Anda di halaman 1dari 83

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

PENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN MUTU


INDUSTRI KECIL BANDENG DURI LUNAK
DI SENTRA HOME INDUSTRI BANDENG DESA ADISARA
KECAMATAN JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS

Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
PROPOSAL PENELITIAN
PENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN MUTU
INDUSTRI KECIL BANDENG DURI LUNAK
DI SENTRA HOME INDUSTRI BANDENG DESA ADISARA
KECAMATAN JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Melaksanakan Penelitian


Dalam Rangka Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Studi Magister Ilmu Pengetahuan

Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
Proposal Penelitian Tesis
PENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN MUTU
INDUSTRI KECIL BANDENG DURI LUNAK
DI SENTRA HOME INDUSTRI BANDENG DESA ADISARA
KECAMATAN JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS

Oleh :
Yunie Sari Mega Penie
A2B020001

telah disetujui oleh

Pembimbing Utama Tanda Tangan

Prof. Dr. Rifda Naufalin, S.P., M.Si. ..............................................

Pembimbing Pendamping

Dr. Ike Sitoresmi Mulyo P., S.TP., M.Si .............................................

Disyahkan Tanggal : ........................

Mengetahui :
Koordinator Program Magister Ilmu Pangan Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman

Karseno, S.P., M.P., Ph.D


NIP. 19710726 199702 1 001
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Industri pangan sebagaimana industri lainnya, merupakan industri
yang sarat dengan persaingan. Masing-masing perusahaan berusaha
menonjolkan keunggulan produk/jasanya baik dari segi mutu, harga,
kemudahan diperoleh/disajikan, bahkan pelayanan bagi konsumennya
(Ramadhani, 2006). Masalah pangan menyangkut pula keamanan,
keselamatan, kesehatan baik jasmani maupun rohani.
Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus
diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Keamanan pangan merupakan isu
pangan yang menjadi tuntutan utama konsumen baik dipasar lokal, nasional
dan internasional. Tuntutan konsumen terhadap produk pangan ditujukan pada
mutu yang sesuai dengan standar kesehatan berkaitan dengan adanya cemaran
selama penyediaan, pengolahan maupun penyimpanan makanan. Mengatasi
tuntutan tersebut, para pelaku industri pangan wajib meresponnya dengan
menerapkan sistem jaminan keamanan pangan yang sekaligus merupakan
jaminan mutu produk.
Salah satu idustri pangan yang banyak terdapat di Indonesia adalah
industri bandeng duri lunak. Permintaan ikan Bandeng segar dari tahun ke
tahun selalu mengalami peningkatan sebagai konsumsi dalam negeri, bahan
baku industri pengolahan maupun untuk umpan bagi usaha perikanan tangkap
tuna cakalang. Peluang pasar ikan Bandeng dalam negeri juga cukup besar.
Seiring dengan semakin meningkatnya diversifikasi pangan ikan Bandeng
kini tidak hanya dapat dikonsumsi dalam bentuk ikan segar tetapi juga
dalam bentuk olahan seperti otak-otak Bandeng, Bandeng pepes, Bandeng
pindang, Bandeng asap, dan Bandeng duri lunak (presto). Perkembangan
produksi Bandeng di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung naik terus hal
ini karena sebagian besar produksi adalah hasil budidaya tambak yang bisa
diatur hasil panennya. Berdasarkan data produksi dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi Bandeng tahun
2015 sampai dengan 2019 menunjukkan kenaikan sebesar 16,98% yakni
tahun 2015 sebesar 277,471 ton dengan nilai rupiah Rp. 3,153,447,918,-, dan
tahun 2019 mengalami kenaikan menjadi 515,527 ton dengan nilai rupiah Rp.
8,420,317,973,- (Statistik Kelautan Perikanan KKP RI, 2019). Jenis usaha
bandeng duri lunak bayak di temui di Kabupaten Banyumas. Sampai tahun
2019, tercatat tidak kurang dari 300 pengusaha bandeng duri lunak di
Kabupaten Banyumas dengan hasil produksi 70.580 kg 20.448.000 kg per
tahun. Salah satu sentra home industry bandeng duri lunak berada di Desa
Adisara Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas (Dinperindagkop, 2019).
Penelitian mengenai bandeng duri lunak selama ini baru memfokuskan
pada aspek sosio-ekonomi dan aspek karakteristik bandeng duri lunak yang
meliputi sifat fisika, kimia, mikrobiologi dan kandungan gizi (Suharno et
al.,2008) Sementara itu, industri kecil dan rumah tangga seperti usaha
bandeng duri lunak, mempunyai masalah mutu, karena tidak adanya
invesatasu di bidang modal fisik dan pendidikan. Standar mutu yang
diterapkan hanya dianggap sebagai pengecekan formal dengan alasan bahwa
produsen atau pengusaha belum mampu menghasilkan produk yang bermutu
baik (Hubeis, 1994)
Menyangkut mutu pangan bandeng duri lunak di Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang mungkin saja sudah memiliki cara-cara produksi dan
penjaminan mutu masing-masing, namun belum dituangkan secara baku
dalam suatun sistem yang baik, belum memiliki acuan tertulis berupa
pedoman dan belum terstandar, karena pengolahan bandeng segar menjadi
bandeng duri lunak yang dilakukan daerah tersebut masih tradisional, dan
belum dikelola dengan baik. Belum adanya dokumen-dokumen penjaminan
mutu yang digunakan sebagai dasar penerapan penjaminan kualitas, berpotensi
menyebabkan ketidak konsistenan kualitas produk yang dihasilkan. Hal
tersebut berdampak pada ketidakmampuan untuk bersaing di pasar bebas.
Permasalahan mutu produk pengolahan dapat terjadi pada setiap
tahapan kegiatan pengolahan, hal tersebut karena tingkat pengetahuan dan
kesadaran terhadap mutu, keamanan produk, dan manajemen yang rendah.
Dengan demikian, usaha produksi bandeng duri lunak dengan pengolahan
tradisional dan belum adanya penerapan sistem penjaminan mutu, maka perlu
adanya penelitian yang mengkaji dari aspek penerapan sistem penjaminan
mutu yang dilakukan pengusaha dalam memproduksi bandeng duri lunak,
khususnya di Desa Adisara Kecamatan Jatilawang untuk peningkatan mutu
produk dalam penjaminan keamanan produk.
Penerapan sistem penjaminan mutu dilakukan dengan pendekatan
Sistem Penjaminan Mutu yang dibuat melalui dokumen kebijakan, prosedur,
dan formulir - formulir atau dokumentasi sistem penjaminan mutu secara rutin
dan periodik, yang penyusunannya mengacu pada ketentuan HACCP. HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem yang
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang nyata bagi
keamanan pangan. Penerapan HACCP sesuai dengan pelaksanaan manajemen
mutu dan merupakan sistem yang dipilih untuk manajemen keamanan pangan
dan aspek mutu pangan yang lain (SNI 01-4852-1998).
Sistem HACCP merupakan suatu sistem yang tidak dapat berdiri
sendiri melainkan sistem ini dibangun melalui penerapan persyaratan dasar
berupa GMP (Good Manufacturing Practices) dan SSOP (Sanitation
Standard Operating Procedures) (Ramadhani, 2006). GMP adalah suatu
pedoman cara memproduski makanan, minuman, obat, kosmetik yang
memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
produk-produk bermutu, aman untuk dikonsumsi, murni, efektif, dan sesuai
dengan tuntutan konsumen lokal maupun global. SSOP merupakan prosedur
yang digunakan oleh industri untuk mencapai tujuan GMP melalui penerapan
prinsip-prinsip sanitasi. Home industry di Desa Adisara merupakan suatu
industri kecil yang memproduksi bandeng duri lunak, oleh karena itu konsep
sistem yang digunakan dalam penyusunan sistem adalah gabungan dari konsep
GMP dan SSOP. Penerapan GMP dan SSOP inilah yang akan menjiwai
keseluruhan isi dokumen, sekaligus ebagai indikator pelaksanaan produksi dan
sanitasi dalam operasional telah dilakukan dengan baik.
Pendekatan sistem manajemen mutu ini diharapkan mampu
meningkatkan pengetahuan, kesadaran kebersihan dan cara produksi yang baik
serta pencatatan aktivitas-aktivitas produksi sehingga mudah dipantau dan
dilakukan perbaikan apabila diperlukan, serta meningkatkan kualitas dan daya
saing bandeng duri lunak di pasar sebagai produk yang aman, bermutu, bergizi
dan terjangkau yang pada akhirnya mengarah pada kesejahteraan pengusaha
bandeng duri lunak. Sistem Penjaminan Mutu tersebut kemudian dianalisis
apakah merupakan sistem yang aplikatif bagi pengusaha bandeng duri lunak di
Desa Adisara dan efektifkag penerapan Sistem Penjaminan Mutu tersebut
untuk menjamin kualitas dan keamanan produk bandeng duri lunak bagi
konsumen
B. Analisis Situasi
Desa Adisara merupakan daerah yang terkenal sebagai sentra
penghasil bandeng duri lunak. Desa Adisara adalah Desa yang terletak di
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas. Desa Adisara terdiri dari
grumbul Pekucengan, grumbul Tambangan, grumbul Gambarjati, grumbul
Terjung, grumbul Mbodong, dan grumbul Jombang. Desa Adisara dilintasi
oleh jalan raya nasional bagian selatan sehingga lalu lintas jalan raya
tergolong padat apalagi jika musim mudik lebaran tiba.
Desa Adisara memiliki kode 3302032006 dengan luas wilayah 238.090
Ha berikut dengan sawah tadah hujan dan memiliki ketinggian 34 meter dari
permukaan laut. Sedangkan Desa Adisara memiliki koordinat bujur
109,130752 dan koordinat lintang -7,535683 sehingga Desa Adisara ber iklim
tropis seperti halnya desa maupun daerah lainnya yang berada di garis
khatulistiwa. Batas Desa Adisara yaitu utara berbatasan dengan Desa
Tinggarwangi dan Tunjung, barat berbatasan dengan Desa Kedungwringin dan
Tunjung, timur berbatasan dengan Desa Margasana dan selatan berbatasan
dengan Desa Kedungwringin dan Karanglewas
Tabel 1. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Penduduk Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 2.383 50,04 %
Perempuan 2.379 49,95 %
Jumlah 4.762 100 %
(Sumber:Profil Desa Adisara tahun 2019)

Dengan melihat tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa Desa Adisara jumlah
penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan yaitu selisih 4 jiwa.
Desa Adisara berpotensi memunculkan sumber daya manusia yang beragam dan
berkualitas dari jumlah penduduk yang lumayan banyak. Dengan jumlah
penduduk yang lumayan banyak ini, semua berhak untuk berdagang ikan. Baik laki-
laki maupun perempuan bahkan remaja sekalipun., karena semua berhak untuk
mendapatkan hidup yang layak dari berdagang ikan dan mensejahterakan
keluarganya.
Tabel 2. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
Jumlah Persentase
Mata Pencaharian
Penduduk (%)
Buruh Tani 96 6,62 %
Pedagang 421 29,03 %
Karyawan Swasta 510 35,17 %
PNS 63 4,34 %
Pengrajin 2 0,13 %
Peternak 27 1,86 %
Tukang Batu 4 0,27 %
Tukang Jahit 6 0,41 %
Tukang Kue 3 0,20 %
Tukang Rias 2 0,13 %
Pemilik Usaha Warung 10 0,68 %
Asisten Rumah Tangga 13 0,89 %
Jasa Penyewaan Peralatan Pesta 2 0,13 %
Petani 291 20,06 %
Jumlah 1.450 100 %
(Sumber: Profil Desa Adisara tahun 2019)
Desa Adisara memiliki penduduk yang beragam dalam mata
pencahariannya, itu bisa dibuktikan dengan daftar tabel di atas. Tanah
pertanian padi di Desa Adisara seluas 135 ha sedangkan luas tanaman kedelai
5 ha. Walaupun tanah pertanian mendominasi lahan di Desa Adisara tetapi
tidak semua warga desa menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Pedagang dan karyawan swasta juga mendominasi mata pencaharian
penduduk Desa Adisara,termasuk di dalamnya adalah sebagai pedagang ikan.
Walaupun di Desa Adisara sendiri tidak terdapat tambak ikan dari 421 jiwa
penduduk Desa Adisara yang berprofesi sebagai pedagang, 175 jiwa
berprofesi sebagai pedagang ikan yang tersebar di beberapa grumbul yaitu
Pekucengan, Gambarjati, Tambangan, Bodong, Terjung, dan Jombang.
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase (%)
PAUD/ TK 406 8,52 %
Tamat SD/ Sederajat 1.742 36,58 %
Tamat SMP/ Sederajat 1.662 34,90 %
Tamat SMA/ Sederajat 775 16,27 %
Tamat D-1, D-2, dan 93 1,95 %
D-3
Tamat S-1 80 1,67 %
Tamat S-2 3 0,06 %
Tamat S-3 1 0,02 %
Jumlah 4.762 100 %
(Sumber: Profil Desa Adisara tahun 2019)

Sumber daya manunia yang berkualitas salah satunya didapatkan dari


seberapa tinggi sekolah yang ditempuhnya. Begitu pula dengan Desa Adisara,
walaupun terletak jauh di pinggiran pusat kota tetapi penduduknya sudah
mengerti apa itu pentingnya mengenyam pendidikan. Dibuktikan dengan data
dari tabel diatas, dimana 16,27 % penduduk Desa Adisara sudah pernah
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dari Sekolah Menengah Atas.
Pedagang ikan di Desa Adisara sudah ada sejak tahun 1930-an
Sebelum berdagang ikan pedagang ikan di Desa Adisara bermata pencaharian
sebagai petani dan peternak. Hasil pertanian yang diperdagangkan berupa
beras, jagung, dan umbi-umbian sedangkan hasil dari beternak yaitu ayam,
bebek, dan kambing. Tetapi karena komoditas tersebut tidak begitu
menguntungkan dan sulit untuk diperjual belikan di pasaran akhirnya mereka
mencoba beralih menjadi pedagang ikan. Pedagang ikan di Desa Adisara juga
diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang, ada juga pedagang ikan
yang berasal dari mantan pegawai pabrik dan pedagang makanan yang beralih
profesi menjadi pedagang ikan.
Sebagian besar usaha bandeng duri lunak di Desa Adisara berupa
home industry yang berjumlah 175 pengusaha dengan kebutuhan bandeng
segar mencapai 1 ton per hari. Pengusaha rata-rata mengolah bandeng duri
lunak sebanyak 70 kg per hari. Pengusaha memproduksi bandeng duri lunak
yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pasar di beberapa wilayah
baik itu di Kabupaten Banyumas maupun di luar kabupaten. Produksi bandeng
duri lunak dilaksanakan secara kontinyu setiap hari dengan peralatan yang
sederhana.
Dalam proses pembuatan bandeng duri lunak ada beberapa alat
yang digunakan antara lain :
a. Pengolahan Secara Tradisional b. Pengolahan Secara Modern
- Drum-drum perebusan - Autoclave
- Pisau - Pisau
- Timbangan roti - Timbangan electrik
- Keranjang plastik - Baskom besar
- Munthu - Munthu
- Keranjang bambu - Wadah plastik
- Kompor - Rak Besi
- Blong - Kompor Gas
- Ember plastik kecil - Sarangan
- Daun pisang - Blong
- Keranjang stainless steel - Baskom
- Baskom - Baskom Kecil
- Ember plastik - Kipas Angin
- Ruang Pendingin
Sumber : Aditya (2008) dan Romadhon et al., 2008
Proses pembuatan bandeng duri lunak di Desa Adisara secara umum
dapat dilihat pada lampiran 1. Menurut SNI No: 4106.1-2009, ikan presto/duri
lunak adalah produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh yang
mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan bahan baku, sortasi,
penyiangan, pencucian, perendaman, pembungkusan, pengukusan,
pendinginan, pengepakan, pengemasan, penandaan, dan penyimpanan.
Kondisi keamanan pangan yang tidak memenuhi syarat disebabkan
karena kurangnya pengawasan, tanggung jawab serta rendahnya pengetahuan
produsen mengenai pentingnya keamanan pangan suatu produk sehingga dapat
menyebabkan pangan tersebut menjadi tidak aman. Hal ini membuat suatu sentra
pengolahan bandeng perlu untuk menerapkan sistem jaminan keamanan pangan
yaitu Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP merupakan
sistem pengendalian yang dilakukan pada titik-titik kendali kritis bahan baku,
tahapan proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses untuk
menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan. Penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point
(HACCP) dalam sentra pengolahan bandeng akan lebih efektif apabila sentra
pengolahan bandeng telah menerapkan sistem Good Manufacturing Practices
(GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) dengan baik dan
optimal.
Permasalahan mutu produk pengolahan dapat terjadi pada setiap tahapan
kegiatan pengolahan, hal tersebut karena tingkat pengetahuan dan kesadaran
terhadap mutu, keamanan produk, dan manajemen yang rendah. Dengan
demikian, usaha produksi bandeng duri lunak dengan pengolahan tradisional dan
belum adanya penerapan sistem penjaminan mutu, maka perlu adanya penelitian
yang mengkaji dari aspek penerapan sistem penjaminan mutu yang dilakukan
pengusaha dalam memproduksi bandeng duri lunak, khususnya di Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang untuk peningkatan mutu produk dalam penjaminan
keamanan produk. Kapasitas produksi bandeng duri lunak setiap batch sebanyak
5800 kilogram dengan produksi yang bersifat kontinu setiap harinya. Melihat
banyaknya kapasitas yang diproduksi, maka penting untuk melakukan suatu
tindakan atau upaya mencegah, mengurangi, dan menghilangkan potensi bahaya
yang ditimbulkan agar menghasilkan produk aman dan berkualitas melalui
sistem keamanan pangan yang diterapkan.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerapan sistem persyaratan dasar HACCP yaitu Good
Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating
Procedure (SSOP) di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan
Jatilawang?
2. Bagaimana penerapan sistem HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa
Adisara Kecamatan Jatilawang?
3. Apa rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan untuk perbaikan sistem
HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan
Jatilawang?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penyimpangan penerapan sistem persyaratan dasarHACCP yaitu
sistem Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP) di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang.
2. Mengetahui kesenjangan penerapan sistem HACCP di Sentra Pengolahan
Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang.
3. Merumuskan rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan untuk
perbaikan sistem HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Bagi Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang,
sebagai salah satu masukan untuk para pengolah mengenai bagaimana
pelaksanaan penerapan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) produksi bandeng duri lunak yang sesuai panduan agar dapat
berjalan lebih baik.
2. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat kelulusan sarjana strata dua (S2)
program studi Magister Ilmu Pangan serta untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan menerapkan dan membandingkan antara teori yang
dipelajari dengan penerapan yang ada.
3. Bagi pembaca, sebagai informasi tentang penerapan sistem Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada produk bandeng duri
lunak yang sesuai dengan prosedur atau panduan serta dapat menjadi
masukan bagi penelitian selanjutnya.

F. Keaslian Penelitian
Penelitian terhahulu untuk mengetahui dan mengkaji obyektivitas ilmu
yang menjadi masalah dalam suatu penelitian. Ada beberapa hasil penelitian
terdahulu yang memiliki kaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini dan digunakan peneliti sebagai acuan untuk lebih memahami
variabel dalam penelitian ini.
1. HAACP Regulatory Model Cooked Shrimp oleh National Seafood
Inpection (1989)
Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran sebuah model
penerapan HACCP pada unit usaha udang dengan perlakukan direbus.
Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini untuk mengidendentifikasi
tahapan proses, menganalisis hazard yang timbul, menetukan GMP dan
SSOP serta dilakukan evaluasi terhadap HACCP produk cooked shrimp,
termasuk upaya pencegahan dan pengendalian pada tahapan proses udang
beku.
Hasil penelitian ini adalah ternyata bahwa produk cooked shimp
mempunyai resiko bahaya lebih besar dari pada raw shrimp. Pengawasan
terhadap proses pengolahan cooked shrimp harus lebih ketat, karena produk
ini merupakan makanan siap saji dengan hanya dicelupkan air panas dan
diberi saus.
2. Disain HACCP pada Sentra pengolahan bandeng Krupuk di Sidoarjo
oleh Goenawan (2003)
Penelitian ini bertujuan untuk membuat disain sistem Manajemen
Mutu Terpadu sesuai dengan prinsip-prinsip HACCP pada suatu produk
makanan berupa krupuk udang. Metode deskriptif digunakan untuk
menggambarkan rancangan HACCP yang didalamnya terdapat upaya
pencegahan secara dini terhadap hazard yang mungkin terjadi dan
pengendalian sepanjang lintasan kritisnya (CCP).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ada 14 tahapan pengolahan
krupuk udang yaitu tahap receiving, mixing, extruding, steaming, aging,
chilling, cutting, drying, sorting, metal detecting, weighing, packing, storage
dan stuffing. Dari proses tersebut terdapat 7 tahapan teridentifikasi adanya
bahaya potensial yaitu pada tahapan penerimaan udang, tepung, gula dan
garam, penerimaan telur, breaking, pengeringan, dan penyimpanan di gudang.
3. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Produk
Crude Palm Oil di PT. Perkebunan Nusantara III dan Minyak Goreng di
PT. Astra Agro Lestari, Tbk oleh Girsang (2007)
Penelitian tersebut bertujuan untuk membuat formulasi strategi
pengendalian mutu berdasarkan Sistem Managemen Mutu dan Sistem
Manajemen Keamanan Pangan. Metode penelitian dilakukan dengan
beberapa tahapan yaitu survei konsumen dengan pembobotan AHP, penilaian
penerapan HACCP dengan metode Self Assessment, dan perumusan formulasi
strategi pengendalian mutu dengan analisis SWOT.
Hasil penelitian diperoleh bahwa strategi yang perlu dilaksanakan
oleh pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Rambutan adalah: pelaksanaan SOP
sortasi dan SMK 3 yang ketat; pembangunan sistem sanitasi/SSOP yang baik;
peningkatan kinerja produk terkait dengan mutu spesifik; peningkatan
kepercayaan konsumen dengan memberikan jaminan mutu melalaui sertifikat
HACCP; serta diversifikasi produk. Strategi yang dapat dilaksanakan Pabrik
Minyak Goreng (PMG) Cap Sendok adalah peningkatan komitmen dan
budaya kerja yang baik; peningkatan produk dengan memberi jaminan mutu
berupa sertifikat ISO dan HACCP; peningkatan teknologi produksi; serta
pengembangan produk yang berorientasi ekspor.
4. Evaluasi Implementasi Manajemen Mutu Terpadu Frozen Value Added
Surimi Product oleh Swarini (2007)
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi manajemen
mutu terpadu dalam proses value added surimi product dan mengidentifikasi
temuan penyimpangan hasil evaluasi. Metode diskriptif untuk
menggambarkan hasil evaluasi dan temuannya untuk perbaikan penerapan
jaminan mutu setiap tahapan proses.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, PT “X” mampu secara madiri
melaksanakan pengawasan mutu untuk memberikan jaminan produk yang
dihasilkan. Dalam menerapkan manajemen mutu terpadu mendapat dukungan
penuh dari pihak manajemen termasuk para eksekutif. Tahapan dalam
mengimplementasikan manajemen mutu terpadu (HACCP) adalah
pembentukan tim, analisa hazard, identifikasi CCP, penentuan batas kritis,
penentuan CCP, tindakan koreksi, prosedur, pencatatan, dan prosedur
verifikasi.
5. Penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Produksi Sashimi di Restoran Tomato Surabaya oleh Stephanie
Goulding Mansur (2013)
Penelitian tersebut dilakukan dengan mengamati penerapan HACCP
pada produk sashimi kemudian memberikan solusi mengenai hambatan
yang ditemukan dalam proses penerapan HACCP. Penulis menggunakan
analisa kualitatif deskriptif untuk mendapatkan data hasil observasi penerapan
HACCP dan wawancara yang mendalam dengan informan. Penelitian ini
menggunakan metode triangulasi sumber untuk membandingkan data yang
diperoleh antara sumber satu dengan lainnya kemudian mencocokkan data
agar data tersebut berkualitas dan dapat dipercaya. Hasil dari penelitian ini
yaitu penerapan HACCP di restoran Tomato Surabaya masih kurang
maksimal dimana tingkat penyimpangan yang paling sering terjadi pada tahap
awal yaitu penetapan bahaya dan resiko. Peneliti merekomendasikan
sebaiknya pihak restoran memiliki checklist yang lebih lengkap mengenai
kondisi bahan-bahan yang diterima dari pihak supplier dan saat kegiatan
operasional berlangsung sebaiknya karyawan khususnya di area dapur
memakai pakaian dan perlengkapan yang sesuai standar untuk menjaga
keamanan makanan dan meminimalisasi kecelakaan kerja.
6. Implementasi Sistem Keamanan Pangan Berbasis HACCP dalam Proses
Produksi Crackers Sandwich di PT. Mondelez Indonesia Manufacturing
– Cikarang, Bekasi oleh Citra Nour Aziz Mutiarani (2015)
Penelitian tersebut meninjau implementasi sistem HACCP yang telah
dilakukan dengan sistem HACCP yang sesuai. Penelitian tersebut
menggunakan gap analysis untuk membandingkan penerapan HACCP yang
telah dilakukan oleh sentra pengolahan bandeng sehingga didapatkan sistem
HACCP yang lebih optimal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa terdapat gap pada jumlah anggota tim HACCP, diagram alir, analisis
resiko, CCP, dan deskripsi produk. Peneliti merekomendasikan sentra
pengolahan bandeng melakukan validasi, verifikasi, dan studi berkelanjutan
dalam menentukan batas kritis CCP dan sPP serta perlunya sosialisasi akan
point penting konsep HACCP kepada pekerja secara menyeluruh.
7. Pengkajian Pelaksanaan GMP dan Implementasi Sistem HACCP di PT.
CCBI Cikedokan Plant, Cikarang Jawa Barat oleh R.A. Anandya Surya
Dewi (2016)
Penelitian tersebut mengkaji pelaksanaan GMP dan Implementasi
HACCP dan mengevaluasi kegiatan GMP dan HACCP yang kemudian dapat
digunakan untuk mengajukan sertifikasi HACCP Plan. Metode pengkajian
dilakukan dengan menyesuaikan penerapan GMP dan HACCP dengan
panduan sentra pengolahan bandeng yang telah mengacu pada Kepmenkes RI
No. 23/MenKes/SK/1/1978 untuk GMP dan SNI 01-4852-1998 untuk
HACCP. Hasil dari penelitian ini yaitu masih ditemukan beberapa temuan
terhadap kegiatan GMP yaitu terdapatnya rumput liar dan semak semak serta
masih adanya karyawan yang melakukan kegiatan makan dan minum di area
produksi. Sedangkan untuk HACCP ditemukan CCP pada jalur produksi pada
proses sterilisasi dan capping. Peneliti telah menyampaikan temuan ini
kepada pihak sentra pengolahan bandeng agar segera ditindak lanjuti dan
peneliti merekomendasikan agar sentra pengolahan bandeng dapat
meningkatkan kegiatan GMP dan mensosialisasikan mengenai HACCP
kepada seluruh departemen yang ada dalam pabrik.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Ikan Bandeng
Sebagai negara yang maritim, Indonesia mempunyai potensi yang
besar dalam perikanan, baik perikanan air tawar, air payau, maupun air
laut. Menurut Saparinto (2007), potensi akuakultur air payau, yakni
dengan sistem tambak diperkirakan mencapai 931.000 ha dan hampir
telah dimanfaatkan potensinya hingga 100% dan sebagian besar
digunakan untuk memelihara ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) dan
udang (Pennaeus sp.).
Salah satu produk perikanan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat adalah ikan bandeng. Ikan bandeng merupakan suatu
komoditas perikanan yang memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga
banyak digemari masyarakat. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh
segala lapisan masyarakat. Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan
berprotein tinggi dan berkadar lemak rendah.
Pada umumnya ikan bandeng diolah secara tradisional antara lain
dengan cara pengasapan, penggaraman dan pemindangan. Cara
pengolahan tersebut hanya merubah komposisi daging, rasa serta tekstur
ikan, tetapi tidak dapat melunakkan tulang yang banyak terdapat dalam
daging ikan bandeng. Untuk mengatasi gangguan tulang – tulang ini, ada
suatu cara pengolahan khusus yang produknya disebut bandeng duri
lunak.
Menurut Astawan (2004), salah satu upaya untuk mengatasi
hambatan dalam pemanfaatan ikan bandeng adalah mengolah ikan
bandeng secara duri lunak. Di Indonesia, produk bandeng duri lunak
mulai dikenal walaupun jumlah produksinya masih dibawah ikan asin
maupun ikan pindang, tetapi pada masa yang akan datang pengolahan
ikan Bandeng secara duri lunak cukup cerah prospeknya. Cita rasa yang
dimiliki pun jauh lebih enak dibandingkan dengan ikan yang diolah secara
diasin maupun dengan cara lainnya.
Beberapa tempat, ikan bandeng memiliki banyak nama, misalnya
di Sumatera dikenal dengan sebutan banding, mulch, atau agam; di Bugis
disebut bolu; di Filipina disebut bangos; dan di Taiwan disebut sabahi
(Saparinto, 2007).
2. Bandeng Duri Lunak
Salah satu hasil olahan ikan bandeng adalah bandeng duri lunak.
Mempunyai ciri hampir sama dengan pindang bandeng, dengan kelebihan
yakni tulang, duri dari ekor hingga kepalanya cukup lunak, sehingga
dapat dimakan tanpa menimbulkan gangguan duri pada mulut (Arifudin,
1988).
Menurut SNI No: 4106.1-2009, bandeng presto/duri lunak adalah
produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan utuh yang
mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan bahan baku, sortasi,
penyiangan, pencucian, perendaman, pembungkusan, pengukusan,
pendinginan, pengepakan, pengemasan, penandaan, dan penyimpanan.
Bandeng duri lunak merupakan salah satu jenis diversifikasi
pengolahan hasil perikanan terutama sebagai modifikasi pemindangan
yang memiliki kelebihan yaitu tulang dan duri dari ekor sampai kepala
lunak sehingga dapat dimakan tanpa menimbulkan gangguan duri pada
mulut (Arifudin, 1988).
Pengolahan bandeng duri lunak dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu secara tradisional dan modern. Pada pengolahan bandeng duri lunak
secara tradisional, wadah yang digunakan untuk memasak biasanya
berupa drum yang dimodifikasi atau dandang berukuran besar.
Pengolahan bandeng duri lunak secara tradisional menggunakan prinsip
pengolahan ikan pindang.
Pengolahan bandeng duri lunak secara tradisional dilakukan
dengan menggunakan prinsip pemindangan. Dalam proses pemindangan,
ikan diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam
lingkungan bergaram dan bertekanan normal, dengan tujuan menghambat
aktivitas atau membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim
(Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Secara modern, pengolahan bandeng duri lunak menggunakan
autoclave untuk memasak. Prinsip penggunaan autoclave pada
pemasakan bandeng duri lunak adalah dengan cara menggunakan tekanan
tinggi, sekitar 1 atmosfer. Dengan tekanan yang tinggi proses pemasakan
bandeng duri lunak dengan autoclave akan lebih cepat matang dengan
lama sekitar 2 jam dan tulang ikan dapat segera lunak daripada
menggunakan drum atau dandang. Menurut Arifudin (1983), pengolahan
bandeng duri lunak merupakan salah satu usaha diversifikasi. Proses
pengolahan menggunakan suhu yang tinggi (115 - 121°C), dengan
tekanan satu atmosfir. Suhu dan tekanan yang tinggi ini dicapai dengan
menggunakan alat pengukus bertekanan tinggi (autoclave) atau dalam
skala rumah tangga dengan alat pressure cooker.
Proses pengolahan bandeng duri lunak dengan uap air panas
bertekanan tinggi menyebabkan tulang dan duri menjadi lunak. Selain itu
uap air panas yang bertekanan tinggi ini sekaligus berfungsi
menghentikan aktifitas mikroorganisme pembusuk ikan, kerasnya tulang
ikan disebabkan adanya bahan organik dan anorganik pada tulang. Bahan
anorganik meliputi unsur-unsur kalsium, phosphor, magnesium, khlor dan
flour sedangkan bahan organik adalah serabut-serabut kolagen. Tulang
menjadi rapuh dan mudah hancur bila bahan organik yang terkandung di
dalamnya larut (Soesetiadi, 1977).
3. Bahan-bahan yang digunakan
Ada beberapa jenis bahan yang digunakan pada proses
pembuatan bandeng duri lunak antara lain:
a. Ikan Bandeng
Menurut Saanin (1968), klasifikasi ikan bandeng (Chanos
chanos Forsk) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Family : Chanidae
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos Forsk

Ikan Bandeng mempunyai ciri-ciri seperti badan memanjang,


padat, kepala tanpa sisik, mulut kecil terletak di depan mata. Mata
diselaputi oleh selaput bening (subcutaneus). Sirip punggung terletak
jauh di belakang tutup insang dan dengan rumus jari-jari D. 14-16;
sirip dada (pectoral fin) mempunyai rumus jari-jari P. 16-17; sirip
perut (ventrial fin) mempunyai rumus jari-jari V. 11-12; sirip anus
(anal fin) terletak jauh di belakang sirip punggung dekat dengan anus
dengan rumus jari-jari A. 10-11; sirip ekor (caudal fin) berlekuk
simetris dengan rumus jari-jari C. 19 (Hadie, 1986).
Menurut Ghufron (1994), ikan Bandeng (Chanos chanos
Forsk) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8 m, anak ikan Bandeng
(Chanos chanos Forsk) yang biasa disebut nener yang biasa ditangkap
di pantai panjangnya sekitar 1 -3 cm, sedangkan gelondongan
berukuran 5-8 cm

Menurut USDA National Nutrient Database for Standard


Reference (2009), ikan bandeng mempunyai nutrisi yang lengkap,
terdiri dari proksimat, mineral lemak dan asam amino yang bermanfat
bagi pemenuhan nutrisi manusia (Tabel 1.)
Tabel 1. Nutrisi Ikan Bandeng
Nutrisi Units Nilai / 100 g
Proksimat
Air g 70.85
Energi kcal 148
Energi kJ 619
Protein g 20.53
Lemak g 6.73
Abu g 1.14
Karbohidrat g 0.00
Fiber, total diet g 0.0
Mineral
Kalsium, Ca mg 51
Besi, Fe mg 0.32
Magnesium, Mg mg 30
Fosfor, P mg 162
Kalium, K mg 292
Natrium, Na mg 72
Seng, Zn mg 0.82
Tembaga, Cu mg 0.034
Mangan, Mn mg 0.020
Selenium, Se mcg 12.6
Vitamins
Vitamin C mg 0.0
Thiamin mg 0.013
Riboflavin mg 0.054
Niacin mg 6.440
Pantothenic acid mg 0.750
Vitamin B-6 mg 0.423
Folate, total mcg 16
Asam Folat mcg 0
Folate, food mcg 16
Folate, DFE mcg_DFE 16
Vitamin B-12 mcg 3.40
Vitamin A, RAE mcg_RAE 30
Retinol mcg 30
Vitamin A, IU IU 100
Lemak
Asam lemak, total saturated g 1.660
Asam lemak, total monounsaturated g 2.580
Asam lemak, total polyusaturated g 1.840
Kolesterol mg 52
Asam Amino
Tryptophan g 0.230
Threonin g 0.900
Isoleusin g 0.946
Leusin g 1.669
Lisin g 1.886
Methionin g 0.608
Sistin g 0.220
Phenylalanin g 0.802
Tyrosin g 0.693
Valin g 1.058
Arginin g 1.229
Histidin g 0.604
Alanine g 1.242
Asam aspartat g 2.102
Asam glutamat g 3.065
Glisin g 0.986
Prolin g 0.726
Serin g 0.838
Sumber : USDA National Nutrient Database for Standard Reference, (2009)
Ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan bandeng
duri lunak harus memiliki tingkat kesegaran yang tinggi sehingga
produk bandeng duri lunak yang dihasilkan memiliki mutu yang lebih
baik. Mutu produk yang dihasilkan tergantung dari bahan baku
maupun proses pengolahan yang dilakukan. Berikut adalah ciri-ciri
ikan segar yang bermutu tinggi maupun yang bermutu rendah (Tabel
2.).
Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar yang bermutu tinggi maupun yang
bermutu rendah
Parameter Ikan Segar bermutu Ikan Segar bermutu
Tinggi Tinggi

Mata Cerah, bola mata Bola mata cekung,


menonjol, kornea jernih pupil putih susu,
kornea keruh
Insang Warna merah cemerlang, Warna kusam, dan
tanpa lendir berlendir
Lendir Lapisan lendir jernih, Lendir berwarna
transparan, mengkilat kekuningan sampai
cerah, belum ada coklat tebal, warna
perubahan warna cerah hilang,
pemutihan nyata
Daging dan Sayatan daging sangat Sayatan daging
Perut cemerlang, berwarna asli, kusam, warna merah
tidak ada pemerahan jelas sepanjang
sepanjang tulang belakang, tulang belakang,
perut utuh, ginjal merah dinding perut
terang, dinding perut membubar, bau
dagingnya utuh, bau isi busuk
perut segar
Bau Segar, bau rumput laut, Bau Busuk
bau spesifik menurut jenis
Konsistensi Padat, elastis bila ditekan Sangat lunak, bekas
dengan jari, sulit jari tidak mau hilang
menyobek daging dari bila ditekan, mudah
tulang belakang sekali menyobek
daging dari tulang
belakang
Sumber : SNI No. 01-2729.1-2006

b. Bumbu
Bumbu memegang peranan penting karena menentukan cita
rasa produk akhir. Selain itu daya awet ikan Bandeng duri lunak juga
dapat ditunjang oleh penggunaan bumbu dalam proses
pengolahannnya. Ada 2 macam bumbu yang digunakan dalam
pembuatan Bandeng duri lunak, yaitu bumbu rendam dan bumbu urap.
Istilah tersebut mengacu pada cara perlakuan pada waktu memberikan
bumbu, ada yang digunakan untuk merendam bandeng dan ada yang
diurapkan ke seluruh tubuh bandeng. Bahkan ada juga yang langsung
merebus bandeng dalam larutan garam. Cara terakhir ini biasanya
digunakan dalam pembuatan bandeng duri lunak secara tradisional,
yang memakan waktu sekitar 6 sampai 7 jam (Purnomowati, 2006).
Komposisi bumbu yang digunakan untuk merendam ikan
bandeng yang akan dibuat bandeng duri lunak adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Komposisi bumbu yang digunakan merendam ikan bandeng
untuk 1 kg ikan (ukuran 5 ekor per kg)
Jenis Bahan Komposisi Bumbu
Bawang Merah 20 gram
Bawang Putih 10 gram
Jahe 5 gram
Kunyit 5 gram
Lengkuas 5 gram
Ketumbar 0,5 sendok teh
Kemiri 1-2 buah
Air 0,5 gelas belimbing
Daun Jeruk Purut 1 lembar
Daun Salam 2 lembar
Garam Dapur 20 gram
Cabai, Asam (tanpa biji) dan Secukupnya
Penyedap rasa
Sumber : Hall (2005)

Gambar 1. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bandeng duri lunak

4. Alat yang digunakan


Dalam proses pembuatan bandeng duri lunak ada beberapa alat
yang digunakan antara lain :
c. Pengolahan Secara Tradisional d. Pengolahan Secara Modern
- Drum-drum perebusan - Autoclave
- Pisau - Pisau
- Timbangan roti - Timbangan electrik
- Keranjang plastik - Baskom besar
- Munthu - Munthu
- Keranjang bambu - Wadah plastik
- Kompor - Rak Besi
- Blong - Kompor Gas
- Ember plastik kecil - Sarangan
- Daun pisang - Blong
- Keranjang stainless steel - Baskom
- Baskom - Baskom Kecil
- Ember plastik - Kipas Angin
- Ruang Pendingin
Sumber : Aditya (2008) dan Romadhon et al., 2008

5. Proses pengolahan Bandeng Duri Lunak


Proses pengolahan bandeng duri lunak bermacam-macam ada
yang cara tradisional (pemindangan) ada juga secara modern (dengan
menggunakan panci presto/autoclave).
Berikut adalah proses pengolahan bandeng duri lunak baik yang
dilakukan secara tradisional (Gambar 2.) dan secara modern (Gambar 3.)

Bahan baku
Pencucian 1 x

Penyiangan
(ikan dibelah dari anus sampai insang)

Pencucian 2 x

Pelumuran Garam

Penyusunan Ikan secara berselang-


seling, tiap lapis diberi garam

Pemasakan selama 6-10 jam

Pendinginan pada suhu ruangan

Pengemasan dengan kertas koran,


karton, plastik polyethylene

Gambar 2. Pengolahan bandeng duri lunak secara tradisional (Aditya,2008)

Bahan baku

Penyiangan
(ikan dibelah dari anus sampai insang)/
butterfly
Pencucian sebanyak 4-5 x

Pelumuran Bumbu

Penyusunan Ikan secara berselang-


seling

Pemasakan dengan autoclave selama 1-


1,5 jam

Pendinginan pada suhu ruangan

Pengemasan dengan kertas koran,


karton, plastik polyethylene

Gambar 3. Pengolahan bandeng duri lunak secara modern (Aditya,2008)

a. Penerimaan bahan baku


Ikan bandeng dari tambak ditempatkan di keranjang-
keranjang plastik kapasitas 10 kg dengan pemberian es secara selang-
seling agar kesegaran ikan tetap terjaga. Perbandingan banyaknya es
curai dengan ikan yang digunakan adalah 3:2 agar ikan terjaga
kesegarannya. Ikan bandeng kemudian langsung disiangi dan segera
diolah untuk menghindari pembusukan. Selain itu, ikan bandeng yang
sudah disiangi juga dapat disimpan di ruang pendingin sebagai stock
pada temperature -20ºC s/d -30ºC. Jika akan diolah, ikan bandeng
dikeluarkan dari ruang pendingin kemudian didiamkan dalam ruangan
terbuka kurang lebih 5 jam sampai ikan bandeng sudah tidak keras
lagi tetapi masih tetap dingin (Aditya, 2008).
b. Penyiangan
Proses penyiangan dapat dilakukan dengan cara dibelah dan
dibuang isi perut dan insangnya. Ikan dibelah dari punggung
kemudian diteruskan sampai insang dan kepala tetapi jangan sampai
putus, seperti pembelahan bentuk “butterfly”. disiangi dengan cara
menyobek bagian perut ikan dalam posisi membujur di bagian bawah
sisi luar perut mulai dari atas sirip dubur ke arah depan sebelum sirip
dada. Kemudian isi perut diambil dengan jari tangan. Insang tidak
dibuang tetapi cukup dicuci sampai bersih. Hal ini dilakukan agar
kepala tidak kempes setelah direbus. Isi perut dan kotoran-kotoran
lainnya ditampung dalam ember kecil. Penyiangan dilakukan agar
proses pembusukan dapat diperlambat karena isi perut merupakan
sumber kontaminasi bakteri patogen. Menurut Siregar (1995),
pembelahan model ini dimaksudkan agar setelah isi perut dibuang,
perutnya tidak tampak terlalu kempes serta bekas sobekannya tetap
utuh dan teratur rapi sehingga ikan seolah tampak utuh tanpa sobekan.
c. Pencucian
Ikan yang sudah disiangi, langsung dicuci dengan air bersih
(air PAM yang telah diendapkan atau air sumur) yang mengalir
sebanyak 4-5 kali sampai kotoran yang menempel pada tubuh ikan
hilang. Ikan yang sudah dicuci bersih ditempatkan dalam ember untuk
persiapan proses pelumuran bumbu.
Pencucian pada ikan bandeng bertujuan agar kotoran, darah,
dan lendir yang menempel pada permukaan tubuh ikan hilang.
Menurut Irawan (1997), tujuan pencucian juga bertujuan untuk
membebaskan ikan dari bakteri pembusuk. Ikan yang sudah disiangi
harus dicuci sampai bersih karena sisa lendir maupun kotoran lain
yang ada pada ikan dapat mempercepat proses pembusukan.
d. Pelumuran Bumbu
Pada pengolahan bandeng duri lunak secara modern
dilakukan proses pelumuran bumbu. Pelumuran bumbu dilakukan
apabila ikan sudah dicuci dan bersih. Bumbu-bumbu yang digunakan
untuk bagian dalam ikan bandeng hampir sama, yaitu bawang putih,
jahe, kunyit dan garam. Sisa garam digunakan persiapan bumbu untuk
dioleskan bagian luar tubuh ikan. Untuk mempertegas warna dan
kenampakan bandeng duri lunak dapat dilakukan penambahan
pewarna food grade.
Bumbu–bumbu tersebut dihaluskan dengan menggunakan
cobek atau blender. Penambahan bumbu-bumbu dalam proses
pembuatan bandeng duri lunak bertujuan untuk mempertegas rasa dan
aroma dan apabila tidak ditambahkan kunyit dalam bumbu warna
bandeng duri lunak akan terlihat pucat dan kurang menarik. Kunyit
merupakan zat pewarna alami karena mengandung kurkumin yang
akan memberikan warna kuning.Sedangkan jahe maupun serai yang
pada proses pembuatan bandeng duri lunak direndam dalam air yang
terletak pada dasar autoclave. Pada pengolahan bandeng duri lunak
secara tradisional tidak dilakukan proses pelumuran bumbu tetapi ikan
bandeng langsung disusun pada drum-drum.

e. Penyusunan ikan
Pemasakan dapat dilakukan dengan menggunakan drum-
drum perebusan (secara tradisional) maupun autoclave (secara
modern). Pada proses pemasakan dengan menggunakan drum-
drum (secara tradisional) perebusan dilakukan dengan cara ikan yang
sudah dibumbui disusun dalam keranjang segi empat dari stainless
steel yang sudah dilapisi dengan daun pisang disekelilingnya. Hal ini
dimaksudkan agar ikan tidak langsung bersentuhan dengan keranjang
stainless steel sehingga ikan bandeng tidak lengket ketika akan
diangkat selain itu bau yang akan dihasilkan setelah proses perebusan
akan terasa lebih sedap. Penyusunan ikan selain berselang-seling, pada
tiap lapisan ikan ditambahkan garam sampai ikan tertutup dengan
tebal lapisan garam 0,5 cm untuk setiap lapisnya. Setelah ikan
tersusun rapi, pada tiap keranjang diberi penutup kertas koran.
Penambahan garam pada tiap lapisan ikan bertujuan agar ikan dapat
terendam larutan garam selama proses pemasakan. Hal ini karena
garam bersifat menarik air dari tubuh ikan.
Sedangkan proses pengolahan dengan menggunakan
autoclave (secara modern) adalah sebagai berikut sebelum ikan
disusun dalam autoclave, air bersih dimasukkan ke dalam autoclave
sebanyak 1-2 liter. Ikan yang telah dibumbui dibungkus daun pisang
sebanyak satu lembar satu persatu kemudian dimasukkan ke dalam
autoclave. Ikan disusun berlapis-lapis. Lapisan pada penyusunan ikan
terdiri dari 4 - 5 lapisan. Jika lapisan dasar posisi kepala ikan berada
dalam satu sisi, maka lapisan diatasnya harus di sisi yang berlawanan.
Demikian seterusnya sampai panci penuh dan padat. Perlakuan seperti
itu dimaksudkan agar ikan teratur rapi sehingga autoclave dapat
menampung ikan lebih banyak dan mengurangi kerusakan fisik ikan.
Kapasitas autoclave yang digunakan dapat bermacam-macam
tergantung kebutuhan anatara lain 5 kg, 10 kg, 15 kg dan lain-lain.
Autoclave yang digunakan harus dalam keadaan bersih dan kering.
Bagian terpenting dari autoclave terletak pada kekuatan alat pengunci
dan kelenturan tangkainya untuk menahan tekanan di dalam alat
tersebut sehingga sebelum digunakan harus diteliti terlebih dahulu
agar tidak terjadi gangguan selama pengolahan. Di bagian penutup
yang dilengkapi dengan karet harus dikontrol kerapatannya. Posisi
karet harus melingkar dan lekat tak terpisahkan dengan komponen
penutup lainnya. Karet harus utuh dan keras namun kenyal (elastis).
Bagian pengunci harus terpasang dengan baik. Demikian pula stik
harus tegak dan kuat, tidak bisa digerak-gerakkan (tidak goyah).
f. Pemasakan Ikan
Pemasakan bandeng duri lunak dengan menggunakan drum
maupun autoclave juga terdapat perbedaan. Pemasakan dengan
menggunakan drum (secara tradisional) dapat dilakukan dengan drum
yang akan digunakan diperiksa terlebih dahulu apakah masih
berfungsi dengan baik dan tidak ada bagian-bagian yang sudah rusak.
Setelah itu, air bersih secukupnya ke dalam drum. Air dipanaskan
selama setengah jam sampai air mendidih atau sampai suhunya
mencapai 100oC, baru kemudian keranjang stainless steel dimasukkan
ke dalam drum dengan menggunakan katrol. Agar keranjang stainless
steel tetap terendam air, tiap keranjang stainless steel diberi pemberat.
Kemudian drum ditutup dan ikan direbus selama 10 jam.
Selama perebusan, suhu dipertahankan agar tidak turun dari
suhu 100oC yaitu dengan cara menjaga nyala api agar tidak terlalu
besar ataupun terlalu kecil sehingga bandeng duri lunak matang
dengan baik.
Proses pemasakan dengan autoclave (secara modern) setelah
ikan tersusun rapi, autoclave ditutup rapat. Cara menutup autoclave
adalah pengunci diputar searah jarum jam dengan tangan dan
pengunci yang berlawanan arahnya juga ikut diputar bersamaan
sampai terasa berat atau tidak dapat diputar lagi kemudian stick
penyangga dirapatkan dengan tangkai penutup dan dikunci dengan
cara ditekan sampai berbunyi klik. Hal ini didasarkan pada pendapat
Djarijah (1995), bahwa ketika dipakai pengunci dan stik berfungsi
secara bersamaan. Stik berfungsi sebagai penyangga tangkai penutup,
sementara pengunci berfungsi sebagai penekannya. Dengan demikian
kerapatan badan autoclave (pressure cooker) dan penutupnya menjadi
kuat saat disatukan.
Agar mempercepat proses pemasakan bandeng duri lunak
dapat dilakukan dengan memanfaatkan suhu tinggi untuk
meningkatkan tekanan. Untuk memaksimalkan panas yang dihasilkan
oleh kompor gas, ditambah beberapa saluran gas untuk
menyemprotkan api lebih besar sehingga tekanan dapat meningkat
sesuai yang diinginkan dengan waktu yang singkat. Jika tekanan
sudah mencapai 1,5 atm, saluran gas tambahan dimatikan agar tekanan
stabil.
Selama pemasakan api kompor gas harus terus dikontrol
jangan sampai api menjadi kecil maupun membesar. Nyala api yang
digunakan adalah sedang, dijaga agar tidak terlalu besar tetapi juga
tidak terlalu kecil, apabila nyala api terlalu besar kemungkinan
penguapan air terlalu cepat sehingga air habis sebelum waktunya
sedangkan ikan belum lunak (Djariyah, 1995).
g. Pendinginoan
Bagi pemasakan yang menggunakan drum (secara
tradisional), proses pendinginan dapat dilakukan dengan cara kompor
gas dimatikan dan tutup drum dibuka. Uap air panas akan keluar.
Kemudian keranjang stainless steel dikeluarkan dengan menggunakan
katrol dan ditiriskan.
Ikan didinginkan dengan cara diangin-anginkan pada suhu
ruangan. Setelah agak dingin keranjang stainless steel tersebut ditutup
dengan menggunakan tutup yang bersih agar bandeng duri lunak tidak
terkena debu atau kotoran lain. Pendinginan dalam ruangan yang
tidak terjamin kebersihannya akan menyebabkan kontaminasi karena
itu perlu adanya alat pelindung. Sedangkan proses pendinginan
dengan menggunakan autoclave (secara modern) pada proses
pemasakannya dilakukan dengan cara autoclave didiamkan selama
setengah jam sampai tidak mengeluarkan suara mendesis agar uap
yang ada di dalam panci keluar semua dan tekanan dalam panci turun.
Hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya karet katup pengaman
panas.
Setelah dingin ikan diangkat satu persatu dengan hati-hati
kemudian di letakkan berjajar di atas rak besi untuk diangin-anginkan
pada suhu ruangan.
h. Pengemasan
Daya awet ikan bandeng tergantung dari proses pengemasan
bandeng duri lunak. Ada pengolah yang hanya menggunakan palstik
ada juga yang menggunakan plastic dan juga kertas karton. Bahkan
untuk memperlama daya awet ikan dilakukan dengan cara proses
pemvakuman pada kemasan ikan. Bandeng duri lunak yang dikemas
tanpa divakum dapat bertahan selama 2 hari apabila disimpan di
ruangan dan dapat bertahan hingga 5 hari apabila disimpan di suhu
dingin. Tetapi apabila bandeng duri lunak disimpan dengan cara
vakum dapat bertahan hingga 1 bulan.
Kantong palstik yang digunakan adalah jenis kantong plastic
polyethylene. Sedangkan kertas yang digunakan adalah kertas karton
dengan berbgai macam ukuran tergantung satuan produk yang akan
dikemas.
Pada kemasan bandeng duri lunak sebaiknya memuat
komposisi bumbu, alamat tempat pengolahan, nomor Depkes, dan
nama dagang produk, karton pengemasan selain untuk memberikan
informasi bagi konsumen tetapi juga dapat menarik konsumen.
Penggunaan plastik polyethylene sudah benar karena polyethylene
bersifat tahan panas, penahan air yang baik selain juga murah (Buckle
et al., 1987).
Gambar 4. Contoh bahan pengemas yang digunakan untuk mengemas
bandeng duri lunak (Pada bahan pengemas dicantumkan informasi
tentang produk)

6. Mutu Produk
Mutu produk bandeng duri lunak mempengaruhi terhadap tingkat
pemenuhan gizi bagi konsumen maupun dalam harga jual produk bandeng
duri lunak. Berikut adalah beberapa parameter mutu bandeng duri lunak.
Ikan bandeng duri lunak yang baik harus memenuhi kriteria
tertentu. Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan bandeng duri lunak
adalah dengan menilai mutu sensorisnya (Wibowo, 1996).
Tabel 4. Kriteria Mutu Ikan Bandeng Duri Lunak Berdasarkan Penilaian
Organoleptik

No Parameter Deskripsi
1 Rupa Ikan utuh dan tidak patah, mulus, tidak luka atau
lecet, nersih, tidak terdapat benda asing, tidak ada
endapan lemak, garam dan kotoran lain
2 Warna Warna spesifik, cemerlang, tidak berjamur dan
berlendir
3 Bau Spesifik seperti ikan rebus, gurih, segar, tanpa bau
tengik, masam, basi atau busuk
4 Rasa Gurih spesifik bandeng duri lunak, enak dan tidak
terlalu asin, rasa asin merata, serta tidak ada rasa
asing
5 Tekstur Kompak, padat, cukup kering, tidak berair, kesat
Sumber : Saparinto (2007)
Persyaratan mutu bandeng duri lunak menurut SNI No: 4106.1-
2009 adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Persyaratan Mutu Bandeng Duri Lunak menurut SNI No:
4106.1-2009
Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
a) Organoleptik Angka (1-9) Minimal 7

b) Cemaran Mikroorganisme
1 ALT, maks Koloni/gram 5,0 x 105
2 Escherichia coli APM/gram <3
3 Salmonella* Per 25 gram Negatif
4 Vibrio cholerae* Per 25 gram Negatif
5 Staphylococcus aureus Koloni/gram Maksimal 1 x 103

c) Cemaran Kimia
1 Merkuri (Hg) mg/gram Maksimal 0,5
2 Timbal (Pb) mg/gram Maksimal 0,2
3 Kadmium (Kd) mg/gram Maksimal 0,05
*) Apabila diperlukan
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006) (SNI No. 4106.1-2009)

7. Keamanan Pangan
Keamanan pangan merupakan suatu kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia. Kegiatan keamanan pangan meliputi
berbagai hal seperti (Laelasari, 2015:14) :
a. Sanitasi pangan
b. Bahan Tambahan Makanan (BTM)
c. Pengaturan pangan produk rekayasa genetik
d. Pengaturan iradiasi pangan
e. Standard kemasan pangan
f. Jaminan keamanan pangan
g. Jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 28 Tahun 2004
tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan menjelaskan bahwa pangan yang
aman ialah pangan yang memiliki kualitas dengan mutu yang baik dan
bergizi. Sistem keamanan pangan yang paling efektif ditetapkan,
dioperasikan, dan diperbaharui dalam kerangka sistem manajemen yang
terstruktur dan dimasukkan ke dalam kegiatan pengelolaan keamanan pangan
secara menyeluruh yang akan memberikan manfaat maksimal bagi produsen
dan konsumen serta pihak yang berkepentingan (Laelasari, 2015:19).
a. Bahaya Biologis (Biological Hazard)
Keracunan dan penyakit yang ditularkan melalui makanan
(foodborne illness), pada umumnya sangat terkait dengan kebersihan air
di lingkungan produksi makanan. Terdapat 4 kelompok cemaran mikroba
pathogen yang perlu diwaspadai dalam penggunaan air, yaitu bakteri,
virus, protozoa, dan parasit (cacing) (Surono dkk, 2016:10).
Mikroba dan beberapa bahan pangan yang paling bertanggung
jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui makanan, diantaranya
adalah :
1) Campylobacter (pada produk unggas, susu segar)
2) E. coli O157 (daging giling, sayuran hijau, susu segar)
3) Listeria (daging, keju lunak yang tidak dipasteurisasi)
4) Salmonella (telur, unggas, daging)
5) Vibrio (kerang, tiram)
6) Norovirus pada berbagai produk makanan
b. Bahaya Kimia (Chemical Hazard)
Kejadian keracunan akibat cemaran bahan kimia dalam makanan
umumnya disebabkan oleh cemaran bahan insektisida, pestisida, cemaran
industri, atau karena sengaja bahkan tidak sengaja ditambahkan sebagai
bahan baku formulasi makanan (ingredient). Cemaran lain yang perlu
diwaspadai pada makanan adalah cemaran limbah industri yang dapat
mencemari perairan umum yang kemudian akan mencemari berbagai
produk makanan yang menggunakan air yang tercemar tersebut. Cemaran
industri antara lain Arsenik (As), Kadmium (Cd), Khromium (Cr), Timbal
(Pb), Merkuri (Hg), dan Timah (Sn). Cemaran lainnya yaitu penggunaan
bahan kemasan yang mengandung senyawa berbahaya (Surono dkk,
2016:17).
Bahaya kimia juga sering didapati karena penggunaan bahan
tambahan pangan (additive). Bahan kimia lainnya yaitu senyawa toksin
yang terdapat dalam bahan pangan sebagai akibat tumbuhnya kapang.
Bahan pangan seperti biji-bijian dan serealia yang mengandung minyak
mudah ditumbuhi kapang dari jenis Aspergillus sp yang dapat
menghasilkan toksin dan berbahaya bagi manusia (Surono dkk, 2016:18).
c. Bahaya Fisik (Physical Hazard)
Bahaya fisik pada makanan adalah benda yang keberadaannya
dalam makanan dapat mencelakakan konsumen. Tingkat kecelakaan
akibat bahaya fisik relatif rendah dibandingkan dengan bahaya biologis
dan kimia (Surono dkk, 2016:21).
8. Sistem Manajemen Keamanan Pangan
Sistem manajemen keamanan pangan dikembangkan oleh beberapa
kawasan didunia dengan rujukan pada prinsip yang dikembangkan oleh
Codex Alimentarius Commission (CAC) - World Health Organization
(WHO). Sistem HACCP yang dikembangkan di Eropa telah diperluas dengan
memasukkan unsur manufaktur secara lengkap sehingga persyaratan dasar
(prerequisite) yang diminta sangat lengkap. Standar ISO 9001 yang
mengakomodasikan HACCP telah dikeluarkan dengan nomor seri ISO 15161
2001. Standar terbaru tentang HACCP yakni ISO 22000 telah direncanakan
bulan September tahun 2005. Indonesia melalui BSN telah mengadopsi
standar Codex tentang HACCP, yakni SNI 01-4852-1998 (Thaheer, 2008:2).
Ada beberapa alternatif bahan tambahan food grade yang
digunakan dalam proses pembuatan bandeng duri lunak. Para pengolah
dapat menggunakan bahan pengawet, bahan pewarna maupun bahan
penyedap yang dijinkan dan tidak dilarang. Bahan pengawet yang dapat
digunakan oleh para pengolah ikan antara lain: chitosan, asap cair,
bumbu-bumbuan yang dapat berfungsi sebagai pengawet (Romadhon et
al., 2008). Pewarna alami maupun sintesis yang dapat digunakan antara
lain kunyit dan egg yellow. Bahan penyedap yang dapat digunakan antara
lain Monosodium glutamat. Penggunaan bahan-bahan yang diijinkan akan
membuat produk yang dihasilkan aman dikonsumsi oleh konsumen.
Penggunaan bahan-bahan yang dilarang oleh pemerintah akan
menyebabkan produk yang dihasilkan tidak aman dan beresiko
menyebabkan penyakit bagi konsumen yang memakannya. Bahan-bahan
yang dilarang digunakan adalah pewarna jenis methanil yellow. Methanil
yellow umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat serta sebagai
indikator reaksi netralisasi asam-basa. Methanil yellow adalah senyawa
kimia azo aromatik amin yang dapat menimbulkan tumor dalam berbagai
jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit.
Selain itu pengolah bandeng duri lunak harus menerapkan standar
sanitasi dan higiene sehingga produk yang dihasilkan akan aman
dikonsumsi. Sanitasi merupakan pengendalian yang terencana terhadap
lingkungan produksi, peralatan dan pekerja, bertujuan untuk mencegah
produk dari cemaran yang merugikan dan merusakkan serta menghindari
kesan tidak estetis oleh konsumen. Cemaran yang dimaksud terutama
yang membahayakan seperti cemaran yang mikroorganisme yang dapat
menimbulkan adanya gangguan kesehatan pada manusia. Pelaksanaan
sanitasi yang baik akan mendapatkan produk yang tidak membahayakan
konsumen, hasil yang lebih tahan lama karena tidak ada bahan cemaran
yang mempercepat pembusukan dan kemantapan hasil olahan. Sedangkan
hygiene (kebersihan) merupakan salah satu dasar untuk menjamin
keamanan dan mutu pangan yang sudah dikenal di seluruh dunia. Menjaga
kebersihan / hygiene menjadi tanggung jawab semua warga negara, tanpa
memandang tingkatan ekonomi maupun taraf hidup terutama dalam
bidang pengolahan bahan makanan termasuk pada pengolahan bandeng
duri lunak, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih aman dikonsumsi
oleh konsumen.
a. Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan
Bagi produk makanan, sistem pengendalian mutu diawali dengan
prinsip penerapan dasar yaitu Good Manufacturing Practices (GMP)
yang mendefinisikan dan mendokumentasikan semua persyaratan agar
mutu pada produk pangan dapat diterima. GMP ditujukan pada keamanan
mikrobiologis dan persyaratan mutu pangan (Thaheer, 2008:2).
Sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk
mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang
berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya, baik kontaminasi
mikroorganisme patogen, fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu
proses, penggunaan langsung, oleh pengguna ataupun kondisi
penyimpanan. Menurut Mortimore dan Wallace (1994) dalam Thaheer
(2008), terdapat tujuh prinsip yang secara garis besar dipergunakan untuk
menetapkan, menerapkan, dan memelihara rencana HACCP (Thaheer,
2008:5).
Komponen Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation
Standard Operating Procedures (SSOP) merupakan persyaratan dasar
bagi berlangsungnya HACCP. Penerapan GMP dan HACCP adalah
implementasi jaminan mutu pangan sehingga produk hasil akhir memiliki
mutu yang baik dan menciptakan kepuasan bagi konsumennya. GMP
adalah pedoman yang berisi penjelasan bagaimana cara memproduksi
makanan agar aman, bermutu dan layak untuk dikonsumsi. Persyaratan
minimum pada GMP harus dipenuhi mulai dari awal hingga akhir pada
proses produksi. Setiap tahap proses produksi harus memiliki dan
melaksanakan rencana tertulis yaitu SSOP. Fungsi dari SSOP yakni
sebagai pengontrol untuk setiap karyawan atau pekerja dalam melakukan
pekerjaan serta sebagai alat untuk menjaga konsistensi kualitas produk
sentra pengolahan bandeng.
HACCP

SSOP

GMP

Gambar 5. Piramida Hubungan GMP, SSOP dan HACCP


(Sumber : Hermansyah et al., 2013)

Prinsip dasar dari GMP adalah mutu suatu produk yang dibuat selama
proses. Jaminan mutu produk tidak hanya untuk mendapatkan spesifikasi
akhir yang diinginkan. Produk yang dibuat melalui sistem keamanan pangan
diperlukan pengendalian mutu dan sistemnya, bahan baku, keseluruhan tahap
produksi, pengujian produk, pelabelan, pemisahan, penyimpanan dan
sebagainya.
9. Good Manufacturing Practices (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Poduksi Makanan
yang Baik merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan
tujuan agar produsen memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen.
GMP juga merupakan program penunjang keberhasilan atau sebagai
persyaratan dasar dalam implementasi sistem HACCP pada suatu sentra
pengolahan bandeng sehingga produk pangan yang dihasilkan benarr-benar
bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen (Thaheer, 2008 :51)
Secara umum, GMP terdiri dari desain dan konstruksi higienis untuk
pengolahan produk makanan, desain dan konstruksi higienis untuk peralatan
yang digunakan dalam proses pengolahan, pembersihan, dan disinfeksi
peralatan, pemilihan bahan baku dan kondisi yang baik, pelatihan dan
higienitas pekerja, serta dokumentasi yang tepat. Komponen dasar GMP
(Thaheer, 2008:59) adalah sebagai berikut :
a. Lokasi Pabrik
Pabrik yang memproduksi pangan sebaiknya berada pada daerah
yang bebas pencemaran, tidak berada di daerah yang mudah banjir, jauh
dari sarang hama hewan pengerat seperti tikus, jauh dari pembuangan
sampah dan sebaiknya pabrik pengolahan pangan jauh dari pemukiman
penduduk yang terlalu padat dan kumuh.
b. Keadaan Lingkungan
Keadaan lingkungan harus selalu dalam kondisi yang baik yaitu
sampah dan limbah pabrik sebaiknya dikumpulkan pada tempat khusus
dan sebaiknya segera dibuang, tempat sampah selalu dalam keadaan
tertutup agar tidak menimbulkan bau dan mencegah pencemaran
lingkungan, sistem pembuangan dan pengolahan limbah harus selalu
dipantau, saluran pembuangan berjalan lancar agar air tidak tergenang dan
sarana jalan hendaknya diaspal atau dicor serta dilengkapi dengan sistem
drainase yang baik.
c. Bangunan dan Fasilitas Pabrik
Bangunan dan fasilitas pabrik yang meliputi peralatan dan sarana
pengolahan yang baik dirancang sejak awal pembangunan pabrik agar
dapat menjamin dan menjaga pangan yang diproduksi tidak tercemar.
Denah lokasi dan tata letak pabrik harus diatur sesuai dengan arus proses
produksi agar produk tidak tercemar akibat adanya kontaminasi silang.
Gudang (tempat penyimpanan) sebaiknya mengikuti sistem FIFO (First
In First Out), yaitu bahan yang pertama kali masuk ke dalam gudang
hendaknya juga yang keluar pertama kali dari gudang.
d. Peralatan Pengolahan
Peralatan pengolahan pangan merupakan peralatan pilihan dan
terpelihara dengan baik. Penempatan peralatan disusun sesuai dengan
alur pengolahan agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan yang
digunakan untuk pengukuran seperti timbangan, termometer, pengukur
kelembaban udara, pengukur tekanan dan lainnya sebaiknya dikalibrasi
setiap periode.
e. Fasilitas Sanitasi
Kegiatan sanitasi dilakukan untuk menjamin bahwa semua
peralatan, ruang pengolahan, ruang penyimpanan, peralatan pengolahan
dan peralatan penyimpanan selalu terjaga dari faktor-faktor pencemaran
dan menjaga kebersihannya.
1) Sumber Air
Air harus dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi semua
kebutuhan pencucian dan pembersihan serta pengolahan dan
penanganan limbah. Air yang kontak langsung dengan permukaan
bahan pangan harus memenuhi persyaratan khusus seperti persyaratan
bahan baku air untuk minum.
2) Pembuangan Air Limbah
Sistem pembuangan air dan limbah harus berjalan dengan baik.
Saluran pembuangan dirancang dengan tepat sehingga tidak
mencemari air bersih dan bahan pangan.
3) Fasilitas Pencucian dan pembersihan
Fasilitas pencucian dan pembersihan harus dilengkapi dengan
sumber air panas agar kotoran berlemak atau berminyak dapat
dibersihkan dengan baik serta dapat membunuh mikroorganisme
berbahaya. Fasilitas pembersihan yang digunakan untuk peralatan
pangan sebaiknya dipisahkan dengan fasilitas pembersihan untuk
peralatan dan perlengkapan lainnya.
4) Fasilitas Higien Karyawan
Fasilitas higien karyawan meliputi tempat mencuci tangan
yang dilengkapi dengan sabun, mesin pengering tangan, tempat ganti
pakaian dan toilet dengan keadaan selalu bersih dan jumlahnya
mencukupi untuk seluruh karyawan. Satu buah toilet untuk 10
karyawan dan penambahan satu buah toilet untuk setiap penambahan
25 karyawan.
5) Penerangan
Sistem penerangan yang baik dapat dilakukan dengan
penyinaran matahari ataupun melalui lampu penerangan. Lampu
penerangan harus cukup terang.
f. Higienitas Karyawan
Karyawan yang bekerja pada industri pengolahan pangan sangat
mempengaruhi mutu akhir produk yang dihasilkan. Karyawan yang sakit,
kotor, jorok, tidak disiplin dan tidak dapat bekerja dengan baik bisa
menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap produk. Oleh karena itu,
perlu adanya standar sanitasi dan higien pada karyawan.
1) Kesehatan Karyawan
Karyawan yang bekerja harus dalam kondisi sehat dan prima
serta tidak sakit atau membawa penyakit. Karyawan yang sakit
sebaiknya tidak diperkenankan untuk bekerja atau diistirahatkan
karena dapat menggangu jalannya proses produksi dan juga bisa
mencemari produk yang akan dihasilkan.
2) Kebersihan Karyawan
Perlengkapan bekerja karyawan harus lengkap. Perlengkapan
ini terdiri atas baju kerja, penutup kepala, sepatu, sarung tangan,
masker dan perlengkapan bekerja tersebut tidak boleh dibawa keluar
dari pabrik. Karyawan harus selalu menjaga kebersihannya dengan
mencuci tangan menggunakan sabun sebelum dan sesudah bekerja,
setelah keluar dari toilet, setelah menangani bahan kotor, bahan
mentah dan hal lainnya yang dapat menyebabkan pencemaran melalui
bagian tubuh karyawan.
3) Kebiasaan Buruk Karyawan
Karyawan yang memiliki kebiasaan buruk sebaiknya diawasi.
Kebiasaan buruk tersebut seperti meludah, merokok, makan atau
mengunyah,bersin atau batuk. Selama mengolah pangan karyawan
tidak diperkenankan menggunakan jam tangan, peniti, bros dan
aksesori lainnya yang jika terjatuh ke dalam pangan dapat
membahayakan konsumen.
g. Penyimpanan
Penyimpanan harus disesuaikan dengan bahan yang disimpan. Jika
bahan mentah sebaiknya disimpan sesuai dengan standarnya. Bahan
sebaiknya disimpan dengan cara yang baik dan tepat untuk memudahkan
produsen dalam mengambil dan menggunakan bahan, menjaga mutu dan
kualitas, menjaga keamanan pangan, mencegah pencemaran dan
mencegah tertukarnya bahan yang digunakan.
h. Transportasi
Penyaluran produk pangan hingga sampai kepada tangan
konsumen transportasi yang baik sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas dan mencegah terjadinya pencemaran. Tempat membawa atau
wadah pangan yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik
produknya. Wadah tersebut harus mudah dibersihkan, tidak mencemari
produk pangan, melindungi secara fisik, mudah didesinfeksi, mencegah
terjadinya pencemaran, memudahkan pemeriksaan penyimpanan dan
dapat mempertahankan bentuk dan kondisi produk yang disimpan.
i. Laboratorium
Produk pangan yang akan dikonsumsi harus dalam kondisi aman
untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan masalah kesehatan. Oleh
karena itu, pada proses produksi produk pangan perlu dilakukan
pemeriksaan secara tepat. Laboratorium pemeriksaan dibutuhkan dalam
proses pemeriksaan produk pangan. Laboratorium ini berfungsi untuk
memudahkan pemeriksaan secara cepat dan tepat terhadap mutu bahan
yang diterima dan produk yang dihasilkan serta pengecekan silang jika
terjadi penyimpangan pada produk yang berada dipasaran. Setiap
pemeriksaan tersebut menyebutkan nama pangan, tanggal pembuatan,
tanggal pengambilan contoh, jumlah contoh yang diambil, kode produksi,
jenis pemeriksaan yang dilakukan, kesimpulan produk, nama pemeriksa
dan hal lainnya yang dibutuhkan. Dianjurkan bagi sentra pengolahan
bandeng yang belum memiliki laboratorium pemeriksaan untuk
memeriksakan produknya pada laboratorium lain di luar sentra
pengolahan bandeng tersebut.
j. Bahan Pengemas
Syarat bahan pengemas yang baik adalah tidak beracun, tidak
menimbulkan penyimpangan yang berbahaya bagi kesehatan, tidak
menimbulkan reaksi dengan bahan pangan, tahan terhadap perlakuan
selama proses pengolahan, pengangkutan dan distribusi. Bahan pengemas
juga harus mampu melindungi produk pangan dari sinar matahari, panas,
kotoran, kelembaban, air, benturan dan lain-lain. Sebelum digunakan
bahan pengemas perlu diperiksa kondisinya, dibersihkan dan dilakukan
sanitasi apabila diperlukan kondisi yang aseptik.
k. Mutu Produk Akhir
Produk akhir perlu dianalisa mutu organoleptik, fisik, kimia atau
mikrobiologinya untuk mengetahui mutu akhir produk sehingga produk
siap untuk dipasarkan. Produk akhir yang bermutu baik dan memenuhi
persyaratan akan menjamin mutu dan keamanan produk serta dapat
menjaga dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang
dihasilkan. Produk akhir seharusnya memiliki standar mutu atau
persyaratan yang ditetapkan dari segi mutu fisik, mikrobiologis, kimia
serta aman dan tidak membahayakan kesehatan. Sentra pengolahan
bandeng dapat menentukan sendiri standar mutu atau persyaratan produk
akhir jika belum memiliki standar mutu atau persyaratan produk akhir.
l. Labelling
Informasi mengenai isi produk, kandungan dan semua informasi
tentang produk harus dicantumkan pada kemasan. Keterangan dapat
berupa label, lot atau batch. Fungsi label adalah untuk menginformasikan
tentang produk agar konsumen dapat menangani, mengkonsumsi,
mengolah atau menyajikan produk dengan cara yang tepat. Lot atau batch
harus mudah diidentifikasikan jika terjadi penarikan produk ataupun
pergantian stok pangan. Setiap wadah seharusnya diberikan tanda nama
produsen dan nomor lot.
m. Manajemen dan Pengawasan
Aplikasi GMP harus melibatkan seluruh Sumber Daya Manusia
(SDM) yang ada di dalam sentra pengolahan bandeng termasuk dari
manajemen pusat hingga karyawan. Kegiatan pengawasan harus
dilakukan secara rutin dan berkelanjutan serta dikembangkan dan dikelola
agar memperoleh efektivitas dan efisiensi yang lebih baik.
10. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) merupakan
prosedur yang dibuat untuk membantu industri pangan dalam
mengembangkan dan menerapkan prosedur pengawasan sanitasi, melakukan
monitoring sanitasi, serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi (Thaheer,
2008:80).
Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang maksimal
dalam kegiatan produksi, persiapan penyimpanan, penyajian makanan, dan air
sanitasi. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap
cara penanganan pangan. Program sanitasi dan hygiene yang efektif
merupakan kunci untuk pengontrolan pertumbuhan mikroba pada produk dan
industri pengolahan makanan. Prinsip dasar sanitasi meliputi dua hal, yaitu
membersihkan dan sanitasi. membersihkan yaitu menghilangkan mikroba dan
sanitasi merupakan langkah menggunakan zat kimia atau metode fisika untuk
menghilangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal pada permukaan alat
dan mesin pada pengolah makanan.
Menurut FDA (1995), SSOP terdiri atas delapan aspek utama yaitu :
a. Keamanan Air
b. Kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan
c. Pencegahan kontaminasi silang
d. Kebersihan karyawan atau pekerja
e. Perlindungan dari adulterasi
f. Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang tepat
g. Pengawasan kondisi kesehatan karyawan / pekerja
h. Pencegahan dan pemberantasan hama.
SSOP merupakan salah satu faktor penunjang dalam keberhasilan,
efektivitas, dan efisiensi HACCP, serta menjabarkan prosedur pabrik dalam
mengolah pangan, mengamankan pangan secara saniter. SSOP harus disusun
secara rinci dan tertulis. SSOP setidaknya mengandung prosedur untuk
mencegah terjadinya pencemaran sebelum proses produksi, selama proses
produksi dan setelah proses produksi.
11. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau analisa
bahaya dan titik kendali kritis merupakan suatu sistem manajemen yang
digunakan untuk melindungi makanan dari bahaya biologi, kimia,dan fisik
yang diterapkan sebagai upaya pencegahan terhadap bahaya yang
diperkirakan dapat terjadi, dan bukan merupakan reaksi dari munculnya
bahaya (Rauf, 2013:27). Evaluasi HACCP dalam pengolahan pangan
dilakukan dalam 4 tahap yaitu pendiskripsian produk, pendiskripsian tujuan
penggunaan produk, penyusunan diagram alir, dan penerapan prinsip-prinsip
HACCP (Rauf, 2013:30) yang terdiri dari :
a. Melakukan analisis potensi bahaya
b. Menentukan titik kendali kritis
c. Menentukan batas kritis
d. Menentukan prosedur monitoring
e. Menentukan tindakan koreksi
HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang
dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan
pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Tujuan dari penerapan
HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya
bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi
tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak
bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan
didistribusikan. Penerapan HACCP dalam industri pangan memerlukan
komitmen yang tinggi dari pihak manajemen sentra pengolahan bandeng yang
bersangkutan. Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana
7 prinsip HACCP tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan
dan penerapan sistem HACCP menurut CAC disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Langkah Penyusunan dan Implementasi Sistem HACCP


Sumber : Panduan Penyusunan Rencana HACCP dalam eBookPangan (2006:7)
a. Tim HACCP
Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana
HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua
komponen dalam industri yang terlibat dalam menghasilkan produk
pangan yang aman. Tim HACCP sebaiknya terdiri dari individu-individu
dengan latar belakang pendidikan atau disiplin ilmu yang beragam, dan
memiliki keahlian spesifik dari bidang ilmu yang bersangkutan,
misalnya ahli mikrobiologi, ahli mesin/engineer, ahli kimia, dan lain
sebagainya sehingga dapat melakukan brainstorming dalam mengambil
keputusan. Tim HACCP harus membuat rencana HACCP (HACCP Plan),
memverifikasi dan mengimplementasikan sistem HACCP. Tim harus
mempunyai pengetahuan tentang bahaya-bahaya yang menyangkut
keamanan pangan. Jika masalah yang ada tidak dapat dipecahkan secara
internal, maka perlu meminta saran dari ahli atau konsultan HACCP.
Tim juga harus memutuskan lingkup HACCP yang meliputi
dimana harus memulai dan dimana harus berhenti serta apa saja yang
harus dimasukkan dalam sistem HACCP. Tim HACCP juga harus
mensosialisasikan sebab-sebab atau mengapa sentra pengolahan bandeng
atau pabrik menerapkan sistem HACCP. Tim HACCP harus memiliki
pengertian tentang produk selengkap mungkin. Seluruh komposisi produk
secara rinci harus diketahui dan dimengerti. Informasi ini akan sangat
penting untuk bahaya mikrobiologi karena komposisi produk harus
diperiksa berkaitan dengan kemampuan patogen untuk tumbuh.
b. Deskripsi Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi
atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCP.
Deskripsi produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai
produk, termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan,
daya simpan, cara distribusi, serta keterangan lain yang berkaitan dengan
produk. Seluruh informasi tersebut diperlukan tim HACCP untuk
melakukan evaluasi secara luas dan komprehensif. Penetepan deskripsi
produk perlu diperhatikan dan diidentifikasi informasi yang akan
berkaitan dengan program HACCP, agar memberi petunjuk dalam rangka
identifikasi bahaya yang mungkin terjadi, serta untuk membantu
pengembangan batas-batas kritis.
c. Identifikasi Rencana Penggunaan Produk
Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim HACCP yang menuliskan
kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk.
Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk
tersebut yang dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat
khusus.
d. Penyusunan Diagram Alir Proses
Penyusunan diagram alir proses harus disusun oleh tim HACCP
dimana pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses
sejak diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk jadi
untuk disimpan. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk
menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini
selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan
kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga
lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.
e. Verifikasi Diagram Alir Proses
Pembuatan diagram alir harus dilakukan peninjauan dalam
pelaksanaannya untuk menguji dan membuktikan ketetapan serta
kesempurnaan diagram alir proses yang telah disusun oleh tim HACCP.
Apabila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau
kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Tim HACCP harus
mengkonfirmasikan operasi pengolahan berdasarkan GAP (Good
Agricultural Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good
Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan atau
GCP (Good Catering Practices) serta prinsip-prinsip sanitasi dengan
diagram alir selama semua tahapan dan jam operasi dan merubah diagram
alir dimana yang tepat.
f. Analisa Bahaya (Prinsip 1)
Setelah lima langkah sistem HACCP terpenuhi, tim HACCP
melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara
pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk
dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses
produksi, penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap penggunaan
oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-
bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan
sejak awal hingga ke tangan konsumen. Analisa bahaya terdiri dari tiga
tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan
(preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi
suatu bahaya.
Tim HACCP dalam melakukan identifikasi HACCP harus
mendaftar semua bahaya potensial yang terkait dengan setiap tahap dan
sedapat mungkin mengindentifikasi tindakan pencegahannya. Beberapa
jenis bahaya yang dapat mempengaruhi atau membahayakan konsumen
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis-Jenis Bahaya Produk Bandeng Duri Lunak

Jenis Contoh
Bahaya
Biologi - Sel Vegetatif : Salmonella sp, Escherichia
coli
- Kapang : Aspergillus, Penicillium,
Fusarium
- Virus : Hepatitis A
- Parasit : Cryptosporodium sp
- Spora Bakteri : Clostridium botulinum, Bacillus
cereus
Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak
diizinkan, residu pestisida, logam berat, bahan
allergen
Fisika Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu
kerikil, rambut, kuku, perhiasan

Sumber : Model Rencana HACCP Industri Bandeng Duri Lunak dalam


eBookPangan (2006:08)

Tabel 6 menunjukan bahwa tim HACCP bertugas untuk


melakukan identifikasi HACCP dan harus mendaftar semua bahaya
potensial yang terkait dengan setiap tahap dan sedapat mungkin
mengindentifikasi tindakan pencegahannya. Terdapat beberapa jenis
bahaya dalam bisnis pangan yang dapat mempengaruhi secara negatif
atau membahayakan konsumen, yaitu bahaya biologis, bahaya kimia dan
bahaya fisik. Setelah mengidentifikasi, tim HACCP mengelompokkan
bahaya menjadi enam kategori bahaya yang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik Bahaya Produksi Bandeng Duri Lunak


Bahaya Karakteristik Bahaya
Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat
A untuk konsumsi kelompok beresiko (lansia, bayi,
immunocompromised).
B Produk mengandung ingredient sensitive terhadap
bahaya biologi, kimia, atau fisik.
Prosestidak memiliki tahap pengolahan yang
C terkendali yang secara efektif membunuh mikroba
berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau
fisik.
D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah
pengolahan sebelum pengemasan.
Potensi terjadinya kesalahan penanganan selama
E distribusi/konsumen.
F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan
atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan
akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah
pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan
baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk
mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan
bahaya kimia atau fisik.
Sumber : Model Rencana HACCP Industri Bandeng Duri Lunak dalam
eBookPangan (2006:09)

Penentuan resiko atau peluang terjadinya suatu bahaya, dapat


dilakukan penetapan kategori resiko yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Penetapan Kategori Risiko
Karakteristik Bahaya Kategori Jenis Bahaya
Risiko
0 0 Tidak mengandung bahaya
A sampai F
(+) I Mengandung satu bahaya B
sampai F
(++) II Mengandung dua bahaya B
sampai F
(+++) III Mengandung tiga bahaya B
sampai F
(++++) IV Mengandung empat bahaya
B sampai F
(+++++) V Mengandung lima bahaya
B sampai F
A+ (kategori khusus) VI Kategori risiko paling
dengan atau tanpa tinggi (semua produk yang
bahaya B-F mempunyai bahaya A)
Sumber : Model Rencana HACCP Industri Bandeng Duri Lunak dalam
eBookPangan (2006:10)

Penetapan kategori risiko dapat diterapkan pada seluruh proses


produksi yang dikategorikan hingga VI kategori risiko. Selain itu, bahaya
juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya yang diputuskan oleh
tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (reasonably likely to
occur) dan keparahan (severity) suatu bahaya.
g. Penetapan Critical Control Point (Prinsip 2)
Critical Control Point atau Titik Kendali Kritis dan biasa dikenal
dengan CCP didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur
dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan
dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat
diterima. Setiap bahaya yang telah diidentifikasi, maka akan ditentukan
satu atau beberapa CCP yang dapat dan wajib untuk dikendalikan. CCP
dapat diidentifikasi dengan menggunakan pengetahuan tentang proses
produksi dan semua potensi bahaya dan signifikasi bahaya dari analisa
bahaya serta tindakan pencegahan yang ditetapkan. Namun demikian
penetapan lokasi CCP hanya dengan keputusan dari analisa signifikansi
bahaya dapat menghasilkan CCP yang lebih banyak dari yang seharusnya
diperlukan. Sebaliknya juga sering terjadi negoisasi deviasi yang
menyebabkan terlalu sedikitnya CCP yang justru dapat membahayakan
keamanan pangan.
Codex Alimentarius Commission GL/32 1998 telah memberikan
pedoman berupa Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree).
Diagram pohon keputusan merupakan seri pertanyaan logis yang
menanyakan setiap bahaya. jawaban dari setiap pertanyaan yang akan
memfasilitasi dan membawa Tim HACCP secara logis memutuskan
apakah CCP atau bukan. Diagram ini dapat membawa pola pikir analisa
yang terstrukur dan memberikan jaminan pendekatan yang konsisten pada
setiap tahap dan setiap bahaya yang teridentifikasi.
Gambar 7. Diagram Pohon Keputusan Penentuan CCP
Sumber : Panduan Penyusunan Rencana HACCP Bagi Industri Pangan
dalam eBookPangan (2006:29)
Diagram pohon ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang
mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga
diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang
sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari kontaminasi silang yang
dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya dan
mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.
h. Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)
Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus
dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini
akan memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa
kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin
bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis harus
dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut
digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya
dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di
bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya.
Penerapan CL memerlukan pertanyaan yang harus dijawab yaitu
apakah komponen kritis berhubungan dengan CCP atau tidak. Suatu CCP
memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin
keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam
batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan
batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari
karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji
cepat untuk pengukuran tersebut.
i. Penetapan Prosedur Pemantauan untuk setiap CCP (Prinsip 4)
Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan
pengamatan terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses
mengendalikan CCP dan CL untuk menjamin bahwa CL tersebut
menjamin keamanan produk. CCP dan CL dipantau oleh personel yang
terampil serta dengan frekuensi yang ditentukan berdasarkan berbagai
pertimbangan, misalnya kepraktisan. Pemantauan dapat berupa
pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu checklist atau pun
merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet.
Tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara pemantauan, waktu
dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang
melakukan pemantauan.
j. Penetapan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap
batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi
penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan.
Produk pangan yang berisiko tinggi mendapat tindakan koreksi berupa
penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi
atau diperbaiki, atau produk ditahan atau tidak dipasarkan dan diuji
keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain
menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan
kerja ulang produk, serta tindakan pencegahan seperti memverifikasi
setiap perubahan yang telah diterapkan dalam proses dan memastikannya
agar tetap efektif.
k. Verifikasi Program HACCP (Prinsip 6)
Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk
menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP
yang ditetapkan. Kesesuaian program HACCP diperiksa melalui
kegiatan verifikasi. Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak
terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat
dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai
keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh produk
tersebut.
l. Perekaman atau Dokumentasi Data (Prinsip 7)
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh
program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan
dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup
semua catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan
koreksi yang dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi
dan sebagainya. Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada
inspektur pengawas makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat
juga digunakan oleh operator.

B. Kerangka Pemikiran
Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas merupakan home industri dengan salah satu produknya
yaitu bandeng duri lunak. Sentra pengolahan bandeng sadar akan pentingnya
menerapkan sistem keamanan pangan agar produk yang dihasilkan aman
dikonsumsi untuk konsumen. Penelitian mengenai analisis penerapan sistem
HACCP di Sentra Pengolahan Bandeng Desa Adisara dilakukan Gap Analysis
dengan membandingkan panduan sentra pengolahan bandeng yang mengacu
berdasarkan SNI 01-4852-1998 dengan penerapan sistem HACCP yang sedang
dilakukan oleh sentra pengolahan bandeng dari segi kelengkapan panduan dan
konsistensi penerapan. Gap Analysis dilakukan untuk dapat mengetahui
kesenjangan yang terjadi dari segi kesesuaian panduan dan penerapan yang
kemudian perlu dilakukan perbaikan dari setiap langkah penerapan HACCP yang
belum sesuai. Kerangka pemikiran penelitian yang menjadi langkah yang
dilakukan peneliti untuk mencapai hasil sesuai dengan rumusan masalah
disajikan pada Gambar 8.

C. Hipotesis
Rancangan Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang meliputi GMP,
SSOP dan Sistem HACCP pada Sentra Pengolahan Bandeng Adisara diduga
berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan pengusaha dalam
melaksanakan Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan.
Produksi Bandeng Duri Lunak

Sistem Keamanan Pangan Sentra Pengolahan

Good
Manufacturing Sanitation Standard Operating Hazard Analysis And Critical
Practices (GMP) Procedure (SSOP) Control Point (HACCP)

Pedoman Cara Teori Kunci SSOP Panduan HACCP yang Penerapan


mengacu pada SNI 01-4852-
Produksi Pangan Food and Drug HACCP
1998 dan Badan Standarisasi
Olahan yang Baik Administration USA Nasional (BSN) 1004-2002 Perusahaan
(CPPOB) 2010

Formulir Checklist GAP ANALYSIS


Penilaian dengan Range CHECKLIST
Nilai 0-4

Wawancara, Wawancara,
Obervasi, Obervasi,
Instrumen dan Instrumen dan
Dokumen Dokumen

Memenuhi Tidak Kesenjangan


Memenuhi Penerapan

Rekomendasi Wawancara,
Tindak Lanjut Observasi, dan
Literatur

Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian


III. METODE PENELITIAN

A. Diagram Alir Penelitian


Secara umum langkah penelitian ini akan ditampilkan dalam diagram
sebagai berikut :

Studi literatur (pengumpulan data, buku dan jurnal) yang berkaitan


dengan HACCP pengolahan bandeng duri lunak

Pelaksanaan penelitian (penelitian di lapangan yaitu dengan observasi


dan wawancara secara langsung dengan memberikan kuesioner dan
penelitian di laboratorium untuk mengidentifikasi bahaya fisik, kimia
dan biologi)

Analisis data (menganalisa hasil dari penelitian dan membandingkan


hasil penelitian dengan kondisi nyata di sentra industri bandeng duri
lunak serta membandingkan dengan implementasi HACCP

Kesimpulan dan saran (menyimpulkan hasil dari penelitian dan


memberikan saran atau solusi untuk perbaikan)

Penyusunan laporan

Gambar 9 Diagram Alir Penelitian


B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Sentra Bandeng Desa Adisara
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas. Sedangkan analisis laboratorium
dilakukan di Laboratorium Pangan dan Gizi serta Laboratorium Mikrobiologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian dilakukan pada
bulan Agustus sampai Oktober 2021

C. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang akan digunakan dalam penelitian dan observasi lapangan
yaitu bandeng duri lunak, bumbu pelengkap bandeng duri lunak, bahan
pengemas, pustaka yang berkaitan dengan HACCP, data dari instansi-instansi
yang terkait. Bahan yang digunakan untuk analisis laboratorium antara lain
bandeng duri lunak, aquades, PCA (Plate Count Agar), dan NaCl 0,85%
Alat yang digunakan dalam penelitian observasi lapangan yaitu kuisioner,
perangkat lunak komputer berupa Microsoft Excel 2010 dan Microssoft Word
2010. Alat yang digunakan untuk analisis laboratorium, antara lain timbangan
analitik, cawan porselen, oven, desikator, tanur, kompor listrik, timbangan
digital, kertas saring, thermometer, autoklaf, erlenmeyer, tabung reaksi, gelas
ukur, mikropipet, cawan petri, dan inkubator

D. Metode Penelitian Laboratorium


Sampel yang terlibat dalam penelitian ini adalah pengolah bandeng duri
lunak di Desa Adisara. Pemilihan desa menggunakan metode purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan kriteria atau
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sebelumnya ditetapkan oleh peneliti
(Santjaka, 2008). Kriteria pemilihan Desa Adisara dikarenakan desa terseburt
merupakan sentra pengolah bandeng duri lunak di Kecamatan Jatilawang.
Skala produksi bandeng duri lunak dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok pertama adalah pengolah kecil dengan hasil bandeng duri lunak kurang
dari 20 kg/hari, kelompok kedua adalah pengolah pengolah menengah dengan
hasil 20-80 kg/hari, dan kelompok ketiga adalah perajin besar dengan hasil lebih
dari 80 kg/hari.
Sampel dipilih kelompok ketiga yaitu perajin besar dengan hasil bandeng
duri lunak lebih dari 80 kg/hari. Hal ini dikarenakan semakin besar jumlah
produksi maka pengendalian mutu bahan baku, proses produksi maupun produk
akhir harus benar-benar dilaksanakan, karena jika pengolah bandeng tidak
melakukan pengendalian mutu maka dikhawatirkan produk yang dihasilkan tidak
baik.
Berdasarkan survei pendahuluan, terdapat 25 pengolah bandeng duri
lunak dengan skala produksi diatas 80 kg, selanjutnya sampel diambil sampel
sensus. Sensus merupakan pengamatan semua anggota populasi.
Variabel yang diukur meliputi (a) tingkat penerapan GMP, (b) Tingkat
penerapan SSOP, (c) identifikasi bahaya fisik, kimia dan biologi, (d) penetapan
critical control point.
1. Tingkat Penerapan GMP
Tingkat penerapan GMP diketahui dengan memberikan kuisioner dan
wawancara secara langsung kepada pengolah bandeng duri lunak serta
observasi di tempat industri. Kuisioner berisi tentang aspek GMP. Nilai
penerapan GMP pada masing-masing sampel dihitung dengan cara
menjumlahkan nilai pada masing-masing sampel dihitung dengan cara
menjumlahkan nilai pada masing-masing point pertanyaan kemudian dibagi
dengan nilai maksimal dan dikalikan 100, maka akan diperoleh persentase
tingkat penerapan GMP (Singgih, 2001). Nilai tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kategori baik jika nilai ≥80%,
kategori cukup baik jika nilai 60-60%, dan kategori tidak baik jika nilai <60%
(Sari dan Yuliati, 2001)
a. Kadar air (Sudarmadji et al., 2007)
Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2 g dalam
cawan timbang yang telah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan dalam
oven dengan suhu 100-105oC selama 3-5 jam tergantung bahannya.
Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang, dipanaskan lagi
dalam oven 30 menit, didinginkan dalam desikatir dan ditimbang.
Perlakuan ini diulang sampai tercapai berat konstan (selisih pertimbangan
berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Pengukuran berat merupakan
banyaknya air dalam bahan.
A-B
Kadar Air (%) = x 100 %
C
Keterangan :
A = berat sampel + cawan (g)
B = berat sampel + cawan konstan (g)
C = berat sampel (g)

b. Kadar abu (Sudarmadji et al., 2007)


Analisis kadar abu dilakukan karena kadar abu biasanya
menggambarkan banyaknya kandungan mineral yang ada. Analisis kadar
abu dilakukan dengan cara sampel ditimbang ± 1 gram dalam cawan
porselin kering yang sudah diketahui bobotnya, selanjutnya dipanaskan
dengan penangas listrik sampai asapnya hilang. Kemudian diabukan
dalam tanur selama 4 jam dan dimasukkan kedalam desikator dan
ditimbang beratnya, kemudian dihitung % kadar abunya, dengan rumus :
Berat abu (g)
Kadar Abu (%bb) = x 100 %
Sampel sebelum diabukan (g)

kadar abu (bb)


Kadar Abu (%bk) = x 100 %
100 – kadar air

Keterangan : berat abu = (cawan+sampel sesudah diabukan) – cawan


kosong

c. Bagian yang tidak larut air (Badan Standarisasi Nasional, 1992a)


Bagian yang tidak larut air adalah zat-zat kotoran seperti pasir,
potongan daun, serangga dan lain-lain. Analisis bagian tidak larut air
dilakukan dengan cara kertas saring dioven pada suhu 105 oC selama 3
menit dan didinginkan dalam desikator kemudian timbang. 20 gram
sampel dimasukkan dalam baker glass 400 ml, ditambahkan 200 ml air
panas dan diaduk hingga larut. Kemudian dalam keadaan panas, larutan
tersebut disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya,
kemudian gelas piala dan kertas saring dibilas dengan air panas. Kertas
saring dioven pada suhu 105oC selama 2 jam, didinginkan dalam
desikator dan ditimbang bobotnya. Rumus untuk menghitung bagian yang
tidak larut air adalah :
A-B
% bagian tidak larut = x 100 %
C

Keterangan :
A = kertas saring + sampel setelah oven (g)
B = kertas saring kering (g)
C = berat sampel (g)

2. Tingkat Penerapan SSOP


Tingkat penerapan SSOP diketahui dengan memberikan kuisioner dan
wawancara secara langsung kepada pengolah bandeng duri lunak serta
observasi di tempat industri. Kuisioner berisi tentang SSOP pada proses
pengolahan bandeng duri lunak. Nilai penerapan SSOP dan kategori nilai
sama dengan pengukuran pada tingkat penerapan GMP.
a. Pengukuran angka lempeng total (Badan Standarisasi Nasional,
1992b)
Pengukuran mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui jumlah
mikroba. Perhitungan total mikroba menggunakan metode Total Plate
Count (metode angka lempeng total. Media yang digunakan, yaitu media
PCA (Plate Count Agar). Metode Plate Count dilakukan dengan cara
sampel ditimbang 1 gram, kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi
yang sudah berisi 9 ml NaCl 0,85% dan dilakukan pengenceran 10 -1,10-
2
,10-3,10-4 dan 10-5. 1 ml dari pengenceran 10-3,10-4 dan 10-5 dimasukkan ke
dalam cawan petri steril menggunakan mikropepit. Setiap cawan petri
dituangkan sebanyak 12-15 ml media PCA yang dicairkan bersuhu 45 oC.
Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati hingga tercampur rata.
Campuran dalam cawan petri dibiarkan hingga menjedal. Semua cawan
petri dengan posisi terbalik dimasukkan ke dalam lemari pengeram
(inkubator) dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 72 jam. Angka
lempeng total dihitung koloni per gram.
3. Pengukuran identifikasi bahaya fisik, kimia dan biologi
Pengukuran identifikasi bahaya fisik, kimia, dan biologi dilakukan
dengan mengkategorikan bahaya tersebut kedalam signifikansi resiko bahaya
rendah, sedang, atau tinggi.

E. Metode Penelitian Lapangan


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metodologi
kualitatif merupakan suatu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata - kata tertulis atau lisan dari orang - orang berperilaku yang dapat diamati
dan pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik atau
utuh (Moleong, 2013: 4). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk
mendeskripsikan bagaimana kesenjangan penerapan Sistem HACCP yang
diterapkan oleh Sentra Pengolahan Bandeng Duri Lunak dan menetapkan
rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan sentra pengolahan bandeng
untuk perbaikan sistem HACCP.
1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder
yang bersifat data kualitatif dan kuantitatif serta bersumber dari internal dan
eksternal sentra pengolahan bandeng. Jenis dan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Data primer
Data primer merupakan data yang bersumber langsung dari hasil
pengamatan berupa opini, sikap, dan karakterisktik dari seseorang atau
kelompok orang yang menjadi subjek penelitian (responden). Data primer
diperoleh dari hasil observasi (pengamatan langsung), dan wawancara.
Informan merupakan orang yang akan memberikan informasi lebih detail
terkait penelitian. Dalam penelitian ini yang akan menjadi informan yaitu
Ketua Paguyuban Pengolah dan Pemasar Bandeng Duri Lunak Adisara.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang sifatnya mendukung
keperluan data primer melalui literatur ataupun studi pustaka yang
berkaitan dengan penelitian. Data sekunder bersumber dari buku, artikel,
penelitian terdahulu, jurnal, dan dokumen resmi sentra pengolahan
bandeng terkait dengan sistem keamanan pangan yang berupa panduan
manual sistem HACCP, panduan sistem persyaratan dasar HACCP yaitu
GMP dan SSOP serta dokumentasi kegiatan keamanan pangan Sentra
Pengolahan Bandeng Adisara
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian bertujuan untuk mendapatkan
data yang relevan, akurat dan realible sesuai dengan apa yang diperlukan
untuk kebutuhan penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Lapangan
Peneliti mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini
dengan cara melakukan observasi (pengamatan langsung), dan
wawancara yang akan diuraikan sebagai berikut
1) Observasi adalah teknik atau pendekatan untuk mendapatkan data
dengan cara mengamati langsung objek datanya. Peneliti melakukan
observasi dengan mengamati langsung kegiatan sistem keamanan
pangan HACCP Sentra Pengolahan Bandeng Adisara yang dimulai
dari kegiatan proses penerimaan bahan baku, penyiangan, pencucian,
pelumuran bumbu, penyusunan ikan, pemasakan ikan, pendinginan,
pengemasan. Proses pengamatan dilakukan dengan melakukan
kesesuaian sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
dan sistem persyaratan dasar yaitu GMP dan SSOP dengan panduan
sentra pengolahan bandeng dalam proses produksi bandeng duri
lunak.
2) Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengadakan tanya jawab, baik secara langsung maupun
tidak langsung secara bertatap muka (personal face to face interview)
dengan sumber data (informan). Kegiatan wawancara digunakan
untuk memperoleh informasi secara akurat dan mendalam serta untuk
mengklarifikasi hasil observasi lapang. Wawancara dilakukan
berdasarkan daftar pertanyaan yang dibuat, namun dimungkinkan
adanya variasi pertanyaan yang sesuai dengan situasi saat wawancara
dilaksanakan. Wawancara melibatkan informan dalam sentra
pengolahan bandeng yang berhubungan dan berkaitan langsung
dengan aktivitas yang diteliti.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder
dari internal sentra pengolahan bandeng dan sebagai landasan teori
penelitian. Data internal sentra pengolahan bandeng didapat dengan cara
sebagai berikut :
1) Menelaah dokumen (on desk research), yaitu mempelajari isi
dokumen untuk menilai penerapan sistem persyaratan dasar HACCP
yaitu GMP dan SSOP sentra pengolahan bandeng berdasarkan
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia nomor 75/M-
IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan
yang Baik (Good Manufacturing Practices) dan penerapan SSOP
berdasarkan Food and Drug Administration USA yang berisi beberapa
kunci sistem SSOP.
2) Menelaah dokumen (on desk research), yaitu mempelajari isi
dokumen untuk menilai penerapan sistem HACCP sentra pengolahan
bandeng berdasarkan panduan menurut SNI 01-4852-1998.
3) Mencari bukti objektif dan informasi terkait implementasi sistem
keamanan pangan sentra pengolahan bandeng. Bukti objektif dapat
berupa catatan, foto kegiatan, absensi kegiatan, atau dokumen dalam
bentuk apapun yang berkaitan dengan sistem keamanan pangan sentra
pengolahan bandeng.
c. Informan
Menurut Sugiyono (2014:18) informan merupakan orang yang
berada pada lingkup penelitian yang dapat memberikan informasi
mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Informan yang dipilih ialah
orang-orang yang memiliki potensi dan pengetahuan untuk dapat
memberikan informasi mengenai pelaksanaan penerapan sistem HACCP
sentra pengolahan bandeng. Informan dalam penelitian ini berjumlah
empat berdasarkan perwakilan yang merupakan anggota tim HACCP
sentra pengolahan bandeng. Wawancara dilakukan oleh peneliti kepada
informan terkait dengan bagaimana sentra pengolahan bandeng
mendapatkan sertifikasi dalam sistem HACCP dimulai dari proses
perencanaan HACCP, penerapan sistem HACCP, hingga rekomendasi
tindak lanjut untuk memperbaiki sistem HACCP sentra pengolahan
bandeng.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk meringkas data yang diperoleh
dengan cara tertentu yang dapat berupa memverifikasi, mengelompokkan
data, mencari kembali data, transformasi, menggabungkan, mengurutkan,
menghitung, mengekstraksi data untuk membentuk informasi dan
pengetahuan. Metode Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu metode analisis deskriptif dimana analisis ini digunakan untuk
menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan
secara umum.
Peneliti merupakan instrumen utama penelitian pada penelitian
kualitatif, dimana peneliti bertindak sebagai perencana yang menetapkan
fokus, memilih informan, pelaksana pengumpulan data, menafsirkan data,
menarik kesimpulan sementara di lapangan dan menganalisis data di lapangan
secara apa-adanya.
a. Model Pendekatan Miles dan Huberman
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model pendekatan Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif terdiri dari 3 tahap (Sugiyono,
2014: 91) yaitu :

1) Data Reduction
Data yang diperoleh dari lapangan berjumlah cukup banyak,
oleh karena itu, maka harus dilakukan analisis data dengan cara
mereduksi data. Mereduksi data ini berarti merangkum, memilah hal-
hal yang penting dan pokok, dan menfokuskan data sesuai tema serta
tujuan penelitian. Data yang telah direduksi dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas dan fokus agar dapat mempermudah
peneliti dalam mengumpulkan data penelitian selanjutnya.
2) Data Display
Setelah selesai melakukan reduksi data, maka dilakukan
penyajian data (data display). Data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi dianalisis kemudian
disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, flowchart, dan sebagainya. Penelitian kualitatif lebih banyak
menggunakan penyajian data dalam bentuk uraian teks yang bersifat
naratif.
3) Conclution Drawing/Verification
Langkah selanjutnya dalam analisis kualitatif adalah penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Berdasarkan data-data yang telah
direduksi dan disajikan, peneliti dapat membuat atau menarik suatu
kesimpulan yang didukung dengan bukti-bukti kuat yang didapat pada
saat pengumpulan data.
Kesimpulan yang didapat dalam penelitian kualitatif, mungkin
dapat menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal,
tetapi mungkin juga tidak. Hal ini dikarenakan rumusan masalah dalam
penelitian kualitatif ini masih bersifat sementara dan dapat berubah serta
berkembang setelah penelitian di lapangan.
Kriteria utama pada data penelitian kualitatif adalah valid,
reliable, dan objektif. Oleh karena itu, uji keabsahan data merupakan
tahap yang sangat penting. Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif
yaitu dengan Credibility (validitas internal). Cara pengujian kredibilitas
data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian adalah dengan
melakukan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan
pengamatan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus
negatif, dan membercheck (Sugiyono, 2014: 92). Teknik pemeriksaan
keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai
berikut :
1) Perpanjangan pengamatan
Kegiatan ini membuat peneliti dapat mengecek kembali
apakah data yang telah diberikan oleh narasumber sudah benar atau
tidak. Jika setelah dilakukan pengecekan kembali terhadap data dan
diketahui bahwa data tersebut tidak benar, maka peneliti dapat
melakukan pengamatan lagi. Perpanjangan pengamatan ini dilakukan
peneliti dengan cara melakukan wawancara kembali kepada para
narasumber untuk mendapat informasi yang lebih mendalam terkait
dengan fokus penelitian.
2) Peningkatan ketekunan pengamatan
Peningkatan ketekunan pengamatan berarti melakukan
pengamatan secara lebih cermat dan juga berkesinambungan.
Peningkatan ketekunan pengamatan menggunakan seluruh panca
indera peneliti sehingga dapat meningkatkan derajat keabsahan data
dan dapat menghasilkan data yang lebih sistematis.
3) Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian ini dapat diartikan sebagai proses
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Triangulasi ini dapat dibagi kedalam tiga kategori,
yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu.
Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, artinya yaitu
mengajukan pertanyaan yang sama kepada beberapa narasumber
untuk menemukan poin kunci terhadap indikator yang telah
ditetapkan peneliti sebagai fokus penelitian ini.

b. Analisis Kesenjangan (GAP Analysis)


Analisis kesenjangan (GAP Analysis) merupakan suatu metode
pengukuran untuk mengetahui kesenjangan antara kinerja suatu variabel
dengan harapan atau standar tertentu. Langkah dalam melakukan analisis
ini yang pertama adalah dengan mengidentifikasi kesenjangan dalam
sistem dengan menggunakan GAP Analysis Checklist. Checklist tersebut
berisi kriteria atau persyaratan yang membentuk sistem yang akan
dianalisis. Setiap kriteria akan diberi nilai atau poin yang dijelaskan
sebagai berikut :
1) Skor 5, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi tidak
memahami apa yang diperlukan atau tidak memiliki hal tersebut.
2) Skor 4, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi tidak memiliki
kriteria namun memahami pentingnya aktivitas tersebut.
3) Skor 3, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi memahami
aktivitas tersebut dan mengerti bahwa itu merupakan suatu hal yang
baik namun tidak melakukannya.
4) Skor 2, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi melakukan
aktivitas terkadang saja.
5) Skor 1, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi melakukan
aktivitas tetapi belum sempurna.
6) Skor 0, jika sentra pengolahan bandeng atau organisasi telah
melakukan aktivitas dengan baik (tidak terdapat kesenjangan).
Penentuan nilai tersebut berdasarkan hasil temuan baik dari
review document, observasi, wawancara, maupun kuesioner di setiap
parameter. Penjelasan mengenai pemberian skor dalam analisis
kesenjangan adalah sebagai berikut.
Skor nol (0) akan diberikan apabila tidak terdapat kesenjangan
sama sekali baik secara dokumen maupun penerapan sistem keamanan
pangan sentra pengolahan bandeng sehingga dinyatakan sentra
pengolahan bandeng telah menerapkannya dengan baik.
Skor satu (1) diberikan apabila sentra pengolahan bandeng telah
melakukan aktivitas yang sesuai dengan ketentuan dari panduan sistem
HACCP menurut SNI 01- 4852-1998 (baik secara dokumen maupun
penerapannya), namun masih terdapat kekurangan dalam aktivitasnya.
Kekurangan tersebut dapat berupa kurang optimalnya sentra pengolahan
bandeng dalam melakukan aktivitas dalam sistem keamanan pangan.
Skor dua (2) diberikan apabila sentra pengolahan bandeng masih
belum konsisten dalam melakukan aktivitas dalam sistem keamanan
pangan. Aktivitas dalam sistem keamanan pangan diimplementasikan
secara menyeluruh dan kontinu, sehingga ketidakkonsistenan baik dari
segi dokumen maupun penerapannya merupakan kesenjangan yang harus
diperbaiki.
Skor tiga (3) diberikan apabila sentra pengolahan bandeng tidak
melakukan aktivitas dalam sistem keamanan pangan, namun prosedur,
ketentuan, kebijakan telah terdapat di sentra pengolahan bandeng dan
mengetahui bahwa hal tersebut seharusnya dilakukan oleh sentra
pengolahan bandeng. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan sentra
pengolahan bandeng tentang sistem keamanan pangan sudah baik, hanya
dari segi penerapannya belum dilaksanakan karena alasan tertentu.
Skor empat (4) diberikan apabila sentra pengolahan bandeng
belum memiliki prosedur, ketentuan, kebijakan yang berhubungan
dengan aktivitas dalam sistem keamanan pangan, namun mengetahui
bahwa hal tersebut sangat penting untuk dilakukan.
Skor lima (5) diberikan apabila sentra pengolahan bandeng tidak
memahami aktivitas sistem keamanan pangan, tidak memiliki prosedur,
kebijakan, ketentuan dalam sistem keamanan pangan sehingga tidak
menerapkan aktivitas tersebut.
Tahap yang kedua dilakukan perhitungan persentase kesenjangan
secara keseluruhan (secara dokumen dan penerapan). Nilai persentase
yang didapat kemudian akan diinterpretasikan sebagai berikut :
1) Nilai 81%-100%, artinya tidak ada dokumentasi maupun aktivitas
system keamanan pangan.
2) Nilai 61%-80%, artinya beberapa aktivitas sistem keamanan pangan
telah dijalankan, namun prosedur belum terdokumentasi atau belum
menjalankan secara konsisten.
3) Nilai 41%-60%, artinya aktivitas sistem keamanan pangan dijalankan
namun belum terdapat mekanisme yang jelas dan sistematis.
Aktivitas pencatatan tidak konsisten dan memiliki kendali harian.
4) Nilai 21%-40%, artinya aktivitas sistem keamanan pangan dijalankan
secara sistematis namun tidak dilakukan dokumentasi terhadap
mekanisme. Aktivitas pencatatan konsisten namun tidak memiliki
kendali harian.
5) Nilai 6%-20%, artinya aktivitas sistem keamanan pangan dijalankan
dan didokumentasikan serta hampir secara keseluruhan memenuhi
persyaratan. Namun masih terdapat sedikit kelalaian dalam sistem
keamanan pangan.
6) Nilai 0%-5%, artinya aktivitas sistem keamanan pangan dijalankan
serta didokumentasikan dengan baik. Seluruh persyaratan dipenuhi,
aktivitas dokumentasi konsisten dan terkendali.
Interpretasi pada setiap kategori telah didiskusikan dengan ahli di
bidang keamanan pangan dalam sentra pengolahan bandeng yaitu Ketua
Paguyuban Sentra Pengolahan Bandeng yang bertujuan untuk mengetahui
keabsahan alat analisis yang digunakan oleh penulis. Langkah selanjutnya
yaitu dengan memberikan rekomendasi tindak lanjut agar dilaksanakan
oleh sentra pengolahan bandeng dalam pengembangan dan perbaikan
sistem keamanan pangan.
c. Formulir Checklist Penilaian GMP dan SSOP
Formulir checklist berisi parameter yang akan diberi skor dengan
melakukan observasi langsung terhadap penerapan GMP dan SSOP sentra
pengolahan bandeng. Hasil dari penilaian dari formulir checklist ini
kemudian dianalisis untuk melihat penyimpangan terhadap penerapan
GMP dan SSOP dan melakukan perumusan rekomendasi tindak lanjut
untuk perbaikan penerapan sistem GMP dan SSOP. Skor dan nilai
persentase serta keterangan dari formulir checklist adalah sebagai berikut:
a. Skor 0 : Nilai Persentase 0% (Memenuhi)
b. Skor 1 : Nilai Persentase 1-25% (Cukup Memenuhi)
c. Skor 2 : Nilai Persentase 26-50% (Kurang Memenuhi)
d. Skor 3 : Nilai Persentase 51-75% (Sangat Kurang Memenuhi)
e. Skor 4 : Nilai Persentase >75% (Tidak Memenuhi)

4. Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu pedoman wawancara, pedoman observasi, dan studi kepustakaan
dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara
dilakukan dengan membuat pedoman wawancara (point of interview) untuk
memudahkan peneliti dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan terkait
dengan fokus penelitian yang diteliti. Teknik observasi dilakukan dengan
menggunakan pedoman observasi (point of observation) untuk memudahkan
peneliti dalam melakukan pengamatan dan pencatatan data apa saja yang
diperlukan dalam penelitian. Studi kepustakaan meliputi dokumen-dokumen
yang dibutuhkan antara lain panduan HACCP berdasarkan SNI 01-4852-
1998, panduan GMP berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia nomor 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi
Pangan Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices) dan panduan
SSOP berdasarkan Food and Drug Administration USA yang berisi
beberapa kunci sistem SSOP. Selain itu form – form lain terkait dengan
penerapan sistem HACCP sentra pengolahan bandeng.
5. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan uraian yang diungkap dalam definisi
konsep secara operasional, secara praktik, secara nyata dalam lingkup objek
penelitian atau objek yang diteliti. Definisi operasional dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :

a. Ikan bandeng merupakan suatu komoditas perikanan yang memiliki


rasa cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari masyarakat.
Selain itu, harganya juga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.
Ikan bandeng digolongkan sebagai ikan berprotein tinggi dan berkadar
lemak rendah.
b. Proses produksi adalah suatu kegiatan untuk menciptakan atau menambah
kegunaan suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor yang
ada seperti tenaga kerja, mesin, bahan baku, dan materi agar lebih
bermanfaat bagi kebutuhan manusia.
c. Bandeng duri lunak adalah produk olahan hasil perikanan dengan
bahan baku ikan utuh yang mengalami perlakuan sebagai berikut:
penerimaan bahan baku, sortasi, penyiangan, pencucian, perendaman,
pembungkusan, pengukusan, pendinginan, pengepakan, pengemasan,
penandaan, dan penyimpanan.
d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia.
e. Sistem Manajemen Keamanan Pangan adalah suatu sistem untuk
menjamin proses produksi dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan dan melindungi produk dari pangan yang tidak memenuhi
standar.
f. Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara
memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen.
g. Sanitation Standard Operating Procedure adalah prosedur yang dibuat
untuk membantu industri pangan dalam mengembangkan dan
menerapkan prosedur pengawasan sanitasi, melakukan pengontrolan
sanitasi, serta memelihara kondisi dan praktik sanitasi.

h. Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah sebuah


sistem manajemen yang ditujukan untuk keamanan pangan melalui
analisis dan kontrol biologi, kimia, dan bahaya fisik dari produksi
bahan baku, pengadaan, dan penanganan, untuk manufaktur,
distribusi, dan konsumsi produk jadi.
i. Penyimpangan penerapan merupakan suatu proses, cara, perbuatan
menyimpang dalam pelaksanaan penerapan sistem keamanan pangan
prosedur atau panduan yang ada.
j. Analisis kesenjangan merupakan suatu metode pengukuran untuk
mengetahui kesenjangan antara kinerja suatu variabel dengan harapan
konsumen terhadap variabel tersebut.

F. Jadwal Pelaksanaan
No Tahapan Waktu (bulan ke-)
1. Penelitian Lapangan
a. Observasi
b. Wawancara
c. Studi Pustaka
2. Penelitian Laboratorium
a. Tingkat Penerapan GMP
- Pengukuran Kadar Air
- Pengukuran kadar Abu
- Bagian yang tidak larut
b. Tingkat Penerapan SSOP
- Pengukuran Angka Lempeng Total
c. Pengukuran identifikasi bahaya fisik, kimia
dan biologi
3. Pengolahan dan analisis data serta penyusunan
laporan
DAFTAR PUSTAKA

Adams,M.R. & M.O. Moss. 1995. Food Microbiology. Cambridge.

Afrianto,E. 2008. Pengawasan Mutu Bahan Produk Pangan Jilid I. Direktorat


Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta

Antonius. 2011. Perancangan Program Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu ISO


9001:2008 berdasarkan Analysis Kesenjangan Kesiapan (GAP Analysis).
Depok : Universitas Indonesia. [Skripsi].

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009. BPOM Nomor HK. 00.06.1.52.4011.
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam
Makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Industri. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2018. Data Permintaan Bandeng Duri Lunak Manis di
Indonesia.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya. Standar Nasional
Indonesia. SNI 0 1 -4852-1998.

Badan Standarisasi Nasional. 1992a. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan
Minuman. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

. 1992b. SNI 01-2897-1992. Cara Uji Cemaran


Mikroba. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

. 1998. SNI 01-4852-1998. Sistem Analisa Bahaya dan


Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.

. 2009. SNI 7388:2009. Batas Maksimum Cemaran


Mikroba dalam Pangan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Bryan, F.L.1995. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis. Terjemahan oleh
Ditjen PPM dan PLP. Depkes RI, Jakarta

Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet & M. Wooton. 2010. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh Heri Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta

Codex Alimentarius Comission. (1993). Code Of Hygienic For Precooked and


Cooked in Mass Catering
Dewi, Anandya Surya. 2016. Pengkajian Pelaksanaan GMP dan Implementasi
Sistem HACCP di PT CCBI Cikedokan Plant, Cikarang, Jawa Barat. Bogor :
Institut Pertanian Bogor. [Skripsi].

Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banyumas. 2020. Data Produk Bandeng
Duri Lunak Tahun 2020. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten
Banyumas, Banyumas

E-book Pangan. 2006. Model Rencana HACCP Industri Bandeng Duri Lunak.

Emil. 2012. Kiat Cerdas Wirausaha Aneka Olahan Kedelai. Yogyakarta Lily
Publisher.

Fardiaz, S. 1996. Prinsip HACCP dalam Industri Pangan. Teknologi Pangan dan
Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

FDA. 1995. Sanitation, sanitary regulation and voluntary programs. In : G, Mariot


and Norman (Editors). Prinsciples of Food Sanitation, Hal 7. Third Edition.
Chapman and hall, New York.

____. 2007. Hazards and Controls Guide For Dairy Foods HACCP Guidance for
Processors. USA.

Hermansyah et, al. 2012. Risiko Baru Penyakit Kardiovaskuler. Ethical Digest 2005 :
3 : 20 Media Gizi Masyarakat Indonesia, Vol. 1, No. 2. Februari 2012 : 79-83.

Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia : Cara Praktis Mendeteksi Dimensi-
Dimensi Kerja Karyawan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kadarisman, D. 2006. Sistem jaminan Mutu Industri Pangan. Institut Pertanian


Bogor Press, Bogor.

Kasiram, Moh. 2008. Metodologi Penelitian. Malang : UIN Malang Pers.

Kementrian Perindustrian RI. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik


Indonesia Tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (Good
Manufacturing Practices) Nomor 75/M-IND/PER/7/2010.

Laelasari, Ela. 2015. Islam dan Keamanan Pangan. Ciputat : UIN Press.

Lampiran II Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990 Tentang Kandungan


mikrobiologi, kimia, dan fisik dalam Air

Lisyanti. 2008. Evaluasi Penerapan Cara Produksi Yang Baik (Good Manufacturing
Practice) dan Penyusunan SSOP Industri Lidah Buaya di PT LibeBumi Abadi.
Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. [Tesis].
Mansur, Stephanie Goulding. 2013. Penerapan Hazard Analysis And Critical
Control Point (HACCP) Produk Sashimi di Restoran Tomato Surabaya.
Surabaya : Universitas Kristen Petra. [Skripsi].

Moleong, Lexi J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Remaja


Rosdakarya.

Muchtadi, Deddy. 2010. Kedelai Komponen Untuk Kesehatan. Bandung: Alfabeta.

Mutiarani, Citra. Nour Aziz. 2015. Implementasi Sistem Keamanan Pangan Berbasis
HACCP dalam Proses Produksi Crackers Sandwich PT. Mondelez Indonesia
Manufacturing Cikarang Bekasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. [Skripsi].

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan
Pangan Pengatur Keasaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 28. 2004. Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.

Pierson, M.D & D.A Corlett. (1992). HACCP Principles And Application. New
York: An Avi Book.

Purwono dan Heni Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Pangan Unggul. Depok :
Penebar Swadaya.

Rauf, Rusdin. 2013. Sanitasi Pangan dan HACCP. Yogyakarta : Graha Ilmu. Salim,

Spiegel, M. V., Luning, P., Ziggers, G., & Jongen, W. (2003). Toward a Coceptual
Model to Measure Effectiveness of Food Quality System. Trends in Food
and Technology, 424-431.

Standar Nasional Indonesia No. 01- 2729.1-2006 Tentang Ciri-Ciri Ikan Bandeng
Bermutu Tinggi.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung


Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatij'Kualitatif dan R&D. Bandung


Alfabeta.

Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Surono, Ingrid, Agus Sudibyom Priyo Waspodo. 2016. Pengantar Keamanan Pangan
Untuk Industri Pangan. Jakarta : Deepublis.

Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control


Point). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Thaheer, Hermawan. (2005). Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Point). Jakarta: Bumi Aksara.

Zahra, Inas Tahir Nurfaidah. 2011. Evaluasi Good Halal Manufacturing Practice
(GHMP) di Mill MNO PT ISM Bogasari Flour Mills. Makasar : Universitas
Hasanuddin. [Skripsi].

Zulkarnain, M. N. (2014). Tapping into the Lucrative Halal Market: Malaysian


SMEs

Anda mungkin juga menyukai