Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328224033

TELAAH INTELEGENSI

Article · October 2018

CITATIONS
READS
0
62,778

1 author:

Jati - Fatmawiyati
Airlangga University
15 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

All content following this page was uploaded by Jati - Fatmawiyati on 11 October 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TELAAH INTELEGENSI

A. Pengertian Intelegensi
Definisi intelegensi menurut beberapa ahli (Azwar, 2011) :
1. Francis Galton, Galton tidak menemukan secara jelas mengenai definisi
intelegensi. Namun, ia percaya bahwa orang yang memiliki intelegensi tinggi
adalah orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja dan peka terhadap
stimulus fisik. Paham Galton ini merupkan pendekatan yang berciri
psikofisik.
2. Alfred Binet dan Theodore Simon, menurut keduanya, intelegensi terdiri dari
tiga komponen, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan,
kemampuan mengubah arah tindakan bila telah dilaksanakan dan kemampuan
untuk mengkritik diri sendiri (autocriticism)
3. Lewis Madison Terman, mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan
seseorang untuk berpikir secara abstrak
4. H.H. Goddard, mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan
pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan untuk
mengantisipasi masalah yang akan datang
5. V.A.C Henmon, menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari dua faktor, yaitu
kemampuan memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh.
6. Baldwin, mendefinisikan intelegensi sebagai daya atau kemampuan untuk
memahami.
7. Edward Lee Thorndike, mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan
memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.

Jati Fatmawiyati | Magister Psikologi Universitas Airlangga Page 1


8. George D.Stoddard, mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan
memahami masalah yang sukar, kompleks, abstrak, eknomois, diarahkan pada
tujuan, mempunyai nilai sosial dan berasal dari sumbernya.
9. Walters dan Gardner, mendefinsiikan intelegensi sebagai suatu kemampuan
atau serangkaian kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan
masalah.
10. Flynn, mengartikan intelegensi sebagai kemampuan untuk berpikir secara
abstrak dan kesiapan untuk belajar dari pengalaman
11. David Weschler, menyatakan bahwa intelegnsi adalah kemampuan bertindak
secara terarah, berpikir rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif.
Dari berbagai uraian di atas secara garis besar dapat ditarik kesimpulan
mengenai pengertian intelegensi, yaitu suatu kemampuan mental yang melibatkan
proses berpikir secara rasional, sehingga intelegensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional tersebut.
Dari berbagai perbedaan sudut pandang mengenai definisi intelegensi
tersebut, terdapat dua tema yang selalu muncul dalam definisi tersebut, para ahli
sepakat menyatakan bahwa intelegensi merupakan (a) kapasitas untuk belajar dari
pengelaman dan (b) kapasitas seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan.

1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi


1. Faktor Bawaan atau Keturunan
Berdasarkan beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa intelegensi berasal
dari faktor bawaan atau herediter. Penelitian membuktikan bahwa korelasi tes IQ dari
satu keluarga sekitar 0,50, dan diantara anak kembar dihasilkan korelasi tes IQ yang
sangat tinggi, yaitu mencapai 0,90. Penelitian pada anak yang diadopsi menujukkan
bahwa IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40-0,50 dengan ayah dan ibu sebenarnya dan
sebaliknya korelasi IQ anak dengan ayah dan ibu angkat hanya berkisar 0,10-0,20.
Lebih lanjut, bukti pada anak kembar yang diasuh secara terpisah menunjukkan
bahwa IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, meskipun mungkin mereka tidak
pernah saling mengenal.

2. Faktor Lingkungan
Lingkungan dapat memberikan perubahan-perubahan yang berarti pada
kapasitas intelegensi seseorang, walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah
dibawa sejak lahir. Intelegensi tidak dapat terlepas dari otak. Perkembangan otak
sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-ransangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat
penting.
Menurut Azwar (2011), proses lingkungan yang juga berpengaruh terhadap
intelegensi adalah proses belajar. Proses belajar menyebabkan perbedaan perilaku
individu satu dengan yang lainnya. Apa yang dipelajari dan diajarkan pada seseorang
akan menentukan apa dan bagaimana reaksi individu terhadap stimulus yang
dihadapinya. Sikap, perilaku, reaksi emosional, dan sebagainya merupakan atribut
yang dipelajari dari lingkungan. Lewat belajar, pengaruh budaya secara tidak
langsung juga mempengaruhi individu. Standard dan norma sosial yang berlaku pada
suatu kelompok budaya tempat individu berada akan menjadi acuan individu dalam
berpikir dan berperilaku.
Dengan demikian, pengaruh faktor herediter atau warisan yang dibawa
individu dan pengaruh lingkungan tempat individu berada akan bersama-sama
membentuk sifat dan karakter individu, dalam hal ini termasuk kapasitas
intelegensinya, sehingga individu yang satu tidak sama persis dengan individu
lainnya.

1.3 Pendekatan Teoritis Mengenai Intelegensi


Maloney dan Ward (dalam Azwar, 2011) mengajukan empat jenis pendekatan
untuk memahami hakikat intelegensi, yaitu pendekatan teori belajar, neurobiologis,
pendekatan teori-teori psikometri, teori perkembangan dan teori pemrosesan
informasi. Berikut penjelasan mengenai keempat pendekatan tersebut:
1. Pendekatan Teori Belajar
Pendekatan ini berfokus pada perilaku yang tampak, yakni respon seseorang
terhadap situasi tertentu dan cara menyesuaikan terhadap situasi tersebut. Suatu
perilaku intelegensi adalah suatu perilaku di mana proses belajar terjadi (pada tingkat
fungsional yang tinggi) dan merupakan respon individu terhadap situasi eksternal.
Intelegensi bukanlah traits, tetapi merupakan kualitas belajar yang telah terjadi.
Lingkungan belajar sendiri menentukan kualitas dan keluasan cadangan perilaku
seseorang dan karenanya dianggap menentukan relativitas intelegensi individu.

2. Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan neurolobiologis beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar
anatomis dan biolgis sehingga perilaku intelegen dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-
anatomis dan neurofisiologisnya. Pendekatan ini menimbulkan berbagai teori
intelegensi yang mengaitkan perilaku intelegensi serta ciri-cirinya dengan aspek
biologis. Hal ini dapat terlihat dari teori Halstead serta teori intelegensi Cattell dan
Hebb. Halstead mengemukakan teori Intelegensi biologis, dimana ia percaya bahwa
ada sejumlah fungsi otak yang berhubungan dengan intelegensi, yang relatif tidak
tergantung pada pertimbangan budaya. Sedangkan Cattel dan Hebb, mengemukakan
bahwa terdapat dua jenis Intelegensi, yaitu Fluid Intelligence (Gf) dan Crystallized
Intelligence (Cc).
3. Pendekatan Psikometris
Pendekatan ini berasumsi bahwa intelegensi adalah sesuatu konstruk atau
traits, yang kadarnya bisa berbeda-beda setiap individu. Pendektan ini bersifat
kuantitatif. Para ahli psikometri lebih tertarik pada pengukuran psikologis, maka
lebih mengutamakan pada cara praktis untuk melakukan klasifikasi dan prediksi
berdasarkan hasil pengukuran intelegensi daripada meneliti hakekat intelegensi.
Umumnya setelah mereka menyusun tes intelegensi baru kemudian ditetapkan
konstruk/ konsep yang sebenarnya diukur. Tedapat dua arah studi pada pendekatan
ini, yaitu, pertama yang bersifat praktis dan lebih menekankan pada pemecahan
masalah dan kedua adalah lebih menekankan konsep dan penyusunan teori.
Pendekatan psikometri melahirkan berbagai skala pengukuran intelegensi yang
dipergunakan saat ini.

4. Pendekatan Teori Perkembangan


Studi intelegensi dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara
kualitatif dalam kaitannya dengan tahap perkembangan biologis individu. Piaget
sebagai salah seorang tokoh pendekatan ini mengemukakan bahwa intelegensi
merupakan bentuk khusus adaptasi biologis antara individu dengan lingkungannya

1.4 Teori dan Model Intelegensi


1. Alfred Binet
Menurut Binet, inteligensi bersifat monogetik, artinya berkembang hanya
dari faktor umum (g) atau kriteria tertentu. Binet menggambarkan intelegensi sebagai
suatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan
menilai tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria individu. Jadi, untuk
melihat seseorang cukup intelegen atau tidak, dapat diamati dari cara dan
kemampuannya untuk mengubah arah tindakan apabila diperlukan. Hal ini yang
dimaksud sebagai komponen arah, adaptasi dan kritik dalam definisi intelegensi.

2. Edward Lee Thorndike


Menurut Thorndike inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik
yang ditunjukkan dalam berbagai perilaku inteligen. Thorndike meyakini bahwa
tingkat inteligensi tergantung pada banyaknya neural connection/ ikatan syaraf
antara rangkaian stimulus dan respon karena adanya penguatan yang dialami
seseorang.
Thorndike mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tiga kemampuan, yaitu :
(a) abstraksi atau kemampuan bekerja dengan menggunakan gagasan atau simbol;
(b) mekanik atau kemampuan bekerja dengan menggunakan alat mekanis dan
kemampuan melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas indera gerak (sensory-
motor); (c) sosial atau kemampuan untuk menghadapi orang lain dengan cara yang
efektif. Ketiga kemampuan ini tidak terpisah secara ekslusif tetapi juga tidak selalu
berkorelasi satu sama lain. Ada individu yang cakap dalam kemampuan abstraksi
namun lemah pada aspek lainnya, namun adapula yang memiliki kecakapan tinggi
dalam ketiga bentuk.

3. Charles E Spearman
Pandangan Spearman mengenai intelegensi (dalam Azwar, 2011) ditunjukkan
dalam two factor theory. Intelegensi mengandung dua komponen kualitatif yaitu (a)
edukasi relasi dan (b) edukasi korelasi. Edukasi relasi adalah kemampuan untuk
menemukan suatu hubungan dasar yang berlaku diantara dua hal. Misalnya,
menemukan keterkaitan antara kata “panjang-pendek”. Edukasi korelasi adalah
kemampuan untuk menerapkan hubungan dasar yang telah diterapkan dalam proses
edukasi relasi sebelumnya ke dalam situasi baru. Sebagai contoh, apabila telah
mengetahui “panjang-pendek” memiliki makna berlawan arti, maka hal ini dapat
diterapkan ke situasi pertanyaan seperti ” baik-….” tentu dapat dilakukan. Konsep ini
disebut sebagai proses enkoding, proses penyimpulan dan aplikasi. Hal ini merupakan
proses penalaran dengan menggunakan analogi, yang menurut Spearman, sebagai
salah satu indikator faktor g-terbaik.

4. Louis Leon Thurstone & Thelma Gwinn Thurstone


Thurstone meyakini bahwa tidak ada faktor umum (g) dalam inteligensi.
Thurstone percaya bahwa inteligensi terdiri atas kemampuan mental primer.
Kemampuan mental primer terdiri dari enam faktor kemampuan, yaitu : (a) verbal,
yakni pemahaman akan hubungan kata, kosa kata, penguasaan komunikasi lisan; (b)
number, ialah kecermatan dan ketepatan dalam penggunaan fungsi-fungsi hitung
dasar; (c) spatial, merupakan kemampuan mengenali berbagai hubungan dalam
bentuk visual; (d) word fluency, ialah kemampuan mencerna dengan cepat kata-kata
tertentu; (e) memory, didefinisikan sebagai kemampuan mengingat gambar, pesan,
angka, kata, atau pola; dan (f) reasoning, merupakan kemampuan memecahkan
masalah atau mengambil kesimpulan dari contoh, aturan, prinsip
Keenam faktor tersebut tidak terpisah secara ekslusif dan tidak pula
independen satu dengan yang lain. Oleh karena itu, terdapat satu faktor umum lain
yang lebih rendah tingkatannya berupa suatu faktor g-tingkat dua, yang menjadi dasar
bagi semua faktor-faktor lain.

5. Cyril Burt
Burt meyakini bahwa inteligensi merupakan kumpulan kemampuan yang
terorganisasikan secara hierarkhis. Artinya, kemampuan mental terbagi atas beberapa
faktor yang berada pada tingkatan yang berbeda. Faktor-faktor tersebut, yaitu: (a)
satu faktor umum (general); (b) faktor-faktor kelompok besar (broad group), (c)
faktor-faktor kelompok kecil (narrow group); dan (d) faktor-faktor spesifik (specific).
Model tingkat mental hiraki ini digambarkan sangat erat kaitannya dengan
suatu hirarki fungsional yang diurutkan berdasarkan kompleksitas kognitifnya.
Tingkat mental terendah berupa kemampuan penginderaan (sensory) dan proses
penggerak (motor). Berada di atasnya adalah tingkat kemampuan yang lebih tinggi
berupa proses persepsi atau pengamatan dan gerakan terkoordinasi (perceptual
process dan coordinated movement). Selanjutnya proses asosiasi yang lebih
kompleks dengan melibatkan ingatan (memory) dan pembentukan kebiasaan (habit).
Berada di atasnya adalah proses relational yang pada puncaknya adalah intelegensi
umum, yang dianggap memiliki peranan integrative yang terlibat dalam setiap tingkat
hirarki.
6. Philip Ewart Vernon
Vernon mengemukakan model hirarkis dalam menjelaskan teori mengenai
inteligensi. Vernon menempatkan satu faktor umum di puncak hirarki. Di bawahnya
terdapat dua jenis kemampuan mental yaitu verbal education dan practical
mechanical, yang termasuk dalam faktor intelegensi utama atau kelompok mayor.
Masing-masing kelompok mayor ini terbagi lagi menjadi faktor minor yang terpecah
lagi menjadi bermacam-macam faktor spesifik. Vernon berpendapat, faktor spesifik
tidak banyak memiliki nilai praktis karena kurang relevan dengan dunia nyata
sehingga difokuskan pada faktor-faktor umum yang lebih berkorelasi dan substansial
dengan masalah kehidupan sehari-hari.

7. Joy Paul Guilford


Guilford mengemukakan teori yang disebut structure of intellect.. Model
teori ini diilustrasikan dengan gambar kotak 3 dimensi, dimana masing- masing
dimensi mewakili satu klasifikasi faktor intelektual yang bersesuaian satu sama lain.
Berikut uraian tiga dimensi tersebut:
a. Dimensi isi
Merujuk pada tipe informasi yang sedang diproses. Dimensi ini terdiri dari :
(1) Figur, informasi berupa bentuk yang menggambarkan suatu objek ; (2)
Simbol, informasi yang diproses memiliki arti lain dari bentuk yang dilihat;
(3) Semantik, informasi diproses harus disajikan secara lisan; (4) Perilaku,
informasi yang diterima berupa perilaku orang lain
b. Dimensi operasi
Merujuk pada cara suatu informasi itu diproses. Dimensi ini terdiri dari : (1)
kognisi, menemukan atau mengenali kembali suatu informasi ; (2) ingatan,
mengangkat kembali informasi yang pernah diterima ke atas kesadaran ; (3)
produksi konvergen, memanfaatkan informasi yang diterima untuk mendapat
jawaban yang benar ; (4) produk divergen, dengan cara berpikir kreatif ; (5)
evaluasi, menilai informasi itu baik-buruk atau benar-salah.
c. Dimensi produk
Merujuk pada hasil pemrosesan yang dilakukan dimensi Operasi terhadap
dimensi Isi. Dimensi ini terdiri dari : (1) satuan, respon tunggal ; (2) kelas,
respon kelompok kelas ; (3) relasi, satuan yang saling berhubungan ; (4)
sistem, respon yang terorganisasi secara keseluruhan ; (5) transformasi,
perubahan satu jenis produk ke jenis lain ; (6) implikasi, produk yang
hasilnya berlaku di luar data yang diproses
Dengan demikian, menurut masing-masing dimensi akan terdapat sebanyak
4x5x6 = 120 macam kombinasi yang berlainan dan dihipotesiskan sebagai sumber
terbentuknya kemampuan mental yang berbeda-beda pula.
Model yang dikemukakan Guilford ini mempunyai implikasi penting bagi
teori psikologi umumnya, terutama apabila dijadikan sebagai kerangka pemikiran
guna memperoleh pandangan baru terhadap konsep-konsep psikologi.

8. C. Halstead
Teori ini merupakan teori inteligensi dengan pendekatan neurobiologis.
Halstead berpendapat bahwa ada sejumlah fungsi otak yang berkaitan dengan
inteligensi. Ada empat faktor inteligensi yang oleh Halstead disebut sebagai
Inteligensi Biologis.Keempat faktor tersebut adalah :
a. Central Integrative, merupkan kemampuan mengorganisasikan pengalaman.
Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, latar belakang pengalaman seseorang dan
hasil belajarnya akan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman baru
b. Abstraction, kemampuan mengelompokkan sesuatu dengan cara yang berbeda,
melihat persamaan-perbedaan diantara benda, konsep, peristiwa
c. Power, kemampuan mengendalikan emosi, sehingga kemampuan rasional dan
intelektual dapat berkembang
d. Directional , kemampuan memberikan arah dan sasaran bagi kemampuan
individu, yang menunjukkan secara spesifik cara mengekspresikan intelektual dan
perilaku.
9. Donald Olding Hebb
Hebb membedakan inteligensi menjadi dua macam, yaitu intelegensi A dan
intelegensi B. Berikut urain mengenai kedua macam intelegensi tersebut:
a. Inteligensi A, merupakan kemampuan dasar manusia (human basic potentiality)
untuk belajar dari lingkungan. Inteligensi ini ditentukan kompleksitas dan
kelenturan sistem syaraf pusat yang dipengaruhi oleh gen.
b. Inteligensi B, merupakan tingkat kemampuan yang diperlihatkan seseorang
dalam bentuk perilaku yang dapat diamati secara langsung. Inteligensi ini disebut
juga kemampuan actual. Intelegnsi B merupkan hasil gabungan antara keadaan
alamiah seseorang (potensi genetik) dengan asuhan (stimulasi lingkungan) yang
diterimanya.
10. Raymond Bernard Cattell
Cattell mengklasifikasikan inteligensi menjadi dua macam, yaitu :
a. Fluid intelligence (Gf), inteligensi yang merupakan faktor bawaan biologis, yang
diperoleh sejak lahir dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman.
Inteligensi ini sangat penting dalam keberhasilan melakukan tugas yang menuntut
kemampuan adaptasi pada situasi baru. Inteligensi ini cenderung tidak berubah
setelah usia 14 atau 15 tahun.
b. Crystallized intelligence (Gc), inteligensi yang merefleksikan adanya pengaruh
pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri seseorang. Inteligensi ini
masih dapat terus berkembang sampai usia 30 atau 40 tahun, bahkan lebih. Hal
ini disebabkan karena perkembangan inteligensi jenis ini tergantung pada
bertambahnya pengalaman dan pengetahuan sehingga adanya peningkatan usia
berarti peningkatan pengalaman akan terus berpengaruh terhadap perkembangan
intelegensi crystallized.
Meskipun berbeda, akan tetapi kedua intelegensi tersebut dapat tampak
serupa. Pada umumnya kemampuan keduanya menunjukkan korelasi yang tinggi satu
sama lain.
11. Jean Piaget
Teori inteligensi Piaget menekankan pada aspek perkembangan kognitif. Pada
dasarnya, Piaget lebih melihat inteligensi pada aspek isi, struktur, dan fungsinya.
Dalam menjelaskan aspek-aspek tersebut Piaget mengaitkannya pada periodesasi
perkembangan biologis anak. Ada empat jenis inteligensi yang dikemukakan oleh
Piaget, sesuai dengan tahap perkembangan kognitif, yaitu :
a. Inteligensi sensori motoris, tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai
sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman
sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik. Dengan
berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan kemampuan-kemampuan
melakukan gerak motorik dalam bentuk refleks ini, maka seorang bayi berada
dalam keadaan siap untuk mengadakan hubungan dengan dunianya.
b. Inteligensi praoperasional, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar
ataupun simbol. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif
bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu tidak
dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan
satu sama lain.
c. Inteligensi operasional, inteligensi yang memiliki ciri memahami operasi nyata.
Bentuk operasi nyata yaitu, (1) konversi, perubahan dapat terjadi secara bolak
balik ; dan (2) klasifikasi, penggolongan sesuatu menurut jenis atau tingkatan.
d. Inteligensi operasional formal, inteligensi yang memiliki ciri mampu berpikir
hipotetik, mampu menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai
kejadian tertentu, dan mampu berpikir abstrak
12. Howard Gardner
Gardner merumuskan konsep teori Inteligensi Majemuk (Multiple
Intelligence), yang merupakan sanggahan terhadap konsep tunggal inteligensi. Ada
beberapa intelegensi yang dikemukakan oleh Gardner, diantaranya adalah kecerdasan
linguistik, matematis-logis, spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal,
dan naturalis. Berikut uraian masing-masing intelegensi tersebut :
a. Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence), merupakan kemampuan seseorang
dalam menggunakan kata-kata, baik secara lisan maupun tulisan, untuk
mengekspresikan ide-ide atau gagasan-gagasan yang dimilikinya.
b. Kecerdasan matematis-logis (logic-mathematical intelligence, merupakan
kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan penggunaan bilangan dan logika
secara efektif. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kepekaan pada pola logika,
abstraksi, kategorisasi, dan perhitungan.
c. Kecerdasan ruang visual (spatial intelligence), kemampuan seseorang dalam
menangkap dunia ruang visual secara tepat, termasuk kemampuan untuk
mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan perubahan bentuk benda
dalam pikiran dan mengenali perubahan tersebut, menggambarkan suatu
hal/benda dalam pikiran dan mengubahnya dalam bentuk nyata serta
mengungkapkan data dalam suatu grafik
d. Kecerdasan kinestetis (bodily-kinesthetic intelligence), merupakan kemampuan
seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya
untuk berkomunikasi dan memecahkan masalah. Orang yang mempunyai
kecerdasan ini dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh
mereka.
e. Kecerdasan Musikal (musical intelligence), merupakan kemampuan untuk
mengembangkan dan mengekspresikan, menikmati bentuk-bentuk musik dan
suara, peka terhadap ritme, melodi dan intonasi serta kemampuan memainkan alat
musik, menyanyi, menciptakan lagu dan menikmati lagu.
f. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), merupakan kemampuan
seseorang untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, watak,
temperamen, ekspresi wajah, suara dan isyarat dari orang lain. Secara umum,
intelligence interpersonal merupakan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi
dan komunikasi dengan orang lain.
g. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), merupakan kemampuan
seseorang untuk mengerti tentang diri sendiri dan mampu bertindak secara adaptif
berdasarkan pengenalan diri. Kecerdasan ini termasuk kemampuan seseorang
untuk berefleksi dan menyeimbangkan diri, mempunyai kesadaran tinggi akan
gagasan-gagasan, mempunyai kemampuan mengambil keputusan pribadi, sadar
akan tujuan hidup dapat mengendalikan emosi sehingga kelihatan sangat tenang.
h. Kecerdasan lingkungan/ natural (natural intelligence), memiliki kemampuan
mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat memahami dan menikmati alam dan
menggunakannya secara produktif dalam bertani, berburu dan mengembangkan
pengetahuan akan alam. Orang yang mempunyai kecerdasan lingkungan/natural
memiliki kemampuan untuk tinggal di luar rumah, dapat berhubungan dan
berkawan dengan baik.
13. Robert J Sternberg
Stenberg mengemukakan teori intelegensi triarchic. Teori ini berusaha
menjelaskan secara terpadu hubungan antara (a) intelegensi dan dunia internal
seseorang, atau mekanisme mental yang mendasari perilaku mental seseorang; (b)
intelegensi dan dunia eksternal seseorang, atau penggunaan mekanisme mental
sehari-sehari guna mencapai kesesuaian dengan lingkungan, dan (c) intelegensi dan
pengalaman, atau peranan perantara antara dunia eksternal dan internal dalam hidup
seseorang. Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya, teori ini berisikan tiga sub teori,
yaitu konteks (contextual), subteori pengalaman (experience) serta subteori
komponen (componential) (Azwar, 2011).
Subteori konteks berusaha menjelaskan dan menunjukkan perilaku-perilaku
yang dianggap perilaku intelegen pada lingkungan budaya tertentu, yaitu intelegensi
kontekstual. Menurut Stenberg, perilaku intelegen suatu budaya adalah perilaku yang
melibatkan penyesuaian atau adaptasi pada lingkunga budaya tersebut, pemilihan
lingkungan yang optimal, atau pembentukan lingkungan yang ada sehingga lebih
sesuai dengan kemampuan, minat, dan nilai-nilai seseorang. Jadi, perilaku intelegen
menurut konteks ini bersifat relatif menurut individu dan menurut keadaan sosial-
budaya tempat individu berbeda (Azwar, 2011).
Subteori pengalaman, menyatakan bahwa perilaku yang intelegen menurut
konteksnya tidak selalu berarti intelegen pula menurut aspek pengalaman. Intelegensi
pengalaman, menurut subteori ini, paling jelas diperlihatkan oleh kemampuan
indvidu dalam memberikan respon terhadap situasi yang baru (novel) secara otomatis
dan tanpa kesukaran. Intelegensi pengalaman menekankan pentingnya insight dan
kemampuan untuk meneruskan gagasan-gagasan baru.
Subteori komponen, berupaya menunjukkan dan menjelaskan stuktur dan
proses kognitif yang mendasari semua perilaku intelegen, yaitu intelegensi
komponensial. Intelegensi komponensial menekankan pentingnya efektivitas
pengolahan informasi.

1.5 Peran Intelegensi dalam Kehidupan Manusia


Menurut Binet (Suryabrata, 2004), sifat hakikat inteligensi ada tiga macam,
yaitu:
1. Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan)
tujuan tertentu. Semakin cerdas seseorang, akan makin cakaplah ia membuat
tujuan sendiri, tidak menunggu perintah. Semakin cerdas seseorang, maka dia
akan makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan
suasana lain.
2. Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud mencapai tujuan.
Semakin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan cara-cara
menghadapi sesuatu dengan semestinya dan makin dapat bersikap kritis.
3. Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri,
kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Semakin cerdas
seseorang semakin dapat ia belajar dari kesalahannya, kesalahan yang telah
dibuatnya tidak mudah di ulang lagi.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelasakan bahwa seseorang yang memiliki
inteligensi yang tinggi cenderung memiliki perbedaan dan kelebihan dalam
menanggapi sesuatu permasalahan demi mencapai tujuannya. Sebagai contoh dalam
bidang pendidikan, pelajar yang memiliki inteligensi tinggi dalam proses belajar, dia
akan lebih mudah mengatasi masalahnya dan cenderung bisa mencapai tujuan
pembelajaran. Ini dikarenakan seorang pelajar yang memiliki inteligensi tinggi
cenderung bisa menentukan tujuannya tanpa harus mendapatkan bimbingan lebih dari
gurunya, dan dapat menyesuaikan dirinya untuk mencapai tujuan. Selain itu, seorang
pelajar yang memiliki inteligensi yang tinggi memiliki kemampuan oto-kritik yang
tinggi, sehingga dia bisa memperbaiki diri dari kesalahan yang ada. Sebaliknya,
seorang pelajar dengan inteligensi yang rendah (pada tingkatan di bawah normal)
tidak akan sama kemampuannya dalam kegiatan belajar. Bagi seorang guru dengan
diketahuinya inteligensi akan mempengaruhi dalam perlakuan kepada subjek didik
yang berbeda-beda tersebut. Sejalan dengan uraian di atas, Khadijah (2009)
mengemukakan inteligensi seseorang diyakini sangat berpengaruh pada keberhasilan
belajar yang dicapainya. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi belajar biasanya
berkorelasi searah dengan tingkat inteligensi. Artinya, semakin tinggi tingkat
inteligensi seseorang, maka semakin tinggi prestasi belajar yang dicapainya.
Setiap individu memiliki tingkat inteligensi yang berbeda-beda pada
kenyatannya. Perbedaan individu dalam inteligensi ini perlu diketahui dan dipahami
oleh pendidik terutama dalam hubungannya dengan pengelompokan siswa. Selain itu,
pendidik harus menyesuaikan tujuan pembelajarannya dengan kapasitas inteligensi
siswa. Perbedaan inteligensi yang dimiliki oleh siswa membuat guru harus
mengupayakan agar pembelajaran yang ia berikan dapat membantu semua siswa
dengan perlakuan metode yang beragam (Khadijah, 2009). Lebih lanjut Khadijah
mengatakan (2009), perbedaan tersebut juga tampak dari hasil belajar yang dicapai.
Tinggi rendahnya hasil belajar yang dicapai oleh siswa bergantung pada tinggi
rendahnya inteligensi yang dimiliki. Meski demikian, inteligensi bukan merupakan
satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang, masih
terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Konsep multiple intelligence yang dikemukakan Gardner memandang
kecerdasan manusia meliputi tujuh macam kecerdasan. Multiple intelligence sebagai
satu gagasan bahwa kecerdasan yang dimiliki manusia adalah beragam, dan masing
masing individu memiliki keunikan tidak sama satu dengan lainnya . Dalam bidang
pendidikan, multiple intelligence kini telah banyak dikembangkan dari sejak kajian
teoritis sampai pada berbagai praktek kegiatan pendidikan dan pembelajaran baik di
kelas maupun di luar kelas. Kajian-kajian tentang pengembangan kemampuan peserta
didik berdasarkan multiple intelligence ini memberikan pengetahuan bagaimana
sebenarnya hakikat manusia dari sisi potensi, bakat dan kemampuannya dapat
dikembangkan secara optimal. Konsep multiple intelligence, bila dipahami dengan
baik, akan membuat semua pendidik memandang potensi anak lebih positif. Konsep
multiple intelligence ini juga mendorong guru untuk berpikir lebih terbuka agar
keluar dari paradigma tradisional yang beranggapan bahwa kecerdasan hanya dilihat
dari satu kemampuan intelektual atau kognitif saja. Guru yang memiliki wawasan
multiple intelligence akan mampu merancang kurikulum, mengembangkan
metodologi pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar anak dengan lebih optimal.
Terlebih lagi, para guru pun dapat menyiapkan sebuah lingkungan yang
menyenangkan dan memberdayakan di sekolah. Seorang. Multiple intelligence ini
dalam kegiatan pembelajaran dapat diterapkan dalam tiga bentuk utama yakni
(Mardianto, 2012) :
a. Orientasi kurikulum
Penerapan konsep multiple intelligence dalam kurikulum memiliki dasar
pemikiran sebagai berikut: (1) multiple intelligence berkenaan dengan
kemampuan peserta didik dalam melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2)
multiple intelligence menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik
untuk menjadi standart kompetensi; (3) multiple intelligence merupakan hasil
belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta
didik setelah melalui proses pembelajaran; (4) Kehandalan kemampuan peserta
didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu
standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur; (5) Penyusunan
standart kompetensi, kompetensi dan hasil belajar hendaknya didasarkan pada
multiple intelligence yang ditetapkan secara proporsional, tidak melulu hanya
apsek kognitif atau spritual belaka tetapi seimbang dan tepat sasaran.
b. Metodologi pengembangan pembelajaran
Metodologi pembejaran dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep dari
multiple intelligence. Beberapa contoh diantaranya: (a) penggunaan metode
bercerita, merupakan salah satu bentuk untuk mengembangkan intelligence
lingusitic, dimana siswa diajak menyenangi dan mencintai bahasa; (b) metode
problem solving, siswa dihadapkan pada masalah konkret dan diajak untuk
memikirkan bersama, mendiskusikan bersama, dan memecahkan masalah secara
bersama-sama sehingga metode ini dapat mengasah kecerdasan interpersonal; (c)
metode reflective thinking/critical thinking, siswa diajak untuk membuat catatan
refleksi atau tanggapan siswa secara pribadi atau berkelompok dihadapkan pada
suatu bahan (artikel, peristiwa, kasus, gambar, foto, dan lain sebagainya) sehingga
cara ini dapat mengembangkan kecerdasan bodily kenisthetic, juga interpersonal
inteligence.
c. Pengembangan Evaluasi Hasil Pembelajaran
1. Evaluasi dikembangkan dengan prinsip untuk memberikan informasi
kemajuan belajar siswa dalam berbagai bidang intelligensi (multiple
intelligence). Hal ini sudah harus tergambar sejak dalam perencanaan
pembelajaran pengembangan kegiatan pembelajaran.
2. Bentuk evaluasi harus dikembangkan dengan berbagai macam yang dapat
mengakomodir kecerdasan yang sangat kompleks. Bentuk tes soal ujian harus
diiringi dengan tugas, nilai praktek dan nilai sehari hari sangat besar perannya
dalam penentuan keberhasilan belajar.
3. Proses penilaian berbasis kelas dan berangkat dari potensi apa yang dimiliki
anak, kemudian kecerdasan apa yang tepat untuk dikembangkan pada dirinya.
Artinya kompetensi yang ditetapkan oleh guru dalam tujuan pembelajaran
juga harus diiringi dengan pertimbangangan lain dimana masing-masing anak
memiliki keunikan yang khas, sehingga pengukuran kecerdasannya pun
membutuhkan ciri khas.
Berdasarkan uraian tersebut, konsep multiple intelligence memiliki peran
dalam mengembangkan kemampuan peserta didik dengan mempertimbangkan
berbagai potensi, bakat dan kemampuannya yang dimiliki oleh masing-masing
peserta didik. Proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah harus memperhatikan
keragamam keceradasan yang dimiliki anak, dengan cara seperti ini, potensi dan hak
anak akan dapat dihargai atas dasar perbedaan dan kemampuan. Akhirnya anak akan
nyaman belajar dan dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang ditetapkan.
Konsep Gardner mengenai multiple intelligence khususnya kecerdasan
interpersonal ditempatkan oleh Salovey dalam definisi dasar tentang kecerdasan
emosional (Goleman, 2001). Gardner menjelaskan kecerdasan emosional sama
dengan kecerdasan pribadi yang terdiri dari kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan
interpersonal. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk
mengenali emosi diri sendiri dan emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang
lain. Goleman (2001) menegaskan, dengan mengoptimalkan pengelolaan kecerdasan
emosional akan menghasilkan empat domain kompetensi yang sangat efektif yaitu,
kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan pengelolaan relasi. Kecerdasan
emosional memberi individu kesadaran mengenai perasaaan milik diri sendiri dan
juga perasaaan menjadi milik orang lain. Kecerdasan emosional memberikan individu
rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau
kegembiraan secara tepat.
Goleman mengemukakan, bahwa kehidupan mental manusia dibentuk dari
dua pikiran yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional yang bekerja dalam
keselarasan yang erat, dan saling melengkapi (Goleman, 2001). Kecerdasan pikiran
rasional diukur dengan IQ (intelligence Question). Test IQ digunakan sebagai dasar
meramalkan kemampuan bidang karir akademik. Selama ini IQ diyakini sebagai satu
satunya faktor yang menentukan kesuksesan seseorang. Penyelidikan ilmiah pertama
yang pernah dilakukan membandingkan kecerdasan emosional (emotional
intelligence) dengan cognitive inteligence (IQ), dilakukan dengan cara mengukur
prestasi kerja menggunakan Baron Emotional Questient Inventory (EQ-i). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cognitive intelligence (IQ) mempengaruhi sekitar 1%
performansi kerja aktual. EI (emotional intelligence) mempengaruhi sebesar 27 %
dan 72 % lainnya dipengaruhi oleh hal hal lain (Multi-Health Systems Inc, dalam
Mardianto, 2012). Stein dan Book menyatakan bahwa IQ dapat digunakan untuk
memperkirakan sekitar 1-20 % (rata-rata 6 %) keberhasilan dalam pekerjaan tertentu.
EQ di sisi lain ternyata berperan sebesar 27-45 %, dan berperan langsung dalam
keberhasilan pekerjaan tergantung pada jenis pekerjaan yang diteliti (Stein dan Book,
dalam Mardianto, 2012). Kecerdasan emosional bukan lawan dari kecerdasan
rasional, meskipun keduanya merupakan kemampuan yang berbeda secara
fundamental. Keduanya berinteraksi secara dinamis dalam membentuk kehidupan
manusia. Emosi sangat penting bagi rasionalitas. Tetapi rasio memainkan peran
penting dalam emosi individu. Keberhasilan dalam hidup ditentukan oleh keselarasan
hubungan antara keduanya.
Daftar Pustaka

Anastasia, A & Urbina S. (1998). Tes Psikologi (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta:
PT.Prenhallindo
Azwar, S. 2011. Pengantar Psikologi Inteligensi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Goleman Daniel. 2001. Emosional Intelligence: mengapa EI lebih penting dari
pada
IQ, Jakarta: Gramedia. (Terj.)
Guilford, J.P. 1950. Creativity. American Psychologist, Vol. 5
Hurlock, Elizabeth. 2005. Perkembangan Anak. Bandung: Erlangga

Kartini, Kartono. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung :


Mandar Maju.
Khadijah, Nyanyu. 2009. Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo
Press.
Kim, M., Roh & Cho. 2016. Creativity of Gifted Student in an Integrated Math-
Science Instruction. Journal of Skill and Creativity Vol.19 pp38-48
Lestari, Ayuliani Rizqi. 2017. Hubungan Antara Intelegensi dan Kreativitas Pada
Siswa Cerdas Istimewa di SMA 1 Gresik. Skripsi: Universitas Airalngga
Mardianto. 2012. Psikologi Pendidikan Landasan Bagi Pengembangan Strategi
Pembelajaran. Medan : Perdana Publishing
Munandar, S.C.U. 1977. A Study of Relationship between Measures of Creative
Thinking and a Number of Educational Variables in Indonesia Primary and
Junior Secondary Schools. Jakarta: Depdikbud.
Munandar, S.C.U. 2001. Pengalaman 10 Tokoh Kreativitas Indonesia :
Mengembangkan Kreativitas. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka


Cipta.
Nastity, Sanny Ayu. 2016. Perbedaan Tingkat Kreativitas Ditinjau dari Persepsi
Anak Terhadap Pola Asuh Orangtua Siswa SD Muhammadiyah 4 Surabaya.
Skripsi. Universitas Airlangga.

Rachmawati, Y. 2012. Startegi Pengembangan Kreativitas Pada Anak. Jakarta:


Kencana Perdana Media Group.

Rhodes, M. 1961. An Analysis Of Creativity. The Phi Delta Kappan, 42(7), 305-310.

Salim, A. 2012. Studi Deskriptif Orisinalitas Respon Terhadap Stimulus

Lingkaran
Tes Kreativitas Figural. (TKF) Usia 12-13 Tahun. Skripsi: Universitas
Airlangga.

Semiawan, Conny dkk, 1994. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah
Menengah, Gramedia, Jakarta.
Stenberg, Robert J, Edward E. Smith. 1988. The Psychology of Human Thought.
USA: Cambridge University Press.
Stenberg, R. J., Kaufman J.C., & Prez J.E. 2002. The Creativity. New York:
Psychology Press

Solso, R.l., Maclin, O.H., & Machlin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif. Jakarta :
Erlangga.

Sukardi, Dewa Ketut & Desak P. E. Nila Kusmawati. 2008. Proses Bimbingan
dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : ANDI
Weisberg, Robert W. 2006. Creativity: Understanding Innovation in Problem
Solving, Science, Invention and the Art. USA: John Willey & Sons, Inc.

Jati Fatmawiyati | Magister Psikologi Universitas Airlangga Page 21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai