Anda di halaman 1dari 5

Tiga Faktor Penyebab Kebiasaan Tidak Etis Dalam Bisnis

Etika bisnis melibatkan pengaplikasian prinsip etika secara umum ke aksi dan
keputusan dan perilaku pegawai mereka. Meskipun beberapa perusahaan memastikan strategi
perusahaannya berada dalam koridor yang legal, tetapi kenyatannya mereka tidak selalu
memberi perhatian untuk memastikan bahwa stategi mereka dianggap etis.

Tiga faktor penyebab Kebiasaan tidak etis

 Kepentingan Pribadi
Kekhilafan membuat sesorang melalkukan sesuatu untukmelakukan perbuatan yang
tidak bermoral demi keuntungan pribadi. Orang-orang yang terobsesi dengan
akumulasi kekayaan, serakah, kekuasaan, dan kepentingan egois lainnya sering
membuat prinsip etis menjadi dikesampingkan untuk memperoleh keuntungan pribadi
yang digerakkan oleh ambisi mereka, mereka akan membuat hal apapun yang
dibutuhkan untuk meraih tujuan mereka.
Hal ini tergambarkan dalam kasus korupsi Perusahaan Jiwasraya.

Pelanggaran Etika Bisnis Kasus Mega Korupsi Jiwasraya Penyebab kerugian AJS
antara lain bersumber dari pertimbangan bisnis di mana AJS menempatkan dananya
pada saham-saham yang memiliki volatility cukup tinggi di mana ternyata di
kemudian hari harganya jatuh. Terkait dengan pertimbangan bisnis tersebut terdapat
beberapa hal yang menjadi concern yakni adanya pelanggaran etika bisnis sebagai
berikut:

1. Investasi saham dalam jumlah besar yang bersumber dari premi para pemegang
polis pada saham-saham berkualitas rendah. Seharusnya dalam mengelola dana
nasabah dituntut kejujuran, kehati-hatian, transparansi dan tanggung jawab moral.
2. Pemberian harapan semu kepada pada pemegang polis melalui janji memberikan
tingkat imbal hasil dengan nilai di atas nilai imbal hasil investasi lain seperti
deposito.
3. Adanya informasi yang tidak diungkapkan kepada para pemegang polis terkait
mengapa klaim pemegang polis atas produk asuransi AJS tidak dapat dicairkan.
Pertimbangan tersebut tidak terlepas dari perilaku manajemen dalam penetapan
kebijakan, pengambilan keputusan dan operasional perusahaan yang diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adanya tekanan yang bersumber
dari kondisi keuangan perusahaan yang buruk dan kewajiban untuk memenuhi
mandat pemegang saham untuk menghasilkan deviden.
Faktor kedua adalah self interest, agar terlihat berprestasi dengan
menyelesaikan permasalahan keuangan secara cepat melalui jalan pintas,
agar masa jabatan dapat diperpanjang dan juga kesempatan untuk
menerima bonus yang lebih besar. Kedua faktor tersebut menyebabkan
manajemen yang seharusnya berpikir secara rasional dan bertanggung jawab,
menjadi tidak rasional. Mengutip teori behavioral economic, dalam kasus JWS
terbatasnya rasionalitas manajemen yang mendorong terjadinya systemic thinking
error yang ditunjukkan antara lain melalui perilaku cognitive bias. Oleh karena itu,
pengendalian perilaku manajemen dalam penetapan kebijakan, pengambilan
keputusan dan operasional perusahaan harus dijaga agar tetap obyektif, yaitu
dengan menjaga:
1. Integritas pemegang amanah (pemegang saham, manajemen dan pegawai)
2. Profesionalisme manajemen dan pegawai
3. Ketaatan manajemen dan pegawai pada etika profesi
4. Track record senantiasa baik
5. Keterbukaan informasi ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 23 No. 1 /
2020 Tita Nurvita: “Fraud Ditinjau dari Falsafah Sains dan Etika Bisnis Kasus
Mega Korupsi...” 39
6. Pengawasan OJK
 Tekanan yang berat
Ketika pegawai berloba-lomba untuk memenuhi ekspektasi penjualan dan keuntungan
triwulanan atau tahunan, mereka sering merasakan tekanan yang sangat besar untuk
melakukan apa pun guna melindungi reputasi mereka dalam memberikan hasil yang
baik. ketika tekanan meningkat, mereka mulai meregangkan aturan lebih jauh dan
lebih jauh sampai batas perilaku etis diabaikan.

Pemicu fraud yang dilakukan oleh Dewan Direksi dan jajaran Manajemen AJS
ditinjau dari teori fraud diamond antara lain adalah:

1) Pressure atau tekanan.


Pemerintah sebagai pemegang saham telah menentukan target yang fantastis yang
bisa jadi bertujuan memperbaiki kinerja keuangan dalam waktu singkat.
Pemegang saham tidak menyadari target yang fantastis dapat memicu BOD
melakukan hal-hal bersifat manipulative. Selain itu target investasi yang
ditentukan dalam rangka memenuhi janji memberikan tingkat imbal hasil yang
tinggi, membuat manajer investasi mengambil langkah dengan menggoreng saham
demi memperoleh keuntungan dari saham-saham berkualitas rendah.
2) Opportunity atau kesempatan, dilakukan oleh manajer investasi yang memiliki
capability dalam membaca peluang melakukan fraud tersebut. Karena Manajer
investasi merupakan orangorang yang memiliki keahlian dalam berinvestasi dan
mereka mampu melihat peluang yang ada, namun keahlian ini disalahgunakan
untuk kepentingan pribadi.
3) Rationalization atau rasionalisasi. BOD menganggap apa yang dilakukan adalah
sesuatu hal yang tidak melanggar hukum, karena upaya tersebut dilakukan dalam
rangka memenuhi target yang diinginkan oleh para nasabah.

 Profitability
Sebuah budaya perusahaan yang menempatkan keuntungan dan performa bisnis yang
baik diatas kebiasaan etis. dan tidak apa-apa untuk membengkokkan aturan dan
menyelesaikan pekerjaan
Ketika budaya perusahaan menciptakan iklim kerja yang korup secara etis atau
amoral, orang-orang seperti memperoleh izin dari perusahaan untuk mengabaikan apa
yang benar dan terlibat dalam sebagian besar perilaku apa pun yang menurut mereka
dapat lolos dari norma budaya karena menganggap orang lain juga melakukannya dan
menganggap tidak apa-apa untuk membengkokkan aturan untuk menyelesaikan
pekerjaan. Selain itu, tekanan budaya untuk menggunakan cara-cara tidak etis dapat
muncul jika keadaan menjadi menantang sehingga dapat mendorong orang-orang
terhormat untuk berperilaku tidak etis. Aspek faktor profitability yang memengaruhi
etika bisnis tergambar dalam kasus berikut:

Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and
Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan
hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan
parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan
kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka
mengembangkan obat tersebut untuk manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut,
penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis
dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih
dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat
mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu
mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat
Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual
untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang
selama ini menguntungkan.

Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun


pendapatan bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya,
termasuk kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang
akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer
Merck enggan membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti
untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan
menyakitkan. Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa
keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk
diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib
mengenyampingkanbiaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah
anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.

Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck
berhasil membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan
seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya
tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO,
pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau
membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak
satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan
secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan
kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan
membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia
ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya
untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang
secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan
potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.

Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan


mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan
etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat
bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan dating.
Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki
keuntungan strategis jangka panjang yang penting

Anda mungkin juga menyukai