Marni Safitri 200802049 Paper Artikel
Marni Safitri 200802049 Paper Artikel
Marni Safitri
Email: marinisafitri17@gmail.com
ABSTRAK
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, puji syukur kami panjatkan atas
segala nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis, serta kesehatan maupun
kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper/Artikel Ilmiah dasar ini dengan baik
dan lancar. Tidak lupa Salam dan salawat selalu tercurah kepada junjungan kita baginda
Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu
pengetahuan seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Paper yang telah saya buat berjudul Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh : Gagal
Mensejahterakan Rakyat di Bidang Ekonomi dan Politik, tentunya dapat hadir seperti
sekarang ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya saya
mengucapkan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya kepada mereka yang telah berjasa
dalam membantu penulis selama proses pembuatan paper ini dari awal hingga akhir.
Namun, saya menyadari bahwa paper ini masih belum sempurna dan luput dari
perhatian penulis baik itu dari teknik penyajiannya maupun bahasa yang diguanakan. Untuk
itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, saya sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca sekalian demi perbaikan paper ini kedepannya.
Besar harapan penulis dengan kehadiran Paper/ Artike Ilmiah dasar ini dapat
memberikan manfaat untuk para pembaca. Dan semoga paper ini dapat turut dan memajukan
ilmu pengetahuan serta dapat membantu pembaca dalam pembuatan paper kedepannya.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem otonomi daerah mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang
diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah bersifat
khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus atau
daerah istimewa ini sesungguhnya merupakan bentuk desentralisasi asimetris sebagai pola
relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah
menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain.
Desentralisasi asimetris lahir dengan asumsi karakteristik Indonesia yang beragam akan
sulit hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Hal inilah yang melahirkan adanya
otonomi khusus di Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Yogyakarta.
Aceh sebagai daerah provinsi merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat
istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan
negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan
Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan
merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial,
ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.
Aceh dan Papua adalah dua wilayah yang mendapatkan otonomi khusus dengan
didasarkan atas pertimbangan adanya konflik dan separatisme, sementara pertimbangan
kultural untuk Yogyakarta, dan sebagai ibu kota negara untuk DKI Jakarta. Untuk wilayah
yang mendapatkan otonomi khusus dengan pertimbangan bekas wilayah konflik dan
separatis seperti Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus juga dibarengi dengan
pengucuran dana otonomi khusus yang jumlahnya tidak kecil.1 Ini sebagai cara politis
pusat untuk “membeli loyalitas” wilayah konflik dan bekas separatis. Seluruh elemen
masyarakat tentu sepakat, menindaklanjuti MoU Helsinki 2005 maka UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan titik pijak menciptakan Aceh yang sejahtera.
Telah lebih dari enam tahun berlalu kita menyaksikan pelaksanaan otonomi khusus
kurang berjalan sesuai dengan harapan. Kita mendapati secara ekonomi pembangunan
belum berjalan maksimal dan kesejahteraan rakyat secara umum belum mengalami
peningkatan. Sementara itu, secara politik, kita dalam beberapa waktu belakangan ini justru
disuguhi dengan pelbagai aksi kekerasan dan konflik di bumi Aceh.
Adapun isu-isu yang terjadi dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh adalah Isu
seputar permasalahan pengelolaan dana Otsuspelak telah membuat hubungan yang kurang
harmonis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, perebutan
kewenangan di seputar pengelolaan dana Otsus ini telah menimbulkan konflik yang
berkepanjangan dan bagaikan tiada hentinya antara para bupati/Wali kota se-Aceh
berhadapan dengan Gubernur Aceh. Sejumlah permasalahan menyangkut peran gubernur
untuk kasus Aceh banyak dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan gubernur setempat yang
cenderung diskriminatif. Beberapa kabupaten/kota mengemukakan adanya ketidak-adilan
dalam pembangunan yang menggunakan dana Otsus. Termasuk yang merasakan ketidak-
adilan adalah kota Banda Aceh. Ini lantaran alokasi dana Otsus dilakukan dengan
menggunakan rumusan yang selama ini dipakai oleh DAU (yakni luas wilayah, jumlah
penduduk, indeks pembangunan manusia, dan tingkat kemiskinan). Akibat rumusan
semacam itu, Banda Aceh hanya menerima pembagian dana Otsus yang relatif kecil, yakni
hanya Rp59,43 miliar untuk tahun 2010, jauh di bawah Aceh Timur yang memperoleh
hingga Rp 161,03 miliar atau Aceh Utara Rp 127,65 miliar.26 Ini lantaran Banda Aceh
memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil, dan IPM digolongkan relatif tinggi.
Kemudian isu yang masih menimbulkan perdebatan dan bisa menjadi salah satu
ganjalan cukup besar ialah menyangkut posisi Wali Nanggroe. Kalangan garis keras seperti
PA jelas berkeinginan agar Wali Nanggroe yang kini dijabat oleh Malik Mahmud bukan
sekadar simbolik, bukan lagi sekadar institusi adat, melainkan sebagai institusi politik yang
memiliki kewenangan besar dan strategis.
2. Rumusan Masalah
1. Sudah Efektifkah Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh?
2. Permasalah/problematika apa yang terjadi dalam Femomena Pelaksanaan Otonomi
Khusus di Aceh?
3. Bagaimana Dampak yang terjadi dalam Fenomena Pelaksanaan Otonomi Khusus di
Aceh?
3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Efektifkah Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh
2. Untuk mengetahui problematika apa yang terjadi dalam Fenomena Pelaksanaan Otonomi
Khusus di Aceh
3. Untuk mengetahui dampak yang terjadi dalam Fenomena Pelaksanaan Otonomi Khusus di
Aceh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Otonomi Khusus
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh belum terlaksana dengan baik/ belum efektif.
Karena Pelaksanaan otonomi khusus di Aceh tidak dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Masih banyak yang harus dipertimbangkan seperti di bidang ekonomi, politik.
Bahkan, dalam dan Otonomi Khusus di Aceh, dana Otonomi Khusus itu belum mampu
menunjukkan peran signifikan dalam mengangkat kesejahteraan rakyat di Aceh. Kemiskinan
masih menjadi permasalahan utama bagi Aceh. Salah satu cara melihat gagal atau berhasilnya
realisasi Dana Otonomi Khusus yang dilekatkan kepada Aceh sejak tahun 2001 adalah dengan
kacamata kesejahteraan. Kesejahteraan diletakkan sebagai tujuan akhir, sedangkan otonomi
khusus merupakan cara atau upaya pencapaiannya.
Dalam sistem pengawasan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dan dampaknya
terhadap pemberantasan korupsi di provinsi Aceh. Data yang dirilis KPK menyebutkan bahwa
Aceh merupakan salah satu provinsi terkorup di Indonesia.
2.3 Permasalahan/problematika
Suharyo menulis tentang “Otonomi Khusus di Aceh dan Papua di Tengah Fenomena
Korupsi (Suatu Strategi Penindakan Hukum)” (Suharyo, 2018). Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa latar belakang maraknya praktek korupsi di Aceh adalah persoalan
keamanan. Secara situasi politik, faktor transisi dari masa konflik dalam beberapa tahun
terakhir menyebabkan daerah Aceh tidak mendapatkan perlakuan penegakan hukum secara
serius dari Pemerintah Pusat. Pengaruh dari situasi politik inilah yang menyebabkan strategi
penindakan tindak pidana korupsi di Aceh kurang represif.Penelitian Suharyo menyimpulkan
bahwa pembentukan daerah otonomi khusus adalah sebuah strategi yang dianggap positif.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
1
Penilaian ini antara lain dikemukakan oleh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah) Aceh, Nazamuddin, dikutip dalam Firman Hidayat, “Aceh Miskin Karena Salah Pengelolaan
Dana”, http://www.theglobejournal.com, 5 Januari 2012, diakses pada 16 April 2012
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif. Sumber utama data terdiri dari
data primer dan sekunder. Data primer diantaranya diperoleh dari wawancara dengan para
pengambil kebijakan, perwakilan pemerintah daerah, akademisi, serta lembaga anti korupsi
Gerak (Gerakan Anti Korupsi)Aceh sebagai masyarakat sipil anti korupsi. Data primer
tersebut diperoleh melalui teknik wawancara secara tatap muka, wawancara virtual via aplikasi
Zoom dan surat elektronik (e-mail) atau opini akademisi, pengambil kebijakan, dan
pemerintah daerah melalui survei lapangan ke Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat
serta Focus Group Discussion (FGD).
Sedangkan data sekunder berasal dari dokumen keuangan, dokumentasi pengawasan,
serta studi literatur yang terkait dengan topik utama pembahasan penelitian ini. Seluruh data
(baik primer maupun sekunder) yang sudah dikumpulkan dilakukan proses verifikasi untuk
menghindari bias dan subjektifikasi terhadap kesimpulan penelitian. Proses verifikasi ini
meminjam teknik Miles dan Huberman (Huberman, 1984).
Hasil kajian ini diharapkan dapat merumuskan rekomendasi kebijakan yang tepat
sebagai dasar pengambilan keputusan bagi pimpinan dalam menetapkan langkah-langkah
strategis untuk meningkatkan efektivitas Dana Otsus pada masa yang akan datang.
BAB IV
PEMBAHASAN
2
Badan Pusat Statistik dan Bappeda Aceh, Aceh dalam Angka2010, hlm. 474.
3
Hal ini disampaikan oleh Isra Safril, Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh.
Terdapat sekitar 122proyek bersumber dana dari Otsus dan hingga pertengahan 2011 belum diselesaikan oleh
Pemerintah Aceh. “Kami menduga ada banyak terjadi korupsi pada proyek ini di daerah-daerah", ujarnya. Lihat,
http://centraldemokrasi.com 27 April 2011, diunduh pada 2 Januari 2012.
tahunnya tentu tidaklah sedikit. Akan tetapi, bila kita menengok ke daerah Aceh secara
umum, kita menangkap kesan kuat bahwa dana Otsus belum mampu menunjukkan peran
signifikan dalam mengangkat kesejahteraan rakyat di sana.
Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama bagi Aceh. Badan Pusat Statistik
(BPS) Aceh pada awal Januari 2012 lalu menyebutkan angka kemiskinan di Aceh
bertambah selama enam bulan, bahkan kemiskinan di Aceh menduduki peringkat pertama
di Pulau Sumatra. Masih tingginya angka kemiskinan di Aceh dikarenakan pengelolaan
dana otonomi khusus Aceh belum tepat dan oleh beberapa pihak dinilai masih amburadul.3
Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih tergolong tinggi, yakni peringkat tujuh secara
nasional dan bahkan berada di peringkat pertama untuk wilayah Sumatra.
Berdasarkan data yang dihimpun BPS bahwa tingkat kemiskinan Aceh berada pada
kisaran 19,48%. Angka ini berada jauh di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar
12,36%.Berdasarkan data BPS angka kemiskinan tidak mengalami pergeseran yang cukup
signifikan, yakni 23,53% tahun 2008 dan 21,80% pada tahun 2009.
Dana Otsus ini, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menduga penggunaan dana
otonomi khusus Aceh tidak bersih alias terindikasi korupsi. Selama tiga tahun terakhir
penggunaan dana otonomi tidak tanggung-tanggung sebesar 3,5 triliun rupiah per tahun
selalu bermasalah. Selama ini, jika dilihat realisasi pengelolaan dana Otsus di lapangan
selalu bermasalah, ditambah kurangnya kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses pekerjaan di lapangan. Tidak
mengherankan bila hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menyatakan, Provinsi Aceh
mendapat skor terburuk dalam otonomi daerah. Dana Otsus adalah salah satu sumber
pendapatan Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana disebutkan dalam pasal 179 ayat (2c)
UUPA. Meskipun disebutkan sebagai sumber pendapatan daerah kabupaten/kota, namun
dana Otsus tidak langsung ditransfer Pemerintah Pusat ke pemerintah kabupaten/kota,
melainkan ditransfer menjadi penerimaan Pemerintah Aceh.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 ayat (1) UUPA, yaitu dana otsus merupakan
penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan
kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
2. Korupsi Merajalela
,0Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan BentukPemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Era
Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2011),hlm. 154-155.
Korupsi hampir merata berlangsung di bumi Aceh pasca perdamaian. Beberapa di
antaranya berlangsung dengan amat vulgar seperti kasus di Aceh Utara, tetapi terdapat kesan
kuat bahwa pemerintah pusat sengaja menutup mata atas gejala tersebut. Ini karena pemerintah
pusat memperhitungkan faktor keamanan bahwa Aceh masih dalam masa transisi dari konflik.
Dengan demikian, setiap penanganan kasus korupsi secara tegas maka taruhannya ialah
keamanan dan ditakutkan akan membuyarkan perdamaian di Aceh.
Sejumlah kasus korupsi yang dibiarkan mengendap begitu saja, di antaranya ialah
adanya indikasi korupsi Rp l,4 triliun dari tendertender yang tidak wajar dan tender-tender
yang dimenangkan oleh orang-orang atau kelompok di sekitar kekuasaan. Selain itu, mark-up
pembelian alat-alat kesehatan Rp 21 miliar, termasuk pula kasus penjualan besi tua rangka
jembatan yang dilego ke Medan, kasus pembangunan rumah-rumah dhuafa di seluruh Aceh
yang nilainya mencapai Rp 250 miliar (2008-2009) serta yang paling mutakhir ialah kasus
dana kerja gubernur sebesar Rp68 miliar. Penggunaan dana kerja Gubernur Aceh tersebut
termasuk pemborosan, demikian pula sebagian dana aspirasi anggota dewan. Ini lantaran dana
itu mengalir ke pihak-pihak tertentu yang terkait dengan politik mereka. Seharusnya, dana
kerja Gubemur/Wagub Aceh Rp68 miliar maupun dana aspirasi itu dapat dipergunakan untuk
kepentingan rakyat Aceh. Seperti untuk bantuan relokasi masyarakat korban bencana alam,
yaitu korban banjir bandang di wilayah Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Gayo Lues, dan
Aceh Timur, yang terjadi pada 2010. Namun yang terjadi masyarakat hanya dapat RP 100 Juta
per Kabupaten sebagai dana tanggap darurat.
4
4
Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh. Keterangan senada disampaikan
oleh seorang politisi senior mantan anggota DPRA 1999-2009, dalam wawancara tanggal 22 Mei 2011, di
Banda Aceh.
5
Amrizal J. Prang, Aceh dari Konflik ke Damai, (Aceh: Bandar Publishing, 2008), hlm. 54.
Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. pada 23
Mei 2011 di Banda Aceh.
Nama Pasangan Jumlah Suara Persentase
Dr. Za ini A b d u lla h - M u
1 .3 2 7 .6 9 5 5 5 ,7 8 %
z a k ir M a n a f
D rh . Irw a n d i Y u su f-D
r.Ir. M u h y a n Yunan,
6 9 4 .5 1 5 2 9 ,1 8 %
M.Sc.(HW.Eng)
M u h am m a d N a z a r-Ir.
1 8 2 .0 7 9 7,6 5 %
Nova Iria ns ya h
Prof. Dr. D a rn i M . D aud,
M .A .-T g k . A hm a d
9 6 .7 6 7 4 ,0 7 %
FauziM .A g
Tgk. A hm a d T a ju d d in -
Teuku Suriansyah
7 9 .3 3 0 3 ,3 3 %
6
Wawancara dengan seorang informan, tokoh politik seniordan mantan anggota DPRA periode 1999-2009, 22
Mei 2011 di Banda Aceh.
BAB V
KESIMPULAN
Ekonomi
7
79http://centraldemokrasi.com, 27 Juni 2012, diakses pada 28 Juni 2012. Partai Aceh melalui juru bicaranya,
Fahrul Ra/i, membantah bahwa kadernya melakukan pemukulan kepada Irwandi Yusuf. “Tidak ada kaitan
dengan Partai Aceh karena memang yang melakukannya adalah kerumunan massa yang menyaksikan prosesi
pelantikan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih periode
2012-2017. Kami menyayangkan aksi pemukulan itu,” katanya.
(2) Dana otsus yang telah digulirkan bagi Aceh berkisar Rp 4-5 triliun per tahunnya. Akan
tetapi, apabila kita menengok ke daerah tersebut, kita secara umum menangkap kesan kuat
bahwa dana otsus belum mampu menunjukkan peran signifikan dalam mengangkat
kesejahteraan rakyat Aceh. Hal ini terkait dengan begitu buruknya pengelolaan dana otsus
sehingga diduga banyak penggunaan dana otsus yang tidak bersih. Di lain pihak,
pengalokasian dana otsus mengalami banyak kendala dan tidak tepat sasaran mulai dari
tingkat provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan keterlambatan dan
banyak kesalahan dalam perencanaan program dimulai dari tingkat provinsi hingga ke
daerah.
(3) Korupsi hampir merata berlangsung dibumi Aceh pasca perdamaian, beberapa
diantaranya berlangsung dengan amat vulgar seperti kasus di Aceh Utara. Akan tetapi,
terdapat kesan kuat bahwa pemerintah pusat sengaja menutup mata atas gejala tersebut. Ini
karena pemerintah pusat memperhitungkan faktor keamanan, bahwa Aceh masih dalam masa
transisi dari konflik.
Politik
(1) Terdapat beberapa pasal di dalam UUPA Tahun 2006 yang masih dianggap bertentangan
dengan MoU Helsinki antara lain ialah Pasal 11 UUPA yang dianggap bertentangan dengan
keinginan untuk ‘pemerintahan sendiri’ (self government) bagi Aceh; di samping terdapat
beberapa ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaan.
(2) Aceh menikmati kekhususan di bidang politik dengan pelegalan keberadaan partai lokal
dan calon independen. Terselenggaranya pemilu setempat yang menyertakan partai-partai
lokal dan calon independen tersebut merupakan salah satu keberhasilan terbesar pelaksanaan
otsus Aceh. Karena itulah, transformasi kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan
modem dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diimplementasikan.
(3) Dominasi mantan GAM di pemerintahan dan parlemen, baik di provinsi maupun
tingkat kabupaten/kota tidak diikuti dengan kapabilitas yang memadai sehingga kinerja
parlemen maupun pemerintahan mengalami penumnan kualitas dan menjurus kolusi,
sedangkan di sisi lain korupsi merajalela.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA.
http://etheses.iainkediri.ac.id/958/3/932106211-bab2.pdf
https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAKN-55-12227b66853c704271de9cc0ed9ca2dd.pdf