Salah satu pelanggaran etika penelitian adalah penipuan saintifik (scientific fraud),
yaitu usaha untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara
sengaja. Pada tahun 1830, matematikawan dari Inggris bernama Charles Babbage (dalam
Nur, 2004) menerangkan teknik manipulasi data, yakni trimming (menghapus data yang tidak
cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan
hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Kasus penipuan saintifik
salah satunya ditemukan pada tahun 1980-an, dimana seorang kardiolog muda bernama John
Darsee, yang bekerja di salah satu lembaga riset bergengsi di dunia yaitu Harvard Medical
School di Boston, Massachusetts (Nur, 2004). Dia dikenal sebagai ilmuwan yang berbakat
karena telah mempublikasikan hampir 100 artikel dan abstrak dalam masa dua tahun di
Harvard. Pada tahun 1981, rekan-rekan kerja Darsee mengetahui dan melaporkan kepada
kepala laboratorium bahwa dia telah membuat data palsu dalam eksperimen. Mereka juga
melaporkan bahwa Darsee juga telah memalsukan data di beberapa artikel yang telah
dipublikasikan. Ketika diselidiki, Darsee mengaku telah melakukan hal tersebut.
Penyelidikan berikutnya juga menemukan bahwa Darsee telah memalsukan data bukan saja
di Harvard, tetapi di posisi sebelumnya di Emory University di Georgia dan bahkan ketika
sebagai mahasiswa sarjana di Notre Dame University di Indiana. Darsee dikeluarkan dari
Harvard dan ditutup kemungkinannya untuk menerima dana riset dari pemerintah. Artikelnya
di jurnal yang memuat data palsu tersebut juga telah ditarik kembali.
Sumber : http://kampus4u.blogspot.com/2015/04/etika-penelitian-riset.html
Kasus 2
Analisis Kasus Selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate Governance
(GCG) kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi
terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan. Pertama, GCG merupakan
salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang,
sekaligus memenangkan persaingan bisnis global terutama bagi perusahaan yang telah
mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan
Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di
antaranya, Sistem Regulatory yang payah, Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten,
praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang
peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas. Praktik bisnis Enron yang
menjadikannya bangkrut dan hancur serta berimplikasi negatif bagi banyak pihak merupakan
salah satu dampak penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang buruk.
Alhasil, Pihak yang dirugikan dari kasus ini tidak hanya investor Enron saja, tetapi terutama
karyawan Enron yang menginvestasikan dana pensiunnya dalam saham perusahaan serta
investor di pasar modal pada umumnya (social impact). Milyaran dolar kekayaan investor
terhapus seketika dengan meluncurnya harga saham berbagai perusahaaan di bursa efek. Jika
dilihat dari Agency Theory, Andersen sebagai KAP telah menciderai kepercayaan dari pihak
stock holder atau principal untuk memberikan suatu fairrness information mengenai
pertanggungjawaban dari pihak agent dalam mengemban amanah dari principal. Pihak agent
dalam hal ini manajemen Enron telah bertindak secara rasional untuk kepentingan dirinya
(self interest oriented) dengan melupakan norma dan etika bisnis yang sehat.
Sumber :
https://minio1.123dok.com/dt03pdf/123dok/pdf/2018/07_04/yvvhyt1593197094.pdf?X-Amz-
Content-Sha256=UNSIGNED-PAYLOAD&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-
SHA256&X-Amz-Credential=HBT28R878GBP52A279VA%2F20210928%2F
%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-Date=20210928T070844Z&X-Amz-
SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=600&X-Amz-
Signature=36205a5547ab82d8fe7e031429ee92c418d0b35090bc36fbb96698a353c3c9f3
Dari kasus tersebut, apabila dikaitkan dengan Good corporate Governance, Enron telah
melakukan pelanggaran dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance antaralain :
1. Adanya pelanggaran prinsip Keterbukaan Informasi Transparansi bisa diartikan sebagai
keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam
mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan
prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat
waktu kepada segenap stakeholders-nya. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan
keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Keterbukaan
dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga
nilai pemegang saham dapat ditingkatkan. Pada kasus Enron ini terdapat data yang
menyebutkan laporan keuangan Enron memiliki laba bersih yang meningkat naik $100 juta
dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, tidak menjelaskan secara rinci
tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1
miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644
juta. Akibatnya, karena tidak adanya prinsip keterbukaan tersebut, stakeholder tidak dapat
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan
sehingga pada akhirnya ketika Enron mengalami kebangkrutan, para stakeholder perusahaan
dirugikan karena tidak adanya keterbukaan dan keakuratan informasi.