DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
Posted on December 2, 2013 by reezafauzie
BAB 1
PENDAHULUAN
Sedemikian rumitnya ritual Tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi
baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut diyakini
oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari dan
tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila mereka
melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal tersebut.
Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit
pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan
waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada
beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Kebanyakan masyarakat masih banyak yang
belum sadar akan hal itu, bahkan menganggapnya wajar. Oleh karena itu dalam makalah ini
penulis akan membahas mengenai seluk beluk tingkeban dan semua yang terkait dengan
tradisi tingkeban.
BAB II
PEMBAHASAN
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing
lagi di telinga masyarakat Solo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban
dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan
guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap
terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan
harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu
yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan
hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa.
Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah
ada sejak zaman dahulu. Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama
seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua
memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia
dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu
saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat
pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik, welas asih mring
sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiasa berbuat
baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan
menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin
dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka,
terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti
Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang setaman,
serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Murbeng
Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb
mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken
Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang
dan diberi nama Tingkeban dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan
selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga
kini ritual Tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyarakat
Jawa khususnya di daerah Solo dan sekitarnya.
B. Perlengkapan Tingkeban
Dahulu masyarakat Solo mengenal tiga teradisi yang harus dilaksanakan selama masa
mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan
Procotan. Namun seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara
pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun
diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap
ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus
menentukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang
baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon,
Ahad Pon, dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8, dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi
Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12, dan Ahad
Pon memiliki neptu 12.
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat rumit
pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti
tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari semuanya memiliki werdi atau makna sendiri-
sendiri.
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada
orangtuanya.
1. Siraman.
Orang yang hamil atau mengandung dimandikan dan dikeramasi, yang memandikan adalah 7
sesepuh atau keluarga dan air yang digunakan berasal dari 7 sumber. Pada waktu mandi
gayung digunakan adalah siwur yang terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan
bagian dasarnya diberi lobang dan menggunakan air bunga setaman dengan maksud agar si
ibu selalu memohon permintaan yang baik (misal: agar bayinya selamat). Cara mandi itu
dengan duduk di kursi dan di beri alas tikar banga (dengan harapan agar proses kelahirannya
lancar dan si bayi panjang umur) dan bermacam-macam daun yaitu: daun alang-alang dan
daun apa-apa: melambangkan supaya tidak ada halangan apapun dalam proses kelahirannya:
daun kluwih melambangkan supaya si bayi menjadi orang yang mempunyai keunggulan/
kelebihan/ kepandaian; daun kara dan dhadhap serep: melambangkan supaya angkara murka
kejahatan dapat diserap dan bisa terkendali. Selain daun-daun tersebut di sebelah tempat
duduk juga ada lawon (semacam sumbu kompor) = lawe= salawase, (maksudnya agar si anak
selalu panjang umur) dan lemek yang berupa kain jarik (sinjang sebanyak 7 macam)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan
kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan
kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas
menggunakan busana-busana tersebut memberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum
pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana
baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa
ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan
berpenampilan bersahaja.
1. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus
dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya
si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai
tolak bala.
1. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi
gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Kamaratih atau Harjuna – Sembadra)
dengan harapan supaya sang anak jika laki-laki sangat tampan seperti Kamajaya dan jika
perempuan amat cantik seperti Kamaratih,baik wajahnya maupun perilakunya yang baik.
Cengkir gading tersebut dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima
oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir
memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
1. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes
seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi
dapat lahir cukup bulan. Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan
“Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela kain 7
warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Sebenarnya pelaksanaan Tingkeban berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan
oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim
perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin
berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu
umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.
Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan
permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang
Jawa khususnya Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar
janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan
solekhah.
Pada dasarnya “tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia,
karena di dalam ritual tingkeban terdapat permohonan do’a kepada Gusti Allah. Dan
dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan tingkeban
secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam di Ponorogo
dikenal dengan “Berjanjen”.
Berjanjen ini diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada Janin yang dikandung oleh
sang ibu sejak “Si Jabang Bayi” masih dalam kandungan seiring dengan ditiupkannya “RUH”
kepada “Si Jabang Bayi”.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan makalah, maka simpulan yang dapat
diambil sebagai berikut:
1. Sejarah tradisi Tingkeban.
Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama
Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak
akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah
mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan
diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya. Jayabaya akhirnya menasehati
mereka agar menjalani beberapa ritual. Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja
Jayabaya, ternyata Gusti Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan
permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan
berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru
oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban dengan harapan
mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak
tumbuh dewasa.
Woh-wohan
Punar 2 buah
Kembang setaman 1. Proses atau tahapan tradisi Tingkeban.
1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
Sesaji dakripin
2. Sungkeman
3. Siraman
(Suro ganep)
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Daun dadap serep 5. Tigas Gendit
Daun beringin 6. Brojolan
Daun andong 7. Angrem
Janur 8. Dhahar Ajang Cowek (Cobek)
Mayang 9. Hubungan antara tradisi Tingkeban dengan
Jenang abang ajaran Islam.
Jenang putih
Jenang kuning Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai
penghormatan ketika masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi
Jenang ireng
dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh yang baik
Jenang waras
sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Jenang sengkolo Tetapi dalam Islam kegiatan ini tidak harus dilakukan. Malah
sebagian masyarakat Islam Berpendapat bahwa Kegiatan ini
merupakan Pemborosan. Karena kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, padahal
dalam Islam Allah SWT membenci perbuatan boros.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com/imgres?
imgurl=http://jejakbocahilang.files.wordpress.com/2013/03/mitoni-siraman-prosesi-
bancakan.jpg (Minggu, 17 November 2013: 07.36 )
http://www.google.com/imgres?
imgurl=http://mampirmoto.files.wordpress.com/2012/03/wisnu-asa-ajisatria-81.jpg (Minggu,
17 November 2013: 07.39 )
http://www.google.com/imgres?
imgurl=http://sabdalangit.files.wordpress.com/2008/12/bubur7rupa (Minggu, 17 November
2013: 07.30 )
Sara, Monica. 2009. Astrologi Jawa: Perbintangan Kalender Jawa. Boyolali: X’ Books.