Anda di halaman 1dari 81

JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(Analisis Terhadap Pendapat Fuqahā’ Syāfi’iyyah dan
Korelasinya dengan Hadis Riwayat Jābir(

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah

Nama : Muhammad Iqbal

NIM : 09110006

Prodi : Ahwal Al-Syakhshiyyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH


MESJID RAYA SAMALANGA KAB. BIREUEN
1434 H / 2013 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI . ................................................................................................... i

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................. 1


A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
D. Kegunaan Hasil Penelitian ..................................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................................................. 7
1. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 8
2. Sumber Data .................................................................................... 9
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 10
4. Teknik Analisa Data ........................................................................ 10
5. Keabsahan Data .............................................................................. 11
6. Teknik Penulisan ............................................................................. 13
7. Jadwal Penelitian ............................................................................ 13

BAB II: TINJAUAN KEPUSTAKAAN ........................................................... 14


A. Hasil Penelitian Yang Relevan ........................................................... 14
B. Shalat Tarawih dan Permasalahannya ................................................. 16
1. Tipologi Kesunahan Shalat Tarawih……………………………….. 18
a. Landasan Hukum Shalat Tarawih……………………………... 18
b. Kelebihan Shalat Tarawih……………………………………... 19
c. Metode Pelaksanaan Shalat Tarawih…………………………... 21
2. Sejarah Pelaksanaan tarawih……………………………………….. 24
3. Jumlah Rakaat Tarawih Dalam Lintas Mazhab Fikih……………… 30
C. Metode Istinbāth Hukum Mazhab Syāfi’ī……………………………. 34

BAB III: JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH DALAM PERSPEKTIF


FIQH SYĀFI’ĪYYAH DAN HADIS RIWAYAT JĀBIR…..……… 37
A. Jumlah Rakaat Tarawih Menurut Fuqahā’ Syāfi’īyyah……………….. 37
1. Dasar Hukum dan Metode Istinbāth Fuqahā’ Syāfi’iyyah
Mengenai Jumlah Rakaat Tarawih…………………………………. 42
2. Pandangan Fuqahā’ Syāfi’iyyah Terhadap Amalan Orang
Madinah……………………………………………………………. 47
B. Kandungan Hadis Riwayat Jābir Tentang Jumlah Rakaat Tarawih…… 51
1. Kedudukan Hadis Riwayat Jābir Dalam Perspektif Ilmu Hadis…… 54
2. Dalil Pendukung Hadis Riwayat Jābir……………………………... 61
C. Korelasi Pendapat Fuqahā’ Syāfi’īyyah dengan Hadis Riwayat
Jābir Tentang Jumlah Rakaat Tarawih………………………………… 65
D. Analisa Penulis…………………………………………………………. 68

BAB IV: PENUTUP…………………………………………………………… 75


A. Kesimpulan………………………………………………….………. 75
B. Saran-Saran…………………………………………………………….. 76

i
ABSTRAK

Institusi : STAI AL-Aziziyah Samalanga Kabupaten Bireuen


Nama/Nim : Muhammad Iqbal / 09110006
Jurusan : Syari’ah
Judul : JUMLAH RAKAAT TARAWIH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM (Studi Analisis Terhadap Pendapat
Fuqahā’ Syāfi’iyyah dan Korelasinya dengan Hadis Riwayat
Jabir)
Pembimbing : 1. Tgk. H. Helmi Imran, S. HI, M.A.
2. Tgk. Mursal, S. HI.
Tahun Lulus : 2013

Shalat tarawih merupakan ibadah sunat yang Allah syariatkan pada bulan
Ramadhan. Umat Islam di seluruh belahan dunia melakukan shalat ini dengan penuh
antusias. Namun mereka berbeda pandangan mengenai metode pelaksanaannya,
khususnya mengenai jumlah rakaat. Umat Islam Indonesia yang mayoritasnya
mengikuti mazhab Syāfi’ī pada umumnya melakukan tarawih dua puluh rakaat,
namun pendapat ini sering dibenturkan dengan hadis riwayat Jābir yang secara zahir
saling kontradiktif. Hal ini membuat penulis tertarik untuk menemukan sebuah
jawaban bagaimana sebenarnya pandangan Fuqahā’ Syafi’iyyah terhadap hadis ini.
Sebagai rumusan masalah, penulis memkonsentrasikan penelitian ini untuk meneliti
tentang landasan hukum dan metode istinbāth Fuqahā’ Syafi’iyyah dalam
menetapkan jumlah rakaat tarawih, kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad
dan matn-nya serta korelasi di antara hadis tersebut dengan pendapat Fuqahā’
Syafi’iyyah. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap berapa hal
yang menjadi rumusan masalah tersebut. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan data bersifat kepustakaan
(library research) yaitu dengan metode dokumentasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Fuqahā’ Syāfi’iyyah telah sepakat menetapkan shalat tarawih
berjumlah dua puluh rakaat dengan berpegang kepada hadis mauqūf yang
meriwayatkan perbuatan Ubay ibn Ka’ab. Hadis ini dari segi hujjiyyah-nya setingkat
dengan hadis marfū’ karena tidak berhubungan dengan masalah ijtihādiyyah. Dalam
ber-istinbāth pada hadis tersebut, Fuqahā’ Syafi’iyyah menerapkan metode lafzhi
yaitu dengan memperhatikan lafaz nash yang mendapat kepastian makna. Di
samping itu, tarawih dua puluh rakaat telah menjadi ijmā’ (konsensus) Sahabat Nabi
serta pendapat mayoritas Imam Mujtahid. Hadis Jabir yang secara jelas menyebutkan
bilangan tarawih delapan rakaat diperselisihkan oleh Ulama tentang kesahihannya
karena terdapat perawi bernama Isa ibn Jāriyah. Adapun hadis ‘Aisyah tidak tepat
untuk dijadikan syāhid (pendukung) untuk men-taẖsīn-kan hadis Jabir dalam konteks
penetapan jumlah rakaat shalat tarawih karena merupakan dalil shalat witir. Hadis ini
hanya dapat dijadikan sebagai hujjah mengenai kesunahan jamaah karena didukung
oleh hadis sahih yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Adapun mengenai jumlah rakaat,
hadis ini harus digugurkan dalam hal istidlāl karena terdapat beberapa kemungkinan
yang menyebabkannya masuk dalam kategori mujmal.

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakangMasalah

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan. Allah

menempatkan bulan ini sebagai bulan yang paling istimewa dibandingkan dengan

bulan lainnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk

menyambut bulan ini dengan rasa gembira dan penuh suka cita, sehingga mereka

akan dibebaskan dari api neraka. Rasulullah SAW bersabda :

1
‫من فرح بدخول رمضان حرم هللا جسده على الن ريان‬
Artinya : “Barang siapa yang merasa senang dengan masuknya bulan Ramadhan,

Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.”

Bulan Ramadhan seharusnya menjadi kesempatan yang besar bagi umat

Islam untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amal sehingga di akhir

bulan ini mereka akan diberikan derajat taqwa. Rasulullah sangat mendorong dan

menganjurkan kita agar beribadat serta mendirikan malam pada bulan yang mulia ini.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhārī, Rasulullah bersabda :

2
)‫البخاري‬ ‫من قام رمضان امياان واحتساابغفر له ما تقدم من ذنبه (رواه‬

Artinya : “Barang siapa yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan

keikhlasan, diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR.

Bukhārī)

1
Usman Al-Khaibawī, Durrat al-Nāshiḫīn, (Semarang: Al-Munawar, t.t), h. 27.
2
Al-Bukhārī, Muhammad ibn Isma’īl, Sẖaẖīẖ al-Bukhārī, Jld II,(Kairo: Dār al- Ḫadīts,
2004), h. 62.

1
2

Keistimewaan bulan Ramadhan dapat dibuktikan dengan adanya kelebihan-

kelebihan yang tidak diperdapatkan pada bulan lainnya. Hal ini seperti terdapatnya

malam lailat al-qadr dan penggandaan pahala. Pada bulan ini Allah juga membuka

pintu langit, menutup pintu neraka, dan para syaithan akan dibelenggu. Hal ini sesuai

dengan sabda Rasulullah SAW :

‫اذا دخل شهر رمضان فتحت ابواب السماء وغلقت ابواب جهنم وسلسلت الشيطان‬

3
)‫(رواه البخاري‬
Artinya : “Apabila telah masuk bulan Ramahan, pintu langit akan dibuka, neraka

Jahannam dikunci, dan syaithan dibelenggu.” (HR. Bukhārī)

Pada bulan Ramadhan Allah SWT mewajibkan kita untuk berpuasa. Melalui

ibadah puasa diharapkan umat Islam akan terlatih untuk melawan hawa nafsu dan

akhirnya akan ditinggikan derajat dengan memperoleh titel taqwā. Dalam surat Al-

Baqarah ayat 183 Allah berfirman :

‫ايايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة‬

)١٨٣ :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,

sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

(Q.S. Al-Baqarah : 183)4

Di samping pensyariatan puasa, Allah juga mensyariatkan ibadah-ibadah

sunat seperti i’tikāf dan tarawih. Ibadah shalat tarawih adalah ibadah sunat yang

3
Al-Bukhārī, Sẖaẖīẖ al-Bukhārī, Jld II..., h.37.
4
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahannya, Ed. revisi, (Surabaya: Darussunnah,
2011), h. 28.
3

disyariaatkan untuk dikerjakan pada malam hari setelah pelaksanaan shalat isya

untuk menghidupkan malam-malam pada bulan Ramadhan. Namun demikian, umat

Islam berbeda pendapat mengenai metode pelaksanaan dan jumlah rakaatnya.

Permasalahan jumlah rakaat tarawih merupakan permasalahan yang selalu

menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia.

Perbedaan pendapat ini semakin mengemuka seiring lahirnya organisasi

Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20.

Organisasi ini mengusung ide pembaharuan dan memberantas perbuatan-perbuatan

yang mereka anggap bid’ah. Tidak sedikit ibadah-ibadah ataupun tradisi yang telah

berlangsung lama di kalangan masyarakat ditentang oleh gerakan ini. Salah satu dari

perbuatan bid’ah dalam pandangan mereka adalah pelaksanaan tarawih sejumlah 20

rakaat, karena hal ini tidak sesuai dengan pelaksanaan tarawih yang dilakukan pada

masa Nabi.

Pada saat itu, umat Islam di Indonesia sudah terlihat semakin terpecah belah

dalam hal pelaksanaan tarawih di antara 20 rakaat dan 8 rakaat dengan 2 rakaat

sekali salam dan ada juga yang 4 rakaat sekali salam. Sebagian umat Islam di

Indonesia masih mempertahankan metode pelaksanaan tarawih sebanyak 20 rakaat

seperti yang telah dipraktekan oleh para pendahulunya sebagai ulama yang

membawa Islam ke Indonesia dengan mazhab Syāfi’ī. Namun tidak jarang juga ada

sebagian dari mereka yang mulai meninggalkan tradisi lamanya dan mengikuti fatwa

dari organisasi yang dipimpin K.H. Ahmad Dahlan tersebut. Sementara pendapat

tarawih 20 rakaat juga menjadi pandangan ormas Muslim lainnya seperti Nahdhatul

Ulama.
4

Perbedaan pendapat dua organisasi besar ini telah menggiring masyarakat

Indonesia yang notabenenya masih didominasi oleh kalangan awam kepada sebuah

dilema dan kebingungan. Umat Islam Indonesia yang mayoritasnya bermazhab

syāfi’ī mulai bimbang dan ragu terhadap pelaksanaan tarawih yang harus mereka

lakukan. Di satu sisi, keterbatasan pengetahuan dan keilmuan mereka mengharuskan

mereka untuk ber-taqlīd dan mengikuti Imam Mujtahid yang dalam hal ini adalah

Imam Syāfi’ī. Namun di sisi yang lain mereka juga takut akan jatuh dalam sebuah

perkara bid’ah sebagimana yang difatwakan oleh sebagian kalangan. Oleh karena itu,

kejelasan hukum mengenai jumlah rakaat tarawih, khususnya dalam mazhab Syāfi’ī

sangat dibutuhkan.

Ibadah shalat tarawih merupakan suatu ibadah yang menempati posisi dan

kedudukan yang tinggi dalam hati kaum muslimin. Hal ini dapat ditandai dengan

penuhnya mesjid, meunasah, surau, dan tempat-tempat lainnya di mana terdapat

pelaksanaan shalat tarawih. Bahkan, antusiame umat Islam dalam hal pelaksanaan

shalat tarawih membuat tempat ibadah menjadi penuh dan melebihi jumlah jamaah

pada waktu lainnya. Oleh karena itu, permasalahan tarawih tidak boleh dianggap

sepele meskipun hukumnya bukan wajib.

Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, ternyata

permasalahan rakaat tarawih tidak hanya berputar pada masalah ‘amāliyyah, namun

hal ini juga memiliki dampak sosial yang sangat besar dalam kehidupan

bermasyarakat. Perbedaan ini juga tidak jarang akan memunculkan permusuhan dan

putusnya tali silaturrahmi di kalangan umat Islam. Apalagi, perbedaan ini juga

menyangkut vonis bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kalangan terhadap kelompok
5

lainnya. Pernyataan ini jelas akan dapat memancing amarah bagi mereka-mereka

yang tidak menerimanya.

Pada umumnya, masyarakat Indonesia dalam konteks fiqh ber-taqlīd kepada

pendapat Imam Syāfi’ī. Para Fuqahā’ Syāfi’iyyah nampaknya telah sepakat bahwa

shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam. Namun pendapat ini

sering dibenturkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jābir, dimana secara

zhāhir hadis ini menunjukkan bahwa shalat tarawih berjumlah 8 raka’at. Hadis

tersebut adalah :

‫ صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف رمضان مثان ركعات‬: ‫عن جابر بن عبد هللا قال‬

‫والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل يف املسجد حىت‬

‫ اي رسول هللا رج وان أن خترج إلينا‬: ‫أ صبحنا فدخلنا على رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقلنا له‬

5
)‫ كرهت أن يكتب عليكم الوتر (رواه ابن خ زمية‬: ‫فتصل بنا فقال‬
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama Nabi
SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir.
Pada malam berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan
Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga tiba
waktu Subuh. Ketika Rasulullah tiba kami berkata baginya : Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap Engkau
keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya
saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat witir.” (HR. Ibnu
Khuzaimah)

Dengan melihat hadis ini, secara zhāhir cukup jelas menunjukkan bahwa

shalat tarawih berjumlah 8 raka’at. Namun di sisi yang lain para ulama dalam

mazhab syāfi’ī justeru berpendapat bahwa shalat tarawih berjumlah 8 raka’at.

Mereka juga menjadikan hadis riwayat Jābir sebagai salah satu dalil yang

5
Ibnu Khuzaimah, Muhammad ibn Ishāq, Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), Jld II, h. 138.
6

dimasukkan dalam pembahasan tarawih. Hal ini jelas sekali menunjukkan sebuah

kontradiksi antara pemahaman secara zhāhir dari hadis riwayat Jābir dengan apa

yang dikemukakan oleh para Fuqahā’ Syāfi’iyyah. Seharusnya, dengan mengetahui

adanya hadis yang diriwayatkan Jābir tersebut para Fuqahā’ Syāfi’iyyah berpendapat

bahwa shalat tarawih adalah 8 raka’at, tetapi kenyataannya persepsi mereka

sebaliknya. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana

sebenarnya kedudukan hadis ini dari segi sanad, matn serta keterkaitannya dengan

penetapan jumlah rakaat tarawih. Kemudian bagaimana cara yang ditempuh oleh

para Fuqahā’ Syāfi’iyyah dalam menetapkan bilangan rakaat tarawih serta

korelasinya dengan hadis riwayat Jābir tersebut. Dengan adanya penelitian ini

diharapkan akan ditemukan sebuah jawaban terhadap problematika umat sehubungan

dengan perbedaan pendapat dalam hal penetapan jumlah rakaat tarawih khususnya di

kalangan umat Islam Indonesia yang mayoritasnya bermazhab Syāfi’ī.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi

pertentangan antara pendapat Fuqahā’ Syāfi’iyyah dengan kandungan hadis yang

diriwayatkan oleh Jābir. Secara lebih rinci masalah ini dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Apa landasan hukum para Fuqahā’ Syāfi’iyyah serta metode istinbāth

mereka dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih.

2. Bagaimana status dan kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad dan

matn-nya.

3. Bagaimana korelasi pendapat Fuqaha’ Syafi’iyyah dengan hadis riwayat


7

Jābir mengenai penetapan jumlah rakaat tarawih.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui landasan hukum para Fuqahā’ Syāfi’iyyah serta metode

istinbāth mereka dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih.

b. Untuk mengetahui status dan kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad

dan matn-nya.

c. Untuk mengetahui korelasi pendapat Fuqahā’ Syāfi’iyyah dengan hadis

riwayat Jābir mengenai penetapan jumlah rakaat tarawih.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat teoritis

Supaya hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan

Islam khususnya mengenai jumlah rakaat tarawih.

2. Manfaat praktis

a. Supaya dengan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dan

masukan bagi peneliti selanjutnya.

b. Supaya dapat menjadi pedoman bagi umat Islam mengenai jumlah rakaat

shalat sunat tarawih yang mereka lakukan pada bulan Ramadhan.

E. Metode penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan peneliti dalam melakukan


8

penelitian. Dapat dipahami bahwa metode penelitian adalah tahap-tahap dalam

melakukan perjalanan dalam penelitian, sehingga proses penelitian dapat berjalan

lancar berdasarkan aturan yang tertera dalam panduan penelitian. 6 Hal-hal yang

dibahas di antaranya tentang pendekatan penelitian yang mencakup jenis dan

sifatnya, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, keabsahan data

dan jadwal penelitian. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam setiap penulisan karya ilmiah harus mempunyai metode atau cara

tertentu sesuai dengan penelitian yang hendak dibahas. Penelitian dalam skripsi ini

menggunakan pendekatan kualitatif,pendekatan kualitatif adalah suatu proses

penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki

suatu fenomena sosial dan masalah manusia. 7 Yakni, pendekatan yang berupaya

memahami gejala-gejala yang dihadapi sehingga gejala-gejala yang ditemukan tidak

memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka.

Selain itu dengan penelitian kualitatif penulis dapat mengeksplorasi hal-hal

yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh penulis akan ditemukan di saat melakukan

penelitian.Penelitian kualitatif lebih mendalam, yaitu lebih pasti, lebih objektif, dan

lebih kritis. Penelitian kualitatif memungkinkan penulis mendapatkan jawaban

mendalam mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis, termasuk sikap,

kepercayaan, motif dan perilaku subjek penelitian.Penelitian ini adalah penelitian

6
.Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 126-127.

7
Lembaga Penelitian Penalaran Mahasiswa, “Pengertian Penelitian Kualitatif”, Artikel
Islami, (online), (2011), http://penalaran-unm.blogspot.com, diakses 1 Januari 2013.
9

pustaka (library research) yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai

sumbernya. 8 Penulis akan menelusuri dan menelaah bahan-bahan pustaka atau

literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan tersebut di atas.

2. Sumber Data

Sebuah penelitian harus didukung oleh sumber data yang memadai. Untuk itu

dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan sumber data dengan

mengklasifikasikannya sebagai sumber data utama (primer) dan sumber data kedua

(sekunder). Sumber data utama yang penulis gunakan adalah kitab-kitab fiqh

Syāfi’iyyah seperti kitab I’ānat al-Thālibīn karangan Abi Bakar Syatta, kitab Kanz

al-Rāghibīn karangan Jalāl Al-Maẖallī, kitab Tuẖfah li al-Muẖtāj karangan Ibnu

Ḫajar Al-Haitamī, kitab Al-Majmū’ Syarẖ al-Muhazzab karangan Muẖyi al-Dīn ibn

Syarf al-Nawawī dan kitab fiqh lainnya. Penulis juga menggunakan kitab hadis

seperti Sẖaẖīẖ Ibnu Hibbān karangan Muhammad Ibn Hibbān, Sẖaẖīẖ Ibnu

Khuzaimah karangan Ibnu Khuzaimah, kitab Sẖaẖīẖ Bukhari karangan Muhammad

ibn Isma’īl Al-Bukhārī, dan kitab hadis lainnya serta syarahnya..

Sedangkan sumber data kedua (sekunder), penulis menggunakan karangan-

karangan lainnya baik berbentuk buku, makalah, artikel, dan lain-lain yang

mempunyai relevansi dengan pembahasan yang penulis bahas. Data ini penulis

peroleh dari sumber data yang tersedia di perpustakaan STAI Al-Aziziyah dan

perpustakaan lainnya. Sumber data sekunder itu antara lain adalah buku Mutiara

Hujjah yang dikarang oleh Sholihuddin Shofwan, kitab Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni

Shalāt al-Tarāwīh yang dikarang oleh Abi Al-Fadl ibn Abd al-Syakūr, kitab Al-

8
Sutrisno, Metodologi Reseach, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 9.
10

Tarāwīh Aktsar min Alfi ‘Āmin karangan ‘Athiyah Muhammad Shālih dan Artikel

pada surat kabar mingguan The Moeslem World yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili

dan Muhammad ‘Ali al-Shabunī.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penentuan metode pengumpulan data selalu disesuaikan dengan jenis

dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan

dengan beberapa metode, baik alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi. 9

Sesuai dengan obyek penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang penulis

gunakan bersifat kepustakaan (library research) dengan metode dokumentasi, yaitu

dengan pendataan dan pengumpulan sumber-sumber yang berbentuk dokumentasi

dari perpustakaan, baik primer ataupun sekunder yang relevan dengan pokok

pembahasan. Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan data dari kitab-kitab

karangan ulama Syāfi’iyyah dan buku-buku lainnya yang menyangkut dengan

pembahasan mengenai jumlah rakaat tarawih.

4. Teknik Analisa Data

Setelah diadakan penelitian pada kitab-kitab dan buku-buku yang tersebut di

atas, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penganalisaan data. Dalam

menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode komperatif,

yaitu mengolah data dengan cara membandingkan data yang satu dengan yang

lainnya untuk melihat sisi persamaan dan perbedaannya dalam mengambil suatu

9
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Agama
Islam, Cet. I, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), h. 65-66.
11

kesimpulan. 10

Setelah dilakukan pengelompokan yang disusun secara logis dan sistematis,

kemudian dianalisis secara deduktif, yaitu bertitik tolak dari data-data yang besifat

khusus, dalam hal ini penulis mengemukakan data-data atau fakta-fakta baik dalam

bentuk definisi ataupun konsep yang sesuai dengan topik jumlah rakaat tarawih

dalam perspektif hukum Islam.

5. Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan.

Pelaksanaan teknik pemeriksaaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada

empat kriteria yang penulis gunakan yaitu:

1. Derajat kepercayaaan (kredibilitas) yaitu kriteria untuk memenuhi nilai

kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil

penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari

responden sebagai informan.

2. Keteralihan (transferabilitas) yaitu kriteria yang digunakan untuk memenuhi

hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat

ditransfer ke subyek lain yang memiliki tipologi yang sama

3. Kebergantungan (dependabilitas) yaitu kriteria yang digunakan untuk menilai

apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek

apakah si peneliti sudah cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam

mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan data dan

pengintepretasiannya.

10
Tim Penyusun Paduan Karya Ilmiyah STAI Al-Aziziyah, Panduan Penulisan Karya
Ilmiyah, Ed. Revisi, Cet. I, (Samalanga: Al-aziziyah Press, 2004), h. 11.
12

4. Kepastian (konfirmabilitas) yaitu merupakan kriteria untuk menilai mutu

tidaknya hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai

kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk

menilai kualitas hasil penelitian, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan

informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam

audit trail.11

Menurut Lexi J. Moleong, teknik pemeriksaan keabsahan data dengan konsep

transferabilitas adalah teknik yang mengunakan cara uraian rinci. Teknik ini dituntut

supaya melaporkan suatu penelitian sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan

secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian dilaksanakan.

Jelas laporan itu harus mengacu pada fokus penelitian.Uraiannya harus

mengungkapkan secara khusus sekali segala sesuatu yang dibutuhkan

pembacasehinggapenemuan-penemuan yang diperoleh itu dapat dipahami.Penemuan

itu sendiri tentunya bukan dari uraian rinci, melainkan penafsirannya yang dilakukan

dalam bentuk uraian rincidengan segala macam pertanggungjawaban berdasarkan

data-data yang nyata.Masih menurut Lexi J. Moleong,uraian rinci berarti penafsiran

yang dilakukan dalam bentuk uraian rinci dengan segala macam pertanggungjawaban

berdasarkan data-data yang nyata dalam penelitian kualitatif. 12

11
Purbayu Budi Santoso, “Paradigma Penelitian Kualitatif”, (online), (2000),
http://images.purbayubs.multiply.multiplycontent.com, diakses 25 september 2012.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian…, h. 183.
13

6. Jadwal Penelitian

Penelitian skripsi ini secara keseluruhan dimulai sejak bulan Januari 2013

sampai dengan bulan Juni 2013.

NO. KEGIATAN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT
Persiapan
A
Proposal
Pelaksanaan
B
Penelitian
Penulisan
C
Laporan

7. Teknik Penulisan

Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada

buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama

Islam Al- Aziziyah Samalanga Kabupaten Bireuen edisi-revisi 2012.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Setelah melakukan penelusuran ke perpustakaan, penulis menemukan

beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan.

Literatur-literatur tersebut di antara lain adalah :

1. Buku “Mutiara Hujjah” karya Sholahuddin Shofwan. Buku ini mengupas

secara panjang lebar mengenai shalat tarawih baik dari segi historis,

perbedaan rakaat serta landasan hukumnya. Namun dalam buku ini tidak ada

sedikit pun mengangkat hadis riwayat Jābir dalam kaitannya dengan

penetapan jumlah rakaat tarawih.

2. Kitab “al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmīn” karya ‘Athiyah Muhammad

Shāliẖ. Dalam buku ini akan dipaparkan sejarah pelaksanaan tarawih mulai

dari masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’īn, periode Imam mazhab, hingga

sekarang. Sesuai dengan judulnya, pengarang buku ini telah mampu

membuktikan bahwa shalat tarawih telah berlangsung lama melebihi satu

abad. Di samping itu penulis kitab ini juga menjelaskan tentang pendapat

empat Imam Mazhab, Ḫanafī, Malikī, Syāfi’ī dan Ḫambalī mengenai jumlah

rakaat tarawih serta dalil yang mereka gunakan. Meskipun dapat dikatakan

lengkap, dalam kitab ini tidak diberikan porsi yang luas untuk membahas

hadis riwayat Jābir baik mengenai kedudukannya maupun korelasinya dengan

pendapat Fuqahā Syāfi’iyyah.

3. Kitab “Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni Shalāt al-Tarāwiẖ” karya Abī al-fadhl ibn

14
15

‘Abd al-Syakūr al-Sanūrī. Dalam kitab ini akan diuraikan dalil-dalil mengenai

pelaksanaan tarawih khususnya tentang jumlah rakaat. Penulis kitab ini juga

memberi tanggapan tentang hadis riwayat Jābir, namun tidak sampai pada

tingkatan takhrīj dan pembahasan mengenai kedudukan sanad-nya.

4. Buku “40 Masalah Agama” karya K.H. Sirajuddin Abbas. Buku ini mengupas

tentang masalah-masalah khilāfiyyah yang terjadi di kalangan umat Islam.

Salah satu dari masalah-masalah khilāfiyyah yang dibahas dalam buku ini

adalah mengenai perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat tarawih. Namun

pembahasan dalam buku ini juga tidak menyentuh tentang hadis riwayat

Jābir.

5. Opini yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili dan Muhammad ‘Ali al-Shabunī pada

surat kabar mingguan The Moeslem World dengan judul tulisan “Shalat al-

Tarāwīẖ ‘Isyrīna Rak’at hiya al-Sunnah al-Tsābīt bi al-Ijmāʹ”. Dalam artikel

ini mereka mengupas dalil-dalil yang menyebutkan bahwa shalat tarawih itu

berjumlah 20 rakaat. Menurut mereka, ada 10 faktor yang menyebabkan

shalat tarawih 8 rakaat dianggap keliru. Namun artikel ini tidak mengangkat

hadis riwayat Jābir.

Di samping itu, penulis juga menelusuri literatur-literatur klasik yang

disajikan dalam turats. Penulis melihat hampir semua kitab-kitab tersebut membahas

tentang masalah shalat tarawih. Pembahasan ini biasanya dimasukkan dalam masalah

shalat sunat. Namun, penulis merasa kajian-kajian tersebut belum ada yang sempurna

dan secara mendalam membahas tentang status dan kedudukan hadis riwayat Jābir

serta pengaruhnya dalam penetapan jumlah rakaat tarawih. Alangkah lebih


16

bermanfaat apabila pandangan-pandangan para Ulama itu diteliti secara menyeluruh,

dikumpulkan, dan dicari sebuah konklusi.

Sudah banyak literatur-literatur yang membahas mengenai shalat tarawih dan

perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaatnya, namun sangat jarang ditemukan

para peneliti yang secara khusus mengkaji hadis riwayat Jābir ini secara mendalam

serta korelasinya dengan pendapat Fuqahā’ Syāfi’iyyah. Kalau pun diperdapatkan

literatur yang membahas tentang hadis riwayat Jābir ini, maka pembahasannya hanya

sebatas menginterpretasi kandungan hadis tersebut, tanpa ada kajian yang mendalam

mengenai kedudukan hadis tersebut untuk selanjutnya dikaitkan dengan pendapat

para Fuqahā’ Syāfi’iyyah yang sekilas terlihat memiliki kotradiksi.

Melalui penelurusan kepustakaan ini, penulis meyakini bahwa penelitian ini

belum pernah ada sebelumnya. Dan penulis berkeyakinan dengan mengkaji kitab-

kitab yang dikarang oleh para Fuqahā’ Syāfi’iyyah, insyaallah akan ditemukan

sebuah jawaban terhadap permasalahan yang sedang penulis teliti.

B. Shalat Tarawih dan Permasalahannya

Shalat tarawih merupakan shalat sunat yang disyariatkan untuk dilakukan

pada bulan Ramadhan. Secara tuntunannya, tentu saja shalat ini kedudukannya

berada di bawah shalat fardhu karena tidak ada siksaan bagi yang meninggalkannya. 1

Imam al-Nawawī dalam kitab Minhāj al-Thālibīn mengklasifikasikan shalat

sunat dalam dua bagian, bagian yang disunatkan pelaksanaannya secara berjamaah

dan bagian yang tidak disunatkan pelaksanaannya secara berjamaah. 2 Bagian yang

1
Al-Anshārī, Syaikh Zakaria, Syarẖ Manhāj al-Thullāb, Jld I, (Beirut: Dār al-Fikr,2007), h.
145.
17

tidak disunatkan berjamaah bila dilakukan secara berjamaah hukumnya tidak

makruh, namun jamaah itu tidak diberikan pahala. Menurut pendapat yang kuat,

shalat tarawih termasuk dalam bagian yang disunatkan pelaksanaannya secara

berjamaah. 3

Dalam sudut pandang yang lain, shalat sunat ada yang dikaitkan dengan

waktu (muaqqat) seperti sunat rawatib, tarawih, tahajjud, dhuha, dan lain-lain. Shalat

sunat ada yang dikaitkan dengan sebab (musabbab) seperti shalat taẖiyyat al-masjīd,

istisqa’, gerhana, dan lainnya. Namun ada juga yang tidak dikaitkan dengan

keduanya seperti shalat tasbiẖ. Shalat ini disebut sunat muthlaq.

Shalat sunat yang tidak dikaitkan dengan waktu tidak disunatkan untuk

meng-qadha-nya. Adapun shalat sunat yang dikaitkan dengan waktu, Para Ulama

berbeda pendapat mengenai hukum meng-qadha-nya. Ada pendapat yang

mengatakan sunat dan ada juga yang mengatakan tidak sunat. Sedangkan satu

pendapat lagi mengklasifikasikannya. Apabila shalat sunat itu sifatnya istiqlāl

(berdiri sendiri) sunat untuk meng-qadha-nya. Namun bila shalat sunat itu tidak

istiqlāl seperti rawatib yang mengikuti fardhu, tidak disunatkan untuk meng-qadha-

nya.4 Dengan demikian shalat tarawih disunatkan qadha, karena merupakan shalat

sunat yang dikaitkan dengan waktu dan berdiri sendiri.

Sehubungan dengan ke-sunnah-an shalat tarawih, penulis akan menjelaskan

beberapa hal sebagai landasan teoritis dan historis dari pensyariatan shalat ini. Hal itu

antara lain :

2
Al-Nawawī, Minhāj al-Thālibīn, Jld I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 210.
3
Al-Nawawī, Minhāj al-Thālibīn, Jld I, ..., h. 217.
4
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV, ..., h. 44.
18

1. Tipologi Ke-sunnah-an Shalat Tarawih

a. Landasan Hukum Shalat Tarawih

Adapun dalil pelaksanaan tarawih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam

al-Bukhārī dalam kitab Shahih-nya di mana Siti ‘Aisyah berkata :

‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم خرج ليلة من جوف الليل فصلى ىف املسجد وصلى رجال‬

‫بصالته فأصبح الناس فتحدثوا فأجتمع أكثر منهم فصلى فصلوا معه فأصبح الناس فتحدثوا فكثر‬

‫أهل املسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فصلى فصلوا بصالته فلما‬

‫كانت الليلة ال رابعة عجز املسجد عن أهله حىت خرج لصالة الصبح فلما قضى الفجر أقبل على‬

‫الناس فتشهد مث قال أما بعد فإنه مل خيف علي مكانكم ولكين خشيت أن تفرتض عليكم فتعجزوا‬

5
)‫عنها فتويف رسول هللا صلى هللا عليه وسلم واألمر على ذلك (رواه البخاري‬
Artinya : Sesunggungguhnya Rasulullah SAW kelur pada suatu malam, maka Beliau
melakukan shalat di mesjid, dan orang-orang pun melakukan shalat dengan
Nabi. Pada waktu subuh, orang-orang berbincang-bincang mengenai
kejadian tersebut. Maka selanjutnya (pada malam kedua) jama’ah semakin
ramai, Rasulullah melakukan shalat, dan mereka melakukan shalat
bersama Rasulullah. Pada waktu subuh, mereka berbincang-bincang
(tentang shalat tersebut). Ahli mesjid semakin ramai pada malam ketiga,
Rasulullah melakukan shalat dan mereka melakukan shalat bersama
Rasulullah. Ketika tiba malam keempat, Mesjid tidak mampu lagi
menampung para Jama’ah sehingga Rasulullah baru keluar untuk
melaksakan shalat subuh. Manakala selesai melakukan shalat fajar,
Rasulullah menghadap jama’ah dan membaca tasyahhud, kemudian
membaca ammā ba’du, Beliau berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang
tersembunyi bagiku tentang keadaan kalian, Namun aku takut shalat ini
diwajibkan sehingga membuat kalian lemah dan tak mampu
melaksanakannya.” Ketika Rasulullah wafat, hal ini terus berlaku seperti
itu. (HR. Bukhārī)

Syaikh Ibnu Ḫajar al-Haitamī mengatakan, rasa takut Rasulullah akan

5
Al-Bukhārī, Saẖīẖ al-Bukhārī, Jld I...., h. 63.
19

diwajibkan shalat ini tidak bertentangan dengan hadis yang menafikan penambahan

shalat fardhu selain lima waktu pada saat isra’ mi’rāj. Hal ini dikarenakan sesuatu

yang dinafikan adalah adanya shalat fardhu dalam bentuk berulang-ulang dalam

sehari semalam. Hal itu masih memungkinkan adanya penambahan shalat fardhu

pada bulan tertentu yang perulangannya pada setiap tahun. 6

Syaikh Qulyubi mengatakan rasa kekhawatiran Rasulullah tersebut dapat

berupa dugaan bahwa shalat ini akan difardhukan atau difardukan jamaahnya.

Kemungkinan lain Allah SWT telah memberitahukan kepada Nabi seandainya shalat

itu dilakukan secara terus-menerus secara berjamaah, maka Allah akan

memfardhukannya atau memfardukan jamaahnya atau memfardhukan keduanya.

Ada kemungkinan juga Allah memberi pilihan kepada Nabi antara difardukan atau

tidak, bila Nabi menginginkan shalat itu difardukan, maka beliau mesti

melakukannya secara terus-menerus. Jika tidak, maka beliau meninggalkannya. 7

b. Kelebihan Shalat Tarawih

Rasulullah sangat menganjurkan kita untuk melaksanakan shalat malam pada

bulan Ramadhan yang di antaranya adalah shalat tarawih. Dalam riwayat yang lain

Rasulullah bersabda :

8
)‫من قام رمضان امياان واحتساابغفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخاري‬

Artinya : Barang siapa yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan

keikhlasan, diampunkan baginya dosa-dosa yang telah lalu. (HR. Bukhari)


6
Al-Ḫaitamī, Tuẖfah li al-Muhtāj, Jld. II..., h.262.
7
Syaikh Qulyūbī, Ḫāsyiat Qulyūbī, Jld I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 217.
8
Al-Bukhārī, Saẖīẖ al-Bukhārī, Jld II..., h. 62.
20

Imam al-Nawawī menyebutkan bahwa qiyam Ramadhan yang termaktub

dalam hadis ini adalah shalat tarawih. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, maksud

Imam al-Nawawī adalah qiyam ramadhan akan tertunai tuntutannya dengan

melaksanakan shalat tarawih, dan beliau tidak bermaksud bahwa qiyam Ramadhan

tidak akan diperoleh selain dengan tarawih. 9

Adapun maksud dari kata ”īmānā” dalam hadis tersebut adalah meyakini dan

membenarkan janji Allah berupa pemberian pahala. Sedangkan maksud dari kata

“iẖtisābā” adalah mengerjakannya dengan tujuan memperoleh pahala, bukan

maksud yang lain seperti riya dan seumpamanya. 10 Hal senada juga diungkapkan

oleh Wahbah Zuhaili, beliau menafsirkan kata “īmānā” dengan meyakini hal itu

benar, sedangkan “ihtisābā” adalah ikhlas kepada Allah. 11

Melihat kemutlakan yang ada pada hadis di atas, maka secara zahir dosa yang

diampuni dengan melaksanakan qiyam Ramadhan meliputi dosa kecil dan dosa

besar. Hal ini diakui oleh Ibnu Munzir. Sementara imam al-Nawāwī berpendapat

bahwa yang ma’ruf dosa yang diampuni tersebut adalah dosa kecil. Hal ini sama

persis dengan apa yang diyakini oleh Imam Haramain. Syaikh ‘Iyadh membangsakan

pendapat ini sebagai pendapat ahlu al-sunnah. Sebagian ulama berpendapat, kendati

pun yang diampuni adalah dosa kecil, dosa besar akan diringankan bila seseorang

tidak memiliki dosa kecil.12

Dalam riwayat yang lain terdapat penambahan wa mā taakhkaar (dan dosa-

9
Al-‘Asqalānī, Ibnu Ḫajar, Fatẖ al-Bārī, Jld IV, (Kairo: Dār al-Ḫadits, 2004), h. 291.
10
Al-‘Asqalani, Fathul Bāri, Jld IV..., h. 291.
11
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuh, Jld II, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 1075.
12
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 291.
21

dosa yang akan datang). Pengampunan dosa pada masa yang telah lalu dan akan

datang semacam ini banyak disebutkan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Hal ini

sedikit musykīl (sulit untuk dipahami) mengingat pengampunan itu menuntut adanya

sesuatu yang telah terdahulu untuk diampuni, sementara dosa pada masa yang akan

datang adalah sesuatu yang belum ada, maka bagaimana dapat dikatakan

pengampunan. Ada beberapa jawaban yang diberikan Ulama untuk menjawab

pertanyaan ini, yaitu :

1. Ungkapan tersebut adalah bentuk kinayah dari pada pemeliharaan Allah

kepada mereka untuk dijauhi dari dosa besar, sehingga mereka tidak akan

melakukannya pada masa yang akan datang.

2. Menurut pendapat yang lain, dosa di masa yang akan datang bisa saja

terjadi, namun Allah akan mengampuninya.13

Demikianlah dalil-dalil yang secara jelas menunjukkan tentang perintah dan

ajakan untuk melaksanakan tarawih dengan berbagai kelebihan yang dijanjikan.

c. Metode Pelaksanaan Tarawih

Shalat tarawih harus diawali dengan niat sama seperti shalat lainnya. Namun

niat ini harus terdapat kejelasan (ta’yīn) mengenai jenis shalat yang dilakukan. Shalat

tarawih tidak sah dilakukan dengan niat sunat muthlaq, tetapi mesti dengan niat

tarawih, shalat tarawih, atau qiyām Ramadhan. Niat itu harus dilakukan setiap dua

rakaat sekali. 14

Imam al-Nawawī mengatakan waktu pelaksanaan tarawih mulai setelah

13
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 292.
14
Al-Syarbainī, Muhammad Ibn Muhammad, Mughnī al-Muẖtāj, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2009), h. 317.
22

pelaksanaan shalat isya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Bughawī dan

Ulama lainnya dan berakhir ketika terbit fajar. 15 Shalat isya yang diiktibarkan

sebagai awal waktu pelaksanaan tarawih adalah shalat isya yang sah. Apabila setelah

pelaksanaan tarawih baru diketahui bahwa shalat isya yang telah dilakukan

sebelumnya tidak sah, tarawih itu akan diberikan pahala sunat muthlaq.16

Shalat tarawih telah dapat dilakukan setelah shalat isya walaupun shalat isya

itu dilakukan secara jamā’ taqdīm. Namun sebaiknya pelaksanaan tarawih diundur

hingga pada waktu yang lebih utama. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh

Syaikh ‘Amīrah bahwa pelaksanaan tarawih pada awal waktu mengiringi shalat isya

adalah kebiasaan buruk yang dilakukan oleh orang-orang malas.17

Imam al-Nawawi mengatakan, shalat tarawih harus dilakukan sebanyak dua-

dua rakaat sebagaimana biasa. Seandainya shalat itu dilakukan sebanyak 4 rakaat

sekali salam, hukumnya tidak sah sebagimana yang disebutkan oleh al-Qadhī Husain

dalam kitab Fatawī-nya karena menganggap pelaksanaan seperti ini tidak sesuai

seperti yang disyariatkan.18

Al-Syarqawī mengatakan, shalat 4 rakaat sekaligus dianggap tidak sah bila

dilakukan oleh seseorang secara sengaja dan mengetahui hukumnya. Jika tidak, maka

akan diberikan pahala sunat muthlaq.19 Ketentuan yang mengharuskan pelaksanaan

shalat tarawih dua-dua rakaat berbeda ketentuan yang terdapat pada shalat sunat

15
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
16
Al-Syarqawī, Hasyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
17
Syaikh ‘Amīrah, Ḫasyiat ‘Amīrah, Jld I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 217.
18
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
19
Al-Syarqawī, Ḫāsyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
23

zuhur dan ashar. Hal ini disebabkan pensyariatan jamaah pada shalat tarawih

membuat shalat ini serupa dengan shalat fardhu sehingga tidak dapat diubah dari

sesuatau yang telah warid.20

Shalat tarawih boleh dilakukan secara infirād (sendiri-sendiri) atau pun secara

berjamaah. Para Ashẖāb berbeda pendapat (khilāf wajhain) mengenai metode mana

yang lebih utama antara berjamaah dan sendiri-sendiri. Sebagian Ulama mengatakan

khilāf tersebut merupakan khilāf wajhain. Menurut pendapat yang kuat, pelaksanaan

tarawih secara berjamaah lebih utama sebagaimana yang terdapat pada nash al-

Buwaithī. 21

Menurut Ulama Iraq dan Khurasan, perbedaan pendapat mengenai keutamaan

berjamaah atau infirād hanya berlaku bagi orang-orang yang menghafal al-qur’an,

tidak ditakutkan akan timbul rasa malas bila tidak berjamaah, dan tidak berpengaruh

pada berkurangnya jamaah dengan ketidakhadirannya. Adapun bagi selain mereka,

tidak ada khilāf bahwa shalat secara berjamaah lebih utama. 22

Khatib Al-Syarbainī mengatakan, pendapat kuat yang mengutamakan

pelaksanaan tarawih secara berjamaah berpijak pada hadis riwayat Bukhārī dan

Muslim dari Siti ‘Aisyah dan hadis Ibnu Hibbān dan Ibnu Khuzaimah dari Jābir yang

menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukan tarawih secara berjamaah selama

beberapa malam, namun hal itu tidak dilanjutkan karena Beliau khawatir shalat ini

akan difardhukan. Namun sekarang illat itu telah hilang dengan wafatnya Nabi

20
Al-Syarbainī, Mughni al-Muhtāj, Jld I..., h. 317.
21
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 37.
22
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
24

SAW. 23

Adapun mengenai jumlah rakaatnya, serta kajian terhadap hadis-hadis yang

meriwayatkan jumlah rakaat tarawih, khususnya mengenai korelasi hadis riwayat

Jābir dengan pendapat Fuqahā’Syāfi’iyyah akan kami bahas secara panjang lebar

pada bab selanjutnya.

3. Sejarah Pelaksanaan Tarawih

a. Tarawih Pada Masa Nabi

Sebagaimana yang kita lihat dari hadis dari siti ‘Aisyah di atas, tidak ada

keraguan sedikit pun bagi kita bahwa shalat tarawih telah ada sejak masa Nabi SAW.

Nabi melaksanakan tarawih di mesjid secara berjamaah hanya tiga malam. Hal ini

dikarenakan apabila shalat ini terus dilanjutkan pelaksanaannya di mesjid dengan

sikap antusiasme umat Islam yang begitu tinggi, tidak tertutup kemungkinan shalat

ini akan diwajibkan. Tentu saja hal ini akan memberatkan umat dan akan ada

sebagian umat Islam yang tidak sanggup melakukannya. Betapa bijaksananya Nabi

kita dalam bersikap dan bertindak, sehingga kehadirannya membawa rahmat bagi

sekalian alam.

Syaikh Abd al-Ḫamīd al-Syarwainī dalam kitab Ḫāsyiah al-Syarwainī,

syarahan bagi kitab Tuẖfah li al-Muẖtāj karangan Ibnu Hajar al-Ḫaitami memberi

sedikit ulasan tentang shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau

menyebutkan bahwa menurut pendapat yang masyhur, tiga malam yang disebutkan

dalam hadis adalah malam ke-23, ke-25, dan ke-27, Rasulullah tidak keluar lagi pada

malam ke-29 walaupun para Jamaah telah menunggunya. Shalat itu tidak dilakukan

23
Al-Syarbainī, Mughni al-Muhtāj Jld I..., h. 317.
25

secara berturut-turut karena bertujuan untuk meringankan para Jamaah. 24

Akhirnya shalat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-

sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah SAW wafat. Demikian pula

pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru

kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan

shalat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin

Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-

baik bid’ah adalah ini.

b. Tarawih Periode Khulafā’ al-Rāsyidīn

Periode kekhalifahan Abu Bakar tidak berlangsung lama, beliau hanya

menjadi khalifah selama 2 tahun. Pada saat itu pelaksanaan tarawih masih dijalankan

sendiri-sendiri sebagaimana yang berlaku pada masa Rasulullah. 25

Pada awal periode Umar, pelaksanaan tarawih masih sama dengan periode

Abu Bakar. Umat islam masih melakukan shalat sendiri-sendiri dan dengan imam

yang berbeda-beda. Saat itu Umar berinisiatif untuk mengumpulkan mereka

mengikuti satu imam. Hal ini seperti sebuah hadis mauquf yang diriwayatkan

Bukhari mengenai penuturan Abd ar-Rahman bin Abd al-Qariy saat Beliau keluar

bersama Umar RA:

‫عن شهاب عن عروة بن ال زبري عن عبد الرمحن بن عبد القاري انه قال حرجت مع عمر بن‬
‫خطاب رضي هللا عنه ليلة يف رمضان ايل املسجد فاذ الناس اوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه و‬

24
Al-Syarwainī, ‘Abdil Hamīd, Ḫāsyiat al-Syarwainī, Jld II, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), h.
262.
25
‘Athiyah Muhammad Shalih, At-Tarāwiẖ Aktsar min Alfi ‘Amin (Madinah: al-Madani, t.t.)
h. 15.
26

‫يصلي الرجل فيصلي بصالته الرهط فقال عمر اين ارى لو محعت هاؤالء علي قارئ واحد لكان‬
‫امثل مث عزم فحمعهم علي ايب بن كعب مث خرجت معه ليلة اخرى و الناس يصلون بصالة قارئهم‬
‫قال عمر نعم البدعة هذه و اليت ينامون عنها افضل من اليت يقومون ي ريد اخر الليل وكان الناس‬
26
)‫يقومون اوله (رواه البخارى‬

Artinya : “Dari Ibni Syihab dari ‘Urwah dari Zubair dari ‘Abd ar-Rahman bin Abd
al-Qariy berkata, Saya keluar dengan Umar bin Khatab RA pada suatu
malam di bulan Ramadhan ke mesjid, pada saat itu para Sahabat terbagi
berkelompok-kelompok, ada yang shalat sendiri, ada yang diikuti oleh
sekelompok orang, maka Umar berkata : Sesungguhnya saya berpendapat,
jika mereka dikumpulkan menjadi satu untuk diimami oleh seseorang yang
bagus bacaannya, sungguh hal itu lebih utama. Maka Umar kemudian
bermaksud mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab.
Abd ar-Rahman bin Qariy berkata : kemudian pada malam yang lain saya
keluar lagi bersama Umar dan pada saat itu para Jama’ah telah shalat
mengikuti satu imam. Lalu Umar berkata : Hal ini adalah sebaik-baik
bid’ah dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada
yang shalat awal malam.” (HR. Bukhārī)

Ibnu al-Tīn mengemukakan bahwa perbuatan Sayyidina Umar RA yang

memerintahkan pelaksanaan tarawih secara berjamaah bukanlah kehendak sendiri,

melainkan hal itu adalah melalui istinbath dari pada taqrīr (pengakuan) Nabi

terhadap orang-orang yang melakukan shalat bersama beliau selama beberapa

malam. Hal ini dapat menjadi ẖujjah meskipun kemudian Rasulullah melarangnya.

Hal ini dikarenakan larangan itu hanya semata-mata karena Rasulullah khawatir

shalat ini akan diwajibkan. Manakala Rasulullah telah wafat, hal yang dikhawatirkan

itu tidak mungkin terjadi lagi sehingga pelaksanaan tarawih secara berjamaah tidak

ada yang menghalanginya. Salah satu hal lain yang memotivasi Umar RA untuk

26
Al-Bukhārī, Muhammad bin Isma’il, Saẖīẖ al-Bukhārī, Jld II,(Kairo: Dar al-Hadis, 2004),
h. 62.
27

mengumpulkan jamaah adalah untuk menguatkan persatuan di antara umat Islam,

karena perpecahan adalah hal yang tidak baik. 27

Pada waktu yang berbeda, disebutkan dalam riwayat Baihaqi bahwa Umar

menjadikan Ubay bin Ka’ab sebagai Imam laki-laki, sedangkan para wanita diimami

oleh Sulaiman bin Abi Hatsmah. 28

Sa’id ibn Manshur meriwayatkan dari tharīq ‘Urwah bahwa Umar

mengumpulkan jamaah untuk mengikuti Ubay bin Ka’ab bagi laki-laki, dan Tamīm

al-Dārī bagi perempuan. Sementara riwayat yang menyebutkan bahwa Imam bagi

Jamaah perempuan adalah Sulaiman bin Abi Hatsmah adalah riwayat Muhammad

Ibn Nashr. Dua riwayat ini mungkin dikompromikan dengan menganggap hal itu

terjadi pada waktu yang berbeda-beda.29

Pada masa kekhalifahan Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi imam

pada kebanyakan malam Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam

riwayat Baihaqi dari Sayyidina Hasan bahwa mereka diimami oleh ‘Ali RA selama

20 malam. Tidak ada perubahan yang berarti pada periode kepemimpinan Usman

mengenai metode dan jumlah raka’at tarawih. Hanya sedikit saja hal baru yang

diperdapatkan pada zaman Usman yaitu mengenai do’a khatam Qur’an.30

Pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, Ali menunjukkan satu

orang imam bagi kaum lelaki, dan satu imam untuk perempuan. Hanya saja, pada

saat pelaksanaan witir, ‘Ali RA menjadi imam bagi mereka semua. Hal ini

27
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 293.
28
Al-Ḫaitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld. II..., h. 262.
29
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 293.
30
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 26
28

sebagaimana disebutkan dalam sunan Baihaqi dari riwayat ‘ithā’ dari al-Sāib dari

Abi Abd al-Rahmān al-Salmī dari ‘Ali RA. 31

Pada saat itu yang menjadi imam untuk kaum perempuan adalah ‘Urjafah al-

Tsaqfī sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Marwazī. ‘Urjafah al-Tsaqfī

mengatakan : “Saya diperintahkan oleh ‘Ali RA untuk menjadi imam bagi

perempuan untuk pelaksanaan qiyām Ramadhan”. Pada masa kepemimpinan ‘Ali

RA, pelaksanaan tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat. Hal ini mendekati tingkat

yaqin sebagaimana pelaksanaan tarawih yang berlaku pada masa Utsman RA dan

Umar RA. Sedangkan penambahan tarawih sebanyak 36 rakaat baru ada setelah

zaman ‘Ali RA. 32

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan tarawih pada masa

Sahabat masih sama dengan pelaksanaan tarawih yang ada pada masa Rasulullah.

Hanya saja pada masa Sayyidina Umar RA menjadi khalifah, Beliau berinisiatif

untuk membuat sedikit perubahan di mana pelaksanaannya dipimpin oleh satu imam.

Hal ini tentunya mengandung banyak nilai maslahat demi persatuan Islam. Beliau

memilih Ubay bin Ka’ab karena Ia paling bagus bacaannya. Hal ini tentunya sah-sah

saja, mengingat ‘illat yang ditakuti oleh Rasulullah berupa diwajibkan shalat ini telah

hilang dengan wafatnya Rasulullah SAW.

Perkataan Umar bahwa pelaksanaan tarawih seperti ini adalah sebaik-baik

bid’ah bukan berarti bahwa beliau telah melakukan sebuah perbuatan yang dilarang

oleh Rasulullah. Karena bid’ah yang Beliau maksudkan adalah bid’ah secara

lughāwiyyah (bahasa), bukan bid’ah syar’iyyah yang dianggap sesat dan

31
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 29
32
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 29.
29

berpenghujung ke neraka. Akan menjadi mustahil bila seseorang yang telah dijamin

masuk surga oleh Rasulullah sendiri akan mengerjakan suatu amalan ahli neraka.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari orang-orang yang berburuk sangka kepada

para Sahabat.

c. Tarawih Pada Periode Tabi’īn

Setelah periode Sahabat, tepatnya pada akhir abad ke-1 hijriah, pelaksanaan

tarawih yang dilakukan oleh Penduduk Madinah sebanyak 36 rakaat. Hal ini mereka

lakukan untuk mengimbangi kelebihan penduduk Mekah yang melakukan thawāf di

setiap empat rakaat.33

Menurut Syaikh ‘Athiyah Muhammad Shāliẖ, penambahan rakaat tarawih

menjadi 36 rakaat tidak ditemukan satu informasi yang pasti tentang awal

pelaksaannya. Hal ini terjadi setelah masa kekhalifahan ‘Ali RA dan terus

berlangsung hingga masa pemerintahan ‘Umar bin Abd al-‘Aziz. Pelaksanaan

tarawih seperti ini juga mendapat persetujuan dari Beliau. 34

Syaikh ‘Athiyah melanjutkan, Para Ulama berbeda pendapat mengenai

penyebab penambahan jumlah rakaat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh al-

Māwaridī dan al-Rauyāni yaitu :

a. Penduduk Mekah melakukan thawaf ketika istirahat di setiap empat rakaat

kecuali pada saat istirahat yang kelima di mana mereka langsung melakukan

witir. Dengan demikian, dalam lima kali istirahat mereka melakukan thawaf

sebanyak empat kali. Penduduk Madinah tidak mungkin melakukan empat

33
Al-Ḫaitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, jld. II..., h. 263.
34
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 31.
30

kali thawaf tersebut, sementara mereka juga melakukan istirahat sebanyak

lima kali sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Mekah. Oleh karena

itu, mereka menambah empat rakaat tarawih pada posisi thawaf yang

dilakukan oleh Penduduk Mekah supaya shalat yang mereka lakukan sama

(pahalanya) dengan shalat dan thawaf yang dilakukan oleh penduduk Mekah.

b. Khalifah Abd al-Malik bin Marwan memiliki sembilan orang anak. Maka Ia

menginginkankan agar setiap anaknya memiliki kesempatan untuk melakukan

satu kali tarwīẖah (4 rakaat). Dengan demikian tarawih pada waktu itu

menjadi 36 rakaat.

c. Di sekeliling Madinah terdapat sembilan qabīlah yang saling berselisih

paham dalam hal pelaksanaan shalat. Maka setiap qabīlah menunjuk

seseorang dari mereka untuk memimpin setiap tarwīẖah. Kejadian itu

akhirnya menjadi sebuah ketetapan. Pendapat yang kuat adalah pendapat

pertama.35

Demikianlah penjelasan sekilas tentang landasan hukum dan landasan historis

pelaksanaan tarawih untuk selanjutnya diteliti dan dikaji secara mendalam mengenai

perbedaan pendapat mengenai jumlah rakaat tarawih khususnya menyangkut dengan

pendapat Fuqahā’ Syāfi’iyyah dan korelasinya dengan hadis riwayat Jābir.

3. Jumlah Rakaat Tarawih Dalam Lintas Mazhab Fikih

Mengenai dasar dan hukum pelaksanaan tarawih, tidak ada perbedaan

pendapat di antara para Imam mazhab dan hal itu telah menjadi konsensus ulama.

Adapun mengenai jumlah rakaatnya, para Imam mazhab memiliki pandangan yang

35
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 38.
31

berbeda-beda. Sebagai perbandingan, penulis juga akan mengemukan pendapat-

pendapat yang terdapat dalam mazhab lain selain mazhab Syāfi’ī mengenai jumlah

rakaat shalat tarawih. Namun demikian, penulis hanya membatasi pada mazhab yang

mudawwan (terkodifikasi) saja.

Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, Imam al-Nawawī di dalam

kitab al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-Muhadzdzab memaparkan :

‫(فرع) يف مذاهب العلماء يف عدد ركعات ال رتاويح‬

‫مذهبنا أهنا عشرون ركعة بعشر تسليمات غري الوتر وذلك مخس تروحيات والرتوحية أربع ركعات‬

‫ب تسليمتني هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأمحد وداود وغريهم ونقله القاضى عياض عن‬

‫مجهور العلماء وحكى أن االسود بن م زيد كان يقوم أبربعني ركعة ويوتر بسبع وقال مالك الرتاويح‬

36
.‫تسع تروحيات وهى ستة وثالثون ركعة غري الوتر واحتج أبن أهل املدينة يفعلوهنا هكذا‬
Artinya : (Bab) mengenai pendapat para Imam mazhab tentang bilangan rakaat
tarawih. Dalam mazhab kita (Syāfi’ī), shalat tarawih berjumlah 20 rakaat
dengan sepuluh kali salam dan hal ini tidak termasuk witir. Ini juga
merupakan pendapat Abu Hanifah serta pengikutnya, pendapat Imam
Ahmad, Imam Daud, dan Imam mujtahid lainnya. Al-Qadhi ‘Iyadh
meriwayatkan pendapat itu dari mayoritas Ulama.Menurut Imam Malik,
shalat tarawih dilakukan sebanyak 39 rakaat, 36 rakaat tarawih dan 3
rakaat witir. Landasan hukum mazhab Malikī adalah mengikuti perbuatan
penduduk Madinah.

Untuk lebih jelas, ada baiknya kita melihat pendapat tersebut secara langsung

dari kitab-kitab yang terdapat dalam mazhab mereka.

1. Mazhab Hanafī

a. Syaikh Fakhruddin, ‘Usman ibn ‘Ali al-Zaila’ī (W 743 H) dalam kitab

Tabyīn al-Ḫaqāiq mengatakan :

36
Al-Nawawī, al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
32

ِ ِ ‫َمح ُد ونَ َق لَه الْ َق‬ َ َ‫َي ِع ْن َد َان َوبِ ِه ق‬


ِ َّ ‫ال‬ ِ ِ
‫اض َع ْن مجُْ ُه وِر‬
ٌ َ‫اضي عي‬ ُ َ َ ْ ‫الشاف ِع ُّي َوأ‬ ْ ‫َوه َي ع ْش ُرو َن َرْك َعةً أ‬
37
. ‫ال ُْع لَ َم ِاء‬
Artinya: Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat di sisi kita (mazhab Ḫanafi).

Ini juga merupakan pendapat Imam Syāfi’ī, Imam Ahmad. Al-

Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan pendapat tersebut dari mayoritas

Ulama.

b. Syaikh ‘Ali ibn Husain ibn Muhammad al-Sa’di (W 461 H) dalam kitab

Fatawī al-Sa’dī mengatakan :

‫والسادس صالة ال رتاويح واهنا عشرون ركعة يف كل ليلة من شهر رمضان يف كل‬

‫ركعتني يسلم وكان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يصليها يف حياته وحده وكذلك‬

38
.‫اصحابه حىت كان زمان عمر فجعل للناس امامني يف شهر‬
Artinya : Pembagian yang keenam adalah shalat tarawih. Shalat tarawih
berjumlah 20 rakaat yang dilakukan setiap malam di bulan
Ramadhan dengan dua rakaat sekali salam. Rasulullah
melakukan shalat ini di masa hidupnya secara sendirian, begitu
juga dengan sahabatnya hingga zaman Umar. Kemudian
barulah pelaksanaannya dikumpulkan pada dua orang imam di
bulan Ramadhan.

2. Mazhab Mālikī

a. Syaikh ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Baghdādī al-Mālikī dalam

kitab Asyraf al-Masālik mengatakan :

39
.‫والوتر‬ ‫ومنها ال رتاويح مثاين عشرة تسليمة وقيل عشر ما بني العشاء‬

37
‘al-Zaila’ī, Usman ibn ‘Ali, Tabyīn al-Ḫaqāiq Jld II (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 353.
38
Al-Sa’dī, ‘Ali ibn Husain ibn Muhammad, Fatawī al-Sa’dī, Jld I (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 106.
33

Artinya : Sebagian dari shalat sunat adalah tarawih yaitu 18 kali salam (36

rakaat). Menurut pendapat yang lain shalat tarawih dilakukan

sebanyak 10 kali salam (20 rakaat) yang dilakukan di antara isya

dan witir.

b. Syaikh Ibrahim al-Ya’qūbī dalam kitab Fiqh al-‘Ibadāt Malikī

mengatakan :

‫ عشرون ركعة عدا الشفع والوتر مث جعلت يف زمن عمر بن عبد الع زيز‬: ‫عددها‬
‫رضي هللا عنه ست وثالثون لكن الذي عليه السلف واخللف أهنا عشرون والدليل ما‬
40
.‫عنه‬ ‫روى البيهقي عن السائب بن ي زيد الصحايب رضي هللا‬
Artinya : Bilangan rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat selain al-syaf’i
dan witir. Kemudian pada masa Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz
dijadikan menjadi 36 rakaat. Akan tetapi metode yang dilakukan
oleh Ulama Salaf dan Khalaf adalah 20 rakaat. Dalilnya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Saīb ibn Yazīd
al-Shaẖābī RA.

3. Mazhab Hanbalī

Ibnu Qudamah, ‘Abdullah ibn Aẖmad ibn Muhammad al-Maqdasī (W

620 H) dalam kitab al-Mughnī mengatakan :

، ‫ وأبو حنيفة‬، ‫ فيها عشرون ركعة وهبذا قال الثوري‬، ‫ رمحه هللا‬، ‫واملختار عند أيب عبد هللا‬

41
.‫ ستة وثالثون‬: ‫والشافعي وقال مالك‬
Artinya : Pendapat yang terpilih bagi Abī Abdillah RA (Imam Ahmad ibn

Hanbal) adalah 20 rakaat. Hal ini juga merupakan pendapat Imam

39
Syaikh ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Baghdādī al-Mālikī, Asyraf al-Masālik, Jld I,
(Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 56.
40
Al-Ya’qūbī, Syaikh Ibrahīm, Fiqh al-‘Ibadāt, Jld I (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 195.
41
Ibnu Qudamah, ‘Abdullah ibn Aẖmad ibn Muhammad al-Maqdasī, Al-Mughnī, Jld III,
(Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 388.
34

al-Tsūrī, Imam Abu Hanifah, Imam Syāfi’ī. Menurut Imam Malik,

shalat tarawih berjumlah 36 rakaat.

Dari keterangan di atas kita dapat mengetahui bahwa para Ulama dari mazhab

lain berpendapat bahwa shalat tarawih berjumlah rakaat. Hanya Imam Malik yang

memiliki pandangan bahwa bagi Penduduk Madinah shalat tarawih berjumlah 36

rakaat dengan penambahan 16 rakaat sebagai pengimbang bagi amalan penduduk

Mekah. Adapun mengenai jumlah rakaat tarawih dalam mazhab Syāfi’ī akan penulis

jelaskan secara mendetail dalam pembahasan berikutnya.

C. Metode Istinbāth dan Dasar-Dasar Hukum dalam Mazhab Syāfi’ī

Dalam mazhab Syafi’i, ada empat sumber hukum utama yang dijadikan dalil

dalam penetapan sebuah hukum. Keempat sumber hukum tersebut adalah Alquran,

hadis, ijmā’ dan qiyas. Hal ini juga disetujui oleh Imam mazhab empat yang lain.

Namun mereka berbeda pandangan tentang kesahihan dalil yang dapat menjadi

rujukan hukum dan dalil mana yang mesti didahulukan.

Dalam mazhab Hanafī, hadis yang digunakan sebagai sumber hukum

hanyalah hadis yang kuat saja dan harus tinggi derajat kesahihannya, bahkan lebih

baik adalah hadis mutawatir. Kalau tidak terdapat hadis semacam ini, lebih baik

berpaling kepada qiyas yang lebih terjamin kebenarannya dari pada mengambil dasar

hukum pada hadis-hadis yang diragukan, hadis yang kurang kuat, apalagi hadis

dha’if. Hal ini dapat dipahami karena Imam Hanafī menetap di Kufah, suatu tempat

yang minim sekali pemangku hadis dan riwayatnya pun banyak yang diragukan.

Kerena terlalu banyak memberi ruang pada al-ra’yu (pendapat), mazhab Ḫanafī
35

digelar dengan ahlu al-ra’yi atau ahlu al-qiyas. Imam Ḫahafi juga menggunakan

istiẖsān sebagai salah satu sumber hukum. 42

Imam Mālikī berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadis.

Namun bila seandainya ada hadis yang bertentangan dengan amalan orang Madinah,

maka yang lebih didahulukan adalah amalan orang Madinah. Imam Mālikī beralasan

hadis diriwayatkan dalam bentuk perkataan, sedangkan amalan orang Madinah

diriwayatkan dalam bentuk perbuatan, yakni perbuatan Nabi yang dilihat oleh

Sahabat yang kemudian diikuti dan dikerjakan hingga diteruskan kepada generasi

berikutnya. Imam Mālikī beranggapan dalalah perbuatan lebih kuat dari perkataan.

Jadi ijmā’ yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam mazhab Maliki adalah ijmā’

orang-orang Madinah.43

Imam Syāfi’i tidak setuju dengan pendapat di atas, bagi beliau hadis

diutamakan pengambilannya dari pada qiyas maupun amalan Ahli Madinah. Menurut

beliau, Alquran dan Hadis adalah dua rujukan utama. Ijmā’ dan qiyas bila tidak

bersandar kepada Al-quran dan Hadis tidak diterima. Karena itu beliau digelar

dengan Ahlu al-Hadis atau Nashīr al-Hadis. Hadis yang menjadi sumber hukum

adalah hadis-hadis saẖīẖ saja, sedangkan hadis dha’if hanya hanya digunakan untuk

fadhail ‘amal. Ijmā’ yang menjadi dasar hukum dalam mazhab Syāfi’ī adalah ijmā’

ahlu al-‘ashr (mujtahid yang hidup semasa). Adapun amalan sahabat Nabi yang

utama akan diterima menjadi sumber hukum kalau Nabi menyuruh umat Islam untuk

42
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii, cet. 17, (Jakarta: Pusat
Tarbiyah Baru, 2010), h. 135.
43
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 136-137.
36

mengikuti mereka, karena mengikuti perbuatan mereka pada hakikatnya adalah

mengikuti sunnah Rasul juga.44

Pendapat Imam Ḫanbalī hampir sama dengan pendapat Imam Syāfi’i. Beliau

mengecam pendapat Imam Ḫanafī yang terlalu banyak memberi ruang kepada al-

ra’yi dan pendapat Imam Mālik yang menggunakan amalan ahli Madinah sebagai

dasar hukum. Hanya saja perbedaannya, Imam Ḫanbali terlalu berlebihan dalam

menggunakan hadis sebagai sumber hukum. Menurut beliau, lebih baik

menggunakan hadis dha’if sebagai sumber hukum dari pada qiyas karena hadis

meskipun dha’if bersumber dari Nabi asalkan tidak sampai pada derajat maudhū’

(palsu).45

Dari uraian di atas, dapat kita pahami ada beberapa hal yang berbeda antara

mazhab Syāfi’ī dengan tiga mazhab lainnya dalam metode penggalian hukum. Imam

Syāfi’ī tidak sepakat dengan Imam Ḫanafī yang mendahulukan qiyas dari pada hadis.

Menurut Imam Syāfi’ī, ijmā’ yang dapat dijadikan dasar hukum adalah ijmā’ seluruh

mujtahid dalam semasa, bukan amalan orang-orang Madinah sebagaimana pendapat

Imam Malik. Imam syafi’i juga tidak setuju dengan pendapat Imam Ḫambalī yang

terlalu berlebihan dalam memakai hadis, hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum

hanyalah hadis sahih sehingga hadis itu dapat diyakini datangnya dari Nabi.

44
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 138.
45
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 139.
BAB III

JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH DALAM PERSPEKTIF FIQH

SYĀFI’ĪYYAH DAN HADIS RIWAYAT JĀBIR

A. Jumlah Rakaat Tarawih Menurut Fuqahā’ Syāfi’īyyah

Shalat tarawih adalah shalat sunat yang dilakukan pada bulan Ramadhan

setelah shalat isya hingga menjelang waktu subuh. Umat Islam di seluruh belahan

dunia menyambut secara antusias terhadap pelaksanaan shalat ini. Namun metode

pelaksanaannya berbeda-beda di antara satu tempat dengan tempat lainnya. Untuk

wilayah Indonesia dan Asia Tenggara umumnya umat Islam mengikuti mazhab

Syāfi’ī.

Dalam konteks penetapan jumlah rakaat tarawih, para Fuqahā’ Syāfi’īyyah

nampaknya telah sepakat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua puluh

rakaat. Hal ini dapat kita ketahui dari tulisan dan karya mereka yang tertuang dalam

khazanah klasik. Pendapat tersebut di antara lain:

a. Syaikh ‘Ali ibn Muhammad ibn Ḫabīb Al-Mawāridī (W 450 H) dalam kitab

al-Iqnā’ mengatakan :

‫وقيام شهر رمضان وهي صالة الرتوايح عشرون ركعة يوتر بعدها بثالث ونوافل الليل‬

‫أفضل من نوافل النهار ويف وسطه أفضل من طرفيه ويف آخره أفضل من أوله وجي زيه‬
1
.‫القيام‬ ‫القعود فيهن مع القدرة على‬
Artinya : Shalat qiyam Ramadhan yaitu tarawih berjumlah 20 rakaat dan
setelah itu dilakukan witir sebanyak 3 rakaat. Shalat-shalat sunat
yang dilakukan pada waktu malam seperti ini lebih utama dari
1
Al-Mawardī, Syaikh Muhammad ibn ‘Ali, al-Iqnā’, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila,
versi 4,27, 2010), h. 41.
38

shalat sunat yang dilakukakan pada waktu siang. Shalat sunat pada
pertengahan malam lebih utama dari dua dua ujungnya (awal dan
akhir), dan bagian akhir lebih utama dari pada bagian awal. Shalat
sunat boleh dilakukan dengan cara duduk walaupun mampu untuk
berdiri.

b. Syaikh Abu Ishāq al-Syairazī (W 476 H) di dalam kitab al-Muhadzdzab

mengatakan :

‫ومن السنن ال راتبة قيام رمضان وهو عشرون ركعة بعشر تسليمات والدليل عليه ما روى‬

‫أبو ه ريرة رضي هللا عنه قال " كان النيب صلى هللا عليه وسلم يرغب يف قيام رمضان من‬

‫غري ان أيمرهم بع زمية فيقول من قام رمضان إمياان واحتسااب غفر له ما تقدم من ذنبه‬

2
.‫واالفضل ان يصليها يف مجاعة‬
Artinya : Sebagian dari sunat rawatib adalah qiyam Ramadhan (tarawih).
Shalat ini berjumlah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam.
Dalil pelaksanaannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah di mana Beliau mengatakan bahwa Nabi SAW
menganjurkan kita untuk melakukan qiyam Ramadhan dengan
anjuran yang bukan berbentuk perintah secara tegas (wajib) dan
Rasulullah berkata “Barang siapa yang mendirikan malam pada
bulan Ramadhan (dengan melakukan shalat) secara penuh
keyakinan dan keikhlasan akan diampuni dosa-dosa yang telah
lalu.” Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah.

c. Imam ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad al-Rāfi,ī (W 623 H) dalam kitab Al-

‘Azīz Syarẖ al-Wajīz mengatakan:

‫(وتستحب اجلماعة يف ال رتاويح أتسيا بعمر رضى هللا عنه وقيل االنف راد به أويل لبعده عن‬
3
.‫ال رايء) صال ة ال رتاويح عشرون ركعة بعشر تسليمات وبه قال أبو حنيفة وامحد‬

2
Al-Syairazī, Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf, al-Muhadzdzab, Jld IV, (Beirut: Dār al-Fikr,
2010), h. 36.
3
Al-Rāfi’ī, ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad, Al-‘Azīz Syarẖ al-Wajīz, Jld IV, (Sofware:
Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 264.
39

Artinya : Dalam pelaksanaan tarawih disunatkan untuk dilakukan secara


berjamaah karena mengikuti perbuatan Umar RA. Namun ada
juga pendapat dhaif yang beranggapan shalat secara sendirian
lebih utama karena jauh dari perasaan riya. Shalat tarawih
berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam. Pendapat ini juga
merupakan pendapat Abu Ḫanīfah dan Imam Aẖmad.

d. Imam al-Nawawī (W 676 H) dalam kitab al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-


Muhadzdzab mengatakan :

‫اما ح كم املسألة فصالة ال رتاويح سنة ابمجاع العلماء ومذهبنا أهنا عشرون ركعة بعشر‬

4
.‫تسليمات وجتوز منفردا ومجاعة وأيهما أفضل فيه وجهان‬
Artinya : Adapun mengenai hukumnya, shalat tarawih merupakan ibadah
sunat di mana hal ini telah terjadi konsensus Ulama. Menurut
mazhab kita (mazhab Syāfi’ī), Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat
dengan sepuluh kali salam. Shalat tarawih dapat dilakukan
sendirian ataupun berjamaah. Mengenai hal mana yang terlebih
utama, para Ulama berbeda pendapat.

e. Syaikh Ibnu Ḫajar al-Haitamī (W 974 H) dalam kitab Tuẖfah al-Muẖtāj

mengatakan :

‫( و ) األصح ( أن اجلماعة تسن يف ال رتاويح ) لالتباع أوال وأمجع عليه الصحابة رضي هللا‬

‫عنهم أو أكثرهم فأصل مشروعيتها جممع عليه وهي عندان لغري أهل املدينة عشرون ركعة‬

‫كما أطبقوا عليها يف زمن عمر رضي هللا عنه ملا اقتضى نظره السديد مجع الناس على‬

5
.‫إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثالث‬
Artinya : Menurut pendapat yang kuat, pelaksanaan tarawih disunatkan untuk
dilakukan secara berjamaah karena ittibā’ (mengikuti perbuatan
Nabi) dan konsensus para Sahabat atau kebanyakan dari mereka.
Pensyariatan tarawih dari segi hakikat shalatnya telah menjadi
konsensus Ulama. Shalat tarawih menurut mazhab Syafi’ī, bagi
selain penduduk Madinah berjumlah 20 rakaat sebagaimana yang

4
Al-Nawawī, al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 37.
5
Al-Haitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld II..., h. 262.
40

telah dikerjakan dalam jumlah yang ramai pada masa Umar RA


manakala dengan idenya yang cemerlang Beliau mengumpulkan
jamaah pada satu Imam dan para Sahabat menyetujuinya.
Kemudian mereka melakukan witir sebanyak 3 rakaat.

f. Syaikh Muhammad ibn Aẖmad al-Syarbaini (W 977 H) dalam kitab Mughnī

al-Muẖtāj mengatakan :

‫وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات يف كل ليلة من رمضان ملا روى البيهقي إبسناد صحيح‬

‫أهنم كانوا يقومون على عهد عمر بن اخلطاب رضي هللا تعاىل عنه يف شهر رمضان بعش رين‬

‫ركعة وروى مالك يف املوطأ بثالث وعش رين ومجع البيهقي بينهما أبهنم كانوا يوترون بثالث‬

‫وما روي أنه صلى هللا عليه و سلم صلى هبم عش رين ركعة كما قاله ال رافعي ضعفه البيهقي‬

‫ومسيت كل أربع منها تروحية ألهنم كانوا يرتوحون عقبها أي يسرتحيون قال احلليمي والسر‬

‫يف كوهنا عش رين ألن الرواتب أي املؤكدة يف غري رمضان عشر ركعات فضوعفت ألنه‬

6
.‫وقت جد وتشمري‬
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam yang
dilakukan pada setiap malam di bulan Ramadhan. Hal ini dilandasi
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dengan isnād
yang shaẖiẖ yaitu “sesungguhnya mereka (Sahabat Nabi)
mendirikan tarawih pada masa Umar RA sebanyak 20 rakaat” dan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’
dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqī mengkompromikan dua dalil
ini dengan beranggapan bahwa mereka melakukan witir sebanyak
tiga rakaat. Adapun hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi
melakukan tarawih bersama sahabat sebanyak 20 rakaat, Imam
Rafi’i mengatkan hadis itu dianggap lemah oleh al-Baihaqī. Setiap
4 rakaat dinamakan tarwīẖah karena mereka melakukan istirahat
setelahnya. Al-Ḫulaimī berkata: “hikmah shalat tarawih berjumlah
20 rakaat adalah sebagai penggandaan dari rawatib muakkad pada
bulan lainnya yang Cuma berjumlah sepuluh rakaat karena bulan
Ramadhan adalah waktu untuk bersungguh-sungguh.”

6
Al-Syarbainī, Mughnī al-Muẖtāj, Jld I... h. 317.
41

g. Sulaiman ibn ‘Umar (W 1204 H) dalam kitab Ḫāsyiat Jamal ‘alā Syarẖ

Manhāj al-Thullāb mengatakan :

‫وهي عشرون ركعة أي يف حق غري أهل املدينة أما أهل املدينة فلهم فعلها ستا وثالثني‬

‫والسر يف كوهنا عش رين أن الرواتب أي املؤكدة يف غري رمضان عشر ركعات فضوعفت‬

7
.‫فيه‬
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat bagi selain penduduk Madinah.
Adapun bagi mereka dibolehkan untuk mengerjakannya sebanyak
36 rakaat. Hikmah dari keadaan tarawih sebanyak 20 rakaat adalah
penggandaan dari rawatib muakkad di luar Ramadhan yang Cuma
dilakukan sebanyak 10 rakaat.

Dengan melihat beberapa komentar Fuqahā’ Syāfi’īyyah dalam kitab-kitab

karangan mereka di atas, rasanya telah terwakili bagi kita untuk dapat jadikan

sebagai pegangan bahwa Fuqahā’ Syāfi’īyyah telah sepakat mengenai jumlah rakaat

shalat tarawih yaitu 20 rakaat. Pendapat tersebut tentunya sangat sesuai dengan apa

yang disampaikan sendiri oleh Imam Syāfi’ī dalam kitab al-Umm :

‫ورأيتهم ابملدينة يقومون بتسع وثالثني وأحب إىل عشرون النه روى عن عمر وكذلك يقومون مبكة‬

8
‫ويوترون بثالث‬
Artinya : Saya melihat orang-orang di Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak
36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena
hal itu diriwayatkan dari Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih
dilakukan oleh orang-orang di Mekah dan mereka melakukan witir
sebanyak tiga rakaat.

7
Sulaiman ibn ‘Umar, Ḫasyiat al-Jamal, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 641.
8
Al-Syāfi’ī, Muhammad ibn Idris, al-Umm, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 167.
42

Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa pendapat Fuqahā’

Syāfi’īyyah tentang jumlah rakaat tarawih telah bulat yaitu 20 rakaat. Pendapat ini

pastinya memiliki dasar hukum dan metode istinbāth tersendiri. Pendapat ini juga

berbeda dengan pendapat Imam Malik. Untuk lebih jelas, berikut ini penulis akan

menjelaskan secara lebih detail mengenai dasar hukum dan metode istinbāth mereka

dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih serta pandangan mereka terhadap amalan

penduduk Madinah.

1. Dasar Hukum dan Metode Istinbāth Fuqahā’ Syāfi’iyyah Mengenai

Jumlah Rakaat Tarawih

Dalam hal penetapan jumlah rakaat shalat tarawih, ada beberapa dalil yang

dijadikan sebagai pegangan oleh Fuqahā’ Syāfi’īyyah. Dalil pertama adalah hadis

mauqūf tentang perbuatan Sahabat Nabi. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan

bahwa para Sahabat pada masa Khalifah Umar ibn Khatab RA melakukan shalat

tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat dan setelah itu melakukan witir.

Riwayat tersebut antara lain :

a. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dari Al-Saīb ibn Yazīd al-

Shaẖābī dengan isnād yang sahih:

‫ كانوا يقومون على عهد عمر بن اخلطاب رضى هللا عنه ىف‬: ‫عن السائب بن ي زيد قال‬
9
.‫شهر رمضان بعش رين ركعة‬

9
Al-Baihaqī, Aẖmad ibn Ḫusain ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrā, Jld II, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 496.
43

Artinya : Dari al-Saīb ibn Yazīd al-Shaẖābī meriwayatkan, Para sahabat

mendirikan shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20

rakaat.

b. Dalam thariq yang lain Imam al-Baihaqī meriwayatkan :

‫ دعا‬: ‫عن عطاء بن السائب عن أىب عبد الرمحن السلمى عن على رضى هللا عنه قال‬

‫ وكان على رضى‬: ‫ قال‬.‫ فأمر منهم رجال يصلى ابلناس عش رين ركعة‬، ‫الق راء ىف رمضان‬

10
.‫هللا عنه يوتر هبم‬
Artinya : Diriwayatkan dari ‘Ithā’ ibn al-Saīb dari Abī ‘Abd al-Raẖmān al-
Salmī dari ‘Ali RA mengatakan : “Panggillah orang-orang yang
bagus bacaannya dan perintahkan salah seorang dari mereka untuk
melakukan shalat bersama para jamaah pada bulan Ramadhan
sebanyak 20 rakaat.” Pada waktu itu, ‘Ali RA melakukan witir
bersama mereka.

c. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Mālik dalam kitab al-Muwathā’ :

‫عن ي زيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون يف زمان عمر بن اخلطاب يف رمضان‬

11
‫بثالث وعش رين ركعة‬
Artinya : Dari Yazīd ibn Rauman diriwayatkan bahwa sesungguhnya orang-

orang pada masa Umar RA mendirikan Ramadhan dengan 23

rakaat.

Ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan mengenai hadis mauqūf yang

meriwayatkan perbuatan para sahabat pada masa Umar RA dan Ali RA. Hadis itu

dikatakan mauqūf karena perbuatan itu disandarkan kepada sahabat.12

10
Al-Baihaqī, Aẖmad ibn Ḫusain ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrā, Jld II..., h. 496.
11
Malik ibn Anas, al-Muwatha’, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h.
342.
44

Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat tidak

selamanya dianggap hadis mauqūf. Apa yang disandarkan kepada para sahabat

tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan dengan perkara yang

bersumber dari pendapat seseorang (yuqālu min qibal al-ra’yi) dan berkemungkinan

untuk dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-

masalah yang dihasilkan dari ijtihad (lā majal fīhi li al-ijtihād), hadis tersebut

digolongkan sebagai hadis marfū’.13

Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya adalah bukan masalah

ijtihadiyyah, bukan juga masalah yang bersumber dari perkataan dan pendapat

pribadi dari seseorang, melainkan para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi

SAW. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyyah atau masalah yang

bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan berbeda-beda dalam

melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyyah,

atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan terjadi

perbedaan-perbedaan. 14

Oleh karena itu, hadis tentang tarawih dua puluh tadi, kendati hal itu mauqūf

kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis marfū’, yaitu hadis yang

bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai hadis marfū’, maka ia memiliki

12
Hadis mauquf adalah segala sesuatu baik berbentuk perkataan, perbuatan dan
seumpamanya yang disandarkan kepada Sahabat. Sebagian Fuqahā’ Syāfi’iyyah menamakan hadis
mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfū’ (yang disandarkan kepada Nabi) dinamakan khabar.
Adapun para Muẖaditsīn sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawī menggunakan
khabar kepada hadis mauqūf dan hadis marfū’. Lihat Syaikh al-Ajhūrī, Syarẖ al-Baiqūniyyah,
(Indonesia: Haramain, 2006), h. 53
13
Syaikh al-Ajhūrī, Syarẖ al-Baiqūniyyah..., h. 53
14
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, cet. III, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006), h. 64.
45

hujjiyyah (kekuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya hadis-hadis marfū’ yang

lain.

Dalam ber-istinbāth dari hadis ini, Fuqahā’ Syāfi’īyyah menggunakan metode

lafzhi yaitu dengan melihat kepada bilangan rakaat yang terkandung dalam hadis ini.

Bilangan rakaat yang berbentuk ism ‘adat tersebut merupakan lafaz nash yaitu lafaz-

lafaz yang tidak ada kemungkinan selain pada satu makna. 15 Dengan kepastian

makna tersebut mereka menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat tarawih dua puluh

rakaat.

Dalil kedua adalah ijmā’ (konsensus) sahabat Nabi. Ijmā’ mengenai jumlah

rakaat shalat tarawih ini dapat dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para

Sahabat yang memprotes, menyalahkan, dan menganggap hal yang dikerjakan oleh

Ubay ibn Ka’ab bertentangan dengan yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Padahal pada

saat itu ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Ali ibn Abī Thālib, Utsman ibn ‘Affan dan para

sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat bertentangan

dengan sunnah Nabi SAW, tentu para Sahabat sudah melakukan protes terhadap apa

yang dilakukan oleh Ubay ibn Ka’ab. 16

Memang Hadis Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan secara jelas bahwa shalat

tarawih berjumlah 20 rakaat kualitasnya lemah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-

Thabrānī sebagai berikut :

15
Imam Haramain, Abd al-Malik ibn Yusuf, al-Waraqat, (Indonesia, Haramain, 2006), h. 89.
16
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 64.
46

17
‫كان النيب صلى هللا عليه و سلم يصلي يف رمضان عش رين ركعة والوتر‬

Artinya : Nabi SAW melakukan shalat di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh

rakaat dan melakukan witir.

Meskipun hadis ini kualitasnya lemah, namun kandungan dari hadis ini

didukung oleh ijmā’ (konsensus) sahabat Nabi sehingga akan menjadi hasan li

ghairih. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Syarbaini :

‫وتعيني كوهنا عش رين جاء يف حديث ضعيف لكن أمجع عليه الصحابة رضوان هللا تعاىل عليهم‬

18
‫أمجعني‬
Artinya : Dalil yang secara jelas menyebutkan jumlah rakaat tarawih adalah hadis

dha’if, namun tarawih 20 rakaat tersebut telah menjadi konsensus para

Sahabat RA.

Ibnu Qudamah al-Maqdasī, seorang Ulama mazhab Ḫanbalī mengatakan

bahwa apa yang dilakukan oleh Umar dan menjadi konsensus para Sahabat pada

masa itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti. Pendapat tersebut beliau utarakan

di dalam kitab al-Mughnī yang redaksinya sebagai berikut :

‫لو ثبت أن أهل املدينة كلهم فعلوه لكان ما فعله عمر وأمجع عليه ال صحابة يف عصره أوىل‬
19
‫ابالتباع‬

17
Al-Thabrānī, Sulaiman ibn Aẖmad, Mu’jam al-Kabīr, Jld XI, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 393.
18
Al-Syarwainī, Abd al-Ḫamīd, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), h.
262.
19
Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Jld III..., h. 389.
47

Artinya : Jika ada dalil yang menyebutkan bahwa seluruh penduduk Madinah

melakukan tarawih seperti itu (36 rakaat), sungguh apa yang dikerjakan

oleh Umar dan menjadi konsensus Ulama pada waktu itu lebih utama

untuk diikuti.

Demikianlah beberapa dalil yang digunakan oleh para Fuqahā’ Syāfi’īyyah di

dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih. Dalil ini juga digunakan oleh mayoritas

ulama yang berpendapat bahwa shalat tarawih adalah dua puluh rakaat dalam

mazhab-mazhab yang lain.

2. Pandangan Fuqahā’ Syāfi’īyyah Terhadap Amalan Orang Madinah

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, Imam Syāfi’ī lebih

mengutamakan hadis dari pada amalan orang Madinah. Hal ini berbeda dengan

Imam Mālik yang menetapkan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat, kerena Beliau

lebih mengutamakan amalan orang Madinah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh

Imam Syāfi’ī : ”Saya melihat orang-orang di Madinah melakukan shalat tarawih

sebanyak 36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena

hal itu diriwayatkan dari Umar.”20

Syaikh Abu Bakar Syatta dalam kitab I’ānat al-Thālibīn mengatakan :

‫(وهي عشرون ركعة) أي لغري أهل املدينة على م شرفها أفضل الصالة وأزكى السالم أما هم فلهم‬

‫فعلها ستا وثالثني وإن كان اقتصارهم على العش رين أفضل وال جيوز لغريهم ذلك وإمنا فعل أهل‬

‫املدينة هذا ألهنم أرادوا مساواة أهل مكة فإهنم كانوا يطوفون سبعا بني كل تروحيتني فجعل أهل‬

20
Al-Syāfi’ī, al-Umm, Jld I..., h. 167.
48

‫املدينة مكان كل سبع أربع ركعات قال الس يوطي وما كانوا يطوفون بعد اخلامسة وإمنا خص أهل‬

21
‫املدينة بذلك ألن هلم شرفا هبج رته صلى هللا عليه وسلم ومدفنه‬
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat, yaitu bagi selain penduduk Madinah,
atas musyarrif-nya (Nabi) kuatamaan rahmat dan kesejahteraan. Adapun
mereka dibolehkan untuk melakukannya sebanyak 36 rakaat walaupun
mengurangi dalam jumlah 20 rakaat lebih utama bagi mereka. Hal ini tidak
boleh dilakukan oleh selain penduduk Madinah. Penduduk Madinah
melakukan penambahan seperti itu hanya semata-mata untuk
mengimbangi kelebihan penduduk Mekah di mana penduduk Mekah
melakukan tawaf di antara dua tarwīẖah selama tujuh kali. Maka
penduduk Madinah berinisiatif untuk menjadikan posisi tujuh kali tawaf
tersebut untuk melakukan shalat sebanyak 4 rakaat. Imam al-Sayuthī
mengatakan para penduduk Mekah tidak lagi melakukan tawaf setelah
tarwīẖah kelima. Penambahan ini hanya dikhususkan kepada penduduk
Madinah dikarenakan mereka mendapat kemuliaan dengan berkat hijrah
Nabi dan terdapatnya maqam Nabi SAW.

Hal senada juga diungkapkan oleh Al-Syarbainī dalam kitab al-Iqnā’ :

‫وألهل املدينة الش ريفة فعلها ستا وثالثني ألن العش رين مخس تروحيات فكان أهل مكة يطوفون بني‬

‫كل تروحيتني سبعة أشواط فجعل ألهل املدينة بدل كل أسبوع تروحية ليساووهم وال جيوز ذلك‬

22
‫لغريهم كما قاله الشيخان ألن ألهلها شرفا هبج رته ودفنه صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya : Bagi penduduk Madinah dibolehkan untuk mengerjakan tarawih sebanyak


36 rakaat. Hal ini dikarenakan dalam 20 rakaat terdapat lima kali tarwīẖah
yang digunakan sebagai kesempatan oleh Penduduk Mekah untuk
melakukan tawaf di antara setiap dua tarwīẖah sebanayk tujuh kali. Maka
penduduk Madinah mengganti setiap tujuh kali tawaf dengan satu
tarwīẖah (4 rakaat) untuk menyamai penduduk Mekah. Hal ini tidak
dibolehkan bagi selain penduduk Madinah sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh al-Syaikhani karena mereka mendapat kemulian dengan
berkat hijrah dan pemakaman Nabi SAW.

21
Abu Bakar Syatta, I’ānat al-Thālibīn, Juz I..., h. 265.
22
Al-Syarbainī, al-Iqnā’, Jld I..., h. 117.
49

Syaikh Ibnu Ḫajar Al-Haitamī dalam kitab Tuẖfat al-Muẖtāj mengatakan :

‫وهلم فقط لشرفهم جبواره صلى هللا عليه وسلم ست وثالثون ج ربا هلم ب زايدة ستة عشر يف مقابلة‬

‫ وابتداء حدوث ذلك كان أواخر‬، ‫طواف أهل مكة أربعة أسباع بني كل تروحية من العش رين سبع‬

23
‫القرن األول مث اشتهر ومل ينكر فكان مبن زلة اإلمجاع السكويت‬

Artinya : Hanya bagi mereka (penduduk Madinah) kerena kemuliaannya dengan


sebab berdekatan dengan Nabi SAW yang dibolehkan melakukan shalat
tarawih sebanyak 36 rakaat sebagai pengimbang dengan penambahan 16
rakaat terhadap tawaf yang dilakukan penduduk Mekah (4 x 7 kali) di
mana di antara setiap dua tarwīẖah dilakukan sejumlah tujuh kali. Hal itu
baru terjadi pada akhir abad pertama (hijriah) kemudian hal itu menjadi
masyhur dan tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian hal ini berada
pada kedudukan al-ijmā al-sukūtī.

Dengan melihat beberapa pendapat di atas, maka tidak benar bila ada yang

mengatakan bahwa shalat tarawih dalam mazhab Syāfi’ī tidak berorientasi pada

angka tertentu. Hal ini dapat dipahami karena penambahan shalat tarawih sejumlah

36 rakaat hanya dibenarkan kepada penduduk Madinah. Sedangkan bagi selain

penduduk Madinah shalat tarawih berjumlah 20 rakaat. Adanya al-ijmā’ al-sukūtī

tentang penambahan 36 rakaat bagi penduduk Madinah tersebut hanyalah dari segi

kebolehannya saja, bukan dari segi adanya tuntutan dan anjuran. 24

Sebagaimana disebutkan dalam keterangan di atas, penambahan shalat

tarawih menjadi 36 rakaat hanya diberikan kepada penduduk Madinah karena

mereka mendapat kemuliaan dan keistimewaan dengan berkat hijrah Nabi dan

23
Al-Haitamī, Tuẖfat al-Muẖtāj, Jld II..., h.263.
24
Al-Syarwainī, Abd al-Ḫamīd, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II..., h. 263.
50

menjadi tempat pemakaman Nabi SAW. Adapun bagi selain penduduk Madinah,

penambahan seperti itu tidak dibolehkan.

Penduduk Madinah yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang

berada di Madinah pada saat melakukan shalat. Syaikh Sulaiman al-Bujairimī

mengatakan :

25
‫ وامل راد أبهل املدينة من هبا وقت صالة ال رتاويح وإن كانوا غ رابء ال أهلها بغريها‬: ‫ق ال م ر‬
Artinya : Syaikh Muhammad Ramli berkata : “Yang dimaksudkan dengan Ahli

Madinah adalah orang-orang yang berada di Madinah pada waktu

pelaksanaan tarawih, walaupun mereka adalah orang asing, bukan

penduduk tetap Madinah ang sedang berada di luar Madinah.”

Syaikh Syihāb al-Dīn, Ahmad ibn Ahmad al-Qulyūbī dalam Ḫāsyiat al-

qulyūbī mengungkapkan hal yang sama :

‫ وإن مل يكن مقيما هبا والعربة يف‬, ‫وامل راد هبم من وجد فيها أو يف م زارعها وحنوها يف ذلك الوقت‬

‫ أو‬, ‫قضائها بوقت األداء فمن فاتته وهو يف املدينة فله قضاؤها ولو يف غري املدينة ستا وثالثني‬

26
.‫وهو يف غري املدينة قضاها وال يف املدينة عش رين‬
Artinya : Yang dimaksudkan dengan ahli Madinah adalah orang-orang berada di
Madinah, perkebunannya dan seumpamanya pada waktu pelaksanaan
tarawih sekalipun ia tidak bermukim di sana. Hal yang menjadi tolak ukur
untuk qadhā’ adalah keberadaan seseorang pada waktu yang ditetapkan.
Maka orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di
Madinah boleh meng-qadha-nya sebanyak 36 rakaat walaupun di luar
Madinah. Sedangkan orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih

25
Al-Bujairimī, Ḫāsyiat al-Bujairimī..., h. 281.
26
Al-Qulyūbī, Ahmad ibn Ahmad, Ḫāsyiat al-Qulyūbī, Jld I (Semarang: Toha Putra, t.t), h.
217.
51

saat berada di luar Madinah mesti melakukan qadha sebanyak 20 rakaat


walaupun di Madinah.

Pelaksanaan shalat tarawih yang dilakukan oleh penduduk Madinah sebanyak

36 rakaat diberi pahala shalat tarawih untuk 20 rakaat, sedangkan 16 rakaat lainnya

diberi pahala yang melebihi pahala shalat sunat mutlaq karena kedudukannya sedikit

lebih tinggi. 27

Demikianlah tanggapan para Fuqahā’ Syāfi’īyyah terhadap pelaksanaan

tarawih yang dilakukan oleh penduduk Madinah. Dari uraian ini dapat diketahui

bahwa penduduk Madinah juga mengakui dan tidak menyalahi shalat tarawih

sebanyak 20 rakaat, hanya saja mereka menambahnya untuk mengimbangi kelebihan

yang diperoleh oleh penduduk Mekah.

B. Kandungan Hadis Riwayat Jābir Tentang Jumlah Rakaat Tarawih

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa para Fuqahā’ Syāfi’īyyah dan

jumhur Ulama telah menyepakati bahwa shalat tarawih berjumlah 20 rakaat. Mereka

menjadikan hadis yang mauqūf pada perbuatan Sahabat Nabi dan konsensus yang

terjadi pada waktu itu sebagai landasan hukum. Namun pendapat ini dikritisi oleh

sebagian orang yang menganggap shalat tarawih 20 rakaat menyalahi sunnah yang

dikerrjakan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang

diriwayatkan oleh Jābir yang secara jelas menyebutkan bahwa Nabi melakukan

shalat tarawih bersama para Sahabat sebanyak 8 rakaat. Apalagi hadis ini semakin

dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah yang mengatakan

bahwa Nabi tidak pernah melakukan shalat melebihi 11 rakaat. Dengan demikian,

27
Al-Syarqawī, Ḫāsyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
52

mereka beranggapan shalat tarawih yang dikerjakan sebanyak 20 rakaat telah

melenceng dari apa yang telah digaris bawahi oleh Rasulullah SAW.

Hadis riwayat Jābir tersebut terdapat dalam beberapa kitab hadis baik yang

berbentuk hadis fi’liyyah ataupun hadis taqrīrī. Hadis riwayat Jābir tersebut di antara

lain adalah :

a. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ḫibbān (W 354 H) dalam Shaẖiẖ-nya dari

Jābir bin Abdillah yang berkata :

‫ اي رسول هللا كان مين الليلة‬: ‫جاء أيب بن أيب كعب إىل النيب صلى هللا عليه و سلم فقال‬

‫ إان ال نق رأ القرآن‬: ‫ نسوة يف داري قلن‬: ‫ ( وما ذاك اي أيب ؟ ) قال‬: ‫شيء يف رمضان قال‬

‫ فكان شبه الرضا ومل‬: ‫ فصليت هبن مثاين ركعات مث أوترت قال‬: ‫فنصلي بصالتك قال‬
28
‫يقل شيئا‬
Artinya : Ubay bin Ka’ab mendatangi Nabi SAW dan berkata : “Wahai
Rasulullah, ada sesuatu yang saya lakukan pada malam di bulan
Ramadhan.” Nabi bertanya : “Apakah itu wahai Ubay?” Ubay
menjawab : Para wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak
dapat membaca Alquran. Mereka meminta saya untuk mengimami
shalat mereka. Maka saya melakukan shalat bersama mereka 8
rakaat, kemudian saya shalat witit.” Jābir kemudian berkata :
“Maka hal itu sepertinya diridhai oleh Nabi SAW dan beliau tidak
berkata apa-apa.”

b. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Ḫibbān dari Jābir berkata :

‫صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف شهر رمضان مثان ركعات وأوتر فلما كانت‬

‫القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل فيه حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا‬

28
Ibnu Ḫibban, Muhammad ibn ḪIbbān, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 190.
53

‫ أو كرهت‬- ‫ إين خشيت‬: ‫ اي رسول هللا اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن تصلي بنا فقال‬:

29
‫ أن يكتب عليكم الوتر‬-
Artinya : Kami melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir. Pada malam
berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi
keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga
tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah tiba kami berkata : Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap
Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat
witir.”

c. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shaẖīẖ-nya :

‫ صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف رمضان مثان‬: ‫عن جابر بن عبد هللا قال‬

‫ركعات والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل يف‬

‫ اي رسول‬: ‫املسجد حىت أصبحنا فدخلنا ع لى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقلنا له‬

30
‫ كرهت أن يكتب عليكم الوتر‬: ‫هللا رج وان أن خترج إلينا فتصل بنا فقال‬
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama
Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan
melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di
mesjid dan mengharapkan Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi
tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah
tiba kami berkata baginya : Wahai Rasulullah, kami semalam
berkumpul di Mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat
bersama kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya saya khawatir
Allah akan mewajibkan shalat witir.”

d. Hadis yang diwayatkan oleh Sulaiman ibn Ahmad Al-Thabranī :

29
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI..., h. 169.
30
Ibnu Khuzaimah, Muhammad ibn Ishāq, Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), Jld II, h. 138.
54

‫ صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف‬: ‫عن جابر بن عبد هللا رضي هللا عنه قال‬

‫شهر رمضان مثان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج‬

‫فلم نزل فيه حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا اي رسول هللا اجتمعنا البارحة يف املسجد ورج وان‬

31
‫أن تصلي بنا فقال إين خشيت أن يكتب عليكم‬
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama
Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan
melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di
mesjid dan mengharapkan Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi
tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah
tiba kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di
Mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat bersama
kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya saya khawatir shalat ini
akan diwajibkan atas Kalian.”

Dari hadis riwayat Jābir di atas jelas sekali disebutkan bahwa shalat tarawih

adalah 8 rakaat. Namun sebelum mengkorelasikan hadis ini dengan pedapat Fuqahā’

Syāfi’īyyah yang sekilas terlihat sangat kontradiktif, ada baiknya kita kaji terlebih

dahulu mengenai kedudukan hadis ini dalam perspektif ilmu hadis dan dalil-dalil lain

yang dapat dijadikan sebagai pendukung bagi kandungan hadis Jābir tersebut.

1. Kedudukan Hadis Riwayat Jābir Dalam Perspektif Ilmu Hadis

Alquran dan Hadis adalah dua sumber hukum utama bagi umat Islam.

Alquran dari segi periwayatannya bersifat qath’i (pasti), karena diriwayatkan dalam

jumlah mutawatir pada setiap generasi. Hal ini berbeda dengan hadis, dari segi

periwayatannya, hadis tidak seluruhnya bersifat qath’i, namun ada juga hadis-hadis

yang diragukan kebenarannya bahwa hadis itu datang dari Nabi. Setelah periode

31
Al-Thabranī, Sulaiman ibn Ahmad, Mu’jam al-Shaghīr, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 317.
55

sahabat, Islam telah menyebar luas, pada saat itu juga banyak bermunculan hadis-

hadis palsu yang sebenarnya bukan bersumber dari Nabi. Oleh karena itu kita perlu

mengkaji bagaimana tanggapan para Muhadditsīn terhadap kedudukan hadis ini.

Perlu diketahui, bahwa semua hadis riwayat Jābir di atas terdapat nama ‘Isa

ibn Jāriyah dalam mata rantai sanad-nya. Supaya lebih jelas, penulis akan

menunjukkan salah satu sanad dari hadis riwayat Jābir secara lengkap agar terlihat

adanya nama ‘Isa ibn Jāriyah dalam mata rantai sanad hadis tersebut. Hal ini

sebagaimana yang termaktub dalam Shaẖiẖ Ibnu Hibban sebagai berikut :

‫ حدثنا أبو ال ربيع الزه راين‬: ‫ حدثنا إسحاق بن إب راهيم قال‬: ‫أخ ربان عبد هللا بن حممد األزدي قال‬

‫ حدثنا عيسى بن جارية‬: ‫ حدثنا يعقوب القمي قال‬: ‫قال‬

‫ عن جابر بن عبد هللا قال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف شهر رمضان‬:

‫مثان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل فيه‬

‫ اي رسول هللا اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن تصلي بنا فقال‬: ‫حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا‬
32
‫ أن يكتب عليكم الوتر‬- ‫ أو كرهت‬- ‫ إين خشيت‬:
Artinya : Kami dikabarkan oleh Muhammad al-Azdi dari Ishaq ibn Ibrahim di
mana dari Abu Rabi’ al-Zahrani dari Ya’qub al-Qami dari Isa ibn
Jariyah dari Jābir ibn ‘Abdullah di mana ia berkata : “Kami
melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir. Pada malam
berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi
keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga
tiba waktu Subuh.” Ketika Rasulullah tiba kami berkata : “Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap
Engkau keluar melakukan shalat bersama kami.” Nabi menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat
witir.”
32
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI..., h. 169.
56

Setelah menelusuri beberapa literatur yang membahas tentang kualitas

seorang perawi, ternyata ‘Isa ibn Jāriyah ini diperselisihkan oleh para ahli kritik

hadis. Untuk lebih jelasnya marilah kita perhatikan beberapa redaksi yang memberi

tanggapan kepada perawi Isa ibn Jāriyah.

1. Al-Nasā-ī dalam kitab al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li al-Nasā-ī

memasukkannya dalam perawi yang dha’īf. Beliau berkata :

33
‫عيسى بن جارية يروي عنه يعقوب القمي منكر‬
Artinya: ‘Isa ibn Jāriyah yang diriwayatkan darinya oleh Ya’qūb al-Qāmi

adalah munkar.

2. Ibnu al-Jauzī dalam kitab al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li Ibni al-Jauzī

mengatakan :

‫عيسى بن جارية يروي عنه يعقوب القمي قال حيىي عنده احاديث مناكري وقال النسائي‬

34
‫مرتوك احلديث‬
Artinya : ‘Isa ibn Jāriyah yang diriwatkan oleh Ya’qūb al-Qamī, menurut

Yahya adalah seorang perawi yang di sisinya banyak terdapat hadis

munkar dan menurut Imam al-Nasā-ī merupakan hadis matrūk.

3. Al-Zāhibī dalam kitab al-Kāsyif fī ma’rifati man lahū al-Riwayat fi kutub al-

Sittah mengatakan :

33
Al-Nasā-ī, al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li al-Nasā-ī, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila,
versi 4,27, 2010), h.216.
34
Ibnu al-Jauzī, al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li Ibni al-Jauzī Jld II, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 267.
57

‫عيسى بن جارية االنصاري عن ج رير وجابر وعنه أبو صخر محيد بن زايد ويعقوب القمي‬

35
‫خمتلف فيه قال ابن معني عنده مناكري‬
Artinya : ‘Isa ibn Jāriyah al-Anshārī meriwayatkan dari Jarīr dan Jābir,
sementara darinya diriwayatkan oleh Abu Sakhr Ḫamīd ibn Ziyād
dan Ya’qūb al-Qamī adalah seorang perawi yang diperselisihkan
oleh para Ulama. Ibnu Ma’īn berkata : “Di sisinya banyak
terdapat hadis-hadis munkar.

4. Ibnu Ḫajar al-‘Asqalālī dalam kitab Tahzīb al-Tahzīb menjelaskan secara

lengkap tentang sosok ‘Isa ibn Jāriyāh dan tanggapan para Ulama tentang

hadis yang diriwayatkannya. Beliau berkata :

‫ روى عن ج رير البجلي وجابر بن عبد هللا وش ريك رجل‬.‫عيسى بن جارية االنصاري املدين‬

‫ وعنه أبو‬.‫له صحبة وابن املسيب وأيب سلمة بن عبدالرمحن وسامل بن عبد هللا بن عمر‬

‫صخر محيد بن زايد وزيد ابن أيب أنيسة ويعقوب القمي وعنبسة بن سعيد ال رازي وسعيد‬

‫ قال ابن أيب خيثمة عن ابن معني ليس بذاك ال أعلم أحدا روى عنه‬.‫بن حممد االنصاري‬

‫غري يعقوب وقال الدوري عن ابن معني عنده مناكري حدث عنه يعقوب القمي وعنبسة‬

‫قاضي الري وقال أبو زرعة ال أبس به وقال أبو حامت عيسى الدوري عن أيب سلمة وعنه‬

‫زيد بن أيب أنيسة هو عندي عيسى بن جارية وقال اآلجري عن أيب داود منكر احلديث‬

36
.‫الثقات‬ ‫وقال يف موضع آخر ما أعرفه وروى مناكري وذكره ابن حبان يف‬
Artinya: ‘Isa ibn Jāriyah al-Anshārī al-Madānī adalah seorang perawi yang
meriwayatkan hadis dari Jarīr al-Bajlī, Jābir ibn ‘Abdillah, teman

35
Al-Zāhibī, Muhammad ibn Ahmad, al-Kāsyif fī Ma’rifati Man lahū al-Riwayat fi Kutub
al-Sittah, Jld II , (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 109.
36
Al-‘Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb Jld VIII, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010),
h. 185-186.
58

seorang Sahabat, Ibnu al-Musayyab, Abī Salamah ibn Abd al-


Raẖmān, dan Salim ibn ‘Abdillah ibn ‘Amr. Sedangkan yang
meriwayatkan hadis darinya adalah Abu Shakhr Hamīd ibn Ziyād,
Yaid ibn Abī Anīsah, Ya’qūb al-Qamī, ‘Anbasah ibn Sa’īd al-Razī
dan Sa’īd ibn Muhammad al-Anshārī. Ibnu Abī Khaizamah
meriwayatkan dari Ibnu Ma’īn yang berkata : “Tidak seperti
demikian, saya tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkan
darinya selain Ya’qūb.” Al-Daurī meriwayatkan dari Ibnu Ma’īn
yang berkata : “Di sisinya (‘Isa ibn Jāriyah) banyak terdapat hadis
munkar yang mengambil hadis darinya oleh Ya’qūb al-Qamī dan
‘Anbasah Qadẖi al-Rayyī.” Abu Zar’ah berkata : “tidak apa-apa
dengannya.” Abu Ḫatim berkata: “‘Isa al-Daurī meriwayatkan hadis
dari Abī Salamah dan darinya diriwayatkan oleh Zaid ibn Abī
Anīsah, menurutku ‘Isa al-Daurī adalah ‘Isa ibn Jāriyah.” Al-Ājirī
meriwayatkan dari Abi Daud bahwa hadisnya munkar, pada tempat
yang lain Ia mengatakan saya tidak mengenalinya dan ia
meriwayatkan hadis munkar. Ibnu Ḫibban menyebutkannya sebagai
perawi yang tsiqah (kredibel).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa ‘Isa ibn Jāriyah

adalah perawi yang dha’īf, munkar, atau matrūk. Ia dicacatkan oleh Ibnu Ma’īn, Al-

Nasā-ī, Abu Daud, Al-‘Uqaili, Al-Ājirī dan para Ahli hadis lainnya. Selain itu, Ibnu

al-Jauzī dan al-Zāhibī juga memasukkannya dalam daftar perawi-perawi dha’īf.

Namun demikian, Ada juga yang menganggapnya tsiqah yaitu Ibnu Ḫibbān,

sementara Abu Zar’ah hanya men-ta’dil-kannya dengan mengatakan lā ba’sa bihī

(tidak mengapa). Pernyataan Ibnu ẖibbān dan Abu Zar’ah tidak cukup kuat untuk

men-ta’dil-kan ‘Isa ibn Jāriyah karena celaan yang cukup jelas dari yang men-dha’if-

kannya. Oleh kerena itu, Penulis lebih cenderung pada mereka yang men-dha’if-kan

‘Isa ibn Jāriyah.

Adapun al-Albānī, seorang ulama Wahabi menilai hadis ini kualitasnya

ẖasan. Pendapat itu Ia tulis dalam kitab Shalat al-Tarāwīẖ yang redaksinya sebagai

berikut :
59

‫رواه ابن نصر والط رباين وسنده حسن مبا قبله واشار احلافظ يف الفتح ويف التلخيص إىل تقويته‬

37
‫وع زاه البن خ زمية وابن حبان يف صحيحهما‬

Artinya : Diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dan al-Thabrānī dengan sanad yang ẖasan
bersama hadis sebelumnya. Al-Ḫafīzh Ibnu Ḫajar dalam kitab Fath al-Bāri
dan al-Talkhīs mengisyaratkan hadis itu sahih, namun Beliau
menyandarkan hadis itu kepada Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḫibban dalam
kitab Shaẖīẖ mereka.

K.H. Ali Mustafa Yaqub mengatakan, melihat apa yang disampaikan oleh al-

Albānī, tampaknya ia tidak meneliti sendiri hadis tersebut. Ia hanya menangkap

isyarat dari Imam Ibnu Ḫajar saja. Seyogyanya al-Albānī melihat sendiri hadis

tersebut dalam Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān dan Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah. Tashẖīẖ

(menetapkan kesahihan) suatu hadis tidak dibenarkan menurut disiplin Ilmu Hadis

bila hanya menangkap isyarat dari pendapat orang lain yang kemungkinan bersifat

subjektif saja. Tashẖīẖ hadis harus mengacu kepada hadis, baik matn dan sanad-nya

yang terdapat di suatu kitab di mana hadis itu berada. 38

Apa yang dikatakan oleh al-Albāni bahwa Al-Ḫāfīzh Ibnu Ḫajar memberi

isyarat tentang kesahihan hadis Jābir tersebut sama sekali tidak benar. Dalam kitab

Fatẖ al-Bārī, Ibnu Ḫajar justru berkata bahwa beliau tidak menemukan dalam sanad-

sanad hadis keterangan tentang jumlah rakaat Nabi SAW pada bulan Ramadhan. 39

Dalam kitab Shalat al-Tarawīh tersebut, al-Albānī tidak terlalu banyak

mengomentari hadis riwayat Jābir di atas, hal ini seolah-olah memberi kesan hadis

ini tidak ada seorang pun yang memperselisihkannya. Padahal dalam hadis tersebut

37
Al-Albānī, Muhammad Nāshir al-Dīn, Shalat al-Tarāwīẖ, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 26.
38
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 98-99.
39
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 294.
60

terdapat nama ‘Isa ibn Jāriyah yang diperselisihkan kredibilitasnya. Namun giliran

menyebutkan hadis Ibnu ‘Abbas yang meriwayatkan jumlah rakaat tarawih adalah 20

rakaat, al-Albāni mengupasnya secara panjang lebar.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, ‘Isa ibn Jāriyah adalah seorang perawi

yang kontroversial. Sebagian besar para Ulama yang ahli dalam bidang Ilmu al-Jarẖ

wa al-Ta’dīl menganggapnya sebagai perawi yang cacat, ada yang menyebutnya

dha’if, munkar, bahkan matrūk. Hanya Ibnu Ḫibbān yang menilainya tsiqah.

Berdasarkan kaidah yang disepakati oleh ulama dalam disiplin Ilmu Hadis, apabila

terdapat penilaian buruk (jarẖ) dan penilaian baik (ta’dīl) terhadap seorang perawi,

maka yang dimenangkan adalah pendapat yang men-jarẖ-kannya secara mutlak,

meskipun yang men-jarẖ itu sedikit jumlahnya, sedangkan yang men-ta’dīl

jumlahnya banyak. Kaidah ini lazim dikenal dengan kaidah al-Jarẖ Muqaddam’alā

al-Ta’dīl (Penilaian buruk dikedepankan dari pada penilaian baik).

Hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab Fatẖ al-Mughīz karangan Syaikh

Syams al-Dīn, Muhammad ibn ‘Abd al-Raẖmān al-Sakhāwī :

‫اخلامس يف تعارض اجلرح والتعديل يف راو واحد وقدموا أي مجهور العلماء أيضا اجلرح على‬

‫التعديل مطلقا استوى الطرفان يف العدد أم ال قال ابن الصالح إنه الصحيح وكذا صححه‬

‫األصوليون كالفخر واآلمد ي بل حكى اخلطيب اتفاق أهل العلم عليه إذا استوى العددان وصنيع‬

‫ابن الصالح مشعر بذلك وعليه حيمل قول ابن عساكر أمجع أهل العلم على تقدمي قول من جرح‬
61

‫راواي على قول من عدله واقتضت حكاية االتفاق يف التساوي كون ذلك أوىل فيما إذا زاد عدد‬

40
‫اجلارحني‬
Artinya : Pembahasan kelima adalah tentang pertentangan antara penilaian buruk dan
penilaian baik terhadap seorang perawi. Mayoritas Ulama mendahulukan al-
jarẖ (penilaian buruk) dari pada al-ta’dīl (penilaian baik) secara mutlak,
apakah jumlahnya seimbang atau tidak. Ibnu al-Shalāẖ berkata bahwa
sesungguhnya hal itu sahih, demikianlah pendapat yang juga dianggap sahih
oleh Ulama dalam fan ushul fiqh seperti Fakhri dan al-Āmadī. Bahkan
menurut al-Khatib pendapat ini telah disepakati pada keadaan yang
seimbang jumlahnya. Melihat alur pembicaraan Ibnu al-Shalāẖ, sepertinya
Beliau juga ke arah itu. Pada keseimbangan bilangan itu lah kita maksudkan
pendapat Ibnu ‘Asākīr yang menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat
(ijmā’) untuk mengutamakan orang yang berpenilaian buruk terhadap
seorang perawi dari pada yang berpenilaian baik. Kesepakatan para Ulama
yang mengutamakan al-jarẖ pada bilangan yang sama (anatara yang men-
jarẖ dan yang men-ta’dīl) tentunya lebih-lebih lagi pada saat orang yang
men-jarẖ perawi itu lebih banyak.

Kalau merujuk kepada pendapat mayoritas Ulama, sekalipun ada seribu orang

yang menyatakan bahwa ‘Isa ibn Jāriyah tsiqah (kredibel), sementara ada satu orang

yang men-jarẖ (menilai inkredibel), maka ‘Isa ibn Jāriyah dinilai inkredibel. Apalagi

kenyataannya yang men-jarẖ lebih banyak. Dengan demikian, maka hadis Jābir yang

dalam sanad-nya terdapat nama ‘Isa ibn Jāriyah tetap dinilai tidak sahih dan matruk,

karena faktor ‘Isa ibn Jāriyah tersebut.41

2. Dalil-Dalil Pendukung Hadis Riwayat Jābir

Untuk menguatkan hadis riwayat Jābir di atas, orang-orang yang berpendapat

shalat tarawih delapan rakaat menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah

40
Al-Sakhāwī, Muhammad ibn ‘Abd al-Raẖmān, Fatẖ al-mughīz, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 308.
41
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 116.
62

sebagai dalil pendukung. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam

Muslim dalam kitab Shaẖīẖ-nya, yaitu :

‫عن أيب سلمة بن عبد الرمحن أنه سأل عائشة كيف كانت صالة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

‫يف رمضان قالت ما كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ي زيد يف رمضان وال يف غريه على إحدى‬

‫عشرة ركعة يصلي أربعا فال تسأل عن حسنهن وطوهلن مث يصلي أربعا فال تسأل عن حسنهن‬

‫وطوهلن مث يصلي ثالاث فقالت عائشة فقلت اي رسول هللا أتنام قبل أن توتر فقال اي عائشة إن عيين‬

42
‫تنامان وال ينام قليب‬
Artinya : Dari Abī Salamah ibn Abd al-Rahmān, beliau bertanya kepada ‘Aisyah
tentang bagaimana kaifiat shalat Rasulullah di bulan Ramadhan. ‘Aisyah
berkata : “Rasulullah tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan
maupun selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat
dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat
empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian
Beliau shalat tiga rakaat.” ‘Aisyah kemudian berkata : saya bertanya
kepada Rasulullah, apakah Engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?”
Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi
hatiku tidak tidur.

Penulis memiliki persepsi, al-Albānī men-taẖsīn-kan hadis riwayat Jābir di

atas karena menilai hadis riwayat ‘Aisyah ini dapat menjadi (syāhid) dalil pendukung

untuk menguatkan hadis riwayat Jābir tersebut. Hal ini dapat ditandai dari keputusan

al-Albānī yang menjadikan hadis ‘Aisyah tersebut sebagai salah satu dalil shalat

tarawih.43

Secara kualitasnya, Hadis riwayat ‘Aisyah ini tidak diragukan lagi

kesahihannya, karena hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, Imam Muslim,

42
Al-Bukhārī, Shaẖīẖ al-Bukhārī, Jld IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h.
319. Lihat juga Muslim ibn al-Ḫajāj, Shaẖīẖ Muslim, Jld IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 89.
43
Al-Albānī, Shalat al-Tarāwīẖ, Jld I..., h. 11.
63

dan lainnya, namun menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat tarawih adalah hal yang

keliru. Hadis ini lebih tepat dijadikan sebagai dalil shalat witir.

Ada beberapa faktor yang membuat penilaian sebagian orang yang

menganggap hadis ’Aisyah ini adalah dalil shalat tarawih delapan rakaat merupakan

hal yang keliru. Faktor itu antara lain :

1. Pemotongan Hadis

Orang-orang yang menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat tarawih

biasanya membaca hadis ini tidak secara utuh, sehingga sangat

memungkinkan untuk menemukan kesimpulan yang berbeda. Bila hadis ini

dibaca secara utuh, maka jelas sekali konteks hadis ini berbicara tentang

shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir hadis ‘Aisyah

menanyakan tentang shalat witir kepada Nabi SAW. 44

2. Kesalahan dalam memahami maksud Hadis.

Dalam hadis ‘Aisyah di atas terdapat frase fī Ramadhān wa lā fī

ghairih (tidak pada Ramadhan dan tidak juga pada selainnya). Shalat yang

dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan

lainnya, tentu bukanlah shalat tarawih. Karena shalat tarawih hanya ada pada

bulan Ramadhan. Oleh karena itu para Ulama berpendapat bahwa hadis ini

bukanlah dalil shalat tarawih, akan tetapi dalil shalat witir. 45

3. Pemenggalan Hadis

44
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 103.
45
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 104.
64

Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat

yang paling maksimal menurut sebagian Ulama. 46 Bila hadis ini dipenggal,

delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir, maka kita harus menyetujui

bahwa selama bulan Ramadhan Nabi SAW hanya melakukan shalat witir tiga

rakaat saja. Ini tidak pantas bagi Beliau yang merupakan teladan bagi umat

dalam hal ibadah.

4. Inkonsistensi dalam mengamalkan dalil

Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi SAW tidak

pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan

maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mereka mau konsisten mengikuti

Nabi SAW, seharusnya mereka melakukan shalat tarawih dan witir sepanjang

tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Kenyataannya tidak demikian,

mereka hanya menyebutkan hadis ini pada bulan Ramadhan saja. Di luar

Ramadhan hadis ini tidak pernah mereka sebut-sebut. Seolah-olah hadis ini

hanya dijadikan sebagai justifikasi terhadap shalat tarawih mereka.

5. Kontradiksi dengan perbuatan Sahabat Nabi

Seandainya hadis ini memang benar merupakan dalil shalat tarawih,

maka ‘Aisyah yang merupakan perawi hadis ini akan protes tatkala sahabat

Ubay ibn Ka’ab mengimami shalat tarawih 20 rakaat. Bahkan pada waktu itu

tidak ada seorang Sahabat pun yang protes terhadap apa yang dilakukan oleh

Ubay ibn Ka’ab. Ijmā’ (konsensus) para Sahabat pada masa Umar RA yang

46
Al-Haitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld II..., h. 262.
65

melakukan tarawih lebih dari sebelas rakaat membuktikan bahwa hadis ini

bukanlah dalil untuk shalat tarawih.

6. Kerancuan linguistik

Kata al-tarāwīẖ dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak (plural) dari

kata tarwīẖah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat

sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal

tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam

Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang

melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat. 47 Maka Dari sudut

bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga

kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat tarawih lebih

dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat tarawih

hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangat

rancu ditinjau dari segi kebahasaan.

Setelah melihat penjelasan di atas, akhirnya kita dapat meyakini bahwa hadis

‘Aisyah meskipun dipastikan kesahihannya, namun bukan dalil shalat tarawih dan

tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi hadis riwayat Jābir tentang shalat

tarawih. Kedudukan hadis riwayat Jābir tetap dianggap lemah karena faktor ‘Isa ibn

Jāriyah tadi. Meskipun ada yang men-ta’dil-kannya, namun pendapat yang

menganggap ia sebagai perawi cacat lebih diunggulkan. Hal ini sesuai dengan kaidah

dalam disiplin Ilmu Hadis, al-Jarẖ Muqaddam’alā al-Ta’dīl (Penilaian buruk

dikedepankan dari pada penilaian baik).

47
Al-‘Asqālanī, Fatẖ al- Bārī, Jld. IV..., h. 291.
66

C. Korelasi Pendapat Fuqahā’ Syāfi’īyyah dengan Hadis Riwayat Jābir

Tentang Jumlah Rakaat Tarawih

Setelah mengetahui kedudukan hadis riwayat Jābir, maka pendapat Fuqahā’

Syāfi’īyyah sama sekali tidak dapat diruntuhkan ketika dikorelasikan dengan hadis

riwayat Jābir tersebut. Pendapat Fuqahā’ Syāfi’īyyah sangat kuat dan memiliki

landasan hukum, yaitu hadis mauqūf yang setingkat dengan hadis marfū’. Pendapat

ini juga didukung oleh ijmā’ Sahabat Nabi pada masa Khulafā’ al-Rāsyidīn.

Kalau pun seandainya hadis Jābir ini sahih, hadis ini juga tidak bisa dijadikan

sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadis ini terdapat

beberapa kemungkinan. Beberapa kemungkinan yang terdapat dalam hadis ini adalah

sebagai berikut,

1. Syaikh Jalal al-Dīn al-Maẖalli dalam Kanz al-Rāghibīn mengatakan :

48
‫وكان جابر إمنا حضر يف الليلة الثالثة وال رابعة‬
Artinya : Kemungkinan besar Jābir hanya datang pada malam ketiga dan

keempat.

2. Syaikh ‘Abdullah ibn Ḫijāzī al-Syarwainī dalam kitab Ḫāsyiat al-Syarwaini

mengatakan :

‫وروى ابنا خ زمية وحبان عن جابر قال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يف رمضان‬

‫مثاين ركعات مث أوتر انتهى أقول وأما البقية فيحتمل أنه صلى هللا عليه وسلم كان يفعلها‬

49
‫يف بيته قبل جميئه أو بعده‬

48
Al-Maẖallī, Jalāl al-Dīn, kanz al-rāghibīn, Jld I (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 217.
67

Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḫibban dari


Jābir bahwa Beliau berkata : “Kami melakukan shalat
bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan
rakaat dan melakukan witir.” Menurut saya, Adapun
selebihnya ada kemungkinan bahwa Nabi SAW telah
melakukannya di rumahnya sebelum Jābir datang atau
melakukan sesudahnya.

3. Abī al-Fadhl ibn ‘Abd al-Syakūr al-Sanūrī dalam kitab Kasyf al-Tabārīẖ fī

Bayāni Shalāt al-Tarāwīẖ mengatakan :

‫و أما حديث جابر رضي هللا عنه فإن كانت القصة فقد احتمل أن جاب را ممن جاء يف الليلة‬

‫ واحتمل أن جابرا‬،‫ فلذا اقت صر على وصف ليلتني كذ ا قاله الزقاين يف شرح املوطاء‬،‫الثانية‬

،‫رضي هللا عنه جاء إىل املسجد ومل يبق من صالته صلى هللا عليه وسلم إالّ مثان ركعات‬

‫ بل ولو نفاه أيضا مل تقم به احلجة‬،‫ مع أنه مل ينف ال زائد عليها‬،‫فأخرب عما أدركه ورآه‬

‫ْعه صلى هللا عليه وسلم يديه يف الدعاء إال‬


َ ‫لذلك اإلحتمال كما نفى أنس رضي هللا عنه رف‬

‫ مع أن غريه روى عنه صلى هللا عليه وسلم رفع اليدين يف غري‬،‫يف اإلستسقاء‬

50
‫اإلستسقاء‬
Artinya : Adapun mengenai hadis Jābir, bila memang kisah itu benar, maka
kemungkinan Jābir termasuk orang-orang yang hanya datang pada
malam ketiga dan keempat. Oleh karena itu pada hadis tersebut
Jābir hanya mengisahkan kisah dua malam. Hal ini sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh al-Zaqānī dalam kitab Syarẖ al-
Muwatha’. Kemungkinan juga Jābir datang terlambat ke mesjid
dan ia hanya mendapati shalat sebanyak delapan rakaat, maka ia
hanya memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan
berarti Jābir menafikan rakaat tambahan yang lebih dari delapan
rakaat. Bahkan seandainya Jābir menafikanpun tidak berpengaruh

49
Al-Syarwainī, Ḫāsyiat al-Syarwainī, Jld II..., h. 262.
50
Abī al-Fadẖl ibn ‘Abd al-Syakūr, Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni Shalāt al-Tarāwīẖ,
(Surabaya, Maktabah Salim bin Nabhan, t.t), h. 3.
68

apa-apa dalam hal istidlāl (pengambilan dalil) karena terdapat


beberapa kemungkinan tadi sebagaimana Anas RA menafikan Nabi
mengangkat tangan pada selain shalat istisqā’, sementara sahabat
yang lain meriwayatkan bahwa Nabi mengangkat tangan dalam
berdoa pada selain shalat istisqā’.

Setelah melihat beberapa kemungkinan di atas, maka hadis riwayat Jābir

walaupun seandainya merupakan hadis yang sahih tetap tidak bisa dijadikan

pedoman dalam hal istidlāl (pengambilan dalil). Hal ini sesuai dengan sebuah kaidah

yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Ḫajar al-Haitamī dalam kitab al-Fatāwī al-

Fiqhiyyah al-Kubrā :

51
‫وقائع األحوال إذا تطرق إليها االحتمال كساها ثوب اإلمجال وأسقط هبا االستدالل‬
Artinya : Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa

kemungkinan akan termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat

digunakan sebagai dalil.

Berdasarkan kaidah tersebut, hadis yang diriwayatkan oleh Jābir dapat

dipastikan gugur dari segi pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat

tarawih. Kalau hadis ini sahih, maka hadis itu hanya dapat dijadikan sebagai dalil

tentang disunatkan berjamaah pada shalat ini.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa apa yang telah dikemukakan oleh

Fuqahā’ Syāfi’īyyah bukan karena mereka tidak tahu tentang keberadaan hadis Jābir

di atas. Pendapat mereka yang menetapkan jumlah shalat tarawih 20 rakaat justru

karena mereka tidak sekedar tahu tentang keberadaan hadis Jābir ini, tetapi mereka

juga tahu secara mendalam tentang kualitas sanad-nya dan kedudukannya dalam hal

istidlāl (pengambilan hukum). Para Fuqahā’ Syāfiyyah sama sekali tidak menyalahi

51
Al-Haitamī, al-Fatāwī al-Fiqhiyyah al-Kubrā, Jld III (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 371.
69

perintah Rasululah SAW. Tetapi mereka yang berpendapat tarawih hanya delapan

rakaat yang sebenarnya telah menyalahi sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafā’ al-

Rāsyidīn.

Syaikh Muhammad ‘Ali al-Shabūnī dan Wahbah Zuhaili mengatakan, orang-

orang yang menyangka bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat, hal itu

merupakan sunnah dan melebihi darinya adalah bid’ah, maka sesungguhnya ia telah

menganggap sesat para Sahabat dan menyalahi perintah Rasulullah dengan cara yang

tidak ia sangka.52

D. Analisa Penulis

Setelah melakukan penelitian ini, penulis akhirnya menemukan jawaban

terhadap beberapa pertanyaan yang penulis sebutkan pada rumusan masalah.

Pertanyaan tersebut adalah mengenai landasan hukum dan metode istinbāth Fuqahā’

Syāfi’īyyah dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih, kedudukan hadis Jābir serta

korelasinya dengan pendapat Fuqahā’ Syāfi’īyyah.

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa Fuqahā’ Syāfi’īyyah telah sepakat

menetapkan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dan hal itu juga diakui oleh mayoritas

Imam Mazhab lainnya selain Imam Malik. Pendapat ini dilandasi pada hadis mauqūf

yang setingkat dengan hadis marfū’ dalam hal penetapan hukum dan juga konsensus

Sahabat pada masa itu.

Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa hadis riwayat Jābir

diperselisihkan kesahihannya karena di dalam daftar perawinya terdapat nama ‘Isa

52
Muhammad ‘Ali al-Shabūnī dan Wahbah Zuhaili, “Shalat al-Tarāwiẖ ‘Isyrūna Rak’at hiya
al-Sunnah al-Tsābitah bi al-Ijma’”, Mingguan The Moeslem World, 12-18 Februari 1996 M / 23-29
Ramadhan 1416 H, h. 10.
70

ibn Jariyah. Namun demikian, kita banyak juga menemukan hadis ini terdapat dalam

kitab-kitab yang dikarang oleh Fuqahā’ Syāfi’īyyah tepatnya dalam pembahasan

tarawih. Keberadaan hadis ini dalam kitab-kitab tersebut mengesankan bahwa

Fuqahā’ Syāfi’īyyah seakan-akan setuju dengan kesahihan hadis ini.

Menurut pandangan penulis, penyebutan hadis ini dalam kitab-kitab Fikih

Syāfi’īyyah barangkali dikarenakan kandungan hadis ini tentang kesunahan jamaah

pada shalat tarawih mendapat dukungan dari hadis sahih yang diriwayatkan dari

‘Aisyah sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagai dalil pelengkap. Hal ini dapat

dipahami dari penyebutan hadis ini yang selalu beriringan dengan hadis ‘Aisyah. 53

Adapun mengenai jumlah rakaat, muatan hadis ini bertentangan denagan hadis lain

dan ijmā’ Sahabat Nabi dan juga terdapat beberapa kemungkinan sehingga harus

digugurkan dalam hal istidlāl.

Sebenarnya hadis ‘Aisyah saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai dalil

kesunahan jamaah pada tarawih. Dengan demikian, penyebutan hadis ini sangat

dimungkinkan mempunyai maksud yang lain. Penulis berasumsi, penyebutan hadis

ini lebih dimaksudkan untuk menjawab sejumlah kemusykilan yang terkandung

dalam hadis ini karena terdapat kandungan yang kontradiktif dengan pendapat

Fuqahā’ Syāfi’īyyah mengenai jumlah rakaat tarawih. Karena adanya maksud

tersebut, Fuqahā’ Syāfi’īyyah selalu memberikan penjelasan setelah menyebutkan

hadis ini.

Terlepas dari bagaimana sebenarnya pandangan Fuqahā’ Syāfi’īyyah tentang

kesahihan hadis ini, yang pasti hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman

53
Lihat Al-Syarbainī, Mughnī al-Muẖtāj, Jld I... h. 317.
71

dalam hal penetapan jumlah rakaat. Hadis ini hanya dapat dijadikan sebagai hujjah

dalam hal kesunahan jamaah saja. Sedangkan untuk penetapan jumlah rakaat adalah

sebagaimana yang telah menjadi ijmā’ Sahabat Nabi yaitu dua puluh rakaat.

Penulis menilai bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Fuqahā’ Syāfi’īyyah

sangat sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW karena mereka

mengikuti para Sahabat. Sungguh keliru bila kita beranggapan bahwa apa yang

dilakukan oleh para Sahabat seperti Umar RA merupakan perkara bid’ah atau

menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Hal ini sama saja dengan beranggapan bahwa

Nabi adalah seorang pendusta dan memerintahkan untuk mengikuti suatu

kemungkaran karena di dalam beberapa hadis beliau mengagungkan Sahabatnya

seperti Umar, menyuruh kita mengikutinya, dan membenarkan pendapatnya. Ada

beberapa hadis yang berisi perintah mengikuti Umar serta kelebihan yang Ia miliki.

Hadis itu antara lain :

1. Hadis riwayat al-Baihaqī

‫وانه من يعش منكم فسريى اختالفا كث ريا فعليكم بسنىت وسنة اخللفاء ال راشدين املهديني‬

54
‫عضوا عليها ابلنواجذ‬
Artinya: Barang siapa yang masih hidup di antara Kalian, maka Kalian akan

melihat perbedaan yang banyak. Oleh karena itu berpeganglah

Kalian pada sunnah-ku dan sunnah Khulafā’ al-Rāsyidīn yang

terpetunjuk dan gigitlah dengan geraham.

2. Hadis Riwayat al-Tirmizī

54
Al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā, Jld X (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 114.
72

‫أوصيكم بتقوى هللا والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختالفا‬

‫كث ريا وإايكم وحمداثت األمور فإهنا ضاللة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنيت وسنة‬
55
‫اخللفاء ال راشدين املهديني عضوا عليها ابلنواجذ‬
Artinya : Saya berwasiat kepada Kalian untuk senantiasa bertaqwa kepada
Allah, mendengar dan patuh walaupun Kalian adalah hamba dari
Habsyi. Barang siapa yang masih hidup di antara Kalian, maka
Kalian akan melihat perbedaan yang banyak. Oleh karena itu
berpeganglah Kalian pada sunnah-ku dan sunnah Khulafā’ al-
Rāsyidīn yang terpetunjuk dan gigitlah dengan geraham.

3. Hadis Riwayat Baihaqi, al-Thabrani dan al-Tirmizi

56
‫اقتدوا ابللذين من بعدى أىب بكر وعمر‬
Artinya : Ikutilah dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar

4. Hadis Riwayat Ibnu Hibban

‫ إن هللا جعل احلق على لسان عمر وقلبه‬: ‫أن النيب صلى هللا عليه و سلم قال‬

‫ ما نزل ابلناس أمر قط فقالوا فيه وقال عمر بن اخلطاب إال نزل القرآن‬: ‫وقال ابن عمر‬
57
‫على حنو مما قال عمر‬
Artinya : Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan
kebenaran di atas lisan Umar dan hatinya.” Ibnu Umar berkata :
“Tidak diturunkan sebuah wahyu pun kepada manusia di mana
manusia berpendapat tentang itu dan Umar pun begitu kecuali
Alquran diturunkan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Umar.”

55
Al-Tirmizī, Sunan Al-Tirmizī, Jld V, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 44.
56
Al-Baihaqī, Sunan Al-Kubra jld V..., h. 212. Lihat juga al-Thabranī, Sulaiman bin Ahmad,
Mu’jam Awsath, Jld. IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 140. Dan lihat juga al-
Tirmizī, Sunan al-Tirmizi Jld V..., h. 609.
57
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld XV..., h. 318.
73

Dari beberapa hadis di atas kita dapat mengetahui betapa tingginya

kedudukan Khulafā’ al-Rāsyidīn khususnya dalam hal ini Sahabat Umar RA. Beliau

adalah pedoman hidup bagi Umat Islam setelah Rasulullah wafat. Beliau juga

termasuk orang-orang yang telah dijamin masuk syurga. Sangat naif bila seandainya

dari mereka muncul amalan bid’ah yang berhujung ke neraka. Oleh karena itu sudah

menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti Beliau, khususnya dalam hal

pelaksanaan shalat tarawih.

Shalat tarawih dalam jumlah dua puluh rakaat adalah satu metode

pelaksanaan yang dilakukan mayoritas Umat Islam di seluruh belahan dunia. Hal ini

juga menjadi tata cara pelaksanaan tarawih yang dilakukan di dua tanah haram yang

mulia, Mesjidil Haram dan mesjid Nabawi. Sebagaimana kita ketahui, Ulama Saudi

adalah orang yang paling sensitif terhadap perkara bid’ah. Namun dalam hal

pelaksanaan tarawih, mereka juga melakukannya sebanyak rakaat. Dari sini dapat

dipahami bahwa sebenarnya permasalahan rakaat tarawih sebenarnya sudah jelas,

hanya ulah sebagian kalangan saja yang terkesan mencari sensasi dengan

pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas umat Islam lainnya dan menyalahi dengan

apa yang telah disepakati pada zaman Sahabat Umar RA sehingga membuat

kontroversi ini makin mengemuka.

Shalat tarawih dua puluh rakaat juga menjadi pendapat mayoritas Imam

Mujtahid selain Imam Malik. Bahkan Imam Malik sendiri sebenarnya tidak

mengingkari shalat tarawih dua puluh rakaat, beliau hanya beranggapan ada baiknya

di Madinah ditambah enam belas rakaat lagi untuk mengimbangi kelebihan yang

didapatkan oleh penduduk Mekah.


74

Shalat tarawih 20 rakaat juga sesuai bila ditinjau dari sisi linguistik karena

dalam pelaksanaannya terdapat empat kali tarwīẖah. Hal ini sama persis seperti apa

yang ditunjukkan oleh lafaz al-tarāwīẖ yang merupakan bentuk plural sehingga

berarti beberapa tarwīẖah. Sedangkan shalat tarawih delapan rakaat sangan rancu

bila ditinjau dari sisi bahasa karena hanya terdapat satu atau dua kali tarwīẖah saja,

sedangkan kalimat plural dalam bahasa Arab digunakan untuk angka yang lebih dari

tiga. Dengan demikian, shalat tarawih delapan rakaat sangat rancu dari segi

kebahasaan.

Namun demikian, bagi kalangan yang berpendapat shalat tarawih dua puluh

rakaat juga jangan terlalu ekstrim sehingga menganggap pelaksanaan tarawih

delapan rakaat merupakan hal yang sia-sia atau menganggap shalat delapan rakaat

hanya diberikan pahala sunat mutlaq. Perlu diketahui bahwa shalat tarawih yang

kurang dari dua puluh rakaat seperti 4, 6, 8, atau 10 rakaat dengan niat tarawih juga

diberikan pahala shalat tarawih walaupun dari awal telah berencana untuk hanya

melakukannya dalam jumlah tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Oleh

al-Syarwainī :

‫( وكذا من أتى ببعض الرتاويح ) أي كاالقتصار على الثمانية فيثاب عليها ثواب كوهنا من ال رتاويح‬

58
‫وإن قصد ابتداء االقتصار عليها كما هو املعتاد يف بعض األقطار‬
Artinya : Seperti orang yang melakukan sebagian tarawih, misalnya hanya

melakukan sebanyak delapan rakaat, maka shalat yang dilakukannya

tetap diberi pahala tarawih walaupun dari awal sudah merencanakan

seperti itu sebagaimana yang menjadi kebiasaan pada sebagian tempat.

58
Al-Syarwainī, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II..., h. 246.
75

Kita seharusnya lebih memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan pendapat

seperti ini, apalagi dalam masalah furu’iyyah. Persaudaraan di antara Umat Islam

merupakan hal yang lebih penting untuk dijaga. Namun demikian, walaupun hal ini

merupakan perkara sunat dan termasuk dalam masalah furu’iyyah bukan berarti hal

semacam ini tidak perlu untuk diluruskan.

Sebenarnya pelaksanaan tarawih delapan rakaat, sepuluh atau dua belas

rakaat sah-sah saja walaupun hal ini kurang sempurna. Namun yang sebenarnya kita

takutkan adalah munculnya pandangan negatif kepada Sahabat dari mereka yang

beranggapan bahwa shalat tarawih tidak boleh melebihi dari delapan atau sebelas

rakaat karena secara tidak langsung, pendapat seperti itu telah mendiskreditkan para

Sahabat dan menganggap mereka melakukan perbuatan bid’ah padahal Rasulullah

memerintahkan kita untuk mengikuti mereka.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, ada beberapa kesimpulan yang

dapat diambil sebagai intisari dari semua pembahasan yang telah penulis sampaikan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Para Fuqahā’ Syāfi’iyyah telah sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20

rakaat. Landasan hukum penetapan shalat tarawih 20 rakaat adalah hadis

mauqūf yang meriwayatkan perbuatan para Sahabat pada zaman Umar RA.

Hadis mauqūf ini dari segi kekuatan hukum sama juga dengan hadis marfū’

karena perkara yang diriwayatkan dalam hadis tersebut bukan berhubungan

dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang (lā yuqālu min qibal

al-ra’yi) dan tidak mungkin untuk dilakukan ijtihad (lā majal fīhi li al-

ijtihād). Selain itu, masalah rakaat tarawih juga merupakan masalah yang

telah terjadi ijmā’ (konsensus) Ulama. Dalam ber-istinbāth pada hadis ini,

mereka menggunakan metode lafzhi yaitu dengan memperhatikan lafaz nash

yang terdapat pada hadis tersebut.

2. Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir tentang shalat tarawih diperselisihkan

oleh Ulama tentang kesahihannya karena dalam sanad-nya terdapat perawi

yang bernama ‘Isa ibn Jāriyah. Kebanyakan para Ahli Hadis seperti Ibnu

Ma’īn, Al-Nāsā-ī, Abu Daud, Al-Zāhibī dan lainnya menganggap Isa ibn

Jāriyah adalah perawi yang cacat. Hanya Ibnu Ḫibbān yang menganggapnya

75
76

tsiqah (kredibel), sementara Abu Zar’ah hanya men-ta’dīl-kannya dengan

mengatakan la ba’sa bihī (tidak mengapa).

3. Para Fuqahā’ Syāfi’iyyah hanya menjadiakan hadis ini sebagai dalil

kesunahan jamaah pada shalat tarawih karena didukung oleh hadis sahih yang

diriwayatkan oleh ‘Aisyah, sedangkan mengenai jumlah rakaatnya hadis ini

digugurkan dalam istidlāl karena terdapat beberapa kemungkinan yang

menyebabkan hadis ini tergolong dalam kategori mujmal.

B. Saran

Pada akhir penulisan karya ilmiyah ini, ada beberapa hal yang perlu penulis

sarankan, yaitu :

1. Kontroversi seputar jumlah rakaat tarawih tidak perlu diperluaskan, karena

hal ini sebenarnya sudah sangat jelas di mana para Ulama dan Imam mazhab

tidak berbeda pendapat mengenai penetapan jumlah rakaat tarawih, kecuali

Imam Malik yang lebih mengutamakan amalan orang Madinah.

2. Perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal yang

terlalu prinsipil sehingga memutuskan tali persaudaraan di antara kita, apalagi

sampai pada tingkat mengklaim bid’ah, sesat atau bahkan kafir.

3. Kepada pemerintah hendaknya meregulasikan penetapan jumlah rakaat

tarawih ini dalam sebuah qanun atau peraturan pemerintah sesuai dengan

mazhab mayoritas yang dianut oleh Umat Islam di daerah tersebut, sehingga

pertikaian yang berujung kepada hal-hal yang tidak diinginkan dapat

dihindari.
77

Demikianlah penelitian yang penulis lakukan. Kritik dan saran yang

membangun sebagai perbaikan terhadap karya ilmiah ini tentu sangat penulis

harapkan. Semoga Allah selalu mencurahkan taufiq dan hidayahnya bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai