Metode Pemgukuran Fisika merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa jurusan Fisika yang
akan memberikan bekal bagi mahasiswa mengenahi dasar-dasar pengukuran, pengenalan Alat ukur,
dan cara-cara analisa data eksperimen ataupun penelitian . Mata kuliah ini sebagai dasar ketrampilan
eksperimen Fisika juga sebagai bekal dalam analisa data eksperimen. Hal ini sangat penting bagi
mahasiswa fisika, karena ilmu fisika merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam yang dalam
perkembangannya sangat diperlukan untuk diamati, di ukur dan dianalisa gejala-gejala alam tersebut.
- Obyek Pengamatan
- Alat Pengamatan
- Pengamat ( orang yang mengamati)
- Data pengamatan
Obyek Pengamatan :
Perlu dicermati gejala apa yang muncul dari obyek, sehingga gejala tersebut dapat diamati / diukur
dengan baik. ( observable ).
Alat Pengamatan :
Disiapkan / dipilih peralatan dilakukan penyusunan ( set-up ) sehingga dapat dipergunakan untuk
mengamati gejala yang muncul dari obyek fisis. Misalnya mempunyai jangkauan ukur yang sesuai,
kepekaan yang memadahi, dan sebagainya.
Pengamat ( Eksperimentator ) :
Perlu memiliki sikap yang menjadi nalurinya ( Comonsense ) benar dan sehat, dan dalam
pelaksanaannya perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Persiapan ( Eksperimen awal/pendahuluan ) : yaitu langkah awal dengan menyiapkan / cek alat-
alat yang digunakan apakah jalan baik, spesifikasi alat apakah sesuai, set-up alat, dicoba input
apa ada respon, dsb.
b. Pengujian Set-up Alat :
Apakah ketika ada input dapat terdeteksi outputnya, apakah output secara kasar sudah
merupakan fungsi dari input dan sesuai dengan gejala yang diharapkan.
c. Menyadari bahwa dalam pengukuran selalu ada ketidakpastian ukur ( ralat pengukuran ) :
Pengamat perlu mencermati sumber-sumber ralat dari pengukuran yang dilakukan, berusaha
meminisasi faktor-faktor penyebabnya sehingga diperoleh hasil pengukuran yang akurasinya
tinggi. Diantara faktor-faktornya sangat banyak misalnya dapat dari alatnya, obyeknya,
lingkungannya, bahkan sikap pengamat dalam metode pengukuran.
e. Melakukan analisa data / hasil yang sifatnya pemula; tidak perlu menunggu seluruh data
terkumpul sehingga secara dini dapat terdeteksi adanya kekurangan-kekurangan yang muncul.
Bila hal ini terjadi maka kita dapat melakukan perbaikan langsung, tanpa men-set-up alat baru.
f. Syarat mutlak sebagai seorang pengamat adalah : bersikap jujur terhadap data yang telah
diperoleh dari hasil pengamatan ( sebelum dianalisa lebih lanjut ).
g. Merancang dan men-desain system yang lebih lengkap dan akurat dengan berkonsultasi kepada
yang ahli-ahli yang terkait, seperti Bengkel, teknisi laboratorium, dan yang lainnya.
h. Menguasai kaidah-kaidah analisa data; grafik; dsb. Sehingga sebagai peneliti akan cermat dan
teliti dalam mengolah data yang diperoleh. Akhirnya menghasilkan nilai yang berketepatan
tinggi dan validitasnya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Pengertian “Common Sense” pada pengukuran, tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata,
namun lebih mudah diberikan contoh-contoh tindakan dalam proses pengukuran yang menunjukkan
adanya “common Sense” yang tinggi yang dimiliki oleh seorang pengamat.
Misal : Ada seseorang yang pergi ke bengkel untuk memperbaiki motor/mobil nya, orang tersebut tidak
mengerti apa yang rusak ( tidak beres ) atas motor/mobilnya. Setelah sampai di Bengkel ditanya sama
teknisi bengkel apa yang rusak ? si pemilik motor/mobil tidak dapat menjelaskan; akhirnya teknisi
bengkel tersebut menyalakan mesin motor/mobil tersebut dan mendengarkan suara mesin, tanpa
membuka cap mesin mobil, selanjutnya teknisi langsung dapat memberi keterangan kepada pemilik
mobil bahwa kelainan mobil berada pada bagin tertentu. Sikap seorang teknisi bengkel yang seperti itu
menunjukkan bahwa dia sudah mempunyai “common sense” yang tinggi terhadap mesin mobil/motor
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
2
tersebut. Sehingga ketika akan melakukan perbaikan cukup tertuju pada bagian yang dia duga kuat ada
kelainan (penyebab kelainan)., sehingga proses perbaikan menjadi efisien dan akurat.
Bagaimana halnya dengan seorang pengamat yang memiliki “common sense” tinggi; berarti
pengamat tersebut akan terasa bila data yang diamati salah meskipun belum melakukan analisa lebih
lanjut. Atau alat yang digunakan tidak cocok meskipun alat tersebut belum digunakan untuk melakukan
pengukuran, Bahkan ketika ditengah jalan ketika melakukan pengamatan terjadi gangguan mereka
(pengamat) akan mengetahui hal tsb. sehingga data tidak terjadi penyimpangan berarti.
Dapat disimpulkan bahwa ketika seorang pengamat memiliki “common sense” tinggi, akan
menghasilkan pengamatan yang akurasinya tinggi, dan jauh dari kesalahan.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, marilah kita cermati beberapa langkah(keadaan) ketika
kita harus melakukan suatu pengukuran :
Kedua : adanya obyek yang akan diukur; keadaan obyek pengukuran juga akan mempengaruhi
hasil pengukuran. Apakah obyek dalam kondisi sempurna atau kurang sempurna untuk diamati?
Ketiga : adanya Alat ; yang akan digunakan untuk mengukur keadaan obyek; apakah alat dalam
kondisi baik, memiliki ketelitian tinggi atau tidak cukup teliti (misalnya dapat dilihat dari keadaan
skala alat tsb.); hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran.
Keempat : adanya metode pengukuran ( bagaimana pengamat melakukan set-up alat dalam
mengamati obyek ); hal ini juga akan mempengaruhi hasil pengukurannya.
Kelima : keadaan lingkungan pengukuran ( suhu; kelembaban udara; tekanan; waktu; dan
sebagainya ) hal ini akan sedikit banyak berpengaruh terhadap hasil ukur.
Hasil pengukuran pasti akan selalu muncul ralat-pengukuran dan hal ini tidak akan dapat
dihilangkan, namun pengaruhnya dapat diperkecil dengan mengupayakan kesempurnaan kelima faktor
yang disebutkan diatas yaitu : pengamat; obyek; alat; metode; dan faktor lingkungan.
Sebagai ilustrasi sederhana misalkan kita akan melakukan pengukuran panjang suatu obyek
menggunakan alat ukur panjang ( Rol-meter; Mistar; Jangka-sorong; Mikrometer; Mikroskup-geser.),
tentunya akan memberikan nilai hasil yang berbeda antara alat satu dengan lainnya, hal ini
disebabkan tingkat ketelitian alat masing-masing berbeda.
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa faktor alat akan menyebabkan hasil yang berbeda-beda.
Hal ini karena alat satu dengan lainnya mempunyai tingkat ketelitian berbeda, lantas berapa hasil yang
benar (tepat) ?!!!, apakah akan bisa tercapai ? bagaimana kalau digunakan alat lain yang lebih teliti ?
Kalau kita berusaha menjawabnya pasti akan mengatakan bahwa hasil pengamatan dengan alat hasilnya
relative dengan alat yang digunakan.
Dari banyaknya faktor yang menyebabkan timbulnya ralat pengukuran, dapat dipilah menjadi
beberapa jenis sesuai dengan sumber dan penyebabnya sbb:
Jenis ralat ini memberi pengaruh yang tetap terhadap hasil pengukuran, penyebabnya lebih pada
keadaan alat yang kurang normal, kesalahan cara membaca skala (pengamat); keadaan lingkungan
yang berbeda (misal tekanan, suhu, dsb.); adapun rincian masalahnya sebagai berikut.
Ralat Rambang :
Jenis ralat ini merupakan flutuasi pengukuran akibat adanya pengaruh alamiah misalnya :
1. Adanya gerak Brown melekul-molekul udara yang senantiasa bergerak dan sifatnya tidak
teratur, keadaan ini menyebabkan adanya getaran jarum penunjuk karena adanya
tumbukan molekul-molekul tersebut.
2. Fluktuasi pada tegangan listrik baik PLN maupun ACCU, secara alamiah ada perubahan
yang sifatnya rambang dan secara cepat.
3. Landasan alat yang bergetar, akibat getaran gelombang samudra, aktivitas gunung
berapi yang aktif; kesibukan lalu lintas, dsb.
4. Bising, pada alat elektronik yang berfrekuensi getar, juga karena suhu yang cukup panas.
5. Radiasi latar, beruparadiasi cosmos dari angkasa lua ang akan mengganggu alat-alat
pencacah elektronik.
SOAL-SOAL LATIHAN :
2. Jangka sorong dengan skala yang dikalibrasi dalam mm akan dilengkapi dengan nonius hingga
1
hingga nilai skala terkecil yang dapat dicapai adalah mm. Berapakah nilai antara dua gores
5
terdekat skala nonius itu? Ada berapa gores pembagi pada skala nonius itu?
3. Jarak terdekat antara 2 gores skala jangka sorong adalah 1 mm. Berapakah ketidakpastian
mutlak setiap pengukuran dengan alat ini?
Dalam ilmu pengukuran, hasil yang baik dapat dicapai apabila pegukuran dilakukan berulang-
ulang namun tetap memberikan nilai ukur yang konsisten. Hal ini kadang-kadang sulit dicapai dalam
praktek pengukuran yang riil, karena ketidak sempurnaan obyek maupun kendala alat, dan lainnya
sehingga kadang pada kasus tertentu kita tidak dapat melakukan pengukuran berulang.
Khusus pada pengukuran yang hanya dapat dilakukan sekali (tidak bisa diulang) atau data
tunggal, nilai ralat pengukuran boleh ditaksir(diperkirakan) oleh pengamat, dengan mempertimbangkan
keadaan skala alat yang digunakan. Kita sadar bahwa nilai taksiran sangat subyektif terhadap siapa yang
menaksir, namun harus di-ingat bahwa pengamat yang boleh memberikan taksiran mempunyai
beberapa persyaratan yang terkait dengan kepakaran pada ilmu tentang pengukuran, paling tidak harus
mempunyai “common sense”yang tinggi dalam pengukuran.
Dalam hal ini, keadaan alat yang dimaksud adalah keadaan skala pada alat tersebut, kasar dan
halusnya skala pada alat akan menentukan besar dan kecilnya ralat penaksiran. Jarak terdekat dari dua
goresan skala pada alat yang menentukan halus dan kasarnya alat ukur. Batas pengelihatan normal mata
kita dapat melihat dengan jelas sekitar (1mm); sehingga rata-rata alat ukur ditampilkan dengan skala
terkecilnya 1mm. Mayoritas para ahli menyepakati bahwa dengan skala terkecil 1mm, diperbolehkan
mengambil nilai taksiran dengan setengahnya, namun bila skala terkecil lebih besar atau lebih kecil dari
1mm, maka nilai taksiran tidak harus setengahnya ( bisa 1 skala, atau bahkan ¼ skala) bergantung kasus
yang dihadapi.
HASIL ANALISA PENGUKURAN TUNGGAL BESARAN (X) SBB:
NILAI TERBAIK ( x́ ) YANG MERUPAKAN NILAI RATA-RATA ADALAH:
NILAI PENGUKURAN TUNGGAL (X1); SEDANGKAN RALAT
PENGUKURAN BERUPA NILAI TAKSIRAN PENGAMAT.
DISAJIKAN : X = x́ ± ∆X
x́ = X1
RALAT (∆X) MERUPAKAN NILAI TAKSIRAN PENGAMAT
Upaya pembacaan skala yang ada pada alat ukur agar memperoleh nilai yang lebih teliti,
digunakan tambahan skala-nonius. Adapun fungsi skala-nonius sebagai pembagi skala terkecil alat
menjadi bagian yang lebih kecil yang masih dapat diamati dengan baik.
Pada alat yang ada skala-nonius, berarti jarak skala terkecil alat yang dapat diamati berupa
skala-noniusnya. Jadi pengertian ralat penaksiran juga berdasar dari kondisi skala-noniusnya.
Angka taksiran tidak boleh hanya semata-mata mempertimbangkan keadaan skala alat, namun
karena ralat pengamatan mempunyai faktor yang lain seperti keadaan obyek, maka boleh juga nilai
Dalam hal pengukuran tunggal maka nilai benar (terbaik) adalah hasil ukur tunggal, dan ralatnya
adalah merupakan hasil taksiran pengamat yang tentunya ada unsure subyektifitas pengamat, namun
hal ini tidak perlu dikawatirkan karena pengamat yang sudah memiliki pengalaman panjang dengan
peralatannya akan tepat dalam penaksirannya, jadi tidak sembarang pengamat boleh menaksir kondisi
alat yang digunakan.
Catatan : dalam praktek pengukuran , lebih baik dilakukan pengukuran ber-ulang untuk mendapatkan
nilai yang baik, kecuali hal itu tidak memungkinkan maka boleh melakukan pengukuran tunggal, namun
kalau belum ahli dalam menaksir ralat, tanyakan pada ahlinya., prisipnya hindari pengukuran tunggal ,
kecuali ada keterbatasan.
N = SKALA NONIUS
Dikatakan pengukuran berulang apabila pengamatan besaran suatu obyek terjadi pengulangan
pengukuran lebih dari satu kali (minimal 2 kali pengamatan), yaitu : 2 kali; 3 kali; 4 kali; dan seterusnya
smpai N kali. ( N = jumlah pengulangan pengukuran )
Misalnya dilakukan pengukuran besaran ( X ) diulang 2 kali, dengan hasil pengukuran sbb:
Dalam hal ini, secara teori sudah dapat menggunakan kaidah statistic dengan rumusan deviasi
(Sx); secara lengkap rumus-rumus deviasi akan dibahas pada sub-bab berikutnya. Namun secara praktek
jumlah pengulangan yang terlalu sedikit akan menyebabkan nilai ralat yang cukup besar, sehingga
terkadang berapa jumlah yang harus dilakukan pengulangan tergantung keputusan pengamat ( ada yang
cukup dengan 5 kali, 7 kali, 9 kali , dsb. ) namun tetap memperhatikan keadaan obyek pengamatan.
Mayoritas pengamat hampir merasa cukup dengan pengulangan sekitar 10 kali pengukuran untuk
menggunakan analisa dengan kaidah statistic ( N = 10 ).
X = x́ ± ∆ X
x́ = NILAI TERBAIK ( RATA-RATA )
∆X = NILAI RALAT
Nilai ralat pengukuran (∆X) dengan jumlah data ( N ) yang sudah memenuhi kaidah statistic,
dapat didekati dengan nilai deviasi pada ilmu statistic. Telah dijabarkan dengan lengkap pada analisa
statistic yang memberikan hasil banyaknya model deviasi pada analisa data diantaranya :
δi = [ Xi – x́ ]
δ́ =
∑ δ i = ∑ [ X i – x́]
N N
;nilai ini harus dimutlakkan agar memperoleh nilai positif, karena nilai ralat harus bernilai positif.
3. Nilai “varian” (φ ¿
Didefinisikan sebagai :
φ=
∑ δ2i = ∑ [X i – Xo]
N N
4. Nilai “deviasi baku” atau “simpangan baku” atau terkenal dengan sebutan “deviasi standar “
semesta ( σ )
Didefinisikan sebagai :
2
σ = √φ =
√ ∑ [ X i – Xo]
N
dengan X0 sebagai nilai benar ( hal ini sulit didapatkan )
Semua definisi di atas dapat digunakan sebagai nilai ralat pengukuran, tergantung kasus yang dihadapi
pada analisa datanya ( ber-ragam model data yang akan dianalisa ); deviasi yang mana yang dirasa
sesuai dengan model analisa yang digunakan oleh pengamat.
Yang biasa digunakan oleh para pengamat adalah deviasi yang berupa deviasi standar universal
(σ), artinya jumlah data harus tak berhingga; dan hal ini tidak mungkin dicapai dalam eksperimen riil.,
dan nilai benar (X0) juga mustahil diperoleh. Dengan kajian teori statistic lanjut, dapat dihasilkan
persamaan yang memenuhi untuk data dengan jumlah tertentu ( N kali ), dengan nilai benar (X 0) didekati
dengan nilai rata-rata dari jumlah data pengamatan yaitu ( x́ ); menghasilkan nilai “deviasi standar-( S n )”
dan “deviasi standar-( Sn-1 )” ditulis sebagai :
2
Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N
Rumus deviasi standar dengan jumlah data ( N ) tertentu; tidak terlalu besar(sekitar 10 data).
2
Sn-1 =
√
N
∑ [ X i – X́ ]
N −1
; dengan : x́ = nilai rata-rata jumlah pengukuran; dengan rumusan :
2
RUMUS (1) : Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N
2
RUMUS (2) : Sn-1 =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N −1
∑ Xi
X́ = i =1
N
Untuk jumlah data yang bertingkat ( misal : pengulangan 8 kali pertama, dihitung nilai rata-rata (
x́ 1); kemudian dilanjutkan data pengulangan 8 kali kedua dihitung nilai rata-rata ( x́ 2); dan seterusnya ,
misal diulang sampai 10 kali ) sehingga ada 10 nilai rata-rata, seperti contoh table data berikut :
Pengolahan data yang seperti contoh table diatas, memerlukan analisa yang bertingkat, yaitu
perlu dihitung lagi sebaran nilai rata-rata ( x́ ) dan akan menghasilkan nilai “standar deviasi dari nilai
rata-rata” ( S x́) dengan rumusan :
2
S 0,26655
S x́ = N −1 =
√N √ ∑ [ X i – x́ ]
N ( N−1)
=
√ 10
= 0,084…
Rumusan model ralat yang terakhir ini yang akan menghasilkan nilai ralat paling kecil; namun
diperlukan data yang bertingkat seperti contoh diatas ( 8 x 10 ) data.
Perkembangan teknologi computer yang begitu cepat, muncul alat-alat elektronik yang berbasis
komputasi semakin banyak dan mudah didapat, diantaranya mesin analitik berupa calculator yang sudah
memuat berbagai program aplikasi statistic, diantaranya dapat digunakan untuk menghitung nilai ralat
pengukuran berupa standar deviasi, baik yang nilai standar maupun nilai rata-rata, bahkan juga memuat
program regresi dan yang lainnya.
Proses analisa data biasanya diperlukan tingkat ketekunan, kecermatan, dan cepat bagi para
pengamat, hal ini dikarenakan data yang cukup banyak dan cukup rumit, apalagi biasanya pengamat
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
12
sudah kelelahan pada proses pengambilan datanya. Untuk itu sangat dianjurkan menggunakan alat
bantu seperti calculator dalam memproses datanya.
Yang perlu diperhatikan ketika menggunakan program calculator adalah, pengamat harus sudah
menguasai sisten operasianal calculator , disamping memahami kerja program yang digunakan dalam
menghitung. Hal ini penting karena bila operator salah ( tidak menguasai masalahnya ) hasil juga dapat
salah, meskipun mesin calculator sudah canggih.
Misal mengadakan pengukuran besaran ( X ) dengan pengulangan 10 kali, data pada table berikut :
2
Sn =
√ ∑ [ X i – X́ ]
N
= 0,2059…
N
2
∑ Xi
Sn-1 =
√ ∑ [ X i – X́ ] = 0,2170…
N −1
x́ = i=1
N
= 11,96
1. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran sebuah besaran (x )sebanyak 5 kali, dengan hasil :
Data ke-i : 5, 7, 9, 7, 8
Hitunglah nilai rata-rata ( x́ ) dan standar deviasinya ( σx ) ?
2. Hitunglah nilai rata-rata dan standar deviasi dari data dibawah ini : lakukan dengan cara
menghitung biasa, dan juga dengan menggunakan program “SD” pada kalkulator anda ?
bandingkan kedua hasilnya, apakah ada perbedaan yang berari ? Jelaskan semuanya.
Data ; 86, 85, 84, 89, 86, 88, 88, 85, 83, 85.
3. Seorang mahasiswa menghitung waktu ayunan sebuah pendulum sebanyak 3 kali dan
mendapatkan hasil ( dalam detik ) sebagai berikut : (1,6) ; (1,8) ; dan (1,7)
a. Hitunglah nilai rata-ratanya dan standar deviasinya ?
b. Apabila dilakukan pengukuran waktu untuk keempat kalinya, berapa probabilitas hasil yang
didapatkan akan bernilai diluar rentang nilai (1,6 - 1,8) ?
4. Dengan menggunakan data di soal nomor-1, tentukan nilai rata-rata dan standar deviasinya
untuk besaran:
a. (x) ?
b. (5x2) ?
c. (10 X + 3X3)
5. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran kecepatan suara dengan : ϑ = f λ, dimana (f) adalah
frekuensi yang ditunjukkan oleh oscillator dan ( λ) adalah panjang gelombang. Hasilnya adalah λ
= (11,2 ± 0,1) cm dan f = 3000 Hz. Oscillator memiliki ketidakpastian sistem sebesar 1%.
a. Bagaimanakah hasil yang didapatkan untuk nilai (ϑ ) ?
b. Apakah nilai ketidakpastian 1% pada oscillator penting ?
Pada pembahasan bab yang lalu ,kita telah meyakini bahwa setiap pengukuran selalu
menghasilkan nilai yang mengandung ralat; kita telah mengenal jenis dan sumber-sumber yang
menyebabkan timbulnya ralat; juga telah mengetahui bagaimana cara menentukan nilai ralat dengan
berbagai model pengukuran yang dilakukan. Yang telah kita bicarakan di depan , semuanya menyangkut
persoalan besaran obyek yang dapat diamati ( diukur ) secara langsung.
Bagaimana jika besaran-besaran obyek tidak dapat diamati ( diukur ) secara langsung ? Misalnya
pengamatan gravitasi bumi dengan eksperimen ayunan matematis dengan rumus pendekatan teorinya
adalah :
4 π2
g= L
T2
Besaran panjang tali bandul ( L ) dapat diukur langsung dengan alat ukur panjang, ( T ) besaran waktu
periode ayunan yang dapat diukur langsung dengan alat ukur waktu, tetapi kita tidak dapat langsung
mengukur besaran ( g) karena tidak ada alat ukurnya. Dengan demikian untuk menentukan besaran ( g )
melalui pengukuran besaran ( L ) dan ( T ); dengan kata lain penentuan ( g) melalui perambatan dari
besaran yang terukur langsung. Proses analisa semacam ini dinamakan proses perambatan.
Nilai ralatnya juga melalui proses perambatan ralat , yaitu dihitung dengan merambatkan nilai
ralat dari masing-masing besaran yang terukur secara langsung dengan alat ukur. Dalam contoh kasus
kita diatas, nilai ralat ( g ) dirambatkan terhadap nilai ralat ( L ) dan nilai ralat ( T ).
g = f ( L, T ) ; f = fungsi
Bagaimana cara perambatan dilakukan, dan seperti apa pengaruh dari keterkaitan ( korelasi ) antar
variable dalam kontribusi ralat perambatannya, hal ini akan diuraikan pada bab berikut.
Misalkan besaran fisis ( V ) merupakan besaran yang nilainya bergantung dari besaran-besaran
variable ( x ); ( y ); ( z ); ( t ) ; dan seterusnya. Dalam bahasa matematik dapat ditulis bahwa :
Karena variable ( x ); ( y ); ( z ); dan ( t ) merupakan variable yang dapat diamati secara langsung dengan
alat ukur, berarti nilai dari masing-masing besaran tersebut adalah :
x = x́ ± ∆x ; y = ý ± ∆y
z = ź ± ∆z ; dan t = t́ ± ∆t
V = v́ ± ∆V ; dan v́ = f( x́ , ý , z´ , t́ )
Persamaan terakhir ini merupakan persamaan perambatan yang cukup rumit dalam penyelesaian
matematiknya, namun kalau kita ambil logika tentang ralat pengukuran kita dapat menyatakan bahwa
∆V adalah sebuah ralat pengukuran tidak langsung dari besaran V. Selanjutnya dengan ketekunan kita
dalam olah rumusan matematik akan diperoleh rumusan penyelesaian untuk ralat perambatan.
Bila ralat besaran ( V ) yaitu (∆V) didekati dengan nilai deviasi standar ( S V ); didapat
penyelesaian sebagai berikut :
∂V
SV = |∂∂Vx | ; dengan (
∂x
) merupakan deferensial parsial dari V = f (x,y,z,t)
Dengan : ρxy = faktor korelasi antara besaran (x) dan (y), yang dirumuskan sebagai;
N
1
ρxy =
( N −1 ) S x S y ∑ δ xi δ yi
1
nilai faktor korelasi ( yang sering disebut sebagai faktor kegayutan dalam perambatan ralatnya )
akan berkisar antara : nol ( 0 ) dan ( ±1 ) yang mengandung pengertian sbb.:
Faktor korelasi : ( ρ xy = 0 )
Berarti antara variable x dan y tidak saling ber-korelasi dengan kata lain pengaruhnya terhadap
ralat besaran V tidak ada ke-gayutan ( tak gayut / saling bebas ). Hal ini akan memberikan
penyelesaian rumus perambatannya :
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
16
2 2
∂V ∂V
SV =
√(
∂x
.Sx +
∂y)( .Sy
Faktor korelasi : ( ρ xy = ±1 )
)
Berarti antara variable x dan y ber-korelasi penuh dengan kata lain pengaruhnya terhadap ralat
besaran V tidak ber-gayutan ( gayut / saling terikat ). Hal ini akan memberikan penyelesaian
rumus perambatannya :
SV = |∂∂Vx |S +|∂V∂y |S
x y
Bila besaran V bergantung dari banyak variable pengukuran ( x, y, z, t, … ); maka secara umum
rumus ralat perambatan SV adalah :
2 2 2 2
∂V ∂V ∂y ∂V
SV =
√( ∂x
.Sx +
∂y )(
.Sy +
∂z ) (
. Sz + .S
∂t t )( )
B). RUMUS BER-GAYUT ( SALING TERIKAT )
Dalam praktek dapat dikondisikan apakah analisa yang digunakan gayut atau tak-gayut , hal ini
dapat diatasi dengan metode pengukuran yang dilakukan oleh pengamat. Namun secara umum rumus
perambatan ralat untuk variable-variabel bebas yang memeliki ralat secara rambang, mayoritas
pengamat menggunakan rumusan “ tak-gayut”. Pengertian rumus “gayut” juga diperlukan untuk analisa
yang bersifat teoritik.
RALAT GAYUT :
Apabila dalam eksperimen yang kita lakukan tidak dapat menghindari adanya korelasi
antara variable satu dengan lainnya, seperti misalnya : pengukuran Volume benda berbentuk
balok dengan dimensi V( x; y; z ). Pengukuran besaran-besaran tersebut menggunakan alat yang
sama, dengan cara mengamatinya juga sama, dalam tempo yang sama; dilakukan oleh
pengamat yang sama; dsb. Hal RUMUS UMUM
ini sangat RALATkontribusi
mungkin BER-GAYUTralat dari masing-masing variable
( x; y; z ) akan memberikan korelasi penuh terhadap ralat besaran volume (V) tsb. Kasus yang
V = f ( X, Y, Z )
sangat khusus ini;Xdiperbolehkan pengamat menggunakan
; Y; DAN Z MERUPAKAN BESARAN rumus
VARIABEL perambatan
SEJENIS YANG ralat ber-gayut.
TERKORELASI (GAYUT); DENGAN NILAI MASING-MASING :
X = x́ ± ∆X ; Y = Ý ± ∆Y DAN Z = Ź ± ∆Z
V = V́ ± ∆V
∂V ∂V ∂V
17 ∆V =
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
∂x | | | | | |
∆ X+
∂y
∆Y +
∂Z
∆Z
∂ V ∂ f ( X ,Y , Z ) ∂ V ∂ f ( X ,Y , Z )
| ∂ x | ∂ x | ∂ y |= ∂ y
= ; ; DAN
RALAT TAK-GAYUT ( tidak terkorelasi )
Sedangkan bila fungsi besaran V yang bergantung dengan besaran variable ( x, y,z ),
namun besaran variable yang terukur langsung saling bebas antara satu dengan lainnya maka
ralat dari besaran ( V ) merupakan ralat perambatan yang “tak-gayut” atau tidak ada korelasi
sama sekali antara ralat X; ralat Y maupun ralat Z.
Sebagai contoh riil ; misalnya eksperimen yang menentukan nilai percepatan gravitasi bumi
dengan rumusan eksperimen :
4 π2
g= L
T2
Pengukuran panjang tali ( L ) digunakan alat ukur panjang, dan pengukuran periode
ayunan ( T ) dengan alat ukur waktu. Kita mengetahui bahwa hasil ukur kedua besaran tidak
saling mempengaruhi, dapat dikatakan saling bebas. Alasan yang dapat diajukan misalnya kedua
besaran tersebut diukur dengan alat yang berbeda, disamping memang keduanya tidak sejenis,
hal ini akan memberikan nilai ralat masing-masing besaran yang saling bebas. Akibatnya ralat
dari besaran gravitasi ( g ) merupakan kasus ralat perambatan yang saling bebas atau “tak-
gayut”.
RUMUS UMUM RALAT TAK-GAYUT
V = f ( X, Y, Z )
X = X́ ± ∆X ; Y = Ý ± ∆Y DAN Z = Ź ± ∆Z
V = V́ ± ∆V
2 2 2
∂V ∂V ∂V
∆V =
√( ∂x
∆X +)(
∂y
. ∆Y +
∂Z )(
.∆ Z )
∂V ∂ f ( X , Y , Z) ∂V ∂ f ( X , Y , Z)
= ; = ; DAN
18 ∂ xSunarta. ∂ x
BAHAN AJAR MPF-S1; ∂y ∂y
∂V ∂ f ( X , Y , Z)
=
∂z ∂Z
III.4. Rumus-rumus Khusus
Bila kita cermati rumus-rumus model perambatan selalu mengandung operator deferensial
parsial, sehingga diperlukan ketelitian tinggi dalam analisa disamping ketrampilan matematik tentang
deferensial. Untuk antisipasi bagi pengamat yang kurang trampil dalam olah matematik, maka
diturunkan rumus-rumus khusus dalam menghitung ralat perambatan sebagai berikut :
RUMUS PENJUMLAHAN-PENGURANGAN
Misal : V = aX ± bY dengan : a ; b = konstanta
Rumus perambatan ralat dari besaran V menjadi :
RUMUS PERKALIAN-PEMBAGIAN
Sx 2 S y 2
SV
V
=
√( x )( )
+
Y
; untuk : X dan Y saling bebas ( tak-gayut )
SV Sx S y
= + ; untuk : X dan Y gayut ( terkorelasi )
V X Y
SV S
V
=b x
X ( )
RUMUS FUNGSI EKSPONENSIAL
Misal : V = a e±bX ; a dan b merupakan konstanta.
Rumus perambatan ralat dari besaran V adalah :
SV =a ( SX )
x
SOAL-SOAL LATIHAN :
X́ =
∑ Xi
N
Merupakan nilai rata-rata berbobot bila dilakukan proses perbandingan antar metode ukur
( dibahas pada bab IX )
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
22
Toleransi pengukuran / Ralat ( ∆X ) :
Merupakan nilai taksiran skala terkecil alat, bila metode satu kali pengukuran.
Merupakan nilai deviasi standar , bila metode pengukuran ber-ulang dengan N data
∆X = S N−1
Merupakan nilai deviasi standar rata-rata, bila metode pengukuran memenuhi data populasi
( data bertingkat )
S N −1
∆X = S x́ =
√N
Merupakan nilai ralat berbobot bila pada proses analisa perbandingan metode ukur
( dibahas pada bab IX )
X = ( X́ ± ∆X )
GRAVITASI: g = ( 9,82 ± 0,02 )m/s2
MAKIN KECIL NILAI RALAT MUTLAK
MENUNJUKKAN BAHWA PENELITIAN MENGHASILKAN
KETEPATAN MAKIN TINGGI
Cara lain menyatakan ketidakpastian suatu besaran ialah dengan menyebut dengan
∆χ
ketidakpastian relatifnya, yakni : ( )
χ́
, yang jelas tidak bersatuan. Seringkali ketidakpastian (ralat)
relatif dinyatakan dalam % (atau ‰) dengan mengalikan hasil pengukuran dengan 100% (atau 1000‰).
Ketidakpastian relatif dihubungkan dengan ketelitian pengukuran:
Misal : Beda potensial V 1= (5,00 ± 0,05) volt, ketidakpastian mutlak di sini 0,05 volt sedangkan
0,05
ketidakpastian relatif pengukuran ini adalah ( ) atau 1%. Kalau voltmeter ini dipakai mengukur beda
5
potensial yang lebih besar, misalkan V 2= (10,00 ± 0,05) volt, ketidakpastian mutlak tetap sama seperti
0,05
tadi, namun ketidakpastian relatif pengukuran kedua ini ( ¿ atau 0,5%. Karena ketidakpastian
10
relatif pada pengukuran kedua ini lebih kecil daripada ketidakpastian relatif pengukuran pertama, maka
dikatakan pengukuran beda potensial kedua lebih teliti (memiliki ketelitian yang lebih besar) daripada
pengukuran pertama (dua kali lebih besar). Untuk dapat mengukur V 1dengan ketelitian yang sama
∆V2
dengan ketelitian yang dicapai pada pengukuran V 2, haruslah ( ) = 0,5%, atau ∆V 1= 0,5% × 5,0 volt
V1
1 1
= volt, maka diperlukan voltmeter dengan skala terkecil volt (minimum); dengan kata lain,
40 20
diperlukan alat yang lebih tepat.
Δχ
X=¿± )
χ́
NILAI TEGANGAN : V = ( 5 ± 1% ) Volt
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
24 MAKIN KECIL RALAT RELATIF DISAJIKAN DALAM
PENGUKURAN
MENUNJUKKAN MAKIN TINGGI KETELITIAN PENGUKURAN
YANG DICAPAI ALAT UKURNYA
Dapat disimpulkan bahwa penampilan hasil akhir dalam model relatif, lebih menunjukkan
informasi yang berhubungan deangan ketelitian alat ukur dalam pengamatan. Apakah hasil dengan alat
tersebut dapat memberikan ketelitian yang tinggi, atau perlu ditingkatkan dengan alat yang lebih teliti
lagi.
22
perlu diatur (disesuaikan), misalkan suatu pengukuran menghasilkan nilai : x = = 3,142 85.... ( angka
7
decimal di belakang koma tidak akan selesai, sampai panjang tak terbatas ) , lantas berapa angka
desimalkah harus dilaporkan pada penulisan hasil akhir ? Tentu saja hai ini bergantung pada ketepatan
yang tercapai dalam pengukuran itu, yakni pada ralat pengukuan ( ∆x ) dan harus disesuaikan dengan
nilai rata-rata pengukuran yang sudah tertentu .
Misalnya : ∆x = 0,01, maka nilai ( x ) harus dilaporkan dengan dua angka desimal juga, jadi
disajikan x = (3,14 ± 0,01); sebab dengan ketidakpastian ∆x = 0,01 diartikan angka desimal kedua mulai
diragukan hingga pada x juga angka desimal kedua harus diragukan (yakni angka 4). Semua angka di
depan angka yang diragukan, diketahui dengan pasti; dalam contoh diatas adalah : angka 3 dan 1 pada
( 3,14 ).
3,14285... 0,01
PADA ANGKA 3,14285 ,ANGKA 4 MULAI DIRAGUKAN
APALAGI ANGKA 2; 8; DAN ANGKA 5, SANGAT MERAGUKAN
SEDANGKAN ANGKA 3,1 PASTI KEBERADAANNYA
SEHINGGA PENYAJIAN HASIL AKHIR MENJADI
3,14 0,01
ANGKA “PENTING”
ATAU
ANGKA “BER-ARTI”
ADALAH : SEMUA ANGKA YANG SUDAH PASTI DITAMBAH
SATU ANGKA YANG MULAI MERAGUKAN
X = 3,1428 ± 0,0007
NILAI BESARAN (X) DISAJIKAN DENGAN 5 ANGKA PENTING
Perhatikan nilai ( x = 3,1) dan ( x = 3,10 ) berbeda artinya dilihat dari sudut ketepatan,
pengukuran pertama (x = 3,1) berarti angka 3 diketahui dengan pasti tetapi angka 1 diragukan
sedangkan pada (x = 3,10) berarti angka 3, dan angka 1 diketahui dengan tepat/pasti ; sedangkan angka
(0) diragukan keberadaannya. Namun dalam ilmu metode pengukuran; ( hasil: 3,10) lebih tepat
daripada yang menghasilkan (3,1).
SOAL-SOAL LATIHAN :
1. Tuliskan kembali jawaban berikut ini dalam bentuk yang paling bagus, dengan angka signifikan
(angka ber-arti) yang sesuai :
a. Tinggi = (5,03 ± 0,04329) m.
b. Waktu = (19,5432 ± 1 ) s
c. Muatan = (-3,21 x 10-19 ± 2,67 x 10-2 ) 0 C.
d. Panjang gelombang = (0,000000563 ± 0,00000007) m.
e. Momentum = (3.267 x 103 ± 42) g cm/s
2. Pengukuran atas besaran A, B, C, dan D memberi hasil:
A = 2807,5 ± 0,4 C = 83,675 ± 0,008
B = 0,0640 ± 0,0006 D = 525,0 ± 0,5
a. Tuliskan kembali empat bilangan itu dengan memakai notasi eksponensial.
b. Urutkan keempat bilangan di atas menurut ketepatannya yang menaik.
c. Tentukan juga ketidakpastian relatif masing-masing besaran.
d. Buat urutan berdasarkan ketelitian pengukurannya.
3. Dengan berpegang pada kebiasaan hanya menggunakan satu angka yang diragukan, tulislah
dengan tepat:
a. 3,456 ± 0,2
b. 78 000 ± 20
c. 0,002 468 ± 0,000 01
d. 6543,410 ± 0,3
BAB V
GRAFIK PENGAMATAN DAN ANALISA
Grafik merupakan bagian yang penting pada pengolahan data pengamatan, karena grafik
merupakan visualisasi data yang menggambarkan kelakuan hasil pengamatan terhadap variable yang
mempengaruhi. Dari visualisasi kelakuan ini, mengandung banyak informasi tentang fenomena fisis yang
sedang diteliti.
Untuk dapat menggambarkan hasil secara visual dari data pengamatan dengan benar,
diperlukan pengertian tentang alur data yaitu data-data yang telah terlukis pada sumbu-sumbu grafik
akan membentuk alur garis yang mempunyai fungsi tertentu.
Pengambaran grafik yang benar dan teliti, akan sangat mempengaruhi hasil analisa yang
diperoleh. Untuk itu seorang pengamat/peneliti harus menguasai tentang metode analisa grafik. Tidak
semua grafik dapat dipergunakan untuk dasar analisa, tergantung jenis pengamatan ( kelakuan fisis ).
Apakah kelakuan fisis merupakan variable-variabel yang berfungsi secara matematis, atau tidak
berfungsi. Grafik analisa biasanya mempunyai fungsi matematik tertentu. Dari keterangan tersebut
dapat dibedakan ada 2 jenis grafik yaitu :
Dalam tulisan ini, akan disampaikan / dibahas tentang jenis grafik analisa. Jenis grafik ini sangat sering
dijumpai pada dunia sain-tek; khususnya pengamatan fenomena-fenomena fisis.
Untuk memperoleh grafik yang benar yaitu merupakan visualisasi data yang mempunyai pola
persamaan garis tertentu, dan memgambarkan kelakuan data data fisis diperlukan beberapa langkah
dalam proses pembentukannya diantaranya :
Pertama :
Menentukan persamaan grafik ; yaitu persamaan yang menjadi dasar untuk menarik garis grafik setelah
data terlukis pada grafik. Persamaan grafik mengacu pada persamaan teori atau hypotesa yang di ajukan
pada penelitian. Apabila tidak/belum ada dasar persamaan teorinya, yang menjadi dasar penarikan garis
adalah “alur data yang terjadi”.
Kedua :
Menentukan sumbu-sumbu grafik dengan benar, sumbu mana sebagai sumbu “vertical” yaitu sumbu
tempat kedudukan data pengamatan, yang sering disebut sebagai sumbu akibat atau “kodomain”. Juga
sumbu mana sebagai sumbu “horizontal” yaitu sumbu tempat kedudukan data variable pengamatan,
yang sering disebut sumbu sebab atau “domain”.
Ketiga :
Pemilihan skala grafik yang tepat, yaitu : (a). Angka skala sederhana, mudah dibaca misal : 1, 2, 3, dan
seterusnya, atau 0.1, 0.2, 0.3, dan seterusnya. (b). Jarak angka skala satu dengan lainnya cukup jelas. (c).
Titik-titik data pada grafik secara visual terlihat jelas, tidak saling berdepetan. (d). Titik data yang terlukis
pada grafik harus jelas, misal dengan tanda khusus (tebal) sehingga tidak tertutup oleh garis grafik.
Keempat :
Pengaturan skala grafik diperlukan juga untuk membuat penampilan garis grafik berada pada daerah
yang tepat/benar yaitu daerah yang sensitivitasnya tinggi. Sebagai grafik analisa garis grafik yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah berada pada kemiringan antara [ 30° ≤ (kemiringan) ≤ 60° ]. Garis grafik
yang berada diluar daerah tersebut merupakan garis grafik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kecermatannya (tidak teliti).
Kelima :
Garis grafik merupakan garis yang dibentuk oleh “Alur Data” yang merupakan garis yang ditarik lewat
data secara halus (smooth) dan merata menelusuri daerah sebaran data pengamatan. Sebaliknya garis
Keenam :
Kecermatan dalam menarik garis grafik sesuai dengan dasar persamaan grafik yang telah dirumuskan.
Pada grafik analisa, belum tentu garis grafik menenuhi (sesuai) dengan seluruh alur data yang terbentuk
(kemungkinan hanya sebagian alur yang sesuai dengan dasar persamaan grafik yang dirumuskan).
Sebelum kita bahas tentang bagaimana cara menganalisa data lewat grafik, perlu dibahas
terlebih dahulu mengenahi fungsi/manfaat adanya grafik; diantaranya :
1. Visualisasi data
Maksudnya dengan melihat tampilan gambar grafik, pengamat sudah dapat mengambil
informasi, kelakuan variable data pengamatan. Hal ini tidak kentara ketika hanya melihat table
data pengamatan.
4. Grafik sebagi penentuan rumus empiris besaran-besaran yang belum dipikirkan rumusan secara
teoritis.
Grafik analisa merupakan grafik yang terbentuk dari hasil olahan data pengamatan, kemudian
di-plot sesuai dengan sumbu-sumbu yang dikehendaki yang akan menjadi dasar untuk menghitung/
menganalisa data.
Grafik analisa biasanya mempunyai fungsi (persamaan) teori; sehingga dalam penarikan garis
data pada grafik sudah mempunyai bentuk kurva tertentu, missal linear atau lainnya. Akan tetapi bentuk
Kenapa garis linear lebih baik disbanding model grafik lainnya, hal ini karena garis linear lebih
mudah dilihat secara visual (tepat/menyimpang); juga garis linear mempunyai besaran-besaran grafik
paling komplit dan mudah dihitung. Besaran-besaran garfik yang ada pada garis linear berupa titik
potong dan gradient grafik; besaran-besaran inilah yang digunakan sebagai dasar analisa untuk
menghitung besaran fisis yang dikehendaki dalam pengamatan.
1. Hukum Boyle : PV = k
Persamaan tersebut akan diselidiki dengan grafik linear, untuk itu perlu pelinearan menjadi : P =
1 1
k( ¿ ; yang akhirnya dipilih besaran ( P ) pada sumbu vertikal grafik, dan ( ¿ sebagai sumbu
V V
horizontal grafik. Gradien grafik adalah = (k), dan grafik akan memotong di titik origin grafik.
2. Hukum Coulomb : F = k (1/r2)
Dengan memilih sumbu horizontal grafik sebagai (1/r 2) dan sebagai sumbu vertical besaran (F) ;
maka grafik analisa berupa garis linear dengan gradient grafiknya adalah sama dengan (k), dan
grafik akan melalui titik origin grafik.
3. Persamaan pada rangkaian listrik sederhana yang terdiri atas battery (E) sebagai sumber
tegangan DC, hambatan luar (R Variabel) , hubungan tegangan (V) pada hambatan (R) yang dialiri
arus dari battery tersebut adalah :
1 1 r1 1
= + ( )
V E E R
Dengan E = tegangan battery; r 1 = hambatan dalam battery. Untuk membuat grafik analisa
1
dipasang sebagai sumbu horizontal grafik adalah ( ¿ dan sebagai sumbu vertical grafik adalah (
R
1 r
V
¿, sehingga diperoleh gradient grafik linear sebagai
E ( )
; dan grafik akan memotong pada
1
sumbu vertical dengan nilainya sama dengan nilai besaran ( ¿.
E
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
32
4. Persamaan umum : Y = a 10 kX ; dengan (a) dan (k) sebagai konstanta, dan variable (X) berada
pada eksponen. Untuk melakukan pelinearan persamaan tersebut diambil fungsi logaritma
sehingga didapat :
log Y = log a + k X
Dengan memasang (X) sebagai sumbu horizontal dan (log Y) sebagai sumbu vertical grafik, maka
akan diperoleh grafik lurus dengan gradient (k) dan titik potong grafik bernilai sama dengan (log
a).
V.4.Ralat Grafik
Yang dimaksudkan ralat grafik adalah ralat yang menyangkut nilai dari besaran-besaran grafik
yaitu gradient dan titik potongnya. Jadi ralat grafik sama dengan ralat dari gradient grafik dan ralat titik
potong grafik.
Jawabnya ya mesti ada ralat grafik, bukankah garis grafik terbentuk dari pasangan data pengamatan,
sedangkan kita telah bahas panjang lebar tentang ralat data pengamatan, sehingga logika mengakatan
bahwa kalau titik-titik data grafik mempunyai ralat maka garis grafik yang terbentuk dari titik-titik
tersebut pasti ber-ralat.
Perhatikan beberapa ilustrasi berikut, bahwa titik data yang ber-ralat akan memberikan dampak
terhadap garis grafik yang terbentuk dari titik-titik tersebut.
Karena garis grafik terbentuk dari alur titik-titik data, sedangkan titik-titik data mempunyai ralat
maka logika kita akan mengatakan bahwa garis grafik yang terbentuk juga akan menyimpang (ber-ralat).
Titik data yang ber-ralat digambarkan dengan suatu titik yang mempunyai batang (lihat gambar),
sehingga titik tersebut dapat dipandang sebagai sebuah titik yang nilainya terbentang antara nilai (max-
min).
Akibat dari titik data yang secara visual pada grafik digambarkan sebagai titik yang bernilai max-
min, maka garis grafik yang dihasilkan juga garis-max dan garis-min.
Dalam grafik berbentuk garis lurus, hampir dalam semua keadaan, anda berkepentingan
memperoleh kemiringan (gradient) dan perpotongan dengan sumbu-sumbu koordinat. Juga ada baiknya
anda memberikan perkiraan ralat dari dua atau tiga besaran tersebut. Suatu cara yang sederhana dan
cepat ialah menarik garis ekstrim (garis batas) melalui “pusat berat” (center of gravity) dari titik-titik
data. (lebih detail akan dibahas pada mata kuliah Metode Analisa Grafik di program S1-Fisika; F.MIPA-
UGM)
Jika semua ralat pada titik data sama besar, maka “pusat berat” ini terletak di sekitar tengah-
tengah, jika ralat tidak sama besar, maka pusat berat ini tergeser ke arah titik-titik dengan ralat terkecil.
Kemiringan dan perpotongan dapat ditentukan secara grafis dari dua ekstrim ini. “Garis terbaik “
terletak kira-kira di tengah-tengah dua ekstrim ini.
Grafik merupakan visualisasi data yang akan memberikan gambaran hubungan antara besaran
satu (pada sumbu vertical) terhadap besaran lainnya (pada sumbu horizontal). Dari gambar data-data
kemudian ditarik garis untuk mendapatkan fungsi kurva yang terjadi, yang akhirnya kurva inilah
merupakan hasil dari grafik tsb.
Analisa grafik berarti melakukan analisa terhadap kurva grafik, bila diperoleh kurva linear maka
dianalisa sesuai dengan kaidah garis linear, bila diperoleh kurva eksponensial juga akan dianalisa dengan
aturan kurva tsb. dan seterusnya. Untuk itu sangat penting kita menguasai bagaimana cara menarik garis
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
35
grafik yang benar agar kurva yang dihasilkan menjadi benar. Hal ini diperlukan pengertian tentang “Alur
data”; “Garis grafik” juga “garis regresi”
Alur data : adalah pola yang terbentuk dari deretan data yang tergambar pada grafik, ini
merupakan kelakuan asli dari data pengamatan ( apakah akan terbentuk pola lurus, lengkung, fluktuatif,
atau acak ). Alur data akan terbentuk dengan jelas ketika jumlah deretan data banyak dan saling
berdekatan secara kontinyu. Sebaliknya alur data tidak tampak jelas bila deretan data sangat jauh satu
dengan lainnya.
Garis Grafik : merupakan garis analisa yang ditarik sesuai dengan kaidah teorinya dengan
mengacu pada bagian alur data yang sesuai, mungkin tidak seluruh garis grafik dapat sesuai dengan alur
data yang terjadi ( artinya keberlakukan garis grafik tidak selalu terpenuhi dengan data yang ada pada
grafik).
Apabila seluruh alur data yang terjadi sesuai (dapat dilalui) garis grafik, maka dapat dikatakan
bahwa hasil data pengamatan memenuhi kaidah teori yang ada, berarti tidak ada penyimpangan antara
teori dan eksperimennya.
Garis Regresi : garis yang dibentuk dari rumusan regresi sebagai fungsi dari pasangan data pada
sumbu horizontal (sb-X) dan sumbu vertical (sb-Y), bila dicermati garis ini akan merupakan garis yang
mengakomodasikan seluruh sebaran data, berupa rata-rata daerah sebaran yang ada. Sehingga data
dengan model alur apapun, bila diambil regresinya akan memberikan garis lurus.
Untuk itu diperlukan seleksi data yang ada pada grafik, apabila akan ditarik dengan regresi,
tentunya terbatas terhadap data-data yang memiliki alur linear saja yang dianalisa dengan rumus
regresi.
Dari ketiga pengertian garis tersebut (alur data, garis grafik dan garis regresi), dapat diambil
pengertian bahwa:
Alur data terbentuk secara alami dari data hasil pengamatan, penyimpangan terjadi bila
pengamatan tidak cermat, atau mengandung ralat besar.
Garis Grafik terbentuk, menurut pemilihan pengamat dengan mengacu pada landasan teori yang
ada pada eksperimen, juga memperhatikan alur yang ada sebagai acuan untuk menarik garis
tersebut.
Garis Regresi terbentuk dari analisa rumus regresi yang merupakan nilai rata-rata dari sebaran
data pengamatan yang ada, sehingga diperlukan kecermatn peneliti ketika menggunakan
metode ini.
Dalam situasi ideal akan dapat ditunjukkan bahwa ketiga garis tersebut berimpit, yaitu situasi yang
mana teori dan praktek tidak ada penyimpangan sama sekali.
SOAL-SOAL LATIHAN :
L
2. Dengan rumus bandul matematik T = 2π
√ g
, percepatan gravitasi g hendak ditentukan dalam
suatu eksperimen. Period T diukur pada beberapa nilai panjang bandul L. Data yang diperoleh
adalah sebagaimana tercantum di bawah. Pakailah metoda kuadrat terkecil untuk menghitung
(g ± ∆g), dengan mengetahui π = 3,142 tepat.
L T
(m) (sekon)
0,60 1,56
0,70 1,68
0,80 1,80
0,90 1,90
1,00 2,00
3. Rumus atau hukum di bawah ini harus anda luruskan. Sebutkan besaran mana yang anda pilih
sebagai perubah bebas, dan mana perubah tidak bebas. Sebutkan juga bagaimanakah
menentukan nilai besaran yang dicari itu dari grafik yang anda peroleh.
Tabel :
No Hukum Rumus Diketahui Diukur Dicari
1 Hukum Ohm V=IR - V dan I R
2 Bandul matematik L
3 Pemuaian
T = 2π
√
g
L2 = L1 ( 1+ λ ∆ t )
π
L1
L dan T
L2 dan ∆t
g
λ
4 Lensa tipis 1 1 1
= + - s dan s' ƒ
f s s'
5 Tegangan permukaan 2γ
h= ρ dan g r dan h γ
dalam kapiler ρ rg
6 Hukum Coulumb 1 Q1 Q2
F= π, Q 1, Q 2 F dan r ∈0
4 π ∈0 r 2
7 Hukum Richardson J = AT 2 e−Q / kT k J dan T A dan Q
8 Hukum Ampere μ I I L F, L, I 1 I 2 dan
F= 0 1 2 π μ0
2π r r
9 Resonansi listrik 1
ω0 = - ω 0 dan C L
√ LC
10 Rumus impedansi i
√
2
Z= R + 2 2
ωC
- ω dan Z R dan C
4 π2 4 π2
(α) yang memenuhi : tan α = . maka (g = ).
g tan α
4. Buatlah semacam instruksi pendek (secara garis besar saja) bagaimanakah melakukan
percobaan untuk memeriksa hukum Ampere dan rumus impendansi (no.7 dan 10 dalam daftar
di atas).
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
38
BAB VI
PENGGUNAAN METODE REGRESI LINEAR PADA ANALISA DATA
VI.1. Pengantar
Metode regresi linear sering digunakan dalam analisa data hasil eksperimen dalam segala kasus,
bahkan apabila fenomena yang muncul tidak linear maka dalam analisa data dilinearkan dahulu
kemudian dianalisa dengan metode linear.( dilakukan proses pelinearan terlebih dahulu sebelum di
aplikasikan pada metode regresi linear ).
Δl= ( gk ) m
Secara teori , berapapun nilai m dipasang pada sistem pegas, akan memberikan perubahan panjang Δl
yang memberikan hubungan yang linear. Akhirnya yang biasa dilakukan para penganalisa data, pasangan
data ( m ; Δl ) langsung dianalisa menggunakan metode regresi ( untuk semua data ). Padahal dalam
pengamatan eksperimen belum tentu semua nilai m akan memberikan fenomena linear pada Δl.
Perlu difahami bahwa teori regresi akan memberikan penyesesaian pasangan data (X i;Yi) untuk
dianalisa pada regresi yang diharapkan; untuk itu bila di-inginkan akan dianalisa dengan linear maka
data pasangan (Xi;Yi) harus diyakinkan berfungsi linear ( secara visual dapat di tampilkan pada grafik
pengamatan). Bila pada persamaan teori belum secara langsung menggambarkan hubungan yang linear,
maka dilakukan proses pelinearan terlebih dahulu.
Kadang persamaan fisis yang menggambarkan suatu fenomena mempunyai varibel yang cukup
kompleks, namun dalam pengamatan eksperimen bentuk persamaannya dapat disederhanakan sesuai
Mt = M0 e-λ t
ln Mt = ln M0 – λ t
Bila diubah Y=ln Mt ; dan ln M0 = A (konstan); maka diperoleh persamannya menjadi linear sebagai :
Y=A- λt
Contoh lainnya misal :
L 2 L
T = 2π
g √diubah menjadi T2 = 4 π ( ) ;
4π 2
g
Proses yang kita lakukan demikian itu merupakan proses pelinearan persamaan yang awalnya
belum linear diubah menjadi linear, dengan tujuan tertentu dalam eksperimen yang akan dilakukan.
Misalnya dengan menjadi persamaan linear kita dapat menentukan mana variable yang harus diukur
sebagai variable bebas, dan juga mana yang sebagai variable terikat. Hal ini sangat penting untuk dasar
analisa terutama dalam analisa model grafik.
Persamaan regresi linear diturunkan untuk menghitung pasangan data X i dan Yi yang memenuhi
hubungan linear, yaitu :
Y=AX+B
A = Gradien
B
X
- B/A 0
Gradient grafik :
N ∑ ( x i y i) − ∑ x i ∑ y i
A= 2
N ∑ x2 − ( ∑ x i )
N ∑ x i2 ∑ y i −∑ xi ∑ ( x i y i)
A= 2
N ∑ x 2−( ∑ xi )
2
B −N ∑ x i ∑ y i −∑ x i ∑ ( x i y i )
( )
A
=
N ∑ ( x i y i ) −∑ xi ∑ y i
Teori regresi linear dapat dipergunakan untuk menentukan garis lurus terbaik dari sebaran data
pasangan ( xi : yi ) yang secara eksplisit tidak membatasi, apakah pasangan data tersebut betul – betul
nmembentuk garis lurus. Hal ini akan berakibat bahwa pasangan data ( x i ; yi ) sembarang dapat dipilih
garis lurusnya ( artinya teori regresi tetap akan dapat menginformasikan hasil linear ). Inilah yang sering
menimbulkan kesalahan dalam penggunaan analisa data eksperimen.
Untuk itu perlu kehati-hatian ketika rumus – rumus regresi linear akan digunakan untuk analisa
pasangan data hasil eksperimen yang diharapkan akan memberikan hasil linear. ( perlu adanya cek! Data
melalui plot grafik agar dapat terlihat alur data yang memberikan garis linear )
Dengan kecermatan penganalisa data akhirnya dengan mudah pasangan data ( x i ; yi ) mana
yang layak untuk diregresikan, sehingga akan memperoleh hasil analisa yang tepat sesuai teori yang
diharapkan.
Y=AX+B
Memberikan pengertian bahwa apabila dilakukan penggambaran grafik antara besaran ( Y ) dan
besaran variable ( X ) akan memberikan hubungan linear, dengan gradient grafiknya ( A ) dan titik
potong grafik terhadap sumbu-Y adalah ( B ). Nilai besaran gradient ( A ) dan titik potong ( B ) sudah
dijabarkan pada sub bab diatas; namun bagaimana dengan nilai toleransi ( ralat ) dari besaran-besaran
tsb.
Data yang diamati secara berturutan dari Y kita tulis sebagai ( Y i ) dan tentunya hal ini karena
kita menentukan nilai variable bebas yang berturutan juga yaitu ( X i ) sehingga persamaan regresi dapat
ditulis sebgai :
Yi = A Xi + B
Bila pasangan data ( Xi , Yi ) merupakan populasi data yang memenuhi distribusi normal pada statistic,
maka penyimpangan nilai- Y yaitu ( ∆Y ) dapat didekati dengan deviasi ( δ y ) yang dituliskan dengan :
δ yi=¿)
Selanjutnya seperti pada proses penurunan rumus ralat deviasi standar ( S N ) di bab II. diperoleh
pendekatan terbaik untuk nilai (δ yi ) adalah nilai rata-rata kwadratnya yaitu ditulis :
1
δ yi2 =
N ∑ ( Y i− A X i−B )2
Dengan proses penjabaran matematik seperti pada metode penurunan rumus ralat statistic didepan,
untuk persamaan linear persamaan tsb. lebih baik dengan pendekatan ( lihat R. Taylor; chapter:8.3 )
sebagai :
∑ ( δ yi )2
Sy =
√ N−2
; ini merupakan tetapan ( S y )
N
2 1 2
Sy = ∑ ( y i− A X i−B )
N−2 i=1
S A 2 = N S y 2/∆
xi 2
S B2 = S y 2 ∑
∆
2
∆=N ( ∑ x i2 )−( ∑ x i )
Sebagai salah satu contoh kasus sederhana pada fenomena pegas terbebani massa. Data
pengamatan berupa variasi massa beban m dan dicatat panjang pegas berbeban tersebut sebagai lm
dengan dasar teori :, ditunjukkan dalam Tabel I.
l m=l 0 + ( gk ) m
Tabel I:Data Pengamatan Eksperimen Pegas
l 0 = 10 cm
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
m(g) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200
Δl 0.05 0.1 0.2 0.4 0.75 1.13 1.5 1.8 2.0 2.25 2.40 2.70 2.85 3.10 3.25 3.60 3.75 4.10 4.25 4.50
lm ( cm )
15
14
13
12
6
11
5
10
m ( 102 g )
0 0.5 1.0 1.5 2.0
Bila hanya berpedoman teori dan langsung menganalisa pasangan data m ; lm maka tidak dapat
diketahui alur data linear. Kalau hal ini terus dilakukan dengan data rumus regresi untuk mendapatkan
gradient ( g/k )dan titik potong ( l0 ) maka diperoleh :
( g/k ) = 0,03 ± 12 % cm/g
l0 = 9,5 cm
SOAL-SOAL LATIHAN :
1. Gunakan metode “kwadrat terkecil” untuk menemukan garis y = A + Bx ,yang paling memenuhi
untuk titik-titik (Xi , Yi) sebagai :
(1, 12) ; (2, 13); (3, 18); (4, 19)
2. Sebuah kereta, diasumsikan berjalan dengan kecepatan konstan dihitung waktunya pada 4
posisi, dengan hasil :
Jarak ( feet ) 0 3000 6000 9000
Waktu ( detik ) 17,6 40,4 67,7 90,1
Dengan menggunakan metode “kwadrat terkecil” yang memenuhi garis d = d 0 + vt, tentukan
estimasi kecepatan kereta dan ketidakpastiannya ?
3. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran tekanan ( P ) dari suatu gas pada temperatur ( T )
yang berbeda – beda, dengan volume ( V ) tetap. Hasilnya adalah sebagai berikut :
Pi ( mm of mercury ) 79 82 85 88 90
Ti ( ˚C ) 8 17 30 37 52
3 Pemuaian
T = 2π
√
g
L2 = L1 ( 1+ λ ∆ t )
π
L1
L dan T
L2 dan ∆t
g
λ
4 Lensa tipis 1 1 1
= + - s dan s' ƒ
f s s'
5 Tegangan permukaan 2γ
h= ρ dan g r dan h γ
dalam kapiler ρ rg
6 Hukum Coulumb 1 Q1 Q2
F= π, Q 1, Q 2 F dan r ∈0
4 π ∈0 r 2
7 Hukum Richardson J = AT 2 e−Q / kT k J dan T A dan Q
8 Hukum Ampere μ I I L F, L, I 1 I 2 dan
F= 0 1 2 π μ0
2π r r
9 Resonansi listrik 1
ω0 = - ω 0 dan C L
√ LC
10 Rumus impedansi i
2
√
Z= R + 2 2
ωC
- ω dan Z R dan C
4 π2 4 π2
(α) yang memenuhi : tan α = . maka (g = ).
g tan α
6. Buatlah semacam instruksi pendek (secara garis besar saja) bagaimanakah melakukan
percobaan untuk memeriksa hukum Ampere dan rumus impendansi (no.7 dan 10 dalam daftar
di atas).
BAB VII
Suatu pengukuran tidak lepas dengan urusan tentang pengumpulan data pengamatan,
sedangkan bila dalam melakukan pengukuran dilakukan pengulangan-pengulangan akan berakibat
terjadi fluktuasi data. Keadaan ini bila dalam jumlah data yang sangat banyak (tak berhingga) akan
terjadi distribusi data yang akan terbentuk suatu kurva distribusi, di dalam ilmu statistic dikenal berbagai
jenis fungsi dari kurva distribusi, diantaranya : kurva frekuensi ( histogram ); distribusi Gauss; distribusi
ternormalisasi; distribusi Binomial; distribusi Poisson ; dsb.
Dengan mengetahui kurva distribusi data, kita akan dapat menemukan nilai benar dari besaran
yang diamati berulang atau kisaran nilai benar berada pada kurva tersebut. Salah satu kurva distribusi
yang banyak memenuhi data-data fisika adalah kurva distribusi Gauss. Hampir semua pengukuran
besaran fisis memenuhi hokum distribusi gauss, kecuali pengukuran besaran radioaktif yang dilakukan
dengan pencacah Geiger dan Scaler, menggunakan kaidah hokum distribusi Poisson.
Didalam usaha untuk mengetahui nilai benar dari jumlah data yang membentuk suatu distribusi
diperlukan pengolahan yang cermat, langkah-langkah untuk mengolah data yang jumlahnya sangat
banyak diperlukan adanya pengelompokan data yang sesuai, misalnya dikelompokkan dalam selang
tertentu, kemudian dihitung jumlah masing-masing selang dan dihitung frekuensi data pada selang
tersebut, sebagai contoh perhatikan table data berikut :
Bila kita melihat kumpulan data pada table diatas, masih sangat sulit untuk menyimpulkan data
mana yang menjadi wakil untuk dipilih sebagai data terbaik, bahkan mendekati benar. Untuk itu perlu
ada usaha olahan yang lanjut. Misalnya kumpulan data tersebut dikelompokan lagi menjadi selang nilai
tertentu yaitu dalam table frekuensi.
Tabel Frekuensi :
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
48
No Selang data Frekuensi Frekuensi relatif
(X) ( fi) fi
( )
N
1 71 – 80 2 2/100 = 2 %
2 81 – 90 4 4/100 = 4 %
3 91 – 100 21 21/100 = 21 %
4 101 – 110 51 51/100 = 51 %
5 111 – 120 18 18/100 = 18 %
6 121 – 130 4 4/100 = 4 %
∑ f i=100
∑ ( Nf )=1
i
Dengan mencermati pada table frekuensi tersebut; mulai terlihat bahwa nilai benar berada
dalam selang data ( 101 – 110 ) pada selang inilah nilai frekuensi paling besar yaitu f = 51, sedang pada
selang lainnya nilai frekuensi lebih rendah.
Sedangkan pada kolom frekuensi relative juga menyatakan peluang data berada pada selang
tertentu, misalnya peluang untuk mendapatkan nilai data (x) berada dalam selang ( 81 – 90 ) adalah 4 %;
sedangkan data yang berada dalam selang ( 111 – 120 ) adalah 18 %, dan seterusnya.
Cara lain untuk memperjelas analisa data tersebut adalah dengan menggambarkan grafik dari
table frekuensi tersebut. Model tampilan grafik seperti ini yang disebut sebagai Histogram, yaitu grafik
histogram frekuensi-mutlak (histogram-A) dan grafik histogram frekuensi-relatif (histogram-B).
Histogram-A Histogram-B
Pada histogram-A bila data pada grafik ini diperbesar sampai (N) maka nilai frekuensi pada
setiap “tangga” (selang data) akan semakin tinggi, sedangkan pada histogram-B hal ini tidak akan
mempengaruhi karena merupakan frekuensi relative ( selalu dibagi jumlah data). Keadaan seperti
histogram-B ini sangat bermanfaat , apalagi selang data semakin dipersempit dalam jumlah data yang
cukup banyak ,sehingga akan memberikan tampilan “tangga” yang semakin halus.
Bila jumlah data menjadi limit tak hingga maka akan muncul kurva frekuensi-relatif yang kontiyu
dan inilah yang menjadi dasar teori untuk pendekatan dalam pengukuran yang riil.
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
49 f(X)
B
X
Kurva distribusi dengan data ( N → ∞ )
Untuk memperoleh kurva distribusi data (X) sampai jumlah tak terhingga jelas tidak dapat
dicapai secara riil dalam pengukuran, lantas bagaimana cara mendapatkan nilai pengukuran yang
mendekati nilai benar ?
Marilah kita tinjau suatu fungsi distribusi gauss yaitu suatu fungsi teori yang menggambarkan
distribusi data secara rambang ( setiap data memiliki ralat yang kecil, dan jumlah yang banyak ), dan
masing-masing sama besar peluangnya terjadi deviasi positif maupun negative terhadap nilai benar.
−1
Y ( x )=Y 0 exp
{σ 2
( x−x́ )2
}
Bila fungsi tersebut dinormalisasi maka menjadi fungsi Gauss yang ternormalisasi yaitu :
1 −1
f ( x )=
σ √2 π
exp
{
2σ 2
( x−x́ )2
}
+∞
∫ f ( x ) dx=1
−∞
Beberapa aplikasi dari adanya fungsi distribusi gauss tersebut dalam proses analisa data
pengukuran adalah sbb.:
X
Kurva Distribusi Gauss
X
Kurva Distribusi Gauss
3. Bentuk kurva yang mempunyai simetri ,memberikan informasi bahwa suatu pengukuran
berulang data yang paling banyak muncul ( frekuensi besar ) akan mendominasi nilai
terbaik /“benar” ( x́ ) dan berada di sumbu simetri kurva; dan fluktuasi disekitar nilai
terbaik dengan ralat (∆x). Sehingga penyajian hasil pengukuran ditulis sebagai ; x = ( x́ )±
(∆x)
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
51
4. Kurva distribusi Gauss menjadi sangat penting dalam olah data, karena banyak gejala
dan fenomena pengamatan besaran-besaran fisis yang sesuai dengan kaidah ini, artinya
model distribusi data sesuai dengan pendekatan teori gauss.
Setelah didapat pendekatan teori distribusi yang sesuai, misalkan dalam kebanyakan data-data
fisis mayoritas mengikuti aturan Gauss dengan fungsi yang sudah dinormalisasi ke nilai = 1, yaitu bentuk
fungsi nya :
1 −1
f ( x )=
σ √2 π
exp
{
2σ 2
( x−x́ )2
}
Hal ini mempunyai makna statistika bahwa persamaan Gauss dalam bentuk :
1 −1
f ( x ) dx=
σ √2π
exp
2σ{2
( x −x́ )2 dx
}
mengandung arti sebagai peluang (probabilitas) bagi suatu pengukuran untuk menghasilkan suatu nilai
berada antara batas (x) s/d (x+dx). Peluang ini bila dilukiskan pada grafik Gaussian merupakan bagian
luasan dibawah kurva (yang diarsir).
f(X)
X
dx)
Selanjutnya probabilitas bagi suatu pengukuran untuk menghasilkan nilai (x) berada antara batas (x 1) s/d
(x2) ditulis sebagai P(x1;x2):
x2 x2
1 −1
P(x1;x2)=∫ f ( x ) dx=
x 1
∫
σ √2 π x
exp
1
2σ 2 { }
( x−x́ )2 dx
f(X)
Bentuk integral dari P(x;x), yang berhubungan dengan fungsi ralat pengukuran memang sangat sulit
untuk dihitung, kecuali batasnya menjadi takberhingga. Integral ini harus dihitung secara numeric
(pendekatan numeric), yakni integral didekati dengan suatu deret matematik yang konvergen, kemudian
deret ini diintegralkan suku demi suku (perlu ketelitian menghitung), beberapa misal hasilnya seperti
tercantum dalam table probabilitas berikut:
Ini mempunyai arti bahwa ada peluang sebesar 68% untuk sekali pengukuran menghasilkan nilai
yang berada dalam selang antara (xo- σ) s/d (xo +σ); atau dengan kata lain: seandainya besaran (x) diukur
berulang 100x, maka 68 data dari 100 nilai pengukuran tsb. dapat diperkirakan akan berada pada selang
(xo ±σ).
f(X)
f(X)
95%
X
Karena selang batas di sekitar x o bertambah besar maka jaminan untuk melakukan pengukuran
menghasilkan nilai berada pada kisaran itu juga bertambah besar.
X
b
Rumus- rumus Integral fungsi Gaussian :
b x́ b
∫ f ( x ) dx=¿ ∫ f ( x ) dx +∫ f ( x ) dx ¿
a a x́
b x́
Hal ini akan memberikan pendekatan model fungsi lain seperti adanya : “error function” (lihat
pada AppendixA dan Appendix-B; hal 244 s/d 247; John R. Taylor; “An Introduction to Error Analysis”;
University Science Books; Mill Valley, California; 1982.
Berikut hasil scanner (copy) dari buku referensi “John R. Taylor; “An Introduction to Error
Analysis”; University Science Books; Mill Valley, California; 1982.
1. Di bawah ini ditabelkan hasil pungutan 20 butir kelereng dari suatu kotak berisi sejumlah besar
kelereng putih dan merah, masing-masing dalam jumlah yang sama. Pada setiap pungutan
jumlah kelereng MERAH dicatat. Kedua puluh kelereng kemudian dikembalikan sebelum
pungutan berikutnya dilakukan. Setelah diadakan 100 x pungutan, hasilnya seperti tercantum
pada table dibawah ini :
10 10 10 10 10 8 10 10 10 10
11 8 10 8 8 9 10 9 11 10
10 10 11 11 10 11 11 10 10 11
11 10 9 10 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 9 10 11 10 10
10 11 10 10 8 9 11 10 13 10
10 10 9 10 9 11 9 10 12 10
9 13 11 12 9 10 10 7 7 11
10 10 10 8 10 10 10 10 10 10
10 10 10 10 10 9 11 11 12 10
4. Sebuah survey menunjukkan bahwa tinggi pria di negara tertentu adalah terdistribusi normal,
dengan tinggi rata-ratanya h́ = 169 cm dan standar deviasi σ = 2 cm. Di antara 1000 sampel pria
yang diambil secara acak, berapa banyak pria yang memiliki tinggi :
5. Dibawah ini adalah hasil pengukuran dari waktu sebuah batu jatuh dari jendela hingga
menyentuh tanah ( dalam 10-2 detik ) :
63 58 74 78 70 74 75 82 68 69
76 62 72 88 65 81 79 77 66 76
86 72 79 77 60 70 65 69 73 77
72 79 65 66 70 74 84 76 80 69
Suatu pengukuran dikatakan akurat bila hasil pengukuran mempunyai nilai ketidakpastian kecil,
tentunya hal ini sudah dilakukan dengan cara pengukuran yang benar dan metode analisa data yang
cermat. Ketidakpastian ukur atau yang sering kita sebut sebagai ralat tidak pernah dapat dihindari dalam
pengukuran, hal ini disebabkan adanya banyak faktor dalam pengukuran dan faktor satu dengan lainnya
saling berkaitan. Faktor yang satu dikondisi tertentu dapat dilemahkan bahkan dieliminasi tetapi
berdampak faktor yang lain menguat dan sebaliknya. Sehingga di dalam bahasa pengukuran ralat tidak
dapat serta merta dihilangkan tetapi dapat diupayakan untuk diperkecil.
Pengukuran yang dilakukan ber-ulang, merupakan salah satu upaya untuk memperkecil ralat,
semakin banyak pengulangan secara statistic akan menghasilkan nilai terbaik yang ralat nya mengecil.
Namun apabila jumlah pengulangan terbatas, maka perlu diseleksi data per-data apakah ada yang
nilainya menyimpang terhadap data lainnya. Toleransi penyimpangan dapat ditentukan sesuai criteria
data yang diperoleh, juga sifat-sifat data dalam perolehannya ( pengamat sangat mengerti masalah data
yang diamati ).
Banyak model analisa data untuk membatasi toleransi penyimpangan agar dapat menentukan
apakah suatu data diterima atau ditolak, diantaranya :
Untuk memudahkan cara penolakan data akan didefinisikan fungsi error dengan cara
memodifikasi fungsi distribusi Gauss sebagai berikut : ( cermati Appendix-A dan B, pada bab VII )
b b
1 −1
Fungsi Gauss : P(a;b)=∫ f ( x ) dx=
f(X) a
∫
σ √2 π a
exp
{2σ 2 }
( x−x́ )2 dx
P(a;b)
Maka dapat dikatakan bahwa probabilitas pengukuran berada didalam (tσ); t = angka tetapan ,
dituliskan sebagai :
x́ +tσ
1 −1
P(tσ) =
σ √2 π
∫
x́−tσ
exp
{ 2σ 2 }
( x−x́ )2 dx
2
t −z
1 2
P(tσ) = ∫e
√ 2 π −t
dz ; ini merupakan fungsi “error” ditulis sebagai : erf(t)
( x−x́ )
dengan : z =
σ
Fungsi erf(t) secara numeric dapat dihitung dan hasil perhitungan secara lengkap sudah
ditabelkan pada Appendix-A maupun B.
2
t −z
1 2
P(tσ) = ∫e
√ 2 π −t
dz P(tσ)
2
t −z
1 2
Q(tσ) = ∫e
√2 π 0
dz
Q(tσ)
KESIMPULAN
Deretan data pengukuran : x1; x2; x3; x4; x5; x6 … … … xn , mempunyai nilai terbaik yang didekati
dengan nilai rata-ratanya ( x́ ); dan deviasi standar (σ), masing-masing rumusan sbb:
n
∑ xi
1
x́=
n
2
σ =¿Sn-1 =
√ ∑ ( x i – x́)
n−1
Data tersebut setelah dilakukan analisa yang cermat dengan mempertimbangkan hasil akhir
yang ingin lebih teliti lagi, maka perlu ada beberapa nilai x i yang ditolak dengan suatu criteria penolakan.
Setelah dilakukan penolakan kemudian dihitung ulang nilai ( x́ ) dan (σ ) yang baru, langkah ini dapat
memberikan hasil akhir yang lebih baik.
Adapun criteria yang digunakan untuk penolakan ada banyak macamnya, kita sebagai pengamat
dapat memilih dan menentukan model penolakan yang digunakan. Dalam bab ini akan disajikan dua
macam metode penolakan data sbagai berikut :
1. Kriteria (tσ ¿
Dalam criteria ini kita bebas menentukan nilai (t) misalkan kita pilih (t=1) berarti data yang
diterima dalam criteria kita adalah nilai data (x i) yang berada pada kisaran :
( x́−σ ) ≤ x i≤( x́ +σ ) atau probabilitas nilai xi yang ditulis P(xi) ≤P(σ).
Dalam bahasa Penolakan data ,berarti criteria (t) adalah criteria yang akan menolak data
pengukuran (xi) yang mempunyai pbobabilitas pengukurannya P(x i) >P(σ)
KRITERIA ( tσ )
dengan : t = |
( x i−x́ ) |
σ
Untuk: t = 1; P(σ) = 68% ; sedang P(x 3) =P(1,5σ) = 87% jadi data (x3) → DITOLAK
; sedang P(x7) = P(2σ) = 95% jadi data (x7) → DITOLAK
Dengan cara yang lain diperoleh bahwa : x3 = 9 <10 ; dan x7 = 11,5 >11, jadi
semua ditolak.
Untuk : t = 2; P(2σ) = 95% ; maka P(x3) =P(1,5σ) = 87% < P(2σ) ; jadi data( x 3) ini DITERIMA
;sedangkan (x7) dengan P(x7) =95% = P(2σ) ; jadi data ini juga masih diterima.
Bagi pengamat dipebolehkan menentukan batasan criteria yang akan digunakan, hal ini lebih
disesuaikan dengan karakteristik dari data yang ada. Keadaan data, mudah dan sulitnya data
diamati, ketelitian alat, dan sebagainya yang lebih mengetahui adalah pengamat, inilah yang
menjadi bagian dari variable karakter datanya.
2. Kriteria “ Chauvenet “
Pada criteria ini jumlah data merupakan bagian variable yang akan ikut berperan dalam
diterima/ditolaknya data pengamatan. Hal ini karena dasar penolakannya akan dibandingkan
dengan prosentase jumlah data.
Bila ada sederetan data pengukuran : yang jumlahnya (k); kemudian akan dicermati
beberapa data untuk di-cek , misalkan data (x c) akan di-cek; maka data tersebut akan diterima bila
memenuhi P(xc) ≥ (100% - ⅟₂ k) atau Q(x c) ≥ (50%-⅟₄ k). Dengan bahasa penolakan dapat dinyatakan
bahwa (x) ditolak bila [ 100% - P(xc) ] < ⅟₂ k atau [ 50% - Q(xc) ] < ⅟₄ k.
KRITERIA “CHAUVENET”
Misal data pengamatan x 1; x2; x3; x4; dan x5 , akan di-cek data mana yang ditolak dengan criteria
dibawah ini :
( x 1+ x 2 + x3 + x 4 + x 5 )
Tentukan nilai rata-rata : x́= dan ralatnya (σ)
5
Setelah dilakukan cek ternyata data x 3 ditolak, sehingga data tinggal 4 buah (tanpa x3)
( x 1+ x 2 + x 4 + x 5 )
Akhirnya hasil analisanya adalah : x́= dan hitung kembali ralatnya
4
dengan 4 data tersebut.
→Kriteria “Chauvenet” :
Teliti data tersebut , tentukan data yang akan di-cek (x c) yaitu data yang terbesar dan
data terkecil. Misalnya x1 (data terbesar) dan x3 (data terkecil)
Cek data tersebut dengan criteria chauvenet, apabila ternyata ada salah satu yang
ditolak ( misal x1) maka data yang baru tinggal 4 buah tanpa x1.
Lakukan analisa ulang tanpa (x1) dan cek lagi data xc yang baru seperti langkan yll.
Kalau dengan xc yang besar diterima, maka cek xc yang kecil, bila juga diterima maka
berarti ke 4 data tersebut diterima dalam criteria
Akhirnya selesai analisa anda dan simpulkan hasil akhir yaitu : hitung nilai rata-rata
tebaru juga ralatnya.
Deretan data : 46, 48, 44, 38, 45, 47, 58, 44, 45, 43
1
1. Dihitung x́=45,8 dan σ x =5,1 ; k=10 jadi ( =0,05 atau 5 %); akan dicek xc = 58(data
2k
( x c −x́ ) 58−45,8
terbesar) , nilai t= = =2,4 ; berarti P(2,4σ) =98,4% ; sehingga nilai syarat
σx 5,1
chauvenet yaitu :
1
[100%-P(2,4σ)] = 100% - 98,4% = 1,6% dan ini lebih kecil dari nilai ( =0,05 atau 5 %);
2k
kesimpulan bahwa data xc = 58 (DITOLAK)
2. Lakukan langkah sama dengan (1) untuk cek data x c=38; P(tσ)= 86,64% ternyata dengan
probabilitas itu data x=38 diteima ( silahkan coba !)
1
3. Data tinggal k=9 (tanpa data 58) nilai ( =0,0555 atau 5,6 % ); dihitung ulang nilai rata-ratanya
2k
44,4−38
x́=44,4 dan σ x =2,9 ; cek data xc =38 dan t= = 2,2; beraarti P(tσ) = 97,2%; sehingga
2,9
nilai syarat chauvenet :
[100%-P(2,2σ)] = 100% - 97,2% =2,8 % ini lebih kecil dari 5,6% sehingga data x c=38 (DITOLAK
pada langkah ke-3 ini)
SOAL-SOAL LATIHAN :
1. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran panas ( Q ) yang dilepaskan oleh suatu proses
tertentu sebanyak 50 kali. Nilai rata-rata dan standar deviasi yang didapatkan adalah Q́ = 4,8
dan σQ = 0,4 ( semua dalam kalori ).
a. Dengan asumsi hasil pengukuran adalah terdistribusi normal, cari probabilitas hasil
pengukuran akan berada dalam ¿ ± 0,8) ?, ada berapa pengukuran yang diperkirakan
akan memiliki nilai seperti itu ?
b. Apabila salah satu pengukurannya memiliki hasil : Q́=¿6,0 kal ;apakah hasil tersebut
akan ditolak ?
2. Seorang mahasiswa mengukur tegangan ( V ) tertentu sebanyak 10 kali, dengan hasil sebagai
berikut ( dalam volt ) :
0,86 ; 0,83 ; 0,87 ; 0,84 ; 0,82 ; 0,95 ; 0,83 ; 0,85 ; 0,89 ; 0,88
a. Hitunglah nilai rata-rata dan standar deviasinya ?
b. Apabila mahasiswa tersebut menggunakan kriteria Chauvenet, apakah dia harus
menolak sebuah pengukuran yang nilainya 0,95 ? jelaskan !
3. Seorang mahasiswa melakukan pengukuran terhadap periode oscillator sebanyak 14 kali dengan
hasil sebagai berikut ( dalam unit 10-1 detik ) :
7, 3, 9, 3, 6, 9, 8, 7, 8, 12, 5, 9, 9, 3
Mahasiswa tersebut merasa nilai 12 dalam pengukuran tersebut terlalu tinggi, dengan
menggunakan kriteria Chauvenet. Apakah hasil tersebut tertolak ? jelaskan !
Di dalam eksperimen, metode pengukuran, analisa data, merupakan persoalan yang sangat
penting untuk dikuasai oleh para pelaku penelitian. Ketepatan, kecermatan dalam pengukuran harus
dapat dicapai dengan baik agar memperoleh hasil penelitian dengan tingkat kevalitan tinggi.
Banyak persoalan yang muncul dalam penelitian, diantaranya para peneliti kadang hanya
menguasai teori tapi tidak faham tentang metode pengukurannya, atau mengerti metode ukurnya tapi
tidak cermat dalam hal anlisa datanya, ini semua akan sangat besar pengaruhnya dalam hasil penelitian
yang dilakukan, yang dapat menyebabkan tidak valid bahkan salah hasilnya.
Sering kita jumpai di lapangan, karena tidak faham tentang metode pengukuran, ketika
melakukan pengukuran hasilnya tidak sesuai dengan harapan teori, maka langsung menyalahkan alat
ukurnya pada hal alat ukurnya tidak ada masalah. Hal ini merupakan tindakan yang salah bagi dan
ceroboh, mestinya harus dicermati se-berapa toleransi pengukuran dengan alat tersebut, sehingga
ketika terlalu jauh maka kita bisa mengganti alat lain yang toleransi ukurnya lebih teliti. Persoalan-
persoalan semacam ini banyak kita jumpai dalam penelitan yang pelaku peneliti tidak menguasai
metode pengukuran dan analisa data.
Masalah yang lain, sering kita menganggap metode ukur yang kita lakukan sudah sangat hebat,
teliti, tanpa punya keinginan membandingkan hasil kita dengan yang dilakukan oleh orang lain, atau
hasil kita perlu dicek dengan metode yang lain sebagai penbanding sekaligus untuk menguji validitas
hasil pengukuran kita. Mestinya ini harus dilakukan pada setiap penelitian bila mungkin, karena hasil
pengamatan dengan banyak metode ukur akan memberikan kesimpulan yang nilai validitasnya tinggi
dari pada hanya satu metode ukur tanpa ada pembanding.
Adapun suatu metode ukur dapat saling dibandingkan hasilnya satu dengan lainnya, tentu harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
Metode berbobot merupakan metode analisa data pengamatan yang dapat mengkompromikan
/mengkombinasikan dua atau lebih hasil pengamatan terhadap satu besaran fisis, dengan metode
pengamatan yang berbeda dan saling independen. Dengan metode ini, dapat ditentukan hasil
pedekatan terbaik yang merupakan kompromi dari beberapa hasil metode pengamatan yang saling
independen dengan memberikan nilai rata-rata berbobot dari pengukuran-pengukuran tersebut.
Rata-rata berbobot merupakan nilai terbaik hasil kombinasi dari berbagai nilai yang dihasilkan
dengan metode pengamatan yang berbeda terhadap satu besaran fisis yang diamati.
Misalkan : Suatu besaran fisis (X) diamati dengan dua metode yang berbeda dan saling bebas, dengan
hasil akhir masing-masing :
Metode I : XI = xI ± σI
Nilai akhir besaran fisis (X) dapat dihitung dari dua hasil diatas dengan menghitung nilai terbaiknya yang
merupakan kombinasi dari XI dan XII , apabila dipenuhi syarat kesesuaian antara dua nilai tersebut.
Adapun syarat kesesuaian akan dibahas pada uraian di sub bab berikut.
Hasil akhir suatu pegukuran disajikan dalam bentuk X = x ± σ x , x = merupakan nilai terbaik, yang
merupakan nilai rata-rata pengukuran ber-ulang, σ x = deviasi standar dari pengukuran ber-ulang. Bila
suatu besaran fisis (X) diamati dengan lebih dari satu metode pengamatan yang saling independen satu
dengan lainnya, maka kemungkinan nilai hasil pengamatan yang satu saling berbeda. Hal ini perlu ada
peninjauan apakah perbedaan hasil tersebut masih dalam toleransi , ada kesesuaian diantaranya atau
sama sekali berbeda nilainya (tidak ada kesesuaian). Untuk memdapatkan nilai terbaik dari kedua
metode yang dibandingakan, perlu ditinjau dahulu “Beda Nilai (BN)” atau istilah lain “Diskrepansi” dari X I
dan XII , ditulis :
Syarat kesesuaian antara dua nilai ditentukan oleh BN, yaitu dua nilai ukur dikatakan saling ada
kesesuaian apabila dipenuhi :
BN < ( σI + σII )
Hasil yang memenuhi persamaan diatas, menunjukkan bahwa nilai besaran X yang dihasilkan
oleh metode I bersesuaian dengan metode II, dan saling konsisten; artinya kedua hasil dapat
diperhitungkan atau dikompromikan untuk memperoleh nilai terbaik dari X dengan metode berbobot.
Sebaliknya dua nilai tidak saling sesuai atau berbeda sama sekali bila dipenuhi,
BN > ( σI + σII )
Hasil yang memenuhi persamaan itu, menunjukkan bahwa nilai besaran X yang dihasilkan oleh
metode I berbeda dengan metode II. Hal ini menunjukkan bahwa kedua nilai tersebut saling tidak
konsisten, artinya kemungkinan ada salah satu metode yang salah (menyimpang), atau bahkan dua –
duanya menyimpang, sehingga perlu pengujian lebih lanjut tentang masing-masing metode.
Dalam bab ini dapat diambil kesimpulan bahwa, nilai nilai hasil pengukuran dengan berbagai
metode yang ditinjau bila telah ada kesesuaian antara satu dengan lainnya maka analisa berikut
dilakukan perhitungan rata-rata berbobot sebagai hasil terbaik yang mengkombinasikan diantara nilai
niai yang sudah saling sesuai. Sedangkan bila diantara nilai nilai yang dibandingkan ternyata berbeda
( tidak sesuai satu dengan lainnya), maka perlu diulangi metode pengukurannya dengan hati-hati. Hal ini
dapat salah satu metode atau dua-duanya metode yang dipertentangkan, sehingga dapat diketahui
dengan jelas mana metode yang menyimpang. Bila hal itu (pengulangan eksperimen) tidak mungkin
dapat dilakukan lagi, maka perlu dicari pembanding ke tiga (misalkan adanya hasil referensi).
Suatu pengukuran yang diulang sampai N kali dengan terpenuhi distribusi induk Gaussian dengan
fungsi :
1
f(xi) f(x) = Exp – [(x-µ)2/2σ2]
σ √2 π
σx
1
Pi = Exp –[(xi-µ)2/2σi2]
σi √ 2 π
Dalam penggunaan pada pengukuran data , nilai µ didekati dengan nilai terbaik dari pengukuran yaitu
nilai rata-rata data pengukuran dan nilai σ merupakan nilai deviasi pengukuran ( deviasi standar ).
Sehingga persamaan di atas dituliskan :
1
Pi = Exp –[(xi-X)2/2σi2]
σi √ 2 π
Marilah kita tinjau persoalan ini dengan pendekatan yang sederhana, misal dua pengukuran yang sudah
memenuhi syarat kesesuaian dengan masing-masing hasil seperti pada persamaan (1), dengan indeks (I)
diganti (A) dan indeks (II) diganti (B); kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur x A berada dalam
distribusi induk Gaussian adalah :
1
PA = Exp –[(xA-X)2/2σA2]
σA √ 2 π
Sedangkan kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur x B berada dalam distribusi induk Gaussian
adalah :
1
PB = Exp –[(xB-X)2/2σB2]
σ B √2π
Kebolehjadian untuk memperoleh hasil ukur set data x A dan xB dalam distribusi induk Gaussian dapat
dituliskan sebagai :
PAB = PA PB
1
PAB = Exp – ½ [{(xA-X)/σA}2+{(xB-X)/σB}2]
σA σ B 2 π
Nilai kebolehjadian PAB akan maximum apabila nilai eksponen yaitu χ 2 menjadi minimum, hal ini dapat
dipenuhi dengan syarat minimum adalah deferensial terhadap X sama dengan nol.
(d χ2/dX) = 0
Persamaan tersebut, disebut sebagai nilai rata-rata berbobot dari hasil kompromi dari nilai x A dan nilai xB
yang sudah saling sesuai satu sama lain. Dengan factor bobot untuk masing-masing pengukuran adalah
wA untuk pengukuran xA dan wB untuk pengukuran xB, ditulis sebagai :
X = (wAxA+wBxB) (wA+wB)-1
Bila ralat dari masing-masing pengamatan sama besar, akibatnya faktor bobot kedua
pengukuran bernilai sama; hal ini akan memberikan arti bahwa nilai rata-rata berbobot pada persamaan
diatas seperti nilai rata-rata dari kedua nilai x A dan xB ditulis :
X = ( xA + xB )/2
pengukuran satu dengan lainnya memberikan ralat yang saling tidak gayut (saling bebas). Perambatan
dari persamaan (17) memberikan :
Secara umum untuk hasil pengukuran besaran fisis dengan berbagai metode ukur, dan telah
memenuhi criteria kesesuaian satu dengan lainya dengan hasil masing-masing : x 1 ; x2 ; x3 ; . . . . . . x N,
akan mempunyai nilai rata-rata berbobot sebagai :
Xb = ∑ wi xi / ∑ wi dengan wi = 1/σi2
σx = ( ∑ wi )-1/2
Persamaan (20) juga memberikan nilai rata-rata biasa apabila dalam set pengukuran mempunyai ralat
sama, misal pengukuran xi mempunyai ralat sebesar σi , nilai rata-rata menjadi :
Pengukuran besaran fisis sering diamati dengan lebih dari satu metode ukur, kadang-kadang
hasil yang diperoleh metode satu dengan lainnya berbeda sehingga terjadi kesulitan mana metode yang
benar dan yang salah. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan cara menseleksi antara metode-
metode tersebut dengan cara membandingkan satu dengan lainnya. Hasil dari perbandingan akan dapat
menyimpulkan mana metode yang menyimpang dan yang saling sesuai, lebih lanjut persoalan ini akan
diselesaikan dengan metode berbobot untuk memperoleh hasil tunggal dari besaran fisis yang diamati.
Adapun langkah-langkah yang perlu dalam penggunaan metode berbobot sebagai berikut :
1. Membandingkan nilai dari beberapa metode, dengan cara meninjau diskrepansi antara nilai
metode satu dengan lainnya.
2. Dari langkah pertama, akan dapat dihasilkan metode-metode ukur yang saling sesuai dan
metode-metode ukur yang menyimpang.
3. Hasil-hasil dari metode yang saling sesuai dianalisa dengan metode berbobot, sedang yang
menyimpang perlu dilakukan kajian ulang tentang metode yang digunakan (perlu dicermati
kembali)
4. Dengan menggunakan rumus-rumus berbobot, diperoleh msing-masing nilai rata-rata berbobot
besaran fisis yang diamati dan ralat pengukuran berbobotnya.
5. Hasil yang didapat dengan analisa berbobot akan mempunyai nilai dengan tingkat validitas
tinggi, karena nilai ini merupakan kombinasi dari beberapa nilai dengan metode pengukuran
yang saling independen, dan masing-masing metode sudah terseleksi sehingga mempunyai nilai
yang saling ada kesesuaian secara ilmiah.
Akhirnya dengan menggunakan metode analisa berbobot, tidak akan ada yang menyatakan
metode yang paling benar, paling baik, merasa tidak tertandingi dengan lainnya , bahkan malah
sebaliknya harus mencari pembanding dengan hasil yang dilakukan lainnya untuk menguji
validitas hasil yang diperoleh. Semakin banyak pembanding, akan semakin meningkatkan
validitas hasil dari metode yang digunakan dalam pengamatan.
Contoh Membandingkan Metode : disini kita akan bandingkan beberapa topic eksperimen yang
masing-masing topic menggunakan lebih dari satu metode pengukuran.
TABEL : 1
Nilai hasil pengamatan eksperimen-A pada metode-4 menunjukan bahwa nilai tersebut tidak
ada kesesuaian dengan nilai pada metode-metode lainnya, sehingga tidak ditampilkan pada grafik. Nilai-
nilai pada metode-1, metode-2, dan metode-3 terdapat saling sesuai antara satu dengan lainnya.
9,75 ± 0,05
9,6 ± 0,15
9,9 ± 0,2
Eksperimen-B
Ketiga metode yang dihasilkan dari pengamatan eksperimen-B, menunjukkan adanya kesesuaian antara
nilai satu dengan lainnya. Hal ini ditunjukkan pada gambar grafik dibawah ini,
140±5
150±15
130±15 15 15 15
Eksperimen-C
Ketiga metode yang dihasilkan dari pengamatan eksperimen-C menunjukkan hasil yang saling ada
kesesuaian satu dengan lainnya, seperti ditunjukkan gambar grafik di bawah ini,
575 ± 5
560±15 15115
Ketiga metode yang dihasilkan dalam pengamatan eksperimen-D, mempunyai nilai-nilai yang saling
bersesuaian satu dengan lainnya. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut :
0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3
Skala :
Cp
1.0 + 0.1
0.85+ 0.15
1.1 ± 0.1
Perhitungan nilai berbobot untuk masing-masing metode pengukuran diperoleh hasil yang
dituliskan pada table-2 sebagai berikut :
SOAL-SOAL LATIHAN :
1. Pengukuran kecepatan suara ( ϑ ) memberikan hasil : (334 ± 1) m/s dan (336 ± 2) m/s.
a. Apakah kedua hasil tersebut konsisten ?
b. Hitunglah nilai estimasi terbaik untuk (ϑ ¿ dan ketidakpastiannya ?
2. Dua orang mahasiswa melakukan pengukuran hambatan dengan menggunakan metode yang
berbeda. Setiap mahasiswa melakukan 10 kali pengukuran dan menghitung nilai rata-rata dan
standar deviasinya dengan hasil sebagai berikut :
Mahasiswa A : R = (72 ± 8) ohm
Mahasiswa B : R = (78 ± 5) ohm
a. Berapakah nilai estimasi terbaik untuk R dan ketidakpastiannya ?
b. Berapa kalikah mahasiswa A harus melakukan pengukuran untuk memberikan hasil yang
sama dengan B ?
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
75
3. Tentukan nilai estimasi terbaik dan ketidakpastiannya berdasarkan hasil ke-4 pengukuran
berikut ini :
(1,4 ± 0,5) ; (1,2 ± 0,2); (1,0 ± 0,25); (1,3 ± 0,2)
BAB X
LAPORAN EKSPERIMEN
Bab ini membicarakan beberapa hal yang penting bagi pembuatan laporan suatu eksperimen.
Apakah tujuan suatu laporan? Tujuannya tidak lain ialah meneruskan hasil yang diperoleh dari
eksperimen kepada dunia luar. Maka persyaratan utama ialah laporan itu harus jelas, maksudnya, tujuan
cara mengukur, pengumpulan dan pengolahan data, serta penghitungan dan penyajian hasil percobaan
haruslah disusun dan ditulis sedemikian rupa hingga menjadi jelas bagi setiap orang yang membacanya.
Kalau ini tidak tercapai hingga orang malah bingung setelah membaca laporan, dapat dikatakan laporan
tersebut merupakan kegagalan besar (meskipun eksperimennya sendiri mungkin saja tidak). Gaya
penuturan yang menarik sangatlah penting, hal ini berlaku juga dalam laporan yang bersifat ilmiah dan
teknik seperti laporan penelitian.
Laporan jangan terlalu panjang, model penulisannya yang singkat dan jelas, jangan bertele-tele
karena hal ini hanya akan menjengkelkan pembaca. Panjangnya laporan disesuaikan dengan isi
eksperimen yang dilakukan; mungkin panjang dikarenakan banyaknya sampel pengamatan yang harus
dibahas, atau juga kedalaman dalam pembahasan.
Adakah suatu bentuk yang terbaik untuk laporan? Pertanyaan ini sukar dijawab, selera orang
berlainan. Pada setiap taraf penulisan laporan, kita haruslah bertanya pada diri kita sendiri: apakah
Hypotesis :
Hypotesis merupakan dugaan secara ilmiah berdasarkan gejala-gejala yang dapat teramati, dan
kebenarannya baru akan terungkap bila hasil analisa data pengamatan menunjukkan adanya kecocokan.
Hypotesis dapat berupa ramalan hubungan fungsi matematik yang menghubungkan besaran fisis satu
dengan lainnya, juga dapat berupa “statemen” yaitu kalimat yang menjelaskan sesuatu yang ilmiah dan
berlandasan hukum ilmu pengetahuan yang jelas.
f =Lw d x ρ y T z . . .
PERALATAN
DIDISKRIPSIKAN DENGAN RINCI PERALATAN YANG
UTAMA DIGUNAKAN ( TUNJUKKAN SPESIFIKASI ALAT
DENGAN JELAS )
GAMBARKAN SUSUNAN / RANGKAIAN ALAT SECARA
KOMPLIT DAN JELAS , DAN TERANGKAN CARA KERJA
BAHAN AJAR MPF-S1; Sunarta.
79 MASING-MASING ALAT DALAM SUSUNAN TSB.
FOTO ALAT SEBAGAI PELENGKAP KETERANGAN.
Metode Pengamatan :
Suatu langkah-langkah yang menjelaskan secara urut mengenai tata cara untuk memperoleh
data pengamatan. Hal ini harus diuraikan dengan rinci dan berurutan, apalagi mengenahi persoalan
angka yang harus dicermati dalam pengukurannya. Kadang perlu kata perhatian misalnya : tunggu 5
menit kemudian campurkan bahan berikut ………; dsb.
Kesimpulan :
Dalam kesimpulan mengandung beberaka keterangan yang isinya :
1. Apakah hasil eksperimen anda sudah dapat mencapai tujuan .
2. Tunjukkan hasil anda dan berapa ketelitian yang anda capai ?
3. Tunjukkan keunggulan dan kekurangan yang anda capai
4. Bandingkan dengan nilai referensi ( bila ada ); dan berikan keterangan bila terjadi
diskripansi yang besar.
Saran-saran :
Dalam hali ni tanggapilah hasil anda secara detail. Misalnya dapat dikemukakan saran
memperbaiki eksperimen, baik mengenai metoda ukuran, maupun peralatan yang dipakai. Atau kita
dapat menyarankan pengukuran atau eksperimen berikutnya yang diadakan sebagai tindak lanjut.
Buatlah tulisan ilmiah yang susunannya sesuai dengan keterangan diatas berupa :
1. Laporan eksperimen ( judul bebas)
2. Makalah ilmiah ( judul bebas)