Dosen :
……………………………
Penyusun :
1. Lailatul Khasanah (C24170025)
2.
3.
4.
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami semua diberikan kekuatan, kesabaran
serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah “ASWAJA II” sampai
selesai pada waktu yang kita rencanakan.
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran, dukungan serta doanya
dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
Semoga apa yang kita sampaikan di makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya. Sebelumnya apabila terdapat kesalahan dalam pengetikan maupun
penyampaian materi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Tidak perlu diragukan lagi bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam di
samping al-qur’an. Mengingat begitu pentingnnya hadits, maka studi atau kajian
terhadap hadits akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat islam, tetapi juga siapapun
yang berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat ayat alqur’an yang semuanya
dapat diterima. Hadits tidak semua dapat dijadikan acuan atau hujjah. Hadits ada yang
dipakai ada yang tidak di sinilah letak perlunya meneliti hadits.
Agar dapat meneliti hadits secara baik diperlukan antara lain pengetahuan
tentang kaidah dan atau metodenya. Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang
menekuni hadits telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi
hadits. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan
atau berbagai metodeyang sangat bagus dalam studi hadits, terutama untuk meneliti para
periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayat hadits (sanad). Bahkan dapat
dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang
ditunjang dengan perangkat pendukungnya.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan
pengertian dan keshahihan hadits : “tarawih 20 rakaat, rukyatul hilal, baca sholawat,
manaqib, istiqosah dan hizib”
1
1.2 Rumusan Masalah
a.
b.
c.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
2
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DAN KESHAHIHAN HADITS
Shalat tarawih adalah shalat Sunnah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin
pada malam-malam bulan Ramadhan setelah shalat isya’ dan sebelum shalat witir.
Shalat tarawih disunahkan bagi kaum muslimin, pria dan wanita. Rasulullah Saw,
sendiri juga menunaikannya yang ketika itu belum dikenal
dengan nama “Shalat tarawih” dan menganjurkan umatnya supaya menunaikan juga.
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dan umat islam generasi-generasi
berikutnya. Dalam hal ini sahabat Abu Hurairah ra. berkata :
“Rasulullah Saw, menggemarkan ibadah di bulan ramadhan, akan tetapi beliau tidak
menganjurkannya dengan keras. Beliau berkata : “Barangsiapa banyak beribadah di
bulan ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka di ampuni baginya dosa-dosanya yang
terdahulu”. (HR. : Muslim)
Maksud hadits ini adalah “Siapa yang menghidupkan malam-malam ramadhan
dengan shalat zikir dan membaca Al-Qur’an berdasarkan iman dan ikhlas, maka di
ampuni dosa-dosanya yang telah lalu yakni dosa-dosa kecil”.
Ibnu Qudomah dalam kitabnya Al-Mugni mengatakan bahwa : “Shalat tarawih
itu hukumnya sunah mu’akkadah dan orang pertama yang melaksanakannya adalah
Rasulullah Saw,”. Berkaitan dengan ini terdapat sebuah hadits dimana Siti Aisyah ra.
berkata :
3
“Pada suatu malam Nabi shalat di masjid, maka para sahabat pun mengikuti beliau
shalat. Kemudianbeliau shalat di malam berikutnya, maka para sahabat (yang akan
ikut shalat) menjadi semakin banyak.Selanjutnya pada malam ketiga atau keempat para
sahabat berkumpul (di masjid untuk shalat bersama beliau) namun ternyata Rasulullah
Saw, tidak keluar menemui mereka. Keesokan harinya beliau pun bersabda : “Saya
telah mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam. Tidak ada yang menghalangiku
keluar menemui kalian selain dari kekhawatiranku kalau-kalau shalat itu diwajibkan
atasmu”. (HR. Muslim)
4
zamannya Khalifah Umar bin Khattab ra. hingga zamannya kita sekarang ini. Dan
dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat diantara ahli fiqih imam madzhab yang
empat kecuali Imam Malik dalam riwayat beliau yang kedua dimana beliau berpendapat
bahwa shalat tarawih itu adalah 20 rakaat lebih hingga 36 rakaat sesuai dengan amalan
penduduk Madinah. Nafi’ pernah meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata : “Aku
mendapatkan orang-orang melakukan shalat tarawih dengan 39 rakaat. Sudah termasuk
diantaranya 3 rakaat shalat witir”. Namun demikian riwayat yang masyhur dari beliau
adalah bahwa shalat tarawih itu 20 rakaat. Dan riwayat dari beliau inilah yang
disepakati oleh mayoritas umat baik dari Safi’iyah, Hambaliyah maupun Hanafiyah.
Dengan demikian, maka sepakatlah madzhab-madzhab yang empat bahwa rakaat shalat
tarawih itu adalah 20 dan ditambah tiga rakaat witir.
a. Hadis riwayat Baihaqi dan selainnya dengan isnad yang shorih lagi sahih dari
Sa’ib bin Yazid, seorang sahabat Nabi yang terkenal dimana beliau berkata :
“Para sahabat melakukan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra. pada bulan
ramadhan dengan dua puluh rakaat”.
b. Hadits riwayat Imam Malik dalam Al-Muwattho’ dan juga riwayat Imam
Baihaqi dari Yazid binRuman, beliau berkata :
“Para sahabat melakukan ibadah malam dizamannya Umar bin Khatab ra.
dengan dua puluh tiga rakaat”.
Yakni 20 rakaat shalat tarawih dan 3 rakaat shalat witir.
c. Hadits riwayat Al –Hasan
5
“Bahwasanya Umar ra. mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu
beliau mengimami mereka shalat tarawih 20 rakaat. Beliau beserta segenap jamaah
tidak melakukan qunut kecuali pada pertengahan ramadhan yang kedua. Apabila
sepuluh yang terakhir dari bulan ramadhan telah tiba, maka beliau tidak keluar (ke
masjid). Beliau melakukan shalat di rumah sehingga orang-orang pada berkata :
“Ubay bin Ka’ab telah melarikan diri”.
2.2.RUKYATUL HILAL
A. Definisi Rukyat Al-Hilal
6
“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q.S
al-Baqarah: 185).
b. Surat al-Baqarah ayat 189.
“Mereka bertanya kepadamu tentang Bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumahrumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan
orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumahrumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Baqarah : 189)
7
2. Dasar Hukum dari al-Hadis
a. Hadis Riwayat Muslim
“Bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah bercerita kepada kami Abu
Usamah bercerita kepada Kami Ubaidillah dari Nasi’ bin Umar radiallahu anhu bahwa
Rasulullah Saw menuturkan masalah bulan Ramadan sambil menunjukkan kedua
tangannya kemudian berkata;bulan itu seperti ini, seperti ini,seperti ini, kemudian
menelungkupkan ibu jarinya pada saat gerakan yang ketiga. Maka berpuasalah kalian
karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula, jika terhalang oleh
awan terhadapmu maka genapkanlah tiga puluh hari.” (HR. Muslim).
“Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah bercerita kepada kami
Muhammad bin Ziyad dia berkata saya menedengar Abu Hurairah dia berkata Nabi
Saw bersabda atau berkata Abu Qasim Saw berpuasalah kamu karena melihat hilal
dan berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu
maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. al-Bukhari).
8
2.3. SHOLAWAT
A. Arti Shalawat
Shalawat dalam kamus bahasa arab adalah bentuk jama‟ dari kata sebagaimana
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû
'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalmlah kamu
kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib. Kemudian apakah shalawat itu
fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita
mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak. Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa
bershalawat di dalam duduk akhirdi dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur
ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Sholawat Nabi itu banyak sekali macamnya diantara yang diketahui adalah :
a. Shalawat Munjiyat
b. Shalawat Kubro
c. Shalawat Sa'adatud darain
d. Shalawat burdatul bushiri
e. Shalawat badar
9
f. Shalawat Alfiyah
g. Shalawat Tibbil Qulub
C. Hukum Bershalawat
bershalawat hukumnya wajib setiap kali nama beliau disebut, dan ini
adalah pendapat yang lebih hati-hati. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur
(mayoritas) ulama.
Tentang ayat Allah tersebut (Qs. Al-Ahzaab: 56), Abu Su‟ud berkata, “Ayat ini
sebagai dalil wajibnya mengcapkan shalawat dan salam kepada beliau secara mutlak,
tanpa harus mengulang-ulangnya.”
2.4. MANAQIB
A. Pengertian Manaqib
Kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrad manqabah, yang di antara
artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang, riwayat
hidup seseorang yang berisikan tentang budi pekertinya keterpujian ahhlaknya yang
patut dijadikan suri tauladan.
10
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang
baik mulia: manaqib Sayyidina Umar bin Khatthab, manaqib sayidina Ali bin Abi
Thalib, Manaqib Imam Syafii, Manaqib Imam Malik, manaqib Imam Abu hanifah,
Manaqib Imam ahmad Bin Hambal, manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Manaqib
Imam Ahmad Rifaii, Manaqib Imam ahmad al-Badawi, manaqib imam abul hasan
assyadzilli, manaqib Imam Ibn masyisy, Manaqib Imam Ibrohim al-Dasuqi, Manaqib
Imam Bahauddin Naqsyabandi, Manaqib Imam habib Abdullah al-hadaddad, manaqib
Syeikh Samman al-Madani, Manaqib Syeikh Ahmad Tijani, manaqib Imam Muhammad
abdul karim al-Mirghani dan lain sebagainya. Tidak dibenarkan kalau ada orang berkata
manaqib fir’aun, manaqib Abu Jahal, manaqib Haji bokir, manaqib kabayan, dan lain
sebagainya.
B. Dalil-dalil Manaqib
Sebenarnya manaqib itu ada dalam Al’quran dan dalam hadis-hadis Nabi seperti
manaqib ashabul kahfi, Manaqib Dzul Qur’nain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya.
Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu
dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.
Tersebut dalam surat atsar: Rasulullah pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang
mukmin ( yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa
memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang, siapa yang mengunjunginya, Allah
akan memberikan surga.
11
“Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan,
agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat didepan
para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik masih hidup ataupun sudah
mati, dikuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul
dalam berziarah kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka."
2.5. ISTIGHOSAH
A. Pengertian Istighosah
Istighosah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Yang
dimaksud dengan Istighosah dalam munjid fil lughoh wa a’alam adalah mengharapkan
pertolongan dan kemenangan. Istighosah adalah meminta pertolongan kepada Allah
karena dalam keadaan bahaya.
Istighosah sebenarya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata
istighosah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam
istighosah adalah bukan hal yang biasa saja. Oleh karena itu, istighosah sering
dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama
istighfar, sehingga Allah SWT. Berkenan mengabulkan permohonan itu.
12
“Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat
sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada
pada kondisi seperti itu mereka beristighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi
Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad”. (H.R.al
Bukhari).
13
C. Manfaat Istighosah
Istighosah sama halnya dengan manfaat do’a dan zikir, karena kajian dalam
pengajian istighosah didalamnya ada do’a dan zikir yang dibaca dan dilafadkan
bersama-sama.
Manfaat do’a dan zikir (mengingat Allah SWT) sangat banyak, diantaranya
sebagai berikut:
a. Mendatangkan keridhoan Allah SWT.
b. Mengusir syaitan, menundukkan, dan mengenyahkannya.
c. Menghilangkan kesedihan dan kemuraman hati.
d. Mendatangkan kegembiraan dan ketentraman (didalam) hati.
e. Melapangkan rizki.
f. Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi Allah, sehingga
mendorongnya untuk selalu berbuat kebajikan.
g. Takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil yang diucapkan hamba saat berzikir
akan mengingatkannya saat dia ditimpa kesulitan.
h. Malaikat akan selalu memintakan ampunan kepada Allah bagi orangorang
yang berzikir.
i. Orang yang berzikir (mengingat Allah) senantiasa merasa dekat dengan-Nya
dan Allah bersamanya, dll.
Mengingat banyaknya manfaat yang telah disebutkan di atas, maka istighosah
merupakan serangkaian dzikir, doa, sholawat yang sangat banyak maanfaatnya bagi
pembacanya. Manfaat istighosah sendiri seperti manfaat yang terdapat dalam dzikir,
doa, sholawat, oleh karena itu maka sebagai hamba Allah yang beriman harus selalu
berdo’a dan berzikir, memohon perlindungan kepada Allah SWT. dari berbagai
tantangan dan cobaan hidup di dunia ini.
2.6. HIZIB
A. Arti Hizib dalam tradisi Arab
Dalam tradisi arab, kata Hizib semula ditandai untuk merujuk sesuatu
yang “berduyun-duyun” dan “berkelompok”. Itulah makanya ada kata
“Hizbullah”, artinya “sekumpulan” bala tentara yang berjuang atas nama
14
Allah. Tetapi kata Hizbullah sendiri kadang juga digunakan untuk menyebut
para malaikat.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika Nabi dan para sahabat
bertempur melawan kaum musyrikin dalam perang badar, Allah sengaja
mendatangkan 5000 pasukan sebagai bala bantuan yang bertandakan
putih, mereka adalah para malaikat (Hizbullah).
Kata Hizib sendiri terkadang juga digunakan untuk menyebut
“mendung yang berarak” atau “mendung yang tersisa”. Semisal hizbun min
al-ghumum (sebagian atau sekelompok mendung).
Ternyata untuk selanjutnya perkembangan kata hizib dalam tradisi
thoriqot atau yang berkembang di pesantren adalah untuk “menandai”
sebuah bacaan-bacaan tertentu. Misalnya hizib yang dibaca hari jum’at ;
yang dimaksud adalah wirid-wirid tertentu yang dibaca hari jum’at. Secara
harfiah Hizib dapat diartikan sebagai golongan, atau kelompok bahkan ada
yang mengartikan sebgai tentara.
B. Dalil-dalil Hizib
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya
adalah:
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu
membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah,
bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan
azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak
terkandung kesyirikan." (HR Muslim [4079]).
Dalam al-Thibbal-Nabawi, al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin
Ustman al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
15
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah
satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku
berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan
siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, serta dari godaan syetan
serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan
orang tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-
anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas,
kemudian digantungkan di lehernya.” (Al-Thibb al-Nabawi, 167).
Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam.
Memang ada Hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan
azimat, misalnya:
16
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang
menggantungkan azimat di lehernya, maka sungguh orang itu telah berbuat
syirik.” (Musnad Ahmad [16781]).
C. Berbagai Hizib
Penyusun Hizib selalu dikaitkan dengan tokoh pengasas atau pemimpin aliran
tasawuf, sufi atau tarekat.
Tujuan asal Hizib adalah untuk diamalkan agar diri seseorang menjadi dekat
dengan Allah dalam arti kata Allah akan meredai orang yang mengamal Hizib tersebut.
Ini kerana Hizib adalah juga kategori doa atau zikir yang bertujuan memperkuat tauhid
pengamal tersebut.
Terdapat pelbagai Hizb yang di susun oleh para imam-imam atau guru-guru
tariqah, dan semua hizb ini secara langsung atau tidak bersumber dari ayat-ayat Al
Quran dan dalil-dalil dari Hadis Nabi. Tidak kurang pula yang di terima oleh para
penyusun hizb ini langsung dari Rasulallah samada dalam keadaan sadar (yaqazatan)
atau dalam mimpi (ru'yah).
Di dalam kelompok pengamal ilmu persilatan, ilmu kerohanian atau ilmu kebatinan,
Hizib diamalkan untuk memohon pertolongan Allah atau untuk menjadikan diri
seseorang itu kuat dan untuk berbagai hajat lagi.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
.
3.2 Saran
18
DAFTAR PUSAKA
1. https://rumaysho.com/1196-dalil-pendukung-shalat-tarawih-23-rakaat.html
2. Musthofa, Agus, Mengintip Bulan Sabit Sebelum Maghrib (Sebuah Perjuangan
Membangun Umat Melalui Tekhnik Astrofotografi), Surabaya: Padma
Press, 2014.
3. Bahstul Masail PCNU Jember, Tim. 2008. Membongkar Kebohongan Buku
“mantan kiai NU menggugat sholawat & dzikir syirik (H. Mahrus Ali). Jember:
Khalista
4. As Sidokare, Abu Ahmad. Shahih Bukhori . Pustaka Pribadi. 2009
5. Said Aqil Siradj, Masdar F.Mas’udi, TRADISI AMALIAH NU & DALIL-
DALINYA (Jakarta:LTM-PBNU,2011)
6. https://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2015/09/dalil-tentang-amalan-hizib-
azimat.html
7. http://www.nu.or.id/page.php
8. https://id.wikipedia.org/wiki/
9. https://tafsirq.com/
19