Anda di halaman 1dari 81

1

BAB II

KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ), KECERDASAN EMOSIONAL


(EQ), KECERDASAN SPIRITUAL (SQ) DAN PERILAKU SOSIAL

A. Kecerdasan Intelektual (IQ)

1. Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan adalah anugerah istimewa yang dimiliki oleh manusia,

sedangkan makhluk lain memiliki kecerdasan yang terbatas. Manusia

mampu memahami segala fenomena kehidupan secara mendalam,

mampu mengetahui suatu kejadian kemudian mengambil hikmah dan

pelajaran darinya, menjadi lebih beradab dan menjadi bijak, semua itu

dikarenakan manusia memiliki kecerdasan sehingga dapat dijadikan

sebagai alat bantu di dalam menjalani kehidupannya di dunia. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan adalah perihal cerdas,

perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan perkembangan akal budi

(seperti kepandaian, ketajaman pikiran).

Konsep di atas menghendaki kesempurnaan akal serta budi yang

meliputi kepandaian dan optimalisasi berpikir. Namun selama ini

ukuran kecerdasan selalu dilihat dari paradigma intelegensi (IQ).

Kecerdasan seseorang bisa dilihat dari hasil tes. Angka-angka

memainkan peranan penting dalam penilaian siswa. Efeknya

kecendrungan untuk menilai sesuatu dilandaskan pada rasio saja, tanpa

melihat pertimbangan-pertimbangan lain. Ironis sekali bahwa gagasan

yang pada dasarnya cukup baik ini, terpaksa harus membatasi


2

kesempatan banyak orang hanya karena potensi-potensi mereka tidak

terukur oleh test kecerdasan (IQ). Yang perlu ditekankan di sini bahwa

test IQ itu ternyata kurang efektif dalam menyeleksi orang berdasarkan

aspek kecerdasannya saja, namun betapa konsep kecerdasan ini telah

membentuk konsepsi diri manusia yang parsial. Seseorang mungkin

memperlihatkan kecerdasan dalam suatu tindakan yang memerlukan

intelegensi, dan tidak demikian halnya pada tindakan yang lain.

Istilah intelegensi itu sendiri berasal dari kata Latin yaitu

intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama

lain (to organize, to relate, to bind, together). Pengertian kecerdasan

atau intelegensi memberikan bermacam-macam arti bagi para ahli,

diantaranya :

a. Jean Piaget (dalam Asrori)1 mengatakan bahwa kecerdasan adalah

seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaftif, termasuk

kemampuan mental yang komplek. Dengan kata lain kecerdasan

adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur

kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaftasi mental

terhadap situasi baru.

b. Sedangkan menurut David Wechsler (dalam Nana Saodih)2

intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,

berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara

efektif.

1
Ali. M, Asrori. M. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta : Bumi Aksara, 27
2
Saodih, Nana. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : IKIP Bandung, 30
3

c. Menurut C.P. Chaplin (dalam Syamsu Yusuf)3 intelegensi itu

sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap

situasi baru secara cepat dan efektif.

d. Menurut Thorndike (dalam Abu Ahmadi)4 “Inteligence is

demonstrable in ability of the individual to make good response

from the stand point of truth or fact” . Artinya orang dianggap

intelegen bila responnya merupakan person yang baik terhadap

stimulus yang diterimanya. Jadi individu itu dikatakan intelegen

kalau respon yang diberikan itu sesuai dengan stimulus yang

diterimanya. Untuk memberikan respon yang tepat, organisme

harus memiliki lebih banyak hubungan stimulus dan respon dan hal

tersebut dapat diperoleh dari hasil pengalaman yang diperolehnya

dan hasil respon yang telah lalu.

e. Sedangkan Lewis Hedison Terman (dalam Abu Ahmadi)5

memberikan pendapatnya mengenai intelegensi sebagai “…..the

ability to carry on abstract thingking”.Terman membedakan

adanya “ability” yang berhubungan dengan hal-hal yang kongkrit

dan “ability” yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.

Orang itu intelegen kalau dapat berpikir secara abstrak yang baik.

3
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 106
4
Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 89
5
Ibid. Ahmadi, Abu, 90
4

f. Menurut Simon Binet (dalam Syamsu Yusuf)6 bahwa sifat hakikat

intelegensi itu ada tiga macam, yaitu : (1) kecerdasan untuk

menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan

tertentu. Semakin cerdas seseorang, akan semakin cakaplah dia

membuat tujuan sendiri, mempunyai inisiatif sendiri/tidak

menunggu perintah saja; (2) kemampuan untuk mengadakan

penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut; (3)

kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar

dari kesalahan yang telah dibuatnya.

Dari definisi-definisi di atas, secara garis besar dapat disimpulkan

bahwa kecerdasan/intelegensi adalah suatu kemampuan umum untuk

menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan

secara cepat, tepat, efektif dan efisien.

2. Pengertian Kecerdasan Intelektual (IQ)

Orang sering menyamakan arti intelegensi dengan kecerdasan

intelektual (IQ), arti intelegensi sudah dijelaskan secara rinci pada

bagian terdahulu. Sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) adalah skor

yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Tes kecerdasan hanya

dirancang untuk mengukur proses berfikir yang bersifat konvergen,

yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan

yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Dengan demikian,

kecerdasan intelektual hanya memberikan sedikit indikasi mengenai


6
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 106
5

taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan

seseorang secara keseluruhan.

Agus Nggermanto mengatakan bahwa kecerdasan intelektual

terutama didasarkan pada kerja “Neokorteks” yaitu lapisan yang dalam

evolusi berkembang paling akhir dibagian atas otak. “Neokorteks”

dapat berfikir secara kreatif jika emosinya senang, bersemangat,

termotivasi dan instingnya merasa aman.7

Syahmuharnis mengatakan bahwa kecerdasan intelektual merupakan

cermin dari kecerdasan logis dan verbal, sehingga orang-orang yang

memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi umumnya sukses di

bangku pendidikan.8

3. Teori-teori Intelegensi

Teori tentang intelegensi sangat banyak dan tiap teori bertolak dari

perbedaan asumsi sehingga memberikan rumusan yang berbeda.

Beberapa teori memperlihatkan kecenderungan yang sama, bahwa

intelegensi menunjukkan kepada cara individu berbuat yaitu : apakah

berbuat dengan cara yang cerdas, kurang cerdas, atau tidak cerdas

sama sekali.

Suatu perbuatan yang cerdas ditandai oleh perbuatan yang cepat

dan tepat. Cepat dan tepat dalam memahami hubungan antar unsur

dalam menarik kesimpulan serta dalam mengambil keputusan.

Menurut beberapa ahli tentang teori intelegensi adalah :


7
Nggermanto, Agus. 2002. Quantum Quotient. Kecerdasan Quantum. Bandung : Nuasa, 45
8
Syahmuharnis dan Harry Sidharta. 2006. Transecdental Qoetiont, Kecerdasan Diri Terbaik.
Jakarta : Republika, 198
6

a. Faktor Tunggal

Teori ini dikemukakan oleh Alfred Binet (dalam W.S.

Winkel)9. Dia berpendapat bahwa intelegensi merupakan sisi

tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan

proses kematangan seseorang. Intelegensi sebagai suatu yang

fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati

dan menilai tingkat perkembangan individu berdasarkan kriteria

tertentu.

b. Dua Faktor

Teori ini dikemukakan oleh Charles Spearman (dalam

Syamsu Yusuf)10. Dia berpendapat bahwa intelegensi itu meliputi

kemampuan umum yang diberi kode “g” (general factors) dan

kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific factors). Setiap

individu memiliki kedua kemampuan tersebut yang mana dapat

menentukan penampilan atau perilaku mentalnya.

c. Multi Faktor (Multiple Intelligence)

Teori ini dikemukakan oleh Howar Gardner (dalam

Sarwono)11. Dia berpendapat bahwa intelegensi itu bukan satu,

melainkan 7 atau 8 macam. Setiap orang mempunyai

kekuatan/kelebihannya masing-masing. Ada yang kuat di satu atau

beberapa bidang intelegensi, namun tidak mungkin pandai di

9
Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta : Grasindo, 86
10
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 107
11
Sarwono, Sarlito. 2013. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Pers, 93
7

segala bidang. Jenis-jenis intelegensi yang dimaksud adalah

sebagai berikut :

1) Bodily-kinesthetic : kecerdasan yang terkait dengan gerakan

anggota tubuh. Diperlukan oleh penari, olahragawan, tentara,

polisi, dokter bedah, tukang bangunan, pemain sirkus, dsb.

2) Interpersonal : kecerdasan yang terkait dalam berhubungan

dengan orang lain. Peka terhadap perasaan, sifat dan motivasi

orang lain, mampu bekerja sama dengan orang lain dan jadi

bagian dari kelompok. Bisa berkomunikasi dengan efektif dan

mudah berempati, suka berdiskusi dan biasanya dikenal sebagai

seorang yang ekstrovert. Sangat baik untuk berkarier sebagai

sales, pemasaran, guru, manajer, pekerja sosial, dsb.

3) Verbal-linguistic : kemampuan yang terkait dengan kata-kata

lisan maupun tertulis. Mahir dalam menulis, bercerita,

membaca, menghapal kalimat-kalimat, memainkan kata-kata,

dan berpidato. Bisa menjadi pengacara, penulis buku,

wartawan, filsuf, politisi, penyair, dsb.

4) Logical-mathematical : bidang ini menyangkut logika,

penggunaan akal, kemampuan abstraksi dan angka. Bukan

hanya dalam pelajaran matematika atau IPA, namun juga

diperlukan dalam merancang penelitian, pengembangan

program komputer, dan aktivitas lain yang memerlukan

kemampuan logika. Jenis inteligensi ini berkorelasi tinggi


8

dengan pengukuran IQ dalam pengertian inteligensi yang

konsensional. Matematikawan, peneliti, pakar fisika, ekonom,

dsb.

5) Intrapersonal : kemampuan utama adalah instropeksi dan

refleksi diri. Orang berinteligensi intrapersonal yang tinggi

biasanya tergolong introvert. Mereka paham akan dirinya

sendiri, kekuatan dan kelemahan dirinya, dan mengenali

keunikan dirinya dibandingkan dengan orang lain. Mereka juga

mampu meramalkan reaksi dan emosinya sendiri. Seorang

tokoh yang dianggap punya kemampuan intrapersonal yang

tinggi adalah Sigmund Freud. Kemampuan ini sangat

bermanfaat bagi profesi psikolog, teolog dan penulis.

6) Visual-spatial : terkait dengan kemampuan yang tinggi dalam

mengambil keputusan dalam bidang penglihatan dan ruang

(space). Memori visualnya sangat kuat dan mereka mahir

memainkan memori itu menjadi suatu hal yang baru, indah atau

artistik. Mereka juga pandai dalam menentukan arah, dan

punya koordinasi mata-tangan yang sangat baik. Menurut

penelitian, ada korelasi antara visual-spatial ini dengan

intelegensi matematika. Intelegensi jenis ini dibutuhkan oleh

artis senirupa, insinyur (bukan insinyur pertanian) dan arsitek.

7) Musical : kecerdasan musikal terkait dengan irama, musik,

nada dan pendengaran. Mereka biasanya bisa bernyanyi dan


9

mempunyai nada suara (pitch) yang pas (tidak sumbang).

Kebanyakan juga bisa memainkan alat musik dan mengarang

lagu. Bahkan untuk menghapalkan sesuatu lebih mudah kalau

dalam bentuk lagu, nyanyian atau irama. Kalau sedang

mengerjakan sesuatu lebih suka dengan mendengarkan musik

sebagai latar belakang. Profesi yang terkait dengan kecerdasan

musik tentu saja yang berhubungan dengan musik seperti :

penyanyi, musisi, konduktor, pencipta lagu, pencipta

aransemen, guru musik, guru vocal, dsb.

8) Naturalistic : jenis intelegensi ini merupakan pengembangan

setelah tahun 1997, jadi tidak terdapat dalam teori Gardner

sebelumnya (1993). Walaupun banyak yang kurang sependapat

dan mengkritiknya lebih condong kepada minat, bukan

intelegensi, namun banyak juga yang beranggapan bahwa

kecerdasan naturalistic ada dan berdiri sendiri. Kaitan

intelegensi ini adalah dengan alam, baik pengenalan maupun

pemeliharaan alam. Mereka mudah bergaul dengan binatang,

mengenali berbagai jenis flora dan fauna dengan tepat, dan

mampu membaca perubahan cuaca. Disarankan orang dengan

kecerdasan naturalistic memilih pekerjaan yang bersifat di luar

rumah (out door). Insinyur pertanian dan dokter hewan

membutuhkan kecerdasan ini.


10

Konsekuensi dari teori Kecerdasan Ganda ini adalah orang

tua dan guru harus cermat mengamati kemampuan anaknya.

Jangan memaksakan anak untuk mendapatkan nilai 100 pada

pelajaran matematika, jika kecerdasan utamanya adalah musik

atau senirupa.

d. Triachic of Intelligence

Teori ini dikemukakan oleh Robert Stenberg12. Teori ini

merupakan pendekatan proses kognitif untuk memahami

inteligensi. Stenberg mengartiknnya sebagai suatu “deskripsi tiga

bagian kemampuan mental” (proses berpikir, mengatasi

pengalaman atau masalah baru, dan penyesuaian terhadap situasi

yang dihadapi) yang menunjukkan tingkah laku intelegen. Dengan

kata lain, tingkah laku intelegen itu merupakan produk (hasil) dari

penerapan strategi berpikir, mengatasi masalah-masalah baru

secara kreatif dan cepat, dan penyesuaian terhadap konteks dengan

menyeleksi dan beradaptasi dengan lingkungan.

1) Proses Mental (berpikir)

a) Meta Component : perencanaan aturan, seleksi strategis,

dan monitoring (pemantauan), contohnya : mengidentifikasi

masalah, alokasi perhatian dan pemantauan bagaimana

strategi itu dilaksanakan.

12
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 109
11

b) Performance Components : melaksanakan strategi yang

terseleksi. Melalui komponen ini memungkinkan kita untuk

mempersepsi dan menyimpan informasi baru.

c) Knowledge-Acquisition Componen

Memperoleh pengetahuan baru, seperti : memisahkan

informasi yang relevan dengan yang tidak releven dalam

rangka memahami konsep-konsep baru.

2) Coping With New Experience

Tingkah laku intelegen dibentuk melalui dua karakter, yaitu :

a) Insight, atau kemampuan untuk menghadapi situasi baru

secara efektif

b) Automaticity, atau kemampuan untuk berpikir dan

memecahkan masalah secara otomatis dan efisien.

Dengan demikian, tingkah laku intelegen itu melibatkan

kemampuan berpikir kreatif dalam memecahkan masalah baru

dan bersifat otomatis; kecepatan dalam menemukan solusi-

solusi baru dalam proses yang rutin dan dapat dilakukan tanpa

banyak menggunakan usaha kognisi.

3) Adapting to environment

Yaitu kemampuan untuk memilih dan beradaptasi dengan

tuntutan atau norma lingkungan. Kemampuan ini sangat

penting bagi individu dalam meraih kesuksesan hidupnya,


12

seperti : dalam memilih karier, keterampilan sosial dan bergaul

dalam masyarakat secara baik.

Tabel 2.1.3
Elemen-elemen Teori Triathic

ELEMEN KEMAMPUAN
Contetextual Intelligence Mampu untuk beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan dan mengubah dunia (lingkungan) untuk
mengoptimalkan peluang-peluang serta mampu
memecahkan masalah.
Experiential Intelligence Mampu merumuskan gagasan-gagasan baru dan
mengkombinasikan fakta-fakta yang tidak berhubungan
serta mampu mengatasi masalah baru secara otomatis
(cepat).
Componential Intelligence Mampu berpikir abstrak, memproses informasi dan
menentukan kebutuhan-kebutuhan apa yang akan
dipenuhi.

4. Pengukuran Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan intelektual dapat diketahui melalui penggunaan tes

inteligensi. Tes ini dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai

satu alat ukur terpadu untuk melihat tingkat kemampuan yang ada

pada diri seorang individu.

Tes untuk mengukur kemampuan inteligensi seseorang tidak ada

yang sempurna. Dalam hal ini diketahui bahwa ebilitas mental yang

sangat kompleks menjadikan pengukuran hanya sebatas disusun,

dibentuk dan dilengkapi.

Lester D. Crow (dalam Asrori dan Ali)13 menegaskan bahwa

macam-macam tes ebilitas mental atau tes inteligensi dapat

diklasipikasikan menjadi :

a. Individual atau kelompok

13
M,Asrori, dan M, Ali. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara, 228
13

b. Bahasa atau verbal, bukan bahasa atau non verbal atau perbuatan

c. Mudah atau lebih sukar, disesuaikan dengan umur atau tingkat-

tingkat sekolah

Beberapa ahli yang telah merancang dan mengembangkan tes ukur

inteligensi sampai saat ini sebagian masih dipergunakan oleh para

pendidik, dan sebagian lagi telah ditinggalkan. Beberapa model tes

yang pernah dikembangkan adalah :

a. Tes Binet – Simon

Binet dan Simon (dalam Abu Ahmadi)14 keduanya bangsa

Prancis, mereka menyelidiki inteligensi anak-anak berumur antara

3 – 15 tahun untuk menggali tentang pengetahuan sekolah. Isinya

antara lain : menirukan kalimat-kalimat, menyebutkan deretan

angka, membuat kalimat dengan 3 perkataan, dsb.

Dengan tes ini kita mendapatkan perbandingan kecerdasan

(PK) atau inteligensi quotient (IQ).

IQ tersebut kita dapatkan dengan cara membagi umur

kecerdasan (MA = Mental Age) ialah jumlah nilai jawaban yang

betul dibagi umur kalender (CA = Chronological Age) ialah umur

anak yang diselidiki, kemudian dikalikan 100.

IQ = MA X 100
CA
MA = usia mental

CA = usia kronologi

14
Ahmadi, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 93
14

Jalannya Percobaan :

Mula-mula kita ajukan 5 pertanyaan yang sesuai dengan

umur anak misalnya : anak berumur 6 tahun kita ajukan

pertanyaan-pertanyaan yang sesuai untuk anak umur 6 tahun.

Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab semua, lalu

diajukan pertanyaan-pertanyaan di atasnya (untuk umur 7 tahun, 8

tahun, 9 tahun dan selanjutnya) sampai sama sekali tidak ada

pertanyaan yang terjawab.

Tetapi kalau pertanyaan yang pertama (untuk umur 6 tahun)

ada satu atau lebih pertanyaan yang dijawab salah, maka diajukan

pula pertanyaan-pertanyaan untuk umur di bawah (5 tahun, 4 tahun

dan 3 tahun) sampai terjawab semua. Kemudian kita hitung umur

kecerdasan, caranya sebagai berikut : pertanyaan-pertanyaan yang

terjawab semua (5 pertanyaan) dinilai sama dengan umur

pertanyaan, sedangkan jawaban-jawaban yang betul lainnya

masing-masing dinilai seperlima, kemudian kesemuanya dijumlah.

Jumlah tersebut kita bagi dengan umur anak, kemudian dikalikan

100, maka kita dapatkan IQ.

Contoh : tanda + = betul

Tanda - = salah
15

1) Suroso berumur 6 tahun (umur kalender = CA)


Tabel 2.1.5.1
Tabulasi Perhitungan Tes IQ Suroso

Umur Pertanyaan Jawaban Nilai


6 tahun + + + + + 6 tahun
7 tahun + - + + + 4 / 5 tahun
8 tahun + + - - - 2 / 5 tahun
9 tahun - - + - - 1 / 5 tahun
10 tahun - - - - - 0 tahun
2
Umur kecerdasannya 7 /5 tahun

Jadi IQ Suroso adalah : MA = 7 2/5 X 100 = 123


CA 6

2) Abdullah berumur 6 tahun


Tabel 2.1.5.2
Tabulasi Perhitungan Tes IQ Abdullah

Umur Pertanyaan Jawaban Nilai


4 tahun + + + + + 6 tahun
5 tahun + - + + + 4 / 5 tahun
6 tahun - + + - + 3 / 5 tahun
7 tahun + + - - - 2 / 5 tahun
8 tahun - - - - - 0 tahun
Umur kecerdasannya 6 tahun

Jadi IQ Abdullah adalah : MA = 7 2/5 X 100 = 100

b. Tes Tentara (Army Mental Test) di Amerika

Pada tahun 1917 Amerika Serikat terpaksa ikut dalam

perang dunia I (PD I) melawan Jerman. Karena itu, Amerika

Serikat terpaksa membentuk tentara secara besar-besaran dalam

waktu singkat. Maka diadakanlah tes tentara meliputi 1.700.000

orang calon anggota tentara, dan dikerjakan oleh 100 orang

pemeriksa dalam 35 asrama. Dalam tes tersebut digunakan


16

psikoteknik, yaitu ilmu jiwa yang mempelajari kesanggupan

seseorang untuk memegang suatu jabatan yang sesuai dengan

kecerdasan masing-masing. Karena tes itu meliputi senegara, maka

disebut National Intelligence Test.

c. Mental Tes

Yaitu tes untuk mengetahui segala kemampuan jiwa seseorang

yang meliputi fantasi, ingatan, pikiran, kecerdasan, perasaan. Jadi

inteligensi tes hanya merupakan bagian dari mental tes.

d. Scholastic Test

Yaitu tes untuk mengetahui tingkat pengajaran pada tiap-tiap mata

pelajaran, pada tiap-tiap kelas. Yang dipentingkan adalah bekerja

dengan cepat dan baik. Tes ini berguna untuk mengganti ulangan

umum atau ujian.

5. Penyebaran Inteligensi

Berdasarkan hasil pengukuran atau tes inteligensi terhadap sampel

yang dipandang mencerminkan populasinya, maka dikembangkan

suatu sistem norma ukuran kecerdasan sebaran sebagai berikut :

Tabel 2.1.6.1
Tingkatan Inteligensi

INTELLIGENCE QUOTION KLASIFIKASI


(IQ)
140 – ke atas Jenius
130 – 139 Sangat Cerdas
120 – 129 Cerdas
110 – 119 Di atas Normal
90 – 109 Normal
80 – 89 Di bawah Normal
70 – 79 Bodoh
17

50 – 69 Terbelakang (Moron/Debil
49 ke bawah Terbelakang
(imbecile/Idiot)

6. Beberapa Ciri yang Berhubungan dengan Tingkatan Inteligensi

serta Pengaruhnya terhadap Proses Belajar, Syamsu Yusuf

membagi dalam 10 ciri, yaitu:15

a. Idiot (IQ: 0 – 29)

Idiot merupakan kelompok individu terbelakang yang paling

rendah. Tidak dapat berbicara atau hanya dapat mengucapkan

beberapa kata saja. Biasanya tidak dapat mengurus dirinya sendiri,

seperti: mandi, berpakaian, makan, dan sebagainya, dia harus

diurus oleh orang lain. Anak idiot tinggal di tempat tidur seumur

hidupnya. Rata-rata perkembangan inteligensinya sama dengan

anak normal umur 2 tahun. Seringkali umurnya tidak panjang,

sebab selain inteligensinya rendah, juga badannya kurang tahan

terhadap penyakit. Baik di sekolah biasa maupun di sekolah luar

biasa anak idiot ini tidak akan ditemui.

b. Imbecile (IQ: 30 – 40)

Imbecile setingkat lebih tinggi dari anak idiot. Ia dapat belajar

berbahasa, dapat mengurus dirinya sendiri dengan pengawasan

yang teliti. Pada imbecile dapat diberikan latihan-latihan ringan,

tetapi dalam kehidupannya selalu bergantung pada orang lain, tidak

15
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 111
18

dapat berdiri sendiri/mandiri. Kecerdasannya sama dengan anak

normal berumur 3 – 7 tahun. Anak imbecile tidak bisa dididik di

sekolah-sekolah biasa.

c. Moron atau Debil (mentally handicapped/mentally retarded),

(IQ: 50 – 69)

Kelompok ini sampai tingkat tertentu dapat belajar membaca,

menulis dan membuat perhitungan-perhitungan sederhana, dapat

diberikan pekerjaan rutin tertentu yang tidak memerlukan

perencanaan dan pemecahan. Banyak anak-anak debil ini mendapat

pendidikan di sekolah-sekolah luar biasa.

d. Kelompok bodoh (dull/borderline) (IQ: 70 – 79)

Kelompok ini berada di atas kelompok terbelakang dan di bawah

kelompok normal (sebagai batas). Secara bersusah payah dengan

beberapa hambatan, individu tersebut dapat melaksanakan sekolah

lanjutan pertama tetapi sukar sekali untuk dapat menyelesaikan

kelas-kelas terakhir di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

e. Normal rendah (below average), (IQ: 80 – 89)

Kelompok ini termasuk kelompok normal, rata-rata atau sedang

tetapi pada tingkat bawah, mereka agak lambat dalam belajar.

Mereka dapat menyelesaikan sekolah menengah tingkat pertama

tetapi agak kesulitan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas pada

jenjang SLTA.

f. Normal sedang, (IQ: 90 – 109)


19

Kelompok ini merupakan kelompok yang normal atau rata-rata.

Mereka merupakan kelompok yang terbesar persentasenya dalam

populasi penduduk.

g. Normal tinggi (above average), (IQ: 110 – 119)

Kelompok ini merupakan kelompok individu yang normal tetapi

berada pada tingkat yang tinggi.

h. Cerdas (superior), (IQ: 120 – 129)

Kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah/akademik.

Mereka seringkali terdapat dalam kelas biasa. Pimpinan kelas

biasanya berasal dari kelompok ini.

i. Sangat cerdas (very superior/gifted), (IQ: 130 – 139)

Anak-anak gifted/very superior lebih cakap dalam membaca,

mempunyai pengetahuan tentang bilangan yang sangat baik,

perbendaharaan kata yang luas dan cepat memahami pengertian

yang abstrak. Pada umumnya, faktor kesehatan, kekuatan, dan

ketangkasan lebih menonjol daripada anak normal.

j. Genius (IQ: 140 ke atas)

Kelompok ini kemampuannya sangat luar biasa. Mereka pada

umumnya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan

menemukan sesuatu yang baru, walaupun mereka tidak bersekolah.

Kelompok ini berada dalam semua ras dan bangsa, dalam semua

tingkat ekonomi, baik laki-laki atau perempuan. Contoh orang

genius adalah Edison dan Einstain.


20

Uraian tersebut menjelaskan tentang inteligensi dalam ukuran

kemampuan intelektual atau tataran kognitif. Pandangan lama

menunjukkan bahwa kualitas inteligensi atau kecerdasan yang tinggi

dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu

dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Namun baru-

baru ini telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa

faktor yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan (kesuksesan)

individu dalam hidupnya bukan semata-mata ditentukan oleh tingginya

kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional yang

oleh ahlinya yaitu Daniel Goleman disebut Emotional Intelligence

(Kecerdasan Emosional) yang akan di bahas dalam sub bab tersendiri.

7. Kecerdasan Intelektual dalam Perspektif Islam

Tidak semua makhluk dilengkapi dengan akal, yang diberikan akal

oleh Allah SWT hanyalah sejenis manusia saja. Oleh sebab itu

makhluk jenis manusia menjadi makhluk yang mulia, hal tersebut

termaktub dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah : 33 dan 34 yang

menjelaskan eksistensi manusia.

Artinya : “Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada


mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang
kamu sembunyikan? (QS. 2 : 33)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah
21

mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia


termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. 2 : 34)16

Dari ayat ini berisi perintah Allah supaya semua malaikat dan iblis

dan jin untuk bersujud kepada Adam karena ia dapat menggunakan

akalnya mengetahui nama-nama benda (ilmu pengetahuan). Semuanya

besujud mengakui kelebihan Adam kecuali iblis.

Demikian pentingnya pengaruh akal bagi manusia. Atas rahman

dan rahim-Nya, manusia diberi akal sehingga menjadi makhluk yang

mulia, yaitu sebaik-baik makhluk yang disebutkan Allah dalam firman-

Nya QS. At-Tin: 4-5

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam


bentuk yang se-baik-baiknya.”
“Kemudian Kami kembalikan ke tempat yang serendah-
rendahnya (neraka).”17

Akal itu didukung dan dilengkapi pula dengan sarana yang

menunjang yaitu pendengaran, penglihatan dan hati supaya mereka

bersyukur. Kalimat yang terkandung pada QS. Al-Mukminun: 78

Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian,


pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu
bersyukur”18
16
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
17
Ibid, Departemen Agama
22

Jika ditelaah ayat di atas dapat dipahami bahwa pada diri Adam

terdapat suatu khasanah pengetahuan yang luas, sebuah perpustakaan

yang mengandung inti ilmu dan pengetahuan kemanusiaan, sebuah

laboratorium yang dapat memunculkan kreasi sehingga dapat

dikembangkan oleh manusia dari penemuan-penemuan di masa depan

dengan kecerdasan anak cucu Adam hingga datang hari kiamat. Anak

cucu Adam yang suka berfikirlah yang dapat mewarisi ilmu

pengetahuan ini baik secara teoritis maupun praktis, kemudian

mengembangkannya dan memanfaatkannya.

Meskipun ilmu-ilmu itu telah dibagi-bagikan kepada manusia dan

masing-masing individu telah mendapatkan sesuai dengan usaha

pendidikan, kesiapan, kemampuan, dan potensinya untuk menguasai

ilmu, dan kesungguhan dan usahanya untuk mencarinya, namun ilmu-

ilmu alamiah itu hanya secara khusus dimiliki oleh sebahagian

individu dari anak cucu Adam yang ulul albab, ulul abshar atau

ulinnuha.19

Mereka mendapatkan kejayaan serta kemulian untuk membawa

bendera ilmu pengetahuan di dunia, termaktub dalam QS. Al-

Mujadalah: 11.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu:


“Berlapang lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan

18
Ibid, Departemen Agama
19
http://lppbi-fiba.blogspot.co.id/2009/03/kecerdasan-akal-menurut-al-quran.html,
diakses pada hari Jum’at, 9-9-2016
23

apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,


niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”20

Semua itu atas karunia Allah, menurut pernyataan Allah ilmu yang

diberikan kepada manusia itu baru sedikit, termaktub dalam QS. Al-

Isra: 85.

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:


“Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit”21

Akan tetapi manusia sudah dapat merasakan berbagai kenikmatan

dan kemudahan dalam hidupnya, sehingga manusia dapat memakan

makanan yang lezat, bila malam hari terang benderang karena ada

lampu listrik, bila mau bepergian kemana saja ada kendaraan mewah,

bila ingin tahu peristiwa yang terjadi di pelosok mana saja di belahan

bumi ini dalam hitungan detik sudah dapat disaksikan langsung dengan

nyaman dan mudah melalui akses internet, komunikasi dengan saudara

yang jauhpun dapat tersambung langsung melalui telpon dengan

mudah. Semua kemudahan dan kenikmatan yang didapat oleh manusia

sayangnya tidak dibarengi dengan rasa syukur.

Berdasarkan pengamatan Daniel Golemen, banyak orang yang

gagal dalam hidupnya bukan karena kecerdasan intelektualnya rendah,


20
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
21
Ibid, Departemen Agama
24

namun karena mereka kurang memiliki kecerdasan emosional. Tidak

sedikit orang yang sukses dalam hidupnya karena mereka memiliki

kecerdasan emosional meskipun inteligensinya hanya pada tingkat

rata-rata.

Kecerdasan emosional ini semakin perlu dipahami, dimiliki dan

diperhatikan dalam pengembangannya karena mengingat kondisi

kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Kehidupan yang semakin

kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap

konstelasi kehidupan emosional individu. Dalam hal ini, Daniel

Golemen mengemukakan hasil survey terhadap para orang tua dan

guru yang hasilnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang

sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak

mengalami kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Mereka

lebih kesepian dan pemurung, lebih beringas dan kurang menghargai

sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan

agresif. Lebih jauh tentang apa dan bagaimana kecerdasan emosional

akan dibahas dalam sub bab di bawah ini.


25

B. Kecerdasan Emosional (EQ)

1. Pengertian Emosi

Secara etimologi22, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin

“movere” yang artinya “menggerakkan, bergerak”. Kemudian

ditambah dengan “e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”. Makna

ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal

mutlak dalam emosi.

Oxford English Dictionary23 mendefinisikan emosi sebagai “setiap

kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, napsu, setiap keadaan

mental yang hebat atau meluap-luap.

Menurut English and English (dalam Syamsu Yusuf)24 emosi

adalah “A complex feeling state accompanied by characteristic motor

and glandular activies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang

disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris).

Menurut Nana Syaodih25 emosi merupakan perpaduan dari

beberapa perasaan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi,

dapat menimbulkan suatu gejolak suasana batin yang dihayati

seseorang pada suatu saat. Emosi seperti halnya perasaan juga

membentuk suatu kontinum, bergerak dari emosi positif sampai

dengan yang bersifat negatif. Emosi itu sendiri merupakan pengalaman

22
Hude, Darwis. 2006. Emosi (Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam
Al-Qur’an. Jakarta : Erlangga, 16
23
Goleman, Daniel. 2015. Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Tinggi daripada IQ. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Terjemahan, 409
24
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 114
25
Syaodih, Nana. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : IKIP Bandung, 78
26

sadar yang mempengaruhi jasmani yang menghasilkan penginderaan

organik dan kinestetik, ekspresi yang nampak, dorongan suara hati

yang kuat.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, emosi

merupakan suatu gejala psikofisiologis yang menimbulkan efek pada

persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta mengejawantahkan dalam

bentuk ekspresi tertentu. Emosi dapat dirasakan secara psiko-fisik

karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi meledak-

ledak, ia secara psikis memberi kepuasan, tapi secara fisiologis

membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa ringan, juga

tidak terasa ketika berteriak puas kegirangan.

2. Pengelompokan Emosi

Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi

sensoris dan emosi kejiwaan (psikis).26

a. Emosi Sensori, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari

luar terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah,

kenyang, dan lapar.

b. Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan

kejiwaan. Yang termasuk emosi ini diantaranya adalah:

1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut

dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan

dalam bentuk: (a) rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu

26
Yusuf, Syamsu. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 117
27

karya ilmiah, (b) rasa gembira karena mendapat suatu

kebenaran, (c) rasa puas karena dapat menyelesaikan

persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.

2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan

dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.

Wujud perasaan ini seperti: (a) rasa solidaritas, (b)

persaudaraan (ukhuwah), (c) simpati, (d) kasih sayang dan

sebagainya.

3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan

nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya: (a)

rasa tanggung jawa (responsibility), (b) rasa bersalah apabila

melanggar norma, (c) rasa tentram dalam mentaati norma.

4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan

erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan

maupun kerohanian.

5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai

makhluk Tuhan, dianugrahi fitrah (kemampuan atau perasaan)

untuk mengenal Tuhannya. Dengan kata lain, manusia

dikaruniai insting religious (naluri beragama). Karena memiliki

fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai “Homo Divinans”

dan “Homo Religious” yaitu sebagai makhluk yang berke-

Tuhanan atau makhluk beragama.


28

Sedangkan sejumlah teoritikus mengelompokkan emosi

dalam golongan-golongan besar, meskipun tidak semua sepakat.

Daniel Goelman menyebutkan calon-calon utama dan beberapa

anggota golongan tersebut adalah:27

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel,

kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung,

bermusuhan, dan paling hebat adalah tindak kekerasan dan

kebencian patologis.

b. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis,

mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan bila menjadi

patologis yaitu depresi berat.

c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut

sekali, waspada, tidak tenang, ngeri, sebagai patologis yaitu

fobia dan panik.

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, puas, riang, terhibur, bangga,

kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa terpenuhi,

kegirangan luar biasa, senang sekali dan batas ujungnya

maniak.

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati,

rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.

f. Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana.

g. Jengkel: jijik, muak, benci, tidak suka, dan mau muntah.

27
Goleman, Daniel. 2015. Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Tinggi daripada IQ. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Terjemahan, 409
29

h. Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib.

Berdasarkan penemuan Paul Ekman dari University of California

(dalam Daniel Goleman)28 yang menyatakan bahwa ada empat emosi

inti yang ditunjukkan oleh ekspresi wajah tertentu (takut, marah, sedih

dan senang) dikenali oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia dengan

budayanya masing-masing.

3. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman, kecerdasan emosi atau “emotional

intelligence” merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita

sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,

dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

dalam hubungan dengan orang lain.29

Istilah kecerdasan emosional (EQ) dilontarkan pertama kali pada

tahun 1990 oleh Peter Salovey dan Jack Mayer dari Harvard

University of New Hampsire untuk menerangkan kualitas-kualitas itu

antara lain: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,

mengendalikan amarah, kemandirian, menyesuaikan diri, disukai,

kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan,

kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Mereka menjelaskan

bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasakan

emosinya, mengeluarkan atau membangkitkan emosi, seperti: emosi

untuk membantu berfikir, memahami emosi dan pengetahuan tentang


28
Goleman, Daniel. 2015. Emotional Intelligence, Mengapa EI Lebih Tinggi daripada IQ. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Terjemahan, 410
29
Ibid. Goleman, Daniel, 512
30

emosi serta untuk merefleksikan emosi secara teratur seperti

mengendalikan emosi dan perkembangan intelektual.30

Patton31, menyebutkan bahwa kecerdasan emosional mencakup

semua sifat seperti: (1) kesadaran diri, (2) manajemen suasana hati, (3)

motivasi diri, (4) mengendalikan implusi/desakan hati (5) keterampilan

mengendalikan orang lain. Patton mengingatkan bahwa keberhasilan

antar pribadi yang berasal dari kecerdasan emosional akan menjadi

salah satu keterampilan paling penting dalam hidup. Emosi menambah

kedalaman dan kekayaan dalam kehidupan seseorang. Tanpa perasaan,

tindakan seseorang akan lebih menyerupai computer, berfikir namun

tanpa gairah.

Sedangkan Goleman32, mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai kemampuan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga

terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang

bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama. Tingkat

kecerdasan emosi tidak terikat dengan faktor genetis, tidak juga hanya

dapat berkembang selama masa anak-anak. Tidak seperti IQ, yang

berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja. Tampaknya

kecerdasan emosional lebih banyak diperoleh lewat belajar, dan terus

berkembang sepanjang hidup sambil belajar dari pengalaman sendiri.

Seseorang semakin lama makin baik dalam kemampuan ini sejalan

30
Shapiro, E. Lawrence. 2003. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 5
31
Patton. 2002. EQ Perkembangan Sukses Lebih Bermakna. Jakarta: Mitra Media, 72
32
Goleman, Daniel. 2015. Kecerdasan emosional (Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 45
31

dengan makin terampilnya mereka dalam menangani emosi dan

impulsnya sendiri, dalam memotivasi diri, dan dalam mengasah empati

dan kecakapan sosial.

Keterampilan kecerdasan emosional bekerja secara sinergis dengan

keterampilan kognitif. Tanpa kecerdasan emosional, orang tidak akan

bisa menggunakan kemampuan-kemampuan kognitif mereka sesuai

dengan potensi maksimum. Doug Lennick (dalam Daniel Goleman)33

mengatakan bahwa yang diperlukan untuk sukses dimulai dengan

keterampilan intelektual, tetapi juga memerlukan kecakapan emosi

untuk memanfaatkan potensi bakat mereka secara penuh.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali diri sendiri

dan orang lain, kemampuan mengendalikan diri, mengatur diri,

menempatkan motivasi dan empati, mampu melakukan interaksi sosial

pada situasi dan kondisi tertentu serta mampu beradaptasi terhadap

reaksi serta perilaku. Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang

yang tidak terikat dengan unsur-unsur genetik yang berkaitan dengan

kemampuan untuk menerima dan memahami emosi diri sendiri dan

orang lain dengan baik, serta mampu mengelola emosi tersebut secara

sistematis untuk mencapai keberhasilan.

33
Goleman, Daniel. 2015. Kecerdasan emosional (Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 36
32

4. Pengembangan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional bukan merupakan sesuatu yang nampak

mati dan statis, akan tetapi merupakan sesuatu yang bersifat dinamis,

sesuatu yang dapat berkembang untuk mencapai puncak tertinggi.

Walaupun demikian kecerdasan emosional juga dapat menurun sesuai

dengan keadaan individu, lingkungan dan lain sebagainya.

Berdasarkan asumsi tersebut, maka para tokoh kecerdasan emosional

memberikan beberapa cara untuk mencerdaskan emosional seseorang

antara lain:

a. Pengembangan Gaya Steiner

Cara pengembangan kecerdasan emosional banyak

diusulkan oleh para praktisi dan penulis. Salah satu yang terbaik

adalah usulan Stainer. Menurut Stainer (dalam Agus

Nggermanto)34, terdapat tiga langkah utama untuk

mengembangkan kecerdasan emosional yaitu: membuka hati,

menjelajah emosi, dan tanggung jawab.

1) Membuka Hati

Membuka hati adalah langkah pertama, karena hati

merupakan simbol pusat. Hati penulis merasa damai saat

penulis bahagia, dalam kasih sayang, cinta, atau kegembiraan.

Hati penulis merasa tidak nyaman ketika sakit, marah, atau

patah hati. Dengan demikian, penulis mulai dengan

34
Nggermanto, Agus. 2003. Quantum Quotient-Kecerdasan Quantum (Cara Praktis Melejitkan IQ,
EQ, dan SQ yang Harmonis). Bandung: Nuansa, 100
33

membebaskan pusat perasaan penulis dari impuls dan pengaruh

yang membatasi penulis untuk menunjukkan cinta satu sama

lain. Tahap-tahap untuk membuka hati adalah: latihan

memberikan stroke kepada teman, meminta stroke, menerima

atau menolak stroke, dan memberikan stroke sendiri.

2) Menjelajah Dataran Emosi

Dengan menjelajahi dataran emosi, dapat membuka hati

penulis, penulis dapat melihat kenyataan dan menemukan peran

emosi dalam kehidupan. Penulis dapat melatih cara apa yang

penulis rasakan, seberapa kuat dan apa alasannya. Penulis

menjadi paham hambatan dan aliran emosi penulis. Penulis

mengetahui emosi yang dialami orang lain dan bagaimana

perasaan mereka dipengaruhi oleh tindakan penulis. Penulis

mulai memahami bagaimana emosi berinteraksi dan kadang-

kadang menciptakan gelombang perasaan yang menghantam

penulis dan orang lain. Secara singkat, penulis menjadi lebih

bijak menanggapi perasaan penulis dan perasaan orang lain.

Tahap menjelajah emosi adalah; pernyataan

tindakan/perasaan, menerima pernyataan tindakan/perasaan,

menaggapi percikan intuisi, dan validasi percikan intuisi.

3) Mengambil Tanggungjawab

Mengambil tanggungjawab untuk memperbaiki dan

mengubah kerusakan hubungan, penulis harus mengambil


34

tanggungjawab. Penulis dapat membuka hati penulis dan

memahami peta dataran emosional orang di sekitar penulis, tapi

itu saja tidak cukup. Ketika suatu masalah terjadi antara penulis

dengan orang lain, sangat sulit untuk melakukan perbaikan

tanpa tindakan lebih jauh. Setiap orang harus mengerti

permasalahan, mengakui kesalahan dan keteledoran yang

terjadi, membuat perbaikan, dan memutuskan bagaimana

segala sesuatunya. Karena perubahan memang harus dilakukan.

Langkah-langkah untuk menjadi tanggung jawab adalah:

mengakui kesalahan kita, menerima atau menolak pengakuan,

meminta maaf, dan menerima atau menolak permintaan maaf.

b. Pengembangan Gaya Gottman


35
Gottman (dalam Agus Nggermanto) , merumuskan cara

untuk mengembangkan kecerdasan emosional dengan langkah-

langkah yang sangat praktis dan efektif, terutama untuk membina

kerjasama dan saling pengertian baik dengan teman, siswa, anak-

anak, dan lain-lain.

1) Menyadari Emosi Anak

Langkah ini orang tua diharuskan untuk mengetahui emosi

dirinya sendiri dan anaknya. Orang tua yang sadar terhadap

emosinya sendiri akan dapat mengunakan kepekaan mereka

untuk menyelaraskan diri dengan perasaan anak mereka,


35
Nggermanto, Agus. 2003. Quantum Quotient-Kecerdasan Quantum (Cara Praktis Melejitkan IQ,
EQ, dan SQ yang Harmonis). Bandung: Nuansa, 102
35

dengan menyadari betapa tulus dan hebat dirinya. Namun

menjadi orang yang peka dan sadar secara emosional tidak

datang dengan begitu saja. Seringkali anak mengemukakan

emosi mereka secara tidak langsung dan dengan cara-cara yang

membingungkan orang lain. Intinya adalah, anak-anak seperti

semua orang mempunyai alasan bagi emosi mereka, entah

mereka dapat mengemukakan alasan emosi itu atau tidak.

Setiap kali penulis merasakan bahwa penulis berpijak pada

anak, maka penulis tahu perasaan apa yang sedang dirasakan

anak, penulis mengalami empati, yang merupakan landasan

pelatihan emosi. Seandainya penulis tetap dapat bersama anak

dalam emosi, penulis dapat mengayunkan langkah berikutya,

yaitu mengenali saat emosional sebagai kesempatan untuk

menjadi kepercayaan saling memberi.

2) Mengakui Emosi sebagai Kesempatan

Konon dalam bahasa Cina, karakter yang artinya

“kesempatan: termaktub dalam ikon yang artinya “krisis”.

Tidak ada tempat lain dimana kaitan antara kedua konsep itu

lebih cocok daripada peran penulis sebagai orang tua. Entah

krisis itu terwujud dalam sebuah balon meletus, nilai

matematika yang buruk, atau penghinaan seorang teman.

Pengalaman-pengalaman negatif semacam itu dapat berguna

sebagai peluang yang baik sekali untuk berempati, untuk


36

membangun kedekatan dengan anak, dan untuk membantu

mereka cara-cara menangani perasaan mereka itu.

3) Mendengarkan dengan Empati

Setiap kali penulis mampu melihat bahwa sebuah situasi

merupakan suatu kesempatan untuk menjalin keakbraban dan

membantu memecahkan masalah, penulis tetap siap barangkali

untuk langkah paling penting dalam proses pelatihan emosi

yaitu mendengarkan dengan empati.

Dalam kontek ini, mendengarkan berarti jauh lebih banyak

daripada mengumpulkan data dengan telinga penulis. Para

pendengar dengan empati menggunakan mata mereka untuk

mengamati petunjuk fisik emosi-emosi anak mereka. Mereka

menggunakan imajinasinya untuk melihat situasi tersebut dari

titik pandang anak tersebut. Mereka menggunakan kata mereka

untuk merumuskan kembali, dengan cara menyenangkan dan

tidak mengecam, apa yang mereka dengar dan untuk menolong

anak-anak mereka memberi nama emosi-emosi mereka itu.

Tetapi yang paling penting, mereka mengungkapkan hati

mereka untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak.

4) Mengungkapkan Nama Emosi

Salah satu langkah gampang dan sangat penting dalam

penelitian emosi adalah menolong anak untuk memberi nama

emosi mereka sewaktu mereka mengalami emosi tersebut.


37

Semakin seorang anak tepat dalam mengungkapkan perasaan

mereka lewat kata-kata, maka semakin baik kemampuan emosi

mereka.

5) Membantu Menemukan Solusi

Dalam proses ini memiliki lima tahapan yaitu:

a) Menentukan batas-batas

b) Menentukan sasaran

c) Memiliki pemecahan yang memungkinkan

d) Mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan

nilai-nilai keluarga

e) Menolong anak memiliki satu pemecahan

6) Jadilah Teladan

Seseorang mendengarkan, menangkap makna bukan

sekedar kata-kata, tetapi totalitas jiwa penyampai emosi. Oleh

karena itu jadilah sebagai teladan, sebagai orang yang memiliki

kecerdasaan emosional tinggi. Menurut kacamata Quantum

Teaching keteladanan adalah tindakan paling ampuh dan

efektif yang dapat dilakukan oleh seorang pelatih emosi.

Keteladanan dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan tanpa

banyak kata-kata.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Pendapat para ahli mengatakan bawa ada dua faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu: faktor internal


38

dan faktor eksternal. Kaitannya dengan faktor internal, banyak

penelitian yang dilakukan oleh para ahli tentang apa yang disebut teori

dominasi otak. Temuan tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa

masing-masing yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah

pendidikan, pelatihan dan pengalaman.36 Kecerdasan emosional selain

dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi lingkungan.

Lingkungan di sini dapat berbentuk nyata (empiris) atau tidak nyata

(non empiris). Keluarga merupakan sekolah pertama dalam

mempelajari emotional quotient.37

Pendidikan yang diperoleh akan membentuk pribadi, sehingga kita

yang dulu dengan yang sekarang akan berbeda. Pelatihan-pelatihan

yang diperoleh serta pengalaman yang kita alami juga mampu

mengubah diri sesuai dengan apa yang telah kita serap. Kecerdasan

emosional di sini akan berubah ketika mendapatkan hal-hal yang

berbeda.

Sementara itu Goleman38 menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor

yang mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu:

a. Lingkungan Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam

mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat

masih bayi dengan cara contoh-contoh ekpsresi. Peristiwa

36
Stein & Book. 2002. Ledakan EQ (15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses).
Bandung: Kaifa, 40
37
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta, 5
38
Goleman, Daniel. 2015. Kecerdasan emosional (Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 48
39

emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan

menetap secara permanen hingga dewasa, kehidupan emosional

yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak

dikemudian hari.

b. Lingkungan Non Keluarga

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.

Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan

fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam

suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya

dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.

Sedangkan Muhammad Ali39, mengatakan bahwa sejumlah faktor

yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah:

a. Perubahan Jasmani

Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya

pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada tarap

permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian

tertentu saja yang mengakibatkan tubuh tidak seimbang.

Ketidakseimbangan tubuh ini dapat mempengaruhi kondisi

perkembangan emosi remaja. Tidak setiap individu dapat

menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu. Hormon-hormon

tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat

kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam

39
Ali, Muhammad. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara, 69
40

tubuh remaja dan seringkali menimbulkan masalah dalam

perkembangan emosinya.

b. Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua

Perbedaan pola asuh orang tua dapat berpengaruh terhadap

perbedaan perkembangan emosi remaja. Cara memberikan

hukuman misalnya, jika anak dipukul karena nakal, tindakan

seperti itu bila diterapkan pada remaja, justru hal itu dapat

menimbulkan ketegangan yang lebih besar antara remaja dan orang

tuanya.

Pemberontakan pada orang tua menunjukkan bahwa

mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari

pengawasan orang tua. Mereka tidak pernah merasa puas jika sama

sekali tidak menunjukkan perlawanan terhadap orang tua karena

ingin menunjukkan seberapa jauh dirinya berhasil menjadi orang

yang lebih dewasa.

c. Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya

Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa

remaja adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Pada

masa remaja, biasanya benar-benar mulai jatuh cinta dengan lawan

jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja tetapi tidak

jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada

remaja jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau

orang yang lebih dewasa. Gangguan emosional yang mendalam


41

dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena

pemutusan hubungan cinta dari satu pihak sehingga dapat

menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu

sendiri.

d. Perubahan Pandangan Luar

Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat

menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja, yaitu:

1) Sikap dunia luar terhadap remaja sering tidak konsisten.

Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka

tidak mendapatkan kebebasan penuh atau peran yang wajar

sebagaimana orang dewasa atau sering kali mereka masih

dianggap sebagai anak kecil sehingga menimbulkan

kejengkelan pada diri mereka. Kejengkelan yang mendalam ini

dapat berubah menjadi perilaku emosional.

2) Masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk

remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki

mempunyai banyak teman perempuan mereka mendapat

predikat popular, sebaliknya apabila remaja perempuan

mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik

atau bahkan mendapat predikat kurang baik. Hal ini juga dapat

mempengaruhi perilaku emosional seseorang.

3) Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar

yang tidak bertanggung jawab, yaitu dengan cara melibatkan


42

remaja tersebut kedalam kegiatan-kegiatan yang merusak

dirinya dan melanggar nilai-nilai moral. Misalnya:

penyalahgunaan obat terlarang, minuman keras, serta tindak

kriminal dan kekerasan. Perlakuan dunia luar semacam ini akan

sangat merugikan perkembangan emosional remaja.

4) Perubahan Interaksi dengan Sekolah

Pada masa anak-anak sebelum menginjak remaja, sekolah

merupakan tempat pendidikan yang diidealkan oleh mereka.

Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam

kehidupan mereka, karena selain tokoh intelektual, guru juga

merupakan tokoh otoritas bagi peserta didiknya. Oleh karena

itu tidak jarang anak-anak lebih patuh dan lebih percaya

bahkan lebih takut kepada guru daripada kepada orang tuanya.

Posisi guru semacam itu sangat strategis apabila digunakan

untuk mengembangkan emosi anak melalui penyampaian

materi-materi yang positif dan konstrutif.

6. Indikator Kecerdasan Emosional

Daniel Goleman40 menjelaskan kemampuan kecerdasan

emosional menjadi lima wilayah penting, yaitu:

a. Kesadaran Diri

Kesadaran diri yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan

itu terjadi. Ini merupakan dasar kecerdasan emosional. Kesadaran


40
Goleman, Daniel. 2015. Kecerdasan emosional (Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 56
43

diri adalah perhatian terus menerus terhadap keadaan batin

seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri ini, pikiran mengamati

dan menggali pengalaman, termasuk emosi. Kemampuan untuk

memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting

bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan

untuk mencermati perasaan penulis yang sesungguhnya membuat

penulis berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki

keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal

bagi kehidupan mereka, karena memiliki perasaan lebih tinggi

akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan

keputusan-keputusan masalah pribadi.

Keterampilan emosional yang muncul adalah:

1) Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri

2) Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul

3) Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan

b. Mengelola Emosi

Yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap

dengan pas. Kecakapan ini bergantung pula pada kesadaran diri.

Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk

menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau

ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya

keterampilan emosional dasar. Orang yang buruk kemampuannya

dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan


44

perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit

kembali dengan jauh lebih cepat dari kemunduran dan

keterpurukan dalam kehidupan.

Keterampilan emosional yang muncul adalah:

1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan

amarah

2) Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di

ruang kelas

3) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa

berkelahi

4) Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri

5) Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan

keluarga

6) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa

7) Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan

c. Motivasi Diri

Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan menata emosi

sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memberi

perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri

sendiri, dan untuk berekreasi. Begitu juga dengan kendali diri

emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan

dorongan hati, merupakan landasan keberhasilan dalam berbagai

bidang. Kemudian mampu menyesuaikan dalam proses


45

memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala

bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung

jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka

kerjakan.

Keterampilan emosional yang muncul adalah:

1) Lebih bertanggung jawab

2) Lebih mampu merasakan perhatian pada tugas yang dikerjakan

dan menaruh perhatian

3) Kurang impulsif, lebih menguasai diri

4) Nilai pada tes-tes prestasi meningkat

d. Empati (Mengenali Emosi Orang Lain)

Yaitu kemampuan yang bergatung pada kesadaran diri

emosional, yang merupakan “keterampilan bergaul” dasar.

Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui

bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan

arena kehidupan. Menurut teori Tiichener, empati berasal dari semi

cam, peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian

menimbulkan perasaan yang dalam pada diri seseorang. Orang

yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang

tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau

dikehendaki orang lain.

Keterampilan emosional yang muncul adalah:

1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain


46

2) Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang

lain

3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain

e. Keterampilan Sosial (Membina Hubungan)

Seni membina hubungan sebagian besar merupakan

keterampilan mengelola orang lain. Dalam hal ini keterampilan dan

ketidakterampilan sosial, serta keterampilan-keterampilan tertentu

yang berkaitan adalah termasuk di dalamnya. Ini merupakan

keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan

keberhasilan antar pribadi. Keterampilan sosial adalah unsur untuk

menajamkan kemampuan antar pribadi, unsur pembentuk daya

tarik, keberhasilan sosial, bahkan kharisma. Orang-orang yang

terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan

orang lain secara lancar, peka membaca reaksi dan perasaan

mereka, mampu memimpin dan mengorganisasi, dan pintar

menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan.

Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu

menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskan dengan jelas

sebagai panduan kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah

jenis orang yang disukai oleh sekitarnya karena secara emosional

mereka menyenangkan, mereka membuat orang lain merasa

tentram. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan

sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang


47

mulus dengan orang lain, mereka adalah bintang-bintang

pergaulan.

Keterampilan emosional yang muncul adalah:

1) Meningkatkan kemampuan menganalisa dan memahami

hubungan

2) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan

persengketaan

3) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam

hubungan

4) Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi

5) Lebih populer dan mudah begaul, bersahabat dan terlibat

dengan teman sebaya

6) Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya

7) Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa

8) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam

kelompok

9) Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong

10) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain

7. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam

Dalam perspektif Islam, segala macam emosi dan ekspresinya

diciptakan oleh Allah melalui ketentuannya. Emosi diciptakan oleh

Allah untuk membentuk manusia yang lebih sempurna. Dalam QS.

An-Najm (53): 43-44 dinyatakan:


48

Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan manusia tertawa


dan menangis, dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan.41

Al-Qur’an dan Hadis banyak membahas tentang ekspresi emosi

manusia. Berbagai ekspresi emosi dasar manusia, mulai dari

kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan lain-lain diungkapkan dengan

bahasa yang indah dalam Al-Qur’an dan Hadis. Emosi lain yang lebih

kompleks seperti: malu, sombong, bangga, iri hati, dengki, penyesalan,

dan lain-lain juga terangkaikan dalam berbagai kalimat. Demikian juga

tentang cinta dan benci.42

Dalam ayat lain Allah berfirman tentang perintah untuk menguasai,

mengendalikan, dan juga mengontrol emosi dalam QS. Al-Hadid: 22-

23

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak


pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri, yang dimaksud
dengan terlalu gembira: ialah gembira yang melampaui
batas yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan dan
lupa kepada Allah.”43

41
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
42
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 161
43
Ibid, Departemen Agama
49

Secara umum, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT

memerintahkan kita untuk menguasai emosi-emosi kita,

mengendalikan dan juga mengontrolnya. Seseorang diharapkan untuk

tidak terlalu bahagia ketika mendapatkan nikmatya dan tidak terlalu

bersedih ketika apa yang dimilikinya hilang. Karena semua yang ada

di dunia ini hanyalah milik Allah SWT. Hal ini diungkapkan pula oleh

Goleman tentang salah satu unsur kecerdasan emosional yaitu

pengendalian diri.

C. Kecerdsan Spiritual (SQ)

1. Pengertian Spiritualitas

Kata spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “spirituality”,

kata dasarnya “spirit” yang berarti: “roh, jiwa, semangat”. Kata spirit

sendiri berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti: luas atau dalam

(breath), keteguhan hati atau keyakinan (courge), energi atau semangat

(vigor) dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata Latin

spiritualis yang berarti “of the spirit” (kerohanian).44

Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal

yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal bersifat fisik

atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan

diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan

44
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 264
50

bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan

seseorang.45

Cooper46, mendefinisikan makna spiritual sebagai berikut:

“Dengan spiritual dimaksudkan kerinduan dan pencarian manusia yang

abadi dan sudah ada sejak keberadaan manusia itu sendiri, untuk

terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih dapat diandalkan

daripada ego kita sendiri, dengan kata lain keterhubungan kita dengan

jiwa kita, dengan sesama kita, dengan kancah sejarah dan alam,

dengan hembusan jiwa yang satu adanya, dan dengan misteri

kehidupan itu sendiri.” Spiritualitas merupakan galian terdalam dan

sumber dari karakter hidup.

Dimensi spiritual, disebut Frankl (dalam Zohar dan Marshaal)47

sebagai noos, yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti

keinginan kita untuk memberi makna, orientasi tujuan kita, kreativitas

kita, imajinasi kita, intuisi kita, keimanan kita, visi kita akan menjadi

apa, kemampuan kita untuk mencintai diluar kecintaan yang visio-

psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani kita di luar kendali

superego, selera humor kita. Di dalamnya juga terkandung

pembebasan diri kita atau kemampuan untuk melangkah ke luar dan

memandang diri kita, dan transendensi diri atau kemampuan untuk

menggapai orang yang kita cintai atau mengejar tujuan yang kita

45
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 288
46
Cooper, Cary & Makin, Peter. 1995. Psikologi untuk Manajer. Jakarta: Arcan, 50
47
Zohar, Danah & Marshall, Ian. 2007. SQ, Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustaka
51

yakini. Dalam dunia spirit, kita tidak dipandu, kita adalah pemandu

pengambil keputusan. Reservoir kesehatan ada pada setiap orang

apapun agama dan keyakinannya.

Spiritual memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas.

Namun spiritualitas mungkin dapat dimengerti dengan membahas kata

kunci yang sering muncul ketika orang-orang menggambarkan arti

spiritualitas bagi mereka.

Menurut Aliah B. Purwakania Hasan48 ada lima kata kunci yang

menggambarkan arti spiritualitas yang dikutip dari hasil penelitian

Martsolf dan Mickley yang bisa dipertimbangkan yaitu:

a. Meaning (Makna)

Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan,

merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.

b. Values (Nilai-nilai)

Nilai-nilai adalah kepercayaan, standard dan etika yang dihargai.

c. Transcendence (Transendensi)

Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan

terhadap dimensi transendental terhadap kehidupan di atas diri

seseorang.

d. Connecting (Bersambung)

Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan

dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan dan alam.


48
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 288
52

e. Becoming (Menjadi)

Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan

pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang

mengetahui.

Spriritualitas dalam pengertian yang luas merupakan hal yang

berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran

abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering

dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Di

dalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan

supranatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap

pengalaman pribadi.

Spiritualitas dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang

dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi

dalam pandangan hidup seseorang dan lebih daripada hal yang bersifat

duniawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adalah memiliki arah

tujuan, dan secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan

kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih

dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, dan menghilangkan ilusi

dari gagasan salah yang berasal dari alat indra, perasaan dan pikiran.

Pihak lain mengatakan bahwa spiritualitas memiliki dua proses.

Pertama, proses ke atas, yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal

yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses ke


53

bawah, yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang

akibat perubahan internal.49

2. Pengertian Kecerdasan Spiritual

Wacana kecerdasan spiritual menjadi merebak ketika Danar Zohar

dan Ian Marshall mengembangkan teori kecerdasan spiritual sebagai

bentuk kecerdasan ketiga (third intelligence) dan kecerdasan tertinggi

(ultimate intelligence). Diawali dengan adanya berbagai penemuan

tentang bentuk kecerdasan manusia, mulai dari kecerdasan intelektual

(IQ), disusul penenemuan tentang kecerdasan emosional (EQ) dan

terakhir adalah kecerdasan spiritual (SQ). Hal tersebut akhirnya

membuka wawasan dan pemahaman baru tentang potensi kecerdasan

manusia, tetapi juga telah merubah cara pandang akan pemahaman

konsep manusia. Dengan berbagai penemuan tersebut, pemahaman

tentang potensi kecerdasan manusia semakin utuh dan komprehensif.

Menurut Ari Ginanjar Agustian50, kecerdasan spiritual adalah

kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna, yaitu kecerdasan

untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna

yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan

atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang

lain.

49
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 289
50
Agustian, Ginanjar, Ari. 2001. ESQ, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual, Jilid 1. Jakarta: PT Arga Tilanta, 14
54

Covey (dalam Agus Nggermanto)51, mengungkapkan bahwa

kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan

dengan yang tak terbatas. Kecerdasan spiritual juga membantu

mencerna dan memahami prinsip-prinsip sejati yang merupakan

bagian dari nurani kita, mendorong seseorang bekerja dengan ikhlas

orientasi dan tujuan. Kecerdasan spiritual membuat individu menjadi

benar-benar manusiawi dan juga memiliki arah dan tujuan pribadi

yang kuat dan benar.

Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall52, kecerdasan spiritual

adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu

kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh. Banyak

sekali diantara kita yang saat ini menjalani hidup yang penuh luka dan

berantakan. Kita merindukan apa yang disebut oleh penyair T.S. Eliot

“penyatuan yang lebih jauh, keharmonisan yang lebih dalam”, namun

hanya sedikit sumber yang kita temukan dalam batasan ego kita atau di

dalam simbol dan institusi budaya kita yang ada.

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan yang berada di bagian

diri yang dalam berhubungan dengan kearifan di luar ego atau pikiran

sadar. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya

mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif

menemukan nilai-nilai baru. SQ tidak bergantung pada budaya

51
Nggermanto, Agus. 2003. Quantum Quotient-Kecerdasan Quantum (Cara Praktis Melejitkan IQ,
EQ, dan SQ yang Harmonis). Bandung: Nuansa, 118
52
Zohar, Danah & Marshall, Ian. 2007. SQ, Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 8
55

maupun nilai. Ia tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi

menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.

Masih menurut Danah Zohar dan Ian Marshall53, kecerdasan

spiritual tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang

SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal

tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan

atheis memiliki SQ sangat tinggi, sebaliknya banyak orang yang aktif

beragama memiliki SQ sangat rendah.

Danah Zohar dan Ian Marshall54, mempertegas bahwa kita dapat

menggunakan SQ untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam

beragama. SQ membawa kita ke jantung segala sesuatu ke kesatuan

dibalik perbedaan, ke potensi dibalik ekspresi nyata. SQ mampu

menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial dibelakang

semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin

menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, eksklusif,

fanatik, atau prasangka. Demikian pula, seseorang yang ber SQ tinggi

dapat memiliki kualitas spiritual tanpa beragama sama sekali.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang mampu

membangkitkan suatu makna, visi dan sistem nilai individu dengan

menggunakan prinsip-prinsip sejati yang merupakan bagian dari

nurani, sebagai sumber motivasi.


53
Zohar, Danah & Marshall, Ian. 2007. SQ, Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustak, 8
54
Ibid, Zohar, Danah & Marshall, Ian, 12
56

3. Bukti Ilmiah Keberadaan Kecerdasan Spirtual

Banyak bukti ilmiah mengenai kecerdasan spiritual yang

sebenarnya ada dalam telaah neurologi, psikologi, dan antropologi

masa kini tentang kecerdasan manusia, pemikirannya dan proses-

proses linguistik. Para ilmuwan telah melakukan penelitian dasar yang

mengungkapkan adanya fondasi-fondasi saraf kecerdasan spiritual di

dalam otak, namun dominasi paradigma kecerdasan intelektual telah

menutup penelitian lebih jauh terhadap data-datanya.

Zohar dan Marsal menyebutkan studi penelitian ilmiah mengenai

kecerdasan spiritual55 (the ultimate intelligensi) sebagai berikut:

a. Penelitian oleh neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun

1990-an, dan penelitian yang lebih baru pada tahun 1997 oleh

neurology V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas

California mengenai adanya “titik Tuhan” (God Spot) dalam otak

manusia. Pusat spiritual yang terpasang ini terletak diantara

hubungan-hubungan saraf dalam cuping-cuping temporal otak.

Melalui pengamatan terhadap otak dengan topografi emisi

positron, area-area saraf tersebut akan bersinar manakala subjek

penelitian diarahkan untuk mendiskusikan topik spiritual atau

agama. Reaksinya berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-

masing, yaitu orang-orang barat menanggapi penyebutan “Tuhan”,

orang Budha dan masyarakat lainnya menggapi apa yang bermakna

55
Zohar, Danah & Marshall, Ian. 2007. SQ, Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
10
57

bagi mereka. Aktivitas cuping temporal tersebut selama beberapa

tahun telah dikaitakan dengan penampakan-penampakan mistis

para penderita epilepsy dan pengguna obat LSD. Penelitian

Ramachandran adalah penelitian yang pertama kali menunjukkan

bahwa cuping itu juga aktif pada orang normal. “Titik Tuhan”

tidak membuktikan adanya Tuhan, tetapi menunjukkan bahwa otak

telah berkembang untuk menanyakan “pertanyaan-pertanyaan

pokok”, untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap

makna dan nilai yang lebih luas.

b. Penelitian neurolog Astria Wolf Singer di tahun 1990-an, tentang

“problem ikatan” membuktikan adanya proses saraf dalam otak

yang dicurahkan untuk menyatukan dan memberikan makna pada

pengalaman kita. Sebelum adanya penelitian Singer tentang

penyatuan dan keharmonisan osilasi saraf di seluruh otak, para

neurolog dan ilmuwan kognitif hanya mengakui dua bentuk

organisasi saraf otak. Salah satu bentuk tersebut, yaitu hubungan

saraf serial, adalah dasar IQ kita. Sistem-sistem saraf yang

terhubungkan secara serial tersebut memungkinkan otak untuk

mengikuti aturan, berfikir logis dan rasional secara bertahap.

Dalam bentuk kedua, yaitu organisasi jaringan saraf, ikatan-ikatan

sekitar seratus ribu neuron dihubungkan dalam bentuk yang tidak

beraturan dengan ikatan-ikatan lain yang sangat banyak. Jaringan-

jaringan saraf tersebut adalah dasar bagi EQ, kecerdasan yang


58

diarahkan oleh emosi, untuk mengenali pola dan membentuk

kebiasaan. Komputer serial maupun parallel memang ada dan

mempunyai kemampuan yang berbeda, namun mereka tidak dapat

beroperasi disertai makna. Tidak ada komputer yang bisa

menanyakan “mengapa”? penelitian Singer tentang osilasi saraf

penyatu menawarkan isyarat pertama mengenai pemikiran jenis

ketiga, yaitu pemikiran yang menyatu dan model kecerdasan

ketiga, yaitu SQ yang dapat menjawab pertanyaan mengenai

makna.

c. Sebagai pengembangan dari penelitian Singer, penelitian Rodolfo

Llinas pada pertengahan tahun 1990-an tentang kesadaran saat

terjaga dan saat tidur serta ikatan peristiwa-peristiwa kognitif

dalam otak telah dapat ditingkatkan dengan teknologi MEG

(magneto-encephalographic) yang memungkinkan diadakannya

penelitian menyeluruh atas bidang-bidang elektris otak yang

berosilasi dan bidang-bidang magnetic yang dikaitkan dengannya.

d. Neurolog dan antropolog biologi Harvard, Terrance Deacon.

Menerbitkan penelitian baru tentang asal-usul bahasa manusia (The

Symbolic Species, 1997) Deacon membuktikan bahwa bahasa

adalah sesuatu yang unik pada manusia, suatu aktivitas yang pada

dasarnya bersifat simbolik dan berpusat pada makna, yang

berkembang bersama dengan perkembangan yang cepat dalam

cuping-cuping depan otak. Komputer atau bahkan monyet yang


59

lebih unggulpun (dengan sedikit pengecualian yang terbatas) tidak

ada yang dapat menggunakan bahasa karena mereka tidak memiliki

fasilitas cuping depan otak untuk menghadapi persoalan makna.

Penelitian Deacon mengenai evolusi imajinasi simbolis dan

peranannya dalam evolusi sosial dan otak mendukung kemampuan

kecerdasan yang kita sebut kecerdasan spiritual.

4. Tingkatan Spiritualitas Manusia

Menurut guru sufistik (dalam Aliah Purwakania)56, terdapat

tujuh tingkat spiritualitas manusia, dari yang bersifat egoistik

sampai yang suci secara spiritual. Hal ini bukan dinilai oleh

manusia melainkan langsung oleh Allah. Tingkatan ini terdiri dari:

1) Nafs Ammarah (The Commanding Self)

Pada tahap ini, orang nafsunya didominasi godaan yang

mengajaknya kearah kejahatan. Pada tahap ini, seseorang tidak

dapat mengotrol kepentingan dirinya dan tidak memiliki

moralitas atau perasaan kasih. Dendam, kemarahan,

ketamakan, gairah seksual, dan iri hati merupakan contoh sifat-

sifat yang menujukkan keinginan fisik dan egoisme. Pada tahap

ini kesadaran dan akal manusia dikalahkan oleh keinginan dan

nafsu hewani. Manusia mementingkan diri sendiri, sombong,

ambisius, cemburu, sinis, pemalas dan bodoh. Jiwa manusia

pada awalnya suci dan beriman, namun manusia terlena dengan

56
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 308
60

kenikmatan duniawi dan tenggelam dalam nilai-nilai

materialistik.

2) Nafs Lawwamah (The Regretful Self)

Pada tahap ini, manusia mulai memiliki kesadaran terhadap

perilakunya, ia dapat membedakan yang baik dan yang benar,

dan menyesali kesalahan-kesalahannya. Namun, ia belum

memiliki kemampuan untuk mengubah gaya hidupnya dengan

cara yang signifikan. Sebagai langkah awal, ia mencoba untuk

mengikuti kewajiban yang diberikan agamanya seperti: sholat,

berpuasa, membayar zakat, dan mencoba berperilaku baik.

Pada tahap ini ada tiga hal yang menjadi bahaya, yaitu:

kemunafikan, kesombongan, dan kemarahan. Kemunafikan

timbul ketika mereka yang berada pada tahap ini, ingin orang

lain mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha untuk berubah.

Dia menujukkan segala kebaikannya di depan orang lain dan

mengharapkan pujian dari semua pihak. Orang yang munafik

menginginkan pujian orang lain ketika melakukan perbuatan

baik. Kesombongan terjadi karena orang tersebut memandang

bahwa segala usaha untuk melakukan hal yang baik merupakan

prestasi. Hal ini membuat dirinya merasa sebagai orang yang

terbaik, bahkan lebih baik daripada semua orang. Kemudian

kemarahan dapat timbul jika ia merasa dirinya tidak dihargai.


61

Mereka yang berada pada tingkat ini tidak bebas dari

godaan. Kekecewaan terhadap penghargaan orang lain atas

perubahan perilakunya dapat membuatnya kembali pada tahap

sebelumnya. Ia merasa mengambil jalan yang salah, karena

merasa kurang dihargai. Ia kemudian menyalahkan orang yang

membawanya pada tahap kedua ini. Ia kembali terpangaruh

nafsu hewani yang dimilikinya. Jika ia cukup cerdas dalam

menghadapi kekecewaan, ia dapat mengatasi kemunafikan,

kesombongan, dan kemarahan yang dialaminya, dan akan

melewati tahap ini dengan cepat. Semakin lama orang berada

pada tahap ini, semakin banyak godaan yang ia terima.

3) Nafs Mulhimah (The Inspired Self)

Pada tahap ini, orang mulai merasakan ketulusan dari

ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih,

pengabdian dan nilai-nilai moral. Tahap ini merupakan awal

dari praktik sufisme yang sesungguhnya. Sebelum tahap ini,

seseorang lebih diatur oleh pemahaman dunia luar yang semu.

Meskipun seseorang belum terbebas dari keinginan dan ego,

namun pada tahap ini motivasi dan pengalaman spiritual dapat

mengurangi kekuatannya untuk pertama kali. Bagi orang yang

berada pada tahap ini, penting untuk hidup dalam nilai-nilai

yang lebih tinggi jika motivasi ini tidak menjadi jalan

kehidupan, perlahan-lahan akan memudar dan kemudian mati.


62

Perilaku yang umum pada tahap ini adalah: kelembutan, kasih

sayang, kreativitas dan tindakan moral. Secara keseluruhan,

orang yang berada pada tahap ini memiliki emosi yang matang,

menghargai dan dihargai orang lain.

4) Nafs Muthma’innah (The Contented Self)

Pada tahap ini orang merasakan kedamaian. Pergolakan

pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan-ikatan lama

tidak lagi penting. Kepentingan diri mulai lenyap, membuat

seseorang lebih dekat dengan Tuhannya. Tingkat ini membuat

seseorang menjadi berpikiran terbuka, bersyukur, dapat

dipercaya, dan penuh kasih sayang. Dari segi perkembangan,

tahap ini menandai periode transisi. Seseorang mulai dapat

melepaskan semua belenggu diri sebelumnya dan mulai

melakukan integrasi kembali semua aspek universal kehidupan

dalam dirinya.

Tahap ini merupakan tahap yang dilalui setelah perjalanan

panjang dan sulit setelah ia berperang dengan segala kejahatan

dan nafsu dalam dirinya, dengan godaan yang selalu menerpa

kehidupan duniawinya. Ia memiliki kualitas perilaku yang

tinggi seperti: pengasih, pemurah, sabar, pemaaf, ikhlas,

bersyukur, bahagia, dan damai. Ibadah dan pengabdiaanya

berbuah perkembangan spiritualnya. Perilakunya berhubungan

dengan aturan-aturan dalam agama.


63

5) Nafs Radhiyah (The Pleased Self)

Pada tahap ini, seseorang tidak hanya tenang dengan

dirinya, namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit,

musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Ia menyadari bahwa

segala kesulitan datang dari Allah untuk memperkuat imannya.

Keadaan bahagia tidak bersifat hedonistik atau materialistik,

dan sangat berbeda dengan hal yang biasa dialami orang-orang

yang berorientasi pada hal yang bersifat duniawi, prinsip

memenuhi kesenangan (Pleasure Principle) dan menghindari

sara sakit (Pain Principle). Jika seseorang telah sampai pada

tingkat mencintai dan bersyukur pada Allah, ia telah mencapai

tahap perkembangan spiritual ini. Namun, sedikit sekali yang

dapat mencapai tahap ini.

6) Nafs Mardhiyah (The Self Pleasing to God)

Mereka yang telah mencapai tahap lanjut menyadari bahwa

segala kekuatan berasal dari Allah, dan tidak dapat terjadi

begitu saja. Mereka tidak lagi mengalami rasa takut dan tidak

lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini telah

mencapai kesatuan internal. Pada tahap awal, seseorang

mengalami pergolakan, karena mengalami keterpecahan. Kaca

yang pecah menghasilkan ribuan bayangan dari satu pencitraan.

Jika kaca menjadi satu kembali, akan terlihat bayangan yang

utuh, kesatuan pencitraan. Dengan menyembuhkan


64

keterpecahan dalam dirinya, seorang sufi mengalami dunia

sebagai kesatuan yang utuh.

Tahap ini termanifestasikan melalui ikatan antara Sang

Pencipta (Khaliq) dengan yang diciptakan-Nya (makhluk),

melalui perasaan cinta yang mendasarinya. Sifat keilahian

melekat dalam dirinya, dan ia telah melihat realitas sejati, yaitu

kebenaran, karena ia telah dianugrahi Aynal-Yakin, keyakinan.

Ia melihat keindahan dalam segalanya, memaafkan segala

kesalahan yang tidak diketahui, ia sabar, murah hati, selalu

memberi tidak pernah meminta, mengabdi dengan membawa

orang lain cahaya jiwa dan melindungi orang lain dari bahaya

nafsu dan kegelapan duniawi. Segalanya dilakukan demi Allah

dan di dalam nama Allah.

7) Nafs Sfiyah (The Pure Self)

Mereka yang telah mencapai tahap akhir telah mengalami

transendensi diri yang seutuhnya. Tidak ada nafs yang tersisa,

hanya penyatuan dengan Allah. Pada tahap ini, seseorang telah

menyadari kebenaran sejati “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ia

sekarang menyadari bahwa tidak ada apa-apa lagi kecuali

Allah, dan hanya keilahian yang ada, dan setiap indra manusia

atau keterpisahan adalah suatu ilusi. Jika mereka yang

memiliki jiwa yang murni bergerak, gerakannya merupakan

kekuatan yang penyayang; jika ia berbicara, kata-katanya


65

adalah kebijaksanaan dan musik yang indah didengar telinga.

Secara keseluruhan keberadaannya adalah ibadah, setiap sel

dari tubuhnya tidak henti-hentinya memuji Allah. Ia seseorang

yang adil, dan lebih daripada adil. Ia adalah orang yang

berusaha untuk menyadarkan orang-orang yang berdosa.

5. Indikator Kecerdasan Spiritual

Indikator orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi

memiliki ciri-ciri tertentu. Mereka adalah orang yang fleksible. Tidak

ada orang yang dapat mengubah paradigma yang mereka miliki tanpa

fleksibilitas internal.57

Zohar dan Marshall58, menjelaskan bahwa indikator dari

kecerdasan spiritual yang telah berkembang dengan baik mencakup

hal-hal sebagai berikut:

a. Kemampuan bersikap fleksible (adaptasi secara spontan dan aktif)

b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi

c. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

d. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai

e. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu

f. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal

(berpandangan holistik)

57
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 313
58
Zohar, Danah & Marshall, Ian. 2007. SQ, Kecerdasan Spiritual. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
14
66

g. Kecenderungan nyata untuk bertanya “mengapa?” atau “bagaimana

jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar

h. Mandiri, menentang tradisi

Untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan kecerdasan

spiritual yang sudah bekerja secara efektif atau yang sudah bergerak

kearah perkembangan yang positif di dalam diri seseorang, maka ada

beberapa indikator yang dapat diperhatikan:

Pertama, memiliki prinsip dan pegangan hidup yang jelas dan kuat;

berpijak pada kebenaran universal baik berupa cinta, kasih sayang,

keadilan, kejujuran, toleransi, integritas, dll. Semua itu menjadi bagian

terpenting dalam kehidupan seseorang. Ia akan bergerak di bawah

bimbingan dan kekuatan prinsip yang menjadi pijakannya.

Kedua, memiliki kemampuan untuk menghadapi dan

memanfaatkan penderitaan, memiliki kemampuan untuk menghadapi

dan melampaui rasa sakit (tranced pain). Berbagai penderitaan,

halangan, rintangan, dan tantangan yang hadir dalam kehidupannya

adalah bagian dari proses menuju kematangan kepribadian secara

umum, baik kematangan kepribadian secara intelektual, mental, moral-

sosial, ataupun spiritual.

Ketiga, mampu memaknai semua pekerjaan dan aktivitasnya dalam

kerangka dan bingkai yang lebih luas dan bermakna. Dengan motivasi

yang luhur dan suci, atau dalam bahasa agama dengan niat yang ihklas

demi memberi bukan menerima. Demi orang lain bukan semata-mata


67

demi dirinya atau demi kemanusiaan, bagi orang yang tidak beragama

adalah demi Tuhannya.

Keempat, memiliki kesadaran diri (self awareness) yang tinggi.

Apapun yang dilakukannya dengan penuh kesadaran.

6. Kecerdasan Spiritual dalam Perspektif Islam

Spiritualitas dalam agama membawa konotasi bagaimana karakter

kepercayaan seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sistem

kepercayaannya. Saat ini, spiritualitas dalam agama juga sering

dipandang sebagai kepercayaan penganutnya yang lebih bersifat

pribadi, tidak terlalu dogmatik, dan lebih terbuka terhadap berbagai

gagasan baru dan pengaruh lain, lebih pluralistik daripada kepercayaan

pada agama yang telah terbentuk.59

Umat Islam mengasah psiritualitas keberagamaan melalui shalat,

seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Ali Imron: 190-19160

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih


bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Dalam Al-Qur’an diceritakan, bahwa manusia diciptakan dengan

ruh yang memiliki citra ke-Tuhanan. Dalam QS. Al-Sajdah: 7-9

Artinya: “Allah yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan


sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari
59
Hasan, Purwakania, Aliah. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 296
60
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
68

(susunan) tanah (tin). Kemudian dia menjadikan


keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”61

Namun karena manusia memiliki tubuh yang harus dipenuhi

kebutuhan fisiknya dan hal inilah maka manusia sering kali melakukan

tindakan yang tidak sesuai dengan perintah Allah, yang membuat

dirinya berada pada tahap perkembangan spiritual yang paling bawah.

Allah menurunkan keimanan ke dalam hati mereka, agar manusia

dapat berkembang kembali pada tingkat spiritual yang lebih tinggi.

Dalam QS. Al-Mujadilah: 22 dinyatakan:

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan


keimanan ke dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan ruh yang datang daripada-Nya.”62

Dengan demikian, Islam mengajarkan adanya perbedaan tingkat

spiritualitas seseorang. Tingkat spiritualitas manusia dapat berubah

dari satu waktu ke waktu lain. Jadi, manusia mengalami perkembangan

spiritual dalam kehidupannya.

D. Perilaku Sosial

1. Pengertian Perilaku Sosial

61
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
62
Ibid, Departemen Agama
69

Gerungan mengatakan bahwa manusia selain sebagai makhluk

individual, sekaligus juga merupakan makhluk sosial. Sebagai

makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk bergaul,

dengan demikian jelaslah tanpa pergaulan sosial manusia itu tidak

dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. Karena sesungguhnya

secara hakiki manusia merupakan makhluk sosial.63

Pengertian perilaku sosial berdasarkan pendapat para ahli

diantaranya:

a. Krech, at all64 menyebutkan bahwa perilaku sosial seseorang itu

tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan

hubungan timbal balik antar pribadi.

b. David Sears65 mengatakan bahwa perilaku sosial adalah segala

tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang

lain, tanpa mempedulikan motif-motif penolong.

c. Stag and Wringhtsman (dalam Otin Martini)66 bahwa perilaku

sosial sebagai suatu perilaku yang secara sukarela dilakukan

dengan maksud atau tujuan agar dapat bermanfaat bagi orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disampaikan , maka

dapat disimpulkan perilaku sosial sebagai bukti bahwa manusia dalam

memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat

melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain.

63
Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama, 26
64
Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha
65
Sears, David. O. 2009. Psikologi Sosial 2. Jakarta: Erlangga, 91
66
Martini , Otin. 2004. Pengembangan Program Bimbingan Perkembangan Perilaku Sosial Anak
Usia Dini di Kelompok Bermain. Tesis. UPI Bandung. Tidak diterbitkan
70

Ada ikatan saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang

lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung

dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu

manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghormati, tidak

menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat.

2. Faktor-faktor yang Membentuk Perilaku Sosial

Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku

sosial. Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh

berbagai faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat

eksternal. Pada aspek eksternal situasi sosial memegang

peranan yang cukup penting. Situasi sosial diartikan sebagai tiap-tiap

situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang satu

dengan yang lain.67 Dengan kata lain setiap situasi yang menyebabkan

terjadinya interaksi sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi sosial.

Baron dan Byrne (dalam Rusli Ibrahim)68 berpendapat bahwa ada

empat kategori utama yang dapat membentuk perilaku sosial

seseorang, yaitu :

a. Perilaku dan karakteristik orang lain

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang

yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan

berperilaku seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun

67
Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama, 78
68
Ibrahim, Rusli. 2001. Promosi Kesehatan dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media dan
Aplikasinya. Semarang: PT. Raja Grafindo Persada
71

dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul

dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan

terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru

memegang peranan penting sebagai sosok yang akan dapat

mempengaruhi pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan

memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mengarahkan siswa

untuk melakukan sesuatu perbuatan.

b. Proses kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan

pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan

berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang siswa

karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman

sukses dalam pembelajaran maka ia memiliki sikap positif

terhadap aktivitas yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang

akan mendukung teman-temannya untuk beraktivitas dengan

benar.

c. Faktor lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku

sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai

atau pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku

sosialnya seolah-olah keras pula, ketika berada di lingkungan

masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata.


72

d. Tatar Budaya sebagai tampat perilaku dan pemikiran sosial itu

terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu

mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam

lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.

Dalam konteks pendidikan yang terpenting adalah saling

menghargai perbedaan yang dimiliki setiap anak.

3. Perkembangan Perilaku Sosial

Buhler (dalam Abin Syamsudin)69 mengemukakan tahapan dan

ciri-ciri perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat

dilihat dalam tabel berikut :

Tabel. 2.4.3.
Perkembangan Perilaku Sosial Individu

Tahap Ciri-ciri
Kanak-kanak awal (0-3 tahun): masa Segala sesuatu dilihat berdasarkan
Subjektif pandangan sendiri
Kritis I (3-4 tahun): masa Trozt Alter Pembantah, keras kepala
Kanak-kanak akhir (4-6 tahun): masa Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
subjektif menuju masa objektif
Anak sekolah (6-12 Tahun): masa objektif Membandingkan dengan aturan-aturan
Kritis II (12-13 tahun): masa pra puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja awal (13-16 tahun): masa subjektif Menyadari adanya kenyataan yang berbeda
menuju masa objektif dengan sudut pandangnya
Remaja akhir (16-18 tahun): masa objektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan kemampuan dirinya

4. Indikator Perilaku Sosial

69
Syamsuddin, Abin. 2003. Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
73

Menurut Krech, Crutchfield an Ballachey70, mengungkapkan untuk

memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-

kecenderungan indikator respon interpersonalnya, yaitu:

a. Kecenderungan Peranan (Role Disposition) yaitu kecenderungan

yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki

seorang individu. Kecenderungan peranan (Role Disposition)

terdapat empat kecenderungan yang bipolar, yaitu:

1) Ascendence yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan

diri dengan arah berlawanannya social timidity yaitu

kecenderungan takut dan malu bila bergaul dengan orang lain,

terutama yang belum kenal.

2) Dominance yaitu kecenderungan untuk menguasai orang

lain, dengan arah berlawanannya submissive yaitu kecenderungan

mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.

3) Social initiative yaitu kecenderungan individu yang

memiliki sifat inisiatif biasanya suka mengorganisasi kelompok,

suka memberi masukan dan saran-saran dalam berbagai pertemuan,

dan biasanya suka mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat

orang yang pasif secara sosial ditunjukkan oleh perilaku yang

bertentangan dengan sifat orang yang aktif, misalnya: perilaku

yang dominan diam, kurang berinisiatif, tidak suka memberi saran

atau masukan.

70
Krech et.al.1962. Individual in Society. A textbook of Social Psychology. Tokyo : Mc Graw-Hill
Kogakasha, 106
74

4) Independence yaitu bebas dari pengaruh orang lain, dengan

arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk

bergantung pada orang lain.

Perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role

disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan

indikator respon interpersonal yakni: yakin akan kemampuannya

dalam bergaul secara sosial, memiliki pengaruh yang kuat terhadap

teman sebaya, memiliki inisiatif sosial, dan tidak mudah terpengaruh

orang lain dalam bergaul. Sebaliknya perilaku sosial individu

dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan

indikator respon interpersonal yaitu: kurang mampu bergaul secara

sosial, mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain, pasif

dalam mengelola kelompok, dan tergantung kepada orang lain bila

akan melakukan sesuatu tindakan.

b. Kecenderungan Sosiometris (Sosiometric Disposition) yaitu

kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan

terhadap individu lain. Kecenderungan sosiometris merujuk pada

hubungan sosial antara individu yang satu dengan individu yang

lainnya. Kecenderungan sosiometris memiliki empat ciri respon,

yaitu:

1) Accepting of other yaitu mau menerima orang lain. Individu

yang dapat dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai

kekurangan orang lain.


75

2) Sociability yaitu mampu bersosialisasi. Individu dapat

berpartisipasi dalam urusan masyarakat, suka berada bersama

orang lain.

3) Friendliness yaitu besahabat. Individu yang menyenangkan,

hangat, terbuka dan mudah didekati orang lain.

4) Sympathic yaitu simpati. Individu peduli pada perasaan dan

keinginan orang lain.

Individu yang mendapat skor tinggi dalam kecenderungan

sosiometris menunjukkan mampu menerima orang lain dengan

terbuka, mampu bersosialiasi, menunjukkan sikap ramah dan

bersahabat, dan mampu menunjukkan simpati.

c. Ekpresi (Expresion Disposition) yaitu kecenderungan yang

bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaan-

kebiasaan khas (particular fashion). Kecenderungan ekspresi

merujuk pada cara individu mengekspresikan dirinya dalam

memberikan reaksi kepada orang lain. Kecenderungan ekspresi

mempunyai empat kecenderungan respon yaitu:

1) Competitiveness yaitu daya saing. Individu memandang

hubungan sebagai perlombaan.

2) Aggressiveness yaitu sikap agresif. Individu agresif, tidak

patuh, dan suka menyangkal.

3) Self Consciousness yaitu kesadaran diri. Individu mempunyai

pengetahuan dan penilaian terhadap diri sendiri (keseimbangan


76

sosial). Individu sedang berada dalam kesadaran diri, memiliki

kemampuan memonitor diri, yakni mampu membaca situasi

sosial dalam memahami orang lain dan mengerti harapan orang

lain terhadap dirinya.

4) Exhibitionistic yaitu mampu memperlihatkan diri. Individu

tidak berperilaku berlebihan.

5. Perilaku Sosial dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, perilaku sosial merupakan salah satu unsur dalam

kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam segi bathiniyah diciptakan

dari berbagai macam naluri, di antaranya memiliki naluri baik dan

jahat. Naluri baik manusia sebagai makhluk sosial itulah yang disebut

fitrah, dan naluri jahat apabila tidak dituntun dengan fitrah serta agama

akan menjadi naluri yang bersifat negatif.

Dalam Alquran telah dijelaskan mengenai naluri manusia sebagai

makhluk sosial dan tujuan dari penciptaan naluri. Terdapat dalam QS.

Az-Zukhruf: 32

Artinya: “Kami telah menentukan di antara mereka keadaan hidup


mereka di dunia ini, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka daripada sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka mengambil manfaat dari sebagian lain.”71

Sejatinya daya tahan naluri manusia terhadap hal-hal jahat

(negatif), ditentukan oleh tingkat kedekatan seorang hamba kepada

Allah SWT. Senada dengan apa yang dikemukakan Ketua PBNU KH

Hasyim Muzadi dikutip dari media Republika, bahwasanya

71
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
77

hablumminallah dan hablumminannas adalah cerminan dari tauhid

ibadah dan perilaku sosial yang akan membentuk karakter Islami yang

spesifik. Karena setiap manusia secara alamiah telah diperlengkapi

oleh Allah SWT instrumen-instrumen kemanusiaan yang dapat

mengangkat harkat dan martabat manusia itu.

Akan tetapi, perilaku sosial tersebut belumlah sempurna sebelum

ada sentuhan tauhid dan ibadah serta nilai-nilai sosial Islam. Hal ini

disebabkan, karena manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja,

namun juga akan hidup dalam kehidupan selanjutnya yakni hidup

dalam alam barzakh dan alam akhirat, ungkapnya.

Di lain sisi, Rasulullah Saw telah banyak memberikan contoh dan

teladan yang universal tentang perilaku sosial dalam

masyarakat. Seperti ketika Rasulullah Saw berada dalam sebuah

majelis berkumpul bersama para sahabat, ketika itu para sahabat

banyak yang datang dari golongan rendah (miskin). Seperti Salman al-

Farisi, Ammar bin Yasir, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Mereka

berpakaian sederhana, kusut dan jubah bulu yang tradisional.

Meskipun demikian, merekalah sahabat setia Rasulullah dalam

memperjuangkan risalah dan dakwah Islam.

Dalam majelis itu juga hadir para bangsawan. Mereka melihat para

sahabat dengan tatapan kurang nyaman karena akan duduk berdekatan

dengan rakyat miskin yang tidak lain merupakan sahabat Rasulullah

Saw.
78

Seraya berkata kepada Rasulullah Saw, "Wahai Rasulullah,

bisakah kami mendapatkan majelis khusus bagi kami dan tidak

bersama dengan rakyat miskin ini. Mayarakat Arab tahu dan mengenal

kemuliaan kami. Utusan-utusan dari berbagai Qabilah Arab akan

datang dalam majelis ini. Kami sebagai bangsawan merasa malu

apabila mereka melihat kami duduk satu majelis dengan rakyat biasa."

Salah seorang bangsawan menegaskan kembali, "Bau Salman al-

Farisi membuatku terganggu. Buatlah majelis khusus bagi kami para

bangsawan, sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat

juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama

kami.”

Dengan terjadi peristiwa itu maka turunlah firman Allah dalam


QS. Al-An’am: 52

Artinya: "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru


Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka
menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula
mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap
perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir
mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim.72

Rasulullah dengan tenang meminta sahabatnya untuk

duduk lebih berdekatan lagi, merapat dengan lutut Rasulullah

Saw. Beliau memulai majelis dengan ucapan

72
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
79

“Assalamu’alaikum”, seakan menjawab permintaan para

bangsawan Quraisy tadi.

Dengan adanya peristiwa tersebut, Rasulullah Saw untuk

selanjutnya selalu berkumpul bersama para sahabatnya.

Mereka duduk dalam satu majelis dan berdekatan dengan

tidak memandang golongan rendah ataupun bangsawan.

Seringkali beliau mengucap "Alhamdulillah, terpuji Allah

SWT yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku

diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah

hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim

dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka

mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah

hari, yang ukurannya lima ratus tahun. Mereka bersenang-

senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa

amalnya."

Kemudian turunlah firman Allah selanjutnya yaitu

QS. Al-Kahfi: 28

Artinya: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan


orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; Dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia
80

ini; Dan janganlah kamu mengikuti orang yang


hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.”73

Dari kisah di atas, Rasulullah Saw mengajarkan serta

memberikan teladan kepada umat mengenai perilaku sosial

yang harus ada dalam jiwa umat Islam. Tidak adanya

perbedaaan antar golongan, maupun saling menjatuhkan dan

saling menggunjing, karena sesungguhnya Allah SWT tidak

melihat rupa, harta dan derajat seseorang. Allah SWT akan

melihat ke dalam hati umat manusia yang bertakwa, Innallah

la yandzuru ila ajsadikum, wa la ila suwarikum, wa laiknna

allah yandzuru ila qulubikum.

Di sinilah letak Islam sangat menjunjung tinggi perilaku

sosial antar umat manusia. Perilaku yang bersifat menindas

serta merendahkan martabat manusia hanya untuk

kepentingan sebelah pihak semata, sangat dilarang dalam

Islam. Dan Islam mengajarkan tasammuh yang lebih

universal, tidak memandang dan berpihak hanya kepada

golongan tertentu namun kepada umat manusia secara

keseluruhan. Itulah perwujudan dari hablumminannas.

Negara-negara muslim seyogyanya peka terhadap aspek

perilaku sosial. Hendaknya pula menjadi negeri yang

73
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2006. Surabaya : Pustaka Agung
81

mencerminkan kepribadian serta perilaku sosial

bermasyarakat yang baik antara sesama masyarakat dan umat

manusia di berbagai negeri.

Hal itupun akan dapat terealisasi, ketika umat manusia

kembali kepada ajaran Islam dalam hablumminallah

(hubungan dengan Allah) dan hablumminannas (hubungan

sesama manusia). Sehingga, dengan keridhaan Allah SWT

akan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Anda mungkin juga menyukai