SKRIPSI
Diajukan Oleh :
NIM : 09110006
i
ABSTRAK
Shalat tarawih merupakan ibadah sunat yang Allah syariatkan pada bulan
Ramadhan. Umat Islam di seluruh belahan dunia melakukan shalat ini dengan penuh
antusias. Namun mereka berbeda pandangan mengenai metode pelaksanaannya,
khususnya mengenai jumlah rakaat. Umat Islam Indonesia yang mayoritasnya
mengikuti mazhab Syāfi’ī pada umumnya melakukan tarawih dua puluh rakaat,
namun pendapat ini sering dibenturkan dengan hadis riwayat Jābir yang secara zahir
saling kontradiktif. Hal ini membuat penulis tertarik untuk menemukan sebuah
jawaban bagaimana sebenarnya pandangan Fuqahā’ Syafi’iyyah terhadap hadis ini.
Sebagai rumusan masalah, penulis memkonsentrasikan penelitian ini untuk meneliti
tentang landasan hukum dan metode istinbāth Fuqahā’ Syafi’iyyah dalam
menetapkan jumlah rakaat tarawih, kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad
dan matn-nya serta korelasi di antara hadis tersebut dengan pendapat Fuqahā’
Syafi’iyyah. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap berapa hal
yang menjadi rumusan masalah tersebut. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan data bersifat kepustakaan
(library research) yaitu dengan metode dokumentasi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Fuqahā’ Syāfi’iyyah telah sepakat menetapkan shalat tarawih
berjumlah dua puluh rakaat dengan berpegang kepada hadis mauqūf yang
meriwayatkan perbuatan Ubay ibn Ka’ab. Hadis ini dari segi hujjiyyah-nya setingkat
dengan hadis marfū’ karena tidak berhubungan dengan masalah ijtihādiyyah. Dalam
ber-istinbāth pada hadis tersebut, Fuqahā’ Syafi’iyyah menerapkan metode lafzhi
yaitu dengan memperhatikan lafaz nash yang mendapat kepastian makna. Di
samping itu, tarawih dua puluh rakaat telah menjadi ijmā’ (konsensus) Sahabat Nabi
serta pendapat mayoritas Imam Mujtahid. Hadis Jabir yang secara jelas menyebutkan
bilangan tarawih delapan rakaat diperselisihkan oleh Ulama tentang kesahihannya
karena terdapat perawi bernama Isa ibn Jāriyah. Adapun hadis ‘Aisyah tidak tepat
untuk dijadikan syāhid (pendukung) untuk men-taẖsīn-kan hadis Jabir dalam konteks
penetapan jumlah rakaat shalat tarawih karena merupakan dalil shalat witir. Hadis ini
hanya dapat dijadikan sebagai hujjah mengenai kesunahan jamaah karena didukung
oleh hadis sahih yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Adapun mengenai jumlah rakaat,
hadis ini harus digugurkan dalam hal istidlāl karena terdapat beberapa kemungkinan
yang menyebabkannya masuk dalam kategori mujmal.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan. Allah
menempatkan bulan ini sebagai bulan yang paling istimewa dibandingkan dengan
bulan lainnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk
menyambut bulan ini dengan rasa gembira dan penuh suka cita, sehingga mereka
1
من فرح بدخول رمضان حرم هللا جسده على الن ريان
Artinya : “Barang siapa yang merasa senang dengan masuknya bulan Ramadhan,
Islam untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amal sehingga di akhir
bulan ini mereka akan diberikan derajat taqwa. Rasulullah sangat mendorong dan
menganjurkan kita agar beribadat serta mendirikan malam pada bulan yang mulia ini.
2
)البخاري من قام رمضان امياان واحتساابغفر له ما تقدم من ذنبه (رواه
Artinya : “Barang siapa yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan
Bukhārī)
1
Usman Al-Khaibawī, Durrat al-Nāshiḫīn, (Semarang: Al-Munawar, t.t), h. 27.
2
Al-Bukhārī, Muhammad ibn Isma’īl, Sẖaẖīẖ al-Bukhārī, Jld II,(Kairo: Dār al- Ḫadīts,
2004), h. 62.
1
2
kelebihan yang tidak diperdapatkan pada bulan lainnya. Hal ini seperti terdapatnya
malam lailat al-qadr dan penggandaan pahala. Pada bulan ini Allah juga membuka
pintu langit, menutup pintu neraka, dan para syaithan akan dibelenggu. Hal ini sesuai
اذا دخل شهر رمضان فتحت ابواب السماء وغلقت ابواب جهنم وسلسلت الشيطان
3
)(رواه البخاري
Artinya : “Apabila telah masuk bulan Ramahan, pintu langit akan dibuka, neraka
Pada bulan Ramadhan Allah SWT mewajibkan kita untuk berpuasa. Melalui
ibadah puasa diharapkan umat Islam akan terlatih untuk melawan hawa nafsu dan
akhirnya akan ditinggikan derajat dengan memperoleh titel taqwā. Dalam surat Al-
ايايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة
)١٨٣ :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sunat seperti i’tikāf dan tarawih. Ibadah shalat tarawih adalah ibadah sunat yang
3
Al-Bukhārī, Sẖaẖīẖ al-Bukhārī, Jld II..., h.37.
4
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahannya, Ed. revisi, (Surabaya: Darussunnah,
2011), h. 28.
3
disyariaatkan untuk dikerjakan pada malam hari setelah pelaksanaan shalat isya
Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20.
yang mereka anggap bid’ah. Tidak sedikit ibadah-ibadah ataupun tradisi yang telah
berlangsung lama di kalangan masyarakat ditentang oleh gerakan ini. Salah satu dari
rakaat, karena hal ini tidak sesuai dengan pelaksanaan tarawih yang dilakukan pada
masa Nabi.
Pada saat itu, umat Islam di Indonesia sudah terlihat semakin terpecah belah
dalam hal pelaksanaan tarawih di antara 20 rakaat dan 8 rakaat dengan 2 rakaat
sekali salam dan ada juga yang 4 rakaat sekali salam. Sebagian umat Islam di
seperti yang telah dipraktekan oleh para pendahulunya sebagai ulama yang
membawa Islam ke Indonesia dengan mazhab Syāfi’ī. Namun tidak jarang juga ada
sebagian dari mereka yang mulai meninggalkan tradisi lamanya dan mengikuti fatwa
dari organisasi yang dipimpin K.H. Ahmad Dahlan tersebut. Sementara pendapat
tarawih 20 rakaat juga menjadi pandangan ormas Muslim lainnya seperti Nahdhatul
Ulama.
4
Indonesia yang notabenenya masih didominasi oleh kalangan awam kepada sebuah
syāfi’ī mulai bimbang dan ragu terhadap pelaksanaan tarawih yang harus mereka
mereka untuk ber-taqlīd dan mengikuti Imam Mujtahid yang dalam hal ini adalah
Imam Syāfi’ī. Namun di sisi yang lain mereka juga takut akan jatuh dalam sebuah
perkara bid’ah sebagimana yang difatwakan oleh sebagian kalangan. Oleh karena itu,
kejelasan hukum mengenai jumlah rakaat tarawih, khususnya dalam mazhab Syāfi’ī
sangat dibutuhkan.
Ibadah shalat tarawih merupakan suatu ibadah yang menempati posisi dan
kedudukan yang tinggi dalam hati kaum muslimin. Hal ini dapat ditandai dengan
pelaksanaan shalat tarawih. Bahkan, antusiame umat Islam dalam hal pelaksanaan
shalat tarawih membuat tempat ibadah menjadi penuh dan melebihi jumlah jamaah
pada waktu lainnya. Oleh karena itu, permasalahan tarawih tidak boleh dianggap
permasalahan rakaat tarawih tidak hanya berputar pada masalah ‘amāliyyah, namun
hal ini juga memiliki dampak sosial yang sangat besar dalam kehidupan
bermasyarakat. Perbedaan ini juga tidak jarang akan memunculkan permusuhan dan
putusnya tali silaturrahmi di kalangan umat Islam. Apalagi, perbedaan ini juga
menyangkut vonis bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kalangan terhadap kelompok
5
lainnya. Pernyataan ini jelas akan dapat memancing amarah bagi mereka-mereka
pendapat Imam Syāfi’ī. Para Fuqahā’ Syāfi’iyyah nampaknya telah sepakat bahwa
shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam. Namun pendapat ini
sering dibenturkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jābir, dimana secara
zhāhir hadis ini menunjukkan bahwa shalat tarawih berjumlah 8 raka’at. Hadis
tersebut adalah :
صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف رمضان مثان ركعات: عن جابر بن عبد هللا قال
والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل يف املسجد حىت
اي رسول هللا رج وان أن خترج إلينا: أ صبحنا فدخلنا على رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقلنا له
5
) كرهت أن يكتب عليكم الوتر (رواه ابن خ زمية: فتصل بنا فقال
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama Nabi
SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir.
Pada malam berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan
Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga tiba
waktu Subuh. Ketika Rasulullah tiba kami berkata baginya : Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap Engkau
keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya
saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat witir.” (HR. Ibnu
Khuzaimah)
Dengan melihat hadis ini, secara zhāhir cukup jelas menunjukkan bahwa
shalat tarawih berjumlah 8 raka’at. Namun di sisi yang lain para ulama dalam
Mereka juga menjadikan hadis riwayat Jābir sebagai salah satu dalil yang
5
Ibnu Khuzaimah, Muhammad ibn Ishāq, Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), Jld II, h. 138.
6
dimasukkan dalam pembahasan tarawih. Hal ini jelas sekali menunjukkan sebuah
kontradiksi antara pemahaman secara zhāhir dari hadis riwayat Jābir dengan apa
adanya hadis yang diriwayatkan Jābir tersebut para Fuqahā’ Syāfi’iyyah berpendapat
sebaliknya. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana
sebenarnya kedudukan hadis ini dari segi sanad, matn serta keterkaitannya dengan
penetapan jumlah rakaat tarawih. Kemudian bagaimana cara yang ditempuh oleh
korelasinya dengan hadis riwayat Jābir tersebut. Dengan adanya penelitian ini
dengan perbedaan pendapat dalam hal penetapan jumlah rakaat tarawih khususnya di
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi
diriwayatkan oleh Jābir. Secara lebih rinci masalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
2. Bagaimana status dan kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad dan
matn-nya.
C. Tujuan Penelitian
b. Untuk mengetahui status dan kedudukan hadis riwayat Jābir dari segi sanad
dan matn-nya.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
a. Supaya dengan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dan
b. Supaya dapat menjadi pedoman bagi umat Islam mengenai jumlah rakaat
E. Metode penelitian
lancar berdasarkan aturan yang tertera dalam panduan penelitian. 6 Hal-hal yang
sifatnya, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, keabsahan data
1. Jenis Penelitian
Dalam setiap penulisan karya ilmiah harus mempunyai metode atau cara
tertentu sesuai dengan penelitian yang hendak dibahas. Penelitian dalam skripsi ini
suatu fenomena sosial dan masalah manusia. 7 Yakni, pendekatan yang berupaya
yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh penulis akan ditemukan di saat melakukan
penelitian.Penelitian kualitatif lebih mendalam, yaitu lebih pasti, lebih objektif, dan
mendalam mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis, termasuk sikap,
6
.Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 126-127.
7
Lembaga Penelitian Penalaran Mahasiswa, “Pengertian Penelitian Kualitatif”, Artikel
Islami, (online), (2011), http://penalaran-unm.blogspot.com, diakses 1 Januari 2013.
9
2. Sumber Data
Sebuah penelitian harus didukung oleh sumber data yang memadai. Untuk itu
mengklasifikasikannya sebagai sumber data utama (primer) dan sumber data kedua
(sekunder). Sumber data utama yang penulis gunakan adalah kitab-kitab fiqh
Syāfi’iyyah seperti kitab I’ānat al-Thālibīn karangan Abi Bakar Syatta, kitab Kanz
Ḫajar Al-Haitamī, kitab Al-Majmū’ Syarẖ al-Muhazzab karangan Muẖyi al-Dīn ibn
Syarf al-Nawawī dan kitab fiqh lainnya. Penulis juga menggunakan kitab hadis
seperti Sẖaẖīẖ Ibnu Hibbān karangan Muhammad Ibn Hibbān, Sẖaẖīẖ Ibnu
karangan lainnya baik berbentuk buku, makalah, artikel, dan lain-lain yang
mempunyai relevansi dengan pembahasan yang penulis bahas. Data ini penulis
peroleh dari sumber data yang tersedia di perpustakaan STAI Al-Aziziyah dan
perpustakaan lainnya. Sumber data sekunder itu antara lain adalah buku Mutiara
Hujjah yang dikarang oleh Sholihuddin Shofwan, kitab Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni
Shalāt al-Tarāwīh yang dikarang oleh Abi Al-Fadl ibn Abd al-Syakūr, kitab Al-
8
Sutrisno, Metodologi Reseach, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 9.
10
Tarāwīh Aktsar min Alfi ‘Āmin karangan ‘Athiyah Muhammad Shālih dan Artikel
pada surat kabar mingguan The Moeslem World yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili
dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat dilakukan
dengan beberapa metode, baik alternatif maupun kumulatif yang saling melengkapi. 9
Sesuai dengan obyek penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang penulis
dari perpustakaan, baik primer ataupun sekunder yang relevan dengan pokok
pembahasan. Dalam hal ini penulis berupaya mengumpulkan data dari kitab-kitab
yaitu mengolah data dengan cara membandingkan data yang satu dengan yang
lainnya untuk melihat sisi persamaan dan perbedaannya dalam mengambil suatu
9
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Agama
Islam, Cet. I, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), h. 65-66.
11
kesimpulan. 10
kemudian dianalisis secara deduktif, yaitu bertitik tolak dari data-data yang besifat
khusus, dalam hal ini penulis mengemukakan data-data atau fakta-fakta baik dalam
bentuk definisi ataupun konsep yang sesuai dengan topik jumlah rakaat tarawih
5. Keabsahan Data
penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari
pengintepretasiannya.
10
Tim Penyusun Paduan Karya Ilmiyah STAI Al-Aziziyah, Panduan Penulisan Karya
Ilmiyah, Ed. Revisi, Cet. I, (Samalanga: Al-aziziyah Press, 2004), h. 11.
12
kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas untuk
menilai kualitas hasil penelitian, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan
informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam
audit trail.11
transferabilitas adalah teknik yang mengunakan cara uraian rinci. Teknik ini dituntut
supaya melaporkan suatu penelitian sehingga uraiannya itu dilakukan seteliti dan
itu sendiri tentunya bukan dari uraian rinci, melainkan penafsirannya yang dilakukan
yang dilakukan dalam bentuk uraian rinci dengan segala macam pertanggungjawaban
11
Purbayu Budi Santoso, “Paradigma Penelitian Kualitatif”, (online), (2000),
http://images.purbayubs.multiply.multiplycontent.com, diakses 25 september 2012.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian…, h. 183.
13
6. Jadwal Penelitian
Penelitian skripsi ini secara keseluruhan dimulai sejak bulan Januari 2013
NO. KEGIATAN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT
Persiapan
A
Proposal
Pelaksanaan
B
Penelitian
Penulisan
C
Laporan
7. Teknik Penulisan
buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama
TINJAUAN PUSTAKA
beberapa literatur yang memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan.
secara panjang lebar mengenai shalat tarawih baik dari segi historis,
perbedaan rakaat serta landasan hukumnya. Namun dalam buku ini tidak ada
Shāliẖ. Dalam buku ini akan dipaparkan sejarah pelaksanaan tarawih mulai
abad. Di samping itu penulis kitab ini juga menjelaskan tentang pendapat
empat Imam Mazhab, Ḫanafī, Malikī, Syāfi’ī dan Ḫambalī mengenai jumlah
rakaat tarawih serta dalil yang mereka gunakan. Meskipun dapat dikatakan
lengkap, dalam kitab ini tidak diberikan porsi yang luas untuk membahas
3. Kitab “Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni Shalāt al-Tarāwiẖ” karya Abī al-fadhl ibn
14
15
‘Abd al-Syakūr al-Sanūrī. Dalam kitab ini akan diuraikan dalil-dalil mengenai
pelaksanaan tarawih khususnya tentang jumlah rakaat. Penulis kitab ini juga
memberi tanggapan tentang hadis riwayat Jābir, namun tidak sampai pada
4. Buku “40 Masalah Agama” karya K.H. Sirajuddin Abbas. Buku ini mengupas
Salah satu dari masalah-masalah khilāfiyyah yang dibahas dalam buku ini
pembahasan dalam buku ini juga tidak menyentuh tentang hadis riwayat
Jābir.
5. Opini yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili dan Muhammad ‘Ali al-Shabunī pada
surat kabar mingguan The Moeslem World dengan judul tulisan “Shalat al-
ini mereka mengupas dalil-dalil yang menyebutkan bahwa shalat tarawih itu
shalat tarawih 8 rakaat dianggap keliru. Namun artikel ini tidak mengangkat
disajikan dalam turats. Penulis melihat hampir semua kitab-kitab tersebut membahas
tentang masalah shalat tarawih. Pembahasan ini biasanya dimasukkan dalam masalah
shalat sunat. Namun, penulis merasa kajian-kajian tersebut belum ada yang sempurna
dan secara mendalam membahas tentang status dan kedudukan hadis riwayat Jābir
para peneliti yang secara khusus mengkaji hadis riwayat Jābir ini secara mendalam
literatur yang membahas tentang hadis riwayat Jābir ini, maka pembahasannya hanya
sebatas menginterpretasi kandungan hadis tersebut, tanpa ada kajian yang mendalam
belum pernah ada sebelumnya. Dan penulis berkeyakinan dengan mengkaji kitab-
kitab yang dikarang oleh para Fuqahā’ Syāfi’iyyah, insyaallah akan ditemukan
pada bulan Ramadhan. Secara tuntunannya, tentu saja shalat ini kedudukannya
berada di bawah shalat fardhu karena tidak ada siksaan bagi yang meninggalkannya. 1
sunat dalam dua bagian, bagian yang disunatkan pelaksanaannya secara berjamaah
dan bagian yang tidak disunatkan pelaksanaannya secara berjamaah. 2 Bagian yang
1
Al-Anshārī, Syaikh Zakaria, Syarẖ Manhāj al-Thullāb, Jld I, (Beirut: Dār al-Fikr,2007), h.
145.
17
makruh, namun jamaah itu tidak diberikan pahala. Menurut pendapat yang kuat,
berjamaah. 3
Dalam sudut pandang yang lain, shalat sunat ada yang dikaitkan dengan
waktu (muaqqat) seperti sunat rawatib, tarawih, tahajjud, dhuha, dan lain-lain. Shalat
sunat ada yang dikaitkan dengan sebab (musabbab) seperti shalat taẖiyyat al-masjīd,
istisqa’, gerhana, dan lainnya. Namun ada juga yang tidak dikaitkan dengan
Shalat sunat yang tidak dikaitkan dengan waktu tidak disunatkan untuk
meng-qadha-nya. Adapun shalat sunat yang dikaitkan dengan waktu, Para Ulama
mengatakan sunat dan ada juga yang mengatakan tidak sunat. Sedangkan satu
(berdiri sendiri) sunat untuk meng-qadha-nya. Namun bila shalat sunat itu tidak
istiqlāl seperti rawatib yang mengikuti fardhu, tidak disunatkan untuk meng-qadha-
nya.4 Dengan demikian shalat tarawih disunatkan qadha, karena merupakan shalat
beberapa hal sebagai landasan teoritis dan historis dari pensyariatan shalat ini. Hal itu
antara lain :
2
Al-Nawawī, Minhāj al-Thālibīn, Jld I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 210.
3
Al-Nawawī, Minhāj al-Thālibīn, Jld I, ..., h. 217.
4
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV, ..., h. 44.
18
Adapun dalil pelaksanaan tarawih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم خرج ليلة من جوف الليل فصلى ىف املسجد وصلى رجال
بصالته فأصبح الناس فتحدثوا فأجتمع أكثر منهم فصلى فصلوا معه فأصبح الناس فتحدثوا فكثر
أهل املسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فصلى فصلوا بصالته فلما
كانت الليلة ال رابعة عجز املسجد عن أهله حىت خرج لصالة الصبح فلما قضى الفجر أقبل على
الناس فتشهد مث قال أما بعد فإنه مل خيف علي مكانكم ولكين خشيت أن تفرتض عليكم فتعجزوا
5
)عنها فتويف رسول هللا صلى هللا عليه وسلم واألمر على ذلك (رواه البخاري
Artinya : Sesunggungguhnya Rasulullah SAW kelur pada suatu malam, maka Beliau
melakukan shalat di mesjid, dan orang-orang pun melakukan shalat dengan
Nabi. Pada waktu subuh, orang-orang berbincang-bincang mengenai
kejadian tersebut. Maka selanjutnya (pada malam kedua) jama’ah semakin
ramai, Rasulullah melakukan shalat, dan mereka melakukan shalat
bersama Rasulullah. Pada waktu subuh, mereka berbincang-bincang
(tentang shalat tersebut). Ahli mesjid semakin ramai pada malam ketiga,
Rasulullah melakukan shalat dan mereka melakukan shalat bersama
Rasulullah. Ketika tiba malam keempat, Mesjid tidak mampu lagi
menampung para Jama’ah sehingga Rasulullah baru keluar untuk
melaksakan shalat subuh. Manakala selesai melakukan shalat fajar,
Rasulullah menghadap jama’ah dan membaca tasyahhud, kemudian
membaca ammā ba’du, Beliau berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang
tersembunyi bagiku tentang keadaan kalian, Namun aku takut shalat ini
diwajibkan sehingga membuat kalian lemah dan tak mampu
melaksanakannya.” Ketika Rasulullah wafat, hal ini terus berlaku seperti
itu. (HR. Bukhārī)
5
Al-Bukhārī, Saẖīẖ al-Bukhārī, Jld I...., h. 63.
19
diwajibkan shalat ini tidak bertentangan dengan hadis yang menafikan penambahan
shalat fardhu selain lima waktu pada saat isra’ mi’rāj. Hal ini dikarenakan sesuatu
yang dinafikan adalah adanya shalat fardhu dalam bentuk berulang-ulang dalam
sehari semalam. Hal itu masih memungkinkan adanya penambahan shalat fardhu
berupa dugaan bahwa shalat ini akan difardhukan atau difardukan jamaahnya.
Kemungkinan lain Allah SWT telah memberitahukan kepada Nabi seandainya shalat
Ada kemungkinan juga Allah memberi pilihan kepada Nabi antara difardukan atau
tidak, bila Nabi menginginkan shalat itu difardukan, maka beliau mesti
bulan Ramadhan yang di antaranya adalah shalat tarawih. Dalam riwayat yang lain
Rasulullah bersabda :
8
)من قام رمضان امياان واحتساابغفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخاري
Artinya : Barang siapa yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan
dalam hadis ini adalah shalat tarawih. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, maksud
melaksanakan shalat tarawih, dan beliau tidak bermaksud bahwa qiyam Ramadhan
Adapun maksud dari kata ”īmānā” dalam hadis tersebut adalah meyakini dan
membenarkan janji Allah berupa pemberian pahala. Sedangkan maksud dari kata
maksud yang lain seperti riya dan seumpamanya. 10 Hal senada juga diungkapkan
oleh Wahbah Zuhaili, beliau menafsirkan kata “īmānā” dengan meyakini hal itu
Melihat kemutlakan yang ada pada hadis di atas, maka secara zahir dosa yang
diampuni dengan melaksanakan qiyam Ramadhan meliputi dosa kecil dan dosa
besar. Hal ini diakui oleh Ibnu Munzir. Sementara imam al-Nawāwī berpendapat
bahwa yang ma’ruf dosa yang diampuni tersebut adalah dosa kecil. Hal ini sama
persis dengan apa yang diyakini oleh Imam Haramain. Syaikh ‘Iyadh membangsakan
pendapat ini sebagai pendapat ahlu al-sunnah. Sebagian ulama berpendapat, kendati
pun yang diampuni adalah dosa kecil, dosa besar akan diringankan bila seseorang
9
Al-‘Asqalānī, Ibnu Ḫajar, Fatẖ al-Bārī, Jld IV, (Kairo: Dār al-Ḫadits, 2004), h. 291.
10
Al-‘Asqalani, Fathul Bāri, Jld IV..., h. 291.
11
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuh, Jld II, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2004), h. 1075.
12
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 291.
21
dosa yang akan datang). Pengampunan dosa pada masa yang telah lalu dan akan
datang semacam ini banyak disebutkan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Hal ini
sedikit musykīl (sulit untuk dipahami) mengingat pengampunan itu menuntut adanya
sesuatu yang telah terdahulu untuk diampuni, sementara dosa pada masa yang akan
datang adalah sesuatu yang belum ada, maka bagaimana dapat dikatakan
kepada mereka untuk dijauhi dari dosa besar, sehingga mereka tidak akan
2. Menurut pendapat yang lain, dosa di masa yang akan datang bisa saja
Shalat tarawih harus diawali dengan niat sama seperti shalat lainnya. Namun
niat ini harus terdapat kejelasan (ta’yīn) mengenai jenis shalat yang dilakukan. Shalat
tarawih tidak sah dilakukan dengan niat sunat muthlaq, tetapi mesti dengan niat
tarawih, shalat tarawih, atau qiyām Ramadhan. Niat itu harus dilakukan setiap dua
rakaat sekali. 14
13
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 292.
14
Al-Syarbainī, Muhammad Ibn Muhammad, Mughnī al-Muẖtāj, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2009), h. 317.
22
pelaksanaan shalat isya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Bughawī dan
Ulama lainnya dan berakhir ketika terbit fajar. 15 Shalat isya yang diiktibarkan
sebagai awal waktu pelaksanaan tarawih adalah shalat isya yang sah. Apabila setelah
pelaksanaan tarawih baru diketahui bahwa shalat isya yang telah dilakukan
sebelumnya tidak sah, tarawih itu akan diberikan pahala sunat muthlaq.16
Shalat tarawih telah dapat dilakukan setelah shalat isya walaupun shalat isya
itu dilakukan secara jamā’ taqdīm. Namun sebaiknya pelaksanaan tarawih diundur
hingga pada waktu yang lebih utama. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Syaikh ‘Amīrah bahwa pelaksanaan tarawih pada awal waktu mengiringi shalat isya
dua rakaat sebagaimana biasa. Seandainya shalat itu dilakukan sebanyak 4 rakaat
sekali salam, hukumnya tidak sah sebagimana yang disebutkan oleh al-Qadhī Husain
dalam kitab Fatawī-nya karena menganggap pelaksanaan seperti ini tidak sesuai
dilakukan oleh seseorang secara sengaja dan mengetahui hukumnya. Jika tidak, maka
shalat tarawih dua-dua rakaat berbeda ketentuan yang terdapat pada shalat sunat
15
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
16
Al-Syarqawī, Hasyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
17
Syaikh ‘Amīrah, Ḫasyiat ‘Amīrah, Jld I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 217.
18
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
19
Al-Syarqawī, Ḫāsyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
23
zuhur dan ashar. Hal ini disebabkan pensyariatan jamaah pada shalat tarawih
membuat shalat ini serupa dengan shalat fardhu sehingga tidak dapat diubah dari
Shalat tarawih boleh dilakukan secara infirād (sendiri-sendiri) atau pun secara
berjamaah. Para Ashẖāb berbeda pendapat (khilāf wajhain) mengenai metode mana
yang lebih utama antara berjamaah dan sendiri-sendiri. Sebagian Ulama mengatakan
khilāf tersebut merupakan khilāf wajhain. Menurut pendapat yang kuat, pelaksanaan
tarawih secara berjamaah lebih utama sebagaimana yang terdapat pada nash al-
Buwaithī. 21
berjamaah atau infirād hanya berlaku bagi orang-orang yang menghafal al-qur’an,
tidak ditakutkan akan timbul rasa malas bila tidak berjamaah, dan tidak berpengaruh
pelaksanaan tarawih secara berjamaah berpijak pada hadis riwayat Bukhārī dan
Muslim dari Siti ‘Aisyah dan hadis Ibnu Hibbān dan Ibnu Khuzaimah dari Jābir yang
beberapa malam, namun hal itu tidak dilanjutkan karena Beliau khawatir shalat ini
akan difardhukan. Namun sekarang illat itu telah hilang dengan wafatnya Nabi
20
Al-Syarbainī, Mughni al-Muhtāj, Jld I..., h. 317.
21
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 37.
22
Al-Nawawī, Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
24
SAW. 23
Jābir dengan pendapat Fuqahā’Syāfi’iyyah akan kami bahas secara panjang lebar
Sebagaimana yang kita lihat dari hadis dari siti ‘Aisyah di atas, tidak ada
keraguan sedikit pun bagi kita bahwa shalat tarawih telah ada sejak masa Nabi SAW.
Nabi melaksanakan tarawih di mesjid secara berjamaah hanya tiga malam. Hal ini
sikap antusiasme umat Islam yang begitu tinggi, tidak tertutup kemungkinan shalat
ini akan diwajibkan. Tentu saja hal ini akan memberatkan umat dan akan ada
sebagian umat Islam yang tidak sanggup melakukannya. Betapa bijaksananya Nabi
kita dalam bersikap dan bertindak, sehingga kehadirannya membawa rahmat bagi
sekalian alam.
syarahan bagi kitab Tuẖfah li al-Muẖtāj karangan Ibnu Hajar al-Ḫaitami memberi
sedikit ulasan tentang shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau
menyebutkan bahwa menurut pendapat yang masyhur, tiga malam yang disebutkan
dalam hadis adalah malam ke-23, ke-25, dan ke-27, Rasulullah tidak keluar lagi pada
malam ke-29 walaupun para Jamaah telah menunggunya. Shalat itu tidak dilakukan
23
Al-Syarbainī, Mughni al-Muhtāj Jld I..., h. 317.
25
sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah SAW wafat. Demikian pula
pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru
kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan
shalat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin
Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-
menjadi khalifah selama 2 tahun. Pada saat itu pelaksanaan tarawih masih dijalankan
Pada awal periode Umar, pelaksanaan tarawih masih sama dengan periode
Abu Bakar. Umat islam masih melakukan shalat sendiri-sendiri dan dengan imam
mengikuti satu imam. Hal ini seperti sebuah hadis mauquf yang diriwayatkan
Bukhari mengenai penuturan Abd ar-Rahman bin Abd al-Qariy saat Beliau keluar
عن شهاب عن عروة بن ال زبري عن عبد الرمحن بن عبد القاري انه قال حرجت مع عمر بن
خطاب رضي هللا عنه ليلة يف رمضان ايل املسجد فاذ الناس اوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه و
24
Al-Syarwainī, ‘Abdil Hamīd, Ḫāsyiat al-Syarwainī, Jld II, (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), h.
262.
25
‘Athiyah Muhammad Shalih, At-Tarāwiẖ Aktsar min Alfi ‘Amin (Madinah: al-Madani, t.t.)
h. 15.
26
يصلي الرجل فيصلي بصالته الرهط فقال عمر اين ارى لو محعت هاؤالء علي قارئ واحد لكان
امثل مث عزم فحمعهم علي ايب بن كعب مث خرجت معه ليلة اخرى و الناس يصلون بصالة قارئهم
قال عمر نعم البدعة هذه و اليت ينامون عنها افضل من اليت يقومون ي ريد اخر الليل وكان الناس
26
)يقومون اوله (رواه البخارى
Artinya : “Dari Ibni Syihab dari ‘Urwah dari Zubair dari ‘Abd ar-Rahman bin Abd
al-Qariy berkata, Saya keluar dengan Umar bin Khatab RA pada suatu
malam di bulan Ramadhan ke mesjid, pada saat itu para Sahabat terbagi
berkelompok-kelompok, ada yang shalat sendiri, ada yang diikuti oleh
sekelompok orang, maka Umar berkata : Sesungguhnya saya berpendapat,
jika mereka dikumpulkan menjadi satu untuk diimami oleh seseorang yang
bagus bacaannya, sungguh hal itu lebih utama. Maka Umar kemudian
bermaksud mengumpulkan mereka dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab.
Abd ar-Rahman bin Qariy berkata : kemudian pada malam yang lain saya
keluar lagi bersama Umar dan pada saat itu para Jama’ah telah shalat
mengikuti satu imam. Lalu Umar berkata : Hal ini adalah sebaik-baik
bid’ah dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada
yang shalat awal malam.” (HR. Bukhārī)
melainkan hal itu adalah melalui istinbath dari pada taqrīr (pengakuan) Nabi
malam. Hal ini dapat menjadi ẖujjah meskipun kemudian Rasulullah melarangnya.
Hal ini dikarenakan larangan itu hanya semata-mata karena Rasulullah khawatir
shalat ini akan diwajibkan. Manakala Rasulullah telah wafat, hal yang dikhawatirkan
itu tidak mungkin terjadi lagi sehingga pelaksanaan tarawih secara berjamaah tidak
ada yang menghalanginya. Salah satu hal lain yang memotivasi Umar RA untuk
26
Al-Bukhārī, Muhammad bin Isma’il, Saẖīẖ al-Bukhārī, Jld II,(Kairo: Dar al-Hadis, 2004),
h. 62.
27
Pada waktu yang berbeda, disebutkan dalam riwayat Baihaqi bahwa Umar
menjadikan Ubay bin Ka’ab sebagai Imam laki-laki, sedangkan para wanita diimami
mengumpulkan jamaah untuk mengikuti Ubay bin Ka’ab bagi laki-laki, dan Tamīm
al-Dārī bagi perempuan. Sementara riwayat yang menyebutkan bahwa Imam bagi
Jamaah perempuan adalah Sulaiman bin Abi Hatsmah adalah riwayat Muhammad
Ibn Nashr. Dua riwayat ini mungkin dikompromikan dengan menganggap hal itu
Pada masa kekhalifahan Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi imam
pada kebanyakan malam Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam
riwayat Baihaqi dari Sayyidina Hasan bahwa mereka diimami oleh ‘Ali RA selama
20 malam. Tidak ada perubahan yang berarti pada periode kepemimpinan Usman
mengenai metode dan jumlah raka’at tarawih. Hanya sedikit saja hal baru yang
Pada masa kekhalifahan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, Ali menunjukkan satu
orang imam bagi kaum lelaki, dan satu imam untuk perempuan. Hanya saja, pada
saat pelaksanaan witir, ‘Ali RA menjadi imam bagi mereka semua. Hal ini
27
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 293.
28
Al-Ḫaitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld. II..., h. 262.
29
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 293.
30
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 26
28
sebagaimana disebutkan dalam sunan Baihaqi dari riwayat ‘ithā’ dari al-Sāib dari
Pada saat itu yang menjadi imam untuk kaum perempuan adalah ‘Urjafah al-
RA, pelaksanaan tarawih dilaksanakan sebanyak 20 rakaat. Hal ini mendekati tingkat
yaqin sebagaimana pelaksanaan tarawih yang berlaku pada masa Utsman RA dan
Umar RA. Sedangkan penambahan tarawih sebanyak 36 rakaat baru ada setelah
Sahabat masih sama dengan pelaksanaan tarawih yang ada pada masa Rasulullah.
Hanya saja pada masa Sayyidina Umar RA menjadi khalifah, Beliau berinisiatif
untuk membuat sedikit perubahan di mana pelaksanaannya dipimpin oleh satu imam.
Hal ini tentunya mengandung banyak nilai maslahat demi persatuan Islam. Beliau
memilih Ubay bin Ka’ab karena Ia paling bagus bacaannya. Hal ini tentunya sah-sah
saja, mengingat ‘illat yang ditakuti oleh Rasulullah berupa diwajibkan shalat ini telah
bid’ah bukan berarti bahwa beliau telah melakukan sebuah perbuatan yang dilarang
oleh Rasulullah. Karena bid’ah yang Beliau maksudkan adalah bid’ah secara
31
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 29
32
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 29.
29
berpenghujung ke neraka. Akan menjadi mustahil bila seseorang yang telah dijamin
masuk surga oleh Rasulullah sendiri akan mengerjakan suatu amalan ahli neraka.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari orang-orang yang berburuk sangka kepada
para Sahabat.
Setelah periode Sahabat, tepatnya pada akhir abad ke-1 hijriah, pelaksanaan
tarawih yang dilakukan oleh Penduduk Madinah sebanyak 36 rakaat. Hal ini mereka
menjadi 36 rakaat tidak ditemukan satu informasi yang pasti tentang awal
pelaksaannya. Hal ini terjadi setelah masa kekhalifahan ‘Ali RA dan terus
penyebab penambahan jumlah rakaat ini sebagaimana yang dikemukakan oleh al-
kecuali pada saat istirahat yang kelima di mana mereka langsung melakukan
witir. Dengan demikian, dalam lima kali istirahat mereka melakukan thawaf
33
Al-Ḫaitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, jld. II..., h. 263.
34
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 31.
30
lima kali sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Mekah. Oleh karena
itu, mereka menambah empat rakaat tarawih pada posisi thawaf yang
dilakukan oleh Penduduk Mekah supaya shalat yang mereka lakukan sama
(pahalanya) dengan shalat dan thawaf yang dilakukan oleh penduduk Mekah.
b. Khalifah Abd al-Malik bin Marwan memiliki sembilan orang anak. Maka Ia
satu kali tarwīẖah (4 rakaat). Dengan demikian tarawih pada waktu itu
menjadi 36 rakaat.
pertama.35
pelaksanaan tarawih untuk selanjutnya diteliti dan dikaji secara mendalam mengenai
pendapat di antara para Imam mazhab dan hal itu telah menjadi konsensus ulama.
Adapun mengenai jumlah rakaatnya, para Imam mazhab memiliki pandangan yang
35
‘Athiyah Muhammad Shālih, Al-Tarāwīẖ Aktsar min Alfi ‘Āmin..., h. 38.
31
pendapat yang terdapat dalam mazhab lain selain mazhab Syāfi’ī mengenai jumlah
rakaat shalat tarawih. Namun demikian, penulis hanya membatasi pada mazhab yang
مذهبنا أهنا عشرون ركعة بعشر تسليمات غري الوتر وذلك مخس تروحيات والرتوحية أربع ركعات
ب تسليمتني هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأمحد وداود وغريهم ونقله القاضى عياض عن
مجهور العلماء وحكى أن االسود بن م زيد كان يقوم أبربعني ركعة ويوتر بسبع وقال مالك الرتاويح
36
.تسع تروحيات وهى ستة وثالثون ركعة غري الوتر واحتج أبن أهل املدينة يفعلوهنا هكذا
Artinya : (Bab) mengenai pendapat para Imam mazhab tentang bilangan rakaat
tarawih. Dalam mazhab kita (Syāfi’ī), shalat tarawih berjumlah 20 rakaat
dengan sepuluh kali salam dan hal ini tidak termasuk witir. Ini juga
merupakan pendapat Abu Hanifah serta pengikutnya, pendapat Imam
Ahmad, Imam Daud, dan Imam mujtahid lainnya. Al-Qadhi ‘Iyadh
meriwayatkan pendapat itu dari mayoritas Ulama.Menurut Imam Malik,
shalat tarawih dilakukan sebanyak 39 rakaat, 36 rakaat tarawih dan 3
rakaat witir. Landasan hukum mazhab Malikī adalah mengikuti perbuatan
penduduk Madinah.
Untuk lebih jelas, ada baiknya kita melihat pendapat tersebut secara langsung
1. Mazhab Hanafī
36
Al-Nawawī, al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 38.
32
Ulama.
b. Syaikh ‘Ali ibn Husain ibn Muhammad al-Sa’di (W 461 H) dalam kitab
والسادس صالة ال رتاويح واهنا عشرون ركعة يف كل ليلة من شهر رمضان يف كل
ركعتني يسلم وكان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يصليها يف حياته وحده وكذلك
38
.اصحابه حىت كان زمان عمر فجعل للناس امامني يف شهر
Artinya : Pembagian yang keenam adalah shalat tarawih. Shalat tarawih
berjumlah 20 rakaat yang dilakukan setiap malam di bulan
Ramadhan dengan dua rakaat sekali salam. Rasulullah
melakukan shalat ini di masa hidupnya secara sendirian, begitu
juga dengan sahabatnya hingga zaman Umar. Kemudian
barulah pelaksanaannya dikumpulkan pada dua orang imam di
bulan Ramadhan.
2. Mazhab Mālikī
39
.والوتر ومنها ال رتاويح مثاين عشرة تسليمة وقيل عشر ما بني العشاء
37
‘al-Zaila’ī, Usman ibn ‘Ali, Tabyīn al-Ḫaqāiq Jld II (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 353.
38
Al-Sa’dī, ‘Ali ibn Husain ibn Muhammad, Fatawī al-Sa’dī, Jld I (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 106.
33
Artinya : Sebagian dari shalat sunat adalah tarawih yaitu 18 kali salam (36
dan witir.
mengatakan :
عشرون ركعة عدا الشفع والوتر مث جعلت يف زمن عمر بن عبد الع زيز: عددها
رضي هللا عنه ست وثالثون لكن الذي عليه السلف واخللف أهنا عشرون والدليل ما
40
.عنه روى البيهقي عن السائب بن ي زيد الصحايب رضي هللا
Artinya : Bilangan rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat selain al-syaf’i
dan witir. Kemudian pada masa Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz
dijadikan menjadi 36 rakaat. Akan tetapi metode yang dilakukan
oleh Ulama Salaf dan Khalaf adalah 20 rakaat. Dalilnya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Saīb ibn Yazīd
al-Shaẖābī RA.
3. Mazhab Hanbalī
، وأبو حنيفة، فيها عشرون ركعة وهبذا قال الثوري، رمحه هللا، واملختار عند أيب عبد هللا
41
. ستة وثالثون: والشافعي وقال مالك
Artinya : Pendapat yang terpilih bagi Abī Abdillah RA (Imam Ahmad ibn
39
Syaikh ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Baghdādī al-Mālikī, Asyraf al-Masālik, Jld I,
(Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 56.
40
Al-Ya’qūbī, Syaikh Ibrahīm, Fiqh al-‘Ibadāt, Jld I (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 195.
41
Ibnu Qudamah, ‘Abdullah ibn Aẖmad ibn Muhammad al-Maqdasī, Al-Mughnī, Jld III,
(Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 388.
34
Dari keterangan di atas kita dapat mengetahui bahwa para Ulama dari mazhab
lain berpendapat bahwa shalat tarawih berjumlah rakaat. Hanya Imam Malik yang
Mekah. Adapun mengenai jumlah rakaat tarawih dalam mazhab Syāfi’ī akan penulis
Dalam mazhab Syafi’i, ada empat sumber hukum utama yang dijadikan dalil
dalam penetapan sebuah hukum. Keempat sumber hukum tersebut adalah Alquran,
hadis, ijmā’ dan qiyas. Hal ini juga disetujui oleh Imam mazhab empat yang lain.
Namun mereka berbeda pandangan tentang kesahihan dalil yang dapat menjadi
hanyalah hadis yang kuat saja dan harus tinggi derajat kesahihannya, bahkan lebih
baik adalah hadis mutawatir. Kalau tidak terdapat hadis semacam ini, lebih baik
berpaling kepada qiyas yang lebih terjamin kebenarannya dari pada mengambil dasar
hukum pada hadis-hadis yang diragukan, hadis yang kurang kuat, apalagi hadis
dha’if. Hal ini dapat dipahami karena Imam Hanafī menetap di Kufah, suatu tempat
yang minim sekali pemangku hadis dan riwayatnya pun banyak yang diragukan.
Kerena terlalu banyak memberi ruang pada al-ra’yu (pendapat), mazhab Ḫanafī
35
digelar dengan ahlu al-ra’yi atau ahlu al-qiyas. Imam Ḫahafi juga menggunakan
Imam Mālikī berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadis.
Namun bila seandainya ada hadis yang bertentangan dengan amalan orang Madinah,
maka yang lebih didahulukan adalah amalan orang Madinah. Imam Mālikī beralasan
diriwayatkan dalam bentuk perbuatan, yakni perbuatan Nabi yang dilihat oleh
Sahabat yang kemudian diikuti dan dikerjakan hingga diteruskan kepada generasi
berikutnya. Imam Mālikī beranggapan dalalah perbuatan lebih kuat dari perkataan.
Jadi ijmā’ yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam mazhab Maliki adalah ijmā’
orang-orang Madinah.43
Imam Syāfi’i tidak setuju dengan pendapat di atas, bagi beliau hadis
diutamakan pengambilannya dari pada qiyas maupun amalan Ahli Madinah. Menurut
beliau, Alquran dan Hadis adalah dua rujukan utama. Ijmā’ dan qiyas bila tidak
bersandar kepada Al-quran dan Hadis tidak diterima. Karena itu beliau digelar
dengan Ahlu al-Hadis atau Nashīr al-Hadis. Hadis yang menjadi sumber hukum
adalah hadis-hadis saẖīẖ saja, sedangkan hadis dha’if hanya hanya digunakan untuk
fadhail ‘amal. Ijmā’ yang menjadi dasar hukum dalam mazhab Syāfi’ī adalah ijmā’
ahlu al-‘ashr (mujtahid yang hidup semasa). Adapun amalan sahabat Nabi yang
utama akan diterima menjadi sumber hukum kalau Nabi menyuruh umat Islam untuk
42
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii, cet. 17, (Jakarta: Pusat
Tarbiyah Baru, 2010), h. 135.
43
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 136-137.
36
Pendapat Imam Ḫanbalī hampir sama dengan pendapat Imam Syāfi’i. Beliau
mengecam pendapat Imam Ḫanafī yang terlalu banyak memberi ruang kepada al-
ra’yi dan pendapat Imam Mālik yang menggunakan amalan ahli Madinah sebagai
dasar hukum. Hanya saja perbedaannya, Imam Ḫanbali terlalu berlebihan dalam
menggunakan hadis dha’if sebagai sumber hukum dari pada qiyas karena hadis
meskipun dha’if bersumber dari Nabi asalkan tidak sampai pada derajat maudhū’
(palsu).45
Dari uraian di atas, dapat kita pahami ada beberapa hal yang berbeda antara
mazhab Syāfi’ī dengan tiga mazhab lainnya dalam metode penggalian hukum. Imam
Syāfi’ī tidak sepakat dengan Imam Ḫanafī yang mendahulukan qiyas dari pada hadis.
Menurut Imam Syāfi’ī, ijmā’ yang dapat dijadikan dasar hukum adalah ijmā’ seluruh
Imam Malik. Imam syafi’i juga tidak setuju dengan pendapat Imam Ḫambalī yang
terlalu berlebihan dalam memakai hadis, hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum
hanyalah hadis sahih sehingga hadis itu dapat diyakini datangnya dari Nabi.
44
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 138.
45
K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii..., h. 139.
BAB III
Shalat tarawih adalah shalat sunat yang dilakukan pada bulan Ramadhan
setelah shalat isya hingga menjelang waktu subuh. Umat Islam di seluruh belahan
dunia menyambut secara antusias terhadap pelaksanaan shalat ini. Namun metode
wilayah Indonesia dan Asia Tenggara umumnya umat Islam mengikuti mazhab
Syāfi’ī.
nampaknya telah sepakat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah dua puluh
rakaat. Hal ini dapat kita ketahui dari tulisan dan karya mereka yang tertuang dalam
a. Syaikh ‘Ali ibn Muhammad ibn Ḫabīb Al-Mawāridī (W 450 H) dalam kitab
al-Iqnā’ mengatakan :
وقيام شهر رمضان وهي صالة الرتوايح عشرون ركعة يوتر بعدها بثالث ونوافل الليل
أفضل من نوافل النهار ويف وسطه أفضل من طرفيه ويف آخره أفضل من أوله وجي زيه
1
.القيام القعود فيهن مع القدرة على
Artinya : Shalat qiyam Ramadhan yaitu tarawih berjumlah 20 rakaat dan
setelah itu dilakukan witir sebanyak 3 rakaat. Shalat-shalat sunat
yang dilakukan pada waktu malam seperti ini lebih utama dari
1
Al-Mawardī, Syaikh Muhammad ibn ‘Ali, al-Iqnā’, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila,
versi 4,27, 2010), h. 41.
38
shalat sunat yang dilakukakan pada waktu siang. Shalat sunat pada
pertengahan malam lebih utama dari dua dua ujungnya (awal dan
akhir), dan bagian akhir lebih utama dari pada bagian awal. Shalat
sunat boleh dilakukan dengan cara duduk walaupun mampu untuk
berdiri.
mengatakan :
ومن السنن ال راتبة قيام رمضان وهو عشرون ركعة بعشر تسليمات والدليل عليه ما روى
أبو ه ريرة رضي هللا عنه قال " كان النيب صلى هللا عليه وسلم يرغب يف قيام رمضان من
غري ان أيمرهم بع زمية فيقول من قام رمضان إمياان واحتسااب غفر له ما تقدم من ذنبه
2
.واالفضل ان يصليها يف مجاعة
Artinya : Sebagian dari sunat rawatib adalah qiyam Ramadhan (tarawih).
Shalat ini berjumlah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam.
Dalil pelaksanaannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah di mana Beliau mengatakan bahwa Nabi SAW
menganjurkan kita untuk melakukan qiyam Ramadhan dengan
anjuran yang bukan berbentuk perintah secara tegas (wajib) dan
Rasulullah berkata “Barang siapa yang mendirikan malam pada
bulan Ramadhan (dengan melakukan shalat) secara penuh
keyakinan dan keikhlasan akan diampuni dosa-dosa yang telah
lalu.” Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah.
c. Imam ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad al-Rāfi,ī (W 623 H) dalam kitab Al-
(وتستحب اجلماعة يف ال رتاويح أتسيا بعمر رضى هللا عنه وقيل االنف راد به أويل لبعده عن
3
.ال رايء) صال ة ال رتاويح عشرون ركعة بعشر تسليمات وبه قال أبو حنيفة وامحد
2
Al-Syairazī, Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf, al-Muhadzdzab, Jld IV, (Beirut: Dār al-Fikr,
2010), h. 36.
3
Al-Rāfi’ī, ‘Abd al-Karīm ibn Muhammad, Al-‘Azīz Syarẖ al-Wajīz, Jld IV, (Sofware:
Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 264.
39
اما ح كم املسألة فصالة ال رتاويح سنة ابمجاع العلماء ومذهبنا أهنا عشرون ركعة بعشر
4
.تسليمات وجتوز منفردا ومجاعة وأيهما أفضل فيه وجهان
Artinya : Adapun mengenai hukumnya, shalat tarawih merupakan ibadah
sunat di mana hal ini telah terjadi konsensus Ulama. Menurut
mazhab kita (mazhab Syāfi’ī), Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat
dengan sepuluh kali salam. Shalat tarawih dapat dilakukan
sendirian ataupun berjamaah. Mengenai hal mana yang terlebih
utama, para Ulama berbeda pendapat.
mengatakan :
( و ) األصح ( أن اجلماعة تسن يف ال رتاويح ) لالتباع أوال وأمجع عليه الصحابة رضي هللا
عنهم أو أكثرهم فأصل مشروعيتها جممع عليه وهي عندان لغري أهل املدينة عشرون ركعة
كما أطبقوا عليها يف زمن عمر رضي هللا عنه ملا اقتضى نظره السديد مجع الناس على
5
.إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثالث
Artinya : Menurut pendapat yang kuat, pelaksanaan tarawih disunatkan untuk
dilakukan secara berjamaah karena ittibā’ (mengikuti perbuatan
Nabi) dan konsensus para Sahabat atau kebanyakan dari mereka.
Pensyariatan tarawih dari segi hakikat shalatnya telah menjadi
konsensus Ulama. Shalat tarawih menurut mazhab Syafi’ī, bagi
selain penduduk Madinah berjumlah 20 rakaat sebagaimana yang
4
Al-Nawawī, al-Majmū’ ‘ala Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld IV..., h. 37.
5
Al-Haitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld II..., h. 262.
40
al-Muẖtāj mengatakan :
وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات يف كل ليلة من رمضان ملا روى البيهقي إبسناد صحيح
أهنم كانوا يقومون على عهد عمر بن اخلطاب رضي هللا تعاىل عنه يف شهر رمضان بعش رين
ركعة وروى مالك يف املوطأ بثالث وعش رين ومجع البيهقي بينهما أبهنم كانوا يوترون بثالث
وما روي أنه صلى هللا عليه و سلم صلى هبم عش رين ركعة كما قاله ال رافعي ضعفه البيهقي
ومسيت كل أربع منها تروحية ألهنم كانوا يرتوحون عقبها أي يسرتحيون قال احلليمي والسر
يف كوهنا عش رين ألن الرواتب أي املؤكدة يف غري رمضان عشر ركعات فضوعفت ألنه
6
.وقت جد وتشمري
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam yang
dilakukan pada setiap malam di bulan Ramadhan. Hal ini dilandasi
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dengan isnād
yang shaẖiẖ yaitu “sesungguhnya mereka (Sahabat Nabi)
mendirikan tarawih pada masa Umar RA sebanyak 20 rakaat” dan
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’
dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqī mengkompromikan dua dalil
ini dengan beranggapan bahwa mereka melakukan witir sebanyak
tiga rakaat. Adapun hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi
melakukan tarawih bersama sahabat sebanyak 20 rakaat, Imam
Rafi’i mengatkan hadis itu dianggap lemah oleh al-Baihaqī. Setiap
4 rakaat dinamakan tarwīẖah karena mereka melakukan istirahat
setelahnya. Al-Ḫulaimī berkata: “hikmah shalat tarawih berjumlah
20 rakaat adalah sebagai penggandaan dari rawatib muakkad pada
bulan lainnya yang Cuma berjumlah sepuluh rakaat karena bulan
Ramadhan adalah waktu untuk bersungguh-sungguh.”
6
Al-Syarbainī, Mughnī al-Muẖtāj, Jld I... h. 317.
41
g. Sulaiman ibn ‘Umar (W 1204 H) dalam kitab Ḫāsyiat Jamal ‘alā Syarẖ
وهي عشرون ركعة أي يف حق غري أهل املدينة أما أهل املدينة فلهم فعلها ستا وثالثني
والسر يف كوهنا عش رين أن الرواتب أي املؤكدة يف غري رمضان عشر ركعات فضوعفت
7
.فيه
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat bagi selain penduduk Madinah.
Adapun bagi mereka dibolehkan untuk mengerjakannya sebanyak
36 rakaat. Hikmah dari keadaan tarawih sebanyak 20 rakaat adalah
penggandaan dari rawatib muakkad di luar Ramadhan yang Cuma
dilakukan sebanyak 10 rakaat.
karangan mereka di atas, rasanya telah terwakili bagi kita untuk dapat jadikan
sebagai pegangan bahwa Fuqahā’ Syāfi’īyyah telah sepakat mengenai jumlah rakaat
shalat tarawih yaitu 20 rakaat. Pendapat tersebut tentunya sangat sesuai dengan apa
ورأيتهم ابملدينة يقومون بتسع وثالثني وأحب إىل عشرون النه روى عن عمر وكذلك يقومون مبكة
8
ويوترون بثالث
Artinya : Saya melihat orang-orang di Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak
36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena
hal itu diriwayatkan dari Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih
dilakukan oleh orang-orang di Mekah dan mereka melakukan witir
sebanyak tiga rakaat.
7
Sulaiman ibn ‘Umar, Ḫasyiat al-Jamal, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 641.
8
Al-Syāfi’ī, Muhammad ibn Idris, al-Umm, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 167.
42
Syāfi’īyyah tentang jumlah rakaat tarawih telah bulat yaitu 20 rakaat. Pendapat ini
pastinya memiliki dasar hukum dan metode istinbāth tersendiri. Pendapat ini juga
berbeda dengan pendapat Imam Malik. Untuk lebih jelas, berikut ini penulis akan
menjelaskan secara lebih detail mengenai dasar hukum dan metode istinbāth mereka
dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih serta pandangan mereka terhadap amalan
penduduk Madinah.
Dalam hal penetapan jumlah rakaat shalat tarawih, ada beberapa dalil yang
dijadikan sebagai pegangan oleh Fuqahā’ Syāfi’īyyah. Dalil pertama adalah hadis
mauqūf tentang perbuatan Sahabat Nabi. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan
bahwa para Sahabat pada masa Khalifah Umar ibn Khatab RA melakukan shalat
tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat dan setelah itu melakukan witir.
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqī dari Al-Saīb ibn Yazīd al-
كانوا يقومون على عهد عمر بن اخلطاب رضى هللا عنه ىف: عن السائب بن ي زيد قال
9
.شهر رمضان بعش رين ركعة
9
Al-Baihaqī, Aẖmad ibn Ḫusain ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrā, Jld II, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 496.
43
rakaat.
دعا: عن عطاء بن السائب عن أىب عبد الرمحن السلمى عن على رضى هللا عنه قال
وكان على رضى: قال. فأمر منهم رجال يصلى ابلناس عش رين ركعة، الق راء ىف رمضان
10
.هللا عنه يوتر هبم
Artinya : Diriwayatkan dari ‘Ithā’ ibn al-Saīb dari Abī ‘Abd al-Raẖmān al-
Salmī dari ‘Ali RA mengatakan : “Panggillah orang-orang yang
bagus bacaannya dan perintahkan salah seorang dari mereka untuk
melakukan shalat bersama para jamaah pada bulan Ramadhan
sebanyak 20 rakaat.” Pada waktu itu, ‘Ali RA melakukan witir
bersama mereka.
عن ي زيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون يف زمان عمر بن اخلطاب يف رمضان
11
بثالث وعش رين ركعة
Artinya : Dari Yazīd ibn Rauman diriwayatkan bahwa sesungguhnya orang-
rakaat.
Ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan mengenai hadis mauqūf yang
meriwayatkan perbuatan para sahabat pada masa Umar RA dan Ali RA. Hadis itu
10
Al-Baihaqī, Aẖmad ibn Ḫusain ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrā, Jld II..., h. 496.
11
Malik ibn Anas, al-Muwatha’, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h.
342.
44
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat tidak
selamanya dianggap hadis mauqūf. Apa yang disandarkan kepada para sahabat
tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan dengan perkara yang
bersumber dari pendapat seseorang (yuqālu min qibal al-ra’yi) dan berkemungkinan
untuk dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-
masalah yang dihasilkan dari ijtihad (lā majal fīhi li al-ijtihād), hadis tersebut
ijtihadiyyah, bukan juga masalah yang bersumber dari perkataan dan pendapat
pribadi dari seseorang, melainkan para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi
SAW. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyyah atau masalah yang
bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan berbeda-beda dalam
perbedaan-perbedaan. 14
Oleh karena itu, hadis tentang tarawih dua puluh tadi, kendati hal itu mauqūf
kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis marfū’, yaitu hadis yang
bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai hadis marfū’, maka ia memiliki
12
Hadis mauquf adalah segala sesuatu baik berbentuk perkataan, perbuatan dan
seumpamanya yang disandarkan kepada Sahabat. Sebagian Fuqahā’ Syāfi’iyyah menamakan hadis
mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfū’ (yang disandarkan kepada Nabi) dinamakan khabar.
Adapun para Muẖaditsīn sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawī menggunakan
khabar kepada hadis mauqūf dan hadis marfū’. Lihat Syaikh al-Ajhūrī, Syarẖ al-Baiqūniyyah,
(Indonesia: Haramain, 2006), h. 53
13
Syaikh al-Ajhūrī, Syarẖ al-Baiqūniyyah..., h. 53
14
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, cet. III, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006), h. 64.
45
hujjiyyah (kekuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya hadis-hadis marfū’ yang
lain.
lafzhi yaitu dengan melihat kepada bilangan rakaat yang terkandung dalam hadis ini.
Bilangan rakaat yang berbentuk ism ‘adat tersebut merupakan lafaz nash yaitu lafaz-
lafaz yang tidak ada kemungkinan selain pada satu makna. 15 Dengan kepastian
makna tersebut mereka menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat tarawih dua puluh
rakaat.
Dalil kedua adalah ijmā’ (konsensus) sahabat Nabi. Ijmā’ mengenai jumlah
rakaat shalat tarawih ini dapat dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para
Sahabat yang memprotes, menyalahkan, dan menganggap hal yang dikerjakan oleh
Ubay ibn Ka’ab bertentangan dengan yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Padahal pada
saat itu ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Ali ibn Abī Thālib, Utsman ibn ‘Affan dan para
sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat bertentangan
dengan sunnah Nabi SAW, tentu para Sahabat sudah melakukan protes terhadap apa
Memang Hadis Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan secara jelas bahwa shalat
tarawih berjumlah 20 rakaat kualitasnya lemah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-
15
Imam Haramain, Abd al-Malik ibn Yusuf, al-Waraqat, (Indonesia, Haramain, 2006), h. 89.
16
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 64.
46
17
كان النيب صلى هللا عليه و سلم يصلي يف رمضان عش رين ركعة والوتر
Artinya : Nabi SAW melakukan shalat di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh
Meskipun hadis ini kualitasnya lemah, namun kandungan dari hadis ini
didukung oleh ijmā’ (konsensus) sahabat Nabi sehingga akan menjadi hasan li
وتعيني كوهنا عش رين جاء يف حديث ضعيف لكن أمجع عليه الصحابة رضوان هللا تعاىل عليهم
18
أمجعني
Artinya : Dalil yang secara jelas menyebutkan jumlah rakaat tarawih adalah hadis
Sahabat RA.
bahwa apa yang dilakukan oleh Umar dan menjadi konsensus para Sahabat pada
masa itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti. Pendapat tersebut beliau utarakan
لو ثبت أن أهل املدينة كلهم فعلوه لكان ما فعله عمر وأمجع عليه ال صحابة يف عصره أوىل
19
ابالتباع
17
Al-Thabrānī, Sulaiman ibn Aẖmad, Mu’jam al-Kabīr, Jld XI, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 393.
18
Al-Syarwainī, Abd al-Ḫamīd, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II (Beirut: Dār al-Fikr, 2009), h.
262.
19
Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Jld III..., h. 389.
47
Artinya : Jika ada dalil yang menyebutkan bahwa seluruh penduduk Madinah
melakukan tarawih seperti itu (36 rakaat), sungguh apa yang dikerjakan
oleh Umar dan menjadi konsensus Ulama pada waktu itu lebih utama
untuk diikuti.
dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih. Dalil ini juga digunakan oleh mayoritas
ulama yang berpendapat bahwa shalat tarawih adalah dua puluh rakaat dalam
mengutamakan hadis dari pada amalan orang Madinah. Hal ini berbeda dengan
Imam Mālik yang menetapkan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat, kerena Beliau
lebih mengutamakan amalan orang Madinah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
sebanyak 36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena
(وهي عشرون ركعة) أي لغري أهل املدينة على م شرفها أفضل الصالة وأزكى السالم أما هم فلهم
فعلها ستا وثالثني وإن كان اقتصارهم على العش رين أفضل وال جيوز لغريهم ذلك وإمنا فعل أهل
املدينة هذا ألهنم أرادوا مساواة أهل مكة فإهنم كانوا يطوفون سبعا بني كل تروحيتني فجعل أهل
20
Al-Syāfi’ī, al-Umm, Jld I..., h. 167.
48
املدينة مكان كل سبع أربع ركعات قال الس يوطي وما كانوا يطوفون بعد اخلامسة وإمنا خص أهل
21
املدينة بذلك ألن هلم شرفا هبج رته صلى هللا عليه وسلم ومدفنه
Artinya : Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat, yaitu bagi selain penduduk Madinah,
atas musyarrif-nya (Nabi) kuatamaan rahmat dan kesejahteraan. Adapun
mereka dibolehkan untuk melakukannya sebanyak 36 rakaat walaupun
mengurangi dalam jumlah 20 rakaat lebih utama bagi mereka. Hal ini tidak
boleh dilakukan oleh selain penduduk Madinah. Penduduk Madinah
melakukan penambahan seperti itu hanya semata-mata untuk
mengimbangi kelebihan penduduk Mekah di mana penduduk Mekah
melakukan tawaf di antara dua tarwīẖah selama tujuh kali. Maka
penduduk Madinah berinisiatif untuk menjadikan posisi tujuh kali tawaf
tersebut untuk melakukan shalat sebanyak 4 rakaat. Imam al-Sayuthī
mengatakan para penduduk Mekah tidak lagi melakukan tawaf setelah
tarwīẖah kelima. Penambahan ini hanya dikhususkan kepada penduduk
Madinah dikarenakan mereka mendapat kemuliaan dengan berkat hijrah
Nabi dan terdapatnya maqam Nabi SAW.
وألهل املدينة الش ريفة فعلها ستا وثالثني ألن العش رين مخس تروحيات فكان أهل مكة يطوفون بني
كل تروحيتني سبعة أشواط فجعل ألهل املدينة بدل كل أسبوع تروحية ليساووهم وال جيوز ذلك
22
لغريهم كما قاله الشيخان ألن ألهلها شرفا هبج رته ودفنه صلى هللا عليه وسلم
21
Abu Bakar Syatta, I’ānat al-Thālibīn, Juz I..., h. 265.
22
Al-Syarbainī, al-Iqnā’, Jld I..., h. 117.
49
وهلم فقط لشرفهم جبواره صلى هللا عليه وسلم ست وثالثون ج ربا هلم ب زايدة ستة عشر يف مقابلة
وابتداء حدوث ذلك كان أواخر، طواف أهل مكة أربعة أسباع بني كل تروحية من العش رين سبع
23
القرن األول مث اشتهر ومل ينكر فكان مبن زلة اإلمجاع السكويت
Dengan melihat beberapa pendapat di atas, maka tidak benar bila ada yang
mengatakan bahwa shalat tarawih dalam mazhab Syāfi’ī tidak berorientasi pada
angka tertentu. Hal ini dapat dipahami karena penambahan shalat tarawih sejumlah
tentang penambahan 36 rakaat bagi penduduk Madinah tersebut hanyalah dari segi
mereka mendapat kemuliaan dan keistimewaan dengan berkat hijrah Nabi dan
23
Al-Haitamī, Tuẖfat al-Muẖtāj, Jld II..., h.263.
24
Al-Syarwainī, Abd al-Ḫamīd, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II..., h. 263.
50
menjadi tempat pemakaman Nabi SAW. Adapun bagi selain penduduk Madinah,
mengatakan :
25
وامل راد أبهل املدينة من هبا وقت صالة ال رتاويح وإن كانوا غ رابء ال أهلها بغريها: ق ال م ر
Artinya : Syaikh Muhammad Ramli berkata : “Yang dimaksudkan dengan Ahli
Syaikh Syihāb al-Dīn, Ahmad ibn Ahmad al-Qulyūbī dalam Ḫāsyiat al-
وإن مل يكن مقيما هبا والعربة يف, وامل راد هبم من وجد فيها أو يف م زارعها وحنوها يف ذلك الوقت
أو, قضائها بوقت األداء فمن فاتته وهو يف املدينة فله قضاؤها ولو يف غري املدينة ستا وثالثني
26
.وهو يف غري املدينة قضاها وال يف املدينة عش رين
Artinya : Yang dimaksudkan dengan ahli Madinah adalah orang-orang berada di
Madinah, perkebunannya dan seumpamanya pada waktu pelaksanaan
tarawih sekalipun ia tidak bermukim di sana. Hal yang menjadi tolak ukur
untuk qadhā’ adalah keberadaan seseorang pada waktu yang ditetapkan.
Maka orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di
Madinah boleh meng-qadha-nya sebanyak 36 rakaat walaupun di luar
Madinah. Sedangkan orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih
25
Al-Bujairimī, Ḫāsyiat al-Bujairimī..., h. 281.
26
Al-Qulyūbī, Ahmad ibn Ahmad, Ḫāsyiat al-Qulyūbī, Jld I (Semarang: Toha Putra, t.t), h.
217.
51
36 rakaat diberi pahala shalat tarawih untuk 20 rakaat, sedangkan 16 rakaat lainnya
diberi pahala yang melebihi pahala shalat sunat mutlaq karena kedudukannya sedikit
lebih tinggi. 27
tarawih yang dilakukan oleh penduduk Madinah. Dari uraian ini dapat diketahui
bahwa penduduk Madinah juga mengakui dan tidak menyalahi shalat tarawih
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa para Fuqahā’ Syāfi’īyyah dan
jumhur Ulama telah menyepakati bahwa shalat tarawih berjumlah 20 rakaat. Mereka
menjadikan hadis yang mauqūf pada perbuatan Sahabat Nabi dan konsensus yang
terjadi pada waktu itu sebagai landasan hukum. Namun pendapat ini dikritisi oleh
sebagian orang yang menganggap shalat tarawih 20 rakaat menyalahi sunnah yang
dikerrjakan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Jābir yang secara jelas menyebutkan bahwa Nabi melakukan
shalat tarawih bersama para Sahabat sebanyak 8 rakaat. Apalagi hadis ini semakin
dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah yang mengatakan
bahwa Nabi tidak pernah melakukan shalat melebihi 11 rakaat. Dengan demikian,
27
Al-Syarqawī, Ḫāsyiat al-Syarqawī, Jld I..., h. 293.
52
melenceng dari apa yang telah digaris bawahi oleh Rasulullah SAW.
Hadis riwayat Jābir tersebut terdapat dalam beberapa kitab hadis baik yang
berbentuk hadis fi’liyyah ataupun hadis taqrīrī. Hadis riwayat Jābir tersebut di antara
lain adalah :
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ḫibbān (W 354 H) dalam Shaẖiẖ-nya dari
اي رسول هللا كان مين الليلة: جاء أيب بن أيب كعب إىل النيب صلى هللا عليه و سلم فقال
إان ال نق رأ القرآن: نسوة يف داري قلن: ( وما ذاك اي أيب ؟ ) قال: شيء يف رمضان قال
فكان شبه الرضا ومل: فصليت هبن مثاين ركعات مث أوترت قال: فنصلي بصالتك قال
28
يقل شيئا
Artinya : Ubay bin Ka’ab mendatangi Nabi SAW dan berkata : “Wahai
Rasulullah, ada sesuatu yang saya lakukan pada malam di bulan
Ramadhan.” Nabi bertanya : “Apakah itu wahai Ubay?” Ubay
menjawab : Para wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak
dapat membaca Alquran. Mereka meminta saya untuk mengimami
shalat mereka. Maka saya melakukan shalat bersama mereka 8
rakaat, kemudian saya shalat witit.” Jābir kemudian berkata :
“Maka hal itu sepertinya diridhai oleh Nabi SAW dan beliau tidak
berkata apa-apa.”
b. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Ḫibbān dari Jābir berkata :
صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف شهر رمضان مثان ركعات وأوتر فلما كانت
القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل فيه حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا
28
Ibnu Ḫibban, Muhammad ibn ḪIbbān, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 190.
53
أو كرهت- إين خشيت: اي رسول هللا اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن تصلي بنا فقال:
29
أن يكتب عليكم الوتر-
Artinya : Kami melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir. Pada malam
berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi
keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga
tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah tiba kami berkata : Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap
Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat
witir.”
صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف رمضان مثان: عن جابر بن عبد هللا قال
ركعات والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل يف
اي رسول: املسجد حىت أصبحنا فدخلنا ع لى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فقلنا له
30
كرهت أن يكتب عليكم الوتر: هللا رج وان أن خترج إلينا فتصل بنا فقال
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama
Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan
melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di
mesjid dan mengharapkan Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi
tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah
tiba kami berkata baginya : Wahai Rasulullah, kami semalam
berkumpul di Mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat
bersama kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya saya khawatir
Allah akan mewajibkan shalat witir.”
29
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI..., h. 169.
30
Ibnu Khuzaimah, Muhammad ibn Ishāq, Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), Jld II, h. 138.
54
صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف: عن جابر بن عبد هللا رضي هللا عنه قال
شهر رمضان مثان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج
فلم نزل فيه حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا اي رسول هللا اجتمعنا البارحة يف املسجد ورج وان
31
أن تصلي بنا فقال إين خشيت أن يكتب عليكم
Artinya : Dari Jābir ibn Abdillah berkata, Kami melakukan shalat bersama
Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan
melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di
mesjid dan mengharapkan Nabi keluar bersama kami. Namun Nabi
tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Subuh. Ketika Rasulullah
tiba kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di
Mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat bersama
kami. Nabi menjawab : “Sesungguhnya saya khawatir shalat ini
akan diwajibkan atas Kalian.”
Dari hadis riwayat Jābir di atas jelas sekali disebutkan bahwa shalat tarawih
adalah 8 rakaat. Namun sebelum mengkorelasikan hadis ini dengan pedapat Fuqahā’
Syāfi’īyyah yang sekilas terlihat sangat kontradiktif, ada baiknya kita kaji terlebih
dahulu mengenai kedudukan hadis ini dalam perspektif ilmu hadis dan dalil-dalil lain
yang dapat dijadikan sebagai pendukung bagi kandungan hadis Jābir tersebut.
Alquran dan Hadis adalah dua sumber hukum utama bagi umat Islam.
Alquran dari segi periwayatannya bersifat qath’i (pasti), karena diriwayatkan dalam
jumlah mutawatir pada setiap generasi. Hal ini berbeda dengan hadis, dari segi
periwayatannya, hadis tidak seluruhnya bersifat qath’i, namun ada juga hadis-hadis
yang diragukan kebenarannya bahwa hadis itu datang dari Nabi. Setelah periode
31
Al-Thabranī, Sulaiman ibn Ahmad, Mu’jam al-Shaghīr, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 317.
55
sahabat, Islam telah menyebar luas, pada saat itu juga banyak bermunculan hadis-
hadis palsu yang sebenarnya bukan bersumber dari Nabi. Oleh karena itu kita perlu
Perlu diketahui, bahwa semua hadis riwayat Jābir di atas terdapat nama ‘Isa
ibn Jāriyah dalam mata rantai sanad-nya. Supaya lebih jelas, penulis akan
menunjukkan salah satu sanad dari hadis riwayat Jābir secara lengkap agar terlihat
adanya nama ‘Isa ibn Jāriyah dalam mata rantai sanad hadis tersebut. Hal ini
حدثنا أبو ال ربيع الزه راين: حدثنا إسحاق بن إب راهيم قال: أخ ربان عبد هللا بن حممد األزدي قال
عن جابر بن عبد هللا قال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يف شهر رمضان:
مثان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن خيرج إلينا فلم نزل فيه
اي رسول هللا اجتمعنا يف املسجد ورج وان أن تصلي بنا فقال: حىت أصبحنا مث دخلنا فقلنا
32
أن يكتب عليكم الوتر- أو كرهت- إين خشيت:
Artinya : Kami dikabarkan oleh Muhammad al-Azdi dari Ishaq ibn Ibrahim di
mana dari Abu Rabi’ al-Zahrani dari Ya’qub al-Qami dari Isa ibn
Jariyah dari Jābir ibn ‘Abdullah di mana ia berkata : “Kami
melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan
sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir. Pada malam
berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi
keluar bersama kami. Namun Nabi tidak kunjung keluar hingga
tiba waktu Subuh.” Ketika Rasulullah tiba kami berkata : “Wahai
Rasulullah, kami semalam berkumpul di Mesjid dan berharap
Engkau keluar melakukan shalat bersama kami.” Nabi menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat
witir.”
32
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld VI..., h. 169.
56
seorang perawi, ternyata ‘Isa ibn Jāriyah ini diperselisihkan oleh para ahli kritik
hadis. Untuk lebih jelasnya marilah kita perhatikan beberapa redaksi yang memberi
33
عيسى بن جارية يروي عنه يعقوب القمي منكر
Artinya: ‘Isa ibn Jāriyah yang diriwayatkan darinya oleh Ya’qūb al-Qāmi
adalah munkar.
mengatakan :
عيسى بن جارية يروي عنه يعقوب القمي قال حيىي عنده احاديث مناكري وقال النسائي
34
مرتوك احلديث
Artinya : ‘Isa ibn Jāriyah yang diriwatkan oleh Ya’qūb al-Qamī, menurut
3. Al-Zāhibī dalam kitab al-Kāsyif fī ma’rifati man lahū al-Riwayat fi kutub al-
Sittah mengatakan :
33
Al-Nasā-ī, al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li al-Nasā-ī, Jld I, (Sofware: Maktabah Syamila,
versi 4,27, 2010), h.216.
34
Ibnu al-Jauzī, al-Dhu’afā’ wa al-Matrukīn li Ibni al-Jauzī Jld II, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 267.
57
عيسى بن جارية االنصاري عن ج رير وجابر وعنه أبو صخر محيد بن زايد ويعقوب القمي
35
خمتلف فيه قال ابن معني عنده مناكري
Artinya : ‘Isa ibn Jāriyah al-Anshārī meriwayatkan dari Jarīr dan Jābir,
sementara darinya diriwayatkan oleh Abu Sakhr Ḫamīd ibn Ziyād
dan Ya’qūb al-Qamī adalah seorang perawi yang diperselisihkan
oleh para Ulama. Ibnu Ma’īn berkata : “Di sisinya banyak
terdapat hadis-hadis munkar.
lengkap tentang sosok ‘Isa ibn Jāriyāh dan tanggapan para Ulama tentang
روى عن ج رير البجلي وجابر بن عبد هللا وش ريك رجل.عيسى بن جارية االنصاري املدين
وعنه أبو.له صحبة وابن املسيب وأيب سلمة بن عبدالرمحن وسامل بن عبد هللا بن عمر
صخر محيد بن زايد وزيد ابن أيب أنيسة ويعقوب القمي وعنبسة بن سعيد ال رازي وسعيد
قال ابن أيب خيثمة عن ابن معني ليس بذاك ال أعلم أحدا روى عنه.بن حممد االنصاري
غري يعقوب وقال الدوري عن ابن معني عنده مناكري حدث عنه يعقوب القمي وعنبسة
قاضي الري وقال أبو زرعة ال أبس به وقال أبو حامت عيسى الدوري عن أيب سلمة وعنه
زيد بن أيب أنيسة هو عندي عيسى بن جارية وقال اآلجري عن أيب داود منكر احلديث
36
.الثقات وقال يف موضع آخر ما أعرفه وروى مناكري وذكره ابن حبان يف
Artinya: ‘Isa ibn Jāriyah al-Anshārī al-Madānī adalah seorang perawi yang
meriwayatkan hadis dari Jarīr al-Bajlī, Jābir ibn ‘Abdillah, teman
35
Al-Zāhibī, Muhammad ibn Ahmad, al-Kāsyif fī Ma’rifati Man lahū al-Riwayat fi Kutub
al-Sittah, Jld II , (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 109.
36
Al-‘Asqalānī, Tahzīb al-Tahzīb Jld VIII, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010),
h. 185-186.
58
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa ‘Isa ibn Jāriyah
adalah perawi yang dha’īf, munkar, atau matrūk. Ia dicacatkan oleh Ibnu Ma’īn, Al-
Nasā-ī, Abu Daud, Al-‘Uqaili, Al-Ājirī dan para Ahli hadis lainnya. Selain itu, Ibnu
Namun demikian, Ada juga yang menganggapnya tsiqah yaitu Ibnu Ḫibbān,
(tidak mengapa). Pernyataan Ibnu ẖibbān dan Abu Zar’ah tidak cukup kuat untuk
men-ta’dil-kan ‘Isa ibn Jāriyah karena celaan yang cukup jelas dari yang men-dha’if-
kannya. Oleh kerena itu, Penulis lebih cenderung pada mereka yang men-dha’if-kan
ẖasan. Pendapat itu Ia tulis dalam kitab Shalat al-Tarāwīẖ yang redaksinya sebagai
berikut :
59
رواه ابن نصر والط رباين وسنده حسن مبا قبله واشار احلافظ يف الفتح ويف التلخيص إىل تقويته
37
وع زاه البن خ زمية وابن حبان يف صحيحهما
Artinya : Diriwayatkan oleh Ibnu Nashr dan al-Thabrānī dengan sanad yang ẖasan
bersama hadis sebelumnya. Al-Ḫafīzh Ibnu Ḫajar dalam kitab Fath al-Bāri
dan al-Talkhīs mengisyaratkan hadis itu sahih, namun Beliau
menyandarkan hadis itu kepada Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḫibban dalam
kitab Shaẖīẖ mereka.
K.H. Ali Mustafa Yaqub mengatakan, melihat apa yang disampaikan oleh al-
isyarat dari Imam Ibnu Ḫajar saja. Seyogyanya al-Albānī melihat sendiri hadis
tersebut dalam Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān dan Shaẖīẖ Ibnu Khuzaimah. Tashẖīẖ
(menetapkan kesahihan) suatu hadis tidak dibenarkan menurut disiplin Ilmu Hadis
bila hanya menangkap isyarat dari pendapat orang lain yang kemungkinan bersifat
subjektif saja. Tashẖīẖ hadis harus mengacu kepada hadis, baik matn dan sanad-nya
Apa yang dikatakan oleh al-Albāni bahwa Al-Ḫāfīzh Ibnu Ḫajar memberi
isyarat tentang kesahihan hadis Jābir tersebut sama sekali tidak benar. Dalam kitab
Fatẖ al-Bārī, Ibnu Ḫajar justru berkata bahwa beliau tidak menemukan dalam sanad-
sanad hadis keterangan tentang jumlah rakaat Nabi SAW pada bulan Ramadhan. 39
mengomentari hadis riwayat Jābir di atas, hal ini seolah-olah memberi kesan hadis
ini tidak ada seorang pun yang memperselisihkannya. Padahal dalam hadis tersebut
37
Al-Albānī, Muhammad Nāshir al-Dīn, Shalat al-Tarāwīẖ, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 26.
38
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 98-99.
39
Al-‘Asqalānī, Fatẖ al-Bārī, Jld IV..., h. 294.
60
terdapat nama ‘Isa ibn Jāriyah yang diperselisihkan kredibilitasnya. Namun giliran
menyebutkan hadis Ibnu ‘Abbas yang meriwayatkan jumlah rakaat tarawih adalah 20
Seperti yang telah dijelaskan di atas, ‘Isa ibn Jāriyah adalah seorang perawi
yang kontroversial. Sebagian besar para Ulama yang ahli dalam bidang Ilmu al-Jarẖ
dha’if, munkar, bahkan matrūk. Hanya Ibnu Ḫibbān yang menilainya tsiqah.
Berdasarkan kaidah yang disepakati oleh ulama dalam disiplin Ilmu Hadis, apabila
terdapat penilaian buruk (jarẖ) dan penilaian baik (ta’dīl) terhadap seorang perawi,
jumlahnya banyak. Kaidah ini lazim dikenal dengan kaidah al-Jarẖ Muqaddam’alā
Hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab Fatẖ al-Mughīz karangan Syaikh
اخلامس يف تعارض اجلرح والتعديل يف راو واحد وقدموا أي مجهور العلماء أيضا اجلرح على
التعديل مطلقا استوى الطرفان يف العدد أم ال قال ابن الصالح إنه الصحيح وكذا صححه
األصوليون كالفخر واآلمد ي بل حكى اخلطيب اتفاق أهل العلم عليه إذا استوى العددان وصنيع
ابن الصالح مشعر بذلك وعليه حيمل قول ابن عساكر أمجع أهل العلم على تقدمي قول من جرح
61
راواي على قول من عدله واقتضت حكاية االتفاق يف التساوي كون ذلك أوىل فيما إذا زاد عدد
40
اجلارحني
Artinya : Pembahasan kelima adalah tentang pertentangan antara penilaian buruk dan
penilaian baik terhadap seorang perawi. Mayoritas Ulama mendahulukan al-
jarẖ (penilaian buruk) dari pada al-ta’dīl (penilaian baik) secara mutlak,
apakah jumlahnya seimbang atau tidak. Ibnu al-Shalāẖ berkata bahwa
sesungguhnya hal itu sahih, demikianlah pendapat yang juga dianggap sahih
oleh Ulama dalam fan ushul fiqh seperti Fakhri dan al-Āmadī. Bahkan
menurut al-Khatib pendapat ini telah disepakati pada keadaan yang
seimbang jumlahnya. Melihat alur pembicaraan Ibnu al-Shalāẖ, sepertinya
Beliau juga ke arah itu. Pada keseimbangan bilangan itu lah kita maksudkan
pendapat Ibnu ‘Asākīr yang menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat
(ijmā’) untuk mengutamakan orang yang berpenilaian buruk terhadap
seorang perawi dari pada yang berpenilaian baik. Kesepakatan para Ulama
yang mengutamakan al-jarẖ pada bilangan yang sama (anatara yang men-
jarẖ dan yang men-ta’dīl) tentunya lebih-lebih lagi pada saat orang yang
men-jarẖ perawi itu lebih banyak.
Kalau merujuk kepada pendapat mayoritas Ulama, sekalipun ada seribu orang
yang menyatakan bahwa ‘Isa ibn Jāriyah tsiqah (kredibel), sementara ada satu orang
yang men-jarẖ (menilai inkredibel), maka ‘Isa ibn Jāriyah dinilai inkredibel. Apalagi
kenyataannya yang men-jarẖ lebih banyak. Dengan demikian, maka hadis Jābir yang
dalam sanad-nya terdapat nama ‘Isa ibn Jāriyah tetap dinilai tidak sahih dan matruk,
shalat tarawih delapan rakaat menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah
40
Al-Sakhāwī, Muhammad ibn ‘Abd al-Raẖmān, Fatẖ al-mughīz, Jld I, (Sofware: Maktabah
Syamila, versi 4,27, 2010), h. 308.
41
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 116.
62
sebagai dalil pendukung. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
عن أيب سلمة بن عبد الرمحن أنه سأل عائشة كيف كانت صالة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
يف رمضان قالت ما كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ي زيد يف رمضان وال يف غريه على إحدى
عشرة ركعة يصلي أربعا فال تسأل عن حسنهن وطوهلن مث يصلي أربعا فال تسأل عن حسنهن
وطوهلن مث يصلي ثالاث فقالت عائشة فقلت اي رسول هللا أتنام قبل أن توتر فقال اي عائشة إن عيين
42
تنامان وال ينام قليب
Artinya : Dari Abī Salamah ibn Abd al-Rahmān, beliau bertanya kepada ‘Aisyah
tentang bagaimana kaifiat shalat Rasulullah di bulan Ramadhan. ‘Aisyah
berkata : “Rasulullah tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan
maupun selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat. Beliau shalat empat rakaat
dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat
empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian
Beliau shalat tiga rakaat.” ‘Aisyah kemudian berkata : saya bertanya
kepada Rasulullah, apakah Engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?”
Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi
hatiku tidak tidur.
atas karena menilai hadis riwayat ‘Aisyah ini dapat menjadi (syāhid) dalil pendukung
untuk menguatkan hadis riwayat Jābir tersebut. Hal ini dapat ditandai dari keputusan
al-Albānī yang menjadikan hadis ‘Aisyah tersebut sebagai salah satu dalil shalat
tarawih.43
kesahihannya, karena hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, Imam Muslim,
42
Al-Bukhārī, Shaẖīẖ al-Bukhārī, Jld IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h.
319. Lihat juga Muslim ibn al-Ḫajāj, Shaẖīẖ Muslim, Jld IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27,
2010), h. 89.
43
Al-Albānī, Shalat al-Tarāwīẖ, Jld I..., h. 11.
63
dan lainnya, namun menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat tarawih adalah hal yang
keliru. Hadis ini lebih tepat dijadikan sebagai dalil shalat witir.
menganggap hadis ’Aisyah ini adalah dalil shalat tarawih delapan rakaat merupakan
1. Pemotongan Hadis
dibaca secara utuh, maka jelas sekali konteks hadis ini berbicara tentang
shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir hadis ‘Aisyah
ghairih (tidak pada Ramadhan dan tidak juga pada selainnya). Shalat yang
lainnya, tentu bukanlah shalat tarawih. Karena shalat tarawih hanya ada pada
bulan Ramadhan. Oleh karena itu para Ulama berpendapat bahwa hadis ini
3. Pemenggalan Hadis
44
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 103.
45
K.H. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan..., h. 104.
64
Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat
yang paling maksimal menurut sebagian Ulama. 46 Bila hadis ini dipenggal,
delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir, maka kita harus menyetujui
bahwa selama bulan Ramadhan Nabi SAW hanya melakukan shalat witir tiga
rakaat saja. Ini tidak pantas bagi Beliau yang merupakan teladan bagi umat
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi SAW tidak
pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan
maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mereka mau konsisten mengikuti
Nabi SAW, seharusnya mereka melakukan shalat tarawih dan witir sepanjang
tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Kenyataannya tidak demikian,
mereka hanya menyebutkan hadis ini pada bulan Ramadhan saja. Di luar
Ramadhan hadis ini tidak pernah mereka sebut-sebut. Seolah-olah hadis ini
maka ‘Aisyah yang merupakan perawi hadis ini akan protes tatkala sahabat
Ubay ibn Ka’ab mengimami shalat tarawih 20 rakaat. Bahkan pada waktu itu
tidak ada seorang Sahabat pun yang protes terhadap apa yang dilakukan oleh
Ubay ibn Ka’ab. Ijmā’ (konsensus) para Sahabat pada masa Umar RA yang
46
Al-Haitamī, Tuẖfah li al-Muẖtāj, Jld II..., h. 262.
65
melakukan tarawih lebih dari sebelas rakaat membuktikan bahwa hadis ini
6. Kerancuan linguistik
Kata al-tarāwīẖ dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak (plural) dari
sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal
tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam
bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga
kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat tarawih lebih
dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat tarawih
hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangat
Setelah melihat penjelasan di atas, akhirnya kita dapat meyakini bahwa hadis
‘Aisyah meskipun dipastikan kesahihannya, namun bukan dalil shalat tarawih dan
tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi hadis riwayat Jābir tentang shalat
tarawih. Kedudukan hadis riwayat Jābir tetap dianggap lemah karena faktor ‘Isa ibn
menganggap ia sebagai perawi cacat lebih diunggulkan. Hal ini sesuai dengan kaidah
47
Al-‘Asqālanī, Fatẖ al- Bārī, Jld. IV..., h. 291.
66
Syāfi’īyyah sama sekali tidak dapat diruntuhkan ketika dikorelasikan dengan hadis
riwayat Jābir tersebut. Pendapat Fuqahā’ Syāfi’īyyah sangat kuat dan memiliki
landasan hukum, yaitu hadis mauqūf yang setingkat dengan hadis marfū’. Pendapat
ini juga didukung oleh ijmā’ Sahabat Nabi pada masa Khulafā’ al-Rāsyidīn.
Kalau pun seandainya hadis Jābir ini sahih, hadis ini juga tidak bisa dijadikan
sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadis ini terdapat
beberapa kemungkinan. Beberapa kemungkinan yang terdapat dalam hadis ini adalah
sebagai berikut,
48
وكان جابر إمنا حضر يف الليلة الثالثة وال رابعة
Artinya : Kemungkinan besar Jābir hanya datang pada malam ketiga dan
keempat.
mengatakan :
وروى ابنا خ زمية وحبان عن جابر قال صلى بنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يف رمضان
مثاين ركعات مث أوتر انتهى أقول وأما البقية فيحتمل أنه صلى هللا عليه وسلم كان يفعلها
49
يف بيته قبل جميئه أو بعده
48
Al-Maẖallī, Jalāl al-Dīn, kanz al-rāghibīn, Jld I (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 217.
67
3. Abī al-Fadhl ibn ‘Abd al-Syakūr al-Sanūrī dalam kitab Kasyf al-Tabārīẖ fī
و أما حديث جابر رضي هللا عنه فإن كانت القصة فقد احتمل أن جاب را ممن جاء يف الليلة
واحتمل أن جابرا، فلذا اقت صر على وصف ليلتني كذ ا قاله الزقاين يف شرح املوطاء،الثانية
،رضي هللا عنه جاء إىل املسجد ومل يبق من صالته صلى هللا عليه وسلم إالّ مثان ركعات
بل ولو نفاه أيضا مل تقم به احلجة، مع أنه مل ينف ال زائد عليها،فأخرب عما أدركه ورآه
مع أن غريه روى عنه صلى هللا عليه وسلم رفع اليدين يف غري،يف اإلستسقاء
50
اإلستسقاء
Artinya : Adapun mengenai hadis Jābir, bila memang kisah itu benar, maka
kemungkinan Jābir termasuk orang-orang yang hanya datang pada
malam ketiga dan keempat. Oleh karena itu pada hadis tersebut
Jābir hanya mengisahkan kisah dua malam. Hal ini sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh al-Zaqānī dalam kitab Syarẖ al-
Muwatha’. Kemungkinan juga Jābir datang terlambat ke mesjid
dan ia hanya mendapati shalat sebanyak delapan rakaat, maka ia
hanya memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan
berarti Jābir menafikan rakaat tambahan yang lebih dari delapan
rakaat. Bahkan seandainya Jābir menafikanpun tidak berpengaruh
49
Al-Syarwainī, Ḫāsyiat al-Syarwainī, Jld II..., h. 262.
50
Abī al-Fadẖl ibn ‘Abd al-Syakūr, Kasyf al-Tabārīẖ fī Bayāni Shalāt al-Tarāwīẖ,
(Surabaya, Maktabah Salim bin Nabhan, t.t), h. 3.
68
walaupun seandainya merupakan hadis yang sahih tetap tidak bisa dijadikan
pedoman dalam hal istidlāl (pengambilan dalil). Hal ini sesuai dengan sebuah kaidah
yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Ḫajar al-Haitamī dalam kitab al-Fatāwī al-
Fiqhiyyah al-Kubrā :
51
وقائع األحوال إذا تطرق إليها االحتمال كساها ثوب اإلمجال وأسقط هبا االستدالل
Artinya : Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa
dipastikan gugur dari segi pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat
tarawih. Kalau hadis ini sahih, maka hadis itu hanya dapat dijadikan sebagai dalil
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa apa yang telah dikemukakan oleh
Fuqahā’ Syāfi’īyyah bukan karena mereka tidak tahu tentang keberadaan hadis Jābir
di atas. Pendapat mereka yang menetapkan jumlah shalat tarawih 20 rakaat justru
karena mereka tidak sekedar tahu tentang keberadaan hadis Jābir ini, tetapi mereka
juga tahu secara mendalam tentang kualitas sanad-nya dan kedudukannya dalam hal
istidlāl (pengambilan hukum). Para Fuqahā’ Syāfiyyah sama sekali tidak menyalahi
51
Al-Haitamī, al-Fatāwī al-Fiqhiyyah al-Kubrā, Jld III (Sofware: Maktabah Syamila, versi
4,27, 2010), h. 371.
69
perintah Rasululah SAW. Tetapi mereka yang berpendapat tarawih hanya delapan
rakaat yang sebenarnya telah menyalahi sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafā’ al-
Rāsyidīn.
orang yang menyangka bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat, hal itu
merupakan sunnah dan melebihi darinya adalah bid’ah, maka sesungguhnya ia telah
menganggap sesat para Sahabat dan menyalahi perintah Rasulullah dengan cara yang
tidak ia sangka.52
D. Analisa Penulis
Pertanyaan tersebut adalah mengenai landasan hukum dan metode istinbāth Fuqahā’
Syāfi’īyyah dalam menetapkan jumlah rakaat tarawih, kedudukan hadis Jābir serta
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa Fuqahā’ Syāfi’īyyah telah sepakat
menetapkan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dan hal itu juga diakui oleh mayoritas
Imam Mazhab lainnya selain Imam Malik. Pendapat ini dilandasi pada hadis mauqūf
yang setingkat dengan hadis marfū’ dalam hal penetapan hukum dan juga konsensus
52
Muhammad ‘Ali al-Shabūnī dan Wahbah Zuhaili, “Shalat al-Tarāwiẖ ‘Isyrūna Rak’at hiya
al-Sunnah al-Tsābitah bi al-Ijma’”, Mingguan The Moeslem World, 12-18 Februari 1996 M / 23-29
Ramadhan 1416 H, h. 10.
70
ibn Jariyah. Namun demikian, kita banyak juga menemukan hadis ini terdapat dalam
pada shalat tarawih mendapat dukungan dari hadis sahih yang diriwayatkan dari
‘Aisyah sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagai dalil pelengkap. Hal ini dapat
dipahami dari penyebutan hadis ini yang selalu beriringan dengan hadis ‘Aisyah. 53
Adapun mengenai jumlah rakaat, muatan hadis ini bertentangan denagan hadis lain
dan ijmā’ Sahabat Nabi dan juga terdapat beberapa kemungkinan sehingga harus
Sebenarnya hadis ‘Aisyah saja sudah cukup untuk dijadikan sebagai dalil
kesunahan jamaah pada tarawih. Dengan demikian, penyebutan hadis ini sangat
dalam hadis ini karena terdapat kandungan yang kontradiktif dengan pendapat
hadis ini.
kesahihan hadis ini, yang pasti hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman
53
Lihat Al-Syarbainī, Mughnī al-Muẖtāj, Jld I... h. 317.
71
dalam hal penetapan jumlah rakaat. Hadis ini hanya dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam hal kesunahan jamaah saja. Sedangkan untuk penetapan jumlah rakaat adalah
sebagaimana yang telah menjadi ijmā’ Sahabat Nabi yaitu dua puluh rakaat.
sangat sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW karena mereka
mengikuti para Sahabat. Sungguh keliru bila kita beranggapan bahwa apa yang
dilakukan oleh para Sahabat seperti Umar RA merupakan perkara bid’ah atau
menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Hal ini sama saja dengan beranggapan bahwa
beberapa hadis yang berisi perintah mengikuti Umar serta kelebihan yang Ia miliki.
وانه من يعش منكم فسريى اختالفا كث ريا فعليكم بسنىت وسنة اخللفاء ال راشدين املهديني
54
عضوا عليها ابلنواجذ
Artinya: Barang siapa yang masih hidup di antara Kalian, maka Kalian akan
54
Al-Baihaqī, Sunan al-Kubrā, Jld X (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 114.
72
أوصيكم بتقوى هللا والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختالفا
كث ريا وإايكم وحمداثت األمور فإهنا ضاللة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنيت وسنة
55
اخللفاء ال راشدين املهديني عضوا عليها ابلنواجذ
Artinya : Saya berwasiat kepada Kalian untuk senantiasa bertaqwa kepada
Allah, mendengar dan patuh walaupun Kalian adalah hamba dari
Habsyi. Barang siapa yang masih hidup di antara Kalian, maka
Kalian akan melihat perbedaan yang banyak. Oleh karena itu
berpeganglah Kalian pada sunnah-ku dan sunnah Khulafā’ al-
Rāsyidīn yang terpetunjuk dan gigitlah dengan geraham.
56
اقتدوا ابللذين من بعدى أىب بكر وعمر
Artinya : Ikutilah dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar
إن هللا جعل احلق على لسان عمر وقلبه: أن النيب صلى هللا عليه و سلم قال
ما نزل ابلناس أمر قط فقالوا فيه وقال عمر بن اخلطاب إال نزل القرآن: وقال ابن عمر
57
على حنو مما قال عمر
Artinya : Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan
kebenaran di atas lisan Umar dan hatinya.” Ibnu Umar berkata :
“Tidak diturunkan sebuah wahyu pun kepada manusia di mana
manusia berpendapat tentang itu dan Umar pun begitu kecuali
Alquran diturunkan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Umar.”
55
Al-Tirmizī, Sunan Al-Tirmizī, Jld V, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 44.
56
Al-Baihaqī, Sunan Al-Kubra jld V..., h. 212. Lihat juga al-Thabranī, Sulaiman bin Ahmad,
Mu’jam Awsath, Jld. IV, (Sofware: Maktabah Syamila, versi 4,27, 2010), h. 140. Dan lihat juga al-
Tirmizī, Sunan al-Tirmizi Jld V..., h. 609.
57
Ibnu Ḫibban, Shaẖīẖ Ibnu Ḫibbān, Jld XV..., h. 318.
73
kedudukan Khulafā’ al-Rāsyidīn khususnya dalam hal ini Sahabat Umar RA. Beliau
adalah pedoman hidup bagi Umat Islam setelah Rasulullah wafat. Beliau juga
termasuk orang-orang yang telah dijamin masuk syurga. Sangat naif bila seandainya
dari mereka muncul amalan bid’ah yang berhujung ke neraka. Oleh karena itu sudah
menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti Beliau, khususnya dalam hal
Shalat tarawih dalam jumlah dua puluh rakaat adalah satu metode
pelaksanaan yang dilakukan mayoritas Umat Islam di seluruh belahan dunia. Hal ini
juga menjadi tata cara pelaksanaan tarawih yang dilakukan di dua tanah haram yang
mulia, Mesjidil Haram dan mesjid Nabawi. Sebagaimana kita ketahui, Ulama Saudi
adalah orang yang paling sensitif terhadap perkara bid’ah. Namun dalam hal
pelaksanaan tarawih, mereka juga melakukannya sebanyak rakaat. Dari sini dapat
hanya ulah sebagian kalangan saja yang terkesan mencari sensasi dengan
pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas umat Islam lainnya dan menyalahi dengan
apa yang telah disepakati pada zaman Sahabat Umar RA sehingga membuat
Shalat tarawih dua puluh rakaat juga menjadi pendapat mayoritas Imam
Mujtahid selain Imam Malik. Bahkan Imam Malik sendiri sebenarnya tidak
mengingkari shalat tarawih dua puluh rakaat, beliau hanya beranggapan ada baiknya
di Madinah ditambah enam belas rakaat lagi untuk mengimbangi kelebihan yang
Shalat tarawih 20 rakaat juga sesuai bila ditinjau dari sisi linguistik karena
dalam pelaksanaannya terdapat empat kali tarwīẖah. Hal ini sama persis seperti apa
yang ditunjukkan oleh lafaz al-tarāwīẖ yang merupakan bentuk plural sehingga
berarti beberapa tarwīẖah. Sedangkan shalat tarawih delapan rakaat sangan rancu
bila ditinjau dari sisi bahasa karena hanya terdapat satu atau dua kali tarwīẖah saja,
sedangkan kalimat plural dalam bahasa Arab digunakan untuk angka yang lebih dari
tiga. Dengan demikian, shalat tarawih delapan rakaat sangat rancu dari segi
kebahasaan.
Namun demikian, bagi kalangan yang berpendapat shalat tarawih dua puluh
delapan rakaat merupakan hal yang sia-sia atau menganggap shalat delapan rakaat
hanya diberikan pahala sunat mutlaq. Perlu diketahui bahwa shalat tarawih yang
kurang dari dua puluh rakaat seperti 4, 6, 8, atau 10 rakaat dengan niat tarawih juga
diberikan pahala shalat tarawih walaupun dari awal telah berencana untuk hanya
melakukannya dalam jumlah tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Oleh
al-Syarwainī :
( وكذا من أتى ببعض الرتاويح ) أي كاالقتصار على الثمانية فيثاب عليها ثواب كوهنا من ال رتاويح
58
وإن قصد ابتداء االقتصار عليها كما هو املعتاد يف بعض األقطار
Artinya : Seperti orang yang melakukan sebagian tarawih, misalnya hanya
58
Al-Syarwainī, Ḫāsyait al-Syarwainī, Jld II..., h. 246.
75
seperti ini, apalagi dalam masalah furu’iyyah. Persaudaraan di antara Umat Islam
merupakan hal yang lebih penting untuk dijaga. Namun demikian, walaupun hal ini
merupakan perkara sunat dan termasuk dalam masalah furu’iyyah bukan berarti hal
rakaat sah-sah saja walaupun hal ini kurang sempurna. Namun yang sebenarnya kita
takutkan adalah munculnya pandangan negatif kepada Sahabat dari mereka yang
beranggapan bahwa shalat tarawih tidak boleh melebihi dari delapan atau sebelas
rakaat karena secara tidak langsung, pendapat seperti itu telah mendiskreditkan para
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, ada beberapa kesimpulan yang
dapat diambil sebagai intisari dari semua pembahasan yang telah penulis sampaikan.
mauqūf yang meriwayatkan perbuatan para Sahabat pada zaman Umar RA.
Hadis mauqūf ini dari segi kekuatan hukum sama juga dengan hadis marfū’
dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang (lā yuqālu min qibal
al-ra’yi) dan tidak mungkin untuk dilakukan ijtihad (lā majal fīhi li al-
ijtihād). Selain itu, masalah rakaat tarawih juga merupakan masalah yang
telah terjadi ijmā’ (konsensus) Ulama. Dalam ber-istinbāth pada hadis ini,
yang bernama ‘Isa ibn Jāriyah. Kebanyakan para Ahli Hadis seperti Ibnu
Ma’īn, Al-Nāsā-ī, Abu Daud, Al-Zāhibī dan lainnya menganggap Isa ibn
Jāriyah adalah perawi yang cacat. Hanya Ibnu Ḫibbān yang menganggapnya
75
76
kesunahan jamaah pada shalat tarawih karena didukung oleh hadis sahih yang
B. Saran
Pada akhir penulisan karya ilmiyah ini, ada beberapa hal yang perlu penulis
sarankan, yaitu :
hal ini sebenarnya sudah sangat jelas di mana para Ulama dan Imam mazhab
2. Perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal yang
tarawih ini dalam sebuah qanun atau peraturan pemerintah sesuai dengan
mazhab mayoritas yang dianut oleh Umat Islam di daerah tersebut, sehingga
dihindari.
77
membangun sebagai perbaikan terhadap karya ilmiah ini tentu sangat penulis
harapkan. Semoga Allah selalu mencurahkan taufiq dan hidayahnya bagi kita semua.