Anda di halaman 1dari 60

Terbentuknya Nama Lebong

(Rejang Empat Petulai)

Alkisah pada masa empat Bikhu berkuasa di tanah Renah Sekalawi ada terjadi
suatu bencana, suatu malapetaka yang dahsyat, yaitu rakyat mereka banyak jatuh sakit
dan meninggal. Segala ikhtiar telah dijalankan untuk menangkis malapetaka itu, tetapi
semuanya tikak berhasil. Maka dimintalah ramalan ahli nujum.
Menurut ramalan itu, yang menyebabkan mara bahaya adalah seekor beruk
(sejenis kera) putih yang berdiam di atas sebuah pohon besar, yang bernama Benuang
Sakti. Apabila beruk itu berbunyi ,kemana arahnya menghadap, maka negeri-negeri
bagian yang dihadapinya itu mendapat malapetaka seperti yang mereka alami dan
derita pada masa itu.
Atas pemufakatan keempat Bikhu, batang Benuang Sakti tempat kediaman
beruk putih harus dicari sampai dapat dan ditebang. Usaha mencari pohon tersebut
tidaklah dilakukan secara bersama-sama hanya kesatu arah, tetapi tiap-tiap kesatuan
berpencar untuk mencarinya dan harus menemukan pohon benuang yang diramalkan
itu. Jadi, ada yang menuju ke arah timur, barat, selatan dan adapula yang ke utara.
Hasilnya adalah pertama kali yang menemukan pohon besar itu adalah anak buah Biku
Bermano. Mereka mulai menebang pohon tersebut, tetapi bagaimanapun usaha
mereka menebangnya, pohon itu tidak juga roboh. Malahan semakin dikapak, pohon
itu semakin bertambah besar.
Dalam pada itu, muncullah anak buah pimpinan Biku Sepanjang Jiwo, sambil
berkata dalam bahasa Rejang, “Bi pues keme beubeui-ubeui mesoa, uyo mako
bertemu”. Artinya: aduhai telah puas kami berduyun-duyun bersama mencari, sekarang
barulah bertemu. Maka dikerahkanlah tenaga baru itu dan bersama-sama mereka
semua mulai berusaha merobohkan pohon besar itu, tetapi jerih payah mereka itu pun
juga tidak berhasil. Kemudian muncul pula anak buah pimpinan Biku Bejenggo dan
mereka segera turut membantu menrbang pohon, tetapi pohon itu tidak juga tumbang,
malahan bukan makin berkurang dagingnya, sebaliknya batangnya bertambah besar.
Maka berkatalah anak buah pimpinan Biku Bermano dalam bahasa Rejang sebagai
berikut :
“Keme yo kerjo cigai ade manaine igai, anak bueak Biku Sepanjang Jiwo bi
berubeui-ubeui kulo, anak bueak Bikau Bejenggo bi gupeak kulo kerjo tapi ati kene
kiyeu yo lok uboak, barangkalei anak bueak Bikau Bembo alangne igai uboak,
barangkalei anak bueak Bikau Bembo alangne igai mako solok uboak kiyeu yo”. (Kami
telah bekerja hingga tiada berdaya lagi, anak buah Biku sepanjang Jiwo telah bersama-
sama pula bekerja dan anak buah Biku Bejenggo pun turut bersama-sama, tetapi
pohon itu tiada juga hendak rroboh, barangkali anak buah Biku Bembo yang menjadi
penghalangnya).
Kebetulan pada waktu itu muncul anak buah pimpinan Biku Bembo, dan karena
kegirangan mereka menemukan bukan hanya pohon yang dicari, tetapi orang-orang
dari ketiga kesatuan yang telah berkumpul disitu. Maka terlontarlah kata-kata dari anak
buah Biku Bembo dalam bahasa Rejang, “pio bah kumu telebong” (disini kiranya
saudara-saudara berkumpul). Sejak peristiwa bersejarah inilah Renah sekalawi
bertukar nama menjadi Lebong.
Cerita selanjutnya,kepada Biku Bembo diceritakanlah perihal kegagalan mereka
menebang pohon tersebut. Maka bermusyawarahlah mereka berempat mengenai
peristiwa yang aneh ini. Sebagai hasil musyawarah, mereka akan bertarak (bertapa)
meminta petunjuk dari Sang Hyang Widi, bagaimana cara menebang pohon besar itu
supaya roboh. Hasil bertarak yang mereka lakukan itu ialah bahwa pohon itu menurut
Sang Hyang Widi akan rebah apabila dibawahnya digalang tujuh gadis muda remaja.
Oleh karena anak buah pimpinan Biku Bembo tiba paling belakangan dan belum
sempat bekerja, maka ditugaskanlah kepada mereka untuk mencari tujuan orang gadis
yang dikehendaki sebagai penggalang. Setelah tujuh gadis itu didapati, mereka
bermusyawarah lagi untuk mencari jalan keluar agar ketujuh gadis sebagai penggalang
tersebut tidak akan menjadi korban atau mati ditimpa oleh pohon besar yang akan
dirobohkan itu.
Dalam musyawarah itu ditetapkan bahwa mereka hendaklah menggali parit yang
besar untuk melindungi gadis penggalang. Maka digalilah parit sembilanan hasta
dalamnya dan sembilan hasta lebarnya, sedang bagian atas parit digalang pula dengan
pelupuh. Pekerjaan menggali parit dilakukan bersama-sama secara bergotong royong
dan dibagi-bagi sebagai berikut, ada yang semata-mata menggali parit, ada yang
membuat penggalang, ada yang mencari penutup parit, ada juga yang menyediakan
makanan bagi orang-orang yang bekerja. Setelah pekerjaan menggali parit selesai dan
ketujuh gadis itu dijadikan penggalang, maka mulailah pohon ditebang, dan
sesungguhnya pohon besar itu roboh di atas tempat gadis itu berlindung. Dengan
adanya parit tersebut, terhindarlah tujuh gadis penggalang itu dari maut, beruk putih
yang berdiam di pohon itu seketika menghilang.
Sejak peristiwa tersebut di atas, mulailah petulai-petulai mereka diberi nama
menurut pekrtjaan anak buah pimpinan masing-masing dalam usaha bersama-sama
menebang pohon Benuang Sakti itu. Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui,
asal kata ini berasal dari bahasa Rejang “beubei-ubeui” yang artinya berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata bahasa Rejang “beram manis”
yang artinya tapai manis. Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata bahasa
Rejang “berupeui-upuei” yang artinya bertumpuk-tumpuk. Petulai Biku Bembo diberi
nama Juru Kalang asal kata bahasa Rejang “kalang” yang artinya galang. Sejak saat
itulah orang-orang yang berada dalam lingkungan pimpinan masing-masing mulai
disatukan.
Semua rakyat di bawah pimpinan Biku Sepanjang Jiwo, dimana saja mereka
berada disatukan dibawah kesatuan Petulai Tubeui.
Semua rakyat dibawah pimpinan Biku Bembo, dimana saja berada disatukan
dalam kesatuan petulai Jurukalang.
Semua rakyat dibawah pimpinan Biku Bejenggo, dimana saja disatukan dalam
kesatuan Petulai Selupuei.
Semua rakyar dibawah pimpinan Biku Bermano, dimana saja disatukan dalam
kesatuan Petulai bermanai.
Dari sinilah tercipta “Rejang Empat Petulai” suku bangsa Rejang yang dikenal
sampai sekarang.
Ada legenda versi kedua dari masyarakat pekal tentang terbentuknya Rejang
Empat Petulai yang hampir mirip dengan legenda masyarakat Rejang ceritanya sebagai
berikkut:
Ada dahulu kala kayu Benuang sakti di Pagaruyung. Ditunggu siamang putih
tangan di atas itu. Kalau siamang itu berbunyi menghadap matahari naik, banyaklah
orang kesakitan atau pun mati sebelah situ, kalau siamang itu berbunyi menghadap
matahari turun, banyaklah orang sakit ataupun mati sebelah situ juga. Pendek kata,
kemana siamang putih tangan itu berbunyi, disitulah banyak orang sakit atau mati.
Menurut kabar dari orang tua-tua, dahulu kala mufakatlah raja-raja Pagaruyung
dan tuan-tuan Pagaruyung mau menebang kayu Benuang sakti itu akan menangkap
siamang putih tangan penunggu pohon itu. Sesudah itu dimulai penebangan kayu
Benuang sakti itu. Ditebang satu kali pohon itu tambah tebal. Berbunyi siamang putih
tangan diatas kayu itu, berkata:” Pohon itu tidak mau roboh kalalu tidak ada lapik
seoorang putri darah putih”. Berasanlah orang empat mau tebang kayu Benuang sakti,
pergi daerah putih dari raja Majapahit.
Ditanya kepada raja Majapahit meminjam Putri Daerah Puutih sebagai lapik
menebang pohon Benuang sakti. Diadakan perjanjian dulu, berkata raja majapahit,
“Pinjam Putri Darah Putih boleh saja asalkan tiadanya cacad atau cela apapun”.
Sesudah ditetapkan perjanjian tersebut, maka orang empat itu membawa Putri Darah
Putih anak raja Majapahit ke Pagaruyung, anak dijadikan lapik kayu benuang sakti.
Setelah sampai maka mufakatlah orang empat itu apa akal kita jangan sampai
anak itu dapat cacad atau cela. Jadi kebulatan mufakat Putri Darah Putih dikubuur dan
digalang lagi diatas kubuurnya dengan kayu-kayu besar. Itu lagi jikalau kayu benuang
sakti roboh jangan sampai Putri Darah Putih itu tertimpa Benuang sakti hingga
mendapat cacad atau cela. Maka dikuburkan Putri Darah Putih dibawah pohon
teersebut. Dalam kuburan sembilan depa,sembilah hasta, ditambah sembilan jari.
Kemudian Bembo menggalang dengan kayu besar, ditaroh diatas kuburan itu supaya
batang Benuang sakti itu, waktu roboh, tidak akan kena beban Putri Darah Putih, takut
mati.
Sesudah siap semua penggalangan itu, Bermano masak perjamuan untuk orang
yang menebang Benuang sakti itu “beram manis” artinya tapai manis, itulah perjamuan.
Terus kayu Benuang sakti, menimpa kuburan tersebut, mematahkan kayu-kayu
penggalang diatasnya, teruslah sampai di dalam kuburan hingga jarak tinggal sembilan
jari dari badan Putri Daerah Putih, maka selamatlah Putri Daerah Putih. Benuang sakti
itu roboh sama sekali. Satu, Sepanjang jiwo naik diatas batang Benuang sakti laju
meniti lupuhnya. Dua, Bejinggo sanjar-sanjar menubur diujung daunnya menghadap
jikalau siamang putih itu lari. Akan tetapi siamang putih tangan itu tidak ditemukan lagi.
Sewaktu itulah bertembo gelar dan barbagi bang mego: engkau Bembo menggalang
batang Benuang sakti itu, maka sekarang bergelar biku Bembo, ketua Jurukalangan.
Engkau Bermano masak beram manis maka bergelarlah biku Bermano, ketua dari
Bermani. Engkau sepanjang Jiwo meniti lupuh batang Benuang sakti itu, maka
bergelarlah biku Sepanjang Jiwo, ketua Selupu. Engkau Bejenggo,sanjar-sanjar
menubai menghadang di dahan-dahan siamang putih tangan itu, maka bergeraklah
Biku Bejenggo, ketua bang mego Tubeui. Disitulah asal menetap bang mego Rejang
Empat Petulai, sampai sekarang ini.
Jadi batang Benuang sakti itu retak sama sekali, dahan-dahannya putus-putus
dan rantainya bertebar-tebar, daun-daunnya habis berserak-serak. Terus Putri Darah
Putih dikeluarkan dari kuburan itu, tiada cacad atau cela tetapi menggenggam bunga
itulah celanya sedikit. Adapun siamang putih tangan tiada lagi, sudah hilang. Terus
bermufakatlah Biku empat tersebut, siapakakh diantara mereka akan mengaku kepada
raja Majapahit. Jadi bulat mufakat bakal mengaku Biku Bembo. Sesudah itu, pergilah
mereka ke Majapahit telah sampai mengakulah Biku Bembo. Jawab raja Majapahit,
“Kalau begitu tanda aku akan mendapat menantu dan cucu, tinggallah Biku Bembo
disini, pergilah kamu bertiga ke Pagaruyung”. Jadi pulanglah yang tiga itu, tinggallah
Biku Bembo di Majapahit menjadi menantu disitu, berumah pada Putri Darah Putih.
Berkata Biku Bembo kepada Putri Darah Putih, “Sekitarnya anak kamu lanang itu
bagian aku, beri nama Serunting Sakti sebab kamu dapat cacad atu cela dikala tebang
kayu Benuang sakti. Sekiranya anak itu perempuan itu bagian kamu, terseralah
padamu, sebab saya akan pergi ke tanah Renah Sekalawi. Jikalau anak itu sudah
besar mau menurut saya, dimana ada tanah Majapahit disitulah ada aku”. Maka
ditinggalkan oleh Biku Bembo tongkatnya dan cincin kepada Putri Darah Putih.
Amanatnya sekira anak itu lanang, kasihlah tongkat dan cincin itu, suruh dia membawa
menuruti aku. Jadi Biku Bembo mengambil tanah Majapahit sedikit ditaroh dalam
bungkkusan kemudian dibawa.
Ia kemudian merintis rimba, lama kelamaan sampai ke tanah Renah Sekalawi
menuju dusun Lubuk Bedian. Di dusun itu tinggal ketua Rejang Sawah, raja Siang
namanya. Lajylah Biku Bembo beristri mengambil anak raja Siang di Lubuk Bedian,
kemudian menjadi raja Lubuk Bedian mengganti raja Siang. Berganti dengan raja
Lubuk Bedian, maka dusun itu dipindah pula, jadi Tapos sampai sekarang ini. Disitulah
tanah Majapahit itu ditanamnya. Biku Bembo menurun anak laki-laki tujuh: Rio Tahun,
Rio Menahan, Rio Apai, Rio Mueun, Rio Tebuan, Rio Baking dan Rio Setanggai
panjang. Adapun Putri Darah Putih melahirkan anak lanang di Majapahit, di tanah
Jawa. Waktu anak itu besar dikatakan anak tidak berbapak, bertanya Serunting Sakti
kepada ibunya mengenai ayahnya itu. Dijawab, “Ayah ada tapi pergi dari kerajaan
Majapahit”. Terus anak itu akan mencarikan ayahnya sendiri, membawa tongkat dan
cincin pemberian ayahnya. Berangkatlah ia merintis rimba, menyeberang laut. Lama
kelamaan datang dia di Renah Sekalawi, bertemu dengan tujuan orang di Tapos,
seakan-akan tujuh orang itu menjaga musuh datang. Ditanya namanya jawab Serunting
Sakti,” Aku anak Biku Bembo”. Timbul peperangan antara tujuh orang itu dengan
Serunting Sakti, senjata-senjata tidak ada yang mempan. Terus Serunting Sakti mau
masuk ke dusun dilapor orang tujuh itu kepada Biku Bembo. Terus Serunting Sakti
disuruh masuk membuat perlawanan dengan bapaknya sendiri. Sesudah terbukti
kesaktian Serunting Sakti itu, maka diterima oleh Biku Bembo. Akan tetapi, anak tujuh
yang lain itu tidak mau menerimanya di daerah itu. Terus mereka berbagai, Seruntung
Sakti disuruh pulang ke tanah Jawa. Waktu dia singgah di tanah Belandang
(Palembang), dia kawin disitu lantas jadi orang malas. Raja Belandang tidak senang
sama menantu macam itu, hendak dia dibunuh. Dipanggil hulubalang empat puluh
orang, kira-kira dini hari istrinya mengatakan kepada Serunting Sakti dia akan dibunuh
nanti pagi. Sesudah itu Seruntung Sakti turun ke halaman,hulubalang sudah kumpul
disitu. Serunting Sakti tarik telinga satu dubuatnya alas tidur, dan ditariknya telinga lain
dijadikan selimut, terus dia berbaring minta dibunuh. Melihat kesaktian Serunting Sakti,
maka hulubalang empat puoluh orang itu tidak berani mendekatinya. Raja jadi kecewa,
panggil hulubalang larang membunuh Serunting Sakti di halaman istana itu.
Bergeraklah Serunting Sakti menjadi Telingo Lambing. Lantas Telingo Lambing diusir
dari istana dengan membawa ayam berugu (ayam hutan). Hulubalang disuruh
menyusul Serunting Sakti, membunuh ditengah perjalanan. Sampai di hutan tidak
mempan senjata apapun. Dilihat Telingo Lambing di muka, dia dibelakang; dilihatnya
dibelakang, dia dimuka. Bertanya Telingo Lambing kepada hulubalang itu,”Apakah mau
menurut saya atau mau dibunuh semua disini juga?. Terus hulubalang ikut dengan
Telingo Lambing. Mereka berjalan, lama kelamaan sampai di Nuak Kepahyang,
berkukuklah ayam berugu itu di situ. Terus Serunting Sakti bergelar Telingo Lambing
menetap di situ, di pinggir Air Kotok, marga Bintunan, Lais sekarang. Hulubalang itu
diletakkan di Gelguak, hulu air Bintuhan dekat Kota Baru.

Tepak Keramat

Di tepi sungai air palik ada sebuah kerajaan bernama Turun Bumai. Bahasa
resmi kerajaan Turan Bumai adalah bahasa Rejang. Rajanya bernama Raja Jenak dan
dikaruniai seorang anak perempuan diberi nama Putri Rindu Bulan. Selain cantik Putri
Rindu Bulan juga memiliki tingkah laku sopan serta halus budi bahasanya. Tidak heran
kalau ia menjadi rebutan perjaka-perjaka tampan untuk mememinangnya, termasuk
anak Raja kerajaan Sungai Lemau yang berjuluk Bujang Tunggal.
Bujang tunggal sangat menginginkan Putri Rindu Bulan menjadi permaisurinya.
Hal keinginannya itu ia sampaikan kepada ayahandanya dan ayahandanya setuju untuk
menjodohkan anaknya dengan Putri Rindu Bulan. Maka diutuslah beberapa hulu balang
untuk menyampaikan maksud putri raja Turun Bumai tetapi selalu saja tidak berhasil
ada saja halangannya, berbagai macam adlas selaludikemukakan dari pihak
perempuan. Bujang tunggal sudah tidak sabar lagi, ia mendesak ayahnya untuk
merebut secara paksa dengan menyerbu kerjaan Turun Bumai. Ayahanda berpikir lama
mencari siasat bagaimana cara tebaik untuk mendapatkan keinginan anaknya.
Dibuatlah siasat, pasukan Sungai Lemau mengganggu perbatasan dengan kerajaan
Turan Bumai berkali-kali mengadakan serangan-serangan. Akhirnya supaya kedua
belah pihak tidak terjadi pertumpahan darah lebih besar lagi, Raja Jenak mengajak
berunding kerajaan Sungai Lemau agar saling menjaga diri dan tidak lagi terjadi
serangan-serangan yang merugikan kedua belah pihak. Dibuatlah perjanjian yang mesti
ditaati kedua belah pihak kalau terjadi pada kerajaan masing-masing. Bunyi perjanjian
itu “Baik sama baik rusak sama binasa” artinya kalau jaya bersama jaya kalau binasa
sama binasa.
Siasat Raja Sungai Lemau berhasil mengikat perjanjian dengan Raja Turun
Bumai, maka untuk menghancurkan kerajaan Turan Bumai tidak perlu harus melakukan
serangan cukup dengan menggunakan perjanjian sebagai cara paling bijaksana. Raja
Turan Bumai tidak merasa kalau perjanjian itu hanya siasat belaka.
Sudah beberapa lama, dengan perkiraan suasana sudah tenang mulailah Raja
Sungai Lemau melaksanakan siasatnya. Mula-mula rakyat yang bertempat tinggal di
perbatasan dikerahkan membangun pondok-pondok dari bambu beratap ilalang.
Pondok mainan ini dibuat beratus-ratus jumlahnya, kemudian pada malam harinya
diperintahkan untuk membakar semua pondok mainan tersebut agar terkesan bahwa
kerajaan Sungai Lemau habis terbakar.
Cahaya api pondok yang terbakar di kerajaan Sungai Lemau ini kelihatan dari
kerajaan Turan Bumai disertai suara sayup-sayup bambu betung meledak bersahut-
sahutan. Sebelum rombongan dari kerajaan Turun Bumai pergi menyelidiki apa yang
terjadi di kerajaan Sungai Lemau tahu-tahu utusan dari Sungai Lemau sudah tiba di
kerajaan Turan Bumai sambil membawa pesan raja bahwa kerajaan sungai Lemau
habis terbakar dengan menuntut isi perjanjian dahulu, dimana isi janji itu baik sama
baik, rusak sama binasa. Sekarang Kerajaan Sungai Lemau habis terbakar maka
kerajaan Turan Bumai ini harus dibakar juga. Oleh karena terikat perjanjian itu dengan
berat hati kerajaan Turan Bumai dibakar habis, disaat api sedang berkobar-kobar
melahap setiap rumah dan istana raja, Putri Rindu Bulan diculik oleh utusan dari
kerajaan Sungai Lemau dibawa menyingkir ke istana kerajaan sungai Lemau untuk
dipersunting Bujang Tunggal.

Apa mau dikata kerajaan Turan Bumai habis dimakan api termasuk juga senjata
seperti tombak,pedang,parang,badik dan tameng tak ada yang tersisa lagi. Di saat
sedang berkelilling melihat-lihat situasi kerajaan yang habis terbakar datanglah
penyelidik melapor bahwa yang terbakar di kerajaan Sungai lemau itu hanya pondok
mainan belaka rupanya itu hanya tipu muslihat dari raja sungai lemau saja untuk
menghancurkan kerajaannya. Nasi sudah menjadi bubur, mau menuntut balas sudah
tidak bisa lagi karena senjata-senjata sudah habis semua.
Saat raja Jenak melihat-lihat situasi kerajaannya yang hangus terbakar
terlihatlah di kejauhan dua anak kecil nempaknya kakak beradik sedang berjalan
bergandengan tangan. Kedua anak ini tidak dikenal oleh raja Jenak dan hulubalangnya,
didekatilah karena penasaran siapa grangan anak kecil asing ini. Saat ditanya oleh raja
Jenak kedua anak itu diam saja, akhirnya kedua diajak singgah di pondok darurat sang
raja. Dalam hati raja Jenak membatin bahwa kedua anak ini tersesat dari negeri jauh
hingga tampak lemas, kelaparan dan kehausan.
Setibanya di pondok kedua anak kecil tersebut dijamau makan dan minum
sampai mereka segar kembali. Setelah istirahat beberapa waktu, raka Jenak bertanya
lagi siapa nama, dari mana dan mau kemana tujuannya?Maka menjawablah anak yang
kecil bahwa ia bernama Tuan Siak Telinga Lambing dinamakan demikian karena
telinganya panjang sebelah dan bila diperlukan bisa ditarik sebagai selimut sedangkan
yang badannya besar hitam namanya Tuan Siak Bajy Abang. Masalahnya kami
beerasal tidak usah terlalu tuan pikirkan betul anggap saja kami adalah ingin
mengetahui apa sebab kerajaan tuan Jenak bisa habis terbakar seperti ini.
Raja Jenak pun menceritakan mulai dari awal hingga akhir kejadian mengapa
kerajaan sampai bengini jadinya. Tiba-tiba kedua anak itu menyahut berbarengan “ini
mesti dituntut balas”, raja Jenak menjawab bagaimana mau menuntut balas senjata
sudah habis terbakar,masalah itu jangan tuan pikirkan kami bisa menyelesaikannya.
Oke kalau begitu, kapan kalian akan berangkat? Keduanya menjawab berbarengan,
“kami berangkat sebelum subuh dan harus makan terlebih dahulu”. Sebelum subuh raja
Jenak sudah menyiapkan makan dan minum untuk kedua anak itu, sesudah makan
kedua anak itu membentang kain seperti sajadah di halaman pondok raja Jenak.
Kemudian mereka duduk diatasnya seperti duduk diatas sampan, setelah itu mereka
menghilang dari penglihatan raja.
Kedua anak tadi sampailah di kerajaan Sungai Lemau. Disana mereka bertemu
rakyat sedang bergotong royong menuai padi di ladang raja. Dua orang anak iini minta
untuk menjadi tukang tuai bersama mereka, ternyata keingininannya dikabulkan, maka
diajaklah kedua anak itu menuai padi di ladang raja. Sewaktu istirahat makan siang,
semua orang berhenti bekerja kecuali Tuan Siak Lambing masih saja menuai padi,
dipanggil-panggil tidak juga digubris karena jengkel salah seorang memukul kentongan
sekencang-kencangnya guna mengingatkan untuk istirahat sampai kentongan itu pecah
tidak juga mau berhenti. Akhirnya Tuan Siak Baju Abang pergi menghampiri ke tengah
sawah agar Tuan Siak Telinga Lambing ikut istirahat tetapi apa yang terjadi justru
mereka beradu mulut sampai timbul perdebatan sengit.
Perdebatan itu semakin panas, mereka berdua akhirnya bertengkar sampai
berkelahi adu fisik di tengah ladang itu sehingga ladang itu hancur seperempat. Rakyat
melapor dengan raja bahwa ladang sudah dirusak oleh kedua orang anak yang sedang
berkelahi hebat. Raja memerintahkan untuk mengusir dua anak itu, akan tetapi kedua
anak itu melawan kesudahannya rombongan orang banyak itu berkelahi dengan dua
orang anak ini sehingga hancurlah semua ladang raja ini. Mendengar laporan bahwa
ladangnya hancur akibat perkelahian masal itu, raja pergi untuk melihat secara
langsung kejadian mencengangkan itu. Ia terkejut betapa hebat kedua anak itu
berkelahi, walaupun dikeroyok orang banyak nampaknya perkelahian berimbang dan
membutuhkan waktu lama untuk mengalahkan satu dengan lainnya. Untuk
menghentikan perkelahian hebat itu raja berteriak menawarkan perdamaian, kalau anak
itu mau menghentikan perlawanan, raja akan memberi hadia separoh hartanya. Namun
tawaran itu tidak digubris sama sekali, terus saja mereka berkrlahi malah semakin
sengit menjadi-jadi. Tak tahan oleh situasi yang semakin tidak terkendali, akhirnya raja
menawarkan akan menjadikan kedua anak itu sebagai anak angkat raja dan pimpinan
hulubalang kerajaan. Maka berhentilah perkelahian itu seketika, tawaran itu diterima
oleh kedua anak itu tapi dengan perjanjian, kami mau menerima tawaran raja asalkan
sewaktu-waktu mau pergi merantau tidak boleh dihalang-halangi. Kedua anak ini
menjadikan perjanjian raja sebagai taktikk untuk melihat lebih jauh seberapa kekuatan
raja kerajaan Sungai Lemau dan dimana Putri Rindu Bulan disembunyikan.
Padawaktu senggang sekira tidak tampak oleh orang banyak kedua anak itu
berunding mengatur siasat bagaimana caranya menuntut balas dan mengembalikan
Putri Rindu Bulan kepangkuan ayahnya. Hasil musyawarah disepakati Tuan Siak Baju
Abang mencari bantuan ke kerajaan Aceh. Sesampai disana ia disambut oleh anak-
anak remaja yang sedang bermain bola, melihat asyiknya permainan bola ini Tuan Siak
Baju Abang ingin ikut bermain tetap oleh anak-anak remaja itu tidak diperbolehkan
karena masih terlalu kecil dan dipandang tidak mampu bermain. Tuan Siak Baju Abang
tetap memaksa ingin ikut bermain, ia tidak tahu bahwa remaja-remaja yang bermain
bola itu semua kerabat istana. Ia tetap memaksa ikut bahkan langsung ikut menendang
di tengah-tengah lapangan, permainanpun berhenti seketika, mereka terkejut dengan
ulah anak kecil pemberani ini. Mereka akhirnya membolehkan anak itu bermain
bersama asalkan sudah mendapat izin dari raja. Berangkatlah Tuan Siak Baju Abang
menghadap raja meminta izin untuk diperkenankan ikut bermain bola bersama keluarga
istana. Raja mengizinkan bahkan mengantar sampai lapangan alun-alun istana melihat
permainan bola yang dilakukan anak kecil itu. Ia terkejut ternyata anak kecil itu terampil
dan kuat tenddangannya maka raja mengadakan sayembara barang siapa yang
mampu menendang bola paling tinggi akan diangkat sebagai hulu balang raja dan
disyahkan sebagai anak angkat raja.
Satu-satu remaja kerabat istana menendang bola sekuat-kuatnya keatas tapi
tidak ada yang melebihi menara masjid Istana yang letaknya di tepi alun-aluun. Kini
giliran Tuan Siak Baju Abang menendang bola, dengan tenang ditendangnya bola itu
keatas sekuat-kuatnya dan bola itu meleset keatas dengan derasnya sampai
menembus awan. Semua yang hadir tercengang rasa tidak percaya apa yang dilihatnya
tapi itulah faktanya, sesuai dengan sayembara anak itu diangkat menjadi pemimpin
hulu balang raja dan dinobatkan sebagai anak angkat raja Aceh. Sementara di Sungai
Lemau, Tuan Siak Telinga Lambing mempersiapkan penyambutan kembalinya Tuan
Siak Baju Abang dengan bala tentaranya datang dari Aceh. Maka ia memerintahkan
anak buahnya untuk membuat pondok-pondok di sepanjang pantai. Malam hari pondok-
pondok di sepanjang pantai. Malam hari pondok-pondok itu dipasang lampu minyak
sebagai tanda disitulah tempat merapat yang telah disediakan. Pada saat mendirikan
pondok banyak pertanyaan-pertanyaan termaasuk raja untuk apa gerangan pondok itu?
Tuan Siak Telinga Lambing menjawab pondok-pondok itu gunanya, kalau ada serangan
dari laut biar mereka menyangka bahwa itu kerajaan Sungai Lemau. Padahal lampu-
lampu dalam pondok itu sebagai pedoman (mercusuar) bagi pasukan Aceh yang
dipimpin Tuan Siak Baju Abang untuk merapat pada malam hari agar tidak diketahui
kedatangannya.
Tidak lama setelah itu dari kejauhan tampak menghitam perahu-perahu dari
Aceh berusaha merapat ke kerajaan Sungai Lemau menuju tanda yang telah disiapkan.
Apa mau dikata gelombang pasang menghalangi pasukan-pasukan ini tidak bisa
merapat malah dibawa arus keseberang muara. Mereka sudah berusaha berkali-kali
untuk merapat ke arah kerajaan Sungai Lemau apa daya air pasang malah semakin
besar terpaksalah mereka mendarat menyasar kesembarang muara. Namun demikian
mereka tak habis akal untuk melakukan serangan ke kerajaan Sungai Lemau, mereka
melepas beribu-ribu burung yang kakinya diikat dengan obor api dijatuhkan guna
membakar kerajaan Sungai Lemau. Usaha ini berhasil seluruh rumah dan istana
Kerajaan Sungai Lemau. Usaha ini berhasil seluruh rumah dan istana Kerajaan Sungai
Lemau habis terbakar. Raja Sungai Lemau terkejut dengan serangan tiba-tiba ini,
melihat kerajaannya terbakar ia berpikir ia akan kalah tanpa pikir panjang supaya tidak
ditawan musuh lebih baik mati, maka ia melakukan bunuh diru dengan menancapkan
pedangnya sendiri di gua tempat persembunyiannya sedangkan Bujang Tunggal dan
Putri Rindu Bulan mengungsi melarikan diri ke Gunung Bungkuk sebagai kakak-adik.
Sementara itu bala tentara kerajaan Sungai Lemau yang dipimpin Tuan Siak Telinga
Lambing berupaya untuk membalas serangan yang tiba-tiba itu kearah seberang muara
tempat pasukan Aceh berada. Tuan Siak Telinga Lambing mengatur siasat bagaimana
caranya menyeberang muara dengan aman dan pasukan Aceh bisa membunuh
pasukannya tanpa dicurigai, dikeluarkanlah kesaktiannya, daun ilalang diubahnya jadi
jembatan yang hanya bisa dilewati satu persatu prajurit. Pasukan kerajaan Sungai
Lemau tidak menyadari tipu muslihat ini, maka berjalanlah satu persatu prajurit
menyebrang, sedangkan pasukan dari Aceh telah siap menyambut diujung jembatan
dengan mudah membunuh satu persatu sampai pasukan Sungai Lemau habis.
Tinggallah Tuan Siak Telinga Lambing, ia melambaikan tangannya untuk mengajak
saudaranya yang memimpin pasukan Aceh mencari Raja Kerajaan Sungai Lemau akan
diambil kepalanya sebagai tanda bukti bahwa misi mereka telah berhasil mencapai
kemenangan.
Untuk mencari dimana raja Sungai Lemau bersembunyi disebarlah seluruh
pasukan menyisir daerah-daerah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian. Tidak
berapa lama datang salah satu rombongan pasukan yang telah menemukan raja
namun dayang beliau telah wafat menusuk dirinya dengan pedangnya sendiri.
Rombongan kecil itu melapor bahwa mereka tidak mampu memotong leher raja karena
kebal terhadap senjata yang terbuat dari besi. Tuan Siak Baju Abang kemudian
mengambil sembilu bambu betung dalam sekejap berubah menjadi sebuah keris,
sedudah itu ia memerintahkan anak buahnya untuk memotong leher raja maka putuslah
leher raja. Kemudian mereka mencari Putri Rindu Bulan namun semua daerah kerajaan
disisir tidak juga ditemukan hanya didapat kabar bahwa Putri sudah dibawa lari Bujang
Tunggal ke Gunung Bungkuk sudah diupayakan dikejar tapi kedua orang tersebut
lenyap tak tentu rimbanya. Akhirnya pasukan Aceh kembali dengan membawa kepala
raja Sungai Lemau.
Tinggalah kedua kakak adik Tuan Siak Baju Abang dan Tuan Siak Telinga
Lambing kembali menuju kerajaan Turan Mutung, karena setelah terbakar nama
kerajaan Turan Bumi ini menjadi Turan Mutung. Mereka berdua pulang kesana dengan
ditemani satu sahabat mereka orang Aceh yang tidak mau berpisah dengan Tuan Siak
Baju Abang. Tiba di kerajaan Turan Mutung mereka bertiga disambut oleh raja Jenak
dengan hangat penuh persahabatan. Mereka melapor bahwa menuntut balas telah
terpenuhi namun sayang Putri Rindu Bulan dilarikan ke Gunung Bungkuk raib disana,
kami tidak bisa membawanya kembali kesini.
Setakat itu, ketiga orang tersebut mohon pamit kepada raja Jenak untuk
melanjutkan perjalanan sambil berpamitan Tuan Siak Baju Abang menyerahkan
kenang-kenangan keris sembilu betung dan berpesan, “Susunlah kalimat dengan kata-
kata berbahasa Tubai ini untuk menjadi pantun dalam seni dendangmu”.ketiganya
berangkat meninggalkan kerajaan Turan Mutung, pergilah Tuan Siak Baju Abang dan
sahabatnya orang Aceh ke arah barat, dalam perjalanan ini orang Aceh raib di ujung
jembatan sungai Palik (tempat raibnya disebut orang batuh Aceh). Tuan Siak Baju
Abang meneruskan perjalannnya sampai ke Tepak Gerunggang (geronggong) dia juga
raib disana, maka dinamakan tempat itu tepak keramat (Keramat Geronggong). Tuan
Siak Telinga Lambing pergi ke arah selatan, dalam perjalanan ini ia raib di sebuah
tepak, tepakitu dinamakan Keramat Riak. (Konon Kabarnya disebut keramat riak daari
asal kata teriak, sebab Tuan Siak Telinga Lambing ini sering berteriak-teriak memanggil
kedua temannya bahwa dia ada disitu)
Bujang Kurung

Dahulu kala ada di sebuah dusun tinggalah orang tua suami istri dengan seorang
anak laki-lakinya yang sudah menginjak remaja. Anak laki-laki itu diberi nama Bujang
Kurung. Setiap hari kerjanya hanya memancing di sungai atau di rawa-rawa. Suatu hari
dia pergi memancing di sungai yang sebelah hulunya masih hutan perawan. Sungai itu
tidak jauh dari dusunnya paling hanya satu jam perjalanan. Dia pergi sendiri tatkala
matahari mulai meninggi, tak lupa ia membawa bekal makan siang secukupnya. Dia
berjalan kaki dengan santai sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Tidak berapa lama kemudian
dia sudah sampai di tempatnya biasa memancing. Ditebarkannya pancingnya di
beberapa tempat dan sekaligus memasang tegang untuk memancing pelus. Sudah dua
jam lebih dia memancing tapi tak satupun pancinganya dimakan ikan. Tidak ada ikan
yang mau memakan umpan kailnya. Matahari sudah mulai merangkak turun, belum
juga ada hasilnya. Setelah waktu menjelang sore tak satu pun ikan yang di
dapat,iamemutuskan untuk kembali pulang.
Waktu dia sedang berkemas-kemas mau pulang terdengar suara orang sedang
bercanda dikejauhan, sepertinya suara orang sedang mandi. Dia letakkan perbekalan
dan membawa sebuah pancingnya kemudian mendekati suara itu. Dibalik rimbunnya
hutan ia mengintip siapa gerangan orang ribut-ribut di tengah hutan pada saat hari
mulai gelap begini. Ia terperangah dan heran melihat ada orang cantik-cantik sedang
mandi di tepian danau. Mereka itu masih gadis-gadis yang sedang mekar, tubuhnya
elok dan parasnya cantik-cantik. Jumlahnya ada tujuh orang, dan ada yang paling
cantik diantaranya yaitu dia yang paling kecil.
Bujang Kurung terpesona pada gadis yang paling kecil, nampaknya ia terpikat
hatinya. Timbullah niatnya untuk menjadikan gadis itu sebagai isterinya. Maka dengan
perlahan-lahan ia mendekati pakaian yang ditumpuk-tumpuk untuk mengambil sebuah
diantaranya. Gadis-gadis itu asyik berenang kian kemari, mereka tidak melihat
sedikitpun bahwa ada seseorang dengan pancingnya sedang mengail baju yang paling
kecil dan menyimpannya di dalam tabung bambu bekas tempoyak. Waktu mereka
selesai mandi, hendak memakai bajunya, kiranya pakaian yang paling kecil tadi sudah
hilang.
Adik beradiknya sudah memakai pakaian semuanya ingin pulang ke langit.
Tetapi yang paling kecil tadi tidak bisa terbang lagi, pakaiannya sudah hilang. Dia
menangis sekuat tenaga suaranya lama sekali sampai terdengar serak. Adik
beradiknya menangis juga melihat adiknya tidak bisa pulang lagi. Akhirnya dengan
berat hari mereka pergi semua kembali ke langit. Tinggallah yang paling kecil itu
menangis tersedu-sedu sendirian. Bujang Kurung melihat kondisi gadis itu heran sekali.
Dia tidak menyangka bahwa gadis yang tinggal itu adalah anak dewa. Dia segera
menyembunyikan baju yang diambilnya tadi, dan langsung membawanya lari pulang.
Sesudah disimpan dengan anam, ia kembali lagi mendatangi gadis yang paling kecil
tadi. Dia bertanya kenapa tidak pulang ke langit. Kata yang paling kecil itu, “Baju saya
hilang”. “Dadi pada di hutan sendirian dan hari mulai gelap sebaiknya ikut kakak ke
dusun”, bujuk Bujang Kurung. Ternyata gadis itu mau diajaknya, maka dilemparnyalah
kain. Sesudah itu Bujang Kurung mengajak dia ke dusunnya. Ditengah perjalanan
Bujang Kurung bertanya siapa namanya. Namanya adalah Lalan.
Sesampainya di dusun, orang tuanya terkejud melihat anak bujangnya
menggandeng gadis berparas sangat cantik. Lalan kemudian diperkenalkan kepada
kedua orangtuanya dan malam itu juga orang-orang dusun itu diundang ke rumah
Bujang Kurung untuk menyaksikan calon istrinya. Tidak lama sesudah itu, orang dusun
mengawinkan kedua remaja yang sudah saling jatuh cinta ini. Kini tinggallah Lalan
didusun itu selama-lamanya. Bujang Kurung sangat mencintai istrinya begitu juga Lalan
sangat menyayangi suaminya. Mereka akhirnya hidup bahagia dengan dikaruniai anak
yang lucu-lucu.

Lalan Belek

Pada zamzn dahulu ada sebuah danau kecil di tengah hutan belantara, airnya
sangat jernih. Tidak jauh dari tepian hutan itu ada sebuah dusun kecil terpencil yang
hanya dihuni beberapa orang saja, salah satunya seorang nenek tua. Pondok nenek
tua ini terletak paling ujung dekat hutan. Ia hidup sendiri, semenjak ditinggal mati
suaminya, pekerjaannya sehari-hari mencari kayu bakar di hutan.
Di danau kecil itu menurut ceritanya,setiap tengah malam hari pada bulan
purnama tanggal empat belas, selalu dikunjungi tujuh bidadari cantik dari kahyangan
yang selalu mandi dan bersenang-senang. Danau kecil itu ditepinya ada tempat
pemandian alam yang belum pernah dijamah oleh manusian. Di tepian pemandian alam
itulah ketujuh bidadari dari kahyangan itu selalu mandi-mandi dan bercanda dengan
bebasnya. Peristiwa itupun terus terjadi berulang-ulang pada tengah malam setiap
bulan purnama yang keempat belas. Setelah usai mandi dan bersenang-senang,
ketujuh bidadari itupun kembali lagi terbang ke kahyangan, tempat tinggal para dewa.
Air danau itu menjadi harum sehabis para bidadari mandi disitu, khususnya
bekas tempat pemandian serta merta menyebarkan bau wangi yang sangat tajam. Bau
wanginya menyebar kemana-mana dibawa angin hingga ke dusun ditepi hutan. Akan
tetapi warga dusun itu tidak begitu menghiraukannya. Padahal bau harum wewangian
di sekitar danau itu tidak hilang-hilang sampai tujuh hari lamanya.
Namun demikian, lambat laun tempat mandi-mandi para bidadari itupun
diketahui oleh salah seorang warga dusun itu. Kebetulan nenek tua, salah satu
penghuni di dusun itu tempat tinggalnya paling dekat dengan tepian hutan dan tidak
terlalu jauh dari tepian tempat mandi-mandi para bidadari. Awalnya, pada suatu tengah
malam di bulan purnama yang keempat belas, nenek tua itu terjaga dari tidurnya,
karena dari arah kejauhan terdengar aada suara orang tertawa-tawa. Maka nenek tua
Itu keluar dari pondoknya dan bersegera menuju ke arah datangnya suara itu. Ia
mengendap-endap masuk kedalam hutan mendekati arah datangnya suara dengan
amat perlahan-lahan, maka tertegunlah nenek tua itu dengan pemandangan yang
dilihatnya. Di tepian danau terlihat wanita-wanita cantik sedang mandi dan saling
bercanda satu dengan lainnya. Nenek tua itu terkejut demi dilihatnya ketujuh wanita
cantik itu sehabis mandi segera terbang ke angkasa dan hilang disana.
Nenek tua itupun segera kembali ke pondoknya dengan penuh tanda tanya
dalam pikirannya. Tidak lama kemudian, tiba-tiba hidung nenek itu mencium bau
wewangian yang semerbak harumnya. Bau wewangian yang biasa tercium selama ini.
Akan tetapi bau wangi dan kejadian yang baru saja dilihatnya membuatnya tidak bisa
tidur. Peristiwa yang dilihatnya dan bau wangi itu terus mengganggu tidur si nenek tua.
Bahkan pada keesokan harinya, bau harum itupun masih tercium dihidungnya. Oleh
karena rasa ingin tahu itulah, maka bergegaslah nenek tua itu menuju ke tepian danau.
Sesampainya di danau, nenek tua itu ssegera memeriksa tempat yang habis dipakai
mandi-mandi para bidadari semalam. Ditempat inilah nenek tua nememukan berbagai
jenis bunga-bungaan sebagai sumber bau wewangian yang amat luar biasa
semerbaknya. Maka tercetuslah perkataannya: “Oi,ternyata bunga-bunga inilah asal
bau wewangiannya”.
Nenek tua mengamati pemandangan sekitarnya, betapa indahnya danau ini,
airnya bening, udaranya seejuk dengan angin semilir lembut. Nenek itupun mengambil
kesimpulan dalam pikirannya, sambil memunguti bunga-bunga harum yang beraneka
warna. “Pastilah yang datang mandi-mandi disini bukan bangsa manusia, melainkan
bidadari, sebab mereka bisa terbang tinggi dan jauh hingga menghilang di angkasa”.
Sesudah puas memeriksa tepian danau, nenek tua itupun segera meninggalkan tempat
itu, dan tiada lupa membawa segenggam bunga harum warna-warni yang diambil dari
bekas tempat pemandian para bidadari itu. Bunga-bunga itu kemudian disimpan di
pondoknya, dan ternyata bunga-bunga itulah yang menimbulkan bau wewangian yang
selama ini selalu menyebar kemana-mana disetiap tengah bulan purnama.
Sejak saat itulah nenek tua itu mengetahui bahwa disekitar pondoknya ada
sebuah danau kecil, tempat pemandian alam yang amat indah pemandangannya. Mata
airnya jernih, udaranya pun amat sejuk dan nyaman. Itulah awal pengalaman yang
menakjubkan bagi nenek tua yang tinggal sendirian di pondoknya. Kejadian itupun
berulang terus-menerus setiap bulan purnama tanggal empat belas tengah malam.
Oleh sebab itu nenek tua itupun lama-lama menjadi terbiasa, dan tiada menghiraukan
lagi. Sementara warga yang lain belum ada yang mengetahuinya.
Setakat itu pula, ketujuh bidadari sudah merasa curiga kalau ada bangsa
manusia yang telah mengetahui kedatangannya di tempat itu. Kecurigaan itu dirasakan
karena setiap hendak mandi lagi, ada beberapa bunga yang hilang, dan tempat itu
selalu bersih. Maka tiap kali mereka hendak turun mandi ke danau itu, selalu membawa
bunga warna-warni dari kayangan yang harumnya amat luar biasa. Bunga-bunga itu
Sebagai jebakan, kalau ada yang hilang dapat dipastikan ada bangsa manusia yang
mengambilnya. Akhirnya ketujuh bidadari itu mengetahui bahwa yang sering melihatnya
dan mengambil bunga-bunganya, serta membersihkan tempat itu adalah seorang
nenek tua. Oleh karena si nenek tua itu dianggap tidak mengganggunya, maka para
bidadari itupun tiada terlalu merisaukannya.
Alkisah disebuah dusun yang agak jauh dari dusun nenek tua itu, hiduplah
sepasang suami-istri yang sudah cukup tua dengan seorang anak bujangnya. Oleh
karena keduanya sudah tua, maka sibujang itulah yang tiap harinya mencari nafkah
untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hampir tiap hari si bujang keluar masuk
hutan berburu binatang, mengambil ubi-ubian, memancing ikan, serta mengambil kayu
bakar. Pendek kata, si bujang itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya.
Bujang itu di desanya dikenal dengan nama Bujang Kurung.
Pada suatu hari pergilah Bujang Kurung itu masuk ke hutan hendak berburu
binatang. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Hari sudah menjelang
senja, tetapi Bujang Kurung belum juga mendapatkan hasil buruannya. Biasanya
sebelum matahari condong ke barat, Bujang Kurung sudah pulang ke rumah dengan
membawa hasil cukup memuaskan. Akan tetapi sekali ini ia lagi sial, tidak satupun
binatang buruan yang didapatnya. Sementara bekal makanan dan minuman yang ia
bawa itu sudah habis. “Sudahlah kepalang basah, lebih baik tak pulang ke rumah dari
pada belum menghasilkan apa-apa,” gumam Bujang Kurung.
Bujang Kurung itupun memutuskan untuk berjalan terus hingga tembus mrlintasi
hutan. Dengan langkah gontai ia menuju sebuah pondok yang terlihat dari kejauhan
terpencil dari yang lain-lain. Malam mulai merangkakgelap, ia bergegas melangkahkan
kaki karena malam mengejar bayangannya yang semakin sirna. Setelah dekat ia
bersyukur dan bergumam “Oi, beruntunglah aku ini dapat tempat untuk berteduh”.
Dengan tergopoh-gopoh ia mengetuk pintu pondok itu. Tak seberapa lama kemudian,
muncullah nenek tua sambil membawa obor yang terbuat dari bambu. Setelah
dipersilahkan masuk, Bujang Kurung itupun memperkenalkan diri, lalu menceritakan
asal-usulnya hingga ia tersesat di dusun nenek tua itu. Mendengar cerita Bujung
Kurung itu, nenek tua menjadi iba dan terharu. Maka dengan rasa tulus nenek tua itu
memberi makanan serta minuman kepada Bujang Kurung dan mempersilahkan ia
menginap beberapa hari di pondoknya.
Sungguh beruntung bagi Bujang Kurung, karena nenek tua itu telah
memperlakukannya dengan ramah dan penuh kasih sayang. Selama menginap di
pondok nenek tua itu Bujang Kurung mulai mengenal seluk beluk hutan disekitar
pondok Nenek tua itu. Keakraban mereka semakin terjalin bahkann Bujang Kurung
sudah dianggap sebagai cucunya sendiri, maka merekapun saling bercerita tentang
pengalaman hidupnya masing-masing.
Malam berganti malam waktu berjalan terus tanpa terasa sudah sebulan bujang
Kurung numpang di pondok itu. Jarum jam terus berputar tanpa lelah meninggalkan
Waktu sesuai dengan kodratnya hingga tiba tengah bulan purnama raya. Pada malam
itu ia terbangun karena mencium bau wangi bunga yang sangat semerbak, bau itu
barumnya sangat menusuk hidungnya hingga mengganggu tidurnya. Sebenarnya,
ketika Bujang Mengkurung itu memasuki pondok nenek tua itu, ia telah mencium bau
wewangian bunga yang harumnya sama dengan bau wangi sekarang ini. Oleh
karenanya, Bujang Kurung tak dapat tidur dengan lelap, pikirannya mulai melantur
kemana-mana, bahkan sebentar-sebentar terjaga dari tidurnya karena semerbak bau
wewangian yang luar biasa harumnya. Pikirannya mulai bekerja dengan baik, jangan-
jangan bau wangi itu berasal dari tumpukan bunga-bunga yang beraneka warna yang ia
lihat di pojok ruangan pondok. “Barangkali bunga-bunga itulah yang mengeluarkan bau
yang amat harum,” pikirnya dalam hati. Tetapi Bujang Kurung tidak berani menanyakan
hal itu kepada nenek tua, karena malam telah larut.
Pada keesokan harinya, ia bermaksud untuk pulang ke dusunnya karena sudah
lama numpang dan sudah paham arah jalan pulang. Sebelum mohon diri, Bujang
Kurung memberanikan diri menanyakan tentang bau harum serta hubungannya dengan
bunga-bunga yang menumpuk dalam pondok nenek tua itu. Mulanya, nenek tua itu
agak enggan bercerita. Tetapi, setelah melihat keingintahuan Bujang Kurung yang
penuh harapan dengan menghiba itu, maka diceritakanlah hal ikhwal tentang rahasia
tumpukan bunga itu. Bujang Kurang sangat tertarik sekali dengan ceritera nenek tua itu.
Lebih-lebih ceritera tentang tujuh bidadari yang sering mandi di danau pada tengah
malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Maka ia segera mengambil
kesimpulan, bahwa bau wangi malam tadi berasal dari danau di tengah hutan. Ia sangat
brtharap untuk dapat melihat ketujuh bidadari yang sering mandi di danau itu. Bujang
Kurung lalu mohon pamit, dan berjanji kelak anak datang lagi ke pondok nenek tua jika
hendak menjelang bulan purnama yang keempat belas berikutnya.
Dikisahkan selanjutnya, di kayangan tempat tinggal bangsa dewa dan bidadari,
sedang mengadakan persidangan istimewa. Oleh karena itu yang hadir dalam
persidangan istimewa hanyalah para pucuk pimpinan dewa saja. Adapun yang sedang
dibahas adalah firasat datangnya hari buruk yang akan menimpa kehidupan di
kayangan. Pada akhirnya, dalam persidangan itupun telah dicapai kata sepakat, bahwa
demi keselamatan kehidupan di kayangan, maka untuk sementara waktu penghuni
kayangan tidak diperkenankan turun ke bumi. Jikalau ada dewa atau bidadari yang
melanggar larang tersebut, maka akan menanggung sendiri akibatnya. Setelah
mendengar keputusan para pucuk pimpinan dewa, maka gunda gundalah rasa hati
para bidadari kakak beradik yang selalu turun ke bumi tiap bulan purnama tanggal
keempat belas.
Ketujuh bidadari kakak beradik itu amatlah sedih, karena tiada lama lagi bulan
purnama tanggal keempat belas akan segera tiba. Dengan adanya larangan tersebut,
maka mereka tidak dapat lagi turun ke bumi untuk mandi-mandi dan bersukacita.
Diantara tujuh bersaudara, yanf paling sedih dan gundah gulana adalah Putri Lalan.
Sebagai putri bungsu, Lalan memang sangat dimanja baik oleh kedua orang tuanya,
maupun oleh kakak-kakaknya. Apa saja yang dikehendaki oleh si bungsu Putri Lalan
itu, selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi kali ini rupanya Putri Lalan amat
sungguh kecewa. Sehari-hari kerjanya Putri Lalan hanyalah murung saja. Makan tiada
hendak, diajak bermain pun menolak. Padahal keenam kakaknya itu sudah berusaha
untuk menghibur dan membujuknya agar Putri Lalan mau makan serta tidak bermuram
durja. Akan tetepi, Putri Lalan masih tetap menolak bujuk rayu dari keenam kakaknya.
Jikalau hati sudah terpikat, hasrat sudah menguat, beban hatipun terasa berat
untuk meninggalkan hajat. Begitulah kiranya perassan hati Lalan yang semakin
menderita. Badannya pun semakin kurus, raut wajahnya yang dulu ceria pun kini terus
memucat. Melihat si bungsu Lalan yang kian menderita, maka keenam kakaknya itupun
mengadakan mufakat untuk menuruti apa yang menjadi kehendak adiknya itu. Maka
segeralah keenam kakaknya itu mendekati Lalan. “Duhai dindaku Lalan nantercinta,
sungguh nian keenam kakak ini tiada tega menatap dinda terus bersedih, tentu kami
berenam pun larut dalam kepedihan. Katakanlah dindaku, apa yang sesungguhnya
dindaku kehendaki, maka pastilah kandamu berenam akan mendukungmu,” ujar
kakaknya yang paling tua yang mewakili saudara-saudaranya yang lain. Mendengar
ketulusan perkataan dari kandanya itu, maka berkatalah si bungsu Putri Lalan
dihadapan keenam kakaknya; “Ya ayunda berenam nan baik budi, jikalau sungguh
ayunda berenam hendak menuruti hasrat dinda, marilah kita bertujuh turunan ke bumi.
Sebab, dinda sungguh tiada bergairah hidup lagi, bilamana keinginan dinda ini tiada
terpenuhi”. Setelah saling bertatapan dengan penuh keharuan, keenam kakak-beradik
itupun segera memeluk erat-erat si bungsu Putri Lalan secara bergantian. Ketujuh
bidadari nan cantik jelita itupun bersepakat, seia sekata dan bertekad akan turun
kebumi. Apapun akibat pelanggaran dari larangan para dewa itu, akan dihadapi
bersama baik dalam duka nestapa maupun sukacita, baik dalam derita ataupun
bahagia.
Hari berganti hari, waktu terus berlalu. Tak terasa bulan purnama tanggal empat
belas pun menjelang tiba. Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh ketujuh bidadari itu
untuk menuruti hasratnya. Perbelakan telah disiapkan, bunga-bunga kayangan pun
tiada ketinggalan. Pertanda perjalanan mennuju ke bumi hendak dimulai. Setelah
segala sesuatunya telah siap, maka ketujuh bidadari itupun segera turun ke bumi.
Mereka bertujuh telah meninggalkan kahyangan, melupakan pesan, serta melanggar
larangan, demi menuruti keinginan si bungsu Putri Lalan. Tak seberapa lama kemudian,
sampailah mereka ditempat tujuan. Danau, tempat mandi-mandi dan bersukacita
terlaksana. Ketujuh bidadari kakak-beradik itupun segera melepaskan pakaian
terbangnya satu persatu. Sebagaimana biasanya, Putri Lalan lah yang melepas
pakaian terbangnya terlebih dahulu, lalu ditumpuki oleh pakaian kakak-kakaknya. Oleh
karenanya pakaian Putri Lalan itu selalu berada paling bawah. Dengan demikian Putri
Lalan lah yang paling duluan mandinya, dan selesainya pun paling belakangan. Mereka
Kemudian bersenang-senang menikmati mata air nan jernih, udara nan sejuk, serta
pemandangan alam nan indah. Bunga-bunga kahyangan pun bertaburan di sekitar
pemandian, menyebarkan semerbak bau wewangian yang harumnya menembus kaki
langit.
Danau itu memang jernih sekali airnya, dialiri dari sumber mata air rimba
pegunungan,, hawanya sejuk semilir memeluk hangat alam sekitarnya. Siapapun
gerangan yang datang dan mandi disitu, pastilah sulit untuk melupakannya dan selalu
ingin kembali mengulanginya lagi. Begitulah kiranya perasaan ketujuh bidadari yang
sudah sring mandi di danau itu. Terlebih si bungsu Putri Lalang yang sudah dimabuk
kepahyang, meerindukan mata air rimba pegunungan. Mereka pun nekad turun ke bumi
dengan sembunyi-sembunyi daei prajurit penjaga langit.
Ketujuh bidadari nan cantik itupun segera berebutan mencemplungkan diri ke
dalam danau. Mereka saling memercikkan air satu dengan yang lain sambil tertawa
riaang. Biasanya mereka kalau mandi tidak terlalu lama, tetapi entah mengapa kali ini
mereka begitu lama bersenang-senang, hingga tiada ingat waktu lagi. Malam sudah
mulai merangkak pagi, mereka masih asyik mandi-mandi seakan lupa untuk terbang
kembali ke kahyangan. Dan biasanya pula, si bungsu Putri Lalan lah yang memberi
isyarat untuk segera terbang kembali ke kahyangan tetapi kini ia malah asyik berenang
kesana kemati.
Fajar tanpa terasa menyongsong pagi, semburat sinar mentari remang-remang
menyapa permukaan danau, ketujuh bidadari itupun menyadari akan waktunya kembali.
Tanpa menunggu isyarat dari bungsu Putri Lalan, lalu bergegaslah mereka mengambil
pakaian terbangnya. Oleh karena tumpukan pakaian Putri Lalan itu berada paling
bawah, maka Putri Lalan lah yangg paling belakangan mengambilnya. Namun betapa
terkejutnya si bungsu Putri Lalan, ketika melihat pakaian terbangnya sudah tidak
tampak lagi. Pakaian si bungsu Putri Lalan telah hilang, sementara kakak-kakaknya
sudah berpakaian terbang semua. Dilihatnya si bungsu Putri Lalan kebingungan
mencari pakaian terbangnya, maka keenam kakaknya itupun segera ikut mencarinya.
Setelah dicari kesana-kemari tiada hasilnya, maka menangislah ia tersedu-sedu.
Keenam kakaknya pun turut meratapi nasib adiknya yang amat dicintai itu.
Malang nian nasib si bungsu Lalan itu, karena telah kehilangan pakaian
terbangnya. Isak tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Sementara batas waktu kian
mengejarnya karena pagi sudah hampir tiba. Sungguh, bagaikan buah simalakama,
meninggalkan si bungsu Putri Lalan sendirian tiadalah sampai hati, bertahan di bumi
lama-lama pun tidalah mungkin. Akan tetapi, merekapun harus memelihatnya. Setelah
termenung agak lama, lalu berkatalah dengan lirihnya si bungsu Putri Lalan itu kepada
keenam kakaknya; “Duhai kanda-kandaku tercinta, memang sudah suratan nasib dinda,
tidaklah bijak kandaku berlama-lama, karena ayah-bunda pastilah sudah menunggu.
Biarlah dinda menanggung akibat pelanggaran ini, jikalau kelak telah tertebus dosa,
niscaya kita dapat bersama lagi.” Mendengar perkataan si Bungsu Putri Lalan yang
Amat mengharukan itu, menjawablah salah seorang dari keenam kakaknya. “Ya
adindaku yang amat kusayang,tiadalah tega ayunda meninggalkanmu seorang.
Andaikan ku dapat meminjamkan baju terbang, tentulah nasibmu tiada malang.”
Merekapun saling berpelukan erat sekali disertai tetesan air maata yang terus mengalir
dengan derasnya. Tak dapat nenunggu lebih lama lagi karena batas waktu, kemudian
dengan berat hati keenam kakaknya itu pun lalu terbang meninggalkan Putri Lalan
sendirian di tengah rimba belantara.
Siapa sebenarnya yang mencuri pakaian terbang Putri Lalan, tiada lain dan tiada
bukan adalah si Bujang Kurung. Rupanya, si Bujang Kurung itu sudah lama menunggu
kedatangan ketujuh bidadari dan bersembunyi diballik semak-semak. Perbuatan itu
timbul semenjak ia diberitahu oleh Nenek Tua, tentang tempat pemandiannya para
bidadari, maka muncullah hasrat hatinya untuk mengintipnya. Keinginannya sudah
bergejolak sejak pulang dari pondok nenek tua, bayangan gadis-gadis cantik dengan
bau wangi membuatnya jadi seorang pemalas. Kerjanya Cuman melamun menunggu
hari, kadang ia tersenyum-senyum membayangkan siasatnya nanti. Ia pun mulai jarang
membantu kedua orang tuanya untuk menanam padi, mencarikan ubi-ubian, berburu
binatang, maupun memancing ikan. Kedua orang tuanya menjadi terkejut melihat
perubahan perangai anak tunggalnya itu. Kerjanya hanya menghitung hari dan bulan.
Rupanya yang dipikirkan adalah menunggu datangnya bulan purnama. Bahkan ia
sering termenung seorang diri di atas bebatuan di pinggir sungai.
Pada suatu ketika didekatilah si Bujang Kurung oleh kedua orang tuanya,
kemudian bertanya; “Hai Jang, apakah gerangan yang kau pikirkan, berharian di atas
batuan, bermenung tanpa kawan. Kerja tak hendak, makan tak enak, tidur pun tak
nyenyak”. Maka menjawablah si Bujang Kurung; “Memang benar apa kata Ayah bunda,
maafkan ananda lupa bekerja, karena menunggu bulan purnama. Jikalau purnama
menjelang tiba, izinkan lah ananda ke dusun nenek tua yang telah menolong ananda”.
Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Ayah Bundanya pun menjadi maklum
adanya. Hari demi hari silih berganti, bulan purnama pun menjelang. Hari yang dinanti-
nanti sudah semakin dekat, bulan purnama tidak lama lagi tiba, perangai Bujang
Kurung pun berubah riang. Semua pekerjaan orang tuanya selesai dengan dia sendiri,
sambil bernyanyi-nyanyi dan bersiul-siul. Orang tuanya jadi geran akan perubahan itu
tapi mereka diam saja, pastilah ada bu’ung (sesuatu yang duudamkan tapi masih
tersembunyi) anak ini.
Bulan purnama tinggal sehari lagi, maka berpamitanlah ia kepada kedua orang
tuanya untuk pergi ke dusun nenek tua yang telah menolingnya. Ia berangkat hanya
dengan bekal beras dan seddikit garam, sebagai pengelana ia sudah bisa makan
seadanya. Tak lama kemudian sampailah Bujang Kurung di dusun nenek tua itu. Oleh
karena bulan purnama tanggal empat belas semalam lagi, maka Bujang Kurung itupun
bermalam disana. Dan keesokan harinya, Bujang Kurung lalu menuju ke tempat
pemandian ketujuh bidadari itu. Tepat tengah hari, sampailah ia ke tempat tujuan.
Bujang Kurung kemudian mencari tempat persembunyiaan yang tidak jauh dari letak
bunga dan pakaian para bidadari itu biasa melepasnya. Waktu terus berputar,
malampun tiba, bulanpun mulai tersenyum penuh. Dari balik semak belukar, sepasang
mata terus mengintip memperhatikan dengan seksama alam sekitarnya. Perasaan
Bujang Kurung mulai gusar, denyut jantungnya pun kian berdebar. Tiba-tiba muncul
bola-bola sinar dikejauhan berpijar terang berkerlap-kerlip kian dekat terangnya
menyilaukan mata. Sinarnya mencorong bagaikan kilat halilintar, seolah mau
membakar alam sekitarnya. Bujang Kurung badannya gemetar, namun matanya tak
berkedip menatap sinar dari semak belukar. Ia berdiri tertegun, tidak percaya akan
penglihatannya, berkali-kali ia mengusap-usap matanya tetapi sinar itu semakin dekat.
Dibalik kemilaunya sinar cahaya, segeralah tampak wajah-wajah elok nan juwita. “Oi,
rupanya ini yang namanya bidadari, cantik nian rupanya tak berkedip mata
memandangnya. Wuah, mereka sedang melucuti pakaiannya, aduhai elok nian
tubuhnya. Sungguh beruntung sekali jikalau dapat salah satu diantaranya. Tetapi
bagaimana caranya?siasat yang telah disusunnya harus diterapkan, ia harus mencuri
pakaiannya,” gumamnya dalam hati si Bujang Kurung dengan kedua matanya yang
terus menatap tak berkedip. Setelah berpikir sejenak, mulailah si Bujang Kurung itu
merayap perlahan-lahan mendekati tumpukan pakaian ketujuh bidadari itu. Disaat
ketujuh bidadari itu sedang terlena, Bujang Kurung lalu mengambil salah satu pakaian
yang paling bawah sendiri. Dan ternyata, yang diambil itu adalah pakaian bidadari Putri
Lalan. Setelah berhasil mengambilnya, lalu dimasukkan dalam bungkusan miliknya. Si
Bujang Kurung pun segera menjauhi tempat pemandian bidadari itu, sambil memikirkan
rencana selanjutnya.
Semenjak ditinggal terbang oleh kakak-kakaknya, Putri Lalan menjadi sebatang
kara. Untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, dikumpulkannya kulit-kulit
pohon yang lebar-lebar, serta tangkai-tangkai yang daunnya rimbun. Dengan hati yang
pasrah Putri Lalan terus berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Belum seberapa lama
berjalan, kaki lalan sudah terasa kecapaian. Maklum, bidadari seperti Putri Lalan
memeng belum pernah berjalan sampai sejauh itu. Setelah melepas kecapaian, Putri
Lalan terus melanjutkan perjalanannya, dan tak seberapa lama kemudian, sampailah ia
di rawa-rawa. Rupanya si Bujang Kurung sudah ada di tempat itu dengan santainya
mengail ikan. Tanpa ragu-ragu, Putri Lalan pun segera mendekatinya, lalu bertanya;
“Wahai tuan, sedang apakah gerangan yang tuan lakukan disini?” Dengan acuh tak
acuhnya si Bujang Kurung itu menjawabnya; “Hamba sedang mengail ikan”. Lalan
kemudian melanjutkan pertanyaannya; “Adakah tuan melihat pakaian terbang hamba?”
Si Bujang Kurung itupun hanya menggelengkan kepala. Putri Lalan pun terdiam pula
tak tahu harus berkata apa lagi.
Bujang Kurung pura-pura tidak memperhatikan, perhatiannya ia tujukan pada
mata pancing. Tapi sekilas ia melirik karena penasaran ingin melihat tubuh elok,
ternyata harapannya sirna tubuh itu sudah ditutupi dengan daun-daunan. Melihat putri
Cantik berpakaian tidak layak, maka disodorkannya sehelai kain. Putri Lalan pun
segera menyambutnya dengan sukacita, seraya berkata; “Duhai hamba. Sudah barang
tentu hamba telah berhutang budi, dan rasanya hamba ingin sekali membalasnya,
tetapi tiada suatu apapun yang hamba miliki.” Bujang Kurung pun segera
menyahutinya; “Ya tuan putri nan cantik sekali, tiadalah hamba menghutangkan budi.
Tetapi kalau hendak balas memberi, berikanlah hamba sebuah cinta yang tulus hati.
Putri Lalan semula tiada menyangka arah perkataan Bujang Kurung. Setelah berpikir
sejenak, Putri Lalan baru menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain, kecuali
menyerahkan cintanya. Dan akhirnya Putri Lalan bersedia memberikan cintanya
kepada Bujang Kurung itu.
Namun demikian, Putri Lalan mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Bujang Kurung. Adapun syaratnya tidak terlalu berat. “Pertama, jangan sekali-kali
menyakiti hati hamba. Kedua, antara sepasang suami-isteri jangan menyimpan rahasia
dan tak boleh membohongi”. Mendengar persyaratan yang diajukan oleh Putri Lalan itu,
Bujang Kurung pun menyanggupinya. Bujang Kurung berjanji tidak akan
membohonginya. Setelah saling berjanji, keduanya lalu saling bertatapan, dan segera
berpelukan erat. Sejak saat itulah mereka saling menyayangi, mengasihi, dan
mencintai.
Bujang Kurung pun segera mengajaknya pulang ke rumah. Sesampainya di
rumah Bujang Kurung, maka Putri Lalan segera memperkenalkan diri serta
menjelaskan asal-usulnya. Mendengar penuturan Putri Lalan, maka kedua orang tua
Bujang Kurung itupun menyambutnya dengan penuh kekaguman. “Sungguh beruntung
sekali Bujang kita ini, pulang ke rumah membawa seorang bidadari,” bisik ayah Bujang
Kurung kepada bininya. Ibu Bujang Kurung itupun berbisik; “Ya, sebentar lagi kita akan
punya menantu bidadari nan cantik jelita.” Rupanya kedua orang tua Bujang Kurung
telah sepakat untuk menikahkan anaknya. Tak lama kemudian, datanglah hari yang
baik, maka Bujang Kurung dan Lalan segera dinikahkan. Oleh karena mereka hidup di
sebuah dusun yang terpencil, dan masih jarang penduduknya, maka upacara
pernikahannya dilakukan dengan cara yang amat sederhana.
Putri Lalan pun akhirnya menjadi istri Bujang Kurung. Sebagai seorang istri, Putri
lalan selalu menunjukkan kesetiaannya kepada sang suami. Bahkan Putri Lalan
terkesan amat rajin mengerjakan segala macam pekerjaan rumah. Kerjanya antara lain,
membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, dan memasak. Semua pekerjaan
dilkukan dengan sungguh-sungguh dengan rasa tulus. Melihat Putri Lalan yang tiap hari
rajin membersihkan rumah, maka Bujang Kurung pun menjadi was-was. Takut kalau
pakaian terbang yang disembunyikannya di plafon (langit-langit) di atap rumahnya itu
ditemukan oleh istrinya. Oleh karena itu setiap Bujang Kurung hendak pergi ke ladang,
selalu berpesan agar jangan membersihkan langit-langit atap rumah. Putri Lalan pun
menurut apa yang dipesankan oleh suaminya tanpa rasa curiga sedikitpun.
Waktu terus berlalu, bulan pun bergulis semakin cepat tak disadari jalinan cinta
Mereka telah membuahkan hasil. Ternyata perut Putri Lalan telah menunjujjan tanda-
tanda kehamilan. Dilihatnya perut Putri Lalan telah mengandung, maka giranglah hati
Bujang Kurung, demikian pula ayah-bundanya. Setelah berjalan sembilan bulan
sepuluh hari, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil. Kedua orang tua Bujang
Kurung serta masyarakat sekitar menyambut kelahiran bayi itu dengan sukacita.
Setelah dimandikan dan di bersihkan, bayi laki-laki yang mungil dan lucu itupun segera
disusuinya, serta dibelainya dengan penuh kasih sayang.bujang Kurung dan kedua
orang tuanya pun juga sering menimang-nimang serta membuauinya secara
bergantian.
Semenjang Lalan menjadi seorang ibu, pekerjaan putri Lalan semakin
bertambah banyak. Selain memasak, mencuci pakaian suami, dan membersihkan
rumah serta pekarangan, juga masih merawat, mengurus, dan membesarkan anak.
Namun demikian, tiada menjadikan Putri Lalan sebgai seorang ibu yang malas, bahkan
Putri Lalan semakin rajin kerjanya. Akan tetapi setiap akan membersihkan langiit-langit
rumah, selalu dilarang oleh Bujang Kurung. Padahal langit-langit rumah, selalu dilarang
oleh Bujang Kurung. Padahal langit-langit rumah itu semakin kotor, karena tidak pernah
dibersihkan. Lama-kelamaan perasaan Putri Lalan menjadi semakin tidak enak, bahkan
kian bertambah curiga kepada suaminya. Ia pun sering bertanya-tanya dalam hati. Ada
apakah gerangan yang disembunyikan disana, jangan-jangan ada sesuatu hal yang
dirahasiakan oleh suamiku.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh jua. Serapat-
rapatnya rahasia tentang kejahatan, suatu ketika akan terbongkar juga. Pada suatu
hari, tatkala Bujang Kurung sedang ada di ladang, tiba-tiba timbul niat Putri Lalan untuk
membersihkan langit-langit rumah yang amat kotor itu. Maka, segeralah Putri Lalan
mengambil tangga itu dipasang, lalu naiklah ia sambil membawa sapu lidi. Beberapa
saat kemudian sampailah Putri Lalan di atap rumah. Maka mulailah ia membersihkan
seluruh debu dan kotoran yang menempel di langit-langit rumah itu. Ketika Putri Lalan
terkejut sekali, bahkan hampir saja terjatuh. Setelah didekati dan diperiksa dengan
penuh hati-hati, ternyata hanyalah sepotong bambu besar yang panjangnya sekitar satu
lengan. Tetapi bambu itu sangat aneh karena memancarkan sinar yang amat terang.
Oleh karena rasa penasaran ingin tahu isinya, maka bambu itupun segera dibukanya.
Betapa terkesimanya Putri Lalan, karena isinya ternyata sehelai pakaian terbangnya
yang telah hilang tak tertentu rimbanya selama ini. Seketika raut wajahnya yang semula
agak pucat itu telah berubah menjadi ceria. Pakaian terbangnya itu segera dipegangnya
erat-erat, lalu segera dibawahmya turun. Kemudian bergegas ia menyembunyikan
pakaian terbangnya itu. “Tiada sangka aku bisa menemukan pakaian terbangku
kembali. Inilah rupanya rahasia yang disimpan oleh suamiku,” gumamnya dalam hati.
Tak lama kemudian pulanglah Bujang Kurung dari ladangnya. Seperti biasanya, Putri
Lalan pun segera menyiapkan makanan untuknya. Hal itu sengaja dilakukan agar
suaminya tiada menaruh curiga kepadanya. Pada saat itulah Putri Lalan sengaja
Mencoba mengutarakan keinginannya lagi untuk membersihkan langit-langit rumah.
Tetapi Bujang Kurung masih tetap melarangnya. Ketika Putri Lalan menanyakan sebab
musababnya, tiba-tiba Bujang Kurung sangat marah dan membentaknya, tiba-tiba
Bujang Kurung sangat marah dan membentaknya keras-keras. Putri Lalan yang belum
pernah diperlakukan kasar seperti itu kaget, lalu menangis tersedu-sedu, seraya
berucap; “Mengapa knda tega membentak dinda yang selalu setia, bukankah kanda
pernah berjanji takkan menyakiti hati dinda”? Bujang Kurung pun membalasnya;
“Jikalau dinda tiada memulai, tentu kandapun tiada memarahi. Maka kanda ingatkan,
jangan lagi dinda menanyakan apa yang aku larangkan. Mendapat jawaban yang tak
diharapkan itu, hati Lalan semakin remuk redam. Namun demikian Putri Lalan masih
merahasiakan hasil temuannya. Putri Lalan hanya ingin menguji sampai dimana
ketulusan dan kejujuran suaminya itu. Oleh karena dinilainya sudah tidak jujur dan tulus
lagi, maka Purti Lalan berniat akan meninggalkannya.
Sejak kejadian itulah tiba-tiba Putri Lalan jadi rindu kepada Ayah Bundanya,
setra kakak-kakaknya di kahyangan. “Barangkali memang sudah tertebus dosa-dosa
hamba, maka sudah saatnya pula hamba harus kembali ke kahyangan,” tekadnya
dalam hati. Pada keesokan harinya, setelah Bujang Kurung pergi berladang, Putri Lalan
pun mempersiapkan diri, hendak meninggalkan sang suami. Baju terbangnya telah
disandang, anaknya pun digendong dibelakang. Maka segeralah ia menemui Suaminya
yang sedang berladang. Bujang Kurung pun terkejut melihat Putri Lalan datang dengan
memakai baju terbangnya sambil menggendong anaknya. Belum sempat Bujang
Kurung bertanya, Putri Lalan pun telah mendahului berkata; “Wahai Kanda tersayang,
kini tibalah saatnya perpisahan. Dinda bersama anakanda hendak kembali ke
kahyangan, meninggalkan kanda seorang. Jikalau kanda kelak rindu pada hamba,
pandanglah saja dari kejauhan, karena dinda berdua dalam rembulan.” Putri Lalan pun
segera terbang pelan-pelan, meninggalkan Bujang Kurung.
Setelah dilihatnya Putri Lalan terbang bersama anaknya, maka menjeritlah
keras-keras Bujang Kurung: “Lalaaan beleeek!Lalaaan beleeek!Lalaaan beleeek!(belek
rtinya kembali). Lalan kembali ke kahyangan.
Sementara itu, di kahyangan tatkala keenam kakak-kakak Putri Lalan itu kembali
di kahyangan, maka segeralah mereka berenam menghadap Ayah Bundanya. Apapun
yang akan menimpanya, mereka sudah pasrah dan siap menerima hukuman. Keenam
kakak berakid itu telah memaklumi, bahwa kasih sayang Ayah Bundanya terhadap si
bungsu Putri Lalan amatlah sangat mendalam. Oleh karenanya, merekapun tentunya
akan mendapat marah dan hukuman yang berat. Benarlah apa yang telah mereka
ramalkan berenam. Setelah mendengar cerita keenam anaknya, dan tidak melihat Putri
Lalan di hadapannya, maka terkejutlah Ayah Bundanya. Bahkan karena amat
sayngnya, Bundanya pun terus jatuh pingsantak sadarkan diri. Sedangkan
ayahandanya meluapkan amarahnya kepada mereka berenam. Kemudian mereka
berenam tidak diperbolehkan masuk rumah, hingga adiknya Putri Lalan kembali lagi ke
kahyangan.
Maka sejak itulah, keenam kakak beradik pun hidupnya terlsntsr. Keranya tiap
hari hanya termenung sambil berdendang pilu, meratapi si bungsu Putri Lalan yang
amat dicintainya. “Oi, Putri Lalan belek ba asuak, tumitne awea teno desoak”, begitulah
dendang pilunya keenam kakak Purti Lalan. Mereka sangat menyesal karena telah
menuruti keinginan adiknya yang ternyata berakibat sangat fatal. Apa gunanya
penyesalan, jikalau nasi sudah menjadi bubur. Padahal para dewa telah membuat
larangan, itulah akibatnya dari pelanggaran. Setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba
Putri Lalan muncul dihadapan kakaknya. Mereka terperanjat melihat si bungsu Putri
Lalan kembali dengan menggendong anak di belakangnya. Oleh karena sudah
menanggung rindu yang amat mendalam, maka merekapun segera menyambutnya
dengan sukacita, serta saling berebut duluan untuk memeluk Putri Lalan erat-erat.
Keenam kakaknya itu kemudian berlari menghadap Ayah Bundanya, seraya berteriak
dengan kerasnya; “nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek, nek inok! Putri Lalan
belek! Putri Lalan belek! (Ayah-Bunda! Putri Lalan pulang! Putri Lalan pulang! Nek inok!
Putri Lalan pulang! Putri Lalan pulang!). setelah melihat kembali si bungsu Putri Lalan
yang telah lama menghilang, maka kedua Ayah Bundanya pun menyambutnya dengan
girang bercampur haru.

Buaya Kotong

Di sebuah dusun hiduplah sebuah keluarga, dimana istrinya setiap melahirkan


selalu kembar, satu manusia dan satunya lagi berujud buaya. Sudah tujuh kali berturut-
turut melahirkan selalu begitu keadaannya. Oleh kedua orang tuanya keadaan seperti
itu disembunyikan rapat-rapat agar tidak diketahui masyarakat karena malu memiliki
anak seekor buaya. Setiap anak yang berwujud buaya lahir oleh ayahnya diletakkan di
tempat tersembunyi di sawah milik mereka dan diberi tanda khusus agar mudah
ditemui. Kedua orang tuanya bingung mau dibunuh tidak tega mau dibuang sayang,
biar bagaimanapun ketujuh buaya itu adalah anak mereka juga. Lama kelamaan kedua
orang tua itu tidak tahan memendam rahasia yang selama ini mereka tutup rapat-rapat.
Akhirnya mereka sepakat untuk melapor pada ketua dusun untuk mencari jalan keluar
dari permasalahan yang mereka hadapi.
Ketua dusun mengambil kebijakan deengan mengumpulkan seluruh warga agar
mendengar langsung dari kedua orang tua yang melahirkan budaya. Diceritakanlah
bahwa selama ini istrinya setiap melahirkan selalu kembar satu manusia satu buaya.
Sebetulnya kami ingin membunuh anak yang berwujud buaya tapi tidak tega,
sementara kalau dibiarkan hasil musyawarah ketua dusun diputuskanlah untuk melepas
saja ketujuh ekor buaya itu ke sungai. Anak-anak berujud buaya itu diangkat ke darat
dari sawah berlumpur untuk ditanyai oleh kedua orang tuanya, apakah mereka mau
hidup atau mati? Kalau mau hidup kami akan melepaskan kalian ke sungai dan mereka
setuju untuk dilepas di sungai.
Ketujuh ekor buaya itu dilepas satu persatu ke sungai dengan memberi tanda
masing-masing ekor buaya dipotong sampai pangkalnya. Dari tanda itulah orang-orang
menamakannya buada buntung(buayo kotong). Di saat melepas mereka kedua orang
tuanya berpesan kalau saudara-saudara kalian yang di darat mendapat kesulitan/
musibah agar ditolong dan apabila sedang ada di sungai supaya dijaga dari segala
mara bahaya. Suatu saat nanti apabila di rumah kita ada kenduri/pesta menyembelih
seekor kambing dalam memeriahkan acara gembira kalian akan kami beri hantaran
makanan sebaliknya apabila ada musibah kami tidak akan memberi apa-apa. Ketujuh
ekor buaya ini bila mempunyai anak, maka ia akan menggigit ekor anaknya sebagai
tanda keturunan buaya buntung.
Sampai sekarang setiap keturunan dari samudra buaya buntung yang hidup di
darat kalau mengadakan pesta atau hajatan apa saja yang bersifat menyenangkan
musti memberi punjungan kepada keturunan buaya buntung yang terdiam di sungai.
Adapun aneka warna makanannya adalah nasi putih dibungkus daun pisang dan hati-
jantung kambing yang sudah dimasak. Punjungan itu di antar ke tepian sungai Palik
dengan memanggil(hai....asal buaya buntung dahulu) kalau masih ada keturunannya ini
kami mengantar makanan agar kalian memakannya. Jikalau keturunan yang di darat
lalai tidak memberi punjungan makanan maka buaya buntung akan memperlihatkan diri
mondar mandir di sungai itu memberi tanda ada keturunannya yang di sarat melanggar
perjanjian. Apabila masih juga tidak diantar, maka buaya buntung akan terus mondar
mandir sampai makanan diantar dan syarat punjungannya ditambah seekor ayam putih
sebagai tanda maaf karena telah melalaikannya. Sekian ceritanya.

Pohon Enau

Dahulu di sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara. Nasib mereka
sungguh malang, mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir. Tujuh
saudara itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan. Si bungsu itulah
yang perempuan, namanya putri Sedoro Putih. Tujuh orang bersaudara itu hidup
sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan. Si bungsu sangat
disayang oleh keenam saudaranya. Mereka selalu memberikan perlindungan bagi
keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya. Segala macam kebutuhan si
bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan usaha sekuat tenaga.
Pada suatu malam, ketika Putri Sedoro Putih tidur, ia bermimpi aneh. Ia
didatangi seorang laki-laki tua. “Putri Sedoro Putih, kau ini sesungguhnya nenek dari
keenam saudaramu itu, ajalmu sudah dekat, karena itu bersiaplah kamu
menghadapinya”. “Saya segera mati?”, tanya putri Sedoro Putih penuh penasaran.
“Benar, dan dari pusara kuburmu nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum
pernah ada pada masa ini. Pohon itu akan banyak memberi manfaat banyak bagi
manusia”.
Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu lenyap begitu saja, sementara
Putri Sedoro Putih langsung terbangun dari tidurnya. Ia duduk termangu memikirkan arti
mimpinya itu sehingga hari demi hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Selera
makan dan minum pun tidak ada lagi. Akhirnya tubuhnya kurus kering dan wajah
cantiknya berubah menjadi pucat.
Saudara sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri
Sedoro Putih. Ia menanyakan mengapa adiknya bersedih hati seperti itu. Apakah ada
penyakit yang diidapnya sehingga perlu diobati? Kalau memang ada maka segera
diobati agar tidak menjadi lebih parah. Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro
Putih menceritakan semua mimpi yang dialaminya beberapa waktu yang lalu. Kata Putri
Sedoro Putih, “Kalau cerita dalam mimpi itu bener, bahwa dari tubuhku akan tumbuh
pohon yang mendatangkan manfaat untuk orang banyak, aku rela berkorban untuk itu”.
“Tidak adikku, jangan secepatitu kau tinggalkan kami. Kita akan hidup bersama, sampai
kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai penyambung generasi kita.
Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi hanya sebagai kembang tidur bagi semua
orang? Kata si sulung menghibur adiknya.
Hari-hari berlalu tanpa terasa, mimpi itupun telah dilupakan oleh Putri Sedoro
Putih. Ia telah kembali seperti semula, seorang gadis periang yang senang bekerja di
huma. Hasil panenpun telah terkumpul cukup untuk keperluan mereka selama
semusim. Pada suatu malam, tanpa menderita sakit lebih dahulu Putri Sedoro Putih
meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan
meratapi kepergian adik ke sayangannya. Mereka menguburkannya tidak jauh dari
kediaman mereka selama ini. Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih, ditengah
pusarannya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum pernah melihat pohon
seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan kasih sayang seperti merawat adiknya
selama ini. Pohon itu merka beri nama Sedoro Putih.
Disamping pohon itu tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama tinggi dengan
pohon Sedoro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon pelindung. Lima tahun
kemudian, pohon sedoro putih mulai berbunga dan berbuah. Jika angin berembus,
dahan kayu apung selalu memulul tangkai buah sedoro putih hingga menjadimemar
dan terjadilah peregangan sel-sel yang mempermudah air pohon sedoro putih mengalir
ke arah buah. Pada suatu hari, seorang saudara Sedoro Putih berziarah kekuburan itu.
Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung yang selalu
memulul tangkai buah pohon sedoro putih ketika angin berembus. Pada saat itu, datang
seekor tupai menghampiri pohon sedoro putih dan menggigitnya sampai buah itu
terlepas dari tangkainya. Dari tangkai yang terkelupas, keluarlah cairan kuning jernih.
Air itu dijilati tupai sepuas-puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedoro Putih
sampai tupai tadi pergi meninggalkan tempat itu. Saudara Sedoro Putih mendekati
pohon itu. Cairan yang menetes dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak
tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata air itu sangat
manus. Dengan muka berseri, ia pulang menemui saudara-sudaranya.
Semua peristiwa yang telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-
saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh sangat menarik perhatian mereka. Lalu,
mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon sedoro putih. Tangkai
buah pohon itu dipotong dan air yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan
tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa. Setelah satu malam, tikoa itu hampir
penuh. Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana
cara memperbanyak hasil sadapan. Mereka pun sepakat untuk menyadap tangkai buah
yang lain. Agar pekerjaan itu tidak gagal, mereka melakukan urutan kejadian yang
disaksikan oleh saudaranya ketika berziarah ke kuburan Putri Sedoro Putih. Urutannya
sebagai berikkut: pertama menggoyang-goyangkan tangkai pohon sedoro putih seperti
yang dilakuka oleh angin. Kedua, memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung
seperti yang terjadi ketika kayu kapung diembus angin. Ketiga, mereka memotong
tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung bambu pun digantungkan disana.
Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama.
Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai
buahtumbuh dari pohon sedoro putih semuanya sudah mendatangkan hasil. Akan
tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka karena air sadapan itu akan masam jika
disimpan terlalu lama. Kemudian,mereka sepakat membuat sebuah percobaan dengan
memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai
keras membeku dan berwarna coklat kekuningan. Sejak peristiwa itu, pohon sedoro
putih disebut pohon enau atau aren. Air pohon yang keluar dari tangkai buah
dinamakan nira. Nira yang sudah dimasak sampai mengental dinamakan gula merah.
Gula merah inilah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, digunakan sebagai
bahan masakan makanan, minuman dan campuran jamu tradisional.

Terciptanya Tari Kejai

Konon kabarnya dahulu kala ada seorang raja di khayangan ingin jalan-jalan ke
bumi, oleh isterinya yang bernama Putri Renggani disarankan agar sang Raja dikawal
tujuh bidadari. Putri Renggani berpesan kepada tujuh bidadari bila sampai di bumi
jangan istirhat di kayu yang bergetah. Ia mengingatkan kalau pantang ini dilanggar
mereka tidak bisa kembali lagi ke khayangan. Disana melihat-lihat keindahan bumi
yang menakjubkan rombongan mereka lupa akan pantang kayu bergetah. Sangking
asyiknya salah satu bidadari hinggap di pohon terap (salah satu kayu yang bergetah)
hingga tidak bisa terbang tinggi. Saudara-saudaranya tidak bisa menolong bidadari
malang tersebut, mereka tinggalkan saudaranya itu di bumi. Keenam bidadari lainnya
mengawal Raja kembali ke khayangan di langit dan sambil berurai air mata merelakan
satu saudaranya yang paling bungsu menjadi penghuni bumi.
Bidadari yang tertinggal dibumi karena takut di ganggu manusia menjelma
menjadi seekor “Burung Pungguk”. Ia terbang kesana kemari dan selalu berusaha
mencari pintu langit untuk bisa berkumpul dengan saudara-saudaranya di langit tapi
tidak pernah ketemu. Lama kelamaan ia sadar bahwa kemampuan terbangnya tidak
akan mampu menembus langit. Untuk melepas rindu pada saudara-saudaranya setiap
bulan terang(purnama) ia mengepak-ngepakkan sayapnya sebagai cara menyapa
saudaranya di langit sana. Keenam saudaranya melambai-lambaikan selendangnya
sebagai cara membalas sapaan adiknya. Terinspirasi dari kepakan sayap burung
pungguk dan lambaian selendang bidadari itulah tercipta tari Kejai.
Selain legenda tersebut di atas ada versi kedua terciptanya tari kejai sebagai
bagian dari pesta Kejai selama tujuh hari tujuh malam sebagai berikut:
Di sebuah desa hiduplah sepasang suami isteri yang sudah bertahun-tahun tidak
dikaruniai anak. Semua warga desa merasa iba kepada mereka, mau menolong tak
ada daya dan kuasa kecuali mereka turut berdoa agar kedua suami istri segera diberi
momongan. Segala usaha telah dilakukan namun anak yang diharapkan tak kunjung
didapatkan. Akhirnya, karena malu mereka memutuskan untuk merantau hidup
menyepi di suatu daerah yang terpencil jauh dari keramaian. Berbekal bibit-bibit
tanaman sebagai awal untuk memenuhi kebutuhan hidup di daerah baru, meereka
berangkatlah mrnuju suatu lembah yang subur.
Di lembah itulah seami isteri menikmati hidup dalam kesunyian sambil menanti
kedatangan anak yang diharap-harapkan. Waktupun berlalu tanpa terasa mereka
sudah bertahun tahun dari satu musim berganti musim, dri satu panen ke panen yang
lain anak yang diharapkan tak kelihatan tanda-tandanya. Dalam kesedihan yang
mendalam kedua suami isteri itu berdoa kepada Dewa agar dikaruniai seorang anak,
bila dikabulkan mereka berjanji akan mengadakan pesta besar-besaran selama tujuh
hari tujuh malam. Alhasil tak berapa lama mereka dikaruniai anak laki-laki sebagai rasa
terimakasih sekaligus bayar niat kepada dewa maka mereka kembali ke desa dan
memberitahu janji niat mereka kepada seluruh warga. Adapun bunyi niat mereka itupun
diikrarkan dihadapan warga sebagai berikut:
Ndak motong gagak ireng dua staken
Putih dada irengbelakang, tanduk panjang sekilan
Ikor panjang sedepo. Mato tigo kaki enam.
mendengar niat yang dikemukakan suami isteri tersebut maka seluruh sanak
famili dan warga lainnya segera bergegas menyediakan pelepah pisang, kelapa niat
yang dikemukakan suami isteri tersebut maka seluruh sanak famili dan warga lainnya
segera bergegas menyediakan pelepah pisang, kelapa serta hewan ternak yang
hendak dikorbankan. Semua warga sibuk menyiapkan pesta besar-besaran sebagai
rasa syukur kepada dewa yang telah mengabulkan doa warga mereka. Salah satu
acara yang akan mereka tampilkan adalah tari dengan iringan musik dari bambu dan
upi yang sekarang kita kenal sebagai tari Kejai.

Sinatung Natak

Batara guru Tuo Sakti mempunyai tujuh orang anak, salah seorang dari mereka
bernama Sinatung Natak. Tersiarlah berita pada waktu itu bahwa di dusun Serik Seri
Nato dekat dusun Sayak Mudo Belingai, kiri bukit kanan laut, berdiam seorang putri
yang sangat cantik molek bernama Putri Cerlik Cerilang Mato. Berita inipun sampai ke
bujang Sinatung Natak dan timbullah pada dirinya hasrat untuk menjumpai putri itu.
Maka berangkatlah ia menujuu dusun tempat putri itu dan sesampainya disana, ia
benar-benar melihat seorang gadis yang cantik molek berada di balai dusun.
Dengan tidak memikirkan bahaya yang mengancam dirinya dan terpesona oleh
kecantikan putri yang ia lihat itu, ia segera mendekatinya dan bercakap-cakap serta
bersendagurau oleh orang kepada tunangan putri itu, bernama Sinatung Bakas, yang
bergegas segera menuju balai dusun. Di balai dusun didapatinya seorang anak muda
tampan sedang memainkan seruling dihadapan tunangannya. Dengan hati marah,
tanpa tanya, anak muda itu dibunuhnya seketika itu juga, mayatnya di kubur di bawah
balai dan diatasnya ditimbun bangkai-bangkai binatang.
Kejadian pembunuhan tersebut diketahui oleh Batara Guru karena sakitnya,
maka berangkatlah beliau beserta beberapa orang anaknya menuju tempat kejadian itu,
guna menuntut balas. Sesampai di tempat yang dituju, rakyat disana bersama Rajanya
mengingkari tuduhan pembunuhan yang dikemukakan oleh Batara Guru. Setelah
mendengarsangkalan itu, maka salah seorang anak dari Batara Guru menyumpit dan
sumpitnya jatuh ke tanah dibawah balai tempat kuburan saudaranya itu berada.
Kuburan itu segera digali dan mayat Sinatung Natak ditemukan kembali dalam keadaan
masih utuh sama sekali, yang dalam bahasa daerah dibayangkan dengan kata-kata :
rupo idak berubah, panau-panau masih ado. Dengan bukti yang jelas ini, maka rakyat
dan Raja di tempat itu tidak dapat berkata apa-apa lagi dan mengaku kesalahan
mereka serta bersedia mengganti kerugian berapa saja diminta, setelah mereka
menceritakan duduk perkara yang sebenarnya mengapa sampai terjadi peristiwa yang
menyedihkan itu dan yang tidak mereka ingini sama sekali.
Batara Guru sebagai orang yang arif dan bijaksana dapat memahami kejadian
sedih itu. Beliau tidak menuntut balas nyawa ganti nyawa, tetapi menetapkan ganti
kerugian sesuai dengan mermintaan si pembunuh. Maka ditetapkanlah pengganti tiap-
tiap panau yang terdapat di tubuh mendiang anaknya itu dengan satu mata uang yang
diletakkan di talam. Dimulailah menyelidiki panau-panau yang ada pada tubuh mayat
Sinatung Natak dan kehendak yang kuasa, panau habis diselidiki, mayat hidup kembali
dan sesaat sesudah itu mati lagi. Uang yang terkumpul di dalam talam dihitung dan
ternyata berjumlah delapan puluh rial.
Dengan peristiwa diatas, maka timbullah semenjak kejadian itu adat bayar
bangunan bagi si pembunuh sebagai pengganti adat lama gawah mati atau nyawa
dibayar dengan nyawa diganti dengan nyawa hilang cukup di bayar dengan delapan
puluh rial. Hukum nyawa diganti dengan uang terkenal sebagai hukum Sinatung Natak.

Mungkin Raib

Pada zaman dahulu dari salah satu desa tua di tanah Rejang yang dikenal
dengan dusun Curup. Diceritakan seorang pemuda miskin bernama Muning pergi ke
Bukit Kaba, dia dengan tekad bulat untuk bisa mendapatkan ketenangan disana.
Muning bertarak tidak membawa apa-apa kecuali baju yang melekat di badan dan
sebuah seruling. Ia kemudian bertapa di bukit itu sendirian, diwaktu senggangnya saat
tidak bersamedi ia memainkan serulingnya sampai ke kahyangan dan di dengar oleh
seorang dewi dan membuat dewi itu terpikat kepadanya. Cinta tidak bertepuk sebelah
tangan Muningpun jatuh cinta pada dewi yang sangat cantik jelita itu. Walaupun beda
alam keduanya sepakat membina rumah tangga, sebagai saran pelepas rindu dendam
cinta yang membara dalam dada kedua makhluk saling asyik masuk dimabuk asmara
itu, mereka sepakat menikah.
Akhirnya keduanya memutuskan untuk membangun biduk rumah tangga di desa,
kembalillah keduanya tapi dengan syarat dari para dewa, istrinya dilarang masak
rebung dan pakis bila sedang bekejai. Bila pantang dilarang maka dengan terpaksa
istinya akan dijemput dan dibawa kembali keasalnya. Muning dan istrinya setuju,
dilepaslah keduanya untuk kembali ke desa tempat Muning berasal, di desa diterimalah
keduanya sebagai warga desa biasa. Setelah bertahun-tahun berumah tangga, semua
warga sudah lupa bahwa istri Muning adalah seorang bidadari, maka disaat ada pesta
kejai ia diajak oleh warga yang lain ikut membantu memasak di tempat orang bekejai
tersebut. Muning sendiri sudah lupa akan janji yang tidak boleh dilarang istrinya.
Maklum di tempat orang berpesta di tanah rejang memasak rebung dan pakis sudah
menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Mereka ramai-ramai masak rebung asam
dicampur ikan mukus sebagai salah satu hidangan pada hari itu. Istri Muning terkejud,
ia baru teringat syarat perkawinannya dengan manusia tidak boleh melanggar pantang
seperti tersebut diatas. Dengan berat hati dewi itu dijemput oleh keluarganya kembali
ke Bukit Kaba dan langsung menuju kahyangan.
Muning menyesal atas kejadian yang tak disangka-sangkanya itu, apa boleh
buat nasih sudah menjadi bubur senang tak dapat diraih malang tak dapat ditolak,
karena cintanya yang sangat mendalam kepada istrinya diputuskanlah untuk mengikuti
langkah-langkah gontainya menuju Bukit Kaba dimana istrinya terkahir hilang. Ia
bertekad tak akan kembali lagi ke desanya sebelum membawa istrinya pulang. Setiap
hari ia hanya menghabiskan waktunya bermain seruling dengan lagu yang sedih
mendayu, namun sang pujaan tak kujnung muncul sesuai harapannya. Hatinya
semakin lama semakin gusar, tak ada tampak sedikitpun akan kemunculan istrinya
walau hanya di dalam mimpi. Akhirnya ia memutuskan untuk bertarak memusatkan
konsentrasinya agar bisa mengikuti istrinya di kahyangan langit Jonggaring saloka.
Niatnya dikabulkan oleh para dewa dan tubuhnya raib dan tidak kembali lagi.

Putri Serindang Bulan

Raden Cetang teringat janji dengan seorang perempuan tatkala mengikat janji di
Lauhul Mahfudz, putri itu bernama putri Serindang Bulan. Menurut perjanjian mereka
akan bertemu jodoh di dunia nanti. Sang putri memberi pedoman bahwa ia akan turun
ke dunia nanti di hulu sungai yang airnya paling antan (berat). Raden Cetang
meninggalkan kerajaan Mojopahit, ia menyeberang lautan dengan sebuah sampan arah
ke barat menuju pulau Sumatera. Dari pantai Sumatera Selatan bahagian barat ia
menyusur pantai terus ke utara dan menemui beberapa buah sungai yang bermuara
ke laut. Tiap-tiap air sungai itu ditimbang beratnya. Akhirnya, ia menemui sebuah
sungai yang airnya lebih berat dari air yang lain bahkan lebih berat dari air laut. Dengan
bertemunya air sungai itu, akan ketahuanlah tempat kelahiran putri Serindang Bulan
dan sungai itu diberinya nama Air Ketahun kemudian dimudikinya Air Ketahun itu.
Semua anak sungai yang bermuara ke Air Ketahun ditimbang lagi beratnya sampai
akhirnya ia bertemu dengan sebuah anak sungai yang paling berat timbangannya,
"Inilah air yang paling antan", katanya. Selanjutnya air itu disebut air antan dan akhirnya
menjadi Air Santan.
Dekat muara Air Santan ada sebuah ladang yang didiami seorang nenek.
Dihampirinya pondok ditengah ladang itu sambil memanggil-manggil siapa gerangan
pemiliknya. Dari dalam pondok keluarlah nenek menjenguk orang yang memanggil-
manggil. "Silahkan ke pondok nak", kata nenek setelah dilihatnya ada orang
dipekarangan pondoknya. Sambil mengucapkan terima kasih, masuklah Raden Cetang
menaiki tangga yang terbuat dari bambu dan terus diajak oleh nenek masuk ke dalam
pondok.
Raden Cetang akhirnya tinggal bersama nenek di pondok itu, sebetulnya ia
keberatan karena terus didesak oleh nenek untuk menemaninya, ia akhirnya mengalah.
Nenek tersebut tinggal seorang diri di ladang yang terpencil itu. Beberapa bulan yang
lalu suaminya meninggal dunia, jadi ia sekarang hidup sebatang kara. Kondisinya
sangat memprihatinkan, tidak ada teman bergurau, kawan berbicara atau lawan
berunding, tak ada juga yang membantu pekerjaannya. Sehari-hari ia hanya ditemani
seekor kucing tua yang membantu membersihkan rumahnya. Ada seekor ayam jantan
apabila menjelang fajar berkokok sekuat suaranya membangunkan nenek dari tidurnya.
Sekarang ia tidak lagi merasa kesepian, ada seorang pemuda gagah yang
menemaninya.
Tak jauh dari ladang nenek, ada sebuah kampung yang didiami oleh seorang
bekas punggawa kerajaan dari Pagarruyung, namanya Rajo Magek. Ia telah kawin
dengan seorang perempuan anak merejang sawah. Kampung itu bernama Kutei Ukem,
Rajo Magek itulah yang memerintah desa itu. Ia telah mempunyai dua orang anak laki-
laki, yang seorang bernama Setio Kelawang hasil perkawinannya dengan Siti Rahma
perempuan merejang sawah tadi sedangkan yang seorang lagi bernama Setio sawang
adalah anaknya dari Pagarruyung, baru datang mencari ayahnya setelah ditinggalkan
sejak kecil. Kelak, empat anak Setio Kelawang mendiami lembah yang sekarang
dinamai Ujung Tanjung. Itulah sebabnya sekarang di dusun Ujung Tanjung terdapat
empat suku, yaitu suku Muning Agung, suku tunggak Meriam, suku Pantai Jeragan dan
suku Setio Bulen tuai. Kepala suku itu diwarisi secara turun temurun.
Pada saat isteri Rajo Magek hendak melahirkan seorang anak, telah seminggu
lamanya tapi belum juga ada tanda tanda bayi itu lahir. Sudah banyak dukun yang
dipanggil, tetapi tidak satu pun dukun yang berhasil. Padahal sudah berbagai macam
obat mujarab diminumkan agar bayi segera lahir namun harapan itu nampaknya sia-sia
belaka. Rajo magek dengan rasa putus asa memerintahkan anak buahnya agar
mencari ke seluruh pelosok kalau-kalau masih ada dukun yang belum dipanggil atau
siapa saja yang dapat membidani istrinya.
Melalui percakapan-percakapan orang kampung, ada seorang pendatang entah
dari mana, tinggal bersama nenek di ladang dekat muara air santan. Mungkin orang itu
dapat menolong istri rajo Magek, beberapa orang disuruh Rajo Magek untuk menjemput
Raden Cetang, tetapi ia menolak karena tak dapat membidani orang bersalin. Rajo
magek sangat gelisah hatinya, ia sendiri akhirnya pergi menjemput. Pada mulanya
Raden Cetang tetap menolak permintaan Rajo magek. Akhirnya Raden cetang
mengalah karena Rajo magek menetapkan suatu perjanjian. Kalau anak itu nanti laki-
laki maka Raden Cetang boleh mengambilnya menjadi anak atau budak yang akan
menjadi pembawa buntil. Jika anak itu perempuan, maka anak itu akan dijodohkan
dengan Raden celang kalau sudah dewasa kelak. Berangkatlah mereka menuju rumah
rajo Magek, Raden Cetang dengan cekatan mengeluarkan ramuan obatnya. Dengan
diiringi doa yang mustajab dan reaksi obat yang mustajab, maka lahirlah seorang anak
perempuan dalam kondisi sehat. Anak tersebut walau masih bayi telah menampakkan
bakat wajah yang cantik, laksana bulan purnama. Diberilah namanya seketika itu juga
Putri Serindang Bulan. Akan tetapi orang dusun sering memanggilnya Putri Seggang,
karena kelahirannya tersenggang beberapa lama hingga saat dibidani oleh Raden
Cetang.
Sambil menunggu Putri serindang Bulan meningkat dewasa, Raden Cetang
mohon diri kepada nenek. Ia akan pergi berladang ke danau Tes di dekat teluk Lem,
Disanalah asal mulanya dusun Tes. Setiap hari selesai bekerja di ladang, ia pergi
memancing ke teluk lem, sambil duduk di butau gesea (batu yang hampir jatuh). Tak
ada yang dilakukan Raden Cetang selain merintang-rintang waktu sambil menunggu.
Pekerjaan menunggu memang sesuatu yang sangat membosankan, lama rasanya
waktu berjalan. Menyibukkan diri dengan berladang dan memancing itulah yang
dilakukannya dari hari ke hari. Umumnya semakin merangkak tua, wajahnya mulai
legam terbakar matahari, ia lebih tepat dijuluki bujang lapuk.
Sementara itu, Putri Seridang bulan tumbuh sebagai anak yang luar biasa,
belum waktunya merangkak sudah merangkak, belum waktunya berjalan ia telah
berjalan, karena badannya bongsor belum waktunya besar telah terlihat seperti gadis
dewasa. Rupanya sangat cantik tidak ada bandingannya di daerah itu. Wajahnya elok
bak rembulan bersinar penuh, rambutnya hitam panjang mengurai sampai ke pinggul,
matanya bening berkaca-kaca, jalannya seperti ratu turun dari singgasana, senyumnya
seperti delima merekah. Gadis cantik seperti itu sepantasnya dijodohkan dengan raja-
raja besar atau saudagar kaya raya.
Rajo magek mulai goyang dengan janjinya dengan Raden cetang, manakala
mendengar ocehan orang kampung. “Masakan putri secantik itu dijodohkan dengan
laki-laki dungu itu. Telinganya selebar teleng, rupanya sangat buruk”. Akhirnya dikirim
utusan ke tempat Raden cetang di teluk lem untuk menyampaikan pesan Rajo magek
bahwa pertunangannya dengan Putri Serindang bulan dibatalkan. Dengan penuh
kesabaran, menjawablah Raden Cetang, “Apa hendak dikata, memang janjilah dapat
mungkir dan berbicaralah dapat berbohong”. Sepeninggal utusan rajo Magek, ia pergi
mengembara ke sepanjang pantai dikumpulkannya segala macam bibit penyakit.
Dengan diam-diam dilimpahkannya bibit penyakit itu kepada diri Putri serindang Bulan.
Tak terkatakan penderitaan Putri Serindang bulan mengidap bermacam-macam
penyakit. Sekujur tubuhnya, dijangkiti berbagai-bagai macam penyakit kulit. Makin hari
semakin parah saja penyakitnya. Putri yang cantik molek telah berubah rupa menjadi
orang yang buruk, karena bermacam-macam obat telah melumuri kulit yang berkoreng,
berkurap itu, tak kelihatan lagi rupa kulitnya yang putih. Gatal dan perihnya tak
tertahankan lagi. Makin diobati semakin parah, berganti dukun makin menjadi-jadi
perihnya. Rajo Magek dan istrinya hampir putus asa, untunglah mereka segera ingat
kepada Raden Cetang mungkin dialah yang dapat mengobati Putrinya seperti kala
membantu melahirkannya dulu. Beberapa utusan dikirim untuk menjemput Raden
Cetang, namun ia tak hendak datang. Akibatnya, Rajo Magek terpaksa datang bersama
istrinya ke teluk lem untuk menemui dendiri Raden Cetang. Sesampainya di pondok
Raden Cetang lebih dahulu Rajo Magek meminta maaf atas kelancangannya
memungkiri janjinya waktu ikrar di ladang nenek. Dengan tersenyum raden Cetang
menjawab, “Tak apalah wak, janji itu lah biasa mungkir, tak usah diingat-ingat lagi janji
itu”. “Tidak nak janji itu tidak akan dimungkiri, kalau tidak janji, apakah yang harus
dipatuhi lagi. Saya tidak akan memungkiri janji itu lagi, kau akan tetap akan aku
jodohkan dengan anak kami Putri Serindang bulan. Percayalah!”, Rajo Magek
meyakinkan, kemudian melanjutkan,“Tapi sekarang tidak bisadilaksanakan perkawinan
itu karena Putri serindang Bulan sedang menderita penyakit kulit yang sangat parah.
Untuk itu kami mohon pertolongan untuk kedua kalinya mengobati penyakit anak kami
tersebut, setelah ia sembuh perkawinan segera dilaksanakan”.
Permintaan kedua suami istri itu dikabulkannya, segeralah mereka berangkat ke
Kutei Ukem. Segala bibit penyakit itu dikumpulkannya lagi oleh Raden Cetang
ditumpahkannyalah kepada penyu. Itulah sebabnya kulit badan penyu berukir-ukir
karena telah dimasukkan segala bibit penyakit kulit dari Putri Serindang Bulan. Seketika
seluruh penyakit kulit putri Serindang Bulan lenyap pulih seperti sediakala.
Puteri Serindang Bulan telah segera bugar kembali, bahkan wajahnya lebih
cantik dari semula. Apa hendak dikata, janji tak dapat dimungkiri lagi. Rajo Magek telah
berjanji untuk kedua kalinya kepada Raden Cetang. Rajo Magek menetapkan bahwa
perkawinan antara anaknya dengan Radden Cetang segera akan dilaksanakan.
Peralatan perkawinan itu direncanakan akan menjadikan bimbingan gedang selama
sembilan bulan. Disiarkanlah berita rencana Rajo Magek ini ke seluruh pelosok
kampung dan desa, ladang dan huma. Seluruh rakyat diharuskan membantu
menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk bimbang gedang itu.
Kaum lelaki mengumpulkan kayu dan bambu untuk bahan balai. Kayu api dan
damar untuk lampu dikumpulkan juga, sementara kaum perempuan juga mencari
bahan-bahan yang diperlukan untuk menerima tamu. Sirih, pinang, rebung dan daun
pembungkus dikumpulkan dalam sebuah ladang. Rajo Magek meminta juga kepada
bakal sebuah ladang. Rajo Magek meminta juga kepada bakal menantunya agar ia
dapat menyediakan nira dan mata ikan. Nira gunanya untuk minuman para tamu,
pekerja dan juga untuk manisan juadah wajik dsb. Mata ikan gunanya untuk bahan
makanan khas suku Rejang yang bahannya dari rebung yang diasamkan bercampur
ikan (lemea).
Sebenarnya Rajo magek hendak mencari alasan untuk menggagalkan
perkawinan ini. Bukankah tidak sedikit nira yang diperlukan untuk bimbang gedang
selama sembilan bulan itu. Mengapa pula mata ikan yang diminta untuk bahan
membuat lemea itu? Tidak sedikit mata ikan yang harus dikumpulkan. Sementara itu,
Raden Cetang dengan sabar dan keteguhan hati pulanglah ia ke ladang neneknya.
Diceritakannya permintaan bakal mertuanya kepadanya, neneknya terkejut mendengar
beban yang sangat berat itu. Raden Cetang mulai mengumpulkan serta bulai,
dipintalnya serta bulai itu. Setelah cukup, mulailah ia menyirat jala, kecepatannya
menyirat jala luar biasa. Tidak cukup seminggu jala sudah cukup untuk dibawa mencari
ikan, sambil menyandang jala berangkatlah Raden Cetang ke hulu air deras dekat
jembatan Tunggang sekarang. Disini, menurut keterangan orang, disekitar itu ada
sebuah batu yang disebut batu mengapung. Batu itu terletak ditengah-tengah air yang
deras, bagaimanapun besarnya banjir, batu itu takkan tenggelam dan hanyut.
Di hulu inilah Raden Cetang menebarkan jalanya untuk pertama kali. Wah,
banyaknya ikan yang terjarung membuat hatinya gembira, ia melihat jalannya penuh
berisi ikan dari bawah sampai atas tiap mata jalanya terisi ikan, tapi tidak sampai ke
puncak jala ternyata masih tersisa dua lobang mata jala yang masih kosong. Hati
Raden cetang belum puas, belum sakti namanya kalau masih terdapat kekurangan
maka dilepaskannya semua ikan itu kedalaman air seekor pun tak dibunuhnya. Lebih
kurang satu kilometer dari tempatnya itu arah ke hulu, di suatu lubuk yang dinamai
Lubuk Genyem ditebarkannya jalan untuk kedua kalinya. Bila diangkatnya ternyata
masih ada satu lobang mata jala yang masih kosong, ia melepaskannya kembali semua
ikan itu ke dalam lubuk. Disandanganya jala sambil berpikir sebentar, kemana lagi akan
ditebarkannya jala ini agar tidak ada lagi sematapun yang kosong. Ia mengingat-ingat
dimana ia pernah melihat ikan banyak, ia teringat sebuah lubuk dekat ladangnya di
teluk lem danau Tes. Pergilah ia ke hulu mengambil jalan pintas, ditengah jalan
didapatinya bekas yang dilalui gajah dan sampai sekarang tempat itu masih disebut
penyeberangan gajah (dekat SD Negeri Taba Anyar Tes sekarang). Di pinggir jalan itu
didapatinya sedatang enau yang sedang mengurai mayang, mayang sudah tua dan
sudah waktunya untuk disadap niranya. Diambilnya rodok dan dipancingnya mayang
itu, disadapnya dengan seruas buluh telang. Selesai memasang bumbung, ia berangkat
ke teluk Lem.
Di teluk lem ia merasa puas, tak selobang mata jalanya yang kosong,
diangkatlah jalanya ke daratan. Diculikny mata ikan itu masing-masing sebelah, setelah
diambil matanya sebelah, dilepaskannya kembali ikan itu ke lubuk. Demikianlah sampai
habis ikan yang di jala. Mata ikan itu dimasukkan ke dalam buluh telang, semua buluh
telang telah penuh dengan mata ikan. Jalan disandang bulu dijinjing berjalanlah ia
menuju ke hilir, ketika sampai di penyebrangan gajah dilihatnya bumbung niranya
hampir penuh, diambilnya dan dibawa pulang. Niranya hampir prnuh, diambilnya dan
dibawa pulang. Jadi dalam sekali perjalanan ia telah berhasil mendapat dua permintaan
bakal mertuanya. Tiba di hulu dusun kutei Ukem, disandarkannya kedua buluh
bumbung itu pada sebatang pohon belimbing. Mungkin karena beratnya bumbung itu,
batang belimbing itu menjadi condong. Segera dilaporkannya hasil pencariannya itu
kepada bakal mertuanya. Ia kembali ke pondok nenek.
Istri Rajo Magek mendengar hal ihwal yang dilakukan Raden Cetang berhasil, ia
ingin menggagalkan nya. Istri Rajo Magek dengan suara agak gugup memerintahkan
pada seorang laki-laki untuk mengablik bumbung yang bersandar pada pohon
belimbing di hulu dusun. Aneh, bumbung itu tidak terangkat olehnya, sebuah bumbung
pun tak dapat diangkat, bergerak saja tidak. Suruhan itu segera melaporkan hal itu
kepada istri Rajo Magek, beberapa suruhan lainpun tak dapat membawa bumbung itu
pulang.
Istri Rajo Magek tidak percaya dengan laporan-laporan orang suruhannya itu. Ia
pergi bersama perempuan-perempuan lainnya untuk mengambil bumbung itu. Benarlah
apa yang telah dilaporkan oleh suruhan-suruhannya itu. Seluruh bumbung tidak dapat
diangkat oleh berpuluh-puluh orang. Hal itu diceritakan oleh istri Rajo Magek kepada
suaminya. Tak terkatakan marahnya Rajo Magek mendengar cerita yang bukan-bukan
itu. “Pemalas kalian ini! Masakan bumbung hanya dua buah itu kalian serahkan kepada
saya untuk mengangkatnya? Mungkinkah itu?”, bentak Rajo Magek. “Kalau tidak
percaya, pergilah kanda mencobanya” ,sahut istrinya. Sambil menggerutu pergilah Rajo
Magek ke tempat bumbung tersandar itu. Dicobanya mengangkat salah satu bumbung
itu. Aneh, tidak bergerak. Alangkah beratnya, dicobanya ilmu kuat, dikeluarkannya ilmu
kesaktiannya. Dicoba sekali lagi. Jangankan terangkat, bergerakpun tidak. Bahkan
batang bumbung itu pun bertambah condong. Tanah disekitar belimbing itu berbencah-
bencah seperti bekas gajah berlaga. Bercucuran keringatnya, namun usahanya sia-sia
saja, Rajo Magek pun menyerah. Ia pulang menceritakan hal itu kepada istrinya.
“Temuilah Raden Cetang katakan saja bahwa bumbungnya tidak diketahui tempatnya,
telah payah dicari tidak bersua. Katakan kepadanya agar ia sendiri mengambilnya dan
dibawa kedekat balai ini”, pesannya. Pergilah istrinya Rajo Magek menceritakan hal itu
kepada Raden Centang “Raden, telah kami suruh orang untuk mengambil bumbung
yang raden ceritakan itu. Mereka tak dapat menemukannya, barangkali baik juga
tempat raden menyembunyikan bumbung itu, atau bumbung itu sudah dicuri orang?”
demikianlah istri Rajo Magek tidak mau menceritakan kelemahannya. Dimintanya agar
Raden Centang sendiri yang mencarinya dan membawanya ke dekat balai. Raden
Cetang ke tempat ia meletakkan bumbung itu. Ternyata masih ada, belum bergerak dari
tempatnya. Ia tersenyum ketika melihat tanah disekitar tempat itu berbencah-bencah
seperti beberapa ekor gajah berlaga. Ia mengerti apa yang telah terjadi di tempat itu.
Dengan rasa masgul diangkatnya kedua bumbung itu dengan mudah
disandarkannya di bahu kiri dan kanan kemudian dibawanya ke dalam balai Rajo
Magek. Diletakkannya dibawah batang jambu sehingga buah jambu yang masih muda-
muda berguguran semuanya akibat getaran bumbung ketika dihentakkan ke tanah.
Hampir semua orang mengejek ketika melihat bahan yang dibawa oleh Raden Cetang.
“Nira yang cukup untuk sekali teguk, ikan itu barangkali hanya cukup untuk makanan
seekor kucing”, kata yang lain pula. Bermacam-macam lagi kata ejekan karena melihat
bahan yang sangat sedikit itu. Mereka mengira Raden Cetang sekedar melepas hutang
saja. Istri Rajo Magek berkata, “Tidak apalah, maklum saja orang yang akan jadi
mengantin, itu sekedar untuk mendapatkan buluhnya saja. Nantilah kita usahakan
mencari lainnya bukankah perhelatan ini?”. Mendengar itu redalah ocehan orang
banyak itu. Mereka berebutan ingin mencoba meminum nira, saling dahulu mendahului,
karena takut kehabisan. Anehnya,seluruh yang hadir telah meminum sepuas-puasnya
namun sisanya masih tetap ada dalam bumbung. Dipergunakan untuk masak juadah
sekuali, dua kuali, bahkan berpuluh-puluh kuali namun nira masih juga bersisa.
Demikian juga halnya dengan mata ikan, berpuluh-puluh guci telah penuh dengan
lemea. Beberapa banyak ikan yang diperlukan tetap keluar dari dalam buluh danmasih
bersisa. Tak ada yang berani mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Sekarang barulah
mereka tahu Raden Cetang adalah manusia luar biasa. Andaikan cemoohan sampai
terdengar kepadanya, mungkin akan mencelakakan orang kampung. Untunglah hal
yang demikian tidak terjadi. Akhirnya perkawinan berjalan lancar tiada halangan suatu
apa, semua janji telah terpenuhi, mereka hidup bahagia.

Batu Berambai

Alkisah di daerah Rejang Bengkulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh
seorang raja bernama Ratu Agung. Ia seorang pemimpin yang adil dan bijaksana,
bahwa kepemimpinannya kerajaan tersebut berkembang menjadi sebuah kerajaan
yang aman dan makmur. Ratu mempunyai seorang putra bernama Raden Serdang
Irang dan seorang putri bernama Putri Renong Bulan.
Raden serdang Irang adalah seorang pangeran yang tampan dan berbudi pekerti
luhur. Selain itu, ia juga mahir bermain silat dan menguasai ilmu peperangan. Tak
seorang pun di negeri itu yang mampu mengalahkan kepandaiannya. Sebagai putra
tertua, ia senantiasa menjaga dan melindungi adiknya. Siapapun yang berani
mengganggu sang adik, maka dia akan membelanya walaupun nyawa sebagai
taruhannya. Sementara itu, Putri renong Bulan adalah seorang putri yang cantik nan
rupawan. Wajahnya cerah dan berseri-seri memancarkan sinar keanggunan.
Rambutnya panjang terurai dan berwarna hitam berkilauan. Senyumnya pun sangat
manis dan mempesona menggetarkan laki-laki yang memandangnya. Selain memiliki
kecantikan yang luar biasa, Putri Renong Bulan juga memiliki sifat lemah lembut dan
terampil menenun kain. Ia hampir tiap hari menghabiskan waktunya menenun kain
dengan corak yang indah. Dengan segala yang dimilikinya, maka tidaklah
mengherankan jika sang putri menjadi kebanggaan keluarga istana.
Suatu hari ketika Putri Renong Bulan sedang asyik menenun dan Raden
Serdang Irang sedang berlatih silat, tiba-tiba ia dipanggil oleh sang ayah untuk
menghadap. Keduanya pun menghentikan kegiatan mereka dan segera memenuhi
panggilan sang ayah. “Ada apa Ayah?” kenapa tiba-tiba ayah memenggil kami
menghadap”, tanya Raden Serdang Irang penasaran. Ratu Agung hanya tersenyum
sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih. “Begini putra putriku, umur
ayah sudah semakin tua, tidak lama lagi ayah akan meninggalkan kalian”, kata Ratu
Agung. “kenapa Ayah berkata begitu? Bukankah Ayah masih tampak sehat saja?”,
tanya Putri Renong Bulan. “kamu benar putriku, meskipun Ayah tampak sehat namun
Ayah tampak sehat namun Ayah mempunyai firasat bahwa Ayah tidak akan lama lagi
hidup di dunia ini”, ungkap Ratu Agung, “Oleh karena itu, jagalah diri kalian masing-
masing”. Selanjutnya Ratu Agung berpesan kepada putra putrinya dengan ungkapan
berikut:

Jika ingin merasakan asin, makanlah garam, Jika ingin merasakan pedas,
makanlah cabai. Kalau mau terpuji, berkelakuanlah yang baik terhadap semua, putraku
Serdang jagalah adikmu baik-baik”, lanjutnya.
“Baik Ayah, kami akan selalu ingat semua pesan Ayah”, jawab Raden Serdang.

Tak berapa lama berselang, Ratu Agung meninggal dunia, seluruh keluarga
istana dan rakyat negeri itu berkabung. Semuanya merasa seddih kehilangan seorang
raja adil dan bijaksana. Namun kesedihan itu tidak berlangsung lama karena setelah
tujuh hari Ratu Agung dimakamkan, Raden Serdang Irang dilantik menjadi raja. Ia
seorang pimpinan yang adil dan bijaksana mewarisi sifat-sifat kepemimpinan ayahnya.
Bahkan sejak menjadi raja, kerajaan tersebut mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Ia rajin menjalin hubungan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan
pertama yang diajak kerja sama adalah kerajaan Sungai Lemau yang juga dipimpin
oleh seorang raja muda. Kedua raja muda itu saling mengunjungi satu sama lain ke
kerajaan masing-masing.
Suatu hari ketika berkunjung ke kerajaan Raden Serdang Irang, Raja Sungai
Lemau bertemu dengan Putri Renong Bulan. Ia terpesona melihat kecantikan dan
kemolekan perangai sang putri. Sejak itulah, Raja sungai Lemau jatuh hati dan berniat
untuk melamar Putri Renong Bulan. Maka disampaikanlah niat itu kepada Raden
Serdang. “Wahai sahabatku bagaimana kalau hubungan persahabatan ini kita lebih
dekatkan lagi”, pinta Raja Sungai Lemau. Raja serdang pun ia tak dapat langsung
menjawabnya. “Maaf saudaraku, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu”, ucap
Raden Serdang, “Menurut adat di negeri ini yang bersangkutanlah yang berhak
menjawabnya. Oleh karena itu, saat ditanya Putri renong Bulan hanya diam seribu
bahasa, hal ini menandakan bahwa sang Putri berseddia menerima lamaran tersebut.
Pada hari yang disepakati mereka pun ditunangkan. Pernikahan mereka akan
dilangsungkan bulan depan. Sejak bertunangan dengan sang Putri, Raja Sungai Lemau
semakin rajin berkunjung ke kerajaan Raden Serdang.
Sementara itu, ditempat lain tersebutlah seorang raja yang bertahta di sebuah
kerajaan besar dan megah di pulau perca, Aceh. Raja itu sudah lama mendengar
mengenai kebesaran dan kemegahan Raden Serdang. Tidak hanya itu, kerajaan
Raden Serdang juga sudah terkenal memiliki seorang putri yang cantik jelita hingga ke
beberapa negeri. Raja pulau perca demi mendengar kabar tersebut segera mengirim
utusan untuk melamar Putri Renong Bulan bagi putra mahkotanya. Utusan itu
berangkat ke Rejang bersama para pengawal melalui laut dan sungai dengan
menggunakan kapal besar.
Setiba di istana Raja Serdang, utusan itu segera menyampaikan lamaran putra
mahkota kerajaan mereka. Lamaran mereka pun langsung ditolak oleh Raden Serdang
karena adiknya telah bertunangan. Rupanya utusan dari kerajaan Aceh itu, tidak rela
menerima penolakan dan mereka tetap memaksa untuk menikahkan sang putri dengan
putra mahkota kerajaan mereka. Raden Serdang pun bersikeras untuk menolak
lamaran itu sehingga terjadilah pertempuran sengit antara kedua kerajaan. Dalam
pertempuran itu Raden Serdang memimpin langsung pasukannya dengan gagah berani
sehingga pasukan dari kerajaan Aceh terpukul mundur. Meski demikian, Raden
Serdang bersama pasukannya tetap berjaga-jaga. Mereka menddirikan sebuah
benteng dari aur (bambu) dan duri yang sangat kokoh mengelilingi kerajaan sehingga
sulit ditembus oleh pasukan dari Aceh.
Sementara itu pasukan dari kerajaan Aceh yang terkumpul mundur tidak
langsung kembali ke negerinya. Mereka tetap berada di atas kapal yang bersandar di
pelabuhan. Setelah mengadakan perundingan, mereka mengirim seorang utusan untuk
memata-matai Raden Serdang dan pasukannya yang sedang berjaga-jaga di sekitar
benteng. Suatu pagi, seorang perempuan dari kerajaan Raden Serdang keluar dari
benteng hendak mencari ikan di sungai. Utusan yang telah menyamar sebagai
penduduk setempat segera mencegat perempuan itu.
“Maaf Bu, bolehkah saya menggangu sebentar?”, sapa utusan itu.
“Ya silahkan! Barangkali ada yang bisa saya bantu”, jawab perempuan itu.
“Sebenarnya, apa yang amat disukai penduduk disini?”, tanya utusan itu.
Dengan pollosnya perempuan itu menjawab bahwa penduduk negeri Rejang
amat menyukai uang. Setelah itu, perempuan itu berlalu tanpa merasa curiga
sedikitpun. Sementara iitu, sang utusan segera kembali ke kapal untuk melapor kepada
panglimanya. Mendengar laporan tersebut, sang panglima segera memerintahkan
pasukannya memenuhi aur dan duri dengan uang kertas bertebaran di ujung pagar
bambu, tanpa dikomando mereka secara beramai-ramai menebang aur sehingga
terbukalah benteng yang selama ini sulit ditembus.
Melihat benteng itu roboh, pasukan dari kerajaan aceh tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Mereka segera menerobos masuk ke dalam istana dan berhasil
mengalahkan Raden Serdang bersama pasukannya. Raden Serdang pun tewas dalam
penyerangan itu, sedangkan Putri Renong Bulan berhasil ditawan. Ia pun meronta-ronta
minta dilepaskan saat hendak dibawa naik ke kapal.
“Kakak Serdang tolong aku!”, teriak putri renong Bulan memanggil kakaknya.
“Sudahlah Putri, tidak akan ada lagi orang yang bisa menolongmu, kakak dan
tunanganmu sudah tewas”, ujar panglima perang pasukan Aceh.
“Pasukan ayo kembangkan layar kapal kita segera tinggalkan negeri ini”, seru
sang panglima.
Beberapa saat kemudian kapal itu mulai bergerak meninggalkan pelabukan.
Sang putri hanya bisa meratapi nasib yang menimpa kakak, tunangannya dan kerabat-
kerabatnya. Hatinya sangat seddih dan air matanya terus menetes membasahi pipinya
yang kemerah-merahan. Begitupun kapal tersebut sampai di muara sungai, sang putri
melihat tapak hitam dan tapak batu yang mengapit muara. Secara diam-diam, ia
mendekati bibir kapal, rupanya sang putri ingin bunuh diri karena putus asa. “Dari pada
Memberi malu lebih baik mati bunuh diri”, ucapnya lirih. Usai berucap demikian sang
putri kemudian melompat dari kapal dan terjun ke dalam air. Pada saat dia melompat,
rambutnya yang panjang tetap terurai. Ajaibnya, tubuh sang putri lama kelamaan
secara perlahan-lahan berubah menjadi batu dengan rambut terurai. Batu penjelmaan
Putri Renong Bulan itu kemudian dinamakan batu berumbai, yang artinya batu berbulu
halus dan panjang.

Legenda Ular Berkepala Tujuh

Alkisah, ditanah Rejang sebuah daerah di Bengkulu, indonesia, berdiri sebuah


kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Tahta Terguling Sakit. Raja
Tahta Terguling Sakti mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Tahta
Terguling Sakti melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah
Meram dengan seorang putri dari kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri jinggai.
Mulanya pelaksanaan upacara prosesi mandi bersama di tempat perdamaian aket yang
berada di tepi danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang dan tidak seorang pun yang
tahu kemana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Tahta Terguling Sakti dan istrinya mulai cemas
karena Gajah Merem dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena
khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera
mengutus beberapa orang hulu balang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya
para hulu balang tatkala sampai di tepi danau itu tidak didapatinya Gajah Meram dan
Calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka
berdua, para hulu balang pun kembali ke istana.
“Ampun baginda, kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai”,
laporan seorang hulu balang.
“Apa katamu?”, tanya sang Raja panik.
“Benar baginda kami sudah berusaha mencari sekitar danau, tapi kami tidak
menemukan mereka”, tambah seorang hulu balang lainnya sambil memberi hormat.
“Kemana perginya mereka?”, tanya raja semakin panik.
“Ampun baginda kami juga tidak tahu”, jawab para utusan hulu balang serempak.
Mendengar jawaban itu Raja Tahta Terguling Sakti terdiam, ia tampak gelisah
dan cemas terhadap keadaan putra dan calonmenantunya. Ia pun berdiri, lalu jalan
mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara, kumpulkan seluruh hulu balang dan keluarga istana sekarang
juga!”, titah sang Raja.
“Baik Baginda”, jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulu balang dan kerabat istana berkumpul di
ruang sidang istana. “Wahai rakyatku! Apakah ada diantara kalian yang mengetahui
keberadaan putra dan calon menantuku?”, tanya Raja Tahta Terguling Sakti. Tidak satu
pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana menjadi hening, dalam
keadaan itu tiba-tiba seorang tua kerabat putri Jinggai dari kerajaan Suka Negeri yang
juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba baginda jika diizinkan, hamba ingin menyampaikan sesuatu”,
ucapnya lirih.
“Apakah itu tun tuai (sesepuh), Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku
dan Putri Jingga?”, tanya sang Raja penasaran.
“Ampun baginda setahun hamba, putra mahkota dan putri Jinggai dicullik oleh
raja ular yang bertahta di bawah danau Tes”, jawab tun tunai sambil memberi hormat.
“Raja ular itu sangat sakti juga licik, kejam dan suka menggangu manusia yang sedang
mandi di danau Tes”, tambahnya.
“Benarkah apa yang kamu katakan itu tun tuai?”, tanya sang Raja.
“Bener baginda”, jawabnya.
“Kalau begitu kita akan segera menyelamatkan putra dan calon menantuku, kita
tidak boleh larut dalam keseddihan ini”, ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya baginda”, tanya sang hulu balang. Sang Raja kembali
terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon
menantunya yang ditawan oleh raja ular di dasar danau Tes.
“Ampun Ayahanda”, sahut Gajah Merik putra bungsu Raja.
“Ada apa putraku”, jawab sang raja sambil melayangkan pandangannya ke arah
putrany.
“Izinkanlah ananda pergi membebaskan abang dan calon istrinya”, pinta Gajah
Merik kepada Ayahnya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika pputranya yang baru berumur 15 tahun itu memiliki keberanian yang
cukup besar.
“Apakah ananda sanggup melawan raja ular itu?”, tanya sang Raja.
“Sanggup Ayahanda”, jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan putraku? Abangmu saja yang sudah dewan tidak
mampu melawan raja ular itu”, ujar sang Raja meragukan kemampuan putra
bungsunya.
“Ampun Ayahanda, ananda ingin bercerita kepada ayahanda, ibunda dan
seluruh yang hadir disini. Sebenarnya sejak berumur 10 th hampir setiap malam
ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari ananda ilmu kesaktian”,
cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra
bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak
pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi benarkah apa yang kamu katakan itu, putraku?”, tanya sang Raja.
“Benar Ayahanda”, jawab Gajah Merik.
“Baiklah kalau begitu besok kamu boleh pergi”, titah sang baginda.
Atas perintah Ayahandanya esoknya ia berangkat ke danau Tes untuk
membebaskan abang dan calon istrinya. Tapi sebelum kesana ia disyaratkan untuk
pergi bertapa ke tapaet (keramat) Topos yang terkenal diantara ibukota kerajaan Suku
Negeri dan sebuah kampung baru selama tujuh hari tujuh malam. Usai melaksanakan
samadinya Gajah Merik memperoleh benda pusaka berupa sebilah keris dan sehelai
selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati
tanpa harus menyelam sedangkan selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Akhirnya dengan membawa dua benda pusaka itu, ia memutuskan untuk kembali ke
istana. Namun ketika sampai di kampung Talang Macang, ia melihat beberapa prajurit
istana sedang menjaga perbatasan kerajaan Kutai Rukam dan Suku Negeri. Oleh
karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam sungai air
Ketahun dan menuju ke danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran
seakan-akan berjalan diatas daratan dan sedikitpun tidak tersentuh air.
Semuala Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di danau
Tes ia berubah pikiran untuk segera mencari si raja ular. Gajah Merik pun menyelam
hingga ke dasar danau. Tak berapa lama, ia pun menentukan tempat persembunyian
raja ular itu. Ia melihat gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir
panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Ia melihat gapura di depan mulut gua yang paling
besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun baru mau memasuki
mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai manusia, kamu siapa? Berani sekali kamu masuk kesini”, ancaman dari
salah satu ular itu.
“Aku adalah Gajah Merik kesini hendak membebaskan abangku”, jawab Gajah
merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!”, cegah kedua ular itu.
Oleh karena gajah Merik tidak mau mundur dan mengalah, maka terjadilah
perdebatan sengit dan akhirnya perkelahianpun tidak dapat dihindari lagi. Pada
awalnya kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat
kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik. Halangan pertama telah
disingkirkan kemudian ia terus menelusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap
melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun ia selalu menang
dalam perkelahian, ketika akan melewati pintu ke tujuh, tiba-tiba Gajah Merik
mendengar suara terbahak-bahak keras sekali.
“Hai raja ular keluarlah jika kamu berani”, seru gajah Merik sambil mundur
beberapa langkah. Merasa ditantang sang raja ular pun mendesis, desisannya
mengeluarkan kepulan asap bergulung-gulung. Ajaibnya beberapa saat kemudian
kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hai hebat sekalli kau anak kecil, tidak seorang manusia pun yang mampu
memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?”, tanya raja ular itu.
“Aku Gajah Merik putra Tahta Terguling Sakti cucu Biku Bermano dari kerajaan
Kutai Rukam”, jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan calon istrinya atau aku musnahkan istana ini”, ancam
Gajah Merik.
“Ha..ha.. anak kecil, anak kecil, aku akan melepaskan abangmu tapi kau harus
memenuhi syarat yang kuminta”, ujar raja ular itu.
“Apa syarat-syarat itu?”, tanya Gajah Merik.
“Pertama hidupkan kembali para pengawalku yang telah kau bunuh, kedua kau
harus mengalahkan aku”, jawab raja ular itu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Baiklah kalau itu maumu iblis”,seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik
segera mengusap satu persatu ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra
dalam waktu sekejab ular-ular itu hidup kembali. Raja ular terkejut, melihat kesaktian
anak kecil tersebut.
“Aku kagum kepadamu, kau telah memenuhi syaratku yang pertama”, kata raja
ular, “Tapi kau tidak akan mampu penuhi syarat yang kedua yaitu mengalahkan aku,
ha..ha..ha!”, tambah raja ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“tumpahkanlah kesaktianmu jika kamu berani”, tentang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang raja ular itu langsung mengibaskan esornya kearah
Gajah Merik, ia yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya sehingga terhindar
dari kibasan ekor raja ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi, keduanya silih berganti
menyerang dengan mengeluarkan jurus saktinya masing-masing. Perkelahian manusia
dan binatang itupun berjalan seimbang. Sudah lima hari lima malam mereka bertarung,
namun belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka yang kalah. Ketika memasuki
hati keenam, raja ular mulai merasakan kelelahan dan mulai kehabisan tenaga.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik, ia terus menyerang hingga
akhirnya raja ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan
selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut raja ular.
“Aduuh sakit!!!”, jerit raja ular sambil menahan rasa sakit.
Melihat raja ular sudah tidak berdaya Gajah Merik mundur beberapa langkah
untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memeang hebat anak kecil, saya mengaku kalah”, kata raja ular.
Mendengar pengakuan itu Gajah Merik segera membebaskan abangnya dan
putri jingga yang dikurung di dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Tahta Terguling Sakti dan seluruh kerabat istana
dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari
pertapaanya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulu balang itu
berangkat, tiba-tiba salah seorang hulu balang yang ditugaskan menjaga di tepi danau
Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun baginda Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri
Jingga”, laporan hulu balang.
“ Ah bagaimana mungkin? bukankah Gajah Merik sedang bertapa di tapaet
topos?”, tanya baginda heran.
“Ampun baginda kami yang sedang berjalan-jalan di danau itu juga terkejuut,
tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri
Jingga. Rupanya, sesuai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung
menuju istana raja ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jingga”,
jelas hulu balang itu.
“Oh.. begitu!”, jawab raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian Gajah Merik, Gajah Meram dan Putri Jingga
datang dengan dikawali oleh beberapa hulu balang yang bertugas menjaga tempat
pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh raja dan seluruh kerabat
istana. Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik membayar ke
seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, raja
mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, Raja menyerahkan tahta
kepada Gajah Meram, Namun Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun Ayahanda yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah
Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini dan dia juga yang telah
menyelamatkan ananda dan Putri Jinggai”, kata Gajah Meram.
“Baiklah jika kamu tidak keberatan, bersediakah engkau menjadi raja putra
bungsuku”, sahut sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun Ayahanda, ananda bersedia menjadi Raja, tetapi ananda mempunyai
satu permintaan”, jawab Gajah Merik.
“Apakah permintaan itu putraku?”, tanya sang Raja penasaran.
“Jika ananda menjadi Raja bolehkah ananda mengangkat raja ular dan
pengikutnya menjadi hulu balang kerajaan itu?”, pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan sang Raja. Akhirnya raja ular yang telah
ditaklukkan itu diangkat menjadi hulu balang kerajaan Kutai Rukam. Jadi kalau di dasar
danau Tes ada nampak kepala ular berjumlah tujuh itu sebetulnya raja ular dan keenam
anak buahnya, karena badannya keluar dari lorong gua bersamaan seolah-olah
badannya satu, sehingga masyarakat setempat menyebutnya ular berkepala tujuh.

Asal Nama Lubuk Tanjung

Ada sebuah desa baru yang terletak jauh di dalam rimba. Masyarakat disini tidak
bahaya, kira-kira dua puluh lima rumah. Seperti pada umumnya sebuah desa, mereka
ingin desa mereka berkembang dan ramai, maka bermusyawaralah pemuka-pemuka
desa bagaimana caranya agar desa mereka ramai. Disepakatilah bahwa orang luar
boleh tinggal di desa ini. Artinya boleh menerima semendo baik orang jauh maupun
orang-orang dari tetangga desa terdekat.
Pada suatu hari (desa ini belum juga ada nama) datang utusan dari daerah hulu
mengajak membuat kerja sama, menjalin hubungan baik antara kedua desa. Tawaran
dari daerah hulu ini diterima mengingat niat mereka mau meramaikan desanya.
Diharapkan dengan adanya ikatan kerja sama itu desa mereka akan banyak
kedatangan dari desa daerah hulu untuk barbagai keperluan begitu juga sebaliknya.
Tidak lama jalinan kerjasama disetujui, terdengar isu bahwa desa ini akan diserang
musuh. Untuk persiapan menyambutan serangan itu, desa baru ini meminta tolong
pada desa daerah hulu untuk membuatkan senjata sebanyak penduduk dan dalam
waktu yang singkat. Desa daerah hulu, karena sudah menjalin kerja sama
menyetujuinya dan dengan secepatnya senjata akan dikirim. Maka dibutuhkanlah
senjata dari kayu, setelah jumlahnya sudah dianggap cukup maka diantarlah senjata itu
sambil membawa pesan dari pimpinan disana.
Senjata telah tiba di desa baru dan pesan dari pemimpin sudah disampaikan
kepada ketua disini. Pesan dari pemimpin daerah hulu itu, mereka minta dikirim merica
karena disaat hawanya dingin. Merica akan dibuat menjadi obat sebagai penghangat
badan. Mendengar pesan seperti itu dan senjata yang dipesan tidak sesuai dengan
yang dikehendaki maka ketua desa baru itu memerintahkan orang desa untuk memetik
buah kemtir. Buah kemtir yang dikirim ke daerah hulu.
Utusan dari daerah hulu sudah tiba kembali. Dia membawa kiriman dari desa
baru. Melihat bahwa yang dikirim bukan buah merica melainkan buah kemtir pemimpin
daerah hulu ini merasa ditipu, maka ia mengirim orang yang dipercayakannya pergi ke
dusun baru itu untuk menyelidiki siapa pemimpin yang sangat cerdik itu. Mendengar
dusun ini akan diselidiki maka berkumpullah orang desa baru ini, mereka
bermusyawarah bagaimana caranya agar orang yang menyelidiki dari daerah hulu tidak
sampai ke desa baru ini. Maka diputuskanlah untuk mencegat utusan dari daerah hulu.
Sesudah itu, bertemulah kedua utusan itu, mereka sama-sama bertanya mau kemana,
jadi dijawablah lebih dahulu oleh utusan dari daerah hulu, ia berkata bahwa ia akan
pergi kesuatu desa yang belum ada nama, desa itu masih baru. Aaa... ah saya juga
mau kesana, tetapi saya tidak mengetahui tempatnya. Jadi utusan dari daerah hulu
mengetahui tempatnya. Jadi utusan dari daerah hulu berkata juga tidak mengetahui
tempat itu, kalau kamu mau kita sama-sama mencari dimana tempat desa itu. Jadi
menurut cerita mereka berdua berjalan jauh ke tempat lain sampai akhirnya keduanya
berkelahi bertujuh hingga keduanya meninggal.
Daerah hulu dan desa baru sudah lama tidak berhubungan, sampai pada musim
hujan tiba. Musim hujan sekali ini besar sekali hingga banjir dimana-mana dan
menenggelamkan semuanya. Masyarakat desa baru menguasai ke tempat yang tinggi.
Pada saat air sedang pasang ini keluarlah ular besar namanya ke’it dari gunung ingin
pergi ke laut. Tiba di tikungan tanjung di dekat laut ular ini tidak dapat melewatinya
karena sempit, ia berhenti menutupi tikungan hingga air tergenang disana. Ke’it ini
mencari jalan bagaimana caranya agar bisa menembus sampai ke laut, ia lalu bergeser
ke arah kanan dan membuat lobang sehingga tibalah ia di laut. Tidak lama kemudian
ke’it yang pergi ke laut tadi tampak pulang lagi ke gunung melewati tempat yang
dilaluinya tadi. Ke’it sudah kembali pulang ke gunung, air yang menggenang secara
otomatis kembali surat, tanah yang ditembus oleh ke’it menjadi lubuk. Air dari daerah
ulu mengalir ke laut melewati lubuk yang dibuat ke’it. Lubuk ini banyak ikannya,
masyarakat desa baru dapat mencari nafkah di sana. Oleh karena desa baru ini belum
ada nama maka dinamakanlah desa itu Lubuk Tanjung. Namun ini diambil dari lubuk
dan Tanjung yang dibuat oleh ular Keit.
Pada suatu waktu masyarakat Lubuk Tanjung bermusyawarah membentuk
struktur pemerintahan desa. Maka terbentuklah perangkat desa dengan seorang
pemimpin desa yang disebut pembarab beserta perangkatnya. Pembarab terpilih
berpikir bagaimana caranya agar desa ini menjadi ramai tapi juga aman. Maka
dibentuklah keamanan desa dan pasar tempat orang berjual beli. Lama kelamaan desa
dan pasar tempat orang berjual beli. Lama kelamaan desa mulai ramai, kesejahteraan
masyarakat juga mulai meningkat. Pada saat inilah pembarab memerintahkan anak
muda yang ada di desa ini pergi menuntut ilmu apa saja, yang penting menjadi pandai
dan bermanfaat. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh salah seorang pemuda yang
bernama Kecaik, ia kemudian pergi bertapa di tepak Gerunggang. Di sana ia
memperoleh kesaktian mampu melembutkan besi.
Selang tidak beberapa lama setelah kecaik pulang dari bertapa, orang Pasemah
datang ingin menaklukkan desa Lubuk Tanjung. Penyerangan itu dipicu ada warga
Pasemah yang ingin melamar putri pembarab tetapi ditolak. Akibat penolakan itu, warga
Pasemah ingin merebut putri ppembarab dengan kekerasan dan menculiknya. Demi
mendengar rencana musuh itu, pembarab mengumpulkan warganya bermusyawarah
bagaimana cara mengatasi rombongan Pasemah ini. Kecaik sebagai pemuda yang
memiliki ilmu tinggi mengajukan diri untuk mengintai pasukan musuh sendirian dan ia
berpesan agar masyarakat juga bersiap-siap apabila rencana yang akan ia lakukan
gagal. Warga desa Lubuk Tanjung dikerahkan untuk membuat benteng pertahanan dari
pasir yang dimasukkan ke dalam karung disusun sedemikian rupa di ujung desa. Maka
berangkatlah kecaik mengikuti rombongan dari pasemah dengan diam-diam tanpa
diketahui jejaknya.
Pada saat rombongan dari pasemah seddang istirahat makan di tebing peninjau
maka Kecaik keluar dari persembunyiannya. Ia dengan tenang berjalan menemui
rombongan dan bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan disini? Rombongan
pasemah itu menjawab bahwa kami akan menyerang desa Lubuk Tanjung dan
menculik putri pembarab untuk dijadikan istri anak ketua kami. Kecaik Cuma
mengangguk-angguk dan pergi meninggalkan mereka yang seddang makan, ia menuju
ke tempat tumbukan senjata yang ada. Semua senjata yang ada oleh kecaik dibuat
rusak, ada yang dipanjangkannya, ada yang dilipat-lipat ada pula yang dibelah menjadi
dua. Setelah selesai makan rombongan dari pasemah berencana segera menyerang
desa Lubuk tanjung, disaat mereka mengambil senjata masing-masing mereka terkejut
demi dilihatnya senjata sudah tidak ada yang sempurna lagi dan tidak bisa digunakan
untuk berperang. Pemimpin rombongan penasaran siapa yang membuat senjata
mereka jadi porak poranda, maka dari jarak tidak terlalu jauh Kecaik menyahut sayalah
yang berbuat demikian dan perlu kalian ketahui saya adalah pemuda desa Lubuk
Tanjung. Demi mengetahui kesaktian seorang pemuda kecil itu pemimpin rombongan
mengurungkan niatnya untuk menyerang desa Lubuk Tanjung.

Sebei Bisai

Ada dua orang bersaudara, mereka tidak mempunyai ayah dan ibbu. Mereka
berdua tinggal bersama neneknya. Anak yang tua laki-laki bernama Bujang Glumai dan
adiknya perempuan bernama Cupik Naya. Mereka berdua dibesarkan oleh neneknya
sampai dewasa, pada saat Bujang Glumai berumur 19 tahun dan adiknya berumur 13
tahun neneknya meningga. Tinggallah mereka berdua bergotong royong bahu
membahu mencari nafkah karena mereka tidak memiliki sanak saudara yang lain.
Sebelum meninggal neneknya mewariskan sebidang tanah ladang jauh dari
desa. Dahulu kala mereka masih kecil-kecil neneknya pernah nenggarap ladang itu
tetapi sekarang bongkor ditumbuhi semak belukar. Mereka berdua ingin membuka
ladang itu kembali maka berladanglah mereka berdua disana.
Jarak antara rumah dan ladang itu cukup jauh, setelah ladang dibersihkan
Bujang Glumai membuat pondok. Pondok itu dibuat tinggi agar tidak diganggu binatang
buas, mereka berdua mulailah menanam apa yang mereka ingin tanam. Mereka sering
menginap di pondok karena jarak ladang dan rumah sangat jauh, jadi sekali-kali saja
mereka pulang kedesa. Di dekat pondok ada pohon asam kandis yang sangat rimbun,
Bujang glumailah yang menanamnya waktu masih kecil dahulu. Setiap sehabis
berladang, Bujang glumai sering berteduh di bawah pohon itu. Bila badan sudah terasa
segar ia berburu mencari lauk di hutan sekitar ladangnya.
Suatu hari Bujang Glumai pergi berburu dan berpesan pada adiknya agar tetap
tinggal di dalam pondok saja sambil menunggu buah asam kandis jangan sampai di
makan tupai. Pada saat itu asam kandis sedang berbuah sangat lebatnya. Cupik naya
ditinggal sendirian di pondok, sedangkan Bujang Glumai pergi berburu belum tampak
kembali. Dalam penantian, sambil menunggu kakaknya pulang Cupik Naya bernyanyi.
Lagunya sebagai berikut:
Pulang,pulang Bujang Glumai asam kandismu habis dimakan tupai
Tupai bermain di ujung daun
Tupai berayun diujung dahan 2x

Disaat cupik naya sedang asyik bernyanyi terdengar suara.. celugum, tetapi
Cupik tidak menghiraukannya masih saja ia terus bernyanyi. Akan tetapi suara itu
semakin lama semakin sering terdengar disela-sela nyanyiannya.. celgum... celgum,
rupanya suara itu suara tongkat Sebei Bisai. Sebei Bisai ini adalah hantu siluman
perempuan yang mukanya mengerikan, rambutnya kusut, tubuhnya bungkuk hitam
legam seperti arang dan kukunya panjang-panjang. Hantu ini suka sekali makan darah
manusia.
Suara tongkat itu semakin lama semakin dekat terdengar oleh Cupik naya.
Rupanya sebei Bisai ini sudah masuk ke ladang dengan langkah perlahan menuju ke
pondok. Cupok Naya terkejut, ia dari tangga depan pondok melihat hantu Sebei Bisai
semakin lama semakin dekat menghampirinya. Melihat hantu mengerikan itu, Cupik
Naya ketakutan sekali seluruh tulang sendinya terasa lemas. Setibanya di dekat Cupik
Naya, hantu itu menawarkan diri untuk mencari kutu di kepala Cupok Naya. Mengetahui
hantu itu pemakan darah Cupik Naya menolaknya tapi ia tak bisa bergerak sangking
takutnya. Maka ia tak dapat menghindar tatkala hantu itu mencari kutu di kepalanya.
Pada saat mencari kutu, hantu itu menusukkan kukunya yang panjang itu ke
dalam kepala sampai keluar darah. Darah mengalir dari luka itu dihisap oleh hantu itu
hingga tidak tersisa. Cupik Naya pingsan tidak sadarkan diri, darah dalam tubuhnya
sudah hampir kering. Setelah puas menghisap darah, hantu itu segera pergi sambil
bergumam, “Alangkah nikmatnya darah manusia ini”.
Sepeninggal hantu Sebei bisai datanglah bujang Glumai pulang dari berburu. Ia
kaget setengah mati tatkala dilihatnya tubuh adiknya tergeletak di depan pondok dalam
kondisi pingsan tak sadarkan diri antara hidup dan mati. Melihat keadaan itu, bujang
Glumai mencari daun selasih tujuh tangkai dan air. Daun selasih itu direndam dalam
sebuah gengis labau dan airnya ia percikkan ketubuh adiknya. Beberapa hari kemudian
sesudah itu, Cupik Naya mulai siuman dan menggerakkan tangannya.ia sudah mulai
sadarkan diri walau masih lemas dan kelihatan sangat pucat karena kurang darah.
Bujang glumai terus merawat adiknya dengan berbagai ramuan sampai adiknya sehat
kembali.
Keadaan Cupik Naya sudah mulai membaik dan semakin pulih seperti sedia
kala. Bujang Glumai bertanya, “Siapakah yang membuatmu seperti ini?”. Cupik Naya
menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya mulai dari awal sampai tidak
sadarkan diri. Demi mendengar penyebab sakit adiknya adalah hantu Sebei Bisai maka
ia memutuskan untuk membalas dendam. Sebelum berangkat adiknya ia suruh
bersembunyi dalam kamar pondok yang dikunci dari dalam dan luar. Merasa persiapan
sudah cukup berangkatlah bujang Glumai mencari hantu Sebei Bisai sampai
kesarangnya. Tempat itu adalah hutan gelap dan lembab, disana terlihat pondok Sebei
Bisai. Bujang Glumai dengan mengendap-endap mendekati pondok itu, ia mengintip
kedalam dan tidak terlihat siapa-siapa, sepi. Dilihatnya Sebei Bisai tidak ada di tempat
maka ia menyelinap masuk ke dalam dan bersembunyi diatas pagu pondok itu.
Sore harinya terdengar oleh Bujang Glumai suara tongkat Sebei Bisai," celgum..
celgum" berulang kali. Tak lama kemudian pintu pondok itu terbuka. Hantu itu masuk
ke dalam pondok, tercium olehnya bau manusia. Ada bau manusia didalam pondoknya
namun dicarinya kesana kemari tak juga ditemukannya. Akhirnya ia menyerah, karena
hari sudah malam iapun berangkat tidur. Ia tidur di kandang ayam, bukan ditempat
tidurnya di kamar. Bujang Glumai mengintip dari atas plafon sambil menunggu hantu itu
benar-benar tertidur.
Bujang glumai tidak mendengar lagi suara Sebei Bisai dan dia turun dari atas
pagu (plafon) pondok itu perlahan-lahan. Ia langsung menuju ke dapur dan disana
dilihatnya ada kuali besar kemudian ia memasak air dengan kuali itu. Sambil mengintip
Sebei bisai ia terus memasukkan kayu bakar ke dalam tungku agar air cepat mendidih.
Dilihatnya Sebei Bisai tidurnya malah semakin pulas dan mengorok. Hantu itu
kelihatannya sedang bermimpi, air yang sedang menggelegak dikiranya ombak laut, ia
mengigau “ombak besar..ombak besar..ombak besar”.
Air yang sedang mendidih itu oleh Bujang Glumai diangkat dibawanya ke arah
kandang ayam tempat hantu itu tidur. Bujang glumai menuangkan air mendidih itu
sedikit demi sedikit ke tubuh Sebei Bisai yang sedang bermimpi itu. Ia menyangka
bahwa tubuhnya digigit oleh semut merah, ia mengigau lagi “geser..geser ayam jago
ada semut lada” igaunya berulang-ulang. Pada saat kuali itu tepat berada diatas tubuh
Sebei Bisai oleh Bujang Glumai air panas itu dituangkannya serentak, maka menjeritlah
hantu itu sekuat tenaganya. Suara jeritannya menggema sampai mengejutkan seluruh
isi hutan. Esoknya bujang Glumai melihat ke dalam kandang ayam, disana ada bangkai
ayam dan seonggok debu hitam berbentuk manusia. Bujang Glumai merasa
dendamnya terlunasi ia segera pulang menemui adiknya di pondok ladang dan
mengajaknya pulang ke dusun. Sejak itu mereka tidak kembali lagi ke pondok ladang
sampai tanamannya menjadi semak belukar dan hutan lagi.
Penyamun dan Pembohong

Di sebuah kampung ada sebuah keluarga yang mempunyai seorang anak laki-
laki remaja namanya Nye. Setiap hari pekerjaannya main dadu, mencuri dan pekerjaan-
pekerjaan lainnya yang tidak baik. Semua orang di kampung itu sudah tahu akan
ulahnya. Hidupnya bergelut dengan pekerjaan buruk dan selalu berakhir di penjara
kerajaan. Dia selalu menjadi pesakitan dan langganan penjara kerajaan.
Pada suatu hari ia mencuri lagi dan dipergoki warga. Orang tuanya juga
mengetahuinya, dari pada didahului warga, maka ia segera melapor kepada raja
tentang kelakuan anaknya. Mendengar laporan itu, raja memerintahkan hulu balang
untuk menangkap Nye. la dinterograsi oleh beberapa hulu balang, namun jawabannya
semakin membuat jengkel para hulu balang saja. Karena sudah berulangkali mengurusi
Nye, hulu balang merasa jenuh, maka mereka melapor kepada raja agar Nye dibuang
saja. Raja setuju, kalau itu yang terbaik lakukan saja buang ia di luar wilayah kerajaan.
Setelah dibuang jauh diluar kerajaan, ia pergi tak tentuarah semakin lama
semakin jauh meninggalkan kerajaan itu. Tibalah ia di suatu kampung dan menetap
disitu dengan induk semang yang kasihan padanya. Kelakuan Nye yang suka mencuri
tidak diketahui oleh induk semangnya maupun warga disitu. Induk semang itu juga
mempunyai anak muda yang sebaya dengannya. Anak muda itu namanya Die,
kerjanya sehari-hari membohongi orang. Orang banyak tertipu olehnya, ia sangat lihai
dalam tipu menipu.
Jadi pada suatu hari ia dimarahi oleh orang tuanya karena ketahuan
membohongi orang, saat itu Nye ada didekat situ. Ia melihat induk semangnya sangat
marah sehingga anaknya Die diusirnya dari rumah. Orang tuanya sangat malu akan
kelakuan Die yang suka membohongi orang banyak. Mendengar saudara angkatnya
diusir, Nye jadi takut ketahuan kalau dirinya tukang rampok/penyamun khawatir ia juga
ikut diusir. Kalau hal itu terjadi kemana ia akan pergi, hidup hanya sebatang kara di
perantauan. Tak lama kemudian Die turun dari rumah sambil menggamit tangan Nye
untuk mengajaknya pergi. Temani aku, kita bersaudara karena engkau anak angkat
ayahku. Nye tidak bisa menolak ajakan Die, mereka berdua segera angkat kaki pergi
merantau kemana kaki melangkah.
Mereka berdua akhirnya tiba pada suatu perkampungan, disana ada sebuah
rumah terlihat anak kecil sedang bermain di halaman. Dalam hati mereka bertanya
rumah siapa ini, sementara rumah lainnya sepi kok ada anak kecil sendirian. Die
mengajak Nye untuk mampir sebentar di rumah itu sebagai pelepas lelah sepanjang
hari berjalan. Mereka berdua duduk dibawah pohon sambil melihat anak itu bermain,
dan serentak bertanya kepada anak kecil itu, “Dimana bapak ibumu dik?, kamu kan
masih kecil, kenapa sendirian tinggal disini?”
"Bapak dan ibu pergi menjenguk orang sakit", jawab anak itu pendek.
"Dimana dan sakit apa sehingga lama tak kembali", tanya Die
"Disana kak (ia menunjuk pada rumah paling bagus), ia sudah lama sakit sesak
napas berbicara pun sudah susah, mungkin sudah mendekati ajal", anak itu
menjelaskan.
Orang yang sakit itu kalau ditilik dari rumahnya jelas orang berada, orang kaya.
Ia hanya memiliki satu anak perempuan menginjak remaja dan parasnya cantik. Mereka
berdua melanjutkan perjalanan sambil berpamitan dengan anak kecil itu. Sesampainya
di ujung desa dekat rumah orang yang sakit itu, mereka berdua berhenti sebentar.
Disana banyak sekali orang sedang bergerombol-gerombol, ada yang di dalam
sebagian duduk diluar. Masuklah keduanya ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh,
setibanya di dekat orang tua yang sedang sakit, mereka berdua menangis tersedu-sedu
sambil meratap-ratap mengapa kalian tidak memberitahu kami, lambat sekali
menjemput kami. Kalaulah tidak karena panggilan ini, kami tidak mengetahuinya.
Sudah lama kami merencanakan ingin pulang menjenguk orang tua kami, rupanya
sakit, tega kalian tidak segera mengabari kami pulang. Begitulah kelihaian Die dan Nye
bersandiwara meratap-ratap dan menyalahkan semua yang hadir. Namun diantara
yang hadir ada yang menyangkalnya, bahwa sejak ia dan Kutar tinggal di kampung ini
tidak ada anaknya selain perempuan ini. Setahuku anak Kutar Cuma satu anak
perempuan inilah. Akan tetapi mereka berdua dengan tenang dan meyakinkan
menjelaskan Kami yang tertua, ini adik saya Nye dan itu adik kami yang kecil sambil
menunjuk kearah anak Kutar yang ditunjuk orang tua tadi. Pada saat kami merantau
adik kami ini menyusui, bagaimana ia akan mengetahuinya.
Orang tua itu akhirnya menyerah, kalau memang demikian adanya untunglah
kalian pulang sebab orang tua kalian rasanya tidak akan lama lagi. Tetapi hadirin yang
lain masih ragu dan sangsi, setahu kami Kutar tidak pernah bercerita ada anaknya yang
merantau. Maka baiknya kita tanyakan saja langsung kepada Kutar.
"Apakah benar ada anak kamu yang merantau, tanya salah satu hadirin.
"Ce die nye", jawab Kutar sayup-sayup.
"Die dan Nye kan", sahut Die cepat.
Memang orang tua yang akan meninggal bicaranya terbata-bata, sebetulnya
yang dikatakan orang tua itu maksudnya tidak ada. Setelah itu Die berkata bahwa
nama kami ini Die dan adik kami ini namanya Nye. Itulah yang disebut bapak kami Die
dan Nye itu. Orang-orang yang berada di rumah Kutar sebetulnya tidak begitu yakin
akan keterangan kedua pemuda itu, maka sambil bergumam salah satu dari mereka
berkata, "kami tidak mengetahuinya, sekarang karena engkau adalah anaknya maka
jagalah orang tua ini!". Dengan sigap Die dan Nye segera memijat, mengurut,
membersihkan tubuh orang tua itu dan mengganti bajunya layaknya orang tua sendiri.
Setelah dua hari mereka disana, orang tua ini sakitnya semakin parah, sesak nafasnya
kumat dan akhirnya meninggal. Kedua pemuda inilah yang mengatur segala urusan,
hingga orang tua itu dimakamkan. Anak Kutar yang sebenarnya itu menurut saja
dengan mereka berdua seperti dengan kakak sendiri.
"Apakah mereka berdua kakak yang sebenarnya atau bukan”, tanya salah satu
tetangga yang masih ragu akan keberadaan kedua pemuda itu.
“Saya tidak tahu, waktu kakak-kakak itu merantau, saya masih kecil, masih bayi
sedangkan waktu ibu meninggal saya juga tidak ingat apalahi waktu kakak-kakak itu
pergi”, jawab anak Kutar panjang lebar.
Setelah selesai semua urusan pemakaman dan acara-acara selama berkabung,
mereka berdua masih disana membantu pekerjaan orang-orang itu. Selesai semua
urusan kurang lebih sebulan, mereka mengundang orang-orang tua disana. Mereka
mengatakan bahwa mereka berdua ini akan pergi lagi, sebagai orang perantau tidak
betah berlama-lama disini. Apalagi anak istri kami juga sudah menunggu menanti kami
pulang. Dirumah sedikit banyak ada beberapa urusan yang tinggal dan harus
dibereskan selama kami kembali ke kampung ini. Kami ini datang menjenguk kebetulan
kejadian seperti ini, sekarang kami mohon pamit bahwa kami mau pulang. Tolong jaga
adik kami ini, kalau membuat kesalahan minta dibimbing seperti itu juga kami, kalau
selama ini banyak membuat kesalahan kami minta maaf. Itu saja yang ingin kami
sampaikan. Akan tetapi penghulu di desa itu mencegah, bagaimana dengan harta
ayahmu yang banyak ini. Harta tidak sedikit berupa sawah, tanah, kebun karet, kopi,
uang, emat belum lagi pusaka yang lainnya. Pada saat kalian masih disini bagaimana
baiknya semua diurus hingga selesai. Kemudian Die berkata, “Itu terserah orang tua
disini, kalau kami dapat bagian warisan ya kami terima kalau tidak, tidak apa-apa”.
“Kalau saya menurut saja, kallau orang tua disini mengatakan dibagi ya silahkan, kalau
tidak ya kami tidak menuntut”, sahut Nye menyela pembicaraan itu.
Demi mendengar pernyataan kedua anak Kutar menyerahkan penyelesaian
kepada tetua desa, maka salah satu dari mereka memutuskan harta warisan itu dibagi
saja dan yang lain ternyata menyetujui. Mengingat anak Kutar ini ada tiga orang maka
sebaiknya harta dibagi tiga. Namun Nye menyahut dan angkat bicara, “Kami setuju
harta orang tua kami dibagi tiga tapi kami ini mau pergi, jadi tidak mungkin membawa
tanah, sawah dan kebun. Kalau menurut saya beri saja kami uang dan emas yang bisa
kami bawa, nanti uang dan emas itu akan kami bagi dua”.
“Baiklah kalau keinginan kalian seperti itu, tetapi tanyakan dulu pada adik kalian”,
sahut salah satu penghulu desa itu. Maka ditanyakanlah pada anak kutar itu apakah
setuju harta itu dibagi seperti kehendak kakak-kakaknya. “Saya setuju”, jawab anak
Kutur itu.
Jadi semua uang dan emas yang ada dikumpulkan dimasukkan ke dalam peti
untuk bagian Die dan Nye. Kebun, sawah, tanah tempat tinggal menjadi bagian
adiknya. Diserahkanlah peti itu untuk mereka berdua, setelah diterima keduanya
berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum turun dari rumah itu, mereka
berpesan kepada adiknya agar bisa menjaga diri dan menurut bimbingan orang-orang
tua disini. Jangan lupa pula untuk mendoa untuk arwah orang tua kita, harta ayah kita
banyak, kami hanya minta yang kami bawa ini saja. Adiknya Cuma mengiyakan apa
yang menjadi pesan kakak-kakaknya. Sebetulnya adiknya penasaran dimana letak
tempat tinggal kakak-kakaknya, hal ini pernah ditanyakan tapi jawabanya mereka masih
belum menetap jadi masih berpindah-pindah. Nanti saja kalau kami sudah memiliki
tempat menetap yang permanen akan kami kabari. Keduanya akhirnya memutuskan
segera berangkat meninggalkan desa tersebut, tapi sebelum pergi Die minta senjata
untuk melindungi diri dari perampok. Oleh adiknya diberi sebuah tombak mikik ayahnya,
senjata ini mudah-mudahan berguna untuk berjaga-jaga di perjalanan.
Sesudah itu berjalanlah mereka, satu membawa peti dan satunya membawa
tombak. Berjalan dengan penuh semangat, mereka tidak lagi lewat jalan pada saat
mereka datang, tetapi mereka menempuh jalan pintas yang menerabas hutan. Dalam
perjalanan itu Die berkata, “Nye saya mau mau buang air besar”. “Ya, saya akan
berjalan pelan-pelan”, sahut Nye. Pada saat berjalan duluan Nye melihat ada sarang
babi, lalu dia masuk kedalamnya bersembunyi dengan membawa peti. Harapan Nye
kalau Die tidak mengetahui tempat persembunyian ini, peti itu akan menjadi miliknya
sendiri. Setelah buang air besar die berjalan berguyur menyusul Nye, tatkala dilihatnya
ada sarang babi dia berkata, “Wah ini yang dikatakan oleh orang tua dahulu tikam
dalam sarang,ah,saya mau mencobanya”. Maka die mengangkat tongkat tombak mau
menombak babi yang kalau-kalau ada dalam sarang. Namun belum sempat ia
mengayunkan tombak Nye berteriak, “Wah, jangan! Aku yang ada dalam sangkar.” Apa
yang kamu kerjakan disana? Bersembunyi dariku ya? Tidak bisa dipercaya kamu ini.
Sini peti itu biar aku yang membawanya”, kata Die agak curiga. Mereka berjalan lagi,
peti dibawa oleh Die sedang tombak dibawa oleh Nye.
Pada saat membawa peti ini Die berjalan cepat dan sekali-sekali berlari kecil,
sementara Nye asyik melihat pemandangan kiri kanan sehingga ia tertinggal jauh. Demi
dilihatnya Nye jauh di belakang dan tidak tampak lagi, ia segera bergegas menuju ke
sebuah ladang orang yang tidak jauh lagi. Ladang orang ini nampaknya sedang
membakar kayu dan rumput kering. Asapnya nampak dari tempat Die. Sesampainya di
ladang itu, ada seorang kakek sedang membakar tumpukan jerami. “Kek..saya mau
masuk ke dalam tumpukan jerami itu, hari sangat panas saya mau istirahat, tolong kek,”
pinta Die menghiba. “Nanti kamu terbakar oleh saya”, kata kakek memperingatkan.
“Kek cepatlah, saya tidak tahan panas”, Die mendesak kakek. Kalau enkau kepanasan
sana istirahat di pondokku saja. “Ah..tidak, di dalam ini saja,” jawab Die. “Kalau begitu
baiklah, masuklah kamu kesini”, sahut kakek itu. Mulailah kakek itu menumppuki tubuh
Die dengan jerami kering sampai tidak kelihatan lagi. Sebetulnya Die bersembunyi
dengan harapan Nye tidak melihatnya dan peti itu jadi miliknya. Tidak lama kemudian
Nye tiba di ladang orang tua itu, dilihatnya banyak tumpukan rumput dan jerami kering
yang belum dibakar, diantaranya ada yang satu besar sekali. Nye pergi menghampiri
orang tua yang sedang bekerja itu, dan berkata, “Mengapa belum membakar
tumpukan-tumpukan ini, kek? “Belum dibakar nanti sekarang panas sekali,” sahut
kakek. Tiba-tiba Nye berkata, ”Saya mau membakar tumpukan yang paling besar itu,
saya mau melihat apinya”. “Jangan, saya bisa membakarnya nanti”, kata kakek itu.
Tanpa ba bi bu Nye langsung mengambil suluh api didekat kakek itu, menghidupkannya
dengan korek api dan menghampiri tumpukan yang paling besar. Melihat Nye sudah
dekat, Die berbicara dari dalam tumpukan, “Jangan Nye, saya disini”. Setelah itu
keduanya berpamitan kepada kakek yang teheran-heran melihat tingkah laku kedua
pemuda itu.
Mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi sampai bertemu sungai. Di sungai itu
ada jembatan gantung, sebelum menyebrang keduanya beristirahat dibawah pohon di
tepi sungai diujung dekat jembatan. Mereka berdua berunding, bagaimana ini kita
sudah lelah berjalan jauh, perut lapar lagi. Sementara di tempat mereka beristirahat
tidak ada warung nasi, adanya di seberang jembatan dan kalau kesana harus melewati
jembatan berayun. Terus mereka berunding, akhirnya Nye yang berangkat pergi
membeli nasi. Die tinggal menunggu peti dan tombak. Setibanya di seberang, Nye
langsung pergi ke warung yang menjual nasi. Disana dia makan sampai kenyang dan
memesan satu bungkus untuk temannya Die. Pada saat berjalan pulang Nye sempat
mampir membeli racun, maka nasi untuk Die dicampurinya racun dan dibungkus
kembali dengan rapi. Dalam hatinya, “matilah Die maka akulah yang dapat petinya,”.
Selama ditinggal oleh Nye, rupanya Die memotong tali-tali jembatan sambil berkata,
“Mampus kau, pulang nanti jembatan ini akan putus dan kamu masuk sungai”. Jadi
pulanglah Nye dari membeli nasi dan melewati jembatan sambil berkata, “Mampus kau,
pulang nanti jembatan ini akan putus dan kamu masuk sungai”. Jadi pelanglah Nye dari
membeli nasi dan melewati jembatan itu tetapi tidak patah. Die berkaata, “Wah tidak
patah jembatan itu”. Tiba di tempat mereka beristirahat Nye memberikan bungkus nasi
itu kepada Die sambil berkata, “Makanlah nasi itu, kita akan segera melanjutkan
perjalanan iagi dan saya sudah makan di warung tadi”. Makanlah Die dengan lahapnya
sampai nasi bungkus itu habis tak bersisa. Mereka bersiap-siap mau berangkat, tiba-
tiba Die tidak bisa berdiri dengan muka pucat. Tubuhnya lemas dan sesak nafas
kemudian terjatuh mati seketika, sedangkan Nye memperhatikan sambil mengangakat
peti dan tombak dengan santai. Merasa yakin bahwa Die sudah tak bernnyawa, Nye
berjalan dengan tenang melewati jembatan berayun. Tiba-tiba di tengah jembatan, tali
jembatan putus dan patah di tengah maka jatulah Nye ke sungai dengan bawaannya
semua. Memang saat Nye membeli nasi jembatan itu belum mau putus karena masih
ringan tapi ketika ia membawa peti yang demikian berat tali jembatan itu putus karena
sudah diretas oleh Die. Mereka berdua akhirnya mati semua dan tidak mendapatkan
apa-apa, peti emas dan uang hasil membohongi tadi entah hanyut kemana tidak ada
yang tahu.

Burung Berak Emas

Ada kisah zaman dahulu sebuah kerajaan, dipimpin oleh seorang raja yang
keras dan kurang bijaksana. Raja ingin membuka pasar di ibukota kerajaan menjadi
luas, besar dan menyediakan barang-barang yang lengkap mulai dari kebutuhan
sehari-hari sampai perhiasan-perhiasan dari luar. Raja berharap dengan perluasan
pasar akan banyak orang berdatangan untuk berbelanja atau sekedar berjalan-jalan.
Jikalau pasar ramai, maka pemasukan kerjaanpun meningkat, lapangan pekerjaan juga
terbuka bagi rakyatnya. Raja sudah bertekad bulat untuk mewujudkan cita-citanya itu,
maka dibuatlah kebijakn yang berkait dengan angannya itu. Diperintahlah kepada
seluruh rakyatnya yang rumahnya menjadi perlintasan jalan menuju pasar dan istana
untuk direhab dan diperbaiki sesuai dengan kehendak raja. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya ada satu rumah yang masih belum direhab, kondisinya buruk tak
terurus sungguh mengganggu pemandangan. Rumah ini dihuni satu keluarga miskin
(ayah, ibu dan satu anak laki-laki), tidak ada harta apa-apa selain tanah pekarangan
rumah itulah. Pekerjaan sehari-hari hanya sebagai buruh upahan, kadang disuruh
membersihkan kebun, mengangkat barang orang sedangkan istrinya bekerja kalau
orang disekitarnya minta bantuan memasak, mencuci sambil mengasuh anak satu-
satunya.
Melihat rumah itu tidak dibuat sesuai dengan perintah raja, maka rumah itu
didatangi hulubalang raja dan ditanyai mengapa rumah ini tidak diperbaiki sesuai
dengan perintah raja. Mereka menjawab bahwa mereka orang miskin bagaimana akan
memperbaiki rumah sedangkan untuk makan sehari-hari saja susah. Mendapati
keadaan demikian hulubalang raja balik ke istana dan melapor kepada raja tentang
masalah ini. Raja bertitah, “Kalau orang yang punya rumah tidak mau melaksanakan
perintah maka robohkan saja rumahnya dan penghuninya”. Hulubalang segera
melaksanakan perintah rumah itu pun diratakan dengan tanah dan penghuninya diusir
tidak boleh lagi menempati tanah itu karena sudah disita kerajaan.
Keluarga ini dengan hati hancur dan pasrah meninggalkan rumah tanpa
membawa bekal sedikitpun. Berhari-hari mereka berjalan tanpa ada tujuan hingga
sampailah mereka di tepi sebuah hutan. Ditepi hutan mereka bertemu dengan nenek
yang sudah sangat tua. Nenek ini mendiami sebuah gubuk kecil bersama cucunya.
Pondok nenek ini walau kecil masih lebih bagus dari pada gubuk mereka yang
ditinggalkan itu. Melihat kondisi keluarga ini nampak lelah dalam perjalanan jauh, nenek
mempersilahkan mereka untuk naik ke pondok sekedar melepas lelah dan disuguhi air
putih. Nenek itu bertanya, “Mau kemana tujuan kalian ini?. Maka diceritakannya
peristiwa yang terjadi di ibukota kerajaan sehingga mereka diusir karena miskin. Nenek
itu mendengarkan dengan seksama, kalau begitu kalian boleh menginap di pondok ini
sementara waktu. Pondok ini jelek mari kita rasakan sama-sama, malam itu mereka
bertiga menginap di pondok itu sampai nanti mendapatkan tempat tinggal. Sebelum
tidur mereka bercerita tentang hidup, setelah itu si nenek teringat bahwa ia mempunyai
ladang yang tidak ditunggui. Nenek itu berkata," Kalau tinggal disana tinggallah, tanpa
biaya, masih semak belukar tidak ada apa-apanya nanti tanami saja kalau ada hasilnya
ambil saja semua. "Kami mau sekali tinggal disana," jawab mereka serentak. Esoknya
nenek mengantar mereka menunjukkan tempat ladang yang mau dihuni itu. Setelah
melihat-lihat ladang itu suaminya setuju untuk bertempat tinggal di ladang itu. Hari ini
juga kami mau membersihkan ladang dan menegakkan pondok, kalau selesai kami
langsung tidur disini saja.
Sejak itulah keluarga itu tinggal di ladang milik nenek baik hati itu. Setiap hari
mereka mengurusi ladang itu, kalau ada panen baik sayur atau buah-buahan sebagian
diantar kepada nenek. Suaminya selain mengurusi ladang, ia sering pergi ke hutan
sekitarnya untuk memasang jerat penangkap burung. Hasil yang diperoleh dibawa ke
pasar, cukup untuk membeli beras 2 liter. Pada suatu ketika ia dapat hasil cukup
lumayan jualannya dapat untuk membeli 8 liter beras. Separuhnya diberikannya kepada
nenek yang telah menolong mereka selama ini. Nenek itu sebetulnya menolak
pemberian itu, namun melihat suami itu menghiba ia nggak enak ati akhirnya dengan
berat hati diterima juga pemberian itu. Setiap ia mendapatkan hasil menjerat cukup
banyak selalu ia membaginya dengan nenek baik hati itu.
Pada suatu saat suami itu jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Tinggallah istri dan anaknya yang mulai beranjak remaja. Sejak suaminya meninggal,
tugas mencari nafkah jadi tanggungan istrinya. Mereka berdua masih tinggal di ladang
itu, tidak ada pekerjaan lain kecuali mengurusi ladang itu saja. Suatu ketika ibunya
berkata, "Kamu sekarang sudah besar, tidak ada penyelesaian kita seperti ini terus".
"Kalau tidak seperti ini apa yang harus saya kerjakan, Bu ?", sahut anaknya.
"Wah ada pekerjaan kalau kau mau, ada peninggalan ayahmu sebuah
perangkap burung", kata ibunya.
"Hanya perangkap, bu", tanya anaknya penasaran.
"Tidak nak, ada juga jerat", jawab ibunya. "hasil tangkapan itu dikumpulkan dan
dibawa ke pasar, orang suka membelinya", ibunya menjelaskan.
Akhirnya anak itu rajin mencari burung dengan perangkap dan jerat warisan
ayahnya. Pada hari pertama ia mendapat seekor, dibawanya burung itu ke pasar dan
hasilnya ia dapat membeli beras sedikit. Seperti itulah pekerjaan anak ini tiap hari,
kadang-kadang kalau tidak mendapatkan burung ia mengemis di pasar itu. Hari itu ia
memasang perangkap dan jerat di tengah hutan, dilihatnya pasangannya namun
kosong. Kembalilah ia ke pondok dengan kecewa, tapi ia tidak putus asa sore harinya
ia kembali lagi kalau-kalau ada yang kena. Ternyata dugaannya benar ada seekor
burung terjerat, setelah dilepaskan dari jerat burung itu diamatinya. Ia heran belum
pernah ia melihat burung sejelek dan sekotor itu. Sebetulnya ia mau melepaskan
burung jelek itu, tapi sayang karena Cuma seekor itulah hasilnya. Dengan berat hati
burung itu ia bawa pulang ke pondok, setibanya di pondok ia mengatakan kepada
ibunya, bahwa ia hanya dapat seekor burung jelek lagi kotor rasanya tidak ada orang
yang mau membelinya. Saya saja rasanya tidak mau membelinya apalagi orang lain
lebih lagi. Atas nasehat ibunya burung jelek itu dimasukkan di dalam sangkar, namanya
rezeki biar jelek harus disyukuri. Anak itu biarpun tidak senang ia tetap rajin memelihara
burung jelek itu. Setiap hari ia memberi makan dan minum dan diurusnya dengan baik.
Pekerjaan menjerat tetap saja dilakukan setiap hari, kadang dapat Cuma seekor
kadang lebih. Burung-burung hasil tangkapan itu dibawa ke pasar untuk ditukar
membeli beras, begitulah hari-hari rutin ia lakukan untuk membantu ibunya.
Pada suatu malam anak itu kaget melihat dalam sangkar burung jelek itu ada
lampu bersinar, ibunya sambil tiduran juga melihatnya. Dalam sangkar itu terlihat
cahaya gemerlapan, karena penasaran ibu itu menurunkan sangkar untuk melihat apa
yang gemerlapan tadi, ternyata setelah dilihat dari dekat tidak ada apa-apa. Sangkar
burung itu digantungkannya kembali dan pergi tidur. Antara sadar dan tidur ia
dikejutkan lagi dengan adanya sinar gemerlapan dalam sangkar itu. Karena rasa ingin
tahu yang tidak tertahankan ibu itu membangunkan anaknya."Bangun nak! coba kau
lihat ada apa di dalam sangkar burung itu?", kata ibunya. Bangunlah anaknya dengan
terkantuk-kantuk pergi menurunkan sangkar burung itu, dilihatnya tidak ada apa-apa
kecuali hanya tahinya. Dia mengambil kain jelek dan diletakkannya tahi burung itu
diatasnya, tahi burung itu ada tujuh tumpuk kuning warnanya. Dia colek tahi itu dengan
lidi, makin dicolek makin bagus warnanya dan semakin kuning. Melihat keanehan itu,
ibunya teringat akan giwang yang disimpannya karena hanya tinggal sebelah. Maka
diambilah giwang itu dan dibandingkanlah dengan warna tahi burung itu dan ternyata
sama kuning dan mengkilatnya. Ibunya menduga tahi burung itu adalah emas, untuk
membuktikannya ia menyuruh anaknya besok pergi ke tukang pandai emas.
Besok paginya anak ini pergi ke tukang emas di pasar
kerajaan, sambil bertanya kanan kiri ia mencari-cari toko
emas. Akhirnya diberitahukanlah oleh seseorang bahwa
toko emas ada di ujung pasar. Berangkatlah ia kesana dan
memang benar terlihat dari kejauhan deretan toko
emas,
setelah tiba ia memasuki salah satunya. Ketika orang
sedang sepi ia beranikan diri untuk bertanya tentang
barang yang ia bawa kepada tukang emas itu. Tukang
emas memeriksa barang itu dan tidak beberapa lama
kemudian ia keluar dengan muka heran mendapati bahwa
barang yang dibawa anak itu emas murni.
“Darimana kau mendapatkan emas sebegini banyak
nak?", tanya tukang emas.
"Dari rumah kami”, jawab anak itu singkat.
"Jangan kamu menyia-nyiakan emas ini”, tukang
emas itu menasehati.
“Kalau saya mau menjual emas ini apakah ada orang
yang mau membelinya?", tanya anak itu lebih lanjut.
"Wahiniemas murni, saya tidak mampu membayarnya
", kata tukang emas sambil menimang-nimang berat emas
ditangannya.
Anak ini terus mendesak untuk menjual emas itu.
Pergilah tukang emas itu ketukang emas lainnya ber-
musyawarah untuk membeli emas anak itu. Terkumpullah
uang dari patungan empat tukang emas untuk membayar
emas anak itu. Anak itu pulang dengan rasa gembira bukan
main, setibanya di pondok ia ceritakan pada ibunya semua
hal ikhwal yang ia alami termasuk bagaimana
tukang emas ingin membeli emas itu tapi tidak terbayar
.
Semua
Usyono
dan Imron Rosyadi
Bisa terbeli setelah mereka patungan satu dengan yang
lainnya. Ibunya tersenyum demi mendengar kenyataan itu,
rezeki yang datangnya tak disangka-sangka. Untunglah
kita tidak membuang burung jelek itu, ibunya kemudian
mengambil tahi yang tersisa enam cumpukan lagi dan
disimpannya.
Sejak peristiwa penjualan emas itu, anak itu tidak
pernah lagi pergi ke pasar untuk menjual burung.
Berita anak ini tidak menjual burung dan pergi menjual
emas tersebar kemana-mana, termasuk sampai kepada
hulubalang kerajaan. Berita ini dilaporkan kepada raja (raja
yang mengusir mereka dahulu). Raja berpesan kepada se-
luruh hulubalang yang diutus untuk menyelidiki perihal
anak itu untuk mengetahui secara jelas mengapa anak itu
tidak menjual burung dan darimana ia mendapat emas
itu? Maka pergilah hulubalang mencari dimana anak itu
tinggal. Setelah tiba dirumah anak itu mereka bertanya me-
ngapa sekarang dia tidak menjual burung lagi dan dijawab
oleh ibunya bahwa mereka sibuk membersihkan ladang
sehingga tidak pernah lagi memasang perangkap dan
jerat lagi. Hulubalang terus mendesak dengan pertanya-
an, kemarin kamu menjual emas darimana kau dapatkan
barang itu.
“Apakah kamu mencuri barang itu hai anak muda",
bentak hulubalang
"Wah,
saya
tidak mencuri tuan, emas itu kami dapat-
kan dari dalam sangkar burung itu", jawabnya ketakutan.
"Saya tidak mempercayainya", kata hulubalng itu.
"Kami tidak tahu itu urusan tuan", sahut anak itu
tangkas.
Setelah mendengarkan jawaban anak muda itu
ladang
hulubalang pergi dengan muka merah meninggalkan
Setibanya di istana raja, hulu balang melapo: hasil
berpergiannya ke tempat anak tersebut. Raja berkata," Ini
tidak boleh dibiarkan, pergi ambil burung itu, kalau
dia tidak mau memberikan burung itu, rampas saja!".
Berangkatlah hulubalang ini ke tempat mereka di ladang.
Setibanya disana hulubalang itu berkata," Ada perintah raja,
dia memerintahkan untuk mengambil burung itu!". Anak
ini bertahan tidak mau memberikan burung itu, karena
berhadapan dan adu tenaga dengan hulubalang, ia kalah.
Burung itu dibawa ke istana, setibanya di istana burung itu
diberi makanan dengan makanan paling enak, dijaga oleh
dua orang pengawal. Selama di dalam istana , burung itu
kalau berak tahinya bukan emas melainkan tahi burung
yang sebenarnya. Melihat seperti ini, raja memerintahkan
untuk membawa anak itu menghadap kepadanya. Untuk
ketiga kalinya hulubalang pergi ke tempat anak itu.
Setibanya di ladang hulubalang itu mengatakan kepada
anak ini," Sekarang kamu ikut dengan kami ke istana, raja
menunggumu sekarang". Maka pergilah anak tersebut
mengikuti hulubalang berangkat ke istana. Setibanya di
istana ia langsung disuruh menghadap dan raja berkata,"
Selama burung ini disini beraknya bukan emas tapi tahi
biasa, padahal sudah diberi makanan yang bagus".
"Itulah tanda
merampas hak
orang
lain", jawab anak
itu polos.
"Diam kamu, jangan banyak bicara", bentak raja.
Sekarang aku mau berdamai denganmu, apa yang
kamu ingini akan kuturuti asal burung ini beraknya
Anak itu menurut saja karena takut akan kemurkaan raja
emas.
yang kelihatannya sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Raja menawari akan membuatkan rumah yang indah
di bekas rumahnya dahulu akan tetapi kalau burung
itu tidak berak emas engkau akan dipancung. Anak itu
dengan beraninya mengamini tantangan raja itu dengan
syarat burung itu boleh dibawa ke pondoknya di ladang
dan besok sorenya baru dijemput.
Tiba di pondoknya anak itu menceritakan semua yang
terjadi di istana kepada ibunya dan besok sore dijemput
oleh hulubalang raja yang akan membawa burung tersebut
ke istana dengan bukti beraknya berujud emas kalau tidak
ia akan dipancung. Demi mendengar keterangan anaknya
ibu itu khawatir dan berkata," Apa yang akan kamu
lakukan nak, iya kalau burung itu nanti malam beraknya
emas kalau tidak bagaimana?". Anak ini menjawab," Kita
tunggu besok pagi bu”. Bangun besok paginya, ia segera
menengok ke dalam sangkar burung itu adakah tahinya
emas atau bukan. Ternyata beraknya tahi sebenarnya,
mereka berdua mulai khawatir. "Seperti ini saja bu, kalau
saya dijemput nanti sore saya minta cumpukan emas
yang ada pada ibu dua saja, jadi tinggal empat lagi dan
simpan saja oleh ibu kalau-kalau terjadi sesuatu dengan
saya nanti. Mendengar itu ibunya menangis dan benar
sore hari hulubalang benar-benar datang lengkap dengan
pengawalnya. Hulubalang itu berkata,"Ada hasilnya
burung itu?". "Belum tuan kalau tandanya sudah ada",
jawab anak itu."Kita berangkat sebentar lagi", perintah
hulubalang. "Sebentar lagi tuan, saya mau berpamitan
dengan ibu saya dahulu", pinta anak itu. Maka pergilah ia
ke dalam pondok itu, tidak lama kemudian anak itu keluar
dan langsung berangkat bersama hulubalang itu. Kira-kira
setengah perjalanan, hari mulai gelap. Saat hulubalang
ini lengah tidak memperhatikan anak ini meletakkan
cumpukan emas yang diambilnya dari ibunya tadi. Mereka
terus saja berjalan, hari semakin gelap maka terlihatlah di
dalam sangkar itu kemerlapan. Melihat itu bergegaslah
mereka berjalan agar segera sampai istana. Tiba di istana
disambut raja dengan gembira.
Besoknya raja memerintahkan kepada hulubalang
untuk memenuhi janji kepada anak itu. Para tukang
dikerahkan untuk membangun rumah anak itu agar
bekerja lembur siang malam sampai rumah itu jadi dengan
indahnya. Selesai sudah rumah yang dijanjikan, mereka
berdua segera pindah dan menempati rumah baru itu.
Namun sebelum meninggalkan ladang mereka berpamitan
dengan nenek yang punya ladang itu. Sejak itu kehidupan
mereka berdua berkecukupan dan sejahtera karena dapat
jaminan dari simpanan emas yang masih mereka miliki.
Tuhan memang maha kuasa, anak raja yang cantik jatuh
cinta pada anak janda itu. Setiap hari putri raja selalu
menyempatkan diri untuk lewat di depan rumah anak
muda penangkap burung itu dan melirik sebagai pelepas
rindu. Singkat cerita anak raja itu minta dinikahkan dengan
anak tukang tangkap burung itu. Mendengar permintaan
anaknya raja marah, ia tidak menyetujui anaknya menikah
dengan anak penangkap burng itu. Tapi apa mau dikata,
anaknya sungguh tidak dapat dicegah lagi untuk menikah
dengan pemuda itu. Karena sayang pada putrinya sang
raja mengalah dan menikahkan mereka berdua sebagai
suami istri. Kira-kira tiga tahun menikah raja jatuh sakit, ia
termakan akan tindakannya sendiri yang dzalim kepada
keluarga mantunya dahulu. Makin lama makin parah
saja sakitnya, akhirnya pemerintahan diserahkan kepada
mantunya yang tukang penangkap burung itu. Setelah
dan Imron Rosyadi
dipegang
oleh mantunya ternyata ia sangat bijaksana dan
sangat memperhatikan kepada rakyatnya, begitu juga
sebaliknya rakyat menyambut baik raja baru itu.
Sakit raja itu sudah diobati dengan segala macam obat
dan dari seluruh tabib yang ada di wilayah kerajaan tapi tak
juga kunjung sembuh. Ada seseorang salah satu pengawal
raja menyarankan agar raja meminta maaf kepada keluarga
mantunya. Saran itu diturutinya, maka dipanggillah ibu
anak mantu dan mantunya untuk menghadap disamping
pembaringan dan berkatalah raja dengan terbata-
bata, "Maafkanlah aku wahai besan dan anak mantuku
atas kekejian yang telah aku lakukan terhadap keluargamu
dahulu”. Maka pecahlah tangis mereka dua beranak demi
mendengar raja meminta maaf, mereka berdua memaafkan
apa yang telah terjadi. Ajaibnya, seminggu setelah kejadian
itu raja tampak mulai sehat kembali, ia sudah mulai bisa
makan dengan lahap dan berjalan-jalan di sekitar istana.
Sakitnya berangsur-angsur sembuh, raja pun mulai bisa
menerima kenyataan bahwa mantunya hanyalah pemuda
miskin tukang penangkap burung. Walau kerjanya hanya
berkebun dan menangkap burung ternyata ia sangat cakap
mengendalikan pemerintahan, cerdas dan sangat kasih
pada masyarakat. Seluruh ponggawa kerajaan tunduk
patuh atas perintahnya, melihat kenyataan itu raja ingin
segera menyerahkan sepenuhnya kendali pemerintahan
kepada mantunya.
Raja
aktivitas
merasa sudah sehat betul, ia sudah bisa ber-
seperti sediakala namun ada perubahan dalam
dirinya ia tidak lagi pemarah dan bengis seperti sediakala.
Dirasa waktunya sudah tepat ia mengumumkan
kepada seluruh rakyatnya akan menyerahkan mahkota
kerajaan kepada mantunya. Pengumuman itu disambut
gembira, seluruh persiapan dilakukan untuk menyambut
hari penobatan raja baru. Hari itu akhirnya tiba, raja
menyerahkan kekuasaan dan melantik mantunya menjadi
penggantinya sebagai raja. Raja mengundurkan diri dan
hidup bahagia dikaruniai cucu sehat dan lucu-lucu,
besannya pun diajak hidup dalam istana mendampingi
anaknya yang sekarang menjadi raja.

Anda mungkin juga menyukai