Buku Mulok Aksara Incung
Buku Mulok Aksara Incung
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. Arsitektur Tradisional
A. Pengertian Arsitektur Tradisional
B. Aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional
C. Bentuk-bentuk Arsitektur Tradisional
E. Manfaat Arsitektur Tradisional
F. Rangkuman
G. Kasus/Permasalahan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
ARSITEKTUR TRADISIONAL
Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan (Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena
dan kejadian tampak mata
Kompetensi Dasar:
Filosofi arsitektur tradisional
Indikator:
1. Siswa dapat memahami bentuk-bentuk arsitektur tradisional kota Sungai Penuh
A. Pengertian Arsitektur Tradisional
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan
tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri,
stabil, kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama,
tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi,
pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik
keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
manusia dan zamannya. Karena manusia berubah maka sering pula aturan yang
berlaku berubah. Di dalam beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna
atau interpretasi dari bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena
nilai kemasyarakatan berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan
tersebut menurut pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147).
Gambar 01. Arsitektur tradisional
B. Aspek-Aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional
Mengingat bahwa tuntutan kebutuhan manusia selalu berkembang,
arsitekturnya pun akan terus berkembang. Arsitektur tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan kini dengan beragam aspek kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat
dijadikan landasan dalam merancang suatu arsitektur masa kini. Dijelaskan Eko
Budihardjo, 1996: 62 bahwa “Kekhasan seni-budaya lokal, iklim tropis, bahan
bangunan setempat, dan tuntutan kebutuhan masyarakat wajib ditimba sebagai
sumber ilham dan landasan perancangan.”
Hal tersebut diperinci oleh A. Sindharta dalam makalah “Landasan
Pengembangan Arsitektur Indonesia” (Eko Budihardjo,1997: 39-40) dengan
mengemukakan empat landasan untuk merintis dan mengembangan arsitektur
Indonesia masa kini, antara lain:
1. Karena iklim merupakan faktor sangat penting, harus dipertimbangkan dalam
perancangan dan perencanaan,
2. Penggunaan bahan lokal seperti batu bata, genting, kayu, bambu, hasil produksi
industri rakyat harus tetap dianjurkan, di samping bahan produksi teknologi
maju,
3. Seni kerajinan yang banyak ragamnya seperti seni ukir, ornamen, seni pahat,
seni tenun, dan seni anyam harus dimanfaatkan untuk memberi ciri kepada
arsitektur modern Indonesia.
4. Keanekaragaman budaya daerah, harus tetap dikembangkan, karena justru
keanekaragaman itulah merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Dalam skripsi ini, akan dijabarkan lebih lanjut dua aspek tradisional
meliputi budaya dan masyarakat.
D. Pulo Neghoi
Di dalam dusun dusun tradisional di Kota Sungai Penuh biasanya
terdapat ” Pulo Neghoi” (Pulau negeri,Pen) merupakan bangunan batu alam
tegak yang berada ditengah tengah dusun,konon pada masa lalu dikawasan “Pulo
Neghoi” dimanfaatkan untuk kegiatan upacara ritual’tari asyek”,dan sejak
masuknya agama Islam upacara ritual “tari asyek” secara perlahan lahan
mengalami pergeseran, karena dipandang tidak sesuai dengan ajaran dan
kebudayaan agama Islam
(Pulo Neghoi/ pusat negeri
E. Jirat Nenek
Bangunan lain yang terdapat di dalam dusun dusun tradisional
adalah”makam nenek moyang atau “ Jirat Nenek” yang berbentuk miniatur
rumah yang didalamnya terdapat makam/jirat nenek moyang, pada masa lalu atap
bangunan terbuat dari atap ijuk, dan saat ini bangunan jirat hanya terdapat
beberapa buah yang masih dirawat oleh masyarakat, diantaranya terdapat di
Sungai Penuh, Kumun Mudik, Debai, Pondok Tinggi, Koto Tengah Koto
Lolo,Koto Bento,dll
BAB 2
Teknik Pembuatan Arsitektur Tradisional
Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan(Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena dan
kejadian tampak mata
Kompetensi Dasar:
Memahami filosofi bentuk-bentuk arsitektur tradisional Kota Sungai Penuh
Indikator:
Siswa dapat Memhami filosofi bentuk-bentuk arsitektur tradisional Kota Sungai
Penuh
Pola bangunan pada Rumah Larik dibagi menjadi dua bagian yang terpisah,
yaitu:
1. Bagian utama atau bawah terdiri dari tiang-tiang besar;
2. Bagian atas terdiri dari tiang-tiang bubung dan atap.
Pembagian konstruksi rumah yang terpisah ini bukan berarti kekurangan bahan
baku kayu untuk mendirikan rumah. Pada zaman dulu bahan kayu sangat melimpah di
daerah ini. Orang Kerinci memiliki alasan mengapa tidak membuat tiang rumah
berupa tiang panjang yang langsung menyangga dari bawah hingga ke alang atau
balok bubungan. Hal ini disebabkan antara lain, yaitu:
a. Adanya kepercayaan orang Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas dua bagian,
yaitu dunia atas yang disebut Maliyu dan dunia bawah yang disebut Marena. Dunia
atas merupakan tempat kehidupan roh-roh nenek moyang, peri, dan dewa-dewa.
Dunia bawah tempat kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Keduanya merupakan sisi yang saling terpisah (Gambar 36).
b. Dari segi teknologi yang telah dipahami orang Kerinci selama ratusan tahun.
terpisahnya dua bagian ini akan mempermudah proses pengerjaan dan pemasangan
konstruksi. Semua pemasangan konstruksi Rumah Larik tanpa menggunakan paku
Sistem sambungan pada konstruksi yaitu berpasak kayu, silang bertakik, dan ikat
tali.
c. Adanya ungkapan dalam masyarakat Kerinci, yaitu Kayu gedeang tempek basanda
– Imbun daeu tempek batedeuh (Pohon besar tempat bersandar – rindang daun
tempat berteduh). Artinya: Pohon besar beserta akarnya merupakan konstruksi
tiang-tiang rumah yang menyangga kehidupan. Sedangkan rimbun daun dan
ranting-ranting merupakan bagian atas rumah agar dapat bertahan hidup dari
serangan terik matahari dan hujan. Sesuai dengan filsafat nenek moyang Kerinci,
bahwa alam diciptakan oleh Tuhan tetap dua-dua bagian yang terpisah, seperti
siangmalam, bumi-langit, laki-laki dan perempuan, hidup-mati, dan lain
sebagainya (Disparbud Kerinci 2003).
Orientasi tiang-tiang yang digunakan pada Rumah Larik pada umumnya kayu
bagian pangkal harus berada di sebelah bawah bertemu pondasi batu, bagian ujung
harus berada di atas dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk alang-alang dan
bagian lainnya dengan posisi horisontal, orientasi kayu tidak dipermasalahkan.
Seluruh dusun di Kerinci, Rumah Larik didirikan di atas batu pondasi yang disebut
batu sendai (Gambar 37). Menurut masyarakat, pondasi didirikan di atas batu
karena pohon-pohon di hutan Kerinci tidak ada yang tahan pelapukan air tanah
sehingga mudah ambruk jika ditanam. Batu pondasi yang dipilih adalah yang
berbentuk rata pada kedua permukaannya. Batu pondasi diletakkan di atas tiga
buah batu yang berfungsi sebagai bantalan. Batu bantalan ini dinamakan tungku
tigo. Batu ini lebih kecil ukurannya dari batu pondasi. Tungku tigo berfungsi
sebagai gaya main bangunan rumah jika terjadi gempa dan untuk mengatur
ketinggian tiang-tiang agar memiliki kerataan yang sama.
Ukuran sebuah Rumah Larik menurut Zakaria (1984) adalah 6 depa x 3 depa atau
sekitar 10,8 m x 6,4 m (1 depa = 1,8 m), tinggi rumah kira-kira 3 depa. Tinggi
kandang (ruang bawah) adalah 1,5 m, tinggi loteng 1,75 m, dan tinggi bubungan
sekitar 2 m. Sedangkan berdasarkan hasil Sayembara Rumah Adat Tradisional
Daerah Kerinci tahun 1994, diketahui bahwa Rumah Larik memiliki ukuran 11,55
m x 9 m dengan besar setiap ruang 3,85 m x 4,5 m. Sedangkan tinggi kandang 1,2
m dan tinggi dinding ruang atas 1,8 m (Gambar 38). Gambar 38. Denah Ruang
Atas Rumah Larik
Gambar . Denah Ruang Atas Rumah Larik
Rumah Larik yang asli sebenarnya tidak bersekat antar ruang baik ruang dalam
maupun ruang luar, tetapi hanya di sekat oleh sebuah dinding pada bagian tengah
yang memisahkan ruang dalam dan ruang luar (Gambar 39). Ruang luar adalah
tempat berkumpul keluarga atau dilaksanakannya pertemuan dan perundingan para
pemangku adat. Jika ada tamu, maka tuan rumah duduk di sebelah dinding tengah,
sedangkan tamu duduk di sebelah dinding depan dekat jendela. Apabila tamu
adalah Depati dan Ninik Mamak, maka tempatnya adalah di atas anjung yang
ditinggikan 10 cm dari lantai rumah. Anjung ini terletak di sebelah kanan dari
dinding tengah atau sebelah kiri dinding depan, bersandar ke dinding dan
menghadap ke ruangan.
Gambar. Denah Rumah Larik Tanpa Sekat (Sumber: Zakaria 1984)
Keterangan gambar:
A : Ruang dalam (dumeh)
B : Dapur (tanpa sekat)
C : Ruang makan
D : Anjung (tempat duduk orang adat)
E : Ruang Tamu
F : Palasa
// : Pintu
II : Jendela
= : Dinding (bisa buka pasang)
BAB 3
Bentuk-Bentuk Ragam Hias
2. Ragam hias juga biasa disebut Ornamen berasal dari bahasa Yunani "ornare"
yang artinya hiasan atau menghias. Menghias berarti mengisi kekosongan suatu
permukaan bahan dengan hiasan, sehingga permukaan yang semula kosong
menjadi tidak kosong lagi karena terisi oleh hiasan.
3. Ragam hias adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau disengaja
dibuat untuk tujuan sebagai sarana memperindah atau sebagai hiasan
4. ornamen sebagai adalah karya seni yang dibuat untuk diabdikan atau
mendukung maksud tertentu dari suatu produk, tepatnya untuk menambah nilai
estetika dari suatu benda/produk yang akhirnya pula akan menambah nilai
finansial dari benda atau produk tersebut.
B. JENIS-JENIS RAGAM HIAS
1. Ragam Hias Geometris
Pengertian Ragam Hias sesuai dengan namanya, ragam hias geometris
mengandung unsur-unsur garis, sudut, bidang, dan ruang. Garis-garis yang dibuat
bisa dalam bentuk garis lurus, melengkung, spiral, atau zig-zag. Ada pula dalam
bentuk bidang, seperti lingkaran, persegi, persegi panjang, segitiga, dan juga
layang-layang. Garis dan bidang tersebut dikombinasikan sehingga menghasilkan
suatu ragam hias geometris yang indah. Ragam hias geometris juga disebut-sebut
sebagai ragam hias tertua, karena sudah berkembang sejak zaman prasejarah.
Terdapat beragam jenis ragam hias geometris di nusantara, berikut penjelasannya.
Ceplokan
Arti kata ceplokan atau yang biasanya dibilang sebagai “ceplok” saja, adalah
bulatan untuk hiasan. Motif ceplokan terdiri dari satu motif saja, lalu disusun
secara berulang-ulang. Beberapa motif ceplokan yang sudah kita kenal yaitu :
Ceplok cakra kusuma
Ceplok nogosari
Ceplok truntum
Ceplok supit urang
Seperti yang bisa anda lihat pada gambar diatas bahwa ragam hias geometris juga
memiliki beberapa jenis dari ragam hias yang salah satu nya yaitu ragam hias
geometris ceplokan dan ragam hias ini juga masih memiliki beberapa motif yang
sudah di sebutkan diatas
Kawung
Kata kawung berasal dari bahasa Sunda yang berarti kolang-kaling. Jika kita
perhatikan dengan seksama, motif kawung memang mirip dengan buah aren atau
yang sering kita sebut kolang-kaling.
Ada pula sumber yang mengatakan bahwa motif kawung terinspirasi dari binatang
kuwangwung. Ragam hias kawung termasuk motif kuno, yang diciptakan oleh
seorang Sultan Mataram sekitar abad 13. Pada zaman itu, motif kawung hanya
boleh dipakai oleh keluarga kerajaan atau pejabat.
Beberapa sumber menyebutkan, motif kawung mengandung pesan agar manusia
selalu menjadi makhluk yang berguna, layaknya pohon aren yang seluruh
bagiannya bisa digunakan. Makna lain dari motif kawung, lebih tepatnya dalam
adat Jawa, adalah satu titik pusat keraton. Motif kawung juga disebut
sebagai papat madhep limo pancer; empat titik membentuk garis dan menghadap
satu titik yang dianggap sebagai pusat kekuatan.
Pilin
Ragam hias pilin, jika kita lihat sepintas, memang memiliki bentuk seperti huruf S.
Selain bentuk seperti huruf S, terdapat pula ragam hiasa pilin yang bentuknya SS
atau sering disebut sebagai pilin ganda. Ragam hias jenis ini juga terlihat mirip
dengan motif parang.
Tak jarang, ragam hias pilin lebih terlihat seperti bentuk spiral, seiring dengan
terus berkembangnya kreasi ragam hias nusantara. Ragam hias pilin juga memiliki
bentuk kreatif lainnya, seperti bentuk pita, berumbai, untaian, atau pusaran.
Motif ragam hias ini biasanya digunakan sebagai hiasan pinggiran, yang dimana
ukurannya dibuat lebih kecil dari ragam hias utama.Tak hanya dijadikan hiasan
pinggiran, ada juga ragam hias pilin yang dijadikan motif utama. Ragam hias jenis
pilin dapat kita lihat pada kain batik dan hiasan rumah tradisional.
Tumpal
Ragam hias tumpal memiliki bentuk segitiga sama kaki, yang pada zaman
prasejarah melambangkan hal magis. Ragam hias tumpal juga disebut sebagai
motif pucuk rebung. Motif pucuk rebung dianggap sebagai lambang pertumbuhan.
Ada pula sumber yang mengatakan bahwa konsep ragam hias tumpal
adalah konsep kesatuan. Konsep tersebut kemudian disebut sebagai kosmos yang
isinya keselarasan antara 3 hal, yaitu terdiri dari manusia, semesta, dan alam lain.
Motif tumpal juga memiliki kreasinya sendiri. Motif ini dapat disusun secara
berderetan, dengan posisi motif tumpal yang ujung runcingnya diatas atau pun
dibuat terbalik dengan ujung runcing dibawah. Motif tumpal dapat dibuat secara
polos, tetapi dapat juga diberi hiasan di bagian tengahnya, seperti bintang, garis-
garis, bunga, dan sulur-suluran. Memiliki fungsi yang hampir sama dengan motif
pilin, ragam hias tumpal biasa dijadikan hiasan pinggiran. Biasanya dapat kita lihat
pada ukiran candi atau pada kain batik.
Swastika
Motif swastika dipercaya sebagai simbol yang paling suci dalam kepercayaan
agama Hindu. Motif ini juga merupakan simbol yang dipercaya sebagai warisan
sejarah dan budaya. Ragam hias swastika dapat dikatakan sebagai motif tertua,
sekitar 4000 tahun lalu.
Bentuk dasar motif swastika adalah huruf Z atau zig-zag yang zaling berlawanan.
Ada pula motif swastika yang dibuat saling berkaitan satu dengan lainnya; motif
ini disebut motif banji.
Kata swastika merupakan terapan dari kata Swastyastu, yang berarti semoga dalam
keadaan baik. Tidak hanya menempati posisi sakral, motif swastika juga dijadikan
motif-motif hiasan arsitektur kuno atau modern. Motif swastika ditemukan pada
benda-benda bersejarah seperti koin, keramik, senjata, perhiasan, atau altar.
Meander
Kata meander berasal dari bahasa Yunani “meandros”, yang berarti liku atau
berkelok-kelok. Ragam hias meander merupakan garis batasan yang terdiri dari
garis yang saling berkaitan, lalu disusun berulang.
Ragam hias ini juga merujuk pada bentuk labirin, disebut sebagai labirin
meander. Berdasarkan sejarah, ragam hias meander berasal dari zaman Yunani
Kuno. Motif ini tidak hanya dipakai di Yunani, tetapi juga di Romawi dan Cina.
Motif ini merupakan sesuatu yang penting pada zaman Yunani Kuno, yang
melambangkan ketidakterbatasan dan kesatuan. Banyak sekali bangunan-bangunan
Yunani Kuno yang menggunakan motif meander sebagai hiasannya. Penggunaan
ragam hias meander mulai tersebar karena adanya vas khas Yunani Kuno, yang
sangat terkenal pada zaman geometris.
Pepatraan
Motif pepatraan dibuat berdasarkan keindahan bentuk flora, yaitu bentuk dedaunan
dan bunga. Seniman meniru bentuk daun, bunga, putik, dan ranting suatu flora,
lalu dibuat secara berulang. Pepatraan adalah motif yang sangat beragam, dan
masing-masing pepatran memiliki identitasnya sendiri. Contoh pepatraan yang
dikenal di Indonesia adalah patra sari, patra cina, patra punggel, dan patra
samblung.
Patra sari meniru bentuk flora yang menjalar, lalu disusun secara melingkar dan
berulang. Sari bunga adalah motif yang paling ditonjolkan, sehingga patra jenis ini
disebut patra sari. Berikutnya adalah patra cina, yang dipercaya sebagai jenis patra
yang dipengaruhi budaya cina.
Patra cina merupakan tiruan kembang sepatu, yang batang, daun, dan bunganya
dibuat dengan garis tegas. Patra punggel merupakan tiruan potongan tumbuh-
tumbuhan, dan umumnya meniru ujung daun paku yang masih muda. Patra
samblung merupakan tiruan tanaman menjalar yang berdaun lebar lalu dibentuk
secara melengkung.
Ragam hias kekarangan meniru suatu obyek dan dibuat sesuai aslinya. Selain
meniru bentuk aslinya, seniman akan menambahkan kreasi-kreasi lainnya untuk
menonjolkan keindahan ragam hias kekarangan. Obyek yang ditiru dalam ragam
hias kekarangan adalah flora dan fauna. Biasanya, sebuah karya kekarangan
meniru satu obyek saja, lalu ditambah dengan kreasi sang seniman.
Contoh ragam hias kekarangan yang meniru bentuk flora adalah karang simbar dan
karang bunga. Karang simbar adalah tiruan flora yang daunnya menjuntai ke
bawah atau yang berbentuk seperti tanduk menjangan. Karang simbar biasa dibuat
pada pasangan bebatuan pada bangunan tradisional Bali atau pada bangunan
wadah pada upacara Ngaben di Bali. Karang bunga merupakan tiruan bentuk
bunga beserta kelopak dan daunnya. Karang bunga dibuat pada penjolan bidang
suatu bangunan.
Keketusan
Motif keketusan dibuat dengan cara meniru salah satu bagian dari suatu flora.
Bagian flora yang biasa ditiru adalah bunga, sulur, dan daun.
Setelah meniru salah satu bagian flora, hasil tiruan itu dibuat secara berulang dan
ditambahkan bentuk-bentuk indah lainnya sesuai kreasi sang seniman. Motif
keketusan yang cukup dikenal adalah keketusan wangga, keketusan bungan
tuwung, dan keketusan bun-bunan.
Keketusan wangga adalah tiruan bunga besar yang mekar, dan juga berdaun lebar.
Keketusan bungan tuwung meniru bentuk bunga terung yang dibuat secara berliku
dan berulang. Motif lainnya adalah keketusan bun-bunan yang meniru bentuk
tumbuhan menjalar atau bersulur. Ragam hias dengan motif keketusan ini
bertujuan untuk mengisi pepalihan, yang artinya bagian yang berbentuk persegi
panjang. Bagian yang dimaksud adalah pundan berundak yang biasa kita lihat pada
pura atau candi.
Motif Garuda
Menurut sejarah, motif garuda merujuk pada sesuatu yang dianggap memiliki
kedudukan paling penting dalam pandangan orang Jawa. Burung garuda muncul
dalam cerita naiknya Bhatara Wisnu ke nirwana, dimana burung ini menjadi
tunggangan Sang Dewa.
Karena Bhatara Wisnu adalah dewa matahari, maka burung garuda selaku
tunggangannya juga dianggap sebagai lambang matahari. Selain lambang matahari,
burung garuda juga dianggap sebagai simbol kejantanan.
Motif garuda dapat dikatakan sebagai yang paling sederhana, karena tidak terlalu
banyak variasinya. Motif ini terdiri dari bagian ekor, dua sayap, dan ditengahnya
terdapat badan burung garuda. Karena pentingnya lambang garuda ini, maka
bentuknya diadopsi dalam bentuk motif kain batik.
- Pilin Ganda (berbentuk abjad S )> setiap sesuatu saling ketergantungan dan saling
membutuhkan
- Ragam Hias Turqi (auraka) dalam bentuk daun daun yang berjurai
- Ragam Hias Kaff wa darj> berbentuk garis garis melengkung
- Ragam Arabes( Zuchrufil-Arabi)>berbentuk anting anting daun dan bunga
- Ragam Cino sebatang, samang beradu punggoun, Mentade belage
- Ragam bungea betirai, ragam motive relung, dll.
Pada dasarnya semua ukiran pada masa lalu tidak diwarnai, diduga pada saat itu di
alam Kerinci(Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci) belum memiliki bahan
bahan zat pewarna untuk media material bangunan kayu/ papan .belakangan ini
akibat dampak perkembangan zaman dan tekhnologi, arsitektur tradisional suku
Kerinci khususnya di Kota Sungai Penuh semakin tergerus dan mengalami
perubahan, manusia sebagai penggerak utama perubahan semakin terdesak oleh alam
dan lingkungannya, berbagai pengaruh tekhnologi dan tuntutan perubahan zaman
membuat arsitektur bangunan rumah asli di Kota Sungai Penuh semakin tergeser dan
terpinggirkan, dan di khawatirkan untuk abad mendatang arsitektur tradisional
bangunan di Kota Sungai Penuh akan punah dan akan menjadi kenangan masa lalu.
C. Rangkuman
D Kasus/Permasalahan
BAB 4
Prosedur Penerapan Ragam Hias
Kompetensi Inti
Memahami Pengetahuan(Faktual,konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya yang terkait penomena dan
kejadian tampak mata
Kompetensi Dasar:
Filosofi ragam hias dan ornamen
Indikator:
Siswa dapat Memhami filosofi prosedur penerapan ragam hias pada bahan buatan
Sungai Penuh yang berada di wilayah paling barat propinsi Jambi merupakan
salah satu pusat perkembangan sastra melayu di bukit barisan/puncak andalas pulau
sumatera yang masih mewariskan aksaramelayu pra islam serta bentuk ratap tangis
yang pada umumnya tidak lagi terdapat pada masyarakat yang telah menganut agama
islam.
Pada masa periode peralihan setelah masuk alat dan media tulis serta aksara
yang baru,akan tetapi aksara yang lama tidak serta hilang. Media bambu dan tanduk
belum bias ditinggalkan.
Saat ini Pemerintah Kota Sungai Penuh melalui Dinas Terkait dan Dekranasda
Kota Sungai Penuh kembali mendorong dan membantu pengrajin batik untuk
menggairahkan kembali usaha pembatikan di Kota Sungai Penuh sebagai bagian dari
pengukuhan identitas hasil industri kreatif pengrajin yang ada di Kota Sungai Penuh