Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001
Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
Proposal Penelitian Tesis
PENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN MUTU
INDUSTRI KECIL BANDENG DURI LUNAK
DI SENTRA HOME INDUSTRI BANDENG DESA ADISARA
KECAMATAN JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS
Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001
Pembimbing Pendamping
Mengetahui :
Koordinator Program Magister Ilmu Pangan Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman
A. Latar Belakang
Industri pangan sebagaimana industri lainnya, merupakan industri
yang sarat dengan persaingan. Masing-masing perusahaan berusaha
menonjolkan keunggulan produk/jasanya baik dari segi mutu, harga,
kemudahan diperoleh/disajikan, bahkan pelayanan bagi konsumennya
(Ramadhani, 2006). Masalah pangan menyangkut pula keamanan,
keselamatan, kesehatan baik jasmani maupun rohani.
Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus
diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Keamanan pangan merupakan isu
pangan yang menjadi tuntutan utama konsumen baik dipasar lokal, nasional
dan internasional. Tuntutan konsumen terhadap produk pangan ditujukan pada
mutu yang sesuai dengan standar kesehatan berkaitan dengan adanya cemaran
selama penyediaan, pengolahan maupun penyimpanan makanan. Mengatasi
tuntutan tersebut, para pelaku industri pangan wajib meresponnya dengan
menerapkan sistem jaminan keamanan pangan yang sekaligus merupakan
jaminan mutu produk.
Salah satu idustri pangan yang banyak terdapat di Indonesia adalah
industri bandeng duri lunak. Permintaan ikan Bandeng segar dari tahun ke
tahun selalu mengalami peningkatan sebagai konsumsi dalam negeri, bahan
baku industri pengolahan maupun untuk umpan bagi usaha perikanan tangkap
tuna cakalang. Peluang pasar ikan Bandeng dalam negeri juga cukup besar.
Seiring dengan semakin meningkatnya diversifikasi pangan ikan Bandeng
kini tidak hanya dapat dikonsumsi dalam bentuk ikan segar tetapi juga
dalam bentuk olahan seperti otak-otak Bandeng, Bandeng pepes, Bandeng
pindang, Bandeng asap, dan Bandeng duri lunak (presto). Perkembangan
produksi Bandeng di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung naik terus hal
ini karena sebagian besar produksi adalah hasil budidaya tambak yang bisa
diatur hasil panennya. Berdasarkan data produksi dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi Bandeng tahun
2015 sampai dengan 2019 menunjukkan kenaikan sebesar 16,98% yakni
tahun 2015 sebesar 277,471 ton dengan nilai rupiah Rp. 3,153,447,918,-, dan
tahun 2019 mengalami kenaikan menjadi 515,527 ton dengan nilai rupiah Rp.
8,420,317,973,- (Statistik Kelautan Perikanan KKP RI, 2019). Jenis usaha
bandeng duri lunak bayak di temui di Kabupaten Banyumas. Sampai tahun
2019, tercatat tidak kurang dari 300 pengusaha bandeng duri lunak di
Kabupaten Banyumas dengan hasil produksi 70.580 kg 20.448.000 kg per
tahun. Salah satu sentra home industry bandeng duri lunak berada di Desa
Adisara Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas (Dinperindagkop, 2019).
Penelitian mengenai bandeng duri lunak selama ini baru memfokuskan
pada aspek sosio-ekonomi dan aspek karakteristik bandeng duri lunak yang
meliputi sifat fisika, kimia, mikrobiologi dan kandungan gizi (Suharno et
al.,2008) Sementara itu, industri kecil dan rumah tangga seperti usaha
bandeng duri lunak, mempunyai masalah mutu, karena tidak adanya
invesatasu di bidang modal fisik dan pendidikan. Standar mutu yang
diterapkan hanya dianggap sebagai pengecekan formal dengan alasan bahwa
produsen atau pengusaha belum mampu menghasilkan produk yang bermutu
baik (Hubeis, 1994)
Menyangkut mutu pangan bandeng duri lunak di Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang mungkin saja sudah memiliki cara-cara produksi dan
penjaminan mutu masing-masing, namun belum dituangkan secara baku
dalam suatun sistem yang baik, belum memiliki acuan tertulis berupa
pedoman dan belum terstandar, karena pengolahan bandeng segar menjadi
bandeng duri lunak yang dilakukan daerah tersebut masih tradisional, dan
belum dikelola dengan baik. Belum adanya dokumen-dokumen penjaminan
mutu yang digunakan sebagai dasar penerapan penjaminan kualitas, berpotensi
menyebabkan ketidak konsistenan kualitas produk yang dihasilkan. Hal
tersebut berdampak pada ketidakmampuan untuk bersaing di pasar bebas.
Permasalahan mutu produk pengolahan dapat terjadi pada setiap
tahapan kegiatan pengolahan, hal tersebut karena tingkat pengetahuan dan
kesadaran terhadap mutu, keamanan produk, dan manajemen yang rendah.
Dengan demikian, usaha produksi bandeng duri lunak dengan pengolahan
tradisional dan belum adanya penerapan sistem penjaminan mutu, maka perlu
adanya penelitian yang mengkaji dari aspek penerapan sistem penjaminan
mutu yang dilakukan pengusaha dalam memproduksi bandeng duri lunak,
khususnya di Desa Adisara Kecamatan Jatilawang untuk peningkatan mutu
produk dalam penjaminan keamanan produk.
Penerapan sistem penjaminan mutu dilakukan dengan pendekatan
Sistem Penjaminan Mutu yang dibuat melalui dokumen kebijakan, prosedur,
dan formulir - formulir atau dokumentasi sistem penjaminan mutu secara rutin
dan periodik, yang penyusunannya mengacu pada ketentuan HACCP. HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem yang
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang nyata bagi
keamanan pangan. Penerapan HACCP sesuai dengan pelaksanaan manajemen
mutu dan merupakan sistem yang dipilih untuk manajemen keamanan pangan
dan aspek mutu pangan yang lain (SNI 01-4852-1998).
Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang tidak dapat berdiri
sendiri melainkan sistem ini dibangun melalui penerapan persyaratan dasar
berupa GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation
Standard Operating Procedures) (Ramadhani, 2006). GMP adalah suatu
pedoman cara memproduski makanan, minuman, obat, kosmetik yang
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
produk-produk bermutu, aman untuk dikonsumsi, murni, efektif, dan sesuai
dengan tuntutan konsumen lokal maupun global. SSOP merupakan prosedur
yang digunakan oleh industri untuk mencapai tujuan GMP melalui penerapan
prinsip-prinsip sanitasi. Home industry di Desa Adisara merupakan suatu
industri kecil yang memproduksi bandeng duri lunak, oleh karena itu konsep
sistem yang digunakan dalam penyusunan sistem adalah gabungan dari konsep
GMP dan SSOP. Penerapan GMP dan SSOP inilah yang akan menjiwai
keseluruhan isi dokumen, sekaligus ebagai indikator pelaksanaan produksi dan
sanitasi dalam operasional telah dilakukan dengan baik.
Pendekatan sistem manajemen mutu ini diharapkan mampu
meningkatkan pengetahuan, kesadaran kebersihan dan cara produksi yang baik
serta pencatatan aktivitas-aktivitas produksi sehingga mudah dipantau dan
dilakukan perbaikan apabila diperlukan, serta meningkatkan kualitas dan daya
saing bandeng duri lunak di pasar sebagai produk yang aman, bermutu, bergizi
dan terjangkau yang pada akhirnya mengarah pada kesejahteraan pengusaha
bandeng duri lunak. Sistem Penjaminan Mutu tersebut kemudian dianalisis
apakah merupakan sistem yang aplikatif bagi pengusaha bandeng duri lunak di
Desa Adisara dan efektifkag penerapan Sistem Penjaminan Mutu tersebut
untuk menjamin kualitas dan keamanan produk bandeng duri lunak bagi
konsumen
B. Analisis Situasi
Desa Adisara merupakan daerah yang terkenal sebagai sentra
penghasil bandeng duri lunak. Desa Adisara adalah Desa yang terletak di
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas. Desa Adisara terdiri dari
grumbul Pekucengan, grumbul Tambangan, grumbul Gambarjati, grumbul
Terjung, grumbul Mbodong, dan grumbul Jombang. Desa Adisara dilintasi
oleh jalan raya nasional bagian selatan sehingga lalu lintas jalan raya
tergolong padat apalagi jika musim mudik lebaran tiba.
Desa Adisara memiliki kode 3302032006 dengan luas wilayah 238.090
Ha berikut dengan sawah tadah hujan dan memiliki ketinggian 34 meter dari
permukaan laut. Sedangkan Desa Adisara memiliki koordinat bujur
109,130752 dan koordinat lintang -7,535683 sehingga Desa Adisara ber iklim
tropis seperti halnya desa maupun daerah lainnya yang berada di garis
khatulistiwa. Batas Desa Adisara yaitu utara berbatasan dengan Desa
Tinggarwangi dan Tunjung, barat berbatasan dengan Desa Kedungwringin dan
Tunjung, timur berbatasan dengan Desa Margasana dan selatan berbatasan
dengan Desa Kedungwringin dan Karanglewas
Tabel 1. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Penduduk Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 2.383 50,04 %
Perempuan 2.379 49,95 %
Jumlah 4.762 100 %
(Sumber:Profil Desa Adisara tahun 2019)
Dengan melihat tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa Desa Adisara jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan yaitu selisih 4 jiwa.
Desa Adisara berpotensi memunculkan sumber daya manusia yang beragam dan
berkualitas dari jumlah penduduk yang lumayan banyak. Dengan jumlah
penduduk yang lumayan banyak ini, semua berhak untuk berdagang ikan. Baik laki-
laki maupun perempuan bahkan remaja sekalipun., karena semua berhak untuk
mendapatkan hidup yang layak dari berdagang ikan dan mensejahterakan
keluarganya.
Tabel 2. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
Jumlah Persentase
Mata Pencaharian
Penduduk (%)
Buruh Tani 96 6,62 %
Pedagang 421 29,03 %
Karyawan Swasta 510 35,17 %
PNS 63 4,34 %
Pengrajin 2 0,13 %
Peternak 27 1,86 %
Tukang Batu 4 0,27 %
Tukang Jahit 6 0,41 %
Tukang Kue 3 0,20 %
Tukang Rias 2 0,13 %
Pemilik Usaha Warung 10 0,68 %
Asisten Rumah Tangga 13 0,89 %
Jasa Penyewaan Peralatan Pesta 2 0,13 %
Petani 291 20,06 %
Jumlah 1.450 100 %
(Sumber: Profil Desa Adisara tahun 2019)
Desa Adisara memiliki penduduk yang beragam dalam mata
pencahariannya, itu bisa dibuktikan dengan daftar tabel di atas. Tanah
pertanian padi di Desa Adisara seluas 135 ha sedangkan luas tanaman kedelai
5 ha. Walaupun tanah pertanian mendominasi lahan di Desa Adisara tetapi
tidak semua warga desa menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Pedagang dan karyawan swasta juga mendominasi mata pencaharian
penduduk Desa Adisara,termasuk di dalamnya adalah sebagai pedagang ikan.
Walaupun di Desa Adisara sendiri tidak terdapat tambak ikan dari 421 jiwa
penduduk Desa Adisara yang berprofesi sebagai pedagang, 175 jiwa
berprofesi sebagai pedagang ikan yang tersebar di beberapa grumbul yaitu
Pekucengan, Gambarjati, Tambangan, Bodong, Terjung, dan Jombang.
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase (%)
PAUD/ TK 406 8,52 %
Tamat SD/ Sederajat 1.742 36,58 %
Tamat SMP/ Sederajat 1.662 34,90 %
Tamat SMA/ Sederajat 775 16,27 %
Tamat D-1, D-2, dan 93 1,95 %
D-3
Tamat S-1 80 1,67 %
Tamat S-2 3 0,06 %
Tamat S-3 1 0,02 %
Jumlah 4.762 100 %
(Sumber: Profil Desa Adisara tahun 2019)
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penyimpangan penerapan sistem persyaratan dasarHACCP yaitu
sistem Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP) di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang.
2. Mengetahui kesenjangan penerapan sistem HACCP di Sentra Pengolahan
Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang.
3. Merumuskan rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan untuk
perbaikan sistem HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Bagi Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang,
sebagai salah satu masukan untuk para pengolah mengenai bagaimana
pelaksanaan penerapan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) produksi bandeng duri lunak yang sesuai panduan agar dapat
berjalan lebih baik.
2. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat kelulusan sarjana strata dua (S2)
program studi Magister Ilmu Pangan serta untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan menerapkan dan membandingkan antara teori yang
dipelajari dengan penerapan yang ada.
3. Bagi pembaca, sebagai informasi tentang penerapan sistem Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada produk bandeng duri
lunak yang sesuai dengan prosedur atau panduan serta dapat menjadi
masukan bagi penelitian selanjutnya.
F. Keaslian Penelitian
Penelitian terhahulu untuk mengetahui dan mengkaji obyektivitas ilmu
yang menjadi masalah dalam suatu penelitian. Ada beberapa hasil penelitian
terdahulu yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini dan digunakan peneliti sebagai acuan untuk lebih memahami
variabel dalam penelitian ini.
1. HAACP Regulatory Model Cooked Shrimp oleh National Seafood
Inpection (1989)
Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran sebuah model
penerapan HACCP pada unit usaha udang dengan perlakukan direbus.
Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk mengidendentifikasi
tahapan proses, menganalisis hazard yang timbul, menetukan GMP dan
SSOP serta dilakukan evaluasi terhadap HACCP produk cooked shrimp,
termasuk upaya pencegahan dan pengendalian pada tahapan proses udang
beku.
Hasil penelitian ini adalah ternyata bahwa produk cooked shimp
mempunyai resiko bahaya lebih besar dari pada raw shrimp. Pengawasan
terhadap proses pengolahan cooked shrimp harus lebih ketat, karena produk
ini merupakan makanan siap saji dengan hanya dicelupkan air panas dan
diberi saus.
2. Disain HACCP pada Sentra pengolahan bandeng Krupuk di Sidoarjo
oleh Goenawan (2003)
Penelitian ini bertujuan untuk membuat disain sistem Manajemen
Mutu Terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP pada suatu produk
makanan berupa krupuk udang. Metode deskriptif digunakan untuk
menggambarkan rancangan HACCP yang didalamnya terdapat upaya
pencegahan secara dini terhadap hazard yang mungkin terjadi dan
pengendalian sepanjang lintasan kritisnya (CCP).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada 14 tahapan pengolahan
krupuk udang yaitu tahap receiving, mixing, extruding, steaming, aging,
chilling, cutting, drying, sorting, metal detecting, weighing, packing, storage
dan stuffing. Dari proses tersebut terdapat 7 tahapan teridentifikasi adanya
bahaya potensial yaitu pada tahapan penerimaan udang, tepung, gula dan
garam, penerimaan telur, breaking, pengeringan, dan penyimpanan di gudang.
3. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk
Crude Palm Oil di PT. Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di
PT. Astra Agro Lestari, Tbk oleh Girsang (2007)
Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat formulasi strategi
pengendalian mutu berdasarkan Sistem Managemen Mutu dan Sistem
Manajemen Keamanan Pangan. Metode penelitian dilakukan dengan
beberapa tahapan yaitu survei konsumen dengan pembobotan AHP, penilaian
penerapan HACCP dengan metode Self Assessment, dan perumusan formulasi
strategi pengendalian mutu dengan analisis SWOT.
Hasil penelitian diperoleh bahwa strategi yang perlu dilaksanakan
oleh pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan adalah: pelaksanaan SOP
sortasi dan SMK 3 yang ketat; pembangunan sistem sanitasi/SSOP yang baik;
peningkatan kinerja produk terkait dengan mutu spesifik; peningkatan
kepercayaan konsumen dengan memberikan jaminan mutu melalaui sertifikat
HACCP; serta diversifikasi produk. Strategi yang dapat dilaksanakan Pabrik
Minyak Goreng (PMG) Cap Sendok adalah peningkatan komitmen dan
budaya kerja yang baik; peningkatan produk dengan memberi jaminan mutu
berupa sertifikat ISO dan HACCP; peningkatan teknologi produksi; serta
pengembangan produk yang berorientasi ekspor.
4. Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added
Surimi Product oleh Swarini (2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi manajemen
mutu terpadu dalam proses value added surimi product dan mengidentifikasi
temuan penyimpangan hasil evaluasi. Metode diskriptif untuk
menggambarkan hasil evaluasi dan temuannya untuk perbaikan penerapan
jaminan mutu setiap tahapan proses.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, PT “X” mampu secara madiri
melaksanakan pengawasan mutu untuk memberikan jaminan produk yang
dihasilkan. Dalam menerapkan manajemen mutu terpadu mendapat dukungan
penuh dari pihak manajemen termasuk para eksekutif. Tahapan dalam
mengimplementasikan manajemen mutu terpadu (HACCP) adalah
pembentukan tim, analisa hazard, identifikasi CCP, penentuan batas kritis,
penentuan CCP, tindakan koreksi, prosedur, pencatatan, dan prosedur
verifikasi.
5. Penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Produksi Sashimi di Restoran Tomato Surabaya oleh Stephanie
Goulding Mansur (2013)
Penelitian tersebut dilakukan dengan mengamati penerapan HACCP
pada produk sashimi kemudian memberikan solusi mengenai hambatan
yang ditemukan dalam proses penerapan HACCP. Penulis menggunakan
analisa kualitatif deskriptif untuk mendapatkan data hasil observasi penerapan
HACCP dan wawancara yang mendalam dengan informan. Penelitian ini
menggunakan metode triangulasi sumber untuk membandingkan data yang
diperoleh antara sumber satu dengan lainnya kemudian mencocokkan data
agar data tersebut berkualitas dan dapat dipercaya. Hasil dari penelitian ini
yaitu penerapan HACCP di restoran Tomato Surabaya masih kurang
maksimal dimana tingkat penyimpangan yang paling sering terjadi pada tahap
awal yaitu penetapan bahaya dan resiko. Peneliti merekomendasikan
sebaiknya pihak restoran memiliki checklist yang lebih lengkap mengenai
kondisi bahan-bahan yang diterima dari pihak supplier dan saat kegiatan
operasional berlangsung sebaiknya karyawan khususnya di area dapur
memakai pakaian dan perlengkapan yang sesuai standar untuk menjaga
keamanan makanan dan meminimalisasi kecelakaan kerja.
6. Implementasi Sistem Keamanan Pangan Berbasis HACCP dalam Proses
Produksi Crackers Sandwich di PT. Mondelez Indonesia Manufacturing
– Cikarang, Bekasi oleh Citra Nour Aziz Mutiarani (2015)
Penelitian tersebut meninjau implementasi sistem HACCP yang telah
dilakukan dengan sistem HACCP yang sesuai. Penelitian tersebut
menggunakan gap analysis untuk membandingkan penerapan HACCP yang
telah dilakukan oleh sentra pengolahan bandeng sehingga didapatkan sistem
HACCP yang lebih optimal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa terdapat gap pada jumlah anggota tim HACCP, diagram alir, analisis
resiko, CCP, dan deskripsi produk. Peneliti merekomendasikan sentra
pengolahan bandeng melakukan validasi, verifikasi, dan studi berkelanjutan
dalam menentukan batas kritis CCP dan sPP serta perlunya sosialisasi akan
point penting konsep HACCP kepada pekerja secara menyeluruh.
7. Pengkajian Pelaksanaan GMP dan Implementasi Sistem HACCP di PT.
CCBI Cikedokan Plant, Cikarang Jawa Barat oleh R.A. Anandya Surya
Dewi (2016)
Penelitian tersebut mengkaji pelaksanaan GMP dan Implementasi
HACCP dan mengevaluasi kegiatan GMP dan HACCP yang kemudian dapat
digunakan untuk mengajukan sertifikasi HACCP Plan. Metode pengkajian
dilakukan dengan menyesuaikan penerapan GMP dan HACCP dengan
panduan sentra pengolahan bandeng yang telah mengacu pada Kepmenkes RI
No. 23/MenKes/SK/1/1978 untuk GMP dan SNI 01-4852-1998 untuk
HACCP. Hasil dari penelitian ini yaitu masih ditemukan beberapa temuan
terhadap kegiatan GMP yaitu terdapatnya rumput liar dan semak semak serta
masih adanya karyawan yang melakukan kegiatan makan dan minum di area
produksi. Sedangkan untuk HACCP ditemukan CCP pada jalur produksi pada
proses sterilisasi dan capping. Peneliti telah menyampaikan temuan ini
kepada pihak sentra pengolahan bandeng agar segera ditindak lanjuti dan
peneliti merekomendasikan agar sentra pengolahan bandeng dapat
meningkatkan kegiatan GMP dan mensosialisasikan mengenai HACCP
kepada seluruh departemen yang ada dalam pabrik.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ikan Bandeng
Sebagai negara yang maritim, Indonesia mempunyai potensi yang
besar dalam perikanan, baik perikanan air tawar, air payau, maupun air
laut. Menurut Saparinto (2007), potensi akuakultur air payau, yakni
dengan sistem tambak diperkirakan mencapai 931.000 ha dan hampir
telah dimanfaatkan potensinya hingga 100% dan sebagian besar
digunakan untuk memelihara ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) dan
udang (Pennaeus sp.).
Salah satu produk perikanan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat adalah ikan bandeng. Ikan bandeng merupakan suatu
komoditas perikanan yang memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga
banyak digemari masyarakat. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh
segala lapisan masyarakat. Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan
berprotein tinggi dan berkadar lemak rendah.
Pada umumnya ikan bandeng diolah secara tradisional antara lain
dengan cara pengasapan, penggaraman dan pemindangan. Cara
pengolahan tersebut hanya merubah komposisi daging, rasa serta tekstur
ikan, tetapi tidak dapat melunakkan tulang yang banyak terdapat dalam
daging ikan bandeng. Untuk mengatasi gangguan tulang – tulang ini, ada
suatu cara pengolahan khusus yang produknya disebut bandeng duri
lunak.
Menurut Astawan (2004), salah satu upaya untuk mengatasi
hambatan dalam pemanfaatan ikan bandeng adalah mengolah ikan
bandeng secara duri lunak. Di Indonesia, produk bandeng duri lunak
mulai dikenal walaupun jumlah produksinya masih dibawah ikan asin
maupun ikan pindang, tetapi pada masa yang akan datang pengolahan
ikan Bandeng secara duri lunak cukup cerah prospeknya. Cita rasa yang
dimiliki pun jauh lebih enak dibandingkan dengan ikan yang diolah secara
diasin maupun dengan cara lainnya.
Beberapa tempat, ikan bandeng memiliki banyak nama, misalnya
di Sumatera dikenal dengan sebutan banding, mulch, atau agam; di Bugis
disebut bolu; di Filipina disebut bangos; dan di Taiwan disebut sabahi
(Saparinto, 2007).
2. Bandeng Duri Lunak
Salah satu hasil olahan ikan bandeng adalah bandeng duri lunak.
Mempunyai ciri hampir sama dengan pindang bandeng, dengan kelebihan
yakni tulang, duri dari ekor hingga kepalanya cukup lunak, sehingga
dapat dimakan tanpa menimbulkan gangguan duri pada mulut (Arifudin,
1988).
Menurut SNI No: 4106.1-2009, bandeng presto/duri lunak adalah
produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh yang
mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan bahan baku, sortasi,
penyiangan, pencucian, perendaman, pembungkusan, pengukusan,
pendinginan, pengepakan, pengemasan, penandaan, dan penyimpanan.
Bandeng duri lunak merupakan salah satu jenis diversifikasi
pengolahan hasil perikanan terutama sebagai modifikasi pemindangan
yang memiliki kelebihan yaitu tulang dan duri dari ekor sampai kepala
lunak sehingga dapat dimakan tanpa menimbulkan gangguan duri pada
mulut (Arifudin, 1988).
Pengolahan bandeng duri lunak dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu secara tradisional dan modern. Pada pengolahan bandeng duri lunak
secara tradisional, wadah yang digunakan untuk memasak biasanya
berupa drum yang dimodifikasi atau dandang berukuran besar.
Pengolahan bandeng duri lunak secara tradisional menggunakan prinsip
pengolahan ikan pindang.
Pengolahan bandeng duri lunak secara tradisional dilakukan
dengan menggunakan prinsip pemindangan. Dalam proses pemindangan,
ikan diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam
lingkungan bergaram dan bertekanan normal, dengan tujuan menghambat
aktivitas atau membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim
(Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Secara modern, pengolahan bandeng duri lunak menggunakan
autoclave untuk memasak. Prinsip penggunaan autoclave pada
pemasakan bandeng duri lunak adalah dengan cara menggunakan tekanan
tinggi, sekitar 1 atmosfer. Dengan tekanan yang tinggi proses pemasakan
bandeng duri lunak dengan autoclave akan lebih cepat matang dengan
lama sekitar 2 jam dan tulang ikan dapat segera lunak daripada
menggunakan drum atau dandang. Menurut Arifudin (1983), pengolahan
bandeng duri lunak merupakan salah satu usaha diversifikasi. Proses
pengolahan menggunakan suhu yang tinggi (115 - 121°C), dengan
tekanan satu atmosfir. Suhu dan tekanan yang tinggi ini dicapai dengan
menggunakan alat pengukus bertekanan tinggi (autoclave) atau dalam
skala rumah tangga dengan alat pressure cooker.
Proses pengolahan bandeng duri lunak dengan uap air panas
bertekanan tinggi menyebabkan tulang dan duri menjadi lunak. Selain itu
uap air panas yang bertekanan tinggi ini sekaligus berfungsi
menghentikan aktifitas mikroorganisme pembusuk ikan, kerasnya tulang
ikan disebabkan adanya bahan organik dan anorganik pada tulang. Bahan
anorganik meliputi unsur-unsur kalsium, phosphor, magnesium, khlor dan
flour sedangkan bahan organik adalah serabut-serabut kolagen. Tulang
menjadi rapuh dan mudah hancur bila bahan organik yang terkandung di
dalamnya larut (Soesetiadi, 1977).
3. Bahan-bahan yang digunakan
Ada beberapa jenis bahan yang digunakan pada proses
pembuatan bandeng duri lunak antara lain:
a. Ikan Bandeng
Menurut Saanin (1968), klasifikasi ikan bandeng (Chanos
chanos Forsk) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Family : Chanidae
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos Forsk
b. Bumbu
Bumbu memegang peranan penting karena menentukan cita
rasa produk akhir. Selain itu daya awet ikan Bandeng duri lunak juga
dapat ditunjang oleh penggunaan bumbu dalam proses
pengolahannnya. Ada 2 macam bumbu yang digunakan dalam
pembuatan Bandeng duri lunak, yaitu bumbu rendam dan bumbu urap.
Istilah tersebut mengacu pada cara perlakuan pada waktu memberikan
bumbu, ada yang digunakan untuk merendam bandeng dan ada yang
diurapkan ke seluruh tubuh bandeng. Bahkan ada juga yang langsung
merebus bandeng dalam larutan garam. Cara terakhir ini biasanya
digunakan dalam pembuatan bandeng duri lunak secara tradisional,
yang memakan waktu sekitar 6 sampai 7 jam (Purnomowati, 2006).
Komposisi bumbu yang digunakan untuk merendam ikan
bandeng yang akan dibuat bandeng duri lunak adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Komposisi bumbu yang digunakan merendam ikan bandeng
untuk 1 kg ikan (ukuran 5 ekor per kg)
Jenis Bahan Komposisi Bumbu
Bawang Merah 20 gram
Bawang Putih 10 gram
Jahe 5 gram
Kunyit 5 gram
Lengkuas 5 gram
Ketumbar 0,5 sendok teh
Kemiri 1-2 buah
Air 0,5 gelas belimbing
Daun Jeruk Purut 1 lembar
Daun Salam 2 lembar
Garam Dapur 20 gram
Cabai, Asam (tanpa biji) dan Secukupnya
Penyedap rasa
Sumber : Hall (2005)
Bahan baku
Pencucian 1 x
Penyiangan
(ikan dibelah dari anus sampai insang)
Pencucian 2 x
Pelumuran Garam
Bahan baku
Penyiangan
(ikan dibelah dari anus sampai insang)/
butterfly
Pencucian sebanyak 4-5 x
Pelumuran Bumbu
e. Penyusunan ikan
Pemasakan dapat dilakukan dengan menggunakan drum-
drum perebusan (secara tradisional) maupun autoclave (secara
modern). Pada proses pemasakan dengan menggunakan drum-
drum (secara tradisional) perebusan dilakukan dengan cara ikan yang
sudah dibumbui disusun dalam keranjang segi empat dari stainless
steel yang sudah dilapisi dengan daun pisang disekelilingnya. Hal ini
dimaksudkan agar ikan tidak langsung bersentuhan dengan keranjang
stainless steel sehingga ikan bandeng tidak lengket ketika akan
diangkat selain itu bau yang akan dihasilkan setelah proses perebusan
akan terasa lebih sedap. Penyusunan ikan selain berselang-seling, pada
tiap lapisan ikan ditambahkan garam sampai ikan tertutup dengan
tebal lapisan garam 0,5 cm untuk setiap lapisnya. Setelah ikan
tersusun rapi, pada tiap keranjang diberi penutup kertas koran.
Penambahan garam pada tiap lapisan ikan bertujuan agar ikan dapat
terendam larutan garam selama proses pemasakan. Hal ini karena
garam bersifat menarik air dari tubuh ikan.
Sedangkan proses pengolahan dengan menggunakan
autoclave (secara modern) adalah sebagai berikut sebelum ikan
disusun dalam autoclave, air bersih dimasukkan ke dalam autoclave
sebanyak 1-2 liter. Ikan yang telah dibumbui dibungkus daun pisang
sebanyak satu lembar satu persatu kemudian dimasukkan ke dalam
autoclave. Ikan disusun berlapis-lapis. Lapisan pada penyusunan ikan
terdiri dari 4 - 5 lapisan. Jika lapisan dasar posisi kepala ikan berada
dalam satu sisi, maka lapisan diatasnya harus di sisi yang berlawanan.
Demikian seterusnya sampai panci penuh dan padat. Perlakuan seperti
itu dimaksudkan agar ikan teratur rapi sehingga autoclave dapat
menampung ikan lebih banyak dan mengurangi kerusakan fisik ikan.
Kapasitas autoclave yang digunakan dapat bermacam-macam
tergantung kebutuhan anatara lain 5 kg, 10 kg, 15 kg dan lain-lain.
Autoclave yang digunakan harus dalam keadaan bersih dan kering.
Bagian terpenting dari autoclave terletak pada kekuatan alat pengunci
dan kelenturan tangkainya untuk menahan tekanan di dalam alat
tersebut sehingga sebelum digunakan harus diteliti terlebih dahulu
agar tidak terjadi gangguan selama pengolahan. Di bagian penutup
yang dilengkapi dengan karet harus dikontrol kerapatannya. Posisi
karet harus melingkar dan lekat tak terpisahkan dengan komponen
penutup lainnya. Karet harus utuh dan keras namun kenyal (elastis).
Bagian pengunci harus terpasang dengan baik. Demikian pula stik
harus tegak dan kuat, tidak bisa digerak-gerakkan (tidak goyah).
f. Pemasakan Ikan
Pemasakan bandeng duri lunak dengan menggunakan drum
maupun autoclave juga terdapat perbedaan. Pemasakan dengan
menggunakan drum (secara tradisional) dapat dilakukan dengan drum
yang akan digunakan diperiksa terlebih dahulu apakah masih
berfungsi dengan baik dan tidak ada bagian-bagian yang sudah rusak.
Setelah itu, air bersih secukupnya ke dalam drum. Air dipanaskan
selama setengah jam sampai air mendidih atau sampai suhunya
mencapai 100oC, baru kemudian keranjang stainless steel dimasukkan
ke dalam drum dengan menggunakan katrol. Agar keranjang stainless
steel tetap terendam air, tiap keranjang stainless steel diberi pemberat.
Kemudian drum ditutup dan ikan direbus selama 10 jam.
Selama perebusan, suhu dipertahankan agar tidak turun dari
suhu 100oC yaitu dengan cara menjaga nyala api agar tidak terlalu
besar ataupun terlalu kecil sehingga bandeng duri lunak matang
dengan baik.
Proses pemasakan dengan autoclave (secara modern) setelah
ikan tersusun rapi, autoclave ditutup rapat. Cara menutup autoclave
adalah pengunci diputar searah jarum jam dengan tangan dan
pengunci yang berlawanan arahnya juga ikut diputar bersamaan
sampai terasa berat atau tidak dapat diputar lagi kemudian stick
penyangga dirapatkan dengan tangkai penutup dan dikunci dengan
cara ditekan sampai berbunyi klik. Hal ini didasarkan pada pendapat
Djarijah (1995), bahwa ketika dipakai pengunci dan stik berfungsi
secara bersamaan. Stik berfungsi sebagai penyangga tangkai penutup,
sementara pengunci berfungsi sebagai penekannya. Dengan demikian
kerapatan badan autoclave (pressure cooker) dan penutupnya menjadi
kuat saat disatukan.
Agar mempercepat proses pemasakan bandeng duri lunak
dapat dilakukan dengan memanfaatkan suhu tinggi untuk
meningkatkan tekanan. Untuk memaksimalkan panas yang dihasilkan
oleh kompor gas, ditambah beberapa saluran gas untuk
menyemprotkan api lebih besar sehingga tekanan dapat meningkat
sesuai yang diinginkan dengan waktu yang singkat. Jika tekanan
sudah mencapai 1,5 atm, saluran gas tambahan dimatikan agar tekanan
stabil.
Selama pemasakan api kompor gas harus terus dikontrol
jangan sampai api menjadi kecil maupun membesar. Nyala api yang
digunakan adalah sedang, dijaga agar tidak terlalu besar tetapi juga
tidak terlalu kecil, apabila nyala api terlalu besar kemungkinan
penguapan air terlalu cepat sehingga air habis sebelum waktunya
sedangkan ikan belum lunak (Djariyah, 1995).
g. Pendinginoan
Bagi pemasakan yang menggunakan drum (secara
tradisional), proses pendinginan dapat dilakukan dengan cara kompor
gas dimatikan dan tutup drum dibuka. Uap air panas akan keluar.
Kemudian keranjang stainless steel dikeluarkan dengan menggunakan
katrol dan ditiriskan.
Ikan didinginkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu
ruangan. Setelah agak dingin keranjang stainless steel tersebut ditutup
dengan menggunakan tutup yang bersih agar bandeng duri lunak tidak
terkena debu atau kotoran lain. Pendinginan dalam ruangan yang
tidak terjamin kebersihannya akan menyebabkan kontaminasi karena
itu perlu adanya alat pelindung. Sedangkan proses pendinginan
dengan menggunakan autoclave (secara modern) pada proses
pemasakannya dilakukan dengan cara autoclave didiamkan selama
setengah jam sampai tidak mengeluarkan suara mendesis agar uap
yang ada di dalam panci keluar semua dan tekanan dalam panci turun.
Hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya karet katup pengaman
panas.
Setelah dingin ikan diangkat satu persatu dengan hati-hati
kemudian di letakkan berjajar di atas rak besi untuk diangin-anginkan
pada suhu ruangan.
h. Pengemasan
Daya awet ikan bandeng tergantung dari proses pengemasan
bandeng duri lunak. Ada pengolah yang hanya menggunakan palstik
ada juga yang menggunakan plastic dan juga kertas karton. Bahkan
untuk memperlama daya awet ikan dilakukan dengan cara proses
pemvakuman pada kemasan ikan. Bandeng duri lunak yang dikemas
tanpa divakum dapat bertahan selama 2 hari apabila disimpan di
ruangan dan dapat bertahan hingga 5 hari apabila disimpan di suhu
dingin. Tetapi apabila bandeng duri lunak disimpan dengan cara
vakum dapat bertahan hingga 1 bulan.
Kantong palstik yang digunakan adalah jenis kantong plastic
polyethylene. Sedangkan kertas yang digunakan adalah kertas karton
dengan berbgai macam ukuran tergantung satuan produk yang akan
dikemas.
Pada kemasan bandeng duri lunak sebaiknya memuat
komposisi bumbu, alamat tempat pengolahan, nomor Depkes, dan
nama dagang produk, karton pengemasan selain untuk memberikan
informasi bagi konsumen tetapi juga dapat menarik konsumen.
Penggunaan plastik polyethylene sudah benar karena polyethylene
bersifat tahan panas, penahan air yang baik selain juga murah (Buckle
et al., 1987).
Gambar 4. Contoh bahan pengemas yang digunakan untuk mengemas
bandeng duri lunak (Pada bahan pengemas dicantumkan informasi
tentang produk)
6. Mutu Produk
Mutu produk bandeng duri lunak mempengaruhi terhadap tingkat
pemenuhan gizi bagi konsumen maupun dalam harga jual produk bandeng
duri lunak. Berikut adalah beberapa parameter mutu bandeng duri lunak.
Ikan bandeng duri lunak yang baik harus memenuhi kriteria
tertentu. Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan bandeng duri lunak
adalah dengan menilai mutu sensorisnya (Wibowo, 1996).
Tabel 4. Kriteria Mutu Ikan Bandeng Duri Lunak Berdasarkan Penilaian
Organoleptik
No Parameter Deskripsi
1 Rupa Ikan utuh dan tidak patah, mulus, tidak luka atau
lecet, nersih, tidak terdapat benda asing, tidak ada
endapan lemak, garam dan kotoran lain
2 Warna Warna spesifik, cemerlang, tidak berjamur dan
berlendir
3 Bau Spesifik seperti ikan rebus, gurih, segar, tanpa bau
tengik, masam, basi atau busuk
4 Rasa Gurih spesifik bandeng duri lunak, enak dan tidak
terlalu asin, rasa asin merata, serta tidak ada rasa
asing
5 Tekstur Kompak, padat, cukup kering, tidak berair, kesat
Sumber : Saparinto (2007)
Persyaratan mutu bandeng duri lunak menurut SNI No: 4106.1-
2009 adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Persyaratan Mutu Bandeng Duri Lunak menurut SNI No:
4106.1-2009
Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
a) Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7
b) Cemaran Mikroorganisme
1 ALT, maks Koloni/gram 5,0 x 105
2 Escherichia coli APM/gram <3
3 Salmonella* Per 25 gram Negatif
4 Vibrio cholerae* Per 25 gram Negatif
5 Staphylococcus aureus Koloni/gram Maksimal 1 x 103
c) Cemaran Kimia
1 Merkuri (Hg) mg/gram Maksimal 0,5
2 Timbal (Pb) mg/gram Maksimal 0,2
3 Kadmium (Kd) mg/gram Maksimal 0,05
*) Apabila diperlukan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006) (SNI No. 4106.1-2009)
7. Keamanan Pangan
Keamanan pangan merupakan suatu kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia. Kegiatan keamanan pangan meliputi
berbagai hal seperti (Laelasari, 2015:14) :
a. Sanitasi pangan
b. Bahan Tambahan Makanan (BTM)
c. Pengaturan pangan produk rekayasa genetik
d. Pengaturan iradiasi pangan
e. Standard kemasan pangan
f. Jaminan keamanan pangan
g. Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004
tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan menjelaskan bahwa pangan yang
aman ialah pangan yang memiliki kualitas dengan mutu yang baik dan
bergizi. Sistem keamanan pangan yang paling efektif ditetapkan,
dioperasikan, dan diperbaharui dalam kerangka sistem manajemen yang
terstruktur dan dimasukkan ke dalam kegiatan pengelolaan keamanan pangan
secara menyeluruh yang akan memberikan manfaat maksimal bagi produsen
dan konsumen serta pihak yang berkepentingan (Laelasari, 2015:19).
a. Bahaya Biologis (Biological Hazard)
Keracunan dan penyakit yang ditularkan melalui makanan
(foodborne illness), pada umumnya sangat terkait dengan kebersihan air
di lingkungan produksi makanan. Terdapat 4 kelompok cemaran mikroba
pathogen yang perlu diwaspadai dalam penggunaan air, yaitu bakteri,
virus, protozoa, dan parasit (cacing) (Surono dkk, 2016:10).
Mikroba dan beberapa bahan pangan yang paling bertanggung
jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui makanan, diantaranya
adalah :
1) Campylobacter (pada produk unggas, susu segar)
2) E. coli O157 (daging giling, sayuran hijau, susu segar)
3) Listeria (daging, keju lunak yang tidak dipasteurisasi)
4) Salmonella (telur, unggas, daging)
5) Vibrio (kerang, tiram)
6) Norovirus pada berbagai produk makanan
b. Bahaya Kimia (Chemical Hazard)
Kejadian keracunan akibat cemaran bahan kimia dalam makanan
umumnya disebabkan oleh cemaran bahan insektisida, pestisida, cemaran
industri, atau karena sengaja bahkan tidak sengaja ditambahkan sebagai
bahan baku formulasi makanan (ingredient). Cemaran lain yang perlu
diwaspadai pada makanan adalah cemaran limbah industri yang dapat
mencemari perairan umum yang kemudian akan mencemari berbagai
produk makanan yang menggunakan air yang tercemar tersebut. Cemaran
industri antara lain Arsenik (As), Kadmium (Cd), Khromium (Cr), Timbal
(Pb), Merkuri (Hg), dan Timah (Sn). Cemaran lainnya yaitu penggunaan
bahan kemasan yang mengandung senyawa berbahaya (Surono dkk,
2016:17).
Bahaya kimia juga sering didapati karena penggunaan bahan
tambahan pangan (additive). Bahan kimia lainnya yaitu senyawa toksin
yang terdapat dalam bahan pangan sebagai akibat tumbuhnya kapang.
Bahan pangan seperti biji-bijian dan serealia yang mengandung minyak
mudah ditumbuhi kapang dari jenis Aspergillus sp yang dapat
menghasilkan toksin dan berbahaya bagi manusia (Surono dkk, 2016:18).
c. Bahaya Fisik (Physical Hazard)
Bahaya fisik pada makanan adalah benda yang keberadaannya
dalam makanan dapat mencelakakan konsumen. Tingkat kecelakaan
akibat bahaya fisik relatif rendah dibandingkan dengan bahaya biologis
dan kimia (Surono dkk, 2016:21).
8. Sistem Manajemen Keamanan Pangan
Sistem manajemen keamanan pangan dikembangkan oleh beberapa
kawasan didunia dengan rujukan pada prinsip yang dikembangkan oleh
Codex Alimentarius Commission (CAC) - World Health Organization
(WHO). Sistem HACCP yang dikembangkan di Eropa telah diperluas dengan
memasukkan unsur manufaktur secara lengkap sehingga persyaratan dasar
(prerequisite) yang diminta sangat lengkap. Standar ISO 9001 yang
mengakomodasikan HACCP telah dikeluarkan dengan nomor seri ISO 15161
2001. Standar terbaru tentang HACCP yakni ISO 22000 telah direncanakan
bulan September tahun 2005. Indonesia melalui BSN telah mengadopsi
standar Codex tentang HACCP, yakni SNI 01-4852-1998 (Thaheer, 2008:2).
Ada beberapa alternatif bahan tambahan food grade yang
digunakan dalam proses pembuatan bandeng duri lunak. Para pengolah
dapat menggunakan bahan pengawet, bahan pewarna maupun bahan
penyedap yang dijinkan dan tidak dilarang. Bahan pengawet yang dapat
digunakan oleh para pengolah ikan antara lain: chitosan, asap cair,
bumbu-bumbuan yang dapat berfungsi sebagai pengawet (Romadhon et
al., 2008). Pewarna alami maupun sintesis yang dapat digunakan antara
lain kunyit dan egg yellow. Bahan penyedap yang dapat digunakan antara
lain Monosodium glutamat. Penggunaan bahan-bahan yang diijinkan akan
membuat produk yang dihasilkan aman dikonsumsi oleh konsumen.
Penggunaan bahan-bahan yang dilarang oleh pemerintah akan
menyebabkan produk yang dihasilkan tidak aman dan beresiko
menyebabkan penyakit bagi konsumen yang memakannya. Bahan-bahan
yang dilarang digunakan adalah pewarna jenis methanil yellow. Methanil
yellow umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat serta sebagai
indikator reaksi netralisasi asam-basa. Methanil yellow adalah senyawa
kimia azo aromatik amin yang dapat menimbulkan tumor dalam berbagai
jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit.
Selain itu pengolah bandeng duri lunak harus menerapkan standar
sanitasi dan higiene sehingga produk yang dihasilkan akan aman
dikonsumsi. Sanitasi merupakan pengendalian yang terencana terhadap
lingkungan produksi, peralatan dan pekerja, bertujuan untuk mencegah
produk dari cemaran yang merugikan dan merusakkan serta menghindari
kesan tidak estetis oleh konsumen. Cemaran yang dimaksud terutama
yang membahayakan seperti cemaran yang mikroorganisme yang dapat
menimbulkan adanya gangguan kesehatan pada manusia. Pelaksanaan
sanitasi yang baik akan mendapatkan produk yang tidak membahayakan
konsumen, hasil yang lebih tahan lama karena tidak ada bahan cemaran
yang mempercepat pembusukan dan kemantapan hasil olahan. Sedangkan
hygiene (kebersihan) merupakan salah satu dasar untuk menjamin
keamanan dan mutu pangan yang sudah dikenal di seluruh dunia. Menjaga
kebersihan / hygiene menjadi tanggung jawab semua warga negara, tanpa
memandang tingkatan ekonomi maupun taraf hidup terutama dalam
bidang pengolahan bahan makanan termasuk pada pengolahan bandeng
duri lunak, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih aman dikonsumsi
oleh konsumen.
a. Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan
Bagi produk makanan, sistem pengendalian mutu diawali dengan
prinsip penerapan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP)
yang mendefinisikan dan mendokumentasikan semua persyaratan agar
mutu pada produk pangan dapat diterima. GMP ditujukan pada keamanan
mikrobiologis dan persyaratan mutu pangan (Thaheer, 2008:2).
Sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk
mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang
berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, baik kontaminasi
mikroorganisme patogen, fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu
proses, penggunaan langsung, oleh pengguna ataupun kondisi
penyimpanan. Menurut Mortimore dan Wallace (1994) dalam Thaheer
(2008), terdapat tujuh prinsip yang secara garis besar dipergunakan untuk
menetapkan, menerapkan, dan memelihara rencana HACCP (Thaheer,
2008:5).
Komponen Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation
Standard Operating Procedures (SSOP) merupakan persyaratan dasar
bagi berlangsungnya HACCP. Penerapan GMP dan HACCP adalah
implementasi jaminan mutu pangan sehingga produk hasil akhir memiliki
mutu yang baik dan menciptakan kepuasan bagi konsumennya. GMP
adalah pedoman yang berisi penjelasan bagaimana cara memproduksi
makanan agar aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi. Persyaratan
minimum pada GMP harus dipenuhi mulai dari awal hingga akhir pada
proses produksi. Setiap tahap proses produksi harus memiliki dan
melaksanakan rencana tertulis yaitu SSOP. Fungsi dari SSOP yakni
sebagai pengontrol untuk setiap karyawan atau pekerja dalam melakukan
pekerjaan serta sebagai alat untuk menjaga konsistensi kualitas produk
sentra pengolahan bandeng.
HACCP
SSOP
GMP
Prinsip dasar dari GMP adalah mutu suatu produk yang dibuat selama
proses. Jaminan mutu produk tidak hanya untuk mendapatkan spesifikasi
akhir yang diinginkan. Produk yang dibuat melalui sistem keamanan pangan
diperlukan pengendalian mutu dan sistemnya, bahan baku, keseluruhan tahap
produksi, pengujian produk, pelabelan, pemisahan, penyimpanan dan
sebagainya.
9. Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Poduksi Makanan
yang Baik merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan
tujuan agar produsen memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen.
GMP juga merupakan program penunjang keberhasilan atau sebagai
persyaratan dasar dalam implementasi sistem HACCP pada suatu sentra
pengolahan bandeng sehingga produk pangan yang dihasilkan benarr-benar
bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen (Thaheer, 2008 :51)
Secara umum, GMP terdiri dari desain dan konstruksi higienis untuk
pengolahan produk makanan, desain dan konstruksi higienis untuk peralatan
yang digunakan dalam proses pengolahan, pembersihan, dan disinfeksi
peralatan, pemilihan bahan baku dan kondisi yang baik, pelatihan dan
higienitas pekerja, serta dokumentasi yang tepat. Komponen dasar GMP
(Thaheer, 2008:59) adalah sebagai berikut :
a. Lokasi Pabrik
Pabrik yang memproduksi pangan sebaiknya berada pada daerah
yang bebas pencemaran, tidak berada di daerah yang mudah banjir, jauh
dari sarang hama hewan pengerat seperti tikus, jauh dari pembuangan
sampah dan sebaiknya pabrik pengolahan pangan jauh dari pemukiman
penduduk yang terlalu padat dan kumuh.
b. Keadaan Lingkungan
Keadaan lingkungan harus selalu dalam kondisi yang baik yaitu
sampah dan limbah pabrik sebaiknya dikumpulkan pada tempat khusus
dan sebaiknya segera dibuang, tempat sampah selalu dalam keadaan
tertutup agar tidak menimbulkan bau dan mencegah pencemaran
lingkungan, sistem pembuangan dan pengolahan limbah harus selalu
dipantau, saluran pembuangan berjalan lancar agar air tidak tergenang dan
sarana jalan hendaknya diaspal atau dicor serta dilengkapi dengan sistem
drainase yang baik.
c. Bangunan dan Fasilitas Pabrik
Bangunan dan fasilitas pabrik yang meliputi peralatan dan sarana
pengolahan yang baik dirancang sejak awal pembangunan pabrik agar
dapat menjamin dan menjaga pangan yang diproduksi tidak tercemar.
Denah lokasi dan tata letak pabrik harus diatur sesuai dengan arus proses
produksi agar produk tidak tercemar akibat adanya kontaminasi silang.
Gudang (tempat penyimpanan) sebaiknya mengikuti sistem FIFO (First
In First Out), yaitu bahan yang pertama kali masuk ke dalam gudang
hendaknya juga yang keluar pertama kali dari gudang.
d. Peralatan Pengolahan
Peralatan pengolahan pangan merupakan peralatan pilihan dan
terpelihara dengan baik. Penempatan peralatan disusun sesuai dengan
alur pengolahan agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan yang
digunakan untuk pengukuran seperti timbangan, termometer, pengukur
kelembaban udara, pengukur tekanan dan lainnya sebaiknya dikalibrasi
setiap periode.
e. Fasilitas Sanitasi
Kegiatan sanitasi dilakukan untuk menjamin bahwa semua
peralatan, ruang pengolahan, ruang penyimpanan, peralatan pengolahan
dan peralatan penyimpanan selalu terjaga dari faktor-faktor pencemaran
dan menjaga kebersihannya.
1) Sumber Air
Air harus dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi semua
kebutuhan pencucian dan pembersihan serta pengolahan dan
penanganan limbah. Air yang kontak langsung dengan permukaan
bahan pangan harus memenuhi persyaratan khusus seperti persyaratan
bahan baku air untuk minum.
2) Pembuangan Air Limbah
Sistem pembuangan air dan limbah harus berjalan dengan baik.
Saluran pembuangan dirancang dengan tepat sehingga tidak
mencemari air bersih dan bahan pangan.
3) Fasilitas Pencucian dan pembersihan
Fasilitas pencucian dan pembersihan harus dilengkapi dengan
sumber air panas agar kotoran berlemak atau berminyak dapat
dibersihkan dengan baik serta dapat membunuh mikroorganisme
berbahaya. Fasilitas pembersihan yang digunakan untuk peralatan
pangan sebaiknya dipisahkan dengan fasilitas pembersihan untuk
peralatan dan perlengkapan lainnya.
4) Fasilitas Higien Karyawan
Fasilitas higien karyawan meliputi tempat mencuci tangan
yang dilengkapi dengan sabun, mesin pengering tangan, tempat ganti
pakaian dan toilet dengan keadaan selalu bersih dan jumlahnya
mencukupi untuk seluruh karyawan. Satu buah toilet untuk 10
karyawan dan penambahan satu buah toilet untuk setiap penambahan
25 karyawan.
5) Penerangan
Sistem penerangan yang baik dapat dilakukan dengan
penyinaran matahari ataupun melalui lampu penerangan. Lampu
penerangan harus cukup terang.
f. Higienitas Karyawan
Karyawan yang bekerja pada industri pengolahan pangan sangat
mempengaruhi mutu akhir produk yang dihasilkan. Karyawan yang sakit,
kotor, jorok, tidak disiplin dan tidak dapat bekerja dengan baik bisa
menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap produk. Oleh karena itu,
perlu adanya standar sanitasi dan higien pada karyawan.
1) Kesehatan Karyawan
Karyawan yang bekerja harus dalam kondisi sehat dan prima
serta tidak sakit atau membawa penyakit. Karyawan yang sakit
sebaiknya tidak diperkenankan untuk bekerja atau diistirahatkan
karena dapat menggangu jalannya proses produksi dan juga bisa
mencemari produk yang akan dihasilkan.
2) Kebersihan Karyawan
Perlengkapan bekerja karyawan harus lengkap. Perlengkapan
ini terdiri atas baju kerja, penutup kepala, sepatu, sarung tangan,
masker dan perlengkapan bekerja tersebut tidak boleh dibawa keluar
dari pabrik. Karyawan harus selalu menjaga kebersihannya dengan
mencuci tangan menggunakan sabun sebelum dan sesudah bekerja,
setelah keluar dari toilet, setelah menangani bahan kotor, bahan
mentah dan hal lainnya yang dapat menyebabkan pencemaran melalui
bagian tubuh karyawan.
3) Kebiasaan Buruk Karyawan
Karyawan yang memiliki kebiasaan buruk sebaiknya diawasi.
Kebiasaan buruk tersebut seperti meludah, merokok, makan atau
mengunyah,bersin atau batuk. Selama mengolah pangan karyawan
tidak diperkenankan menggunakan jam tangan, peniti, bros dan
aksesori lainnya yang jika terjatuh ke dalam pangan dapat
membahayakan konsumen.
g. Penyimpanan
Penyimpanan harus disesuaikan dengan bahan yang disimpan. Jika
bahan mentah sebaiknya disimpan sesuai dengan standarnya. Bahan
sebaiknya disimpan dengan cara yang baik dan tepat untuk memudahkan
produsen dalam mengambil dan menggunakan bahan, menjaga mutu dan
kualitas, menjaga keamanan pangan, mencegah pencemaran dan
mencegah tertukarnya bahan yang digunakan.
h. Transportasi
Penyaluran produk pangan hingga sampai kepada tangan
konsumen transportasi yang baik sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas dan mencegah terjadinya pencemaran. Tempat membawa atau
wadah pangan yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik
produknya. Wadah tersebut harus mudah dibersihkan, tidak mencemari
produk pangan, melindungi secara fisik, mudah didesinfeksi, mencegah
terjadinya pencemaran, memudahkan pemeriksaan penyimpanan dan
dapat mempertahankan bentuk dan kondisi produk yang disimpan.
i. Laboratorium
Produk pangan yang akan dikonsumsi harus dalam kondisi aman
untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan masalah kesehatan. Oleh
karena itu, pada proses produksi produk pangan perlu dilakukan
pemeriksaan secara tepat. Laboratorium pemeriksaan dibutuhkan dalam
proses pemeriksaan produk pangan. Laboratorium ini berfungsi untuk
memudahkan pemeriksaan secara cepat dan tepat terhadap mutu bahan
yang diterima dan produk yang dihasilkan serta pengecekan silang jika
terjadi penyimpangan pada produk yang berada dipasaran. Setiap
pemeriksaan tersebut menyebutkan nama pangan, tanggal pembuatan,
tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi,
jenis pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan produk, nama pemeriksa
dan hal lainnya yang dibutuhkan. Dianjurkan bagi sentra pengolahan
bandeng yang belum memiliki laboratorium pemeriksaan untuk
memeriksakan produknya pada laboratorium lain di luar sentra
pengolahan bandeng tersebut.
j. Bahan Pengemas
Syarat bahan pengemas yang baik adalah tidak beracun, tidak
menimbulkan penyimpangan yang berbahaya bagi kesehatan, tidak
menimbulkan reaksi dengan bahan pangan, tahan terhadap perlakuan
selama proses pengolahan, pengangkutan dan distribusi. Bahan pengemas
juga harus mampu melindungi produk pangan dari sinar matahari, panas,
kotoran, kelembaban, air, benturan dan lain-lain. Sebelum digunakan
bahan pengemas perlu diperiksa kondisinya, dibersihkan dan dilakukan
sanitasi apabila diperlukan kondisi yang aseptik.
k. Mutu Produk Akhir
Produk akhir perlu dianalisa mutu organoleptik, fisik, kimia atau
mikrobiologinya untuk mengetahui mutu akhir produk sehingga produk
siap untuk dipasarkan. Produk akhir yang bermutu baik dan memenuhi
persyaratan akan menjamin mutu dan keamanan produk serta dapat
menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang
dihasilkan. Produk akhir seharusnya memiliki standar mutu atau
persyaratan yang ditetapkan dari segi mutu fisik, mikrobiologis, kimia
serta aman dan tidak membahayakan kesehatan. Sentra pengolahan
bandeng dapat menentukan sendiri standar mutu atau persyaratan produk
akhir jika belum memiliki standar mutu atau persyaratan produk akhir.
l. Labelling
Informasi mengenai isi produk, kandungan dan semua informasi
tentang produk harus dicantumkan pada kemasan. Keterangan dapat
berupa label, lot atau batch. Fungsi label adalah untuk menginformasikan
tentang produk agar konsumen dapat menangani, mengkonsumsi,
mengolah atau menyajikan produk dengan cara yang tepat. Lot atau batch
harus mudah diidentifikasikan jika terjadi penarikan produk ataupun
pergantian stok pangan. Setiap wadah seharusnya diberikan tanda nama
produsen dan nomor lot.
m. Manajemen dan Pengawasan
Aplikasi GMP harus melibatkan seluruh Sumber Daya Manusia
(SDM) yang ada di dalam sentra pengolahan bandeng termasuk dari
manajemen pusat hingga karyawan. Kegiatan pengawasan harus
dilakukan secara rutin dan berkelanjutan serta dikembangkan dan dikelola
agar memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih baik.
10. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) merupakan
prosedur yang dibuat untuk membantu industri pangan dalam
mengembangkan dan menerapkan prosedur pengawasan sanitasi, melakukan
monitoring sanitasi, serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi (Thaheer,
2008:80).
Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang maksimal
dalam kegiatan produksi, persiapan penyimpanan, penyajian makanan, dan air
sanitasi. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap
cara penanganan pangan. Program sanitasi dan hygiene yang efektif
merupakan kunci untuk pengontrolan pertumbuhan mikroba pada produk dan
industri pengolahan makanan. Prinsip dasar sanitasi meliputi dua hal, yaitu
membersihkan dan sanitasi. membersihkan yaitu menghilangkan mikroba dan
sanitasi merupakan langkah menggunakan zat kimia atau metode fisika untuk
menghilangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal pada permukaan alat
dan mesin pada pengolah makanan.
Menurut FDA (1995), SSOP terdiri atas delapan aspek utama yaitu :
a. Keamanan Air
b. Kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
c. Pencegahan kontaminasi silang
d. Kebersihan karyawan atau pekerja
e. Perlindungan dari adulterasi
f. Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang tepat
g. Pengawasan kondisi kesehatan karyawan / pekerja
h. Pencegahan dan pemberantasan hama.
SSOP merupakan salah satu faktor penunjang dalam keberhasilan,
efektivitas, dan efisiensi HACCP, serta menjabarkan prosedur pabrik dalam
mengolah pangan, mengamankan pangan secara saniter. SSOP harus disusun
secara rinci dan tertulis. SSOP setidaknya mengandung prosedur untuk
mencegah terjadinya pencemaran sebelum proses produksi, selama proses
produksi dan setelah proses produksi.
11. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau analisa
bahaya dan titik kendali kritis merupakan suatu sistem manajemen yang
digunakan untuk melindungi makanan dari bahaya biologi, kimia,dan fisik
yang diterapkan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya yang
diperkirakan dapat terjadi, dan bukan merupakan reaksi dari munculnya
bahaya (Rauf, 2013:27). Evaluasi HACCP dalam pengolahan pangan
dilakukan dalam 4 tahap yaitu pendiskripsian produk, pendiskripsian tujuan
penggunaan produk, penyusunan diagram alir, dan penerapan prinsip-prinsip
HACCP (Rauf, 2013:30) yang terdiri dari :
a. Melakukan analisis potensi bahaya
b. Menentukan titik kendali kritis
c. Menentukan batas kritis
d. Menentukan prosedur monitoring
e. Menentukan tindakan koreksi
HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang
dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan
pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Tujuan dari penerapan
HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya
bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi
tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak
bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan
didistribusikan. Penerapan HACCP dalam industri pangan memerlukan
komitmen yang tinggi dari pihak manajemen sentra pengolahan bandeng yang
bersangkutan. Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana
7 prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan
dan penerapan sistem HACCP menurut CAC disajikan pada Gambar 6.
Jenis Contoh
Bahaya
Biologi - Sel Vegetatif : Salmonella sp, Escherichia
coli
- Kapang : Aspergillus, Penicillium,
Fusarium
- Virus : Hepatitis A
- Parasit : Cryptosporodium sp
- Spora Bakteri : Clostridium botulinum, Bacillus
cereus
Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak
diizinkan, residu pestisida, logam berat, bahan
allergen
Fisika Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu
kerikil, rambut, kuku, perhiasan
B. Kerangka Pemikiran
Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas merupakan home industri dengan salah satu produknya
yaitu bandeng duri lunak. Sentra pengolahan bandeng sadar akan pentingnya
menerapkan sistem keamanan pangan agar produk yang dihasilkan aman
dikonsumsi untuk konsumen. Penelitian mengenai analisis penerapan sistem
HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara dilakukan Gap Analysis
dengan membandingkan panduan sentra pengolahan bandeng yang mengacu
berdasarkan SNI 01-4852-1998 dengan penerapan sistem HACCP yang sedang
dilakukan oleh sentra pengolahan bandeng dari segi kelengkapan panduan dan
konsistensi penerapan. Gap Analysis dilakukan untuk dapat mengetahui
kesenjangan yang terjadi dari segi kesesuaian panduan dan penerapan yang
kemudian perlu dilakukan perbaikan dari setiap langkah penerapan HACCP yang
belum sesuai. Kerangka pemikiran penelitian yang menjadi langkah yang
dilakukan peneliti untuk mencapai hasil sesuai dengan rumusan masalah
disajikan pada Gambar 8.
C. Hipotesis
Rancangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang meliputi GMP,
SSOP dan Sistem HACCP pada Sentra Pengolahan Bandeng Adisara diduga
berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan pengusaha dalam
melaksanakan Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan.
Produksi Bandeng Duri Lunak
Good
Manufacturing Sanitation Standard Operating Hazard Analysis And Critical
Practices (GMP) Procedure (SSOP) Control Point (HACCP)
Wawancara, Wawancara,
Obervasi, Obervasi,
Instrumen dan Instrumen dan
Dokumen Dokumen
Rekomendasi Wawancara,
Tindak Lanjut Observasi, dan
Literatur
Penyusunan laporan
Keterangan :
A = kertas saring + sampel setelah oven (g)
B = kertas saring kering (g)
C = berat sampel (g)
1) Data Reduction
Data yang diperoleh dari lapangan berjumlah cukup banyak,
oleh karena itu, maka harus dilakukan analisis data dengan cara
mereduksi data. Mereduksi data ini berarti merangkum, memilah hal-
hal yang penting dan pokok, dan menfokuskan data sesuai tema serta
tujuan penelitian. Data yang telah direduksi dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas dan fokus agar dapat mempermudah
peneliti dalam mengumpulkan data penelitian selanjutnya.
2) Data Display
Setelah selesai melakukan reduksi data, maka dilakukan
penyajian data (data display). Data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart, dan sebagainya. Penelitian kualitatif lebih banyak
menggunakan penyajian data dalam bentuk uraian teks yang bersifat
naratif.
3) Conclution Drawing/Verification
Langkah selanjutnya dalam analisis kualitatif adalah penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Berdasarkan data-data yang telah
direduksi dan disajikan, peneliti dapat membuat atau menarik suatu
kesimpulan yang didukung dengan bukti-bukti kuat yang didapat pada
saat pengumpulan data.
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian kualitatif, mungkin
dapat menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal,
tetapi mungkin juga tidak. Hal ini dikarenakan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif ini masih bersifat sementara dan dapat berubah serta
berkembang setelah penelitian di lapangan.
Kriteria utama pada data penelitian kualitatif adalah valid,
reliable, dan objektif. Oleh karena itu, uji keabsahan data merupakan
tahap yang sangat penting. Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif
yaitu dengan Credibility (validitas internal). Cara pengujian kredibilitas
data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian adalah dengan
melakukan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan
pengamatan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus
negatif, dan membercheck (Sugiyono, 2014: 92). Teknik pemeriksaan
keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai
berikut :
1) Perpanjangan pengamatan
Kegiatan ini membuat peneliti dapat mengecek kembali
apakah data yang telah diberikan oleh narasumber sudah benar atau
tidak. Jika setelah dilakukan pengecekan kembali terhadap data dan
diketahui bahwa data tersebut tidak benar, maka peneliti dapat
melakukan pengamatan lagi. Perpanjangan pengamatan ini dilakukan
peneliti dengan cara melakukan wawancara kembali kepada para
narasumber untuk mendapat informasi yang lebih mendalam terkait
dengan fokus penelitian.
2) Peningkatan ketekunan pengamatan
Peningkatan ketekunan pengamatan berarti melakukan
pengamatan secara lebih cermat dan juga berkesinambungan.
Peningkatan ketekunan pengamatan menggunakan seluruh panca
indera peneliti sehingga dapat meningkatkan derajat keabsahan data
dan dapat menghasilkan data yang lebih sistematis.
3) Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian ini dapat diartikan sebagai proses
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Triangulasi ini dapat dibagi kedalam tiga kategori,
yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu.
Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, artinya yaitu
mengajukan pertanyaan yang sama kepada beberapa narasumber
untuk menemukan poin kunci terhadap indikator yang telah
ditetapkan peneliti sebagai fokus penelitian ini.
4. Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu pedoman wawancara, pedoman observasi, dan studi kepustakaan
dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara
dilakukan dengan membuat pedoman wawancara (point of interview) untuk
memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan terkait
dengan fokus penelitian yang diteliti. Teknik observasi dilakukan dengan
menggunakan pedoman observasi (point of observation) untuk memudahkan
peneliti dalam melakukan pengamatan dan pencatatan data apa saja yang
diperlukan dalam penelitian. Studi kepustakaan meliputi dokumen-dokumen
yang dibutuhkan antara lain panduan HACCP berdasarkan SNI 01-4852-
1998, panduan GMP berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia nomor 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi
Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices) dan panduan
SSOP berdasarkan Food and Drug Administration USA yang berisi
beberapa kunci sistem SSOP. Selain itu form – form lain terkait dengan
penerapan sistem HACCP sentra pengolahan bandeng.
5. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan uraian yang diungkap dalam definisi
konsep secara operasional, secara praktik, secara nyata dalam lingkup objek
penelitian atau objek yang diteliti. Definisi operasional dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
F. Jadwal Pelaksanaan
No Tahapan Waktu (bulan ke-)
1. Penelitian Lapangan
a. Observasi
b. Wawancara
c. Studi Pustaka
2. Penelitian Laboratorium
a. Tingkat Penerapan GMP
- Pengukuran Kadar Air
- Pengukuran kadar Abu
- Bagian yang tidak larut
b. Tingkat Penerapan SSOP
- Pengukuran Angka Lempeng Total
c. Pengukuran identifikasi bahaya fisik, kimia
dan biologi
3. Pengolahan dan analisis data serta penyusunan
laporan
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. BPOM Nomor HK. 00.06.1.52.4011.
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam
Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Industri. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2018. Data Permintaan Bandeng Duri Lunak Manis di
Indonesia.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya. Standar Nasional
Indonesia. SNI 0 1 -4852-1998.
Badan Standarisasi Nasional. 1992a. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Bryan, F.L.1995. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Terjemahan oleh
Ditjen PPM dan PLP. Depkes RI, Jakarta
Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet & M. Wooton. 2010. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh Heri Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta
Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banyumas. 2020. Data Produk Bandeng
Duri Lunak Tahun 2020. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten
Banyumas, Banyumas
E-book Pangan. 2006. Model Rencana HACCP Industri Bandeng Duri Lunak.
Emil. 2012. Kiat Cerdas Wirausaha Aneka Olahan Kedelai. Yogyakarta Lily
Publisher.
Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Teknologi Pangan dan
Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
____. 2007. Hazards and Controls Guide For Dairy Foods HACCP Guidance for
Processors. USA.
Hermansyah et, al. 2012. Risiko Baru Penyakit Kardiovaskuler. Ethical Digest 2005 :
3 : 20 Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 1, No. 2. Februari 2012 : 79-83.
Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia : Cara Praktis Mendeteksi Dimensi-
Dimensi Kerja Karyawan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Laelasari, Ela. 2015. Islam dan Keamanan Pangan. Ciputat : UIN Press.
Lisyanti. 2008. Evaluasi Penerapan Cara Produksi Yang Baik (Good Manufacturing
Practice) dan Penyusunan SSOP Industri Lidah Buaya di PT LibeBumi Abadi.
Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. [Tesis].
Mansur, Stephanie Goulding. 2013. Penerapan Hazard Analysis And Critical
Control Point (HACCP) Produk Sashimi di Restoran Tomato Surabaya.
Surabaya : Universitas Kristen Petra. [Skripsi].
Mutiarani, Citra. Nour Aziz. 2015. Implementasi Sistem Keamanan Pangan Berbasis
HACCP dalam Proses Produksi Crackers Sandwich PT. Mondelez Indonesia
Manufacturing Cikarang Bekasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. [Skripsi].
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan
Pangan Pengatur Keasaman.
Peraturan Pemerintah Nomor 28. 2004. Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
Pierson, M.D & D.A Corlett. (1992). HACCP Principles And Application. New
York: An Avi Book.
Purwono dan Heni Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Pangan Unggul. Depok :
Penebar Swadaya.
Rauf, Rusdin. 2013. Sanitasi Pangan dan HACCP. Yogyakarta : Graha Ilmu. Salim,
Spiegel, M. V., Luning, P., Ziggers, G., & Jongen, W. (2003). Toward a Coceptual
Model to Measure Effectiveness of Food Quality System. Trends in Food
and Technology, 424-431.
Standar Nasional Indonesia No. 01- 2729.1-2006 Tentang Ciri-Ciri Ikan Bandeng
Bermutu Tinggi.
Surono, Ingrid, Agus Sudibyom Priyo Waspodo. 2016. Pengantar Keamanan Pangan
Untuk Industri Pangan. Jakarta : Deepublis.
Zahra, Inas Tahir Nurfaidah. 2011. Evaluasi Good Halal Manufacturing Practice
(GHMP) di Mill MNO PT ISM Bogasari Flour Mills. Makasar : Universitas
Hasanuddin. [Skripsi].