Anda di halaman 1dari 3

Pemerataan Guru di Indonesia

Jejen Musfah

Persoalan mendasar pendidikan Indonesia adalah minimnya guru di daerah pedalaman atau
yang disebut daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal). Kecuali sangat kurang, kualifikasi
pendidikan dan kompetensi guru di daerah 3T juga rendah. Di pihak lain, ada yang menilai guru
Indonesia berlebih alias melimpah, karena rasio nasional berkisar 1 guru berbanding dengan 17
murid. Namun, diakui sebaran guru tidak merata.

Data jumlah guru harus ditangani dan dikelola secara baik sehingga jelas, sebenarnya kita
kelebihan atau kekurangan guru. Jika dianggap kelebihan, mengapa jumlah guru honorer sangat
banyak, tersebar tidak hanya di sekolah-sekolah pedalaman tapi juga di pinggiran kota dan perkotaan,
negeri dan swasta. Di satu sisi guru honorer dibutuhkan di sekolah, di sisi lain sering terdengar guru
bersertifikat (PNS dan non-PNS) kekurangan jam mengajar, sehingga harus mengajar di dua hingga
tiga sekolah.

Program pemetaan dan pemerataan guru harus segera dirumuskan dan dikerjakan sehingga
problem mendasar kekurangan guru di daerah 3T segera teratasi secara perlahan dan berangsur-
angsur. Ketimpangan jumlah guru terjadi antara sekolah perkotaan dengan sekolah pedesaan,
sekolah di Jawa dengan luar Jawa, dan sekolah Jakarta dengan luar Jakarta.

Peserta didik di daerah 3T (sebenarnya juga di sekolah-sekolah pinggiran kota atau bahkan di
kota sendiri) tidak mendapatkan pendidikan yang standar, mulai dari guru, kelas, fasilitas, hingga
sumber belajar. Sekolah Dasar hanya punya satu, dua, atau tiga guru, yang salah satunya merangkap
sebagai kepala sekolah. Tidak ada pakaian seragam merah putih, sepatu, bahkan lantainya tanah alias
tak berubin. Karena itu, muncul inisiatif program pengiriman guru ke daerah 3T, baik dari
pemerintah maupun non-pemerintah.

Beberapa program bisa disebut di sini, yaitu: Indonesia Mengajar (Anies Baswedan), Sekolah
Guru Indonesia (Dompet Duafa), Gerakan 1000 Guru Mengajar, Guru Penggerak Mengajar (UGM),
dan Sarjana Mengajar. Masih banyak program serupa ini, dengan variasi “status guru”, waktu
mengajar, dan kegiatan selama di daerah 3T. Intinya sama, memajukan pendidikan anak-anak di
daerah 3T. Sebaran wilayah yang dikunjungi dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga
Rote.

Tidak ada satu pun yang menyangsikan dampak positif dari program ini. Bahkan apresiasi
patut disematkan kepada guru (juga penggagas, panitia, dan donator), karena kesanggupannya
meninggalkan kemewahan kota ke kesederhanaan bahkan ke serba-terbatasan desa. Tidak jarang,
karena faktor alam, perbedaan budaya dan bahasa guru dengan daerah tujuan dan lainnya, nyawa
menjadi taruhan. Belum lagi soal fasilitas dan kebutuhan dasar yang terbatas seperti listrik dan air
bersih. Beda sekali dengan kehidupan guru sebelumnya.

Pengiriman guru ke pedalaman merupakan solusi sementara yang tidak memecahkan masalah
dari akarnya, yaitu sekolah dan murid kekurangan guru. Mereka adalah guru sementara waktu yang
akan pergi setelah enam bulan atau satu tahun mengajar. Setelah itu, sekolah dan siswa kembali ke
keadaan sebelumnya. Sepi guru; Rindu guru. Siswa merasakan pendidikan dan bahagia hanya sesaat.

Tidak mudah bagi guru muda bertahan melebihi batas waktu, atau kembali lagi ke sekolah
sasaran, karena di daerah 3T fasilitas kesehatan dan pendidikan kurang, apalagi bagi mereka yang
akan segera menikah. Mengajar di daerah 3T pasti sangat mengesankan, tapi untuk bertahan tetap
tinggal rasanya mereka perlu waktu berpikir.

Solusi Permanen

Karena itu, diperlukan solusi yang benar-benar permanen. Untuk mengatasi kekurangan guru
di daerah 3T, diperlukan kebijakan pemerintah pusat dan Pemda. Masalah ini sudah lama bergulir
tanpa jelas kapan bisa teratasi, bukan karena kekurangan ide tapi minimnya komitmen pemimpin
pusat dan daerah. Berikut beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk pengambilan
keputusan tersebut.

Pertama, penyiapan putera terbaik daerah sebagai calon mahasiswa guru. Pemda bekerjasama
dengan SMA/MA di wilayahnya dan LPTK terdekat dengan mengirimkan putera-puteri terbaiknya
untuk kuliah sebagai calon guru dengan beasiswa penuh. Mata kuliah tentang budaya dan karakter
masyarakat pedalaman perlu diajarkan. Mahasiswa ini berstatus ikatan dinas. Pemda dengan PAD
yang rendah bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

Kedua, pengangkatan CPNS guru 3T. Para sarjana pendidikan dan non-pendidikan terbaik
diundang mengikuti seleksi CPNS guru 3T. Para pelamar guru ini diprioritaskan putera daerah
masing-masing, tetapi alumni guru mengajar di daerah 3T—dari beragam program di atas—bisa
dipertimbangkan. Guru yang sudah lulus tidak diizinkan mutasi ke sekolah kota—meskipun sudah
mengabdi lima tahun misalnya, sehingga program ini tidak dijadikan sebagai batu loncatan.

Ketiga, penarikan atau pemanggilan guru putera daerah yang tersebar di luar daerah
kelahirannya. Pemutasian guru-guru PNS dari kota atau sekolah yang berlebih guru—jika ada—
sangat mungkin dilakukan. Pemerintah bisa mengedepankan spirit pembangunan desa atau daerah
tertinggal oleh putera asli daerah, misalnya dengan menggelorakan jargon: “Kalau bukan kita siapa
lagi” atau “Kembali untuk membangun desa sendiri”.

Pemanggilan guru ini harus dibarengi komitmen Pemda dan pemerintah pusat memberikan
jaminan kesejahteraan kepada guru 3T, seperti tunjangan khusus, beasiswa pendidikan putera-puteri
guru, dari tingkat dasar hingga PT, dan asuransi kesehatan. Tanpa komitmen ini, akan sulit
memanggil “guru-guru kota” ke daerahnya masing-masing, kecuali segelintir guru saja.

Keempat, percepatan pembangunan infrastruktur jalan, kesehatan, dan pendidikan di daerah


3T. Ketersediaan infrastruktur tersebut akan menarik minat guru untuk mengajar di daerahnya
sendiri, tinimbang di kota atau daerah lainnya. Demikian juga, guru yang sudah mapan di sekolah
perkotaan akan lebih mudah diajak kembali untuk membangun desanya masing-masing.

Demikianlah, kekurangan guru di daerah 3T membutuhkan penanganan yang komprehensif


dan serius, yang intinya adalah pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan
jalan. Pemerintah saatnya merintis usaha-usaha nyata pembangunan daerah 3T jika tidak ingin dinilai
gagal dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai
Rote.

Anda mungkin juga menyukai