Anda di halaman 1dari 7

CRITICAL BOOK REVIEW

(CBR)

A. Identitas Buku

Judul Buku : Leksikografi


Penulis : Dr. Teguh Setiawan, M.Hum.
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2015
ISBN : 60225833295
Tebal Buku : 185 Halaman

B. Pendahuluan
Di antara sekian disiplin ilmu yang ada di dunia adalah Linguistik. Linguistik sebagai
salah satu disiplin ilmu yang mandiri mempelajari bahasa sebagai objek kajiannya.
Leksikografi merupakan objek kajian yang masuk dalam bidang kajian makrolinguistik.
Dikatakan demikian karena hal-hal yang dikaji dalam leksikografi tidak hanya mengkaji
bahasa sebagai fenomena yang berdiri sendiri tetapi sudah dikaitan dengan disiplin ilmu lain.
Dengan demikian sudah ada lintas disiplin ilmu di dalamnya. Oleh karenanya, jika ditinjau
kedudukannya, maka dalam Linguistik, Leksikografi merupakan bagian kajian atau sub
disiplin Linguistik. Leksikografi sebagai sub disiplin linguistik, tentunya tidak bisa
melepaskan diri dari linguistik. Oleh karenanya kajian-kajian leksikografi tidak terlepas dari
bahasa sebagai objeknya.

C. Deskripsi Isi Buku


Secara sederhana leksikografi dikonsepsi sebagai cabang linguistik yang mencakup
pengumpulan data, seleksi data, dan pendeskripsian unit kata atau kombinasi kata dalam satu
atau lebih bahasa. Dalam beberapa kasus ada dua atau lebih bahasa yang dimasukkan dalam
kamus secara serentak. Dengan kata lain, leksikografi dapat dikonsepsi sebagai cabang
linguistik yang berkaitan dengan penyusunan kamus, dari perencanaan hingga penerbitan.
Persepsi itu wajar karena pada umumnya produk leksikografi adalah kamus. Definisi di atas
menempatkan leksikografi sebagai bidang ilmu yang hanya berkaitan dengan pembuatan
kamus. Dari definisi tersebut, leksikografi tidak sekadar mengumpulkan kata dan
menyusunnya secara alfabetis sebagaimana anggapan umum. Kerja leksikografi dalam
mewujudkan sebuah kamus memerlukan berbagai tahapan dari pengumpulan data yang
berupa kata, penyeleksian kata yang sesuai dengan jenis kamus yang akan dibuat, sampai
penentuan kata yang baku dan tidak baku, baik dari sisi penulisan maupun pembentukan kata.
Misalnya, penulisan kata lemari yang sering ditulis almari, kata mengubah yang sering ditulis
merubah. Padahal, kata almari dan merubah bukan bentuk baku, baik dari sisi ejaan maupun
proses morfologis. Pendapat yang menyatakan bahwa leksikografi hanya berkaitan dengan
penyusunan kamus tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Pendapat itu
dikatakan tidak sepenuhnya benar karena kajian leksikografi tidak semata-mata berkaitan
dengan penyusunan kamus. Leksikografi juga berkaitan dengan teori dan penelitian tentang
kamus. Pendapat tersebut juga tidak sepenuhnya salah karena memang salah satu cakupan
lesikografi adalah praktik penyusunan kamus. Dengan kata lain, leksikografi tidak hanya
sebatas berkaitan dengan penyusunan kamus. Leksikografi juga membahas kamus, yaitu
pengembangan dan pendeskripsian teori dan metodenya. Lebih lanjut Hausmann (1985:368)
berpendapat bahwa leksikografi mencakup dua bidang kajian, yaitu leksikografi praktik dan
leksikografi teoretis. Hal itu diperkuat oleh pendapat Bergenholtz dan Tarp (2002:31) yang
menyatakan bahwa ada dua hal yang dikaji dalam leksikografi, yaitu pembuatan kamus dan
penelitian kamus. Kerja leksikografi praktik mencakup penulisan dan pengeditan kamus,
sedangkan leksikografi teoretis berfokus pada studi bahasa dan kosakata dalam konteks
budaya dan mengembangkan metode terbaik untuk mengompilasi kamus. Perhatian
leksikografi teoretis bertujuan untuk mengembangkan teori tentang hubungan semantik dan
struktural dari kata yang digunakan dalam leksikon. Leksikografi teoretis sering kali disebut
sebagai metaleksikografi. Dari penjelasan di atas, kita dihadapkan pada dua istilah yang
berkaitan erat dengan leksikografi, yaitu practical lexicography dan metalexicography. Istilah
practical lexicography berkaitan dengan praktik penyusunan kamus dan orang yang
menyusunnya disebut leksikografer. Sebaliknya, istilah metalexicography berkaitan dengan
teori leksikografi dan penelitian tentang kamus dan orang yang melakukan kegiatan tersebut
disebut metaleksikografer. Dalam hal ini, seorang metaleksikografer tidak pernah dan tidak
akan menyiapkan kamus. Dia hanya menghasilkan teori dan metode yang berkaitan dengan
penyusunan kamus. Sebaliknya, seorang leksikografer akan menyiapkan dan menyusun
kamus sebaik mungkin. Leksikografer akan mengambil keuntungan dari kerja
metaleksikografer untuk memperbaiki kamus sebagai hasil kerjanya. Dengan kata lain,
leksikografer memanfaatkan hasil kajian metaleksikografer untuk dapat menyusun kamus
yang benar dan sesuai dengan norma-norma penyusunan kamus yang dihasilkan oleh
metaleksikografer. Oleh karena itu, bab-bab di dalam buku ini sengaja disusun berurutan
untuk lebih memahamkan hakikat kamus dan teori penyusunannya, diantaranya sebagai
berikut:
 Bab I menjelaskan perbedaan antara leksikografi, leksikologi, dan terminografi.
Beberapa ahli membedakan antara leksikografi dan terminografi, sebagian ahli lain
tidak bersepakat dan menganggap keduanya berbeda. Leksikografi berkaitan data
kosakata umum sebagai dasar penyusunan kamus umum, sedangkan terminografi
berkaitan data kosakata khusus sebagai dasar penyusunan kamus istilah. Namun,
sebagian besar ahli bersepakat bahwa leksikologi dan leksikografi adalah dua bidang
yang berbeda, meskipun sebagian kecil masih ada yang menganggapnya sama dan
menggunakan kedua istilah itu secara bergantian untuk mengacu konsep yang sama.
 Bab II menguraikan kriteria kamus. Dalam bab ini diuraikan kriteria sebuah dokumen
leksikon sebagai kamus. Tidak semua dokumen leksikon adalah kamus. Ada beberapa
buku yang memang memuat leksikon, tetapi bukan kamus, misalnya glosarium,
ensiklopedia, katalog, indeks. Untuk dapat disebut kamus dokumen leksikon tersebut
harus memenuhi beberapa kriteria di antaranya kamus merupakan paragraf yang
terpisah, kamus memuat kata yang bermakna.
 Bab III mendeskripsikan tipe kamus. Uraian ini akan memberi gambaran berbagai
jenis kamus, di antaranya kamus sinkronis dan diakronis, kamus preskriptif dan
deskriptif, kamus umum dan kamus istilah. Pengetahuan jenis kamus akan
mempermudah penentuan tujuan penyusunan kamus.
 Bab IV memaparkan struktur kamus. Kamus yang baik harus memiliki struktur yang
lengkap, yaitu struktur distribusi, makrostruktur, mikrostruktur, struktur frame,
struktur akses, dan struktur rujuk silang. Namun, tidak semua kamus yang beredar di
masyarakat memiliki kelengkapan struktur. Struktur yang hampir pasti ada dalam
setiap kamus adalah makrostruktur dan mikrostruktur.
 Bab V menguraikan berbagai komponen yang harus ada dalam sebuah kamus.
Komponen tersebut mencakup daftar isi, kata pengantar, pendahuluan, petunjuk
penggunaan, sesi ensiklopedia, informasi tata bahasa, daftar kata, indeks, dan
apendiks. Kamus yang baik dan lengkap akan memuat semua komponen kamus
tersebut. Umumnya kamus jenis ini adalah kamus standar seperti Kamus Besar
Bahasa Indonesia, sedangkan kamus lain tidak semua komponen tersebut dipenuhi.
 Bab VI menjelaskan data yang diperlukan dalam setiap jenis kamus. Data kamus
umum berbeda dengan data kamus khusus. Data kamus juga harus memperhatikan
ragam bahasa. Untuk memperoleh data yang akurat, setiap data kamus harus dipilih
berdasarkan prinsip-prinsip pemilihan data, misalnya data kamus benar-benar
merupakan leksikon bahasa target, data benar-benar dijumpai dalam komunikasi.
Dengan prinsip tersebut diharapkan data kamus merupakan refleksi penggunaan
bahasa yang sesungguhnya.
 Bab VII menjelaskan isi kamus, yaitu lema. Sebagai bagian utama isi kamus lema
memegang peranan penting. Lema jenis apa yang akan dimasukkan dalam kamus
akan bergantung jenis kamus yang akan disusun. Uraian tentang jenis lema akan
membantu penyusun kamus untuk menentukan jenis lema dan jenis kamus yang akan
disusun.
 Bab VIII sebagai terkahir berisi definisi lema. Dalam bab ini disajikan berbagai model
definisi lema yang dapat digunakan untuk menjabarkan setiap lema. Lema yang
berbeda sangat mungkin didefinisikan dengan cara yang berbeda. Artinya, definisi
lema akan benrgantung pada karakteristik lema. Kejelasan lema akan sangat
bergantung pada pemilihan model definisi lema. Apakah dengan model sinonimi,
diferensial, contoh, ataukah metonimia. Bahkan untuk kata-kata tabu juga harus
mendapat perhatian dalam model pendefinisiannya. Khusus kosakata tabu, penyusun
kamus harus memperhatikan sasaran pengguna kamusnya karena pengguna kamus
akan menentukan model definisinya, lugas atau tersamar.
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa leksikologi mengkaji kosakata bahasa. Dengan
kata lain, objek kajian leksikologi adalah kosakata bahasa. Dalam hal ini konsep kata
kaitannya dengan leksikologi perlu dipertegas. Tidak mudah untuk mendefinisikan kata
secara tepat yang dapat diterima untuk semua bahasa. Secara sederhana kita mengenali kata
karena penulisannnya diberi jeda dengan kata lainnya. Misalnya, dalam kalimat saya pergi ke
pasar terdiri atas empat kata yaitu saya, pergi, ke, dan pasar. Masing-masing kata ditulis
secara terpisah dari kata lainnya. Namun, batasan kata seperti itu masih membingungkan.
Bagaimana dengan bentuk rumah sakit dalam kalimat Dia pergi ke rumah sakit, apakah
diperlakukan sebagai satu kata atau dua kata. Demikian juga dengan konstruksi kamar kecil,
kamar mandi, tangan kanan, dsb. Bahkan menjadi lebih sulit bila dikaitkan dengan
representasi kata dalam bahasa lain karena setiap bahasa memiliki cara yang berbeda untuk
merepresentasikan kata tersebut, misalnya bahasa Cina, Jepang, Arab. Jika kita tetap
menggunakan istilah kata untuk mengacu pada unit bahasa yang ditulis secara terpisah
dengan unit lain, kita mempunyai dua istilah yang berkaitan dengan kata, yaitu funtional
word dan content word. Kata-kata yang tergolong dalam funtional word adalah preposisi dan
konjungsi, seperti di, ke, dari, kepada, jika setelah, dsb. Kata-kata itu digunakan untuk
menunjang dan mendukung fungsi gramatikal. Secara internal, kata-kata itu tidak memiliki
makna leksikal dan hanya akan bermakna gramatikal karena maknanya akan jelas bila
bergabung dengan kata lainnya. Sebaliknya, golongan content word adalah kata yang secara
internal memiliki makna leksikal seperti meja, roti, mobil, rumah. Di antara dua jenis kata itu
menutur Halliday (2004:3) yang menjadi garapan leksikologi adalah kata yang termasuk
golongan content word. Namun, tidak menutup kemungkinan kata-kata yang tergolong
funtional word juga merupakan garapan leksikologi jika kata-kata itu dalam suatu konteks
sudah berubah statusnya, misalnya kata memasuki dapat menjadi verba dalam kalimat Dia
memasuki rumah itu, tetapi dapat juga menjadi preposisi dalam konstruksi memasuki musim
penghujan. Kata-kata seperti menjadi kajian leksikologi, tetapi dalam kapasitasnya sebagai
content word. Selain kata-kata yang termasuk funtional word, ada jenis kata lain yang juga
tidak menjadi garapan leksikologi, yaitu proper name. Nama diri seperti Soekarno, Soeharto,
dan nama kota atau negara seperti Jakarta, Bandung, Indonesia, Singapura merupakan kata
yang tak bermakna dan tidak akan dideskripsikan berdasarkan prinsip-prinsip leksikologi.
Kata-kata itu pada umumnya akan dimunculkan dalam ensiklopedia. Akan tetapi, nama diri
dapat menjadi objek leksikologi apabila nama diri tersebut telah mengalami leksikalisasi
sehingga nama diri telah berubah menjadi tanda (simbol). Sebagai tanda, kata tersebut
memiliki unsur signifie dan signifiant. Demikian juga kata golongan funtional word, menurut
Atkins dan Michael (2008:193) kata-kata yang termasuk funtional word dapat menjadi kalian
leksikologi dan dapat menduduki lema pokok. Kata-kata itu menurut mereka disebut sebagai
kata-kata gramatikal yang juga memiliki makna, yaitu makna gramatikal. Dengan kata lain,
kata-kata seperti di, ke, tetapi, merupakan kata yang bermakna gramatikal dan oleh karenanya
dapat menjadi kajian leksikologi.
Sejarah perkamusan di Indonesia dimulai dengan kamus daftar kata atau glosarium.
Karya leksikografi tertua dalam sejarah kamus Indonesia adalah daftar kata Cina-Melayu
sebanyak 500 kata pada abad ke-15. Setelah itu, terbit daftar Italia-Indonesia yang disusun
oleh Pigapetta (1522). Sementara itu, kamus tertua adalah kamus berbahasa Belanda oleh
Frederick de Houtman berjudul Spraeckende Woord-boek, Inde Maleysche ende
Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Tursche Woorden (1603) dan karangan
Casper Wiltens dan Sabastianus Danckerts yang berjudul Vocabularium ofte Woordboek near
order vanden Alphabet in’t Duytch-Maleysch ende Maleysche-Duytsch (1623). Setelah itu,
ada lagi naskah kamus Jawa tertua yang tersimpan di Perpustakaan Vatikan, yakni Lexicon
Javanum (1706) dan kamus bahasa Sunda yang tertua, yakni Nederduitsch-Maleisch en
Sundasch Woordenboek (1841) oleh A. de Wilde. Kamus-kamus tersebut merupakan kamus
dwibahasa dan kamus multibahasa yang mengawali kamus ekabahasa Melayu. Kamus
Melayu-Jawa yang pertama disusun adalah Baoesastra Melajoe-Djawa (1916) oleh R
Sastrasoeganda, yang merupakan kamus dwibahasa pertama karya putra Indonesia. Kamus
ekabahasa pertama yang disusun oleh putra Indonesia adalah Kitab Pengetahuan Bahasa,
yakni Kamus Logat Melajoe-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama oleh Raja Ali
Haji dari Riau. Cetakan pertama kamus itu dilakukan oleh Al Ahmadiah Press Singapoera
pada tahun 1928. Naskahnya diperkirakan ditulis pada abad ke-19. Kitab Pengetahuan
Bahasa itu jika dipandang dari teknik perkamusan sebetulnya tidak dapat digolongkan
sebagai kamus. Namun, buku itu dapat digolongkan sebagai kamus ensiklopedis bagi pelajar.
Selanjutnya, ada pula karya W.J.S Poerwadarminta, C.S. Handjasoedarma, dan J.C.
Poedjasoedira berjudul Baoesastra Djawa (1930) yang dianggap sebagai pelopor perkamusan
ekabahasa bahasa Jawa.
Sejak masa kemerdekaan sampai dengan sekarang sudah ribuan kamus dihasilkan.
Kamus itu antara lain adalah Kamoes Bahasa Sunda oleh R. Satjadibrata (1948), Kamus
Istilah oleh S.T. Alisjahbana (1949), Logat Ketjil Bahasa Indonesia oleh W.J.S.
Poerwadarminta (1949), Kamus Indonesia oleh E. St. Harahap (1951), Kamus Besar Bahasa
Indonesia oleh Hassan Noel Arifin (1951), Kamus Moderen Bahasa Indonesia oleh St.M.
Zain (1954), Kamus Sinonim Bahasa Indonesia oleh Harimurti Kridalaksana (1974), Kamus
Linguistik oleh Harimurti Kridalaksana (1982), Kamus Singkatan dan Akronim Baru dan
Lama oleh Ateng Winarno (1991), Kamus Hukum Belanda-Indonesia oleh M.
Thermorshuizen (2000). Selain itu, ada juga kamus yang berkaitan dengan bahasa Indonesia
atau bahasa Nusantara yang disusun oleh penulis luar Indonesia. Misalnya, di Amerika
Serikat diterbitkan An IndonesianEnglish Dictionary oleh John M. Echols dan Hassan
Shadily (1963) dan An English-Indonesian Dictionary oleh pengarang yang sama (1975), di
Prancis Dictionary Indonesian-Francis oleh La Brousse (1984), di RRC ada Kamus Baru
Bahasa Indonesia-Tionghoa oleh Liang Liji (1989) dan Kamus Besar Cina-Indonesia (1995),
di Rusia terbit Kamus Besar Bahasa Indonesia-Rusia oleh R.N. Korigidsky (1990), dan di
Belanda diterbitkan Indonesisch-Nederlands Woordenboek oleh A. Teew (1990).
Selain itu, ada pula kamus Nusantara yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan
Pustaka Brunei Darussalam (2003) yang juga menambah khazanah perkamusan kita.
Meskipun kamus yang memuat leksikon bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia
sudah ada sejak abad ke-15 bukan berarti tradisi leksikografi di Indonesia berawal pada abad
itu.

D. Kesimpulan
Sistem bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem
gramatika, dan subsistem leksikon. Kamus merupakan hasil akhir leksikografi. Leksikografi
sangat berkaitan dengan semua bidang kajian linguistik, baik yang mikro (fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik) maupun yang makro (sosiolinguistik, antropolinguistik,
dialektologi, dan lain-lain). Pengetahuan fonologi, sistem ejaan, morfologi, morfofonemik,
sintaksis, semantik, sosiolinguistik, dialektologi, antropolinguistik, dan kajian makro
linguistik lainnya diperlukan untuk menjelaskan makna penggunaan kata dalam situasi sosial,
budaya, dan masyarakat yang berbeda. Perbincangan tentang kamus senantiasa berkaitan
dengan konsep, fungsi, isi, dan jenis-jenis kamus. Beberapa hal itu sangat diperlukan dalam
penyusunan kamus, mengingat kamus berkaitan dengan beberapa hal tersbut. Kamus
memiliki manfaat yang laur biasa banyak bagi penggunanya karena di dalam kamus terutama
yang ideal terkandung berbagai aspek linguistik.

E. Analisis Kritis Terhadap Isi Buku


1. Kelebihan Isi Buku
Buku ini secara umum berisi berbagai penjelasan yang dapat digunakan sebagai
bahan acuan untuk penyusunan kamus. Buku ini menjelaskan perbedaan antara leksikografi,
leksikologi, terminografi, menguraikan kriteria kamus, mendeskripsikan tipe kamus,
memaparkan struktur kamus, menguraikan berbagai komponen kamus yang harus ada dalam
sebuah kamus, menjelaskan data yang diperlukan dalam setiap jenis kamus, dan menjelaskan
isi kamus yang tidak lain adalah lema.
2. Kelemahan Isi Buku
Buku ini pembahasannya memang lengkap namun penjabarannya kurang luas.
Penjelasan berbagai topik yang seharusnya bisa menjadi suatu kelebihan dari buku ini justru
sedikit memberikan kesan bentuk bertele-tele dan banyak materi dan kurang fokus pada inti
bahasan yang sesungguhnya. Banyaknya istilah ilmiah yang digunakan sehingga pembaca
kurang memahami.

Anda mungkin juga menyukai