Anda di halaman 1dari 38

DRAFT

KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB 1. Arsitektur Tradisional
A. Pengertian Arsitektur Tradisional
B. Aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional
C. Bentuk-bentuk Arsitektur Tradisional
E. Manfaat Arsitektur Tradisional
F. Rangkuman 
G. Kasus/Permasalahan 

BAB 2. Teknik Pembuatan Arsitektur Tradisional


A. Filosofi Arsitektur Tradisional Rumah Larik
B. Denah rumah Larik
B. Konstruksi rumah Larik
C. Rangkuman 
D. Kasus/Permasalahan 

BAB 3.  Bentuk-Bentuk Ragam Hias


A. Pengertiam Ragam Hias
B. Makna Filosofi Bentuk Ragam Hias 
C. Rangkuman 
D Kasus/Permasalahan 

BAB 4.  Prosedur Penerapan Ragam Hias


A. Alat dan bahan membuat ragam hias.
B. Bentuk ragam hias sebagai objek berkarya
C. Sketsa ragam hias
D. warna pada hasil ragam hias
E. Rangkuman 
F. Kasus/Permasalahan 

DAFTAR PUSTAKA

BAB  I
ARSITEKTUR TRADISIONAL
Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan (Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena
dan kejadian tampak mata
Kompetensi Dasar:
Filosofi arsitektur tradisional

Indikator:
1.  Siswa dapat memahami bentuk-bentuk arsitektur tradisional kota Sungai Penuh
A. Pengertian Arsitektur Tradisional
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan
tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri,
stabil, kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama,
tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi,
pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik
keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
manusia dan zamannya. Karena manusia berubah maka sering pula aturan yang
berlaku berubah. Di dalam beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna
atau interpretasi dari bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena
nilai kemasyarakatan berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan
tersebut menurut pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147).
Gambar 01. Arsitektur tradisional
B. Aspek-Aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional
Mengingat bahwa tuntutan kebutuhan manusia selalu berkembang,
arsitekturnya pun akan terus berkembang. Arsitektur tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan kini dengan beragam aspek kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat
dijadikan landasan dalam merancang suatu arsitektur masa kini. Dijelaskan Eko
Budihardjo, 1996: 62 bahwa “Kekhasan seni-budaya lokal, iklim tropis, bahan
bangunan setempat, dan tuntutan kebutuhan masyarakat wajib ditimba sebagai
sumber ilham dan landasan perancangan.”
Hal tersebut diperinci oleh A. Sindharta dalam makalah “Landasan
Pengembangan Arsitektur Indonesia” (Eko Budihardjo,1997: 39-40) dengan
mengemukakan empat landasan untuk merintis dan mengembangan arsitektur
Indonesia masa kini, antara lain:
1. Karena iklim merupakan faktor sangat penting, harus dipertimbangkan dalam
perancangan dan perencanaan,

2. Penggunaan bahan lokal seperti batu bata, genting, kayu, bambu, hasil produksi
industri rakyat harus tetap dianjurkan, di samping bahan produksi teknologi
maju,

3. Seni kerajinan yang banyak ragamnya seperti seni ukir, ornamen, seni pahat,
seni tenun, dan seni anyam harus dimanfaatkan untuk memberi ciri kepada
arsitektur modern Indonesia.
4. Keanekaragaman budaya daerah, harus tetap dikembangkan, karena justru
keanekaragaman itulah merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Dalam skripsi ini, akan dijabarkan lebih lanjut dua aspek tradisional
meliputi budaya dan masyarakat.

1. Aspek Tradisional Budaya

„Bentuk Mengikuti Budaya‟ dicetuskan pertama kali oleh Skolimowski


tahun 1976. Hal itu merupakan salah satu upaya menemukan kembali identitas
atau jati diri dalam setiap karya baik dalam skala lokal, regional, maupun
nasional.
Eko Budihardjo (1997: 6) mengemukakan “Karena terkait erat dengan
keinginan kegiatan, dan perilaku manusia, makhluk berbudaya, maka suatu
arsitektur semestinya juga sebagai salah satu cerminan budaya. Sehingga secara
idealnya, arsitektur Indonesia harus dapat pula mencerminkan budaya Bangsa
Indonesia.” Ditambahkan olehnya dalam bagian lain tulisannya (1997: 9),
“Sebagai budaya bangsa dapat mempengaruhi arsitektur, maka arsitektur pun
dapat membentuk kebudayaan para pelakunya.”
Masalah kebudayaan merupakan aspek yang berpengaruh dalam
pengembangan arsitektur tradisional. Pola hidup masyarakat pun turut
membentuk arsitektur pemukimannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arsitektur adalah bagian yang
integral dari pengembangan kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan menjadi
salah satu aspek penting dalam wacana arsitektur interior tradisional. Konsep
tradisional sendiri merupakan satu istilah yang menekankan aspek kebudayaan
sebagai bagian utama dari sebuah lingkungan binaan.

2. Aspek Tradisional Masyarakat


Hindro T. Soemardjan pada Diskusi Panel Ikatan Mahasiswi Arsitektur FT-
UI tahun 1982 sebagaimana dikutip dari buku Menuju Arsitektur Indonesia
(Budihardjo, 1996: 108) yang menuturkan “Arsitektur adalah pengejawantahan
(manifestasi) dari kebudayaan manusia. Atau dengan kata lain, arsitektur selalu
dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya.” Pernyataan ini didukung oleh Adhi
Moersid (Budihardjo, 1996: 31) yang secara rinci menyebutkan bahwa
“Arsitektur yang kita huni merupakan manifestasi dari hidup kita sehari-hari,
cermin kebudayaan kita, petunjuk dari tingkat perasaan artistik yang kita miliki,
menggambarkan tingkat teknologi kita, kemakmuran kita, struktur sosial
masyarakat kita.”
Dapat disimpulkan bahwa, bangunan tradisional merupakan suatu
bangunan yang terbentuk karena latar belakang budaya masyarakat. Oleh sebab
itu, bangunan tradisional merupakan ungkapan budaya dan jalan hidup
masyarakat, serta merupakan cerminan langsung dari masyarakat dalam mencoba
mengekspresikan sesuatu.

Dari uraian di atas diketahui bahwa arsitektur merupakan cerminan suatu


masyarakat, maka hal tersebut perlu dikaitkan dengan karakteristik masyarakat
yang bersangkutan. Akan tetapi pada arsitektur tradisional dalam
perkembangannya di waktu sekarang, tradisi dalam masyarakat itu sendiri bukan
faktor penentu sekarang ini disebabkan arsitektur selalu berubah dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia dan zamannya. Karena
manusia berubah maka sering pula aturan yang berlaku berubah. Di dalam
beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna atau interpretasi dari
bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena nilai kemasyarakatan
berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan tersebut, sesuai
dengan meminjam pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147)

C. Bentuk-Bentuk Arsitektur Tradisional Kota Sungai Penuh


1. Rumah Larik

Seperti dengan daerah daerah lain di nusantara,  Kota Sungai Penuh 


merupakan bagian  tidak terpisahkan dari suku Kerinci  memiliki arsitektur
bangunan rumah tempat tinggal yang unik dan spesifik, rumah rumah tradisional
suku Kerinci yang mendiami lembah alam Kerinci dibuat berlarik, antara satu
bangunan rumah dengan bangunan rumah lainnya saling berhubungan saling
bersambung seperti rangkaian gerbong yang memanjang dari arah timur dan
barat, menutut garis edar matahari, konstruksi bangunan  cukup unik dan rumit
karena sistim sambungannya tidak menggunakan besi-paku, akan tetapi
menggunakan pasak dan sistim sambung silang berkait.
Konsep Landscape rumah berlarik dapat dibagi berdasarkan konsep ruang
makro, ruang meso, dan ruang mikro. Pola rumah berlarik berjejer memanjang
dari arah Timur ke arah Barat sambung menyambung antara satu rumah dengan
rumah yang bersebelahan hingga membentuk sebuah larik (deretan). Rumah
berlarik di  enam luhah Sungai Penuh  merupakan salah satu kawasan rumah
tradisional berlarik yang terdapat di Kota Sungai Penuh, pada masa lalu pada
umumnya di setiap pemukiman/neghoi atau duseung di alam Kerinci terdapat
rumah berlarik panjang

( Gambar 1. rumah larik Kota Sungai Penuh)


Rumah ini menerapkan konsep sumbu vertikal (nilai ketuhanan) dan sumbu
horisontal (nilai kemanusiaan). Sumbu vertikal terlihat dari pembagian ruang
menjadi tiga bagian, yaitu bagian bawah sebagai kandang ternak, bagian tengah
untuk tempat manusia tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan benda-benda
pusaka. Sedangkan sumbu horisontal dapat dilihat dari pembagian ruang dalam
rumah yang tidak bersekat dan saling menyatu antara satu rumah dengan rumah
yang saling bersebelahan,hal ini mengandung nilai kemanusiaan yang tinggi.
Pekarangan rumah berlarik yang dibangun dikawasan “Parit Sudut
Empat” pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan menjemur hasil pertanian
seperti padi. kopi, dan kayu manis.Pada acara Kenduri Sko halaman rumah
berlarik dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas pelaksanaan kenduri Sko, dan pada
hari hari besar keagamaan biasanya  pekarangan  dimanfaatkan untuk
kegiatan”Melemang” atau memasak Juadah
Umoh laheik jajou (berlarik berjajar),dibangun sambung-menyambung satu
dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta api yang sangat
panjang, sepanjang larik atau lorong dusun, dibangun di sisi kiri dan kanan
sepanjang jalan. Pada Konstruksi rumah tradisional suku Kerinci daerah Kota
Sungai Penuh, tidak terlihat menggunakan fondasi permanen, hanya
menggunakan batu ”Sendai” yakni  memanfaatkan batu alam yang permukaannya
telah dipipihkan, batu  sendai ini merupakan penopang  tiang tiang rumah
berlarik, Pembangunan rumah berlarik  tidak menggunakan  besi -paku, hanya
mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk.
Dimasa  lalu atapnya  rumah berlarik ini, berasal dari  ijuk yang dijalin,
sedangkan dinding rumah berlarik memanfaatkan pelupuh (bambu yang disamak)
atau kelukup (sejenis kulit kayu) dan lantainya  papan yang di-tarah dengan
beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah. Umoh laheik ini
merupakan tempat tinggal tumbi ( keluarga besar), dengan sistem sikat atau sekat-
sekat seperti rumah bedeng. Setiap keluarga menempati satu “sikat” yang terdiri
dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur.
Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan
belakang. Material pintu  adalah papan tebal di tarah beliung. Antara sekat sikat
terdapat pintu kecil sebagai penghubung. Jendela yang disebut “singap” sekaligus
merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti
layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir.
Sementara bagian bawah yang disebut “ umou” sering hanya sebagai
gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, atau terkadang juga menjadi
kandang ternak seperti ayam, itik , , kambing, dan domba. Tak jarang juga
dibiarkan kosong melompong  menjadi arena tempat bermain anak-anak. Di
bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut“parra”. Atap di dekat parra
itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang  bisa  buka-tutup, yang disebut “pintu
ahai” atau pintu hari atau pintu matahari. Di situlah keluarga bersangkutan sering
menyimpan “sko” (benda-benda pusaka) keluarga. Di luar rumah, tepatnya di
depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut “palasa”,
yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah
seringberangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering
dijamu duduk di atas bangku sambil minum sebuk kawo dan mengisap rokok
lintingan daun  enau.     Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh
tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan
Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang
biasanya sangat luas dan panjang. Model dan konstruksi arsitektur rumah
tradisional Kerinci mencerminkan betapa masyarakat sangat mengutamakan
semangat kekerabatan, kebersamaan, dan kegotongroyongan dalam kehidupannya
sebagai falsafah pegangan hidup manusia sebagai makhluk sosial.

Gambar.1. Rumah larik Kota Sungai Penuh)

Gambar. 2. umouh lahek jajou)

Dinding rumah bagian depan menghadap ke halaman dibuat miring, ada


juga tegak lurus. Rumah  tradisional yang disebut “umouh lahek jajou”
merupakan rumah panggung yang mempunyai ruang kosong dibagian bawah
(kolong) rumah yang disebut  “bawouh Umou”. Untuk memasuki rumah  harus
menaikki tangga bertakuk yang disebut ” Tanggoa Janteang” atau tanggu betino
Tiang tiang rumah panggung berlarik yang ada di dusun dusun bersisi
delapan dan terdapat ukiran ukiran bermotif  padma gaya lokal, Setiap komponen
rumah mempunyai pengertian /falsafah  kehidupan masyarakat. pintu rumah
terbuat dari selembar papan lebar dan tebal dan dihiasi ukiran stilir matahari.
Konstruksi atap rumah tradisional dinamakan ”Lipak Pandang” (Lipat Pandan,
Pen).pemakaian istilah ini diambil dari nama daun tumbuh tumbuhan  yakni daun
pandan (pandanus) yang biasa dipakai sebagai bahan materal anyaman.Secara
alami daun pandan secara alamiah pada batangnya ¼ bahagian dari ujung,dan
membentuk segi tiga yang seimbang seperti rumah tradisional suku Kerinci.
Rumah rumah tradisional yang tersisa di Kota Sungai Penuh hanya  tinggal
beberapa buah, dan rumah  rumah tradisional tersebut terhimpit oleh bangunan
bangunan baru dengan arsitektur modren, rumah kuno  yang tersisa terdapat di
Dusun Baru (2 unit relatif utuh) di Dusun Sungai Penuh (1 Unit relatif utuh)
Pondok Tinggi relatif banyak tersisa meski telah mengalami perobahan dan
perbaikkan akan tetapi masih mempertahankan keaslian, beberapa diantaranya
ditinggalkan penghuni dan semakin tergerus dimakan usia,secara umum bangunan
rumah tradisional suku Kerinci daerah Kota Sungai Penuh “Nyaris “punah
Rumah tradisional yang ada di Kota Sungai Penuh  pada umumnya
memiliki tipe empat persegi panjang dan berbentuk rumah panggung, antara satu
bangunan rumah merupakan sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan, untuk
melakukan komunikasi dan saling berintegrasi dengan para tetangga pada masa
lalu mereka cukup membuka pintu penghubung yang menghubungkan satu rumah
dengan rumah lainnya. Setiap larik  dihuni oleh beberapa Keluarga yang disebut
Tumbi, gabungan  beberapa tumbi disebut Kalbu, setiap Kalbu di pimpin oleh
seorang Nenek mamak
Setiap rumah memiliki ukuran sekitar 8×6 meter yang dihuni satu keluarga,
untuk menghindari ancaman binatang buas, nenek moyang membangun rumah
dengan konstruksi rumah panggung, dan  bentuk  bagian  bangunan rumah larik
merupakan satu kesatuan utuh yang saling berhubungan dengan pembagian
sebagai berikut: 1. Bubungan atap. 2 Dinding,3. Pintu Jendela.4. Tiang.5 Lantai.6
Tangga
Secara khusus rumah tradisional suku Kerinci yang terdapat di dusun dusun
dalam Kota Sungai Penuh  dibuat atas dua bagian yang terpisah yakni: bagian
utama atau bawah teridiri dari tiang tiang besar dan bagian atas terdiri dari tiang
tiang bubung dan kasau atap. Keyaqinan masyarakat kuno suku Kerinci yang
mempercayai kehidupan terdiri atas dua bagian yakni kehidupan dunia atas yang
dinamai”Maliyu” dan dunia bawah yang dinamai”Marena”,keduanya merupakan
sisi terpisah. Dunia atas lazim disebut”Langaik” atau langit.dan dunia bawah
disebut”Gumui” atau bumi  merupakan hal terpisah. Dunia diatas menurut
kepercayaan masyarakat kuno Suku Kerinci merupakan tempat bermukimnya roh
roh nenek moyang, Dewa dewa, Mambang dan Peri, sedangkan dunia bawah
merupakan tempat pemukiman Manusia,Fauna dan Flora.

3. Rumah Ibadah dan Tabuh Larangan


Pada umumnya di dusun dusun tradisional disamping memiliki rumah
rumah berlarik terdapat rumah rumah ibadah Masjid/Surau dengan atap berbentuk
Limas Tumpang Tiga atau Tumpang Dua dan dipuncaknya terdapat”Mustaka”
yang terbuat dari baru,dan secara umum pada bangunan terdapat ukiran/ornament
bermotif Fatma(Flora) dan geometris,akan tetapi bangunan bangunan sarana
Ibadah Masjid/Surau sebagian besar telah rubuh dimakan usia atau mengalami
pergantian material bangunan dan di beberapa  pemukiman tradisional biasanya
terdapat”Cungkup Tabuh Larangan”yang berbentuk rumah akan tetapi tidak
memiliki dinding,dan bangunan cungkup diberi atap dan tiang tiang penyangga
bangunan terdapat motive ukiran khas suku Kerinci, Cungkup ini berfungsi untuk
melindungi Tabuh Larangan dari terik matahari dan rembesan air hujan.,Tabuh
Larangan merupakan  alat untuk pemberitahuan atas  masalah yang terjadi di
dalam dusun atau tanda  pemberi peringatan adanya bencana alam
Gambar Mesjid Agung Pondok Tinggi

Gambar . Tabuh Larangan

Dalam arsitektur tradisional yang terwujud dalam bangunan Masjid Agung


Pondok Tinggi,  dan bangunan rumah rumah tradisional memiliki berbagai ragam 
nilai nilai kearifan lokal, Bangunan Mesjid Agung yang dibangun hampir 2 abad
yang lalu yang dibangun dengan menggunakan bahan material alam yang tersedia
di Kota Sungai Penuh dan arsitek perancang dan pelaksana pembangunan Mesjid
telah menunjukkan betapa tingginya daya cipta dan daya kreatif masyarakat di
Pondok Tinggi pada waktu itu,meski dengan menggunakan sarana dan prasarana
terbatas masyarakat telah mampu mewujudkan sebuah bangunan yang
Agung.megah dan bernilai seni tinggi.
Nilai nilai kekeluargaan yang erat dan sifat kegotong royongan dan rasa
kesaatuan dan persatuan tinggi  telah menunjukkan bahwa mereka telah mampu
mewujudkan sebuah bangunan yang saat itu sangat sulit untuk di
wujudkan.Masyarakat suku Kerinci( Kota Sungai Penuh Propinsi Jambi sejak
masa lampau telah mengenal berbagai bentuk ragam  hias,secara umum ukiran
yang terdapat di rumah rumah “Laheik Jajou” (berlarik berjajar,Pen) dan ukiran
pada bangunan sarana ibadah bercorak tumbuh tumbuhan atau bermotif
vegetative, ukiran yang ada terlihat memiliki garis garis sederhana seperti relung,
patran, benangan sedikit rancapan dan terawang, bentuk ukiran ini seolah olah
berlapis sulur menyulur dalam bentuk garis berhubungan, dan masyarakat
setempat menyebutkan “lampit simpea” atau dikenal dengan istilah pilin
berganda.
Pada ukiran yang terdapat pada bangunan tradisional corak anyaman
terlihat selalu ada pada setiap objek,sedangkan pada bentuk geometris juga
merupakan garis yang saling berhubungan,untuk sebutan daerah nama ukiran 
antara lain dinamai si mato arai,,mbun buntal.nanguri lahat,si giring giring,ketadu
daun,teratai bindui,keluk paku,kacang belimbing,setiap bentuk.motive yang ada
memiliki makna filosofis tersendiri,misalnya ukiran teratai bindui yang terdapat
pada tiang rumah bermakna kesucian jiwa dan niat yang baik, Diantara ragam
hias lain yang tumbuh dan berkembang itu adalah

D. Pulo Neghoi
Di dalam dusun dusun tradisional di Kota Sungai Penuh biasanya
terdapat ” Pulo Neghoi” (Pulau negeri,Pen) merupakan bangunan batu alam
tegak yang berada ditengah tengah dusun,konon pada masa lalu dikawasan “Pulo
Neghoi” dimanfaatkan untuk kegiatan upacara ritual’tari asyek”,dan sejak
masuknya agama Islam upacara ritual “tari asyek” secara perlahan lahan
mengalami pergeseran, karena dipandang tidak sesuai dengan ajaran dan
kebudayaan  agama Islam
(Pulo Neghoi/ pusat negeri
E. Jirat Nenek
Bangunan lain yang terdapat di dalam  dusun dusun tradisional
adalah”makam nenek moyang atau “ Jirat Nenek” yang berbentuk miniatur
rumah yang didalamnya terdapat makam/jirat nenek moyang, pada masa lalu atap
bangunan terbuat dari atap ijuk, dan saat ini bangunan jirat hanya terdapat
beberapa buah yang masih dirawat oleh masyarakat, diantaranya terdapat di
Sungai Penuh, Kumun Mudik, Debai, Pondok Tinggi, Koto Tengah Koto
Lolo,Koto Bento,dll
BAB 2
Teknik Pembuatan Arsitektur Tradisional

Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan(Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena dan
kejadian tampak mata

Kompetensi Dasar:
Memahami filosofi bentuk-bentuk arsitektur tradisional Kota Sungai Penuh

Indikator:
  Siswa dapat Memhami filosofi bentuk-bentuk arsitektur tradisional Kota Sungai
Penuh

A. Filosofi Arsitektur Tradisional Kota Sungai Penuh


Masyarakat Kerinci atau uhang kincai termasuk suku bangsa yang memiliki
filosofi hidup. Sama halnya dengan masyarakat suku Minangkabau yang memiliki
filosofi alam takambang jadi guru, masyarakat Kerinci juga memiliki filosofi hidup
yang berorientasi pada alam. Filsafat alam yang mereka anut tercermin dari peribahasa
atau petitih – petitih adat yang menceritakan tentang keadaan alam, misalnya:
“Sekalai aye daleang sekalai barasek pulau” Artinya : “Setiap mengambil
keputusan sering berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi”.
“Siko kbea ngubeang galo-galo kno patek ludok” Artinya : “ Seseorang
tercemar nama baiknya, sekampung terbawa nama”.
Petitih-petitih adat ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
Kerinci sebagai pedoman dan ajaran mereka dalam bertindak atau melakukan suatu
kegiatan. Disamping agama Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat
Kerinci, terdapat adat-istiadat yang juga mengatur kehidupan mereka. Masuknya
agama Islam ke Kerinci pada abad ke-13 menyempurnakan dan melengkapi ajaran
adat yang sudah ada terlebih dahulu. Seperti pepatah yang berbunyi :
“Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, adat memakai, syarak
mengato, benar kata adat, syah kata syarak”. Masyarakat Kerinci yang dahulu masih
menganut kepercayaan terhadap hal-hal gaib (animisme) pada masa sekarang telah
menganut agama Islam. Akan tetapi, sebagian dari masyarakat masih memiliki
kepercayaan berhubungan dengan gaib yang mereka lakukan dalam keadaan tertentu
seperti dalam pelaksanaan kesenian adat kenduri pusaka dan bentuk kegiatan lainnya.
Sistem kepercayaan mereka padukan dengan ajaran Islam untuk membentuk suatu
paduan yang sempurna ke arah tujuan yang lebih baik dan hanya dipergunakan untuk
hal-hal tertentu saja. Menurut Afanti (2007)
kesenian Tari Asik Naik Mahligai Istana Kaco adalah salah satu contoh atraksi
kesenian yang menggabungkan kepercayaan dengan Islam sehingga para penari dapat
memijak kaca, memijak bara api, dan atraksi berbahaya lainnya dengan membaca
mantra – mantra dan membakar kemenyan serta menyediakan sesajian. Semua
kegiatan masyarakat yang dilakukan tetap berpegang teguh pada ajaran adat istiadat
dan agama Islam.

B. Filosofi Arsitektur Tradisional Rumah Larik


Larik dalam bahasa Kerinci disebut Laheik. Larik merupakan sebutan untuk
rumah-rumah Uhang Kincai (orang Kerinci) yang berupa rumah panggung dan
berjajar memanjang dari Timur ke Barat (Laheik Jajo). Rumah Larik berdiri di atas
sebidang tanah empat persegi panjang yang disebut “Pahit Basudut Mpat” atau Parit
Bersudut Empat. Status tanah parit bersudut empat ini adalah tanah adat yang hak
guna tanahnya diatur menurut hukum oleh Depati dan Ninik Mamak. Rumah Larik
terdapat dalam sebuah Luhah. Luhah tidak sama dengan Lurah. Luhah yaitu sebuah
dataran pemukiman yang terdiri dari kelebu – kelebu atau kelompok – kelompok perut
membentuk satu kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh Depati dan dibantu oleh
Ninik Mamak. Kelebu adalah segolongan orang yang berasal dari satu keturunan
nenek moyang yang perempuan dikepalai oleh Ninik Mamak. Rumah Larik Limo
Luhah yang terdapat di Kota Sungai Penuh terdiri dari Luhah Rio Mendiho (Romen),
Luhah Rio Jayo (Rioja), Luhah Rio Tamenggung (Rita), Luhah Pamangkou Rajea
(Praja), dan Luhah Datuk Singarapi Puteah (dasira). Satu luhah dapat terdiri dari
beberapa larik dan satu larik dapat terdiri dari beberapa rumah (Gambar 10).

Gambar 10. Rumah Larik yang Limo Luhah

C. Konstruksi rumah larik

Pola bangunan pada Rumah Larik dibagi menjadi dua bagian yang terpisah,
yaitu:
1. Bagian utama atau bawah terdiri dari tiang-tiang besar;
2. Bagian atas terdiri dari tiang-tiang bubung dan atap.
Pembagian konstruksi rumah yang terpisah ini bukan berarti kekurangan bahan
baku kayu untuk mendirikan rumah. Pada zaman dulu bahan kayu sangat melimpah di
daerah ini. Orang Kerinci memiliki alasan mengapa tidak membuat tiang rumah
berupa tiang panjang yang langsung menyangga dari bawah hingga ke alang atau
balok bubungan. Hal ini disebabkan antara lain, yaitu:
a. Adanya kepercayaan orang Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas dua bagian,
yaitu dunia atas yang disebut Maliyu dan dunia bawah yang disebut Marena. Dunia
atas merupakan tempat kehidupan roh-roh nenek moyang, peri, dan dewa-dewa.
Dunia bawah tempat kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Keduanya merupakan sisi yang saling terpisah (Gambar 36).
b. Dari segi teknologi yang telah dipahami orang Kerinci selama ratusan tahun.
terpisahnya dua bagian ini akan mempermudah proses pengerjaan dan pemasangan
konstruksi. Semua pemasangan konstruksi Rumah Larik tanpa menggunakan paku
Sistem sambungan pada konstruksi yaitu berpasak kayu, silang bertakik, dan ikat
tali.
c. Adanya ungkapan dalam masyarakat Kerinci, yaitu Kayu gedeang tempek basanda
– Imbun daeu tempek batedeuh (Pohon besar tempat bersandar – rindang daun
tempat berteduh). Artinya: Pohon besar beserta akarnya merupakan konstruksi
tiang-tiang rumah yang menyangga kehidupan. Sedangkan rimbun daun dan
ranting-ranting merupakan bagian atas rumah agar dapat bertahan hidup dari
serangan terik matahari dan hujan. Sesuai dengan filsafat nenek moyang Kerinci,
bahwa alam diciptakan oleh Tuhan tetap dua-dua bagian yang terpisah, seperti
siangmalam, bumi-langit, laki-laki dan perempuan, hidup-mati, dan lain
sebagainya (Disparbud Kerinci 2003).
Orientasi tiang-tiang yang digunakan pada Rumah Larik pada umumnya kayu
bagian pangkal harus berada di sebelah bawah bertemu pondasi batu, bagian ujung
harus berada di atas dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk alang-alang dan
bagian lainnya dengan posisi horisontal, orientasi kayu tidak dipermasalahkan.
Seluruh dusun di Kerinci, Rumah Larik didirikan di atas batu pondasi yang disebut
batu sendai (Gambar 37). Menurut masyarakat, pondasi didirikan di atas batu
karena pohon-pohon di hutan Kerinci tidak ada yang tahan pelapukan air tanah
sehingga mudah ambruk jika ditanam. Batu pondasi yang dipilih adalah yang
berbentuk rata pada kedua permukaannya. Batu pondasi diletakkan di atas tiga
buah batu yang berfungsi sebagai bantalan. Batu bantalan ini dinamakan tungku
tigo. Batu ini lebih kecil ukurannya dari batu pondasi. Tungku tigo berfungsi
sebagai gaya main bangunan rumah jika terjadi gempa dan untuk mengatur
ketinggian tiang-tiang agar memiliki kerataan yang sama.

Ukuran sebuah Rumah Larik menurut Zakaria (1984) adalah 6 depa x 3 depa atau
sekitar 10,8 m x 6,4 m (1 depa = 1,8 m), tinggi rumah kira-kira 3 depa. Tinggi
kandang (ruang bawah) adalah 1,5 m, tinggi loteng 1,75 m, dan tinggi bubungan
sekitar 2 m. Sedangkan berdasarkan hasil Sayembara Rumah Adat Tradisional
Daerah Kerinci tahun 1994, diketahui bahwa Rumah Larik memiliki ukuran 11,55
m x 9 m dengan besar setiap ruang 3,85 m x 4,5 m. Sedangkan tinggi kandang 1,2
m dan tinggi dinding ruang atas 1,8 m (Gambar 38). Gambar 38. Denah Ruang
Atas Rumah Larik
Gambar . Denah Ruang Atas Rumah Larik

Rumah Larik yang asli sebenarnya tidak bersekat antar ruang baik ruang dalam
maupun ruang luar, tetapi hanya di sekat oleh sebuah dinding pada bagian tengah
yang memisahkan ruang dalam dan ruang luar (Gambar 39). Ruang luar adalah
tempat berkumpul keluarga atau dilaksanakannya pertemuan dan perundingan para
pemangku adat. Jika ada tamu, maka tuan rumah duduk di sebelah dinding tengah,
sedangkan tamu duduk di sebelah dinding depan dekat jendela. Apabila tamu
adalah Depati dan Ninik Mamak, maka tempatnya adalah di atas anjung yang
ditinggikan 10 cm dari lantai rumah. Anjung ini terletak di sebelah kanan dari
dinding tengah atau sebelah kiri dinding depan, bersandar ke dinding dan
menghadap ke ruangan.
Gambar. Denah Rumah Larik Tanpa Sekat (Sumber: Zakaria 1984)

Keterangan gambar:
A : Ruang dalam (dumeh)
B : Dapur (tanpa sekat)
C : Ruang makan
D : Anjung (tempat duduk orang adat)
E : Ruang Tamu
F : Palasa
// : Pintu
II : Jendela
= : Dinding (bisa buka pasang)
BAB 3
Bentuk-Bentuk Ragam Hias

A. Pengertian Ragam Hias


     
Ragam hias disebut juga ornamen, merupakan salah satu bentuk karya seni rupa
yang sudah berkembang sejak zaman prasejarah. Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki banyak ragam hias. Ram hias di Indonesia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu lingkungan alam, flora dan fauna serta manusia yang hidup
di dalamnya. Keinginan untuk menghias merupakan naluri atau insting manusia.
Faktor kepercayaan turut mendukung berkembangnya ragam hias karena adanya
perlambangan di balik gambar. Ragam hias memiliki makna karena disepagakati
oleh masyarakat penggunanya. Menggambar ragam hias dapat dilakukan dengan
cara stilasi (digayakan) yang meliputi penyederhanaan bentuk dan perubahan
bentuk (deformasi). Adapun pengetian ragam hias ;
1. Ragam hias adalah bentuk dasar hiasan yang biasanya akan menjadi pola yang
diulang-ulang dalam suatu karya kerajinan atau seni. Karya ini dapat
berupa tenunan, tulisan pada kain (misalnya batik), songket, ukiran, atau
pahatan pada kayu/batu. Ragam hias dapat distilisasi (stilir) sehingga bentuknya
bervariasi.

2. Ragam hias juga biasa disebut Ornamen berasal dari bahasa Yunani "ornare"
yang artinya hiasan atau menghias. Menghias berarti mengisi kekosongan suatu
permukaan bahan dengan hiasan, sehingga permukaan yang semula kosong
menjadi tidak kosong lagi karena terisi oleh hiasan.

3. Ragam hias adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau disengaja
dibuat untuk tujuan sebagai sarana memperindah atau sebagai hiasan

4. ornamen sebagai adalah karya seni yang dibuat untuk diabdikan atau
mendukung maksud tertentu dari suatu produk, tepatnya untuk menambah nilai
estetika dari suatu benda/produk yang akhirnya pula akan menambah nilai
finansial dari benda atau produk tersebut.
B. JENIS-JENIS RAGAM HIAS
1. Ragam Hias Geometris
Pengertian Ragam Hias sesuai dengan namanya, ragam hias geometris
mengandung unsur-unsur garis, sudut, bidang, dan ruang. Garis-garis yang dibuat
bisa dalam bentuk garis lurus, melengkung, spiral, atau zig-zag. Ada pula dalam
bentuk bidang, seperti lingkaran, persegi, persegi panjang, segitiga, dan juga
layang-layang. Garis dan bidang tersebut dikombinasikan sehingga menghasilkan
suatu ragam hias geometris yang indah. Ragam hias geometris juga disebut-sebut
sebagai ragam hias tertua, karena sudah berkembang sejak zaman prasejarah.
Terdapat beragam jenis ragam hias geometris di nusantara, berikut penjelasannya.
 Ceplokan

Arti kata ceplokan atau yang biasanya dibilang sebagai “ceplok” saja, adalah
bulatan untuk hiasan. Motif ceplokan terdiri dari satu motif saja, lalu disusun
secara berulang-ulang. Beberapa motif ceplokan yang sudah kita kenal yaitu :
 Ceplok cakra kusuma
 Ceplok nogosari
 Ceplok truntum
 Ceplok supit urang
Seperti yang bisa anda lihat pada gambar diatas bahwa ragam hias geometris juga
memiliki beberapa jenis dari ragam hias yang salah satu nya yaitu ragam hias
geometris ceplokan dan ragam hias ini juga masih memiliki beberapa motif yang
sudah di sebutkan diatas
 Kawung
Kata kawung berasal dari bahasa Sunda yang berarti kolang-kaling. Jika kita
perhatikan dengan seksama, motif kawung memang mirip dengan buah aren atau
yang sering kita sebut kolang-kaling.
Ada pula sumber yang mengatakan bahwa motif kawung terinspirasi dari binatang
kuwangwung. Ragam hias kawung termasuk motif kuno, yang diciptakan oleh
seorang Sultan Mataram sekitar abad 13. Pada zaman itu, motif kawung hanya
boleh dipakai oleh keluarga kerajaan atau pejabat.
Beberapa sumber menyebutkan, motif kawung mengandung pesan agar manusia
selalu menjadi makhluk yang berguna, layaknya pohon aren yang seluruh
bagiannya bisa digunakan. Makna lain dari motif kawung, lebih tepatnya dalam
adat Jawa, adalah satu titik pusat keraton. Motif kawung juga disebut
sebagai papat madhep limo pancer; empat titik membentuk garis dan menghadap
satu titik yang dianggap sebagai pusat kekuatan.
 Pilin

Ragam hias pilin, jika kita lihat sepintas, memang memiliki bentuk seperti huruf S.
Selain bentuk seperti huruf S, terdapat pula ragam hiasa pilin yang bentuknya SS
atau sering disebut sebagai pilin ganda. Ragam hias jenis ini juga terlihat mirip
dengan motif parang.
Tak jarang, ragam hias pilin lebih terlihat seperti bentuk spiral, seiring dengan
terus berkembangnya kreasi ragam hias nusantara. Ragam hias pilin juga memiliki
bentuk kreatif lainnya, seperti bentuk pita, berumbai, untaian, atau pusaran.
Motif ragam hias ini biasanya digunakan sebagai hiasan pinggiran, yang dimana
ukurannya dibuat lebih kecil dari ragam hias utama.Tak hanya dijadikan hiasan
pinggiran, ada juga ragam hias pilin yang dijadikan motif utama. Ragam hias jenis
pilin dapat kita lihat pada kain batik dan hiasan rumah tradisional.

 Tumpal

Ragam hias tumpal memiliki bentuk segitiga sama kaki, yang pada zaman
prasejarah melambangkan hal magis. Ragam hias tumpal juga disebut sebagai
motif pucuk rebung. Motif pucuk rebung dianggap sebagai lambang pertumbuhan.
Ada pula sumber yang mengatakan bahwa konsep ragam hias tumpal
adalah konsep kesatuan. Konsep tersebut kemudian disebut sebagai kosmos yang
isinya keselarasan antara 3 hal, yaitu terdiri dari manusia, semesta, dan alam lain.
Motif tumpal juga memiliki kreasinya sendiri. Motif ini dapat disusun secara
berderetan, dengan posisi motif tumpal yang ujung runcingnya diatas atau pun
dibuat terbalik dengan ujung runcing dibawah. Motif tumpal dapat dibuat secara
polos, tetapi dapat juga diberi hiasan di bagian tengahnya, seperti bintang, garis-
garis, bunga, dan sulur-suluran. Memiliki fungsi yang hampir sama dengan motif
pilin, ragam hias tumpal biasa dijadikan hiasan pinggiran. Biasanya dapat kita lihat
pada ukiran candi atau pada kain batik.

 Swastika

Motif swastika dipercaya sebagai simbol yang paling suci dalam kepercayaan
agama Hindu. Motif ini juga merupakan simbol yang dipercaya sebagai warisan
sejarah dan budaya. Ragam hias swastika dapat dikatakan sebagai motif tertua,
sekitar 4000 tahun lalu.
Bentuk dasar motif swastika adalah huruf Z atau zig-zag yang zaling berlawanan.
Ada pula motif swastika yang dibuat saling berkaitan satu dengan lainnya; motif
ini disebut motif banji.
Kata swastika merupakan terapan dari kata Swastyastu, yang berarti semoga dalam
keadaan baik. Tidak hanya menempati posisi sakral, motif swastika juga dijadikan
motif-motif hiasan arsitektur kuno atau modern. Motif swastika ditemukan pada
benda-benda bersejarah seperti koin, keramik, senjata, perhiasan, atau altar.

 Meander
Kata meander berasal dari bahasa Yunani “meandros”, yang berarti liku atau
berkelok-kelok. Ragam hias meander merupakan garis batasan yang terdiri dari
garis yang saling berkaitan, lalu disusun berulang.
Ragam hias ini juga merujuk pada bentuk labirin, disebut sebagai labirin
meander. Berdasarkan sejarah, ragam hias meander berasal dari zaman Yunani
Kuno. Motif ini tidak hanya dipakai di Yunani, tetapi juga di Romawi dan Cina.
Motif ini  merupakan sesuatu yang penting pada zaman Yunani Kuno, yang
melambangkan ketidakterbatasan dan kesatuan. Banyak sekali bangunan-bangunan
Yunani Kuno yang menggunakan motif meander sebagai hiasannya. Penggunaan
ragam hias meander mulai tersebar karena adanya vas khas Yunani Kuno, yang
sangat terkenal pada zaman geometris.

2. Ragam Hias Flora


Sesuai dengan namanya, ragam hias flora adalah jenis ragam hias yang
menggunakan flora (tumbuh-tumbuhan) sebagai obyek motifnya. Motif flora bisa
dibuat sesuai aslinya, tetapi ada pula seniman yang membuat ragam hias flora
sesuai dengan imajinasinya. Jenis ragam hias ini dapat ditemui hampir di seluruh
bagian negeri kita Indonesia, entah itu pada kain batik, kain sulam, tenun, seni
pewayangan, atau rumah tradisional. Berikut ini adalah contoh-contoh ragam hias
flora:

 Pepatraan
Motif pepatraan dibuat berdasarkan keindahan bentuk flora, yaitu bentuk dedaunan
dan bunga. Seniman meniru bentuk daun, bunga, putik, dan ranting suatu flora,
lalu dibuat secara berulang. Pepatraan adalah motif yang sangat beragam, dan
masing-masing pepatran memiliki identitasnya sendiri. Contoh pepatraan yang
dikenal di Indonesia adalah patra sari, patra cina, patra punggel, dan patra
samblung.
Patra sari meniru bentuk flora yang menjalar, lalu disusun secara melingkar dan
berulang. Sari bunga adalah motif yang paling ditonjolkan, sehingga patra jenis ini
disebut patra sari. Berikutnya adalah patra cina, yang dipercaya sebagai jenis patra
yang dipengaruhi budaya cina.
Patra cina merupakan tiruan kembang sepatu, yang batang, daun, dan bunganya
dibuat dengan garis tegas. Patra punggel merupakan tiruan potongan tumbuh-
tumbuhan, dan umumnya meniru ujung daun paku yang masih muda. Patra
samblung merupakan tiruan tanaman menjalar yang berdaun lebar lalu dibentuk
secara melengkung.

Ragam hias kekarangan meniru suatu obyek dan dibuat sesuai aslinya. Selain
meniru bentuk aslinya, seniman akan menambahkan kreasi-kreasi lainnya untuk
menonjolkan keindahan ragam hias kekarangan. Obyek yang ditiru dalam ragam
hias kekarangan adalah flora dan fauna. Biasanya, sebuah karya kekarangan
meniru satu obyek saja, lalu ditambah dengan kreasi sang seniman.
Contoh ragam hias kekarangan yang meniru bentuk flora adalah karang simbar dan
karang bunga. Karang simbar adalah tiruan flora yang daunnya menjuntai ke
bawah atau yang berbentuk seperti tanduk menjangan. Karang simbar biasa dibuat
pada pasangan bebatuan pada bangunan tradisional Bali atau pada bangunan
wadah pada upacara Ngaben di Bali. Karang bunga merupakan tiruan bentuk
bunga beserta kelopak dan daunnya. Karang bunga dibuat pada penjolan bidang
suatu bangunan.

 Keketusan

Motif keketusan dibuat dengan cara meniru salah satu bagian dari suatu flora.
Bagian flora yang biasa ditiru adalah bunga, sulur, dan daun.
Setelah meniru salah satu bagian flora, hasil tiruan itu dibuat secara berulang dan
ditambahkan bentuk-bentuk indah lainnya sesuai kreasi sang seniman. Motif
keketusan yang cukup dikenal adalah keketusan wangga, keketusan bungan
tuwung, dan keketusan bun-bunan.
Keketusan wangga adalah tiruan bunga besar yang mekar, dan juga berdaun lebar.
Keketusan bungan tuwung meniru bentuk bunga terung yang dibuat secara berliku
dan berulang. Motif lainnya adalah keketusan bun-bunan yang meniru bentuk
tumbuhan menjalar atau bersulur. Ragam hias dengan motif keketusan ini
bertujuan untuk mengisi pepalihan, yang artinya bagian yang berbentuk persegi
panjang. Bagian yang dimaksud adalah pundan berundak yang biasa kita lihat pada
pura atau candi.

3. Ragam Hias Fauna


Jenis ragam hias ini mengambil bentuk fauna (hewan) sebagai motifnya. Ragam
hias fauna tidak mengambil bentuk hewan sepenuhnya, biasanya hasil gubahan
dari seniman yang menirunya. Fauna yang sering dijadikan obyek ragam hias ini
adalah burung, singa, gajah, dan ikan. Ragam hias ini juga sering dikombinasikan
dengan bentuk flora sehingga hasilnya lebih beragam. Berikut beberapa contoh
ragam hias fauna:
 Kekarangan

Seperti yang sudah dijelaskan


sebelumnya, kekarangan juga meniru bentuk fauna. Bentuk dasarnya adalah fauna
khayalan, bahkan terkadang cenderung abstrak.
Contoh kekarangan fauna adalah karang asti, karang goak, dan karang sae.
Masing-masing bentuk kekarangan fauna meniru satu jenis fauna, umumnya
bagian kepala suatu fauna, dan terkadang dikombinasikan dengan kekarangan
flora.
Karang asti merupakan tiruan bentuk gajah yang dibuat sedemikian rupa indah.
Bagian yang ditiru dalam kekarangan asti adalah kepala gajah disertai gading dan
mata gajah yang bulat. Karang goak merupakan tiruan kepala burung gagak,
terkadang disebut juga sebagai karang manuk karena nampak seperti kepala ayam.
Bentuk karang goak biasa dikombinasikan dengan karang simbar. Karang sae
meniru bentuk kepala kelelawar beserta tambahan berupa tanduk dan gigi runcing.

 Motif Garuda

Menurut sejarah, motif garuda merujuk pada sesuatu yang dianggap memiliki
kedudukan paling penting dalam pandangan orang Jawa. Burung garuda muncul
dalam cerita naiknya Bhatara Wisnu ke nirwana, dimana burung ini menjadi
tunggangan Sang Dewa.
Karena Bhatara Wisnu adalah dewa matahari, maka burung garuda selaku
tunggangannya juga dianggap sebagai lambang matahari. Selain lambang matahari,
burung garuda juga dianggap sebagai simbol kejantanan.
Motif garuda dapat dikatakan sebagai yang paling sederhana, karena tidak terlalu
banyak variasinya. Motif ini terdiri dari bagian ekor, dua sayap, dan ditengahnya
terdapat badan burung garuda. Karena pentingnya lambang garuda ini, maka
bentuknya diadopsi dalam bentuk motif kain batik.

 Motif Naga Asoq


Motif naga asoq merupakan motif tradisional suku Dayak Bahau di Kalimantan.
Motif ini adalah perpaduan dari bentuk naga dan anjing. Bagian kepala dari motif
ini meniru kepala naga, sedangkan badannya adalah badan anjing. Kata asoq
sendiri merupakan sebutan suku Dayak Bahau untuk anjing. Naga asoq merupakan
kepercayaan yang dianut oleh suku Dayak Bahau.
Motif naga asoq biasa dibuat suku Dayak Bahau pada pintu rumah mereka, yaitu
rumah lamin. Naga asoq dipercaya untuk menolak kejahatan, sedangkan ragam
hiasnya dipercaya sebagai penyelamat atau penunjuk jalan menuju alam setelah
kematian. Motif naga asoq dikondisikan seperti sedang berenang; hal ini sebagai
bentuk penghormatan suku Dayak Bahau terhadap sungai, yang dianggap telah
memberi kehidupan pada suku ini.

4. Ragam Hias Figuratif

Ragam hias figuratif menggunakan manusia sebagai obyeknya. Seniman akan


meniru bentuk tubuh manusia, mulai dari kepala hingga kakinya, lalu membuat
tiruan manusia tersebut dalam gaya tertentu. Seniman juga menambahkan motif-
motif lain seperti flora untuk meningkatkan keindahannya.
Ragam hias figuratif bisa berbentuk 2 dimensi atau pun 3 dimensi. Dalam bentuk 2
dimensi misalnya pada lukisan atau gambar dengan menggunakan software.
Bentuk 3 dimensi dari ragam hias figuratif bisa berupa patung atau topeng.
Ragam hias figuratif tradisional umumnya berasal dari daerah timur Indonesia,
misalnya Papua. Ragam hias figuratif khas orang Papua, khusunya suku Asmat,
biasanya berupa patung. Ada pun kreasi ragam hias figuratif di zaman modern,
yang dibuat dengan menggunakan software khusus seperti Adobe Photoshop.
Demikianlah artikel tentang pengertian ragam hias dan contoh-contohnya. Semoga
artikel ini bermanfaat bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui lebih jauh tentang
ragam hias, terutama yang ada di Indonesia

D. Jenis-Jenis Ragam Hias sungai Penuh


Masyarakat suku Kerinci (Kota Sungai Penuh) Propinsi Jambi sejak masa
lampau telah mengenal berbagai bentuk ragam  hias,secara umum ukiran yang
terdapat di rumah rumah “Laheik Jajou” (berlarik berjajar,Pen) dan ukiran pada
bangunan sarana ibadah bercorak tumbuh tumbuhan atau bermotif vegetative,
ukiran yang ada terlihat memiliki garis garis sederhana seperti relung, patran,
benangan sedikit rancapan dan terawang, bentuk ukiran ini seolah olah berlapis
sulur menyulur dalam bentuk garis berhubungan, dan masyarakat setempat
menyebutkan “lampit simpea” atau dikenal dengan istilah pilin berganda.
Pada ukiran yang terdapat pada bangunan tradisional corak anyaman
terlihat selalu ada pada setiap objek,sedangkan pada bentuk geometris juga
merupakan garis yang saling berhubungan, untuk sebutan daerah nama ukiran 
antara lain dinamai si mato arai,,mbun buntal.nanguri lahat,si giring giring,ketadu
daun,teratai bindui,keluk paku,kacang belimbing,setiap bentuk.motive yang ada
memiliki makna filosofis tersendiri,misalnya ukiran teratai bindui yang terdapat
pada tiang rumah bermakna kesucian jiwa dan niat yang baik,
Diantara ragam hias lain yang tumbuh dan berkembang itu adalah :
- Keluk Paku kacang Belimbing artinya Anak di Pangku, Kemenakan dibimbing
Relung kangkung>patah tumbuh hilang berganti/kerja yang tiada mengenal lelah

- Pilin Ganda (berbentuk abjad S )>  setiap  sesuatu  saling ketergantungan  dan saling 
membutuhkan

- Ragam Tampouk klapo,Ragam Selampit empat, Selampit jalein due

- Motibe Bungea Matoharai( Bunga Matahari)

- Ragam hias Gadoeing Gajeah( Gading Gajah)

- Ragam  Hias Turqi (auraka) dalam bentuk daun daun yang berjurai
- Ragam Hias Kaff wa darj> berbentuk garis garis melengkung
- Ragam Arabes( Zuchrufil-Arabi)>berbentuk anting anting daun dan bunga
- Ragam Cino sebatang, samang beradu punggoun, Mentade belage
- Ragam bungea betirai, ragam motive relung, dll.

Pada dasarnya semua ukiran  pada masa lalu tidak diwarnai, diduga pada saat itu di
alam Kerinci(Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci) belum memiliki bahan
bahan zat pewarna untuk media material bangunan kayu/ papan .belakangan ini
akibat dampak perkembangan zaman dan tekhnologi, arsitektur tradisional  suku
Kerinci khususnya di Kota Sungai Penuh semakin tergerus dan mengalami
perubahan, manusia sebagai penggerak utama perubahan semakin terdesak oleh alam
dan lingkungannya, berbagai pengaruh tekhnologi dan tuntutan perubahan zaman
membuat arsitektur bangunan rumah asli di Kota Sungai Penuh semakin tergeser dan
terpinggirkan, dan di khawatirkan untuk abad mendatang  arsitektur tradisional 
bangunan di Kota Sungai Penuh akan punah dan akan menjadi kenangan masa lalu.

C. Makna Filosofi Bentuk Ragam Hias 


Elemen lain yang merupakan elemen fisik adalah ragam hias yang terdapat pada
Rumah Larik. Rumah Larik memiliki ragam hias yang menarik disamping
keunikannya dari segi arsitektural. Ragam hias pada Rumah larik berupa
ukiranukiran dengan motif beragam yang terdapat pada tiang, dinding, pintu, dan
jendela. Motif-motif ukiran tersebut ada yang organik dan ada yang geometris.
Jenis-jenis motif ukiran yang terdapat pada Rumah Larik antara lain sebagai
berikut :
1. Teratai bindui dengan stilasi bunga teratai dan akar-akaran
Motif jenis ini terdapat pada tiang segi delapan
Motif ini bermakna bahwa setiap mendirikan rumah harus dilandasi oleh kesucian
jiwa dan niat yang baik. Motif bunga teratai melambangkan jiwa yang tulus.
2. Keluk paku dengan stilasi tumbuhan paku-pakuan
Motif jenis ini terdapat pada pasak-pasak timbul konstruksi tiang
Motif keluk paku melambangkan suatu ikatan yang kuat untuk menghadapi
pengaruh-pengaruh jahat dari luar maupun dalam. Selain itu juga memberikan
kesan kekuatan pada konstruksi rumah adat Kerinci.
3. Kacang belimbing dengan stilasi belimbing dengan kacangan
Motif ini terdapat pada dinding bagian depan. Motif ini merupakan cerminan Tut
Wuri Handayani dalam masyarakat Kerinci yang tidak berhenti menuntut ilmu.
4. Sigiring-giring dengan stilasi dedaunan
Motif ini terdapat pada bagian di atas pintu. Motif ini bermakna peringatan untuk
tamu yang akan masuk ke dalam rumah hendaknya memberi tahu terlebih dahulu
atau permisi kepada penghuni rumah. Tidak dibenarkan masuk rumah tanpa
permisi.
5. Nangguri lahak dengan stilasi rangkaian bunga Nangguri
Motif ini melambangkan hidup dalam lingkungan yang bersih pada larik dan
halaman rumah. Letaknya yaitu pada dinding bagian luar.
6. Salampit simpea dengan stilasi lampit rotan berderet empat
Motif ini terdapat pada dinding bagian dalam dan luar.
Makna yang terkandung di dalamnya adalah dalam mendirikan rumah harus
berdasarkan petunjuk Undang yang Empat dan kehidupan masyarakat Kerinci
diikat dengan ketentuan beradat berlembaga.
7. Embun buntal, stilasi bunga dengan banyak relungan
Motif embun buntal terdapat pada dinding pintu rumah. Motif ini bermakna
bahwa semua urusan atau masalah hendaknya jangan dipersulit dan jika masuk ke
rumah orang hendaklah dengan wajah yang jernih dan hati yang lapang.
8. Si matoharai dengan stilasi bunga matahari
Motif bunga matahari ini melambangkan bahwa di dalam rumah terang seperti
cahaya matahari dan kehidupannya berada dalam kedamaian.
Motif ini terdapat pada tonjolan kayu pintu rumah.
Jenis-jenis motif ukiran di atas merupakan hasil Sayembara Rumah Adat
Ragam hias khas Kerinci berupa ukiran-ukiran pada Rumah Larik umumnya hanya
terdiri dari empat warna, yaitu merah, putih, hitam, dan biru. Empat warna ini juga
memiliki makna masing-masing, yaitu sebagai berikut:
a. Merah, melambangkan sikap yang berani dalam kebenaran dan suku Kerinci
termasuk bangsa ksatria.
b. Putih, melambangkan kesucian hati masyarakat terhadap tamu atau orang lain.
c. Hitam, bermakna ketegasan didalam adat. Seperti kata pepatah keras adat
berdenting-denting, lunak lembago berjela-jela.
d. Biru, melambangkan bahwa Kerinci tanahnya sangat subur, alamnya indah, dan
penduduknya suka perdamaian.

C. Rangkuman 
D Kasus/Permasalahan 
BAB 4
Prosedur Penerapan Ragam Hias
Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan(Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena dan
kejadian tampak mata
Kompetensi Dasar:
Filosofi ragam hias dan ornamen
Indikator:
  Siswa dapat Memhami filosofi prosedur penerapan ragam hias pada bahan buatan

A. Alat dan bahan membuat ragam hias.

B. Bentuk ragam hias sebagai objek berkarya

Sungai Penuh yang berada di wilayah paling barat propinsi Jambi merupakan
salah satu pusat perkembangan sastra melayu di bukit barisan/puncak andalas pulau
sumatera yang masih mewariskan aksaramelayu pra islam serta bentuk ratap tangis
yang pada umumnya tidak lagi terdapat pada masyarakat yang telah menganut agama
islam.

Fenomena di alam Sungai Penuh Kerinci sangat menarik karena pergeseran


nilai yang terjadi dengan masuknya agama islam ke alam Kerinci,masuk pula
peradaban baru yang membawa nilai nilai serba baru,akan tetapi sebagaimana yang
terjadi ditempat lain di Nusantara perubahan nilai tidak terjadi secara mendadak tetapi
secara perlahan lahan

Pada masa periode peralihan setelah masuk alat dan media tulis serta aksara
yang baru,akan tetapi aksara yang lama tidak serta hilang. Media bambu  dan tanduk
belum bias ditinggalkan.
Saat ini Pemerintah Kota Sungai Penuh melalui Dinas Terkait dan Dekranasda
Kota Sungai Penuh kembali mendorong dan membantu pengrajin  batik untuk
menggairahkan kembali usaha pembatikan di Kota Sungai Penuh sebagai bagian dari
pengukuhan identitas hasil industri kreatif pengrajin yang ada di Kota Sungai Penuh

C. Sketsa ragam hias


D. warna pada hasil ragam hias
E. Rangkuman 
F. Kasus/Permasalahan 

Anda mungkin juga menyukai