Leak Desti di Bali dari jaman dulu kala sudah menjadi fenomena yang tak
pernah sirna dimakan jaman, keberadaannya dari dulu menjadi momok
yang menakutkan masyarakat.
Leak Desti adalah perwujudan ilmu leak tingkat paling bawah yaitu
perwujudannya bisa berbentuk binatang yang namanya Lelakut yaitu
sejenis kadal yang besar berbadan hitam loreng-loreng, berkepala
manusia berwajah seram dan hitam, rambutnya terurai, taringnya panjang,
giginya runcing, matanya lebar dan menyala keluar api berwarna hijau,
mempunyai ekor panjang warnannya loreng hitam putih.
Leak Desti ada juga berbentuk binatang yang namanya Bebae yaitu
sejenis binatang kambing berbulu putih mulus, mempunyai telinga
panjang menjulur kebawah sampai menyentuh tanah.
Leak Desti ini di Bali ada penangkalnya yaitu melalui orang-orang Wiku
yaitu orang yang sudah menguasai ilmu pengobatan yang disebut ilmu
Usada Bali (pengobatan tradisional Bali).
Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, ada
seorang Abdi Kerajaan yang bernama I Gede Basur yang rumahnya ada
di salah satu Desa di Daerah Pengunungan, yaitu di Desa Karang
Pengastian.
Pada waktu I Gede Basur masih hidup pernah menulis buku lontar
Pengeleakan dua buah yaitu Lontar Durga Bhairawi dan Lontar Ratuning
Kawisesan.
Dalam ajaran Agama Hindu mengenal tiga Kerangka Dasar yaitu Tatwa,
Etika, Upakara. Jadi walaupun menjalankan ilmu pengeleakan mereka
tetap melaksanakan tiga hal yaitu :
Sang Kala Jingkrak, Butha Lenga, Butha Ringkus, Butha Jengking dan
Butha Kapiragan adalah nama-nama Butha Kala yang menguasai Ilmu
Pengleakan.
Dengan melalui ngereh tersebut diatas maka orang yang menguasai ilmu
pengeleakan bisa berubah wujud sesuai tingkat ilmu pengeleakan yang
dikuasainya yaitu kalau tingkat Desti maka orang tersebut bisa berubah
wujud menjadi binatang yang aneh-aneh dan seram, begitulah ilmu
pengeleakan yang dikuasai oleh I Gede Basur sehingga dia diantara para
abdi kerajaan yang paling ditakuti dan paling diandalkan sebagai Tabeng
Dada.
Selain dari itu, ada pula praktek pengiwa yang disebut pepasangan, yakni
sarana yang ditanam pada tempat tertentu oleh orang yang bisa
melakukan pengiwa. Tujuannya adalah untuk mengenai korbannya sesuai
dengan yang diingini si pemasang. Dapat berupa sarana tulang manusia
yang dibungkus, atau berupa bubuk tulang yang ditaburkan pada
pekarangan rumah orang yang akan dijadikan korban. Dengan adanya
pepasangan itu menjadikan situasi rumah tersebut menjadi agak lain,
agak seram, penghuninya sakit-sakitan, sering cekcok, dan lain-lain.
Yang lebih hebat lagi ada yang disebut dengan sesawangan, yakni
kemampuan seseorang yang mempraktekkan ilmu pengiwa hanya dengan
membayangkan wajah atau hanya nama dari calon korban. Sesawangan
juga disebut dengan umik-umikan atau acep-acepan atau doa-doa.
Dengan kemampuan ini seseorang yang melaksanakannya dapat
mencapai korbannya, walaupun dia bersembunyi di balik dinding beton
yang tebal dan kuat. Adanya ilmu ini makanya sering kita mendengar
kalimat seperti berikut : “walaupun engkau berlindung di dalam gedong
batu yang terkunci rapat, aku akan dapat mencapaimu”. Mungkin ilmu
sesawanganlah yang digunakan orang tersebut.
Dari sekian macam ilmu pengiwa, ada beberapa yang sering disebut
seperti Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang, dan
Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu
enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I
Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dewa, Jaka
Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I
Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I
Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat
ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog.
Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara
keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.
Untuk lebih jelasnya tentang kisah Leak Desti I Gede Basur, ceritanya
adalah sebagai berikut :
Tabeng Dada ini adalah sejenis Pasukan Khusus Kerajaan yang tugasnya
melindungi Raja apabila ada marabahaya.
I Gede Basur ini punya putra satu orang yang bernama I Wayan Tigaron
yaitu merupakan putra kesayangan dan putra satu-satunya.
I Wayan Tigaron jatuh cinta pada Ni Wayan Sukasti yaitu putri dari I Made
Tanu, walaupun I Wayan Tigaron ini orangnya sangat kaya, anak seorang
abdi kerajaan, tetapi cintanya tetap di tolak oleh Ni Wayan Sukasti karena
alasannya ia sudah punya pacar yang barnama I Nyoman Tirta yaitu
seorang pemuda tampan dan bijaksana.
I Gede Basur selaku orang tuanya sangat sayang pada anaknya dan
menyarankan kepada I Wayan Tigaron agar mencari dan mencintai gadis
lain karena di desanya banyak juga gadis-gadis cantik yang tidak kalah
cantiknya dengan Ni Wayan Sukasti.
Melihat anaknya nekad seperti itu, maka I Gede Basur terpaksa mengajak
anaknya I Wayan Tigaron untuk langsung melamar Ni Wayan Sukasti ke
rumahnya.
I Made Tanu tidak berani membuat keputusan dan soal cinta tetap
menyerahkan penuh pada putrinya Ni Wayan Sukasti, sedangkan Ni
Wayan Sukasti sendiri tidak keluar-keluar dari kamarnya karena ia tidak
mencintai I Wayan Tigaron.
Belum selesai pembicaraan I Gede Basur dengan I Made Tanu, tiba-tiba
datang dua orang laki-laki yang ternyata I Nyoman Tirta bersama
ayahnya.
I Gede Basur karena merasa dirinya sebagai Abdi Kerajaan yaitu sebagai
Tabeng Dada Kerajaan, maka dia maunya memaksa I Made Tanu agar
menyerahkan putrinya Ni Wayan Sukasti supaya menikah dengan I
Wayan Tigaron.
I Made Tanu tidak bisa berbuat apa-apa karena soal cinta dia
menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya.
Diceritakan ketika tengah malam tiba I Gede Basur memanggil istri dan
putranya I Wayan Tigaron untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang
ada di sebelah utara). I Gede Basur kemudian memberikan wejangan
kepada semuanya “wahai istri dan anakku, karena Ni Wayan Sukasti tidak
mau kawin dengan I Wayan Tigaron, maka kita semua sepatutnya
waspada dan hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan
menghampiri dan menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku I Gede
Basur akan menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu
pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida Betari Durga Bhairawi, akan
aku turunkan kepadamu. Ilmu ini akan aku masukkan ke dalam jiwa
ragamu sekalian.
Ilmu ini sangatlah rahasia, dan tidak boleh dibicarakan atau digunakan
sembarangan”. Demikian I Gede Basur memulai acara tersebut.
Untuk persiapan tersebut, I Gede Basur menyuruh istri dan anaknya untuk
membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih
dan ngulengin kayun (berkonsentrasi), pada saat itu I Gede Basur
memulai prosesnya. Istri dan anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis
atau magis) yang berisikan aksara atau tulisan sakti, sambil berkomat-
kamit mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada
bagian buku-buku (persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (kening),
dan paban (ubun-ubun). Dilengkapi pula dengan sesaji yang diperlukan.
Setelah semua dirajah, maka I Gede Basur kemudian kembali berkata
“sekarang dengarkanlah baik-baik apa yang aku katakan mengenai ilmu
yang aku turunkan kepadamu sekalian. Agar tidak salah dalam
menggunakannya dikemudian hari. Kamu istriku, aku berikan ilmu yang
bernama Aji Ratuning Kawisesan. Sangat sakti ilmu tersebut. I Wayan
Tigaron aku turunkan ilmu yang bernama Aji Siwer Emas. Demikian
adalah ilmu kewisesan pengiwa yang aku turunkan kepadamu. Ilmu ini
adalah ilmu atau ajian yang sangat rahasia. Hanya kita saja yang tahu
semua ini, dan aku harap tidak ada yang bercerita sembarangan
mengenai ilmu yang kita miliki”. Demikian I Gede Basur memberikan
wejangan setelah menurunkan ilmu tersebut dan mulai saat itu istri dan
anaknya menjadi sisya atau murid-muridnya.
Selain istri dan anaknya, I Gede Basur juga diceritakan mempunyai sisya
atau murid-murid sebanyak tiga puluh tujuh orang. Semuanya berasal dari
desa lain jauh dari Desa Karang Pengastian. Mereka diusir dari desanya
masing-masing karena kentara mempraktekkan ilmu pengeleakan di
desanya terdahulu. Setelah mereka diusir, kemudian mereka berkumpul
dan menjadi muridnya I Gede Basur. Mereka tersebut semuanya telah
menguasai ilmu kewisesan pengiwa dalam berbagai tingkatan. Mereka
telah melakukan ilmu desti, teluh, dan terangjana. Mereka telah lihai
dalam membuat cetik, menebar pepasangan, bebai, dan lain-lain. Murid-
murid ini sangatlah beraneka ragam kewisesannya.
Dengan demikian orang yang ingin berbuat tidak baik akan melihat rumah
I Gede Basur dilindungi kerangkeng besi yang kokoh dan tidak bisa
ditembus. Sehingga orang tersebut akan mengurungkan niatnya untuk
mencelakai si pemilik rumah. Atau dengan tumbal rerajahan yang digelar
tersebut mengakibatkan rumah tersebut kelihatan kosong atau tak
berpenghuni, atau rumah I Gede Basur tampak seperti lapangan luas
yang kosong. Ada pula tumbal rerajahan yang memungkinkan orang
masuk ke dalam pekarangan rumah, namun setelah sampai di dalam
pekarangan mereka menjadi bingung mencari jalan keluar. Sehingga
orang yang berbuat jahat tersebut menjadi ketahuan atau kentara, dan
tampak kebingungan. Ada pula pengaruh tumbal rerajahan yang
menyebabkan orang telah masuk ke pekarangan rumah, kemudian
mengalami tipuan pandangan, seolah-olah ia berada dalam air yang
dalam. Sehingga orang tersebut bergelagat seperti berenang di laut.
Padahal itu, hanyalah sebuah tipuan maya, akibat dari tumbal rerajahan
yang digelar.
Apa yang menjadi ancaman I Gede Basur menjadi kenyataan yaitu pada
hari ketiganya Ni Wayan Sukasti diserang desti sehingga ia jatuh sakit
yaitu perutnya dirasakan sangat sakit kemudian muntah darah dan
akhirnya lemas tak sadarkan diri.
I Made Tanu orang tua Ni Wayan Sukasti sangat panik dan kemudian dia
minta tolong kepada seorang Balian (dukun) untuk mengobati penyakit Ni
Wayan Sukasti.
Ni Wayan Sukasti punya Kakek yang sering dijuluki dengan nama Kakek
Wiku yaitu seorang Kakek yang menguasai ilmu pengobatan Usada Bali
(Obat Tradisional Bali) dan sangat sakti.
Setelah semua keputusan Kakek wiku disampaikan, para sisya ilmu putih
kemudian membubarkan diri untuk persiapan penyerbuan kembali pada
keesokan harinya. Segala sesuatu perlengkapan segera dipersiapkan
seperti senjata tajam berupa tombak, keris, klewang, dan lain-lain.
Demikian pula dengan berbagai sarana pelindung badan yang gaib
sebagai sarana penolak atau penempur leak, sarana kekebalan,
semuanya diturunkan dari tempatnya yang pingit (tempat rahasia). Yang
tidak kalah pentingnya adalah persiapan mengenai perbekalan makanan
dan minuman yang diperlukan selama penyerangan. Ketika semua
persiapan dianggap rampung, maka mereka pun istirahat agar tenaganya
cukup kuat untuk penyerangan besok.
Hari yang ditentukan untuk penyerangan telah tiba, maka pada tengah
malam penyerangan segera dilakukan dan pertarunganpun terjadi pada
malam hari dengan ilmu kesaktiannya masing-masing, yang mana Ilmu
Kesaktian I Gede Basur lebih rendah daripada Ilmu Kesaktian Kakek Wiku
sehingga I Gede Basur pada pertarungan tersebut kalah.
Mengingat tugas yang dititahkan oleh Kakek Wiku telah selesai, para
sisya Kakek Wiku berniat kembali pulang ke rumah masing-masing, Kakek
Wikupun tidak berkeberatan. Namun sebelum bertolak, Kakek Wiku
berkata kepada para sisya : “Wahai seluruh sisya, sekarang musuh telah
dapat ditumpas. Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada
para sisya. Sekarang saya akan menyelesaikan urusan upacara ini
semuanya terdahulu.
Sebab para krabat dan handai taulan akan mengantar si meninggal hanya
sampai di tempat pembakaran mayat atau kuburan. Setelah itu akan
membalikkan badan dan meninggalkan si meninggal. Hanya subhakarma
dan asubhakarma (perbuatan baik dan perbuatan buruk) yang pernah
dilakukan yang akan menemani si meninggal menuju alam berikutnya.
Sedangkan badan atau paras muka yang cantik atau tampan akan
menjadi hancur, harta benda, dan lain-lain semuanya tidak bisa dibawa
serta. Hanya karmalah yang akan menjadi pengikut setia. Demikian
diungkapkan dalam pustaka suci Sarasamuscaya.
Leak Desti yang merupakan warisan dari I Gede Basur, sampai saat
sekarang ilmu tersebut masih berkembang di Bali, karena ada generasi
penerusnya sebagai pewaris pelestarian budaya di Bali.