIKASI RADIOTERAPI
Klasifikasi Berdasarkan Waktu Penggunaannya
1. Terapi Neoadjuvan, yaitu radioterapi yang diberikan sebelum operasi definitif
disebut radioterapi neoadjuvan. Radiasi preoperatif ditujukan untuk mengecilkan
ukuran tumor, sehingga tumor dapat lebih mudah untuk dioperasi dan terapi
neoadjuvan ini dapat mengurangi rekurensi lokal.
2. Terapi Adjuvan, yaitu radioterapi dapat juga diberikan setelah operasi. Terapi ini,
dapat mengurangi kemungkinan rekurensi penyakit dan meningkatkan harapan hidup
pada pasien kanker. (Septina et al., 2020)
05

Mekanisme Radioterapi
Konsep dasar radioterapI
Terapi ini bekerja dengan cara
merusak DNA sel kanker yang
kemudian menghentikan
pertumbuhannya

Radioterapi adalah terapi yang GOALS


ditujukan untuk mengecilkan • Kerusakan DNA tergantung pada dosis dan
kecepatan dosis
massa tumor atau • Sebagian besar radioterapi menggunakan
menghilangkan residual sel-sel radiasi sinar X dan gamma yang memiliki daya
tumor. rusak terhadap DNA yang hampir sama.

(Fitriatuzzakiyyah et al., 2017; Darlina et al., 2021).


Mekanisme radiasi membunuh sel
PHASE 2
sedangkan ionisasi tidak langsung umumnya PHASE 4
disebabkan oleh radiasi elektromagnetik
dengan cara membentuk elektron sekunder/ Kerusakan pada untai ganda
radikal bebas yang akan berinteraksi dengan seringkali menyebabkan
DNA menyebabkan kerusakan kematian sel

PHASE 1 PHASE 3 PHASE 5


Kerusakan karena ionisasi langsung Kerusakan ini dapat berupa Semua perubahan ini dapat
biasanya disebabkan oleh radiasi partikel single strand breaks (SSB) menyebabkan kematian sel
yang terjadi karena energi kinetik partikel dan double strand breaks dan kegagalan mitosis.
dapat langsung merusak struktur atom (DSB)
jaringan biologi yang dilewatinya
(Fitriatuzzakiyyah et al., 2017; Darlina et al., 2021).
06
Perawatan Sebelum Radioterapi
Perawatan yang dilakukan sebelum melakukan radioterapi yaitu:

1. Memberikan informasi tentang radioterapi dan potensi adanya komplikasi kesehatan


rongga mulut kepada pasien.
2. Mengevaluasi komprehensif kepala dan leher pasien yang meliputi pemeriksaan klinis gigi
dan mengeliminasi penyakit mulut harus dilakukan sebelum dilakukan radioterapi.
3. Melakukan pemeriksaan radiografi intraoral untuk menentukan adanya kelainan
periapikal, periodontal, dan penyakit gigi lainnya. Berdasarkan informasi ini, dokter gigi
dapat merencanakan perawatan rongga mulut untuk mengendalikan masalah gigi
sebelum melakukan terapi radiasi.

(Garden et al., 2012; Kumar et al., 2017; Villa et al., 2017; Clough et al., 2018).
Perawatan yang dilakukan sebelum melakukan radioterapi yaitu:

4. Merencanakan perawatan rongga mulut harus dirancang untuk memperbaiki restorasi yang
overhang, tepi yang kasar atau tajam pada gigi, dan cacat lain yang dapat menyebabkan iritasi
jaringan lunak. Pasien yang menggunakan gigi tiruan dan peralatan ortodontik yang berpotensi
menimbulkan trauma lokal pada rongga mulut harus disesuaikan atau dilepas. Setiap sumber
potensial infeksi mulut harus diidentifikasi dan dihilangkan terlebih dahulu.
5. Pasien yang memiliki prognosis buruk seperti karies gigi yang luas dan penyakit periodontal
tahap lanjut perlu dilakukan ekstraksi gigi. Ekstraksi pra-radiasi dilakukan 10-21 hari sebelum
dilakukan radioterapi untuk menghindari resiko osteoradionekrosis (ORN).
6. Semua operasi besar harus dilakukan 4-6 minggu sebelum radioterapi

(Garden et al., 2012; Kumar et al., 2017; Villa et al., 2017; Clough et al., 2018).
07
Perawatan Saat Radioterapi
Perawatan yang dilakukan saat radioterapi yaitu:

1. Berkomunikasi dengan dokter spesialis onkologi.


2. Melakukan pengecekan rutin untuk mendeteksi dini keadaan rongga mulut
seperti apakah adanya mucositis oral, infeksi, karies, dan kandidiasis oral.
3. Mengedukasi pasien tentang menjaga kelembaban dan kebersihan mulut.
Kebersihan mulut yang baik selama dan setelah terapi sangat penting untuk
meningkatkan kenyamanan mulut dan untuk mengurangi risiko patologi
mulut.
4. Merawat semua kelainan yang timbul pada rongga mulut akibat perawatan
kanker.
5. Pemberian analgesik untuk nyeri ketika terdapat rasa sakit di rongga mulut

(Garden et al., 2012; Vlaho et al., 2017; Traktama et al., 2018).


08
Perawatan Sesudah Radioterapi
1. Menjaga OH, mengaplikasikan topical flourides, diet makanan kariogenik, dan tindakan
koperatif pasien dapat mengurangi resiko terjadi karies.
2. Penggunaan pasta gigi berflouride.
3. Konsumsi kalsium dan fosfat diduga dapat meningkatkan kondisi rongga mulut dengan
remineralisasi sebagai mekanismenya.
4. Mengkonsumsi makanan yang bakteriostatik serta senantiasa berkumur untuk menjaga
kebersihan rongga mulut.
5. Pemeriksaan rutin setiap 4-8 minggu selama 6 bulan pertama (selanjutnya disesuaikan
dengan kebutuhan pasien).
6. Hindari tindakan bedah invasif termasuk ekstraksi gigi (jika diperlukan, pertimbangkan
penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah operasi).

(Kawashita Y, 2020; Akarslan Z, 2017; Symonds et al., 2019; Mallya & Lam, 2018)
7. Penanganan mulut kering dengan minum, saliva substitutes dan permen bebas gula.
8. Latihan otot rahang setidaknya 3x sehari (minimal 6 bulan pertama setelah radioterapi).
9. Dapat dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasan yang baru setelah 3-6 bulan pasca radioterapi
(menghindari iritasi jaringan atau trauma)
10. Memelihara berat badan dan nutrisi karena tubuh perlu nutrisi agar bisa recovery dengan
baik.
11. Pada pasien kanker nasopharynx seperti yang ada pada skenario, setelah perawatan harus
difollow up dengan kontrol endoskopik dan palpasi leher untuk mengetahui respon terhadap
treatment.

(Kawashita Y, 2020; Akarslan Z, 2017; Symonds et al., 2019; Mallya & Lam, 2018)
12. Jika terjadi mucositis, tindakan yang dapat dilakukan untuk mengobati hal tersebut yaitu dengan
menjaga OH pasien dan pemberian anastesi topical apabila pasien merasakan sakit saat ingin
makan.
13. Apabila muncul tanda inflamasi setelah pengobatan dapat dilakukan biopsy untuk memeriksa
apakah ada diferensiasi sel mukosa oral pasien.
14. Apabila muncul tanda inflamasi setelah pengobatan dapat dilakukan biopsy untuk memeriksa
apakah ada diferensiasi sel mukosa oral pasien.

(Kawashita Y, 2020; Akarslan Z, 2017; Symonds et al., 2019; Mallya & Lam, 2018)
09

Efek Samping radioterapi


Efek samping pada rongga mulut
dan efek samping secara umum
Efek samping RADIOTERAPI Pada rongga mulut
Mukositis oral
Mukositis oral dapat menyebabkan rasa nyeri
odynodysphagia, dysgeusia (fungsi pengecapan menurun).
Pasien mengalami kesulitan makan makanan padat. Hal ini
dapat mengakibatkan malnutrisi, dehidrasi, anoreksia,
kaheksia.

(Traktama et al., 2018).


(Traktama et al., 2018).
Efek samping RADIOTERAPI Pada rongga mulut
Kandidiasis oral
Penyakit bentuk infeksi oportunistik, terjadi karena adanya kesempatan
untuk muncul terutama pada saat tubuh mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Lesi kandidiasis oral dapat berupa bercak putih atau lesi
eritem yang terdapat pada mukosa mulut. Terdapat keluhan nyeri dan
panas dalam rongga mulut, yang dapat mempengaruhi fungsi makan,
minum, dan bicara.

(Traktama et al., 2018).


Efek samping RADIOTERAPI Pada rongga mulut
Xerostomia
Radioterapi untuk karsinoma sel skuamosa orofaring tahap
lanjut menyebabkan hiposalivasi berat dengan perubahan pH
saliva dan kapasitas buffer. Disfungsi kelenjar saliva
dikarenakan atrofi kelenjar yang kronis, kemudian
berhubungan dengan kematian sel stem dan beberapa respon
akibat radiasi dengan adanya stroma pada fibrovaskuler dan
kerusakan vaskuler yang spesifik (endarteritis)

(Traktama et al., 2018).


Efek samping RADIOTERAPI Pada rongga mulut
Karies
Setiap gigi di bidang yang diradiasi selama terapi kanker mulut
berisiko berkembang karies radiasi, yang dapat dengan cepat
berkembang menjadi penyakit periapikal. Selain itu, penurunan
aliran saliva dan pergeseran flora mikroba rongga mulut ke jenis
yang lebih kariogenik juga dapat menyebabkan karies lebih parah.

(Yunus, 2016; Villa & Akintoye, 2017).


Palmier et al., 2017)
Efek samping RADIOTERAPI Pada rongga mulut
Trismus
Terjadinya trismus berkaitan dengan menurunnya sekresi
dan rendahnya pH saliva. Trismus dapat menjadi parah
bila radioterapi dilakukan bersamaan dengan tindakan
pembedahan.

(Yunus, 2016; Villa & Akintoye, 2017).


Efek Samping Secara Umum

GANGGUAN sistemik GANGGUAN hemopoetik


Anorexia, mual, muntah, Anemia,
sulit tidur, sakit kepala, trombositopenia dan
demam, diare dan lemah lekopenia.

penurunan berat GANGGUAN IMUN


badan drastis Radiasi yang mengenai sel efektor
Mempengaruhi status imunologik yang beredar di sirkulasi
nutrisi. Keparahan (sistemik) mengakibatkan penurunan
malnutrisi ditentukan oleh respon imun. Imunitas seluler yang
lokasi, dosis dan lama menurun akibat radiasi akan
radiasi melemahkan immune surveillance

(Sigarlaki et al., 2019; Traktama et al., 2018).


Efek samping secara umum

TOKSISITAS KULIT AKUT Sistem Saraf Pusat GANGGUAN JANTUNG


Terapi kanker mulut Ensefalopati akut, focal
menyebabkan cerebral and spinal cord Radiation induced heartdesease
ketidakseimbangan dalam radionecrosis secara (RIHD). kelainan pada
aktivitas sitokin proinflamasi dan neuropatologis sebagai perikardium, kelainan
profibrotik di kulit yang nekrosis dengan lesi padamiokardium, kelainan
menyebabkan kerusakan dan vaskular berat (stenosis, pada arteri coroner kelainan
penurunan perfusi darah. Efek trombosis, perdarahan, pada aterosklerosis, dan
ini dapat menyebabkan kulit nekrosis vascular kelainan pada katup jantung
orofasial ulserasi dan nekrosis fibrinoid).

(Villa & Akintoye, 2017; Fitriatuzzakiyyah et al., 2017).


10

kelebihan radioterapi
Beberapa kelebihan radioterapi
adalah sebagai berikut
KELEBIHAN RADIOTERAPI
NO. 1 NO. 4
Dapat digabungkan dengan Mengurangi rasa sakit dari
metode pengobatan lainnya, penyembuhan penyakit
seperti operasi atau kemoterapi. kanker

NO. 2 NO. 3
Menghentikan pertumbuhan dan Meningkatkan efektivitas
penyebaran dari sel kanker. dari penyembuhan
Mencegah agar kanker tidak penyakit kanker
muncul di area lain.

(Wibisono & Pribadi, 2014)


11

Kekurangan radioterapi
Adapun kekurangan
radioterapi yaitu
Kekurangan
radioterapi Sinar radiasi yang berasal dari radioterapi dapat
mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada molekul DNA.
Kerusakan yang terjadi dapat berupa:

Single-strand breaks Double-strand breaks (DSBs)


(SSBs)
Kerusakan basa Cross-link DNA

Substansi kimia yang membuat DNA lebih rentan terhadap


radiasi dapat meningkatkan cell killing.

Kekurangan penggunaan radioterapi untuk penatalaksanaan kanker


atau tumor mulut yaitu pada efek yang ditimbulkan setelah proses
radioterapi dimana efek dari radioterapi cenderung bertahan selama
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

(Kusumadjati et al., 2015; Villa dan Akintoye, 2017).


12
PROGNOSIS perawatan
Radioterapi
Untuk perawatan pasien Kanker Nasofaring dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu dengan subkelompok yang lain.
 Deteksi dini pada karsinoma nasofaring harus dilakukan dengan cepat dan tepat karena penemuan penyakit pada stadium yang
lebih dini dipercaya dapat menghasilkan Prognosis yang lebih baik Karena semakin cepat diagnosis dilakukan maka
kesempatan untuk sembuh (Terapi berhasil) semakin besar.
 Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan
angka kesembuhan yang cukup tinggi.
 Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.
 Selain itu kesuksesan tindakan radioterapi harus disertai dengan nutrisi yang cukup dan gaya hidup yang akan meningkatkan
angka keberhasilan.

—Sigarlaki ED et al., 2019; Kemenkes 2017 ; Pratiwi dan Imanto, 2020; Symonds et al., 2019
13
Hubungan Perawatan Rongga Mulut
dan Radioterapi
Radioterapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
pengecapan, mukositis, xerostomia, nyeri saat menelan, serta
kerusakan pada gigi dan mulut. Oleh sebab itu, setiap pasien
yang akan melakukan radioterapi akan dianjurkan oleh dokter
untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu yang
terdiri atas pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan
status gizi pasien, serta pemeriksaan gigi dan mulut.

Traktama, 2018; Rosita dan Widyaningsih, 2020


Hal tersebut dikarenakan jika ada lesi yang kecil pada mulut
setelah menjalani radioterapi dapat berkembang menjadi besar
dan berefek pada meningkatnya biaya perwatan, menurunnya
kualitas hidup, terapi tertunda dan mempengaruhi hasil pada
pasien.

Traktama, 2018; Rosita dan Widyaningsih, 2020


Pasien yang menjalani terapi radiasi untuk kepala dan leher
mempunyai efek terhadap kesehatan rongga mulut karena
rentan mengalami kemunduran yang signifikan dan mendadak.
Jika efeknya sudah mendalam seringkali terjadi perubahan
fungsional dan sensoris permanen yang melibatkan jaringan
lunak mulut. Edukasi terencana mengenai perawatan mulut
sebelum memulai terapi antikanker dapat mengurangi derajat
nyeri dan keparahan efek samping radioterapi secara signifikan.

Hasibuan, 2019; Laksmiastuti et al., 2015


Kerjasama yang baik antara ahli onkologi dan dokter gigi
merupakan hal yang penting ketika merencanakan perawatan
di bidang kedokteran gigi. Eliminasi keluhan di rongga mulut
akan menciptakan lingkungan rongga mulut yang sehat serta
meningkatkan kualitas hidup pasien .

Hasibuan, 2019; Laksmiastuti et al., 2015


KESIMPULAN
Perlu dilakukan perawatan kepada pasien sebelum, saat, dan setelah prosedur
radioterapi. Beberapa efek samping radioterapi yang dapat muncul pada
rongga mulut yaitu mukositis oral, kandidiasis oral, dan xerostomia.
Prognosis pengobatan dengan radioterapi akan lebih baik jika diagnosis
semakin cepat dilakukan. Sebelum melakukan radioterapi, pasien harus
dalam keadaan normal atau tidak ada disfungsi rongga mulut. Oleh sebab
itu, setiap pasien yang akan melakukan radioterapi akan dianjurkan oleh
dokter untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tertentu termasuk
pemeriksaan gigi dan mulut. Dengan Perawatan mulut juga dapat
mengurangi kolonisasi mikroorganisme rongga mulut, mengurangi nyeri,
serta mencegah infeksi jaringan lunak rongga mulut yang berisiko menjadi
infeksi sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
• Akarslan Z. 2017. Diagnosis and Management of Head and Neck
Cancer. Croatia: InTech. Badan Pengawas Tenaga Nuklir. 2019.
Buku Panduan Permohonan Perizinan Radioterapi. Jakarta:
Direktorat Perizinan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif.
• Clough S, Burke M, Daly B, Scambler S. 2018. The impact of pre-
radiotherapy dental extractions on head and neck cancer patients: a
qualitative study. British Dental Journal. 225(1): 28-32.
• Darlina, Tetriana D, Rahardjo T, Kisnanto T, Lusyanti Y, Erawati D,
Rahajeng N. 2021. Analisis Kerusakan Dna Pada Sel Limfosit Pasien
Pasca-Radioterapi. Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia. 8(1) :
105-111.
• Edgar, D. S., Mukhlis, I., & Eka, C. (2019). Tatalaksana Radioterapi
pada Karsinoma Nasofaring. MEDULA, medicalprofession journal of
lampung university, 8(2), 23- 26.
• Fatmasari, Djakaria HM. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel
Basal. Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society: 8(2):
93-97.
DAFTAR PUSTAKA
• Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi
Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar Radioterapi dan
Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.
6(4): 311-320.
• Garden SA, Beadle MB, Gunn GB. 2012. Radiotherapy for Head and
Neck Cancer: Indication and Techniques. 5th Ed. Philadelpia: Wolters
Kluwer.158-161.
• Hasibuan C, et al. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan
Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapat
Kemoterapi. jurnal CKD-277. 46(6)
• Kawashita Y, et al. 2020. Oral Management Strategies for
Radiotherapy of Head and Neck Cancer. Japanese Dental Science
Review. 56(1): 62-67.
• Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Jakarta: Komite
Penanggulangan Kanker Nasional.
• Kumar D, Rastogi N. 2011. Oral Complication and its Management
During Radioterapy. International Journal of Head and Neck Surgery.
2(2). 12-14.
DAFTAR PUSTAKA
• Kusumadjati A, Djakaria HM. 2015. Peran Substansi Kimia dalam
Memodifikasi Respon Radiasi. Journal of The Indonesian Radiation
Oncology Society; 6(1): 11-18. Laksmiastuti SR, Tehuteru ES. 2015.
Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi pada Pasien
Kanker Anak. Indonesia Journal of Cancer. 9(4).
• Lin Diana, Eric J. Lehrer , Jennifer Rosenberg , Daniel M. Trifiletti ,
Nicholas G. Zaorsky. 2019. Toxicity after radiotherapy in patients with
historically accepted contraindications to treatment (CONTRAD): An
international systematic review and meta-analysis. Radiotherapy and
Oncology. 135 (2019): 147–152.
• Mallya SM, Lam EWN. 2018. White and Pharoah’s Oral Radiology
Principles and Interpretation 8th edition. Elsevier: Missouri.
• National Cancer Institute. Radiation Therapy to Treat Cancer.
https://www.cancer.gov/about- cancer/treatment/types/radiation-
therapy diakses 30 Oktober 01.38 WITA diupload Januari 2019.
DAFTAR PUSTAKA
• Pratiwi A, Imanto M. 2020. Karsinoma Nasofaring dengan Multiple
Cranial Nerve Palsy pada Pasien Wanita Usia 52 Tahun. Medula;
9(4): 609-615.
• Rochmah YS. 2019. Osteoradionekrosis Pasca Ekstraksi Gigi Pasien
dengan Riwayat Kanker Nasofaring. ODONTO Dental Journal. 6(1):
19-22.
• Rosita I, Widyaningsih S. 2017. Gambaran Tingkat Pengetahuan
Tentang Radioterapi Pada Pasien Kanker Nasofaring Di Rsud Dr
Moewardi Surakarta. Jurnal Jurusan Keperawatan. 1(1): 1-8.
• Scrossi et al. Common Oral Complications of Head and Neck Cancer
Radiation Therapy: Mucositis, Infections, Saliva Change, Fibrosis,
Sensory Dysfunctions, Dantal Caries, Periodontal Desease, and
Osteoradionecrosis. Review Cancer Medicine. 1 September 2017.
• Septina F, Fredy M, Merlya B, Saka W. 2020. Mengenal Terapi
Radiasi dan Kemoterapi bagi Dokter Gigi. Malang: UB Press.
• Sigarlaki ED, Imanto M, Cania E. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada
Karsinoma Nasofaring. Medula. 8 (2): 23-26.
DAFTAR PUSTAKA

• Sinaga PE, et al. 2019. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penurunan


Body Mass Index Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada Pasien
Kanker Kepala Leher.Journal of the Indonesian Radiation Oncology
Society. 10(2): 36-42.
• Singh KBG, Veness MJ. 2019. The role of radiotherapy in the
management of non-melanoma skin cancer. Australasian Journal of
Dermatology. 2019: 1-8.
• Stephens, Frederick O, Aigner, Karl Reinhard. 2016. Basics of
Oncology. Ed 2nd.
Symonds P, Mills J, Duxbury A. 2019. Walter and Miller’s Textbook of
Radiotheraphy Radiation Physiscs, Therapy and Oncology. Elsevier:
Missouri.
DAFTAR PUSTAKA

• Traktama DO, Sufiawan I. 2018. Keparahan Mukositis Oral pada


Pasien Kanker Kepala Leher Akibat Kemoterapi dan atau Radioterapi.
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 53-54.
• Villa A, Akintoye SO. 2017. Dental Management of Patients Who
Have Undergone Oral Cancer Therapy. Dent Clin N Am. 62(1): 131-
142.
• Vlaho et al. 2017 Oral Side Effect Of Head & Neck Irradiation. Journal
Intach. 1(1). Wibisono G, Pribadi SA. 2014. Rancang Bangun
Generator Sinyal Frekuensi Radio untuk
• Terapi Kanker Hepatocellular Carcinoma.
• Wong TSC, Wiesenfeld D. 2018. Oral Cancer. Australian Dental
Journal. 63(1): S91-S99. Yunus B, Praja WW. 2016. Prevalensi
Terjadinya Xerostomia Setelah Dilakukan Terapi
• Radiasi pada Penderita Kanker Kepala dan Leher. Makassar Jurnal.
5(2): 65-68.
THANKS!
Do you have any questions?

Credits: This presentation template was created by


Slidesgo, including icons by Flaticon, and infographics
& images by Freepik.
Radioterapi
Kelompok 3
DOSEN PEMBIMBING
drg. DIDIT ASPRIYANTO, M.Kes.

DOSEN KULIAH PAKAR


Dr. drg. MAHARANI LAILYZA APRIASARI, Sp.PM
Anggota
● YENI MONIKA (1911111120016)
● NATASYA NURUL IZZATI (1911111220003)
● MEILIN RISKY ANGELINA (1911111120005)
● DHIYA SALMA AZMINIDA (1911111220005)
● IFTAH IKHFAFAH (1911111120001)
● I MADE YUDHA DHARMAWAN (1911111310005)
● CHANDRA WIJAYA (1911111310014)
● MUHAMMAD NABIEL TAQIYUDDIN HAM (1911111310018)
● NI'MAL MAULA (1911111320004)
● SABILA MAGHFUROH AQSHA SYAHARI (1911111320012)
● ETA MAULIDA SHALEHAH (1911111320038)
SKENARIO

Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD


dirujuk oleh spesialis bedah onkologi untuk merawat
rongga mulutnya. Hal ini dilakukan sebelum
melakukan radioterapi kanker nasopharyng.
Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien nantinya
juga akan dilakukan saat dan sesudah radioterapi.
Apabila hal ini diabaikan maka akan menimbulkan
masalah di rongga mulut di kemudian hari,
sepertiterjadierosi dan sariawan saat atau setelah
radioterapi.
Istilah Asing
01
Onkologi
Cabang ilmu kedokteran berfokus pada penyakit kanker, yaitu
mempelajari cara mendiagnosis, mengobati, merawat, maupun
mencegahnya oleh dokter yang mendalami ilmu ini yang disebut
dengan dokter onkolog; Dokter onkolog dapat memberi
beberapa jenis terapi seperti bedah, kemoterapi, terapi radiasi,
imunoterapi, dan terapi hormon; Onkologi medis merupakan ilmu
onkologi yang berfokus pada pengobatan dan perawatan kanker
menggunakan kemoterapi, terapi hormon, terapi target, dan
imunoterapi.
Analisis
masalah
You could enter a subtitle here if
you need it
Bagaimana radioterapi dapat mempengaruhi rongga mulut?
Jawab:
Radioterapi merupakan sebuah terapi yang bertujuan untuk menghilangkan sel-sel kanker
menggunakan radiasi pengion. Dimana sel targetnya spesfiknya merupakan sel kanker dan
sel-sel sehat pun akan mati/rusak. Sehingga sel-sel didalam rongga mulut terutama dibagian
mukosa menjadi rusak dan menyebabkan erosi serta sariawan dan juga xerostomia itu
merupakan bagian dari efek samping dari radioterapi didalam rongga mulut; Radioterapi
dapat mempengaruhi jaringan atau sel sehat pada tubuh. Pada rongga mulut dapat
menyebabkan kandidiasi dan mukositis karena terjadi penurunan sistem imunitas pasien.
Selain itu, pasien yang melakukan radioterapi sering mengeluhkan xerostomia yang
berdampak pada pasien rentan terhadap karies
Komplikasi yang terjadi jika tidak dilakukan perawatan rongga mulut sebelum pasien
melakukan radioterapi?
Jawab:
Komplikasi yang akan terjadi yaitu infeksi akibat oh buruk (apabila memiliki oh yang buruk)
yang memudahkan bakteri berkembang dgn cepat dan memperparah kondisi yang ada;
menimbulkan masalah dirongga mulut dikemudian hari seperti erosi dana sariawan; jika
kanker yang diderita pasien semakin besar akan membahayakan organ disekitarnya seperti
tulang, tenggorokan dan kemungkinan membahayakan otak pasien tersebut; Xerostomia
menimbulkan komplikasi lain pada rongga mulut, seperti jaringan lunak (mukosa) mulut
meradang, timbul bercak-bercak putih (candidiasis), mulut terasa gatal, dan timbul rasa mual
dan muntah.
Seberapa penting perawatan rongga mulut pasien yang melakukan radioterapi?
Jawab:
Sangat penting, karena radioterapi memiliki efek radiasi yang akan mempengaruhi kondisi
rongga mulut pasien sehingga dengan dilakukan perawatan pada rongga mulut dihaarapkan
dapat meminimalisir infeksi mikroorganisme lainya pada rongga mulut seperti candidiasis dsb;
Sangat penting, karena untuk menjaga oral hygiene seperti teratur menyikat gigi, menjaga
diet, kontrol rutin, evaluasi kelenjar saliva agar tidak menyebabkan komplikasi yang lebih
parah, Menginstruksikan kepada pasien untuk menjaga kondisi rongga mulutnya seperti
teratur menyikat gigi serta menjaga pola makan. Kemudian, monitoring kemungkinan
timbulnya gangguan perkembangan gigi dan evaluasi sekresi kelenjar saliva, Monitoring
kemungkinan timbulnya gangguan perkembangan gigi dan kraniofasial pada pasien dan
memberi informasi kepada pasien terhadap adanya kemungkinan komplikasi rongga mulut
walaupun perawatan radioterapi telah berakhir; Sangat penting untuk mencegah rekurensi
Apa yang dilakukan dokter gigi untuk merawat rongga mulut sebelum radioterapi dilakukan?
Jawab:
Eliminasi penyakit mulut yang ada di rongga mulut pasien, pemeriksaan radiografi untuk menentukan apa
pasien memiliki kelainan periapikal, penyakit gigi, lalu pemeriksaan jaringan periodontal, dapat juga
dilakukan pemeriksaan mukosa rongga mulut, gigi geligi dan memeriksa oral hygiene pasien. Apabila
pasien memiliki post tumpatan perlu dilakukan tes vitalitas serta memberikan edukasi pada pasien jika
kemungkinan ada komplikasi setelah dilakukannya radioterapi; Menyarankan pasien menjaga oral hygiene,
pasta gigi berfluoride; Berkomunikasi dengan dokter onkologi untuk persiapan menjaga makanan dan OH
yang baik; Dokter gigi melakukan perawatan dan mengevaluasi OH pasien
Instruksi pasien Sebelum dilakukan raditerapi, seperti:
-Instruksi (DHE) kepada pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya
-Memberitahukan komplikasi yang dapat terjadi jika melakukan radioterapi didalam rongga
mulut
-Dokter gigi melakukan tindakan preventif dan rehabilitatif berkaitan dengan perawatan yang
akan dilakukan sebelum radioterapi meliputi (perawatan periodontal, scaling)
-Instruksi latihan otot rahang
-Menginstruksikan kepada pasien untuk melepaskan peralatan ortho yang dipasang sebelum
diakukan radioterapi
-Dokter gigi memeriksa mengenai diagnosis, rencana perawatan, prognosis riawayat medis
yang telah disampaikan oleh dokter onkolog yang merujuk.
Mengapa dokter spesialis onkologi merujuk pasien ke dokter gigi?
Jawab:
Untuk pemeriksaan rongga mulut dan menghindari kemungkinan buruk seperti erosi,
sariawan dan penyakit lainnya; Mencegah bertambah parah kondisi rongga mulut pasien;
Karena pasien menderita kanker nasofaring yang akan diradioterapi pada daerah kepala,
telinga, dan leher atau area nasofaring (belakang hidung dan belakang palatum) yang akan
menyebabkan perubahan morfologi sel epitel mukosa rongga mulut sehingga dapat
menimbulkan efek samping dan komplikasi pada mukosa mulut, kelenjar saliva, gigi geligi, dan
tulang rahang yang memerlukan tatalaksana dari dokter gigi untuk meminimalisir hal tersebut;
Sebelum pasien melakukan radioterapi sebaiknya rongga mulut dalam keadaan sehat. Karena
biasanya pasien dengan penyakit sistemik akan lebih fokus pada penyakit sistemiknya dan
kurang memperhatikan kesehatan rongga mulut. Sehingga, apabila keadaan rongga mulut
pasien sebelum menjalani radioterapi dalam keadaan sehat maka tidak memperparah
penyakit pada rongga mulut dan pasien bisa berfokus pada penyakit rongga mulut yang
timbul sebagai efek samping radioterapi; Tujuan utama nya untuk meminimalisir efek
samping atau komplikasi yang akan diterima pasien, seperti yang sudah disebutkan efek
samping dari radioterapi itu ada xerostomia, candida albicans, dll.
Apa hubungan kanker nasopharing dengan rongga mulut?
Jawab:
Nasofaring merupakan salah satu bagian dari tenggorokan. Posisinya terletak di belakang rongga hidung
dan di balik langit-langit mulut. Hubungan kangker nasopharyng dengan rongga mulut pasien yaitu terdapat
pada hubungannya dengan terapi radiasi yang dilakukan sehingga dapat menimbulkan penyakit2 seperti
xerostomia, mucositis, karies gigi; hubungannya dengan trapi radiasi yang dilakukan yang dapat
menumbulkan efek samping yang dapat memperparah keadaan pasien; Nasopharing berhubungan
oropharing, yaitu saluran pernapasan dan saluran pencernaan menyebabkan rasa tidak nyaman saat
bernafas dan menelan; jika ada lesi pada rongga mulut yang tidak tertanani maka akan mengakibatkan
memerparah kanker nasofaring dan juga efek samping radiografi,dan itu bisa menurunkan kualitas hidup
pasien
Apa diagnosis dari kasus skenario?
Jawab:
Kanker nasopharyng, tetapi untuk mencegah terjadinya masalah dari masalah di rongga mulut pasien
dikemudian hari karena efek samping radiasi radioterapi, seperti erosi dan sariawan sehingga dr spesialis
onkologi merujuk pasien tersebut kedokter gigi; Didalam skenario dijelaskan bahwa pasien didiagnosis oleh
dokter onkolog mengidap kanker nasopharyng, namun saya rasa fokus utama sebagai dokter gigi mengenai
“Erosi” dan “Sariawan”, diagnosa didalam rongga mulut adalah mukositis. Mukositis adalah peradangan
yang terjadi pada bagian mukosa pada bagian labial, palatal, lingual, bukal, dan dasar rongga mulut akibat
adanya kerusakan jaringan mukosa.
Problem Tree
Radioterapi

Efek
Definisi Tujuan & Indikasi Kontraindikasi Tatalaksana
Samping
Manfaat
Perawata
n RM Pra Ekstraoral Intraoral

Saat Mucositis

Pasca
Sasaran Belajar
• Menjelaskan definisi radioterapi
• Menjelaskan tujuan dan manfaat perawatan rongga mulut pada pasien
yang melakukan radioterapi
• Menjelaskan Indikasi radioterapi
• Menjelaskan kontraindikasi radioterapi
• Menjelaskan tatalaksana rongga mulut pra radioterapi
• Menjelaskan tatalaksana rongga mulut saat radioterapi
• Menjelaskan tatalaksana rongga mulut pasca radioterapi
• Menjelaskan efek samping ekstraoral
• Menjelaskan efek samping intraoral
- Menjelaskan efek samping lainnya
- Menjelaskan Mukositis sebagai efek samping dari radioterapi
a. Definisi
b. Etiologi
c. Tatalaksana
01
DEFINISI
RADIOTERAPI
Radioterapi adalah metode pengobatan pada penyakit tumor ganas dengan menggunakan
sinar peng-ion, dengan tujuan untuk mematikan sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Semua pasien menjalani radioterapi dengan memakai sinar gamma berasal dari pesawat
Cobalt 60, dengan dosis radiasi 200 cgy per fraksi, diberikan 5 kali per minggu tanpa selang
waktu (teknik konvensional) sampai mencapai dosis total kisaran 6600 cgy dalam 6-7
minggu yang ditujukan pada tumor primer di Nasofaring dan kelenjar getah bening di leher.
Semua pasien tersebut dilakukan pemeriksaan immunohistokimia untuk menilai ekspresi
Bcl-2, CD44 dan VEGF pra dan pasca Radioterapi. Radioterapi bekerja sebagai radiasi,
yaitu saat suatu sumber menyalurkan dan memindahkan energi ke tempat lain. Perambatan
atau transmisi radiasi ini dalam bentuk radiasi partikel, dapat berbentuk gelombang atau
cahaya (radiasi elektromagnetik). Radiasi yang terionisasi memiliki energi yang tinggi dan
dapat secara langsung merusak struktur molekul dari sebuah material yang mereka lewati
dan menghasilkan adanya perubahan kimiawi dan biologis dalam hal ini adalah sel kanker.

(Robert Ireland, 2018; Farihah Septina, et al., 2020).


Tujuan dan Manfaat Perawatan Rongga
Mulut Pada Pasien Yang Melakukan
Radioterapi
Perawatan mulut dapat mengurangi kolonisasi mikroorganisme rongga
mulut, mengurangi nyeri, serta mencegah infeksi jaringan lunak rongga mulut yang
berisiko menjadi infeksi sistemik. Komponen dasar perawatan mulut meliputi
evaluasi kondisi rongga mulut, edukasi pasien dan/atau keluarga, penyikatan gigi,
flossing, dan berkumur. Edukasi yang baik sebelum menjalani kemoterapi sangat
penting. Edukasi terencana mengenai perawatan mulut sebelum memulai terapi anti
kanker dapat mengurangi derajat nyeri dan keparahan efek samping radioterapi secara
signifikan.

Pasien yang menjalani terapi radiasi untuk kepala dan leher mempunyai
efek terhadap kesehatan rongga mulut karena rentan mengalami kemunduran yang
signifikan dan mendadak. Jika efeknya sudah mendalam seringkali terjadi perubahan
fungsional dan sensoris permanen yang melibatkan jaringan lunak mulut. Perubahan
ini berawal dari mucositis oral selama dan sesudah treatment radioterapi, infeksi
oportunistik mukosa, gangguan neurosensoris dan jaringan fibrosis. Contoh efek
samping radioterapi intraoral diantaranya yaitu xerostomia, mukositis, kandidiasis
oral, dan lain-lain.
(Hasibuan, 2019; Traktama, 2018).
INDIKASI RADIOTERAPI

1 2 3 4
Tumor lokoregional Tumor primer atau Sifat radioterapi Sifat radioterapi
yang radiosensitive metastasis diberikan sebagai terapi adjuvant.
atau radioresponsif radioterapi paliatif utama.
untuk dengan dosis yang
kuratif/definitif lebih rendah
dengan tujuan daripada dosis
meningkatkan kuratif (75-80%)
kontrol lokal jangka dengan jangka
panjang. waktu yang lebih
pendek. (Ardiansyah, 2021).
04
Kontraindikasi
Radioterapi
Kontraindikasi Radioterapi
a. Tumor tidak radiosensitif i. Tumor telah metastasis

b. Proses tumor telah lanjut (akan menimbulkan j. Riwayat radiasi di tempat yang sama
anemia)
k. Lesi pada daerah insufisiensi vascular
c. Usia di bawah 35 tahun,
l. Pasien muda karena resiko tinggi terkena
d. Metastasis dan letak tumor tidak dermatitis dan scars
menguntungkan
m. Pasien dengan connective tissue diseases
e. Pasien lansia atau kondisi genetic yang dapat
menyebabkan kanker kulit (xeroderma
f. Pasien psikiatri
pigmentosum, epidermodysplasia
g. Diabetes melitus (DM), dan verruciformis, dan basal cell nevus syndrome).

h. Hipertensi yang disertai dengan retinopati,

(Wastitiamurti, 2018; Medscape, 2020)


05
Tatalaksana Rongga
Mulut
Pra Radioterapi
Tatalaksana Rongga Mulut Pra Radioterapi
1. Pentingnya Perawatan Terpadu:
Perawatan mulut harus dilihat sebagai kontribusi terhadap perawatan pasien total dan dilaksanakan dengan
prioritas perawatan yang disepakati dengan tim onkologi

2. Evalusasi Klinis /Penilaian Status Mulut / Periodontal/ Gigi:


Sebelum memulai terapi kanker, penilaian mulut / gigi , harus dilakukan. Dokter harus memeriksa kondisi
mulut sebelum, selama, dan setelah terapi. Tujuan khusus adalah untuk:
a) Mengidentifikasi penyakit mulut yang ada dan potensi risiko penyakit mulut.
b) Menghilangkan factor infeksi gigi / mulut sebelum memulai terapi kanker. Tujuannya Mempersiapkan
pasien untuk efek samping yang didapatkan dari terapi kanker.
c) Menetapkan standar kebersihan mulut yang memadai untuk memenuhi tantangan yang meningkat
selama terapi kanker.
d) Mengembangkan rencana untuk menjaga kebersihan mulut, memberikan perawatan pencegahan,
menyelesaikan rehabilitasi mulut dan tindak lanjut.

e) Membangun kolaborasi multidisiplin yang diperlukan dengan pusat kanker untuk mengurangi gejala mulut
dan gejala sisa sebelum, selama dan setelah terapi kanker. Setiap pusat harus memiliki tim multidisiplin
untuk mencapai tujuan ini; metode yang tepat yang digunakan dapat bervariasi antara pusat kanker.

(Kumar et al., 2018; Irie MS, Mendes EM, Borges JS et al. 2018).
Tatalaksana Rongga Mulut Pra Radioterapi
3. Saran Mengenai Potensi Efek Samping: Kemoterapi 7. Perawatan periodontal: Debridement plak dan
dan radioterapi dapat menyebabkan efek samping deposit kalkulus secara harus dibersihkan
oral jangka pendek dan jangka panjang yang terlebih dahulu.
merugikan. Drg memberikan saran pencegahan 8. Karies gigi: Jika memungkinkan, gigi yang karies
sederhana yang realistis yang menekankan nilai harus direstorasi secara definitif atau distabilkan
dalam menjaga kenyamanan mulut selama terapi dengan restorasi yang sesuai.
dan mengurangi komplikasi. 9. Pasien yang menggunakan protesa: Pasien di
4. Instruksi Kebersihan Mulut konseling tentang pemakaian gigi palsu selama
5. Pasien direkomendasikan diet dengan penekanan terapi kanker.
pada memastikan kenyamanan oral sebelum terapi. 10. Sedapat mungkin, ekstraksi gigi dilakukan
6. Klorheksidin: Jika penyakit gingiva didiagnosis, minimal sepuluh hari sebelum dimulainya
praktik kebersihan mulut dapat dilengkapi dengan radioterapi kanker
penggunaan obat kumur klorheksidin bebas alkohol 11. Perawatan ortodontik harus dihentikan dan
atau gel gigi peralatan cekat dilepas

(Kumar et al., 2018; Irie MS, Mendes EM, Borges JS et al. 2018).
Tatalaksana Rongga Mulut Pra Radioterapi
Konsultasi dengan tim dokter gigi yang
berpengalaman dalam merawat pasien yang
menjalani pengobatan kanker kepala dan leher
harus diselesaikan sebelum terapi dimulai.
Banyak kondisi mulut, seperti kebersihan mulut
yang buruk, gigi patah, restorasi yang rusak, dan
penyakit periodontal, yang cenderung memicu
komplikasi selama dan setelah terapi radiasi

● Selain pemeriksaan klinis, pemeriksaan


radiografi menyeluruh sangat penting
untuk menentukan adanya kelainan
inflamasi periapikal, status periodontal,
penyakit gigi lain dan invasi tumor ke
tulang.
● Radiografi panoramik ditambah film
periapikal atau bitewing selektif (atau
keduanya) harus tersedia untuk penilaian
gigi pra radioterapi.
● Konsultasi dengan dokter pasien tentang
waktu, sifat (radioterapi sinar eksternal atau
implan radioaktif) dan fitur (lokasi dan
ukuran bidang pengobatan, fraksinasi
radioterapi dan dosis total) dari radioterapi
sangat penting untuk penilaian risiko
keseluruhan dan penjadwalan intervensi
gigi yang diperlukan (Hancock PJ, Epstein JB, Sadler GR. 2003, Winter
C, et al. 2021, Yuang H, et al. 2017).
06
Tatalaksana Rongga
Mulut
Saat Radioterapi
Tatalaksana Rongga Mulut Saat Radioterapi

1. Komunikasi dengan ahli onkologi. 8. Aplikasi pelembab bibir atau pelembut bibir, terutama
yang mengandung ianolin untuk mencegah bibir kering
2. Memonitor dan mendeteksi dini keadaan rongga
dan pecah-pecah (contoh: vaseline).
mulut seperti mukositis, infeksi, karies, dan plak.
Memonitor dan deteksi dini keadaan rongga mulut 9. Pasien yang menggunakan denture dianjurkan untuk
(mukositis, infeksi, karies, plak) dilepas.

3. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjaga 10. Menunda bedah mulut/prosedur invasif jika:
kelembaban dan menjaga oral hygiene.
- Jumlah trombosit < 75.000/mm3 atau ada faktor
4. Sedapat mungkin mencegah terjadinya trauma. pembekuan abnormal

5. Pemberian analgesik jika nyeri pada rongga mulut. - Neutrofil absolute < 1000/mm3

6. Mengamati kemampuan pasien dalam membuka 11. Tatalaksana perawatan RM pada pasien yang menjalani
mulut. radioterapi ialah dengan oral decontamination serta oral
hydration.
7. Merawat semua kelainan yang timbul di rongga mulut
akibat perawatan kanker

(Devi S, et al., 2014, Laksimiastuti SR, Tehuteru ES. 2015,


Glick, 2015; Supriatno, et al., 2011)
07

Tatalaksana
Di Rongga
Mulut
Pasca Radioterapi
Tatalaksana
Pasca Radioterapi
Manajemen jangka panjang dan tindak lanjut
pasien setelah terapi radiasi atau terapi kanker
adalah wajib dan waktu yang tepat bagi pasien
untuk menyelesaikan masalah mulut yang
sebelumnya dianggap tidak perlu secara medis
dan yang perawatannya telah ditangguhkan.
Pasien harus mengikuti program tindak lanjut dan
pemeliharaan dengan frekuensi yang ditentukan
oleh kebutuhan individu.

(Joshi VK, 2010; Yuang H, 2017; Winter C, 2021)


01 02 03 04
Identifikasi & Rehabilitasi untuk Latihan oral untuk Memantau diet,
evaluasi cermat meningkatkan mengurangi risiko kebersihan mulut,
untuk karies radiasi pengunyahan, bicara, dan keparahan dan penggunaan
dini menelan, dan penampilan trismus fluoride pasien

05 06 07 08
Tindak lanjut untuk Tindak lanjut yang Dokter gigi restoratif, Rujukan pasien
mengidentifikasi memfasilitasi prostodontik maksilofasial, ke kelompok
osteonecrosis dini pengelolaan setiap atau Implan gigi pendukung
komplikasi kronis yang osseointegrated berguna
mungkin terjadi untuk kasus tertentu
(Joshi VK, 2010; Yuang H, 2017; Winter C, 2021)
08

Efek Samping
Ekstraoral

Dari Radioterapi
Efek Samping Ekstroral dari Radioterapi

Mual & Muntah Alopecia Penurunan berat


(Kerontokan rambut) badan

Kelainan kulit Kerusakan Malnutrisi


(eritema, dermatitis, kelenjar keringat
radiodermatitis bulosa
(Greenberg, 2008; Ambarwati WN, 2014; Fitriatuzzakiyyah N, 2017)
09

Efek Samping
Intraoral

Dari Radioterapi
Mukositis
Definisi
Mukositis oral merupakan peradangan
mukosa rongga mulut yang meliputi
mukosa pipi, bibir, gingiva, lidah, palatum,
dan dasar mulut. Proses ini disebabkan
interaksi kompleks antara kerusakan
jaringan rongga mulut, keadaan lingkungan
rongga mulut, derajat penekanan sumsum
tulang, dan faktor predisposisi intrinsik
pasien, serta komplikasi umum pada pasien
kanker yang menerima kemoterapi atau
terapi radiasi.

(Traktama, et al., 2018; Hasibuan, et al., 2019)


Epidemiologi Etiologi
● 80%-100% pada pasien yang menjalani ● Mukositis oral terjadi secara independen
terapi radiasi yang melibatkan daerah dari infeksi mukosa mulut dengan
orofaring etiologi virus dan jamur.

● 34,4% pada mukosa bukal, 24,1% pada ● Tingkat keparahan mukositis oral
mukosa labial, 22,4% pada lidah, dan ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu
6,9% pada palatum didasari oleh keganasan dan intensitas
serta durasi regimen kemoterapi.
● Faktor risiko: usia muda, oral hygiene,
hiposalivasi, penggunaan profilaksis
metotreksat, faktor genetik.
● Faktor predisposisi: iritasi lokal kronis
dan trauma lokal.

(Sufiawati, 2008; Treister NS, 2017; Hasibuan, et al., 2019; Hong, et al., 2019)
Gejala Klinis
● Sangat bervariasi
● Kemerahan atau bengkak
● Ulserasi dalam yang dapat
disertai perdarahan.
● Nyeri mulut atau tenggorokan
● Mulut terasa kering atau
terbakar saat makan
● Kesulitan menelan atau
berbicara.
● Kondisi ini dapat berlanjut
menyebabkan tidak mampu
mentoleransi makanan baik
padat maupun cair

(Traktama, et al. 2018 ; Hasibuan, et al., 2019)


Tatalaksana
● Menjaga OH
● Manajemen nyeri
● Obat kumur Klorheksidin
glukonat 0,2%
● Penggunaan anti jamur
● Suplementasi seng
● Terapi Laser tingkat rendah
● Diet

(Traktama, et al. 2018; ,Kawashita, 2020; Bell & Kasi, 2021)


Efek samping intraoral lainnya
1. Efek Deterministik
yang memiliki ambang batas dosis
tertentu, dan memiliki hubungan langsung dengan dosis yang
diberikan terhadap
kerusakan sel
2. Kandidiasis Oral
salah satu bentuk infeksi oportunistik, yaitu infeksi yang terjadi
karena ada kesempatan untuk muncul pada kondisi-kondisi tertentu
terutama pada saat tubuh mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Lesi kandidiasis oral dapat berupa bercak putih atau lesi eritem yang
terdapat pada mukosa mulut
3. Efek Destruktif
pada kelenjar saliva yang
berakibat pada penurunan curah saliva atau hiposalivasi dan mulut
kering yang selanjutnya disebut xerostomia.

(Sourati, 2017., Traktama, 2018.,Khoerunnisa, 2017)


Daftar Pustaka
● Ambarwati WN, Wardani EK. 2014. Efek Samping Kemoterapi Secara Fisik Pasien Penderita Kanker Servik.
Jurnalunimus; 1(1). 97-106.
● Bell, A. and Kasi, A. (2021) Oral Mucositis. Treasure Island(FL): StatPearls Publishing.
● Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia: 6(4). 311-320.
● Greenberg, et al. 2008. Burket’s Oral Medicine.Ed 16th, BC Decker Inc, Hamilton, Ontario.
● Hasibuan C, Lubis B, Rosdiana N, Nafianti S, Siregar OR. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan
Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapatkan Kemoterapi. Jurnal Cermin Dunia
Kedokteran; 22(6): 432-435.
● Hong BY, Sobue T, Choquette L, et al. 2019 Chemotherapy-induced oral mucositis is associated with
detrimental bacterial dysbiosis. Microbiome. 7 (2019): 66.
● Joshi VK. 2010. Dental Management Plannning and Management for the Mouth Cancer Patient. Journal
Elsevier Oral Oncology; 46: 475-479.
● Kawashita Y, Soutome S, Umeda M. 2020. Oral management strategies for radiotherapy of head and neck
cancer. Japanese Dental Science Review, 56(1), 62-67.
● Devi S, and Singh N. 2014. Dental Care During and After Radiotherapy in Head and Neck Cancer. National Journal of Maxillofacial Surgery. 5(2). 117-125.

● Glick M. 2015. Burket’s Oral Medicine. Ed 12. USA: People’s Medical Publishing House.

● Hancock PJ, Epstein JB, Sadler GR. 2003. Oral and Dental Management Related to Radiation Therapy for Head and Neck Cancer. Journal of the Canadian Dental
Association; 69(9): 585-590.

● Hasibuan C, Lubis B, Rosdiana N, Nafianti S, Siregar OR. 2019. Perawatan Mulut untuk Pemcegahan Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapatkan
Kemoterapi. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran; 22(6): 432-435.

● Irie MS, Mendes EM, Borges JS et al. 2018. Periodontal therapy for patients before and after radiotherapy: A review of the literature and topics of interest for clinicians.
Medicina oral, patología oral y cirugía bucal, 23(5), e524.

● Joshi VK. 2010. Dental Management Plannning and Management for the Mouth Cancer Patient. Journal Elsevier Oral Oncology; 46: 475-479.

● Kumar, N. et al. (2018) ‘The Oral Management of Oncology Patients Requiring Radiotherapy, Chemotherapy and / or Bone Marrow Transplantation’, Faculty Dental
Journal, 4(4).

● Laksimiastuti SR, Tehuteru ES. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi pada Pasien Kanker Anak. Indonesian Journal of Cancer. 9(4): 173-179.

● Supriatno, Subagyo G. Perawatan Kandidiasis Pseudomembran Akut dan Mukositis Oral Pada Penderita Kanker Nasopharing yang Menerima Kemoterapi dan
Radioterapi. Maj Ked Gi. Desember 2011; 18(2); 182-186

● Winter C, et al. 2021. Investigation of Changes in Radiotherapy-Induced Head and Neck Cancer Patients. International Journal of Environmental Research and Public
Health; 18: 1-14.

● Yuang H, et al. 2017. Treatment Outcomes After Reduction of the Target Volume of Intensity- Modulated Radiotherapy Following Induction Chemotherapy in Patients
with Locoregionally Advanced Nasopharyngeal Carcinoma: A Prospective, Multi-Center, Randomized Clinical Trial. Elsevier Radiotherapy Oncology: 1-6.a
TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK 13
KELOMPOK 1

Dosen Kuliah Pakar:


Dr. drg. Maharani Laillyza Apriasari., Sp.PM

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. drg. Rosihan Adhani, S.Sos, M.S.
Anggota Kelompok
1. Maria Sinaga 1911111120009
2. Nasrullah Safruddin 1911111110012
3. Muhammad Rizky Fadhil 1911111310039
4. Muhammad Rayhan 1911111210010
5. Widyandini Aulia Arif 1911111220013
6. Radhia Mufida 1911111120017
7. Felix Xavier Anugerah 1911111210019
8. Muhammad Arya Danendra 1911111310030
9. Nurul Fitriyani Dewi 1911111320001
10. Geyanina Melda Adhiya 1911111320025
11. Afifah Rahmadella 1911111320034
12. Yenny Normayanti Juhro 1911111320006
Skenario

“Pasien laki-laki usia 70 tahun datang ke poli gigi RSUD dirujuk oleh
spesialis bedah onkologi untuk merawat rongga mulutnya. Hal ini
dilakukan sebelum melakukan radioterapi kanker nasopharyng.
Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien nantinya juga akan dilakukan
saat dan sesudah radioterapi. Apabila hal ini diabaikan maka akan
menimbulkan masalah di rongga mulut di kemudian hari, seperti terjadi
erosi dan sariawan saat atau setelah radioterapi.”
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa hubungan antara radioterapi dengan kondisi rongga mulut?
Jawab: Hubungannya radioterapi dapat mengakibatkan perubahan lapisan yang ada dirongga mulut, dapat membuat efek
toksik dan dapat memicu infeksi akibat dari efek radiasi akibat dilakukannya radioterapi. Di skenario dikatakan bahwa
pasien ingin menjalani radioterapi kanker nasopharynx, dimana pasti rongga mulut juga terkena efek dari radioterapi
tersebut. Oleh karena itu, apabila rongga mulut terkena radiasi dapat mengakibatkan kerusakan maupun memicu
tumbuhnya lesi, bisa juga memperparah kondisi rongga mulut pasien tersebut, makanya sebelum dilakukan radioterapi
pasien dirujuk oleh dokter spesialis onkologi ke dokter gigi untuk memperbaiki oral hygiene pasien.

2. Apa komplikasi yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan tindakan perawatan pada rongga mulut pasien?
Jawab: Kerusakan organ yang meluas atau menyebar dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Terjadinya komplikasi
akibat infeksi yang disebabkan oleh oral hygine yang buruk yang menyebabkan bakteri berkembang pesat dan
memperparah kondisi yang ada. Komplikasi yang dapat terjadi akibat tidak dilakukan perawatan adalah gagal napas.
Dimana diketahui bahwa nasopharing ini terletak di belakang hidung yang merupakan jalur udara yang masuk, sehingga
apabila terjadi gangguan pada nasopharing udara yang masuk tidak dapat diteruskan ke saluran napas selanjutnya.
Identifikasi dan Analisis Masalah

3. Mengapa dilakukan pemeriksaan rongga mulut terlebih dahulu sebelum melakukan radioterapi kanker nasofaring?
Jawab: Dilakukan pemeriksaan rongga mulut terlebih dahulu sebelum melakukan radioterapi adalah untuk mengetahui
bagaimana kondisi rongga mulut pasien agar memaksimalkan radioterapi. Jika oral hygiene pasien buruk dapat
menyebabkan terjadinya infeksi dan mengurangi efek samping dari radioterapi yang bisa mengakibatkan xerostomia dan
kerusakan juga dapat memperparah jaringan periodontal.

4. Apa diagnosis dari kasus pada skenario diatas?


Jawab:
Seperti yang sudah disebutkan dalam skenario, pasien menderita kanker nasopharyng sehingga memerlukan radioterapi.
Sebelum dilakukan radioterapi perlu untuk dilakukan pemeriksaan dan perawatan rongga mulut karena radioterapi akan
menimbulkan efek pada rongga mulut seperti jawaban teman-teman pada analisis masalah sebelumnya.
Identifikasi dan Analisis Masalah
5. Apa efek samping radioterapi bagi rongga mulut?
Jawab: Radioterapi memiliki efek radiasi, yang mana radiasi ini dapat mempengaruhi keadaan dalam rongga mulut, yang
jika dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan kerusakan atau perubahan dalam DNA nya, hal ini dapat memicu
tumbuhnya lesi atau memperparah kondisi rongga mulut jika sudah terdapat kelainan. Efek yang dapat ditimbulkan adalah
hiposalivasi/xerostomia yang disebabkan oleh paparan radiasi saat perawatan. Efek samping yang lain yang ditimbulkan
bisa saja sariawan sama seperti gejala yang bisa ditimbulkan oleh efek radiasi radiografi. Terjadinya xerostomia karena
pasien mengalami efek samping berkurangnya nafsu makan sehingga pasien kurang nutrisi serta cairan, itulah yang
menyebabkan pasien mengalami xerostomia. Efek samping lainnya yaitu mukositis (peradangan pada jaringan lunak
mukosa mulut) dengan timbulnya bercak putih di permukaan mukosa mulut.

6. Apa prognosis radioterapi pada rongga mulut?


Jawab: Sasaran Belajar.

7. Apa indikasi dan kontraindikasi radioterapi?


Jawab: Sasaran Belajar.
Identifikasi dan Analisis Masalah
8. Mengapa dokter spesialis onkologi merujuk ke dokter gigi?
Jawab: Dokter spesialis onkologi merujuk ke dokter gigi dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan atau perawatan
terhadap rongga mulut untuk menghindari keluhan-keluhan yang nantinya dapat menyebabkan komplikasi. Dokter
spesialis onkologi merujuk ke dokter gigi bertujuan untuk dilakukan pemeriksaan dan perawatan pada rongga mulut
pasien, dimana seperti yang dikatakan di skenario pasien akan menjalani radioterapi kanker nasopharynx, dimana pastinya
rongga mulut pasien juga terkena efek samping dari terapi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan dan
perawatan rongga mulut sebelum dan sesudah radioterapi untuk meminimalisir efek dari radioterapi dan mencegah
munculnya penyakit yang dapat muncul pada rongga mulut karena efek radioterapi.

9. Apa saja perawatan yang dilakukan pada rongga mulut setelah pasien melakukan perawatan radioterapi?
Jawab: Pada skenario disebutkan “Penatalaksanaan pada rongga mulut pasien nantinya juga akan dilakukan saat dan
sesudah radioterapi”. Pada analisis masalah sebelumnya ada disebutkan beberapa efek samping dari radioterapi seperti
xerostomia dan sariawan. Untuk xerostomia dapat dilakukan dengan minum air yang cukup, mengunyah permen karet
tanpa gula, dan apabila tidak terjadi perubahan yang baik dapat memakai produk saliva buatan. Untuk sariawan (dimana
sariawan ini merupakan salah satu lesi) maka dapat diberikan obat kumur Chlorhexidine 0,2%. Dilakukan kemoterapi,
Kontrol rutin, evaluasi kelenjar saliva, menginstruksikan pasien untuk menjaga oral hygiene.
Identifikasi dan Analisis Masalah

10. Apa saja persiapan yang perlu dilakukan sebelum melakukan radioterapi?
Jawab: Memberikan edukasi kepada pasien dalam menjelaskan prosedur radioterapi, efek samping, dll. Lalu pasien dan
dokter menggunakan APD, dan dokter menginstruksikan kepada pasien tentang prosedur dan tentang radioterapi, dan
seperti meminta pasien untuk di posisi yang berbaring.

11. Apakah erosi dan sariawan berpengaruh pada saat dilakukan radioterapi?
Jawab: Berpengaruh, seperti kita ketahui bahwa radioterapi itu sendiri memiliki efek samping salah satunya adalah
sariawan dan erosi, di mana jika pasien memiliki penyakit erosi dan sariawan itu bisa memperparah penyakit tersebut yang
diakibatkan oleh efek radiasi dari perawatan radioterapi.
Problem Tree
Radioterapi dan
Penatalaksanaan
Rongga Mulut

Indikasi & Perawatan Efek


Definisi Kontraindi RM Pada Dampak
kasi Radioterapi Samping

Pra Saat Pasca


Sasaran Belajar

1. Apakah definisi dari radioterapi?


2. Apakah indikasi & kontraindikasi dari radioterapi?
3. Bagaimana perawatan rongga mulut pada radioterapi
a. Pra
b. Saat
c. Pasca
4. Apa efek samping radioterapi pada rongga mulut?
5. Apa dampak jika tidak dilakukan perawatan rongga mulut pasca radioterapi?
6. Bagaimana prognosis dari radioterapi?
Definisi
Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu metode
pengobatan penyakit-penyakit maligna
menggunakan sinar peng-ion, yang bertujuan
untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di
sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Radioterapi menghancurkan
DNA sel kanker sehingga tidak bisa tumbuh
dan membelah lagi. Target utama dari terapi
radiasi adalah kerusakan molekul DNA pada
jaringan target.
(Fitkhoirunnisa, 2017; Fitriatuzzakiyyah, 2017; Hidayatika, 2021)
Indikasi &
Kontraindikasi
Radioterapi
• Radioterapi efektif untuk kasus dengan risiko tinggi
• Terapi pilihan untuk pasien yang menolak tindakan operasi
atau kontraindikasi dengan tindakan operasi
• Lesi superfisial dengan ukuran besar
• Kontrol nyeri
• Inoperable seperti pasien tua, menolak operasi
• Daerah yang sulit dioperasi seperti telinga
• Batas sayatan tidak bebas/dekat tumor
• Kontaminasi lapangan operasi oleh sel tumor
(Ardhiansyah, 2019; Fatmasari, 2017; Lin Diana, 2019; Brown, 2015; Singh KBG, 2019)

Indikasi Radioterapi
• Riwayat radiasi di tempat yang sama
• Lesi pada insufiensi vascular
• Usia muda (40-50 tahun)
• Anggota tubuh bagian bawah (penyembuhan luka yang buruk)
• Memiliki penyakit autoimun (scleroderma/ SLE)
• Pasien tidak koperatif Aanya riwayat radioterapi dalam waktu
dekat
• Sindrom radioterapi hipersensitivitas (xeroderma pigmentosum
dan sindrom gorlin)

(Ardhiansyah, 2019; Fatmasari, 2017; Lin Diana, 2019; Brown, 2015; Singh KBG, 2019)

Kontraindikasi
Radioterapi
Perawatan Rongga
Mulut pada
Radioterapi
Pra
• Penjelasan tentang perubahan yang akan terjadi pada rongga mulutnya
• Melakukan tindakan proteksi terutama terhadap kelenjar liur
• Perawatan rongga mulut  perawatan restorasi gigi dan periodontal
scalling
• Terapi profilaksis seperti terapi fluoride, ekstraksi gigi pada gigi yang
mengalami kondisi seperti gigi dengan lesi karies lanjut dengan atau tanpa
keterlibatan pulpa, gigi yang impaksi, gigi dengan lesi periapikal yang
luas.
• Tindakan ekstraksi harus dilakukan 10-20 hari sebelumnya untuk
menghindari risiko osteoradionecrosis
Note: Tiga minggu sebelum terapi radiasi dimulai, semua perawatan gigi
harus diselesaikan

(Rhomdhoni, 2021)
Pra
1. Konsultasi pada dokter gigi yang berpengalaman dalam merawat pasien
yang menjalani perawatan kanker.
2. Mengevaluasi gigi dan mengeliminasi penyakit mulut harus dilakukan
sebelum dilakukan radioterapi.
3. Pemeriksaan radiografi untuk menentukan adanya kelainan periapikal,
periodontal, penyakit gigi dll.
4. Semua operasi besar harus dilakukan 4-6 minggu sebelum radioterapi.
5. Instruksikan pasien menghindari makanan abrasif yang dapat
menyebabkan trauma pada jaringan lunak
6. Implan gigi harus dinilai secara hati-hati, dan pencabutannya harus
dipertimbangkan jika pemeliharaan kesehatan peri-implan tidak dapat
diantisipasi secara wajar atau jika integrasinya buruk

(Hasibuan, et al. 2019)


Pra
Tujuan Perawatan Mulut
• Sebagai dasar untuk tercapainya kesehatan, integritas, dan fungsi mukosa
oral yang optimal.
• Dapat mengurangi kolonisasi mikroorganisme rongga mulut
• Mengurangi nyeri
• Mencegah infeksi jaringan lunak rongga mulut yang berisiko menjadi
infeksi sistemik

(Rhomdhoni, 2021)
Saat
1. Berkomunikasi dengan ahli onkologi.
2. Memonitor dan deteksi dini keadaan rongga mulut (mukositis, infeksi,
karies, plak)
3. Mengedukasi pasien tentang menjaga kelembaban dan kebersihan
rongga mulut.
4. Mencegah sedapat mungkin terhadap terjadinya trauma.
5. Merawat semua kelainan yang timbul di rongga mulut akibat
perawatan kanker
6. Pemberian analgesik untuk nyeri di rongga mulut

(Hasibuan, et al. 2019)


Saat
1. Pada pasein rawat jalan harus diajarkan cara penialian kondisi mulut
setiap hari, memberitau pasien mengenai kondisi mulut yang harus
dilaporkan ke dokter. Evaluasi kondisi rongga mulut sebelum terapi
dan tatalaksana infeksi gigi dan mulut akut perlu dilakukan karena
resiko imunosupresi
2. Menyikat semua permukaan gigi minimal selama 2 menit, dua kali
sehari, menggunakan sikat gigi dengan bulu sikat lembut
3. Berkumur 4 kali sehari selama 30 detik
4. Menghindari makan keras dan iritatif
5. Hal hal yang dapat mengiritasi seperti permukaan gigi yang kasar, gigi
patah ataupun pemakaian protesa juga harus mendapat penanganan
yang baik.

(Hasibuan, et al. 2019)


Pasca
1. Pemeriksaan rutin setiap 4-8 minggu selama 6 bulan pertama
(selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan pasien)
2. Hindari tindakan bedah invasif termasuk ekstraksi gigi (Jika perlu,
pertimbangkan penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah operasi).
3. Penanganan mulut kering dengan minum, saliva substitutes dan
permen bebas gula
4. Dapat dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasan yang baru setelah 3-6
bulan
5. Monitoring kemungkinan timbulnya gangguan perkembangan gigi dan
kraniofasial pada pasien anak
6. Memberi informasi kepada pasien terhadap tetap adanya kemungkinan
komplikasi rongga mulut walaupun perawatan radioterapi telah
berakhir
(Akarslan, 2017)
Efek Samping
Radioterapi pada
Rongga Mulut
1. Xerostomia dan hiposalivasi
2. Mukositis oral
3. Kandidiasis oral
4. Gangguan pada indera pengecap dan malnutrisi
5. Gangguan gigi geligi
6. Perubahan pada tulang.

Kandidiasis oral

Mukositis oral

(Arumsadu, 2021)
Dampak Jika Tidak
Dilakukan Perawatan
Rongga Mulut Pasca
Radioterapi
- Kurang diperhatikannya perawatan kebersihan mulut sebelum, saat, setelah
radioterapi akan meningkatkan faktor resiko terhadap terjadinya efek samping
radioterapi dalam rongga mulut.
- Rentan mengalami kemunduran yang signifikan dan mendadak.
- Jika efeknya sudah mendalam, seringkali terjadi perubahan fungsional dan sensoris
permanen yang melibatkan jaringan lunak rongga mulut. Perubahan ini berawal
dari mukositis oral selama dan sesudah treatment radioterapi, infeksi
oportunistik mukosa, gangguan neurosensoris dan jaringan fibrosis.
- Jika efek samping radioterapi semakin parah maka akan terjadi penundaan
perawatan radioterapi sehingga memperparah kanker yang di derita pasien dan
meningkatkan risiko kematian.
- Peningkatan biaya perawatan dikarenakan tertundanya prosedur yang harus
dilakukan sehingga kualitas hidup pasien dan keluarga akan menurun.

(Anita R, 2020; Scrossi, et al., 2017; Traktama DO & Sufiawan I,


PROGNOSIS DARI
RADIOTERAPI
Prognosis Dari Radioterapi
- Faktor yang memengaruhi nilai keberhasilan radioterapi adalah pengetahuan. Pengetahuan
tentang radioterapi juga akan memengaruhi kepatuhan pasien yang menjalani radioterapi.
Kepatuhan pengobatan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang optimal seperti
penyembuhan dan peningkatan kualitas hidup.

- Karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang yang tidak khas serta letak
nasopharing yang tersembunyi sehingga diagnosis sering terhambat.
- Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat
diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi.
- Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan
dengan radioterapi.
- Prognosis dari pengobatan menggunakan radioterapi dapat menjadi buruk karena efek
sitotoksik radioterapi dapat memunculkan terbentuknya radikal bebas (ROS) yang
berlebihan sehingga terjadi kerusakan DNA sel epitel mukosa oral dan salah satunya
menyebabkan penyakit mucositis.

(Marliyawati D, et al., 2016; Mazna AP, et al., 2020; Sigarlaki ED, Imanto M, Cania E., 2019)
Prognosis Radioterapi
- Faktor utama yang mempengaruhi prognosis pasien dengan Karsinoma nasofaring (KNF) yaitu meliputi keagresifan
tumor yang dikaitkan dengan karakteristik pejamu dan terapi atau penatalaksanaan yang diberikan. Stadium klinis,
keterlibatan kelenjar limfatik regional, dan tatalaksana serta adanya metastasis jauh merupakan factor penting
dalam penentuan prognosis yang berkaitan dengan angka harapan hidup secara keseluruhan.

- Penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa angka harapan hidup pada pasien berjenis kelamin
perempuan lebih baik daripada laki-laki.

- Kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok merupakan etiologi dan sekaligus mempengaruhi faktor prognosis
pasien KNF. Konsumsi akohol dan merokok dapat menurunkan keefektifan terapi dan meningkatkan risiko terjadinya
pertumbuhan tumor yang semakin besar dan secara tidak langsung mempengaruhi angka harapan hidup pasien.
Menghentikan kebiasaan ini dapat meningkatkan prognosis pasien.

- Anemia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis pasien dengan KNF. Penurunan kadar Hb
pada pasien kanker telah dilaporkan dapat menjadi faktor prognosis yang penting dalam penatalaksanaan
radioterapi. Kadar Hb yang rendah dapat menyebabkan terjadinya hipoksia tumor dan meningkatkan sel yang
hipoksik sehingga berpengaruh terhadap resistansi radioterapi dan prognosis yang buruk.

(Faisal, 2014)
KESIMPULAN

Radioterapi adalah pengobatan dengan menggunakan sinar pengion untuk


membunuh atau menghilangkan (eradikasi) seluruh sel kanker yang ada di nasofaring dan
metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Perawatan mulut dipertimbangkan sebagai
dasar untuk tercapainya kesehatan, integritas, dan fungsi mukosa oral yang optimal.
Perawatan mulut dapat mengurangi kolonisasi mikroorganisme rongga mulut, mengurangi
nyeri, serta mencegah infeksi jaringan lunak rongga mulut yang berisiko menjadi infeksi
sistemik. Komponen dasar perawatan mulut meliputi evaluasi kondisi rongga mulut,
edukasi pasien dan atau keluarga, penyikatan gigi, flossing, dan berkumur.
KESIMPULAN

Terapi radiasi pada kepala dan leher dapat mengakibatkan berbagai macam efek
samping seperti mukositis, gangguan pada kelenjar saliva, gangguan pada indera pengecap
dan malnutrisi, gangguan gigi geligi, serta perubahan pada tulang. Jika efek samping
radioterapi semakin parah maka akan terjadi penundaan perawatan radioterapi sehingga
memperparah kanker yang di derita pasien dan meningkatkan risiko kematian.
Pengetahuan tentang radioterapi juga akan memengaruhi kepatuhan pasien yang
menjalani radioterapi. Kepatuhan pengobatan sangat penting untuk mendapatkan hasil
yang optimal seperti penyembuhan dan peningkatan kualitas hidup. Prognosis dari
pengobatan menggunakan radioterapi dapat menjadi buruk karena efek sitotoksik
radioterapi dapat memunculkan terbentuknya radikal bebas (ROS) yang berlebihan
sehingga terjadi kerusakan DNA sel epitel mukosa oral dan salah satunya menyebabkan
penyakit mucositis.
DAFTAR PUSTAKA

Akarslan Z. 2017. Diagnosis and Management of Head and Neck Cancer. Croatia: InTech.
Anita R. 2020. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Terhadap Perilaku Manajemen Kebersihan Mulut pada Pasien Kanker Nasofaring
dengan Radiasi Eksterna di Instalasi Radioterapi Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Universitas Birawan: Jakarta.
Ardhiansyah AO. 2019. Surgery Mapping Seri Onkologi 4: Kanker Kulit dan Sarkoma Jaringan Lunak. Airlangga University Press: Surabaya.
Arumsadu, A. G., Woroprobosari, N. R., Sari, R. K., & Mujayanto, R. (2021). POTENTIAL OF OZONE WATER TO REDUCE THE SEVERITY OF
ORAL MUCOSITIS IN PATIENTS POST HEAD AND NECK RADIOTHERAPY. Jurnal Medali, 3(1), 12-19.
Brown, S., Kirkbride, P., & Marshall, E. (2015). Radiotherapy in the acute medical setting. Clinical Medicine, 15(4), 382.
Faisal HH. 2014. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prognosis. SMF Telinga Hidung
Tenggorok Universitas Indonesia: Jakarta.
Fatmasari, Djakaria HM. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel Basal. Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society. 8(2): 93-97.
Fitriatuzzakiyyah N, Sinuraya RK, Puspitasari IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar Radioterapi dan
Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia; 6(4): 312-315.
Hasibuan c, et al. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan Mukositis Oral pada Penderita Kanker Anak yang Mendapat Kemoterapi.
Jurnal CDK; 46(6): 432-435.
Hidayatika AM, Asih TSN. 2021. Pemodelan Matematika Perkembangan Kanker Serviks dengan Treatment Radioterapi. PRISMA; 4: 728.
Khoirunnisa, Novia, Ningrum. 2017. Hubungan Derajat Xerostomia Dengan Ph Saliva Pasca Radioterapi Kanker Kepala Leher.
Departement Of Medicine; 1(1).
DAFTAR PUSTAKA

Laksimiastuti SR, Tehuteru ES. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi pada Pasien Kanker Anak. Indonesian Journal of
Cancer. 9(4): 173-179.
Lin Diana, Eric J. Lehrer, Jennifer Rosenberg, Daniel M. Trifiletti, Nicholas G. Zaorsky. 2019. Toxicity after radiotherapy in patients with
historically accepted contraindications to treatment (CONTRAD): An international systematic review and meta-analysis.
Radiotherapy and Oncology. 135 (2019): 147–152
Marliyawati D, et al. 2016. Pengaruh Pemberian Polifenol Madu Terhadap Mukositis Oral Akibat Kemoradiasi Pada Penderita Kanker
Kepala Dan Leher. Media Medika Muda. 1(1): 67-74.
Mazna AP, et al. 2020. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Keatuhan Radioterapi pada Pasien Kanker Instalasi di Radioterapi
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samrinda. Medical and Health Science Journal. 4(1): 1- 5.
Rhomdhoni AC. 2021. Karsinoma Nasofaring Diagnosis dan Terapi. Surabaya: Airlangga university.
Scrossi, et al. 2017. Common Oral Complications of Head and Neck Cancer Radiation Therapy: Mucositis, Infections, Saliva Change,
Fibrosis, Sensory Dysfunctions, Dantal Caries, Periodontal Desease, and Osteoradionecrosis. Cancer Medicine. 6(12): 2918-2931.
Sigarlaki ED, Imanto M, Cania E. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Medula. 8(2): 23-26.
Singh KBG, Veness MJ. 2019. The role of radiotherapy in the management of non-melanoma skin cancer. Australasian Journal of
Dermatology. 2019: 1-8.
Traktama DO, Sufiawati I. 2018. Keparahan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher akibat kemoterapi dan/ atau radioterapi.
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 52-63.
KULIAH PAKAR

TUTORIAL SKENARIO 3

KELOMPOK 8

Dosen Pembimbing:

Riky Hamdani, S.KM, M.Epid

Dosen Pakar:

Drg. Maharani L.A, Sp PM


• Eriel Paldaouny Gandrung (1911111110015)

• Talitha Dwi Avissa (1911111220001)

• Diva Ayu Fachriani (1911111220020)

• Gusti Erysa Nur Tsaniya (1911111120013)

• Qantya Auliana Alifa Rahma (1911111120014)


ANGGOTA
• Niluh Made Marshella Dea Alifha (1911111120018)

• Aqshall Ilham Safatallah (1911111310026)


KELOMPOK 8

• Muhammad Akbar Baitullah (1911111210023)

• Ni Wayan Gayatri Ayu Pramesti (1911111320003)

• Natasha Gabrielle Panjaitan (1911111320024)

• Novi Tiara Lestari (1911111320028)


Skenario
Apa sih yang ada laki usia 70 tahun datang ke poli gigi
RSUD dirujuk oleh spesialis bedah Onkologi Untuk merawat
nggak mulutnya. Hal ini dilakukan sebelum melakukan
Radioterapi kanker nasofaring. Penatalaksanaan pada
rongga mulut pasienNantinya juga akan dilakukan saat dan
sesudah Radioterapi . Apabila hal ini diabaikan maka akan
menimbulkan masalah di rongga mulut di kemudian hari,
seperti terjadi erosi dan sariawan saat atau setelah
radioterapi
Identifikasi dan analisis istilah asing

Radioterapi: Suatu perawatan atau terapi penyakit yang


menggunakan radiasi ionisasi untuk merusak atau mencegah
perkembangan sel-sel ganas.

Onkologi: Cabang ilmu medis yang mempelajari proses, cara


untuk mendeteksi, mengobati, meringakan gejala, dan mencegah
kekambuhan penyakit kanker.
Identifikasi dan analisis masalah
1. Bagaimana mekanisme radioterapi hingga dapat menimbulkan erosi dan sariawan pada rongga mulut?
Jawab: Radioterapi adalah suatu perawatan atau terapi penyakit yang menggunakan radiasi ionisasi untuk merusak atau mencegah
perkembangan sel-sel ganas. Radiasi dari terapi ini tidak hanya menghancurkan sel-sel yang ganas namun juga dapat menghncurkan sel-sel yang
masih sehat, sehingga dapat menyebabkan imun pasien tersebut turun yang manifestasinya dapat dilihat pada RM seperti erosi, sariawan,
hiposalivasi maupun xerostomia.

2. Bagaimana perawatan sebelum dilakukannya redioterapi?


Jawab: Pemeriksaan radiografi rongga mulut, pemeriksaan intraoral untuk memastikan keadaan yang sehat, instruksi menyikat gigi dan
menggunakan obat kumur, penindakan perawatan yang diperlukan seperti pencabutan gigi.

3. Apa dampak jika tidak dilakukan perawatan rongga mulut sebelum dilakukannya radioterapi?

Jawab: terjadinya ketidakseimbangan flora rongga mulut yang dapat mengakibatkan oral candidiasis serta terjadinya xerostomia.
Identifikasi dan analisis masalah
4. Apa tujuan dilakukannya perawatan rongga mulut sebelum, pada saat, dan sesudah perawatan radioterapi?
Jawab: Tujuan perawatan setelah radioterapi adalah agar dokter dapat mengevaluasi dan mengetahui respon pasien terhadap efek dari radiasi
(apakah terdapat efek samping setelah dilakukan perawatan atau tidak), karena pastinya dari masing-masing pasien memiliki respon yang berbeda.
Selain itu, juga untuk memaksimalkan hasil radioterapi, apabila RM bermasalah dapat memperlambat kesembuhan. Apabila OH pasien buruk, maka
dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kanker tersebut.

5. Apa saja indikasi dan kontraindikasi dari radioterapi tersebut sehingga dokter Sp.Onkologi harus merujuk pasien ke dokter gigi?
Jawab: Indikasi perujukan dari sp. Onkologi ke drg adalah letak kanker yaitu kanker nasopharynx yang dekat dengan rongga mulut pasien sehingga
dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut pasien. Sedangkan kontraindikasi radioterapi adalah tumor yang tidak radiosensitif sehingga tidak
dapat diberikan radioterapi.

6. Apa perawatan yang dilakukan selama dan setelah radioterapi?


Jawab: Perawatan saat radioterapi dapat dilakukannya monitor terhadap lesi-lesi yang ada pada rongga mulut pasien, untuk mencegah terjadinya
bibir pecah-pecah ataupun bibir kering maka bisa diberikan pelembab bibir atau vaseline pada pasien, dan jika pasien sedang menggunakan gigi
tiruan maka gigi tiruannya bisa dilepas terlebih dulu selama perawatan radioterapi dilakukan. Sedangkan perawatan setelah radioterapi pasien
dianjurkan untuk tetap melakukan perawatan rutin setiap 3 bulan sekali dan mengevaluasi sekresi kelenjar salivanya serta pasien tetap harus
memelihara kebersihan rongga mulutnya.
Identifikasi dan analisis masalah
7. Mengapa perlu dilakukan terapi RM sebelum dilakukan radioterapi untuk kanker nasofaring?
Jawab: Untuk eliminasi potensi infeksi dan menghindari terjadinya komplikasi atau efek samping yang tidak diinginkan apabila pada area RM
masih memiliki penyakit. Hal ini disebabkan karena radioterapi dilakukan pada area nasofaring yang berdekatan dengan area RM..

8. Mengapa spesialis Onkologi merujuk ke dokter gigi?


Jawab: agar tidak memunculkan kerusakan pada sel yang parah dan tidak menyebar, serta meningkatkan kualitas hidup pasien serta radiasi yang
mempengaruhi rongga mulut.

9. Apa komplikasi jika tidak dilakukan radioterapi?


Jawab: : Dapat mengalami gagal napas, mengganggu organ organ disekitarnya, membuat penundaan terapi lainnya, sehingga jika tidak dilakukan
radioterapi maka kanker tidak dapat diketahui.
Problem Tree

Radioterapi

Komplikasi dan Indikasi dan


Tujuan Perawatan Kelebihan dan
Klasifikasi Perawatan Rongga Efek Samping Kontraindikasi
Definisi Rongga Mulut Kekurangan
Radioterapi Mulut Radioterapi Radioterapi pada
pada Radioterapi Radioterapi
Rongga Mulut rongga mulut

Saat Perawatan
Pra-Radioterapi Post Radioterapi
Radioterapi
Sasaran Belajar
1. Apakah definisi dari radioterapi?

2. Apakah tujuan perawatan rongga mulut pada radioterapi?

3. Bagaimana klasifikasi dari radioterapi

4. Apa saja perawatan rongga mulut pada sebelum, sesaat, sesudah radioterapi?

5. Apa saja komplikasi dan efek samping radioterapi pada rongga mulut?

6. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi radioterapi pada rongga mulut?

7. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari radioterapi?


Definisi Radioterapi

Radioterapi atau terapi radiasi merupakan salah satu prosedur medis lokal regional yang
digunakan untuk menangani penyakit kanker. Radioterapi menggunakan radiasi
elektromagnetik (sinar-X dan sinar gamma) atau partikel berenergi tinggi untuk merusak
kemampuan reproduksi sel-sel ganas serta membunuh dan menghentikan pertumbuhan sel-sel
kanker. Radioterapi dapat diberikan secara internal melalui cairan yang diminum, suntikan,
atau dengan penanaman jarum radioaktif. Selain itu, dapat diberikan juga secara eksternal
melalui pancaran radiasi yang diarahkan dari beberapa sudut menyilang daerah tumor,
sehingga daerah ini menerima dosis absorbsi yang jauh lebih besar dibanding jaringan sehat
di sekitarnya (Hariyanto, 2020; Dharmawan, 2018; Sigarlaki, 2019; Ireland, 2015).
Tujuan Perawatan Ronnga Mulut
dalam Radioterapi

untuk menghindari peningkatan faktor risiko dari efek samping yang


ditimbulkan dari terapi tersebut. Perawatan mulut dipertimbangkan
sebagai dasar untuk tercapainya kesehatan, integritas, dan fungsi
mukosa oral yang optimal. Perawatan mulut dapat mengurangi
kolonisasi mikroorganisme rongga mulut, mengurangi nyeri, serta
mencegah infeksi jaringan lunak rongga mulut yang berisiko menjadi
infeksi sistemik

(Traktama, 2018; Hasibuan, 2019).


Tujuan Perawatan Rongga Mulut
Praradioterapi

01 02 03
Menghilangkan sumber Memberikan konseling kepada pasien Menganjurkan perawatan
infeksi oral mengenai komplikasi radioterapi dan pencegahan yang harus diikuti
cara penanganannya selama perawatan radioterapi
Tujuan Perawatan Rongga
Mulut Saat Radioterapi

01 Mendeteksi dan memberikan


perawatan suportif untuk mukositis

03
oral Menangani xerostomia dan
kondisi yang terkait seperti

02 Manajemen kandidiasis oral karies gigi

04 Mencegah trismus dan fibrosis

05 Memberikan pola pikir positif dan


motivasi untuk meringankan stress dan
kecemasan
Tujuan Perawatan Rongga Mulut
Pascaradioterapi

Mencegah dan merawat


Mendeteksi rekurensi tumor
Manajemen xerostomia karies gigi

Mencegah dan Mencegah osteonekrosis


meminimalkan trismus pascaradioterapi

(Sen, 2020).
Klasifikasi Radioterapi
Secara umum radioterapi dibagi menjadi 3 yaitu :

01 02 03
Radioterapi Radioterapi Radioterapi
Kuratif Paliatif Profilaksis

(Triatuzzakiyyah N,2017)
Klasifikasi Radioterapi
Radioterapi pada penderita KNF dapat diberikan
dengan 2 cara yaitu :

01 02
Radioterapi Radiasi Interna
Eksterna (Brachytherapy)
(Teletherapy)

(Sinambela A,2018;Pranandya,2017)
Perawatan Rongga Mulut
a. Perawatan Rongga Mulut Pra Radioterapi

01 02 03
Instruksi Gigi Mana Yang Akan Perawatan
Dicabut dan Waktu
Kebersihan Mulut Pencabutan Restoratif

(Jawad H,2015)
Perawatan Rongga Mulut
Perawatan Rongga Mulut Saat Radioterapi

- Berkomunikasi dengan ahli Onkologi


- Memonitor dan deteksi dini keadaan rongga mulut
(mucositis,infeksi,kares,plak)
- Mengedukasi pasien tentang menjaga kelembaban dan
kebersihan rongga mulut
- Mencegah sedapat mungkin terhadap terjadinya trauma
- Merawat semua kelainan yang timbul di rongga mulut akibat
perawatan kanker
- Pemberian analgesic untuk nyeri di rongga mulut
(Laksimiastuti SR, 2015)
Perawatan Rongga Mulut
c. Perawatan Rongga Mulut Pasca Radioterapi

- Topikal Aplikasi Fluor


- Menggunakan Obat Kumur Chlorhexidine
- Memotivasi pasien untuk melakukan control plak yang ketat dengan makanan yang
seimbang
- Meresepkan obat untuk merangsang aliran saliva
- Menggunakan gigi tiruan lepassan seminimal mungkin
- Tidak merokok dan tidak menggunakan produk tembakau dalam bentuk apapun
- Menggunakan antibiotic topical
-Menggunakan Pain Killers sesuai kebutuhan
- Pembedahan untuk mengangkat tulang mati atau rekonstruksi tulang mulut dan
rahang
(Kawashita,2020;Sen S,2020)
Komplikasi pada rongga mulut dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan
waktu terjadinya yaitu komplikasi akut yang terjadi selama terapi dan komplikasi
lanjut yang terjadi setelah terapi radiasi berakhir. Yang termasuk komplikasi akut
adalah mukositis orofaringeal, sialadenitis, xerostomia, infeksi (terutama kandidiasis),
dan gangguan pengecapan. Sedangkan yang termasuk komplikasi kronis adalah
fibrosis dan atrofi mukosa, karies, nekrosis jaringan (nekrosis jaringan lunak dan
osteonekrosis), fibrosis otot dan kulit serta disfagia.

Komplikasi akut:
a. Mukositis Komplikasi Kronis: Komplikasi Jangka
b. Xerostomia a. Osteoradionecrosis Panjang:
b. Trismus a.Karies radiasi
c. Infeksi rongga
b. Perubahan gigi
mulut
d. Gangguan
pengecapan
Harshitha C dan Laliytha KB, 2017
Indikasi dan Kontra Indkasi Radioterapi
Pada Rongga Mulut
Indikasi pemilihan radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring yaitu, mempertimbangkan
pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF (Karsinoma Nasofaring)
terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari
jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2)
yang tergolong radioresponsif, faktor anatomi nasofaring yang terletak di dasar tengkorak
dengan banyak organ vital dan pola menyebaran sel kanker di daerah kepala-leher yang
menyebabkan pembedahan radikal untuk tujuan kuratif sangat sulit dikerjakan, alasan lain
pemilihan radioterapi pada KNF karena hasil kemoterapi masih kontroversi. Meskipun
pemberian kemoterapi yang di kombinasi dengan radioterapi dilaporkan dapat
meningkatkan respons tumor, namun masih belum atau sedikit menunjukkan peningkatan
angka bertahan hidup secara bermakna.
Edgar DS et al, 2019
Kontraindikasi radioterapi
1) Tumor tidak radiosensitive.
2) Riwayat radiasi ditempat yang sama.
3) Proses tumor telah lanjut (akan menimbulkan anemia).
4) Metastasis dan letak tumor yang tidak menguntungkan.
5) Pasien lansia.
6) Lesi pada daerah insufisiensi vascular.
7) Pasien psikiatrik.
8) Pada bagian tengah dari kelopak mata atas dan kulit pada daerah tulang belakang.
9) Riwayat radiasi di tempat yang sama.
10) Pasien muda karena risiko tinggi terkena dermatitis dan scars.
11) Pasien dengan connective tissue diseases atau kondisi genetic yang dapat
menyebabkan kanker kulit (xeroderma pigmentosum, epidermodysplasia
verruciformis, dan basal cell nevus syndrome) .
Fatmasari, 2017; Medscape, 2020
Kelebihan Radioterapi
01 02 03
Merusak sel-sel Mencegah Potensi
ganas berkembanagnya pengendalian
sel-sel ganas penyakit subklinis

04 05 06
Keamanan relatif bagi kemampuan untuk mengecilkan tumor,
pasien di mana radiasi membunuh lebih banyak sehingga memungkinkan
dapat dikirim dari luar sel secara bersamaan mengubah lesi yang tidak
tubuh dan difokuskan daripada yang dapat dapat dioperasi menjadi
pada tumor, tidak dilakukan oleh terapi lesi yang dapat dioperasi.
menimbulkan rasa sakit tunggal

(Ireland, 2015; Glick, 2015).


Kekurangan Radioterapi
01 02 03
Menyebabkan kerusakan Ketidakmampuan untuk Ketidaknyamanan pasien
jaringan di sekitar membunuh semua sel ganas karena radioterapi
tumor,seperti mengenai sel-sel pada tumor yang sangat memerlukan beberapa kali
yang sehat besar paparan

04 05 06
Tertundanya operasi Pada radioterapi Pada radioterapi
pada radioterapi praoperasi, terjadi pascaoperasi, radioterapi
yang dilakukan peningkatan insiden dapat meningkatkan
sebelum operasi komplikasi luka dan komplikasi lanjut, seperti
penyembuhan yang fibrosis, edema, kekakuan
terlambat sendi, dan patah tulang.

(Glick, 2015; Saymond, 2019).


Daftar Pustaka
● Agarwal, P., Upadhyay, R., Agarwal, A. 2012. Radiotherapy Complications and Their Possible
Management in the Head and Neck Region. Indian J Dent Res. 23(6): 843.
● Dharmawan IBG, Doodoh YE. 2018. Pengaruh Penyinaran Radioterapi pada Pasien Karsinoma
Nasofaring terhadap Kadar Hemoglobin di Instalasi Radioterapi RSUP Sanglah. Jurnal Radiografi
Indonesia. 2(2): 1-4.
● Edgar DS, Mukhlis I, Eka C. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. MEDULA,
Medicalprofession Journal of Lampung Universit. 8(2): 23-26.
● Fatmasari, Djakaria H.M. 2017. Radioterapi Pada Karsinoma Sel Basal. Journal of the
IndonesianRadiation Oncology Society. 8(2): 92-97.
● Fischer, DJ., et al. 2017. Penilaian resiko & diagnosis oral pada kedokteran gigi. Jakarta: EGC.
● Fitriatuzzakiyyah, N., Sinuraya, RK., Puspitasari, IM. 2017. Terapi Kanker dengan Radiasi: Konsep Dasar
Radioterapi dan Perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 6(4): 311-320.
● Glick, M. 2015. Burket’s Oral Medicine. 12th edition. New York: People’s Medical Publishing House.
● Hariyanto AD, Munandar A. 2020. Efek Abscopal pada Kombinasi Radioterapi dan Imunoterapi. Journal
of the Indonesian Radiation Oncology Society. 11(1): 13-16.
Daftar Pustaka
● Harshitha C, Laliytha KB. 2017. Effect of Radiotherapy on the Oral Cavity. Journal of
Pharmaceutical Sciences and Research. 9(12): 2332-2334.
● Hasibuan C., et al. 2019. Perawatan Mulut untuk Pencegahan Mukositis Oral pada
Penderita Kanker Anak yang Mendapat Kemoterapi. CDK-277. 46(6): 432-435.
● Ireland, R. 2015. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
● Jawad, H., Hodson, NA., Nixon, PJ. 2015. A Review of Dental Treatment of Head and
Neck Cancer Patients, Before, During and After Radiotherapy: Part 1. British Dental
Journal. 218(2): 65-68.
● Kawashita, Y., Soutome, S., Umeda, M., Saito, T. 2020. Oral management strategies for
radiotherapy of head and neck cancer. Japanese Dental Science Review. 56(2020): 62-67.
● Laksimiastuti, SR., Tehuteru, ES. 2015. Peran Dokter Gigi Anak Menurut Protokol Onkologi
pada Pasien Kanker Anak. Indonesian Journal of Cancer. 9(4): 173-179.
● Medscape. 2020. What are The Contraindications for Radiation Therapy to Treat Basal Cell
Carcinoma (BCC).
● Pranandya, Ilham, B. 2017. Penyinaran Radiasi Eksterna Kasus Kondrosarkoma
Mandibula Replanning di Instalasi Radioterapi RS Ken Saras.
Daftar Pustaka
● Saymond, P., Mills, JA., Duxbury, A. 2019. Walter and Miller’s Textbook of Radiotherapy:
Radiation Physics, Therapy and Oncology. 8th Ed. China: Elsevier.
● Sen, S., et al. 2020. Palliative oral care in patients undergoing radiotherapy: Integrated
review. Journal of Family Medicine and Primary Care. 9(10): 5130.
● Sigarlaki ED, et al. 2019. Tatalaksana Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Medula.
8(2): 24.
● Sinambela, A., Djakaria, HM. 2018. Revolusi Teknik Radioterapi pada Karsinoma
Nasofaring. Radioterapi & Onkologi Indonesia. 9(1): 20-28.
● Singh KBG, Veness MJ. 2019. The role of radiotherapy in the management of non-
melanoma skin cancer. Australasian Journal of Dermatology. 2019: 1-8.
● Traktama, DO., Sufiawati, I. 2018. Keparahan Mukositis Oral pada Pasien Kanker
Kepala Leher Akibat Kemoterapi dan atau Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi
Indonesia. 4(1): 52-63.
● Yunus, B., Bandu, K. 2019. Efek Radiasi Sinar-X pada Anak-Anak. Makassar Dent J. 8(2):
97-104.
TUMOR
ODONTOGENIK

drg. Irham Taufiqurrahman M.Si.Med., Sp.BMM (K)


INTRODUCTION
• Tumor odontogen berasal dari
kelainan pertumbuhan struktur
jaringan pembentuk gigi
• Bahasan tentang variasi minor
dari odontogenesis yang bukan
merupakan neoplasma asli
• Prevalensi tumor odontogen
adalah 1 % dari jumlah populasi
Klasifikasi WHO (1992)
Neville, Oral and maxillo Facial Pathology 2nd ed,2000
TUMOR OF
01 ODONTOGENIC
EPITHELIUM
Ameloblastoma
CO Terdiri dari:
• Conventional solid atau multicystic
FF
( 86%)
EE • Unicystic (13%)
• Peripheral (extraoseous) (1%)
DISTRIBUTION
Conventional solid or
multicystic intraosseous
ameloblastoma
● True neoplasm of enamel organ-type tissue which does not undergo differentiation to
the point of enamel formation.
● Robinson: usually unicentric, nonfunctional,intermittent in growth, anatomically benign
and clinically persistent
● Wide age,rare in younger than10 y.o, equal prevalence in third to seven decades

7
…conventional…

● 85% in the mandible, molar-ascending ramus area


● 15% maxilla,posterior regions
● Often asymptomatic, a painless swelling, grow slowly.
● Radiographic: a multilocular radiolucent lession, the lession is
soap bubble appearance, honeycombed.

8
9
10
…conventional…

Pathogenesis
1. Cell rest of the enamel organ either remnants of dental lamina or remnants of Hertwig’s
sheath,the epithelial rest of Malasez
2. Epithelium of odontogenic cyst,particulary the dentigerous cyst and odontomas
3. Disturbance of the developing enamel organ
4. Basal cells of the surface epithelium of the jaws
5. Heterotopic epithelium in other part of body especially the pituitary gland

11
Histopathologic features

Paterns:
1. Follicular type
2. Plexiform type
3. Acanthomatous type
4. Granular cell type
5. Desmoplastic type
6. Basal cell type

12
…patterns…

● Follicular patern: the most common and recognizable. Islands of epihtelium resemble
enamel organ epihtelium in a mature fibrous connective tissue stroma
● The epithelial nests consist of a core of loosely arranged angular cells resembling the
stellate reticulum of an enamel organ

13
…patterns…

▪ Plexiform pattern: consist of long, anastomosing cords or larger sheets of odontogenic


epithelium. The stellate reticulum- like tissue is much less prominent in the plexiform
type
PLEXIFORM
…patterns…

● Acanthomatous pattern:
The cells occupying the position of the stellate reticulum undergo squamous metaplasia
sometimes with keratin formation in the central portion of the tumor islands
ACANTHOMATOUS
…patterns…

● Granular cell pattern: transformation of groups of lesional


epithelial cells to granular cells
● Desmoplastic pattern: contains small islands and cords
of odontogenic epihelium in a densely collagenized
stroma
● Transforming growth factor ß
● Basal cell type: resemblence to the basal cell ca of
the skin.
● The least common type
Treatment

● Simple enucleation
● En block resection
● Radiation seldom, intraosseous location
and potentially secondary
induced malignancy
developing in a relatively
young patient population

22
24 11/4/2021
25 11/4/2021
Histopathologic features

● Three HPA variants:


1. Luminal unicystic
ameloblastoma
2. Intraluminal unicystic ameloblastoma
3. Mural unicystic ameloblastoma
Calcifying Epithelial
Odontogenic Tumor
● Dikenal sebagai pindborg tumor
● Insidensi < 1% dari seluruh tumor odontogenik
● Dua pertiga kasus terjadi pada mandibula.
● Ciri dari tumor ini adalah tidak nyeri, tumbuh lambat
● radiografis menunjukkan gambaran campuran radioopak dan
radiolusen yang sering berhubungan dengan gigi impaksi
HISTOLOGIS
• Ditandai dengan pembentukkan pulau, benang atau lembaran dari sel epitel polihedral.
• Terdapat area yang luas dari bahan amorphous eosinophilic hyalinized (seperti amiloid).
• Gambaran utama : Kalsifikasi yang dibentuk dari bahan seperti amiloid dan membentuk
cincin konsentris yang dikenal dengan cincin Liesegang.
• Bahan seperti amiloid menunjukkan amelogenin atau protein enamel yang disekresi oleh
sel tumor.
Terapi dan Prognosa
● Terapi : reseksi dengan batas 1 cm dari margin tumor
● Rekurensi : 1% pasca reseksi
Squamous odontogenic tumor

● Histologic identification often mistaken as an acanthomatous


ameloblastoma or as a well differentiated epidermoid
carcinoma
● It occurred with approximately equal frequency of involvement
of the maxilla and mandible.
● Asymptomatic but presenting manifestations included
mobility of involved teeth,pain, tenderness to percussion and
occasionally abnormal sensations
SQUAMOUS ODONTOGENIC
TUMOR RADIOLOGRAPHIC
FEATURE

It present as a semicircular or rough


ly triangular radiolucent area,with or
without sclerotic border, usually in as-
sociation with cervical portion of the
tooth root
Histologic feature

● It consist of varying-shaped
islands of bland- appearing
squamous epihtelium in a mature
fibrous connective tissue stroma.
● Microcystic vacuolization and
individual cell keratinization
within the epithelial islands are
common features

38
Treatment

● Conservative local excision or curettage appears to be effective


● Maxillary squamous odontogenic tumors may be somewhat more aggressive than
mandibular lessions with a greater tendency to invade adjacent structures,require wider
excision
Ameloblastic carcinoma

● Rare, far less 1 % of all ameloblastoma


● Age 4-75 years(mean age 30 years)
● 10 years after treatment of the primay tumor
● Metastase in the lungs, cervical lymph nodes, vertebrae
● Radiographic the same as other ameloblast but margins ill define and destruction cortical
CLEAR CELL ODONTOGENIC
CARCINOMA

● Rare jaw tumor


● Odontogenic origin
● Similar to glycogen-rich presecretory ameloblast
● Radiographically, unilocular or multilocular radiolucencies. The margins of radiolucencies
is ill defined or irreguler
Clear Cell Odontogenic
Carcinoma
● diduga berasal dari odontogen
● histologis terdapat kemiripan pada pembentukkan benih gigi yang
tidak sempurna.
● Diagnosis banding : proses metastase dari ginjal.
● sel ini merupakan varian dari clear cell dari karsinoma sel ginjal.
● Tumor ini dapat terjadi di maksila dan mandibula dengan prevalensi
lebih banyak pada wanita tua.
CLEAR CELL ODONTOGENIC
CARCINOMA
CLEAR CELL ODONTOGENIC
CARCINOMA
ADENOMATOID
ODONTOGENIC TUMOR
● Hamartroma dan merupakan lesi odontogenik meliputi 3
sampai 7% dari seluruh tumor odontogen.
● Kelainan ini dianggap sebagai varian ameloblastoma dan
dinamakan adenoameloblastoma.
● Berdasarkan klinis dan biologis dapat dibedakan dengan
ameloblastoma
● Usia muda dan dua pertiga kasus didapatkan pada decade ke
2.
● Daerah predileksinya anterior, maksila : mandibula=2:1.
● Insidensi pada wanita dua kali daripada pria.
● ukuran kecil dan jarang sekali berukuran dengan diameter lebih dari
3 cm.
● Pada 75% kasus lesi ini nampak sebagai gambaran radiolusen
unilokuler yang menutupi mahkota dari gigi yang erupsi, umumnya
pada gigi kaninus.
Histologis

● merupakan lesi selalu diliputi kapsul yang tebal dari jaringan fibrous.
● bagian tengah tumor berupa bagian yang padat atau perubahan kistik dengan proliferasi jaringan
intraluminal.
● Lesi ini tersusun dari bentuk sel epitel spindel yang membentuk lembaran, benang, atau
gumpalan masa dari sel kurang dari stroma fibrous.
● Sel epitel bisa berbentuk seperti rosseta dengan ruang dibagian tengah kosong atau
mengandung sejumlah bahan eosinofil yang tampak dengan pewarnaan amiloid.
● Ciri khas dari adenomatoid odontogenik tumor adalah struktur yang menyerupai tubulus atau
duktus.
● Bentuk ini terdapat didaerah tengah dikelilingi oleh lapisan epitel kolumner atau kuboidal yang
nukleusnya mengalami polarisasi terbalik
TERAPI DAN PROGNOSA
● Terapi : enukleasi dan kuretase
● Pada suatu penelitian didapatkan dari 499
kasus hanya satu yang mengalami
rekurensi.
MIXED
02 ODONTOGENIC
TUMOR
Ameloblastic
Fibroma
• Benign mixed odontogenic tumor
CO • Lesion predominantly located over
FF unerupted molars in young patient
EE • Epithelial & mesenchimal true
histologic biphasic tumor
• Rare less 2 % odontogenic
tumor
• Children & young teenagers
(averages 14 years old)
• Male > female
• White = blacks
• Slow growing, painless
• 70 % posterior of mandible
DISTRIBUTION
• Radiographic : well defined radiolucency,
sclerotic of cortical border, over an
unerupted tooth, = dentigerous cyst
• Unilocular small, multilocular large
• DD : dentigerous cyst, OKC, Ameloblastoma

Ameloblastic Fibroma
Radiographic
● Treatment : enucleation & curretage
with removal associated teeth
● Prognosis: recurence : 18%

TREATMENT &
PROGNOSIS
Ameloblastic
Fibro-odontoma
• True mixed odontogenic
tumor
• Component : epithelial,
connective tissue, similar to
a complex odontoma
• Mass, painless, impacted
teeth
• Mandible > maxilla
• Posterior region jaw
• Children & young adult
DISTRIBUTION
• Radiography : unilocular, well dermacated, or
multilocular mixed lucency opacity with
radiopaque component
• Radiopaque unerupted teth & suround
unerupted crown
• DD : odontoma

Ameloblastic Fibro-odontoma
Radiographic
● Treatment : enucleation or conservatif
curretage & removal impacted teeth
● Prognosis : excellent, recurrence is
unusual

TREATMENT &
PROGNOSIS
Ameloblastic Fibrosarcoma
(ameloblastic sarcoma)
● Malignant counterpart of the
ameloblastic fibroma
● Only mesenchymal portion
malignancy
● Male : female = 1,5 : 1
● Younger patients ( ± 27,5
years)
● Mandible > maxilla
● Pain & swelling, rapid clinical
growth
KLINIS
• Radiography: destructive radiolucent lesion that
suggest a malignant process
• Histopathologic : an epithelial component
(benign), mesenchymal portion ( atypical cells,
hyperchromatic, mitoses)
• Treatment: radical surgical excision

Ameloblastic
Fibrosarcoma
Radiographic
Odontoameloblastoma
• Rare odontogenic tumor
• Contains an ameloblastomatous component
& odontoma like element
• Formerly called “ ameloblastic odontoma”
• Pain, delayed eruption of teeth, expansion of
affected bone
• Age : younger patients
• Mandible > maxilla
• Radiographically: a radiolucent, destructive process
that contain calcified structure (similar to complex
odontoma)
• Histopathologic: proliferating epithelial portion
(ameloblastoma),conglomerate masses of enamel,
dentin & cementum (complex odontoma)
• Treatment: ~ ameloblastoma, local curretage
multiple recurrence

Odontoameloblastoma
Radiographic
Odontoma
• 70 % of all odontogenic tumor
CO • Differentiation of odontogenic tissue
FF (enamel, dentin, cementum, pulp)
EE • Complex odontoma dental hard
tissue
• Compound odontoma small
imperfectly formed teeth
• May develop association : unerupted
tooth, dentigerous cyst
• All age young adult
• Maxilla = mandible
• Compound odontoma anterior maxilla
• Complex odontomas posterior region jaw
• Compound odontoma : more common
• Painless, swelling alveolar process

Odontoma
Compound “small tooth like” structure, appears as a collection
of toothlike structures of varying size and shape surrounded by a
narrow radiolucent zone

Complex a calcified mass with the radiodensity of tooth structure


which is also surrounded by a narrow radiolucent rim. May confused
w/ an osteoma or some other highly calcified bone lession

Radiographic
Compound Odontoma
Complex Odontoma
Treatment: enucleation, simple
local excision

Prognosis: excellent

Treatment
THANKS
DO YOU HAVE ANY PO
QUESTIONS?
PI

CA
FE

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo,


including icons by Flaticon, infographics & images by Freepik
Please keep this slide for attribution
OSTEOCHONDROMA

CASE REPORT
(DOKUMENTASI PRIBADI)
OSTEOCHONDROMA
OSTEOCHONDROMA
OSTEOCHONDROMA
OSTEOCHONDROMA
OSTEOIDOSTEOMA

CASE REPORT
(DOKUMENTASI PRIBADI)
OSTEOID OSTEOMA
OSTEOID OSTEOMA
OSTEOID OSTEOMA
Kuliah Pakar
Skenario 1 Blok 13
Kelompok 7
Dosen Pembimbing:
Yusrinie Wasiaturrahmah,
S.Farm, M.Pharm, Apt

Dosen Kuliah Pakar:


drg. Beta Widya Oktaviani,
Sp.Perio
Anggota kelompok :
Rizqiqa Harini (1911111220012)
Andres Migael Hidalgo (1911111110010)
Yopy Prasetya Triaji (1911111210006)
Talytha Anggreyni (1911111220014)
Gusti Erysa Nur Tsaniya (1911111120013)
Sara Yulia Carolina Situmorang (1911111220032)
Muhammad Soni Fitrian (1911111310036)
Shely Desia Widiawati (1911111320008)
Sabila Maghfuroh Aqsha Syahari (1911111320012)
Ahda Annisa (1911111320016)
Geyanina Melda Adhiya (1911111320025)
Gusti Wina Ayu Hazarisa (1711111320014)
SKENARIO
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke
RSGM . Ia mengeluh kondisi gusinya yang bengkak,
namun anehnya bengkaknya hanya di sekitar 1-2
giginya saja. Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil
anak pertamanya. Pada saat menyikat gigi sering gusi
tersebut berdarah. Saat ini pasien sudah melahirkan
namun kondisi gusinya tetap bengkak hanya sedikit
berkurang. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
sistemik. Hasil pemeriksaan intraoral menunjukkan
bahwa terjadi hiperplasia pada papilla interdental 13
14, gingiva berwarna merah, mengkilat, bertangkai,
BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5 dan tidak terjadi
kerusakan tulang.
Identifikasi Istilah Asing dan Klarifikasi Istilah Asing
• hiperplasi
jawaban :
• hiperplasi adalah peningkatan jumlah sel dalam suatu jaringan atau organ
sehingga menyebabkan pertambahan ukuran dari jaringan atau organ
tersebut.
• peristiwa meningkatnya jumlah sel yang terjadi pada organ tertentu akibat
peningkatan prores mitosis
• Meningkatnya jumlah sel pada organ tertentu yaitu sel hati, ginjal, dan
jaringan ikat akibat dari peningkatan proses mitosis
• Hiperplasi merupakan bentuk adaptasi sel, kondisi ini biasa terjadi karena
adanya jejas. Pada skenario wanita tersebut sedang hamil. Sehingga lesi
mungkin muncul akibat ketidakseimbangan hormon saat kehamilan.
Analisis Masalah
1. Apa diagnosis klinis penyakit dalam skenario tersebut ?
Epulis Gravidarum. Diagnosis pada skenario dilihat dari keluhan dan berdasarkan hasil pemeriksaan
intraoralnya maka dapat dikatakan diagnosis nya adalah epulis gravidarum. Epulis gravidarum adalah
lesi inflamasi yang berkembang di mukosa mulut wanita hamil. Yang terjadi akibat hubungan antara
faktor lokal, faktor hormonal dan faktor mikrobiologi. Lesi ini biasa muncul di trimester 1 atau 2
kehamilan.

2. Apa hubungan pembengkakan dengan kehamilan?


hormon pada wanita hamil yaitu hormon estrogen dan progesteron yang meningkat akan menyebabkan
pelebaran pembuluh darah sehingga gingiva menjadi lebih bengkak, dan mengalami pendarahan.
diakibatkan karna ketidakseimbangan hormon estrogen & progesteron saat kehamilan dan juga mungkin
karena adanya karies dan kalkulus membuat peradangan pada gingiva.

3. Apa etiologi pada penyakit tersebut?


Disebabkan oleh perubahan hormon dan iritasi lokal. Pada wanita hamil terjadi peningkatan hormon
estrogen dan progesteron yang sangat signifikan serta iritasi lokal seperti penumpukan plak dan kalkulus
yang bisa menyebabkan terjadinya epulis gravidarum.
Analisis Masalah
4. Apa diagnosis banding berdasarkan skenario tersebut?
Gingivitis gravidarum granulomatosa

5. Apa saja pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk skenario di atas?


pertama dapat dilakukan anamnesa lalu dilakukan pemeriksaan intraoral. kontrol plak seperti Scaling,
polishing, dan root planing dapat dilakukan kapan pun diperlukan selama kehamilan.

6. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada kasus diatas?


kemungkinan bayi lahir prematur dikarenakan adanya bleeding on probing bisa saja bakteri masuk
menembus barier plasenta, terjadi gangguang fungsi sitokin yang menyebabkan bayi lahir premature

7. Kenapa gusi yang bengkak hanya terjadi di sekitar 1-2 gigi saja?
Karena mungkin pada 1-2 gigi itu saja yang terdapat penumpukan plak dan kalkulus sehingga
menyebabkan bengkak terbatas pada daerah itu saja
Analisis Masalah
8. Bagaimana penanganan pertama yang dapat dilakukan pada skenario tersebut?
a. anamnesa, palpasi, dan memeriksa batas jaringan lunak nya
b. bisa dirujuk ke Sp.OG, diperbaiki OH nya dan apabila pasien perlu pengobatan segera dapat diberikan
obat analgesik
c. kontrol plak, scaling, DHE, apabila masih parah dapat dilakukan eksisi bedah epulisnya, dan konrol
epulis untuk melihat apakah sudah sembuh/berkurang

9. Bagaimana prognosis penyakit yang dialami pada pasien?


Epulis gravidarum umumnya akan sembuh secara spontan setelah partus. tetapi apabila pasca
persalinan epulis ini hanya berkurang sedikit saja ukurannya dan dirasa mengganggu fungsi rongga
mulut dan estetika maka dapat dilakukan eksisi untuk menghilangkan jaringan hiperplasinya. Namun
tindakan invasif tidak disarankan untuk dilakukan pada masa kehamilan karena kemungkinan
pendarahan yang tinggi dan risiko kekambuhan yang bisa saja terjadi. Apabila diperlukan peresepan
obat pada ibu hamil, maka dokter gigi harus berhati-hati karena ada obat-obatan tertentu yang menjadi
kontraindikasi bagi ibu hamil. Kontrol plak juga disarankan untuk menggunakan obat kumur yang tidak
mengandung alkohol.

10. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa kondisi pasien pda
sk?
Pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biopsi
Analisis Masalah
11. Bagaimana patogenesis dari kasus pada skenario diatas?
Sasaran belajar

12. Apa faktor predisposisi pada kasus skenario di atas?


OH yang buruk, mengkonsumsi obat-obatan, hormon yang berubah.
Perubahan hormonal khususnya pada wanita saat kehamilan dapat memperberat keradangan gusi dan
dapat menyebabkan epulis gravidarum lebih mudah menyerang. dan juga pada saat masa kehamilan pH
dari rongga mulut cenderung asam dimana yang sangat disukai oleh bakteri, apalagi jika orang tersebut
OH nya buruk. berdasarkan skenario ohis pasien 2,5 yang dimana itu masuk dalam katagori ohnya buruk
jadi 1. Tidak menjaga kebersihan mulut ; 2. Banyaknya plak dan karang gigi yang tidak ditangani.
definisi

Etiologi

Epidemiologi

Patogenesis

Manifestasi Klinis
Epulis
gravidarum
Penatalaksanaan

Pemeriksaan
penunjang

Diagnosis
Banding

Prognosis

Komplikasi
Sasaran Belajar
1. Apa definisi Epulis Gravidarum?
2. Apa etiologi Epulis Gravidarum?
3. Apa epidemiologi Epulis Gravidarum?
4. Bagaimana patogenesis Epulis Gravidarum?
5. Bagaimana manifestasi Klinis Epulis
Gravidarum?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari Epulis
Gravidarum?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang Epulis
Gravidarum?
8. Apa diagnosis banding Epulis Gravidarum?
9. Apa prognosis Epulis Gravidarum?
10. Bagaimana komplikasi Epulis Gravidarum?
DEFINISI
Epulis gravidarum (pregnancy epulis, pregnancy
granuloma, pregnancy tumor) adalah tumor jinak
yang diakibatkan karena hormon progesterone
menghambat aktivitas kolagenase yang
menyebabkan akumulasi dari kolagen sehingga
muncul pembengkakan dan meningkatkan aliran
pembuluh darah. . Kondisi ini biasanya terjadi pada
masa trimester kedua dan lesi ini dapat tumbuh
hingga lebih dari diameter 2 cm. Bentuknya
berdungkul, lunak, kemerahan, tumbuh pada bagian
interdental, dan seringkali muncul pada bagian
anterior maksila. Epitel yang menutupi lesi ini
sangat tipis dan pada area ulserasi eksudat fibrin
menutupinya.
(Wijaksana IKE. 2019; Suwandi, T. 2019; Gupta et
al., 2016).
Etiologi

Pertama Ketiga Kelima


granuloma gravidarum dapat Iritasi menyebabkan jaringan ikat Progesterone menghambat aktivitas
muncul karena respon terhadap fibrovascular tersebut menjadi kolagenase yang menyebabkan akumulasi
berbagai rangsangan akibat hiperplastik dan terjadi ploriferasi dari kolagen sehingga muncul
iritasi kronis, trauma dan faktor jaringan granulasi dan memicu pembengkakan dan meningkatkan aliran
hormonal terbentuknya granuloma pyogenikum pembuluh darah.

Kedua Keempat
Faktor iritasi dapat berupa Lesi granuloma piogenikum muncul
kebersihan mulut yang buruk pada trimester kedua atau ketiga
(deposit plak dan kalkulus), kehamilan seiring dengan
infeksi nonspesifik, restorasi meningkatnya kadar hormon utama
yang ketinggian, tergigit semasa kehamilan yaitu hormon
estrogen dan progesteron di dalam
darah dan saliva.

(Pascawinata A, 2016; Wijaksana IKE, 2019; Utami LD, et al. 2020)


Epidemiologi

Menurut hasil penelitian yang dimuat Berdasarkan Data Riset kesehatan Menurut Journal periodontal, Pada sumber lain disebutkan
Journal Obstetric Gynecology, Yiping Dasar Depkes 2009 menunjukkan 77% prevalensi epulsi bahwa granuloma piogenik
Han tahun 2010, tercatat 5-10% ibu 72,1 % penduduk Indonesia gravidarum pada ibu hamil yang ini hanya berkembang pada
selagi mengandung juga akerap mengalami gangguan kesehatan melahirkan bayi premature 5% wanita hamil
mengalami pembengkakan gusi (epulsi gigi pada ibu hamil dengan berat badan lahir
gravidarum) atau pregnancy tumor. rendah menderita gingivitis
periodontitis (Sarwal P dan Lapumnuaypol K, 2020;Kshirsagar JT
dan Balamurugan A, 2018; Suwandi T, 2019; Stiawan
SM.,er al 2017)
Patogenesis
Konsentrasi bakteri subgingiva Perubahan hormon utama semasa
berubah menjadi bakteri anaerob
01 dan jumlahnya meningkat selama
masa kehamilan. Bakteri yang
02 kehamilan dapat menyebabkan dilatasi
vaskuler sehingga berpengaruh terhadap
meningkatnya permeabilitas vaskuler.
meningkat drastis selama masa Reseptor estrogen memperantarai hormon
kehamilan adalah P. intermedia. estrogen pada gingiva serta kelenjar saliva
yang dapat menyebabkan proses terjadinya
diferensiasi serta proliferasi sel epitel dan
pembuluh darah.

Peningkatan hormon estrogen dan terdapat penurunan sel limfosit-T yang


progesteron selama kehamilan matang yang merupakan salah satu faktor

03 juga dapat menyebabkan


meningkatnya aliran (Gingival
04 yang menyebabkan perubahan respon
jaringan terhadap plak, kadar progesteron
Crevicular Fluid) termasuk yang meningkat selama masa kehamilan
mediator inflamasi sehingga juga dapat memicu terjadinya peradangan
respon terhadap adanya gingiva dengan menghambat produksi
peradangan menjadi berlebihan interleukin-6 (IL-6)
terhadap adanya mikroorganisme.
Manifestasi Klinis
lesi berwarna
merah cerah bentuknya berdungkul lunak

Text Here Text Here Text Here

banyak vaskularisasi yang biasanya bertangkai dan


kadang memiliki flek putih di dapat mencapai diameter
tidak menimbulkan
permukaannya lebih dari 2 cm rasa sakit
Text Here Text Here Text Here

timbul di papila
interdental, dan umumnya
berlobus mudah berdarah lebih sering di daerah
labial pada rahang atas

Text Here Text Here Text Here

Rahmawati, 2017; Soulissa, 2014; Suwandi, 2019; Shahid, 2019


Manifestasi Klinis
Epulis gravidarum sering terjadi
pada bulan ke-2 dan ke-3 masa
kehamilan, dengan manifestasi
awal terlihat pada minggu ke-8.
Puncak keparahan terdapat
pada bulan ke-8 masa
kehamilan atau kehamilan pada
minggu ke-32, kemudian
menurun pada bulan ke-9 masa
kehamilan seiring dengan
menurunnya kadar hormon
dalam tubuh

Soulissa, 2014; Stiawan, 2017; Wijaksana,2019


Manifestasi Klinis

01 SECARA
HISTOLOGI 02 SECARA
MIKROSKOPIS

Epulis Gravidarum adalah Epulis gravidarum memiliki


proses inflamasi reaktif yang
diisi dengan saluran vaskular
pola pertumbuhan eksofitik
yang berkembang cepat, dikelilingi jaringan yang
jaringan ikat fibroblastik yang normal dilapisi epitel gepeng
belum matang, dan inflamasi berlapis yang rata, atrofi atau
yang tersebar. Mengakibatkan
ulserasi dengan lesi terdiri
akumulasi kolagen di dalam
jaringan ikat, sehingga dari proliferasi pembuluh
memberikan mekanisme darah disertai jaringan
tambahan yang mungkin untuk granulasi. Terdapat sebukan
pembesaran gingiva yang sel radang limfosit dan sel
dramatis dari granuloma
kehamilan, dan efek vaskular plasma. Netrofil terdapat di
menyebabkan penampilan superficial dari daerah
merah cerah, dan hiperemia dan ulserasi
edema untuk pembesaran
gingiva

Esmaeil, 2012; Omisakin, 2020; Hanriko, 2016


Penatalaksanaan
FASE I FASE II FASE III Content Here Content

ETIOTROPIK BEDAH Maintenance

• Kontrol • Eksisi • Kontrol


plak bedah plak
• Scalling epulis • Kontrol
• Ekstraksi epulis
• DHE • DHE

Cardoso, 2013
Penatalaksaan
Jika epulis gravidarum sudah cukup parah, penatalaksanaannya adalah sebagai berikut

Add Text
Profilaksis oral dilakukan pada kunjungan Dalam kunjungan berurutan hingga 18 PowerPoint Presenta
yang pertama, diikuti dengan instruksi bulan, pasca operasi tidak ada
kebersihan mulut dari dokter. Setelah kekambuhan lesi yang terlihat.
pemeriksaan darah rutin, inform consent Pemeriksaan histopatologi
juga harus diperoleh dokter dari pasien. menunjukkan epitel skuamosa berlapis
Pada kunjungan kedua, biopsi eksisi parakeratosis dengan ketebalan
dilakukan menggunakan laser CO2 sesuai bervariasi dari atrofi hingga
dengan peraturan keamanan penggunaan hiperplastik. Fokus juga menunjukkan
laser seperti memakai kacamata, memakai bahwa daerah ulserasi ditutupi oleh
panjang gelombang sesuai aturan membran fibro purulen. Stroma
keamanan, meminimalkan permukaan jaringan ikat di bawahnya
reflektif di lokasi operasi, dan penggunaan menunjukkan banyak kapiler dengan
plume evacuator. Laser CO2 10.600 nm berbagai bentuk dan ukuran, beberapa
dioperasikan pada 2,5 Watt, digunakan di antaranya diisi dengan sel darah
setelah infiltrasi lignokain 2% (anestesi merah, banyak sel endotel yang
lokal) yang diikuti dengan scalling rutin bertunas dan sel inflamasi kronis
dan kuretase pada area tersebut. padat yang menyusup terutama
limfosit, sel plasma, dan makrofag.

Sigtia, 2018
Penatalaksaan

Keadaan pasien Tindakan eksisi Keadaan Gingiva


pada kunjungan dengan laser setelah biopsi
pertama sebelum CO2 eksisi
penatalaksanaan

1 4 3

Sigtia, 2018
Penatalaksaan

Kondisi gingiva Massa Epulis


Kondisi gingiva pada
pada masa Gravidarum yang
masa penyembuhan
penyembuhan telah diangkat
setelah 18 minggu
setelah 2 minggu

4 5 6

Sigtia, 2018
Pemeriksaan Penunjang

HISTOPATOLOGIS BIOPSI PEMERIKSAAN HINDARI PEMERIKSAAN


DARAH FOTO IMUNOHISTOKIMIA
X-RAY

Hasan, 2006; Varma S, 2017; Hanriko R, 2016; Mueller, 2015; Sun WL et al., 2014
Diagnosis
Banding
1. Peripheral Giant Cell Granuloma

Lesi sel raksasa yang ada di rongga


mulut yang paling umum muncul
sebagai jaringan lunak ekstra-osseous
nodul merah keunguan yang terdiri dari
sel raksasa berinti banyak dengan latar
belakang sel stroma mononuklear dan
sel darah merah ekstravasasi

(Hanriko, 2016).
2. Peripheral Ossifying Fibroma

Granuloma gravidarum didiagnosa banding dengan peripheral ossifying fibroma


karena secara makroskopis memberikan gambaran yang sama namun massanya
berwarna lebih terang dan biasanya terjadi pada area gigi molar permanen. Secara
mikroskopis peripheral ossifying fibroma berupa lesi lobuler terdiri dari hyperplasia
fibroblast dengan tulangi matur dan osteoid (Hanriko, 2016).
3. Epulis Fibromatosa

Epulis fibromatosa adalah tumor jinak


yang tumbuh lambat dan lesi yang tidak
terasa sakit, akan tetapi dapat
mengganggu estetik dan pengunyahan
saat makan. Etiologi epulis fibromatosa
berasal dari iritasi kronis. Tampakan
klinis yang terlihat,antara lain bertangkai
atau tidak, warna agak pucat,
konsistensi kenyal, batas tegas, padat
dan kokoh

(Mubarak H et al., 2020).


4. Hiperplasi Gingiva

Hiperplasia gingiva merupakan salah satu


akibat pemberian beberapa obat-obatan
antikonvulsan, imunosupresan, dan
calcium channel blockers. Pertumbuhan
gingiva dimulai sebagai pembesaran
papilla interdental yang nyeri dan serupa
manik-manik, meluas dari marginal
gingiva fasial dan lingual. Seiring dengan
perkembangan kondisi penyakit, pembesaran marginal dan
papilla bersatu kemudian berkembang menjadi lipatan
jaringan masif yang menutupi sebagian mahkota gigi
pembesaran tersebut dapat mengganggu oklusi. Djais Al, 2014.
5. Irritational Fibroma

Fibroma iritasi adalah tumor jaringan


lunak yang umum, jinak, tumbuh
lambat. Hal ini dapat sering terlihat
terkait dengan trauma dan iritasi
konstan. Biasanya muncul sebagai
massa tanpa gejala yang secara bertahap
bertambah besar ukurannya. Tidak ada
komplikasi yang signifikan karena
fibroma iritasi. Biasanya ditangani
dengan eksisi bedah lengkap.
Prognosisnya sangat baik setelah
sumber iritasi benar-benar dihilangkan Saharan K, et al., 2017
Prognosis

Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat


baik. Setelah melahirkan biasanya epulis gravidarum
akan sembuh sendiri dikarenakan hormon sudah mulai
stabil dan ditambah jika pasien menjaga kebersihan
rongga mulut maka untuk terjadinya infeksi sekunder
dapat dihindari. Epulis gravidarum sendiri tidak
memiliki potensi yang mengarah pada keganasan.

Fatma, et al., 2018; Wijaksana, 2019


Komplikasi
Penyakit periodontal yang terjadi pada kehamilan dapat
menyebabkan terjadinya kelahiran prematur dengan
atau tanpa disertai Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Kelahiran bayi prematur BBLR terjadi sebagai akibat
dari infeksi dan dimediasi secara tidak langsung,
terutama oleh perpindahan produk bakteri seperti
endotoksin (lipopolisakarida atau LPS) dan aktivasi dari
mediator inflamasi pada kehamilan.
Molekul aktif biologis seperti prostaglandin E2 (PGE2)
dan tumor necrosis factor (TNF) terlibat dalam proses
kelahiran normal. Dengan adanya proses infeksi, level
sitokin dan PGE2 menjadi meningkat yang dapat
menstimulasi terjadinya kelahiran prematur

Suwandi T, 2019; Ulfah K, 2016


DAFTAR PUSTAKA
Angwirawan LS, Ticoalu HRS, Siagian KV. 2015. Gambaran Klinis Gingiva Pada Ibu Hamil di Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang.
Jurnal e-Gigi; 3(2):324-325.
Barot VJ, Chandran S, and Vishnoi SL. 2013. Peripheral ossifying fibroma: A case report. Journal Indian Society Periodontology. 17(6):
819-822.
Cardoso JA, et al. 2013. Oral granuloma gravidarum: a retrospective study of 41 cases in Southern Brazil. 21(3). J Appl Oral Sci: 215-8.
Chrcanovic BR, Gomes CC, Gomez RS. 2019. Peripheral giant cell granuloma associated with dental implants: a systematic review.
Journal of stomatology, oral and maxillofacial surgery. 120(5):456-461.
Djais AI, Astuti LA. 2014. PENATALAKSANAAN HIPERPLASIA GINGIVA DISEBABKAN OLEH PENGGUNAAN AMLODIPINE: Sebuah
Laporan Kasus. As-Syifaa; 06 (02): 125-134.
Esmaeil N, Sharmila B, Sangeeta M, Rahul K. 2012. A case report of pregnancy tumor and its management using the diode laser.
Journal of Dental Lasers. 6(2): 68.
Fatma UY, Ozge G. 2018. Pyogenic granuloma pregnancy a case report. Biomed Jsci and techres. 5(1).
Gupta, C.A., Rath, C.S.K. & Umesh, C. 2016. Granuloma Gravidarum at Unusual Site. Indian Journal of Dental Advancements, 08(03):
176–178.
Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik Pada Ginggiva. JK Unila. 1(2): 428-431.
Hasan CY, Rahmat MM. 2006. Penatalaksanaan Epulis Gravidarum Maksila Sinistra. Majalah Kedokteran Gigi. 13(2): 161-164.
Kshirsagar JT dan Balamurugan A, 2018. Role of sex hormones in periodontium during pregnancy: A review. IJADS. 4(4): 168-73.
Mubarak H, Rasul I, Nurwahida. 2020. Penatalaksanaan giant fibromatous epulis: sebuah laporan kasus. Makassar Dental Journal. 9(2):
128-130.
Mueller. 2015. Periodontology the essential 2nd Ed .Thieme. Heidelberg.
Omisakin OO, Mohammed-Durosinolorun. 2020. Pregnancy epulis: Case series among pregnant women in Kaduna, Northern Nigeria.
African Journal of Oral Health Sciences. 7(1): 1-8.
Pascawinata, A. 2016. Penatalaksanaan Granuloma Pyogenikum pada Bibir Bawah (Laporan Kasus). Jurnal B-Dent. 3(1): 18-22.
Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal Stikes:
1(1).
Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal
Kebidanan. 6(1):26-34.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmawati D. Mayong OP. 2017. PERAWATAN KESEHATAN RONGGA MULUT IBU HAMIL DI PUSKESMAS TRENGGALEK JAWA
TIMUR. Jurnal Kebidanan. 6(1): 2.
Saharan K, Shivaprasad S, Poornima R, Ashok L. 2017. Irritational fibroma of gingiva in a young female: A case report. Journal of
Medicine, Radiology, Pathology and Surgery. 4(1):15-17.
Sarwal P dan Lapumnuaypol K, 2020. Pyogenic granuloma. Shahid U, et al. 2019. Management of pregnant women requiring dental
treatment. Journal of Advanced Medical and Dental Sciences Research. 7(3): 96-99.
Sigtia SH, Hegde R, Ansari WN dan Gudakuwala A, 2018. Carbon dioxide laserassisted management of pregnancy tumor: A case report.
Journal of Dental Lasers. 12(1): 41-44.
Soulissa AG. 2014. Hubungan Kehamilan dan Penyakit Periodontal. Junal PDGI. 63(3): 72-75.
Stiawan SM, Aini I, Mildiana YE. 2017. ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY “I” DENGAN KEHAMILAN FISIOLOGIS DI BPM
HJ DAYAROH, SST DS. SEMBUNG PERAK JOMBANG. Midwifery Journal Of STIKes Insan Cendekia Medika Jombang. 13(1): 51- 55.
Sun WL, Lei LH, Chen LL, et al. 2014. Multipe Gingival Pregnancy Tumors with Rapid Growth. Journal of Dental Sciences. 9(1): 290-291.
Suwandi T, 2019. Hubungan Penyakit Periodontal pada Kehamilan dengan Kelahiran Bayi Prematur. Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu. 1(1).
53-57.
Tandon PN, Gupta SK, Gupta DS, Jurel SK and Saraswat A. 2012. Peripheral giant cell granuloma. Contemporary Clinical Dentistry; 3(1):
118-121.
Ulfah K, Ervina I. 2016. Hubungan Antara Periodontitis Dengan Kelahiran Bayi Prematur Berberat Badan Lahir Rendah Ditinjau Dari Aspek
Destruksi Periodontal. Cakradonya Dent J. 18(1): 17-22.
Utami LD, et al. 2020. Manifestasi oral pada ibu hamil berdasarkan perbedaan trimester kehamilan. Padjadjaran Journal of Dental
Researchers and Students. 4(1): 81-89.
Utami LD, Hidayat W, Sufiawati I. 2020. Manifestasi oral pada ibu hamil berdasarkan perbedaan trimester kehamilan. Padjadjaran Journal of
Dental Researchers and Students. 4(1): 82.
Varma S. et.al. Gingival Epulis, An Enigma for Clinical Diagnosis: A Case Report. International Journal of Science and Research (IJSR).
2017: 6(4); 391.
Wijaksana IKE. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal Kesehatan Gigi; 6(2): 118-125.
Zhu Y, Zhang H, Li C. 2019. The clinical application of partial removal periodontal surgery in the therapy of epulis. Medicine. 98(27).
KULIAH PAKAR
SKENARIO 1
KELOMPOK 8
DOSEN PEMBIMBING: Juliyatin Putri Utami, S. Si., M. Biomed.

DOSEN PAKAR: drg. Beta Widya Oktiani, Sp. Perio


Nama Anggota Kelompok 8

Annisa Al Afganing 1911111220004


Yeni Monika 1911111120016
Sri Meidita Achmad 1911111220017
Diva Ayu Fachriani 1911111220020
Widyandini Aulia Arif 1911111220013
Nurul A’idah 1911111220033
Chandra Wijaya 1911111310014
Aulia Rahimah 1911111320017
Nur Amalina 1911111320031
Antung Lutfiliawan 1911111310037
Widya Rahmidianti 1911111320015
Adam Kevin Dhaniswara 1711111210002
SKENARIO
Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi..???
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia mengeluhkan
kondisi gusinya yang bengkak, namun anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2
giginya saja. Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya. Pada
saat menyikat gigi sering gusi tersebut berdarah. Saat ini pasien sudah
melahirkan namun kondisi gusinya tetap bengkak hanya sedikit berkurang.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Hasil pemeriksaan intraoral
menunjukkan bahwa terjadi hiperplasi pada papilla interdental 13 14, gingiva
berwarna merah, mengkilat, bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5
dan tidak terjadi kerusakan tulang.
Identifikasi dan Klarifikasi Istilah Asing
BOP
BOP adalah kepanjangan dari
Bleeding on Probing merupakan
pemeriksaan klinis yang dapat
Hiperplasi dilakukan untuk melihat adanya
kelainan periodontal karena
Hiperplasia adalah pembesaran organ atau
adanya proses inflamasi
jaringan karena terjadinya peningkatan
mikroorganisme mengunakan
proses proliferasi sel. Hiperplasia hanya
instrumen probe, terdapat 4 grade
dapat terjadi pada sel-sel yang mengalami
dalam BoP. Jika BOP (+) artinya
mitosis. Hiperplasia menunjukkan sel
terjadi perdarahan pada saat
dengan ukuran normal tapi jumlah sel
probing, kemudian jika BOP (-)
berlebih, perbedaan dengan hipertrofi
artinya tidak terjadi perdarahan
menunjukkan jumlah sel normal ukurannya
pada saat probing.
membesar.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis kasus pada skenario tersebut?
Diagnosis pada kasus di skenario adalah pregnancy tumor atau bisa disebut dengan “Epulis
Gravidarum” karena pada pemeriksaan intraoral menunjukkan bahwa terjadi hiperplasi pada
papilla intrdental 13 14, gingiva berwarna merah, mengkilat, bertangkai, dan BOP (+). Sesuai
dengan gejala epulis gravidarum sendiri yang mana warna gingiva berwarna merah karena
terdapat jaringan vaskuler didalamnya dan gejala lainnya adalah gingiva mengkilat serta
bertangkai.
2. Penanganan apakah yang dapat dilakukan pada ibu tersebut dan kapan waktu
yang tepat untuk melakukan perawatan periodontal?
Pada kasus ringan epulis gravidarum sebenarnya bisa hilang sendiri, tetapi pada skenario
disebutkan bahwa pembengkakan tidak hilang bahkan setelah melahirkan maka bisa
dilakukan tindakan ekstirpasi yaitu mengangkat seluruh masa tumor, idealnya dilakukan
setelah melahirkan. Tetapi apabila sudah terlalu parah dan menimbulkan rasa tidak nyaman
pada pasien bisa dilakukan tindakan ekstirpasi pada saat masa kehamilan dengan
memperhatikan beberapa faktor seperti kadar Hb, karena apabila kadar Hbnya rendah maka
akan meningkatkan resiko perdarahan yang berat.
Identifikasi dan Analisis Masalah
3. Apakah ada hubungan antara hiperplasia dengan
kehamilan?
Hubungan antara hiperplasia dengan kehamilan adalah terjadinya ketidakseimbangan
hormonal berupa hormon estrogen dan progesteron. Mekanisme ketidakseimbangan hormon
ini sehingga menyebabkan hiperplasia diawali oleh peningkatan vaskularisai pada pembuluh
darah pada saat kehamilan yang menyebabkan terbentuknya infiltrasi radang berupa
manifestasi edema. Selanjutnya, edema ini mengalami degenerasi sel pada jaringan gingiva
sehingga menimbulkan pembengkakan berupa hiperplasia pada jaringan gingiva.
4. Apa etiologi berdasarkan kasus pada skenario diatas?
Etiologi utama dari skenario adalah faktor lokal, seperti plak dan kalkulus karena gingivits pada
saat kehamilan sama dengan gingivitis biasa. Namun, pada saat kehamilan, kondisi gingiva
diperparah dengan adanya faktor hormonal, yaitu peningkatan hormon estrogen dan
progrestoren yang dapat meyebabkan peningkatan proliferasi seluler, vasodilatasi pembuluh
darah, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Pada saat hamil, sistem imunitas juga
menurun yang menyebabkan ibu hamil lebih rentan mengalami infeksi oleh bakteri. Hormon
estrogen dan progesteron yang meningkat menyebabkan cairan sulkus gingiva menjadi media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen.
Identifikasi dan Analisis Masalah

5. Komplikasi apa yang dapat terjadi dari penyakit di skenario


tersebut?
Pada saat kehamilan, peningkatan hormon estrogen dan progresterin menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan gingiva lebih sensitif terhadap
faktor lokal. Hal ini dapat menyebabkan bakteri masuk ke pembuluh darah dan mencapai
plasenta yang menyebabkan bayi lahir prematur. Selain itu, komplikasi lain yang juga dapat
terjadi adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada bayi dengan ibu yang mengalami
epulis gravidarum.
6. Faktor predisposisi pada kasus di skenario tersebut?
Faktor Predisposisi Epulis Gravidarum; perubahan hormon (estrogen dan progesteron), adanya iritasi
kronis lokal dan tulang alveolar yang tajam; kurangnya menjaga oral hygiene, termasuk jenis makan
yang dikonsumsi; pengetahuan ibu yang kurang mengenai perawatan oral hygiene pada saat
kehamilan; infeksi dari bakteri Prevotella Intermedia.
Identifikasi dan Analisis Masalah

7. Apa saja diagnosis banding dari kasus diatas?


Diagnosis banding dari pregnancy tumor atau biasa disebut ‘Epulis Gravidarum’ adalah
Gingivitis Kehamilan atau pregnancy gingivitis, Epulis Granulomatosa, Epulis angiomatosa,
Peripheral Giant Cell Granuloma, Pheriperal Ossifying Granuloma dan Epulis Fibromatosa.

8. Mengapa setelah melahirkan kondisi gusi pasien tetap bengkak?


Pembengkakan tidak hilang meskipun sudah melahirkan karena bisa jadi faktor predisposisi pada
epulis gravidarum seperti OH buruk, kalkulus dan plak, serta infeksi lokal tidak segera diatasi dan
dihilangkan sehingga menyebabkan pembengkakannya bertahan. Umumnya lesi pada pasien
epulis semakin lama akan mengecil dengan sendirinya, akan tetapi pada kasus tertentu seperti
kasus di skenario lesi masih bertahan setelah bayi dilahirkan sehingga perlu dilakukan biopsi
pada pasien, apabila pembengkakan mengganggu pasien dalam rongga mulutnya bisa dilakukan
bedah eksisi secara konservatif.
Identifikasi dan Analisis Masalah
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk
penyakit tersebut?
Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan klinis pada pasien, Ekstraoral: Terdapat
pembengkakkan jaringan limfe. Intraoral: Terdapat hiperplasia berwana kemerahan,
mengkilap, dan batas jelas. Jika sudah mendapatkan diagnosa sementara epulis gravidarum,
setelahnya dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa: Biopsi, Insisional dan Eksisional;
Pemeriksaan darah; dan Radiografi.

10. Apa yang terjadi apabila kasus diatas tidak segera ditangani?
Berkaitan dengan komplikasi, jadi apabila tidak segera ditangani tentunya dapat menyebabkan
komplikasi. Komplikasinya tersebut dapat menyebabkan kemungkinan bayi lahir prematur
dikarenakan adanya bleeding on probing bisa saja bakteri masuk menembus barier plasenta, terjadi
gangguang fungsi sitokin yang menyebabkan bayi lahir prematur. Dampak lain yang bisa terjadi
apabila tidak segera ditangani yaitu adanya kegoyangan gigi yang berdekatan dengan
pembengkakan karena posisi gigi tertekan sehingga dapat menyebabkan bergesernya gigi.
Identifikasi dan Analisis Masalah

11. Bagaimana cara perhitungan BOP hingga dapat


didapatkan kasus yang positif?
BOP dilakukan dengan memasukkan probe ke dalam gingiva gigi yang akan diperiksa,
setelah itu ditunggu hingga beberapa saat dan terakhir probe nya ditarik dan diamati apakah
terjadi perdarahan atau tidak. BOP bernilai (+) apabila terjadi perdarahan setelah probing dan
BOP bernilai (-) apabila setelah dilaukukan probing tidak terjadi perdarahan. Adapun skor
BOP ini adalah:
0= tidak ada perdarahan
1= Ada perdarahan berupa titik
2= Perdarahan berupa garis di bagian yang dilakukan probing (bukal, palatal, lingual)
3= Perdarahan terjadi di area proksimal
4= Perdarahan menyebar.
Definisi

Epidemiologi

PROBLEM TREE Etiologi

Patogenesis

Manifestasi Klinis
Epulis Pemeriksaan Penunjang
Gravidarum
Diagnosis Banding

Penatalaksanaan

Prognosis

Komplikasi

Pencegahan
SASARAN BELAJAR

1. Definisi Epulis Gravidarum


2. Epidemiologi Epulis Gravidarum
3. Etiologi Epulis Gravidarum
4. Patogenesis Epulis Gravidarum
5. Manifestasi klinis Epulis Gravidarum
6. Pemeriksaan penunjang Epulis Gravidarum
7. Diagnosis banding Epulis Gravidarum
8. Penatalaksanaan Epulis Gravidarum
9. Prognosis Epulis Gravidarum
10. Komplikasi Epulis Gravidarum
11. Pencegahan Epulis Gravidarum
01
DEFINISI
EPULIS
GRAVIDARUM
DEFINISI
Epulis gravidarum (pregnancy epulis,
pregnancy granuloma, pregnancy tumor)
merupakan gambaran umum dan khas
yang muncul pada ibu hamil. 0.2-5% ibu
hamil mengalami lesi ini dan biasanya
muncul pada gusi rahang atas. Bentuknya
berdungkul, lunak, kemerahan, tumbuh
pada bagian interdental, dan seringkali
muncul pada bagian anterior maksila.
Kondisi ini diakibatkan progesterone
menghambat aktivitas kolagenase yang
menyebabkan akumulasi dari kolagen
sehingga muncul pembengkakan dan
meningkatkan aliran pembuluh darah.
(Kusumawardani., 2018; Wijaksana, 2019)
02
EPIDEMIOLOGI
EPULIS
GRAVIDARUM
Epidemiologi Epulis Gravidarum

Epulis gravidarum (yaitu, tumor


kehamilan atau epulis
kehamilan)terjadi pada 0,2%
hingga 9,6% kehamilan. Mereka
secara klinis dan histologis
tidak dapat dibedakan dari
granuloma piogenik yang
terjadi pada wanita tidak hamil
atau pada pria. Granuloma
piogenik paling sering muncul
selama bulan kedua atau ketiga
kehamilan
(Newman & Carranza, 2018)
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh pasien ibu
hamil yang datang untuk berobat ke Puskesmas Garuda
Bandung. Manifestasi oral lainnya yang dapat ditemukan
lebih sedikit, berdasarkan data hasil penelitian tabel 2
yaitu epulis gravidarum sebanyak 2 orang (2,9%)
(Utami LD et al., 2020).
03
ETIOLOGI
EPULIS
GRAVIDARUM
ETIOLOGI

KOMPOSISI PERAN
PLAK HORMON
SUBGINGIVA KEHAMILAN

RESPON
IMUN IBU
HAMIL

(Shahid, 2019; (Newman & Carranza, 2019)


HORMON HORMON HORMON
ESTROGEN PROGESTERON ESTROGEN &
• Meningkatkan vasodilatasi PROGESTERON
pembuluh darah dan meningkatkan
• Meningkatkan permeabilitas yang mengakibatkan • Mempengaruhi
proliferasi seluler edema dan akumulasi sel inflamasi substansi dasar
pada pembuluh • Meningkatkan proliferasi kapiler
jaringan ikat
darah, seperti yang baru terbentuk di jaringan
gingiva, sehingga meningkatkan dengan
endometrium meningkatkan
kecenderungan perdarahan
• Mengurangi • Mengubah tingkat dan pola fluiditas
keratinisasi produksi kolagen • Peningkatan
sembari • Meningkatkan pemecahan konsentrasi
meningatkan metabolisme asam folat, seperti dalam saliva dan
glikogen epitel defisiensi asam folat dapat
cairan dengan
• Mempunyai menghambat perbaikan jaringan
• Mempunyai respon spesifik di peningkatan
reseptor spesifik konsentrasi
jaringan gingiva
di jaringan • Menurunkan plasminogen activator dalam serum
gingiva inhibitor tipe 2 (PAI-2), sehingga
meningkatkan proteolysis jaringan
(Newman & Carranza, 2019)
04
PATOGENESIS
EPULIS
GRAVIDARUM
Patogenesis Epulis
Gravidarum

Adanya interaksi antara bakteri dan hormon dapat


menimbulkan perubahan pada komposisi plak
dan berperan penting pada proses peradangan
gingiva. Konsentrasi bakteri subgingiva berubah
menjadi bakteri anaerob dan jumlahnya
meningkat selama masa kehamilan. Bakteri yang
meningkat drastis selama masa kehamilan
adalah Provotella intermedia. Peningkatan ini erat
kaitannya dengan tingginya kadar estrogen dan
progesteron di dalam tubuh. Selain itu terdapat
penurunan sel limfosit-T yang matang dan
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
perubahan respon jaringan terhadap plak.
(Suwandi T, 2019).
Patogenesis Epulis Gravidarum

Kadar progesteron yang meningkat selama masa kehamilan juga dapat


memicu terjadinya peradangan gingiva dengan menghambat produksi
interleukin-6 (IL-6). Interleukin-6 berfungsi menstimulasi diferensiasi
limfosit B, limfosit T dan mengaktifkan sel makrofag dan sel NK,
dimana sel-sel tersebut berperan menyerang dan memfagositosis
bakteri yang masuk ke sirkulasi darah, sehingga dengan dihambatnya
produksi IL-6 mengakibatkan gingiva rentan terhadap peradangan.
Progesteron juga merangsang produksi prostaglandin (PGE2) dimana
PGE2 merupakan mediator yang poten dalam respon inflamasi.

(Suwandi T, 2019).
Patogenesis Epulis Gravidarum

Efek peningkatan hormon estrogen


adalah terjadinya peningkatan proliferasi
selular dalam pembuluh darah,
menurunkan proses keratinisasi dan
meningkatkan epitelial glikogen.

Hormon progesterone menyebabkan


peningkatan vasodilatasi, permeabilitas Efek kombinasi kedua hormone tersebut
pembuluh darah, peningkatkan proliferasi mempengaruhi substansi dasar jaringan
pembuluh darah kapiler baru pada gingiva, ikat karena adanya peningkatan cairan
menghambat pembentukan kolagen dan serta meningkatnya konsentrasi saliva
menurunkan plasminogen aktivator inhibitor dengan adanya peningkatan konsentrasi
tipe 2 sehingga terjadi peningkatan proteolitik serum
jaringan.

(Suwandi T, 2019).
05
MANIFESTASI
KLINIS EPULIS
GRAVIDARUM
Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum

Konsistensinya lunak,
bertangkai dan dapat Lesi berwarna merah
mencapai ukuran 2 cerah dan tidak
cm menimbulkan rasa
sakit

Banyak vaskularisasi
yang kadang berflek Tidak berdarah sehingga tidak
putih di permukaannya menimbulkan keluhan selain
pertambahan ukuran dan
biasa timbul di papilla
Lesi dapat mengalami interdental labial rahang atas
ulserasi

(Hamdoun et al., 2018; Sahid et al., 2019).


Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum

Terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa


kehamilan, dengan manifestasi awal
terlihat pada minggu ke-8. Puncak
keparahan terdapat pada minggu ke-32.
Pertumbuhan epulis gravidarum lambat
tetapi memiliki episode pertumbuhan yang
cepat. Dapat mengalami penurunan jumlah
ukuran pada bulan ke-9 masa kehamilan
seiring dengan menurunnya kadar hormon
dalam tubuh.
(Hamdoun et al., 2018; Sahid et al., 2019).
MANIFESTASI KLINIS EPULIS GRAVIDARUM

Secara histologis gambaran epulis gravidarum


dilapisi oleh epitel skuamosa stratifikasi, stroma
berisi kapiler-kapiler, jaringan ikat menunjukkan
adanya edema dan infiltrasi oleh sel neutrophil di
seuperficial dari daerah ulserasi, sel plasma dan
limfosit.
Epulis gravidarum menunjukkan jaringan granulasi
longgar yang kaya pembuluh darah dan proliferasi
sel-sel endotelia secara khusus menyertai campuran
infiltrasi sel-sel inflamatori

(Sahid et al., 2019; Suwandi T, 2019).


06
DIAGNOSIS
BANDING
EPULIS
GRAVIDARUM
Diagnosis Banding Epulis Gravidarum

Peripheral Giant Cell Granuloma


(PGCG)
Sama-sama merupakan lesi gingival reactive
hyperplasia. Secara klinis, PGCG dapat muncul
sebagai lesi poliploid atau nodular, terutama
berwarna merah kebiruan dengan permukaan halus
mengkilap atau bermamilasi dengan ukuran
bervariasi, diameter biasanya tidak melebihi 2 cm,
dan umumnya lunak atau kenyal. PGCG paling
sering tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat
menyebabkan ulserasi dan infeksi karena
gangguan oklusi.

(Hanriko, 2016; Patil 2018)


Diangnosis Banding Epulis Gravidarum

Peripheral Ossifying Fibroma

Lesi ini terjadi sebanyak 66% pada wanita.


Peripheral ossifying fibroma karena secara
makroskopis memberikan gambaran yang
sama namun massanya berwarna lebih
terang dan biasanya terjadi pada area gigi
molar permanen. Secara mikroskopis
peripheral ossifying fibroma berupa lesi
lobuler terdiri dari hyperplasia fibroblast
dengan tulang matur dan osteoid.

(Suramya et al., 2014; Hanriko, 2016).


07
PROGNOSIS
EPULIS
GRAVIDARUM
PROGNOSIS

“Prognosis Sangat baik”


Setelah melahirkan biasanya epulis gravidarum
akan sembuh sendiri dikarenakan hormone sex
sudah mulai stabil dan di tambah jika pasien
menjaga kebersihan rongga mulut maka untuk
terjadinya infeksi sekunder dapat dihindari. Epulis
gravidarum sendiri tidak memiliki potensi yang
mengarah pada keganasan.

(Sarwal, 2020; Yarkac, 2018; Hanriko, 2016).


08
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
EPULIS
GRAVIDARUM
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Analisi Histopologi
Secara mikroskopis granuloma piogenik (epulis gravidarum)
memiliki pola pertumbuhan eksofitik yang dikelilingi oleh
jaringan normal dan dilapisi epitel gepeng berlapis yang rata,
atrofi atau ulserasi dengan lesi terdiri dari proliferasi pembuluh
darah disertai jaringan granulasi.

Biopsi Insisional
Pengambilan sebagian jaringan yang sakit. Biopsi ini
dilakukan bila jaringan yang sakit terlalu besar (ukuran lebih
dari 2 cm), sehingga tidak dapat dilakukan pengangkatan
seluruh jaringan yang sakit tanpa tindakan rekonstruksi
untuk menutup defeknya.

Biopsi Eksisional
Pengangkatan seluruh jaringan yang sakit sampai tepi
yang sehat. Biopsi ini bias dilakukan bila jaringan yang
sakit kecil (kurang dari 2 cm), sehingga defek masih bisa
ditutup primer.
(Sarwal, 2020; Yarkac, 2018).
09
KOMPLIKASI
EPULIS
GRAVIDARUM
KOMPLIKASI

1. kelahiran prematur
dengan atau tanpa
disertai BBLR.2

2. kelahiran normal
disertai BBLR.2

(Suwandi, 2019; Wijaksana, 2019; Ulfah, et al., 2016).


10
PENATALAKSANAAN
EPULIS
GRAVIDARUM
Penatalaksanaan Epulis Gravidarum
Epulis gravidarum dapat sembuh spontan setelah masa
kehamilan namun jika epulis gravidarum mengganggu baik
secara fungsi maupun estetik, maka penatalaksanaannya
dapat dilakukan eksisi di mana dilakukan pengikatan
tangkai epulis dan pengambilan jaringan epulis secara
menyeluruh setelah dilakukan anestesi secara lokal (dengan
menggunakan anestesi infiltrasi) pada masa kehamilan
(Wijaksana IKE, 2019)
Penatalaksanaan Epulis Gravidarum
1. Perawatan Gigi Pilihan
Selain kontrol plak yang baik, perlu untuk menghindari
perawatan gigi elektif jika memungkinkan selama
trimester pertama dan paruh terakhir trimester ketiga.
Trimester pertama merupakan periode organogenesis, di
mana janin sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan.
Pada paruh terakhir trimester ketiga, ada bahaya kelahiran
prematur karena rahim sangat sensitif terhadap
rangsangan eksternal (Newman & Carranza, 2019)
Algoritma Perawatan Pasien Hamil
(Newman & Carranza, 2019)
Penatalaksanaan Epulis Gravidarum
2. Radiografi
Keamanan radiografi gigi selama kehamilan telah
ditetapkan dengan baik, asalkan item seperti film
berkecepatan tinggi, filtrasi, kolimasi, dan apron
timbal digunakan.
3. Obat-obatan
4.Terapi obat
Untuk pasien hamil kontroversial karena obat dapat
mempengaruhi janin dengan difusi melintasi plasenta.
(Newman & Carranza, 2019).
Gambar Klasifikasi Obat oleh FDA
Berdasarkan Potensi Defek Kelahiran
(Newman & Carranza, 2019)
Tabel Pemberian Lokal Anestesi dan Analgesik Selama
Kehamilan (Newman & Carranza, 2019)
Tabel Pemberian Antibiotik Selama Kehamilan
(Newman & Carranza, 2019)
Tabel Pemberian Obat Sedatif-Hipotik Selama
Kehamilan (Newman & Carranza, 2019).
11
PENCEGAHAN
EPULIS
GRAVIDARUM
Pencegahan

Mengkonsumsi
Makanan yang Bergizi

Menciptakan tingkat
kebersihan mulut yang Menghindari Makanan
optimal yang Manis dan Lengket

Memeriksakan Diri ke
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Gigi
(Kemenkes, 2015; Rahmawati, 2017)
KESIMPULAN
Epulis gravidarum adalah reaksi jaringan granulomatik yang berkembang
pada gusi selama kehamilan, dan merupakan lesi proliferatif jinak pada
jaringan lunak mulut dengan angka kejadian berkisar dari 0,2 hingga 5%
dari ibu hamil. Epulis ini terjadi akibat gangguan keseimbangan
hormonal dan/atau iritasi kronis, biasa terjadi pada wanita hamil mulai
tampak pada trimester II dan terutama di regio posterior. Epulis ini
berkembang dengan cepat, dan ada kemungkinan berulang pada
kehamilan berikutnya. Menurut PDGI, mencatat radang gusi merupakan
masalah mulut dan gigi yang paling sering menimpa ibu hamil dimana 5-
10% mengalami pembengkakan pada gusi. Beberapa penyebab granumola
adalah gingivitis yang tidak diobati yang akan berkembang menjadi
granuloma dan kebersihan rongga mulut yang kurang,perawatn rongga
mulut yang kurang tepat, peningkatan hormone progesterone 10x lebih
tinggi, adanya trauma, dan pembuluh darah yang pecah. Sebagian besar
tumor pada pasien hamil berkembang di daerah di mana pembedahan
dapat menimbulkan kesulitan teknis dan sering kambuh. Di sisi lain,
evolusi dapat bersifat jinak dan pengobatan tidak selalu diperlukan saat
pasien hamil.
DAFTAR PUSTAKA
• Costa, P., Peditto, M., Marcianò, A., Barresi, A. & Oteri, G. 2021. The “Epulis” Dilemma. Considerations from Provisional to
Final Diagnosis. A Systematic Review. Oral, 1(3): 224–235. https://www.mdpi.com/2673-6373/1/3/22.
• Diniar AR, Isnanto, Soesilaningtyas. 2021. Pengetahuan Ibu Hamil Terkait Kunjungan ke Poli Gigi Klinik Sahabat Medika
Surabaya Tahun 2020. Jurnal Ilmiah Keperawatan Gigi; 2(1): 85-92. Fatma, U. Y., Ozge G. 2018. Pyogenic granuloma
pregnancy a case report. Biomed Jsci and techres. 5(1): 4330.
• Gambacorta V. 2019. Increased Epulis Gravidarum Prevalence in women with Both Nasal and Oral Symptoms. Otaloryngol
Open Jurnal; 5(1): 18-21.
• Geca T, Kwiatek M, Krzyzanowki A, Kwasniewska A. A Large Oral Pregnancy Tumor – Case Report. GinPolMedProject.
2018; 1(47): 38-40.
• Grigore M, Costache M, Simionescu O. Case Report; Granuloma Gravidarum on the Post-Excisional Scar for an Atypical
Melanocytic Lesion During Pregnancy. Modern Medicine. 2020; 27(2): 125-131.
• Hamdoun R, Ennibi OK, Amine C. 2018. Pyogenic Granuloma of the Gingiva: A Case Report. International Journal of
Contemporary Medical Research. 5(11): 78.
• Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik pada Gingiva. Jk Unila. 1(2): 428-430.
• Kemenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Upaya Kesehatan
Gigi dan Mulut.
• Kusumawardani B & Robin DMC. 2018. Penyakit Dentomaksilofasial. Edisi 1. Malang: Intimedia.
• Newman, M. G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., Carranza, F.A. 2018. Newman and Carranza’s Clinical Periodontology.
Elsevier.
• Newman, T., Carranza, K. 2019. Newman and Carranza’s Clinical Periodontology. 13th Ed. Los Angeles: Elsevier.
• Patil, CL., et al. 2018. Peripheral giant cell granuloma manifestation in pregnancy. Indian J Dent Res. 29: 678-82.
• Rahmawati D, Mayong OP. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal
Kebidanan. 2017; 6(1): 26-34.
• Sarwal, P., Lapimnuaypol K. 2020. Pyogenic Granuloma. Treasure Island: StatPearls Publishing.
• Shahid, U., Srivastava, R. 2019. Protocols and guidelines for management of pregnant women requiring dental treatment: A
Review. Journal of Advanced Medical and Dental Sciences Research. 7(3): 97-102.
• Sigita SH, Hegde R, Ansari WN, Gudakuwala A. Carbon dioxide laser-assisted management of pregnancy tumor: A case
report. Journal of Dental Lasers. 2018; 12(1): 41-4.
DAFTAR PUSTAKA
• Stiawan SM, Aini I & Mildiana YE. 2017. ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY “I” DENGAN
KEHAMILAN FISIOLOGIS DI BPM HJ DAYAROH, SST DS. SEMBUNG PERAK JOMBANG. Midwifery
Journal Of STIKes Insan Cendekia Medika Jombang; Volume 13 No.1: 51-55.
• Suramya, S., Gujjari, SK., Sreeshyla, HS. 2014. Peripheral Osyyfying Fibroma in Pregnancy: A Multifactorial
consequence. IJMDS. 3(2): 520-1.
• Suwandi T. 2019. Hubungan Penyakit Periodontal Pada Kehamilan dengan Kelahiran Bayi Prematur. JKGT.
1(1): 53-57.
• Ulfah, K., Ervina I. 2016. Hubungan Antara Periodontis dengan Kelahiran Bayi Prematur Berberat Badan Lahir
Rendah Ditinjau dari Aspek Destruksi Periodontal. Cakradonya Dental Journal. 18(1): 17-22.
• Utami LD, Hidayat W, Sufiawati I. 2020. Manifestasi Oral pada Ibu Hamil Berdasarkan Perbedaan Trisemester
Kehamilan. Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students; 4(2): 81-89.
• Varma, S., et al. 2017. Gingival Epulis, An Enigma for Clinical Diagnosis: A Case Report. International
Journal of Science and Research (IJSR); 6(4): 391.
• Venkatasubramanyam A, Hegde R, Sigtia S, Muglikar S, Shourie V. Laser Assisted Management of
Telangiectatic Granuloma in Third Trimester of Pregnancy – A Case Report. Jurnal of Clinical and Diagnostic
Research. 2018; 12(1): 7- 8
• Wijaksana IKE. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal Kesehatan Gigi; 6(2): 118-
125.
• Yarkac, F. U., Gokturk, O. 2018. Pyogenic Granuloma in Pregnancy: A Case Report. Bio J Sci & Tech Res.
5(1): 4330.
Kuliah Pakar

Dosen Pembimbing: Aulia Azizah,


S.KM.,M.PH
Dosen Pakar: drg. Beta Widya
Oktiani, Sp. Perio
● Fatimah Maulideya (1911111220009)
● Meilin Risky Angelina (1911111120005)
● Namira Fathya Salsabila (1911111120003)
● Amalia Putri (1911111120019)
● Naura Hanifa (1911111220025)
● Maulida Hasanah (1911111220026)
● Muhammad Dinil Fajr (1911111310035)
● Syafira (1911111320011)
● Husnul Mariah (1911111320013)
● Natasha Gabrielle Panjaitan (1911111320024)
● Dini Maulani (1911111320042)
Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi?
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia
mengeluhkan kondisi gusinya yang bengkak, namun anehnya
bengkak hanya di sekitar 1-2 giginya saja. Sudah mulai
bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya. Pada saat
menyikat gigi sering gusi tersebut berdarah. Saat ini
pasien sudah melahirkan namun kondisi gusinya tetap
bengkak hanya sedikit berkurang. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik. Hasil pemeriksaan intraoral
menunjukkan bahwa terjadi hiperplasia pada papilla
interdental 13 14, gingiva berwarna merah, mengkilat,
bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5 dan
tidak terjadi kerusakan tulang.
Tutorial
Identifikasi dan
Klarifikasi Istilah Asing
Hiperplasia
Peristiwa untuk meningkatkan jumlah sel pada
organ tertentu karena proses mitosis atau
penambahan jumlah sel, ditandai dengan
pembesaran pada sel tersebut. Seperti pada
skenario hiperplasia papila interdental artinya
terdapat perbesaran pada papila interdental.
Identifikasi dan Analisis
Masalah
1. Faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab munculnya pembengkakan gusi pada skenario?

Jawab: Ada faktor hormonal, yaitu peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang terjadi
pada ibu hamil. kemudian terdapat faktor mikrobiologi, dimana kondisi bakteri rongga mulut
wanita hamil didominasi oleh bakteri patogen gram negatif seperti P. intermedia. Selain
itu juga terdapat masalah pada kondisi rongga mulut Ibu hamil yaitu plak, dan OH yang
buruk, dapat menjadi faktor yang meningkatkan terjadinya hiperplasia pada gingiva.
Kehamilan memperhebat respon gusi terhadap rangsangan lokal serta meningkatkan kepekaan
terhadap inflamasi gingiva. Dalam kondisi kehamilan, hormon progesteron meningkat 10x dan
hormon estrogen meningkat 30x yang memberikan media pertumbuhan bakteri patogen seperti
Bacteriodes melaninogenicus dan Prevotella intermedia. Faktor lokal seperti plak,
kalkulus, dan sisa-sisa makanan yang sulit dibersihkan dapat menyebabkan pembesaran
gingiva. Selain itu, penurunan daya tahan tubuh ibu hamil dapat menambah keparahan.
Terlebih lagi kebanyakan ibu hamil mengalami ngidam yang akan membuat kecenderungan
mengkonsumsi makanan dan minuman asam sehingga akan terjadi perubahan flora normal dan
keseimbangan pH RM, kondisi Rongga mulut yang cenderung asam yang sangat disukai oleh
bakteri (P. Intermedia), apalagi jika orang tersebut OH nya buruk, memiliki restorasi gigi
yang buruk atau penggunaan gigi tiruan.
Identifikasi dan Analisis
Masalah
2. Apakah ada pertimbangan tertentu yang harus diperhatikan sebelum dilakukan perawatan?

Jawab: Anamnesa lengkap, lakukan pemeriksaan penunjang (biopsi jaringan) untuk mengetahui
keadaan apa yang dialami pasien (terjadi keganasan), apabila pasien masih hamil operator
mempertimbangkan penyebaran infeksi. Memberikan edukasi kepada pasien terlebih dahulu
terkait dengan keadaan yang muncul itu d pengaruhi dengan peningkatan hormon dikarenakan
kehamilan pasien , dan biasanya pembengkakan ini akan menyusut seiring dengan menurunnya
hormon-hormon pada kehamilan, dan bila dalam keadaan hamil akan ada faktor yang harus
diperhatikan seperti masa kehamilan dan obat-obatan yang dikonsumsi serta konsul kepada
Sp.OG pasien, akan tetapi karena kondisi pasien sudah melahirkan maka bisa dilakukan
eksisi dan kuretase untuk untuk mengangkat bengkak gusi. Peningkatan kerentanan terhadap
kemungkinan mengalami gingivitis harus dijelaskan kepada pasien, sehingga pasien sebagai
ibu hamil dapat menerima dan menjaga Kesehatan mulutnya dengan baik. Untuk mengurangi
gingivitis, dokter gigi dapat melakukan prosedur scalling dengan menjaga kenyamanan pasien
serta prosedur kontrol harus diajarkan atau dikontrol hasilnya penggunaan obat kumur
disarankan menggunakan yang tidak mengandung alkohol. Epulis gravidarum dapat sembuh
spontan setelah masa kehamilan namun jika epulis mengganggu baik secara fungsi maupun
estetik, dapat dilakukan eksisi dan anastesi local pada masa kehamilan. Pada kondisi ini
terdapat resiko pendarahan berlebihan akibat kondisi pembuluh darah yang mudah berdarah.
Pasien harus diberikan penjelasan bahwa kondisi ini mungkin muncul Kembali selama masa
kehamilan.
Identifikasi dan Analisis
Masalah
3. Apa keterkaitan antara kondisi kehamilan pasien dengan kondisi rongga mulut nya saat
ini?
Jawab: Pada saat awal kehamilan hormon estrogen dan progesteron akan meningkat pesat, hal
ini akan menambah keparahan pada keradangan, kondisi rongga mulut dengan penumpukan plak
ataupun kalkulus menjadi lebih mudah meradang. Kemungkinan ada karies dan kalkulus pada
pasien sehingga terjadi pembengkakan gingiva. Perubahan hormon estrogren dan progesteron
akan menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah sehingga gingiva menjadi lebih merah,
bengkak, dan mudah mengalami perdarahan. Wanita hamil memiliki pH air liur yang lebih asam
dari biasanya dan kondisi tersebut disukai oleh bakteri penyakit sehingga terjadi
peningkatan plak dan infeksi.

4. Mengapa pembengkakan hanya terjadi pada daerah 1-2 gigi saja?


Jawab: Disebabkan karena adanya faktor lokal disekitar gigi contohnya kalkulus atau karies
yang menyebabkan iritasi ataupun infeksi, dan terjadi kombinasi dengan faktor hormonal
pasien sehingga menyebabkan pembengkakan di daerah tertentu saja.
Identifikasi dan Analisis
Masalah
5. Terapi atau penanganan apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kondisi pasien saat
ini?
Jawab: Memperbaiki kesehatan rongga mulut pasien, prosedur scrap apabila terdapat kalkulus
dan poket, jika memungkinkan, lakukan gingivektomi (setelah etiologi dan diagnosis sudah
dipastikan). Terapi yang dapat di lakukan yaitu terapi fase 1 (fase non-bedah) yaitu
dengan dilakukan kontrol plak. Dapat diberikan DHE mengenai cara menyikat gigi dan menjaga
kebersihan rongga mulut yang benar, dilakukan Scalling Root Planning, dan dilakukan
rujukan apabila perlu. Kemudian, Fase 4, diminta pasien datang kembali setalah 1 bulan
untuk kontrol apakah ada perbaikan dari kondisi rongga mulutnya. Apabila tidak ada
perbaikan, dapat dilakukan terapi fase 2 (fase bedah) dengan dilakukan kuretase atau
gingivektomi. Kemudian, kita minta pasien untuk kontrol 1 bulan kemudian untuk dilakukan
pemeliharaan. Pasien harus dijelaskan mengenai peningkatan inflamasi gingiva pada kondisi
kehamilan, harus konsultasi dengan dokter spesialis OG, dan memerlukan pengobatan jika
memang diperlukan, untuk obat-obatan yang aman pada pasien adalah analgesik
(asetominofen), dan antibiotik (penisilin, eritromisin, dan klindamisin. Pemberian obat
seperti NSAID dan Antibiotik harus diperhatikan mengingat pasien sedang menyusui,
pemberian NSAID dapat berupa paracetamol, ibuprofen, asam mefenamat, kemudian untuk
antibiotik dapat diberikan amoxicillin, erythromycin, cefadroxil. semua obat yang
diberikan harus dipertimbangkan apakah memengaruhi kualitas asi pasien dan apakah memiliki
efek samping pada bayi dan ASI.
Identifikasi dan Analisis
Masalah
6. Apakah ada hubungannya antara kondisi gusi bengkak pasien dengan keadaan pasien yang
merupakan ibu postpartum?
Jawab: Etiologi penyakit ini disebabkan karena meningkatnya hormon progesteron dan
estrogen pada kehamilan. Dengan menjaga kebersihan rongga mulut yang baik, biasanya
setelah melahirkan pembengkakan akan sembuh sendiri dikarenakan hormon sudah mulai stabil.
namun jika pasca melahirkan tidak terjadi kesembuhan, kemungkinan dikarenakan hormon pada
pasien tidak stabil, sehingga harus dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti
pemeriksaan HPA dan Biopsi untuk mendeteksi apakah ada keganasan atau tidak, sehingga
penanganan yang diberikan bisa disesuaikan dengan kondisi pasien. selain itu, pembengkakan
dapat mengalami kekambuhan jika faktor penyebab belum dihilangkan.

7. apa diagnosis banding untuk kasus dalam skenario?


Jawab: Gingivitis pasca melahirkan, granuloma pyogenikum. Gingival Enlargement mempunyai
gambaran yang serupa dengan yang dikeluhkan pasien yaitu gingiva bengkak kemerahan,
mengkilat atau hilangnya stippling gingiva, dan Bleeding on Probing. Akan tetapi pada
gingival enlargement terjadi pada lebih dari 2 papilla interdental, sedangkan yang
dikeluhkan pasien hanya pada 1 papilla interdental
Identifikasi dan Analisis
Masalah
8. Komplikasi apa yg terjadi apabila kasus tersebut dibiarkan?
Jawab: Apabila pasien mengalami saat masih hamil dengan keadaan rongga mulut buruk,
kemungkinan terjadi penyebaran infeksi terhadap janin ibu hamil, sehingga dapat
menyebabkan kelahiran bayi prematur. Jika sebelum kelahiran, dapat terjadi kelahiran
prematur pada bayi. Selain itu dapat terjadi kegoyangan atau bergesernya gigi yang
berdekatan dengan pembengkakan tersebut, pada kondisi yang lebih parah dapat terjadi
kerusakan tulang.

9. Mengapa saat pasien menyikat gigi, giginya berdarah ?


Jawab: Gingiva mudah berdarah saat menyikat gigi ialah dampak perubahan hormon selama
kehamilan. terjadi peningkatan vaskularisasi atau peningkatan aliran darah yang
menyebabkan gingiva edema dan mudah berdarah, karena respon imun ibu hamil dimana adanya
vasodilatasi atau pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan hiperplasia gingiva lalu
adanya inflamasi yang meningkatkan perdarahan, yang berakibat pembengkakan sehingga saat
pasien menyikat gigi, sikat gigi mudah bergesekan dengan mukosa gingiva yang bengkak dan
lebih mudah terjadi perdarahan.

10. Apakah diagnosis yang tepat pada pasien berdasarkan skenario?


Jawab: Pregnancy tumor/ epulis gravidarum, karena sesuai skenario pada pemeriksaan
intraoral didapatkan hasil hiperplasia pada papila interdental 13, 14, gingiva berwarna
merah, mengkilat, bertangkai, serta BOP (+) sesuai dengan manifestasi pada epulis
gravidarum
Problem
ContentsTree
Of This Template
EPULIS
GRAVIDARUM

Manifestasi
Definisi Klasifikasi Etiologi Epidemiologi Patofisiologi Tatalaksana Pencegahan Komplikasi
Klinis

Epulis Diagnosis
Epulis Epulis Pemeriksaan
Gravidarium Banding
Penunjang

Prognosis
1. Definisi dari Epulis dan Epulis Gravidarum
2. Epidemiologi dari Epulis Gravidarum
3. Etiologi dari Epulis Gravidarum
4. Patofisiologi dari Epulis Gravidarum
5. Manifestasi klinis dari Epulis Gravidarum
6. Pemeriksaan penunjang dari Epulis Gravidarum
7. Tatalaksana pada dari Epulis Gravidarum
8. Prognosis dari Epulis Gravidarum
9. Diagnosis banding dari Epulis Gravidarum
10. Pencegahan yang dapat dilakukan dari Epulis
Gravidarum
11. Penatalaksanaan dari Epulis Gravidarum Selama Masa
Kehamilan dan Setelah Melahirkan
12.Komplikasi Epulis Gravidarum
Tutorial
Definisi Epulis dan
Epulis Gravidarum
Epulis
• Proliferasi jaringan ikat fokal reaktif di gingiva, dan sifat
histologisnya yang tepat tidak diketahui
• suatu hyperplasia gingiva yang menyerupai tumor yang berasal dari
jaringan ikat periodontal, yang diduga disebabkan oleh iritasi
kronis atau trauma seperti kalkulus subgingiva, karies servikal,
sisa akar gigi, gigi tiruan yang tidak baik, ketidakseimbangan
hormonal, dan proses penyembuhan yang berlebihan
• bersifat fibrous, hiperplastik dan granulatif, lebih sering terjadi
pada wanita dan orang muda

(Wijaksana IKE, 2019 ; Yu Cai dkk., 2017)


Definisi Epulis dan
Epulis Gravidarum
Epulis Gravidarum
● Epulis gravidarum (pregnancy epulis, pregnancy granuloma, pregnancy
tumor) adalah pertumbuhan seperti tumor pada gingiva yang berasal
dari non-neoplastic merupakan granuloma piogenik yang terjadi pada
gingiva selama kehamilan karena iritasi atau ketegangan fisik dari
kalkulus atau restorasi serviks bersama dengan kontribusi dari
faktor hormonal.
● sering muncul selama bulan kedua atau ketiga kehamilan. Secara
klinis, mereka mudah berdarah dan menjadi hiperplastik dan nodular.
Gambaran umum dan khas yang muncul pada ibu hamil. 0.2-5 Persen ibu
hamil mengalami lesi ini dan biasanya muncul pada gusi rahang atas,
saat dieksisi, lesi biasanya tidak meninggalkan defek yang besar.

(Basayannaiah S, 2021 ; Carranza dkk., 2018;


Yarkac FU & Ozge G, 2018)
Berdasarkan etiologinya, epulis
diklasifikasikan sebagai berikut.

Epulis fisuratum
Secara klinis, tampak sebagai lesi
sessile yang luar biasa dalam
bentuk lipatan dengan permukaan
halus dan mukosa diatasnya normal
atau eritematosa.

Epulis fibramatosa
Gambaran klinis epulis dapat
bertangkai (pedunculated) atau
tidak bertangkai (sessile),
berwarna merah muda agak pucat,
konsistensi kenyal sampai keras,
berbatas tegas, padat dan kokoh.
(Leepel, 2016; Rabia et al, 2021); Sueroso, 2014;
Suwandi, 2020
Berdasarkan etiologinya, epulis
diklasifikasikan sebagai berikut.

Epulis Granulomatosa
Umumnya berkembang di lubang bekas cabut
gigi atau bekas operasi akibat kemasukan
kotoran sisa makanan setelah selesai operasi
dan perawatan medis gigi lainnya ketika tidak
diperhatikan kebersihannya, lesi eksofitik halus
atau berlobus dengan warna merah tua atau
keunguan.

(Manovijay, 2015; Cai et al, 2017)


Berdasarkan etiologinya, epulis
diklasifikasikan sebagai berikut.

Epulis congenital
Manifestasi klinis benjolan yang menonjol pada gusi
bayi yang baru lahir, epulis berwarna merah muda
dan terasa lunak saat disentuh. Benjolan ini dapat
mengecil secara spontan, seiring dengan
bertambahnya usia. Untuk terapi dapat dilakukan
pemotongan jaringan bila dibutuhkan

(Jain, 2019; Pekcetin, 2018)


Berdasarkan etiologinya, epulis
diklasifikasikan sebagai berikut.

Epulis Gravidarum
(pregnancy epulis,
pregnancy granuloma,
pregnancy tumor)
merupakan gambaran umum
dan khas yang muncul
pada ibu hamil.
Bentuknya berdungkul,
lunak, kemerahan,
tumbuh pada bagian
interdental, dan
seringkali muncul pada
bagian anterior
maksila.

(Newman et al, 2018; Soulisa, 2014;


Wijaksana, 2019)
Berdasarkan etiologinya, epulis
diklasifikasikan sebagai berikut.

Epulis Gigantoselular/
Giant Cell Epulis
Secara klinis, bermanifestasi
sebagai nodul merah keunguan
tunggal dengan presentasi vaskular
atau hemoragik, yang mungkin
dengan atau tanpa ulserasi
permukaan yang berasal dari
jaringan interdental (periosteum
atau membran periodontal). Ini
mungkin sessile atau pedunculated.
Lesi dapat muncul di mana saja
pada mukosa gingiva atau alveolar,
tetapi sebagian besar terjadi di
depan gigi molar
(Khatri, 2016; Surbhi, 2021)
Berdasarkan temuan histopatologi

Epulis Angiomatosa/
Fibrosa
Biasa muncul sebagai massa Talangiectitacum
keras, merah muda, tidak
Epulis ini berlokasi di papila
meradang, dan cenderung tumbuh
interdental. Secara histologis
dari bawah margin gingiva
akan ditemukan makrofag
bebas/papilla interdental
Giant cell granuloma
Angiogranuloma perifer
Gambaran massa permukaan halus,
sering terjadi ulserasi, dan Terjadi terutama pada daerah
tumbuh dari bawah margin anterior pada pasien muda, dan
gingiva, epulis ini sangat ditemui di daerah posterior
vascular, dapat di palpasi dan pada pasien fase gigi
sangat mudah berdarah, pada bercampur hingga orang dewasa
periode awal

(Singh, 2018)
Etiologi

Epulis Gravidarum
RESPON IMUN IBU
FAKTOR LOKAL FAKTOR HORMONAL MIKROORGANISME HAMIL

Dapat berupa kebersihan Lesi epulis gravidarum P. intermedia menjadi Selama masa kehamilan,
mulut yang buruk, infeksi biasanya muncul pada mikroorganisme yang depresi respon limfosit T
nonspesifik, restorasi trimester kedua atau meningkat secara ibu dapat menjadi faktor
yang ketinggian, tergigit, ketiga kehamilan seiring signifikan selama dalam respon jaringan
deposit plak dan dengan meningkatnya kehamilan. Bakteri- yang berubah terhadap
kalkulus, sisa-sisa kadar hormon utama bakteri seperti plak. Penghancuran sel
makanan, restorasi semasa kehamilan yaitu Actinobacillus mast gingiva oleh
kurang baik, gigi tiruan hormon estrogen dan actinomycetemcomitans, peningkatan hormon seks
yang kurang baik, OH progesteron di dalam Phorpyromonas gingivalis, dan pelepasan yang
buruk, dan lain darah dan saliva Tannerella forsythensis, dihasilkan dari histamin
sebagainya dan Treponema denticola dan enzim proteolitik
merupakan kelompok juga dapat berkontribusi
bakteri yang sering pada respon inflamasi
ditemukan dengan berlebihan terhadap
jumlah yang tinggi faktor local

(Pascawinata, 2016; Basavannaiah S, 2021; Caranza et al, 2019;


Utami, 2020; Wijaksana et al, 2019; Yarkac dan Orge, 2018;; Soulissa,
2014)
Faktor Predisposisi Epulis Gravidarum
• Perubahan secara hormonal yang terjadi selama kehamilan biasanya berhubungan juga dengan
perubahan pola makan, gangguan mood (mood swing) yang akan berpengaruh terhadap
peningkatan stres, sehingga ibu hamil cenderung mengabaikan kesehatan rongga mulutnya.
• Risiko penyakit periodontal akan semakin besar dan parah apabila kondisi periodontal sebelum
hamil memang sudah buruk.
• Refleks muntah (gagging), dan nausea yang dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit pada
rongga mulut
• Perubahan perilaku atau kebiasaan seperti mengabaikan kebersihan rongga mulut yang dapat
memicu adanya manfestasi oral
• Faktor yang memperburuk kondisi rongga mulut adalah makanan, minuman, pemilihan sikat gigi,
pemilihan pasta gigi, waktu dan cara kurang tepat ketika kita akan menggosok gigi
• Penggunaan obat obatan seperti penggunaan terapi hormonal, antihipertensi, antiepilepsi, obat
imunosupresif

(Cristi, 2019; Utami, 2020;


Rahmawati, 2017; Soulissa, 2014)
Epulis Gravidarum
Epidemiologi

Gingivitis
kehamilan
30%-100% wanita
hamil

Epulis
Gravidarum
0,2% hingga 9,6%
kehamilan

(Newman et al., 2018; Dwi AP et al.,


2014)
Patofisiologi
Epulis Gravidarum
Hormon Estrogen:
● mempercepat penyembuhan luka dengan merangsang produksi faktor
pertumbuhan saraf di makrofag
● produksi faktor perangsang koloni makrofag granulosit di
keratinosit
● faktor pertumbuhan fibroblast dasar dan mengubah produksi faktor
pertumbuhan beta 1 di fibroblas yang mengarah ke pembentukan
jaringan granulasi
● estrogen meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel vaskular

di makrofag yang dimusuhi oleh androgen dan terkait dengan


perkembangan granuloma piogenik selama kehamilan

(Basavannaiah, 2021)
Peningkatan hormon estrogen dan progesteron selama kehamilan juga dapat menyebabkan
meningkatnya aliran GCF (Gingival Crevicular Fluid) termasuk mediator inflamasi di
dalamnya sehingga respon terhadap adanya peradangan menjadi berlebihan terhadap
adanya mikroorganisme yaitu bakteri yang berhubungan dengan pembentukan plak dan
kalkulus.

Kalkulus menginduksi iritasi gingiva lalu terjadi inflamasi dan terjadi


mikroulserasi yang menyebabkan mikroflora masuk ke jaringan ikat gingiva sehingga
terjadi respon hiperplastik vaskuler berlebihan (bengkak).

(Utami, 2020; Zhu et al., 2016)


Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum
Secara makroskopis Granuloma piogenik berupa
• Massa polipoid merah kebiruan
• Kenyal
• bisa pedunculated atau sessile
• kadang memiliki flek putih dipermukaannya, ulcer
• dapat bertangkai/tidak
• dapat mencapai diameter 2 cm
• umumnya tidak sakit
• umumnya muncul di daerah interdental bagian labial
rahang atas
• gigi yang berdekatan dengan epulis dapat bergeser
dan lebih mudah goyang
• tampak gusi yang bengkak
• berwarna merah dan mudah berdarah
• gusi dapat mengalami perdarahan
(Hanriko, 2016; Suwandi T, 2019; Stiawan GP, 2017)
Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum
Secara mikroskopis granuloma piogenik
• memiliki pola pertumbuhan eksofitik dikelilingi

Ichi
jaringan yang normal dilapisi epitel gepeng
berlapis yang rata
• atrofi atau ulserasi dengan lesi terdiri dari
proliferasi pembuluh darah disertai jaringan
granulasi
• terdapat sebukan sel radang limfosit dan sel
plasma
• netrofil terdapat di superficial dari daerah
ulserasi.

(Hanriko, 2016)
Pemeriksaan Penunjang Epulis Gravidarum

Analisis
histopatologi
Biopsi

Radiografi
Pemeriksaan
Imunohistokimia
Analisis histopatologi

Granuloma piogenik secara mikroskopis


• memiliki pola pertumbuhan eksofitik
• dikelilingi oleh jaringan normal
• dilapisi epitel gepeng berlapis yang rata
• atrofi atau ulserasi dengan lesi terdiri dari proliferasi pembuluh darah
disertai jaringan granulasi.
• ditemukan sebukan sel radang limfosit dan sel plasma.
• netrofil ditemukan di superficial dari daerah ulserasi.

(Varma S, 2017., Hanriko R, 2016)


Biopsi

Pada pemeriksaan Biopsi


• menunjukkan jenis epulis gravidarum non-LCH
• dengan proliferasi vaskular tinggi
• menyerupai jaringan granulasi bersama dengan banyak saluran berlapis
endotelium kecil dan besar yang dipenuhi sel darah merah
• infiltrat sel inflamasi campuran juga terlihat. Diagnosis epulis gravidarum
dikonfirmasi dari temuan ini

(Sharma S et al.,2021)
Radiografi

Radiografi meskipun keterlibatan radiografi biasanya tidak ada, epulis


gravidarum yang besar dan berlangsung lama dapat menyebabkan resorpsi tulang
alveolar lokal. Namun, radiografi ini hanya dilakukan setelah melahirkan.

(Sharma S et al.,2021)
Pemeriksaan Imunohistokimia

Pemeriksaan Imunohistokimia, yaitu pemeriksaan yang memanfaatkan reaksi


antigen antibody untuk mengetahui reaksi imunitas sel terhadap antigen.

Pemeriksaan imunohistokimia pada epulis gravidarum akan memberikan ekspresi


faktor VIII pada endotel dan negative pada area seluler. Epulis gravidarum
juga memberikan ekspresi pada bFGF, anti-CD34, dan VEGF.

(Hanriko, 2016)
Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat
baik. Setelah melahirkan biasanya epulis gravidarum
akan sembuh sendiri dikarenakan hormon sudah mulai
stabil dan jika pasien menjaga kebersihan rongga mulut
maka dapat menghindari terjadinya infeksi sekunder.
Epulis gravidarum tidak memiliki potensi yang mengarah
pada keganasan. Prognosis sangat baik apabila dilakukan
perawatan pada trimester kedua yang merupakan waktu
terbaik untuk melakukan perawatan gigi dan mulut pada
ibu hamil (usia kehamilan 14-20 minggu).

(Wijaksana IKE. 2019., Fatma UY, Ozge G. 2018).


1. Granuloma Pyogenik
Tidak ada perbedaan klinis atau
histopatologis antara granuloma
kehamilan (epulis gravidarum) dan
granuloma piogenik yang terjadi pada
pasien tidak hamil.

(Ali K., et al. 2006., Baric J., et al. 2016.)


Diagnosis Banding (2)

2. Epulis Gigantocellularis 3. Centrali Gigantocelularni


Granulom
Adalah keadaan patologis
yang terbentuk dari Perubahan patologis tulang
jaringan ikat, sel raksasa yang ditandai adanya sel
dengan banyak inti diyakini multinuklear raksasa dalam
berasal dari ligamen strukturnya.
periodontal dan trabekula
tulang yang ditutupi dengan
epitel skuamosa berlapis

(Ali K., et al. 2006., Baric J., et al. 2016.).


Diagnosis Banding (3)

Epulis Fibromatosa Epulis Fissuratum


Lesi yang terbentuk dari Pembesaran hiperplastik
pengikat kolagen dan umum dari mukosa,
ditutupi dengan epitel jaringan fibrosa ridge
berlapis skuamosa alveolar, dan mukosa
keratin. vestibular.
Epulis Congenita Granuloma Piogeni
Berupa jaringan lunak yang Berbatas tegas di RM,
muncul dari mukosa alveolus biasanya struktur soliter.
dan dapat menyebabkan Bentuk nodul dengan
masalah pernapasan dan tangkai, warna tergantung
nutrisi pada BBL vaskularisasi lesi.

(Ali K., et al. 2006., Baric J., et al. 2016.).


Tenaga kesehatan dapat
memainkan peranan penting dalam
mendorong calon ibu hamil untuk Tidak lupa meluruskan
meningkatkan kesadaran tentang kesalahpahaman seperti
pentingnya kesehatan gigi dan keyakinan bahwa
mulut, memeriksakan kondisi kehilangan gigi dan
gigi dan mulut ke fasilitas perdarahan di mulut
adalah "normal" selama
pelayanan kesehatan gigi.
kehamilan

(Rahmawati, 2017; Kemenkes, 2012).


Pencegahan (2)
(Yenen, 2019; Rahmawati, 2017; Kemenkes, 2015; Kemenkes, 2012)

1. Menciptakan tingkat 2. Mengkonsumsi


kebersihan mulut yang makanan yang bergizi
optimal
Seorang ibu hamil sangat
ibu harus mengerti teknik dianjurkan untuk mengkonsumsi
perawatannya seperti teknik makanan yang bergizi secara
menyikat gigi serta waktu yang seimbang sesuai dengan prinsip
tepat untuk menyikat, di samping pedoman gizi seimbang atau angka
itu pemilihan pasta gigi dan kecukupan gizi, supaya mempunyai
sikat gigi yang sesuai dengan daya tahan tubuh yang baik serta
kondisi mulut dan gigi juga harus dapat menjaga janinnya agar dapat
diperhatikan. tumbuh dan berkembang dengan
sehat dan sempurna.
3. Menghindari Makanan 4. Memeriksakan Diri ke
yang Manis dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Gigi
Ibu hamil dianjurkan untuk
menghindari makan makanan yang Rajin untuk memeriksakan rongga
manis dan lengket, karena makanan mulut 6 bulan sekali ke dokter
yang manis dapat diubah oleh gigi menjadi hal yang wajib
bakteri menjadi asam yang dapat untuk memantau kondisi rongga
merusak lapisan gigi. Makanan mulut ibu hamil, pada ibu hamil
yang bersifat lengket yang telah bermasalah pada
dikhawatirkan akan tinggal lama rongga mulutnya harus mendapat
dalam mulut sehingga kemungkinan perawatan khusus dari dokter
terjadinya asam akan lebih besar. gigi sesuai tingkat kondisi
rongga mulut

(Yenen, 2019; Rahmawati, 2017;


Kemenkes, 2015; Kemenkes, 2012)
Saat & Pasca
Kehamilan
Penanganan tergantung pada keparahan gejala lesi. Jika lesi kecil, tidak ada rasa sakit dan tidak berdarah, maka perawatan yang
diberikan adalah observasi klinis dan kontrol rutin. Perawatan oral hygiene dan kunjungan secara reguler saat kehamilan harus
direkomendasikan. Selain itu perawatan yang dapat dilakukan juga berupa DHE, Scalling Root Planing (SCRP), tetapi perawatan
pada kehamilan dilakukan pada trisemester ke-2 (4,5,6 bulan kehamilan) (jika mengganggu). Jika epulis mengganggu baik secara
fungsi maupun estetik, dan apabila epulis gravidarum tidak menghilang setelah melahirkan maka dilanjutkan dengan tindakan
bedah dilakukan eksisi.

(Stiawan, 2017; Wijaksana, 2019; Cardoso,


2012; Suryono, 2012; Hasan, 2006)
Berdasarkan status
kehamilan pasien:

Manajeme Kontrol Perawatan


n Klinis Plak Gigi Pilihan
Menghindari
Lakukan DHE, memberikan perawatan gigi
anamnesis penjelasan peningkatan selektif selama
menyeluruh, inflamasi gingiva trimester
tanyakan selama kehamilan. SCRP pertama dan
riwayat medis dapat dilakukan paruh terkahir
kapanpun selama trimester
pasien.
kehamilan. ketiga.

(Newman, 2018)
Berdasarkan status
kehamilan pasien:

Radiografi Obat- Menyusui


Gigi obatan
Keamanan radiografi Resep harus
selama kehamilan Ada risiko
telah ditetapkan
digunakan hanya pada
obat masuk ke
dengan baik, namun jangka waktu yang
dalam ASI dan
disarankan untuk benar benar penting
berpindah ke
tidak terpapar dan pertimbangkan
radiasi selama bayi.
potensi efek samping
kehamilan.

(Newman, 2018)
● EG pada kehamilan dapat dipersulit oleh
perdarahan hebat atau infeksi sekunder, eksisi
bedah jarus dipertimbangkan.
● Kekambuhan EG setelah eksisi (dapat dicegah).
● Bayi premature disertai berat badan lahir
rendah (BBLR), terjadi akibat infeksi dari
salah satu dari dua jalur (secara langsung oleh
mikroorganisme oral) atau (secara tidak
langsung, terutama oleh produk bakteri
endotoksin “liposakarida” dan mediator aksi
inflamasi yang diproduksi ibu).
(Basavannaiah, 2021; Suwandi, 2019)
DAFTAR PUSTAKA
● Andriyani Putri Dwi, Apriasari Maharani Lailyza, Putri Deby Kania Tri. 2014. STUDI
DESKRIPSI KELAINAN JARINGAN PERIODONTAL PADA WANITA HAMIL TRIMESTER 3 DI RSUD ULIN
BANJARMASIN. DENTINOJURNAL KEDOKTERAN GIGI. 2(1) : 96-100
● Baric J., et al. 2016. Diferencijalna dijagnostika i liječenje dobroćudnih izraslina
na gingivi – epulis. Stomatologija Dentistry. 211-216.
● Basavannaiah S. 2021. Gestational Gingival Growth : Floppy Mass in The Oral Cavity.
Journal Of Otolaryngology ; 3(1) : 1-4.
● Carranza FA, Newman MG, Takei HH, Klokkefold PR, 2019. Newman And Carranza's
Clinical Periodontology 13th edition. Philadelpia: Elsevier, Inc.
● Cristi MC, et al. 2019. Increased Epulis Gravidarum Prevalence In Woman With Both
Nasal and Oral Symptoms. Otolaryngol Open Journal. 5(1): 18-21. Fatma UY, Ozge G.
2018. Pyogenic granuloma pregnancy a case report. Biomed Jsci and techres; 5(1).
● Gautam Surbhi, Baneriee Sucharita, Datta Sankjukta, Bagchi Somen. 2021. Peripheral
giant cell granuloma. Nigerian Journal of Experimental and Clinical Biosciences.
9(2): 129-132
Mekayssi Rabia, Taleb Bouchra, Merzouk Nadia, Benfdil Faîza. 2021. The Prosthetic
● Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik Pada Ginggiva. JK Unila; 1(2): 430.
● Jain Neha, Sinha Pallavi, and Singh Lavleen. 2019. Large Congenital Epulis in a
Newborn: Diagnosis and Management. Ear, Nose & Throat Journal. 20(10) : 1-3
DAFTAR PUSTAKA
● Kemenkes RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 Tentang
Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut.
● Kemenkes. 2012. PEDOMAN PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT IBU HAMIL DAN ANAK USIA BALITA BAGI
TENAGA KESEHATAN DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN.
● Leepel MB. Epulis Fisuratum Akibat Pemakaian Gigi Tiruan Lengkap Yang Longgar. Jurnal Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia. 2016;3(4).

● Management of a Case of Epulis Fissuratum by a Novel Technique. International Journal of Dental


Sciences. 23(2): 27-32

● Manovijay, et al. 2015. Recurrent epulis granulomatosa: A second look. Journal of Advanced
Clinical & Research Insights. 2(1).140–142.

● Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. 2018. Newman and Carranza’s Clinical
Periodontology. Elsevier.

● Pekcetin ZS, et al. 2018. Congenital Epulis of the Newborn: A Case Report. Journal of Oral and
Maxillofacia; Surgery. 8(4):120-126 Pascawinata A. 2016. Penatalaksanaan Granuloma Pyogenikum
Pada Bibir Bawah. Jurnal B-Dent. 3(1): 18-22.
● Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek
Jawa Timur. Jurnal Kebidanan. 6(1): 26-34.

● Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek
Jawa Timur. Jurnal Kebidanan. 6(1): 26-34.
DAFTAR PUSTAKA
● Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di
Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal Kebidanan. 6(1): 26-34.

● Sharma S, et al. 2021. Pyogenic granuloma: A case report and a comprehensive


review. Journal of Oral Research and Review; 13(1): 55. Ali K., et al. 2006.
Pyogenic Granuloma: Review: Pakistan Oral and Dental Journal. 26(1): 59-62.

Singh D, Pranab A, Mishra N, Sharma AK, Kumar S, Gupta P. 2018. Epulis - Commonly
Misdiagnosed Entity: A Report of 2 Cases. J Interdiscipl Med Dent Sci. 6(2): 1-3.

● Soulissa AG. 2014. Hubungan kehamilan dan penyakit periodontal. Jurnal PDGI. 63(3):
71-77.
Khatri A, et al. 2016. Peripheral giant cell granuloma: An unusual presentation in
pediatric patient: A report of two cases. SRM Journal of Research in Dental Science.
7(4):259.
● Stiawan SM, Aini I, Mildiana YE. 2017. ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY “I”
DENGAN KEHAMILAN FISIOLOGIS DI BPM HJ DAYAROH, SST DS. SEMBUNG PERAK JOMBANG. Jurnal
Kebidanan. 7(1): 51-55.
● Sueroso Y, dan Wicaksono A. 2014. Hiperplasia Gingiva. Jakarta: Prosiding The Third
N Scientific Seminar in Periodontics IPERI.
DAFTAR PUSTAKA
● Suwandi T. 2019. Hubungan Penyakit Periodontal pada Kehamilan dengan Kelahiran Bayi
Prematur. Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu. 1(1): 53-57.
● Suwandi Trijani. 2020. Penatalaksanaan Epulis Fibromatosa dengan Electrosurgery.
JKGT. 2(2): 16-20

● Utami LD, Hidayat W, Sufiawati I. 2020. Manifestasi Oral pada Ibu Hamil Berdasarkan
Perbedaan Trimester Kehamilan. Padjajaran Journal of Dental Researcher and Student.
4(2): 81-89.
● Varma S. et.al. Gingival Epulis, An Enigma for Clinical Diagnosis: A Case Report.
International Journal of Science and Research (IJSR). 2017: 6(4); 391.
● Wijaksana IKE. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal
Kesehatan Gigi. 6(2) : 124.
● Yarkac FU, Ozge G. 2018. Pyogenic Granuloma in Pregnancy: A Case Report. Biomed J
Sci &Tech Res. 5(1): 4329-4330.
● Yenen Z, Atacag T. Oral Care in Pregnancy. J Turk Ger Gynecol Assoc. 2019; 20 : 264-
8. Yu Cai, Rui Sun, Ke-Fei He,Yi-Fang Zhao, and Ji-Hong Zhao. 2017. Sclerotherapy
for the recurrent granulomatous epulis with pingyangmycin. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. Mar; 22(2): 214–218.
● Zhu. YG, et al. 2016. Initial Periodontal Therapy for The Treatment of Gingiva
Pregnancy Tumor. Genetics and Molecular Research; 15(2): 2-8.
KULIAH PAKAR
TUTORIAL SKENARIO 1
Kelompok 5

Dosen Tutorial
drg. Erika Norfitriah
Dosen Kuliah Pakar
drg. Beta Widya Oktiani, Sp.Perio
KELOMPOK 5
Skenario

Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi..??? Seorang pasien


wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia mengeluhkan kondisi gusinya
yang bengkak, namun anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2 giginya
saja. Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya. Pada
saat menyikat gigi sering gusi tersebut berdarah. Saat ini pasien sudah
melahirkan namun kondisi gusinya tetap bengkak hanya sedikit
berkurang. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Hasil
pemeriksaan intraoral menunjukkan bahwa terjadi hiperplasi pada
papilla interdental 13 14, gingiva berwarna merah, mengkilat,
bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5 dan tidak terjadi
kerusakan tulang
Identifikasi & Klarifikasi Istilah Asing

Hiperplasia

Peningkatan
jumlah sel pada
02 Peningkatan jumlah sel
pada suatu organ
tertentu melalui proses
Hiperplasia
suatu organ yang disebabkan mitosis, yaitu
ditandai dengan pertumbuhan sel, pertumbuhan atau
pembesaran pada regenerasi sel yang
terjadi karena
organ itu sendiri. menghasilkan dua anak
adannya proses sel yang identik dengan
mitosis sel induknya semula.

Hiperplasia
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis dari skenario tersebut?
1. Pregnancy Tumor-> Epulis gravidarum
2. Apa etiologi dari kasus diatas?
● Etiologinya karena perubahan hormone estogren dan progesterone akan
menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah sehingga gingiva menjadi lebih
merah, bengkak, dan mudah mengalami perdarahan.

● Orang hamil biasanya ngidam dan suka makan asam-asam sehingga mengubah
pH pada rongga mulut
Identifikasi dan Analisis Masalah
3. Bagaimana penanaganan yang tepat untuk diagnosa penyakit tersebut?
● Berdasarkan diagnosa penyakit epulis gravidarum, yang epulis gravidarum ini
termasuk tumor jinak (Displasia) yang bersifat reversible yaitu bisa kembali
normal pada bentuk yang normal, sehingga bisa sembuh sendiri.
● Peningkatan/managemen OH pasien, dilakukan juga tindakan preventif dalam
menunjang kesehatan periodontal pasien. Bisa juga diberikan obat2an seperti
antibiotik apabila diperlukan
Identifikasi dan Analisis Masalah
4. Apa faktor predisposisi yang memperparah kondisi pada skenario tersebut ?
1. Pasien tidak menjaga kebersihan mulut dengan baik sehhingga banyak plak atau
karang gigi. Kemudian, dikarenakan keadaan pasien tersebut sedang hamil maka
terjadi perubahan hormon yg dapat menyebabkan keradangan gusi dan terjadi epulis
gravidarum. Pada saat hamil juga kebanyakan pada rongga mulutnya cenderung
megalami pH yang asam sehingga bakteri pun cenderunng berkembang biak di
dalam mulut dan akhirya bs mengalami pembengkakan pada gusi
Identifikasi dan Analisis Masalah
5. Bagaimana prognosis dari penyakit yg diderita pasien tersebut?
1. Prognosis cukup baik karena diakan bisa sembuh sendiri setelah melahirkan,
dan apabila ternyata hanya berkurang sedikit saja setelah melahirkan, maka
dilakukan kuretase/ prosedur bedah agar prognosis pasien menjadi baik.
Apabila pasien tidak mengikuti prosedur bedah, maka prognosis bisa menjadi
buruk.
6. Mengapa setelah pasien melahirkan bengkaknya berkurang?
● setelah melahirkan hormonnya sudah stabil
Identifikasi dan Analisis Masalah
7. Mengapa bengkaknya hanya pada 1-2 gigi?
1. Disebabkan karena adanya faktor lokal di sekitar gigi contohnya kalkulus atau karies
yang menyebabkan iritasi ataupun infeksi, dan terjadi kombinasi dengan faktor
hormonal pasien sehingga menyebabkan pembengkakan di daerah tertentu saja
terlokalisir dan manifestasinya dapat timbul terlokalisir dan diameternya hanya 2 cm.
8. Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosa pasien tersebut?
● Dapat dilakukan biopsi, pemeriksaan darah karna berkaitan pada perawatan selanjutnya,
pemeriksa histopatologi
Identifikasi dan Analisis Masalah
9. Apa diagnosis banding yang tepat untuk kasus skenario diatas?
1. Epulis banyak klasifikasinya, Epulis granuloma (bentuknya bergranula, disebabkan oleh iritasi lokal dan
bakteri), Epulis fibrous (berbentuk seperti benang-benang fibrin atau jaringan ikat, sehingga apabila
dilakukan pemeriksaan Radiografi nampak bentuk ber sklerosis/jaringan parut), Epulis fissuratum
(disebabkan oleh penggunaan protesa, ataupun pemakaian denture).
10. Bagaimana patogenesis penyakit tersebut dan apa hubungannya pada status pasien
saat hamil atau melahirkan?
● Karena pada saat kehamilan, pasien mengalami peningkatan hormonal yakni esterogen dan progesteron
sehingga dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan berdampak pada gingiva ibu hamil. Untuk
hubungan statusnya yakni karena disebabkan hormonal sehingga saat sesudah melahirkan, hormonalnya
menjadi stabil.
Mercury is the closest planet to the Sun and
the smallest one in our Solar System—it’s
only a bit larger than our Moon. The
INTRODUCTION planet’s name has nothing to do with the
liquid metal, since Mercury was named after
the Roman messenger god
Sasaran Belajar

1. Apakah Definisi dari Epulis Gravidarum?


2. Bagaimana Epidemiologi dari Epulis Gravidarum?
3. Bagaimana Etiologi beserta Faktor predisposisi dari Epulis Gravidarum?
4. Bagaimana Patogenesis dari Epulis Gravidarum?
5. Bagaimana Manifestasi Intraoral dari Epulis Gravidarum?
6. Bagaimana Pemeriksaan Klinis dan Penunjang dari Epulis Gravidarum?
7. Bagaimana Penatalaksanaan dari Epulis Gravidarum dan Terapi obat2an dan
suportif apa yang aman untuk kondisi pasien ?
8. Bagaimana Prognosis dari Epulis Gravidarum?
9. Apakah Komplikasi dari Epulis Gravidarum?
10. Apakah Diagnosis banding dari Epulis Gravidarum?
11. Pada Stage berapa munculnya dan dapat dilakukan perawatan dari epulis
gravidarum?
Epulis gravidarum (pregnancy epulis, pregnancy granuloma,
pregnancy tumor) merupakan gambaran umum dan khas yang
muncul pada ibu hamil yaitu tumbuhnya benjolan pada gusi
antara dua gigi yang berhubungan dengan peningkatan
hormone estrogen dan progesterone. Epulis gravidarum
merupakan lesi yang tumbuh dengan cepat dan jinak, dan
DEFINISI EPULIS biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan. 0.2-5% ibu
hamil mengalami lesi ini dan biasanya muncul pada gusi
GRAVIDARUM rahang atas. Bentuknya berdungkul, lunak, kemerahan,
tumbuh pada bagian interdental, dan seringkali muncul pada
bagian anterior maksila

(Soulissa, 2014; Wijaksana KV, 2019)


EPIDEMIOLOGI EPULIS GRAVIDARUM
GENRE AGE TRIMESTER

Pria muncul diusia lebih muda, Terjadi pada trimester 1 (sekitar bulan
Wanita : Pria = 1.2 : 1 dari masa kanak-kanak hingga pertama atau kedua kehamilannya). Puncak
akhir dua puluhan, keparahan terdapat pada bulan ke-8 masa
dibandingkan dengan wanita, kehamilan atau kehamilan pada minggu 32,
Hanriko R, 2016; Pascawinata A, 2016; Shahid U, 2019; Barzegar et al., 2018; yang biasanya muncul di usia kemudian menurun pada bulan ke-9 masa
Andriyani et al., 2014; Sarwal & Lapumnuaypol, 2020). kehamilan seiring dengan menurunnya kadar
30-40 th.
hormon dalam tubuh
ETIOLOGI EPULIS GRAVIDARUM
FAKTOR RESIKO
penggunaan terapi hormonal,
antihipertensi, antiepilepsi, obat
SEKUNDER imunosupresif
Perubahan hormon
estrogen dan progesterone 05
04
03
01 02
PREDISPOSISI
Gingivitis, overhanging restoration, periodontitis totalis
PRIMER tingkat pendidikan dan perawatan periodontal
Iritasi Lokal (kalkulus/plak yang sebelumnya.
telah mengalami pengapuran, sisa-
sisa makanan, tambalan kurang
baik, gigi tiruan yang kurang baik)
(Hanriko, 2016; Lamba et al., 2016; Carranza et al., 2019; Wijaksana IKE, 2019).
PATOGENESIS EPULIS GRAVIDARUM

Hormon seks memiliki efek pada pertumbuhan sel,


proliferasi, dan diferensiasi jaringan target termasuk
keratinosit dan fibroblas di jaringan gingiva dan juga dapat
memodulasi produksi sitokin. Peningkatan hormon seks
memiliki efek pada vaskulatur gingiva, mikrobiota
subgingiva, sel spesifik periodonsium, dan sistem imun
lokal selama kehamilan. Peningkatan edema, eritema,
eksudat sulkus gingiva, dan jaringan gingiva hemoragik
juga dapat diamati karena efek estrogen dan progesteron
pada pembuluh darah gingiva

● Nirola dkk, 2018; Mohamed RA dkk, 2020


SIKLUS REPRODUKSI WANITA
PATOGENESIS EPULIS GRAVIDARUM
01 02
 Meningkatkan fagositosis sel  Menurunkan regulasi produksi interleukin 6
polimorfonuklear (IL-6) oleh fibroblas gingiva
 Menyebabkan penurunan keratinisasi  Memperbesar pembuluh darah kecil
gingiva dengan peningkatan glikogen  Meningkatkan permeabilitas pembuluh
epitel dan dengan demikian darah dan dilatasi kapiler
mengakibatkan penurunan efektivitas  Mempengaruhi mekanisme pertahanan
penghalang epitel. inang seperti respon kemotaksis neutrofil
dan meningkatkan produksi prostaglandin.

ESTROGEN PROGESTERON
Nirola dkk, 2018; Mohamed RA dkk, 2020
Estrogen dan progesteron mengurangi sintesis glikosaminoglikan
dan dengan demikian dapat mempengaruhi substansi dasar jaringan
ikat. Perubahan tingkat sirkulasi hormon seks wanita juga
mempengaruhi respon host terhadap plak gigi. Hormon steroid seks
wanita dapat mengubah respons jaringan periodontal terhadap plak
mikroba dan dengan demikian secara tidak langsung berkontribusi
pada penyakit periodontal. Dipercaya bahwa fluktuasi hormonal
yang berhubungan dengan kehamilan, menstruasi, dan penggunaan
kontrasepsi hormonal menyebabkan peningkatan mobilitas gigi,
mungkin karena perubahan fisikokimia pada periodonsium. Gingiva
dengan demikian dapat dianggap sebagai jaringan target untuk
estrogen dan progesteron

Nirola dkk, 2018; Mohamed RA dkk, 2020


Manifestasi Intraoral dari Epulis
Gravidarum
Epulis gravidarum bermanifestasi dalam rongga mulut dimana pada pemeriksaan terdapat nodul berwarna
merah keunguan pada daerah gusi pasien sampai ada beberapa yang mengalami nodul berwarna merah
kebiruan yang menunjukan bahwa granuloma yang diderita sudah mulai berbahaya. Epulis gravidarum
biasanya ditandai dengan lesi berwarna merah cerah, bentuknya berdungkul, lunak, dan banyak
vaskularisasi yang kadang memiliki flek putih di permukaannya, biasanya bertangkai dan dapat mencapai
diameter lebih dari 2 cm, serta tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak menimbulkan keluhan berarti
selain karena ukurannya. Meskipun dapat timbul pada setiap lokasi di gingiva, epulis gravidarum
kebanyakan timbul di papila interdental, dan umumnya lebih sering di daerah labial pada rahang atas. Gigi
yang berdekatan dengan epulis dapat bergeser dan menjadi lebih mudah goyang, meskipun kerusakan
tulang jarang terjadi disekitar gigi yang berdekatan dengan epulis .

(Rahmawati D, Mayong OP, 2017; Suwandi T, 2019)


Pemeriksaan Fisik
1. a. Intra oral:
-Berupa massa polipoid berwarna merah-kebiruan kenyal
-Ukuran bervariasi, umumnya 2 cm
-Ulser ditutupi membrane fibrin berwarna kekuningan
- Nodul lunak seperti daging
-Permukaan mengkilap
-Mudah berdarah, bergranuler
-Palpasi: konsistensi lunak, batas jelas, mobilisasi gigi

b. Ekstra oral: pembesaran kelenjar limfa.

c. HPA
Secara histologis mirip dengan epulis granulomatosa. Epulis gravidarum, dilapisi oleh
epitel skuamosa stratifikasi, stroma berisi endotel, jaringan ikat menunjukkan adanya
infiltrasi sel radang kronis (neutrofil, sel plasma, limfosit)
(Muller, 2015; Praba, 2012)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk mengetahui apakah darah pasien dalam keadaan normal
atau tidak dikarenakan darah juga ikut berpengaruh dalam menentukan suatu diagnosa dan perawatan
selanjutnya.

b. Untuk biopsy sendiri tidak disarankan untuk pasien yang sedang hamil kecuali sudah melahirkan.

Jenis biopsy diantaranya, yaitu :

-Biopsi insisional: pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan dengan pisau bedah diambil sedikit
untuk diperksa.

-Biopsi eksisional: pengambilan semua massa yang dicurigai untuk kemudian diperiksa di bawah
mikroskop

(Muller, 2015)
Tatalaksana dan
obat-obatan Epulis
Gravidarum
Biopsi eksisi adalah pengangkatan semua lesi oral. Pengangkatan jaringan abnormal ini
harus disertai oleh sedikit jaringan sehat di sekitarnya untuk memastikan bahwa semua jaringan
abnormal telah diangkat dan dicegah kambuh. 1-7 Lesi yang secara klinis jinak, kecil (kurang dari 1
cm), dan mudah dijangkau untuk operasi adalah diindikasikan untuk operasi biopsi eksisi misalnya
mukokel, fibroma, papiloma, hemangioma, dan epulis.

Penggunaan obat pada ibu hamil Pertimbangan utama dalam meresepkan obat pada ibu
hamil adalah adanya resiko teratogenesis mengingat obat-obatan dapat menuju plasenta melalui
difusi sederhana.

(Apriadhanti, N., Parisa, N., & Dewi, S. R. P. 2021)


Tabel diatas mencakup penggolongan obat berdasarkan resiko yang mungkin ditimbulkan
terhadap janin
(Wijaksana IKE, 2019 )
Prognosis Epulis Gravidarum
Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat baik. Setelah melahirkan biasanya
epulis gravidarum akan sembuh sendiri dikarenakan hormon sudah mulai stabil dan
ditambah jika pasien menjaga kebersihan rongga mulut maka untuk terjadinya infeksi
sekunder dapat dihindari. Epulis gravidarum sendiri tidak memiliki potensi yang mengarah
pada keganasan. Prognosis sangat baik apabila dilakukan perawatan pada trimester kedua
yang merupakan waktu terbaik untuk melakukan perawatan gigi dan mulut pada ibu hamil
(usia kehamilan 14-20 minggu). Pada masa ini rasa mual dan muntah sudah menurun, dan
uterus belum cukup besar untuk menyebabkan ketidaknyamanan. Tujuan perawatan pada
masa ini adalah merawat penyakit yang aktif dan melakukan perawatan pencegahan
terhadap penyakit yang mungkin timbul pada trimester ketiga. Pada masa ini penting untuk
melakukan perawatan pada seluruh masalah kesehatan gigi dan mulut, namun tetap
berkoordinasi dengan dokter kandungannya.

(Fatma et al., 2018; Wijaksana, 2019)


Komplikasi

01 02
Pada Ibu Hamil Pada Bayi
• Preeklamsia Kelahiran prematur
• Eklampsia dengan/tanpa disertai BBLR
• Munculnya ulserasi
(Berat Badan Lahir Rendah)
• Perdarahan dari trauma pada lesi
• Infeksi sekunder
• Cacat kosmetik yang mungkin
menimbulkan tekanan psikologis
bagi pasien

(Soulissa 2016; Rahmawati 2018; Singh, 2018; Sharma, 2019; Wijaksana, 2019)
Diagnosis Banding
Epulis Kongenital/ Epulis Epulis Angiomatosa
Tumor Sel Granular/ Granulomatosa (Epulis Telangiecticum)
Tumor Neumans

Epulis
Fibromatosa Epulis Fissuratum

Epulis Gigantoselulare
(Peripheral Giant Cell
Granuloma)
Gingivitis Peripheral
Gravidarum Hemangioma Ossifying Fibroma

(Soulissa, 2014; Goel, 2016; Hanriko, 2016; Kusumawardani, 2018)


Stage Kemunculan Epulis Gravidarum
Trimester
Pertama
Minggu ke-8 Minggu ke-9

Terdapat manifestasi Terjadi penurunan


awal karena keparahan dari epulis
meningkatnya gravidarum
hormon estrogen
dan progesteron di
dalam darah dan
saliva

Epulis Gravidarum sering terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan
dengan puncak keparahan pada trimester awal atau trimester akhir, yaitu
minggu ke-8 atau minggu ke-32.

(Kusumawardani, 2018; Wijaksana, 2019; Utami, 2020)


Waktu Perawatan untuk Ibu Hamil
Trimester Pertama Trimester Kedua Trimester Ketiga

Sebaiknya menunda seluruh Waktu terbaik untuk Sebaiknya tidak melakukan


perawatan, kecuali perawatan melakukan perawatan gigi perawatan gigi dan mulut
darurat yang telah dikonsultasikan dan mulut pada ibu hamil.
dengan Dokter Kandungan

(Lewis, 2019; Wijaksana, 2019; Mariana, 2020)


Kesimpulan
Epulis gravidarum (pregnancy epulis, pregnancy granuloma, pregnancy tumor)
merupakan gambaran umum dan khas yang muncul pada ibu hamil yaitu tumbuhnya
benjolan pada gusi antara dua gigi yang berhubungan dengan peningkatan hormone
estrogen dan progesterone yang terjadi pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan.
Disebabkan oleh dua faktor yaitu primer dan sekunder. Epulis gravidarum biasanya
ditandai dengan lesi berwarna merah cerah, bentuknya berdungkul, lunak, dan banyak
vaskularisasi yang kadang memiliki flek putih di permukaannya, biasanya bertangkai dan
dapat mencapai diameter lebih dari 2 cm, serta tidak menimbulkan rasa sakit sehingga
tidak menimbulkan keluhan berarti selain karena ukurannya. Diagnosis granuloma dapat
ditegakkan melalui anamnesis disertai dengan pemeriksaan fisik (intraoral, ekstraoral,
HPA), penunjang radiologis, dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah dan
biopsy (insisional, eksisional), dan pemeriksaan imunositokimia.
Kesimpulan
Pentalaksanaan dilakukan dengan control plak, menjaga OH, diet, dan DHE.
Eksisi bedah kadang diperlukan dan dapat dilakukan pada beberapa kasus, apabila
diperlukan pemberian obat maka menggunakan obat-obatan yang aman bagi ibu dan
janin.
Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat baik. Setelah melahirkan
biasanya epulis gravidarum akan sembuh sendiri dikarenakan hormon sudah mulai stabil
dan ditambah jika pasien menjaga kebersihan rongga mulut maka untuk terjadinya infeksi
sekunder dapat dihindari. Komplikasi pada ibu hamil menyebabkan keadaan rongga mulut
ibu hamil semakin tidak sehat seperti infeksi periodontal, dan gigi berlubang. Kemungkinan
komplikasi lainnya meliputi munculnya ulserasi, Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan
terjadinya kelahiran prematur dengan/tanpa disertai BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).
Diagnosis banding epulis gravidarum yaitu epulis kongenital, epulis fibromatosa, epulis
granulomatosa, epulis fissuratum.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani PD, Apriasari ML, Putri DBT. 2014. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal pada Wanita Hamil Trimester 3 di RSUD ULIN
BANJARMASIN. Dentino Jurnal kedokteran Gigi: 2(1); 96.
Apriadhanti, N., Parisa, N., & Dewi, S. R. P. 2021. Prescription Profile of Antibiotic Drugs Post Excision Biopsy of Oral Soft Tissue Disease in
Palembang. Bioscientia Medicina: Journal of Biomedicine and Translational Research. 5(2), 234-241.
Barzegar M, Pouyafard A, Tabatabaei SH, Navabazam A, Ajami H, & Chohedri M. 2018. Pregnancy tumor and facial port-wine stain: A
case report. Journal of Craniomaxillofacial Research: 5(1); 50-53.
Carranza F, Newman M, Takei H, Klokkevold P. 2019. Newman and Carranza’s Clinical Periodontology. Philadelphia: Elsevier.
Chandana. 2016. Journal of Oral Medicine;Surgery,Pathology,Biology. 1(1).
Cristi MC, Gambacorta V, Giovanni AD, Pindozzi S, Tassi L, Daniele P, Ricci G. 2019. Increased Epulis Gravidarum Prevalence in Women with
Both Nasal and Oral Symptoms: Retrospective Study. OTOLARYNGOLOGY Open Journal. 5(1): 18-21.
Fatma UY, Ozge G. 2018. Pyogenic Granuloma Pregnancy a Case Report. Biomed Jsci and techres. 5(1).
Favero V, Bacci C, Volpato A, Bandiera M, Favero L, Zanette G. 2021. Pregnancy and Dentistry: A Literature Review on Risk
Management during Dental Surgical Procedures. Dentistry Journal. 9(46): 1-16.
Goel H, Goel A, Jindal R. 2016. Pyogenic Granuloma- A case report. International Journal of Oral Health Dentistry. 2(3): 206-208.
Grigore M, Custache M, Simionescu O. Granuloma Gravidarum on the Post-Excisional Scar for an Atyphical Melanocytic Lesion during
Pregnancy. Modern Medicine; 2020. 27(2):125-131.
Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik Pada Ginggiva. Jurnal Kedokteran Universitas Lampung. 1(2): 428-431.
Hua L and Locke M. 2019. A Case of Florid Pregnancy Gingivitis. Dental Update. 46(2): 166-170
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawardani, B. and Robin, D. M. C. 2018. Penyakit Dentomaksilofasial. Malang: Intermedia
Lamba M, Sinha A, KD J. 2016. Pregnancy Induced Gingival Enlargement Treated With Propolis Gel: A Case Report .IOSR Journal of
Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS). 15(1): 99-105.
Maria Cristina Cristi, MD et al. Increased Epulis Gravidarum Prevalence in Women with both Nasal and Oral Symptoms. Otolaryngol Open
J. 2019; 5(1): 18-21.
Mohamed, R. A., Fahad, A. H., & Al-Ameedee, W. H. M. 2020. Gingival status in relation to menstrual hormonal changes, nutritional status
and stimulated salivary flow rate among 18-22 years old women in Najaf city, Iraq. Annals of Tropical Medicine and Public
Health. 23, 23-109.
Mueller. Periodontology the essential. 2nd . Thieme: Heidelberg. 2015
Nirola, A., Batra, P., & Kaur, J. (2018). Ascendancy of sex hormones on periodontium during reproductive life cycle of women. Journal of
the International Clinical Dental Research Organization. 10(1), 3.
Pascawinata A. 2016. Penatalaksanaan Granuloma Pyogenikum Pada Bibir Bawah (Laporan Kasus). Jurnal B-Dent. 3(1): 18-22.
Praba FN, Rahardjo BD. 2012. Penatalaksanaan Ekstirpasi Epulis Fibromatosa Ukuran Besar Pada Gingiva Rahang Bawah dengan Anastesi
Lokal. Majalah Kedokteran Gigi. 19(1):59.
Purwar P et al. 2015. Granuloma gravidarum : persistence in puerperal period anunusual presentation. BMJ; 1(1).
Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil Di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal Kebidanan. 1(1).
Rahmawati D. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal Kebidanan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan William Booth. 6(1)
DAFTAR PUSTAKA
Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2017. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations. Ed. 7. Elsevier: Missouri.
Sarwal P, Lapumnuaypol K. Pyogenic Granuloma. StatPearls Publishing, Treasure Island (FL); 2020.
Sharma S, Chandra S, Gupta S, Srivastava S. 2019. Heterogeneous conceptualization of etiopathogenesis: Oral pyogenic granuloma.
Natl J Maxillofac Surg;10(1):3-7.
Sharma S, et al. 2021. Pyogenic granuloma: A case report and a comprehensive review. Journal of Oral Research and Review. 13(1): 53-
59
Singh, M., Singhal, R., Negi, R., Gupta, R., Dahiya, P., Kumar, M., & Bhardwaj, R. 2018. Periodontal status in pre-and post-menopausal
women: A review. Asian Pacific Journal of Health Science; 5(2): 136-141.
Soulissa AG. September-Desember 2014. Hubungan kehamilan dan penyakit periodontal (Relationship between pregnancy and
periodontal disease). Jurnal PDGI; 63(3): 71-77.
Sun WL, Lei LH, Chen LL. 2014. Multipe Gingival Pregnancy Tumors with Rapid Growth. Journal of Dental Sciences. 9: 290-291.
Stiawan SM, Aini Inayatul, Mildina YE. 2017. MIDWIFERY COMPREHENSIVE CARE IN NY "I" WITH PREGNANCY PHYSIOLOGICAL IN
BPM HJ DAYAROH, SST SEMBUNG VILLAGE PERAK SUB DISTRICT JOMBANG DISTRICT. Midwifery Journal Of STIKes
Insan Cendekia Medika Jombang. 13(1): 51-55
Suwandi T. 2019. Hubungan Penyakit Periodontal pada Kehamilan dengan Kelahiran Bayi Prematur. Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu.
1(1): 53-57.
Utami LD, Hidayat W, Sufiawati I. 2020. Manifestasi oral pada ibu hamil berdasarkan perbedaan trimester kehamilan. Padjadjaran Journal
of Dental Researcher and Students. 4(2): 81-89.
Wijaksana, I. K. E. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal Kesehatan Gigi. 6(2): 118-125.
KULIAH PAKAR
SKENARIO 1
KELOMPOK 3
Dosen Pembimbing : drg. Aninditya Pimas Trinuanty
Dosen Kuliah Pakar : drg. Beta Widya Oktiani, Sp. Perio
ANGGOTA KELOMPOK 3
1. Sity Noormazidah 1911111120020
2. Muhammad Rayhan 1911111210010
3. Talitha Dwi Avissa 1911111220001
4. Manik Ulya Arfiyanti 1911111220002
5. Natasya Nurul Izzati 1911111220003
6. Novi Dwi Maulida 1911111220011
7. Muhammad Yunanda Anhar 1911111310027
8. Afina Ridoti 1911111320002
9. Yenny Normayanti Juhro 1911111320006
10. Rahmadhani Dian Utami 1911111320021
11. Eta Maulida Shalehah 1911111320038
SKENARIO
Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi..???
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia mengeluhkan kondisi
gusinya yang bengkak, namun anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2 giginya saja.
Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya. Pada saat menyikat gigi
sering gusi tersebut berdarah. Saat ini pasien sudah melahirkan namun kondisi
gusinya tetap bengkak hanya sedikit berkurang. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit sistemik. Hasil pemeriksaan intraoral menunjukkan bahwa terjadi hiperplasia
pada papilla interdental 13 14, gingiva berwarna merah, mengkilat, bertangkai, dan
BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5 dan tidak terjadi kerusakan tulang
IDENTIFIKASI DAN
KLARIFIKASI ISTILAH ASING

● Hiperplasi : Bertambahnya jumlah sel pada suatu


organ melebihi jumlah normal; terjadinya
peningkatan jumlah sel; peningkatan jumlah sel pada
organ tertentu akibat peningkatan proses mitosis.

● BOP : Bleeding On Probing dimana saat dilakukan


probing pada gingiva maka terjadi perdarahan;
inflamasi pada gingiva yg ditandai dengan perdarahan
saat dilakukan probing.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH

01 Apa diagnosis yang tepat pada kasus skenario tersebut?


Jawab: Epulis gravidarum.

Apa pemeriksaan penunjang pada kasus di skenario?

02
Jawab: Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui darah pasien normal atau tidak
karena darah berpengaruh untuk diagnosa kedepannya, serta pemeriksaan biopsy berupa
pengangkatan spesimen jaringan untuk menganalisis secara mikroskopik guna membantu
diagnosis.

Apakah ada pengaruh pada kehamilan dengan kejadian pembengkakan pada kasus
tersebut?

03 Jawab: Ada, karena peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang signifikan dapat
menyebabkan vasodilatasi sehingga gingiva ibu hamil mengalami inflamasi, hyperplasia,
dan pendarahan. Selain itu, faktor lokal juga mempengaruhi kondisi rongga mulutnya
seperti OH yang buruk, peningkatan bakteri P. intermedia, serta ibu hamil biasanya
mengalami morning sickness yang akan menyebabkan meningkatnya produksi asam
lambung sehingga pada saat mual dan muntah maka akan mengenai gigi dan gingiva
(terpapar).
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH

04
Apa etiologi dari kasus skenario tersebut?
Jawab: adanya faktor hormonal yaitu perubahan hormon terutama estrogen dan progesteron
sehingga sel limfosit T menurun serta gingiva mudah mengalami perdarahan dan terjadi
iritasi.adanya faktor lokal seperti penggunaan denture, peningkatan bakteri P. intermedia pada
papila interdental, serta OH buruk yang menyebabkan penumpukan debris, plak, dan kalkulus.

05
Apa faktor predisposisi dari kasus pada skenario?
Jawab: OHI-S yang buruk, hormon yang berubah-ubah, OH ibu hamil yg buruk karena morning
sickness sehingga perkembangan bakteri RM meningkat, serta makanan dg karbohidrat tinggi juga
berpengaruh terhadap OH yang buruk.

06
Apa penanganan pada kasus skenario diatas?
Jawab: Penanganan pertama yang dilakukan dokter gigi adalah anamnesis pasien, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan intraoral, dan pemeriksaan penunjang seperti biopsi dan pemeriksaan
darah, menentukan diagnosis, jika kasus berat dilakukan rujukan ke dokter spesialis, penanganan
OHI-S seperti scaling and root planing mengingat ohis 2,5 sebagai efek penanganan pertama, serta
jika pasien merasa sakit diberi obat analgesik. dapat mengecil/menghilang setelah kehamilan, jika
tidak maka dilakukan eksisi atau pengangkatan epulis.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH

07
Komplikasi apa yang akan terjadi pada kasus yang ada pada skenario tersebut?
Jawab: Epulis yang tidak segera ditangani maka akan akan dapat menyebabkan ulkus serta
perdarahan. Perdarahan ini beresiko menyebabkan terjadinya infeksi seperti bakteremia
berupa masuknya bakteri rongga mulut kedalam saluran pembuluh darah yang kemudian
masuk ke organ lain seperti jantung. Pada ibu hamil, bakteri akan masuk ke dalam plasenta
sehingga mengganggu kontraksi serta distribusi nutrisi pada bayi sehingga mengakibatkan
terjadinya kelahiran bayi premature dan berat badan bayi rendah.

08
Apakah ada pencegahan pada ibu hamil agar saat kehamilan tidak terjadi pembengkakan?
Jawab: Menjaga OH dengan cara menyikat gigi secara rutin, mengurangi konsumsi makanan
karbohidrat tinggi (seperti makanan manis), berkumur sehabis sikat gigi untuk menambah
kebersihan RM (obat kumur chlorhexidine 0,2% tanpa alkohol) yang aman untuk ibu hamil,
melakukan peningkatan sistem kekebalan tubuh dengan berolahraga ringan secara teratur,
serta perawatan secara rutin ke dokter gigi.
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH

09
Bagaimana mekanisme pengaruh hormon pada kasus periodontal dan apa saja diagnosis
bandingnya?
Jawab: Hormon estrogen meningkat yg berperan pada sekresi GH dan berperan pada sel
target sehingga terjadi peningkatan fibrosis. Dengan terjadinya peningkatan hormon
estrogen dan progesteron maka terjadi vasodilatasi mikroseluler pada jaringan periodontal
yang menyebabkan terjadinya perdarahan serta pembengkakan jaringan periodontal yang
kemudian berkembang menjadi suatu epulis. Diagnosis bandingnya berupa peripheral giant
cell granuloma, epulis fissuratum, pregnancy gingivitis, dan epulis granulomatosa.

10
Mengapa terjadi pembengkakan hanya pada 1-2 gigi saja?
Jawab: Diagnosis adalah epulis gravidarum yang biasanya muncul benjolan pada gusi di satu
gigi atau di antara dua gigi dan pada sisi bukal serta mengalami pembesaran hingga
interdental, dengan ciri khasnya yaitu bertangkai. Adanya faktor lokal seperti OHI-S pasien
2,5 sehingga kemungkinan terdapat plak serta karies sehingga jika tidak ditangani maka bisa
saja terjadi iritasi, infeksi maupun inflamasi dan akhirnya akan menjadi pembengkakan yang
hanya pada beberapa gigi saja. Selain itu, faktor hormonal pada pasien yg bisa
menyebabkan pembengkakan pada gigi tersebut juga menjadi faktor pendukung terjadinya
pembengkakan.
PROBLEM TREE
EPULIS

DEFINISI KLASIFIKASI

EPULIS
GRAVIDARUM

MANIFESTASI DIAGNOSIS
DEFINISI ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PATOGENESIS TATALAKSANA KOMPLIKASI PROGNOSIS
KLINIS BANDING

PEMERIKSAAN TERAPI
SASARAN BELAJAR
1. Definisi epulis
2. Klasifikasi epulis
3. Definisi epulis gravidarum
4. Etiologi epulis gravidarum
5. Epidemiologi epulis gravidarum
6. Patogenesis epulis gravidarum secara seluler
7. Manifestasi klinis epulis gravidarum
8. Pemeriksaan epulis gravidarum
9. Terapi epulis gravidarum
10. Diagnosis banding epulis gravidarum
11. Komplikasi epulis gravidarum
12. Prognosis epulis gravidarum
01
DEFINISI EPULIS
DEFINISI EPULIS
Epulis dari bahasa Yunani oυλίς, secara harfiah berarti "di
atas gingiva".

Epulis adalah istilah istilah umum yang digunakan secara


klinis untuk menunjuk semua tumor diskrit dan massa
seperti tumor pada gingiva. Dengan demikian, istilah
tersebut mengacu pada lokasi neoformasi dan tidak
mewakili entitas patologis tertentu.

Epulis merupakan suatu hyperplasia gingiva yang berasal


dari jaringan ikat periodontal, yang diduga disebabkan
oleh iritasi kronis lokal atau trauma seperti kalkulus
subgingiva, karies servikal, sisa akar gigi, gigi tiruan yang
tidak baik, restorasi yang tidak baik, ketidakseimbangan
hormonal, dan proses penyembuhan yang berlebihan.
Epulis bersifat fibrous, hiperplastik dan granulatif.

(Costa P et al., 2021; Carranza FA et al., 2012; Suwandi T, 2020)


02
KLASIFIKASI
EPULIS
Klasifikasi Epulis

Epulis Kongenital/ Congenital Epulis Fibromatosa Epulis Granulomatosa


Granular Cell Tumor (CGCT)

Epulis Fissuratum Epulis Gigantoselulare/Peripheral Epulis Gravidarum (pregnancy


giant cell granuloma (PGCG) epulis, pregnancy granuloma,
pregnancy tumor)
Epulis Kongenital atau
Congenital Granular Cell Tumor (CGCT)

Congenital oral tumors di mulut bayi baru


lahir. Epulis kongenital adalah lesi jinak yang
terlihat secara eksklusif pada bayi baru lahir,
sering muncul sebagai massa pada ridge
alveolar anterior rahang atas dan lebih jarang
pada mandibula. Histogenesis epulis kongenital
secara historis tidak jelas, meskipun sel
Schwann, fibroblas, atau sel mesenkim telah
dihipotesiskan sebagai kandidat kuat untuk asal
histologis epulis kongenital

(Neville, et al., 2019; Cheung, 2020)


Epulis Fibromatosa
Epulis fibromatosa adalah respon dari
iritasi lokal kronis akibat adanya bagian dari
gigi yang tajam atau kalkulus subgingiva.
Epulis ini sering ditemukan pada rongga
mulut terutama pada tepi gingiva dan juga
sering terjadi pada pipi dan lidah. Etiologinya
berasal dari iritasi kronis. Tampakan klinis,
antara lain bertangkai atau tidak, warna agak
pucat, konsistensi kenyal, batas tegas, padat
dan kokoh. Epulis ini tidak mudah berdarah
dan tidak menimbulkan rasa sakit.
(Mubarak, 2020).
Epulis Granuloma

Epulis granulomatosa adalah jaringan


hiperplastik jinak yang muncul sebagai
pertumbuhan berlebih yang timbul dari
soket gigi yang baru saja diekstraksi.
Setelah pencabutan gigi, penyembuhan
soket yang sehat terjadi dengan regenerasi
jaringan keras dan lunak diikuti dengan
penggantian ruang oleh jaringan ikat
fibrovaskular.

(Manovijay, 2015).
Epulis Fissuratum

Denture-induced hyperplasia (DIH)


atau epulis fissuratum adalah hiperplasia
mirip tumor dari jaringan ikat fibrosa,
yang berkembang bersama dengan gigi
tiruan sebagian atau seluruhnya yang tidak
pas. Entitas ini paling sering terjadi pada
orang dewasa paruh baya dan lebih tua

(Mortazavi, 2016).
Epulis Gigatoseluler
Peripheral giant cell granuloma (PGCG) adalah
pertumbuhan seperti tumor oral, non neoplastik, yang
terjadi secara eksklusif pada gingiva dan mukosa
alveolar. Ia juga dikenal sebagai giant cell epulis atau
peripheral giant cell reparative granuloma,
peripheral giant cell tumor, giant cell hyperplasia,
reparative giant cell granuloma. Ini adalah lesi sel
raksasa, biasanya berasal dari jaringan ikat periosteum
atau membran periodontal

(Khandelwal, 2016).
Epulis Gravidarum

Granuloma piogenik (PG) adalah lesi jinak


yang berasal dari vascular. PG juga dikenal
sebagai: hemangioma erupsi, hemangioma
tipe jaringan granulasi, granuloma
gravidarum, hemangioma kapiler lobular,
tumor kehamilan atau tumor kehamilan.
Istilah 'granuloma piogenik' dianggap tidak
cocok karena tumor tidak berhubungan
dengan nanah dan Tidak menyerupai
granuloma secara histologis

(Hamdoun, 2018).
03
DEFINISI EPULIS
GRAVIDARUM
Definisi Epulis Gravidarum
Epulis gravidarum (pregnancy epulis,
pregnancy granuloma, pregnancy tumor)
merupakan gambaran umum dan khas yang
muncul pada ibu hamil yaitu tumbuhnya
benjolan pada gusi antara dua gigi. 0,2-5
Persen ibu hamil mengalami lesi ini dan
biasanya muncul pada gusi rahang atas.
(utama) Bentuknya berdungkul, lunak,
kemerahan, tumbuh pada bagian interdental,
dan seringkali muncul pada bagian anterior
(Utami et al., 2020; Wijaksana KV, 2019) maksila.
04
ETIOLOGI EPULIS
GRAVIDARUM
Etiologi Epulis Glavidarum

● Etiologi yang tepat belum di ketahui


● Meningkatnya hormon wanita yaitu peningkatan kadar estrogen dan
progesteron selama kehamilan dan vaskularisasi gingiva sehingga
memberikan respon yang berlebihan terhadap faktor iritasi lokal.
Faktor iritasi lokal dapat berupa rangsangan lunak, yaitu plak bakteri
dan sisa-sisa makanan, maupun berupa rangsang keras seperti
kalkulus, tepi restorasi yang tidak baik, gigi palsu dan permukaan akar
yang kasar
● Sekitar 7% pasien yang terkena memiliki riwayat trauma sebelum lesi
● Pil kontrasepsi oral
● Obat-obatan seperti isotretinoin, acitretin, cyclosporine, lamivudine,
docetaxel, imatinib, dan indinavir juga dapat menjadi faktor penyebab

(Cristi MC, 2019; Hua L, 2019; Leung AKC, 2014; Suwandi, 2019; Rahmawati, 2017)
Etiologi Epulis Glavidarum

Faktor risiko adalah kebersihan mulut yang tidak memadai,


gingivitis kronis, penggunaan terapi hormonal, antihipertensi,
antiepilepsi, obat imunosupresif dan kadar progesteron aktif gingiva yang
tinggi karena kehamilan. Progesteron tingkat tinggi bekerja pada
pembuluh kapiler yang menyebabkan proliferasi endotel.

(Cristi MC, 2019)


05
EPIDEMIOLOGI
EPULIS GRAVIDARUM
EPIDEMIOLOGI Penelitian oleh Noaman menunjukkan bahwa
usia rata-rata pasien yang terkena epulis
gravidarum adalah 35,7 tahun dengan rentang
usia 11-65 tahun. Kasus epulis gravidarum
paling sering terlihat pada kelompok usia 30-
39 tahun. Wanita dewasa sedikit lebih
terpengaruh oleh epulis gravidarum daripada
pria, dan rasio pria dan wanita adalah 1:1,15.
Kebanyakan penelitian menunjukkan
kecenderungan bahwa epulis gravidarum lebih
sering terjadi pada wanita, kemungkinan
karena efek vaskular dari hormon pada wanita.
Ini terutama terjadi pada dekade kedua
kehidupan pada wanita muda. Epulis
gravidarum sering juga disebut
dengan pregnancy tumor (tumor kehamilan)
(Pascawinata, 2016)
atau granuloma piogenikum karena cukup
sering ditemui pada wanita hamil
06
PATOGENESIS
EPULIS GRAVIDARUM
PATOGENESIS
Interaksi antara bakteri dan hormon dapat menimbulkan perubahan pada komposisi plak
dan berperan penting pada proses peradangan gingiva. Konsentrasi bakteri subgingiva
berubah menjadi bakteri anaerob dan jumlahnya meningkat selama masa kehamilan. Bakteri
yang meningkat drastis selama masa kehamilan adalah P.intermedia. Peningkatan ini erat
kaitannya dengan tingginya kadar estrogen dan progesteron di dalam tubuh. Selain itu
terdapat penurunan sel limfosit-T yang matang yang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan respon jaringan terhadap plak. Selain peningkatan jumlah P.
intermedia, kadar progesteron yang meningkat selama masa kehamilan juga dapat memicu
terjadinya peradangan gingiva dengan menghambat produksi interleukin- 6 (IL-6).
Interleukin-6 berfungsi menstimulasi diferensiasi limfosit B, limfosit T dan mengaktifkan sel
makrofag dan sel NK, dimana sel-sel tersebut berperan menyerang dan memfagositosis
bakteri yang masuk ke sirkulasi darah, sehingga dengan dihambatnya produksi IL-6
mengakibatkan gingiva rentan terhadap peradangan. Progesteron juga merangsang produksi
prostaglandin (PGE2) dimana PGE2 merupakan mediator yang poten dalam respon
inflamasi. Prostaglandin sendiri berperan sebagai imunosupresan, sehingga mengakibatkan
peradangan gingiva semakin meningkat.
(Soulissa, 2014).
07
MANIFESTASI KLINIS
EPULIS GRAVIDARUM
MANIFESTASI KLINIS

pada gusi rahang atas (utama), Timbulnya benjolan pada gusi Warna gusi menjadi merah
bentuknya berdungkul, lunak, antara dua gigi terutama pada sisi keunguan sampai kebiruan,
kemerahan, tumbuh pada bagian yang berhadapan dengan pipi. mudah berdarah, dan gigi terasa
interdental, dan seringkali muncul Benjolan ini dapat membesar goyang.
pada bagian anterior maksila. hingga menutupi gigi

kadang memiliki flek putih di Terjadi pada trimester pertama


permukaannya, ulcer, dapat sampai ketiga, mereda pada bulan
bertangkai atau tidak, dapat ke-9 dan beberapa hari setelah
mencapai diameter 2 cm, dan melahirkan.
umumnya tidak sakit. (Wijaksana, 2019; Senjaya et al., 2020; Stiawan et al., 2017; Suwandi, 2019)
PEMERIKSAAN
EPULIS GRAVIDARUM
Pemeriksaan Epulis Gravidarum

01 02
Anamnesis Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan dapat diawali
dengan anamnesis pasien Diperhatikan mengenai ukuran
biasanya datang mengeluh benjolan, kekenyalan, ada
kesulitan makan karena terdapat perdarahan atau tidak,warna
benjolan , diketahui juga OH merah keunguan,permukaan
pasien buruk, pasien sedang benjolan, bergranuler, palpasi,
hamil. batas jelas, mobilisasi gigi.

(Henriko, 2016)
Pemeriksaan Epulis Gravidarum

03 04
Pemeriksaan Ekstraoral Pemeriksaan Makroskopis

● Apakah terjadi pembesaran Berupa massa polipoid berwarna


kelenjar limfe? merah-kebiruan kenyal Ukuran
● Apakah darah pasien dalam bervariasi, umumnya 2 cm Ulser
keadaan normal atau tidak? ditutupi membrane fibrin
berwarna kekuningan Nodul lunak
Berpengaruh dalam menentukan suatu seperti daging Permukaan
diagnosa dan perawatan selanjutnya. mengkilap.
(Henriko, 2016; Sun et al, 2014; Suwandi, 2019)
Pemeriksaan Epulis Gravidarum

05 06
Pemeriksaan Darah Pemeriksaan Histopatologis
Mengetahui apakah darah pasien
dalam keadaan normal atau tidak Epulis ditemukan jaringan ikat
dikarenakan darah juga ikut yang berproliferasi dilapisi epitel
berpengaruh dalam menentukan gepeng berlapis disertai infiltrasi
suatu diagnosa dan perawatan sel-sel berbentuk bulat dan
selanjutnya. Biopsy tidak disarankan spindle serta sel-sel radang PMN,
untuk pasien hamil kecuali sudah leukosit dan sel plasma.
melahirkan.
(Sun et al, 2014)
Pemeriksaan Epulis Gravidarum

07 08
Pemeriksaan Radiografi Prebiopsy Monitoring
Untuk memastikan riwayat pasien Perubahan yang tidak terdiagnosis atau
dan manifestasi klinis, terutama dicurigakan dan tidak diketahui apakah
dari trauma, harus ditindaklanjuti
pada kasus dimana terdapat lesi
dalam 7-14 hari dengan atau tanpa
yang berada di dalam atau perawatan. Jika lesi membesar atau
berdekatan dengan tulang. berkembang, tampilannya berubah,
(Periapikal, oklusal, panoramik, atau tidak merespon terapi, maka perlu
MRI, CT), dilakukan biopsy.
(Hupp et al., 2019)
Pemeriksaan Epulis Gravidarum

09 10
Post Biopsy Monitoring Diagnosis banding dari
diagnosis utama
Memeriksa kembali pasien Diagnosis banding diberikan ke ahli
dilakukan kembali dalam 1 bulan patologi dengan didasarkan pada
dan kemudian pada 3, 6, dan 12 pemeriksaan total. Tujuan dilakukan
bulan selama tahun pertama. pemeriksaan diagnosis banding yaitu
Pasien harus selalu di edukasikan agar mengetahui adanya presentasi
untuk segera menghubungi dokter klinis dan patologis lain yang serupa
gigi jika ada perubahan klinis. dengan diagnosis awal.
(Hupp et al., 2019)
(Hupp et al., 2019)
TERAPI
EPULIS GRAVIDARUM
Terapi Epulis Gravidarum
Ibu hamil harus mengerti teknik
perawatannya seperti teknik menyikat gigi
serta waktu yang tepat untuk menyikat, di
samping itu pemilihan pasta gigi dan sikat gigi
yang sesuai dengan kondisi mulut dan gigi
juga harus diperhatikan. Rajin untuk
memeriksakan rongga mulut 6 bulan sekali ke
dokter gigi menjadi hal yang wajib untuk
memantau kondisi rongga mulut ibu hamil,
pada ibu hamil yang telah bermasalah pada
rongga mulutnya harus mendapat perawatan
khusus dari dokter gigi sesuai tingkat kondisi
rongga mulut.
(Muller, 2015; Rahmawati, 2017)
Biopsi
Pengangkatan spesimen jariangan untuk analisis mikroskopis guna membantu proses
diagnosis, sebagian besar biopsi rongga mulut menggunakan teknik eksisional atau
insisional. Jenis biopsi antara lain:

Biopsi Insisional Biopsi Eksisional


Pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan Pengambilan semua massa yang dicurigai untuk
dengan pisau bedah diambil sedikit untuk diperksa. kemudian diperiksa di bawah mikroskop

Rontgen Cek Darah


Pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan Untuk mengetahui apakah darah pasien dalam keadaan
dengan pisau bedah diambil sedikit untuk diperksa. normal atau tidak dikarenakan darah berpengaruh dalam
menentukan suatu diagnosa dan perawatan selanjutnya.
(Muller, 2015)
Eksisi Bedah
Eksisi bedah adalah pengobatan pilihan jika lesi gingiva terus-menerus mengalami
trauma selama menyikat gigi atau tidak estetis. pada pasien dengan epulis gravidarum
terdiri dari perawatan eksisi bedah konservatif, yang biasanya bersifat kuratif.

Spesimen harus dikirim untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik


guna menyingkirkan diagnosis lain yang lebih serius. Untuk lesi pada
gingiva, eksisi dilakukan diperpanjang hingga periosteum dan gigi
yang berdekatan harus sepenuhnya dibersihkan untuk
menghilangkan sumber iritasi. Kadang-kadang lesi dapat berulang
dan memerlukan eksisi ulang. Dalam beberapa kasus, kekambuhan
jarang terjadi. Perawatan yang umum dilakukan adalah eksisi bedah
dan penghilangan faktor iritan (plak, kalkulus.material asing, trauma
dll). Saat ini berbagai perawatan secara bedah dapat digunakan
seperti teknik konvensional, laser Nd:YAG, cryosurgery, pembedahan
dengan laser, electrocautery dan lainnya. Kontrol hingga 2 minggu
setelah operasi tidak ditemukan adanya rekurensi. Obat kumur
anestesi dapat berperan dalam nyeri mulut dan membantu
pengunyahan. Obat kumur antiseptik digunakan ketika ada kesulitan
dalam melakukan kontrol plak yang memadai. (Hua, 2019; Pascawinata, 2016)
Biopsi Eksisi: Gingivektomi
Gingivektomi
Pengangkatan lengkap
dinding jaringan lunak
saku menggunakan
pisau skalpel no 12
atau 15, pisau Kirkland,
Orban dan Blake

3 minggu pasca
operasi
Perlekatan epitel baru pada
permukaan akar
membutuhkan waktu sekitar
28 hari untuk terbentuk (Hua, 2019)
Biopsi Eksisi: Laser Nd:YAG
Laser adalah pilihan yang lebih baik untuk mengobati epulis gravidarum karena ada risiko perdarahan yang lebih rendah
saat eksisi dan rasa sakit ringan yang dapat ditanggung. Dari semua laser, laser Nd:YAG paling banyak dipilih untuk eksisi
karena memiliki karakteristik koagulasi yang lebih baik. . Diproduksi oleh laser Fotona, dengan spesifikasi sebagai berikut:
panjang serat 320 m, daya 2 W dan frekuensi 20 Hz. Laser Nd:YAG memberikan pemotongan lesi yang bersih (gambar 2
dan 3) dan mempertahankan hemostasis. Lesi yang dipotong dikirim ke patologi untuk pemeriksaan histopatologi lebih
lanjut (gambar 4). Pasien tidak diresepkan dengan analgesik atau obat anti-inflamasi.

Gambar 2. Eksisi lesi menggunakan Gambar 3. Tampilan Postpoeratif Gambar 4. Lesi yang telah di eksisi
laser Nd:YAG setelah lesi dihilangkan
(Yadav, 2018)
Hasil dan Tindak Lanjut

Tindak lanjut dilakukan setelah 1 minggu


dan 6 bulan (gambar 5). Analisis
histopatologi mengkonfirmasi lesi
sebagai granuloma piogenik. Gambaran
mikroskopis granuloma menunjukkan
epitel skuamosa berlapis hiperplastik
yang menunjukkan papilomatosis dan
akantosis dan sebagian terbuka di satu
area. Stroma subepitel yang mendasari
menunjukkan pembuluh darah yang
tersumbat, proliferasi kapiler dan infiltrat Gambar 5. Follow-up setelah 6 bulan
limfoplasmacytic. Keganasan tidak
diamati.
(Yadav, 2018)
DIAGNOSIS BANDING
EPULIS GRAVIDARUM
Diagnosis Banding Epulis Gravidarum

● Epulis gravidarum dapat dengan mudah


didiagnosis berdasarkan riwayat dan pemeriksaan,
akan tetapi terdapat lesi yang menjadi
pertimbangan diagnosis seperti Amelanotic
melanoma, Squamous cell carcinoma, Basal cell
carcinoma, Angiosarcoma. Pada individu dengan
imunosupresi, angiomatosis basiler atau sarkoma
Kaposi juga harus dimasukkan dalam diagnosis
banding.

● Pada pemeriksaan histopatologi, diagnosis


banding mencakup bentuk lain dari hemangioma
kapiler, seperti: acquired tufted angioma,
hemangioma glomeruloid, dan angiomatosis
menular seperti angiomatosis epiteloid basiler dan
verruga peruana.
(Sarwal dan Lapumnuaypol, 2020)
Diagnosis Banding Epulis Gravidarum
Gingivitis Kehamilan atau Pregnancy Gingivitis
• Pembesaran marginal dan interdental, merah terang-kebiruan,
permukaan licin dan mengkilap,mudah berdarah.
• Terjadi sebagai hasil dari peningkatan kadar hormon progesteron
dan estrogen. Gingivitis kehamilan mempunyai gambaran klinis
berupa marginal gingiva dan papila interdental yang berwarna
merah terang sampai merah kebiruan, permukaannya licin dan
mengkilap, berkurangnya kekenyalan dan mudah berdarah.
Perubahan yang jelas terlihat pada bulan kedua kehamilan, dan
mencapai puncaknya pada bulan kedelapan, serta akan
berkurang setelah melahirkan. Menyebabkan kerusakan tulang
alveolar

(Soulissa, 2014; Suwandi, 2019; Purwar et al. 2015; Regezi et al, 2017)
Diagnosis Banding Epulis Gravidarum
Epulis Granulomatosa, Epulis angiomatosa, Peripheral
Giant Cell Granuloma
Nodul cerah, kenyal, berbatas tegas, massa pedunculated/sessile, Lesi tumbuh
relatif lebih cepat. Dapat dijadikan diagnose banding karena ada tampakan
pembesaran gingiva berwarna merah. Lesi odontogenic, Kaposi sarcoma, bacillary
angiomatosis, dan non- Hodgkin’s lymphoma

Peripheral ossifying fibroma


Terjadi sebagai nodul gingiva tersusun dari jaringan ikat fibroblastik seluler
stroma yang tersebar dari tulang , jaringan seperti sementum dan berwarna
terang
Haemangioma
Tumor sel endotel yang jinak dan biasanya terjadi sendiri, dan ditandai dengan
peningkatan jumlah pembuluh darah normal atau abnormal berisi darah
(Hanriko, 2016; Suwandi, 2019; Purwar et al. 2015; Regezi et al, 2017)
Diagnosis Banding Epulis Gravidarum dan Peripheral Giant Cell Granuloma

(Hanriko, 2016)
Peripheral Giant Cell Granuloma

Makroskopis Mikroskopis
Massa pedunculated/sessile/nodul
cerah, kenyal dan berbatas tegas. Elemen dasar lesi adalah hiperplasi
Pertumbuhan lesi relatif lebih cepat fibroblas disertai multinucleated giant
dibanding granuloma piogenik. Lesi cell dan sel radang kronis. Netrofil lebih
biasanya terletak antara gigi permanen sering ditemukan pada lesi yang
M1 dan insisivus. Granuloma piogenik di mengalami ulserasi. Secara mikroskopis
diagnosa banding dengan peripheral peripheral ossifying fibroma berupa lesi
ossifying fibroma karena memberikan lobuler terdiri dari hyperplasia
gambaran yang sama namun massanya fibroblast dengan tulangi matur dan
berwarna lebih terang dan biasanya osteoid
terjadi pada area gigi molar permanen.

(Hanriko, 2016)
11
KOMPLIKASI
EPULIS GRAVIDARUM
KOMPLIKASI EPULIS GRAVIDARUM
Riskesdas tahun 2018 menunjukkan proporsi gangguan/komplikasi yang
dialami selama kehamilan pada perempuan umur 10-54 tahun di
Indonesia adalah sebesar 28%. Setiap ibu hamil menghadapi risiko
terjadinya kematian.

Infeksi rongga mulut pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan pada
ibu maupun janin yang dikandungnya, sehingga dapat menyebabkan
kematian janin, kelahiran prematur maupun berat bayi lahir rendah.

Pada gigi yang sering terinfeksi ditemukan karies atau gigi yang berlubang
yang menyebabkan sakit nyeri atau gusi bengkak pada ibu. Bakteri dapat
menyebar melalui pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan suatu
komplikasi pada kehamilan seperti kelahiran prematur dan berat badan
bayi lahir rendah. Komplikasi epulis gravidarum adalah terjadi perdarahan,
infeksi, dan ulserasi. Namun, tidak ada potensi ganas.
(Wijaksana, 2019; Rahmawati & Mayong, 2017; Nagaraj et al,. 2017)
KOMPLIKASI EPULIS GRAVIDARUM
Penyakit periodontal yang terjadi pada kehamilan dapat menyebabkan terjadinya kelahiran
prematur dengan atau tanpa disertai BBLR. Mekanisme terjadinya dimulai dari adanya
bakteremia yang terjadi karena perdarahan gingiva. Hal ini menyebabkan perpindahan
bakteri dan produknya seperti lipopolisakarida (LPS) dan aktivasi mediator inflamasi rongga
mulut ke uterus. Lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri akan memicu pelepasan
modulator imun seperti IL-1α, IL-1b, dan PGE2. Bakteri dan produknya akan beredar dalam
sirkulasi darah dan menembus barrier plasenta serta memicu timbulnya kelahiran prematur
karena terjadi gangguan fungsi sitokin yang mengatur kontraksi rahim dan distribusi nutrisi
untuk janin. Tingkat PGE2 dalam cairan krevikular gingiva (GCF) secara positif berhubungan
dengan tingkat PGE2 intra amniotik (p=0,018) bahwa infeksi bakteri Gram negatif dapat
menginisiasi kelahiran bayi prematur sebagai sumber lipopolisakarida atau melalui stimulasi
mediator inflamasi sekunder seperti PGE2 dan IL-1b. Hubungan dosis respon untuk
meningkatkan GCF PGE2 dapat digunakan sebagai marker aktivitas penyakit periodontal
terkini dengan penurunan berat kelahiran

(Suwandi, 2019)
KOMPLIKASI EPULIS GRAVIDARUM
 Kelahiran prematur dengan BBLR merupakan salah satu penyebab kematian perinatal dan kesakitan
neonatus dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Bayi yang lahir prematur dengan BBLR
memiliki risiko kematian 40 kali lebih besar selama periode neonatal dibandingkan bayi dengan berat
badan lahir normal. Kelahiran normal dengan berat badan lahir rendah yaitu bayi prematur dengan
BBLR yang mampu bertahan hidup setelah periode kelahiran mungkin akan menghadapi tingginya
risiko gangguan kesehatan, seperti gangguan saraf, gangguan pernafasan, dan anomali kongenital
 Bakteremi yaitu perdarahan pada gingiva dapat memicu terjadinya bakterimia dan selanjutnya
peradangan akan melalui sistem peredaran darah masuk melalui plasenta. Bakteri dapat menyebabkan
infeksi dan lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri akan menyebar ke dalam rongga rahim. Bakteri
dan produknya akan berinteraksi pada membran, memicu produksi prostaglandin atau secara langsung
menyebabkan kontraksi otot rahim dan dilatasi serviks sehingga bakteri yang masuk lebih banyak dan
terus berlanjut proses kerusakannya. Peradangan pada jaringan periodontal dapat mempengaruhi
kehamilan melalui bakteri Gram negatif anaerob dan produknya seperti lipopolisakarida yang dapat
merangsang pelepasan modulator imun seperti PGE2 dan TNFα yang dibutuhkan pada waktu kelahiran
normal. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kelahiran sebelum waktunya karena sistem dalam
tubuh mengira sudah waktu melahirkan oleh karena adanya pelepasan PGE2 dan TNFα

(Moore & Blair, 2017; Rahmawati & Mayong, 2017; Soulissa, 2014)
KOMPLIKASI EPULIS GRAVIDARUM
 Gangguan pengaturan sitokin dan hormon yang mengatur kehamilan adalah Gram
negatif seperti Bakteriodes forshythus, Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus
actinomycetemcomitans, dan Treponema denticola dapat mengakibatkan gangguan
pengaturan sitokin dan hormon yang mengatur kehamilan. Padahal dalam keadaan
normal, hormon saat kehamilan dan aktivitas sitokin memegang peranan penting
dalam pematangan leher rahim, pengaturan kontraksi rahim, dan pengiriman nutrisi
ke janin. Akibatnya, hal tersebut bisa memicu robeknya membran plasenta sebelum
waktunya sehingga berakibat pada kelahiran prematur. Ketidakseimbangan hormonal
akan menyebabkan respon berlebih terhadap plak karena penekanan fungsi limfosit T
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan gingiva dan peningkatan P. intermedia,
sehingga gingiva menjadi lebih rentan terhadap peradangan
 Preeklampsia yaitu stres oksidatif meningkat selama kehamilan karena permintaan
metabolik yang tinggi dan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan, dan sangat
berimplikasi pada proses inflamasi yang mengakibatkan preeklamsia
 Keguguran
(Moore & Blair, 2017; Rahmawati & Mayong, 2017; Soulissa, 2014)
12
PROGNOSIS
EPULIS GRAVIDARUM
PROGNOSIS EPULIS GRAVIDARUM
Prognosis sangat baik apabila dilakukan perawatan pada trimester kedua yang
merupakan waktu terbaik untuk melakukan perawatan gigi dan mulut pada ibu hamil
(usia kehamilan 14-20 minggu). Pada masa ini rasa mual dan muntah sudah menurun,
dan uterus belum cukup besar untuk menyebabkan ketidaknyamanan. Tujuan
perawatan pada masa ini adalah merawat penyakit yang aktif dan melakukan perawatan
pencegahan terhadap penyakit yang mungkin timbul pada trimester ketiga.
Pada masa ini penting untuk melakukan perawatan pada seluruh masalah kesehatan
gigi dan mulut, namun tetap berkoordinasi dengan dokter kandungannya.
Prognosis baik, karena epulis gravidarum tidak memiliki potensi kearah keganasan.
Granuloma memiliki prognosis yang sangat baik dengan terapi eksisi namun memiliki
tendensi berulang bila eksisi inkomplit setelah melahirkan biasanya epulis gravidarum
akan sembuh sendiri dikarenakan hormone sex sudah mulai stabil dan ditambah jika
pasien menjaga kebersihan rongga mulut maka untukterjadinya infeksi sekunder dapat
dihindari.
(Wijaksana, 2019; Hanriko, 2016)
DAFTAR PUSTAKA
Caranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., 2012, Carranza’s Clinical Periodontology, 11th ed, Saunders
Elsevier, China.
Cheung JM, Putra J. 2020. Congenital Granular Cell Epulis: Classic Presentation and Its Differential Diagnosis. Head and Neck
Pathology; 14: 209-211.
Costa, P.; Peditto, M.; Marcianò, A.; Barresi, A.; Oteri, G. The “Epulis” Dilemma. Considerations from Provisional to Final
Diagnosis. A Systematic Review. Oral 2021, 1, 224–235
Cristi MC, Gambacorta V, Giovanni AD, Pindozzi S, Tassi L, Daniele P, Ricci G. 2019 Increased Epulis Gravidarum Prevalence
in Women with Both Nasal and Oral Symptoms. Otolaryngol Open Journal; 5(1): 18-21.
Hamdoun, R., Ennibi, O. K., and Amine, C. 2018. Pyogenic Granuloma of the Gingiva: A Case Report. International Journal of
Contemporary Medical Research; 5(1): K1-K3.
Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik pada Gingiva. JK Unila; 1(2): 428-430.
Hua L, Locke M. 2019. A Case of Florid Pregnancy Gingivitis. Dental Update; 46(2): 168-169.
Hupp, J. R., Ellis, E. I., & Tucker, M. R. (2019). Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. In Craniofacial and Dental
Developmental Defects: Diagnosis and Management (7th ed.). Elsevier.
Khaitan T, et al. Conservative Approach in the Management of Oral Pyogenic Granuloma by Sclerotherapy. Journal of Indian
Academy of Oral Medicine & Radiology; 30(1): 46-50.
Khandelwal D, et al. 2016. Peripheral giant cell granuloma: An unusual presentation in pediatric patient: A report of two
cases. Journal of Research in Dental Sciences; 7(4): 259-263.
Krupaa RJ, et al. 2020. Giant cell granuloma- A short review. European Journal of Molecular & Clinical Medicine; 7(5): 1469.
DAFTAR PUSTAKA
Leung AKC, Barankin B, Hon KL. 2014. Pyogenic Granuloma. Clinics Mother Child Health; 11(1): 1-3.
Manovijay B, et al. 2015. Recurrent epulis granulomatosa: A second look. Jurnal of Advanced Clinical & Research Insights; 2(3):
140-141.
Mohammadi M, Navabi N, Zarei MR. 2017. Clinical and denture-related characteristics in patients with epulis fissuratum: a
retrospective 58 case series. Caspian J of Dent Res; 6(1): 16.
Moore, J., & Blair, F. (2017). Periodontal health and pregnancy. British Journal of Midwifery, 25(5), 289–292.
Mortazavi, H., Khalighi, H. R., Jafari, S., Baharvand, M. 2016. Epulis fissuratum in the soft palate: Report of a case in a very rare
location. Dental Hypotheses; 7(2): 67-69.
Mubarak H, Rasul I, Nurwahida. 2020. Penatalaksanaan giant fibromatous epulis: sebuah laporan kasus. Makassar Dental
Journal; 9(2): 128.
Mueller. 2015. Periodontology the essential 2nd ed .Thieme. Heidelberg.
Nagaraj T, Irugu K, Okade DR, Saxena S. 2017. Extragingival Pyogenic Granuloma on The Tongue: A Rarecase Report and
Review of Literature. Journal of Medicine Radiology, Pathology & Surgery. 4(3): 10-13.
Neville, B. W., Damm, D. D., Allen, C. M., & Chi, A. C. 2019. Color Atlas of Oral and Maxillofacial Diseases (1st ed.).
Pascawinata A. 2016. Penatalaksanaan Granuloma Pyogenikum pada Bibir Bawah. Jurnal B-Dent; 3(1): 18-22.
Pattnaik N, et al. 2020. Coexistence of hyperparathyroidism and peripheral giant cell granuloma of the jaw: A rare case
report. Journal of Family Medicine and Primary Care; 9(6): 3142.
Purwar P et al. 2015. Granuloma gravidarum : persistence in puerperal period an unusual presentation. BMJ; 1(1).
Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal
Kebidanan; 6(1): 1-69.
DAFTAR PUSTAKA
Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2017. Oral Pathology: Clinical Pathologic Correlations. Ed. 7. Elsevier; Missouri.
Sarwal P, Lapumnuaypol K. Pyogenic Granuloma. [Updated 2020 Dec 5]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556077/
Senjaya AA, Arini NW, Ratmini NK, Handayani NKASS. 2020. Hubungan Sextan yang Mengalami Gingivitis Dengan Usia
Kehamilan Pada Ibu Hamil di Puskesmas Manggis II Kabupaten Karangasem Tahun 2019. Jurnal Kesehatan Gigi
(Dental Health Journal). 7(2): 53-58.
Soulissa AG. 2014. Hubungan kehamilan dan penyakit periodontal. Jurnal PDGI. 63(3);72-74.
Stiawan SM, Aini I, Mildiana YE. 2017. Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny “I” Dengan Kehamilan Fisiologis di BPM Hj
Dayaroh, SST Ds. Sembung Perak Jombang. Midwifery Journal of Stikes Insan Cendekia Medika Jombang. 13(1): 51-55.
Sun WL, Lei LH, Chen LL et al. 2014. Multipe Gingival Pregnancy Tumors with Rapid Growth. Journal of Dental Sciences ; 9 :
290-291.
Suwandi T. 2019. Hubungan Penyakit Periodontal pada Kehamilan dengan Kelahiran Bayi Prematur. Jurnal Kedokteran Gigi
Terpadu. 1(1): 53-57.
Suwandi T. 2020. Penatalaksanaan Epulis Fibromatosa dengan Electrosurgery. Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu; 2(2): 16-20.
Utami LD, Hidayat W, Sufiawati I. 2020. Manifestasi Oral pada Ibu Hamil Berdasarkan Perbedaan Trimester Kehamilan.
Padjadjaran Journal of Dental Researcher and Students; 4(2): 81-89.
Wijaksana IKE. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal Kesehatan Gigi; 6(2), 118–125.
Wollina U, et al. 2017. Pyogenic Granuloma-A Common Benign Vascular Tumor with Variable Clinical Presentation: New
Findings and Treatment Options. Open Access Macedoinian Journal of Medical Sciences; 5(4): 425.
Yadav RK, Verma UP, Tiwari R. 2018. Non-invasive treatment of pyogenic granuloma by using Nd:YAG laser. BMJ Case Rep:
1-3.
Tutorial Skenario 1
Kelompok 4
Dosen Pembimbing Tutorial: drg. Haluanry Doane Santoso
Dosen Kuliah Pakar: drg. Beta Widya Otiani, SP. Perio
Anggota Kelompok
• Maria Sinaga 1911111120009
• Akhmad Akhdiannor Ramadhan 1911111110011
• Zakiah Husada Noor 1911111120002
• Niluh Made Marshella Dea Alifa 1911111120018
• Anisah Gustiandari 1911111120004
• Felix Xavier Anugerah 1911111210019
• Tom Christian 1911111310029
• Ni’mal Maula 1911111320004
• Indraswari Wahyu Pertiwi 1911111320007
• Yajma Kamila Rahman 1911111320022
• Syifa Kamila 1911111320040
SKENARIO
Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi?

Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke


RSGM. Ia mengeluhkan kondisi gusinya yang bengkak,
namun anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2 giginya
saja. Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil anak
pertamanya. Pada saat menyikat gigi sering gusi tersebut
berdarah. Saat ini pasien sudah melahirkan namun
kondisi gusinya tetap bengkak hanya sedikit berkurang.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Hasil
pemeriksaan intraoral menunjukkan bahwa terjadi
hiperplasi pada papilla interdental 13 14, gingiva berwarna
merah, mengkilat, bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S
pasien 2,5 dan tidak terjadi kerusakan tulang.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis pada skenario?
Jawab:
Epulis Gravidarum
2. Apa penyebab kasus dan apa faktor pencetusnya?\
Jawab:
Karena hormonal, komposisi plak, iritasi kronis, dan faktor predisposisi
mempengaruhi janin dimana janin bisa lahir secara prematur
3. Apa penanganan pertama yang dpt dilakukan drg dari kasus di atas dan
apa yang akan terjadi jika tidak segera dilakukan pertolongan?
Jawab:
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu mengkontrol ohis pasien terlebih dahulu
untuk meningkatkan kebersihan mulut pasien. Jika terdapat kalkulus dapat

Western blot
dibersihkan dengan scalling. Untuk epulisnya sendiri harus selalu dikontrol agar
tidak menjadi tumor yang ganas.
4. Bagaimana patofisiologi pada kasus?
Jawab:
Pada wanita hamil terjadi peningkatan hormon estrogen dan progresteron →
vaskular meningkat → terjadi edema → degenerasi epitel serta jaringan ikat gusi
→ hiperplasia → manifestasi berupa epulis gravidarum diikuti dengan pregnancy
gingivitis
Identifikasi dan Analisis Masalah
5. Apakah ada hubungan pada kehamilan pasien dengan penyakit?
Jawab:
Ada, karena peningkatan hormon estrogen dan progesteron, dimana membuat vasodilatasi
pembuluh darah dan juga menyebabkan daerah gingiva mudah terkena infeksi dan juga lebih
sensitif, dapat dilihat juga pada gingiva pasien mengalami gingivitis dimana juga
meningkatkan resiko epulis gravidarum.
6. Apa komplikasi yang dapat terjadi?
Jawab:
karena terjadi peningkatan jumlah hormon estrogen dan progesteron dan peningkatan
vaskularisasi yang menyebabkan pembulu dara pada gingiva menjadi sensitif dalam
menerima respon terhadap iritan lokal seperti plak, kalkulus, dan karies. jika ini terjadi, bakteri
pada plak dapat menembus aliran darah yang akan menyerang plasenta, sehingga plasenta
memberi mekanisme perlawanan dengan meningkatkan kadar hormon prostaglandin yang
mengakibatkan kontraksi uterus meningkat dan menginduksi kelahiran prematur, yang
menyebabkan berat lahir bayi yang rendah, keguguran, dan juga dapat menyebabkan
preeklampsia.
TOPIC TREE
Sasaran Belajar
1. Definisi Epulis Gravidarum dan Epulis secara umum
2. Etiologic (Faktor Predisposisi) Epulis Gravidarum
3. Epidemiologi Epulis Gravidarum
4. Patofisiologi Epulis Gravidarum
5. Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum
6. Pemeriksaan Penunjang Epulis Gravidarum
7. Tatalaksana Epulis Gravidarum
8. Gingivektomi
9. Diagnosis Banding Epulis Gravidarum
10. Prognosis Epulis Gravidarum
11. Komplikasi Epulis Gravidarum
12. Pencegahan Epulis Gravidarum
Definisi Epulis Secara Umum

Epulis: suatu hiperplasia gingiva yang menyerupai tumor


yang berasal dari jaringan ikat periodontal.
Sifat: fibrous, hiperplastik dan granulatif.

Diduga disebabkan oleh iritasi kronis lokal atau trauma:


kalkulus subgingiva, karies servikal, sisa akar gigi, gigi tiruan
yang tidak baik, ketidakseimbangan hormonal, proses
penyembuhan yang berlebihan.

(Suwandi T, 2021)
Definisi

Epulis
Gravidarum
(Pregnancy Tumor)  Granuloma Piogenik

Lesi yang tumbuh dengan cepat dan jinak,


biasanya terjadi pada trimester pertama
kehamilan. 0.2-5% ibu hamil mengalami lesi ini
dan biasanya muncul pada gusi rahang atas.
Bentuknya berdungkul, lunak, kemerahan,
tumbuh pada bagian interdental, dan seringkali
muncul pada bagian anterior maksila.

(Wijaksana IKE. 2019; Caranza, F.A., Newman, M.G, et al. 2018)


Etiologi Epulis Gravidarum

Faktor Predisposisi
Perubahan
hormone selama • Trauma, injuri gigi permanen
kehamilan yang • Iritasi kronis (OH buruk, gingivitis kronis)
menyebabkan • Hormone
respon • Obat
berlebihan • Inflamasi gingiva
terhadap plak. • Preexisting lesi vascular
• Erupsi gigi permanen
• Tumpatan yang defektif pada region tumor
• Food impaction
• Periodontitis
• Penggunaan obat terapi hormonal, anti
hipertensi, anti epilepsy, immunosupresif

(Cristi MC, Gambacorta V, Di Giovanni, et al. 2019;


Shwetha Chikkaboraiah et al. 2016)
Epidemiologi Epulis Gravidarum
Seiring
↑ meningkatnya
usia kehamilan

5- Terjadi selagi ibu


10% mengandung, Menurut
studi yang dimuat oleh
Journal Obstetric
Gynecology, 2010.
Journal Periodontal
Riskesdas 2009 2009
1-5 % terjadi pada
72,1% ibu hamil trisemester kedua atau 77%  bayi premature, berat
mengalami gangguan Success
ketiga badan lahir rendah (BBLR) serta
kesehatan gigi menderita gingivitis periodontitis
rate

(Stiawan SM, 2017; Shahid U, Srivastava. 2019)


Peran Hormon Kehamilan

↑ proliferasi seluler
dalam darah

Estrogen ↓ proses keratinisasi

↑ epitelial glikogen

↑ vasodilatasi dan permeabilitas


pembuluh darah kapiler baru pada
Kehamilan

gingiva

Perubahan hormon menghambat pembentukan


Progesteron kolagen

↓ plasminogen aktivator
inhibitor tipe 2 →
↑ proteolitik jaringan

mempengaruhi substansi
dasar jaringan ikat
Kombinasi estrogen dan
progesteron
↑ konsentrasi saliva

(Suwandi T, 2019)
Patofisiologi Epulis Gravidarum

progesterone (estradiol)
Kehamilan
estrogen dan bertindak sebagai Bakteri
progesteron ↑ pengganti menadione P.Intermedia ↑
(vitamin K)

+ Faktor Predisposisi

Proliferasi
Epulis Gravidarum
peradangan jaringan ikat
gingiva secara lokal +
dilatasi vaskuler

(Utami et al, 2020; carranza et al, 2018)


Manifestasi 05
Klinis
Epulis Gravidarum
Manifestasi Klinis

lesi berwarna merah cerah


sampai merah kebiruan Kadang memiliki flek
01 tergantung vaskularisasi lesi 02 putih dipermukaannya
dan keadaan vena

Ulcer, dapat bertangkai Bengkak dan licin yang


03 atau tidak, dapat mencapai 04 mudah berdarah,
diameter 2 cm bentuknya berdungkul

(Arora V, et al. 2020; Suwandi, 2019).


Manifestasi Klinis

Umumnya muncul di
05 Umumnya tidak sakit 06 daerah interdental
bagian labial rahang
atas

Gigi yang berdekatan Kerusakan tulang


07 dengan epulis dapat 08 jarang terjadi
bergeser dan lebih
mudah goyang
(Arora V, et al. 2020; Suwandi, 2019).
Pemeriksaan 06
Penunjang
Epulis Gravidarum
Pemerikasaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan analisis
histopatologi. Secara mikroskopis granuloma piogenik memiliki pola
pertumbuhan eksofitik yang dikelilingi oleh jaringan normal dan dilapisi epitel
gepeng berlapis yang rata, atrofi atau ulserasi dengan lesi terdiri dari proliferasi
pembuluh darah disertai jaringan granulasi. Ditemukan sebukan sel radang
limfosit dan sel plasma. Netrofil ditemukan di superficial dari daerah ulserasi.

Biopsi yaitu pengangkatan spesimen jariangan untuk analisis mikroskopis guna


membantu proses diagnosis, sebagian besar biopsi rongga mulut menggunakan
teknik eksisional atau insisional. Pada biopsi insisional yaitu dengan pengambilan
sampel jaringan melalui pemotongan dengan pisau bedah diambil sedikit untuk
diperksa. Pada biopsi eksisional yaitu dengan melakukan pengangkatan semua
lesi oral.

(Varma S, 2017; Hanriko R, 2016).


Pemerikasaan
Penunjang
Radiografi meskipun keterlibatan radiografi biasanya tidak ada, epulis
gravidarum yang besar dan berlangsung lama dapat menyebabkan resorpsi
tulang alveolar lokal. Namun, radiografi ini hanya dilakukan setelah
melahirkan. Pemeriksaan Imunohistokimia, yaitu pemeriksaan yang
memanfaatkan reaksi antigen antibody untuk mengetahui reaksi imunitas sel
terhadap antigen. Pemeriksaan imunohistokimia pada epulis gravidarum
akan memberikan ekspresi faktor VIII pada endotel dan negative pada area
seluler. Epulis gravidarum juga memberikan ekspresi pada bFGF, anti-
CD34, dan VEGF

(Sharma S et al.,2021; Hanriko, 2016)


07
Tata Laksana
Epulis Gravidarum
Epulis gravidarum dapat sembuh spontan setelah masa kehamilan
namun jika epulis mengganggu baik secara fungsi maupun estetik,
dapat dilakukan eksisi dan anatesi lokal pada masa kehamilan.
Penggunaan anastesi lokal dan vasokonstriktor aman digunakan dalam
perawatan gigi ibu hamil dan menyusui, dengan prosedur aspirasi untuk
meminimalkan resiko injeksi intravaskular dan dosis harus dijaga
minimal yang aman untuk menghindari maternal zeisure atau hipoksia.
Penggunaan anastesi lokal dapat membantu dalam pemberian
perawatan yang maksimal dan menghilangkan sumber nyeri sehingga
dapat mencegah konsumsi antinyeri dan antibiotik dalam jangka
panjang bagi pasien

(Wijaksana, 2019)
Sebelum pengobatan, etiologi harus
diidentifikasi dan diberantas. Ketika lesi
kecil, tidak nyeri dan tidak ada
perdarahan, profilaksis oral,
penghilangan iritan penyebab (bahan
asing, sumber trauma), dan tindak lanjut
direkomendasikan . Jika lesinya besar,
mereka diobati dengan profilaksis oral
keseluruhan diikuti dengan eksisi bedah
menggunakan metode gingivektomi atau
operasi flap dengan terapi tambahan.

(Yarkac dan Gokturk, 2018)


Operasi laser adalah metode pilihan untuk kenyamanan pasien yang baik,
aplikasi yang mudah dan waktu operasi yang singkat tanpa pendarahan dan
penjahitan. Fitur hemostatik dari laser sangat signifikan dalam mengeksisi lesi
eksofitik. Dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan di lapangan
dengan kontrak kolagen dinding pembuluh darahnya.

(Yarkac dan Gokturk, 2018)


Perawatan darurat kedokteran gigi

Pada trimester pertama, dokter gigi harus menilai status kesehatan gigi dan mulut pasien
secara menyeluruh, memberikan perubahan rongga mulut yang terjadi selama kehamilan,
serta mendiskusikan prosedur perawatan gigi dan mulut pada ibu hamil. Tujuan dari
perawatan adalah untuk menjaga janin dari hipoksia, keguguran atau lahir premature,
serta mencegah efek teratogenik.Selain perawatan darurat, disarankan untuk menunda
perawatan gigi dan mulut pada trimester pertama agar tidak berpengaruh pada tahap
pembentukan organ (organogenesis) dan menghindari potensi kematian janin. 1 dari 5
kehamilan berakhir dengan keguguran (aborsi spontan) dan 85 persen terjadi pada
trimester pertama ini

(Wijaksana IKE, 2019)


Perawatan darurat kedokteran gigi

Trimester kedua merupakan waktu terbaik untuk melakukan perawatan gigi dan mulut
pada ibu hamil (usia kehamilan 14-20 minggu). Pada masa ini tidak terdapat resiko
teratogenesis, rasa mual dan muntah sudah menurun, dan uterus belum cukup besar untuk
menyebabkan ketidaknyamanan. Pada masa ini penting untuk melakukan perawatan pada
seluruh masalah kesehatan gigi dan mulut, namun tetap berkoordinasi dengan dokter
kandungannya.

(Wijaksana IKE, 2019)


Anestesi

Berdasarkan klasifikasi FDA, Lidocaine, prilocaine dan etidocaine merupakan


golongan B, yang aman digunakan pada ibu hamil sama seperti pasien pada
umumnya. Ketiga golongan anastesi lokal tersebut dapat dikombinasikan
dengan vasokontriktor dan meru-pakan indikasi untuk ibu hamil dengan dosis
maksimum lidocaine 500 mg, prilocaine 600mg, dan etidocaine 400 mg.
Penggunaan anastesi lokal dan vasokonstriktor aman digunakan dalam
perawatan gigi ibu hamil dan menyusui, dengan prosedur aspirasi untuk
meminimalkan resiko injeksi intravaskular dan dosis harus dijaga minimal yang
aman untuk menghindari maternal zeisure atau hipoksia. Penggunaan anastesi
lokal dapat membantu dalam pemberian perawatan yang maksimal dan
menghilangkan sumber nyeri sehingga dapat mencegah konsumsi antinyeri dan
antibiotik dalam jangka panjang bagi pasien.

(Wijaksana IKE, 2019)


Berikut obat-obat dan perannya dalam masa kehamilan dan menyusui
berdasarkan kategori FDA:

(Carranza, 2018)
Berikut obat-obat dan perannya dalam masa kehamilan dan menyusui
berdasarkan kategori FDA:

(Carranza, 2018)
08
Gingivektomi
Epulis Gravidarum
Eksisi atau pengambilan jaringan gingiva dengan membuang dinding lateral poket
yang bertujuan untuk menghilangkan poket dan keradangan gingiva sehingga didapat
gingiva yang fisiologis, fungsional dan estetik baik. Tindakan gingivektomi dapat
dilakukan dengan menggunakan pisau bedah, electrosurgery, laser, atau bahan kimia.
Keuntungan gingivektomi adalah teknik sederhana, dapat mengeliminasi poket secara
sempurna, lapangan penglihatan baik, morfologi gingiva dapat sesuai keinginan
gingivektomi didasarkan pada
untuk eliminasi poket kondisi lokal yang ada dan
supraboni, eliminasi kesehatan fisik pasien yaitu pada
pembesaran gingiva, dan kondisi yang membutuhkan
eliminasi abses periodontal bedah tulang atau pemeriksaan
supraboni
morfologi tulang, situasi dimana
indikasi Kontraindikasi dasar poket lebih ke apikal dari
lipatan mukogongiva, dan
pertimbangan estetik.

(Phantumvanit et al. 2019; Sopiatin et al, 2021)


Gingivektomi konvensional dilakukan dengan menggunakan scalpel,
Gingivektomi metode ini paling banyak digunakan. Keuntungan dilakukan tindakan
gingivektomi dengan scalpel antara lain adalah tekniknya relatif
konvensional sederhana, insisi dapat dilakukan secara presisi pada marginal gingiva
yang telah ditentukan, penyembuhan relatif baik dan cepat. Namun
demikian ada kekurangan teknik ini, antara lain adalah: adanya
kemungkinan perdarahan yang timbul selama tindakan bedah
sehingga mengganggu pandangan operator. Selain itu, adanya rasa
sakit yang timbul setelah tindakan bedah dan kemungkinan proses
kesembuhan yang memanjang juga merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan

(Krismariono, 2017).
Secara umum teknik gingivektomi konvensional meliputi beberapa
prosedur yang harus dilakukan secara berurutan, yaitu
Gingivektomi
1. Anastesi lokal pada regio yang akan dilakukan
konvensional tindakan.

2. Menentukan bleeding point dengan pocket


marker.

(Krismariono, 2017).
3. Insisi pada bagian fasial dan lingual/palatal dengan pisau Kirkland,
sedangkan pada bagian proksimal dengan pisau Orban. Scalpel nomer 12 dan
Gingivektomi
15 digunakan untuk mengoptimalkan hasil insisi. Insisi dilakukan pada apikal
konvensional dari bleeding point dengan membentuk sudut 450 ke arah koronal. Insisi
diusahakan sedekat mungkin dengan permukaan tulang namun tidak sampai
tulang menjadi terbuka.

(Krismariono, 2017).
Adapun teknik insisi yang dilakukan pada prosedur gingivektomi
disesuaikan dengan kondisi jaringan gingiva yang mengalami pembesaran.
Ada 2 macam teknik insisi, yaitu : insisi dengan eksternal bevel dan insisi
Teknik Insisi dengan internal bevel. Masing-masing macam insisi ini mempunyai kegunaan
yang spesifik.

(Krismariono,2017).
9
Diagnosis Banding
Epulis Gravidarum
Secara klinis dan evolusi dari perkembangannya, epulis gravidarum
sering dibingungkan dengan kondisi tumor jinak dan ganas lainnya
1. Peripheral giant cell granuloma (granuloma sel datia)
Granuloma piogenik didiagnosa banding dengan peripheral giant cell granuloma
karena secara makroskopis berupa massa pedunculated atau sessile atau nodul
cerah, kenyal dan berbatas tegas. Secara mikroskopis elemen dasar lesi adalah
hiperplasi fibroblas disertai multinucleated giant cell dan sel radang kronis. Dasar
dari peripheral giant cell granuloma tidak bertangkai, permukaannya halus atau
sedikit granular, warna merah muda atau ungu merah kebiruan. Lesi umumnya
tidak bergejala dan bersifat agresif.

(Hanriko, 2016; Chikkaboraiah et


al., 2016; Langlais RP et al., 2020)
PGCG paling sering tidak
menunjukkan gejala, tetapi dapat
menyebabkan ulserasi dan infeksi
karena gangguan oklusi. Lesi
PGCG sulit dibedakan dengan
granuloma piogenik (epulis
gravidarum) secara klinis, tetapi
dapat dibedakan secara
histopatologis

(Patil, 2018)
2. Peripheral ossifying fibroma

Granuloma piogenik didiagnosa banding dengan peripheral ossifying fibroma


karena secara makroskopis memberikan gambaran yang sama namun massanya
berwarna lebih terang dan biasanya terjadi pada area gigi molar permanen. Secara
mikroskopis peripheral ossifying fibroma berupa lesi lobuler terdiri dari
hyperplasia fibroblast dengan tulangi matur dan osteoid.
Ciri klinis yang umum ditemukan adalah pembengkakan soliter yang keras,
berwarna merah muda atau merah, kemungkinan berulkus, tidak mempunyai
tangkai

(Hanriko, 2016; Langlais RP et al.,


2020)
Warna peripheral ossifying fibroma berkisar dari merah hingga merah muda dan
sering mengalami ulserasi. Peripheral ossifying fibroma dapat berupa sessile atau
pedunculated dengan ukuran biasanya kurang dari 2 cm. Berminggu-minggu atau
berbulan-bulan mungkin berlalu sebelum terlihat dan didiagnosis. Lesi ini terjadi
sebanyak 66% pada wanita. Prevalensi tertinggi pada usia 10 -19 tahun

(Suramya, 2014)
3. Centrali Gigantocelularni Granulom

Granuloma gigantoseluler sentral adalah perubahan patologis tulang yang ditandai


dengan adanya sel multinuklear raksasa dalam strukturnya. Etiologinya tidak
jelas, dan penyebab lokal organisme terhadap stimulus dinyatakan sebagai
kemungkinan penyebab.

(Baric et al., 2016)


4. Hemangioma kapiler lobular (LCH)

Hemangioma kapiler lobular (LCH) kadang-kadang juga disebut granuloma


piogenik atau epulis gravidarum, adalah pertumbuhan berlebih jinak dari kapiler
yang menunjukkan fenotipe vaskular. Ada beberapa faktor etiologi, termasuk
hormon (meningkat pada kehamilan dan pada pasien yang menggunakan
kontrasepsi oral), trauma lokal (menggigit, gigi patah, restorasi yang buruk), dan
kebersihan mulut yang buruk

(Thompson LD, 2017)


5. Epulis Congenita

Epulis congeunital, tumor sel raksasa bawaan merupakan perubahan jinak yang
langka, jaringan lunak yang muncul dari mukosa alveolus dan dapat
menyebabkan masalah pernapasan dan nutrisi pada bayi baru lahir.

6. Sarcoma Kaposi

7. Angiosarcoma

8. Non-Hodgkin lymphoma

9. Metastatic cancer

(Baric et al., 2016; Geca et al., 2018)


10
Prognosis Epulis
Gravidarum
Western blot
Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat baik. Setelah
melahirkan biasanya epulis gravidarum akan sembuh sendiri dikarenakan
hormon sudah mulai stabil dan ditambah jika pasien menjaga kebersihan
rongga mulut maka untuk terjadinya infeksi sekunder dapat dihindari.
Epulis gravidarum dapat sembuh spontan setelah masa kehamilan namun
jika epulis mengganggu baik secara fungsi maupun estetik, dapat
dilakukan eksisi dan anatesi lokal pada masa kehamilan.

(Fatma et al., 2018; Wijaksana, 2019; Angwirawan et al., 2015)


Western blot
Prognosis sangat baik apabila dilakukan perawatan pada trimester kedua
yang merupakan waktu terbaik untuk melakukan perawatan gigi dan
mulut pada ibu hamil (usia kehamilan 14-20 minggu).
Tujuan perawatan pada masa ini adalah merawat penyakit yang aktif dan
melakukan perawatan pencegahan terhadap penyakit yang mungkin
timbul pada trimester ketiga. Pada masa ini penting untuk melakukan
perawatan pada seluruh masalah kesehatan gigi dan mulut, namun tetap
berkoordinasi dengan dokter kandungannya

(Fatma et al., 2018; Wijaksana, 2019; Angwirawan et al., 2015)


11
Komplikasi Epulis
Gravidarum
Kondisi periodontal juga dapat mempengaruhi kesehatan janin dan
kondisi kehamilan. Penyakit periodontal seperti epulis gravidarum dapat
menyebabkan komplikasi pada kehamilan seperti kelahiran prematur
dengan atau tanpa berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Wanita hamil
juga berisiko tinggi terkena tumor vaskular di lokasi trauma, karena
perubahan hormonal. Aspek yang berbahaya dari eksisi epulis
gravidarum adalah perkembangan amelanotic vascular tumor di lokasi
eksisi, hanya beberapa hari setelah operasi dilakukan

(Grigore et al., 2020; Soulissa, 2014).


12
Pencegahan Epulis
Gravidarum
Dengan metode Program kontrol
tepat alat, tepat plak yang dapat
cara, tepat waktu meminimalisir
dan tepat target, inflamasi pada
ibu hamil bisa jaringan gusi akibat
memulai merawat lokal iritan yang
gigi dengan cara biasanya menyertai
yang benar perubahan hormon
pada kehamilan.

Menyikat gigi ibu hamil perlu


setiap hari dan mengatur pola
berkumur serta makan seperti
pemeriksaan rutin pemilihan makanan
dapat mengurangi yang bertekstur
risiko terkena lembut, mengurangi
granuloma makanan manis
Konseling diet, Scaling
dengan (pembersihan
pembatasan karang gigi) dan
konsumsi atau kuretase akar
karbohidrat dapat dilakukan
tertentu perlu kapanpun
dilakukan diperlukan
Seluruh tenaga pelayanan kesehatan harus menyarankan
kepada ibu hamil bahwa tindakan berikut akan
meningkatkan kesehatan mereka:
1. Sikat gigi dua kali sehari dengan pasta gigi mengandung
fluor dan menggunakan benang gigi (sesuai kebutuhan)
setiap hari.
2. Batasi konsumsi makanan yang manis.
3. Pilih air putih atau susu rendah lemak dan hindari
minuman berkarbonasi selama kehamilan.
4. Pilih buah dibanding jus buah untuk memenuhi asupan
buah harian yang dianjurkan.
5. Lakukan perawatan gigi yang diperlukan sebelum
melahirkan
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani PD, etal. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal Pada Wanita
Hamil Trimester 3 Di Rsud Ulin Banjarmasin. Dentino. 2014; 2(1): 95-100.
Apriadhanti N, etal. Prescription Profile of Antibiotic Drugs Post Excision Biopsy of
Oral Soft Tissue Disease in Palembang. Journal of Biomedicine and Translational
Research. 2021: 234-240.
Arora V, Sethi O, Kaur S. 2020. PREGNANT WOMEN CARE IN DENTAL OFFICE:
A REVIEW ARTICLE. World Journal of Pharmaceutical Research; 9(13): 439-448.
Baric J., et al. 2016. Diferencijalna dijagnostika i liječenje dobroćudnih izraslina na
gingivi – epulis. Stomatologija Dentistry. 211-216.
Caranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R. 2018. Carranza’s
Clinical Periodontology. 13th ed. Saunders Elsevier, China.
Caranza, F.A., Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., 2012, Carranza’s
Clinical Periodontology, 11th ed, Saunders Elsevier, China.
Cristi MC, Gambacorta V, Di Giovanni, et al. 2019. Increased epulis gravidarum
prevalence in women with both nasal and oral symptoms. Otolaryngol Open J.
5(1): 18-21. doi: 10.17140/OTLOJ-5-154
Favero V, et al.2021. Pregnancy and Dentistry: A Literature Review on Risk
Management during Dental Surgical Procedures. Dentistry Journal. 9(46):1-16.
Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik Pada Ginggiva. Jurnal Kedokteran
Universitas Lampung . 1(2):428- 431.
Ireland R. 2017. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Karataş, A, Tülay Ö., Sevinç R. S. 2016. Epulis gravidarum: A case report. J
Turk Ger Gynecol Assoc. 17: 187.
Krismariono A. 2017. Tatalaksana Pembesaran Gingiva dengan Gingivektomi
Konvensional. Perios; 1(1): 1-6.
Langlais RP, et al. 2020. atlas berwarna lesi mulut yang sering ditemukan.
Edisi 5. Jakarta: EGC.
Patil, CL., et al. 2018. Peripheral giant cell granuloma manifestation in
pregnancy. Indian J Dent Res. 29; 678-82.
Prathip Phantumvanit et al. 2019. PREPARING DENTIST APPROACH OF
THE INDUSTRIAL REVOLUTION 4.0”. Universitas Mahasaraswati Press.
Denpasar.
Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu
Hamil di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal kebinanan stikes
Williambooth.
Shahid U, Srivastava. 2019. Protocols and Guidelines for Management of
Pregnant Women Requiring Dental Treatment: A Review. Journal of
Advanced Medical and Dental Sciences Research; 7(3): 97-102.
Shwetha Chikkaboraiah et al. 2016. Pregnancy Tumor. Journal of Health
Sciences & Research. ;7(1):23-27.
Siti Sopiatin, Ira Komara, Ina Hendiani, Indra Mustika Setia Pribadi. 2021.
GINGIVEKTOMI PEMBESARAN GINGIVA PASIEN ORTODONTIK.
Cakradonya Dent J; 13(1): 32-38.
Suwandi T. Hubungan Penyakit Periodontal pada Kehamilan dengan
Kelahiran Bayi Prematur. Jurnal Kedokteran Gigi Terpadu. 2019; 1(1): 53-57.
Trijani Suwandi. Penatalaksanaan Epulis Fibromatosa dengan
Electrosurgery. JKGT vol.2, nomor2. 2020 :16-20.
Thompson LD. 2017. Lobular capillary hemangioma (pyogenic granuloma) of
the oral cavity. Ear, Nose & Throat Journal, 96(7), 240-240.
Utami LD, et al., 2020. Manifestasi oral pada ibu hamil berdasarkan
perbedaan trimester kehamilan Oral manifestations in pregnant women
based on trimester differences. Padjadjaran Journal of Dental Researchers
and Students, 4(2), 81-89.
Wijaksana IKE. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal
Kesehatan Gigi. 2019; 6(2): 118-125.
Yarkac FU and Gokturk O. 2018. Pyogenic Granuloma in Pregnancy: A Case
Report. Biomed J Sci & Tech Res. 5(1): 4329- 4331.
h e L L O

Kelompok 2
Epulis Gravidarum
Dosen pembimbing: drg. Nurdiana dewii, M.dDSc., Sp. KGA.
Dosen kulpak : drg. Beta Widya Oktiani, Sp. Perio.
ANGGOTA KELOMPOK 2
Eriel Paldaouny Gandrung (1911111110015)
Gama Putra Pamungkas (1911111210029)
Melati Raihan Anidar (1911111120006)
Muhammad Hafly Fariz Asyraq (1911111210008)
Iftah Ikhfafah (1911111120001)
Qantya Auliana Alifa Rahma (1911111120014)
Muhammad Nabiel Taqiyuddin Ham (1911111310018)
Nurul Fitriyani Dewi (1911111320001)
Ni Wayan Gayatri Ayu Pramesti (1911111320003)
Reni Amirah Salsabila Fitri (1911111320020)
Resha Yusnida (1911111320033)
Afifah Rahmadella (1911111320034)
Kenapa Gusi Ku
Bengkak Hanya Di
Satu Gigi..???
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia mengeluhkan
kondisi gusinya yang bengkak, namun anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2
giginya saja. Sudah mulai bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya.
Pada saat menyikat gigi sering gusi tersebut berdarah. Saat ini pasien sudah
melahirkan namun kondisi gusinya tetap bengkak hanya sedikit berkurang.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Hasil pemeriksaan intraoral
menunjukkan bahwa terjadi hiperplasi pada papilla interdental 13 14, gingiva
berwarna merah, mengkilat, bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S pasien
2,5 dan tidak terjadi kerusakan tulang.
Identifikasi & Klarifikasi istilah asing

Hiperplasi
Peningkatan jumlah sel yang berlebihan pada suatu organ
atau jaringan akibat terjadinya kelebihan proses mitosis,
Pembesaran jaringan yg ditandai dengan peningkatan jumlah
sel. Hiperplasi merupakan bentuk adaptasi sel, kondisi ini
biasa terjadi karena adanya jejas. Pada skenario wanita
tersebut sedang hamil. Sehingga lesi mungkin muncul akibat
ketidakseimbangan hormon saat kehamilan.

BOP
BOP adalah Bleeding on Probing yang artinya perdarahan
pada gingiva disertai dengan iritasi.
Identifikasi & Analisis Masalah
Apa diagnosis dari skenario tersebut?
Diagnosis kasus pada skenario di atas yaitu pregancy tumor atau nama lainnya yaitu epulis
gravidarum, yang dimana berhubungan pada saat kehamilan, yaitu terjadinya peningkatan hormon
estrogen dan progesteron. peningkatan hormon ini akan memacu mukosa mulut untuk memberi suatu
respon yang berlebihan terhadap trauma, trauma yang ditimbulkan yaitu evulis gravidarum ini, yang
biasanya dijumpai pada wanita hamil yang menderita morning sickness karena hormonal, morning
sickness manifestasi nya pada rongga mulut yaitu terjadinya erosi asam pada gigi sehingga dapat
menyebabkan kebersihan rongga mulut yang buruk sehingga menghasilkan akumulasi plak dan
kalkulus, dan menstimulasi pembentukan granuloma. epulis gravidarum ini biasanya dimulai saat
trimester kedua dan sering terjadi pada regio anterior.

Apa hubungan pembengkakan yang dialami pasien dengan status kehamilannya?


Adanya OH yang buruk pada ibu hamil selain itu juga berhubungan dengan proses dan
progesteron sehingga menyebabkan pembuluh darah mengalami pelebaran. Hal itu menyebabkan
gingiva menjadi sensitif dan gingiva menjadi bengkak dan BOP.kehamilan yaitu peningkatan hormon,
terutama peningkatan hormon estrogen.
Bagaimana dampak apabila kasus pada skenario tersebut tidak ditangani dengan cepat?
Untuk kehidupan pasiennya merasakan rasa tidak nyaman, terutama saat makan dan bicara, juga bengkak
dapat mengurangi estetika saat senyum. Terjadi peningkatan jumlah hormon estrogen dan progesteron, dan
peningkatan vaskularisasi menyebabkan pembuluh darah gingiva lebih permeabel dan sensitif dalam menerima
respon terhadap iritan lokal seperti plak, kalkulus, dan karies. Jika ini terjadi, bakteri pada plak dapat menembus
aliran darah secara hematogen, menyerang plasenta, sehingga plasenta memberi mekanisme perlawanan dengan
meningkatkan kadar hormon prostaglandin yang mengakibatkan kontraksi uterus meningkat dan menginduksi
kelahiran kurang bulan (prematur). Apabila pasien mengalami saat masih hamil dengan keadaan OH yang
buruk, kemungkinan terjadi penyebaran infeksi terhadap janin ibu hamil, sehingga dapat menyebabkan
kelahiran bayi prematur.

Apa prognosis yang didapatkan dari kasus skenario di atas?


Baik karena lesi termasuk tumor jinak Baik. Hal ini disebabkan karena epulis gravidarum bukan suatu
keganasan. Prognosisnya akan baik apabila penanganannya sudah sesuai dengan prosedur dengan
menghilangkan faktor penyebab dan diiringi oral hygene yang baik. Biasanya penyakit ini akan sembuh dengan
sendirinya setelah pasien melahirkan. Tetapi apabila setelah melahirkan masih belumsembuh dan mengganggu
makan maka dapat dilakukan prosedur eksisi.
Mengapa saat pasien menyikat gigi, gusinya berdarah?
Pada fase kehamilan itu kan adanya perubahan dan peningkatan hormon terutama hormon esterogen, karena peningkatan hormon ini
maka dia menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan gingivanya bengkak dan juga berdarah. Kemungkinan juga penumpukan kalkulus
maka dari itu pada saat sikat gigi dia berdarah. Progesteron dan estrogen naik + OH buruk = kadar sel limfosit T (turun) = rentan peradangan
(radang + trauma mekanis = rentan berdarah = gingivitis). Menggosok gigi terlalu keras menyebabkan peningkatan sensitivitas pada gigi
dapat terjadi dan kekurangannya asupan vitamin pada ibu hamil karena saat hamil ibu hamil membutuhkan kalsium dan vitamin c karena
kalsium dapat membantu mengatasi gangguan pada gusi berdarah.

Mengapa bengkaknya hanya di daerah 1-2 gigi saja?


Karena mungkin pada 1-2 gigi itu saja yang terdapat penumpukan plak dan kalulus sehingga menyebabkan bengkaknya terbatas di
daerah itu saja.

Apa Penanganan yang diberikan kepada pasien pada skenario tersebut?


Penanganan dari epulis gravidarum tergantung dari keparahan gejala lesi tersebut. Jika lesinya kecil, tidak ada rasa sakit dan tidak
berdarah, maka perawatn yang diberikan adalah observasi klinis dan kontrol rutin. Lalu instruksikan pasien untuk merawat oral hygiene dan
kunjungan secara reguler saat kehamilan. Namun, jika gejela lesinya besar, disertai rasa nyeri dan pendarahan atau saat partus lesi masih ada,
maka dapat dilakukan prosedur pembedahan. Tergantung dari trimester kehamilan. Pada wanita hamil trimester kedua bisa dengan kontrol
plak rutin tetapi jika memasuki trimester ketiga sebaiknya menunggu setelah melahirkan untuk dilakukannya bedah periodontal, yaitu
gingivektomi. Dilakukan bedah saat mengandung dikhawatirkan bisa mempengaruhi kesehatan janinnya. Pasien didiagnosis epulis
gravidarum yang merupakan lesi irregular yg dapat sembuh spontan setelah masa kehamilan berakhir, tetapi apabila epulis mengganggu
estetik maupun fungsional maka dapat dilakukan eksisi dan anastesi lokal pada masa kehamilan.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pasien pada skenario?
Biopsi dan HPA, dapat dilakukan scalling root planning tetapi setelah konsul kepada sp.OG
dan sudah memasuki trimester II. biopsi adalah pengangkatan spesimen jaringan dengan teknik
eksisi dan insisi. Prenatal Screening, tujuannya agar mengetahui kondisi kesehatan ibu hamil
termasuk kesehatan rongga mulutnya sehingga dapat mencegah permasalahan pada gigi dan mulut,
namun untuk kondisi dimana sudah terjadi epullis gravidarum maka tindakan ini dapat dilakukan
untuk mencegah kondisi lebih buruk.

Apakah diagnosis banding dari kasus pada skenario?


Pregnancy gingivitis, Epulsi Granulomatosa, Epulsi Fissuratum

Apa etiologi pada penyakit tersebut?


Etiologinya adanya perubahan hormon esterogen dan progesteron dan bisa juga faktor lokal
seperti adanya penumpukan kalkulus dan terjadilah iritasi. Perubahan hormon estrogren dan
progesteron akan menyebabkan pelebaran pada pembuluh darah sehingga gingiva menjadi lebih
merah, bengkak, dan mudah mengalami perdarahan
PROBLEM TREE

EPIDEMIOLOGI
MANIFESTASI DEFINISI ETIOLOGI
KLINIS

PEMERIKSAAN
EPULIS GRAVIDARUM PENUNJANG
PENCEGAHAN

KOMPILKASI PATOGENESIS

PROGNOSIS DIAGNOSIS
BANDING

TATALAKSANA
Sasaran Belajar
1. Mengetahui Definisi Epulis Gravidarum
2. Mengetahui Etiologi Epulis Gravidarum
3. Mengetahui Epidemiologi Epulis Gravidarum
4. Mengetahui Patogenesis Epulis Gravidarum
5. Mengetahui Manifestasi Klinis Epulis Gravidarum
6. Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Epulis Gravidarum
7. Mengetahui Diagnosis Banding Epulis Gravidarum
8. Mengetahui Penatalaksanaan Epulis Gravidarum
9. Mengetahui Prognosis Epulis Gravidarum
10.Mengetahui Komplikasi Epulis Gravidarum
11.Mengetahui Pencegahan Epulis Gravidarum
Definisi
Epulis Gravidarum
DEFINISI EPULIS GRAVIDARUM

Epulis adalah nama non spesifik yang diberikan untuk pertumbuhan yang menyerupai tumor dan
pembengkakan gingiva, biasanya disebabkan oleh iritasi kronis. Epulis gravidarum merupakan lesi
yang tumbuh dengan cepat dan jinak, dan biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan.
Epulis gravidarum biasanya ditandai dengan lesi berwarna merah cerah dan banyak vaskularisasi
yang kadang memiliki flek putih di permukaannya, biasanya bertangkai dan dapat mencapai
diameter 2 cm, serta tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak menimbulkan keluhan berarti
selain karena ukurannya. Epulis Gravidarum adalah tumor kehamilan yang berbentuk seperti
nodul jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sebuah ketidak nyamanan. Pada
gigi sering terinfeksi ditemukan karies atau gigi yang berlubang yang menyebabkan sakit nyeri
atau gusi bengkak pada ibu. Penyakit yang saling berkaitan akan menimbulkan suatu
komplikasi, yang menimbulkan dampak negatif bagi ibu.

(Ireland, 2017 ; Rahmawati D dan Mayong OP, 2017)


Etiologi
Epulis Gravidarum
• Peningkatan kadar hormon estrogen dan progesteron pada masa kehamilan
diyakini dapat mempengaruhi kesehatan gingiva.

• Perubahan pola makan dan kebiasaan tidak menjaga kebersihan gigi dan
mulut pada sebagian ibu hamil dapat meningkatkan risiko penyakit
periodontal

• Bakteri yang meningkat drastis selama masa kehamilan adalah P.


intermedia. Peningkatan ini erat kaitannya dengan tingginya kadar
estrogen dan progesteron di dalam tubuh. Ada empat bakteri yang
berhubungan langsung antara pematangan plak dan periodontitis, yaitu
Bakteriodes forshythus, Porphyromonas gingivalis, Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Treponema denticola.

• Biofilm plak gigi dianggap sebagai faktor pencetus yang mengarah pada
pembentukan tumor gingiva. Faktor pemicu lokal lainnya juga meliputi:
mikrotrauma mukosa, impaksi makanan, dan gigi berjejal.

Soulissa AG,2014; Cheng et al., 2021


Epidemiologi
Epulis Gravidarum
Menurut PDGI, radang gusi merupakan masalah mulut
dan gigi yang paling sering menimpa ibu hamil dimana
5-10% mengalami pembengkakan pada gusi. Gingivitis
kehamilan atau gingivitis gravidarum biasanya terjadi
pada bulan ke-2 dan ke-3 masa kehamilan, biasanya
pada minggu 8. Puncak keparahan terdapat pada bulan
ke-8 masa kehamilan atau kehamilan pada minggu 32,
kemudian menurun pada bulan ke-9 masa kehamilan
seiring dengan menurunnya kadar hormon dalam
tubuh.

(Andriyani et al., 2014; Hasan, 2006)


Pada suatu penelitian di poli kebidanan RSUD Banjarbaru
tahun 2012 dilaporkan kasus wanita hamil dengan gingivitis
gravidarum sebesar 30,2% dan kasus epulis gravidarum
sebesar 7,5% dari 53 wanita hamil. Epulis gravidarum
memengaruhi sekitar 5%-10% ibu hamil dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan dari bulan November 2010 sampai
Januari 2017 dengan mengambil sampel sebanyak 228
wanita hamil di Indonesia usia berbeda dari 24 sampai 40
tahun. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil wanita yang
mengalami epulis gravidarum sebanyak 5,5 % dari
keseluruhan sampel.

Christi MC, 2019; Prihastari et al., 2015)


Patogenesis
Epulis Gravidarum
Soulissa AG, 2014
1. Bakteri yang meningkat drastis selama masa kehamilan adalah
Prevotella intermedia
2. Penurunan sel limfosit-T yang matang yang merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan perubahan respon jaringan terhadap
plak.
3. Progesteron akan merangsang produksi prostaglandin (PGE2)
dimana PGE2 merupakan mediator yang poten dalam respon
inflamasi.
Manifestasi klinis
Epulis Gravidarum
Manifestasi Klinis Epulis
Gravidarum
Epulis gravidarum biasanya ditandai dengan lesi
Epulis gravidarum kebanyakan timbul di papila
berwarna merah cerah & banyak vaskularisasi yang
interdental, dan umumnya lebih sering di daerah labial
kadang memiliki flek putih di permukaannya, biasanya
pada rahang atas. Gigi yang berdekatan dengan epulis
bertangkai dan dapat mencapai diameter 2 cm, serta
dapat bergeser dan menjadi lebih mudah goyang,
tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak
meskipun kerusakan tulang jarang terjadi di sekitar
menimbulkan keluhan berarti selain karena ukurannya.
gigi yang berdekatan dengan epulis.

Secara Mikroskopis:
● Pola pertumbuhan eksofotik dikelilingi jaringan yang
normal
● Dilapisi epitel gepeng berlapis yang rata
● Terdapat sel radang limfosit dan sel plasma
● Neutrofil terdapat di superficial dari daerah ulserasi.

Henriko,2016; Soulissa,2014; Praba,2012


Pemeriksaan
Penunjang
Epulis Gravidarum
a. Biopsi merupakan pengangkatan spesimen jariangan untuk analisis mikroskopis guna
membantu proses diagnosis , sebagian besar biopsi rongga mulut menggunakan teknik
eksisional atau insisional. Biopsi insisional adalah pengambilan sampel jaringan melalui
pemotongan dengan pisau bedah diambil sedikit untuk diperksa. Biopsi eksisional adalah
pengambilan semua massa yang dicurigai untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
Gambaran HPA dari epulis gravidarum ini akan berwarna merah keunguan dikarenakan
banyak ditemukan endotel dan pembuluh darah.
b.Pemeriksaan Imunohistokimia, yaitu pemeriksaan yang memanfaatkan reaksi antigen
antibody untuk mengetahui reaksi imunitas sel terhadap antigen. Pemeriksaan
imunohistokimia pada epulis gravidarum akan memberikan ekspresi faktor VIII pada endotel
dan negative pada area seluler. Epulis gravidarum juga memberikan ekspresi pada bFGF, anti-
CD34, dan VEGF.

(Hanriko, 2016 & Sun WL, 2014).


Diagnosis banding
Epulis Gravidarum
a. Peripheral Giant Cell Granuloma
Peripheral giant cell granuloma secara makroskopis berupa massa pedunculated atau sessile atau nodul cerah,
kenyal dan berbatas tegas. Pertumbuhan lesi relatif lebih cepat dibanding granuloma gravidarum. Lesi terletak
antara gigi permanen molar I dan insisivus.
a. Peripheral Ossifying Fibroma
Peripheral ossifying fibroma karena secara makroskopis memberikan gambaran yang sama namun massanya
berwarna lebih terang dan biasanya terjadi pada area gigi molar permanen. Secara mikroskopis peripheral
ossifying fibroma berupa lesi lobuler terdiri dari hyperplasia fibroblast dengan tulangi matur dan osteoid.
a. Epulis Granulomatosa
Biasa terjadi pada lubang bekas gigi dicabut atau bekas operasi akibat kemasukan kotoran sisa makanan
setelah selesai pencabutan. Bentuk yang tidak beraturan, berwarna merah kebiruan, lunak dan mudah berdarah,
serta bertangkai.

Hanriko, 2016 ; Manovijay,2015


• Epulis fisuratum
Hyperplasia mukosa akibat trauma ringan kronik oleh pinggiran gigi
palsu. Bentuk memanjang, berbatas jelas, pink, tidak mudah
berdarah, tidak menimbulkan rasa sakit, terlihat seperti lipatan gusi.

1. Epulis Fibromatosa
Epulis fibromatosa adalah tumor jinak yang tumbuh lambat dan lesi
yang tidak terasa sakit, akan tetapi dapat mengganggu estetik dan
pengunyahan saat makan. Etiologi epulis fibromatosa berasal dari
iritasi kronis. Tampakan klinis yang terlihat,antara lain bertangkai atau
tidak, warna agak pucat, konsistensi kenyal, batas tegas, padat dan
kokoh.

Leepel, 2016 & Mubarak H et al, 2020


• Gingivitis Gravidarum
Terjadi sebagai hasil dari peningkatan kadar hormon progesteron dan estrogen. Gingivitis kehamilan mempunyai
gambaran klinis berupa marginal gingiva dan papila interdental yang berwarna merah terang sampai merah kebiruan,
permukaannya licin dan mengkilap, berkurangnya kekenyalan dan mudah berdarah.

• Hiperplasi gingiva
Hiperplasia gingiva merupakan salah satu akibat pemberian beberapa obat-obatan
antikonvulsan, imunosupresan, dan calcium channel blockers. Pertumbuhan
gingiva dimulai sebagai pembesaran papilla interdental yang nyeri dan serupa
manik-manik, meluas dari marginal gingiva fasial dan lingual.

Soulissa, 2014 & Djais AI et al, 2014


a. Angiomatosis Basiler
Diagnosis banding granuloma piogenik adalah angiomatosis basiler, yaitu penyakit proliferasi vaskuler infeksius yang
disebabkan oleh Bartonella henselae. Secara klinis dan histopatologis lesi-lesi angiomatosis basiler terlihat hampir sama
dengan granuloma piogenik, namun berbeda dalam etiologis maupun patogenesisnya.lPerjalanan penyakitnya terbagi
menjadi dua bagian, yaitu infeksi lokal dan sistemik. Perbedaan yang paling utama dengan granuloma piogenik adalah
lesinya terasa nyeri dan jika terjadi penyebaran infeksi sistemik akan disertai dengan demam, malaise, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare dan menggigil.

a. Sarkoma Kapossi
Diagnosis banding lainnya adalah sarkoma Kapossi yang merupakan neoplasia vaskuler multisistem yang ditandai
dengan adanya lesi mukokutan berwarna keunguan dan disertai edema di sekitar organ terdekat yang terkena. Beberapa
pasien ini berhubungan dengan kondisi imunokompromais misalnya pada pasien HIV.

Lawalata TOH et al, 2010)


Penatalaksanaan
Epulis Gravidarum
Adapun perawatan epulis gravidarum(pregnancy tumor) yang dapat dilakukan selama masa kehamilan yaitu:
1. Fase I (Initial fase): berupa DHE, Scalling Root Planing (SRP).
Perawatan pada kehamilan dilakukan pada trimester ke-2 (jika mengganggu). Apabila epulis
gravidarum tidak menghilang setelah melahirkan maka dilanjutkan dengan tindakan bedah (Fase II)
2. Fase II (Bedah)
a. Sebelum dilakukan tindakan bedah pasien diminta untuk mengisi informed consent sebagai persetujuan
akan dilakukan tindakan bedah.
b. Jika tidak terdapat pengurangan, eksisi dengan teknik pisau bedah (surgical scalpel no.15)
c. Desinfeksi area operasi yg akan dilakukan tindakan bedah.
d. Lakukan anastesi dengan menggunakan laruan anastesi local. Ex: pehacaine atau sejenisnya.
e. Beri tanda pada area yg akan dilakukan eksisi berupa outline menggunakan sonde untuk menentukan
titik point batas pemotongan gingiva.
3. Fase III (Maintenance)
4. Fase IV (Pemeliharaan) :
a. OHIS
b. Cek kondisi gingiva
c. Cek oklusi dan kegoyangan gigi
d. Cek apakah ada perubahan patologis
(Soeprapto, 2017)
Prognosis
Epulis Gravidarum
• Prognosis perawatan sangat baik : Umumnya lesi ini akan mengecil dan
menghilang dengan sendirinya segera setelah ibu melahirkan bayinya
• Epulis gravidarum tidak memiliki potensi yang mengarah pada keganasan sehingga
perawatan yang berkaitan dengan lesi ini sebaiknya ditunda hingga setelah
kelahiran kecuali ada rasa sakit dan perdarahan terus terjadi yang mengganggu
rutinitas.
• Pada kasus epulis tetap bertahan setelah bayi lahir, diperlukan biopsi untuk
pemeriksaan lesi secara histologis dan pemeriksaan patologi anatomi. Jika tidak
didapatkan tanda keganasan, epulis yang mengganggu pengunyahan dan bicara,
dapat diangkat dengan bedah eksisi yang konservatif serta ekstirpasi masa jaringan
• Pasien dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan gigi dan mulut, dan kontrol
secara rutin ke dokter gigi, terutama saat kehamilan selanjutnya untuk mencegah
kekambuhan epulis

(Hasan and Rahmat, 2006; Kshiragar and Balamurugab, 2018; Kusumawardani and Robin, 2018).
Komplikasi
Epulis Gravidarum
Komplikasi epulis gravidarum

Kelahiran prematur Berat bayi lahir Keguguran Preeklampsia


rendah (BBLR)

Toksin bakteri anaerob negatif berupa endotoksin


/ lipopolisakarida (LPS) -> mencapai uterus
melalui aliran darah _> merangsang respon
inflamasi jaringan periodontal -> bakterimia ->
LPS memicu mediator inflamatori pada organ
sistemik dan jaringan periodontal ->
mempengaruhi kehamilan -> Mediator
membahayakan unit fetoplasenta dengan
menimbulkan kontraksi otot rahim dan dilatasi
leher Rahim -> meningkatkan resiko keguguran.

(Banun, 2013; Soulissa, 2014; Rahmawati et al., 2017).


LANJUTAN
Pertimbangkan apakah gigi
Komplikasi lain Epulis goyang memiliki indikasi
gravidarum yang tidak untuk pencabutan gigi. Jika
dirawat dan terus tumbuh, Epulis gravidarum yang penyerapan tulang alveolar
antara lain: membesar menekan gigi- tidak melebihi 1/3 dari
destruksi dan absorpsi geligi dan menyebabkan panjang akar, gigi yang
tulang alveolar, goyang Resorpsi tulang, dipindahkan setelah reseksi
dan perpindahan gigi, serta melonggarnya, pergeseran dan tumor gingiva akan sering
nyeri. perpindahan gigi. Selama kembali ke posisi semula
kehamilan, pregnency
mungkin mempengaruhi
mastikasi serta nyeri dapat
terjadi. Komplikasi ini tidak
(Cheng et al., 2021). dapat segera diobati
Pencegahan
Epulis Gravidarum
Trimester Pertama (1-12 minggu)
Pencegahan
• Menyikat gigi setiap hari dan berkumur serta a Ajarkan tentang perubahan mulut selama kehamilan
pemeriksaan rutin dapat mengurangi risiko
terkena granuloma.
• Dengan metode tepat alat, tepat cara, tepat
Tekankan instruksi kebersihan mulut ketat dan kontrol plak
waktu dan tepat target, ibu hamil bisa memulai b
merawat gigi dengan cara yang benar, selain
perawatan yang ditekankan pola makan juga
harus diperhatikan.
• Ibu hamil perlu mengatur pola makan. c Perawatan gigi sebatas perawatn darurat dan profilaksis periodontal

• Pemenuhan vitamin C yang banyak.

d Hindari radiografi rutin. Gunakan secara selektif dan jika perlu

(Rahmawati et al., 2017; Jasmine TJ, 2020).


Trimester kedua (13-24 minggu) Trimester ketiga (25-40 minggu)

Instruksi kebersihan mulut


a & kontrol plak
Instruksi kebersihan mulut
& kontrol plak a
Scaling, polishing,
b kuretasi jika perlu
Scaling, polishing,
kuretasi jika perlu
b
Pengendalian penyakit mulut
c aktif jika ada
Hindari perawatan gigi elektif
c
Prosedur gigi elektif aman
d Hindari radiografi rutin
Gunakan selektif dan bila perlu d
Hindari radiografi rutin
e Gunakan selektif dan bila perlu
(Jasmine TJ, 2020).
Epulis gravidarum merupakan lesi yang tumbuh dengan cepat dan jinak, dan
biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan. Etiologi dari epulis gravidarum yaitu
adanya peningkatan kadar hormon estrogen dan progesteron, perubahan pola makan,
bakteri P.intermedia yang meningkat saat kehamilan, dan adanya faktor pencetus yaitu
biofilm yang membentuk plak gigi.
Epulis gravidarum memengaruhi sekitar 5%-10% ibu hamil dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan dari bulan November 2010 sampai Januari 2017.
Epulis gravidarum biasanya ditandai dengan lesi berwarna merah cerah dan
banyak vaskularisasi yang kadang memiliki flek putih di permukaannya, biasanya
bertangkai dan dapat mencapai diameter 2 cm, serta tidak menimbulkan rasa sakit
KESIMPULAN sehingga tidak menimbulkan keluhan berarti selain karena ukurannya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk epulis gravidarum antara
lain adalah biopsi dan pemeriksaan imunohistokimia
Diagnosis banding dari epulis gravidarum yaitu, Peripheral Giant Cell
Granuloma, Peripheral Ossifying Fibroma, Epulis Granulomatosa, Gingivitis
gravidarum, Hiperplasi gingiva, Angiomatosis basiler, dan Sarkoma Kapossi.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk epulis yaitu terdapat 4 fase: Fase I
(Initial fase), Fase II (Bedah), Fase III (Maintenance), dan Fase IV (Pemeliharaan).
Epulis gravidarum jika tidak ditangani dapat terjadinya komplikasi yaitu: kelahiran bayi
prematur, BBLR, keguguran, dan preeklampsia.
Andriyani PD, Apriasari ML, Putri DBT. 2014. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal pada Wanita Hamil Trimester 3 di
RSUD ULIN BANJARMASIN. Dentino Jurnal kedokteran Gigi: 2(1); 96.

Banun K. 2013. Penyakit Periodontal dan Komplikasi Kehamilan. J. K. G Unej; 10(3): 110.
Christi MC. 2019. Increased Epulis Gravidarum Prevalence in Women with Both Nasal and Oral Symptoms. Orolaryngology Open
Journal; 5(1): 18-21.

Cheng, G. et al. (2021) ‘Experience in the treatment of gingival tumors with different characteristics during pregnancy’, West China
Journal of Stomatology, 38(6), pp. 718–725.

Daftar Djais AI, Astuti LA. 2014. Penatalaksanaan Hiperplasi Gingiva Disebabkan oleh Penggunaan Amlodipine: Sebuah Laporan Kasus.
As-Syifaa. 6(2): 125-134.

Henriko R. Granuloma Piogenik pada Gingiva. Jk Unila. Oktober 2016:1(2);428- 430.

Pustaka Hanriko R. 2016. Granuloma Piogenik pada Ginggiva. JK Unila. 1(2): 430.

Hasan CY, Rahmat MM. 2006. Penatalaksanaan epulis gravidarum maksila sinistra. Maj.Ked. Gi; 13(2).

Jasmine TJ. 2020. Dental Management in Pregnancy. Clinical Dentistry. XIV; 17-22.

Kshirsagar T, Balamurugan. 2018. Role of Sex Hormones in Periodontium during Pregnancy: A Review. IJADS; 4(4): 169-170
Kusumawardani, B. and Robin, D. M. C. (2018) Penyakit Dentomaksilofasial. Malang: Intermedia.
Lawalata TOH, et al. 2010. Granuloma Piogenik Multipel. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 22(2): 152.

Leepel MB. 2016. Epulis Fisuratum Akibat Pemakaian Gigi Tiruan Lengkap yang Longgar. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia. 3(4).
Manovijay B, Rajathi P, Fenn SM et al. 2015. Recurrent Epulis Granulomatosa: A Second Look. Journal of Advanced Clinical & Research
Insight. 2: 140-142

Mubarak H, Rasul I, Nurwahida. 2020. Penatalaksanaan Giant Fibromatous Epulis: Sebuah Laporan Kasus. Makassar Dental Journal. 9(2):
128-130.

Prihastari L, Andreas P. 2015. Faktor Antesenden Perilaku yang mempengaruhi Utilisasi Pelayanan Kesehatan Gigi Ibu Hamil (Studi
Pendahuluan di RSUD Banjarbaru). Majalah Kedokteran Gigi Indonesia; 1(2): 208-215.

Praba FN, Rahardjo BD. 2012. Penatalaksanaan Ekstirpasi Epulis Fibromatosa Ukuran Besar Pada Gingiva Rahang Bawah dengan Anastesi
Lokal. Majalah Kedokteran Gigi. 19(1):59.

Daftar Rahmawati D, Mayong OP. 2017. Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil Di Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal
Kebidanan;6(1): 1-69.

Soulissa AG. 2014. Hubungan kehamilan dan penyakit periodontal (Relationship between pregnancy and periodontal disease). Jurnal PDGI;

Pustaka
63(3): 71-77.

Sun WL, Lei LH, Chen LL. 2014. Multiple Gingival Pregnancy Tumors with Rapid Growth. Journal of Dental Sciences. 9:290-291.

Soeprapto A. 2017. Pedoman dan Tatalaksana Praktik Kedokteran Gigi. Jembatan Merah: Yogyakarta.

Stiawan SM, Aini I, Mildiana YE. 2017. ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY “I” DENGAN KEHAMILAN FISIOLOGIS
DI BPM HJ DAYAROH, SST DS. SEMBUNG PERAK JOMBANG. Midwifery Journal Of STIKes Insan Cendekia Medika
Jombang. 13 (1): 51-55.

WIJAKSANA, I. Komang Evan. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal Kesehatan Gigi, 2019, 6.2: 118-125.
Hasan CY, Rahmat MM. 2006. Penatalaksanaan epulis gravidarum maksila sinistra. Maj.Ked. Gi; 13(2).
Leepel MB. 2016. Epulis Fisuratum Akibat Pemakaian Gigi Tiruan Lengkap yang Longgar. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
3(4).
Ask question? 
18 Oktober 2021

KULIAH PAKAR SKENARIO 1 BLOK 13

EPULIS GRAVIDARUM
Dosen Pembimbing: drg. Deby Kania Tri Putri, M. Kes.
Dosen Pakar: drg. Beta Widya Oktiani, Sp. Perio.

KELOMPOK 1
Anggota Kelompok
1. Brachmedio Barito Syech Erlangga 1911111210022
2. Fitria Ulfah Rahman 1911111220016
3. Indah Lestari Puspaningtias 1911111220024
4. Dhiya Salma Azminida 1911111220005
5. Diba Eka Diputri 1911111220021
6. Radhia Mufida 1911111120017
7. I Made Yudha Dharmawan 1911111310005
8. Aqshall Ilham Safatullah 1911111310026
9. Muhammad Rizki Fadhil 1911111310037
10. Deswyne Diangsari 1911111320019
11. Novi Tiara Lestari 1911111320028
12. Amilia Ariyani 1911111320032
SKENARIO
Kenapa Gusi Ku Bengkak Hanya Di Satu Gigi..???
Seorang pasien wanita usia 26 tahun datang ke RSGM. Ia
mengeluhkan kondisi gusinya yang bengkak, namun
anehnya bengkak hanya di sekitar 1-2 giginya saja. Sudah
mulai bengkak pada saat ia hamil anak pertamanya. Pada
saat menyikat gigi sering gusi tersebut berdarah. Saat ini
pasien sudah melahirkan namun kondisi gusinya tetap
bengkak hanya sedikit berkurang. Pasien tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik. Hasil pemeriksaan intaoral
menunjukkan bahwa terjadi hiperplasi pada papilla
interdental 13 14, gingiva berwarna merah, mengkilat,
bertangkai, dan BOP (+). Status OHI.S pasien 2,5 dan
tidak terjadi kerusakan tulang.
IDENTIFIKASI & KLARIFIKASI ISTILAH ASING

Hiperplasi

Peningkatan jumlah sel pada organ yang ditandai dengan pembesaran


organ itu sendiri yang diakibatkan karena ada peningkatan proses mitosis

BOP (+)

Bleeding on Probing yang artinya perdarahan saat diprobing. Tujuannya


untuk melihat adanya perdarahan dengan probing untuk mengindikasi
terjadinya inflamasi. BOP merupakan tanda awal gingivitis dan mendahului
tanda klinis secara visual seperti pembengkakkan dan kemerahan. Ditandai
dengan (+) dan (-). Jika (+) maka berarti ada perdarahan ketika probing,
jika (-) maka tidak ada perdarahan ketika probing. Pada skenario BOP (+)
yang berarti saat probing, terdapat perdarahan.
Identifikasi dan Analisis Masalah
1. Apa diagnosis yang tepat berdasarkan skenario tersebut?
Berdasarkan skenario, pasien mengalami pembesaran gingiva di 1-2 gigi saat hamil anak
pertama, setelah melahirkan tidak hilang dan hanya berkurang sedikit. Pembengkakan
gingiva ketika hamil itu biasanya merupakan epulis gravidarum atau pregnancy tumor. Jadi
menurut saya diagnosisnya adalah epulis gravidarum/pregnancy tumor.
2. Apa yang menyebabkan gusi pasien bengkak saat hamil dan hanya pada 1-2 gigi saja?
Karena adanya faktor lokal pada daerah tersebut misalnya kalkulus mengingat pasien
memiliki OH yang buruk yang kemudian berkombinasi dengan faktor hormon yang
meningkat. Pada saat hamil, hormon estrogen dan progesteron meningkat sehingga
vaskularisasi juga meningkat yang memicu terbentuknya edema pada gingiva pasien,
produksi asam di mulut meningkat, lebih rentan terhadap infeksi bakteri, sehingga
berkembang menjadi epulis gravidarum.
3. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakan diagnosis pada kasus di atas?
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan intraoral, pemeriksaan darah dan radiografi (harus
memperhatikan dosis pada ibu hamil), pemeriksaan histopatology dengan biopsy (namun
pemeriksaan ini tidak disarankan untuk dilakukan pada ibu hamil, kecuali saat sudah
melahirkan )
Identifikasi dan Analisis Masalah
4. Apa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada diagnosis penyakit pada skenario?
Dalam anamnesis pasien, dokter gigi harus dapat memonitori kondisi dan bekerja sama
dengan dr. Sp. OG. Pasien diberikan DHE disertai kunjungan rutin. Memperbaiki faktor
penyebab seperti faktor lokal (oral hygine) dan inflamasinya, kuretase untuk membuang
jaringan granulasi. Perawatan pada ibu hamil biasanya dilakukan pada timester ke-2
(trimester kehamilan paling aman) termasuk pemberian antibiotik, analgesik, obat kumur
kloroheksidin, dan anastesi lokal. Pembedahan dapat dilakukan eksisi yang sebaiknya
ditunda sampai pasien melahirkan karena umumnya lesi ini akan hilang dengan sendirinya
setelah melahirkan. Bedah hanya dilakukan jika epulis menyebabkan trauma gigi antagonis,
mengganggu fungsi bicara dan mastikasi, berdarah parah dan nyeri.
5. Apa penanganan pertama saat pasien datang pertama kalinya?
Analisis pasien, menemukan diagnosis, lalu rujuk dan berkerja sama dengan dr. Sp. OG,
perbaiki OH, lalu beri analgesik apabila di perlukan.
6. Apa komplikasi yang dapat terjadi jika tidak langsung diberikan penanganan?
Kemungkinan bayi lahir prematur dikarenakan adanya bleeding on probing sehingga bakteri
dapat masuk menembus barier plasenta, terjadi gangguan fungsi sitokin yang
menyebabkan bayi lahir prematur. Selain itu, bisa terjadi infeksi, lama kelamaan
pembengkakan akan bertambah, dan terjadilah kista.
Identifikasi dan Analisis Masalah
7. Apa faktor predisposisi pada skenario tersebut?
Oral Hygiene yang buruk, seperti terjadi penumpukan plak. Konsumsi obat-obatan, seperti
obat terapi hormonal, obat antihipertensi, serta imunosupresif juga dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya masalah periodontal pada ibu hamil.
8. Apa hubungan manifestasi klinis pada skenario dengan kehamilan?
Manifestasi yang ada pada skenario yaitu hiperplasia, hal tersebut terjadi karena adanya
inflamasi yang ditandai dengan gingiva pasien memerah, inflamasi dipicu oleh peningkatan
kadar asam dalam mulut seorang ibu hamil, dan terjadinya perubahan hormon estrogen dan
progesteron, estrogen membuat faktor pertumbuhan dan menyebabkan pertumbuhan
granula, sementara progesteron pemicu media inflamasi yaitu (PGE2).
9. Apa etiologi dari diagnosis oada skenario tersebut?
Faktor lokal seperti plak dan kalkulus karena OH yang buruk disertai peningkatan hormon
kehamilan. Peningkatan hormon estrogen dan progesterone akan memacu mukosa mulut
untuk memberi respon berlebihan terhadap trauma ringan, pelebaran pada pembuluh darah
sehingga gingiva menjadi lebih merah, bengkak, dan mudah mengalami perdarahan.
10. Apa saja diagnosis banding pada kasus di atas?
Sasaran Belajar.
PROBLEM TREE

DEFINISI

PROGNOSIS EPIDEMIOLOGI

KOMPLIKASI ETIOLOGI

EPULIS GRAVIDARUM/
PREGNANCY TUMOR

FAKTOR
TATALAKSANA
PREDISPOSISI

DIAGNOSIS
PATOFISIOLOGI
BANDING

PEMERIKSAAN
SASARAN BELAJAR

Apa definisi dari epulis Apa saja pemeriksaan


1 gravidarum? 6 dari epulis gravidarum?

Bagaimana epidemiologi Apa saja diagnosis banding


2 dari epulis gravidarum? 7
dari epulis gravidarum?

Apa etiologi dari epulis Bagaimana tatalaksana


3 gravidarum? 8 dari epulis gravidarum?
Apa saja komplikasi yang
Apa saja faktor predisposisi 9 terjadi jika epulis
4 dari epulis gravidarum?
gravidarum tidak ditangani?
Bagaimana patofisiologi Bagaimana prognosis
5 10
dari epulis gravidarum? dari epulis gravidarum?
01
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H DEFINISI
Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
DEFINISI EPULIS GRAVIDARUM

DEFINISI EPULIS
GRAVIDARUM
Epulis gravidarum didefinisikan sebagai lesi
hiperplastik dan inflamasi yang berasal dari
mukosa bukal terutama dari jaringan gingiva
tampak bengkak, berwarna merah dan mudah
berdarah. Terjadi pada trimester pertama
sampai ketiga, mereda pada bulan ke-9 dan
beberapa hari setelah melahirkan.

(Cristi MC et al., 2019; Stiawan SM et al., 2017; James dan William D, 2016; Praba FN
dan Rahardjo BD, 2012).
02
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H EPIDEMIOLOGI Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
EPIDEMIOLOGI EPULIS GRAVIDARUM

5-10% dari Ibu hamil di


Indonesia
77% ibu dengan epulis
gravidarum melahirkan
prematur dengan BBLR

(Cristi MC et al., 2019; Stiawan SM et al., 2017; Wijaksana IKE, 2019; Yoto H et al., 2013).
03
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H ETIOLOGI
Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
ETIOLOGI EPULIS GRAVIDARUM

Komposisi Plak/Kalkulus Respon Imun Ibu

Konsentrasi Hormon
Seks

Newman, M., 2015; Omisakin, et al., 2020; Wijaksana, 2019


04
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
MARCH 22, 2021 - 15H
JULY 11, 2021 - 11H
Meeting with Company A
FAKTOR Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H
Meeting with Company A
APRIL 15, 2021 - 15H
PREDISPOSISI
Meeting with Company A EPULIS GRAVIDARUM
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi dari epulis gravidarum adalah

Iritasi kronis lokal dari kalkulus Pengaruh obat-obatan


dan tulang yang tajam

Penggunaan terapi hormonal, antihipertensi,


Oral hygiene yang buruk
antiepilepsi, serta obat imunosupresif yang
dapat memperburuk kondisi Kesehatan
Disebabkan oleh adanya perubahan pola makan periodontal ibu hamil.
dan kebersihan mulut, sikap dan perilaku ibu
hamil yang kurang peka dalam memelihara Faktor penyebab lain
kesehatan gigi dan mulutnya, serta kurang
mendapatkan pengetahuan mengenai
• trauma,
pentingnya kesehatan gigi dan mulut.
• hormon,
Infeksi bakteri pada jaringan periodontal dengan • virus dan
kondisi rongga mulut yang buruk pada ibu hamil • pembuluh darah yang pecah
dapat mempermudah proses patogenik dari bakteri • gingivitis kehamilan yang luas
dan produknya.

(Soulissa, 2014; Christi MC, 2019; Zhu et al., 2016; Rahmawati, 2017).
05
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H PATOFISIOLOGI Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
PATOFISIOLOGI

Interaksi antara bakteri dan hormon dapat menimbulkan perubahan


pada komposisi plak dan berperan penting pada proses peradangan
gingiva. Konsentrasi bakteri subgingiva berubah menjadi bakteri
anaerob dan jumlahnya meningkat selama masa kehamilan. Bakteri
yang meningkat drastis selama masa kehamilan adalah P.intermedia.
Peningkatan ini erat kaitannya dengan tingginya kadar estrogen dan
progesteron di dalam tubuh.

(Soulissa, 2014)
PATOFISIOLOGI

Selain itu terdapat penurunan sel limfosit-T yang matang yang merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan perubahan respon jaringan terhadap plak. Selain
peningkatan jumlah P. intermedia, kadar progesteron yang meningkat selama masa
kehamilan juga dapat memicu terjadinya peradangan gingiva dengan menghambat
produksi interleukin-6 (IL-6). Interleukin-6 berfungsi menstimulasi diferensiasi
limfosit B, limfosit T dan mengaktifkan sel makrofag dan sel NK, dimana sel-sel
tersebut berperan menyerang dan memfagositosis bakteri yang masuk ke sirkulasi
darah, sehingga dengan dihambatnya produksi IL-6 mengakibatkan gingiva rentan
terhadap peradangan. Progesteron juga berperan dalam proses produksi
prostaglandin (PGE2) di mana PGE2 merupakan mediator yang poten dalam respon
inflamasi. Prostaglandin sendiri berperan sebagai imunosupresan, sehingga
mengakibatkan peradangan gingiva semakin meningkat

(Soulissa, 2014)
06
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
PEMERIKSAAN KLINIS
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H
Meeting with Company A
DAN PENUNJANG
APRIL 15, 2021 - 15H
EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
PEMERIKSAAN EPULIS GRAVIDARUM

Anamnesa
Dokter gigi harus bekerja sama dengan
dokter kandungan serta mengetahui
riwayat kesehatan pasien menyeluruh
dan penilaian fisik sangat penting
untuk mencapai diagnosis yang benar,
seperti bagi ibu hamil yang tekanan
darahnya tinggi harus dirujuk ke dokter
kandungan.
(Wijaksana, 2019).
PEMERIKSAAN KLINIS

EPULIS GRAVIDARUM
Bentuknya berdungkul, Biasanya memanjang dari
lunak, kemerahan margin gingiva.
(eritematosa), eksofitik
Epitel yang menutupi lesi ini
Dapat tumbuh hingga lebih
sangat tipis, dan pada area
dari diameter 2 cm.
ulserasi.

Lesi mudah berdarah


Tidak nyeri.
(BOP+).
(Jalali, V., et al., 2018; Newman, M., 2015; Wijaksana, 2019; Omisakin, et al., 2020)
PEMERIKSAAN KLINIS

EPULIS GRAVIDARUM
Biasanya muncul pada Permukaan halus atau berlobus
gingiva anterior atau gingiva dan mungkin eksudat fibrin
bukal maksila, tumbuh pada menutupinya.
bagian interdental.
Warnanya dapat berkisar dari Biasanya terjadi pada masa
merah muda hingga merah akhir trimester pertama atau
cerah hingga ungu atau coklat. trimester kedua kehamilan.

(Jalali, V., et al., 2018; Newman, M., 2015; Wijaksana, 2019; Omisakin, et al., 2020)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen Pemeriksaan Darah Pemeriksaan Histopatologis

(Jalali, V., et al., 2018; Newman, M., 2015; Wijaksana, 2019; Omisakin, et al., 2020)
07
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H
Meeting with Company A
DIAGNOSIS
MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H
Meeting with Company A
APRIL 15, 2021 - 15H
BANDING
Meeting with Company A EPULIS GRAVIDARUM
DIAGNOSIS BANDING

Peripheral
Giant Cell
Granuloma
(PGCG)
(Henriko R, 2016; Patil CL, et al., 2018).
08
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H TATALAKSANA Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H
EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
TATALAKSANA EPULIS GRAVIDARUM

01 DHE dan Kontrol Plak 02 Bedah

03 Obat-Obatan

(Nisha, S., et al.,2018; Wijaksana, 2019; Barzegar M, et al., 2018; Newman, M., 2015)
09
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H KOMPLIKASI Meeting with Company A

Meeting with Company A EPULIS GRAVIDARUM


APRIL 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
KOMPLIKASI EPULIS GRAVIDARUM

Kuman fusobacterium nucleatum yang menginfeksi gusi ibu


hamil pada epulis gravidarum dapat menularkan pada janinnya
melalui peredaran darah plasenta. Selain itu, komplikasi
kehamilan yang telah dihubungkan dengan penyakit
periodontal, meliputi kelahiran prematur, berat lahir rendah,
keguguran, dan preeklampsia.

(Stiawan SM, et al., 2017; Banun, 2013)


10
JUNE 15, 2021 - 18H
Meeting with Company A
JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A
JUNE 25, 2021 - 12H JUNE 15, 2021 - 15H
Meeting with Company A Meeting with Company A
JULY 11, 2021 - 11H MARCH 22, 2021 - 15H
Meeting with Company A
AUGUST 8, 2021 - 16H PROGNOSIS Meeting with Company A

Meeting with Company A


APRIL 15, 2021 - 15H EPULIS GRAVIDARUM
Meeting with Company A
PROGNOSIS EPULIS GRAVIDARUM

Prognosis epulis gravidarum termasuk kategori sangat baik.


Setelah melahirkan biasanya epulis gravidarum akan sembuh
sendiri dikarenakan hormon sudah mulai stabil dan ditambah
jika pasien menjaga kebersihan rongga mulut maka untuk
terjadinya infeksi sekunder dapat dihindari. Epulis
gravidarum sendiri tidak memiliki potensi yang mengarah
pada keganasan.

(Fatma UY & Ozge G.,2018)


KESIMPULAN

Epulis gravidarum adalah lesi hiperplastik dan


inflamasi yang berasal dari mukosa bukal terutama
dari jaringan gingiva tampak bengkak, berwarna
merah dan mudah berdarah yang terjadi selama
kehamilan dan mereda setelah melahirkan. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan hormon, respons
terhadap iritasi kronis, kalkulus dan agen traumatis.
Penanganan epulis gravidarum tergantung pada
keparahan gejala lesi tersebut. Epulis gravidarum
dapat menyebabkan bayi lahir prematur, tetapi tidak
memiliki potensi yang mengarah pada keganasan.
DAFTAR PUSTAKA
Banun K. 2013. Penyakit Periodontal dan Komplikasi Kehamilan. J. K. G Unej; 10(3): 110.
Barzegar, M., et al. 2018. Pregnancy tumor and facial port-wine stain: A case report.
Journal of Craniomaxillofacial Research; 5(1):50-53.
Christi MC. 2019. Increased Epulis Gravidarum Prevalence in Women with Both Nasal and
Oral Symptoms. Orolaryngology Open Journal; 5(1): 18-21.
Fatma UY, Ozge G. 2018. Pyogenic granuloma pregnancy a case report. Biomed Jsci and
techres; 5(1).
Henriko R. 2016. Granuloma Piogenik pada Gingiva. Jk Unila. 1(2): 428-430
Jalali, V., et al. 2019. Management of A Recurring Pregnancy Tumor: A Case Report.
World Journal of Pharmaceutical Research;8(2):1383-1388.
James, William D. 2016. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology.
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Kshiragar JT., et al. 2018. Role of sex hormones in periodontio during pregnancy: a
review. International journal of applied dental science; 4(4): 170.
Newman, M., 2015. Carranza's Clinical Periodontology, 12th Edition. Elsevier Health
Sciences.
Nisha, S., Shivamallu, AB., Hedge, U. 2018. Oral Pregancy Tumor: A Case Report. Journal
of Dental & Allied Sciences; 7(1):47-50.
DAFTAR PUSTAKA

Omisakin, O., et al. 2020. Pregnancy epulis: Case series among pregnant women in
Kaduna, Northern Nigeria. African Journal of Oral Heatlh Sciences; 7(1):1-8.
Patil, CL., et al. 2018. Peripheral giant cell granuloma manifestation in pregnancy. Indian J
Dent Res. 29; 678-82.
Praba FN, Rahardjo BD. 2012. Penatalaksanaan Ekstirpasi Epulis Fibromatosa Ukuran
Besar Pada Gingiva Rahang Bawah dengan Anastesi Lokal. Majalah Kedokteran Gigi.
19(1):59.
Rahmawati, D., & Mayong, O. P. (2017). Perawatan Kesehatan Rongga Mulut Ibu Hamil di
Puskesmas Trenggalek Jawa Timur. Jurnal Kebidanan, 6(1), 26-34.
Shahid U, Srivastava. 2019. Protocols and Guidelines for Management of Pregnant
Women Requiring Dental Treatment: A Review. Journal of Advanced Medical and
Dental Sciences Research; 7(3): 97-102.
Soulissa AG. 2016. Hubungan kehamilan dan penyakit periodontal. Jurnal PDGI; 63(3): 72-
74.
Stiawan SM, Inayatul A, Yana Em. 2017. Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny “I”
Dengan Kehamilan Fisiologis Di Bpm Hj Dayaroh, Sst Ds. Sembung Perak Jombang.
Midwifery Journal Of STIKes Insan Cendekia Medika Jombang; 13(1): 51-55.
DAFTAR PUSTAKA

Utami, L. D., Hidayat, W., & Sufiawati, I. (2020). Manifestasi oral pada ibu hamil
berdasarkan perbedaan trimester kehamilan Oral manifestations in pregnant women
based on trimester differences. Padjadjaran Journal of Dental Researchers and
Students, 4(2), 81-89.
Wijaksana IKE. 2019. Dental Treatment Consideration in Pregnant Women. Jurnal
Kesehatan Gigi. 6(2): 118-125.
Yoto H, Anindita PS, Mintjelungan C. 2013. Gambaran gingivitis pada ibu hamil di
Puskesmas Tuminting Kecamatan Tuminting Kota Menado. E-Gigi J. 1(2).
Zhu. YG, et al. 2016. Initial Periodontal Therapy for The Treatment of Gingiva Pregnancy
Tumor. Genetics and Molecular Research; 15(2): 2-8.
TERIMA KASIH
2
ADD A FOOTER 3
WHO
CLASSIFICATION
2017

4
• Kasus terbanyak
• Pleimorphic adenoma
• Myoepithelioma
• Canalicular adenoma
• Cystadenoma
• Diduga berasal dari intercalated duct yang
tersimpan di unit secretory
• Neoplasma sering terjadi pada dewasa,
benjolan tidak sakit
ADD A FOOTER 5
• Lokasi terbanyak di palatum, diikuti bibir atas
Tumor jinak glandula saliva yang terdiri dari sel
epitel (ductal), myoepitel sel dan chondromyxyxoid
stroma
• Diduga berasal dari intercalated duct yang berdiferensisai ke arah duktus,
myoepital dan stroma
• 84% di glandula parotis
• Bisa juga di submandibular, sublingual, lacrimal, dan glandula saliva minor
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin
• HPA : Punya 3 komponen
1. Epitel (ductal), membentuk lapisan dalam kista atau tubulus
2. Sel myoepitel,
• sebagai lapisan luar kista dan tubulus.
• Tersebar didalam stroma myxoid
• Dapat berupa plasmacytoid, spindle, epithelioid, clear atau
stellate
3. Stroma
• Dapat berupa myxoid, chondroid atau myxochondroid
• Dapat hialin atau fibrotic 6
• Jarang terjadi reccurence,
• Bisa terjadi transformasi ganas apabila berlangsung lama, tetapi jarang terjadi
Tumor dengan myoepitel sel TANPA sel epitel

• Kasus intraoral benign salivary gland neoplasma


terbanyak (60-80%)
• Diduga berasal dari intercalated duct
• Umumnya di parotis dan glandula saliva minor
• Pertumbuhan yang infiltrative
• Rekuren lokal apabila tidak diambil sempurna
• Berpotensi untuk metastasis
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin

Menunjukkan proliferasi myoepitel sel tanpa 7


adanya duktus/sel epitel
Tumor yang berkapsul dengan infiltrasi focus2 yang
berbentuk kapsul

• Diduga berasal dari intercalated duct yang


berdiferensiasi menuju ke sel duktus tanpa
diferensisasi myoepitel
• Menyerang kelenjar ludah minor, bibir atas,
mucosa bukal
• HPA : Double layer sel basaloid yang membentuk
canaliculi/saluran
• DD : Basal cell carsinoma, ductal adenoma
• Terapi : enukleasi atau eksisi dengan pembersihan
margin 8
• Jarang reccurence
Tumor kelenjar liur berkapsul dengan proliferasi sel
duktus/epitel yang terdapat beberapa struktur
kista

• Diduga berasal dari intercalated duct


• Tumor berkapsul atau berbatas jelas yang terdapat
kista
• Terdapat hiperplasia adenomatosa
• Kista dilapisi oleh 1-2 lapis sel kubus atau
columnar
• Bisa terjadi di semua kelenjar ludah, dan paling
sering terlihat di parotid dan kelenjar palatal
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin
9
• Secara klinis serupa  HPA
• Gamb klinis
• Massa keras, bisa/tidak bisa di gerakkan,
Ulser/kista
• Di palatum keras, bibir atas, dasar mulut, lidah
• Usia pertengahan / dewasa
• Wanita lebih banyak (2:1)
• Kasus terbanyak
• Mucoepidermoid carsinoma
• Polymorphous low-grade adenocarsinoma
• Adenoid cystic carsinoma
• Acinic cell carsinoma
• Hyalinizing clear cell carsinoma
• Invasi dan metastasis (kunci malignant)

HPA :
• Etiologi
• Diduga berasal dari intercalated duct yang tersimpan di unit secretory
• Dirintis oleh diferensiasi melalui ductal, myoepitel, acinar, onococyctic, clear,
nonspecific glandular cells
• HPA
ADDdilihat
A berdasarkan
FOOTER pola pertumbuhan, morfologi, infiltrasi di stroma, kelenjar 10
sekitar, perineural invasi (invasi kanker keruang di sekitar saraf ciri metastasis &
poor prognosis)
Tumor kelenjar liur tidak berkapsul yang terdapat
proliferasi mucous, epidermoid, columnar, dan sel
intermediate yang invasi ke dalam stroma

• Kasus terbanyak, sering di kelenjar parotis


• Kemungkinan berasal dari sel epitel pelapis duktus yang
mengalami metaplasia
• HPA :
• Inti hiperkromatin
• Sel atipia
• Kadang terdapat kista
• Ukuran sel bervariasi
• Kadang terdapat invasi perineural
• DD :
• Cystadenocarsinoma
• Acinic cell adenocarsinoma
• Terapi :
• Eksisi dengan pembersihan
margin + radioterapi

11
Infiltrative tumor kelenjar liur yang memiliki
gambaran polymorphic (berbeda-beda)

• 10-15% angka kejadian


• HPA :
• Gambaran bermacam-macam bisa berupa lembaran
padat, duktus, trabekula, cribrifor, pulau kecil, untaian
sel
• Stroma berisi hyalin dan myxoid
• Terdapat invasi perineural, invasi tulang
• DD :
• Pleimorphic adenoma
• Myoepithelioma
• Adenoid cystic carsinoma
• 9% kasus mengalami metastasis
• Jarang menimbulkan kematian 12
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin +
radiasi
• HPA : terdapat tiga pola
1. Pola cribriform:
• sel tumor yang membentuk pulau/lobul dengan multiple pseudoducts/true
ducts,
• pseudoduct berisi glycosaminoglycan atau material membran basement,
• true ducts berisi sel kuboid dengan sitoplasma eosinophilic, inti bulat, inti
samar, dikelilingi oleh sel myoepitel, inti bersudut, kromatin kasar, inti
kecil, sitoplasma bening

2. Pola tubular:
• true duktus dikelilingi oleh sel myoepitel, kebanyakan memiliki kombinasi
pola cribriforn dan tubular
3. Pola solid:
• sel basaloid dengan inti yang tidak bersudut, inti kecil, mitotic activity,
• sering rekuren, prognosis buruk, invasi perineural

B • DD :
• Polymorphous low grade adenocarsinoma
• Epimyoepithelial carsinoma
A
• Metastasis ke paru, kelenjar limfa, tulang
A. Pola cribriform (di atas),
pola tubular (di bawah); • Perineural invasion
B. Area tubular dengan • Terapi :
dikelilingi sel myoepitel; • Eksisi dengan pembersihan margin + radioterapi
C. Pola solid, sel
menunjukkan variasi C
13
ukuran dan bentuk inti dan
kromatin kasar
Infiltrative tumor kelenjar liur yang
memiliki gambaran polymorphic
(berbeda-beda) dalam satu tumor
Acinic cell adenocarsinoma Pola microcystic
• Sering terjadi di mukosa bukal dan bibir
• Tumor tersering no 2 pada anak setelah
mucoepidermoid carsinoma
• Terjadi di kelenjar liur mayor
• HPA :
• Infiltrative tumor dengan 4 pola  solid, microcystic,
papillary-cystic dan follicular
• DD :
• Mucoepidermoid carsinoma
• Papillary cystadenocarsinoma
• 12% rekuren, 8% metastasis, 6% kematian
14
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin +
radiasi Pola solid Pola papillary-cystic
Tumor yang terdapat proliferasi clear sel
berbagai bentuk dengan stroma hyalization

• HPA :
• Proliferasi clear sel yang berbentuk lembar, tali,
sarang, atau trabekula
• Stroma hyalization
• Kadang terdapat invasi perineural
• Jarang terdapat atipia dan nekrosis

• DD :
• Clear cell mucoepidermoid carsinoma
• Clear cell odontogenic carsinoma

• 16-25% metastasis, tidak menimbulkan


kematian 15
• Terapi : Eksisi dengan pembersihan margin
+ radiasi
TUMOR NON ODONTOGEN
d r g . A m y N i n d i a C a r a b e l l y, M . S i

FKG ULM

FABRIKAM
TUMOR NON ODONTOGEN
( W H O C L A S S I F I C AT I O N 2 0 1 7 )

• Chondroma • Fibrous dyspasia


• Osteoma • Cemento-osseous dysplasia
• Melanocystic neuroectodermal tumor of
infancy • Osteochondroma continued

• Chondroblastoma • Central giant cell granuloma


• Chondromyxoid fibroma
• Cherubism
• Osteoid osteoma
• Aneurysmal bone cyst
• Osteoblastoma
• Desmoplastic fibroma • Simple bone cyst
• Ossifying fibroma • Solitary plasmacytoma
FABRIKAM 2
• Lesi jinak tulang rawan hialin
CHONDROMA • Disebabkan oleh kegagalan osifikasi
endochondral normal
• Asimtomatik dan biasanya ditemukan secara
kebetulan, kadang nyeri dan fraktur
• Ro”: Lesi radiolusen dengan bercak kalsifikasi
tidak teratur seperti gambaran “belang-belang”
atau “popcorn”
• HPA:
• terdapat tulang hialin dewasa
• massa tumor hiposeluler tersusun atas
kondrosit dalam lacuna yang terbenam
dalam matriks tulang rawan kebiruan.
• Kondrosit memiliki inti yang kecil gelap,
tanpa anak inti.

FABRIKAM
OSTEOMA
• Definisi : Lesi tulang mesenkim osteoblas yang terdiri dari
diferensiasi jaringan tulang matur yang bersifat jinak dan
ditandai oleh pertumbuhan tulang yang abnormal.
• Etiologi : genetik, bahan kimia, trauma, limfedema
kronis, infeksi.
• Histopatologi
• terdapat dua bentuk, antara lain compact osteoma
dan cancellous.
• Compact osteoma tampak jaringan tulang yang padat
dan relative sedikit osteosit,
• cancellous tampak ruang trabekula lebih lebar
dengan korteks lamella tulang. FABRIKAM
MELANOCYSTIC NEUROECTODERMAL TUMOR OF
INFANCY
• Insidensi terbanyak pada bayi baru lahir
• HPA:
sampai tahun pertama kehidupan
• Rasio laki-laki dan perempuan adalah • Satu bagian lesi memberikan
6: 7 gambaran sel-sel besar,
• Manifestasi Klinis : polygonal, membentuk struktur
1.Bersifat jinak, tetapi mempunyai seperti alveolar.
kecenderungan tumbuh cepat
• sitoplasma pucat yang banyak,
2.invasi pada tulang sekitar lesi
inti pucat dengan kromatin kasar.
3.tidak ulseratif
Sel tumor biasanya mengandung
4.kadang berpigmen, dan berwarna pigmen melanin, yang
biru atau kehitaman.
menyebabkan secara klinis lesi
5.Lesi intraoral biasanya berupa massa
berwarna biru kehitaman.
bulat atau menonjol.
FABRIKAM 5
CHONDROMYXOID
FIBROMA
• Tumor tulang jinak yang relatif tidak HPA:
umum dengan diferensiasi
• (A) Menunjukkan arsitektur lobular
kartilaginosa.
dengan sel-sel stellata sentral dalam
• Terjadi pada rentang usia rata-rata =
matriks miksoid dan area
48,6 tahun
hypercellularity yang berdekatan.
• Ukuran rata-rata = 6. 0 cm
• (B) Area miksoid menunjukkan sel
• Asimtomatik
stellata dan spindle. Pembuluh darah
• Pria > wanita
berdinding tipis yang menonjol dapat
terlihat. Giant sel berinti banyak

FABRIKAM 6
DESMOPLASTIC FIBROMA
Etologi :
• Tumbuh dari stem sel mesenkim didalam
tulang
• Trisomy 8 dan 20 (jarang)
Klinis :
• 80% di pasien usia < 30 th
• 85% di mandibula
• Pembengkakan rahang
• Kadang sakit
• Ro”: radiolusen dengan perforasi cortical
HPA :
• Proliferasi fibroblas & myofibroblast di
collagenized stroma
• Stroma hialin
• Minimal sitologi atipia dan mitosis
Terapi :
• Eksisi dengan pemberihan margin
FABRIKAM 7
FIBROUS DYSPLASIA
• Struktur tulang normal tergantikan dengan jaringan ikat fibrous,
dengan tulang trabekular yang tampak seperti anyaman
HPA :
• Kelainan ini termasuk jarang dan merupakan 7% dari seluruh
tumor jinak tulang • Stroma matriks kolagen
• Epidemiologi : Ditemukan pada usia kanak-kanak dan sebagian dengan sel fibroblas
besar terjadi pada dewasa muda (sebelum 30 tahun). Wanita
• Menunjukkan karakter
lebih sering dengan perbandingan 3:1
trabekula tulang
• Melibatkan satu tulang (Monostotik) atau beberapa tulang
(Poliostotik) irreguler seperti
Chinese writing dengan
• Gejala Klinis:
adanya ruang fibrosis
• Nyeri tumpul yang memberat saat beraktivitas
• Pembengkakan pada area tulang yang terkena
• Deformitas tulang/ kelainan bentuk tulang
• Gangguan hormonal
• Pigmentasi pada kulit umumnya berwarna coklat terang.

FABRIKAM 8
CEMENTO-OSSEUS • Histopatologi
• Ditandai dengan stroma fibrosa seluler yang berputar-putar dan atau
DYSPLASIA/ FIBROOSSEUS lepas kolagen dan area vaskularisasi

• Stroma adalah jaringan mineral:


• Gejala : Asimtomatis, pada mandibula 86%, Daerah cementum/
1. Trabekula osteoid yang kadang-kadang dikelilingi oleh
periapical dlm jumlah single/multiple
osteoblas,

• Epidemiologi : pada black women usia menengah 2. Bone

3. Cementum "sementikel" atau "bonikel"


• Terklasifikasi menjadi 3 jenis :
• Saat lesi matang, lesi menjadi semakin terkalsifikasi dengan tampilan
• Periapikal COD (Single anterior mandibula), yang sangat stroma fibrotik kecil dengan trabekula lengkung tebal
• Focal COD (single posterior mandibula), (Pola '' jahe '') atau massa seperti sementum yang berbentuk tidak
teratur
• Florid COD (multivocal)

FABRIKAM 9
CENTRAL GIANT CELL
GRANULOMA
• Neoplasma osteolitik yang tidak
umum, jinak tetapi agresif dari daerah
kraniomaksilofasial
• HPA :
• banyaknya giant sel berinti banyak
yang terdistribusi merata dalam
lautan sel stroma mesenkim
berbentuk gelendong, tersebar di
seluruh jaringan ikat fibrovaskular
stroma
• mengandung area perdarahan

FABRIKAM 10
CHERUBISM

Etologi :
• autosomal dominan (kebanyakan)
• Mutasi gen SH3BP2 di kromosom 4p163
• TNF menyebabkan kehilangan tulang
Klinis :
• Bilateral multiloculated radiolusen di posterior
mandibula dan ramus asenden
• Erupsi terlambat
• Displacement gigi
• Kehilangan gigi
HPA :
• Kluster multinukleated osteoclast-like giant cell
• Proliferasi spindled dan mononuclear sel di stroma
• Fokus2 perdarahan
• Perivascular hyalin
Terapi :
• Recountouring tulang FABRIKAM 11
THANK YOU
W W W. FA B R I K A M . C O M

FABRIKAM
Drg. Amy Nindia Carabelly, M.Si
PSKG ULM

P53 in Neoplasm
P53 Normal

P53 saat
ada
kerusakan
DNA
- over 50% of human
cancers carry the loss of
function mutations in
p53 gene
- wild-type p53 has 20
minutes, mutant p53 has
2 -12 hour with an
oncogenic potential
LESI PRAGANAS
RONGGA MULUT
Oleh :
Dr. Maharani L.A.,drg SpPM
DEFINISI
• Precancerous/premalignant lesions (Lesi praganas)
Menurut WHO adalah suatu perubahan morfologi dari
suatu jaringan yang cenderung menjadi keganasan (cancer)
daripada normal.

Warnakulasriya, 2018
kriteria berikut Simptomatik dan/atau non-simptomatik
harus lesi pada mukosa yang tidak kunjung sembuh
dipertimbangkan
dalam hal
pentingnya Memiliki riwayat merokok, menginang, mengkonsumsi
diagnosis dini alkohol, infeksi HPV oral, penggunaan obat, terpapar
sinar matahari dalam jangka waktu lama,
Usia lanjut

Adanya imunodefisiensi

Adanya penyakit genetik

Oral hygiene buruk

Yardimci G, et al. 2016


LESI PRAGANAS YANG PALING UMUM

Leukoplakia Erythroplakia Oral Submucous Oral Lichen


Fibrosis Planus

Warnakulasriya, 2018
LEUKOPLAKIA
DEFINISI
• Leukoplakia adalah plak yang sebagian besar berwarna putih dengan resiko
yang dipertanyakan, selain penyakit atau kelainan lain yang diketahui yang
tidak meningkatkan resiko kanker.

Yardimci G, et al. 2016


Insidensi
• Idiopatik
• Dibawah 40 th
• Lebih sering terjadi pada laki-laki dan 6x lebih banyak pada perokok.
• Lebih beresiko pada pengonsumsi tembakau, alkohol, atau sirih
• HPV berperan dalam sebagian kecil kasus leukoplakia

Yardimci G, et al. 2016


2 Tipe Utama Leukoplakia
Homogenous leukoplakia Non-homogenous leukoplakia:
• Berbentuk datar dan tipis • Nodular- pertumbuhan massa kecil,
• Memiliki permukaan yang halus bulat berwarna merah atau putih

• Adanya retakan yang dangkal di • Verrucous / exophytic –


permukaan yg berkeratin permukaan yang bergelombang
atau berkerut

Warnakulasriya, 2018
Varian lain leukoplakia
1. Speckled- campuran, putih dan merah (erythroleukoplakia), tapi dominan
putih

Warnakulasriya, 2018
Homogenous Erythro Verrucous
leukoplakia Leukoplakia
leukoplakia

Warnakulasriya, 2018
Faktor resiko perubahan yg mengarah ke
keganasan
• Perempuan
• Lama durasi leukoplakia
• Leukoplakia pada non-perokok
• Lokasi pada lidah dan/atau dasar mulut
• Ukuran > 200 mm2
• Adanya dysplasia epitel

Yardimci G, et al. 2016


Sebagian besar leukoplakia asymptomatik dan ditemukan saat pemeriksaan rutin. Gejala
terkait jenis nonhomogenous speckled:
- Rasa tidak nyaman
- Kesemutan
- Sensitif terhadap sentuhan, minuman panas, atau makanan pedas

Kemerahan pada erythroleukoplakia menunjukkan adanya kemungkinan kolonisasi oleh


spesies Candida dan peningkatan risiko untuk menjadi displasia dan / atau keganasan.

Lesi meluas / Proleferative Resiko


multiple verrucous
leukoplakia keganasan

Warnakulasriya, 2018
Diagnosis
• Metode pewarnaan ; methylene blue (79% akurat)
• Biopsi ; pemeriksaan histopalatologi

Yardimci G, et al. 2016


Pada pemeriksaan histologi akan terlihat hiperkeratosis atau penebalan pada
bagian Stratum korneum kulit, Acanthosis (peningkatan ketebalan pada Stratum
spinosum), Intracellular hydropic degeneration (apoptosis), terdapat Epithelial
pearl, ada atau tidak ada displasia epitel, dan ada infiltrasi round sel pada jaringan
ikat.
(Deliverska & Petkova, 2017, Parlatescu dkk, 2014)
Diagnosa Banding
• Hairy leukoplakia
• White mucosa lession

Deliverska & Petkova, 2017


Penatalaksanaan
• Bedah eksisi / Terapi laser CO2
 Displasia epitel sedang dan berat
 Rekurensi 10 – 35%
• Terapi fotodinamik dan cryotherapy
 Lesi yang tersebar luas
 Rekurensi 27,1 % dan 24,3%

Deliverska & Petkova, 2017


Penatalaksanaan
• Non bedah:
 Carotenoid (β carotene, lycopene)
 Vitamin [ asam L-askorbat (vit. C), α-tocoferol (vit. E), asam retinoat (vit.
A), fenretinide]
 Blemisin
ERYTHROPLAKIA
DEFINISI
• Eritroplakia didefinisikan sebagai “sebuah lesi pada oral mukosa yang muncul
sebagai plak beludru merah cerah yang tidak dapat dikarakterisasi secara
klinis atau patologis sebagai penyakit atau lainnya”.

Messadi D V, 2013
ETIOLOGI
• Idiopatik
• Predisposisi: tembakau dan alkohol

Warnakulasriya, 2018
PREVALENSI
• Bervariasi antara 0,02% dan 0,83%
• Terutama terjadi pada laki- laki usia paruh baya dan orang tua
• Daerah yang paling sering terkena adalah palatum molle, dasar mulut, dan
mukosa bukal

Patait M, 2016
MANIFESTASI KLINIS
• Makula atau plak datar, tekstur permukaan seperti beludru
• Berwarna merah terang dapat disertai bercak putih
• batas jelas
• Diameter bervariasi,
• Asimtomatik

Yardimci G, et al. 2016


Yardimci G, et al. 2016
DIAGNOSA
• Toluidin blue
• Biopsi

Yardimci G, et al. 2016


HISTOPATOLOGI

Terdapat displasia epitel, lapisan tipis parakeratin, diferensiasi dari sel epitel, ketidakteraturan sel
basal dengan variasi ukuran dan hiperkromatisme, serta beberapa mitosis di atas lapisan sel
basal.
(Cawson & Odell, 2008)
DIAGNOSA BANDING
• Erythematous candidiasis (denture stomatitis)
• Erythema migrans
• Desquamative gingivitis
• Erosive lichen planus
• Pemphigoid

Villa dkk, 2011


PENATALAKSANAAN
• Hilangkan faktor etiologi

• Bedah; eksisi atau terapi laser CO2

• Pada lesi yang meluas bisa dilakukan terapi Cryotherapy photodynamic

Villa dkk, 2011


ORAL SUBMUCOUS
FIBROSIS
DEFINISI
• ORAL SUBMUCOUS FIBROSIS
Penyakit kronis dan berbahaya yang mempengaruhi lamina propria dari mukosa
mulut, dan seiring perkembangan penyakit, melibatkan jaringan yang lebih
dalam di submukosa rongga mulut, dengan hilangnya fibroelastisitas.

Warnakulasurya dkk, 2018, Cawson & Odell, 2002


ETIOLOGI
• Idiopatik
• Multifaktorial; Faktor risiko terkuat untuk OSMF adalah mengunyah sirih
yang mengandung pinang.
• Autoimun

Warnakulasurya dkk, 2018


PREVALENSI
• OSMF biasanya terlihat pada populasi orang Asia (khususnya orang India)
dari negara bagian selatan dan Taiwan
• Dominan terjadi pada rentang usia 20-30 tahun
• Dapat terjadi pada kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Tetapi
pada anak jarang terlihat
• Tingkat transformasi keganasan ini dilaporkan 7% -30%

Warnakulasurya dkk, 2018


MANIFESTASI KLINIS
• Gejala seperti sensasi terbakar dan / atau intoleransi terhadap makanan pedas
adalah gejala yang paling umum pada fase awal penyakit
• Adanya tekstur mukosa yang kasar dan pita fibrosa yang jelas teraba di mukosa
mulut, yang pada akhirnya mengarah pada penguraian dari mulut yang terbuka dan
kekenyalan dari selaput mukosa
• Adanya vesikula, selalu dikaitkan dengan reaksi inflamasi juxtaepithelial diikuti oleh
perubahan fibroelastik dalam lamina propria, dengan atrofi epitel yang
menyebabkan kekakuan mukosa mulut yang menyebabkan trismus dan
ketidakmampuan untuk makan
• hypersalivasi
Warnakulasurya dkk, 2018
Blansing di mukosa bukal Fibrosis palatal terlihat pada
pada tahap awal OSMF pasien dengan OSMF tahap
lanjut

Warnakulasurya dkk, 2018


DIAGNOSA
• Terbatasnya dalam membuka mulut merupakan tanda awal dari OSMF
• Biopsi

Warnakulasurya dkk, 2018


Warnakulasurya dkk, 2018
HISTOPATOLOGI
Secara histologis, jaringan ikat subepitel menjadi
menebal, hialin dan avaskular, ada infiltrasi sel radang kronis.
Epitel biasanya menjadi menipis dan dapat menunjukkan atipia.
Serat otot mengalami atrofi progresif.

Ada fibrosis (A) yang memanjang dari epitel


turun ke otot yang mendasari (B), yang
digantikan oleh jaringan berserat yang
terhidalinisasi.

(Cawson & Odell, 2002)


DIAGNOSA BANDING
• Oral verrucous hyperplasia

(Cawson & Odell, 2002)


PENATALAKSANAAN
• Menghentikan kebiasaan
• Terapi utama : Terapi medis

Bedah

Fisioterapi

Yardimci G, et al. 2016


Terapi medis
• Kortikosteroid
• Enzim proteolitik : hyaluronidase, kolagenase dan chymotrypsin.
Kombinasi Triamcinolone 10 mg/ml + hyaluronidase 1500 IU
selama 4 minggu / injeksi submukosa 2x seminggu kombinasi
dexamethasone (4 mg/ml) dan 2 bagian hyaluronidase (200 usp.
Unit/ml) diencerkan dalam 1.0 ml dari 2% xylocaine
• Vitamin, antioksidan, dan mineral; lycopene 16 mg 2x sehari selama 2
bulan
• Interferon-γ: diberikan dengan dosis 50 µg (0.25 ml) intralesional 2x
seminggu selama 8 minggu

Yardimci G, et al. 2016


Bedah
• Terapi bedah bertujuan meredakan trismus yang parah dengan menginsisi
pita fibrosa.
• Cangkok kulit atau membran alloplast
• Operasi laser CO2
• Cryosurgery

Fisioterapi
• Latihan peregangan otot seperti balon mulut, pembukaan mulut yang kuat
menggunakan bidai dan tongkat telah dicoba sebagai terapi suportif pasca
operasi

Yardimci G, et al. 2016


ORAL LICHEN PLANUS
DEFINISI
• Penyakit inflamasi kronis pada mukosa oral dengan etiologi yang belum
diketahui.

Cardova dkk, 2014


Genetik
Penyakit Dental
usus material

Neoplasma Obat
malignan obatan

Diabetes
Agen
dan
hipertensi PREDISPOSISI infeksi

Trauma Autoimun

Kebiasaan Imunodefis
iensi

Stress Alergi
makanan
PREVALENSI
• Mempengaruhi 0,5% - 2,0% dari populasi umum
• Risiko relatif adalah 3,7% pada orang dengan berbagai oral habit
• Terendah (0,3%) pada bukan pengguna tembakau
• Tertinggi (13,7%) pada orang yang merokok dan mengunyah tembakau
• Sering terjadi pada orang setengah baya dengan usia 30-60 tahun
• Wanita > pria
• Jarang terlihat pada anak-anak
• Mempengaruhi semua kelompok ras, orang kulit putih lima setengah kali lebih mungkin
terserang penyakit ini dibandingkan ras lain

Gupta, S. 2015
MANIFESTASI KLINIS
• Lesi papula putih, abu-abu, beludru, seperti benang yang memancar dalam susunan
linear, annular, dan retiform membentuk kisi-kisi khas, patch retikuler, cincin dan
goresan.
• Sebuah titik putih yang tinggi muncul di persimpangan garis putih yang dikenal
sebagai striae Wickham dibandingkan dengan striae Wickham di kulit.
• Lesi tidak menunjukkan gejala
• Bilateral / simetris di mana pun di rongga mulut, tetapi paling umum pada mukosa
bukal, lidah, bibir, gingiva, dasar mulut, langit-langit mulut dan dapat muncul
berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum munculnya lesi kulit.

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


6 TAMPILAN KLINIS KLASIK

Reticular Erosi Atrofi Plaque-like Papular Bullous

• Paling umum • Paling • Lesi merah • Mirip dengan • Bentuk ini • Paling jarang
• pola renda signifikan difus leukoplakia jarang terjadi
yang halus • lesi • menyerupai • Plak • Papula putih • Blister
seperti simptomatik kombinasi homogen kecil dengan (lepuh) yang
asimptomatik yang sering dua bentuk berwarna striae halus di membesar
yang disebut dikelilingi klinis, seperti keputihan pinggirannya dan
"Wickham oleh striae adanya yang ireguler cenderung
striae" dalam keratin karakteristik melibatkan pecah,
bentuk bercahaya striae putih dorsum lidah meninggalkan
simetris dengan dari jenis dan mukosa permukaan
bilateral dan tampilan retikular yang pipi yang
melibatkan jaringan dikelilingi mengalami
mukosa oleh area ulserasi dan
posterior pipi eritematosa nyeri.
dalam banyak Nikolsky sign
kasus mungkin
positif.

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


Tipe atropik dengan
Teipe reticular pada bibir Tipe erosi pada mukosa tampilan desquamativ
dan mukosa bukal bukal dengan tepi eritema gingivitis

Tipe papula pada lateral Tipe bullous pada mukosa


Tipe plaque-like pada lidah
lidah bukal

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


Purple

Plaque 5 P lesi Polygonal

kutaneus
LP
Papules Pruritic

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


DIAGNOSA
• Anamnesa
• Lesi khas pada oral dan kuku atau kulit
• biopsi

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


DIAGNOSA BANDING
• Oral Lichenoid Reaction
• Cheek biting/ frictional keratosis
• Leukoplakia
• Lupus erythematous
• Pemphigus
• Mucus membrane pemphigoid
• Erythematous candidiasis
• Chronic ulcerative stomatitis

(Cardova dkk, 2014, Siponen dkk, 2017, Langlais dkk, 2012)


PENATALAKSANAAN
• Obat topical: kortikosteroid, immunosuppresan, retinoid, dan immunomodulator
• Obat sistemik: thalidomide, griseofulvin, metronidazole, hydroxychloroquine, retinoid dan
kortikosteroid
• Bedah eksisi, cryotherapy, laser CO2
• Photo chemotherapy, menggunakan ultraviolet A (UVA) dengan panjang gelombang antara 320 –
400 nm, setelah injeksi psoralen

(Cardova dkk, 2014)


DAFTAR PUSTAKA
• Warnakulasriya, Saman. Clinical features and presentation of oral potentially malignant disorder. Oral and maxilla facial
pathology journal. 2018; Vol. 125 (6); 582-590
• Yardimci, Gurkan. et al. pra cancerous lesion of oral mucosa. World journal of clinical cases. 2014; 2 (12): 866-872
• Deliverska, E G. Petkova M. Management of Oral Leukoplakia - Analysis of The Literature. Journal of International
Medical Association Bulgaria. 2017; 23 (1): 1495 - 1504
• Kumar, Amit. Et al. A Study on Clinicoetiopathogenesis of Oral Precancerous Lesion in Jharkhand. International Journal
of Contemporary Medical Research. 2016; 3 (9): 2691-2693
• Messadi, Diana V. Diagnostic aids for detection of oral precancerous conditions. International Journal of Oral Science.
2013; 5: 59–65
• Gupta, Sonia. Jawanda, Manveen Kaur. Oral Lichen Planus: An Update on Etiology, Pathogenesis, Clinical Presentation,
Diagnosis and Management. Indian Journal of Dermatology. 2015; 60(3): 222–229
• Yoithapprabhunath, Thukanavkanpalayam Ragunathan. Pathogenesis and therapeutic intervention of oral submucous
fibrosis. Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences. 2013; 5(1): S85–S88
DAFTAR PUSTAKA
• Cowson R A. Odell E W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology And
Oral Medicine. Philadelphia: Elsevier.
• Villa, A. Villa, C. Abati, S. Oral Cancer and Oral Erythroplakia: an Update
and Implication for Clinicians. Australian Dental Journal. 2011; 56: 253–256
TUMOR JINAK
MUCOSA MULUT
Oleh :
Dr.Drg Maharani , Sp PM
Tumor jinak
Papilloma
Codyloma accuminatum
Warts(verrucae vulgaris)
Papilloma
papilla yang berwarna pink seperti
gingival, lembut dan keratosis yang
minimal.
menunjukkan eksofitik, seperti jari-jari
pada stratified squamous epithelium yang
menunjukkan variasi ketebalan pada
keratin layer (parakeratin)
Penularan HPV adalah melalui kontak
dan transmisi langsung pada mukosa.
Virus akan berpindah atau menular pada
individu lainnya kemungkinan karena
adanya kontak pada erosi atau laserasi di
epitel mukosa sehingga virus bisa
mencapai sel basalis pada epitel mukosa.
Condyloma acuminatum
Secara klinis Condyloma acuminarum
berbentuk papilla ygng berwarna pink
dan lembut terdapat pada palatum dan
lidah.
penyakit seksual yang muncul karena
HPV ini adalah venereal warts yaitu
Condyloma accuminatum yang muncul
di rongga mulut karena orogenital sexsual
kontak.
Veruccae Vulgaris (warts)
Lesi wart pada kulit yang sering muncul
pada vermillion border, atau pada
rongga mulut. Lesi ini dapat terjadi pada
semua usia, lebih sering pada anak-anak
dan dewasa. Pada rongga mulut, lesi ini
sering terjadi pada lapisan berkeratin
seperti gingival dan palatum.
Verruca menempel menjadi satu pada
lapisan dibawahnya (tidak bertangkai),
oval, putih dan berasal dari keratin layer
yang menebal pada permukaan mukosa.
Pada anak-anak dengan lesi wart (kutil)
pada jari-jarinya dapat menularkan lesi ini
pada bibirnya, oleh karena kebiasaan
menghisap jari.
Pada rongga mulut sering terdapat lesi
verrucae vulgaris karena tertular dari
verruca vulgaris (warts) dari kulit tangan
karena menggigit lesi tersebut.
Potensi Menjadi Keganasan
beberapa kasus infeksi HPV yang
persisten dapat mengarah pada
perkembangan kanker. Sebagian besar
infeksi HPV dapat dieliminasi oleh sistem
kekebalan tubuh, sehingga tampak
tanpa gejala.
Jenis resiko rendah yang berhubungan
dengan tumor jinak dan beresiko tinggi
yang berpotensi dengan terjadinya
keganasan seperti displasia pada epitel
skuamosa dan karsinoma. HPV-6 dan 11
beresiko rendah
HPV-16, 18, 31, dan 33 seringkali
berhubungan dengan terjadinya displasia
dan OSCC.
Mekanisme HPV dapat menyebabkan
terjadinya keganasan adalah protein E6
memicu kerusakan pada p53 gen
penekan tumor, dan terdapat protein E7
memicu kerusakan pada pRB
(Retinoblastoma protein).
MELANOMA
MALIGNANT
OLEH :

Dr.Maharani L.A,drg.,SpPM
DEFINISI

Keganasan yang terjadi pada sel


melanosit
ETIOLOGI

Belum diketahui dengan jelas. Hal ini


bisa disebabkan beberapa faktor resiko
seperti genetik dan lingkungan (sinar
matahari, bahan kimia).
EPIDEMIOLOGI

• Melanoma malignant pada kulit  > 20


tahun dam 15-30 per 100.000/ th.
• Pada rongga mulut  0,5-1,5% dari
semua kasus melanoma malignant.
• US n UK jarang terjadi.
• Biasanya coklat gelap atau hitam, tetapi
15% berwarna merah (tidak berwarna).
• Sering pada usia 40-60 tahun.
MANIFESTASI KLINIS

• Makula atau nodula bahkan ulserasi


 sering pada palatum.
• Bentuknya adalah massa kemerahan,
awalnya asimtomatik atau sakit dan
mudah berdarah.
SUPERFICIAL SPREADING
MELANOMA

Datar atau peninggian kecoklatan atau


plak hitam dengan pinggir irreguler
yang meluas ke pinggir.
NODULAR MELANOMA

peninggian hitam atau nodul merah kecoklatan


yang tumbuh cepat, mudah berdarah dan
mungkin terjadi ulserasi.
LENTIGO MALIGNA MELANOMA

plak melanotik atau nodul yang


berkembang pada lesi yang udah
ada sebelumnya.
Palatum, gingiva atas, dan mukosa
alveolar adalah yang terletak pada
daerah yang sering terjadi keganasan
DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang (excisional biopsy 
pemeriksaan histopatologi )
DIAGNOSIS BANDING

Nevus pigmentosus, kaposi sarkoma


TERAPI
• Sebelum tindakan  tipe melanoma
seperti
1. kedalaman dan level invasif
2. ada tidaknya ulserasi
3. metastasis.
• Eksisi diserta kemoterapi dan atau
radioterapi.
PROGNOSIS

Buruk  terlambat deteksi atau ada


metastasis.
ORAL SQUAMOUS CELL
CARSINOMA (OSCC)
Oleh :
Drg Maharani L.A, Sp PM
DEFINISI

• Tumor ganas pada rongga mulut yang


berasal dari epitel mukosa
• 90% kanker pada rongga mulut adalah
SCC yang berasal dari mukosa epitel
• Tumor yang paling sering terjadi pada
rongga mulut
EPIDEMIOLOGI

• OSCC 2% diantara semua kanker ganas


di UK dan USA
• OSCC 40% diantara semua kanker di
India dan Srilanka
• 98% pada usia >40 th, yg terbanyak usia
30-50 tahun
• Di Inggris, laki : wanita = 3 : 2
ETIOLOGI

• Bahan karsinogen : tembakau, alkohol.


• Sinar matahari
• Infeksi : bakteri (sifilis), jamur
(candidiasis), virus DNA (HPV & EBV)
• Penyakit pd mukosa ( lichenplanus, OSF)
• Keturunan
MANIFESTASI KLINIS
• Tahap awal : asimtomatis, kemerahan
tanpa rasa sakit, plak putih, persisten
ulserasi (dalam 10 hari), erosi dg krusta
contohnya: pada erythroplakia dan
speckled leukoplakia
• Tahap lanjut : pembesaran & indurasi,
perubahan warna, ulserasi dg batas
irregular tanpa rasa sakit, kerusakan
periodontal, pembesaran limfe node.
• Tahap serius : rasa sakit krn makanan
pedas atau berbumbu dan perdarahan
spontan
• OSCC terletak pada: bibir, lidah, dasar
mulut, alveolar, mukosa pipi dan palatum.
GAMBARAN HISTOPATOLOGI

a. Well-diff erentiated squamous cell carcinoma. b. Moderately


diff erentiated squamous cell carcinoma. c Poorly differentiated
squamous cell carcinoma
DIAGNOSIS

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Toluidine Blue
4. Brush biopsi
5. Pembedahan : eksisi dan insisi
6. Molecular genetic markers
DIAGNOSIS BANDING

• OSCC Pada bibir  herpes labialis


• OSCC pada lidah  Tuberculous ulcer
• OSCC pada palatum  gumma
PENATALAKSANAAN

• Tergantung pada stadium kanker, usia


dan kondisi umum penderita
• Radioterapi, pembedahan, kombinasi
keduanya, kemoterapi
PROGNOSIS
• Prognosis tergantung atas stadium kanker
• 5 tahun setelah penatalaksanaan kanker
ada kekambuhan atau tidak
• Setelah perawatan kanker menghindari
bahan-bahan karsinogenik seperti alkohol
dan tembakau.
REFERENSI

• Laskaris George. Treatment of Oral Disease : A


Concise Textbook, Thieme, Stuttgart, New York,
2005 ; p.
• Cawson R.A, Odell E.W. Cawson’s Essentials of
Oral Pathology And Oral Medicine, 7 th Ed .
Churchill Livingstone,London, 2002 ; p.
• Cardesa A, Slootweg PJ. Pathology of The Head
and Neck.Springer.Verlag Berlin Heidelber.
2006 ; p.
MUCOSITIS PASCA TERAPI
CANCER
Oleh:
Drg Maharani L.A, Sp PM
• Definisi :
– Mucositis ialah reaksi radang yang terjadi pada GIT
(dari mulut sampai anus) akibat agen khemoterapi
atau radiasi.
• Insidens : 30% - 69%
• Bila tak ada komplikasi  self limited, sembuh
dalam 2 – 4 minggu
• Pada penderita dengan gangguan imun dapat
komplikasi oleh infeksi lokal maupun sistemik
• Etiologi :
– Ratio pertumbuhan dan reparasi epitel rusak
(akibat radiasi)
– Penekanan pembentukan sel baru (akibat
khemoterapi)
• Resiko meningkat pada :
– Oral hygiene jelek
– Pemakai tembakau
– Hiposalivasi
– Usia lanjut
– Kombinasi khemotx
– Restorasi metal
• Patogenesis :
– Akibat radiasi
– Akibat khemoterapi

Akibat radiasi :
• Akut :
– Toxisitas langsung jaringan  rusak timbul pada minggu
ke II, membaik setelah 2 – 4 minggu dihentikan
• Kronis :
– Penurunan suplai darah  atrofi epitel
– Fibrosis jar. ikat dan otot  atrofi dan rasa terbakar pada
mukosa, gangguan fungsi rahang
– Asini kelenjar saliva rusak
– Hipovaskuler dan hiposeluler pd tulang 
osteoradionekrosis
Akibat Khemoterapi
• Efek langsung :
– Mucositis, xerostomia, neurotoxicyti
• Efek tak langsung :
– Infeksi, perdarahan oral
• Efek samping :
– tergantung dosis berulang dan kombinasi radiasi ;
menekan pementukan sel baru  penipisan epitel
• Tidak semua khemo menyebabkan,
• Penyebab a.l : bleomycin, vinblastine, vincristine,
adriamycin, methotrexate, dactinomycin,
mitomycin, hydromyurea.
• Klinis :
– Terutama terjadi pada mukosa oral yang tidak
berkeratin
– Lesi putih hyperkeratinisasi dan edema
intraepitel
– Lesi merah hyperemia dan penipisan epitel
– Erosi dan ulserasi, tertutup pseudomembran
– Rasa terbakar, nyeri, xerostomia, hilang
pengecapan
– Penderita neutropenia  sepsis systemik
Penatalaksanaan
• Oral hygiene
• Mencegah infeksi
• Pemberian antiinflammatory agents
• Menghambat ROS
• Mengubah fungsi saliva
• Azelastine, cryotherapy, glutamine,
coating agents,terapi laser, GH
DIAGNOSIS
• Berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis
• Tingkat keparahan mukositis akibat radiasi
dapat dilihat melalui kadar plasma
glutamyl-cysteinyl-glycine (GSH)
DIAGNOSIS BANDING
• Erythema multiforme
• Stomatitis alergika
PERAWATAN
• Oral pretreatment untuk menjaga OH
harus dilakukan sebelum terapi kanker
• Stop alkohol dan pemakaian tembakau
• Terapi radiasi dalam dosis yang dibagi
(ada masa istirahat)
• Topikal :
– Anaestetikum topikal (misalnya lidokain, benzocain
Hcl, Dyclonine Hcl, Dipenhidramin Hcl)
– Kortikosteroid in orabase
– Tacrolimus ointment
– Kumur benzydamine 0,15%
– Diluting agent ( Saline, Kumur Bikarbonat, Air,
Hidrogen peroksida 1%)
Systemik :
– Kortikosteroid misal : prednison 15 – 20
mg/hr, 2 – 3 minggu dikombinasi dengan B
komplex
– Suplemen Zinc sulfat
– Amifostine (radioproteksi kimia) untuk
mencegah mukositis dan disfungsi kelenjar
saliva
Terima Kasih
Kelainan Darah
Tujuan Instruksional
UMUM KHUSUS

✗ Membuat diagnosis klinis kelainan darah ✗ Menjelaskan definisi kelainan darah (anemia dan leukemia)
(anemia dan leukimia) sendiri ✗ Menjelaskan etiologi kelainan darah (anemia dan leukemia)
berdasarkan pemeriksaan fisik dan ✗ Menjelaskan epidemiologi kelainan darah (anemia dan leukemia)
pemeriksaan penunjang sederhana ✗ Menjelaskan patogenesis kelainan darah (anemia dan leukemia)
✗ Menjelaskan diagnosis kelainan darah (anemia dan leukemia)
✗ Menentukan kapan pasien dengan
✗ Menjelaskan diagnosis banding kelainan darah (anemia dan leukemia)
kelainan darah (anemia dan leukemia)
perlu dirujuk kepada spesialis yang ✗ Menjelaskan penatalaksanaan kelainan darah (anemia dan leukemia)

sesuai

2
Hello!
drg. Selviana R Pramitha
Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Lambung Mangkurat

3
1
PENDAHULUAN
Let’s start with the first set of slides
Disebut jaringan karena
mengandung sel-sel terspesialisasi
yang serupa dengan fungsi khusus

Darah adalah cairan transpor


yang dipompa dari jantung Disebut cairan karena terdapat
ke seluruh tubuh hingga liquid matrix (plasma) yang
mengalirkan sel-sel tersebut ke
kembali ke jantung (Rogers, seluruh tubuh

2011)

5
Komponen Darah
Plasma Sel Darah
Air Eritrosit

Protein
Trombosit
Albumin
Globulin Leukosit
Sitokin Limfosit

Lipid Fagosit

Glukosa

6
✗ Laki-laki ✗ Perempuan

Hematokrit 45% Hematokrit 42%

55% Plasma 58% Plasma

7
HEMATOPOIESIS
Sel induk pluripoten
berdiferensiasi menjadi
sel limfopoetik dan
hematopetik

8
9
Komponen Darah

10
PLASMA DARAH
✗ Media transport nutrisi dan produk limbah
metabolism untuk sekresi
✗ Komposisi: 90% air, protein, lipid, glukosa, dan
komponen inorganik

11
SEL DARAH - Eritrosit
✗ Media transport oksigen dan limbah metabolism
untuk disekresi
✗ Jumlah rata-rata eritrosit 5 juta mm3
✗ Bentuk memudahkan difusi oksigen
✗ Bikonkaf (penampang lebih luas)
✗ Tipis (mudah difusi eksterior ke interior)
✗ Struktur memungkinkan ikatan dg oksigen
✗ Tanpa nucleus
✗ Hemoglobin

12
Nilai Absolut eritrosit
Komponen Laki-laki Perempuan

Hemoglobin (Hb) 12,5 – 18,0 gr/dL 12,0 – 16,5 gr/dL

Packed Cell Volume 40% - 54% 35% - 47%


(PCV)
Mean Corpuscular 80 – 100
Volume (MCV)
Mean Corpuscular 27 – 32 pg/dL
Hemoglobin (MCH

13
ERITROPOIESIS
BFU-E
Eritropoietin menstimulasi
Penurunan kadar Ginjal menghasilkan Hematopoietic Stem Cells
O2 di ginjal eritropoietin (HSC)
CFU-E

Eritrosit

14
15
SEL DARAH - Leukosit
✗ Jumlah normal 4,500 – 11,000 mm3
✗ Bentuk:
✗ Memiliki nucleus
✗ Independently motile
✗ Lack of hemoglobin

16
✗ Three major classes berdasarkan fungsinya:
✗ Lymphocytes (specific recognition)
Limfosit B,limfosit T, NK cells

✗ Granulocytes (mediator alergi dan inflamasi)


Neutrophils, Eosinophils, Basophils

✗ Monocytes (fagositosis)
Macrophages

17
LEUKOCYTE FORMATION

18
19
SEL DARAH - Trombosit
✗ Fragmen sel kecil yang berasal dari
megakariosit
✗ Jumlah normal 150.000-400.000 mm3
✗ Untuk hemostasis, pencegahan dan control
perdarahan
✗ Struktur:
✗ Tidak bernukleus
✗ Tidak mampu berproliferasi

20
Kelainan Darah
Rusaknya fungsi sistematis atau susunan dari normal (Oxford Languages, 2020)

Jumlah

Ukuran

Struktur

21
2. ANEMIA

22
Definisi
Kondisi dimana sel darah
merah mengalami
penurunan jumlah,
volume atau defisiensi
hemoglobin.

23
KLASIFIKASI

Megaloblastic Iron Deficiency Hemolytic


Anemia Anemia Anemia

24
Megaloblastik Anemia
✗ Macrositik  anemia pernisiosa  autoimun 
atropi mukosa gatritis atau karena obat (cth
penythoin)
✗ Defisiensi asam folat, vit B12, zat besi
✗ MCV diatas normal

25
Megaloblastik Anemia
✗ Etiologi : intake kurang atau perdarahan
(menstruasi, gastrointestinal bleeding)
✗ Normositik - Mikrositik
✗ Tahapan Defisiensi Besi :
1. Pre latent : fe berkurang tetapi hb dan serum ferritin
normal
2. Latent 1: fe habis, serum feritin berkurang, hb normal
3. Latent 2: fe habis, serum ferritin berkurang, hb turun

26
Anemia Hemolitik
✗ Terjadi kerusakan eritrosit
✗ Waktu hidup sel eritrosit kurang dr 100 hr
✗ Faktor instrinsik mengalami kerusakan
✗ Etiologi : obat-obatan tertentu , penyakit Sickle
cell disease (diwariskan autosomal ressesive
dg kondisi Hb abnormal)

27
Klasifikasi Berdasarkan Struktur
✗ Makrocytic anemia
✗ Ukuran lebih besar dari normal karena gangguan produksi RBCs
✗ Normocytic anemia
✗ Struktur normal tp terdapat penurunan jumlah RBCs
✗ Simple microcytic anemia
✗ Ukuran lebih kecil dari normal
✗ Microcytic hypochromic anemia
✗ Ukuran lebih kecil dan kadar hemoglobin rendah Ukuran Corpus RBCs
Mikrositik MCV<80fl
Normositik MCV 80-96 fl
Makrositik MCV>96fl
Hemoglobin Concentration
Hipokromik MCH<28 pg,
Normokromik MCH 33-36 pg

28
Epidemiologi
✗ 1.62 juta ✗ Highest in pre- ✗ Lowest in men
milyar school
populasi children
(24.8%)

29
Patofisiologi kelainan RM
akibat anemia

Transport oksigen & aktivitas enzim-enzim


ANEMIA nutrisi terganggu mitokondria dalam sel

proses differensiasi terminal sel-sel epithel differensiasi &


menuju stratum korneum terhambat pertumbuhan
sel epitel terhambat.

hilangnya keratinisasi normal, Mudah Ulserasi


mukosa mulut menjadi lebih tipis,
atropi,
Diagnosis
✗ Klinis – ✗ Klinis – Intraoral ✗ Penunjang
Ekstraoral ✗ Glossitis ✗ Complete
✗ Glossodynia blood count
(rasa terbakar (jumlah sel
pada lidah
darah merah,
✗ angular cheilitis
kadar
✗ stomatitis aftosa hemoglobin,
rekuren
MCV, MCHC)
✗ burning mouth
✗ Pemeriksaan
mikroskopis

31
Penatalaksanaan
✗ Ob kumur Benzydamin Hcl  3 x 1 sesudah
makan

✗ Suplemen berisi Fe glukonat 250 mg, mangan


sulfat 0,2 mg, tembaga sulfat 0,2 mg, vitamin
C 50 mg, asam folat 1 mg, vitamin B12 
2X1 / hari selama 2 minggu dilanjutkan 1x1 /
hari selama sebulan

32
Rujuk
✗ Persistent unexplained anemia
✗ Suboptimal response to oral iron therapy
✗ B12 deficiency of uncertain cause requiring
further investigation

33
3. leukemia

34
Definisi
Proliferasi klona sel
induk hemapoietik yang
mengalami gangguan
diferensiasi, regulasi dan
apoptosis

35
Klasifikasi
✗ Myeloid ✗ Lymfoblastik
✗ Akut ✗ Akut
✗ Kronis ✗ Kronis

36
Leukemia akut
✗ Acute Myelogenic ✗ Acute Lymphoblastic
Leukemia (AML) Leukemia (ALL)
✗ Myeloblast ✗ Sel limfatik yang
neutrophil, jarang belum matang
sekali myeloblast ✗ Pada anak-anak
monosit (75%) dan
✗ Remaja dan orang dewasa (10-15%)
dewasa

37
✗ AML ✗ ALL

38
Leukemia Kronis
✗ Chronic Myelogenic ✗ Chronic Lymphocytic
Leukemia (CML) Leukemia (ALL)
✗ Myelocytes ✗ Benign
✗ Usia 30-60 ✗ Limfosit dalam
darah
✗ Usia di atas 50
tahun

39
40
Etiologi
✗ Belum ✗ Radiasi ✗ Genetik
diketahui ✗ Kemoterapi
✗ Kelainan
✗ Senyawa kimia
kromosom
pabrik
/kromoso
✗ Benzene m
Philadelp
hia

41
Epidemiologi
✗ 2.9% of all ✗ 4.1% cancer
cancer death

42
patogenesis
Mutasi gen HSC Diferensiasi MPP

Myeloblast

Translokasi chromosome
22 dan 9 (BCR-ABL) CML Myelocyte

Lymphblast

Lymphocyte

43
Diagnosis
✗ Klinis ✗ Easy bruising and ✗ Penunjang
bleeding (lack of
✗ Penurunan platelets) ✗ Pemeriksaan darah
leukosit dan ✗ Ptechial hemorrage on lengkap
eritrosit hard and soft palate
(myelophthisic ✗ Gingival hemorrhage ✗ Biopsi sumsum tulang
anemia) ✗ Ulceration
■ Pemeriksaan
✗ Gingival enlargement kromosom
✗ Fatigue philadelphia

✗ Easy tiring ✗ Imunohistokimia


✗ Dyspnea on ■ Myeloperoksidase
mild exertion
■ Lysozyme

44
Perbedaan Klasifikasi Leukimia
Akut Kronik
Berkembang secara cepat Berkembang secara lambat
Perlu penatalaksanaan segera Penatalaksanaan dapat ditunda
Umum pada usia muda Umum pada usia yang lebih dewasa
Gejala dan manifestasi berat, karena: Dapat bersifat asimptomatik, karena:
a. Hemapoietic crowding (kepadatan sum-sum a. Diferensiasi menjadi eritrosit dan megakariosit
diisi myeloblast/lymphoblast sehingga untuk menjadi platelet tidak terpengaruh
mencegah pembentukan sel darah yang karena peningkatan diferensiasi terjadi dari
lain) tahap myeloblast menjadi myelocyte
b. Mutasi gen menyebabkan myeloid stem cell b. Myelocyte sudah memiliki sejumlah granula
lebih banyak berdiferensiasi menjadi yang merupakan mediator inflamasi untuk
myeloblast drpd erythroblast maupun pertahanan tubuh
megakaryocyte c. Lymphocyte pada CLL sudah matang untuk
c. Myeloblast dan lymphoblast tidak matang pertahanan tubuh
sehingga fungsi pertahanan tubuh menurun

45
46
Diagnosis Banding
Polisitemia vera
✗ Persamaan:
1. Pemeriksaan darah peningkatan leukosit
2. Secara klinis splenomegaly & hepatomegaly 
perdarahan.
✗ Perbedaan:
1. Sel termutasi bukan hanya myeloid, tetapi juga erythroid &
megakaryocyte.
2. Hasil biopsi tidak ada fibrosis bone marrow.
1. Tidak ada kromosom philadelphia.

47
Penatalaksanaan
✗ Rujuk ✗ Kemoterapi
✗ Sp.PD ✗ Tirosin kinase inhibitor
(Hematologi- ✗ Allogenic HSC transplantation
Onkologi)

48
✗ Leukemia Akut
1. ALL  kemoterapi & kortikosteroid  leukemia CNS.
2. AML, pasien cepat mengalami kematian setelah
didiagnosiskemoterapi & obat-obat antikanker.
3. Anemia berattransfusi darah
4. Transplantasi bone marrow
5. Rongga Mulut  mencegah infeksi lebih parah 
obat kumur klorhexidin 0,2 % dan tetracyclin

49
✗ Leukemia Kronis
Pada CML
1. Monitoring  gejala leukemia akut
2. Busulfan kemoterapi & radiasi  transplantasi bone
marrow
Pada CLL
1. Chlorambucil & Fludarabin
2. Bila muncul gejala anemia & limfadenopati  kemoterapi
Pada Rongga Mulut  perawatan rutin

50
Panduan Rujukan
✗ Rujukan ke Sp Patologi Klinik:
✗ Pucat yang tidak biasa
✗ Kelelahan ekstrim (fatigue)
✗ Demam tinggi
✗ Pembesaran kelenjar limfe
✗ Nyeri tulang yang tidak hilang
✗ Memar atau perdarahan tanpa alasan yang jelas

✗ Rujukan ke Sp.PD Hemato-Onkologi:

✗ Anak-anak dan remaja dengan gejala


■ Unexplained petechiae – bintik merah ungu yang tidak diketahui penyebabnya pada
kulit
■ Pembesaran hati dan kelenjar limfa

51
52
BENIGN LESIONS
drg. Selviana Rizky
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Mahasiswa mampu:

DIAGNOSIS Pemeriksaan Fisik


Membuat diagnosis klinis Pemeriksaan ekstraoral
sendiri berdasarkan Pemeriksaan intraoral
pemeriksaan

PENATALAKSANAAN Pemeriksaan Penunjang


Mengelola sendiri suatu Laboratorium sederhana
penyakit Rontgen
“Only those who attempt the absurd can achieve
the impossible.”

— ALBERT EINSTEIN
1. APA ITU
BENIGN
BENIGN NEOPLASM
LESIONS?
BENIGN LESION
Topik MK membahas mengenai benign
white oral mucosal lesion yang terdiri
dari:

Smokeless Tobacco Keratosis

Smokers’ Palate

WHOA! Frictional Keratosis

Leukoedema

White Sponge Nevus

Morsicatio

Hairy Tongue
01
DEFINISI BENIGN LESIONS
ETIMOLOGI BENIGN LESION?

LESION
Perubahan abnormal pada
jaringan atau organ akibat
cidera atau penyakit
BENIGN (Merriam-Webster, 2020)
BENIGN LESION:
Tidak memiliki efek Pertumbuhan mukosa oral
membahayakan (Oxford yang tidak membahayakan
Languages, 2020) tubuh (Cash et al, 2010)
02
MACAM-MACAM BENIGN LESIONS
Benign white oral mucosal lesions
A. SMOKELESS TOBACCO KERATOSIS EPIDEMIOLOGI
Asia Selatan, US, Skandinavia
US - 3% (Male (6%): Female (0.3%)
High School Stud – 7% (11:3)

DEFINISI ETIOLOGI
Reaksi toksik kelompok senyawa non- Produk smokeless tobacco:
homogen melalui metode aplikasi
intraoral: chewing tobacco, moist nitrosamine, polycyclic hydrocarbon,
snuff, dry snuff aldehyde, heavy metal, polonium 210
MANIFESTASI KLINIS
Kondisi ringan lipatan mukosa, kondisi berat
white leathery lesion. Histopatologi
menunjukkan hiperkeratinisasi, akantosis,
vakuolisasi epitel, derajat inflamasi.

DIAGNOSIS BANDING
Leukoplakia (derajat displasia)
B. SMOKER’S PALATE EPIDEMIOLOGI
0.1 – 2.5%
Umumnya pada pria yg sering
menggunakan pipe tobacco, cigarrete,
inverse smoking

DEFINISI ETIOLOGI
Lesi putih (leathered) pada palatum • Suhu panas dari rokok
perokok a.k.a nicotine stomatitis • Kombinasi suhu dan komposisi
kimia rokok
MANIFESTASI KLINIS
Palatum berwarna putih, iritasi eritematus, titik
kemerahan ductus kelenjar saliva asesoris yang
membesar (metaplasia). Histopatologi
menunjukkan hyperkeratosis, akantosis, inflamasi
subepitel ringan.

DIAGNOSIS BANDING
Oral leukoplakia, denture stomatitis
C. FRICTIONAL KERATOSIS EPIDEMIOLOGI
• 2-7% populasi
• Meningkat pada pengguna rokok
dan konsumsi alkohol

DEFINISI ETIOLOGI
Lesi putih tanpa ada kemerahan pada Trauma minor menstimulasi epitelium
mukosa rongga mulut karena adanya untuk produksi keratin
peningkatan friksi
MANIFESTASI KLINIS
• Lesi putih tanpa elemen kemerahan
• Pada daerah yang mudah mengalami friksi
seperti daerah edentulous alveolar ridge.
• Tanpa gejala

DIAGNOSIS BANDING
Homogenous leukoplakia (perbedaan
kombinasi elemen klinis, daerah yang
terlibat dan demarkasi diffuse)
D. LEUKOEDEMA EPIDEMIOLOGI
50% pada populasi Kaukasia, lebih
sering ditemui populasi berkulit hitam,
tidak ada prediliksi jenis kelamin

DEFINISI ETIOLOGI
Lesi putih merupakan varian normal Belum diketahui, diduga respon iritasi
rongga mulut lokal
MANIFESTASI KLINIS
• Lesi putih seperti beludru
• Dapat bilateral pada mukosa bukal, kadang
pada tepi lidah
• Jika diregangkan hilang

DIAGNOSIS BANDING
Leukoplakia
E. WHITE SPONGE NEVUS EPIDEMIOLOGI
• 1 : 200.000 populasi
• Umumnya pada masa remaja
• Tidak ada prediliksi jenis kelamin

DEFINISI ETIOLOGI
Penyakit autosomal dominan disertai Mutasi gen koding keratin epitel tipe K4
penetrans tinggi. dan K13
MANIFESTASI KLINIS
• Lesi putih dengan peninggian
• Tepi ireguler
• Berbentuk fisur atau plak
• Tanpa gejala, dapat disertai dispagia jika terjadi di
esofagus

DIAGNOSIS BANDING
Leukoplakia
Candidal leukoplakia
E. MORSICATIO EPIDEMIOLOGI
• Banyak ditemui pada populasi yang di bawah
stress atau tekanan psikologis
• Prevalensi meningkat pada wanita dan usia
lebih dari 35 tahun

DEFINISI ETIOLOGI
Chronic chewing of oral mucosa Kebiasaan parafungtional
(mengunyah/menggigit) yang terjadi
secara kronis
MANIFESTASI KLINIS
• Bilateral pada anterior mukosa bukal
• Penebalan, shreded, berwarna putih dengan
daerah kemerahan, erosi dan ulserasi traumatik
lokal

DIAGNOSIS BANDING
Smokeless tobacco
Linea alba
Leukoedema
G. HAIRY TONGUE EPIDEMIOLOGI
Bervariasi, 0.5-1% pada orang dewasa

DEFINISI ETIOLOGI
Gangguan deskuamasi pada papila Belum diketahui secara pasti
filiform Predisposisi: OH buruk, perubahan komposisi
mikroflora, antibiotik dan obat imunosupresif,
kadidiasis oral, konsumsi alkohol berlebih,
inaktivitas rongga mulut, terapi radiasi.
MANIFESTASI KLINIS
• Papila memanjang lebih dari 3 mm
• Pada sepertiga posterior lidah atau pada seluruh lidah
• Warna dapat mengikuti konstituen makanan atau
komposisi mikroflora
• Rasa tidak nyaman (malodor) dan mengganggu estetik

DIAGNOSIS BANDING
Oral hairy leukoplakia, OSCC
03
PEMERIKSAAN
You could enter a subtitle here if you need it
PEMERIKSAAN FISIK

01 02
Inspeksi Palpasi

03 04
Evaluasi fungsi Olfaksi
PEMERIKSAAN PENUNJANG

01 02 03

Biopsi Interpretasi
(pengambilan sampel jaringan) (pembacaan preparat)

Histopatologi
(pewarnaan)
E.REAKSI
WHITESMOKELESS
SPONGE NEVUS
TOBACCO SMOKERS’ PALATE
Hiperkeratosis, akantosis, Hiperkeratosis, akantosis, inflamasi
vakuolisasi atau edema kaya subepitel derajat rendah, metaplasia
glikogen kelenjar saliva asesoris

FRICTIONAL KERATOSIS LEUKOEDEMA


• Hiperkeratosis tanpa dysplasia Parakeratosis, akantosis, intraseluler
• Tanpa atau dengan inflamasi edema sel epitel pada stratum
subepitel ringan spinosum
E.WHITE
WHITESPONGE
SPONGENEVUS
NEVUS
• Hiperparakeratosi
• Akantosis
• Kondensasi tonofilament keratin
mononuklear

MORSICATIO HAIRY TONGUE


Penebalan lapisan parakeratin yang • Pemanjangan dan hiperkeratosis
tinggi dengan permukaan yang kasar papilla filiform disertai kolonisasi
bakteri
04
PENATALAKSANAAN
You could enter a subtitle here if you need it
WHEREVER THE ART OF MEDICINE IS LOVED,
THERE IS ALSO A LOVE OF HUMANITY
E.REAKSI
WHITESMOKELESS
SPONGE NEVUS
TOBACCO SMOKERS’ PALATE
Tergantung diagnosis HPA. Tanpa KIE lesi hilang setelah 1-2 minggu
dysplasia dapat dilakukan monitoring dan menghentikan penggunaan rokok
instruktsi untuk menghentikan
penggunaan tembakau

FRICTIONAL KERATOSIS LEUKOEDEMA


• Tidak perlu perawatan Tidak perlu perawatan
• Pemberian informasi mengenai
penyebab dan bagaimana menurunkan
factor predisposisi
E.WHITE
WHITESPONGE
SPONGENEVUS
NEVUS
• Tidak perlu perawatan, prognosis baik

MORSICATIO HAIRY TONGUE


• Tidak perlu perawatan • Eliminasi faktor predisposisi (rokok,
• Konfirmasi penyebab jaga OH)
• Perawatan preventif (e.g. pembuatan • Tongue scrapping secara periodic
pelindung akrilik)
• Keratolytic agent
LET YOUR DREAMS
BE YOUR WINGS
THANKS!
Do you have any questions?

youremail@freepik.com
+91 620 421 838
yourcompany.com

CREDITS: This presentation template was created by Slidesgo, including icons


by Flaticon, and infographics & images by Freepik
Please keep this slide for attribution
ALTERNATIVE RESOURCES
http://jurnal.fk.unand.ac.id 297

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Karsinoma Mukoepidermoid Kelenjar


Parotis

Adrian Erindra1, Sukri Rahman1, Al Hafiz1

Abstrak
Angka kejadian tumor kelenjar liur adalah sekitar 3-4 % dari semua tumor di kepala dan leher. Karsinoma
mukoepidermoid dapat melibatkan kelenjar parotis. Sering terjadi pada orang dewasa, wanita memiliki risiko lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Metode terapi utama dalam pengobatan karsinoma mucoepidermoid adalah reseksi
bedah. Terapi radiasi tanpa kemoterapi telah terbukti efektif sebagai modalitas tambahan terapi setelah terapi bedah.
Dilaporkan suatu kasus karsinoma mukoepidermoid pada seorang perempuan usia 18 tahun dengan keluhan bengkak
yang mengeluarkan cairan di bawah telinga kiri sejak 10 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan histopatologi dikonfirmasi
adalah suatu karsinoma mukoepidermoid. Ditatalaksana dengan parotidektomi superfisial dan dilanjutkan dengan
ajuvan radioterapi. Karsinoma mukoepidermoid adalah suatu karsinoma pada kelenjar liur dengan gejala berupa
benjolan yang dirasakan tanpa gejala. Reseksi bedah adalah terapi utama pada karsinoma mukoepidermoid,
radioterapi tanpa kemoterapi adalah terapi ajuvan untuk karsinoma mukoepidermoid.
Kata kunci: karsinoma mukoepidermoid, tumor kelenjar liur, parotidektomi

Abstract
The incidence of salivary gland tumors is about 3-4% of all tumors in the head and neck. Mucoepidermoid
carcinoma may involve the parotid gland. Often occurs in adults, women have a higher risk than men. The main
therapeutic methods in the treatment of mucoepidermoid carcinoma is surgical resection. Radiation therapy without
chemotherapy has been shown to be effective as an additional modality therapy after surgical therapy. Reported a
case of mucoepidermoid carcinoma in a woman aged 18 years with complaints of swelling a discharge below the left
ear since 10 years ago. On histopathologic examination confirmed is a mucoepidermoid carcinoma. Patient was
treated by superficial parotidectomi and followed by adjuvant radiotherapy. Mucoepidermoid carcinoma is a carcinoma
of the salivary glands, the most frequently encountered are usually painless, lump often without any symptoms.
Surgical resection is the primary therapy in mucoepidermoid carcinoma, radiotherapy without chemotherapy is
adjuvant therapy for mucoepidermoid carcinoma.
Keywords: mucoepidermoid carcinoma, salivary gland tumor, parotidectomy

Affiliasi penuli: 1. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Karsinoma mukoepidermoid ini sering
Andalas Padang.
ditemukan pada wanita dewasa pada usia dekade ke
Korespondensi: adrian_erindra@yahoo.com Telp: +62 8126725184
tiga hingga ke enam kehidupan. Biasanya kelenjar
parotis yang terkena adalah unilateral, walaupun ada
PENDAHULUAN ditemukan kejadian yang bilateral. 2,3,4
Karsinoma mukoepidermoid adalah neoplasma
Karsinoma mukoepidermoid pada kelenjar liur
ganas yang paling sering ditemukan pada kelenjar liur
ini, berdasarkan temuan mikroskopis dibagi menjadi 3
mayor dan minor. Karsinoma mukoepidermoid ini
klasifikasi, yaitu low grade, intermediate dan high
adalah tumor ganas terbanyak yang paling sering
grade. Penentuan klasifikasi sangat penting untuk
terjadi di kelenjar parotis.1,2

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 298

menentukan tatalaksana dan prognosis. mukoepidermoid merupakan 35% dari semua jenis
Penatalaksanaan tumor ini tergantung kepada keganasan kelenjar liur mayor dan minor, dan urutan
klasifikasi, dimana penatalaksanaan tumor low grade ke-3 terbanyak pada kelenjar liur minor setelah
dan intermediate berbeda dengan penatalaksanaan adenokarsinoma dan adenoid kistik. 4,5,7
pada tumor high grade.4,5 Insiden lebih banyak ditemukan pada
perempuan dan cenderung meningkat pada dekade ke
Kelenjar Parotis 3, sedangkan umur rata-rata onset adalah dekade ke-
Kelenjar parotis adalah sepasang kelenjar liur 5, wanita lebih sering dibandingkan pria dengan
terbesar dengan berat rata-rata 15-30 gram, berlokasi perbandingan 3:2 berdasarkan penelitian di Amerika
di regio preauricula sepanjang permukaan posterior Serikat.5,7,9,10
mandibula. Masing-masing kelenjar parotis dibagi atas Karsinoma mukoepidermoid biasanya
lobus superfisial dan lobus profunda oleh saraf fasialis. diklasifikasikan sebagai Low grade atau high grade
Lobus superfisial menutupi permukaan lateral otot tumor. Namun, beberapa ahli patologi juga
masseter disebut sebagai kelenjar bagian lateral dari mencantumkan intermediate grade. Tumor low grade
saraf fasialis. Lobus profunda terletak di medial saraf memiliki proporsi sel-sel mukosa lebih tinggi
fasialis, berlokasi diantara prosesus mastoideus dari dibandingkan dengan epidermoid. Lesi ini lebih seperti
1,2,4,5,6
tulang temporal dan ramus mandibula. tumor jinak tapi mampu merusak jaringan lokal dan
Kelenjar parotis berbatasan di bagian superior bermetastasis. Tumor high grade memiliki proporsi sel
dengan arkus zigomatikus, di bagian inferior ekor dari epidermoid yang terbanyak. Mungkin sulit untuk
kelenjar parotis meluas ke bawah dan berbatasan membedakan dari karsinoma sel skuamosa. Lesi high

dengan margin anteromedial dari otot grade adalah tumor yang agresif dengan
sternokleidomastoideus. 1,2,6 kecenderungan tinggi untuk metastasis. Lesi

Kelenjar parotis mengalirkan sekresinya ke Intermediate grade bersifat seperti tumor high
grade.7,9,10
dalam rongga mulut melalui duktus Stensen, yang
lokasinya berada di mukosa pipi pada garis oklusal Tumor yang low grade, biasanya berbatas

gigi. Panjang duktus Stensen kurang lebih 4-7 cm, tegas, mirip dengan adenoma pleomorfik, tumbuh

muncul dari anterior kelenjar parotis. Duktus ini keluar lambat tanpa disertai rasa sakit merupakan ciri khas

dari permukaan lateral otot masseter, menembus tumor ini. Secara histopatologi terdapat empat jenis

jaringan lemak pipi dan otot businator. Ujung saluran sel yang teridentifikasi yaitu sel penghasil musin, sel

ini berada di mukosa pipi berhadapan dengan gigi skuamousa, sel intermediate dan sel jernih. Tumor ini

molar atas kedua. Kelenjar parotis aksesorius dapat telah dibagi atas jenis low grade dan high grade. Pada

ditemukan di sepanjang bagian anterior kelenjar dan tumor low grade ini biasanya tidak melibatkan saraf
fasialis, namun sebaliknya pada varian tumor high
pada duktus Stensen, berkisar 20 %.2,4,5
grade saraf fasialis ini sering terlibat. Tumor ini
merupakan 35% dari seluruh jenis tumor pada kelenjar
Karsinoma Mukoepidermoid
liur, 67% diantaranya terdapat pada kelenjar parotis
Karsinoma mukoepeidermoid adalah tumor
dan 33% pada kelenjar liur minor. Meskipun tumor ini
kelenjar liur yang terdiri dari sel skuamosa neoplastik,
dapat terjadi pada remaja, namun insiden tertinggi
sel penghasil mukus dan sel epitel dari jenis
ditemukan pada orang dewasa. Umur rata-rata
intermediate. Tumor mukoepidermoid ini kemungkinan
7,9,10
berasal dari sel epitel pelapis duktus yang berpotensi penderita adalah 45 tahun.
mengalami metaplasia.5,7
Karsinoma mukoepidermoid pertama kali Radiologi
didiskripsi oleh Masson dan Berger pada tahun 1924. Sebagai bagian dari pemeriksaan di setiap lesi
Sejak saat itu, karsinoma ini lebih dikenal sebagai kepala dan leher dengan kecurigaan terhadap
suatu neoplasma pada kelenjar air liur. Karsinoma keganasan, radiologi memegang peran yang penting,

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 299

juga pada karsinoma mukoepidermoid. Setelah Penatalaksanaan


mendapatkan diagnosis patologi jaringan, atau Setiap penatalaksanaan kasus karsinoma
terdapat kecurigaan klinis yang sesuai, pencitraan mukoepidermoid selalu menyertakan eksisi bedah,
dari kepala dan leher sebaiknya dilakukan. Belum ada namun pilihan pengobatan definitif didasarkan pada
protokol pencitraan terbaik yang spesifik untuk tidak hanya stadium tumor, tetapi juga derajat tumor.
karsinoma epidermoid ini. Namun, kesepakatan umum Derajat, seperti yang dibahas sebelumnya,
dalam literatur adalah bahwa tomografi komputer (CT)
memberikan informasi tambahan untuk karakter
leher dengan atau tanpa kontras yang paling sering penyakit dan harus dicantumkan.12-16
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Temuan pada tomografi komputer untuk karsinoma Tabel 1. Derajat karsinoma mukoepidermoid.14
mukoepidermoid bervariasi tergantung pada grading
Grading Parameters and Point Values
tumor. Tumor low grade akan memiliki komponen
Parameter Point Value
kistik yang lebih besar, komponen padat yang lebih Intracystic Component <20% +2
rendah dan sedikit kalsifikasi. Jadi bila dilihat pada Neural invasion present +2
tomografi komputer, penampilan tumor low grade Necrosis present +3
akan tampak batas yang tegas antara bentuk kistik Mitosis (4 or more per 10 HPF) +3
5,7,9,11
dan padat sehingga mudah untuk dikenali. Anaplasia present +4
Lesi high grade akan sulit untuk menilai batas Grade Low Point Value

antara komponen kistik dan padat karena adanya Intermediate 0-4

infiltrasi lokal dan memiliki bentuk yang padat. Lesi High 5-6

intermediate pada umumnya akan memiliki kombinasi 7-14

sifat yang sulit untuk diklasifikasikan.9,12


Pemeriksaan Magnetic resonance imaging Seorang pasien dengan karsinoma

(MRI) sering digunakan untuk lebih memperjelas mukoepidermoid low grade mungkin cukup dilakukan
karakteristik jaringan lunak tumor dan menentukan eksisi bedah primer dengan hasil yang baik. Jika lesi
apakah terdapat invasi perineural. Umumnya tumor primer terbatas pada parotis dengan saraf fasialis
low grade akan memiliki sinyal T1 yang rendah dan yang utuh, bisa dilakukan eksisi dengan preservasi
T2 tinggi karena komponen kistik yang lebih tinggi, saraf fasialis. Beberapa penelitian telah dilakukan
sedangkan tumor high grade akan memiliki sinyal T1 mengenai pengobatan karsinoma mukoepidermoid

dan T2 rendah.9,12,13 dan sampai saat ini belum ada protokol tetap untuk
penatalaksanaannya. Salah satu studi terbesar

menyatakan bahwa ada hubungan antara


Derajat dan Stadium kelangsungan hidup bebas tumor berkaitan dengan
Derajat pada karsinoma mukoepidermoid di derajat dan stadium, angka kelangsungan hidup >95%
kelenjar liur mayor dinilai berdasarkan model gradasi untuk lesi low grade. Lesi high grade memiliki sifat
yang ditentukan dengan penelitian sebelumnya. yang lebih mirip dengan karsinoma sel skuamosa
Sebuah sistem penilaian kuantitatif berdasarkan nilai yang mencerminkan bahwa tingkat agresi tumor yang
poin untuk masing-masing lima fitur histopatologi tinggi. 14-16
digunakan sebagai landasan untuk menentukan Pasien dengan karsinoma mukoepidermoid tipe
11,12 high grade jarang dilakukan hanya eksisi bedah saja.
stadium (Tabel1).
Stadium pada karsinoma epidermoid Sampai saat ini, kemoterapi belum terbukti memiliki
menggunakan metode TNM ( T = tumor primer, N = peran dalam pengobatan keganasan kelenjar liur dan
pembesaran kelenjar getah bening regional dan M = terapi radiasi saat ini menjadi satu-satunya terapi
metastasis jauh). Referensi staging seperti yang biasa adjuvan pilihan untuk karsinoma mukoepiermoid high
digunakan dalam AJCC (American Joint Commite on grade ini. Dalam kasus mukoepidermoid high grade,
Cancer) (Tabel 2). sering dilakukan penatalaksanaan yang kompleks.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 300

Mulai dari bedah eksisi primer dengan diseksi leher kiri sejak 10 tahun yang lalu, mengeluarkan cairan
bila kelenjar getah bening terlibat dan diikuti dengan bening, tidak berwarna dan tidak berbau. Mula-mula
radiasi ajuvan.14,16 benjolan kecil, semakin lama semakin membesar,
Pada pasien tumor high grade sering tidak sejak 5 tahun yang lalu bengkak pecah sendiri dan
ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening mengeluarkan cairan bening yang tidak berbau. Saat
regional secara klinis. Padahal hampir 40% pasien ini benjolan seukuran lebih kurang sebesar bola tenis
tumor high grade melibatkan kelenjar getah bening (Gambar 1). Air liur dirasakan tidak bertambah
regional, sedangkan tumor low grade tidak ditemukan atau berkurang. Tidak terdapat hidung tersumbat,
pembesaran kelenjar getah bening. Hal ini sering
hidung berdarah, pandangan ganda, telinga
menimbulkan keraguan untuk melakukan diseksi berdenging, telinga terasa penuh, keluar cairan dari
leher.14,16 telinga, kebas dipipi kanan, maupun wajah mencong.
Tidak terdapat nyeri menelan, sukar menelan, sukar

Prognosis membuka mulut. Tidak ditemukan benjolan dileher,


ketiak maupun lipat paha.Penurunan berat badan tidak
Dalam kebanyakan kasus tumor high grade
ada, pasien sudah pernah berobat ke dokter bedah
pada karsinoma mukoepidermoid, terapi radiasi
tumor dan disarankan eksterpasi tumor dengan resiko
adjuvan dianjurkan untuk meningkatkan kontrol
wajah yang pasti mencong. Pasien tidak pernah
lokoregional. Karsinoma mukoepidermoid high grade
berobat ke dokter lagi, hanya menjalani pengobatan
adalah tumor agresif dengan prognosis yang buruk
non medis. Pasien adalah seorang pelajar.
dibandingkan varian low grade. Angka kekambuhan
lokoregional pada kasus tumor high grade terjadi pada
43,5 % kasus pada waktu 3 tahun bebas penyakit.
Sedangkan angka kelangsungan hidup 5 tahun bebas
penyakit mencapai 30 %.16,17

Tabel 2. Stadium menurut AJCC.14


ANATOMIC STAGE/PROGNOSTIC GROUPS
Stage I T1 N0 M0
a b
Stage II T2 N0 M0
Stage III T3 N0 M0 Gambar 1. Foto pasien sebelum operasi
T1 N1 M0
T2 N1 M0 Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
T3 N1 M0 umum sedang, komposmentis kooperatif, tekanan
Stage IV T4a N0 M0
darah 110/70mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit,
T4a N1 M0
suhu afebris. Pemeriksaan telinga dan hidung dalam
T1 N2 M0
batas normal. Pemeriksaan tenggorok arkus faring
T2 N2 M0
simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, dinding
T3 N2 M0
posterior faring tenang. Tidak ada tampak benjolan
T4b N2 M0
dirongga mulut dan orofaring. Pemeriksaan regio
Stage IVB T4b Any N M0
Any T
parotis dekstra didapatkan massa ukuran 7x7x6cm,
N3 M0
Stage IVC Any T Any N
kenyal padat, mobile, nyeri tekan tidak ada dan
M1
tampak ulkus. Regio coli tidak teraba pembesaran
Laporan Kasus kelenjar getah bening. Tanda parese saraf fasialis
Seorang pasien wanita umur 18 tahun dan parestesi tidak ada, House-Brackmann (HB) I.

datang pada tanggal 13 Juli 2015 ke poliklinik THT-KL Pasien di diagnosis kerja dengan tumor regio parotis

dengan keluhan utama benjolan dibawah daun telinga dekstra (Gambar 1).

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 301

Pada pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus adrenalin 1: 200.000, pada lokasi yang akan diinsisi.
(BAJAH) tanggal 13 Juli 2015, no PA SSD.0479-15 Dilakukan insisi didepan tragus, menyusuri daun
ditemukan aspirasi cairan kecoklatan. Mikroskopik telinga sampai tip mastoid, kemudian dilanjutkan insisi
tampak kelompokan sel inti monomorf dengan kohesif dilanjukan ke retroaurikula hingga daerah tepi tumor
kuat, sebagian tampak dengan stroma fibromiksoid dengan mengelilingi tumor. Batas insisi 2mm di daerah
dan fibrillar. Gambaran sitologi memberikan kesan tepi tumor. Jaringan tumor dibebaskan dari jaringan
suatu lesi jinak parotis, kemungkinan adenoma sehat di sekitarnya, sampai bertemu jaringan sehat
pleomorfik. dibawah tumor (arah medial), kemudian diidentifikasi
Pada pemeriksaan tomografi komputer parotis mastoid, otot sternokleidomastoideus dan otot
tanggal 25 Juni 2015, tampak massa padat dengan digastrikus venter posterior,identifikasi kartilago tragus
komponen kistik multiloculated yang mengobliterasi (tragal pointer). Tampak cabang utama dari saraf
kelenjar parotis kiri, batas tak tegas, tepi ireguler yang fasialis dan ditelusuri, dilakukan eksisi jaringan tumor,
melibatkan kutis dan sub kutis. Ukuran 5,5x6x6,67cm. tampak bagian jaringan yang sudah mengalami
Memberikan kesan massa di regio parotis kiri suspek infeksi. Dilakukan diseksi dan pengangkatan tumor.
tumor parotis yang mendorong nasofaring kiri Perdarahan dirawat, dilakukan pemasangan drain,
(Gambar 2). dilakukan penjahitan luka operasi lapis demi lapis
Hasil laboratorium darah dalam batas normal. dan terakhir dilakukan penjahitan kulit dengan
Berdasarkan data klinis diatas, pasien di diagnosis Prolene 5.0, operasi selesai.
dengan adenoma pleomorfik parotis sinistra dan Pasca operasi diberikan terapi injeksi
direncanakan parotidektomi superfisial. antibiotik sefoperazon 2x1 gram intra vena (iv), injeksi
deksametason 3x5 mg (iv), injeksi ranitidin 2x50 mg
(iv), tramadol 50mg drip dalam larutan Ringer Laktat 8
jam/kolf. Pasca operasi hari pertama tidak ditemukan
wajah mencong, tidak dijumpai pipi kebas dan demam.
Pada drain terdapat darah ± 50 cc, status lokalis
telinga, hidung dan tenggorok dalam batas normal.
Pemeriksaan saraf fasialis, House-Brackmann (HB) I.
Pada hari ke-3 pasca operasi, tidak ada wajah
kebas dan demam, drain darah ±5 cc, dilakukan
pembukaan perban dan drain, didapatkan luka operasi
tenang, terapi deksametason dihentikan dan diganti
dengan thinoridine HCl 3x1 tablet. Hasil pemeriksaan
histopatologi dengan hasil tampak dibawah epitel
Gambar 2. CT Scan potongan Axial.
berlapis gepeng proliferasi hebat sel kelenjar dengan
sel pleomorfik, inti vesikuler, nukleoli nyata. Sebagian
Pada tanggal 10 agustus 2015, dilakukan
tumbuh memadat, sebagian menunjukkan adanya
operasi parotidektomi superfisial dengan preservasi
musin, banyak jaringan ikat, jaringan fibrotik yang
saraf fasalis atas indikasi adenoma pleomorfik parotis
hebat dengan infiltrasi sel dan tampak pertumbuhan
sinistra dalam anestesi umum. Pasien tidur dengan
berpapil papil. Kesan adalah suatu karsinoma
posisi kepala lebih tinggi 30 derajat dengan wajah
mukoepidermoid kelenjar liur low grade stadium III (
mengarah kesisi kanan dalam anastesi umum,
T3N0M0) (Gambar 3).
dilakukan tindakan aseptik-antiseptik pada daerah
lapangan operasi, dilakukan infitrasi dengan obat

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 302

a b

Gambar 3. Hasil pemeriksaan histopatologi. Gambar 4. Foto pasien 15 hari post operasi.

Hari ke 4 pasca operasi, pasien pulang, DISKUSI


dilakukan penggantian perban. Tidak ditemukan wajah Telah dilaporkan seorang wanita berusia 18
mencong dan ludah bercampur darah. Dilakukan tahun dengan diagnosis pre operasi adenoma
pembukaan jahitan selang-seling, pasien diberikan pleomorfik parotis sinistra. Pada pasien ini diagnosis
terapi levofloxasin 1x500 mg, thinoridine HCl 3x1 suatu adenoma pleomorfik parotis sinistra sesuai
tablet dan asam mefenamat yang diberikan apabila dengan hasil BAJAH yang memberikan kesan suatu
nyeri. lesi jinak parotis, kemungkinan pleomorfik adenoma.
Kontrol hari ke 7 pasca operasi, luka jahitan dengan hasil tomografi komputer parotis dengan
baik, terdapat cairan dari bagian belakang telinga kesan, suatu massa di regio parotis kiri yang
±2cc, berwarna kuning muda, encer, tidak berbau. mendorong nasofaring kiri.
Cairan tidak bertambah banyak saat pasien makan. Pada pasien ini dilakukan operasi parotidektomi
Luka jahitan tenang, dilakukan pembukaan jahitan superfisial dengan preservasi saraf fasialis, karena
parotidektomi superfisial adalah standar operasi untuk
seluruhnya. Terapi pasien dilanjutkan. Pada pasien
pengangkatan tumor pada lobus superfisialis.13,14
dianjurkan agar mengganti kasa pembalut luka apabila
Massa tumor dapat dibebaskan dengan baik, dapat
basah. Terapi dilanjutkan dengan levofloxasin
diangkat secara utuh, karena massa tumor tidak
1x500mg dan thinoridine HCl 2x1 tablet, Asam
melibatkan syaraf fasialis juga tidak mengenai lobus
mefenamat diminum bila nyeri. Pasien dianjurkan
profunda dari kelenjar parotis.
untuk kontrol 3 hari lagi.
Fistula kelenjar liur merupakan komplikasi yang
Kontrol hari ke 11 pasca operasi, keluhan
sering muncul setelah dilakukan parotidektomi,
wajah mencong tidak ada, luka jahitan tampak baik,
dimana air liur akan berkumpul di daerah bekas
masih terdapat cairan dari bagian belakang telinga
operasi, sehingga cairan yang terkumpul ini akan
dengan jumlah yang sedikit. Luka bekas operasi
keluar melalui celah sehingga terbentuk fistula.
dibersihkan dan ditutup perban. Pasien tetap
Kondisi ini biasanya akan berhenti sendiri karena air
dianjurkan mengganti kasa pembalut apabila basah.
liur yang terkumpul dapat diserap kembali. Pada
Pasien dianjurkan kontrol 5 hari lagi (Gambar 4).
pasien ini fistula menutup sendiri setelah 15 hari pasca
Kontrol hari ke 15, luka jahitan baik, tidak ada
operasi.5,16
cairan keluar atau merembes di bagian belakang
telinga (Gambar 4). Pasien disarankan untuk kontrol
Pasca operasi, dilakukan pemeriksaan
dua minggu sekali untuk menilai penyembuhan luka,
histopatologi tumor dan didapatkan suatu karsinoma
melihat adanya suatu komplikasi dari operasi.
mukoepidermoid. Keganasan pada kelenjar liur
Selanjutnya pasien dikonsul ke bagian radioterapi
merupakan suatu kasus yang jarang ditemukan.
untuk menjalani radioterapi ajuvan sebanyak 6600 Boukheris17 menyampaikan bahwa angka kejadian
centigrey yang terfraksinasi sebanyak 33 kali.
karsinoma ini sekitar 12 % dari kanker mulut & faring.
.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 303

Kasus ini sering terjadi pada daerah dengan bebas tumor pada pasien-pasien karsinoma
paparan sinar ultraviolet yang lebih tinggi. Karsinoma mukoepidermoid yang mendapat radioterapi ajuvan,
hingga follow up tahun ke 14 mencapai 90%.7 Pasien
mukoepidermoid dari kelenjar liur diyakini muncul dari
cadangan pluripotent sel dari saluran-saluran ini mendapatkan dosis radiasi sebesar 6600 centigray
ekskretoris yang mampu terdiri dari epitel skuamosa, yang terfraksinasi sebanyak 33x (setiap kali
kolumnar dan sel-sel mukosa. Angka kejadiannya pemberian dengan dosis 200 centigray).
kurang dari 10% dari semua tumor kelenjar liur,
merupakan sekitar 30% dari semua tumor ganas dari SIMPULAN
kelenjar liur mayor. Karsinoma mukoepidermoid sering Karsinoma epidermoid merupakan keganasan
mengenai kelenjar parotis.17,18 yang paling sering ditemui di kelenjar liur mayor.
Boahane et al memperkenalkan istilah Biopsi aspirasi jarum halus memilki tingkat sensitifitas
mukoepidermoid untuk menentukan tumor kelenjar liur dan spesifikasi yang tinggi pada lesi jinak tapi tidak
yang berbeda ditandai dengan pola campuran dari 2 pada keganasan. Penatalaksanaan karsinoma
jenis sel utama: epidermoid dan sel penghasil mukus. epidermoid adalah dengan reseksi bedah dan
Namun, sepertiga jenis sel, sel intermediet, yang tidak dilanjutkan dengan radioterapi ajuvant.
terdiri dari mukus atau sepenuhnya epidermoid, sering
ditemukan.7
Pemeriksaan BAJAH dalam menegakkan
DAFTAR PUSTAKA
diagnosis karsinoma epidermoid merupakan suatu hal
1. Rohan R. Walveltar Bridget C. Loehn MegluJn N.
yang sangat sulit, karena sitomorfologinya sering
Wilson. Anatomy and phisiology of salivary gland
tumpang tindih dengan lesi jinak. Juga dikemukakan
Dalam: Bailey BJ, editor (penyunting). Bailey Head
oleh tingkat akurasi dari pemeriksaan sitologi
and Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. ,
menggunakan jarum halus hanya 37%, menyebabkan
Philadelphia: Lippincont- Raven Publisher;
sering terjadi misdiagnosis. Dimana pada kasus ini
2014.hlm.691-701.
hasil pemeriksaan BAJAH adalah suatu lesi jinak
2. Ballenger JJ. Disease of salivary gland. Dalam:
parotis, kemungkinan adenoma pleomorfik. 20,21
Lea & Febinger. Disease of the nose, throat, ear,
Studi Zerpa et al menyatakan, pemeriksaan
head & neck. Philadelphia; 1996.hlm. 507-19.
histopatologi terbaik untuk dapat menegakkan
diagnosis suatu karsinoma epidermoid adalah dengan 3. Sunwoo JB, James S, Lewis J, McJunkin J,
Sequeira SS. Malignant Neoplasms of the salivary
biopsi eksisi atau dengan menggunakan teknik bedah
glands. Dalam: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ,
beku.22 Hal ini juga dikemukakan oleh Agravat et al
Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al,
bahwa apabila lesi tersebut bersifat kistik maka yang
sering akan terambil pada saat aspirasi hanyalah editor (penyunting). Cummings Otolaryngology
material berupa mukus, maka karsinoma epidermoid Head & Neck Surgery. Edisi ke-5. Philadelphia:

tidak akan terdiagnosis.15 Pada kasus ini juga terjadi Mosby Elsevier; 2010.hlm.1179-84.

misdiagnosis akibat dari kemungkinan material yang 4. Shah PJ. Patel SG. Salivary gland. Dalam: Head
teraspirasi adalah bagian kistik. and Neck Surgery Oncology. Edisi ke-3, Newyork:

Pasca operasi pasien dikonsulkan ke bagian Mosby; 2003.hlm.439-52.

radioterapi untuk menjalani radioterapi ajuvan. Hal ini 5. Young S, Oh Matthew S, Rusell David W. Eisele.
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Olsen et al Salivary gland neoplasm. Dalam: Bailey BJ, editor

yang melakukan follow up selama 5 tahun pada (penyunting). Bailey Head and Neck Surgery

pasien-pasien karsinoma mukoepidermoid low grade Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia:


yang telah dilakukan reseksi bedah dan diberikan Lippincont- Raven Publisher,. 2014 : P 1760-81.
radioterapi ajuvan, menemukan angka bebas tumor 6. Michael DM. Surgical anatomy of head and neck.
100%.23 Boahane et al juga mengungkapkan angka Dalam: Shawn DN, Karen TP, editor (penyunting).
Baileys Head and Neck Surgery Otolaryngology,

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)


http://jurnal.fk.unand.ac.id 304

Edisi Ke-5, Philadelphia: Lippinscot William & india. Online J Health Allied Scs. 2012;11(3):5.
Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2014.hlm.3-17. 16. McHugh CH, Roberts DB, El-Naggar AK, Hanna
7. Boahene DO, Olsen KD, Lewis JE, Pinheiro A, EY, Garden AS, Kies MS, et al. Prognostic factors
Pankratz V, Bagniewski SM. Mucoepidermoid in mucoepidermoid carcinoma of the salivary
carcinoma of the parotid gland: The Mayo clinic glands. Cancer. 2012;118(16):3928-36.
experience. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 17. Boukheris H, Curtis RE, Land CE, Dores GM.
2004;130(7):849-56. Incidence of carcinoma of the major salivary
8. Niamtu J. Cervicofacial rhytodectomy. Dalam: glands according to the WHO classification, 1992
Dolan J, Sprehe C, editor (penyunting). Cosmetic to 2006: a population-based study in the United
Facial Surgery. Mosby; 2011.hlm. 247-69. States.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev.
Arrangoiz K, Papavasiliuo P, Sarcu D, Galloway T,
9. 2009;18(11):2899-906.
Ridge J, Lango M. Current thinking on malignant
18. Carlson ER, Webb DE. The diagnosis and
salivary gland neoplasm. Journal of Cancer
management of parotid disease. Oral Maxillofacial
Treatment and Research. 2013;1(1):8-24.
Surg Clin N Am 2013; 25:31-48.
10. Ho K, Lin H, Ann DK, Chu PG, Yen Y. An overview 19. Kashiwagi N, Dote K, Kawano K, Tomita Y,
of the rare parotid gland cancer. Head & Neck Murakami T, Nakanishi K, et al. MRI findings of
Oncology. 2011.hlm.3-40. mucoepidermoid carcinoma of the parotid gland:
11. Ozawa H, Tomita T, Sakamoto K, Tagawa T, Fujii correlation with pathological features. Br J Radiol.
R, Kanzaki S, et al. Mucoepidermoid carcinoma of 2012;85(1014):709-13.
the head and neck: clinical analysis of 43 patients. 20. Mahesh KU, Potekar RM, Saurabh S. Cytological
Jpn J Clin Oncol. 2008;38(6):414-8. diagnosis of mucoepidermoid carcinoma of parotid

12. Jeong HS, Chung MK, Son YI, Choi JY, Kim HJ, - A diagnostic dilemma. Int J Med Sci Public

Ko YH, et al. Role of 18F-FDG PET/CT in Health. 2013; 2(2): 462-4.


21. Dere Y, Celik S, Celik O, Derin S, Sahan M.
management of high-grade salivary gland
malignancies. J Nucl Med. 2007;48(8):1237-44. cytologically diagnosed and histologically
13. Goode RK, Auclair PL, Ellis GL. Mucoepidermoid confirmed high grade mucoepidermoid carcinoma.
carcinoma of the major salivary glands. Cancer. Intl J Of Advancement In Case Reports, 2015; 2
1998;82(7):1217-24. (15):923-6.
14. C. Carolyn C, David R. Salivary gland in American 22. Zerpa V, Cuesta Gonzales MT, Agostini Porras G,
Joint Commite on Cancer Staging Manual. Edge S. Marcano Acuna M, Estelles Ferriol E, Dalmau
Seventh editor (penyunting). Springer New York Galofre J. Diagnostic accuracy of fine needle

Dordrecht Heidelberg London, Philadelphia. aspiration cytology in parotid tumours. Acta

2012.hlm.79-82. Otorrinolaringol Esp. 2014;65(3):157-61.

15. Agravat AH, Dhruva GA, Pujara KM, Sanghvi HK. 23. Olsen MP, Mitchell AO, Miles EF. Postoperative

Role of fine needle aspiration cytology in salivary Radiation Therapy for Parotid Mucoepidermoid
Carcinoma. Case Reports in Oncological Medicine.
gland pathology and its histopathological
2014;2014:4.
correlation: a two year prospective study in western

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(2)

Anda mungkin juga menyukai