Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENGANTAR METODE PENGUKURAN FISIKA

I.1. Pentingnya Eksperimen Dalam Ilmu Fisika

Metode Pemgukuran Fisika merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa jurusan Fisika yang
akan memberikan bekal bagi mahasiswa mengenahi dasar-dasar pengukuran, pengenalan Alat ukur,
dan cara-cara analisa data eksperimen ataupun penelitian . Mata kuliah ini sebagai dasar ketrampilan
eksperimen Fisika juga sebagai bekal dalam analisa data eksperimen. Hal ini sangat penting bagi
mahasiswa fisika, karena ilmu fisika merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam yang dalam
perkembangannya sangat diperlukan untuk diamati, di ukur dan dianalisa gejala-gejala alam tersebut.

Eksperimen/Penelitian mengandung makna suatu tindakan pengamatan, pengukuran, Analisa


data, dan pengambilan kesimpulan dari hasil eksperimen tersebut. Adapun bagian-bagian yang
merupakan komponen Eksperimen dapat dilaksanakan apabila didukung adanya :

- Obyek Pengamatan
- Alat Pengamatan
- Pengamat ( orang yang mengamati)
- Data pengamatan

Obyek Pengamatan :

Perlu dicermati gejala apa yang muncul dari obyek, sehingga gejala tersebut dapat diamati / diukur
dengan baik. ( observable ).

Alat Pengamatan :

Disiapkan / dipilih peralatan dilakukan penyusunan ( set-up ) sehingga dapat dipergunakan untuk
mengamati gejala yang muncul dari obyek fisis. Misalnya mempunyai jangkauan ukur yang sesuai,
kepekaan yang memadahi, dan sebagainya.

Pengamat ( Eksperimentator ) :

Perlu memiliki sikap yang menjadi nalurinya ( Comonsense ) benar dan sehat, dan dalam
pelaksanaannya perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Persiapan ( Eksperimen awal/pendahuluan ) : yaitu langkah awal dengan menyiapkan / cek alat-
alat yang digunakan apakah jalan baik, spesifikasi alat apakah sesuai, set-up alat, dicoba input
apa ada respon, dsb.
b. Pengujian Set-up Alat :

INPUT  PROSES  OUTPUT ??

Apakah ketika ada input dapat terdeteksi outputnya, apakah output secara kasar sudah
merupakan fungsi dari input dan sesuai dengan gejala yang diharapkan.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


1
Apabila hal tersebut tidak / belum jalan dengan baik, maka sebagai eksperimentator harus
melakukan peninjauan kembali ( cek ) apakah set-up ada yang salah. Melakukan langkah-
langkah selanjutnya agar input, proses, output berjalan sesuai harapan ( berkelakuan sesuai
fungsi fisis yang diharapkan ). Hal ini diperlukan kemampuan instrumentasi dari
eksperimentator.

c. Menyadari bahwa dalam pengukuran selalu ada ketidakpastian ukur ( ralat pengukuran ) :

Pengamat perlu mencermati sumber-sumber ralat dari pengukuran yang dilakukan, berusaha
meminisasi faktor-faktor penyebabnya sehingga diperoleh hasil pengukuran yang akurasinya
tinggi. Diantara faktor-faktornya sangat banyak misalnya dapat dari alatnya, obyeknya,
lingkungannya, bahkan sikap pengamat dalam metode pengukuran.

d. Melakukan pengulangan pengamatan :

Pengamatan sebaiknya diulang-ulang untuk menyakinkan apakah gejala dapat terdeteksi


dengan baik dan konsisten, sekaligus juga untuk menguji kekonsistenan alat ( set-up)
eksperimen.

e. Melakukan analisa data / hasil yang sifatnya pemula; tidak perlu menunggu seluruh data
terkumpul sehingga secara dini dapat terdeteksi adanya kekurangan-kekurangan yang muncul.
Bila hal ini terjadi maka kita dapat melakukan perbaikan langsung, tanpa men-set-up alat baru.
f. Syarat mutlak sebagai seorang pengamat adalah : bersikap jujur terhadap data yang telah
diperoleh dari hasil pengamatan ( sebelum dianalisa lebih lanjut ).
g. Merancang dan men-desain system yang lebih lengkap dan akurat dengan berkonsultasi kepada
yang ahli-ahli yang terkait, seperti Bengkel, teknisi laboratorium, dan yang lainnya.
h. Menguasai kaidah-kaidah analisa data; grafik; dsb. Sehingga sebagai peneliti akan cermat dan
teliti dalam mengolah data yang diperoleh. Akhirnya menghasilkan nilai yang berketepatan
tinggi dan validitasnya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

I.2. “Common Sense” dalam Pengukuran

Pengertian “Common Sense” pada pengukuran, tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata,
namun lebih mudah diberikan contoh-contoh tindakan dalam proses pengukuran yang menunjukkan
adanya “common Sense” yang tinggi yang dimiliki oleh seorang pengamat.

Misal : Ada seseorang yang pergi ke bengkel untuk memperbaiki motor/mobil nya, orang tersebut tidak
mengerti apa yang rusak ( tidak beres ) atas motor/mobilnya. Setelah sampai di Bengkel ditanya sama
teknisi bengkel apa yang rusak ? si pemilik motor/mobil tidak dapat menjelaskan; akhirnya teknisi
bengkel tersebut menyalakan mesin motor/mobil tersebut dan mendengarkan suara mesin, tanpa
membuka cap mesin mobil, selanjutnya teknisi langsung dapat memberi keterangan kepada pemilik
mobil bahwa kelainan mobil berada pada bagin tertentu. Sikap seorang teknisi bengkel yang seperti itu
menunjukkan bahwa dia sudah mempunyai “common sense” yang tinggi terhadap mesin mobil/motor
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
2
tersebut. Sehingga ketika akan melakukan perbaikan cukup tertuju pada bagian yang dia duga kuat ada
kelainan (penyebab kelainan)., sehingga proses perbaikan menjadi efisien dan akurat.

Bagaimana halnya dengan seorang pengamat yang memiliki “common sense” tinggi; berarti
pengamat tersebut akan terasa bila data yang diamati salah meskipun belum melakukan analisa lebih
lanjut. Atau alat yang digunakan tidak cocok meskipun alat tersebut belum digunakan untuk melakukan
pengukuran, Bahkan ketika ditengah jalan ketika melakukan pengamatan terjadi gangguan mereka
(pengamat) akan mengetahui hal tsb. sehingga data tidak terjadi penyimpangan berarti.

Adapun tahapan-tahapan seorang pengamat/peneliti dapat memiliki “common sense” tinggi


terhadap yang diamati/diteliti yaitu :

 Menguasai persoalan yang akan diamati


 Menguasai peralatan yang digunakan untuk pengamatan
 Mengerti set-up alat secara detail
 Memiliki waktu yang cukup panjang terhadap pekerjaannya yang dilakukan penuh ketekunan
( jam terbang tinggi, pada pekerjaan tsb.)

Dapat disimpulkan bahwa ketika seorang pengamat memiliki “common sense” tinggi, akan
menghasilkan pengamatan yang akurasinya tinggi, dan jauh dari kesalahan.

I.3. Ralat Pengukuran

Apa yang dimaksud Ralat Pengukuran ?

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, marilah kita cermati beberapa langkah(keadaan) ketika
kita harus melakukan suatu pengukuran :

Pertama : adanya pelaku pengukuran (pengamat); seberapa kemampuan pengamat melakukan


pekerjaan pengukuran yang akan dilakukan, kapasitas keahliannya akan mempengaruhi hasil
pengukuran.

Kedua : adanya obyek yang akan diukur; keadaan obyek pengukuran juga akan mempengaruhi
hasil pengukuran. Apakah obyek dalam kondisi sempurna atau kurang sempurna untuk diamati?

Ketiga : adanya Alat ; yang akan digunakan untuk mengukur keadaan obyek; apakah alat dalam
kondisi baik, memiliki ketelitian tinggi atau tidak cukup teliti (misalnya dapat dilihat dari keadaan
skala alat tsb.); hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran.

Keempat : adanya metode pengukuran ( bagaimana pengamat melakukan set-up alat dalam
mengamati obyek ); hal ini juga akan mempengaruhi hasil pengukurannya.

Kelima : keadaan lingkungan pengukuran ( suhu; kelembaban udara; tekanan; waktu; dan
sebagainya ) hal ini akan sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil ukur.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


3
Dengan memperhatikan lima keadaan yang akan mempengaruhi hasil pengukuran yang kita
lakukan, tentu kita tidak dapat berharap banyak bahwa hasil pengukuran akan sempurna. Hal ini sangat
sulit untuk dicapai apalagi kalau mengingat bahwa tidak ada yang sempurna kecuali yang maha
sempurna yaitu YANG MENCIPTAKAN ALAM INI TERMASUK MENCIPTAKAN KITA.

Ketidakmungkinan tersebut akan memberikan konsekuensi bahwa setiap kita melakukan


pengukuran “PASTI ADA KETIDAKTEPATAN” hasil pengukuran; inilah yang dinamakan “RALAT-
PENGUKURAN” atau “KETIDAKPASTIAN PENGUKURAN”, di dalam bahasa pengukuran disebut sebagai
“RALAT-PENGUKURAN”.

Hasil pengukuran pasti akan selalu muncul ralat-pengukuran dan hal ini tidak akan dapat
dihilangkan, namun pengaruhnya dapat diperkecil dengan mengupayakan kesempurnaan kelima faktor
yang disebutkan diatas yaitu : pengamat; obyek; alat; metode; dan faktor lingkungan.

Sebagai ilustrasi sederhana misalkan kita akan melakukan pengukuran panjang suatu obyek
menggunakan alat ukur panjang ( Rol-meter; Mistar; Jangka-sorong; Mikrometer; Mikroskup-geser.),
tentunya akan memberikan nilai hasil yang berbeda antara alat satu dengan lainnya, hal ini
disebabkan tingkat ketelitian alat masing-masing berbeda.

ALAT UKUR PENGAMATAN KETERANGAN

Angka setelah koma tidak dapat


Rol-meter 1,….. cm dibaca karena skala terkecil alat
(1cm)
Angka setelah (6) tidak dapat
Mistar 1,6…. Cm dibaca karena skala terkecil alat
(1mm)
Angka setelah (3) tidak dapat
Jangka-sorong 1,63… cm dibaca karena skala terkecil alat
(0,1mm)
Angka setelah (5) tidak dapat
Mikrometer 1,635.. cm dibaca karena skala terkecil alat
(0,01mm)
Angka setelah (7) tidak dapat
Mikrokop-geser 1,6357. Cm dibaca karena skala terkecil alat
(0,001mm)

Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa faktor alat akan menyebabkan hasil yang berbeda-beda.
Hal ini karena alat satu dengan lainnya mempunyai tingkat ketelitian berbeda, lantas berapa hasil yang
benar (tepat) ?!!!, apakah akan bisa tercapai ? bagaimana kalau digunakan alat lain yang lebih teliti ?
Kalau kita berusaha menjawabnya pasti akan mengatakan bahwa hasil pengamatan dengan alat hasilnya
relative dengan alat yang digunakan.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


4
Apabila faktor-faktor lain seperti : keadaan obyek; kelemahan pengamat; metode pengukuran
yang dilakukan; pengaruh lingkungan; semuanya diperhitungkan, maka akan semakin memperbesar
penyimpangan hasil pengukuran. Hal ini semakin meyakinkan kita bahwa apapun upaya manusia tidak
akan dapat memberikan hasil ukur yang “benar-mutlak”, kebenaran mutlak dari hasil pengukuran tidak
pernah akan tercapai, dengan kata lain kita tidak pernah dapat menemukan nilai benar-mutlak melalui
pengukuran. Kesimpulan yang dapat diambil adalah setiap melakukan pengukuran SELALU ADA RALAT-
NYA, sehingga hasil pengukuran besaran obyek selalu harus disajikan dalam bentuk :

SEKARANG KITA SUDAH MENYADARI DAN MEYAKINI BAHWA SETIAP


PENGUKURAN PASTI TIMBUL NILAI RALAT
BILA DIUKUR BESARAN (X) MAKA HASIL UKURNYA DISAJIKAN
X = x́ ± ∆X
x́ = NILAI RATA-RATA PENGUKURAN
∆X = RALAT PENGUKURN

I.4. Jenis Ralat dan Sumbernya

Dari banyaknya faktor yang menyebabkan timbulnya ralat pengukuran, dapat dipilah menjadi
beberapa jenis sesuai dengan sumber dan penyebabnya sbb:

 Ralat bersistem ( ralat sistematis ) :

Jenis ralat ini memberi pengaruh yang tetap terhadap hasil pengukuran, penyebabnya lebih pada
keadaan alat yang kurang normal, kesalahan cara membaca skala (pengamat); keadaan lingkungan
yang berbeda (misal tekanan, suhu, dsb.); adapun rincian masalahnya sebagai berikut.

1. Kesalahan kalibrasi alat


2. Keadaan “off-set” bergeser (jarum penunjuk pada alat tidak pada skala nol ketika
belum digunakan)
3. Kelelahan komponen alat yang sudah sering digunakan untuk mengukur
4. Adanya faktor gesekan yang selalu timbul pada bagian alat ukur

 Ralat Rambang :

Jenis ralat ini merupakan flutuasi pengukuran akibat adanya pengaruh alamiah misalnya :
1. Adanya gerak Brown melekul-molekul udara yang senantiasa bergerak dan sifatnya tidak
teratur, keadaan ini menyebabkan adanya getaran jarum penunjuk karena adanya
tumbukan molekul-molekul tersebut.
2. Fluktuasi pada tegangan listrik baik PLN maupun ACCU, secara alamiah ada perubahan
yang sifatnya rambang dan secara cepat.
3. Landasan alat yang bergetar, akibat getaran gelombang samudra, aktivitas gunung
berapi yang aktif; kesibukan lalu lintas, dsb.
4. Bising, pada alat elektronik yang berfrekuensi getar, juga karena suhu yang cukup panas.
5. Radiasi latar, beruparadiasi cosmos dari angkasa lua ang akan mengganggu alat-alat
pencacah elektronik.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


5
Untuk mengatasi adanya ralat yang bersumber dari keadaan alamiah tersebut, dilakukan pengukuran
ber-ulang; semakin banyak pengulangan akan semakin mendapatkan nilai yang mendekati benar.

 Ralat Akibat dari Pengamat


Kesalahan ini sifatnya sangat subyektif; sehingga secara ideal seorang pengamat harus mengerti
tentang metodologi pengukuran, dan menguasai peralatan yang digunakan untuk mengukur.
Hal ini sangat diperlukan agar tidak terjadi “Human error”.

TIDAK ADA HARAPAN BAGI KITA


UNTUK MENEMUKAN NILAI BENAR (XO)
MELALUI PENGUKURAN;
YANG DAPAT DIPEROLEH HANYALAH NILAI YANG
SERING MUNCUL PADA PENGUKURAN BER-ULANG,
YAITU YANG DISEBUT SEBAGAI
NILAI RATA-RATA PENGUKURAN ( X́ ¿.

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Nilai apakah yang ditunjukkan oleh ke-empat alat di bawah ini?


Bacaan pada skala utama Gores skala nonius
Jumlah gores
yang berimpit
Alat pada skala Tepat di depan Tepat di belakang gores
dengan gores skala
nonius gores nol nonius nol nonius
utama
1 10 12 mm 13 mm ke 4
2 5 12 mm 13 mm ke 4
3 20 14º 10’ 14º 30’ ke 7
4 10 14º 10’ 14º 30’ ke 7

2. Jangka sorong dengan skala yang dikalibrasi dalam mm akan dilengkapi dengan nonius hingga

1
hingga nilai skala terkecil yang dapat dicapai adalah mm. Berapakah nilai antara dua gores
5
terdekat skala nonius itu? Ada berapa gores pembagi pada skala nonius itu?

3. Jarak terdekat antara 2 gores skala jangka sorong adalah 1 mm. Berapakah ketidakpastian
mutlak setiap pengukuran dengan alat ini?

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


6
4. Termometer (pembagian skala sampai 0,5º C saja) dipakai mengukur titik didih air (pada 1
atmosfer). Berapakah ketidakpastian mutlak pada pengukuran ini? Dan ketidakpastian
relatifnya? Berapakah ketelitian yang tercapai dalam pengukuran ini?
5. Stopwatch memiliki pembagian skala sampai 0,2 detik. Tentukanlah selang waktu yang dapat
diukur dengan ketelitian 5%; 1%.
6. Diameter pipa (lebih kurang 20 mm) harus diukur dengan ketelitian 1%. Dapatkah dipakai mistar
biasa? Jangka sorong? Jelaskan.
7. Suatu meter ampere mempunyai skala 0-5 A dengan pembagian skala sampai 0,1 A. Berapakah
ketelitian yang dicapai apabila alat dipakai pada skala penuh? Dan pada pertengahan skala?
8. Pada suatu saat barometer menunjukkan tepat 1 atmosfer. Berapakah ketelitian pembacaan itu
kalau nilai terkecil skalanya 1mm?

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


7
BAB II
METODE PENENTUAN RALAT PENGUKURAN

II.1. Pengukuran Tunggal dan Taksiran Ralatnya

Dalam ilmu pengukuran, hasil yang baik dapat dicapai apabila pegukuran dilakukan berulang-
ulang namun tetap memberikan nilai ukur yang konsisten. Hal ini kadang-kadang sulit dicapai dalam
praktek pengukuran yang riil, karena ketidak sempurnaan obyek maupun kendala alat, dan lainnya
sehingga kadang pada kasus tertentu kita tidak dapat melakukan pengukuran berulang.

Khusus pada pengukuran yang hanya dapat dilakukan sekali (tidak bisa diulang) atau data
tunggal, nilai ralat pengukuran boleh ditaksir(diperkirakan) oleh pengamat, dengan mempertimbangkan
keadaan skala alat yang digunakan. Kita sadar bahwa nilai taksiran sangat subyektif terhadap siapa yang
menaksir, namun harus di-ingat bahwa pengamat yang boleh memberikan taksiran mempunyai
beberapa persyaratan yang terkait dengan kepakaran pada ilmu tentang pengukuran, paling tidak harus
mempunyai “common sense”yang tinggi dalam pengukuran.

Dalam hal ini, keadaan alat yang dimaksud adalah keadaan skala pada alat tersebut, kasar dan
halusnya skala pada alat akan menentukan besar dan kecilnya ralat penaksiran. Jarak terdekat dari dua
goresan skala pada alat yang menentukan halus dan kasarnya alat ukur. Batas pengelihatan normal mata
kita dapat melihat dengan jelas sekitar (1mm); sehingga rata-rata alat ukur ditampilkan dengan skala
terkecilnya 1mm. Mayoritas para ahli menyepakati bahwa dengan skala terkecil 1mm, diperbolehkan
mengambil nilai taksiran dengan setengahnya, namun bila skala terkecil lebih besar atau lebih kecil dari
1mm, maka nilai taksiran tidak harus setengahnya ( bisa 1 skala, atau bahkan ¼ skala) bergantung kasus
yang dihadapi.
HASIL ANALISA PENGUKURAN TUNGGAL BESARAN (X) SBB:
NILAI TERBAIK ( x́ ) YANG MERUPAKAN NILAI RATA-RATA ADALAH:
NILAI PENGUKURAN TUNGGAL (X1); SEDANGKAN RALAT
PENGUKURAN BERUPA NILAI TAKSIRAN PENGAMAT.
DISAJIKAN : X = x́ ± ∆X
x́ = X1
RALAT (∆X) MERUPAKAN NILAI TAKSIRAN PENGAMAT

Bagaimana dengan Skala NONIUS ?

Upaya pembacaan skala yang ada pada alat ukur agar memperoleh nilai yang lebih teliti,
digunakan tambahan skala-nonius. Adapun fungsi skala-nonius sebagai pembagi skala terkecil alat
menjadi bagian yang lebih kecil yang masih dapat diamati dengan baik.

Pada alat yang ada skala-nonius, berarti jarak skala terkecil alat yang dapat diamati berupa
skala-noniusnya. Jadi pengertian ralat penaksiran juga berdasar dari kondisi skala-noniusnya.

Angka taksiran tidak boleh hanya semata-mata mempertimbangkan keadaan skala alat, namun
karena ralat pengamatan mempunyai faktor yang lain seperti keadaan obyek, maka boleh juga nilai

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


8
taksiran didasarkan dengan keadaan obyek, bahkan faktor pengamat juga sangat pengaruh, sehingga
dapat terjadi taksiran pengamat satu berbeda dengan pengamat lainnya.

Dalam hal pengukuran tunggal maka nilai benar (terbaik) adalah hasil ukur tunggal, dan ralatnya
adalah merupakan hasil taksiran pengamat yang tentunya ada unsure subyektifitas pengamat, namun
hal ini tidak perlu dikawatirkan karena pengamat yang sudah memiliki pengalaman panjang dengan
peralatannya akan tepat dalam penaksirannya, jadi tidak sembarang pengamat boleh menaksir kondisi
alat yang digunakan.

Catatan : dalam praktek pengukuran , lebih baik dilakukan pengukuran ber-ulang untuk mendapatkan
nilai yang baik, kecuali hal itu tidak memungkinkan maka boleh melakukan pengukuran tunggal, namun
kalau belum ahli dalam menaksir ralat, tanyakan pada ahlinya., prisipnya hindari pengukuran tunggal ,
kecuali ada keterbatasan.

ALAT UKUR YANG DILENGKAPI DENGAN SKALA NONIUS, BERARTI


SKALA TERKECIL PADA ALAT TERSEBUT ADALAH :

( SKALA TERKECIL ALAT TANPA NONIUS )


N

N = SKALA NONIUS

II.2. Pengukuran Berulang

Dikatakan pengukuran berulang apabila pengamatan besaran suatu obyek terjadi pengulangan
pengukuran lebih dari satu kali (minimal 2 kali pengamatan), yaitu : 2 kali; 3 kali; 4 kali; dan seterusnya
smpai N kali. ( N = jumlah pengulangan pengukuran )

A). Khusus untuk N = 2 :

Misalnya dilakukan pengukuran besaran ( X ) diulang 2 kali, dengan hasil pengukuran sbb:

Pengukuran ke-i Hasil pengukuran ( Xi )


1 X1
2 X2

HASIL ANALISA PENGUKURAN 2 KALI YAITU : X1 DAN X2


NILAI TERBAIK ( x́ ) YANG MERUPAKAN NILAI RATA-RATA ADALAH:
x́ = ½ [ X1 + X2 ]
DAN RALAT PENGUKURANYA (∆X) ADALAH:
∆X = ½ [ X1 – X2 ]
DISAJIKAN : X = x́ ± ∆X

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


9
B). Untuk jumlah pengulangan N ≥ 3 :

Dalam hal ini, secara teori sudah dapat menggunakan kaidah statistic dengan rumusan deviasi
(Sx); secara lengkap rumus-rumus deviasi akan dibahas pada sub-bab berikutnya. Namun secara praktek
jumlah pengulangan yang terlalu sedikit akan menyebabkan nilai ralat yang cukup besar, sehingga
terkadang berapa jumlah yang harus dilakukan pengulangan tergantung keputusan pengamat ( ada yang
cukup dengan 5 kali, 7 kali, 9 kali , dsb. ) namun tetap memperhatikan keadaan obyek pengamatan.

Mayoritas pengamat hampir merasa cukup dengan pengulangan sekitar 10 kali pengukuran untuk
menggunakan analisa dengan kaidah statistic ( N = 10 ).

SECARA TEORI ,PENGULANGAN PENGUKURAN ≥3 KALI


DAPAT MENGGUNAKAN NILAI DEVIASI (STATISTIK) DALAM
MENENTUKAN RALAT PENGUKURANNYA.
NAMUN SECARA PRAKTEK; MINIMAL PENGULANGAN SEKITAR 10 KALI,
HAL INI JUGA MEMPERTIMBANGKAN KEADAAN OBYEK YANG DIAMATI.
SECARA PRINSIP LEBIH BANYAK DATA PENGULANGAN AKAN
MEMBERIKAN NILAI RALAT SEMAKIN KECIL

II.3. Standar Deviasi dan Standar nilai rata-rata

X = x́ ± ∆ X
x́ = NILAI TERBAIK ( RATA-RATA )
∆X = NILAI RALAT

Nilai ralat pengukuran (∆X) dengan jumlah data ( N ) yang sudah memenuhi kaidah statistic,
dapat didekati dengan nilai deviasi pada ilmu statistic. Telah dijabarkan dengan lengkap pada analisa
statistic yang memberikan hasil banyaknya model deviasi pada analisa data diantaranya :

1. Nilai deviasi (simpangan) terhadap nilai rata-rata ( x́ )


Didefinisikan sebagai :

δi = [ Xi – x́ ]

2. Nilai “deviasi rata-rata” ( δ́ ) dari jumlah data pengulangan (N),


Didefinisikan sebagai :

δ́ =
∑ δ i = ∑ [ X i – x́]
N N
;nilai ini harus dimutlakkan agar memperoleh nilai positif, karena nilai ralat harus bernilai positif.
3. Nilai “varian” (φ ¿
Didefinisikan sebagai :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


10
2

φ=
∑ δ2i = ∑ [X i – Xo]
N N
4. Nilai “deviasi baku” atau “simpangan baku” atau terkenal dengan sebutan “deviasi standar “
semesta ( σ )
Didefinisikan sebagai :
2
σ = √φ =
√ ∑ [ X i – Xo]
N
dengan X0 sebagai nilai benar ( hal ini sulit didapatkan )

Semua definisi di atas dapat digunakan sebagai nilai ralat pengukuran, tergantung kasus yang dihadapi
pada analisa datanya ( ber-ragam model data yang akan dianalisa ); deviasi yang mana yang dirasa
sesuai dengan model analisa yang digunakan oleh pengamat.

Yang biasa digunakan oleh para pengamat adalah deviasi yang berupa deviasi standar universal
(σ), artinya jumlah data harus tak berhingga; dan hal ini tidak mungkin dicapai dalam eksperimen riil.,
dan nilai benar (X0) juga mustahil diperoleh. Dengan kajian teori statistic lanjut, dapat dihasilkan
persamaan yang memenuhi untuk data dengan jumlah tertentu ( N kali ), dengan nilai benar (X 0) didekati
dengan nilai rata-rata dari jumlah data pengamatan yaitu ( x́ ); menghasilkan nilai “deviasi standar-( S n )”
dan “deviasi standar-( Sn-1 )” ditulis sebagai :

Rumus deviasi standar dengan jumlah data ( N ) besar :

2
Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N

Rumus deviasi standar dengan jumlah data ( N ) tertentu; tidak terlalu besar(sekitar 10 data).

2
Sn-1 =

N
∑ [ X i – X́ ]
N −1
; dengan : x́ = nilai rata-rata jumlah pengukuran; dengan rumusan :

∑ Xi RUMUS UNTUK MENGHITUNG RALAT PENGUKURAN


x́= i=1
N DAPAT MENGGUNAKAN RUMUS (1) ATAU (2)
UNTUK DATA YANG JUMLAHNYA LEBIH DARI 10 DATA ,SELISIH
NILAINYA KEDUA RUMUS INI TIDAK BEGITU SIGNIFIKAN.

2
RUMUS (1) : Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N

2
RUMUS (2) : Sn-1 =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N −1

DENGAN ( X́ ) = NILAI RATA-RATA PENGUKURAN


BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
11 N

∑ Xi
X́ = i =1
N
Untuk jumlah data yang bertingkat ( misal : pengulangan 8 kali pertama, dihitung nilai rata-rata (
x́ 1); kemudian dilanjutkan data pengulangan 8 kali kedua dihitung nilai rata-rata ( x́ 2); dan seterusnya ,
misal diulang sampai 10 kali ) sehingga ada 10 nilai rata-rata, seperti contoh table data berikut :

Dat Pengamatan ke : i Nilai rata-


a rata ke : i
( Xi )
ke: i ( x́ i)
1 11,4 12,5 12,1 12,8 11,3 12,4 12,5 12,0 12,1250
2 11,7 11,3 13,3 13,3 11,4 13,0 12,7 11,5 12,2750
3 11,0 12,5 10,9 13,0 10,6 12,7 11,4 12,0 11,7625
4 12,0 13,2 12,7 12,4 12,6 11,8 12,3 12,3 12,4125
5 9,7 11,4 12,0 11,6 13,7 12,5 13,5 12,7 12,1375
6 14,9 12,2 12,1 13,0 13,0 11,0 13,2 11,5 12,6125
7 13,1 12,3 12,3 12,3 12,2 13,1 11,2 12,0 12,3125
8 12,4 10,8 13,5 11,9 11,2 12,8 11,4 12,1 12,0125
9 14,9 12,2 12,1 13,0 13,0 11,0 13,2 11,5 12,6125
10 12,0 13,2 12,7 12,4 12,6 11,8 12,3 12,3 12,4125

Pengolahan data yang seperti contoh table diatas, memerlukan analisa yang bertingkat, yaitu
perlu dihitung lagi sebaran nilai rata-rata ( x́ ) dan akan menghasilkan nilai “standar deviasi dari nilai
rata-rata” ( S x́) dengan rumusan :
2
S 0,26655
S x́ = N −1 =
√N √ ∑ [ X i – x́ ]
N ( N−1)
=
√ 10
= 0,084…

Dengan χ́ = 12,2675; sehingga hasilnya ditulis sebagai : X = 12,27 ± 0,08

Rumusan model ralat yang terakhir ini yang akan menghasilkan nilai ralat paling kecil; namun
diperlukan data yang bertingkat seperti contoh diatas ( 8 x 10 ) data.

II.4. Program “SD” pada Calculator

Perkembangan teknologi computer yang begitu cepat, muncul alat-alat elektronik yang berbasis
komputasi semakin banyak dan mudah didapat, diantaranya mesin analitik berupa calculator yang sudah
memuat berbagai program aplikasi statistic, diantaranya dapat digunakan untuk menghitung nilai ralat
pengukuran berupa standar deviasi, baik yang nilai standar maupun nilai rata-rata, bahkan juga memuat
program regresi dan yang lainnya.

Proses analisa data biasanya diperlukan tingkat ketekunan, kecermatan, dan cepat bagi para
pengamat, hal ini dikarenakan data yang cukup banyak dan cukup rumit, apalagi biasanya pengamat
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
12
sudah kelelahan pada proses pengambilan datanya. Untuk itu sangat dianjurkan menggunakan alat
bantu seperti calculator dalam memproses datanya.

Yang perlu diperhatikan ketika menggunakan program calculator adalah, pengamat harus sudah
menguasai sisten operasianal calculator , disamping memahami kerja program yang digunakan dalam
menghitung. Hal ini penting karena bila operator salah ( tidak menguasai masalahnya ) hasil juga dapat
salah, meskipun mesin calculator sudah canggih.

CONTOH PROGRAM APLIKASI “SD” PADA CALCULATOR :

Misal mengadakan pengukuran besaran ( X ) dengan pengulangan 10 kali, data pada table berikut :

Data Hasil ukur : Xi


Pengukuran ke : i
1 12,0
2 12,3
3 12.0
4 11,7
5 12,0
6 11,8
7 12,0
8 11,8
9 12,3
10 11,7
Setelah dilakukan analisa dengan program “SD” pada calculator diperoleh hasil :

2
Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N
= 0,2059…

N
2
∑ Xi
Sn-1 =
√ ∑ [ X i – X́ ] = 0,2170…
N −1
x́ = i=1
N
= 11,96

CONTOH PROSEDUR ANALISA DATA


PROGRAM “SD” CALCULATOR
1. Aktifkan pada menu “SD” MODE 2
2. Hapus data lama yang mungkin masih tersimpan pada menu
tsb. SHIFT-CLR-1-(scl)=
3. Mulailah memasukkan data DT
4. Yakinkan bahwa data anda sudah masuk semua, cek jumlah
yang sudah masuk ( melihat nilai n = ? ) DT=
5. Teliti ulang data anda, jangan sampai salah.
6. Bila sudah benar, berarti tinggal menampilkan nilai yang anda
kehendaki pada proses analisa tsb.
7. Tampilkan nilai rata-rata ( X ) AC-SHIFT-[S-VAR]-1( X )=
8. Tampilkan nilai ralat (Sn) AC-SHIFT-[S-VAR]-2( Sn)=
9. Tampilkan
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta. nilai ralat (Sn-1) AC-SHIFT-[S-VAR]-3( Sn−1)=
13 CATATAN : CERMATI INTRUKSI MANUAL DARI CALCULATOR ANDA;
KARENA TYPE BEDA, AKAN MEMPUNYAI CARA INTRUKSI BEDA
PULA
SELAMAT BERLATIH !
SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran sebuah besaran (x )sebanyak 5 kali, dengan hasil :
Data ke-i : 5, 7, 9, 7, 8
Hitunglah nilai rata-rata ( x́ ) dan standar deviasinya ( σx ) ?
2. Hitunglah nilai rata-rata dan standar deviasi dari data dibawah ini : lakukan dengan cara
menghitung biasa, dan juga dengan menggunakan program “SD” pada kalkulator anda ?
bandingkan kedua hasilnya, apakah ada perbedaan yang berari ? Jelaskan semuanya.
Data ; 86, 85, 84, 89, 86, 88, 88, 85, 83, 85.
3. Seorang mahasiswa menghitung waktu ayunan sebuah pendulum sebanyak 3 kali dan
mendapatkan hasil ( dalam detik ) sebagai berikut : (1,6) ; (1,8) ; dan (1,7)
a. Hitunglah nilai rata-ratanya dan standar deviasinya ?
b. Apabila dilakukan pengukuran waktu untuk keempat kalinya, berapa probabilitas hasil yang
didapatkan akan bernilai diluar rentang nilai (1,6 - 1,8) ?
4. Dengan menggunakan data di soal nomor-1, tentukan nilai rata-rata dan standar deviasinya
untuk besaran:
a. (x) ?
b. (5x2) ?
c. (10 X + 3X3)
5. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran kecepatan suara dengan : ϑ = f λ, dimana (f) adalah
frekuensi yang ditunjukkan oleh oscillator dan ( λ) adalah panjang gelombang. Hasilnya adalah λ
= (11,2 ± 0,1) cm dan f = 3000 Hz. Oscillator memiliki ketidakpastian sistem sebesar 1%.
a. Bagaimanakah hasil yang didapatkan untuk nilai (ϑ ) ?
b. Apakah nilai ketidakpastian 1% pada oscillator penting ?

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


14
BAB III
METODE PERAMBATAN RALAT

Pada pembahasan bab yang lalu ,kita telah meyakini bahwa setiap pengukuran selalu
menghasilkan nilai yang mengandung ralat; kita telah mengenal jenis dan sumber-sumber yang
menyebabkan timbulnya ralat; juga telah mengetahui bagaimana cara menentukan nilai ralat dengan
berbagai model pengukuran yang dilakukan. Yang telah kita bicarakan di depan , semuanya menyangkut
persoalan besaran obyek yang dapat diamati ( diukur ) secara langsung.

Bagaimana jika besaran-besaran obyek tidak dapat diamati ( diukur ) secara langsung ? Misalnya
pengamatan gravitasi bumi dengan eksperimen ayunan matematis dengan rumus pendekatan teorinya
adalah :

4 π2
g= L
T2

Besaran panjang tali bandul ( L ) dapat diukur langsung dengan alat ukur panjang, ( T ) besaran waktu
periode ayunan yang dapat diukur langsung dengan alat ukur waktu, tetapi kita tidak dapat langsung
mengukur besaran ( g) karena tidak ada alat ukurnya. Dengan demikian untuk menentukan besaran ( g )
melalui pengukuran besaran ( L ) dan ( T ); dengan kata lain penentuan ( g) melalui perambatan dari
besaran yang terukur langsung. Proses analisa semacam ini dinamakan proses perambatan.

Nilai ralatnya juga melalui proses perambatan ralat , yaitu dihitung dengan merambatkan nilai
ralat dari masing-masing besaran yang terukur secara langsung dengan alat ukur. Dalam contoh kasus
kita diatas, nilai ralat ( g ) dirambatkan terhadap nilai ralat ( L ) dan nilai ralat ( T ).

Dalam konteks persamaan matematik dapat dikatakan bahwa :

g = f ( L, T ) ; f = fungsi

Bagaimana cara perambatan dilakukan, dan seperti apa pengaruh dari keterkaitan ( korelasi ) antar
variable dalam kontribusi ralat perambatannya, hal ini akan diuraikan pada bab berikut.

III.1. Teori Perambatan

Misalkan besaran fisis ( V ) merupakan besaran yang nilainya bergantung dari besaran-besaran
variable ( x ); ( y ); ( z ); ( t ) ; dan seterusnya. Dalam bahasa matematik dapat ditulis bahwa :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


15
V = f ( x,y,z,t,… ) dengan f = fungsi

Karena variable ( x ); ( y ); ( z ); dan ( t ) merupakan variable yang dapat diamati secara langsung dengan
alat ukur, berarti nilai dari masing-masing besaran tersebut adalah :

x = x́ ± ∆x ; y = ý ± ∆y
z = ź ± ∆z ; dan t = t́ ± ∆t

Nilai besaran ( V ) dinyatakan sebagai :

V = v́ ± ∆V ; dan v́ = f( x́ , ý , z´ , t́ )

Deviasi dari besaran-V yaitu ( ∆V ) juga dapat dinyatakan dalam persamaan :

∆V = f(x,y,z,t,…) – f( x́ ± ∆x; ý ± ∆y; ź ± ∆z; t́ ± ∆t )

Persamaan terakhir ini merupakan persamaan perambatan yang cukup rumit dalam penyelesaian
matematiknya, namun kalau kita ambil logika tentang ralat pengukuran kita dapat menyatakan bahwa
∆V adalah sebuah ralat pengukuran tidak langsung dari besaran V. Selanjutnya dengan ketekunan kita
dalam olah rumusan matematik akan diperoleh rumusan penyelesaian untuk ralat perambatan.

III.2. Rumus-rumus Ralat Perambatan

Bila ralat besaran ( V ) yaitu (∆V) didekati dengan nilai deviasi standar ( S V ); didapat
penyelesaian sebagai berikut :

 Bila besaran ( V ) hanya bergantung variable tunggal ( x )

∂V
SV = |∂∂Vx | ; dengan (
∂x
) merupakan deferensial parsial dari V = f (x,y,z,t)

 Bila besaran ( V ) bergantung dari dua variable misal ( x, y )


2 2
∂V ∂V
SV =
√( ∂x
.Sx +)(
∂y
. S y +2
∂V
∂x ) ( )( ∂∂ Vy ) ρ xy Sx S y

Dengan : ρxy = faktor korelasi antara besaran (x) dan (y), yang dirumuskan sebagai;
N
1
ρxy =
( N −1 ) S x S y ∑ δ xi δ yi
1
nilai faktor korelasi ( yang sering disebut sebagai faktor kegayutan dalam perambatan ralatnya )
akan berkisar antara : nol ( 0 ) dan ( ±1 ) yang mengandung pengertian sbb.:
 Faktor korelasi : ( ρ xy = 0 )
Berarti antara variable x dan y tidak saling ber-korelasi dengan kata lain pengaruhnya terhadap
ralat besaran V tidak ada ke-gayutan ( tak gayut / saling bebas ). Hal ini akan memberikan
penyelesaian rumus perambatannya :
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
16
2 2
∂V ∂V


SV =
√(
∂x
.Sx +
∂y)( .Sy

Faktor korelasi : ( ρ xy = ±1 )
)
Berarti antara variable x dan y ber-korelasi penuh dengan kata lain pengaruhnya terhadap ralat
besaran V tidak ber-gayutan ( gayut / saling terikat ). Hal ini akan memberikan penyelesaian
rumus perambatannya :

SV = |∂∂Vx |S +|∂V∂y |S
x y

 Bila besaran V bergantung dari banyak variable pengukuran ( x, y, z, t, … ); maka secara umum
rumus ralat perambatan SV adalah :

A). RUMUS TAK-GAYUT ( SALING BEBAS )

2 2 2 2
∂V ∂V ∂y ∂V
SV =
√( ∂x
.Sx +
∂y )(
.Sy +
∂z ) (
. Sz + .S
∂t t )( )
B). RUMUS BER-GAYUT ( SALING TERIKAT )

SV = |∂∂Vx |S +|∂V∂y |S +|∂∂Vz |S +|∂∂Vt |S


x y Z t

III.3. Ralat Gayut dan tak-Gayut

Dalam praktek dapat dikondisikan apakah analisa yang digunakan gayut atau tak-gayut , hal ini
dapat diatasi dengan metode pengukuran yang dilakukan oleh pengamat. Namun secara umum rumus
perambatan ralat untuk variable-variabel bebas yang memeliki ralat secara rambang, mayoritas
pengamat menggunakan rumusan “ tak-gayut”. Pengertian rumus “gayut” juga diperlukan untuk analisa
yang bersifat teoritik.

 RALAT GAYUT :
Apabila dalam eksperimen yang kita lakukan tidak dapat menghindari adanya korelasi
antara variable satu dengan lainnya, seperti misalnya : pengukuran Volume benda berbentuk
balok dengan dimensi V( x; y; z ). Pengukuran besaran-besaran tersebut menggunakan alat yang
sama, dengan cara mengamatinya juga sama, dalam tempo yang sama; dilakukan oleh
pengamat yang sama; dsb. Hal RUMUS UMUM
ini sangat RALATkontribusi
mungkin BER-GAYUTralat dari masing-masing variable
( x; y; z ) akan memberikan korelasi penuh terhadap ralat besaran volume (V) tsb. Kasus yang
V = f ( X, Y, Z )
sangat khusus ini;Xdiperbolehkan pengamat menggunakan
; Y; DAN Z MERUPAKAN BESARAN rumus
VARIABEL perambatan
SEJENIS YANG ralat ber-gayut.
TERKORELASI (GAYUT); DENGAN NILAI MASING-MASING :
X = x́ ± ∆X ; Y = Ý ± ∆Y DAN Z = Ź ± ∆Z

V = V́ ± ∆V
∂V ∂V ∂V
17 ∆V =
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
∂x | | | | | |
∆ X+
∂y
∆Y +
∂Z
∆Z

∂ V ∂ f ( X ,Y , Z ) ∂ V ∂ f ( X ,Y , Z )
| ∂ x | ∂ x | ∂ y |= ∂ y
= ; ; DAN
 RALAT TAK-GAYUT ( tidak terkorelasi )

Sedangkan bila fungsi besaran V yang bergantung dengan besaran variable ( x, y,z ),
namun besaran variable yang terukur langsung saling bebas antara satu dengan lainnya maka
ralat dari besaran ( V ) merupakan ralat perambatan yang “tak-gayut” atau tidak ada korelasi
sama sekali antara ralat X; ralat Y maupun ralat Z.
Sebagai contoh riil ; misalnya eksperimen yang menentukan nilai percepatan gravitasi bumi
dengan rumusan eksperimen :

4 π2
g= L
T2

Pengukuran panjang tali ( L ) digunakan alat ukur panjang, dan pengukuran periode
ayunan ( T ) dengan alat ukur waktu. Kita mengetahui bahwa hasil ukur kedua besaran tidak
saling mempengaruhi, dapat dikatakan saling bebas. Alasan yang dapat diajukan misalnya kedua
besaran tersebut diukur dengan alat yang berbeda, disamping memang keduanya tidak sejenis,
hal ini akan memberikan nilai ralat masing-masing besaran yang saling bebas. Akibatnya ralat
dari besaran gravitasi ( g ) merupakan kasus ralat perambatan yang saling bebas atau “tak-
gayut”.
RUMUS UMUM RALAT TAK-GAYUT

V = f ( X, Y, Z )

X ; Y; DAN Z ,MERUPAKAN BESARAN VARIABEL YANG SALING BEBAS ;


DENGAN NILAI MASING-MASING :

X = X́ ± ∆X ; Y = Ý ± ∆Y DAN Z = Ź ± ∆Z
V = V́ ± ∆V
2 2 2
∂V ∂V ∂V
∆V =
√( ∂x
∆X +)(
∂y
. ∆Y +
∂Z )(
.∆ Z )
∂V ∂ f ( X , Y , Z) ∂V ∂ f ( X , Y , Z)
= ; = ; DAN
18 ∂ xSunarta. ∂ x
BAHAN AJAR MPF-S1; ∂y ∂y
∂V ∂ f ( X , Y , Z)
=
∂z ∂Z
III.4. Rumus-rumus Khusus

Bila kita cermati rumus-rumus model perambatan selalu mengandung operator deferensial
parsial, sehingga diperlukan ketelitian tinggi dalam analisa disamping ketrampilan matematik tentang
deferensial. Untuk antisipasi bagi pengamat yang kurang trampil dalam olah matematik, maka
diturunkan rumus-rumus khusus dalam menghitung ralat perambatan sebagai berikut :

Rumus khusus yang dimaksud misalnya menyangkut persamaan–persamaan tentang fungsi


penjumlahan; pengurangan; perkalian; pembagian; pangkat; eksponesial; dan lainnya.


 RUMUS PENJUMLAHAN-PENGURANGAN
Misal : V = aX ± bY dengan : a ; b = konstanta
Rumus perambatan ralat dari besaran V menjadi :

SV = ( a S x ) 2+ ( b S y )2 ; untuk : X dan Y saling bebas ( tak-gayut )



SV = a Sx + b Sy ; untuk : X dan Y gayut ( terkorelasi )

 RUMUS PERKALIAN-PEMBAGIAN

Misal : V = a X Y atau V = a ( YX ) ;dengan ( a ) = konstanta


Rumus perambatan ralat dari besaran V menjadi :

Sx 2 S y 2
SV
V
=
√( x )( )
+
Y
; untuk : X dan Y saling bebas ( tak-gayut )

SV Sx S y
= + ; untuk : X dan Y gayut ( terkorelasi )
V X Y

 RUMUS FUNGSI PANGKAT


Misal : V = a X±b ; a dan b merupakan konstanta.
Rumus perambatan ralat dari besaran V adalah :

SV S
V
=b x
X ( )
 RUMUS FUNGSI EKSPONENSIAL
Misal : V = a e±bX ; a dan b merupakan konstanta.
Rumus perambatan ralat dari besaran V adalah :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


19
SV S
V
=b x
X ( )
 RUMUS FUNGSI LOGARITMA
Misal : V = a ln ( ±b X ) ; a dan b merupakan konstanta.
Rumus perambatan ralat dari besaran V adalah:

SV =a ( SX )
x

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Dalam sebuah eksperimen untuk mengetahui penyimpangan sudut momentum, mahasiswa


memperoleh hasil :
L (awal ) L’ (akhir) (L – L’)
3,0 ± 0,3 2,7 ± 0,6
7,4 ± 0,5 8,0 ± 1
14,3 ± 1 16,5 ± 1
25 ± 2 24 ± 2
32 ± 2 31 ± 2
37 ± 2 41 ± 2
Tabel menunjukkan momentum awal dan momentum akhir, tentukan selisih ( L – L’) dan
ketidakpastiannya. Apakah hasil tersebut sesuai dengan penyimpangan dari sudut momentum ?
2. Jika sebuah batu dilemparkan keatas dengan kecepatan( v), maka batu tersebut akan naik
setinggi (h), yang memenuhi persamaan : v 2 = 2gh. Dengan kata lain, (v2) seharusnya
sebanding dengan (h). untuk menguji hal ini, mahasiswa mengukur (v 2) dan (h) untuk 7 kali
lemparan dengan hasil sebagai berikut :
(h) dalam meter (V2) dalam (m2/s2)
( semuanya ralatnya ± 0,05 )
0,4 7±3
0,8 17 ± 3
1,4 25 ± 3
2,0 38 ± 4
2,6 45 ± 5
3,4 62 ± 5
3,8 72 ± 6
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
20
a. Buat grafiknya. Apakah grafik yang Anda buat konsisten dengan pernyataan bahwa (v 2) lurus
terhadap (h )?
b. Apakah hasil Anda konsisten terhadap nilai : 2g = 19,6 m/s 2 ? g=gravitasi bumi.
3. Untuk mengukur akselerasi dari sebuah kendaraan, mahasiswa mangukur kecapatan awal dan
akhir dari kendaraan tersebut ( vi dan vf ), dan menghitung perbedaannya ( v f –vi ). Percobaan
dilakukan 2 kali. Semua hasil mempunyai ketidakpastian pengukuran sebesar 1 %. Hasil dapat
dilihat di tabel berikut :
vi ( cm/s ) vf ( cm/s )
Percobaan pertama 14,0 18,0
Percobaan kedua 19,0 19,6
a. Hitung ketidakpastian absolut dari semua pengukuran !
b. Hitung prosentase ketidakpastian untuk setiap ( v i – vf ) ?
4. 2 orang mahasiswa diperintahkan untuk mengukur tingkat emisi dari partikel-α dari sampel
radioaktif tertentu. mahasiswa A menghitung selama 2 menit dan mendapatkan 32 partikel-α.
Mahasiswa B menghitung selama 1 jam dan mendapatkan 786 partikel-α (tingkat emisi
diasumsikan konstan selama pengukuran ).
a. Hitung ketidakpastian dari hasil yang didapatkan mahasiswa A ?
b. Hitung ketidakpastian dari hasil yang didaparkan mahasiswa B ?
c. Hitung emisi partikel per menitnya. Berapa hasil dan ketidakpastiannya ?
5. Dengan aturan yang ada, hitunglah hasilnya :
d. ( 5 ± 1 ) + ( 8 ± 2 ) – ( 10 ± 4 )
e. ( 5 ± 1 ) x ( 8 ± 2 )
f. ( 10 ± 1 ) / ( 20 ± 2 )
g. 2π( 10 ± 1 )
catatan: pada nomor soal 2.d., angka 2 dan π merupakan tetapan yang tepat(dianggap
tidak mempunyai ralat).
6. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran dengan hasil sebagai berikut :
 a = (5 ± 1) cm
 b = (18 ± 2) cm
 c = (12 ± 1) cm
 t = (3,0 ± 0,5) detik
 m =( 18 ± 1) gram

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


21
dengan menggunakan aturan yang ada, hitung nilai dari persamaan berikut , sajikan masing-
masing dengan model ralat mutlak dan ralat relatifnya .
a. (a + b + c) c. (4a) e. (ct)
b. (a + b – c) d. (b/2) f. (mb/t)
7. Seorang pengunjung dari sebuah istana abad pertengahan memutuskan untuk mengukur
kedalaman sebuah sumur dengan menjatuhkan sebuah batu dan mengukur waktu jatuhnya.
Hasil yang didapatkan adalah : t = (3,0 ± 0,5) detik. Apa yang bisa dia simpulkan tentang
kedalaman sumur tersebut ?
8. Derivatif parsial (∂q/∂x) dari : q(x,y) didapatkan dari hasil diferensiasi dari (q) fungsi ( x) dengan
(y) konstan. Tuliskan derivative parsial (∂q/∂x) dan (∂q/∂y) dari ketiga fungsi berikut :
a. q(x,y) = x + y
b. q(x,y) = xy dan c. q(x,y) = x2 y3
BAB IV
PENYAJIAN HASIL AKHIR & ANGKA BER-ARTI (ANGKA PENTING)

IV.1. Model Penyajian Hasil Akhir Pengamatan


Telah dibahas dengan detail pada bab didepan, bahwa suatu pengukuran dikatakan sempurna
dengan ditandai dengan kesempurnaan dalam tampilan hasil akhir yang disajikan. Model penyajian yang
memenuhi kaidah pengukuran adalah menuliskan hasil perhitungan yang terbaik disertai dengan
toleransi hasil pengukuran berupa ralat pengukuran, yang disajikan dalam :
X = X́ ± ∆X
Dengan : X = symbol besaran yang diamati
X́ = nilai terbaik ( nilai rata-rata pengamatan )
∆X = toleransi pengukuran ( ralat pengukuran )
Nilai terbaik pengukuran ( X́ ) :
 Merupakan nilai pengukuran tunggal bila metode pengamatannya hanya mampu satu kali
pengukuran.
 Merupakan nilai rata-rata dari jumlah data pengukuran, bila metode pengamatannya berulang
( misal N data )

X́ =
∑ Xi
N
 Merupakan nilai rata-rata berbobot bila dilakukan proses perbandingan antar metode ukur
( dibahas pada bab IX )
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
22
Toleransi pengukuran / Ralat ( ∆X ) :
 Merupakan nilai taksiran skala terkecil alat, bila metode satu kali pengukuran.
 Merupakan nilai deviasi standar , bila metode pengukuran ber-ulang dengan N data
∆X = S N−1
 Merupakan nilai deviasi standar rata-rata, bila metode pengukuran memenuhi data populasi
( data bertingkat )
S N −1
∆X = S x́ =
√N
 Merupakan nilai ralat berbobot bila pada proses analisa perbandingan metode ukur
( dibahas pada bab IX )

IV.2. Model Penyajian Mutlak (Absolut)


Bentuk penyajian akhir dari suatu pengukuran, akan memberikan gambaran penting dari
pengukuran tersebut. Dari bentuk penyajian dapat dimengerti apakah hasil pengukuran tepat atau
menyimpang jauh dari yang diharapkan.
Model penyajian akhir dalam bentuk angka mutlak yaitu : X = X́ ± ∆X
Misal : pengukuran panjang yang disajikan dengan L = (6,400 ± 0,005) mm adalah pengukuran yang
memiliki ketepatan lebih tinggi daripada yang disajikan dengan L = (6,40 ± 0,05) mm, maupun L = (6,4 ±
0,5) mm. Demikian pula hasil pengukuran arus yang disajikan dengan I = (6,4 ± 0,1) A dikatakan
mempunyai ketepatan yang lebih tinggi daripada hasil yang dituliskan I = (6,4 ± 0,3) A.
Model penyajian seperti diatas disebut sebagai model penyajian “absolute atau mutlak” yang
mengandung arti bahwa nilai angka ralat semakin kecil menunjukkan bahwa pengukuran dilakukan
semakin tepat.

X = ( X́ ± ∆X )
GRAVITASI: g = ( 9,82 ± 0,02 )m/s2
MAKIN KECIL NILAI RALAT MUTLAK
MENUNJUKKAN BAHWA PENELITIAN MENGHASILKAN
KETEPATAN MAKIN TINGGI

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


23
Dapat diambil kesimpulan bahwa model penyajian hasil akhir dengan metode penyajian absolut
(mutlak); menunjukkan adanya tingkat akurasi pengukuran, hal ini sangat berhubungan dengan metode
pengukuran, misalkan pengulangan data yang banyak, kecermatan analisa, dan ketrampilan
pengamatan yang dimiliki pengamat.

IV.3. Model Penyajian Relatif


Δχ
Model penyajian hasil dengan : X = ¿ ± )
χ́
Disebut sebagai model penyajian relative; dengan nilai dalam prosen (%).

Cara lain menyatakan ketidakpastian suatu besaran ialah dengan menyebut dengan

∆χ
ketidakpastian relatifnya, yakni : ( )
χ́
, yang jelas tidak bersatuan. Seringkali ketidakpastian (ralat)

relatif dinyatakan dalam % (atau ‰) dengan mengalikan hasil pengukuran dengan 100% (atau 1000‰).
Ketidakpastian relatif dihubungkan dengan ketelitian pengukuran:
Misal : Beda potensial V 1= (5,00 ± 0,05) volt, ketidakpastian mutlak di sini 0,05 volt sedangkan

0,05
ketidakpastian relatif pengukuran ini adalah ( ) atau 1%. Kalau voltmeter ini dipakai mengukur beda
5
potensial yang lebih besar, misalkan V 2= (10,00 ± 0,05) volt, ketidakpastian mutlak tetap sama seperti

0,05
tadi, namun ketidakpastian relatif pengukuran kedua ini ( ¿ atau 0,5%. Karena ketidakpastian
10
relatif pada pengukuran kedua ini lebih kecil daripada ketidakpastian relatif pengukuran pertama, maka
dikatakan pengukuran beda potensial kedua lebih teliti (memiliki ketelitian yang lebih besar) daripada
pengukuran pertama (dua kali lebih besar). Untuk dapat mengukur V 1dengan ketelitian yang sama

∆V2
dengan ketelitian yang dicapai pada pengukuran V 2, haruslah ( ) = 0,5%, atau ∆V 1= 0,5% × 5,0 volt
V1

1 1
= volt, maka diperlukan voltmeter dengan skala terkecil volt (minimum); dengan kata lain,
40 20
diperlukan alat yang lebih tepat.

Δχ
X=¿± )
χ́
NILAI TEGANGAN : V = ( 5 ± 1% ) Volt
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
24 MAKIN KECIL RALAT RELATIF DISAJIKAN DALAM
PENGUKURAN
MENUNJUKKAN MAKIN TINGGI KETELITIAN PENGUKURAN
YANG DICAPAI ALAT UKURNYA
Dapat disimpulkan bahwa penampilan hasil akhir dalam model relatif, lebih menunjukkan
informasi yang berhubungan deangan ketelitian alat ukur dalam pengamatan. Apakah hasil dengan alat
tersebut dapat memberikan ketelitian yang tinggi, atau perlu ditingkatkan dengan alat yang lebih teliti
lagi.

IV.4. Angka Ber-arti dan Metode Pembulatan


 Angka ber-arti (angka penting)
Cara menulis nilai ( x ) dan ( ∆x ) dibatasi sampai angka decimal tertentu dibelakang koma; agar
mempunyai nilai yang ber-arti. Hal ini sesuai dengan kedudukan angka ralat yang jelas-jelas
menunjukkan suatu ketepatan pengukuran maupun keakuratan alat ukurnya. Sehingga penulisan angka

22
perlu diatur (disesuaikan), misalkan suatu pengukuran menghasilkan nilai : x = = 3,142 85.... ( angka
7
decimal di belakang koma tidak akan selesai, sampai panjang tak terbatas ) , lantas berapa angka
desimalkah harus dilaporkan pada penulisan hasil akhir ? Tentu saja hai ini bergantung pada ketepatan
yang tercapai dalam pengukuran itu, yakni pada ralat pengukuan ( ∆x ) dan harus disesuaikan dengan
nilai rata-rata pengukuran yang sudah tertentu .
Misalnya : ∆x = 0,01, maka nilai ( x ) harus dilaporkan dengan dua angka desimal juga, jadi
disajikan x = (3,14 ± 0,01); sebab dengan ketidakpastian ∆x = 0,01 diartikan angka desimal kedua mulai
diragukan hingga pada x juga angka desimal kedua harus diragukan (yakni angka 4). Semua angka di
depan angka yang diragukan, diketahui dengan pasti; dalam contoh diatas adalah : angka 3 dan 1 pada
( 3,14 ).
3,14285... 0,01
PADA ANGKA 3,14285 ,ANGKA 4 MULAI DIRAGUKAN
APALAGI ANGKA 2; 8; DAN ANGKA 5, SANGAT MERAGUKAN
SEDANGKAN ANGKA 3,1 PASTI KEBERADAANNYA
SEHINGGA PENYAJIAN HASIL AKHIR MENJADI
3,14 0,01

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


25
Dapat dikatakan bahwa penyajian besaran x = ( 3,14 ± 0,01 ) disebutkan dengan nilai (x = 3,14)
terdiri dari 3 angka berarti (sering juga disebut angka penting).
Pengertian angka berarti mencakup semua angka yang diketahui dengan pasti dan angka
pertama yang diragukan. Angka selanjutnya yang lebih diragukan (sangat meragukan) tidak perlu
dituliskan dalam penyajian akhir.
Kalau karena sesuatu hal, misalnya pengulangan yang cukup banyak, sehingga memdapatkan
ralat ∆x diketahui dengan lebih teliti, misalnya ∆x = 0,003, maka hasil akhir nilai ( x ) dapat dilaporkan
sebagai : x = (3,143 ± 0,003); jadi jumlah angka berarti adalah 4 angka yaitu : ( x = 3,143 )

ANGKA “PENTING”
ATAU
ANGKA “BER-ARTI”
ADALAH : SEMUA ANGKA YANG SUDAH PASTI DITAMBAH
SATU ANGKA YANG MULAI MERAGUKAN
X = 3,1428 ± 0,0007
NILAI BESARAN (X) DISAJIKAN DENGAN 5 ANGKA PENTING

Perhatikan nilai ( x = 3,1) dan ( x = 3,10 ) berbeda artinya dilihat dari sudut ketepatan,
pengukuran pertama (x = 3,1) berarti angka 3 diketahui dengan pasti tetapi angka 1 diragukan
sedangkan pada (x = 3,10) berarti angka 3, dan angka 1 diketahui dengan tepat/pasti ; sedangkan angka
(0) diragukan keberadaannya. Namun dalam ilmu metode pengukuran; ( hasil: 3,10) lebih tepat
daripada yang menghasilkan (3,1).

Makin tinggi ketepatan pengukuran ( makin kecil


ralat mutlak), makin besar jumlah angka berarti
yang dapat dituliskan pada penyajian nilai akhir

Sering ketelitian pengukuran dinyatakan dengan (%), misalnya: x = ¿ ± 1% )


22
Apa artinya? x = = 3,142 85...dan ∆x = 0,0314285… dengan kaidah angka penting dalam penyajian
7
nilai akhir, maka nilai ∆x = 0,03. Dengan demikian x disajikan sebagai x = (3,14 ± 0,03) yang memang
memiliki ketelitian 1% dan mengandung 1 angka saja yang meragukan.
Seandainya ketelitian meningkat, misalnya 1‰, maka x = 3,142 85... dan ∆x = 0,003 142... akan disajikan
menjadi x = (3,142 ± 0,003); jadi ada 4 angka berarti, sebaliknya dengan ketelitian hanya 10%, maka
RALAT RELATIF & ANGKA BERARTI/PENGTING
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
26
RALAT 10% memberi ‘hak’ atas dua angka berarti; RALAT 1%
memberi ‘hak’ atas tiga angka berarti; RALAT 1‰ memberi
‘hak’ atas empat angka berarti;
nilai x = (3,1 ± 0,3) sehingga ada dua angka berarti. Dalam ini kita dapat menyimpulkan bahwa semakin
kecil ralat relative suatu pengukuran akan memberikan peluang untuk dapat menuliskan semakin
banyak jumlah angka berarti pada penyajian nilai akhir, kita dapat berpegang pada aturan praktis
berikut:

 Aturan pembulatan angka pada penyajian hasil akhir.


Dalam menyajikan hasil akhir suatu pengukuran harus benar-benar menunjukkan tingkat
kecermatan dan ketelitian yang jelas dan pasti. Untuk itu diperlukan suatu aturan yang baku tentang
bagaimana kita harus membuang angka yang tidak penting.
Aturan yang dimaksud adalah cara pembulatan angka yang harus dibuang dalam penyajian hasil
pengamatan akhir, yaitu sebagai berikut :
o Bila angka yang akan dihilangkan lebih besar lima ( ¿5 ); maka angka degit didepannya
naik nilainya satu degit.
Misal : angka 0,81578190555; bila harus dipotong sampai (3-digit) dibelakang koma
menjadi ( 0,816 ); bila (4-digit) dibelakang koma menjadi ( 0,8158 ); bila (6-digit)
dibelakang koma menjadi ( 0,815782 ); dan seterusnya.
o Bila angka yang akan dihilangkan sama dengan lima ( =5 ); maka angka degit
didepannya menjadi 2 kemungkinan sbb. :
1. Jika angka degit didepannya GENAP , maka angka genap tersebut TETAP
nilainya.
2. Jika angka degit didepannya GASAL , maka angka gasal tersebut menjadi NAIK
NILAINYA satu degit.
Misal : angka 0,81578190555; bila harus dipotong sampai (2-degit) dibelakang koma
menjadi ( 0,82 ) karena angka didepannya ( angka 1) merupakan angka gasal; sedangkan
bila harus dipotong sampai (8-degit) dibelakang koma menjadi ( 0,81578190 ) karena
angka didepannya (angka 0) merupakan angka genap.
o Bila angka yang akan dihilangkan lebih kecil lima ( ¿5 ); maka angka degit didepannya
tetap nilainya.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


27
Misal : angka 0,81578190555; bila harus dipotong sampai (1-degit) dibelakang koma
menjadi ( 0,8 ); sedangkan bila (5-degit) menjadi ( 0,81578 ) dan seterusnya.

ATURAN PEMBULATAN ANGKA


BILA YANG DIBUANG :

(¿ 5 ¿ ANGKA DEGIT TETAP


(¿ 5 ¿ ANGKA DEGIT NAIK
(=5) ANGKA DEGIT TETAP BILA ANGKA GENAP
(=5) ANGKA DEGIT NAIK BILA ANGKA GASAL

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Tuliskan kembali jawaban berikut ini dalam bentuk yang paling bagus, dengan angka signifikan
(angka ber-arti) yang sesuai :
a. Tinggi = (5,03 ± 0,04329) m.
b. Waktu = (19,5432 ± 1 ) s
c. Muatan = (-3,21 x 10-19 ± 2,67 x 10-2 ) 0 C.
d. Panjang gelombang = (0,000000563 ± 0,00000007) m.
e. Momentum = (3.267 x 103 ± 42) g cm/s
2. Pengukuran atas besaran A, B, C, dan D memberi hasil:
A = 2807,5 ± 0,4 C = 83,675 ± 0,008
B = 0,0640 ± 0,0006 D = 525,0 ± 0,5
a. Tuliskan kembali empat bilangan itu dengan memakai notasi eksponensial.
b. Urutkan keempat bilangan di atas menurut ketepatannya yang menaik.
c. Tentukan juga ketidakpastian relatif masing-masing besaran.
d. Buat urutan berdasarkan ketelitian pengukurannya.
3. Dengan berpegang pada kebiasaan hanya menggunakan satu angka yang diragukan, tulislah
dengan tepat:
a. 3,456 ± 0,2
b. 78 000 ± 20
c. 0,002 468 ± 0,000 01
d. 6543,410 ± 0,3

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


28
e. 7777,7 ± 0,2
4. Keempat bilangan di bawah ini diketahui dengan ketelitian sekitar 1%. Tulislah bilangan itu
sebagai (x ± ∆x) :
x 1 = 1202 x 3 = 2,05
22
x2 = x 4 = 25
7

BAB V
GRAFIK PENGAMATAN DAN ANALISA

Grafik merupakan bagian yang penting pada pengolahan data pengamatan, karena grafik
merupakan visualisasi data yang menggambarkan kelakuan hasil pengamatan terhadap variable yang
mempengaruhi. Dari visualisasi kelakuan ini, mengandung banyak informasi tentang fenomena fisis yang
sedang diteliti.

Untuk dapat menggambarkan hasil secara visual dari data pengamatan dengan benar,
diperlukan pengertian tentang alur data yaitu data-data yang telah terlukis pada sumbu-sumbu grafik
akan membentuk alur garis yang mempunyai fungsi tertentu.

Pengambaran grafik yang benar dan teliti, akan sangat mempengaruhi hasil analisa yang
diperoleh. Untuk itu seorang pengamat/peneliti harus menguasai tentang metode analisa grafik. Tidak
semua grafik dapat dipergunakan untuk dasar analisa, tergantung jenis pengamatan ( kelakuan fisis ).
Apakah kelakuan fisis merupakan variable-variabel yang berfungsi secara matematis, atau tidak
berfungsi. Grafik analisa biasanya mempunyai fungsi matematik tertentu. Dari keterangan tersebut
dapat dibedakan ada 2 jenis grafik yaitu :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


29
1. Grafik ; sekedar tampilan data ( tanpa fungsi matematik )
2. Grafik; sebagai Sumber analisa data (Grafik-analisa); mempunyai fungsi matematik tertentu;
missal linear; eksponen; kwadrat; dsb.

Dalam tulisan ini, akan disampaikan / dibahas tentang jenis grafik analisa. Jenis grafik ini sangat sering
dijumpai pada dunia sain-tek; khususnya pengamatan fenomena-fenomena fisis.

V.1. Prosedur Pegambaran Grafik Analisa

Untuk memperoleh grafik yang benar yaitu merupakan visualisasi data yang mempunyai pola
persamaan garis tertentu, dan memgambarkan kelakuan data data fisis diperlukan beberapa langkah
dalam proses pembentukannya diantaranya :

 Pertama :

Menentukan persamaan grafik ; yaitu persamaan yang menjadi dasar untuk menarik garis grafik setelah
data terlukis pada grafik. Persamaan grafik mengacu pada persamaan teori atau hypotesa yang di ajukan
pada penelitian. Apabila tidak/belum ada dasar persamaan teorinya, yang menjadi dasar penarikan garis
adalah “alur data yang terjadi”.

 Kedua :

Menentukan sumbu-sumbu grafik dengan benar, sumbu mana sebagai sumbu “vertical” yaitu sumbu
tempat kedudukan data pengamatan, yang sering disebut sebagai sumbu akibat atau “kodomain”. Juga
sumbu mana sebagai sumbu “horizontal” yaitu sumbu tempat kedudukan data variable pengamatan,
yang sering disebut sumbu sebab atau “domain”.

 Ketiga :

Pemilihan skala grafik yang tepat, yaitu : (a). Angka skala sederhana, mudah dibaca misal : 1, 2, 3, dan
seterusnya, atau 0.1, 0.2, 0.3, dan seterusnya. (b). Jarak angka skala satu dengan lainnya cukup jelas. (c).
Titik-titik data pada grafik secara visual terlihat jelas, tidak saling berdepetan. (d). Titik data yang terlukis
pada grafik harus jelas, misal dengan tanda khusus (tebal) sehingga tidak tertutup oleh garis grafik.

 Keempat :

Pengaturan skala grafik diperlukan juga untuk membuat penampilan garis grafik berada pada daerah
yang tepat/benar yaitu daerah yang sensitivitasnya tinggi. Sebagai grafik analisa garis grafik yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah berada pada kemiringan antara [ 30° ≤ (kemiringan) ≤ 60° ]. Garis grafik
yang berada diluar daerah tersebut merupakan garis grafik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kecermatannya (tidak teliti).

 Kelima :

Garis grafik merupakan garis yang dibentuk oleh “Alur Data” yang merupakan garis yang ditarik lewat
data secara halus (smooth) dan merata menelusuri daerah sebaran data pengamatan. Sebaliknya garis

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


30
yang ditarik secara “patah-patah” yaitu garis yang menghubungkan titik data satu dengan data yang
berdampingan lainnya secara berturutan, ini bukan merupakan garis grafik, artinya kita tidak dapat
menganalisa secara grafik dari model garis garfik yang “patah-patah”.

 Keenam :

Kecermatan dalam menarik garis grafik sesuai dengan dasar persamaan grafik yang telah dirumuskan.
Pada grafik analisa, belum tentu garis grafik menenuhi (sesuai) dengan seluruh alur data yang terbentuk
(kemungkinan hanya sebagian alur yang sesuai dengan dasar persamaan grafik yang dirumuskan).

V.2. Manfaat Grafik Sebagai Analisa Data

Sebelum kita bahas tentang bagaimana cara menganalisa data lewat grafik, perlu dibahas
terlebih dahulu mengenahi fungsi/manfaat adanya grafik; diantaranya :

1. Visualisasi data
Maksudnya dengan melihat tampilan gambar grafik, pengamat sudah dapat mengambil
informasi, kelakuan variable data pengamatan. Hal ini tidak kentara ketika hanya melihat table
data pengamatan.

2. Grafik sebagai pembanding Eksperimen-Teori


Dengan tampilan grafik, dapat dengan jelas daerah keberlakuan teori cocok atau sesuai dengan
hasil pengamatan. Atau bias berlaku sebaliknya yaitu daerah mana hasil eksperimen sesuai
dengan pendekatan teorinya.

3. Grafik sebagai kurva kalibrasi besaran fisis satu dengan lainnya.


Apabila ada besaran fisis satu sama lain saling ada pengaruhnya, dan berapa besar factor
pengaruh tersebut, maka hal ini dapat dibuat grafik hubungan dua besaran yang saling
berpengaruh tersebut, dan dihitung faktornya lewat grafik yang ada.

4. Grafik sebagi penentuan rumus empiris besaran-besaran yang belum dipikirkan rumusan secara
teoritis.

V.3. Metode Grafik Sebagai Analisa Data

Grafik analisa merupakan grafik yang terbentuk dari hasil olahan data pengamatan, kemudian
di-plot sesuai dengan sumbu-sumbu yang dikehendaki yang akan menjadi dasar untuk menghitung/
menganalisa data.

Grafik analisa biasanya mempunyai fungsi (persamaan) teori; sehingga dalam penarikan garis
data pada grafik sudah mempunyai bentuk kurva tertentu, missal linear atau lainnya. Akan tetapi bentuk

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


31
garis linear lebih memberikan banyak informasi analisis, sehingga ketika persamaan teori bukan
persamaan linear, perlu dilakukan pe-linearan terlebih dahulu dalam penggambaran grafik analisa.

Kenapa garis linear lebih baik disbanding model grafik lainnya, hal ini karena garis linear lebih
mudah dilihat secara visual (tepat/menyimpang); juga garis linear mempunyai besaran-besaran grafik
paling komplit dan mudah dihitung. Besaran-besaran garfik yang ada pada garis linear berupa titik
potong dan gradient grafik; besaran-besaran inilah yang digunakan sebagai dasar analisa untuk
menghitung besaran fisis yang dikehendaki dalam pengamatan.

Beberapa contoh sederhana penggunaan grafik sebagai dasar analisa adalah :

1. Hukum Boyle : PV = k
Persamaan tersebut akan diselidiki dengan grafik linear, untuk itu perlu pelinearan menjadi : P =
1 1
k( ¿ ; yang akhirnya dipilih besaran ( P ) pada sumbu vertikal grafik, dan ( ¿ sebagai sumbu
V V
horizontal grafik. Gradien grafik adalah = (k), dan grafik akan memotong di titik origin grafik.
2. Hukum Coulomb : F = k (1/r2)
Dengan memilih sumbu horizontal grafik sebagai (1/r 2) dan sebagai sumbu vertical besaran (F) ;
maka grafik analisa berupa garis linear dengan gradient grafiknya adalah sama dengan (k), dan
grafik akan melalui titik origin grafik.
3. Persamaan pada rangkaian listrik sederhana yang terdiri atas battery (E) sebagai sumber
tegangan DC, hambatan luar (R Variabel) , hubungan tegangan (V) pada hambatan (R) yang dialiri
arus dari battery tersebut adalah :

1 1 r1 1
= + ( )
V E E R

Dengan E = tegangan battery; r 1 = hambatan dalam battery. Untuk membuat grafik analisa
1
dipasang sebagai sumbu horizontal grafik adalah ( ¿ dan sebagai sumbu vertical grafik adalah (
R
1 r
V
¿, sehingga diperoleh gradient grafik linear sebagai
E ( )
; dan grafik akan memotong pada

1
sumbu vertical dengan nilainya sama dengan nilai besaran ( ¿.
E
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
32
4. Persamaan umum : Y = a 10 kX ; dengan (a) dan (k) sebagai konstanta, dan variable (X) berada
pada eksponen. Untuk melakukan pelinearan persamaan tersebut diambil fungsi logaritma
sehingga didapat :
log Y = log a + k X

Dengan memasang (X) sebagai sumbu horizontal dan (log Y) sebagai sumbu vertical grafik, maka
akan diperoleh grafik lurus dengan gradient (k) dan titik potong grafik bernilai sama dengan (log
a).

5. Persamaan umum : Y = a LP ; dengan a,P konstan


Perubahan persamaan agar menjadi linear dengan mengambil fungsi logaritmis sbb.
ln Y = ln a + P ln L
Diambil sumbu horizontal sebagai (ln L), sedangkan sumbu verticalnya (ln Y), sehingga diperoleh
grafik lurus dengan gradient (P) dan titik potongnya (ln a)

6. Persamaan : I = Io e-λd ; λ dan d merupakan tetapan.


Linear dari persamaan tersebut adalah : ln I = ln Io – λd , selanjutnya dengan memasang sumbu
grafik horizontal pada (d) dan sumbu vertical pada (ln I) ; maka didapat grafik linear dengan
gradient sama dengan (-λ) dan titik potong pada nilai (ln I o).

V.4.Ralat Grafik

Yang dimaksudkan ralat grafik adalah ralat yang menyangkut nilai dari besaran-besaran grafik
yaitu gradient dan titik potongnya. Jadi ralat grafik sama dengan ralat dari gradient grafik dan ralat titik
potong grafik.

Kenapa timbul ralat grafik ?

Jawabnya ya mesti ada ralat grafik, bukankah garis grafik terbentuk dari pasangan data pengamatan,
sedangkan kita telah bahas panjang lebar tentang ralat data pengamatan, sehingga logika mengakatan
bahwa kalau titik-titik data grafik mempunyai ralat maka garis grafik yang terbentuk dari titik-titik
tersebut pasti ber-ralat.

Perhatikan beberapa ilustrasi berikut, bahwa titik data yang ber-ralat akan memberikan dampak
terhadap garis grafik yang terbentuk dari titik-titik tersebut.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


33
Pada gambar-A : ralat titik-titik data pada grafik cukup jelas tergambar dikarenakan nilai ralatnya
cukup besar sehingga secara keseluruhan fluktuasi titik tidak kelihatan pada garis grafik, namun lain
dengan gambar-B : karena ralat titik-titik data kecil sehingga fluktuasi data secara signifikan jelas terlihat
pada garis grafik yang diambil.

Karena garis grafik terbentuk dari alur titik-titik data, sedangkan titik-titik data mempunyai ralat
maka logika kita akan mengatakan bahwa garis grafik yang terbentuk juga akan menyimpang (ber-ralat).
Titik data yang ber-ralat digambarkan dengan suatu titik yang mempunyai batang (lihat gambar),
sehingga titik tersebut dapat dipandang sebagai sebuah titik yang nilainya terbentang antara nilai (max-
min).

GAMBAR TITIK DATA BER-RALAT


APAT DIPANDANG SEBAGAI SUATU TITIK YANG BERNILAI (MAX-MIN), PADA GRAFIK DIGAMBAR SEBAGAI TITIK YANG BERBATANG (BER-BE

Akibat dari titik data yang secara visual pada grafik digambarkan sebagai titik yang bernilai max-
min, maka garis grafik yang dihasilkan juga garis-max dan garis-min.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


34
Garis max-min pada grafik

Dalam grafik berbentuk garis lurus, hampir dalam semua keadaan, anda berkepentingan
memperoleh kemiringan (gradient) dan perpotongan dengan sumbu-sumbu koordinat. Juga ada baiknya
anda memberikan perkiraan ralat dari dua atau tiga besaran tersebut. Suatu cara yang sederhana dan
cepat ialah menarik garis ekstrim (garis batas) melalui “pusat berat” (center of gravity) dari titik-titik
data. (lebih detail akan dibahas pada mata kuliah Metode Analisa Grafik di program S1-Fisika; F.MIPA-
UGM)
Jika semua ralat pada titik data sama besar, maka “pusat berat” ini terletak di sekitar tengah-
tengah, jika ralat tidak sama besar, maka pusat berat ini tergeser ke arah titik-titik dengan ralat terkecil.
Kemiringan dan perpotongan dapat ditentukan secara grafis dari dua ekstrim ini. “Garis terbaik “
terletak kira-kira di tengah-tengah dua ekstrim ini.

Contoh grafik diatas, dengan metode analisa “max-min” diperoleh hasil :

Kemiringan : (0,8  0,2) gram/cm

Perpotongan dengan sumbu-x : -(1,2  1,2) cm

Perpotongan dengan sumbu-y : (0,8  0,8) gram

V.5. Pengertian Alur Data; Garis Grafik; dan Regresi

Grafik merupakan visualisasi data yang akan memberikan gambaran hubungan antara besaran
satu (pada sumbu vertical) terhadap besaran lainnya (pada sumbu horizontal). Dari gambar data-data
kemudian ditarik garis untuk mendapatkan fungsi kurva yang terjadi, yang akhirnya kurva inilah
merupakan hasil dari grafik tsb.

Analisa grafik berarti melakukan analisa terhadap kurva grafik, bila diperoleh kurva linear maka
dianalisa sesuai dengan kaidah garis linear, bila diperoleh kurva eksponensial juga akan dianalisa dengan
aturan kurva tsb. dan seterusnya. Untuk itu sangat penting kita menguasai bagaimana cara menarik garis
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
35
grafik yang benar agar kurva yang dihasilkan menjadi benar. Hal ini diperlukan pengertian tentang “Alur
data”; “Garis grafik” juga “garis regresi”

Alur data : adalah pola yang terbentuk dari deretan data yang tergambar pada grafik, ini
merupakan kelakuan asli dari data pengamatan ( apakah akan terbentuk pola lurus, lengkung, fluktuatif,
atau acak ). Alur data akan terbentuk dengan jelas ketika jumlah deretan data banyak dan saling
berdekatan secara kontinyu. Sebaliknya alur data tidak tampak jelas bila deretan data sangat jauh satu
dengan lainnya.

Garis Grafik : merupakan garis analisa yang ditarik sesuai dengan kaidah teorinya dengan
mengacu pada bagian alur data yang sesuai, mungkin tidak seluruh garis grafik dapat sesuai dengan alur
data yang terjadi ( artinya keberlakukan garis grafik tidak selalu terpenuhi dengan data yang ada pada
grafik).

Apabila seluruh alur data yang terjadi sesuai (dapat dilalui) garis grafik, maka dapat dikatakan
bahwa hasil data pengamatan memenuhi kaidah teori yang ada, berarti tidak ada penyimpangan antara
teori dan eksperimennya.

Garis Regresi : garis yang dibentuk dari rumusan regresi sebagai fungsi dari pasangan data pada
sumbu horizontal (sb-X) dan sumbu vertical (sb-Y), bila dicermati garis ini akan merupakan garis yang
mengakomodasikan seluruh sebaran data, berupa rata-rata daerah sebaran yang ada. Sehingga data
dengan model alur apapun, bila diambil regresinya akan memberikan garis lurus.

Untuk itu diperlukan seleksi data yang ada pada grafik, apabila akan ditarik dengan regresi,
tentunya terbatas terhadap data-data yang memiliki alur linear saja yang dianalisa dengan rumus
regresi.

Dari ketiga pengertian garis tersebut (alur data, garis grafik dan garis regresi), dapat diambil
pengertian bahwa:

 Alur data terbentuk secara alami dari data hasil pengamatan, penyimpangan terjadi bila
pengamatan tidak cermat, atau mengandung ralat besar.
 Garis Grafik terbentuk, menurut pemilihan pengamat dengan mengacu pada landasan teori yang
ada pada eksperimen, juga memperhatikan alur yang ada sebagai acuan untuk menarik garis
tersebut.
 Garis Regresi terbentuk dari analisa rumus regresi yang merupakan nilai rata-rata dari sebaran
data pengamatan yang ada, sehingga diperlukan kecermatn peneliti ketika menggunakan
metode ini.

Dalam situasi ideal akan dapat ditunjukkan bahwa ketiga garis tersebut berimpit, yaitu situasi yang
mana teori dan praktek tidak ada penyimpangan sama sekali.

SOAL-SOAL LATIHAN :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


36
1. Impedansi rangkaian R-L adalah Z2 = R2 + 4 π 2 ƒ2 L2. Suatu percobaan direncanakan untuk
mengukur R dan L dengan menggunakan rangkaian R-L. ƒ diubah-ubah dan z diukur. Data akan
digrafikkan sebagai garis lurus z 2 terhadap ƒ2. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut
(setiap ƒ ber-∆ ƒHz, dan setiap z ber-∆ Z. 0,2 ohm).
a. Sebelum digrafikkan, lengkapilah dahulu daftar di bawah.
ƒ (Hz) Z (ohm) ƒ2 ∆ƒ2 = 2ƒ ∆ƒ z2 ∆ z 2 = 2z ∆z
123 ± 4 7,4 ± 0,2
158 8,4
194 9,1
200 9,6
229 10,3
245 10,5
269 11,4
292 11,9
296 12,2

b. Gambarkan semua titik percobaan dengan mengikutsertakan ketidakpastiannya.


c. Tentukan (dengan cara visual atau pun titik sentroid) garis lurus terbaik.
d. Dapatkah kemiringan garis itu dalam ketidakpastiannya (m ± ∆m).
e. Dengan memakai π = 3,142, hitunglah (L ± ∆L) dengan memperhatikan jumlah angka
berarti yang tepat.
f. Tentukan (R ± ∆R).

L
2. Dengan rumus bandul matematik T = 2π
√ g
, percepatan gravitasi g hendak ditentukan dalam

suatu eksperimen. Period T diukur pada beberapa nilai panjang bandul L. Data yang diperoleh
adalah sebagaimana tercantum di bawah. Pakailah metoda kuadrat terkecil untuk menghitung
(g ± ∆g), dengan mengetahui π = 3,142 tepat.

L T
(m) (sekon)
0,60 1,56
0,70 1,68
0,80 1,80
0,90 1,90
1,00 2,00

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


37
1,10 2,11
1,20 2,20
1,30 2,28

3. Rumus atau hukum di bawah ini harus anda luruskan. Sebutkan besaran mana yang anda pilih
sebagai perubah bebas, dan mana perubah tidak bebas. Sebutkan juga bagaimanakah
menentukan nilai besaran yang dicari itu dari grafik yang anda peroleh.
Tabel :
No Hukum Rumus Diketahui Diukur Dicari
1 Hukum Ohm V=IR - V dan I R
2 Bandul matematik L

3 Pemuaian
T = 2π

g
L2 = L1 ( 1+ λ ∆ t )
π

L1
L dan T

L2 dan ∆t
g

λ
4 Lensa tipis 1 1 1
= + - s dan s' ƒ
f s s'
5 Tegangan permukaan 2γ
h= ρ dan g r dan h γ
dalam kapiler ρ rg
6 Hukum Coulumb 1 Q1 Q2
F= π, Q 1, Q 2 F dan r ∈0
4 π ∈0 r 2
7 Hukum Richardson J = AT 2 e−Q / kT k J dan T A dan Q
8 Hukum Ampere μ I I L F, L, I 1 I 2 dan
F= 0 1 2 π μ0
2π r r
9 Resonansi listrik 1
ω0 = - ω 0 dan C L
√ LC
10 Rumus impedansi i

2
Z= R + 2 2
ωC
- ω dan Z R dan C

Misal bandul matematik (no.2 dalam daftar di atas) :


L
L perubah bebas; T perubah tak bebas; T 2 = 4 π 2 .
g
T 2 digrafikkan terhadap L, yang menghasilkan garis lurus melalui titik awal dengan sudut miring

4 π2 4 π2
(α) yang memenuhi : tan α = . maka (g = ).
g tan α
4. Buatlah semacam instruksi pendek (secara garis besar saja) bagaimanakah melakukan
percobaan untuk memeriksa hukum Ampere dan rumus impendansi (no.7 dan 10 dalam daftar
di atas).
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
38
BAB VI
PENGGUNAAN METODE REGRESI LINEAR PADA ANALISA DATA

VI.1. Pengantar

Metode regresi linear sering digunakan dalam analisa data hasil eksperimen dalam segala kasus,
bahkan apabila fenomena yang muncul tidak linear maka dalam analisa data dilinearkan dahulu
kemudian dianalisa dengan metode linear.( dilakukan proses pelinearan terlebih dahulu sebelum di
aplikasikan pada metode regresi linear ).

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


39
Sering didapati, bahkan banyak para penganalisa data yang menggunakan metode ini masih
kurang cermat ( “ceroboh”) bahkan cenderung salah dalam mengolah data eksperimen. Hal ini terjadi
karena data ( semua data ) langsung dianalisa dengan metode tersebut tanpa mengecek terlebih dahulu
apakah data – data tersebut memenuhi kriteria linear sesuai teori yang diharapkan.
Kesalahan diatas menjadi fatal ketika eksperimenter hanya berpegang pada pendekatan teori
eksperimen, tidak ada upaya dengan baik waktu melakukan pengambilan data dengan teliti. Padahal
teori merupakan suatu pendekatan yang disederhanakan ( diidealkan ), sedangkan ekpserimen
merupakan feomena riil yang lebih kompleks, dan menggambarkan fenomena yang sebenarnya.
Contoh sederhana misalnya pada kasus osilasi bandul matematis, sebagai dasar teori diberikan
persamaan pendekatan :
4π2
T 2=( ) g
l
2
Secara teori hubungan T fungsi l merupakan hubungan yang linear, artinya berapa pun nilai l
akan memberikan fenomena linear pada nilai T2 . Padahal bila diamati betul pada eksperimen tidak
semua variasi l akan memberikan nilai T2 yang memberikan hubungan linear, hal ini bisa terjadi karena
sifat fisis ayunan yang akan dipenuhi untuk panjang tali tertentu ( terlalu panjang ayunan menjadi sangat
lambat, sedang terlalu pendek ayunan menjadi cepat dan segera berhenti ) atau adanya kesalahan
pengamatan.
Kasus lain misalnya fenomena fisis yang sederhana pada perubahan panjang pegas bermassa
dengan dasar persamaan :

Δl= ( gk ) m
Secara teori , berapapun nilai m dipasang pada sistem pegas, akan memberikan perubahan panjang Δl
yang memberikan hubungan yang linear. Akhirnya yang biasa dilakukan para penganalisa data, pasangan
data ( m ; Δl ) langsung dianalisa menggunakan metode regresi ( untuk semua data ). Padahal dalam
pengamatan eksperimen belum tentu semua nilai m akan memberikan fenomena linear pada Δl.
Perlu difahami bahwa teori regresi akan memberikan penyesesaian pasangan data (X i;Yi) untuk
dianalisa pada regresi yang diharapkan; untuk itu bila di-inginkan akan dianalisa dengan linear maka
data pasangan (Xi;Yi) harus diyakinkan berfungsi linear ( secara visual dapat di tampilkan pada grafik
pengamatan). Bila pada persamaan teori belum secara langsung menggambarkan hubungan yang linear,
maka dilakukan proses pelinearan terlebih dahulu.

VI.2. Linearitas Persamaan


Dalam pengamatan penentuan variable pengamatan menjadi bagian pokok, yang mana sebagai
variable bebas dan variable terikat, hal ini yang akan menentukan bentuk persamaan eksperimen yang
selanjutnya akan menjadi dasar atas analisa datanya.

Kadang persamaan fisis yang menggambarkan suatu fenomena mempunyai varibel yang cukup
kompleks, namun dalam pengamatan eksperimen bentuk persamaannya dapat disederhanakan sesuai

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


40
dengan variable ukur yang dapat diamati ( variable yang observable ). Misal contoh kasus : fenomena
peluruhan zat radioaktif dengan persamaan :

Mt = M0 e-λ t

Dengan: Mt = massa sumber setelah meluruh selama t detik


M0 = massa awal sebelum meluruh
λ = tetapan peluruhan
Persamaan tersebut merupakan persamaan eksponensial; bila diamati keadaan massa zat setiap
kurun waktu berjalan, maka akan menggambarkan hubungan / fungsi yang eksponensial. Bentuk ini
akan menjadi model hubungan yang linear apabila diambil fungsi logaritmisnya.

ln Mt = ln M0 – λ t

Bila diubah Y=ln Mt ; dan ln M0 = A (konstan); maka diperoleh persamannya menjadi linear sebagai :
Y=A- λt
Contoh lainnya misal :
L 2 L
T = 2π
g √diubah menjadi T2 = 4 π ( ) ;

4π 2
g

dengan diganti Y=T2 dan ( ¿=K (tetapan),


g
diperoleh persamaan linear dalam bentuk :
Y=KL

Proses yang kita lakukan demikian itu merupakan proses pelinearan persamaan yang awalnya
belum linear diubah menjadi linear, dengan tujuan tertentu dalam eksperimen yang akan dilakukan.
Misalnya dengan menjadi persamaan linear kita dapat menentukan mana variable yang harus diukur
sebagai variable bebas, dan juga mana yang sebagai variable terikat. Hal ini sangat penting untuk dasar
analisa terutama dalam analisa model grafik.

VI.3. Rumus Regresi Linear

Persamaan regresi linear diturunkan untuk menghitung pasangan data X i dan Yi yang memenuhi
hubungan linear, yaitu :
Y=AX+B

Dalam penampilan grafik Y = f ( X ) sebagai berikut :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


41 Y

A = Gradien
B

X
- B/A 0

Gambar : Grafik fungsi Y = A X + B

Gradient grafik :
N ∑ ( x i y i) − ∑ x i ∑ y i
A= 2
N ∑ x2 − ( ∑ x i )

N = cacah data yang dianalis


Titik potong grrafik terhadap sumbu y :

N ∑ x i2 ∑ y i −∑ xi ∑ ( x i y i)
A= 2
N ∑ x 2−( ∑ xi )

Titik potong grafik terhadap sumbu x :

2
B −N ∑ x i ∑ y i −∑ x i ∑ ( x i y i )
( )
A
=
N ∑ ( x i y i ) −∑ xi ∑ y i

Teori regresi linear dapat dipergunakan untuk menentukan garis lurus terbaik dari sebaran data
pasangan ( xi : yi ) yang secara eksplisit tidak membatasi, apakah pasangan data tersebut betul – betul
nmembentuk garis lurus. Hal ini akan berakibat bahwa pasangan data ( x i ; yi ) sembarang dapat dipilih
garis lurusnya ( artinya teori regresi tetap akan dapat menginformasikan hasil linear ). Inilah yang sering
menimbulkan kesalahan dalam penggunaan analisa data eksperimen.
Untuk itu perlu kehati-hatian ketika rumus – rumus regresi linear akan digunakan untuk analisa
pasangan data hasil eksperimen yang diharapkan akan memberikan hasil linear. ( perlu adanya cek! Data
melalui plot grafik agar dapat terlihat alur data yang memberikan garis linear )
Dengan kecermatan penganalisa data akhirnya dengan mudah pasangan data ( x i ; yi ) mana
yang layak untuk diregresikan, sehingga akan memperoleh hasil analisa yang tepat sesuai teori yang
diharapkan.

VI.4. Ralat Regresi Linear


BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
42
Persamaan regresi yang secara umum ditulis sebagai :

Y=AX+B

Memberikan pengertian bahwa apabila dilakukan penggambaran grafik antara besaran ( Y ) dan
besaran variable ( X ) akan memberikan hubungan linear, dengan gradient grafiknya ( A ) dan titik
potong grafik terhadap sumbu-Y adalah ( B ). Nilai besaran gradient ( A ) dan titik potong ( B ) sudah
dijabarkan pada sub bab diatas; namun bagaimana dengan nilai toleransi ( ralat ) dari besaran-besaran
tsb.

Data yang diamati secara berturutan dari Y kita tulis sebagai ( Y i ) dan tentunya hal ini karena
kita menentukan nilai variable bebas yang berturutan juga yaitu ( X i ) sehingga persamaan regresi dapat
ditulis sebgai :

Yi = A Xi + B

Bila pasangan data ( Xi , Yi ) merupakan populasi data yang memenuhi distribusi normal pada statistic,
maka penyimpangan nilai- Y yaitu ( ∆Y ) dapat didekati dengan deviasi ( δ y ) yang dituliskan dengan :

δ yi=¿)

Selanjutnya seperti pada proses penurunan rumus ralat deviasi standar ( S N ) di bab II. diperoleh
pendekatan terbaik untuk nilai (δ yi ) adalah nilai rata-rata kwadratnya yaitu ditulis :

1
δ yi2 =
N ∑ ( Y i− A X i−B )2
Dengan proses penjabaran matematik seperti pada metode penurunan rumus ralat statistic didepan,
untuk persamaan linear persamaan tsb. lebih baik dengan pendekatan ( lihat R. Taylor; chapter:8.3 )
sebagai :

∑ ( δ yi )2
Sy =
√ N−2
; ini merupakan tetapan ( S y )

N
2 1 2
Sy = ∑ ( y i− A X i−B )
N−2 i=1

S A 2 = N S y 2/∆

xi 2
S B2 = S y 2 ∑

2
∆=N ( ∑ x i2 )−( ∑ x i )

Keterangan : A = gradient ; B = titik potong

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


43
SA = ralat gradient ; SB = ralat titik potong

N = banyaknya data regresi

VI.5. Contoh penggunaan metode regresi linear

Sebagai salah satu contoh kasus sederhana pada fenomena pegas terbebani massa. Data
pengamatan berupa variasi massa beban m dan dicatat panjang pegas berbeban tersebut sebagai lm
dengan dasar teori :, ditunjukkan dalam Tabel I.

l m=l 0 + ( gk ) m
Tabel I:Data Pengamatan Eksperimen Pegas
l 0 = 10 cm
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
m(g) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200
Δl 0.05 0.1 0.2 0.4 0.75 1.13 1.5 1.8 2.0 2.25 2.40 2.70 2.85 3.10 3.25 3.60 3.75 4.10 4.25 4.50

lm ( cm )

15

14

13

12

6
11
5

10

m ( 102 g )
0 0.5 1.0 1.5 2.0

Bila hanya berpedoman teori dan langsung menganalisa pasangan data m ; lm maka tidak dapat
diketahui alur data linear. Kalau hal ini terus dilakukan dengan data rumus regresi untuk mendapatkan
gradient ( g/k )dan titik potong ( l0 ) maka diperoleh :
( g/k ) = 0,03 ± 12 % cm/g
l0 = 9,5 cm

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


44
Hasil ini menyimpang dari yang diharapkan. Mestinya l0 = 10 cm ( sesuai data ).
“INILAH ANALISA YANG SALAH”
Dari penampilan grafik terlihat jelas alur linearnya baru dimulai dari data ke-6, sehingga data ke-1
sampai dengan data ke-5 tidak perlu dianalisa dengan regresi linear. Hasil analisa dengan rumus regresi
didapat nilai
( g/k ) = 0,02 ± 1 % cm/g
l0 = 10 cm
hasil ini akan sesuai dengan keadaan riil pegas ketika tidak ada beban yaitu l 0 = 10 cm ( lihat data ).
“INILAH ANALISA YANG BENAR”
Dari contoh kasus yang sederhana ini dapat ditemukan bahwa seorang penganalisa data tidak
boleh berbuat “ceroboh” , harus cermat menyikapi data pengamatan.
Dalam kasus – kasus lainnya, penulis sering menemui “kecerobohan” para analis data dalam
menggunakan teori regresi linear.
Dalam kasus ini ( fenomena pegas ) apabila langsung semua data dianalisa dengan rumus regresi
akan menghasilkan nilai yang menyimpang bahkan bisa menjadi salah. Karena ternyata untuk massa m )
yang masih kecil, pegas belum terkontraksi secara kompak ( masih sebagian ). Hal ini akan memberikan
nilai tetapan pegas k yang belum tetap, seperti ditunjukkan oleh data ke-1, ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5.
Pegas mulai terkontraksi seluruh bagiannya sejak dibebani sekitar 60 g yaitu ditunjukkan mulai
data ke-6 dan seterusnya. Artinya nilai tetapan pegas k mencapai tetap ( konstan ).
Nilai ( k ) pegas akan menjadi berubah lagi ketika beban sudah mencapai “overload” yaitu terjadi
deformasi bagian – bagian pegas. Data – data pada bagian ini juga akan menyimpang dari alur linear.
Dari pembahasan kasus sederhana ini jelas diperoleh informasi bahwa tidak semua titik data
pengamatan bisa dianalisa langsung dengan metode regresi linear, harus dilakukan seleksi data sesuai
dengan alur grafik yang diperoleh.

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Gunakan metode “kwadrat terkecil” untuk menemukan garis y = A + Bx ,yang paling memenuhi
untuk titik-titik (Xi , Yi) sebagai :
(1, 12) ; (2, 13); (3, 18); (4, 19)
2. Sebuah kereta, diasumsikan berjalan dengan kecepatan konstan dihitung waktunya pada 4
posisi, dengan hasil :
Jarak ( feet ) 0 3000 6000 9000
Waktu ( detik ) 17,6 40,4 67,7 90,1
Dengan menggunakan metode “kwadrat terkecil” yang memenuhi garis d = d 0 + vt, tentukan
estimasi kecepatan kereta dan ketidakpastiannya ?
3. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran tekanan ( P ) dari suatu gas pada temperatur ( T )
yang berbeda – beda, dengan volume ( V ) tetap. Hasilnya adalah sebagai berikut :

Pi ( mm of mercury ) 79 82 85 88 90
Ti ( ˚C ) 8 17 30 37 52

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


45
Data yang dihasilkan seharusnya memenuhi persamaan linear dari T = a + b P, dimana a
merupakan nilai temperatur absolute ( absolute zero ) dimana nilai yang diterima adalah -273˚C.
Tentukan :
a. Nilai yang memenuhi untuk data tersebut ?
b. Estimasi dari nilai temperatur absolute dan ketidakpastiannya ?
4. Nilai dari (R) pada sebuah sample bahan radioaktif berkurang secara eksponensial :
R = R0e−t / τ
Dimana (τ) adalah tetapan waktu dari sample. Seorang mahasiswa melakukan observasi selama
3 jam dengan hasil sebagai berikut :
t ( jam ) 0 1 2 3
R 13,8 7,9 6,1 2,9
Dengan menggunakan metode “kwadrat terkecil” yang memenuhi garis lurus : ln R = ln R 0 – t/ τ,
tentukan estimasi terbaik untuk (τ) ?
5. Rumus atau hukum di bawah ini harus anda luruskan. Sebutkan besaran mana yang anda pilih
sebagai perubah bebas, dan mana perubah tidak bebas. Sebutkan juga bagaimanakah
menentukan nilai besaran yang dicari itu dari grafik yang anda peroleh.
Tabel :
No Hukum Rumus Diketahui Diukur Dicari
1 Hukum Ohm V=IR - V dan I R
2 Bandul matematik L

3 Pemuaian
T = 2π

g
L2 = L1 ( 1+ λ ∆ t )
π

L1
L dan T

L2 dan ∆t
g

λ
4 Lensa tipis 1 1 1
= + - s dan s' ƒ
f s s'
5 Tegangan permukaan 2γ
h= ρ dan g r dan h γ
dalam kapiler ρ rg
6 Hukum Coulumb 1 Q1 Q2
F= π, Q 1, Q 2 F dan r ∈0
4 π ∈0 r 2
7 Hukum Richardson J = AT 2 e−Q / kT k J dan T A dan Q
8 Hukum Ampere μ I I L F, L, I 1 I 2 dan
F= 0 1 2 π μ0
2π r r
9 Resonansi listrik 1
ω0 = - ω 0 dan C L
√ LC
10 Rumus impedansi i
2


Z= R + 2 2
ωC
- ω dan Z R dan C

Misal bandul matematik (no.2 dalam daftar di atas) :


L
L perubah bebas; T perubah tak bebas; T 2 = 4 π 2 .
g

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


46
T 2 digrafikkan terhadap L, yang menghasilkan garis lurus melalui titik awal dengan sudut miring

4 π2 4 π2
(α) yang memenuhi : tan α = . maka (g = ).
g tan α
6. Buatlah semacam instruksi pendek (secara garis besar saja) bagaimanakah melakukan
percobaan untuk memeriksa hukum Ampere dan rumus impendansi (no.7 dan 10 dalam daftar
di atas).

BAB VII

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


47
DISTRIBUSI NORMAL DAN FUNGSI GAUSSIAN

Suatu pengukuran tidak lepas dengan urusan tentang pengumpulan data pengamatan,
sedangkan bila dalam melakukan pengukuran dilakukan pengulangan-pengulangan akan berakibat
terjadi fluktuasi data. Keadaan ini bila dalam jumlah data yang sangat banyak (tak berhingga) akan
terjadi distribusi data yang akan terbentuk suatu kurva distribusi, di dalam ilmu statistic dikenal berbagai
jenis fungsi dari kurva distribusi, diantaranya : kurva frekuensi ( histogram ); distribusi Gauss; distribusi
ternormalisasi; distribusi Binomial; distribusi Poisson ; dsb.

Dengan mengetahui kurva distribusi data, kita akan dapat menemukan nilai benar dari besaran
yang diamati berulang atau kisaran nilai benar berada pada kurva tersebut. Salah satu kurva distribusi
yang banyak memenuhi data-data fisika adalah kurva distribusi Gauss. Hampir semua pengukuran
besaran fisis memenuhi hokum distribusi gauss, kecuali pengukuran besaran radioaktif yang dilakukan
dengan pencacah Geiger dan Scaler, menggunakan kaidah hokum distribusi Poisson.

VII.1. Histogram dan table frekuensi

Didalam usaha untuk mengetahui nilai benar dari jumlah data yang membentuk suatu distribusi
diperlukan pengolahan yang cermat, langkah-langkah untuk mengolah data yang jumlahnya sangat
banyak diperlukan adanya pengelompokan data yang sesuai, misalnya dikelompokkan dalam selang
tertentu, kemudian dihitung jumlah masing-masing selang dan dihitung frekuensi data pada selang
tersebut, sebagai contoh perhatikan table data berikut :

Tabel Data ( data asli, masih belum diolah )

75 94 98 100 103 105 105 107 112 117


79 94 98 101 103 105 105 108 112 117
82 95 98 101 103 105 106 108 113 118
84 95 99 101 103 105 106 108 113 118
86 95 99 101 103 105 106 108 114 119
87 96 99 102 104 105 106 109 114 120
91 96 99 102 104 105 107 110 115 121
92 97 100 102 104 105 107 110 115 122
93 97 100 102 104 105 107 111 115 124
93 97 100 103 105 105 107 111 116 124

Bila kita melihat kumpulan data pada table diatas, masih sangat sulit untuk menyimpulkan data
mana yang menjadi wakil untuk dipilih sebagai data terbaik, bahkan mendekati benar. Untuk itu perlu
ada usaha olahan yang lanjut. Misalnya kumpulan data tersebut dikelompokan lagi menjadi selang nilai
tertentu yaitu dalam table frekuensi.

Tabel Frekuensi :
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
48
No Selang data Frekuensi Frekuensi relatif
(X) ( fi) fi
( )
N
1 71 – 80 2 2/100 = 2 %
2 81 – 90 4 4/100 = 4 %
3 91 – 100 21 21/100 = 21 %
4 101 – 110 51 51/100 = 51 %
5 111 – 120 18 18/100 = 18 %
6 121 – 130 4 4/100 = 4 %
∑ f i=100
∑ ( Nf )=1
i

Dengan mencermati pada table frekuensi tersebut; mulai terlihat bahwa nilai benar berada
dalam selang data ( 101 – 110 ) pada selang inilah nilai frekuensi paling besar yaitu f = 51, sedang pada
selang lainnya nilai frekuensi lebih rendah.

Sedangkan pada kolom frekuensi relative juga menyatakan peluang data berada pada selang
tertentu, misalnya peluang untuk mendapatkan nilai data (x) berada dalam selang ( 81 – 90 ) adalah 4 %;
sedangkan data yang berada dalam selang ( 111 – 120 ) adalah 18 %, dan seterusnya.

Cara lain untuk memperjelas analisa data tersebut adalah dengan menggambarkan grafik dari
table frekuensi tersebut. Model tampilan grafik seperti ini yang disebut sebagai Histogram, yaitu grafik
histogram frekuensi-mutlak (histogram-A) dan grafik histogram frekuensi-relatif (histogram-B).

Histogram-A Histogram-B

Pada histogram-A bila data pada grafik ini diperbesar sampai (N) maka nilai frekuensi pada
setiap “tangga” (selang data) akan semakin tinggi, sedangkan pada histogram-B hal ini tidak akan
mempengaruhi karena merupakan frekuensi relative ( selalu dibagi jumlah data). Keadaan seperti
histogram-B ini sangat bermanfaat , apalagi selang data semakin dipersempit dalam jumlah data yang
cukup banyak ,sehingga akan memberikan tampilan “tangga” yang semakin halus.

Bila jumlah data menjadi limit tak hingga maka akan muncul kurva frekuensi-relatif yang kontiyu
dan inilah yang menjadi dasar teori untuk pendekatan dalam pengukuran yang riil.
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
49 f(X)
B

X
Kurva distribusi dengan data ( N → ∞ )

VII.2. Fungsi Distribusi Gauss

Untuk memperoleh kurva distribusi data (X) sampai jumlah tak terhingga jelas tidak dapat
dicapai secara riil dalam pengukuran, lantas bagaimana cara mendapatkan nilai pengukuran yang
mendekati nilai benar ?

Marilah kita tinjau suatu fungsi distribusi gauss yaitu suatu fungsi teori yang menggambarkan
distribusi data secara rambang ( setiap data memiliki ralat yang kecil, dan jumlah yang banyak ), dan
masing-masing sama besar peluangnya terjadi deviasi positif maupun negative terhadap nilai benar.

Adapun bentuk fungsi Gauss adalah :

−1
Y ( x )=Y 0 exp
{σ 2
( x−x́ )2
}
Bila fungsi tersebut dinormalisasi maka menjadi fungsi Gauss yang ternormalisasi yaitu :

1 −1
f ( x )=
σ √2 π
exp
{
2σ 2
( x−x́ )2
}
+∞

∫ f ( x ) dx=1
−∞

Beberapa aplikasi dari adanya fungsi distribusi gauss tersebut dalam proses analisa data
pengukuran adalah sbb.:

 f ( x ) dx = fraksi suatu pengukuran berada pada ( x + dx )


b
 ∫ f ( x ) dx = fraksi suatu pengukuran berada pada ( x = a ) s/d ( x = b )
a
( luas daerah dibawah kurva gauss )

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


50
f(X)
f(X)

X
Kurva Distribusi Gauss

Beberapa catatan tentang kurva distribusi Gauss :

1. Lebar kurva ( σ ) merupakan parameter eksperimen yang berkaitan dengan ketepatan


alat ukur, dalam bahasa analisa data berhubungan dengan besar-kecilnya ralat (∆x).
2. Semakin sempit kurva ( semakin runcing ) menunjukkan bahwa ralat pengukuran
rambang semakin kecil, hal ini dapat ditempuh bila jumlah data pengulangan semakin
besar.
f(X)
f(X)

X
Kurva Distribusi Gauss

3. Bentuk kurva yang mempunyai simetri ,memberikan informasi bahwa suatu pengukuran
berulang data yang paling banyak muncul ( frekuensi besar ) akan mendominasi nilai
terbaik /“benar” ( x́ ) dan berada di sumbu simetri kurva; dan fluktuasi disekitar nilai
terbaik dengan ralat (∆x). Sehingga penyajian hasil pengukuran ditulis sebagai ; x = ( x́ )±
(∆x)
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
51
4. Kurva distribusi Gauss menjadi sangat penting dalam olah data, karena banyak gejala
dan fenomena pengamatan besaran-besaran fisis yang sesuai dengan kaidah ini, artinya
model distribusi data sesuai dengan pendekatan teori gauss.

VII.3. Probabilitas Pengukuran

Setelah didapat pendekatan teori distribusi yang sesuai, misalkan dalam kebanyakan data-data
fisis mayoritas mengikuti aturan Gauss dengan fungsi yang sudah dinormalisasi ke nilai = 1, yaitu bentuk
fungsi nya :

1 −1
f ( x )=
σ √2 π
exp
{
2σ 2
( x−x́ )2
}
Hal ini mempunyai makna statistika bahwa persamaan Gauss dalam bentuk :

1 −1
f ( x ) dx=
σ √2π
exp
2σ{2
( x −x́ )2 dx
}
mengandung arti sebagai peluang (probabilitas) bagi suatu pengukuran untuk menghasilkan suatu nilai
berada antara batas (x) s/d (x+dx). Peluang ini bila dilukiskan pada grafik Gaussian merupakan bagian
luasan dibawah kurva (yang diarsir).

f(X)

X
dx)

Selanjutnya probabilitas bagi suatu pengukuran untuk menghasilkan nilai (x) berada antara batas (x 1) s/d
(x2) ditulis sebagai P(x1;x2):
x2 x2
1 −1
P(x1;x2)=∫ f ( x ) dx=
x 1

σ √2 π x
exp
1
2σ 2 { }
( x−x́ )2 dx

f(X)

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


52
X
Penafsiran P(x1;x2) tersebut memang sudah tepat dan benar, sebab bila batas integral diambil dari ( - ∞)
s/d (+ ∞) akan didapat P(- ∞; + ∞) = 1 atau ( 100% )
+∞ +∞
1 −1
P(- ∞; +∞)= ∫ f ( x ) dx=
−∞

σ √ 2 π −∞
exp
{2σ 2 }
( x− x́ )2 dx = 1 atau (100%)

Bentuk integral dari P(x;x), yang berhubungan dengan fungsi ralat pengukuran memang sangat sulit
untuk dihitung, kecuali batasnya menjadi takberhingga. Integral ini harus dihitung secara numeric
(pendekatan numeric), yakni integral didekati dengan suatu deret matematik yang konvergen, kemudian
deret ini diintegralkan suku demi suku (perlu ketelitian menghitung), beberapa misal hasilnya seperti
tercantum dalam table probabilitas berikut:

Batas bawah integral Batas atas integral P ( x1;x2 )


xo xo 0,00 = (0%)
xo – 0,1σ xo + 0,1σ 0,0797.= 8%
xo – 0,2σ xo + 0,2σ 0,1585 = 16%
xo – 0,3σ xo + 0,3σ 0,2358 = 24%
xo – 0,4σ xo + 0,4σ 0,3108 = 31%
xo – 0,5σ xo + 0,5σ 0,3829 = 38%
xo – 0,6σ xo + 0,6σ 0,4515 = 45%
xo – 0,7σ xo + 0,7σ 0,5161 = 52%
xo – 0,8σ xo + 0,8σ 0,5763 = 58%
xo – 0,9σ xo + 0,9σ 0,6319 = 63%
xo – 1,0σ xo + 1,0σ 0,6827 = 68%
xo – 1,5σ xo + 1,5σ 0,8664 = 87%
xo – 2,0σ xo + 2,0σ 0,9545 = 95%
xo – 2,5σ xo + 2,5σ 0,9876 = 98,8%
xo – 3,0σ xo + 3,0σ 0,9973 = 99,7%

Kita cermati pada P[ (xo – 1,0σ); (xo + 1,0σ) ] = 68%


+σ +σ

∫ f ( x ) dx= σ √12 π ∫ exp 2−1


{
σ 2 }
( x− x́ )2 dx = 68%
−σ −σ

Ini mempunyai arti bahwa ada peluang sebesar 68% untuk sekali pengukuran menghasilkan nilai
yang berada dalam selang antara (xo- σ) s/d (xo +σ); atau dengan kata lain: seandainya besaran (x) diukur
berulang 100x, maka 68 data dari 100 nilai pengukuran tsb. dapat diperkirakan akan berada pada selang
(xo ±σ).
f(X)

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


53 68%
X
Begitu pula pada P[(xo–2σ);(xo+2σ)] = 95% ; berarti ada jaminan sebesar 95% bahwa satu kali pengukuran
jatuh pada daerah selang (xo ±2σ).

f(X)

95%
X

Karena selang batas di sekitar x o bertambah besar maka jaminan untuk melakukan pengukuran
menghasilkan nilai berada pada kisaran itu juga bertambah besar.

VII.4. Tabel Prosentase Probabilitas P(σ) dan Q(σ)


f(X)
Fungsi Gauss yang telah kita bicarakan didepan merupakan fungsi yang menghasilkan kurva
yang simetri, sehingga penyelesaian integrasinya dapat dirumuskan sebagai :
f(X)
f(X)

X
b
Rumus- rumus Integral fungsi Gaussian :
b x́ b

∫ f ( x ) dx=¿ ∫ f ( x ) dx +∫ f ( x ) dx ¿
a a x́

b x́

∫ f ( x ) dx=2 ∫ f ( x ) dx ; ini karena simetri.


a a

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


54
+∞ x́ +∞

∫ f ( x ) dx=100 % maka ∫ f ( x ) dx=50 % atau juga ∫ f ( x ) dx=50 %


−∞ −∞ x́

Hal ini akan memberikan pendekatan model fungsi lain seperti adanya : “error function” (lihat
pada AppendixA dan Appendix-B; hal 244 s/d 247; John R. Taylor; “An Introduction to Error Analysis”;
University Science Books; Mill Valley, California; 1982.

Berikut hasil scanner (copy) dari buku referensi “John R. Taylor; “An Introduction to Error
Analysis”; University Science Books; Mill Valley, California; 1982.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


55
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
56
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
57
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
58
SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Di bawah ini ditabelkan hasil pungutan 20 butir kelereng dari suatu kotak berisi sejumlah besar
kelereng putih dan merah, masing-masing dalam jumlah yang sama. Pada setiap pungutan
jumlah kelereng MERAH dicatat. Kedua puluh kelereng kemudian dikembalikan sebelum
pungutan berikutnya dilakukan. Setelah diadakan 100 x pungutan, hasilnya seperti tercantum
pada table dibawah ini :
10 10 10 10 10 8 10 10 10 10
11 8 10 8 8 9 10 9 11 10
10 10 11 11 10 11 11 10 10 11
11 10 9 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 9 10 11 10 10
10 11 10 10 8 9 11 10 13 10
10 10 9 10 9 11 9 10 12 10
9 13 11 12 9 10 10 7 7 11
10 10 10 8 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 9 11 11 12 10

a Buat tabel frekuensi dan histogram.


b Kalau jumlah pungutan sangat diperbanyak, nilai manakah anda ramalkan sebagai nilai
benar?
c Jika di antara nilai di atas terdapat satu nilai 19, akan anda sertakankah nilai itu atau
tidak? Apa alasan anda?
d Seandainya pada waktu anda mencatat jumlah kelereng merah, rekan anda mencatat
jumlah kelereng putih dari cabutan yang sama, hubungan apakah kiranya dapat anda
temukan antara histogram anda dan histogram rekan?
2. Data di bawah ini adalah suatu contoh populasi Gauss untuk besaran y.
34 35 45 40 46 38
47 36 38 34 33 36
43 43 37 38 32 38
40 33 38 40 48 39
32 36 40 40 36 34

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


59
a Buat histogram y.
b Tentukan rataan, median dan modus.
c Hitung simpangan baku.
d Berapakah y ± ∆y menurut pengukuran ini?
e Kita ukur y sekali lagi dengan hasil y 1; ramalkan dengan keyakinan 68%, saling tempat
y 1 akan jatuh.
f Kita buat satu contoh lagi (dengan jumlah anggota yang sama) yang rataannya ternyata
y 1; buat ramalan seperti pada e).
g Misalkan dari pengukuran y dikehendaki suatu ketelitian yang 4x lebih baik. Berapakah
jumlah pengukuran yang harus kita ambil?
3. Suatu fungsi distribusi terbatas memberikan hasil suatu hipotesis pengukuran dalam bentuk :

f(x) = C untuk |x| < a


a. Gunakan kondisi normalisasi untuk menghitung nilai konstan C sebagai fungsi a ?
b. Gambarkan distribusi tersebut. Apakah nilai a siqnifikan?
c. Hitung nilai rata-rata dan standar deviasi yang dihasilkan setelah dilakukan banyak
pengukuran ?

4. Sebuah survey menunjukkan bahwa tinggi pria di negara tertentu adalah terdistribusi normal,
dengan tinggi rata-ratanya h́ = 169 cm dan standar deviasi σ = 2 cm. Di antara 1000 sampel pria
yang diambil secara acak, berapa banyak pria yang memiliki tinggi :

a. Diantara 167cm dan 171cm ?


b. Lebih dari 171cm ?
c. Lebih dari 175cm ?
d. Diantara 165cm dan 167cm ?

5. Dibawah ini adalah hasil pengukuran dari waktu sebuah batu jatuh dari jendela hingga
menyentuh tanah ( dalam 10-2 detik ) :

63 58 74 78 70 74 75 82 68 69
76 62 72 88 65 81 79 77 66 76
86 72 79 77 60 70 65 69 73 77
72 79 65 66 70 74 84 76 80 69

a. Hitung standar deviasinya (seluruh data)?


b. Hitunglah nilai rata-rata dari setiap kolomnya. Hitung standar deviasi nilai rata-ratanya ?

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


60
6. Mahasiswa mengukur percepatan gravitasi ( g ) secara berulang, dan mendapatkan hasil akhir
9,5 m/s2 dengan standar deviasi 0,1 m/s 2 . Jika pengukurannya adalah terdistribusi normal, dengan
nilai yang diterima : 9,8 m/s2 dan lebar kurva σ = 0,1 :
a. Bagaimana probabilitas mendapatkan nilai percepatan gravitasi yang berbeda dari 9,8 ?
b. Dengan asumsi tidak ada kesalahan dalam pengukuran, adakah kemungkinan terdapat
kesalahan sistematis yang tidak terdeteksi ?
7. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran panas ( Q ) yang dilepaskan oleh suatu proses
tertentu sebanyak 50 kali. Nilai rata-rata dan standar deviasi yang didapatkan adalah Q́ = 4,8 dan σQ
= 0,4 ( semua dalam kalori ).
a. Dengan asumsi hasil pengukuran adalah terdistribusi normal, cari probabilitas hasil
pengukuran akan berada dalam ¿ ± 0,8) ?, ada berapa pengukuran yang diperkirakan
akan memiliki nilai seperti itu ?

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


61
BAB VIII
METODE PENOLAKAN DATA PENGUKURAN

VIII. 1. Masalah Penolakan Data Pengukuran

Suatu pengukuran dikatakan akurat bila hasil pengukuran mempunyai nilai ketidakpastian kecil,
tentunya hal ini sudah dilakukan dengan cara pengukuran yang benar dan metode analisa data yang
cermat. Ketidakpastian ukur atau yang sering kita sebut sebagai ralat tidak pernah dapat dihindari dalam
pengukuran, hal ini disebabkan adanya banyak faktor dalam pengukuran dan faktor satu dengan lainnya
saling berkaitan. Faktor yang satu dikondisi tertentu dapat dilemahkan bahkan dieliminasi tetapi
berdampak faktor yang lain menguat dan sebaliknya. Sehingga di dalam bahasa pengukuran ralat tidak
dapat serta merta dihilangkan tetapi dapat diupayakan untuk diperkecil.

Pengukuran yang dilakukan ber-ulang, merupakan salah satu upaya untuk memperkecil ralat,
semakin banyak pengulangan secara statistic akan menghasilkan nilai terbaik yang ralat nya mengecil.
Namun apabila jumlah pengulangan terbatas, maka perlu diseleksi data per-data apakah ada yang
nilainya menyimpang terhadap data lainnya. Toleransi penyimpangan dapat ditentukan sesuai criteria
data yang diperoleh, juga sifat-sifat data dalam perolehannya ( pengamat sangat mengerti masalah data
yang diamati ).

Banyak model analisa data untuk membatasi toleransi penyimpangan agar dapat menentukan
apakah suatu data diterima atau ditolak, diantaranya :

- Metode penolakan data dengan criteria “tσ“


- Metode penolakan data dengan criteria “Chauvenet”

Kedua metode tersebut mempunyai aturan yang berbeda, masing-masing mempunyai


kelemahan dan keunggulan. Sedang dalam penggunaan metode tersebut, kita sebagai pengolah data
dapat memilih criteria yang cocok untuk model data yang ada agar dapat dicapai nilai terbaik.

VIII.2. Teori Penolakan Data

Untuk memudahkan cara penolakan data akan didefinisikan fungsi error dengan cara
memodifikasi fungsi distribusi Gauss sebagai berikut : ( cermati Appendix-A dan B, pada bab VII )
b b
1 −1
Fungsi Gauss : P(a;b)=∫ f ( x ) dx=
f(X) a

σ √2 π a
exp
{2σ 2 }
( x−x́ )2 dx

P(a;b)

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


62
Integral fungsi distribusi normal diatas kita sebut sebagai integral fungsi “error” normal dan
probabilitas suatu pengukuran berada antara x=a dan x=b, ditulis sebagai :
b
P(a≤ x ≤b) = ∫ f ( x ) dx
a

Bila : a=( x́−tσ ) dan ,b=( x́ +tσ )

Maka dapat dikatakan bahwa probabilitas pengukuran berada didalam (tσ); t = angka tetapan ,
dituliskan sebagai :

P(dalam tσ) = P[ ( x́−tσ ) ≤ x ≤ ( x́ +tσ ) ]

x́ +tσ
1 −1
P(tσ) =
σ √2 π

x́−tσ
exp
{ 2σ 2 }
( x−x́ )2 dx

2
t −z
1 2
P(tσ) = ∫e
√ 2 π −t
dz ; ini merupakan fungsi “error” ditulis sebagai : erf(t)

( x−x́ )
dengan : z =
σ

Fungsi erf(t) secara numeric dapat dihitung dan hasil perhitungan secara lengkap sudah
ditabelkan pada Appendix-A maupun B.

2
t −z
1 2
P(tσ) = ∫e
√ 2 π −t
dz P(tσ)

2
t −z
1 2
Q(tσ) = ∫e
√2 π 0
dz
Q(tσ)

KESIMPULAN

MISALKAN UNTUK : t=1


BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta. → P(tσ) = 68%
63 → Q(tσ) = 34%
→ P(tσ) = 2 Q(tσ)
VIII.3. Kriteria Penolakan Data

Deretan data pengukuran : x1; x2; x3; x4; x5; x6 … … … xn , mempunyai nilai terbaik yang didekati
dengan nilai rata-ratanya ( x́ ); dan deviasi standar (σ), masing-masing rumusan sbb:
n

∑ xi
1
x́=
n

2
σ =¿Sn-1 =
√ ∑ ( x i – x́)
n−1

Data tersebut setelah dilakukan analisa yang cermat dengan mempertimbangkan hasil akhir
yang ingin lebih teliti lagi, maka perlu ada beberapa nilai x i yang ditolak dengan suatu criteria penolakan.
Setelah dilakukan penolakan kemudian dihitung ulang nilai ( x́ ) dan (σ ) yang baru, langkah ini dapat
memberikan hasil akhir yang lebih baik.

Adapun criteria yang digunakan untuk penolakan ada banyak macamnya, kita sebagai pengamat
dapat memilih dan menentukan model penolakan yang digunakan. Dalam bab ini akan disajikan dua
macam metode penolakan data sbagai berikut :

1. Kriteria (tσ ¿
Dalam criteria ini kita bebas menentukan nilai (t) misalkan kita pilih (t=1) berarti data yang
diterima dalam criteria kita adalah nilai data (x i) yang berada pada kisaran :
( x́−σ ) ≤ x i≤( x́ +σ ) atau probabilitas nilai xi yang ditulis P(xi) ≤P(σ).
Dalam bahasa Penolakan data ,berarti criteria (t) adalah criteria yang akan menolak data
pengukuran (xi) yang mempunyai pbobabilitas pengukurannya P(x i) >P(σ)

KRITERIA ( tσ )

DATA (xi) DITOLAK BILA

 P(xi) > P(tσ) atau


 xi < ( x́−tσ ) dan xi > ( x́ +tσ )

dengan : t = |
( x i−x́ ) |
σ

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


64
Contoh : hasil analisa dari suatu deretan data : x = (10,5 ± 0,5); dari deretan tersebut ada yang
bernilai data ke-3 dan ke-7 masing-masing x 3 = 9 dan x7 =11,5; maka menurut kriteria (tσ)
didapat analisa sbb.:

Untuk: t = 1; P(σ) = 68% ; sedang P(x 3) =P(1,5σ) = 87% jadi data (x3) → DITOLAK
; sedang P(x7) = P(2σ) = 95% jadi data (x7) → DITOLAK
Dengan cara yang lain diperoleh bahwa : x3 = 9 <10 ; dan x7 = 11,5 >11, jadi
semua ditolak.

Untuk : t = 2; P(2σ) = 95% ; maka P(x3) =P(1,5σ) = 87% < P(2σ) ; jadi data( x 3) ini DITERIMA
;sedangkan (x7) dengan P(x7) =95% = P(2σ) ; jadi data ini juga masih diterima.
Bagi pengamat dipebolehkan menentukan batasan criteria yang akan digunakan, hal ini lebih
disesuaikan dengan karakteristik dari data yang ada. Keadaan data, mudah dan sulitnya data
diamati, ketelitian alat, dan sebagainya yang lebih mengetahui adalah pengamat, inilah yang
menjadi bagian dari variable karakter datanya.

2. Kriteria “ Chauvenet “
Pada criteria ini jumlah data merupakan bagian variable yang akan ikut berperan dalam
diterima/ditolaknya data pengamatan. Hal ini karena dasar penolakannya akan dibandingkan
dengan prosentase jumlah data.

Adapun aturan penolakan sebagai berikut :

Bila ada sederetan data pengukuran : yang jumlahnya (k); kemudian akan dicermati
beberapa data untuk di-cek , misalkan data (x c) akan di-cek; maka data tersebut akan diterima bila
memenuhi P(xc) ≥ (100% - ⅟₂ k) atau Q(x c) ≥ (50%-⅟₄ k). Dengan bahasa penolakan dapat dinyatakan
bahwa (x) ditolak bila [ 100% - P(xc) ] < ⅟₂ k atau [ 50% - Q(xc) ] < ⅟₄ k.

KRITERIA “CHAUVENET”

DATA (XC) DITOLAK DARI DERETAN DATA YANG


JUMLAHNYA (k)
BILA:
 P(tσ) DARI (XC) MEMENUHI
[100% - P(tσ)] < ⅟₂ k
 Q(tσ) DARI (XC) MEMENUHI
[50% - Q(tσ)] < ⅟₄ k
( X C − x́ )
 DENGAN : t =¿ |
σ

3. PROSEDUR PENOLAKAN DATA :

Misal data pengamatan x 1; x2; x3; x4; dan x5 , akan di-cek data mana yang ditolak dengan criteria
dibawah ini :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


65
→Kriteria (tσ) :

( x 1+ x 2 + x3 + x 4 + x 5 )
 Tentukan nilai rata-rata : x́= dan ralatnya (σ)
5
 Setelah dilakukan cek ternyata data x 3 ditolak, sehingga data tinggal 4 buah (tanpa x3)
( x 1+ x 2 + x 4 + x 5 )
 Akhirnya hasil analisanya adalah : x́= dan hitung kembali ralatnya
4
dengan 4 data tersebut.

→Kriteria “Chauvenet” :

 Teliti data tersebut , tentukan data yang akan di-cek (x c) yaitu data yang terbesar dan
data terkecil. Misalnya x1 (data terbesar) dan x3 (data terkecil)
 Cek data tersebut dengan criteria chauvenet, apabila ternyata ada salah satu yang
ditolak ( misal x1) maka data yang baru tinggal 4 buah tanpa x1.
 Lakukan analisa ulang tanpa (x1) dan cek lagi data xc yang baru seperti langkan yll.
 Kalau dengan xc yang besar diterima, maka cek xc yang kecil, bila juga diterima maka
berarti ke 4 data tersebut diterima dalam criteria
 Akhirnya selesai analisa anda dan simpulkan hasil akhir yaitu : hitung nilai rata-rata
tebaru juga ralatnya.

VIII.4. Contoh Aplikasi :

Deretan data : 46, 48, 44, 38, 45, 47, 58, 44, 45, 43

1
1. Dihitung x́=45,8 dan σ x =5,1 ; k=10 jadi ( =0,05 atau 5 %); akan dicek xc = 58(data
2k
( x c −x́ ) 58−45,8
terbesar) , nilai t= = =2,4 ; berarti P(2,4σ) =98,4% ; sehingga nilai syarat
σx 5,1
chauvenet yaitu :
1
[100%-P(2,4σ)] = 100% - 98,4% = 1,6% dan ini lebih kecil dari nilai ( =0,05 atau 5 %);
2k
kesimpulan bahwa data xc = 58 (DITOLAK)
2. Lakukan langkah sama dengan (1) untuk cek data x c=38; P(tσ)= 86,64% ternyata dengan
probabilitas itu data x=38 diteima ( silahkan coba !)
1
3. Data tinggal k=9 (tanpa data 58) nilai ( =0,0555 atau 5,6 % ); dihitung ulang nilai rata-ratanya
2k
44,4−38
x́=44,4 dan σ x =2,9 ; cek data xc =38 dan t= = 2,2; beraarti P(tσ) = 97,2%; sehingga
2,9
nilai syarat chauvenet :
[100%-P(2,2σ)] = 100% - 97,2% =2,8 % ini lebih kecil dari 5,6% sehingga data x c=38 (DITOLAK
pada langkah ke-3 ini)

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


66
1
4. Selanjutnya data masih (k=8); dan ( =0,0625 atau 6 % ¿; dihitung ulang nilai
2k
x́=45,25 dan σ x =1,67 ; cek data xc=43 yang merupakan data terkecil (lakukan langkah seperti
diatas →akhirnya bahwa xc=43 DITERIMA); kemudian lakukan untuk x c=48 (data terbesar)
ternyata data ini juga DITERIMA pada criteria chauvenet.
5. KESIMPULAN : setelah dilakukan analisa data penolakan maka dari 10 data tersebut , 2 data
ditolak yakni xc=58 dan xc=38; sedangkan sisanya semua diterima; sehingga hasil akhir dari
analisa adalah ( x = 45,25 ± 1,67 ) dengan pembulatan berarti : ( x = 45 ± 2 )

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran panas ( Q ) yang dilepaskan oleh suatu proses
tertentu sebanyak 50 kali. Nilai rata-rata dan standar deviasi yang didapatkan adalah Q́ = 4,8
dan σQ = 0,4 ( semua dalam kalori ).
a. Dengan asumsi hasil pengukuran adalah terdistribusi normal, cari probabilitas hasil
pengukuran akan berada dalam ¿ ± 0,8) ?, ada berapa pengukuran yang diperkirakan
akan memiliki nilai seperti itu ?
b. Apabila salah satu pengukurannya memiliki hasil : Q́=¿6,0 kal ;apakah hasil tersebut
akan ditolak ?
2. Seorang mahasiswa mengukur tegangan ( V ) tertentu sebanyak 10 kali, dengan hasil sebagai
berikut ( dalam volt ) :
0,86 ; 0,83 ; 0,87 ; 0,84 ; 0,82 ; 0,95 ; 0,83 ; 0,85 ; 0,89 ; 0,88
a. Hitunglah nilai rata-rata dan standar deviasinya ?
b. Apabila mahasiswa tersebut menggunakan kriteria Chauvenet, apakah dia harus
menolak sebuah pengukuran yang nilainya 0,95 ? jelaskan !
3. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran terhadap periode oscillator sebanyak 14 kali dengan
hasil sebagai berikut ( dalam unit 10-1 detik ) :
7, 3, 9, 3, 6, 9, 8, 7, 8, 12, 5, 9, 9, 3
Mahasiswa tersebut merasa nilai 12 dalam pengukuran tersebut terlalu tinggi, dengan
menggunakan kriteria Chauvenet. Apakah hasil tersebut tertolak ? jelaskan !

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


67
BAB IX
PERBANDINGAN METODE UKUR & NILAI RATA-RATA BERBOBOT

IX.1. Syarat Membandingkan Metode Ukur

Di dalam eksperimen, metode pengukuran, analisa data, merupakan persoalan yang sangat
penting untuk dikuasai oleh para pelaku penelitian. Ketepatan, kecermatan dalam pengukuran harus
dapat dicapai dengan baik agar memperoleh hasil penelitian dengan tingkat kevalitan tinggi.

Banyak persoalan yang muncul dalam penelitian, diantaranya para peneliti kadang hanya
menguasai teori tapi tidak faham tentang metode pengukurannya, atau mengerti metode ukurnya tapi
tidak cermat dalam hal anlisa datanya, ini semua akan sangat besar pengaruhnya dalam hasil penelitian
yang dilakukan, yang dapat menyebabkan tidak valid bahkan salah hasilnya.

Sering kita jumpai di lapangan, karena tidak faham tentang metode pengukuran, ketika
melakukan pengukuran hasilnya tidak sesuai dengan harapan teori, maka langsung menyalahkan alat
ukurnya pada hal alat ukurnya tidak ada masalah. Hal ini merupakan tindakan yang salah bagi dan
ceroboh, mestinya harus dicermati se-berapa toleransi pengukuran dengan alat tersebut, sehingga
ketika terlalu jauh maka kita bisa mengganti alat lain yang toleransi ukurnya lebih teliti. Persoalan-
persoalan semacam ini banyak kita jumpai dalam penelitan yang pelaku peneliti tidak menguasai
metode pengukuran dan analisa data.

Masalah yang lain, sering kita menganggap metode ukur yang kita lakukan sudah sangat hebat,
teliti, tanpa punya keinginan membandingkan hasil kita dengan yang dilakukan oleh orang lain, atau
hasil kita perlu dicek dengan metode yang lain sebagai penbanding sekaligus untuk menguji validitas
hasil pengukuran kita. Mestinya ini harus dilakukan pada setiap penelitian bila mungkin, karena hasil
pengamatan dengan banyak metode ukur akan memberikan kesimpulan yang nilai validitasnya tinggi
dari pada hanya satu metode ukur tanpa ada pembanding.

Adapun suatu metode ukur dapat saling dibandingkan hasilnya satu dengan lainnya, tentu harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


68
 Topik dan tujuan penelitian harus sama.
 Metode yang dilakukan masing-masing harus benar ( memenuhi kaidah-kaidah ilmiah )
 Faktor-faktor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap hasil, harus sudah diantipasi,
jangan sampai yang satu melakukan antipasti tetapi yang lain membiarkan. Hal ini akan
membuat hasil akhir sangat berbeda dari kedua metode yang akan dibandingkan, bila tidak
ditemukan pembanding lain ( referensi ) maka semua akan meng-klaim benar.
 Apabila obyek yang diamati mempunyai fungsi variable yang banyak, maka perlu juga ditinjau
kesamaan variable yang akan dibandingkan, juga tetapan yang dipilih, dan syarat-syarat batas
lainnya.
 Kesimpulan dari hasil perbandingan metode adalah akan didapatkan metode yang benar atau
salah; metode yang sesuai atau menyimpang; dan akhirnya dapat dikompromikan antar metode
yang ada kesesuaian nilai ukurnya, untuk mendapatkan hasil akhir yang berbobot.

Pengertian Metode Berbobot :

Metode berbobot merupakan metode analisa data pengamatan yang dapat mengkompromikan
/mengkombinasikan dua atau lebih hasil pengamatan terhadap satu besaran fisis, dengan metode
pengamatan yang berbeda dan saling independen. Dengan metode ini, dapat ditentukan hasil
pedekatan terbaik yang merupakan kompromi dari beberapa hasil metode pengamatan yang saling
independen dengan memberikan nilai rata-rata berbobot dari pengukuran-pengukuran tersebut.

Rata-rata berbobot merupakan nilai terbaik hasil kombinasi dari berbagai nilai yang dihasilkan
dengan metode pengamatan yang berbeda terhadap satu besaran fisis yang diamati.
Misalkan : Suatu besaran fisis (X) diamati dengan dua metode yang berbeda dan saling bebas, dengan
hasil akhir masing-masing :

Metode I : XI = xI ± σI

Metode II : XII = xII ± σII

Nilai akhir besaran fisis (X) dapat dihitung dari dua hasil diatas dengan menghitung nilai terbaiknya yang
merupakan kombinasi dari XI dan XII , apabila dipenuhi syarat kesesuaian antara dua nilai tersebut.
Adapun syarat kesesuaian akan dibahas pada uraian di sub bab berikut.

IX.2. Diskrepansi Hasil Ukur

Hasil akhir suatu pegukuran disajikan dalam bentuk X = x ± σ x , x = merupakan nilai terbaik, yang
merupakan nilai rata-rata pengukuran ber-ulang, σ x = deviasi standar dari pengukuran ber-ulang. Bila
suatu besaran fisis (X) diamati dengan lebih dari satu metode pengamatan yang saling independen satu
dengan lainnya, maka kemungkinan nilai hasil pengamatan yang satu saling berbeda. Hal ini perlu ada
peninjauan apakah perbedaan hasil tersebut masih dalam toleransi , ada kesesuaian diantaranya atau
sama sekali berbeda nilainya (tidak ada kesesuaian). Untuk memdapatkan nilai terbaik dari kedua
metode yang dibandingakan, perlu ditinjau dahulu “Beda Nilai (BN)” atau istilah lain “Diskrepansi” dari X I
dan XII , ditulis :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


69
BN = l XI – XII l

Syarat kesesuaian antara dua nilai ditentukan oleh BN, yaitu dua nilai ukur dikatakan saling ada
kesesuaian apabila dipenuhi :

BN < ( σI + σII )

Hasil yang memenuhi persamaan diatas, menunjukkan bahwa nilai besaran X yang dihasilkan
oleh metode I bersesuaian dengan metode II, dan saling konsisten; artinya kedua hasil dapat
diperhitungkan atau dikompromikan untuk memperoleh nilai terbaik dari X dengan metode berbobot.

Sebaliknya dua nilai tidak saling sesuai atau berbeda sama sekali bila dipenuhi,

BN > ( σI + σII )

Hasil yang memenuhi persamaan itu, menunjukkan bahwa nilai besaran X yang dihasilkan oleh
metode I berbeda dengan metode II. Hal ini menunjukkan bahwa kedua nilai tersebut saling tidak
konsisten, artinya kemungkinan ada salah satu metode yang salah (menyimpang), atau bahkan dua –
duanya menyimpang, sehingga perlu pengujian lebih lanjut tentang masing-masing metode.

Dalam bab ini dapat diambil kesimpulan bahwa, nilai nilai hasil pengukuran dengan berbagai
metode yang ditinjau bila telah ada kesesuaian antara satu dengan lainnya maka analisa berikut
dilakukan perhitungan rata-rata berbobot sebagai hasil terbaik yang mengkombinasikan diantara nilai
niai yang sudah saling sesuai. Sedangkan bila diantara nilai nilai yang dibandingkan ternyata berbeda
( tidak sesuai satu dengan lainnya), maka perlu diulangi metode pengukurannya dengan hati-hati. Hal ini
dapat salah satu metode atau dua-duanya metode yang dipertentangkan, sehingga dapat diketahui
dengan jelas mana metode yang menyimpang. Bila hal itu (pengulangan eksperimen) tidak mungkin
dapat dilakukan lagi, maka perlu dicari pembanding ke tiga (misalkan adanya hasil referensi).

IX.3. Formula Ralat Berbobot

Suatu pengukuran yang diulang sampai N kali dengan terpenuhi distribusi induk Gaussian dengan
fungsi :

1
f(xi) f(x) = Exp – [(x-µ)2/2σ2]
σ √2 π

σx

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


70
xi
x
Gambar-1: Kurva Gaussian

Kebolehjadian untuk mendapatkan hasil pengukuran X i , dipenuhi persamaan :

1
Pi = Exp –[(xi-µ)2/2σi2]
σi √ 2 π

Dengan : µ = nilai rata-rata populasi induk

σ = lebar distribusi Gaussian

Dalam penggunaan pada pengukuran data , nilai µ didekati dengan nilai terbaik dari pengukuran yaitu
nilai rata-rata data pengukuran dan nilai σ merupakan nilai deviasi pengukuran ( deviasi standar ).
Sehingga persamaan di atas dituliskan :

1
Pi = Exp –[(xi-X)2/2σi2]
σi √ 2 π

Marilah kita tinjau persoalan ini dengan pendekatan yang sederhana, misal dua pengukuran yang sudah
memenuhi syarat kesesuaian dengan masing-masing hasil seperti pada persamaan (1), dengan indeks (I)
diganti (A) dan indeks (II) diganti (B); kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur x A berada dalam
distribusi induk Gaussian adalah :

1
PA = Exp –[(xA-X)2/2σA2]
σA √ 2 π

Sedangkan kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur x B berada dalam distribusi induk Gaussian
adalah :

1
PB = Exp –[(xB-X)2/2σB2]
σ B √2π

Kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur set data x A dan xB dalam distribusi induk Gaussian dapat
dituliskan sebagai :

PAB = PA PB

1
PAB = Exp – ½ [{(xA-X)/σA}2+{(xB-X)/σB}2]
σA σ B 2 π

Dapat dituliskan sebagai PAB sebanding dengan nilai eksponennya yaitu :

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


71
PAB ≈ 1/σAσB Exp [-½ χ2]

Nilai kebolehjadian PAB akan maximum apabila nilai eksponen yaitu χ 2 menjadi minimum, hal ini dapat
dipenuhi dengan syarat minimum adalah deferensial terhadap X sama dengan nol.

(d χ2/dX) = 0

Sehingga diperoleh hasil deferensial tersebut sebagai :

X = (xA/σA2 + xB/σB2) (1/σA2 + 1/σB2)-1

Persamaan tersebut, disebut sebagai nilai rata-rata berbobot dari hasil kompromi dari nilai x A dan nilai xB
yang sudah saling sesuai satu sama lain. Dengan factor bobot untuk masing-masing pengukuran adalah
wA untuk pengukuran xA dan wB untuk pengukuran xB, ditulis sebagai :

wA = 1/σA2 dan wB = 1/σB2

Selanjutnya persamaan (16) dapat ditulis menjadi :

X = (wAxA+wBxB) (wA+wB)-1
Bila ralat dari masing-masing pengamatan sama besar, akibatnya faktor bobot kedua
pengukuran bernilai sama; hal ini akan memberikan arti bahwa nilai rata-rata berbobot pada persamaan
diatas seperti nilai rata-rata dari kedua nilai x A dan xB ditulis :

X = ( xA + xB )/2

pengukuran satu dengan lainnya memberikan ralat yang saling tidak gayut (saling bebas). Perambatan
dari persamaan (17) memberikan :

σX(berbobot) = [1/(wA +wB)]-1/2

Secara umum untuk hasil pengukuran besaran fisis dengan berbagai metode ukur, dan telah
memenuhi criteria kesesuaian satu dengan lainya dengan hasil masing-masing : x 1 ; x2 ; x3 ; . . . . . . x N,
akan mempunyai nilai rata-rata berbobot sebagai :

Xb = ∑ wi xi / ∑ wi dengan wi = 1/σi2

Dengan ralat rata-rata berbobotnya :

σx = ( ∑ wi )-1/2

Persamaan (20) juga memberikan nilai rata-rata biasa apabila dalam set pengukuran mempunyai ralat
sama, misal pengukuran xi mempunyai ralat sebesar σi , nilai rata-rata menjadi :

Xb = 1/n ∑ xi ; n = jumlah set pengukuran

Dengan ralat rata-ratanya merupakan ralat nilai rata-rata biasa,

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


72
σ
σx =
√n

IX.4. Contoh Aplikasi Metode Berbobot

Pengukuran besaran fisis sering diamati dengan lebih dari satu metode ukur, kadang-kadang
hasil yang diperoleh metode satu dengan lainnya berbeda sehingga terjadi kesulitan mana metode yang
benar dan yang salah. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan cara menseleksi antara metode-
metode tersebut dengan cara membandingkan satu dengan lainnya. Hasil dari perbandingan akan dapat
menyimpulkan mana metode yang menyimpang dan yang saling sesuai, lebih lanjut persoalan ini akan
diselesaikan dengan metode berbobot untuk memperoleh hasil tunggal dari besaran fisis yang diamati.

Adapun langkah-langkah yang perlu dalam penggunaan metode berbobot sebagai berikut :

1. Membandingkan nilai dari beberapa metode, dengan cara meninjau diskrepansi antara nilai
metode satu dengan lainnya.
2. Dari langkah pertama, akan dapat dihasilkan metode-metode ukur yang saling sesuai dan
metode-metode ukur yang menyimpang.
3. Hasil-hasil dari metode yang saling sesuai dianalisa dengan metode berbobot, sedang yang
menyimpang perlu dilakukan kajian ulang tentang metode yang digunakan (perlu dicermati
kembali)
4. Dengan menggunakan rumus-rumus berbobot, diperoleh msing-masing nilai rata-rata berbobot
besaran fisis yang diamati dan ralat pengukuran berbobotnya.
5. Hasil yang didapat dengan analisa berbobot akan mempunyai nilai dengan tingkat validitas
tinggi, karena nilai ini merupakan kombinasi dari beberapa nilai dengan metode pengukuran
yang saling independen, dan masing-masing metode sudah terseleksi sehingga mempunyai nilai
yang saling ada kesesuaian secara ilmiah.

Akhirnya dengan menggunakan metode analisa berbobot, tidak akan ada yang menyatakan
metode yang paling benar, paling baik, merasa tidak tertandingi dengan lainnya , bahkan malah
sebaliknya harus mencari pembanding dengan hasil yang dilakukan lainnya untuk menguji
validitas hasil yang diperoleh. Semakin banyak pembanding, akan semakin meningkatkan
validitas hasil dari metode yang digunakan dalam pengamatan.

Contoh Membandingkan Metode : disini kita akan bandingkan beberapa topic eksperimen yang
masing-masing topic menggunakan lebih dari satu metode pengukuran.

TABEL : 1

Topik Hasil Hasil Hasil Hasil


Eksperimen Metode-1 Metode-2 Metode-3 Metode-4
Eksperimen-A 975 ± 5 960 ± 15 990 ± 20 1100 ± 50
Eksperimen-B 140 ± 5 150 ± 15 130 ± 15 -
Eksperimen-C 575 ± 5 560 ± 15 585 ± 15 -
Eksperimen-D 100 ± 10 85 ± 15 110 ± 10 -
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
73
Eksperimen-A

Nilai hasil pengamatan eksperimen-A pada metode-4 menunjukan bahwa nilai tersebut tidak
ada kesesuaian dengan nilai pada metode-metode lainnya, sehingga tidak ditampilkan pada grafik. Nilai-
nilai pada metode-1, metode-2, dan metode-3 terdapat saling sesuai antara satu dengan lainnya.

9,4 9,5 9,6 9,7 9,8 9,9 10 10,1


Skala :

9,75 ± 0,05

9,6 ± 0,15

9,9 ± 0,2
Eksperimen-B

Ketiga metode yang dihasilkan dari pengamatan eksperimen-B, menunjukkan adanya kesesuaian antara
nilai satu dengan lainnya. Hal ini ditunjukkan pada gambar grafik dibawah ini,

Skala : 00,0 00,0 00,0 00,0 00,0 00,0 00,0

140±5

150±15

130±15 15 15 15

Eksperimen-C

Ketiga metode yang dihasilkan dari pengamatan eksperimen-C menunjukkan hasil yang saling ada
kesesuaian satu dengan lainnya, seperti ditunjukkan gambar grafik di bawah ini,

Skala : 540 550 560 570 580 590 600

575 ± 5

560±15 15115

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


74 585±15 5
Eksperimen-D

Ketiga metode yang dihasilkan dalam pengamatan eksperimen-D, mempunyai nilai-nilai yang saling
bersesuaian satu dengan lainnya. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut :
0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3
Skala :
Cp

1.0 + 0.1

0.85+ 0.15

1.1 ± 0.1

Perhitungan nilai berbobot untuk masing-masing metode pengukuran diperoleh hasil yang
dituliskan pada table-2 sebagai berikut :

TABEL HASIL AKHIR

TOPIK PENGAMATAN HASIL BERBOBOT


Eksperimen-A A = ( 9.74 ± 0.02 )
Eksperimen-B B = ( 140 ± 5 )
Eksperimen-C C = ( 574 ± 5 )
Eksperimen-D D = ( 1.01 ± 0.01 )

SOAL-SOAL LATIHAN :

1. Pengukuran kecepatan suara ( ϑ ) memberikan hasil : (334 ± 1) m/s dan (336 ± 2) m/s.
a. Apakah kedua hasil tersebut konsisten ?
b. Hitunglah nilai estimasi terbaik untuk (ϑ ¿ dan ketidakpastiannya ?

2. Dua orang mahasiswa melakukan pengukuran hambatan dengan menggunakan metode yang
berbeda. Setiap mahasiswa melakukan 10 kali pengukuran dan menghitung nilai rata-rata dan
standar deviasinya dengan hasil sebagai berikut :
Mahasiswa A : R = (72 ± 8) ohm
Mahasiswa B : R = (78 ± 5) ohm
a. Berapakah nilai estimasi terbaik untuk R dan ketidakpastiannya ?
b. Berapa kalikah mahasiswa A harus melakukan pengukuran untuk memberikan hasil yang
sama dengan B ?
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
75
3. Tentukan nilai estimasi terbaik dan ketidakpastiannya berdasarkan hasil ke-4 pengukuran
berikut ini :
(1,4 ± 0,5) ; (1,2 ± 0,2); (1,0 ± 0,25); (1,3 ± 0,2)

BAB X
LAPORAN EKSPERIMEN

Bab ini membicarakan beberapa hal yang penting bagi pembuatan laporan suatu eksperimen.
Apakah tujuan suatu laporan? Tujuannya tidak lain ialah meneruskan hasil yang diperoleh dari
eksperimen kepada dunia luar. Maka persyaratan utama ialah laporan itu harus jelas, maksudnya, tujuan
cara mengukur, pengumpulan dan pengolahan data, serta penghitungan dan penyajian hasil percobaan
haruslah disusun dan ditulis sedemikian rupa hingga menjadi jelas bagi setiap orang yang membacanya.
Kalau ini tidak tercapai hingga orang malah bingung setelah membaca laporan, dapat dikatakan laporan
tersebut merupakan kegagalan besar (meskipun eksperimennya sendiri mungkin saja tidak). Gaya
penuturan yang menarik sangatlah penting, hal ini berlaku juga dalam laporan yang bersifat ilmiah dan
teknik seperti laporan penelitian.
Laporan jangan terlalu panjang, model penulisannya yang singkat dan jelas, jangan bertele-tele
karena hal ini hanya akan menjengkelkan pembaca. Panjangnya laporan disesuaikan dengan isi
eksperimen yang dilakukan; mungkin panjang dikarenakan banyaknya sampel pengamatan yang harus
dibahas, atau juga kedalaman dalam pembahasan.
Adakah suatu bentuk yang terbaik untuk laporan? Pertanyaan ini sukar dijawab, selera orang
berlainan. Pada setiap taraf penulisan laporan, kita haruslah bertanya pada diri kita sendiri: apakah

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


76
sesungguhnya yang hendak saya sampaikan di sini? Dengan sikap itu kita dapat mengharapkan laporan
kita akan bermutu cukup baik.
Suatu laporan eksperimen atau penelitian sebaiknya meliputi komponen berikut:
 Judul / Topik Eksperimen
 Tujuan Eksperimen
 Dasar Teori / Hypotesis
 Peralatan dan Metode Pengamatan
 Pengolahan data dan Grafik pengamatan
 Pembahasan dan Kesimpulan
 Saran-saran ( bila ada )

X.1. Judul / Topik Eksperimen


Judul sebaiknya singkat saja karena sifatnya merupakan identifikasi atau tanda pengenal
laporan. Misalnya untuk eksperimen pemeriksaan Hukum Ohm cukuplah ditulis sebagai judul ‘Hukum
Ohm’, dan bukan ‘Pemeriksaan Hukum Ohm dengan arus searah’. Judul yang kedua terlalu panjang,
penjelasan yang lebih detail dari judul, dapat disampaikan pada bagian pendahuluan atau pengantar
laporan.
JUDUL

SINGKAT; JELAS; MENGANDUNG MAKNA TENTANG MASALAH


YANG DIKERJAKAN DALAM PENELITIAN.

X.2. Tujuan Eksperimen


Dalam bagian tujuan diterangkan secara spesifik apa tujuan eksperimen kita itu. Dengan
mengambil judul eksperimen di atas yaitu “Hukum Ohm”, tujuan mungkin dapat berbentuk:
1. Pemeriksaan Hukum Ohm V = R I pada kawat Cu;
2. Pemeriksaan hubungan formula : Hambatan Serial dan Paralel
Rseri = R1 + R2
1 1 1
= +
R p R1 R2
Sehingga seperti layaknya judul; tujuan eksperimen juga cukup ‘singkat, namun jelas’, ini akan lebih baik
dan menarik. TUJUAN

MENGANDUNG APA YANG HENDAK DICAPAI DALAM PENELITIAN


BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta. YANG DILAKUKAN.
77
DAPAT MEMUAT LEBIH DARI SATU TUJUAN, ASALKAN SEMUA
DAPAT DITUNJUKKAN PADA HASIL PENELITIAN.
X.3. Dasar Teori / Hypotesis
 Dasar Teori :
Di bagian teori diberikan uraian singkat tetapi lengkap tentang teori eksperimen. Uraian akan
bertambah jelas apabila disertai gambar, rangkaian, diagarm, dan sebagainya, hal ini untuk lebih
mempermudah pemahaman materi yang akan dikerjakan. Kalau ada beberapa rumus penting, sebaiknya
rumus itu diberi nomor urut. Rumus yang harus dibuktikan, kita beri buktinya, kalu perlu dengan
menyebut buku acuannya.
Teori pada instruksi praktikum, sebaiknya mengandung penjelasan tentang teori, yang disadur
dan dilengkapi dengan bahan yang diambil dari buku acuan; hal ini akan memudahkan praktikan untuk
mendalami lebih jauh dan menambah wawasan ketika akan melakukan pembahasan dari hasil analisa
eksperimennya.

ISI DASAR TEORI DALAM LAPORAN


 URAIAN MASALAH SECARA SINGKAT; JELAS; TETAPI CUKUP
LENGKAP.
 GAMBAR; SKEMA; RANGKAIAN; YANG BERKAITAN DENGAN
MASALAHNYA.
 RUMUS-RUMUS PENTING DAN PENJABARANNYA.
 DIBERIKAN BAHAN ACUAN.

 Hypotesis :
Hypotesis merupakan dugaan secara ilmiah berdasarkan gejala-gejala yang dapat teramati, dan
kebenarannya baru akan terungkap bila hasil analisa data pengamatan menunjukkan adanya kecocokan.
Hypotesis dapat berupa ramalan hubungan fungsi matematik yang menghubungkan besaran fisis satu
dengan lainnya, juga dapat berupa “statemen” yaitu kalimat yang menjelaskan sesuatu yang ilmiah dan
berlandasan hukum ilmu pengetahuan yang jelas.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


78
Misalkan : Fenomena fisis pada getaran dawai gitar, dari gejala yang ada dapat dibuat suatu
hypotesa rumusan : bahwa frekuensi bergantung dari panjang dawai, diameter dawai, jenis bahan
dawai, tegangan dawai, dsb. Sehingga dalam rumusan hypotesa ditulis :

f =Lw d x ρ y T z . . .

Dengan : f = frekuensi dawai


L = panjang dawai ( jarak antar dua simpul )
d = diameter kawat dawai
ρ = rapat jenis bahan dawai
T = tegangan dawai
w; x; y; z = merupakan angka tetapan
Dengan data pengamatan yang menghubungkan (f) terhadap besaran-besaran variable (L); (d); (
ρ ); dan (T), diperoleh nilai tetapan-tetapan pangkatnya yaitu : w; x; y; dan z. Bila hal ini dapat ditemukan
dengan eksperimen maka terbuktilah kebenaran yang diajukan.

X.4. Peralatan dan Metode Pengamatan


 Peralatan :
Peralatan yang dipakai boleh dijelaskan secara singkat. Pertama, megenai ketelitiannya.
Terutama alat yang memegang peran penting dalam eksperimen itu, uraikan dengan detail dalam usaha
mengurangi timbulnya kesalahan sistematis dan kesalahan pengamatan yang disebabkan oleh alat
tersebut, hal ini sangat penting karena alat yang pokok dalam pengambilan data. Beri keterangan
singkat-jelas bagaimana pengukuran dilaksanakan, sehingga orang lain yang membaca cukup dapat
meniru dengan baik tanpa ada keraguan prosedur. Data yang dihasilkan dicatat beserta ketidakpastian
dan satuan/unit dari besaran yang diamati. Data ini jangan diolah dahulu, tetapi sajikan dalam bentuk
yang menarik, misalnya dalam bentuk tabulasi. Beri nomor urut apabila diperlukan daftar lebih dari satu.

PERALATAN


DIDISKRIPSIKAN DENGAN RINCI PERALATAN YANG
UTAMA DIGUNAKAN ( TUNJUKKAN SPESIFIKASI ALAT
DENGAN JELAS )
 GAMBARKAN SUSUNAN / RANGKAIAN ALAT SECARA
KOMPLIT DAN JELAS , DAN TERANGKAN CARA KERJA
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
79 MASING-MASING ALAT DALAM SUSUNAN TSB.
 FOTO ALAT SEBAGAI PELENGKAP KETERANGAN.
 Metode Pengamatan :
Suatu langkah-langkah yang menjelaskan secara urut mengenai tata cara untuk memperoleh
data pengamatan. Hal ini harus diuraikan dengan rinci dan berurutan, apalagi mengenahi persoalan
angka yang harus dicermati dalam pengukurannya. Kadang perlu kata perhatian misalnya : tunggu 5
menit kemudian campurkan bahan berikut ………; dsb.

X.5. Pengolahan Data dan Grafik Pengamatan


 Pengolahan Data :
Pengolahan data atau perhitungan dilakukan dan dilaporkan langsung tanpa banyak komentar,
sebutkan bentuk rumus yang menjadi dasar pengamatan , dan data yang berkenaan serta hasil
perhitungan langsung diisikan ke dalam laporan. Uraikan metode perhitungan ketidakpastian atau ralat
pengukuran anda. Hasil terakhir yang merupakan hasil penyajian nilai dan ralatnya ditulis dengan jelas,
dengan angka berarti yang tepat, agar percobaan dapat dinilai dengan akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam perhitungan awal (sebelum final) sebaiknya seluruh angka perhitungan diikutsertakan
(jangan melakukan pembulatan). Baru pada akhir perhitungan akhir, jumlah angka yang penting kita
tentukan (hal ini perlu memperhatikan nilai ralat pengukurannya).
Kalau hasil akhir didapatkan dengan metode grafik, perhitungan dilakukan dengan grafik,
sehingga diperlukan gambar grafik yang benar (memenuhi kaidah grafik analisa). Nilai skala pada grafik
memegang peran terhadap analisa, sehingga pemasangan skala yang teliti akan banyak mempengaruhi
analisa hasilnya.
 Grafik Pengamatan :
Grafik pengamatan menjadi bagian yang sangat penting apabila analisa data dilakukan dengan
metode grafik. Dalam hal ini grafik bukan sekedar sebagai tampilan data, namun benar-benar
merupakan fenomena dari gejala yang teramati untuk di analisa, sehngga cara menggambaran grafiknya
harus benar, memenuhi kaidah grafik analisa. ( halANALISA
GRAFIK ini sudah dibahas secara detail pada bab V).

CARA MELUKIS HARUS BENAR ; SKALA GRAFIK TEPAT;


GARIS GRAFIK SESUAI DENGAN ALUR DATA YANG
DIPERLUKAN DALAM PENGAMATAN; VISUAL GRAFIK
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
80 HARUS BERADA PADA DAERAH SENSITIF UNTUK
DIANALISA; PENGAMAT HARUS MENGUASAI “METODE
ANALISA GRAFIK”
X.6. Pembahasan dan Kesimpulan
 Pembahasan :
Pembahasan merupakan tanggapan dari pengamat untuk menelaah apakah hasil sesuai dengan
harapan ilmiah; atau ada penyimpangan. Bila ternyata sudah sesuai namun belum mencapai ketelitian
yang tinggi, maka perlu dijelaskan titik-titik kelemahannya, dan kenapa hal itu tidak dapat tercapai
dengan baik atau sempurna. Apa kendala-kendala untuk mencapainya. Sebaliknya apabila hasil yang
diperoleh menyimpang jauh dari harapan ilmiah, maka harus dapat menunjukkan sumber kesalahan,
dan usaha yang sudah dilakukan untuk mengatasi sumber kekurangan tsb. Dengan demikian pembaca
tidak kecewa dan tetap mengapresiasi kita dalam melakukan eksperimen, dan tidak menganggap
kesalahan yang kita lakukan karena kita bodoh; tetapi karena terhambat oleh keterbatasan peralatan
yang ada. Sehingga ketika alat yang lebih baik/teliti/canggih kita dapatkan, maka problem kita dapat
diatasi.

 Kesimpulan :
Dalam kesimpulan mengandung beberaka keterangan yang isinya :
1. Apakah hasil eksperimen anda sudah dapat mencapai tujuan .
2. Tunjukkan hasil anda dan berapa ketelitian yang anda capai ?
3. Tunjukkan keunggulan dan kekurangan yang anda capai
4. Bandingkan dengan nilai referensi ( bila ada ); dan berikan keterangan bila terjadi
diskripansi yang besar.

 Saran-saran :
Dalam hali ni tanggapilah hasil anda secara detail. Misalnya dapat dikemukakan saran
memperbaiki eksperimen, baik mengenai metoda ukuran, maupun peralatan yang dipakai. Atau kita
dapat menyarankan pengukuran atau eksperimen berikutnya yang diadakan sebagai tindak lanjut.

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


81
Intinya saran-saran yang kita sampaikan merupakan langkah penyempurnaan dari eksperimen yang kita
lakukan agar dikemudian hari dapat dilanjutkan untuk memperoleh nilai yang lebih sempurna.

TUGAS MENULIS KARYA ILMIAH :

 Buatlah tulisan ilmiah yang susunannya sesuai dengan keterangan diatas berupa :
1. Laporan eksperimen ( judul bebas)
2. Makalah ilmiah ( judul bebas)

BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.


82

Anda mungkin juga menyukai